Geisha 2
Pendekar Slebor 26 Geisha Bagian 2
Hiroto menggeleng.
"Tampaknya anakku telah diculik oleh perkumpulan Imada-Tong," keluh Hiroto
pekat. Rahang Pendekar Slebor bergemeletuk. Geram
sekali anak muda itu dengan tindakan pengecut seperti yang dilakukan musuh-musuh
Hiroto. Menculik seorang bocah tak berdaya" "Slompret bau pesing!" makinya dalam
hati. "Apa kau punya gagasan yang baik, Andika San?"
tanya Hiroto kemudiaa
Andika mengangguk.
"Bagaimana?" susul Hiroto. Berharap sekali lelaki itu kawan dari negeri jauh di
depanhya akan memberjkan satu jalan pemecahan untuk mengem-*Jbalikan Akimoto.
"Saat kau mencari Akimoto, aku berhasil melumpuhkan salah seorang anggota kunyuk-kunyuk itu.
Kini dia kusembunyikan di tempat yang aman. Bagaimana kalau
kita mengorek keterangan darinya?" Hiroto menggelengkan kepala lunglai.
"Percuma, Andika San." "Kenapa?"
Hiroto menghela napas sarat-sarat
"Apa kau pernah melihat tindakan mereka dalam keadaan amat terdesak?" Lelaki itu
malah mengajukan pertanyaan balik kepada Andika.
"Ya Pernah kulihat dua orang dari menikam perut sendiri dengan pedang pendek
saat tahu aku akan menangkap mereka. Saat itu aku sedang berusaha
menolong Jotaro," tutur Andika, mengenang kejadian belum lama. "Apa mereka itu
semacam orang sinting?"
Andika bertanya dengan nada meng-umpat.
Hiroto menggeleng.
"Bukan. Sama sekali bukan. Mereka adalah orang-orang yang menganut jalan
bushido. Bagi mereka tujuan lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Sayang,
tampaknya mereka berada di dalam kesesatan...."
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Apa pun yang dikalakan teman Nippon nya,
dalam hati dia tetap menyumpahi orang-orang itu dan menyebutnya slompret bau
pesing! "Membuang nyawa untuk tujuan yang bodoh!" maki Andika.,
"Itu menurutmu.
Keyakinanmu tentu berbeda
dengan mereka. Menurut mereka, itulah kebanggaan dan kehormatan tertinggi yang
lebih dari nyawa."
Kalau bicara soal keyakinan, Andika hanya bisa
mcngangkat bahu.
"Jadi apa yang akan kita lakukan, Hiroto?" Andika mengembalikan pembicaraan.
"Kupikir, aku tahu siapa yang mengatur ini semua...,"
gumam Hiroto, seakan dia sedang berbicara pada diri sendiri.
"Ada satu hal yang belum kau katakan padaku?"
"Ya Tapi aku tak bisa menjelaskan padamu
sekarang. Aku harus segera pergi mencari Akimoto."
"Kalau begitu, aku akan membantumu!"
"Dengan hormat, kuminta kau tak ikut campur dalam
urusan ini. Ini hanya urusan permusuhan keluarga yang terus berlanjut
membosankan." sergah Hiroto.
"Tapi aku ini kawanmu, Hiroto. Kawan macam apa yang membiarkan sahabatnya berada
dalam ke-sulitan.
Sementara kau menghadapi maut., apa aku harus
beruncang-uncang kaki?" debat Andika. Sama sekali dia tak setuju penolakan
Hiroto. "Mengertilah Andika San...."
"Aku tak mengerti!" terabas Andika.tak mau tahu.
Orang negeri.Sakura ini memiliki tabiat keras. Tapi si anak muda Tanah Jawa bisa
tak kalah keras. Kalau tak kepala batu, mana mungkin dia masih bisa dijuluki
Pendekar Slebor"Sayang, sifat keras Andika tak berguna menghadapi tekad Hiroto.
Andika akan sia-sia bersikeras. Ibarat memecah karang dengan palu kayu!
"Aku menjunjung tinggi kehormatanku, Andika San.
Kalau kau turut campur dalam masalah ini, aku akan sangat dipermalukan. Kuundang
kau ke sini bukan untuk susah demi aku...," tegas Hiroto. "Apa pun yang kau
katakan, sekali lagi aku minta dengan sangat hormat Andika San. Biarkan aku
sendiri yang menyelesaikan perkara ini," tandas Hiroto.
Hiroto pergi. Andika cemberut. Dia jelas tak bisa memaksa untuk mendampingi lelaki itu.
Mungkin ini masalah kehormatan dan harga diri pula seperti katanya tadi, nilai
Andika membatin.
"Hm, permusuhan keluarga.... Aku tidak bisa menunggu agar Hiroto menceritakannya
padaku. Aku harus mencari tahu!" tekad Andika. Saat itulah, di benak pemuda
sakti Lembah Kulukan itu melintas wajah lembut Akemi.
"Tentu perempuan itu tahu banyak
tentang permusuhan keluarga yang dimaksud Hiroto," duga Andika pasti, Yang tak pasti
sekarang, apakah niatnya sekadar ingin bertanya. Atau ada niat lain yang 'ehem-ehem'"
Andika sempat nyengir kuda. Sekali tepuk dua
lalatlah! Cuma satu yang bisa dilakukan Pendekar Slebor kini.
Kembali ke rumah pengasingan rahasia Hiroto. Akan ditanyakannya perihal
permusuhan keluarga pada Akemi.
Andika tiba di sana menjelang sekaratnya dinihari Ayam jantan sudah mulai
berkokok panjang. Bersahutan, memberitakan hari baru sebejitar lagi akan hadir,
meski mentari belum lagi berani beranjak dari sudul timur. Hari masih gelap.
Dalam kegelapan seperli itu seseorang mengintai kedatangan Pendekar Slebor di
sisi rumah. Cahaya lampu kertas dari depan terhalang pohon besar. Sosok itu jadi
tak nampak jelas.
Ketajaman daya pendengaran Andika tak bisa
diperdayai. Dalam jarak yang terbilang jauh, nalurinya sudah memperingati ada
seseorang mengawasi. Dengan sedikit lebih mendekat, telinga anak muda itu sudah
bisa menginderai helaan napas halus seseorang.
"Jangan coba-coba main kucing-kucingan dengan seekor kucing, Tikus!" bisik
Andika. Bibirnya menyeringai.
Akal bulusnya berjalan.
Andika menghentikan langkah. Tentu lawannya
belum tahu kalau Andika sudah menyadari sedang diawasi.
