Jodoh Sang Pendekar 2
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Bagian 2
aku mengenalnya, Kek! Tetapi, di mana dia berada aku
tidak tahu!"
Dewa Senandung meneruskan langkah. "Percu-
ma!" cibirnya.
"Tunggu!" ujar Andika.
Dan belum lagi Pendekar Slebor mendekati Dewa
Senandung, tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke bela-
kang. "Edan!" makinya.
Pendekar Slebor mengempos kembali tubuhnya.
Dan ketika dirasakannya angin besar yang berliuk-liuk ke arahnya dengan cekatan
Andika berlompatan
menghindarinya.
Pendekar Slebor memang sudah terbiasa oleh se-
rangan mendadak seperti ini. Apalagi, saat dia di Lem-
bah Kutukan. Pendekar Slebor harus membuat jurus
menghindar sendiri untuk melayani hujan petir yang
menyerangnya. Maka tak heran kalau Andika mampu
menghindari serangan aneh yang tak terlihat itu. Hing-ga kemudian, dia sudah
berdiri di hadapan Dewa Se-
nandung yang kali ini mengerutkan keningnya.
Senandung yang biasanya dilantunkan terhenti.
"Hei, Anak Muda! Bila melihat gerakanmu itu, ra-
sanya aku pernah mengenalnya! Busyet! Hei, Pemuda
Urakan! Kau dari Lembah Kutukan, ya?"
Andika tersenyum bangga. Seolah setelah tahu
siapa dirinya, Andika yakin kakek ini akan memujinya.
"Brengsek! Mana mungkin Ki Saptacakra mau
mengangkat murid seperti kau ini, hah"!"
Kontan senyum bangga Andika lenyap, berganti
dengan wajah jengkel. Andika menggaruk-garuk kepa-
la. Benar-benar menjengkelkan orang tua aneh ini.
"Kalau tidak percaya ya sudah! Aku sendiri tidak mengharapkan kau percaya!"
tukas Andika, gondok.
"Aku percaya, percaya.... Kau memang murid K
Saptacakra. Yang ku herankan, mau-maunya dia men-
gangkat murid dari orang jelek sepertimu...!" sahut Dew Senandung enteng, seraya
melangkah. Andika menggerutu. Dibiarkannya saja Dewa Se-
nandung meninggalkan tempat itu. Meskipun hatinya
penasaran ingin tahu mengapa Dewa Senandung men-
cari Dewa Api yang ternyata muridnya.
Andika pun bermaksud menemui Savitri. Namun
alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika tidak
melihat gadis itu di tempat semula. Justru yang dilihatnya adalah seorang wanita
berparas bidadari. Pa-
kaian berwarna putih tembus pandang. Di rambutnya
yang digelung ke atas, terdapat sebuah tusuk konde
bergambar bunga mawar. Dan sosok itu semakin
menggairahkan saja ketika pakaiannya yang tipis ba-
sah oleh air hujan. Semakin memperlihatkan lekuk tu-
buhnya! *** 7 Andika terdiam sesaat, meskipun sempat tergoda
dengan penampilan sosok bidadari di hadapannya.
"Di mana gadis yang tadi berada di sana, Nisa-
nak?" tanya Pendekar Slebor.
Sosok berpakaian tipis dengan senjata cambuk
berlidah lima yang tak lain Bidadari Bunga Mawar ter-
senyum. Dari senyumnya memancar sebuah pesona
yang benar-benar sukar ditepiskan.
"Apakah kau bertanya padaku, Tampan?"
"Apakah aku bicara dengan tuyul, Perempuan?"
balas Andika kalem.
Bidadari Bunga Mawar lagi-lagi hanya tersenyum.
"Mengapa kau ribut memikirkan gadis itu, Tampan"
Bukankah masih ada aku yang bisa mengisi kekoson-
gan mu di udara yang dingin seperti ini?"
"Sebetulnya aku mau mengisi kekosongan ini den-
ganmu.... Tapi maaf, deh.... Perutku lagi mulas, nih....
Nah, sekarang coba kau dengar...!" ujar Andika seraya menunggingi Bidadari Bunga
Mawar. Duuttt...! Sehabis mengeluarkan angin tanpa ampas, Andika
melangkah meninggalkan tempat ini hendak mencari
Savitri. Namun kedua kakinya tiba-tiba terasa menjadi berat.
"Busyet, ingin main-main rupanya," desisnya da-
lam hati. Seketika Pendekar Slebor mengalirkan tenaga 'inti
petir'nya. Sebentar saja, dia sudah terbebas dari be-
lenggu tak terlihat itu. Dan bagaikan tak pernah dijerat belenggu tak terlihat
itu, Andika meneruskan langkah-nya. Justru Bidadari Bunga Mawar yang terkejut.
Dia tahu betul, serangannya tak bisa dianggap sembaran-
gan. Sambil menahan merah wajahnya, tubuhnya me-
lenting ke arah Andika yang sedang melangkah mene-
robos hujan. "Mau lagi?" tukas Pendekar Slebor begitu Bidadari Bunga Mawar berdiri di
hadapannya dengan penuh
senyum. "Kau tak akan pernah kubiarkan meninggalkan
tempat ini sebelum menemaniku tidur...," desah Bidadari Bunga Mawar sambil
mengerahkan seluruh peso-
na yang dimilikinya.
Berdesir darah Andika. Tak dipungkiri, birahinya
terbangkit saat itu juga. Namun sejurus kemudian,
Pendekar Slebor yakin kalau wanita ini tergolong wani-ta cabul yang menghalalkan
segala cara untuk menda-
patkan kepuasan.
Andika menatap Bidadari Bunga Mawar yang ma-
sih tersenyum padanya.
"Kau lebih baik...." Kata-kata Andika terhenti mendadak. Sebuah perasaan aneh
kembali merayapi
seluruh hati dan jiwanya. Namun kali ini sangat dah-
syat. Dan yang paling aneh, mendadak saja wanita itu
melepaskan pakaiannya satu persatu. Andika ingin
mencegah, tetapi rasanya tak mampu dilakukannya.
Kini sepasang bola matanya berbinar-binar penuh naf-
su membara. Kelaki-lakiannya tergugah melihat tubuh
indah yang sekarang tanpa selembar benang sehelai
pun. "Gila! Wanita ini mau mengobral tubuhnya"!"
Kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan An-
dika" Padahal, Bidadari Bunga Mawar sudah mende-
kati dengan langkah gemulai penuh tantangan, mem-
buatnya semakin tak menentu. Apalagi ketika tangan
lembut itu menyentuh bahunya. Semakin melayanglah
perasaan Andika.
Andika tak ingin menjatuhkan hasrat dirinya sen-
diri dengan terbuai oleh budak nafsu. Gejolak birahi
dalam dadanya berusaha ditekan, memadamkan nafsu
yang telah membakar jiwanya. Bagai digebah suatu
kekuatan dahsyat...
"Heaaa...!"
Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya meng-
gema, mengalahkan derasnya air hujan.
Bersamaan dengan itu, terlihat kalau Bidadari Bunga
Mawar masih berpakaian! Jelas, wanita ini diam-diam
mengirimkan ajian pesona yang entah apa namanya.
"Ha ha ha...! Dasar penipu! Kau mau menipu ma-
taku, ya..." Tak usah ya...!" ledek Andika, malah dengan tawa menjengkelkan.
Bukan apa-apa, Andika pun
telah terbiasa menghadapi lawan yang menggunakan
ilmu sihir. "Aduh, Cah Tampan.... Mengapa kau begitu kejam
padaku?" tukas Bidadari Bunga Mawar. Suaranya benar-benar penuh rangsangan.
Padahal dalam hati dia
menggeram karena gagal mempengaruhi Andika den-
gan ajian 'Balik Mata*.
"Eh, ngomong-ngomong siapa sebenarnya kau
ini?" tanya Andika, tenang tapi penuh kewaspadaan.
Kekuatan batinnya telah ditingkatkan secara penuh.
Bidadari Bunga Mawar terkikik. Matanya mengerling
genit. "Namaku" Hi hi hi..! Inilah yang aku sukai, Cah
Tampan. Orang-orang menyebutku Bidadari Bunga
Mawar. Nah! Datanglah ke pelukanku. Akan kubawa
kau ke alam yang tak akan pernah terlupakan!" rayu Bidadari Bunga Mawar.
Kembali Andika merasakan ada getaran aneh di
hatinya. Kali ini semakin berusaha ditahan, justru semakin menjerat sukmanya. Di
bawah hujan yang de-
ras, Andika merasa tubuhnya berkeringat.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor membentak sambil
melompat ke arah Bidadari Bunga Mawar!
Wuuuttt! Pukulan cepat dan keras yang dilepaskan Andika
meleset dari sasarannya, karena Bidadari Bunga Ma-
war berhasil menghindari dengan memutar tubuhnya
sambil melompat ke kanan.
Sesungguhnya apa yang dialami Savitri saat Andi-
ka meninggalkannya" Savitri waktu itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja di
hadapannya muncul Bidadari
Bunga Mawar dan si Giok Selatan. Si Giok Selatan
yang mengenal Savitri sebagai gadis yang diinginkan
Dewa Api, langsung menyambar dan membekapnya.
Sudah tentu Savitri tak mampu melawan, karena me-
mang tak memiliki kepandaian apa-apa.
Dari Savitrilah mereka tahu, kalau Pendekar Sle-
bor tadi bersamanya. Akhirnya diputuskan, si Giok Se-
latan akan membawa Savitri ke tempat kediaman De-
wa Api, sementara Bidadari Bunga Mawar menunggu
kedatangan Pendekar Slebor.
Sebenarnya Bidadari Bunga Mawar ingin melaku-
kan pembokongan terhadap Pendekar Slebor. Apalagi
bila mengingat kalau Dewa Api menginginkan nyawa
Pendekar Slebor. Namun begitu melihat kalau yang
muncul sangat tampan, Bidadari Bunga Mawar yang
memang tak mampu menahan dirinya, menjadi terpi-
kat pada Pendekar Slebor.
Wanita ini bermaksud mengajak Pendekar Slebor
berkencan sebelum akhirnya dibunuh. Namun dua
kali serangannya bisa digagalkan Pendekar Slebor.
Bahkan ketika kembali mengerahkan ajian 'Balik Ma-
ta', tiba-tiba saja pemuda itu menyerangnya.
Tak ada lagi keinginannya untuk mendapatkan
Pendekar Slebor. Yang ada hanya keinginan untuk
membunuh! "Hm.... Aku yakin, kau pasti menyembunyikan
Savitri! Di mana dia berada?" tanya Andika sambil terus menyerang.
Bidadari Bunga Mawar terkikik-kikik sambil ber-
kelit. Dan setiap kali wanita itu berkelit, tercium aroma yang begitu wangi
membuat orang mabuk kepayang.
Tetapi, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu te-
lah menutup jalan nafasnya saat menyerang.
"Hi hi hi...! Bila kau mau tidur denganku, dengan senang hati akan kukatakan di
mana dia...," balas Bidadari Bunga Mawar, meremehkan.
Pendekar Slebor memang paling kesal diremeh-
kan. Tapi bukan berarti dia jumawa. Dia hanya tak in-
gin harga dirinya diinjak-injak. Apalagi juga merasa
harus bertanggung jawab atas keselamatan Savitri.
Dua hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi Pende-
kar Slebor untuk menghentikan sepak terjang Bidadari
Bunga Mawar. Kini setiap kali tangan Pendekar Slebor mengibas,
suara bagai ledakan petir kecil terdengar. Dan ini sejenak mampu membuat
Bidadari Bunga Mawar terhe-
nyak. Dan berulang kali wanita ini menghindar dengan
gerakan-gerakan gemulai, yang tetap penuh rangsan-
gan. Dan ketika hinggap di tanah, di tangannya sudah
tergenggam senjata pecut yang langsung bergeletar ke arah Pendekar Slebor.
Ctarrr! Andika cepat menghentikan serangannya. Namun
dengan cepat tubuhnya bergulingan.
Bidadari Bunga Mawar tak mau memberikan ke-
sempatan lagi. Pecutnya terus mencecar Andika. Angin
panas yang keras menderu setiap kali senjatanya diki-
baskan. Bahkan sebatang pohon langsung tumbang
begitu terhantam.
"Busyet! Dikiranya aku kuda lumping, kali"!" maki Andika.
Mendadak Pendekar Slebor bersalto ke depan. Di
tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bertepatan dengan itu, Bidadari Bunga Mawar pun se-
dang menderu ke arahnya dengan tenaga penuh yang
tersalur pada kebutannya.
Blarrr...! Tak ayal lagi, dua tenaga penuh itu beradu, me-
nimbulkan ledakan keras.
Tubuh Andika terhuyung ke belakang dengan da-
da nyeri. Sedangkan Bidadari Bunga Mawar terhuyung
dengan darah mengalir dari mulutnya. Yang mem-
buatnya semakin geram, senjata kebutannya ternyata
sudah berantakan.
"Bangsat keparat! Kau harus mengganti senjataku
ini dengan nyawamu!"
Tiba-tiba saja tangan Bidadari Bunga Mawar men-
gembang bagaikan kuncup mawar yang berbunga. Tu-
buhnya lantas meluruk dengan tangan mengarah pada
kepala Andika. Dengan kelincahannya, berulangkali Pendekar
Slebor berusaha menyelamatkan kepalanya. Dia men-
gegos ke sana kemari. Setiap kali tangan wanita itu
bergerak, Andika merasakan udara yang menusuk tu-
lang. Dan ini membuatnya yakin, kalau bentrokan tan-
gan harus dihindari.
Apa yang diperkirakannya memang benar. Karena
begitu tangan Bidadari Bunga Mawar menghantam si
batang pohon, kontan langsung hangus!
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk sesaat Andika menjadi kelabakan meng-
hindari serangan itu. Apa yang harus dilakukannya"
Ternyata kegesitan Pendekar Slebor lebih banyak
dipergunakan daripada menyerang. Ketika melihat sa-
tu sela yang baik, Andika cepat berkelebat menerobos.
Tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir'
tingkat ketujuh, langsung bergerak mengibas.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Bidadari Bunga Mawar terhuyung ke bela-
kang begitu kibasan tangan mendarat pada sasaran.
Dadanya terasa semakin sakit. Andika kali ini tak mau memberi kesempatan lagi.
Diegkh! Kaki Andika seketika menerjang, tepat menghan-
tam dada wanita berbaju putih tipis itu hingga bergu-
lingan. Wajahnya yang jelita belepotan terkena tanah
basah. Dengan satu gerakan manis, Andika melompat
memetik sebuah daun pohon di atasnya, lalu melem-
parkan ke arah Bidadari Bunga Mawar.
Tas! "Uhh...!"
Daun yang berisi tenaga dalam tinggi itu tepat
mengenai urat di bawah lengan kiri wanita itu. Seketi-ka Bidadari Bunga Mawar
sulit bergerak, namun mu-
lutnya meracau penuh amarah.
Andika melangkah mendekatinya. Ditatapnya Bi-
dadari Bunga Mawar yang terus menyerocos marah.
"He he he.... Kau tidur sama cacing saja, ya" Oh ya.. Di mana sahabatku Savitri
berada?" oceh Pendekar Slebor, kalem.
Sementara diam-diam dialirkannya hawa murni
untuk menahan rasa nyeri yang dideritanya.
Mulut Bidadari Bunga Mawar bukannya menja-
wab, justru memaki-maki. Lama kelamaan membuat
Andika menjadi jengkel sendiri. Tetapi dia berusaha menahannya.
"Hei"! Kalau ditanya, kau harus menjawab. Bukan
memaki-maki begitu. Ibumu tak pernah mengajar so-
pan santun, ya" Ayo, jawab. Di mana Savitri" Aku ta-
hu, kau menyembunyikannya...!" sentak Andika, sok berwibawa.
"Lalu kau mau apa, hah"!" balas Bidadari Bunga Mawar. "Jangan kau pikir aku
tidak tahu akal bulus mu, Pendekar Slebor! Kau sengaja menotok ku agar bi-sa
memandang tubuhku dari dekat, bukan?"
Walau tak dipungkiri merasa tergoda juga me-
mandang tubuh padat Bidadari Bunga Mawar dalam
keadaan telentang tak bergerak itu, namun Andika be-
rusaha menepisnya jauh-jauh.
Lalu tanpa bertanya lagi, Pendekar Slebor berkele-
bat meninggalkan tempat itu. Tinggal Bidadari Bunga
Mawar yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Tetapi,
Andika tidak lagi mempedulikannya. Yang ada di be-
naknya sekarang ini, adalah mencari Savitri.
*** Dewa Api terbahak-bahak begitu melihat Savitri
yang dibawa si Giok Selatan.
"Memang sudah ditakdirkan, kalau kau akan me-
nemaniku tidur, Savitri...," gumam Dewa Api.
Savitri mengangkat kepalanya dengan tatapan
nyalang. "Manusia biadab! Apakah kau tak pernah puas
mengejar-ngejarku"!"
"Justru aku akan merasa puas bila berhasil
menggeluti tubuhmu yang indah!"
"Keparat!"
Gadis jelita itu tiba-tiba saja menjadi berani. Dia
berlari ke arah Dewa Api dengan tangan terkepal, siap dipukulkan. Semua ini
muncul karena kemarahan
yang tak kuasa ditahannya.
"Kau harus membayar nyawa kedua orang tuaku
dan adik-adikku!"
Tetapi tiba-tiba saja tubuh gadis itu tersungkur
mental ke belakang. Wajahnya yang mulus menimpa
lantai keras. "Bawa dia! Mandikan! Dandani yang cantik! Satu-
kan dia dengan gadis bernama Menur itu! Aku tidak
ingin memaksanya sekarang!" ujar Dewa Api pada para pembantunya.
Dua orang gadis muda yang berada di sana lang-
sung mengangkat tubuh Savitri yang pingsan. Darah
mengalir dari hidungnya. Bibir ranumnya pecah sedi-
kit. Sementara itu, secara singkat si Giok Selatan sudah menceritakan apa yang
ditemui. "Aku yakin, Bidadari Bunga Mawar telah mengha-
bisi Pendekar Slebor!" cetus lelaki ini. Dewa Api terbahak-bahak.
"Ini berita yang paling mengasyikkan bagiku!"
sambut Dewa Api. "Pendekar Slebor memang lancang ingin mencampuri urusan orang
lain! Itulah akibatnya
bila ingin bermain-main denganku! Hmm.... Si Giok
Selatan! Besok pagi bawa tiga puluh pengawal untuk
menghancurkan beberapa padepokan dan membunuh
para pendekar. Aku ingin orang-orang tak memandang
sebelah mata kepadaku!"
Si Giok Selatan hanya mengangguk saja, meski-
pun tadi sempat melihat mata kelabu itu mengerjap.
Sepertinya, ada yang merisaukan Dewa Api.
Memang, sampai saat ini Galang Nirka alias Dewa
Api tak bisa tenang, karena yakin kalau gurunya yang
berjuluk Dewa Senandung akan selalu mencarinya.
Dia memang telah mencuri Kitab Ajian Geni, bahkan
telah mempelajarinya sampai tamat. Kendati demikian
Dewa Senandung datang, dia telah siap menghancur-
kan riwayat gurunya sendiri!
Setelah mengatur rencana selanjutnya, Dewa Api
bangkit menuju sebuah kamar tempat Menur disekap.
Saat itu Galang Nirka pun telah mengundang sa-
habatnya yang berdiam di Puncak Gunung Akherat.
Seorang tokoh sesat yang ilmunya sangat tinggi. Dewa
Api yakin, paling lambat, Malaikat Mata Satu akan ha-
dir di tempatnya.
Si Giok Selatan yang sejak tadi tersenyum-
senyum, langsung menyambar tubuh dua gadis yang
sedang duduk bersimpuh.
"Ayo, layani aku!" ujarnya sambil terkekeh.
*** 8 Sari mengumbar perasaannya terhadap Pendekar
Slebor. Sementara matahari yang baru sepenggalan
mengintip dari sela pepohonan. Desahan napas pan-
jang berkali-kali meluncur dari hidung dan mulut ga-
dis ini. "Belang.... Rupanya Pendekar Slebor sudah memi-
liki kekasih yang sangat menyayanginya," desah Sari pelan dan penuh kepasrahan.
"Apakah dengan begitu, aku tak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan
cinta kasih Pendekar Slebor Belang?"
Harimau besar nan perkasa itu hanya menggesek-
gesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Memberi se-
mangat hidup pada majikannya, yang terjerat asmara.
"Belang, aku tidak patah hati. Aku tidak putus
asa. Bila memang Pendekar Slebor berjodoh dengan
Savitri, ya itu memang takdir. Anggaplah aku tidak beruntung, ya.. Belang?"
Si Belang hanya menggereng pelan, menyambut
kegalauan yang nampak di mata Sari. Namun di balik
semua itu, gadis ini tetap berusaha tegar. Sekali lagi Sari menekankan pada sisi
kehidupan lain yang akan
dijalaninya! Tiba-tiba terdengar suara auman si Belang.
Meskipun pelan namun Sari tahu, kalau si Belang
mencium sosok lain yang baru datang. Seketika gadis
ini bersiaga. Di jalan setapak yang sepi ini bahaya
memang selalu mengancam.
Tiba-tiba saja telinga Sari mendengar suara ber-
senandung yang tidak merdu sama sekali. Bahkan
menyakitkan telinga. Meskipun begitu, bisa ditangkap
kalau senandungnya bernadakan cinta kasih yang tak
terbalas. Seketika wajah dara penunggang harimau itu
memerah, karena secara tak langsung senandung yang
terdengar seperti menyindirnya. Sementara si Belang
berdiri tegak dengan geraman pelan.
"Tenang, Belang...," bisik Sari. "Kita tunggu, siapa yang datang ini?"
Semakin lama, senandung .yang didengar Sari
semakin mengeras. Dan tak lama kemudian muncul
satu sosok tubuh dengan mulut mencang-mencong
masih bersenandung. Dia tak lain Dewa Senandung.
"Kasihan, seorang dara manis sedang patah hati,"
kata Dewa Senandung, terkekeh pelan.
Wajah Sari semakin memerah.
"Siapa kau ini, Orang Tua"! Berani-beraninya
mengejek aku!" dengus Sari.
"Kasihan, kasihan...."
Sari menjadi jengkel. Tiba-tiba saja tubuhnya me-
luruk dengan satu serangan cepat. Tetapi belum lagi
tangannya menghantam wajah Dewa Senandung....
"Ohhh..."!"
Tubuh Sari sudah terpental. Begitu jatuh di ta-
nah, dia bergulingan dengan dada terasa nyeri.
"Tidak usah diteruskan seranganmu, Cah Ayu! Bi-
la kau ingin bertemu Pendekar Slebor, aku tahu di
mana dia berada...," sindir Dewa Senandung sambil bersenandung lagi.
Sari mengusap dadanya. Pandangannya nyalang.
Keringat seketika membasahi wajahnya.
"Apa urusannya denganmu...?" cibir Sari.
"Aku tidak punya urusan apa-apa. Seorang pemu-
da tampan seperti Pendekar Slebor memang selalu di-
gandrungi para gadis," kata Dewa Senandung lagi. Bila saja Pendekar Slebor
mendengar kata-katanya sudah
pasti kepalanya menjadi besar. "Aku tidak heran."
Lalu dengan tak acuhnya, Dewa Senandung me-
langkah kembali, tetap dengan senandung yang tak
enak didengar. Sari benar-benar sudah merasa diejek. Tiba-tiba
kembali tubuhnya berkelebat ke arah Dewa Senan-
dung. Namun lagi-lagi, dia terpental sebelum seran-
gannya sampai. Dewa Senandung terus melangkah. Sambil terdu-
duk kesal, Sari memandang kepergian Dewa Senan-
dung. Gadis ini tak ingin melakukan kesalahan dua
kali. Kalau serangannya dilanjutkan, sudah pasti kejadian serupa akan terulang.
Dan lagi bukankah Dewa
Senandung melarangnya untuk melakukan serangan"
Dari sini Sari menduga, kalau orang tua itu memang
tak ingin cari perkara. Hanya saja senandung berisi
sindiran tak lepas dari mulutnya.
*** Sekian lama berjalan, Andika menghentikan lang-
kahnya. Dia melihat tiga puluh laki-laki yang bersenja-ta tombak tengah
mengurung seorang wanita tua be-
rambut tergerai yang mulutnya terus mengunyah sirih.
Tak jauh dari situ, tampak seorang laki-laki berpa-
kaian mirip seorang rahib sedang menyerang seorang
lelaki berbaju hitam yang mengenakan caping.
Sekali lihat saja Andika tahu kalau lelaki bercap-
ing itu sudah kewalahan menghadapi lelaki berpakaian
rahib yang memegang sebuah batu giok bersinar ce-
merlang. Bahkan dari batu giok itulah menyambar si-
nar keras bagaikan hentakan tenaga puluhan kuda ke
arah lelaki bercaping.
Menyadari hal itu, Pendekar Slebor cepat berkele-
bat. Disambarnya tubuh lelaki bercaping, lalu bersalto dua kali dan
merebahkannya di rumput.
"Jangan banyak bergerak, kau terluka parah," ujar Pendekar Slebor ketika lelaki
bercaping yang tak lain berjuluk si Caping Maut hendak bangkit.
Melihat lelaki itu diselamatkan oleh seorang pe-
muda, lelaki berpakaian rahib yang tak lain si Giok Selatan menggeram murka.
Namun sejurus kemudian dia
terbahak-bahak ketika menyadari siapa yang berdiri
tegak di hadapannya, meskipun sedikit terkejut meli-
hatnya. "Rupanya Pendekar Slebor yang muncul di hada-
panku!" seru si Giok Selatan yang langsung menduga kalau Bidadari Bunga Mawar
berhasil dilumpuhkan
Pendekar Slebor. .
"Hm... Aku senang dengan orang ini. Belum kena-
lan sudah mengenalku. Rupanya namaku cukup me-
nyentuh perasaanmu, ya?" seloroh Andika.
Wajah si Giok Selatan memerah.
"Rupanya kau sudah merasa yakin dengan ke-
mampuanmu, Pendekar Slebor! Ini kesempatan baikku
untuk menangkapmu dan menghadapkan wajah jelek
mu pada Dewa Api!"
Seketika telinga Andika menegak. Dewa Api" Ini
pun kesempatan baginya untuk mengetahui di mana-
kah Dewa Api berada. Tetapi sebelum sempat berpikir
lebih lanjut, si Giok Selatan sudah menggosok batu
gioknya. Sing! Sinar berwarna hijau cemerlang seketika melesat
ke arah Andika.
"Uts...!"
Pendekar Slebor langsung bergulingan. Akibatnya,
sinar itu menghantam sebuah pohon besar yang lang-
sung hangus seketika!
"Sontoloyo! Baru sekali bertemu, kau sudah bisa
memastikan kalau aku bisa ditangkap" Nehi...,
nerd...," Andika mendelik sejadi-jadinya, begitu bangkit. Dan kembali Pendekar
Slebor harus tunggang-
langgang menghindari setiap sambaran sinar giok yang
berbahaya. Kecepatan dan kegesitannya dalam menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya diperlihatkan.
Namun kesempatan untuk menyerang menjadi pudar.
Karena si Giok Selatan seakan tak memberikan ke-
sempatan padanya.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, puluhan pengawal si Giok Selatan
terus mengurung wanita berambut tergerai yang men-
gunyah sirih. Kelihatan sekali wanita yang tak lain
adalah Ratu Pelangi itu terdesak. Namun kejap beri-
kutnya, mendadak saja wajah-wajah penyerangnya di-
ludahi. Crot! Crot! Biasanya, orang yang memakan sirih akan menge-
luarkan ludah berwarna merah. Tetapi, ludah yang ke-
luar dari mulut Ratu Pelangi beraneka warna, bagai-
kan pelangi. Hasilnya sungguh dahsyat. Seketika, lima belas
orang penyerangnya ambruk terkena ludah Ratu Pe-
langi. Wajah mereka bagaikan terbakar disertai raun-
gan kesakitan. Bukannya menjadi ketakutan, para pengeroyok
lainnya justru bertambah nekat dan geram. Semakin
buas menyerang dengan kurungan tombak-tombak ta-
jam. Akan tetapi, lagi-lagi Ratu Pelangi melontarkan
ludah-ludahnya.
Crot! Crot! "Aaakh...!"
Saat itu juga penyerangnya yang tersisa hanya
tinggal lima orang saja.
Sementara si Giok Selatan yang sedang menggem-
pur Andika sempat melihat sepak terjang wanita tua
itu. Rupanya julukan Ratu Pelangi bukan omong ko-
song belaka. Tidak sudi kalau anak buah yang dibawa
habis saat itu juga, si Giok Selatan mengarahkan batu giok pada Ratu Pelangi
yang sudah bertekad menghabisi lawan-lawannya.
Sing! Lima buah sinar maut menderu ke arah Ratu Pe-
langi. Namun sambil mengeluarkan seruan kecil, pe-
rempuan itu cepat menghindari sinar-sinar berbahaya.
Diam-diam sebuah petaka mengincar Ratu Pelangi. Se-
lagi lima buah sinar maut yang dilepaskan si Giok Se-
latan menderu ke arahnya, lima buah tombak pun me-
layang pula ke arahnya.
"Hup...!"
Ratu Pelangi berhasil menghindari dengan melom-
pat dan berputaran di udara. Tetapi....
Crap! "Aaakh..,!"
Sebuah tombak tepat menancap di pahanya. Seke-
tika, Ratu Pelangi ambruk disertai erangan kecil.
Sementara itu, bagi si Giok Selatan pun merupa-
kan satu masalah. Selagi dia mengarahkan sinar batu
gioknya ke arah Ratu Pelangi, Andika mempergunakan
kesempatan yang hanya beberapa kejap untuk melu-
ruk dengan satu hantaman keras.
Des! "Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' ting-
kat ke dua belas menghantam perut si Giok Selatan
hingga terhuyung ke belakang. Rasanya perutnya ba-
gai diinjak oleh puluhan ekor gajah saja!
Dengan cepat pula Andika menderu kembali, sete-
lah bersalto tiga kali menghindari serangan sinar batu giok. Des!
Kembali tenaga 'inti petir' yang dilepaskan Pende-
kar Slebor mampir ke perut si Giok Selatan. Dan den-
gan kecepatan yang sukar diikuti mata, Andika sudah
melepaskan totokannya di urat-urat di tubuh si Giok
Selatan. Tuk! Tuk! Bersamaan dengan itu, tubuh si Giok Selatan am-
bruk tak bertenaga lagi. Sementara, Pendekar Slebor
sudah menghadap ke arah Ratu Pelangi yang telah me-
lontarkan ludahnya tepat menghujam ke jantung. Aki-
bat-nya, kelima lawannya langsung terkapar dengan
dada bolong. Ratu Pelangi mengatur napas, lalu menghampiri si
Caping Maut dengan tergesa-gesa.
"Kakang...," panggil wanita ini penuh kekhawati-ran. "Aku tidak apa-apa, Nyai,"
sahut si Caping Maut.
Rupanya, mereka suami istri. "Nyai.... Tidakkah tadi kau mendengar kalau yang
menolongku adalah Pendekar Slebor?"
Ratu Pelangi menganggukkan kepalanya, seraya
melirik pendekar urakan yang sedang menggelitiki agar lelaki berkepala kelimis
itu mau mengatakan di mana
kediaman Dewa Api.
"Rupanya, pemuda yang kita cari itu ada di sini, Nyai..."
"Kau benar, Kakang. Luka yang kau derita akibat
hantaman Malaikat Mata Satu hanya bisa disembuh-
kan oleh Pendekar Slebor. Karena, dialah satu-satunya
pendekar yang memiliki tenaga 'inti petir'. Seperti yang dikatakan sahabat kita,
Ki Mahesa Luwing alias si Tua Kepalan Baja. Ki Mahesa Luwing pun pernah
diselamatkan nyawanya oleh Pendekar Slebor, akibat seran-
gan hawa panas yang sangat membuatnya menderita
(Untuk mengetahui siapa Ki Mahesa Luwing silakan
baca : "Siluman Hutan Waringin").
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
Lalu mereka memperhatikan kembali bagaimana
Pendekar Slebor sedang mengorek keterangan dari si
Giok Selatan yang sudah minta ampun, karena tak ta-
han digelitik terus menerus. Air matanya sampai ke-
luar. Bahkan sampai terkencing-kencing karena me-
nahan geli luar biasa. Hingga akhirnya dia pun menje-
laskan tentang keberadaan Dewa Api.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nah.... Begitu kan lebih baik. Eh, ngomong-
ngomong, apakah kau habis makan jengkol, Botak?"
Wajah si Giok Selatan yang biasanya garang dan
memancarkan naluri membunuh, kini pias. Tak kuasa
lagi dia berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-benar
sudah terasa mati, akibat totokan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor berdiri.
"Botak! Kalau kau bohong, aku akan kembali lagi
ke sini untuk menjitak kepalamu yang seperti biji....
Ha ha ha...!"
Pendekar Slebor tak meneruskan pikiran joroknya.
Tiba-tiba saja diangkatnya tubuh si Giok Selatan.
Dan sekali lempar, tubuh itu menyangkut di rimbun-
nya pepohonan yang cukup tinggi. Wajah si Giok Sela-
tan benar-benar pucat. Dia tak berani melakukan apa-
apa, kalau tak ingin tubuhnya ambruk.
Pendekar Slebor tersenyum puas.
"Begitu lebih baik, kan?"
Lalu Pendekar Slebor berbalik pada si Caping
Maut dan Ratu Pelangi, dan bergerak menghampiri.
Terlihat sekali bagaimana Caping Maut kelihatan se-
makin menderita.
"Kau terluka, Orang Tua?"
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya. Pen-
dekar Slebor segera memeriksa lukanya. Setelah dite-
mukan di mana letak luka yang diderita, segera dialirkannya tenaga 'inti
petir'nya. "Untuk sementara kau tidak apa-apa, Orang Tua.
Tetapi, kau membutuhkan perawatan khusus. Bila sa-
ja terlambat, hawa panas yang menjalari tubuhmu
akan segera menghanguskan jantungmu," kata Pendekar Slebor, selang beberapa saat
dengan wajah berke-
ringat. Caping Maut menganggukkan kepalanya, merasa-
kan hawa panas yang menyerang tubuhnya tidak lagi
terlalu kuat. "Terima kasih, Pendekar Slebor...."
"Kau masih membutuhkan pertolongan yang lebih
dari yang kulakukan sekarang ini. Tetapi, maaf.... Ada masalah yang masih harus
ku selesaikan. Tetapi, per-cayalah. Setelah masalah ini selesai, aku akan mem-
bantumu untuk memulihkan kesehatanmu kembali...."
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
"Ini pun aku sudah bersyukur, Andika. Kami akan
menunggumu di sini."
Andika berdiri.
"Bila hawa panas itu menyerangmu kembali, kau
bisa menutup semua jalan darahmu. Lakukan tiga kali
setiap kali kau merasa kesakitan."
Si Caping Maut tersenyum lagi.
"Ini pun sudah cukup."
"Baiklah kalau begitu, aku harus menyelamatkan
nyawa dua orang gadis yang berada di tangan Dewa
Api. O ya, siapakah yang telah mengirimkan pukulan
maut kepadamu?"
"Malaikat Mata Satu."
*** 9 Tak ada yang mampu menahan guliran waktu.
Jadi sudah tiga hari Malaikat Mata Satu berada di ke-
diaman Dewa Api.
"Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Dewa Api, setelah Malaikat Mata Satu
menceritakan tentang
apa yang dilihat oleh mata batinnya.
Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya.
Rambutnya yang berwarna pirang berombak tergerai
saat kepalanya bergerak. Wajahnya boleh dibilang san-
gat mengerikan, dengan sebelah mata picak. Pakaian-
nya berwarna hitam.
"Pendekar Slebor tak lama lagi akan tiba di daerah ini, Dewa Api. Bidadari Bunga
Mawar sekarang dalam
keadaan sekarat. Begitu pula halnya Giok Selatan yang kau perintahkan membunuh
para tokoh dari golongan
putih." "Maksudmu, Giok Selatan pun dalam keadaan se-
karat?" tanya Dewa Api bernada tak yakin.
Sekali lagi Malaikat Mata Satu menganggukkan
kepalanya. "Bahkan, boleh dikatakan sudah lumpuh! Kalau-
pun bisa membebaskan diri dari totokan Pendekar
Slebor, seluruh urat-urat di tubuhnya tak akan bergu-
na lagi. Bahkan menurut penglihatan mata batin ku,
Pendekar Slebor telah mengobati si Camping Maut
yang kuhantam dengan 'Pukulan Kayangan'," lanjut lelaki menyeramkan ini.
Dewa Api menggertakkan giginya. Lagi-lagi Pende-
kar Slebor! Jadi selama ini dia salah mengira. Ru-
panya, Pendekar Slebor belum mampus seperti yang
dikatakan si Giok Selatan!
"Rasanya tak sabar aku untuk menghancurkan
Pendekar Slebor!" geram Dewa Api, seraya bangkit berdiri. "Kita harus berhati-
hati menghadapinya," ingat Malaikat Mata Satu.
Dewa Api melotot.
"Mengapa kau menjadi jerih dengannya, hah"!"
Malaikat Mata Satu menggelengkan kepalanya.
"Siapa pun akan kulumat, tak terkecuali Pendekar Slebor! Tetapi jangan lupa,
pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu juga memiliki senjata sangat ampuh."
"Hei! Tak pernah kudengar dia memiliki sebuah
senjata?" tukas Dewa Api dengan kening berkerut. Sedikit banyaknya hatinya
menjadi jengkel dengan kete-
rangan Malaikat Mata Satu yang dirasakannya bertele-
tele. Malaikat Mata Satu tersenyum. Tak dihiraukan-
nya pandangan Dewa Api yang melecehkannya.
"Kau salah, Dewa Api. Pendekar Slebor memiliki
sehelai kain pusaka yang aku yakin warisan Ki Sapta-
cakra. Kehebatan kain pusaka itu luar biasa. Senjata
jenis apa pun tak akan sanggup membuat rusak kain
bercorak catur itu."
"Hhh! Aku ingin melihat kehebatan kain pusaka
itu!" geram Dewa Api.
Tiba-tiba saja lelaki ini menggerakkan tangannya.
Seketika satu titik cahaya melesat dan melayang ke-
luar. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar
dan membentuk bola api raksasa, langsung membakar
hutan yang ada di dataran itu.
"Apakah dia mampu menghadapi ajian 'inti api'
milikku ini?"
Kembali Dewa Api menggerakkan tangannya. Ma-
ka sebuah angin kecil melesat, membentuk menjadi
angin laksana topan badai, lalu memadamkan api ber-
kobar itu seketika.
Malaikat Mata Satu yang duduk bersila di hada-
pannya hanya tersenyum saja.
"Kuakui kehebatanmu, Dewa Api. Akan kuperli-
hatkan kepadamu, kalau kau tak sia-sia mengajakku
untuk menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dewa Api tersenyum kecut.
"Dan akan kau lihat, betapa tingginya ilmuku
nanti!" serunya keras.
Malaikat Mata Satu cuma tersenyum saja.
*** "Sekarang bagaimana, Savitri?" tanya Menur pelan. Gadis ini sekarang ada teman.
Savitri! Gadis yang kini diketahui juga mencintai Pendekar Slebor. Savitri
menghapus air matanya. Wajahnya pucat pasi dengan
mata sembab. "Aku tidak tahu, Menur. Sungguh, aku tak meng-
harapkan semua ini terjadi. Bila saja Pendekar Slebor selalu berada di sisiku,
mungkin aku masih bisa dis-elamatkannya. Ah, apakah Pendekar Slebor akan me-
nyelamatkan kita?" desis Savitri pelan.
"Itu pasti. Aku yakin sekali," tegas Menur pula.
Lagi-lagi kini Menur disadarkan kalau ada dua
orang gadis yang mencintai Pendekar Slebor pula. Per-
tama Sari, yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Dan kedua, Savitri yang semalaman terus menerus
mengigaukan nama Pendekar Slebor. Bila sudah mera-
sakan hal ini, Menur menjadi ragu, apakah bisa men-
dapatkan Pendekar Slebor sebagai suaminya" Paling
tidak, menjadi kekasihnya"
Bila gagal, apakah Menur akan kembali mengha-
dap gurunya" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
menari-nari dibenaknya. Dan ia tak tahu harus memu-
tuskan bagaimana. Yang pasti, dalam keadaan terjepit
ini, dia memikirkan bagaimana caranya meloloskan di-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ri dari kurungan Dewa Api.
Savitri mengangkat wajahnya, menatap Menur.
Menur bisa melihat, betapa jelitanya gadis di hada-
pannya ini. "Aku sangat merindukannya, Menur" desis Savitri kemudian.
"Begitu pula denganku," desis Menur dalam hati.
Sudah tentu Menur tak mau memperlihatkannya. Ka-
rena, dia merasa lebih tabah daripada Savitri.
"Dia pasti merindukan mu pula, Savitri...," sahut Menur, sambil berusaha menahan
gejolak hatinya.
"Oh, benarkah hal itu?"
Menur menganggukkan kepalanya. Semakin de-
kat, dia bisa melihat binar-binar kebahagiaan di sepasang mata yang bening itu.
Justru hal ini semakin
membuatnya tak menentu saja.
"Kalau memang dia merindukan ku, mengapa
sampai saat ini belum tiba juga?"
Menur tak tahu harus menjawab apa.
"Barangkali, Kang Andika belum tahu di mana
tempat tinggal Dewa Api," kata Menur, untuk mengenakan hati Savitri.
Bukannya menjawab atau senang mendengar sa-
hutan Menur, justru Savitri mengangkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada Menur. Tentu saja Menur
menjadi risih. "Mengapa kau menatap ku seperti itu?"
"Menur..., apakah kau mengenal Kang Andika?"
Savitri malah bertanya.
"Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Menur
dengan debaran jantung semakin kencang.
"Pertama tadi, kau yakin sekali kalau Kang Andika akan menyelamatkanku.
Maksudku, kita. Kemudian,
kau tahu namanya."
"Maksudmu, nama siapa?"
"Pendekar Slebor. Sejak tadi aku tidak pernah
menyebut namanya, bukan" Lalu, tiba-tiba saja kau
menyebutkan namanya. Berarti, kau mengenalnya,
bukan?" Menur tersenyum sambil mencoba menenangkan
perasaannya sendiri. Bila saja keadaannya tidak seper-ti ini, sudah tentu dia
akan mengatakannya. Namun
bagi Menur, urusan pribadinya tidak terlalu dipentingkan, meskipun tahu kalau
gurunya tak akan pernah
mengizinkannya kembali ke tempat tinggalnya sebelum
bersama-sama Pendekar Slebor. Hatinya sudah cukup
bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia kare-
nanya. "Aku memang mengenalnya. Maksudku, sebatas
biasa saja. Lagi pula, siapa sih yang tak mengenal
Pendekar Slebor," kilah Menur, untuk mengenakan ha-ti Savitri lagi.