Karena itu dia tak ingin melakukan tindakan yang memancing kecurigaan. Sambil
bcrsiul-siul kecil, Andika menyorongkan
langkah kesemak-semak. Pura-pura membuang hajat kecil!
Begitu tubuhnya terhalang oleh rimbunnya semak, ringan tanpa menghasilkan suara
yang lebih keras dari tarikan napas, tubuhnya melenting ke kubah bangunan.
Kecepatan dikerahkan pendekar muda yang kini memakai pakaian seperti layaknya
penduduk setempat. Maksudnya biar tak ada kemungkinan pcngintainya melihat
tindakan itu. Mengendap-endap seperti seekor kucing hendak
mencuri sepotong daging di meja makan sebuah rumah, Pendekar Slebor mendekati
tempat sembunyi pengintai
tadi dari atap.
"Yak, di sini!" katanya dalam hati memastikan. Lalu...
Wukh! Dari atap tubuh pemuda itu berputar cepat ke
bawah. Amat cepat. Dua putaran di udara bahkan
dilakukannya dalam sekejapan.
"Hihihi...."
Tahu-tahu saja, tangan kekarnya sudah mencengkeram kerah baju si pengintai. Saat itu tangan Andika menyentuh benda
kenyal padat di dekat ba-gianhaju si pengintai yang dicengkeramnya.
"Waduh, apa ini?" batinnya kasak-kusuk cepat.
"Aw!"
Terdengar pckikan kaget. Andika mendelik. Bukan cuma suara wanita yang
didengarnya membuatnya
terkejut, tapi juga karena wajah orang itu sudah dikenalnya.
"Andika San...," sapa kaget Kissumi, orang yang dianggap sedang mengintai
Andika. "Kissumi" Ah, untung saja bogemku belum sempat melayang ke wajah cantikmu
itu...," kata Andika seperti menggerutu.
"Maaf Andika San.
Saya sedang menunggu
kepulangan Tuan berdua...," hatur Kissumi seraya menjura dalam."Kau tidak
tidur?" Andika heran. Selarut ini perempuan itu belum juga beranjak ke peraduan.
"Menunggu Andika San."
Alis anak muda urakan itu berkernyit.
"Kenapa begitu" Kenapa kau tak bilang sedang menunggu Tuanmu, Hiroto?"
Kissumi merunduk lagi. Sikap seperti itu membuat Andika terlalu jengah. Nanti
aku akan melarang dia terus begitu padaku, niat Andika di hati.
"Karena Hiroto San telah mcnyerahkan diri saya kepada Andika San...."
Menyerahkan kau padaku" Gurauan tengik macam
apa ini?" Andika mcnyeringai. Karena terlalu tak mengerti tangannya jadi sibuk
menggaruk sana-sini. Kalau kebetulan ada kera, bisa diperlombakan siapa yang
lebih cepat menggaruk!
"Dengan begitu, saya menjadi milik Andika San.
Kalau Andika San gugur dalam kericuhan tadi, maka sepantasnya saya pun harus
mati." Kening Andika dijamm berkerut-merut bak gombal
tak kena cuci setahun penuh!
"Maksudmu...?" Andika tak bisa berkedip.
"Saya harus melakukan seppuku sebagai tanda kesetiaan saya pada Andika San...."
"Seppuku?" Seperti bocah tolol, anak muda itu mengekori ucapan Kissumi. Lalu
tangannya membuat gerakan seperti orang sedang menikam pisau ke perut sendiri.
Wajahnya bertanya pada Kissumi.
"Ya, Andika San." Kissumi membenarkan.
Andika menggeleng-gelengkan
kepala. Pusing rasanya mendengar penuturan perempuan cantik di depannya barusan. Dia cepat
melangkah masuk ke dalam.
Mulutnya tak henti menggerutu, memaki, menyumpah-nyumpah tak kentara.
"Kesintingan macam apa lagi ini...," kalanya agak samar. Tapi masih bisa
ditangkap telinga Kissumi. Untung, Andika mengucapkannya dalam bahasa sendiri.
Kalau tidak, Kissumi bisa merunduk-rudukkan kepala lagi seraya meminta maaf
berkali-kali Buh, menyebalkan!
Dinihari kian menjelang pagi. Lamat, sinar kuning tembaga matahari pagi mulai
mengambang di cakrawala timur. Sapuan warnanya begitu lembut, menggelitik
perasaan damai terdalam seseorang.
Andika di kamarnya. Berdiri menatapi sinar lembut matahari muda di ufuk sana.
Dia tak mungkin bisa tidak.
Matanya tak mengantuk. Kalaupun mengantuk, dia pun akan berusaha untuk tetap
melek. Kecamuk pikirannya masih terus berlangsung. Dia
mengkhawatirkan keadaan Hiroto.
Dan jauh lebih dikhawatirkan lagi adalah nasib Akimoto. Bocah kecil itu terlalu muda untuk
mengalami kebusukan dunia ini.
Waktu hendak menanyakan pada Akemi, janda
Jolaro itu ternyata sedang tidur lelap.
Tadinya Andika mencoba lancang memasuki kamarnya. Sungguh tak pantas sebenarnya. Andika menyadari
itu. Namun karena keadaan demikian mendesak, dia memutuskan untuk mencoba memasuki kamar Akemi juga, Dia harus
secepatnya mengetahui persoalan yang sedang memanas. Siapa tahu dia bisa
mendapatkan jalan untuk menyelamatkan Akimoto.
Waktu dia masuk, Akemi ternyata terpulas. Andika jadi tak tega mengusiknya,
mendapati wajah perempuan malang itu begitu tenang dalam tidurnya.
Sewaktu sedang menyusui bayinya, tentu perempuan itu tertidur. Mulut bayinya masih menempel pada puting susu dada padat
sehalus sutera Akemi. Andika jengah melihatnya. Meski begitu, tak urung darah
mudanya menjadi melonjak sesaat Dada Akemi begitu mempesona.
Kehalusannya dan kepadatannya mengundang. Apalagi masa-masa sedang menyusui
anaknya seperti itu. Dadanya jadi kian padat.
Ada semacam godaan mendesir di benak si pemuda
dari tanah Jawa. Ingin sekali dia berdiam sampai pagi dan menatapi dada
mempesona Akemi puas-puas. Toh, tak ada yang tahu. Akemi pun sedang terlelap.
Tentu dia tak akan sadar ada yang mengawasi kemolekan tubuhnya.
Untung, Andika masih punya kesadaran untuk tidak meneruskan perbuatan yang
dianggapnya menghina diri sendiri itu. Dengan menahan gelegak darah,dalam
dirinya, Andika menggeser pintu perlahan.Pergi meninggalkan kamar Akemi.