"Kapan kau pernah berjumpa dengannya?"
Menur menangkap nada cemburu dalam suara
itu. Dia yakin, betapa besarnya cinta Savitri terhadap Pendekar Slebor.
Lalu secara jujur Menur menceritakan perjum-
paannya dengan Pendekar Slebor. Tetapi sudah tentu,
urusan perjodohannya tak pernah diceritakannya.
"Kau sudah puas sekarang?" tanya Menur kemudian. Savitri tiba-tiba terdiam
sambil menundukkan kepala. "Menur..., apakah kau mencintai Kang Andika?"
tanya Savitri lirih.
Menur tertawa jengah.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Savitri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak,
tidak apa-apa."
Menur menepuk bahu Savitri lembut.
"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat saja. Kulihat Semalam kau kurang tidur."
Savitri hanya terdiam. Kelihatannya seperti tengah
berpikir keras.
"Percayalah dengan kata-kataku. Dan kupikir, se-
karang lebih baik kau tidur saja. Aku tidak ingin meli-hatmu terlalu banyak
memikirkan hal-hal yang menge-
rikan di depan mata kita," ujar Menur lagi.
Tetapi sebelum Savitri menjawab, pintu kamar itu
terbuka. Dewa Api muncul sambil terbahak-bahak.
"Rupanya kalian sudah mengakrabkan diri," kata Dewa Api dengan suara besar.
"Nah! Siapa di antara kalian yang ingin menghibur ku, lebih dulu?"
Mendengar kata-kata itu, Savitri langsung menje-
rit. Didekapnya tubuh Menur dengan wajah pucat.
"Manusia busuk! Ucapanmu sangat menjijikkan!"
maki Menur. Sepasang mata Dewa Api memerah penuh ama-
rah. "Aku tidak suka bertele-tele!"
Dewa Api mendekat. Tiba-tiba disentaknya tangan
Savitri. "Auuwww...!"
Gadis itu kontan menjerit-jerit ketakutan. Menur
langsung bangkit, langsung mengirimkan serangan-
nya. Tanpa diduga, Dewa Api mengibaskan tangannya
sekali. Wuuttt! Brak! Menur kontan terjungkal menabrak dinding.
"Terlalu percaya diri! Ha ha ha...! Ayo, Manis....
Berilah kenikmatan yang luar biasa padaku...!"
Savitri terus meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua
tangannya dan kakinya berusaha memukul dan me-
nendang. Jeritannya begitu keras. Tetapi menghadapi
tenaga kuat dari Dewa Api, akhirnya dia takluk juga.
Sementara itu, Menur hanya memperhatikan saja
dengan kepala pusing, akibat menabrak tembok tadi.
Perasaan ngeri dan takut mulai merayapi hatinya.
*** Dengan geram Dewa Api menghempaskan tubuh
Savitri ke ranjang di kamarnya. Gadis jelita itu beringsut dengan wajah pucat
dan ketakutan menjadi-jadi.
Dia seolah melihat seekor serigala buas yang perlahan-lahan mendekatinya.
Ketakutannya semakin menjadi-
jadi ketika Dewa Api membuka pakaiannya.
"Tidak usah takut! Layani aku. Atau, kubunuh
kau!" "Bunuh! Bunuh saja aku, Manusia Keparat!" seru Savitri, berbalut
kengerian. "Kurang ajar!"
Plak! Pipi mulus Savitri seketika memerah ketika mene-
rima tamparan Dewa Api. Savitri merasa kepalanya
oleng. Rasa pusing langsung menyengat.
Dan dengan geram Dewa Api menerkam tubuh
Savitri yang terus memberontak. Namun belum lagi
Dewa Api berbuat apa yang diinginkannya, tiba-tiba
saja.... "Ada murid murtad mencari celaka...!"
Terdengar sebuah suara bersenandung, membuat
Dewa Api langsung serentak bangkit. Matanya meme-
rah. "Rupanya manusia itu sudah hadir di sini!" desis Dewa Api.
Bergegas lelaki ini mengenakan pakaiannya kem-
bali, lalu meninggalkan Savitri yang menangis sambil
menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah com-
pang-camping akibat dirobek-robek Dewa Api.
*** 10 Dewa Api melangkah bergegas dengan amarah
membludak, keluar dari bangunan besar tempat ting-
galnya. Apa yang diperkirakannya memang benar. De-
wa Senandung telah tiba di tempatnya. Dan sekarang
sedang dikurung lima belas anak buahnya. Di hada-
pan mereka, berdiri Malaikat Mata Satu dengan kedua
tangan disatukan di dada.
"Akhirnya kau muncul juga, Murid Murtad!" desis Dewa Senandung begitu melihat
Dewa Api berdiri di si-si Malaikat Mata Satu. "Apakah kau bisa mengelabui mataku
dari ajian 'Bayangan Dalam Kabut' yang kau
pergunakan untuk menutupi tempat tinggal busukmu
ini" Ha ha ha.... Jangan terlalu mengkhayal! Sekarang,
orang tak berilmu pun bisa melihat bangunan busuk
ini!" "Orang tua keparat! Lebih baik menyingkir dari si-ni sebelum ku cabut
nyawamu!" bentak Dewa Api, geram. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Kali ini terasa lebih tidak enak didengarnya. Dan suaranya bagaikan sembilu yang
menyayat-nyayat telinga.
Rupanya, kali ini sebagian kecil tenaga dalamnya dis-
alurkan. Lima belas anak buah Dewa Api yang tak memiliki
tenaga dalam tinggi kontan bergeletakan dengan telin-
ga mengucur darah.
Melihat hal itu, Dewa Api menggeram marah. Ti-
ba-tiba saja tangannya mengibas.
Wuuuttt! Api besar bergulung-gulung langsung meluruk ke
arah Dewa Senandung. Namun si orang tua hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tiba-tiba tong-
kat kecilnya diangkat dan digerakkan beberapa kali.
Maka, api besar itu padam seketika.
"Rupanya kau sudah menguasai Kitab Ajian Geni."
"Dan kau akan merasakan kehebatannya, karena
sebentar lagi api ini akan menghanguskan tubuhmu!
Hiyaaa...!"
Dengan teriakan keras, Dewa Api menyerbu ke
arah Dewa Senandung yang masih bersenandung. Saat
menyerang nafasnya ditahan. Sebagai seorang murid,
sudah tentu dia tahu apa yang dimiliki gurunya. Tu-
buh Dewa Senandung bagaikan dilindungi sebuah ta-
meng yang sangat kuat dan besar, yang bisa memba-
likkan lawan melalui nafasnya. Bahkan mengirimkan
serangan balik melalui napas lawannya.
Tetapi kali ini Dewa Api harus menghindari karena
Dewa Senandung tahu kunci dari ilmunya itu. Tentu
saja, sebab ilmu itu pun dimiliki Dewa Senandung.
"Rupanya kau masih sayang nyawa tuamu itu,
Orang Tua!" ejek si Murid Murtad sambil terus melayang. Hawa panas yang keluar
dari tubuhnya sangat
luar biasa. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan bila mengenai tubuh lawan.
Sementara Malaikat Mata Satu pun sudah men-
gempos tubuhnya. Dikerahkannya ilmu-ilmu tingkat
tingginya untuk menggempur Dewa Senandung. Dan
akibatnya, si orang tua guru Dewa Api harus berlom-
patan untuk menghindari serangan.
Dewa Senandung tidak diberi kesempatan untuk
membalas. Dan Dewa Api pun sudah memberitahu
Malaikat Mata Satu agar menutup jalan nafasnya bila
sedang menyerang.
Tiga manusia yang bertarung benar-benar melebi-
hi seratus ekor banteng mengamuk. Tenaga-tenaga
sakti dan jurus yang aneh pun diperlihatkan. Saking
cepatnya, yang terlihat hanya kelebatan tubuh mereka
saja. Sementara setiap ledakan dan benturan terden-
gar bertambah keras, membuat suasana di halaman
depan bangunan itu bagai terjadi kiamat.
Di kamar Savitri masih mengisak dengan hanya
mengenakan pakaian compang-camping saja. Gadis ini
bangkit dari ranjang indah itu. Tetapi pantatnya kem-
bali lagi dihenyakkan ke ranjang dengan hati kecut.
Seolah baru disadari kalau di kamar itu tak ada jende-la. "Apakah Kang Andika
yang datang di luar sana?"
tanya batin gadis ini.
Begitu pula Menur, di ruang tahanannya. Gadis
itu terdiam beberapa saat.
"Kang Andika" Tetapi mengapa dia bersenandung
jelek seperti itu?" tanya gadis ini, mendesah.
Brak...! Saat gadis itu masih menebak-nebak siapa yang
datang, tiba-tiba saja pintu yang terbuat dari kayu jati itu jebol. Serpihan-
serpihannya berlompatan ke segala arah. Kalau saja Menur tidak sigap merunduk,
bisa dipastikan salah sebuah pecahan kayu jati itu akan me-
nancap di tubuhnya.
"Kang Andika!"
Dari rasa terkejut, Menur berubah menjadi peki-
kan gembira. Rupanya yang memecahkan pintu itu
adalah Pendekar Slebor.
Setelah Dewa Senandung memunahkan ajian
'Bayangan Dalam Kabut', dengan mudahnya Andika
menemukan tempat tinggal Dewa Api. Bergegas dis-
uruhnya Menur keluar. Bagaikan burung yang telah
lama diletakkan di dalam sangkar, gadis ini melompat
keluar. Dari sini bisa terlihat puluhan pengawal Dewa Api bergeletakan di
lantai. Andika nyengir begitu melihat pandangan mata
Menur padanya. "Terpaksa aku harus melakukannya. Menur, apa-
kah kau melihat seorang gadis yang bernama Savitri?"
tanya Andika. Meskipun Menur mendengar nada kecemasan da-
lam suara Pendekar Slebor. Saat menanyakan Savitri,
dia hanya menganggukkan kepala. Untuk saat ini, dia
memang tak perlu terlalu ingin dipermainkan pera-
saannya. Maka diceritakannya apa yang dialami Savi-
tri. "Kita harus mencarinya, mudah-mudahan belum terlambat," gumam Andika.
Lalu mendahului Menur, Pendekar Slebor berkele-
bat. diperiksanya setiap ruangan. Dan ketika tiba di-
depan kamar Dewa Api, pendengarannya yang tajam
mendengar suara isak.
"Savitri!" desisnya. Lalu diangkatnya tangannya yang telah terangkum tenaga
'inti petir', Dihantamnya pintu kokoh itu hingga jebol hancur berantakan.
Begitu melihat siapa yang muncul, Savitri lang-
sung melompat. Dirangkulnya Pendekar Slebor penuh
rasa haru dan rindu.
"Kang Andika...."
Andika mengelus rambut gadis itu saja. Sementa-
ra Menur membalikkan tubuhnya, menyembunyikan
rasa iri yang sudah bertalu-talu di hatinya.
"Tenanglah, kau aman sekarang. Menur, tolong
jaga Savitri. Aku masih harus membuat perhitungan
dengan Dewa Api."
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak
Menur melihat Andika sedang menatap mesra Savitri
yang mendongak dengan pancaran mata bahagia.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bersama Menur dulu, Savitri."
Savitri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebaiknya, kalian segera tinggalkan tempat ini.
Tunggu aku di suatu tempat yang aman," lanjut Pendekar Slebor.
Menur mengangguk.
"Baik! Kami menunggumu di jarak lima ratus
tombak sebelah timur dari bangunan ini, Kang Andi-
ka." Andika menganggukkan kepalanya. "Cepatlah!"
Pendekar Slebor melepas kepergian kedua gadis
itu berlari ke arah timur, dengan pandangan matanya.
Masih sempat dilihatnya Savitri meliriknya berkali-kali.
Diam-diam Andika menghela napas panjang. Urusan
percintaan nampaknya sudah mulai memasuki lagi da-
lam kehidupannya.
Tetapi Andika tak mempedulikan soal itu. Dengan
cepat tubuhnya berkelebat laksana angin keluar dari
bangunan. Sejak kemunculannya tadi, dia melihat ba-
gaimana Dewa Senandung terdesak oleh dua sosok tu-
buh yang penuh kegeraman.
Andika yakin, salah seorang dari mereka adalah
Dewa Api. Karena, pukulan-pukulan yang mengan-
dung hawa panas dan kobaran api selalu menderu-
deru keluar. Entah, siapa yang satunya lagi. Yang je-
las, matanya picak dan serangannya sangat berba-
haya. "Dewa Senandung! Biar si Picak bagianku...!" seru Pendekar Slebor keras sambil
meluruk, mengirimkan
pukulan tenaga 'inti petir'nya pada sosok yang tak lain Malaikat Mata Satu.
Dewa Senandung tertawa-tawa melihat Pendekar
Slebor mencecar Malaikat Mata Satu.
"Edan! Rupanya bocah slebor yang muncul!"
Mendengar kata-kata itu, Dewa Api menghentikan
serangannya pada Dewa Senandung. Matanya melihat,
bagaimana pemuda tampan berbaju hijau pupus den-
gan kain bercorak catur di lehernya sedang menyerang
Malaikat Mata Satu.
"Keparat!" dengusnya dalam hati. "Diakah si Pendekar Slebor?"
Tetapi Dewa Api tak sempat untuk meneruskan
pertanyaan-pertanyaan di benak, karena dirasakannya
satu serangan tanpa wujud menderu ke arahnya.
"Orang tua keparat! Rupanya kau benar-benar in-
gin mampus!" bentak Dewa Api.
Dewa Senandung mengeluarkan senandung kecil-
nya yang benar-benar tidak merdu. Begitu senandung-
nya keluar, Dewa Api merasakan gerakan tubuhnya
bagai terhambat, berubah menjadi lamban!
"Senandung Membalik Sukma!" bentak Dewa Api sambil bersalto ke belakang. Kedua
kakinya dibuka dan tangannya disatukan di dada. "Jangan kau pikir aku tak bisa menghancurkan
jurusmu itu, Orang Tua!"
"Siapa yang berpikir seperti itu?" tukas Dewa Senandung tetap bersenandung
seperti tadi. Dan mendadak saja si orang tua menghentikan
senandungnya, ketika merasakan sebuah benda bagai
dinding tebal menderu ke arahnya. Lalu, tahu-tahu
tangannya yang memegang tongkat kecil bergerak.
Blarrr...! Terdengar suara bagaikan ledakan keras! Seolah
ada yang dihantam Dewa Senandung.
"Tidak tahu malu! Kau menyerangku dengan ilmu
yang kuajarkan!" maki Dewa Senandung. Dan tubuh-
nya tiba-tiba meluruk.
Kembali dua sosok guru dan murid itu saling se-
rang dengan ajian-ajian tingkat tinggi.
Dewa Api pun menyerang dengan jurus-jurus api
nya yang benar-benar luar biasa. Kelihatan sekali kalau Dewa Senandung terdesak.
Si Orang tua ini beru-
saha menerobos setiap pusaran api bekas muridnya.
Namun, setiap kali bergerak, tubuhnya terasakan ba-
gaikan terbakar.
Melihat hal itu Dewa Api terbahak melecehkan.
"Lebih baik bunuh diri saja, Orang Tua! Daripada tubuhmu hangus!"
"Enak saja ngomong!" maki Dewa Senandung padahal sudah terdesak sekali.
Dan sebelum akibat yang parah dari setiap seran-
gan yang dilakukan Dewa Api, mendadak saja tubuh
Dewa Senandung bagaikan kilat berkelebat ke sana
kemari. Dari mulutnya keluar hembusan angin lembut
ke arah api yang menjilat-jilat.
Sungguh luar biasa. Hembusan angin itu sebe-
narnya sangat pelan. Tetapi bukan hanya bisa mema-
damkan api yang mengarah kepadanya, melainkan
membalikkan kepada pemiliknya!
Dewa Api memekik terkejut. Cepat tubuhnya ber-
gulingan menghindari serangan balik itu.
"Nah! Jangan heran, Dewa Busuk! Bukankah kau
ingat, kalau seorang Guru mempunyai naluri sangat
tajam pada setiap muridnya" Bila diperkirakan murid-
nya akan menjadi golongan lurus, maka dia tak akan
segan-segan menurunkan seluruh ilmunya! Tetapi
kau, ha ha ha...! Sudah nampak sekali dari pancaran
matamu kalau suatu saat kau akan membokongku!"
Dewa Api menggeram tak karuan. Api-api yang di-
keluarkannya yang membuat tempat itu bertambah te-
rang dan beberapa pohon terbakar, tak lagi mampu
mendekati Dewa Senandung. Bahkan kembali menye-
rang ke arahnya!
Menyadari hal itu, Dewa Api pun memutuskan
untuk sementara menghentikan serangan mengguna-
kan jurus-jurus apinya. Tubuhnya pun melenting ke
arah Dewa Senandung yang juga menghempos tubuh-
nya dengan kecepatan sama.
Plarrr...! Meskipun Dewa Senandung memiliki tenaga da-
lam sangat tinggi, namun saat bentrokan dengan Dewa
Api, dia bisa merasakan kalau tulang tangannya terasa mau patah. Rupanya, jurus-
jurus dari Kitab Ajian Geni yang dicuri dan dipelajari Dewa Api benar-benar
sudah menyatu. Sehingga, tenaga dalamnya pun berubah
menjadi hembusan angin sangat panas.
Menyadari hal itu, Dewa Api pun menyerbu mem-
babi buta. 11 Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Sle-
bor melawan Malaikat Mata Satu semakin seru. tenaga
'inti petir' tingkat pamungkas milik Pendekar Slebor
pun tak mampu menembus setiap pertahanan sekali-
gus penyerangan Malaikat Mata Satu.
"Rupanya kehebatan Pendekar Slebor hanya
omong kosong belaka!" ejek Malaikat Mata Satu dengan serangan-serangan aneh.
Setiap kali menyerang,
hembusan angin bak topan prahara menderu. Dan
yang anehnya, setiap kali Andika berhasil menghindari serangan, hembusan angin
kuat itu berbalik lagi ke
arahnya. "Busyet! Jurus apa ini?" makinya blingsatan.
Pendekar Slebor pun merangkum ajian 'Guntur
Selaksa'nya. Kedua tangannya dihantamkan ketika
angin keras serangan Malaikat Mata Satu berbalik ke
arahnya. Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan yang sangat keras.
Angin keras itu bagai terpecah-pecah. Karena tiba-
tiba saja tiang bangunan besar milik Dewa Api roboh, dis-
usul suara bergemuruh lain yang dahsyat.
Malaikat Mata Satu terbahak-bahak melihat hal
itu. "Kau hanya melihat sebagian kecil saja dari ilmuku, Pendekar Slebor!"
Andika menggerutu. Sebagian kecil" Busyet!
Apa ada lagi yang lebih besar"
"Paling-paling hanya pantas untuk membakar
sate!" selorohnya sambil mempersiapkan diri.
Wajah Malaikat Mata Satu memerah. Dari mu-
lutnya keluar suara bagai desisan seekor ular naga.
"Coba lihat jurusku yang satu ini. Kau akan
tersiksa seumur hidupmu seperti yang dialami si Cap-
ing Maut!" geram lelaki bermata picak ini.
Andika seketika terdiam mendengar kata-kata
itu. Si Caping Maut" Dan tiba-tiba saja, dia teringat penjelasan si Caping Maut,
kalau terkena pukulan hebat dari Malaikat Mata Satu. Apakah manusia ini yang
berjuluk Malaikat Mata Satu" Otaknya yang cerdik itu
pun mulai bisa menebak, siapa lawannya. Tetapi Andi-
ka bukanlah orang yang pengecut. Keberaniannya
mampu membuatnya terjun ke kawah gunung merapi
yang membludak, bila memang perlu.
"Hei, Picak! Hati-hati! Jangan-jangan matamu
yang sebelah lagi malah kubuat picak pula!" ejek Pendekar Slebor sambil
mengangkat alisnya berkali-kali.
Kegeraman membias di wajah Malaikat Mata Satu.
Tiba-tiba saja kedua tangannya diputar ke atas dan ke bawah. Lalu, terasa satu
sentakan panas-dingin menderu-deru.
Andika pun mempersiapkan dirinya lagi dengan
ajian 'Guntur Selaksa'. Dalam sekali lihat saja, dia yakin kalau jurus yang akan
dipergunakan Malaikat Ma-
ta Satu teramat dahsyat.
Apa yang diperkirakan Pendekar Slebor memang
benar. Karena kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-
kan ini harus dibuat pontang-panting oleh serbuan-
serbuan Malaikat Mata Satu yang benar-benar luar bi-
asa. Benda apa saja yang terkena sambaran pukulan-
nya, terbang jauh dan jatuh ke bumi. Bahkan pohon
besar yang banyak tumbuh di sana pun tercabut begi-
tu saja, bagai ada tangan raksasa yang menggerak-
kannya. "Mana nama besarmu, Pendekar Slebor"!" ejek
Malaikat Mata Satu.
"Kira-kira besar mana dibanding biji mu, ha ha
ha...!" Diejek seperti itu membuat Malaikat Mata Satu
semakin geram. Seketika kembali dia menyerang ga-
nas, sampai Andika kalang kabut dibuatnya. Bahkan
yang membuatnya sempat kalut, ajian 'Guntur Selak-
sa' Pendekar Slebor tak mampu menghalangi serangan
Malaikat Mata Satu! Tubuhnya dua kali terbawa puku-
lan maut lelaki bermata picak itu. Bahkan membuat
dadanya terasa bagaikan dihantam godam. Dari hi-
dungnya pun, tanpa permisi darah mulai mengalir. Ka-
sihan, Andika. Selagi nyawa Pendekar Slebor benar-benar teran-
cam, tiba-tiba....
Srattt! Andika telah meloloskan kain pusakanya yang
bercorak catur. Seketika dihantamnya angin besar dari serangan Malaikat Mata
Satu dengan kain pusakanya.
Duarrr...! Terdengar ledakan dahsyat. Angin serangan Ma-
laikat Mata Satu pun punah.
Melihat sehelai kain bercorak catur di tangan Pep-
dekar Slebor, wajah Malaikat Mata Satu menjadi pias.
Senjata itulah yang ditakutinya. Karena, angin
yang ditimbulkan kain pusaka itu membuat pengliha-
tannya yang hanya sebelah hampir tak berguna.
Andika pun menyadari keterkejutan Malaikat Ma-
ta Satu. Maka, tanpa buang tempo lagi, tubuhnya me-
luruk sambil mengibaskan kain warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wuuttt...! Angin yang menderu laksana topan prahara men-
gacaukan penglihatan Malaikat Mata Satu.
Keadaan kini berbalik. Kalau tadi Malaikat Mata
Satu berada di atas angin, justru sekarang terdesak.
Andika sendiri tak ingin memberikan kesempatan lagi.
Setiap kali kain pusakanya dikibaskan, suara bagaikan dentuman keras terdengar.
Plasshhh...! Sesuatu yang di luar dugaan Andika pun terjadi.
Tiba-tiba saja, tubuh Malaikat Mata Satu lenyap!
"Busyet!" maki Andika sambil celingukan. "Ilmu iblis apa lagi yang
dipergunakannya?"
"Hari ini aku mengaku kalah, Pendekar Slebor! Tetapi, tunggu! Suatu saat, aku
akan datang lagi untuk
membuat perhitungan!" terdengar suara Malaikat Mata Satu.
"Pengecut! Kenapa tidak sekarang saja" Ayo, ke-
luar kau!"
Hanya suara terbahak yang menggema di siang
bolong itu. Selebihnya, lenyap. Yang terdengar hanya-
lah dua sosok tubuh yang saling gempur.
Andika merutuk-rutuk sendiri sambil memperha-
tikan bagaimana Dewa Senandung saat ini sedang
mendesak hebat Dewa Api. Namun meskipun demi-
kian, Dewa Api belum kelihatan kalah. Bahkan bisa
membalas pula dengan jurus-jurus yang benar-benar
aneh. "Banyak sekali rupanya jurus di dunia ini...!" desah Andika.
Pertarungan antara Dewa Senandung dan Dewa
Api sudah melewati hampir seratus jurus. Namun ke-
duanya belum kelihatan ada yang menyerah.
Andika melihat pakaian Dewa Senandung sudah
tidak karuan lagi bentuknya. Sebagian sudah hangus
tersambar api yang dilepaskan Dewa Api.
Crap! Tiba-tiba saja Dewa Senandung menancapkan
tongkat bambu kecilnya ke tanah di hadapannya. Bu-
kan hanya Dewa Api saja yang heran melihat apa yang
hendak dilakukan bekas gurunya. Andika pun sampai
mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang pendekar, Andika tidak mengin-
ginkan pertarungan yang tidak jujur. Makanya, sejak
tadi hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan.
Bila Dewa Senandung sudah terdesak, barulah dia
akan menyerang Dewa Api.
"Apalagi yang hendak kau lakukan, hah"!" bentak Dewa Api dengan hati bertanya-
tanya.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya
lagi. "Bila kau takut, lebih baik pukul kepalamu sendiri" "Setan alas! Kau harus
mampus, Orang Tua!"
Kembali Dewa Api meluruk ke arah Dewa Senan-
dung. Namun orang tua itu tak bergerak sedikit pun
dari tempatnya.
Justru Andika yang memekik. Dia hampir saja
berkelebat untuk memapaki serangan Dewa Api. Na-
mun keanehan pun terjadi. Karena tiba-tiba saja,
tongkat kecil yang menancap di tanah itu mendadak
menjulang. Lalu bagaikan sebuah benda lentur, lang-
sung menghantam kepala Dewa Api.
Tak! Si Murid Murtad kontan tersuruk ke belakang.
Kepalanya berdarah.
Sementara tongkat yang mendadak menjulang
pun mengecil kembali seperti sediakala.
"Rupanya kau masih mempunyai ilmu-ilmu sim-
panan, Orang Tua!" maki Dewa Api geram.
Kembali si Murid Murtad berkelebat sambil men-
gerahkan jurus-jurus apinya yang dahsyat. Namun la-
gi-lagi dia harus tersuruk ke belakang, karena tongkat kecil itu mendadak
menjulang dan menghantamnya.
Yang lebih mengejutkan, tongkat itu tidak musnah ter-
kena sambaran api yang berkobar!
Sebenarnya, itu bukanlah ajian pamungkas milik
Dewa Senandung. Lelaki tua ini hanya menerapkan
ajian 'Balik Mata'nya saja, yang mempergunakan ke-
kuatan mata untuk mengelabui pandangan mata la-
wan. Sebenarnya sejak tadi tongkat kecil itu tetap menancap di tanah, tidak
menjulang tinggi seperti yang
dilihat Dewa Api ataupun Pendekar Slebor. Kalaupun
hal itu terjadi, karena keduanya telah terkena ajian
'Balik Mata' yang dikerahkan Dewa Senandung.
Dewa Api benar-benar ngotot. Dia berusaha untuk
menerobos masuk pada pusaran tongkat kecil yang di-
lihatnya bisa menjulang tinggi. Tubuh dan kepalanya
berkali-kali terkena sambaran tongkat membuatnya
terkadang menjerit setinggi langit.
"Setan alas!" makinya sambil berdiri tegak. Dan mendadak Dewa Api menggosok
kedua tangannya. Seketika sebuah titik cahaya keluar dari tangan itu. Inilah
jurus 'Api Neraka' yang sangat dahsyat. Setitik cahaya itu bergerak meliuk-liuk
ke arah Dewa Senan-
dung. Dan tiba-tiba, titik cahaya itu menjadi kobaran api raksasa!
Andika melihat bagaimana Dewa Senandung ber-
lompatan menghindari kobaran api itu.
Sementara, Dewa Api terus terbahak-bahak.
Dalam sekali lihat saja Pendekar Slebor yakin De-
wa Senandung tak akan mampu menghindari seran-
gan api raksasa itu. Andika merasa harus melakukan
sesuatu. Dengan cepat Andika bergulingan melewati koba-
ran api raksasa yang menderu ke arah Dewa Senan-
dung. Lalu dengan satu sontekan keras disambarnya
kaki lelaki tua ini.
Tak! Bruk! Dewa Senandung jatuh bergulingan dan luput dari
sambaran api raksasa itu.
Meskipun diselamatkan Andika, tetapi orang yang
diselamatkan justru ngomel-ngomel dengan gaya ber-
senandung. Pendekar Slebor tak meladeni, karena ko-
baran api raksasa itu kembali menderu-deru ke arah
mereka. "Heaaau!"
Dengan nekat dan tak memperhitungkan kesela-
matan dirinya, Andika menerjang api raksasa itu den-
gan sambaran kain pusaka warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wut! Wut! Wut! Tiga kali Pendekar Slebor menggerakkan tangan-
nya, tiga kali api raksasa itu tersambar dan berpentalan hingga kembali membakar
pepohonan. Satu penta-
lan api membakar atap bangunan kediaman Dewa Api
yang sebagian sudah runtuh. Hawa panas sudah men-
deru-deru di sekitar sana. Kobaran demi kobaran api
telah membakar hampir di seluruh tempat itu.
Betapa murkanya Dewa Api melihat Pendekar Sle-
bor menghancurkan serangan 'Api Neraka' miliknya.
Baru disadari kini kalau kain pusaka bercorak catur
itulah yang sempat membuat Malaikat Mata Satu jeri.
Dan yang membuatnya jengkel, dengan pengecutnya,
Malaikat Mata Satu telah tak terlihat batang hidung-
nya, alias kabur.
Menyadari kalau tak akan mampu menghadapi
keduanya, diam-diam Dewa Api pun bermaksud mela-
rikan diri. Tetapi, Andika yang sudah mencium gelagat, langsung bergerak dengan
kebutan-kebutan kain pusakanya. Akibatnya Dewa Api dibuat menjadi kalang
kabut. Pada satu kesempatan, Andika berhasil menyam-
barkan kain pusakanya ke dada Dewa Api.
Lelaki ini terjajar. Dadanya tergores mengeluarkan
darah. Dalam keadaan demikian Pendekar Slebor
kembali mengebutkan kainnya.
Wuuut! Krak! "Aaah"
Dewa Api meraung setinggi langit ketika tangan-
nya tersambar kain pusaka Andika. Bukan hanya
sampai di sana saja penderitaan yang dialaminya. Ka-
rena kaki Andika tiba-tiba memapas kaki kanan Dewa
Api. Krak! Bruk! Seketika sambungan tulang di kaki Dewa Api pa-
tah. Kali ini keseimbangannya sudah benar-benar hi-
lang hingga terpuruk di tanah.
Pada saat Dewa Api jatuh bersimpuh, Andika
mengibaskan kain pusakanya.
Wuuut! Tak! Prak! Kaki kiri dan sebelah tangan Dewa Api pun patah
akibat sambaran kain pusaka milik Andika. Kini, lelaki itu bagaikan sosok lumpuh
yang bersimpuh tanpa bisa
berbuat apa-apa lagi.
Ketika Andika hendak menghabisi nyawa Dewa
Api.... "Tahan!" cegah Dewa Senandung. Andika mengu-
rungkan niatnya, menatap heran pada Dewa Senan-
dung yang sedang berdiri. . Dewa Senandung melang-
kah mendekati Andika. Agak sempoyongan.
"Terlalu enak untuknya bila mati sekarang. Biar-
kan dia hidup, karena tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan patahnya seluruh tulang pada kedua kaki dan
tangannya, maka seluruh ilmu yang dimilikinya pun
lumpuh seketika," jelas si orang tua.
Andika menganggukkan kepalanya. Baru dirasa-
kannya betapa letihnya dia. Seluruh tenaganya bagai-
kan terkuras. "Murid laknat...! Di mana kau sembunyikan Kitab
Ajian Geni itu?" tanya Dewa Senandung dengan keleti-han teramat sangat.
Meskipun dalam keadaan tak berdaya, kesombon-
gan Dewa Api masih mengental dalam hati.
"Carilah di neraka sana! Karena, kitab itu sudah ku bakar habis!" sahut Dewa
Api, kasar. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Terlihat kegeramannya mendengar kata-kata Dewa
Api. "Kekeras kepalaanmu sudah tak ada gunanya.
Dengan kelumpuhanmu seperti itu, kau akan menjadi
orang yang paling tersiksa sepanjang hidupmu...:"
"Peduli setan dengan ucapanmu itu, Orang Tua!"
Dewa Senandung menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. "Tak guna memang berbicara denganmu. Tetapi
sebagai seorang Guru, aku memaafkan seluruh tinda-
kanmu. Karena, kau telah mendapatkan balasan atas
perbuatan hina mu itu," ucap Dewa Senandung lalu berpaling pada Pendekar Slebor.
"Terima kasih atas bantuanmu, Andika...."
Andika menganggukkan kepalanya. Merasa terha-
ru melihat kebesaran hati Dewa Senandung. Lelaki ini
mau memaafkan murid murtadnya yang hampir saja
membunuhnya. "Aku pun senang bertemu denganmu, Orang Tua".
"Mudah-mudahan, kita bertemu lagi," kata Dewa Senandung lagi.
Lalu dengan perlahan dan ringannya Dewa Se-
nandung mencabut kembali tongkat bambu kecilnya.
"Andika, jangan lupa.... Kau ditunggu tiga orang gadis sekarang ini...."
Seperti baru teringat akan Menur dan Savitri, An-
dika menepuk keningnya.
"Mengapa bertiga, Orang Tua?"
"Karena..., seorang berbaju harimau pun telah
berkumpul dengan mereka."
Lalu seolah tanpa ada kejadian apa-apa, Dewa
Senandung melangkah meninggalkan tempat itu, tetap
dengan senandungnya yang tak enak didengar.
Andika menghela napas panjang. Tiga orang ga-
dis" Ah, persoalan cinta seperti inilah yang selalu
membuatnya pusing. Selalu membuatnya tak mengerti
bagaimana mencari jalan keluarnya.
Andika tahu, ketiga gadis itu mencintainya. Dan
bukan karena Andika sok, tetapi hatinya benar-benar
tak punya niatan untuk memilih salah seorang dari
mereka. Namun sekarang, bagaimana ketiga gadis itu
harus dihadapi, sementara cinta tak pernah terpatri di hatinya terhadap salah
seorang dari mereka.
Andika mendesah sembari menatap langit yang
mulai secerah jingga. Matahari sudah mulai bergulir
dan senja sudah menurun.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menghadapi
ketiganya," tegas Andika pelan.
Tiba-tiba Pendekar Slebor urung melangkah. Lalu
dihampirinya Dewa Api. Kepalanya menggeleng-geleng.
Dan... Tak! Tangan Andika menjitak kepala Dewa Api.
Dan dengan bersiul kecil, Andika meninggalkan
Dewa Api yang memandangnya penuh kegeraman.
Namun semakin lama, tatapan itu menurun. Kegaran-
gannya hilang. Dan dia benar-benar menyadari kalau
kelumpuhan sudah di ambang mata.
Hidup tak ada gunanya lagi bagi Dewa Api.
"Heek...!"
Mendadak saja, lelaki ini menekan mulutnya. Mu-
lutnya meringis. Ketika mulutnya terbuka, dari sana
keluar darah kental yang cukup banyak. Rupanya,
manusia itu terlalu pengecut dalam menjalani hidup-
nya yang sekarang. Dia lebih rela mengambil tindakan
bunuh diri! *** 12 Apa yang dikatakan Dewa Senandung ternyata
benar. Lima ratus tombak sebelah timur dari bangu-
nan milik Dewa Api yang kini telah hancur termakan
api, telah menunggu tiga orang gadis. Ketiganya sama-
sama jelita. Sukar kalau disuruh memilih salah satu.
Sari memang berada di sana. Gadis berbaju dari
kulit harimau ini telah tiba tak jauh dari bangunan besar itu bersama
tunggangannya. Tadi waktu menuju ke
tempat ini, dari kejauhan dia melihat api besar menjilat-jilat. Dengan cepat si
Belang diperintahkan untuk segera mendatangi tempat itu. Namun begitu bergerak,
satu panggilan terdengar.
Dan Sari terkejut bercampur gembira ketika meli-
hat Menur bersama Savitri berada di balik sebuah po-
hon besar. Dari Menur lah Sari tahu keadaan Andika
sekarang. Memang, ada keinginan untuk membantu
Andika. Tetapi sudah tentu Sari menjadi tidak enak.
Memperlihatkan perasaannya pada dua gadis yang di-
yakini memiliki perasaan sama dengannya, sungguh
tidak enak. Makanya, dia pun bersedia menunggu An-
dika. Andika mendesah masygul menyadari kalau harus
menghadapi masalah yang paling pelik dalam hidup-
nya. Sesaat, dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi ketika dirinya muncul,
ketiga gadis ini meneriakkan
namanya dalam waktu yang bersamaan. Namun,
hanya Savitri yang berlari merangkulnya.
Andika gelagapan sejenak. Lalu, diajaknya Savitri
untuk mendatangi Menur dan Sari. Kedua gadis ini
saling berpandangan dengan wajah jengah, karena
meneriakkan nama yang sama.
"Bagaimana keadaan di sana, Kang Andika?"
tanya Menur membuat suasana tidak kaku.
Andika tersenyum. Sementara Savitri menggan-
deng tangannya penuh kegembiraan.
"Semua sudah berakhir. Malaikat Mata Satu ber-
hasil melarikan diri."
"Manusia keparat itu sudah mampus, Kang Andi-
ka?" tanya Savitri penuh gembira.
Andika mengangguk.
"Apa kabarmu, Sari?" sapa Pendekar Slebor. Sari gelagapan sejenak. "Aku...,
baik-baik saja."
Andika berusaha mencari sela yang tepat untuk
membicarakan persoalan yang diam-diam membuat-
nya gelisah. Akhirnya diputuskannya untuk berbicara.
"Kulihat, kalian sudah aman dan selamat. Tak ku-
rang suatu apa. Lebih baik, kita berpisah saja dulu".
"Kang!" seru Savitri terkejut.
Andika tersenyum.
"Savitri.... Kehidupanmu sudah aman. Tak ada la-
gi manusia jahat seperti Dewa Api yang akan meng-
ganggu kehidupanmu."
"Tetapi, Kang.... Bukankah Kang Andika tahu ka-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lau hidupku seorang diri di dunia ini?"
"Ya! Dan aku yakin, kau bisa memulai hidupmu
itu, bukan?"
Sedikit banyaknya Savitri tahu, secara tidak lang-
sung Andika berkata memang mereka harus berpisah.
Hati gadis itu menjadi sedih. Rasa cintanya pada Pen-
dekar Slebor yang sudah semakin dalam, justru tera-
duk-aduk tak menentu.
Tiba-tiba saja gadis itu berlari sambil menangis.
Sari yang diam-diam semakin yakin kalau Andika
menganggapnya tak lebih dari yang diharapkannya,
segera menaiki si Belang.
"Kang Andika dan Menur! Biar aku mengejar Savi-
tri! Akan kuajak dia tinggal bersamaku!" kata Sari.
Seketika gadis ini menghentak si Belang yang ber-
lari bagaikan melompat. Di hatinya pun dirasakannya
puing-puing yang mulai berserakan. Sari tidak tahu
kapan akan menata kembali menjadi bangunan utuh
dalam hatinya. Kini tinggal Menur yang kelihatan serba salah. Ti-
ba-tiba benaknya teringat akan gurunya. Ah! Apakah
dia memang tak akan bisa lagi kembali kepada gu-
runya" Bukankah sudah jelas Kaliki Lorot tak akan
mau menerimanya lagi sebelum berjodoh atau pulang
bersama Pendekar Slebor"
Namun saat ini, hanya tinggal mereka berdua sa-
ja. Maka gadis itu pun mengutarakan apa yang ada di
hatinya. Andika mendesah pendek. Tepat seperti yang di-
perkirakannya. Kemunculan Menur pasti ada hubun-
gannya dengan perjodohan yang dilakukan Kaliki Lo-
rot. "Menur..., aku tahu. Hal itu sangat berat. Aku ta-hu, bagaimana kekeras
kepalaan gurumu itu. Tetapi
kau tidak usah takut untuk kembali kepadanya...,"
ujar Andika pelan.
"Tetapi...."
"Percayalah kepadaku.... Dia tak akan marah."
Menur mengangkat wajahnya. Andika bisa melihat
tatapan dari hati yang tercabik-cabik.
"Kang Andika, aku sangat mengenal guruku."
"Aku tahu."
"Dan dia tetap tak akan mau menerimaku bila ti-
dak datang bersamamu."
"Inilah yang repot, bukan" Tetapi, Menur.... Bu-
kan maksudku untuk menolak perjodohan itu. Hanya
saja, kita masih membutuhkan waktu yang sangat
panjang. Mungkin terlalu panjang. Bukankah kau tahu
sendiri, dua hati yang bertaut belum tentu bisa menja-di satu. Apalagi, orang
semacam kita. Aku tahu kau tidak mencintai ku, bukan" Begitu pula denganku. Dan
untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, kita harus
menunggu waktu," papar Andika sambil memegang
kedua tangan Menur. Dia sengaja mengatakan, kalau
Menur tidak mencintainya.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Getaran suara
sumbang mengalun di hatinya. Sangat tidak merdu
dan menyiksanya. Tetapi dia adalah gadis tegar. Gadis yang berani menghadapi
segala macam tantangan.
Kembali diangkatnya kepalanya.
"Mungkin kita memang membutuhkan waktu,
Kang...," kata Menur, bergetar.
Andika tersenyum. Dikecupnya pipi Menur yang
seketika menjadi merah dadu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Sekarang, kem-
balilah kau ke gurumu."
Menur tak menjawab.
"Aku harus mengobati si Caping Maut yang luka
akibat pukulan Malaikat Mata Satu. Menur, bila kita
memang berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu lagi.
Dan kita bisa memulainya, bukan?"
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Perla-
han-lahan dirasakannya genggaman Andika melemah
dan terlepas. Lalu....
Wuuuttt! Tubuh tegap berpakaian hijau pupus itu berkele-
bat meninggalkan Menur yang kini menundukkan ke-
palanya. Kini dia tahu, cintanya jelas-jelas tak terbalas. Dan satu hal yang
merisaukannya, adalah tentang
gurunya. Dan Menur bertekad untuk tidak kembali kepada
gurunya, sebelum datang bersama Pendekar Slebor.
Lalu dengan hati masygul, gadis ini pun melang-
kah ke arah selatan. Entah ke mana. Yang pasti, hen-
dak menenangkan dirinya untuk saat ini.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Pukulan Naga Sakti 17 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Si Pemanah Gadis 6
aku mengenalnya, Kek! Tetapi, di mana dia berada aku
tidak tahu!"