"Andika San. Apakah Andika San belum tidur" Boleh saya masuk?"
Suara Kissumi di pintu kamar membuyarkan
keterdiaman Pendekar Slebor.
"Ada apa Kissumi?" tanya Andika setelah membukakan pintu untuk wanita itu.
"Apa...," Kissumi tertunduk. Keraguan menjegal ucapannya.
Andika menunggu.
"Ada apa Kissumi?" ulang Andika lagi.
"Apa Andika San membutuhkan seorang 'teman'?"
aju Kissumi akhirnya.
Andika menelan ludah. Jakunnya turun naik.
Bayangan kemolekan bagian tubuh Akemi yang dilihatnya mengambang liar kembali di
benaknya. Keparat! Makinya dalam hati, mengutuki diri sendiri.
Andika tahu apa maksud Kissumi. Dari dasar hati entah di sisi mana, Andika
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digoda bisikan-bisikan kuat.
Bisikan yang mencoba mendongkel segenap birahinya selaku seorang pemuda. Dia
masih waras. Masih punya birahi yang mengelegak-gelegak.
Tanpa sadar, Andika menepikan tubuh, mem-biarkan Kissumi memasuki kamarnya.
Kissumi sendiri menganggap itu adalah isyarat
bahwa Andika memintanya menemani 'tidur' menjelang pagi ini. Dia masuk dengan
merunduk. Tak ada senyum di wajahnya. Tapi sinar mata wanita itu membersitkan
kebahagiaan. Mungkin dia pun tak sekadar mehgorbankan diri untuk Tuan barunya.
Lebih dari itu mungkin ada dorongan selaku perempuan biasa yang mengharapkan hal
itu. Di tengah kamar, Kissumi melepas satu persatu
pakaiannya. Mula-mula kimono lebar yang membungkus tubuhnya dilorotkan dalam
gerak gemulai diselubungi hasrat. Gerak tak sadar yang lahir begitu saja.
Andika terpaku. Menganga dengan mata tak
sanggup berkedip. Disaksikannya tubuh Kissumi kini hanya terbungkus pakaian
dalam. Sebagian kulit saljunya tersingkap sudah. Kamar gelap. Lampu telah
dimatikan Andika ketika dia baru masuk belum lama. Sinar lamat yang menembus
kisi-kisi dinding kertas menyapu kulit
tubuh Kissumi, membentuk bayangan memikat berlekuk mengundang.
Dada Andika berdebam-debam. Keadaan dirinya
makin kacau. Makin dihanyut gelombang liar tak
tertahankan. Tanpa berbuat apa-apa, Andika terus menatap gerak perlahan Kissumi.
Kissumi kini mulai melepas pakaian dalam bagian atas. Tetap perlahan, tapi
mengalun. Dilepasnya simpul-simpul penutup buah dada. Dan kain halus itu pun
menuruni tubuhnya.
Kini samar-samar terlihat sepasang benda padat
mengambang di dadanya. Terbuka tanpa penghalang apa-apa. Dada itu mengingatkan
Andika pada dada Akemi.
Yang kini dilihatnya tak kalah menggairahkan. Meski tak sepadat milik Akemi,
tapi tetap memanggil-manggil dalam keindahan bentuknya.
Sedikit saja, tubuh berlekuk Kissumi bergerak
menghadap siraman lamat cahaya dari kisi dinding, makin jelas saja bentuk
dadanya. Pemuda petualang sakti dari tanah Jawa seperti
terkena tenung yang ditebarnya. Kakinya beranjak perlahan. Selangkah demi
selangkah, di dekatinya tubuh setengah tak berbusana di atas talami.
Sampai di dekatnya, tangan Andika terangkat
perlahan. Kissumi menyambutnya. Dituntunnya tangannya itu ke leher jenjang mulai
terentang. Kissumi mendongak, mempersilakan Andika mengecup lehernya dengan
desah napas halus yang mulai tak berirama.
Andika makin dekat.
Kepalanya terjatuh di leher Kissumi. Disentuhkannya bibir lamat Kemudian
beranjakbibir pemuda itu menjadi liar, mengec up dan berlari di sekujur kulit
langsat leher Kissumi.
Kissumi melenguh dalam desah napas yang terulur panjang terseret. Dia
menikmatinya. Tangan Andika mulai menuruni pangkal leher
Kissumi ke bagian dada. Menurun dan menurun. Sampai jemari Andika mulai menanjak
bukit dara Kissumi.
Saat itu, Kissumi kianterbakar desahnya sendiri. Dan saat yang sama, Andika
merasakan tangannya tersengat sesuatu. Dia tersentak. Cepat dijauhkannya tangan.
Juga dijauhkannya tubuh dari Kissumi.
Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan
rupanya tak bisa untuk dibawa dalam kemesuman. Tenaga itu bergeliat lalu
menyentak kesadaran si pemuda.
Sinting! Kalau ini terus kubiarkan, aku bakal
terjerumus pada penghinaan martabat seorang perempuan! Andika tersadar dalam kecamuk birahinya sendiri. Tak mungkin
dibiarkan ini terjadi.
Aku tak bisa melakukan hal itu sekehendak birahi tanpa ikatan apa-apa. Hanya
binatang yang melakukan perbuatan seperti itu! Hati si anak muda memperingati.
Begitu kesadaran telah memenuhi benaknya, Andika beranjak
meninggalkan ruangan. Membengkalaikan
Kissumi dalam gelora birahmya sendiri.
Suatu saat nanti, aku akan melakukannya juga.
Sumpah hati Andika. Tapi hanya dengan istri tercintaku!
Sampai di luar anak muda itu mendinginkan panas darahnya dengan udara pagi.
Ditariknya napas dalam-dalam memenuhi rongga paru-parunya dengan hawa segar di
pinggiranKyoto. Hari mulai terang. Dari tempat terpencil yang berada di punggung
sebuah bukit itu, Andika bisa melepas pandangan jauh-jauh.
Di bawah sana, dilihat kumpulan-kumpulan rumah
penduduk masih berpayung kabut tipis.Hamparan hijau di mana-mana. Rasanya bukan
cuma pikiran yang menjadi segar, jiwa anak muda itu pun begitu.
Andika melangkah perlahan. Di dekatinya tebing.
Dari sana, tentu dia bisa melihat lebih lapang, desah batinnya. Tanpa sengaja,
kakinya menginjak sesuatu di bibir tebing tanah berumput.
Matanya meneliti ke bawah. Ditemukannya sebuah
benda kecil. Tampaknya benda itu terbuat dari logam tipis.