Dewa Senandung meneruskan langkah. "Percu-
ma!" cibirnya.
"Tunggu!" ujar Andika.
Dan belum lagi Pendekar Slebor mendekati Dewa
Senandung, tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke bela-
kang. "Edan!" makinya.
Pendekar Slebor mengempos kembali tubuhnya.
Dan ketika dirasakannya angin besar yang berliuk-liuk ke arahnya dengan cekatan
Andika berlompatan
menghindarinya.
Pendekar Slebor memang sudah terbiasa oleh se-
rangan mendadak seperti ini. Apalagi, saat dia di Lem-
bah Kutukan. Pendekar Slebor harus membuat jurus
menghindar sendiri untuk melayani hujan petir yang
menyerangnya. Maka tak heran kalau Andika mampu
menghindari serangan aneh yang tak terlihat itu. Hing-ga kemudian, dia sudah
berdiri di hadapan Dewa Se-
nandung yang kali ini mengerutkan keningnya.
Senandung yang biasanya dilantunkan terhenti.
"Hei, Anak Muda! Bila melihat gerakanmu itu, ra-
sanya aku pernah mengenalnya! Busyet! Hei, Pemuda
Urakan! Kau dari Lembah Kutukan, ya?"
Andika tersenyum bangga. Seolah setelah tahu
siapa dirinya, Andika yakin kakek ini akan memujinya.
"Brengsek! Mana mungkin Ki Saptacakra mau
mengangkat murid seperti kau ini, hah"!"
Kontan senyum bangga Andika lenyap, berganti
dengan wajah jengkel. Andika menggaruk-garuk kepa-
la. Benar-benar menjengkelkan orang tua aneh ini.
"Kalau tidak percaya ya sudah! Aku sendiri tidak mengharapkan kau percaya!"
tukas Andika, gondok.
"Aku percaya, percaya.... Kau memang murid K
Saptacakra. Yang ku herankan, mau-maunya dia men-
gangkat murid dari orang jelek sepertimu...!" sahut Dew Senandung enteng, seraya
melangkah. Andika menggerutu. Dibiarkannya saja Dewa Se-
nandung meninggalkan tempat itu. Meskipun hatinya
penasaran ingin tahu mengapa Dewa Senandung men-
cari Dewa Api yang ternyata muridnya.
Andika pun bermaksud menemui Savitri. Namun
alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika tidak
melihat gadis itu di tempat semula. Justru yang dilihatnya adalah seorang wanita
berparas bidadari. Pa-
kaian berwarna putih tembus pandang. Di rambutnya
yang digelung ke atas, terdapat sebuah tusuk konde
bergambar bunga mawar. Dan sosok itu semakin
menggairahkan saja ketika pakaiannya yang tipis ba-
sah oleh air hujan. Semakin memperlihatkan lekuk tu-
buhnya! *** 7 Andika terdiam sesaat, meskipun sempat tergoda
dengan penampilan sosok bidadari di hadapannya.
"Di mana gadis yang tadi berada di sana, Nisa-
nak?" tanya Pendekar Slebor.
Sosok berpakaian tipis dengan senjata cambuk
berlidah lima yang tak lain Bidadari Bunga Mawar ter-
senyum. Dari senyumnya memancar sebuah pesona
yang benar-benar sukar ditepiskan.
"Apakah kau bertanya padaku, Tampan?"
"Apakah aku bicara dengan tuyul, Perempuan?"
balas Andika kalem.
Bidadari Bunga Mawar lagi-lagi hanya tersenyum.
"Mengapa kau ribut memikirkan gadis itu, Tampan"
Bukankah masih ada aku yang bisa mengisi kekoson-
gan mu di udara yang dingin seperti ini?"
"Sebetulnya aku mau mengisi kekosongan ini den-
ganmu.... Tapi maaf, deh.... Perutku lagi mulas, nih....
Nah, sekarang coba kau dengar...!" ujar Andika seraya menunggingi Bidadari Bunga
Mawar. Duuttt...! Sehabis mengeluarkan angin tanpa ampas, Andika
melangkah meninggalkan tempat ini hendak mencari
Savitri. Namun kedua kakinya tiba-tiba terasa menjadi berat.
"Busyet, ingin main-main rupanya," desisnya da-
lam hati. Seketika Pendekar Slebor mengalirkan tenaga 'inti
petir'nya. Sebentar saja, dia sudah terbebas dari be-
lenggu tak terlihat itu. Dan bagaikan tak pernah dijerat belenggu tak terlihat
itu, Andika meneruskan langkah-nya. Justru Bidadari Bunga Mawar yang terkejut.
Dia tahu betul, serangannya tak bisa dianggap sembaran-
gan. Sambil menahan merah wajahnya, tubuhnya me-
lenting ke arah Andika yang sedang melangkah mene-
robos hujan. "Mau lagi?" tukas Pendekar Slebor begitu Bidadari Bunga Mawar berdiri di
hadapannya dengan penuh
senyum. "Kau tak akan pernah kubiarkan meninggalkan
tempat ini sebelum menemaniku tidur...," desah Bidadari Bunga Mawar sambil
mengerahkan seluruh peso-
na yang dimilikinya.
Berdesir darah Andika. Tak dipungkiri, birahinya
terbangkit saat itu juga. Namun sejurus kemudian,
Pendekar Slebor yakin kalau wanita ini tergolong wani-ta cabul yang menghalalkan
segala cara untuk menda-
patkan kepuasan.
Andika menatap Bidadari Bunga Mawar yang ma-
sih tersenyum padanya.
"Kau lebih baik...." Kata-kata Andika terhenti mendadak. Sebuah perasaan aneh
kembali merayapi
seluruh hati dan jiwanya. Namun kali ini sangat dah-
syat. Dan yang paling aneh, mendadak saja wanita itu
melepaskan pakaiannya satu persatu. Andika ingin
mencegah, tetapi rasanya tak mampu dilakukannya.
Kini sepasang bola matanya berbinar-binar penuh naf-
su membara. Kelaki-lakiannya tergugah melihat tubuh
indah yang sekarang tanpa selembar benang sehelai
pun. "Gila! Wanita ini mau mengobral tubuhnya"!"
Kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan An-
dika" Padahal, Bidadari Bunga Mawar sudah mende-
kati dengan langkah gemulai penuh tantangan, mem-
buatnya semakin tak menentu. Apalagi ketika tangan
lembut itu menyentuh bahunya. Semakin melayanglah
perasaan Andika.
Andika tak ingin menjatuhkan hasrat dirinya sen-
diri dengan terbuai oleh budak nafsu. Gejolak birahi
dalam dadanya berusaha ditekan, memadamkan nafsu
yang telah membakar jiwanya. Bagai digebah suatu
kekuatan dahsyat...
"Heaaa...!"
Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya meng-
gema, mengalahkan derasnya air hujan.
Bersamaan dengan itu, terlihat kalau Bidadari Bunga
Mawar masih berpakaian! Jelas, wanita ini diam-diam
mengirimkan ajian pesona yang entah apa namanya.
"Ha ha ha...! Dasar penipu! Kau mau menipu ma-
taku, ya..." Tak usah ya...!" ledek Andika, malah dengan tawa menjengkelkan.
Bukan apa-apa, Andika pun
telah terbiasa menghadapi lawan yang menggunakan
ilmu sihir. "Aduh, Cah Tampan.... Mengapa kau begitu kejam
padaku?" tukas Bidadari Bunga Mawar. Suaranya benar-benar penuh rangsangan.
Padahal dalam hati dia
menggeram karena gagal mempengaruhi Andika den-
gan ajian 'Balik Mata*.
"Eh, ngomong-ngomong siapa sebenarnya kau
ini?" tanya Andika, tenang tapi penuh kewaspadaan.
Kekuatan batinnya telah ditingkatkan secara penuh.
Bidadari Bunga Mawar terkikik. Matanya mengerling
genit. "Namaku" Hi hi hi..! Inilah yang aku sukai, Cah
Tampan. Orang-orang menyebutku Bidadari Bunga
Mawar. Nah! Datanglah ke pelukanku. Akan kubawa
kau ke alam yang tak akan pernah terlupakan!" rayu Bidadari Bunga Mawar.
Kembali Andika merasakan ada getaran aneh di
hatinya. Kali ini semakin berusaha ditahan, justru semakin menjerat sukmanya. Di
bawah hujan yang de-
ras, Andika merasa tubuhnya berkeringat.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor membentak sambil
melompat ke arah Bidadari Bunga Mawar!
Wuuuttt! Pukulan cepat dan keras yang dilepaskan Andika
meleset dari sasarannya, karena Bidadari Bunga Ma-
war berhasil menghindari dengan memutar tubuhnya
sambil melompat ke kanan.
Sesungguhnya apa yang dialami Savitri saat Andi-
ka meninggalkannya" Savitri waktu itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja di
hadapannya muncul Bidadari
Bunga Mawar dan si Giok Selatan. Si Giok Selatan
yang mengenal Savitri sebagai gadis yang diinginkan
Dewa Api, langsung menyambar dan membekapnya.
Sudah tentu Savitri tak mampu melawan, karena me-
mang tak memiliki kepandaian apa-apa.
Dari Savitrilah mereka tahu, kalau Pendekar Sle-
bor tadi bersamanya. Akhirnya diputuskan, si Giok Se-
latan akan membawa Savitri ke tempat kediaman De-
wa Api, sementara Bidadari Bunga Mawar menunggu
kedatangan Pendekar Slebor.
Sebenarnya Bidadari Bunga Mawar ingin melaku-
kan pembokongan terhadap Pendekar Slebor. Apalagi
bila mengingat kalau Dewa Api menginginkan nyawa
Pendekar Slebor. Namun begitu melihat kalau yang
muncul sangat tampan, Bidadari Bunga Mawar yang
memang tak mampu menahan dirinya, menjadi terpi-
kat pada Pendekar Slebor.
Wanita ini bermaksud mengajak Pendekar Slebor
berkencan sebelum akhirnya dibunuh. Namun dua
kali serangannya bisa digagalkan Pendekar Slebor.
Bahkan ketika kembali mengerahkan ajian 'Balik Ma-
ta', tiba-tiba saja pemuda itu menyerangnya.
Tak ada lagi keinginannya untuk mendapatkan
Pendekar Slebor. Yang ada hanya keinginan untuk
membunuh! "Hm.... Aku yakin, kau pasti menyembunyikan
Savitri! Di mana dia berada?" tanya Andika sambil terus menyerang.
Bidadari Bunga Mawar terkikik-kikik sambil ber-
kelit. Dan setiap kali wanita itu berkelit, tercium aroma yang begitu wangi
membuat orang mabuk kepayang.
Tetapi, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu te-
lah menutup jalan nafasnya saat menyerang.
"Hi hi hi...! Bila kau mau tidur denganku, dengan senang hati akan kukatakan di
mana dia...," balas Bidadari Bunga Mawar, meremehkan.
Pendekar Slebor memang paling kesal diremeh-
kan. Tapi bukan berarti dia jumawa. Dia hanya tak in-
gin harga dirinya diinjak-injak. Apalagi juga merasa
harus bertanggung jawab atas keselamatan Savitri.
Dua hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi Pende-
kar Slebor untuk menghentikan sepak terjang Bidadari
Bunga Mawar. Kini setiap kali tangan Pendekar Slebor mengibas,
suara bagai ledakan petir kecil terdengar. Dan ini sejenak mampu membuat
Bidadari Bunga Mawar terhe-
nyak. Dan berulang kali wanita ini menghindar dengan
gerakan-gerakan gemulai, yang tetap penuh rangsan-
gan. Dan ketika hinggap di tanah, di tangannya sudah
tergenggam senjata pecut yang langsung bergeletar ke arah Pendekar Slebor.
Ctarrr! Andika cepat menghentikan serangannya. Namun
dengan cepat tubuhnya bergulingan.
Bidadari Bunga Mawar tak mau memberikan ke-
sempatan lagi. Pecutnya terus mencecar Andika. Angin
panas yang keras menderu setiap kali senjatanya diki-
baskan. Bahkan sebatang pohon langsung tumbang
begitu terhantam.
"Busyet! Dikiranya aku kuda lumping, kali"!" maki Andika.
Mendadak Pendekar Slebor bersalto ke depan. Di
tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bertepatan dengan itu, Bidadari Bunga Mawar pun se-
dang menderu ke arahnya dengan tenaga penuh yang
tersalur pada kebutannya.
Blarrr...! Tak ayal lagi, dua tenaga penuh itu beradu, me-
nimbulkan ledakan keras.
Tubuh Andika terhuyung ke belakang dengan da-
da nyeri. Sedangkan Bidadari Bunga Mawar terhuyung
dengan darah mengalir dari mulutnya. Yang mem-
buatnya semakin geram, senjata kebutannya ternyata
sudah berantakan.
"Bangsat keparat! Kau harus mengganti senjataku
ini dengan nyawamu!"
Tiba-tiba saja tangan Bidadari Bunga Mawar men-
gembang bagaikan kuncup mawar yang berbunga. Tu-
buhnya lantas meluruk dengan tangan mengarah pada
kepala Andika. Dengan kelincahannya, berulangkali Pendekar
Slebor berusaha menyelamatkan kepalanya. Dia men-
gegos ke sana kemari. Setiap kali tangan wanita itu
bergerak, Andika merasakan udara yang menusuk tu-
lang. Dan ini membuatnya yakin, kalau bentrokan tan-
gan harus dihindari.
Apa yang diperkirakannya memang benar. Karena
begitu tangan Bidadari Bunga Mawar menghantam si
batang pohon, kontan langsung hangus!
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk sesaat Andika menjadi kelabakan meng-
hindari serangan itu. Apa yang harus dilakukannya"
Ternyata kegesitan Pendekar Slebor lebih banyak
dipergunakan daripada menyerang. Ketika melihat sa-
tu sela yang baik, Andika cepat berkelebat menerobos.
Tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir'
tingkat ketujuh, langsung bergerak mengibas.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Bidadari Bunga Mawar terhuyung ke bela-
kang begitu kibasan tangan mendarat pada sasaran.
Dadanya terasa semakin sakit. Andika kali ini tak mau memberi kesempatan lagi.
Diegkh! Kaki Andika seketika menerjang, tepat menghan-
tam dada wanita berbaju putih tipis itu hingga bergu-
lingan. Wajahnya yang jelita belepotan terkena tanah
basah. Dengan satu gerakan manis, Andika melompat
memetik sebuah daun pohon di atasnya, lalu melem-
parkan ke arah Bidadari Bunga Mawar.
Tas! "Uhh...!"
Daun yang berisi tenaga dalam tinggi itu tepat
mengenai urat di bawah lengan kiri wanita itu. Seketi-ka Bidadari Bunga Mawar
sulit bergerak, namun mu-
lutnya meracau penuh amarah.
Andika melangkah mendekatinya. Ditatapnya Bi-
dadari Bunga Mawar yang terus menyerocos marah.
"He he he.... Kau tidur sama cacing saja, ya" Oh ya.. Di mana sahabatku Savitri
berada?" oceh Pendekar Slebor, kalem.
Sementara diam-diam dialirkannya hawa murni
untuk menahan rasa nyeri yang dideritanya.
Mulut Bidadari Bunga Mawar bukannya menja-
wab, justru memaki-maki. Lama kelamaan membuat
Andika menjadi jengkel sendiri. Tetapi dia berusaha menahannya.
"Hei"! Kalau ditanya, kau harus menjawab. Bukan
memaki-maki begitu. Ibumu tak pernah mengajar so-
pan santun, ya" Ayo, jawab. Di mana Savitri" Aku ta-
hu, kau menyembunyikannya...!" sentak Andika, sok berwibawa.
"Lalu kau mau apa, hah"!" balas Bidadari Bunga Mawar. "Jangan kau pikir aku
tidak tahu akal bulus mu, Pendekar Slebor! Kau sengaja menotok ku agar bi-sa
memandang tubuhku dari dekat, bukan?"
Walau tak dipungkiri merasa tergoda juga me-
mandang tubuh padat Bidadari Bunga Mawar dalam
keadaan telentang tak bergerak itu, namun Andika be-
rusaha menepisnya jauh-jauh.
Lalu tanpa bertanya lagi, Pendekar Slebor berkele-
bat meninggalkan tempat itu. Tinggal Bidadari Bunga
Mawar yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Tetapi,
Andika tidak lagi mempedulikannya. Yang ada di be-
naknya sekarang ini, adalah mencari Savitri.
*** Dewa Api terbahak-bahak begitu melihat Savitri
yang dibawa si Giok Selatan.
"Memang sudah ditakdirkan, kalau kau akan me-
nemaniku tidur, Savitri...," gumam Dewa Api.
Savitri mengangkat kepalanya dengan tatapan
nyalang. "Manusia biadab! Apakah kau tak pernah puas
mengejar-ngejarku"!"
"Justru aku akan merasa puas bila berhasil
menggeluti tubuhmu yang indah!"
"Keparat!"
Gadis jelita itu tiba-tiba saja menjadi berani. Dia
berlari ke arah Dewa Api dengan tangan terkepal, siap dipukulkan. Semua ini
muncul karena kemarahan
yang tak kuasa ditahannya.
"Kau harus membayar nyawa kedua orang tuaku
dan adik-adikku!"
Tetapi tiba-tiba saja tubuh gadis itu tersungkur
mental ke belakang. Wajahnya yang mulus menimpa
lantai keras. "Bawa dia! Mandikan! Dandani yang cantik! Satu-
kan dia dengan gadis bernama Menur itu! Aku tidak
ingin memaksanya sekarang!" ujar Dewa Api pada para pembantunya.
Dua orang gadis muda yang berada di sana lang-
sung mengangkat tubuh Savitri yang pingsan. Darah
mengalir dari hidungnya. Bibir ranumnya pecah sedi-
kit. Sementara itu, secara singkat si Giok Selatan sudah menceritakan apa yang
ditemui. "Aku yakin, Bidadari Bunga Mawar telah mengha-
bisi Pendekar Slebor!" cetus lelaki ini. Dewa Api terbahak-bahak.
"Ini berita yang paling mengasyikkan bagiku!"
sambut Dewa Api. "Pendekar Slebor memang lancang ingin mencampuri urusan orang
lain! Itulah akibatnya
bila ingin bermain-main denganku! Hmm.... Si Giok
Selatan! Besok pagi bawa tiga puluh pengawal untuk
menghancurkan beberapa padepokan dan membunuh
para pendekar. Aku ingin orang-orang tak memandang
sebelah mata kepadaku!"
Si Giok Selatan hanya mengangguk saja, meski-
pun tadi sempat melihat mata kelabu itu mengerjap.
Sepertinya, ada yang merisaukan Dewa Api.
Memang, sampai saat ini Galang Nirka alias Dewa
Api tak bisa tenang, karena yakin kalau gurunya yang
berjuluk Dewa Senandung akan selalu mencarinya.
Dia memang telah mencuri Kitab Ajian Geni, bahkan
telah mempelajarinya sampai tamat. Kendati demikian
Dewa Senandung datang, dia telah siap menghancur-
kan riwayat gurunya sendiri!
Setelah mengatur rencana selanjutnya, Dewa Api
bangkit menuju sebuah kamar tempat Menur disekap.
Saat itu Galang Nirka pun telah mengundang sa-
habatnya yang berdiam di Puncak Gunung Akherat.
Seorang tokoh sesat yang ilmunya sangat tinggi. Dewa
Api yakin, paling lambat, Malaikat Mata Satu akan ha-
dir di tempatnya.
Si Giok Selatan yang sejak tadi tersenyum-
senyum, langsung menyambar tubuh dua gadis yang
sedang duduk bersimpuh.
"Ayo, layani aku!" ujarnya sambil terkekeh.
*** 8 Sari mengumbar perasaannya terhadap Pendekar
Slebor. Sementara matahari yang baru sepenggalan
mengintip dari sela pepohonan. Desahan napas pan-
jang berkali-kali meluncur dari hidung dan mulut ga-
dis ini. "Belang.... Rupanya Pendekar Slebor sudah memi-
liki kekasih yang sangat menyayanginya," desah Sari pelan dan penuh kepasrahan.
"Apakah dengan begitu, aku tak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan
cinta kasih Pendekar Slebor Belang?"
Harimau besar nan perkasa itu hanya menggesek-
gesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Memberi se-
mangat hidup pada majikannya, yang terjerat asmara.
"Belang, aku tidak patah hati. Aku tidak putus
asa. Bila memang Pendekar Slebor berjodoh dengan
Savitri, ya itu memang takdir. Anggaplah aku tidak beruntung, ya.. Belang?"
Si Belang hanya menggereng pelan, menyambut
kegalauan yang nampak di mata Sari. Namun di balik
semua itu, gadis ini tetap berusaha tegar. Sekali lagi Sari menekankan pada sisi
kehidupan lain yang akan
dijalaninya! Tiba-tiba terdengar suara auman si Belang.
Meskipun pelan namun Sari tahu, kalau si Belang
mencium sosok lain yang baru datang. Seketika gadis
ini bersiaga. Di jalan setapak yang sepi ini bahaya
memang selalu mengancam.
Tiba-tiba saja telinga Sari mendengar suara ber-
senandung yang tidak merdu sama sekali. Bahkan
menyakitkan telinga. Meskipun begitu, bisa ditangkap
kalau senandungnya bernadakan cinta kasih yang tak
terbalas. Seketika wajah dara penunggang harimau itu
memerah, karena secara tak langsung senandung yang
terdengar seperti menyindirnya. Sementara si Belang
berdiri tegak dengan geraman pelan.
"Tenang, Belang...," bisik Sari. "Kita tunggu, siapa yang datang ini?"
Semakin lama, senandung .yang didengar Sari
semakin mengeras. Dan tak lama kemudian muncul
satu sosok tubuh dengan mulut mencang-mencong
masih bersenandung. Dia tak lain Dewa Senandung.
"Kasihan, seorang dara manis sedang patah hati,"
kata Dewa Senandung, terkekeh pelan.
Wajah Sari semakin memerah.
"Siapa kau ini, Orang Tua"! Berani-beraninya
mengejek aku!" dengus Sari.
"Kasihan, kasihan...."
Sari menjadi jengkel. Tiba-tiba saja tubuhnya me-
luruk dengan satu serangan cepat. Tetapi belum lagi
tangannya menghantam wajah Dewa Senandung....
"Ohhh..."!"
Tubuh Sari sudah terpental. Begitu jatuh di ta-
nah, dia bergulingan dengan dada terasa nyeri.
"Tidak usah diteruskan seranganmu, Cah Ayu! Bi-
la kau ingin bertemu Pendekar Slebor, aku tahu di
mana dia berada...," sindir Dewa Senandung sambil bersenandung lagi.
Sari mengusap dadanya. Pandangannya nyalang.
Keringat seketika membasahi wajahnya.
"Apa urusannya denganmu...?" cibir Sari.
"Aku tidak punya urusan apa-apa. Seorang pemu-
da tampan seperti Pendekar Slebor memang selalu di-
gandrungi para gadis," kata Dewa Senandung lagi. Bila saja Pendekar Slebor
mendengar kata-katanya sudah
pasti kepalanya menjadi besar. "Aku tidak heran."
Lalu dengan tak acuhnya, Dewa Senandung me-
langkah kembali, tetap dengan senandung yang tak
enak didengar. Sari benar-benar sudah merasa diejek. Tiba-tiba
kembali tubuhnya berkelebat ke arah Dewa Senan-
dung. Namun lagi-lagi, dia terpental sebelum seran-
gannya sampai. Dewa Senandung terus melangkah. Sambil terdu-
duk kesal, Sari memandang kepergian Dewa Senan-
dung. Gadis ini tak ingin melakukan kesalahan dua
kali. Kalau serangannya dilanjutkan, sudah pasti kejadian serupa akan terulang.
Dan lagi bukankah Dewa
Senandung melarangnya untuk melakukan serangan"
Dari sini Sari menduga, kalau orang tua itu memang
tak ingin cari perkara. Hanya saja senandung berisi
sindiran tak lepas dari mulutnya.
*** Sekian lama berjalan, Andika menghentikan lang-
kahnya. Dia melihat tiga puluh laki-laki yang bersenja-ta tombak tengah
mengurung seorang wanita tua be-
rambut tergerai yang mulutnya terus mengunyah sirih.
Tak jauh dari situ, tampak seorang laki-laki berpa-
kaian mirip seorang rahib sedang menyerang seorang
lelaki berbaju hitam yang mengenakan caping.
Sekali lihat saja Andika tahu kalau lelaki bercap-
ing itu sudah kewalahan menghadapi lelaki berpakaian
rahib yang memegang sebuah batu giok bersinar ce-
merlang. Bahkan dari batu giok itulah menyambar si-
nar keras bagaikan hentakan tenaga puluhan kuda ke
arah lelaki bercaping.
Menyadari hal itu, Pendekar Slebor cepat berkele-
bat. Disambarnya tubuh lelaki bercaping, lalu bersalto dua kali dan
merebahkannya di rumput.
"Jangan banyak bergerak, kau terluka parah," ujar Pendekar Slebor ketika lelaki
bercaping yang tak lain berjuluk si Caping Maut hendak bangkit.
Melihat lelaki itu diselamatkan oleh seorang pe-
muda, lelaki berpakaian rahib yang tak lain si Giok Selatan menggeram murka.
Namun sejurus kemudian dia
terbahak-bahak ketika menyadari siapa yang berdiri
tegak di hadapannya, meskipun sedikit terkejut meli-
hatnya. "Rupanya Pendekar Slebor yang muncul di hada-
panku!" seru si Giok Selatan yang langsung menduga kalau Bidadari Bunga Mawar
berhasil dilumpuhkan
Pendekar Slebor. .
"Hm... Aku senang dengan orang ini. Belum kena-
lan sudah mengenalku. Rupanya namaku cukup me-
nyentuh perasaanmu, ya?" seloroh Andika.
Wajah si Giok Selatan memerah.
"Rupanya kau sudah merasa yakin dengan ke-
mampuanmu, Pendekar Slebor! Ini kesempatan baikku
untuk menangkapmu dan menghadapkan wajah jelek
mu pada Dewa Api!"
Seketika telinga Andika menegak. Dewa Api" Ini
pun kesempatan baginya untuk mengetahui di mana-
kah Dewa Api berada. Tetapi sebelum sempat berpikir
lebih lanjut, si Giok Selatan sudah menggosok batu
gioknya. Sing! Sinar berwarna hijau cemerlang seketika melesat
ke arah Andika.
"Uts...!"
Pendekar Slebor langsung bergulingan. Akibatnya,
sinar itu menghantam sebuah pohon besar yang lang-
sung hangus seketika!
"Sontoloyo! Baru sekali bertemu, kau sudah bisa
memastikan kalau aku bisa ditangkap" Nehi...,
nerd...," Andika mendelik sejadi-jadinya, begitu bangkit. Dan kembali Pendekar
Slebor harus tunggang-
langgang menghindari setiap sambaran sinar giok yang
berbahaya. Kecepatan dan kegesitannya dalam menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya diperlihatkan.
Namun kesempatan untuk menyerang menjadi pudar.
Karena si Giok Selatan seakan tak memberikan ke-
sempatan padanya.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, puluhan pengawal si Giok Selatan
terus mengurung wanita berambut tergerai yang men-
gunyah sirih. Kelihatan sekali wanita yang tak lain
adalah Ratu Pelangi itu terdesak. Namun kejap beri-
kutnya, mendadak saja wajah-wajah penyerangnya di-
ludahi. Crot! Crot! Biasanya, orang yang memakan sirih akan menge-
luarkan ludah berwarna merah. Tetapi, ludah yang ke-
luar dari mulut Ratu Pelangi beraneka warna, bagai-
kan pelangi. Hasilnya sungguh dahsyat. Seketika, lima belas
orang penyerangnya ambruk terkena ludah Ratu Pe-
langi. Wajah mereka bagaikan terbakar disertai raun-
gan kesakitan. Bukannya menjadi ketakutan, para pengeroyok
lainnya justru bertambah nekat dan geram. Semakin
buas menyerang dengan kurungan tombak-tombak ta-
jam. Akan tetapi, lagi-lagi Ratu Pelangi melontarkan
ludah-ludahnya.
Crot! Crot! "Aaakh...!"
Saat itu juga penyerangnya yang tersisa hanya
tinggal lima orang saja.
Sementara si Giok Selatan yang sedang menggem-
pur Andika sempat melihat sepak terjang wanita tua
itu. Rupanya julukan Ratu Pelangi bukan omong ko-
song belaka. Tidak sudi kalau anak buah yang dibawa
habis saat itu juga, si Giok Selatan mengarahkan batu giok pada Ratu Pelangi
yang sudah bertekad menghabisi lawan-lawannya.
Sing! Lima buah sinar maut menderu ke arah Ratu Pe-
langi. Namun sambil mengeluarkan seruan kecil, pe-
rempuan itu cepat menghindari sinar-sinar berbahaya.
Diam-diam sebuah petaka mengincar Ratu Pelangi. Se-
lagi lima buah sinar maut yang dilepaskan si Giok Se-
latan menderu ke arahnya, lima buah tombak pun me-
layang pula ke arahnya.
"Hup...!"
Ratu Pelangi berhasil menghindari dengan melom-
pat dan berputaran di udara. Tetapi....
Crap! "Aaakh..,!"
Sebuah tombak tepat menancap di pahanya. Seke-
tika, Ratu Pelangi ambruk disertai erangan kecil.
Sementara itu, bagi si Giok Selatan pun merupa-
kan satu masalah. Selagi dia mengarahkan sinar batu
gioknya ke arah Ratu Pelangi, Andika mempergunakan
kesempatan yang hanya beberapa kejap untuk melu-
ruk dengan satu hantaman keras.
Des! "Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' ting-
kat ke dua belas menghantam perut si Giok Selatan
hingga terhuyung ke belakang. Rasanya perutnya ba-
gai diinjak oleh puluhan ekor gajah saja!
Dengan cepat pula Andika menderu kembali, sete-
lah bersalto tiga kali menghindari serangan sinar batu giok. Des!
Kembali tenaga 'inti petir' yang dilepaskan Pende-
kar Slebor mampir ke perut si Giok Selatan. Dan den-
gan kecepatan yang sukar diikuti mata, Andika sudah
melepaskan totokannya di urat-urat di tubuh si Giok
Selatan. Tuk! Tuk! Bersamaan dengan itu, tubuh si Giok Selatan am-
bruk tak bertenaga lagi. Sementara, Pendekar Slebor
sudah menghadap ke arah Ratu Pelangi yang telah me-
lontarkan ludahnya tepat menghujam ke jantung. Aki-
bat-nya, kelima lawannya langsung terkapar dengan
dada bolong. Ratu Pelangi mengatur napas, lalu menghampiri si
Caping Maut dengan tergesa-gesa.
"Kakang...," panggil wanita ini penuh kekhawati-ran. "Aku tidak apa-apa, Nyai,"
sahut si Caping Maut.
Rupanya, mereka suami istri. "Nyai.... Tidakkah tadi kau mendengar kalau yang
menolongku adalah Pendekar Slebor?"
Ratu Pelangi menganggukkan kepalanya, seraya
melirik pendekar urakan yang sedang menggelitiki agar lelaki berkepala kelimis
itu mau mengatakan di mana
kediaman Dewa Api.
"Rupanya, pemuda yang kita cari itu ada di sini, Nyai..."
"Kau benar, Kakang. Luka yang kau derita akibat
hantaman Malaikat Mata Satu hanya bisa disembuh-
kan oleh Pendekar Slebor. Karena, dialah satu-satunya
pendekar yang memiliki tenaga 'inti petir'. Seperti yang dikatakan sahabat kita,
Ki Mahesa Luwing alias si Tua Kepalan Baja. Ki Mahesa Luwing pun pernah
diselamatkan nyawanya oleh Pendekar Slebor, akibat seran-
gan hawa panas yang sangat membuatnya menderita
(Untuk mengetahui siapa Ki Mahesa Luwing silakan
baca : "Siluman Hutan Waringin").
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
Lalu mereka memperhatikan kembali bagaimana
Pendekar Slebor sedang mengorek keterangan dari si
Giok Selatan yang sudah minta ampun, karena tak ta-
han digelitik terus menerus. Air matanya sampai ke-
luar. Bahkan sampai terkencing-kencing karena me-
nahan geli luar biasa. Hingga akhirnya dia pun menje-
laskan tentang keberadaan Dewa Api.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nah.... Begitu kan lebih baik. Eh, ngomong-
ngomong, apakah kau habis makan jengkol, Botak?"
Wajah si Giok Selatan yang biasanya garang dan
memancarkan naluri membunuh, kini pias. Tak kuasa
lagi dia berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-benar
sudah terasa mati, akibat totokan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor berdiri.
"Botak! Kalau kau bohong, aku akan kembali lagi
ke sini untuk menjitak kepalamu yang seperti biji....
Ha ha ha...!"
Pendekar Slebor tak meneruskan pikiran joroknya.
Tiba-tiba saja diangkatnya tubuh si Giok Selatan.
Dan sekali lempar, tubuh itu menyangkut di rimbun-
nya pepohonan yang cukup tinggi. Wajah si Giok Sela-
tan benar-benar pucat. Dia tak berani melakukan apa-
apa, kalau tak ingin tubuhnya ambruk.
Pendekar Slebor tersenyum puas.
"Begitu lebih baik, kan?"
Lalu Pendekar Slebor berbalik pada si Caping
Maut dan Ratu Pelangi, dan bergerak menghampiri.
Terlihat sekali bagaimana Caping Maut kelihatan se-
makin menderita.
"Kau terluka, Orang Tua?"
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya. Pen-
dekar Slebor segera memeriksa lukanya. Setelah dite-
mukan di mana letak luka yang diderita, segera dialirkannya tenaga 'inti
petir'nya. "Untuk sementara kau tidak apa-apa, Orang Tua.
Tetapi, kau membutuhkan perawatan khusus. Bila sa-
ja terlambat, hawa panas yang menjalari tubuhmu
akan segera menghanguskan jantungmu," kata Pendekar Slebor, selang beberapa saat
dengan wajah berke-
ringat. Caping Maut menganggukkan kepalanya, merasa-
kan hawa panas yang menyerang tubuhnya tidak lagi
terlalu kuat. "Terima kasih, Pendekar Slebor...."
"Kau masih membutuhkan pertolongan yang lebih
dari yang kulakukan sekarang ini. Tetapi, maaf.... Ada masalah yang masih harus
ku selesaikan. Tetapi, per-cayalah. Setelah masalah ini selesai, aku akan mem-
bantumu untuk memulihkan kesehatanmu kembali...."
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
"Ini pun aku sudah bersyukur, Andika. Kami akan
menunggumu di sini."
Andika berdiri.
"Bila hawa panas itu menyerangmu kembali, kau
bisa menutup semua jalan darahmu. Lakukan tiga kali
setiap kali kau merasa kesakitan."
Si Caping Maut tersenyum lagi.
"Ini pun sudah cukup."
"Baiklah kalau begitu, aku harus menyelamatkan
nyawa dua orang gadis yang berada di tangan Dewa
Api. O ya, siapakah yang telah mengirimkan pukulan
maut kepadamu?"
"Malaikat Mata Satu."
*** 9 Tak ada yang mampu menahan guliran waktu.
Jadi sudah tiga hari Malaikat Mata Satu berada di ke-
diaman Dewa Api.
"Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Dewa Api, setelah Malaikat Mata Satu
menceritakan tentang
apa yang dilihat oleh mata batinnya.
Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya.
Rambutnya yang berwarna pirang berombak tergerai
saat kepalanya bergerak. Wajahnya boleh dibilang san-
gat mengerikan, dengan sebelah mata picak. Pakaian-
nya berwarna hitam.
"Pendekar Slebor tak lama lagi akan tiba di daerah ini, Dewa Api. Bidadari Bunga
Mawar sekarang dalam
keadaan sekarat. Begitu pula halnya Giok Selatan yang kau perintahkan membunuh
para tokoh dari golongan
putih." "Maksudmu, Giok Selatan pun dalam keadaan se-
karat?" tanya Dewa Api bernada tak yakin.
Sekali lagi Malaikat Mata Satu menganggukkan
kepalanya. "Bahkan, boleh dikatakan sudah lumpuh! Kalau-
pun bisa membebaskan diri dari totokan Pendekar
Slebor, seluruh urat-urat di tubuhnya tak akan bergu-
na lagi. Bahkan menurut penglihatan mata batin ku,
Pendekar Slebor telah mengobati si Camping Maut
yang kuhantam dengan 'Pukulan Kayangan'," lanjut lelaki menyeramkan ini.
Dewa Api menggertakkan giginya. Lagi-lagi Pende-
kar Slebor! Jadi selama ini dia salah mengira. Ru-
panya, Pendekar Slebor belum mampus seperti yang
dikatakan si Giok Selatan!
"Rasanya tak sabar aku untuk menghancurkan
Pendekar Slebor!" geram Dewa Api, seraya bangkit berdiri. "Kita harus berhati-
hati menghadapinya," ingat Malaikat Mata Satu.
Dewa Api melotot.
"Mengapa kau menjadi jerih dengannya, hah"!"
Malaikat Mata Satu menggelengkan kepalanya.
"Siapa pun akan kulumat, tak terkecuali Pendekar Slebor! Tetapi jangan lupa,
pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu juga memiliki senjata sangat ampuh."
"Hei! Tak pernah kudengar dia memiliki sebuah
senjata?" tukas Dewa Api dengan kening berkerut. Sedikit banyaknya hatinya
menjadi jengkel dengan kete-
rangan Malaikat Mata Satu yang dirasakannya bertele-
tele. Malaikat Mata Satu tersenyum. Tak dihiraukan-
nya pandangan Dewa Api yang melecehkannya.
"Kau salah, Dewa Api. Pendekar Slebor memiliki
sehelai kain pusaka yang aku yakin warisan Ki Sapta-
cakra. Kehebatan kain pusaka itu luar biasa. Senjata
jenis apa pun tak akan sanggup membuat rusak kain
bercorak catur itu."
"Hhh! Aku ingin melihat kehebatan kain pusaka
itu!" geram Dewa Api.
Tiba-tiba saja lelaki ini menggerakkan tangannya.
Seketika satu titik cahaya melesat dan melayang ke-
luar. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar
dan membentuk bola api raksasa, langsung membakar
hutan yang ada di dataran itu.
"Apakah dia mampu menghadapi ajian 'inti api'
milikku ini?"
Kembali Dewa Api menggerakkan tangannya. Ma-
ka sebuah angin kecil melesat, membentuk menjadi
angin laksana topan badai, lalu memadamkan api ber-
kobar itu seketika.
Malaikat Mata Satu yang duduk bersila di hada-
pannya hanya tersenyum saja.
"Kuakui kehebatanmu, Dewa Api. Akan kuperli-
hatkan kepadamu, kalau kau tak sia-sia mengajakku
untuk menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dewa Api tersenyum kecut.
"Dan akan kau lihat, betapa tingginya ilmuku
nanti!" serunya keras.
Malaikat Mata Satu cuma tersenyum saja.
*** "Sekarang bagaimana, Savitri?" tanya Menur pelan. Gadis ini sekarang ada teman.
Savitri! Gadis yang kini diketahui juga mencintai Pendekar Slebor. Savitri
menghapus air matanya. Wajahnya pucat pasi dengan
mata sembab. "Aku tidak tahu, Menur. Sungguh, aku tak meng-
harapkan semua ini terjadi. Bila saja Pendekar Slebor selalu berada di sisiku,
mungkin aku masih bisa dis-elamatkannya. Ah, apakah Pendekar Slebor akan me-
nyelamatkan kita?" desis Savitri pelan.
"Itu pasti. Aku yakin sekali," tegas Menur pula.
Lagi-lagi kini Menur disadarkan kalau ada dua
orang gadis yang mencintai Pendekar Slebor pula. Per-
tama Sari, yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Dan kedua, Savitri yang semalaman terus menerus
mengigaukan nama Pendekar Slebor. Bila sudah mera-
sakan hal ini, Menur menjadi ragu, apakah bisa men-
dapatkan Pendekar Slebor sebagai suaminya" Paling
tidak, menjadi kekasihnya"
Bila gagal, apakah Menur akan kembali mengha-
dap gurunya" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
menari-nari dibenaknya. Dan ia tak tahu harus memu-
tuskan bagaimana. Yang pasti, dalam keadaan terjepit
ini, dia memikirkan bagaimana caranya meloloskan di-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ri dari kurungan Dewa Api.
Savitri mengangkat wajahnya, menatap Menur.
Menur bisa melihat, betapa jelitanya gadis di hada-
pannya ini. "Aku sangat merindukannya, Menur" desis Savitri kemudian.
"Begitu pula denganku," desis Menur dalam hati.
Sudah tentu Menur tak mau memperlihatkannya. Ka-
rena, dia merasa lebih tabah daripada Savitri.
"Dia pasti merindukan mu pula, Savitri...," sahut Menur, sambil berusaha menahan
gejolak hatinya.
"Oh, benarkah hal itu?"
Menur menganggukkan kepalanya. Semakin de-
kat, dia bisa melihat binar-binar kebahagiaan di sepasang mata yang bening itu.
Justru hal ini semakin
membuatnya tak menentu saja.
"Kalau memang dia merindukan ku, mengapa
sampai saat ini belum tiba juga?"
Menur tak tahu harus menjawab apa.
"Barangkali, Kang Andika belum tahu di mana
tempat tinggal Dewa Api," kata Menur, untuk mengenakan hati Savitri.
Bukannya menjawab atau senang mendengar sa-
hutan Menur, justru Savitri mengangkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada Menur. Tentu saja Menur
menjadi risih. "Mengapa kau menatap ku seperti itu?"
"Menur..., apakah kau mengenal Kang Andika?"
Savitri malah bertanya.
"Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Menur
dengan debaran jantung semakin kencang.
"Pertama tadi, kau yakin sekali kalau Kang Andika akan menyelamatkanku.
Maksudku, kita. Kemudian,
kau tahu namanya."
"Maksudmu, nama siapa?"
"Pendekar Slebor. Sejak tadi aku tidak pernah
menyebut namanya, bukan" Lalu, tiba-tiba saja kau
menyebutkan namanya. Berarti, kau mengenalnya,
bukan?" Menur tersenyum sambil mencoba menenangkan
perasaannya sendiri. Bila saja keadaannya tidak seper-ti ini, sudah tentu dia
akan mengatakannya. Namun
bagi Menur, urusan pribadinya tidak terlalu dipentingkan, meskipun tahu kalau
gurunya tak akan pernah
mengizinkannya kembali ke tempat tinggalnya sebelum
bersama-sama Pendekar Slebor. Hatinya sudah cukup
bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia kare-
nanya. "Aku memang mengenalnya. Maksudku, sebatas
biasa saja. Lagi pula, siapa sih yang tak mengenal
Pendekar Slebor," kilah Menur, untuk mengenakan ha-ti Savitri lagi.