Berbentuk seperti bintang. Ada darah hampir mengering menodai seluruh
permukaannya. Dengan mengamati sebentar saja otak encer anak
muda itu sudah bisa menduga kalau benda yang
ditemukan adalah sebuah senjata rahasia. Tampaknya ada seseorang yang telah
menjadi korban. Orang itu mencabut logam bintang ini disini, pikir Pendekar
Slebor. Tapi kenapa harus di tempat ini" Andika bertanyatanya.
Kepalanya menoleh ke belakang. Rumah pengasingan rahasia Jotaro tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
"Hm..., apakah orang itu adalah salah seorang penghuni rumah Hiroto?" gumam
Andika. Andika meneliti lagi tempat itu. Terlalu aneh bagi pikirannya jika seseorang
yang terluka oleh senjata rahasia harus mencabut senjata rahasia di tepi tebing.
Tentu ada maksud lain.
Sekian lama mencari, Andika tak menemukan apa-
apa. Ketika hampir yakin memang tak ada hal
mencurigakan lain, matanya malah melihat sesuatu.. Tepat di bawah tebing yang
bagian tanahnya agak menjorok ke dalam, dilihatnya kain hitam menyembul.
Andika mengambil ranting kering. Dengan ranting itu, diraihnya ujung kain tadi.
"Hmm.... Sekarang jelas sudah," bisik Andika ketika menyaksikan benda baru yang
ditemukannya adalah pakaian hitam seperti milik anggota perkumpulan rahasia
Imada-Tong. "Di rumah itu ada musuh dalam selimut!" tandasnya lagi, masih berbisik. Pantas
saja para penculik Akimoto tahu rumah pengasingan rahasia Hiroto. Padahal,
Hiroto pernah bilang pada Andika bahwa rumah di atas bukitnya ini benar-benar
terpencil. Tak ada yang mengetahui kecuali anggota keluarganya sendiri.
Kalau di rumah itu hanya ada Akemi dan Kissumi, apa mungkin di antara dua wanita
itu ada seorang penghianat" Tanya hati Andika ragu.
Andika tak bisa membuang waktu lebih lama. Begitu Akemi bangun pagi itu,
ditemuinya Akemi. Ditanyakannya tentang permusuhah keluarga yang dimaksud
Hiroto. "Memang terjadi permusuhan turun-temurun yang terjadi antara keluarga Hiroto
dengan keluarga Tokugawa,"
papar Akemi di ruang upacara minum teh.
"Bagaimana asal mulanya?" Andika ingin tahu lebih banyak.
Akemi pun mulai menceritakan dari awal. Sekitar satu setengah abad silam, ada
Perguruan Samurai Naga Langit Merah. Perguruan itu dibawah pimpinan dan didikan
seorang sensei* berjuluk Pedang Ekor Naga.
Sensei Pedang Ekor Naga hanya memiliki dua orang murid pewaris seluruh
ferafo*nya yang amat disegani.
Bahkan shogun yang berkuasa saat itu pernah menganggap lelaki tua itu sebagai Benteng Besar Keshogunan.
Dia amat disegani dan mendapat kehormatan langsung dari shogun
Suatu hari, karena merasa dirinya sudah begitu tua, Sensei Pedang Ekor Naga
ingin menyerahkan katana pusakanya yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Karena muridnya ada dua orang dan sama-sama.
baik dalam menguasai kendo yang diajarkan, maka Sensei Pedang Ekor Naga membuat
satu ketentuan. Kedua
muridnya harus bertanding untuk membuktikan diri siapa di antara mereka yang
pantas menerima warisan katana pusaka tersebut!
Pertandingan penentuan pun di laksanakan di
bawah kaki Gunung Fuji.
Pada pertandingan adu kendo yang memakan waktu
sehari-semalam itu, ternyata murid bungsu unggul.
Dikalahkannya kakak seperguruan dalam jurus-jurus terakhir.
Maka, Sensei Pedang Ekor Naga pun membuat
keputusan saat itu juga.
Dibuatlah satu upacara
penerimaan katana pusaka kepada murid bungsu di tempat itu juga.
Setengah tahun sejak kejadian itu, Sensei Pedang Ekor Naga wafat. Dengan
wafatnya sang Guru, mulai tumbuh rasa tak puas pada diri murid tertua. Dia
merasa dilangkahi oleh adik perguruannya sendiri. Kehormatannya merasa dihina.
Akhirnya, dia pun menuntut si murid bungsu agar katana pusaka diberikan padanya.
Menurutnya, dialah yang pantas menerima senjata warisan itu selaku murid
tertua.Karena merasa Katana Pusaka Ekor Naga adalah amanat
dari gurunya, murid bungsu tak ingin menyerahkan. Baginya amanat berarti harga diri, kehormatan dan jiwanya. Semua itu akan dipertaruhkan urituk amanat tersebut.
Jadi, bukan masalah pedang pusaka itu sendiri. Sebab menurutnya, kalau saja itu
bukan amanat dari sang Guru, dia akan dengan senang hati menyerahkan
Pedang Ekor Naga pada kakak seperguruannya.
Untuk mendapatkan pedang yang dihasratinya,
kakak seperguruan itu rnenantang tanding ulang.
Murid bungsu mulanya menolak. Karena dipaksa,
akhirnya terjadi juga pertandingan ulang yang sebenarrrya lebih tepat dikatakan
pertarungan dua lelaki seperguruan.
Murid tertua benar-benar hendak melenyapkan adik perguruannya
dalam pertandingan itu. Serangan- serangannya tak beda dengan terjangan penuh hasrat membunuh.
Menyadari hal itu, murid bungsu meladeni.
Sebelumnya dia hanya mencoba bertahan. Namun tak mungkin dia terus begitu. Mana
mungkin dibiarkannya nyawa lepas dari badan di tangan kakak seperguruannya.
Sampai pertarungan berjalan hampir dua hari, murid bungsu untuk kedua kalinya
mengalahkan murid tertua.
Mereka sama-sama terluka parah. Namun katana murid termuda pada akhir
pertarungan siap membabat leher murid
tertua. Itu tak dilakukannya. Dia malah meninggalkan murid tertua begitu saja.
Merasa tak bisa lagi tinggal di tempat itu, murid bungsu pergi amat jauh ke
Kyoto. Dia ingin memisahkan diri dari kakak seperguruannya.
Sejak saat itu setiap babak keturunan dari murid tertua, mendapat semacam
warisan kebencian. Mereka harus mendapatkan kembali katana pusaka dari tangan
keluarga murid bungsu!
"Begitulah ceritanya, Andika San...," Akemi menyelesaikan penuturan.
"Jadi yang telah membayar perkumpulan Imada-Tong untuk melakukan pembunuhan
terhadap Jotaro dan
penculikan Akimoto adalah keluarga keturunan murid tertua?"
"Sepertinya memang begitu, Andika San," Akemi membenarkan dugaan Pendekar
Slebor. "Keturunan keluarga murid tertua, kini memiliki pengaruh dan kekuasaan yang
besar. Mereka berhasil memasuki lingkungan shogun yang berkuasa kini. Salah
seorang dari mereka telah menjadi seorang perwira tinggi di Suruga. Itu sebabnya
Hiroto makin tersudutkan. Hiroto sendiri adalah salah satu daimyo dari shogun
yang diruntuhkan."
Andika bangkit dari tatami. Di ruangan cukup luas itu, si anak muda berjalan
mondar-mandir. Tangannya terus mengusap-usap dagu. Ada sesuatu yang begitu
dipikirkannya. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Andika San?"
tanya Akemi lembut. Sejak Andika mengenal Akemi, perempuan itu memiliki
perhatian yang besar pada Andika.
Memang tak terlalu tampak dari sikapnya, namun mata tajam Andika bisa menangkap
perhatian itu pada sinar matanya.
"Ya, benar," jawab Andika seraya menghindari tatapan dalam Akemi. "Aku sedang
memikirkan Akimoto.
Kalau sekarang anak itu diculik, ada dua kemungkinan tempat dia disembunyikan.
Pertama, mungkin Akimoto dibawa ke markas perkumpulan Imada-Tong. Kedua,
mungkin anak itu dibawa langsung ke keluarga murid tertua."
"Tapi perkumpulan Imada-Tong adalah perkumpulan amat rahasia, Andika San. Sulit
sekali mengetahui di mana markas mereka. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mengetahui. Sedangkan keluarga murid tertua sekarang berkuasa di Suruga. Daerah
itu amat jauh dari Kyoto...."
Wajah Andika jadi berkerut ketat.
"Jadi, ke mana Akimoto harus dicari?" tanyanya bergumam.
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau diputuskan untuk mencari ke markas
perkumpulan Imada-Tong, ke mana harus pergi" Sementara jika diputuskan untuk ke
Suruga, belum tentu Akimoto di bawa ke sana. Perjalanan yang memakan waklu lama
ke Suruga tentu bisa membuat segalanya jadi terlambat untuk menolong Hiroto yang
Andika sendiri tak tahu pergi ke mana saat ini....
*** 8 "Andika San. Ada orang asing masuk pekarangan!?"
lapor Kissumi dari mulut pintu.
Andika dan Akemi yang sedang berbicara bertatapan sebentar.
"Kau kenal orangnya, Kissumi?" tanya Akemi Kissumi menggeleng.
"Sebaiknya kita melihatnya," putus Andika. Anak muda itu segera bangkit. Akemi
dan Kissumi mengikutinya di belakang tergopoh-gopoh.
"Sebaiknya kalian tetap di dalam," cegah Andika.
Setelah mendapat
anggukan dari dua wanita
di belakangnya, Andika keluar.
"Siapa T uan sebenarnya?" T anpa mengucapkan basa-basi sambutan, Pendekar Slebor
langsung bertanya.
Di taman yang ditata apik oleh Kissumi dengan seni pertamanan tradisional, tamu
tak diundang itu berdiri. Raut wajahnya melemparkan kesan kecurigaan pada
Andika. Perawakannya kekar. Lebih pendek tiga empat jari dari Andika. Pakaiannya
memperlihatkan kalau dia adalah seorang samurai. Wajahnya bergaris keras.
Rambutnya panjang diekor kuda. Berkimono hitam-hitam dengan menyandang sepasang
katana dan pedang pendek di ikatan kimononya. Menilik wajahnya, Andika yakinusia
orang itu hanya terpaut lima-enam tahun lebih tua.
"Semestinya, aku yang bertanya begitu padarrru.
Siapa kau sebenarnya pemuda asing?" balas sang ta-mu.
"E-eh, kalau orang bertanya padamu, kau harus menjawabnya dengan jawaban. Bukan
dengan pertanyaan kembali! Ibumu belum pernah mengajarkan teladan itu?"
sentak Andika. Dibilang sungguh-sungguh, bibirnya masih menampakkan senyum sok
ramah. Mau dibilang bergurau, kata-katanya terlalu pedas.
"Di mana lelaki pemilik rumah ini?" Sekali lagi, lelaki tak diundang itu malah
menyahuti pertanyaan mengejek Andika dengan pertanyaan.
Andika tertawa.
"Aku senang dengan orang ini...," gumamnya sebal.
"Kamu jangan main-main, Orang Asing! Aku sedang tergesa. Sebaiknya kau katakan
di.mana pemilik rumah ini"!" Nada suara tamu berwajah keras meninggi.....
"Kupikir, kalau tidak salah aku bisa disebut pemilik rumah ini...." jawab Ahdika
asal sebut. . Mata orang di depannya menajam, menusuk manik mata Pendekar Slebor. Terdengar
geramnya. Dan tahu-tahu.... Sraang!
Orang itu meloloskan katananya. "Hei! Apa aku telah salah bicara padamu"!"
lonjak Andika. "Aku tahu, kau pasti orang yang harus kuenyahkan!"
sergah tamu tadi. Makin meninggi saja nadanya.
"Sontoloyo! Baru saja bertemu, kau sudah bisa memastikan kalau aku harus kau
enyahkan?" Andika mendelik sejadi-jadinya. Jangan bilang dia tidak sewot!
"Sini kau!" bentak Andika. Dilambaikannya tangan.
Lagaknya sudah tak beda dengan aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu
nakalnya. Siapa yang tak jadi berang dibegitukan"
"Heaaa!"
Samurai berpakaian hitam berlari menerjang.
Katananya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Wukh!
Satu sabetan tercipta. Dengan amat bernafs u,
hendak dibelahnya batok kepala Pendekar Slebor saat itu juga. Pendekar Slebor
menyambutnya hanya dengan menyurutkan tubuh ke belakang. Trak!
Kayu lantai rumah panggting termakan katana kalap si samurai berpakaian hjiam.
Kayu di bagia itu terbelah.
Pecahahnya berpentalan.
"Nah, kan luput! Kubilang juga apa...," gumam Andika."Hea-hea-hea!"
Lawan makin kalap. Disabet-sabetkannya senjata
kesegala penjuru.
Sementara itu suara teriakanya
meledak-ledak tak juntrungan.