"Kapan kau pernah berjumpa dengannya?"
Menur menangkap nada cemburu dalam suara
itu. Dia yakin, betapa besarnya cinta Savitri terhadap Pendekar Slebor.
Lalu secara jujur Menur menceritakan perjum-
paannya dengan Pendekar Slebor. Tetapi sudah tentu,
urusan perjodohannya tak pernah diceritakannya.
"Kau sudah puas sekarang?" tanya Menur kemudian. Savitri tiba-tiba terdiam
sambil menundukkan kepala. "Menur..., apakah kau mencintai Kang Andika?"
tanya Savitri lirih.
Menur tertawa jengah.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Savitri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak,
tidak apa-apa."
Menur menepuk bahu Savitri lembut.
"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat saja. Kulihat Semalam kau kurang tidur."
Savitri hanya terdiam. Kelihatannya seperti tengah
berpikir keras.
"Percayalah dengan kata-kataku. Dan kupikir, se-
karang lebih baik kau tidur saja. Aku tidak ingin meli-hatmu terlalu banyak
memikirkan hal-hal yang menge-
rikan di depan mata kita," ujar Menur lagi.
Tetapi sebelum Savitri menjawab, pintu kamar itu
terbuka. Dewa Api muncul sambil terbahak-bahak.
"Rupanya kalian sudah mengakrabkan diri," kata Dewa Api dengan suara besar.
"Nah! Siapa di antara kalian yang ingin menghibur ku, lebih dulu?"
Mendengar kata-kata itu, Savitri langsung menje-
rit. Didekapnya tubuh Menur dengan wajah pucat.
"Manusia busuk! Ucapanmu sangat menjijikkan!"
maki Menur. Sepasang mata Dewa Api memerah penuh ama-
rah. "Aku tidak suka bertele-tele!"
Dewa Api mendekat. Tiba-tiba disentaknya tangan
Savitri. "Auuwww...!"
Gadis itu kontan menjerit-jerit ketakutan. Menur
langsung bangkit, langsung mengirimkan serangan-
nya. Tanpa diduga, Dewa Api mengibaskan tangannya
sekali. Wuuttt! Brak! Menur kontan terjungkal menabrak dinding.
"Terlalu percaya diri! Ha ha ha...! Ayo, Manis....
Berilah kenikmatan yang luar biasa padaku...!"
Savitri terus meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua
tangannya dan kakinya berusaha memukul dan me-
nendang. Jeritannya begitu keras. Tetapi menghadapi
tenaga kuat dari Dewa Api, akhirnya dia takluk juga.
Sementara itu, Menur hanya memperhatikan saja
dengan kepala pusing, akibat menabrak tembok tadi.
Perasaan ngeri dan takut mulai merayapi hatinya.
*** Dengan geram Dewa Api menghempaskan tubuh
Savitri ke ranjang di kamarnya. Gadis jelita itu beringsut dengan wajah pucat
dan ketakutan menjadi-jadi.
Dia seolah melihat seekor serigala buas yang perlahan-lahan mendekatinya.
Ketakutannya semakin menjadi-
jadi ketika Dewa Api membuka pakaiannya.
"Tidak usah takut! Layani aku. Atau, kubunuh
kau!" "Bunuh! Bunuh saja aku, Manusia Keparat!" seru Savitri, berbalut
kengerian. "Kurang ajar!"
Plak! Pipi mulus Savitri seketika memerah ketika mene-
rima tamparan Dewa Api. Savitri merasa kepalanya
oleng. Rasa pusing langsung menyengat.
Dan dengan geram Dewa Api menerkam tubuh
Savitri yang terus memberontak. Namun belum lagi
Dewa Api berbuat apa yang diinginkannya, tiba-tiba
saja.... "Ada murid murtad mencari celaka...!"
Terdengar sebuah suara bersenandung, membuat
Dewa Api langsung serentak bangkit. Matanya meme-
rah. "Rupanya manusia itu sudah hadir di sini!" desis Dewa Api.
Bergegas lelaki ini mengenakan pakaiannya kem-
bali, lalu meninggalkan Savitri yang menangis sambil
menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah com-
pang-camping akibat dirobek-robek Dewa Api.
*** 10 Dewa Api melangkah bergegas dengan amarah
membludak, keluar dari bangunan besar tempat ting-
galnya. Apa yang diperkirakannya memang benar. De-
wa Senandung telah tiba di tempatnya. Dan sekarang
sedang dikurung lima belas anak buahnya. Di hada-
pan mereka, berdiri Malaikat Mata Satu dengan kedua
tangan disatukan di dada.
"Akhirnya kau muncul juga, Murid Murtad!" desis Dewa Senandung begitu melihat
Dewa Api berdiri di si-si Malaikat Mata Satu. "Apakah kau bisa mengelabui mataku
dari ajian 'Bayangan Dalam Kabut' yang kau
pergunakan untuk menutupi tempat tinggal busukmu
ini" Ha ha ha.... Jangan terlalu mengkhayal! Sekarang,
orang tak berilmu pun bisa melihat bangunan busuk
ini!" "Orang tua keparat! Lebih baik menyingkir dari si-ni sebelum ku cabut
nyawamu!" bentak Dewa Api, geram. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Kali ini terasa lebih tidak enak didengarnya. Dan suaranya bagaikan sembilu yang
menyayat-nyayat telinga.
Rupanya, kali ini sebagian kecil tenaga dalamnya dis-
alurkan. Lima belas anak buah Dewa Api yang tak memiliki
tenaga dalam tinggi kontan bergeletakan dengan telin-
ga mengucur darah.
Melihat hal itu, Dewa Api menggeram marah. Ti-
ba-tiba saja tangannya mengibas.
Wuuuttt! Api besar bergulung-gulung langsung meluruk ke
arah Dewa Senandung. Namun si orang tua hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tiba-tiba tong-
kat kecilnya diangkat dan digerakkan beberapa kali.
Maka, api besar itu padam seketika.
"Rupanya kau sudah menguasai Kitab Ajian Geni."
"Dan kau akan merasakan kehebatannya, karena
sebentar lagi api ini akan menghanguskan tubuhmu!
Hiyaaa...!"
Dengan teriakan keras, Dewa Api menyerbu ke
arah Dewa Senandung yang masih bersenandung. Saat
menyerang nafasnya ditahan. Sebagai seorang murid,
sudah tentu dia tahu apa yang dimiliki gurunya. Tu-
buh Dewa Senandung bagaikan dilindungi sebuah ta-
meng yang sangat kuat dan besar, yang bisa memba-
likkan lawan melalui nafasnya. Bahkan mengirimkan
serangan balik melalui napas lawannya.
Tetapi kali ini Dewa Api harus menghindari karena
Dewa Senandung tahu kunci dari ilmunya itu. Tentu
saja, sebab ilmu itu pun dimiliki Dewa Senandung.
"Rupanya kau masih sayang nyawa tuamu itu,
Orang Tua!" ejek si Murid Murtad sambil terus melayang. Hawa panas yang keluar
dari tubuhnya sangat
luar biasa. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan bila mengenai tubuh lawan.
Sementara Malaikat Mata Satu pun sudah men-
gempos tubuhnya. Dikerahkannya ilmu-ilmu tingkat
tingginya untuk menggempur Dewa Senandung. Dan
akibatnya, si orang tua guru Dewa Api harus berlom-
patan untuk menghindari serangan.
Dewa Senandung tidak diberi kesempatan untuk
membalas. Dan Dewa Api pun sudah memberitahu
Malaikat Mata Satu agar menutup jalan nafasnya bila
sedang menyerang.
Tiga manusia yang bertarung benar-benar melebi-
hi seratus ekor banteng mengamuk. Tenaga-tenaga
sakti dan jurus yang aneh pun diperlihatkan. Saking
cepatnya, yang terlihat hanya kelebatan tubuh mereka
saja. Sementara setiap ledakan dan benturan terden-
gar bertambah keras, membuat suasana di halaman
depan bangunan itu bagai terjadi kiamat.
Di kamar Savitri masih mengisak dengan hanya
mengenakan pakaian compang-camping saja. Gadis ini
bangkit dari ranjang indah itu. Tetapi pantatnya kem-
bali lagi dihenyakkan ke ranjang dengan hati kecut.
Seolah baru disadari kalau di kamar itu tak ada jende-la. "Apakah Kang Andika
yang datang di luar sana?"
tanya batin gadis ini.
Begitu pula Menur, di ruang tahanannya. Gadis
itu terdiam beberapa saat.
"Kang Andika" Tetapi mengapa dia bersenandung
jelek seperti itu?" tanya gadis ini, mendesah.
Brak...! Saat gadis itu masih menebak-nebak siapa yang
datang, tiba-tiba saja pintu yang terbuat dari kayu jati itu jebol. Serpihan-
serpihannya berlompatan ke segala arah. Kalau saja Menur tidak sigap merunduk,
bisa dipastikan salah sebuah pecahan kayu jati itu akan me-
nancap di tubuhnya.
"Kang Andika!"
Dari rasa terkejut, Menur berubah menjadi peki-
kan gembira. Rupanya yang memecahkan pintu itu
adalah Pendekar Slebor.
Setelah Dewa Senandung memunahkan ajian
'Bayangan Dalam Kabut', dengan mudahnya Andika
menemukan tempat tinggal Dewa Api. Bergegas dis-
uruhnya Menur keluar. Bagaikan burung yang telah
lama diletakkan di dalam sangkar, gadis ini melompat
keluar. Dari sini bisa terlihat puluhan pengawal Dewa Api bergeletakan di
lantai. Andika nyengir begitu melihat pandangan mata
Menur padanya. "Terpaksa aku harus melakukannya. Menur, apa-
kah kau melihat seorang gadis yang bernama Savitri?"
tanya Andika. Meskipun Menur mendengar nada kecemasan da-
lam suara Pendekar Slebor. Saat menanyakan Savitri,
dia hanya menganggukkan kepala. Untuk saat ini, dia
memang tak perlu terlalu ingin dipermainkan pera-
saannya. Maka diceritakannya apa yang dialami Savi-
tri. "Kita harus mencarinya, mudah-mudahan belum terlambat," gumam Andika.
Lalu mendahului Menur, Pendekar Slebor berkele-
bat. diperiksanya setiap ruangan. Dan ketika tiba di-
depan kamar Dewa Api, pendengarannya yang tajam
mendengar suara isak.
"Savitri!" desisnya. Lalu diangkatnya tangannya yang telah terangkum tenaga
'inti petir', Dihantamnya pintu kokoh itu hingga jebol hancur berantakan.
Begitu melihat siapa yang muncul, Savitri lang-
sung melompat. Dirangkulnya Pendekar Slebor penuh
rasa haru dan rindu.
"Kang Andika...."
Andika mengelus rambut gadis itu saja. Sementa-
ra Menur membalikkan tubuhnya, menyembunyikan
rasa iri yang sudah bertalu-talu di hatinya.
"Tenanglah, kau aman sekarang. Menur, tolong
jaga Savitri. Aku masih harus membuat perhitungan
dengan Dewa Api."
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak
Menur melihat Andika sedang menatap mesra Savitri
yang mendongak dengan pancaran mata bahagia.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bersama Menur dulu, Savitri."
Savitri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebaiknya, kalian segera tinggalkan tempat ini.
Tunggu aku di suatu tempat yang aman," lanjut Pendekar Slebor.
Menur mengangguk.
"Baik! Kami menunggumu di jarak lima ratus
tombak sebelah timur dari bangunan ini, Kang Andi-
ka." Andika menganggukkan kepalanya. "Cepatlah!"
Pendekar Slebor melepas kepergian kedua gadis
itu berlari ke arah timur, dengan pandangan matanya.
Masih sempat dilihatnya Savitri meliriknya berkali-kali.
Diam-diam Andika menghela napas panjang. Urusan
percintaan nampaknya sudah mulai memasuki lagi da-
lam kehidupannya.
Tetapi Andika tak mempedulikan soal itu. Dengan
cepat tubuhnya berkelebat laksana angin keluar dari
bangunan. Sejak kemunculannya tadi, dia melihat ba-
gaimana Dewa Senandung terdesak oleh dua sosok tu-
buh yang penuh kegeraman.
Andika yakin, salah seorang dari mereka adalah
Dewa Api. Karena, pukulan-pukulan yang mengan-
dung hawa panas dan kobaran api selalu menderu-
deru keluar. Entah, siapa yang satunya lagi. Yang je-
las, matanya picak dan serangannya sangat berba-
haya. "Dewa Senandung! Biar si Picak bagianku...!" seru Pendekar Slebor keras sambil
meluruk, mengirimkan
pukulan tenaga 'inti petir'nya pada sosok yang tak lain Malaikat Mata Satu.
Dewa Senandung tertawa-tawa melihat Pendekar
Slebor mencecar Malaikat Mata Satu.
"Edan! Rupanya bocah slebor yang muncul!"
Mendengar kata-kata itu, Dewa Api menghentikan
serangannya pada Dewa Senandung. Matanya melihat,
bagaimana pemuda tampan berbaju hijau pupus den-
gan kain bercorak catur di lehernya sedang menyerang
Malaikat Mata Satu.
"Keparat!" dengusnya dalam hati. "Diakah si Pendekar Slebor?"
Tetapi Dewa Api tak sempat untuk meneruskan
pertanyaan-pertanyaan di benak, karena dirasakannya
satu serangan tanpa wujud menderu ke arahnya.
"Orang tua keparat! Rupanya kau benar-benar in-
gin mampus!" bentak Dewa Api.
Dewa Senandung mengeluarkan senandung kecil-
nya yang benar-benar tidak merdu. Begitu senandung-
nya keluar, Dewa Api merasakan gerakan tubuhnya
bagai terhambat, berubah menjadi lamban!
"Senandung Membalik Sukma!" bentak Dewa Api sambil bersalto ke belakang. Kedua
kakinya dibuka dan tangannya disatukan di dada. "Jangan kau pikir aku tak bisa menghancurkan
jurusmu itu, Orang Tua!"
"Siapa yang berpikir seperti itu?" tukas Dewa Senandung tetap bersenandung
seperti tadi. Dan mendadak saja si orang tua menghentikan
senandungnya, ketika merasakan sebuah benda bagai
dinding tebal menderu ke arahnya. Lalu, tahu-tahu
tangannya yang memegang tongkat kecil bergerak.
Blarrr...! Terdengar suara bagaikan ledakan keras! Seolah
ada yang dihantam Dewa Senandung.
"Tidak tahu malu! Kau menyerangku dengan ilmu
yang kuajarkan!" maki Dewa Senandung. Dan tubuh-
nya tiba-tiba meluruk.
Kembali dua sosok guru dan murid itu saling se-
rang dengan ajian-ajian tingkat tinggi.
Dewa Api pun menyerang dengan jurus-jurus api
nya yang benar-benar luar biasa. Kelihatan sekali kalau Dewa Senandung terdesak.
Si Orang tua ini beru-
saha menerobos setiap pusaran api bekas muridnya.
Namun, setiap kali bergerak, tubuhnya terasakan ba-
gaikan terbakar.
Melihat hal itu Dewa Api terbahak melecehkan.
"Lebih baik bunuh diri saja, Orang Tua! Daripada tubuhmu hangus!"
"Enak saja ngomong!" maki Dewa Senandung padahal sudah terdesak sekali.
Dan sebelum akibat yang parah dari setiap seran-
gan yang dilakukan Dewa Api, mendadak saja tubuh
Dewa Senandung bagaikan kilat berkelebat ke sana
kemari. Dari mulutnya keluar hembusan angin lembut
ke arah api yang menjilat-jilat.
Sungguh luar biasa. Hembusan angin itu sebe-
narnya sangat pelan. Tetapi bukan hanya bisa mema-
damkan api yang mengarah kepadanya, melainkan
membalikkan kepada pemiliknya!
Dewa Api memekik terkejut. Cepat tubuhnya ber-
gulingan menghindari serangan balik itu.
"Nah! Jangan heran, Dewa Busuk! Bukankah kau
ingat, kalau seorang Guru mempunyai naluri sangat
tajam pada setiap muridnya" Bila diperkirakan murid-
nya akan menjadi golongan lurus, maka dia tak akan
segan-segan menurunkan seluruh ilmunya! Tetapi
kau, ha ha ha...! Sudah nampak sekali dari pancaran
matamu kalau suatu saat kau akan membokongku!"
Dewa Api menggeram tak karuan. Api-api yang di-
keluarkannya yang membuat tempat itu bertambah te-
rang dan beberapa pohon terbakar, tak lagi mampu
mendekati Dewa Senandung. Bahkan kembali menye-
rang ke arahnya!
Menyadari hal itu, Dewa Api pun memutuskan
untuk sementara menghentikan serangan mengguna-
kan jurus-jurus apinya. Tubuhnya pun melenting ke
arah Dewa Senandung yang juga menghempos tubuh-
nya dengan kecepatan sama.
Plarrr...! Meskipun Dewa Senandung memiliki tenaga da-
lam sangat tinggi, namun saat bentrokan dengan Dewa
Api, dia bisa merasakan kalau tulang tangannya terasa mau patah. Rupanya, jurus-
jurus dari Kitab Ajian Geni yang dicuri dan dipelajari Dewa Api benar-benar
sudah menyatu. Sehingga, tenaga dalamnya pun berubah
menjadi hembusan angin sangat panas.
Menyadari hal itu, Dewa Api pun menyerbu mem-
babi buta. 11 Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Sle-
bor melawan Malaikat Mata Satu semakin seru. tenaga
'inti petir' tingkat pamungkas milik Pendekar Slebor
pun tak mampu menembus setiap pertahanan sekali-
gus penyerangan Malaikat Mata Satu.
"Rupanya kehebatan Pendekar Slebor hanya
omong kosong belaka!" ejek Malaikat Mata Satu dengan serangan-serangan aneh.
Setiap kali menyerang,
hembusan angin bak topan prahara menderu. Dan
yang anehnya, setiap kali Andika berhasil menghindari serangan, hembusan angin
kuat itu berbalik lagi ke
arahnya. "Busyet! Jurus apa ini?" makinya blingsatan.
Pendekar Slebor pun merangkum ajian 'Guntur
Selaksa'nya. Kedua tangannya dihantamkan ketika
angin keras serangan Malaikat Mata Satu berbalik ke
arahnya. Blarrr...! Terdengar suara bagai ledakan yang sangat keras.
Angin keras itu bagai terpecah-pecah. Karena tiba-
tiba saja tiang bangunan besar milik Dewa Api roboh, dis-
usul suara bergemuruh lain yang dahsyat.
Malaikat Mata Satu terbahak-bahak melihat hal
itu. "Kau hanya melihat sebagian kecil saja dari ilmuku, Pendekar Slebor!"
Andika menggerutu. Sebagian kecil" Busyet!
Apa ada lagi yang lebih besar"
"Paling-paling hanya pantas untuk membakar
sate!" selorohnya sambil mempersiapkan diri.
Wajah Malaikat Mata Satu memerah. Dari mu-
lutnya keluar suara bagai desisan seekor ular naga.
"Coba lihat jurusku yang satu ini. Kau akan
tersiksa seumur hidupmu seperti yang dialami si Cap-
ing Maut!" geram lelaki bermata picak ini.
Andika seketika terdiam mendengar kata-kata
itu. Si Caping Maut" Dan tiba-tiba saja, dia teringat penjelasan si Caping Maut,
kalau terkena pukulan hebat dari Malaikat Mata Satu. Apakah manusia ini yang
berjuluk Malaikat Mata Satu" Otaknya yang cerdik itu
pun mulai bisa menebak, siapa lawannya. Tetapi Andi-
ka bukanlah orang yang pengecut. Keberaniannya
mampu membuatnya terjun ke kawah gunung merapi
yang membludak, bila memang perlu.
"Hei, Picak! Hati-hati! Jangan-jangan matamu
yang sebelah lagi malah kubuat picak pula!" ejek Pendekar Slebor sambil
mengangkat alisnya berkali-kali.
Kegeraman membias di wajah Malaikat Mata Satu.
Tiba-tiba saja kedua tangannya diputar ke atas dan ke bawah. Lalu, terasa satu
sentakan panas-dingin menderu-deru.
Andika pun mempersiapkan dirinya lagi dengan
ajian 'Guntur Selaksa'. Dalam sekali lihat saja, dia yakin kalau jurus yang akan
dipergunakan Malaikat Ma-
ta Satu teramat dahsyat.
Apa yang diperkirakan Pendekar Slebor memang
benar. Karena kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-
kan ini harus dibuat pontang-panting oleh serbuan-
serbuan Malaikat Mata Satu yang benar-benar luar bi-
asa. Benda apa saja yang terkena sambaran pukulan-
nya, terbang jauh dan jatuh ke bumi. Bahkan pohon
besar yang banyak tumbuh di sana pun tercabut begi-
tu saja, bagai ada tangan raksasa yang menggerak-
kannya. "Mana nama besarmu, Pendekar Slebor"!" ejek
Malaikat Mata Satu.