"Hea-hea-heaaaa!"
Andika menimpalinya. Teriakannya malah lebih tak ada juntrungan. Beberapa ekor burung di atas dahan
pohon kontan berterbangan kalang-kabut. Ada angin ribut, pikir mereka.
Karena serangan pertama gagal, samurai berwajah keras menerkam lawan di atas
lantai teras rumah panggung. Senjatanya teracung ke depan. Dada Pendekar Slebor
hendak disatainya!
Sesaat sebelum terkaman tiba, Pendekar Slebor
dengan amat slebor malah membusungkan dada.
"Yak, di sini! Di sini!" teriakanya bersemangat sambil menunjuk lubang pusar
sendiri. Dan begitu mata katana lawan tinggal sejengkal lagi, pemuda itu mengenyahkan
diri ke sisi. Sebelah kakinya terangkat sedikit. Dukh!
Masih di udara, samurai kalap tadi merasakan 'telur perkutut'nya begitu nyeri.
Sakitnya seperti menjalar langsung ke ulu hati. Dia merasa teramat muak,
sekaligus sesak. Dan keadaan itu membuatnya tak bisa lagi mengendalikah diri.
Bruak! Tubuhnya berdebam menghantam lantai panggung
teras. "Hati-hati jatuh!" seru Pendekar Slebor.
Orang berangasan tadi bangun buru-buru. Meski
masih merunduk-runduk sambil memegangi selangkangan dengan sebelah tangan, dia
bersikeras menyerang pemuda asing lawannya.
"Hey..., siapa pun namamu! Sebaiknya kau berhenti dulu! Apa kau tak ingin
berbicara dengan kepala dingin?"
tahan Andika. Bukannya takut. Dia cuma tak tega menyaksikan betapa 'tersiksanya'
samurai itu. "Tak perlu!"
Usai menjerit tinggi, samurai berpakaian hitam
kembali menerjang Pendekar Slebor tanpa kenal menyerah. Menyerah itu bodoh!
Menyerah itu memalukan!
Tekad hatinya. Srang wukh! Kedua tangannya kini menggenggam dua senjata
berbeda. Tangan kanan memegang katana,yang lain memegang pedang pendek.
"Jangan serakah! Satu saja kau belum berhasil!"
cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika menghadapi orang keras kepala. Padahal dia sendiri biangnya keras kepala!
"Heah!"
Wing wukh wing!
Membabi-buta, samurai tadi membabatkan dua
senjata di tangannya ke seluruh bagian tubuh lawan yang masih bisa disambar.
Andika berkelit enteng. Sebentar tubuhnya terhuyung ke sini. Sebentar ke sana. Sebentar dia meliuk, sebentar kemudian dia
berjingkrak. Jurusnya memang tak pernah karuan. Tapi selalu ampuh. Dijamin!
Jaminan seperti itu ada buktinya. Sewaktu lawan terlupa membentengi bagian
perutnya, dengan lemah gemulai
sekaligus bertenaga, Pendekar Slebor menyodokkan dengkulnya penuh perasaan.
Degh! "Egh!"
Mata si samurai berpakaian hitam mendelik.
Tubuhnya mcngejang di tempat dengan posisi setengah membungkuk. Pendekar Slebor
tidak mau berlama-lama.
Mumpung lawannya sedang menikmati 'cita rasa' dengkul buatan tanah Jawa, cepat-
cepat disarangkannya jotokan pelumpuh ke satu bagian tubuh lawan.
Tuk! Orang itu pun menggeioso.
"Aku kenal dia,
Andika San," tukas
Akemi, menyaksikan samurai berpakaian hitam yang tergeletak di lantai kayu dipan.
Andika menolehpada perempuan yang baru keluar
dari pintu itu.
"Kau kenal?"
"Ya," Akemi membenarkan. "Fujimoto, samurai yang pernah menjadi bawahan Hiroto
San ketika masih menjadi Daimyo...."
"Aaahhh...." Andika menampar kening sendiri keras-keras. "Kenapa kau tak bilang-
bilang?" katanya terdengar menggerutu.
"Andika San melarang aku keluar," kilah Akemi.
Andika tengengesan.
"Tapi tak pernah melarang untuk memberitahukan kalau kau kenal orang itu,
bukan?" kelit Andika lagi. Dia memang jarang mau kalah. Sekali mau kalah kalau
otaknya sudah tak beres lagi!
"Apakah dia tak apa-apa, Andika San?"susul Akemi.
Wajahnya menampakkan kekhawatiran juga ketika dia bersimpuh untuk memeriksa
'korban' Pendekar Slebor.
"Aku kurang yakin dengan keadaan 'senjata'nya...,"
ucap Andika. Akemi menatap Andika talc mengerti. Kalau tak
salah, aku tadi menanyakan keadaan orang ini. Bukan soal senjata" Bisik hatinya
keheranan. Andika malah tergelak-gelak.
Lalu tanpa menghiraukan tanda-tanya di wajah
mulut Akemi, Andika mengangkat tubuh lelaki bernama Fujimoto ke dalam rumah. Di
atas tatami, lelaki itu lalu dibaringkan. Akemi terus mengikuti di belakangnya.
Juga Kissumi. Setelah dibaringkan, Andika menotok Fujimoto
kembali, membebaskan jalan darahnya.
"Haih!"
Begitu terbebas, kontan Fujimoto berteriak seraya mengangkat tangannya tinggi-
tinggi. Dia merasa saat itu masih memegang katana.
"Aaa!" Pendekar Slebor bertingkah tengik lagi. Si pemuda urakan itu berteriak
keras-keras sambil mendekap dadanya. Mending kalau teriakannya tidak keras!
Akemi dan Kissumi di belakangnya tak bisa tidak untuk terkikik tertahan
menyaksikan tontonan konyol
tersebut. Mereka benar-benar baru sekali itu mengenal seorang pria yang sifatnya
sama sekali membingungkan.
Tapi entah kenapa mereka menikmatinya. Wuh, suka barangkali!
"Cukup, Fujimoto!" seru Akemi kemudian. Tentu saja setelah
dia berhasil menguasai rasa geli yang menggelitikinya..
"Nyonya Jotaro?" Fujimoto tersadar. Tangannya diturunkan. "Siapa orang
ini,Nyonya?" tanyanya lagi sambil menuding Andika.
"Perkenalkan....
Ini Andika San," Akemi memperkenalkan.
Fujimoto bangkit terseok. Badannya masih terasa ngilu. Sambil berdiri, dia
mengingat-ingat sesuatu. Diulang-ulangnya nama Andika berbisik.