"Kira-kira besar mana dibanding biji mu, ha ha
ha...!" Diejek seperti itu membuat Malaikat Mata Satu
semakin geram. Seketika kembali dia menyerang ga-
nas, sampai Andika kalang kabut dibuatnya. Bahkan
yang membuatnya sempat kalut, ajian 'Guntur Selak-
sa' Pendekar Slebor tak mampu menghalangi serangan
Malaikat Mata Satu! Tubuhnya dua kali terbawa puku-
lan maut lelaki bermata picak itu. Bahkan membuat
dadanya terasa bagaikan dihantam godam. Dari hi-
dungnya pun, tanpa permisi darah mulai mengalir. Ka-
sihan, Andika. Selagi nyawa Pendekar Slebor benar-benar teran-
cam, tiba-tiba....
Srattt! Andika telah meloloskan kain pusakanya yang
bercorak catur. Seketika dihantamnya angin besar dari serangan Malaikat Mata
Satu dengan kain pusakanya.
Duarrr...! Terdengar ledakan dahsyat. Angin serangan Ma-
laikat Mata Satu pun punah.
Melihat sehelai kain bercorak catur di tangan Pep-
dekar Slebor, wajah Malaikat Mata Satu menjadi pias.
Senjata itulah yang ditakutinya. Karena, angin
yang ditimbulkan kain pusaka itu membuat pengliha-
tannya yang hanya sebelah hampir tak berguna.
Andika pun menyadari keterkejutan Malaikat Ma-
ta Satu. Maka, tanpa buang tempo lagi, tubuhnya me-
luruk sambil mengibaskan kain warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wuuttt...! Angin yang menderu laksana topan prahara men-
gacaukan penglihatan Malaikat Mata Satu.
Keadaan kini berbalik. Kalau tadi Malaikat Mata
Satu berada di atas angin, justru sekarang terdesak.
Andika sendiri tak ingin memberikan kesempatan lagi.
Setiap kali kain pusakanya dikibaskan, suara bagaikan dentuman keras terdengar.
Plasshhh...! Sesuatu yang di luar dugaan Andika pun terjadi.
Tiba-tiba saja, tubuh Malaikat Mata Satu lenyap!
"Busyet!" maki Andika sambil celingukan. "Ilmu iblis apa lagi yang
dipergunakannya?"
"Hari ini aku mengaku kalah, Pendekar Slebor! Tetapi, tunggu! Suatu saat, aku
akan datang lagi untuk
membuat perhitungan!" terdengar suara Malaikat Mata Satu.
"Pengecut! Kenapa tidak sekarang saja" Ayo, ke-
luar kau!"
Hanya suara terbahak yang menggema di siang
bolong itu. Selebihnya, lenyap. Yang terdengar hanya-
lah dua sosok tubuh yang saling gempur.
Andika merutuk-rutuk sendiri sambil memperha-
tikan bagaimana Dewa Senandung saat ini sedang
mendesak hebat Dewa Api. Namun meskipun demi-
kian, Dewa Api belum kelihatan kalah. Bahkan bisa
membalas pula dengan jurus-jurus yang benar-benar
aneh. "Banyak sekali rupanya jurus di dunia ini...!" desah Andika.
Pertarungan antara Dewa Senandung dan Dewa
Api sudah melewati hampir seratus jurus. Namun ke-
duanya belum kelihatan ada yang menyerah.
Andika melihat pakaian Dewa Senandung sudah
tidak karuan lagi bentuknya. Sebagian sudah hangus
tersambar api yang dilepaskan Dewa Api.
Crap! Tiba-tiba saja Dewa Senandung menancapkan
tongkat bambu kecilnya ke tanah di hadapannya. Bu-
kan hanya Dewa Api saja yang heran melihat apa yang
hendak dilakukan bekas gurunya. Andika pun sampai
mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang pendekar, Andika tidak mengin-
ginkan pertarungan yang tidak jujur. Makanya, sejak
tadi hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan.
Bila Dewa Senandung sudah terdesak, barulah dia
akan menyerang Dewa Api.
"Apalagi yang hendak kau lakukan, hah"!" bentak Dewa Api dengan hati bertanya-
tanya.
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya
lagi. "Bila kau takut, lebih baik pukul kepalamu sendiri" "Setan alas! Kau harus
mampus, Orang Tua!"
Kembali Dewa Api meluruk ke arah Dewa Senan-
dung. Namun orang tua itu tak bergerak sedikit pun
dari tempatnya.
Justru Andika yang memekik. Dia hampir saja
berkelebat untuk memapaki serangan Dewa Api. Na-
mun keanehan pun terjadi. Karena tiba-tiba saja,
tongkat kecil yang menancap di tanah itu mendadak
menjulang. Lalu bagaikan sebuah benda lentur, lang-
sung menghantam kepala Dewa Api.
Tak! Si Murid Murtad kontan tersuruk ke belakang.
Kepalanya berdarah.
Sementara tongkat yang mendadak menjulang
pun mengecil kembali seperti sediakala.
"Rupanya kau masih mempunyai ilmu-ilmu sim-
panan, Orang Tua!" maki Dewa Api geram.
Kembali si Murid Murtad berkelebat sambil men-
gerahkan jurus-jurus apinya yang dahsyat. Namun la-
gi-lagi dia harus tersuruk ke belakang, karena tongkat kecil itu mendadak
menjulang dan menghantamnya.
Yang lebih mengejutkan, tongkat itu tidak musnah ter-
kena sambaran api yang berkobar!
Sebenarnya, itu bukanlah ajian pamungkas milik
Dewa Senandung. Lelaki tua ini hanya menerapkan
ajian 'Balik Mata'nya saja, yang mempergunakan ke-
kuatan mata untuk mengelabui pandangan mata la-
wan. Sebenarnya sejak tadi tongkat kecil itu tetap menancap di tanah, tidak
menjulang tinggi seperti yang
dilihat Dewa Api ataupun Pendekar Slebor. Kalaupun
hal itu terjadi, karena keduanya telah terkena ajian
'Balik Mata' yang dikerahkan Dewa Senandung.
Dewa Api benar-benar ngotot. Dia berusaha untuk
menerobos masuk pada pusaran tongkat kecil yang di-
lihatnya bisa menjulang tinggi. Tubuh dan kepalanya
berkali-kali terkena sambaran tongkat membuatnya
terkadang menjerit setinggi langit.
"Setan alas!" makinya sambil berdiri tegak. Dan mendadak Dewa Api menggosok
kedua tangannya. Seketika sebuah titik cahaya keluar dari tangan itu. Inilah
jurus 'Api Neraka' yang sangat dahsyat. Setitik cahaya itu bergerak meliuk-liuk
ke arah Dewa Senan-
dung. Dan tiba-tiba, titik cahaya itu menjadi kobaran api raksasa!
Andika melihat bagaimana Dewa Senandung ber-
lompatan menghindari kobaran api itu.
Sementara, Dewa Api terus terbahak-bahak.
Dalam sekali lihat saja Pendekar Slebor yakin De-
wa Senandung tak akan mampu menghindari seran-
gan api raksasa itu. Andika merasa harus melakukan
sesuatu. Dengan cepat Andika bergulingan melewati koba-
ran api raksasa yang menderu ke arah Dewa Senan-
dung. Lalu dengan satu sontekan keras disambarnya
kaki lelaki tua ini.
Tak! Bruk! Dewa Senandung jatuh bergulingan dan luput dari
sambaran api raksasa itu.
Meskipun diselamatkan Andika, tetapi orang yang
diselamatkan justru ngomel-ngomel dengan gaya ber-
senandung. Pendekar Slebor tak meladeni, karena ko-
baran api raksasa itu kembali menderu-deru ke arah
mereka. "Heaaau!"
Dengan nekat dan tak memperhitungkan kesela-
matan dirinya, Andika menerjang api raksasa itu den-
gan sambaran kain pusaka warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wut! Wut! Wut! Tiga kali Pendekar Slebor menggerakkan tangan-
nya, tiga kali api raksasa itu tersambar dan berpentalan hingga kembali membakar
pepohonan. Satu penta-
lan api membakar atap bangunan kediaman Dewa Api
yang sebagian sudah runtuh. Hawa panas sudah men-
deru-deru di sekitar sana. Kobaran demi kobaran api
telah membakar hampir di seluruh tempat itu.
Betapa murkanya Dewa Api melihat Pendekar Sle-
bor menghancurkan serangan 'Api Neraka' miliknya.
Baru disadari kini kalau kain pusaka bercorak catur
itulah yang sempat membuat Malaikat Mata Satu jeri.
Dan yang membuatnya jengkel, dengan pengecutnya,
Malaikat Mata Satu telah tak terlihat batang hidung-
nya, alias kabur.
Menyadari kalau tak akan mampu menghadapi
keduanya, diam-diam Dewa Api pun bermaksud mela-
rikan diri. Tetapi, Andika yang sudah mencium gelagat, langsung bergerak dengan
kebutan-kebutan kain pusakanya. Akibatnya Dewa Api dibuat menjadi kalang
kabut. Pada satu kesempatan, Andika berhasil menyam-
barkan kain pusakanya ke dada Dewa Api.
Lelaki ini terjajar. Dadanya tergores mengeluarkan
darah. Dalam keadaan demikian Pendekar Slebor
kembali mengebutkan kainnya.
Wuuut! Krak! "Aaah"
Dewa Api meraung setinggi langit ketika tangan-
nya tersambar kain pusaka Andika. Bukan hanya
sampai di sana saja penderitaan yang dialaminya. Ka-
rena kaki Andika tiba-tiba memapas kaki kanan Dewa
Api. Krak! Bruk! Seketika sambungan tulang di kaki Dewa Api pa-
tah. Kali ini keseimbangannya sudah benar-benar hi-
lang hingga terpuruk di tanah.
Pada saat Dewa Api jatuh bersimpuh, Andika
mengibaskan kain pusakanya.
Wuuut! Tak! Prak! Kaki kiri dan sebelah tangan Dewa Api pun patah
akibat sambaran kain pusaka milik Andika. Kini, lelaki itu bagaikan sosok lumpuh
yang bersimpuh tanpa bisa
berbuat apa-apa lagi.
Ketika Andika hendak menghabisi nyawa Dewa
Api.... "Tahan!" cegah Dewa Senandung. Andika mengu-
rungkan niatnya, menatap heran pada Dewa Senan-
dung yang sedang berdiri. . Dewa Senandung melang-
kah mendekati Andika. Agak sempoyongan.
"Terlalu enak untuknya bila mati sekarang. Biar-
kan dia hidup, karena tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan patahnya seluruh tulang pada kedua kaki dan
tangannya, maka seluruh ilmu yang dimilikinya pun
lumpuh seketika," jelas si orang tua.
Andika menganggukkan kepalanya. Baru dirasa-
kannya betapa letihnya dia. Seluruh tenaganya bagai-
kan terkuras. "Murid laknat...! Di mana kau sembunyikan Kitab
Ajian Geni itu?" tanya Dewa Senandung dengan keleti-han teramat sangat.
Meskipun dalam keadaan tak berdaya, kesombon-
gan Dewa Api masih mengental dalam hati.
"Carilah di neraka sana! Karena, kitab itu sudah ku bakar habis!" sahut Dewa
Api, kasar. Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Terlihat kegeramannya mendengar kata-kata Dewa
Api. "Kekeras kepalaanmu sudah tak ada gunanya.
Dengan kelumpuhanmu seperti itu, kau akan menjadi
orang yang paling tersiksa sepanjang hidupmu...:"
"Peduli setan dengan ucapanmu itu, Orang Tua!"
Dewa Senandung menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. "Tak guna memang berbicara denganmu. Tetapi
sebagai seorang Guru, aku memaafkan seluruh tinda-
kanmu. Karena, kau telah mendapatkan balasan atas
perbuatan hina mu itu," ucap Dewa Senandung lalu berpaling pada Pendekar Slebor.
"Terima kasih atas bantuanmu, Andika...."
Andika menganggukkan kepalanya. Merasa terha-
ru melihat kebesaran hati Dewa Senandung. Lelaki ini
mau memaafkan murid murtadnya yang hampir saja
membunuhnya. "Aku pun senang bertemu denganmu, Orang Tua".
"Mudah-mudahan, kita bertemu lagi," kata Dewa Senandung lagi.
Lalu dengan perlahan dan ringannya Dewa Se-
nandung mencabut kembali tongkat bambu kecilnya.
"Andika, jangan lupa.... Kau ditunggu tiga orang gadis sekarang ini...."
Seperti baru teringat akan Menur dan Savitri, An-
dika menepuk keningnya.
"Mengapa bertiga, Orang Tua?"
"Karena..., seorang berbaju harimau pun telah
berkumpul dengan mereka."
Lalu seolah tanpa ada kejadian apa-apa, Dewa
Senandung melangkah meninggalkan tempat itu, tetap
dengan senandungnya yang tak enak didengar.
Andika menghela napas panjang. Tiga orang ga-
dis" Ah, persoalan cinta seperti inilah yang selalu
membuatnya pusing. Selalu membuatnya tak mengerti
bagaimana mencari jalan keluarnya.
Andika tahu, ketiga gadis itu mencintainya. Dan
bukan karena Andika sok, tetapi hatinya benar-benar
tak punya niatan untuk memilih salah seorang dari
mereka. Namun sekarang, bagaimana ketiga gadis itu
harus dihadapi, sementara cinta tak pernah terpatri di hatinya terhadap salah
seorang dari mereka.
Andika mendesah sembari menatap langit yang
mulai secerah jingga. Matahari sudah mulai bergulir
dan senja sudah menurun.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menghadapi
ketiganya," tegas Andika pelan.
Tiba-tiba Pendekar Slebor urung melangkah. Lalu
dihampirinya Dewa Api. Kepalanya menggeleng-geleng.
Dan... Tak! Tangan Andika menjitak kepala Dewa Api.
Dan dengan bersiul kecil, Andika meninggalkan
Dewa Api yang memandangnya penuh kegeraman.
Namun semakin lama, tatapan itu menurun. Kegaran-
gannya hilang. Dan dia benar-benar menyadari kalau
kelumpuhan sudah di ambang mata.
Hidup tak ada gunanya lagi bagi Dewa Api.
"Heek...!"
Mendadak saja, lelaki ini menekan mulutnya. Mu-
lutnya meringis. Ketika mulutnya terbuka, dari sana
keluar darah kental yang cukup banyak. Rupanya,
manusia itu terlalu pengecut dalam menjalani hidup-
nya yang sekarang. Dia lebih rela mengambil tindakan
bunuh diri! *** 12 Apa yang dikatakan Dewa Senandung ternyata
benar. Lima ratus tombak sebelah timur dari bangu-
nan milik Dewa Api yang kini telah hancur termakan
api, telah menunggu tiga orang gadis. Ketiganya sama-
sama jelita. Sukar kalau disuruh memilih salah satu.
Sari memang berada di sana. Gadis berbaju dari
kulit harimau ini telah tiba tak jauh dari bangunan besar itu bersama
tunggangannya. Tadi waktu menuju ke
tempat ini, dari kejauhan dia melihat api besar menjilat-jilat. Dengan cepat si
Belang diperintahkan untuk segera mendatangi tempat itu. Namun begitu bergerak,
satu panggilan terdengar.
Dan Sari terkejut bercampur gembira ketika meli-
hat Menur bersama Savitri berada di balik sebuah po-
hon besar. Dari Menur lah Sari tahu keadaan Andika
sekarang. Memang, ada keinginan untuk membantu
Andika. Tetapi sudah tentu Sari menjadi tidak enak.
Memperlihatkan perasaannya pada dua gadis yang di-
yakini memiliki perasaan sama dengannya, sungguh
tidak enak. Makanya, dia pun bersedia menunggu An-
dika. Andika mendesah masygul menyadari kalau harus
menghadapi masalah yang paling pelik dalam hidup-
nya. Sesaat, dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi ketika dirinya muncul,
ketiga gadis ini meneriakkan
namanya dalam waktu yang bersamaan. Namun,
hanya Savitri yang berlari merangkulnya.
Andika gelagapan sejenak. Lalu, diajaknya Savitri
untuk mendatangi Menur dan Sari. Kedua gadis ini
saling berpandangan dengan wajah jengah, karena
meneriakkan nama yang sama.
"Bagaimana keadaan di sana, Kang Andika?"
tanya Menur membuat suasana tidak kaku.
Andika tersenyum. Sementara Savitri menggan-
deng tangannya penuh kegembiraan.
"Semua sudah berakhir. Malaikat Mata Satu ber-
hasil melarikan diri."
"Manusia keparat itu sudah mampus, Kang Andi-
ka?" tanya Savitri penuh gembira.
Andika mengangguk.
"Apa kabarmu, Sari?" sapa Pendekar Slebor. Sari gelagapan sejenak. "Aku...,
baik-baik saja."
Andika berusaha mencari sela yang tepat untuk
membicarakan persoalan yang diam-diam membuat-
nya gelisah. Akhirnya diputuskannya untuk berbicara.
"Kulihat, kalian sudah aman dan selamat. Tak ku-
rang suatu apa. Lebih baik, kita berpisah saja dulu".
"Kang!" seru Savitri terkejut.
Andika tersenyum.
"Savitri.... Kehidupanmu sudah aman. Tak ada la-
gi manusia jahat seperti Dewa Api yang akan meng-
ganggu kehidupanmu."
"Tetapi, Kang.... Bukankah Kang Andika tahu ka-
Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lau hidupku seorang diri di dunia ini?"
"Ya! Dan aku yakin, kau bisa memulai hidupmu
itu, bukan?"
Sedikit banyaknya Savitri tahu, secara tidak lang-
sung Andika berkata memang mereka harus berpisah.
Hati gadis itu menjadi sedih. Rasa cintanya pada Pen-
dekar Slebor yang sudah semakin dalam, justru tera-
duk-aduk tak menentu.
Tiba-tiba saja gadis itu berlari sambil menangis.
Sari yang diam-diam semakin yakin kalau Andika
menganggapnya tak lebih dari yang diharapkannya,
segera menaiki si Belang.
"Kang Andika dan Menur! Biar aku mengejar Savi-
tri! Akan kuajak dia tinggal bersamaku!" kata Sari.
Seketika gadis ini menghentak si Belang yang ber-
lari bagaikan melompat. Di hatinya pun dirasakannya
puing-puing yang mulai berserakan. Sari tidak tahu
kapan akan menata kembali menjadi bangunan utuh
dalam hatinya. Kini tinggal Menur yang kelihatan serba salah. Ti-
ba-tiba benaknya teringat akan gurunya. Ah! Apakah
dia memang tak akan bisa lagi kembali kepada gu-
runya" Bukankah sudah jelas Kaliki Lorot tak akan
mau menerimanya lagi sebelum berjodoh atau pulang
bersama Pendekar Slebor"
Namun saat ini, hanya tinggal mereka berdua sa-
ja. Maka gadis itu pun mengutarakan apa yang ada di
hatinya. Andika mendesah pendek. Tepat seperti yang di-
perkirakannya. Kemunculan Menur pasti ada hubun-
gannya dengan perjodohan yang dilakukan Kaliki Lo-
rot. "Menur..., aku tahu. Hal itu sangat berat. Aku ta-hu, bagaimana kekeras
kepalaan gurumu itu. Tetapi
kau tidak usah takut untuk kembali kepadanya...,"
ujar Andika pelan.
"Tetapi...."
"Percayalah kepadaku.... Dia tak akan marah."
Menur mengangkat wajahnya. Andika bisa melihat
tatapan dari hati yang tercabik-cabik.
"Kang Andika, aku sangat mengenal guruku."
"Aku tahu."
"Dan dia tetap tak akan mau menerimaku bila ti-
dak datang bersamamu."
"Inilah yang repot, bukan" Tetapi, Menur.... Bu-
kan maksudku untuk menolak perjodohan itu. Hanya
saja, kita masih membutuhkan waktu yang sangat
panjang. Mungkin terlalu panjang. Bukankah kau tahu
sendiri, dua hati yang bertaut belum tentu bisa menja-di satu. Apalagi, orang
semacam kita. Aku tahu kau tidak mencintai ku, bukan" Begitu pula denganku. Dan
untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, kita harus
menunggu waktu," papar Andika sambil memegang
kedua tangan Menur. Dia sengaja mengatakan, kalau
Menur tidak mencintainya.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Getaran suara
sumbang mengalun di hatinya. Sangat tidak merdu
dan menyiksanya. Tetapi dia adalah gadis tegar. Gadis yang berani menghadapi
segala macam tantangan.
Kembali diangkatnya kepalanya.
"Mungkin kita memang membutuhkan waktu,
Kang...," kata Menur, bergetar.
Andika tersenyum. Dikecupnya pipi Menur yang
seketika menjadi merah dadu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Sekarang, kem-
balilah kau ke gurumu."
Menur tak menjawab.
"Aku harus mengobati si Caping Maut yang luka
akibat pukulan Malaikat Mata Satu. Menur, bila kita
memang berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu lagi.
Dan kita bisa memulainya, bukan?"
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Perla-
han-lahan dirasakannya genggaman Andika melemah
dan terlepas. Lalu....
Wuuuttt! Tubuh tegap berpakaian hijau pupus itu berkele-
bat meninggalkan Menur yang kini menundukkan ke-
palanya. Kini dia tahu, cintanya jelas-jelas tak terbalas. Dan satu hal yang
merisaukannya, adalah tentang
gurunya. Dan Menur bertekad untuk tidak kembali kepada
gurunya, sebelum datang bersama Pendekar Slebor.
Lalu dengan hati masygul, gadis ini pun melang-
kah ke arah selatan. Entah ke mana. Yang pasti, hen-
dak menenangkan dirinya untuk saat ini.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Pukulan Naga Sakti 17 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Si Pemanah Gadis 6