"Kau Andika San!" serunya, meledak tiba-tiba. Andika sampai
hendak mencak karena kelewat terkejut. "Kausahabat Hiroto San!" susul Fujimoto masih meledak-Iedak. "Kau pendekar dari
negeri jauh itu!"
Andika tak tahan lagi melihat Fujimoto reriak-teriak seperti itu. Tak tahu
Andika, apa orang itu cuma terkejut mengetahui siapa dirinya atau sedang
kerasukan memedi Gunung Fuji.
"Iyaaa!" balas Andika tak kalah meledak. Habis dia mangkel sekali.
Lantas saja Fujimoto membungkuk dalam-dalam.
"Satu kehormatan besar bisa bertemu dengan Pendekar Slebor!" ucapnya
bersemangat. "Eh, dia tahu julukanku?" Pendekar Slebor me-ngernyit.
"Hiroto San sering bercerita tentang Andika San.
Tentang kisah mengagumkan di Piramida Tonggak
Osiris...," cecar Fujimoto lagi seraya bersimpuh di depan Andika. Raut wajahnya
simpang-siur karena, terlalu bersemangat.
"Ooo...," Andika baru mengerti. Diam-diam, hidung Andika jadi kembang-kempis
juga. Siapa yang tidak bangga
namanya dipuji di negeri orang"
"Hai! Hai!" timpal Fujimoto dengan bahasa Nip?pon kentalnya.
Buntut-buntutnya,
Fujimoto meminta Andika mengajarkan beberapa jurus silat. "Slompret," dengus Andika.
*** Sulitnya membuat keputusan bagi Andika mem-
buatnya terus saja terombang-ambing keresahan. Dia tertahan di rumah pengasingan
Hiroto tanpa bisa berbuat apa-apa. Hal itu sungguh menyiksanya.
Hari makin siang. Kian lama waktu menggelinding, kian tak menentu nasib Hiroto
dan Akimoto entah di mana.
Andika tak bisa berdiam diri selaku seorang teman. Tapi dia pun tak bisa berbuat
banyak. Andika pun mencoba bertanya pada Fujimoto. Siapa tahu lelaki bekas samurai
bawahan Hiroto itu mengetahui sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak
ke mana perginya Hiroto.
. "Apa kau pernah dengar tentang markas Imada-Tong?" tanya Andika. Saat itu
Andika, Fujimoto, Akemi, dan Kissumi sudah duduk mcmbentuk lingkaran di ruang
upacara minum teh.
Fujimoto menggeleng.
Andika menghempas napas.
"Kau tahu sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk untuk mencari Hiroto dan
Akimoto?" lanjut Andika.
Fujimoto tepekur sebentar.
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian dia menggeleng lagi.
"Sial! Jadi apa yang kau tahu"!" Andika agak mengkelap.
"Apa Andika San tak ingin menanyakan tujuanku ke tempat ini?" Fujimoto mulai
berbicara. "Yah, benar. Apa tujuanmu ke sini?" terjang Andika, tergesa. Dia baru menyadari
kebodohannya. Tak mungkin
seorang datang begitu saja ke rumah pengasingan rahasia Hiroto tanpa tujuan apa-
apa. "Aku ingin menyampaikan pesan dari Hiroto San..."
"Apa benar begitu"!"
Pendekar Slebor mencengkeram kerah baju Fujimoto. Anak muda itu terlalu bernafsu.
"Hiroto San memintaku untuk menyampaikan pesan bahwa jika dalam sepekan dia
tidak pulang, Andika San diminta menyelamatkan Akimoto. Hiroto San menganggap
dirinya telah gugur jika waktu sepekan telah terlewati. Tapi tetap ingin Akimoto
selamat." "Bagaimana aku bisa menyelamatkan anak itu.
sedang tempatnya saja aku tak tahu!" maki Andika entah pada siapa. Ditinjunya
lantai kayu tuangan sampai jebol.
Geram sekali tampaknya anak muda dari tanah Jawa itu.
"Obani, Andika San," ujar Fujimoto.
"Apa" Apa tadi kau menyebut satu nama tempat?"
"Obani, tepatnya di kuil tua di tepi danau kota itu.
Begitu Hiroto San berpesan padaku!"
"Bagus!" Andika bangkit cepat. Karena terlalu tergesa-gesa, tanpa sengaja kaki
Andika melanggar sebelah bahu Fujimoto.
Fujimoto mengeluh seraya mendekap bahunya.
Andika sempat melihat ada genangan darah merembes.
Tampaknya setelah terlanggar kaki Andika, luka yang dibalut di balik pakaian itu
menganga lagi. "Kenapa dengan bahumu, Fujimoto?" tanya Andika penuh selidik. Pendekar muda itu
teringat pada senjata rahasia yang ditemukan di bibir tebing depan rumah
pengasmgan rahasia Hiroto pagi tadi.
"Ceritanya panjang, Andika San," jawab Fujimoto mencoba mengelak. Dari wajah
lelakinya ter-lihat kalau dia tak ingin menjelaskan. Andika melirik matanya
tegas-tegas..Apa bukan terkena senjata rahasia?" desak anak muda itu.
Fujimoto menggeleng.
Andika merasa harus memperlihatkan bukti yang
didapatnya pagi tadi. Segera dikeluarkannya benda tersebut dari balik kimono
pinjamannya. 'Tadi pagi aku menemukan benda ini," katanya sambil melempar logam tipis
berbentuk bintang yang ditutupj darah kering itu ke lantai kayu.
Fujimoto menatap Andika.
"Kau tahu di mana kutemukan benda itu. Di depan rumah ini. Kau mau tahu
kesimpulanku" Kurasa, ada yang telah berkhianat pada Hiroto. Orang itu tahu
tempat rahasia ini dan telah memberitahukan pula pada musuh Hiroto. Hingga rumah
ini dapat disantroni dan Akimoto dapat diculik...."
Fujimoto bangkit dan berdiri menghadap Andika.
'Tampaknya Andika San mencurigaiku...," desisnya gusar. "Bukankah kau mengetahui
tempat rahasia ini?"
Fujimoto mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya
memerah amat matang.
"Itu tuduhan keterlaluan, Andika San...," tandasnya tegas. "Aku tak pernah
berkhianat pada Hiroto San"
tegasnya lagi dengan napas tersendat.
"Bagaimanaaku bisa percaya?" tepis Andika enteng.
Bibirnya menyeringai, mencoba menyudutkan Fujimoto.
Mata lelaki itu menerkam mata Pendekar Slebor.
"Kau perlu bukti, Andika San?" desisnya. Setelah itu.... Srang!
Fujimoto meloloskan pedang pendeknya. Andika
tersentak. Dia mengira Fujimoto akan menyerangnya. Tapi itu tak pernah terjadi.
"Aku akan seppuku untuk membuktikan kesetiaanku pada Hiroto San," kata Fujimoto.
"Menurutku, itu tidak membuktikan apa-apa. Sebab, musuh Hiroto pun melakukan hai
yang sama agar tidak bisa dikorek keterangan darmya...," sangkal Andika lincah.
Fujimoto mati kutu. Keadaannya mutlak tersudut.
Dia terdiam dengan wajah tak karuan. Merah, bingung dan geram.
Melihat hai itu, Andika bisa cepat menilai.
"Aku percaya. kau bukan seorang penghianat...,"
katanya sambil beranjak. Dibuatnya Fujimoto tak mengerti sama sekali. Padahal
kesimpulannya seder-hana saja bagi anak muda berotak encer itu. Kalau benar-
benar Fujimoto penghianat, tentu dia akan benar-behar menikamkan pisaunya ke
perut. Bukankah begitu yang dilakukan lawan-lawan Hiroto sebeIumnya manakala
sudah tersudut"
Tapi si pemuda urakan tak peduli pada ketidak
mengertian Fujimoto. Sementara samurai berpakaian hitam itu terbengong-bengong,
Pendekar Slebor dia yang tahu....
*** 9 Hiroto tiba di sebuah kuil kuno di wilayah Yaraashiro.
Tengah hari kala itu. Matahari musim semi berada di puncaknya. Memang sinarnya
tak segarang musim panas.
Namun begitu, tetap saja menyiksa. Setelah memakan waktu perjalanan berkuda
selama tiga hari, akhirnya dia tiba juga di Kuil Matahari.
Sampai saat itu, Hiroto sendiri masih sangsi apakah anaknya dilarikan ke sana
atau tidak. Yang dia tahu hanyalah tempat itu pernah dipergunakan se-bagai
markas oleh musuh keluarganya. Di mana dari sana mereka menggempur keluarga
keturunan Murid Bungsu yang banyak tinggal di Kyoto. Yamashiro memang daerah
yang paling dekat dengan Kyoto.
Hiroto ingat saat itu serangan mus uh keluarga
keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga
dipimpin oleh seorang samurai bengis yang begitu membencinya. Namanya Seichi
Onigawa. Kala itu. Hiroto masih menjabat sebagai daimyo dari shogun yang
berkuasa. Setelah shogun yang lama terguling, Seichi Onigawa diangkat menjadi salah
seorang perwjra shogun yang baru.
Hiroto dan anggota keturunan keluarga Murid Bungsu pun menjadi buronan utamanya.
Mereka dikejar ke sana ke sini seperti binatang hutan. Di bantai tanpa belas
kasihan. Semata-mata karena Seichi Onigawa ingin memuaskan hasrat membunuhnya.
Seichi Onigawa begitu memegang teguh kebencian
yang diwariskan secara turun-temurun oleh buyutnya. Dan hanya satu yang dapat
membayar semua itu, Pedang Pusaka Ekor Naga. Kebetulan sekali, Hiroto adalah
salah seorang keturunan Murid Bungsu yang mendapat
kepercayaan untuk menerima warisan pedang pusaka itu.
Maka, makin kuat saja alasan Seichi Onigawa membenci Hiroto.Kuda Hiroto kini
telah berhenti terengah-engah di
depan gerbang kuil. Kuil Matahari sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya
kelengangan penat. Sejauh mata memandang, hanya tampak ilalang-ilalang jangkung
di seluruh penjuru tanah kuil.
Tembok bangunan tua itu sudah dimakan lumut.
Sekarat dengan warna buram muram. Dindingnya gompal di sana sini. Kubah
bertingkat sebagian sudah hancur.
Pintu gerbang yang dulunya mungkin berdiri gagah, sekarang tinggal puing
terkatung. Hiroto menghentak tali kekang. Kuda-berjalan
perlahan, memasuki mulut gerbang Kuil Matahari. Dari kejauhan mata Hiroto.
memang tak menyaksikan siapa-siapa. Sementara naluri samurainya sendiri
memperingati ada
berpasang-pasang
mata sedang mengawasi kedatangannya. Kesiagaan Hiroto
semakin menjangkit
begitu kudanya sudah berada di halaman luas penuh ilalang.
Matanya tak bergerak, terpusat di bangunan sekarat di depan sana. Biarpun
begitu, bukan berarti dia tak mewaspadai keadaan sekitarnya. Sebelah tangannya
tetap pada tali kekang kuda. Tangan yang lain bersiap di gagang katananya. Kalau
mendadak ada yang menerjang, dia siap membabatnya.
Hewan kendaraan ksatria Nippon itu terus melangkah membawa tuannya lebih jauh masuk ke
pekarangan Kuil Matahari. Lebih jauh mas uk, naluri Hiroto bertambah kuat
memperingati. Sampai satu saat, kuda tunggangan Hiroto dibuat meringkik keras oleh seruakan
tiba-tiba dari serumpun ilalang lebat. Kuda itu menaikkan kedua kaki depannya
liar. Hiroto berusaha mengendalikan. Meski tali kekang ditarik demikian rupa dan
mulutnya berseru-seru, tetap saja bmatang itu sulit dikendalikan.
Tentu saja ada yang membuat binatang itu terkejut luar biasa. Ada seseorang
muncul tepat di depannya. Orang itu kini berdiri memperhatikan kepanikan kuda
Hiroto dengan wajah menyeringai.
, Hiroto melompat dari kuda. Dia tak ingin tubuhnya terlempar, dan lelaki di
depannya memanfaatkan keadaan itu. Seraya cepat meloloskan katana dari
pinggangnya, Hiroto berdiri empat depa di depan si pcnghadang.
"Siapa kau"!" hardik Hiroto.
Orang yang ditanya berwajah buruk. Tubuhnya
bungkuk karena s udah terlalu tua. Wajahnya sudah diramaikan kerut-merut. Cuma
giginya yang tampak masih utuh. Hanya tanggal beberapa butir. Kumis putihnya
memanjang sampai ke leher. Dia berpakaian seorang samurai lama. Pakaiannya
berwarna hitam dengan
dalaman putih. Tangannya menggenggam toya panjang yang selalu diketuk-ketukkan
ke tanah. "Bodoh! Kau tak berhak bertanya begitu! Aku tuan rumah di sini Jadi aku yang
mestinya bertanya padamu, siapa kau"! Sekarangjawab!" balas si lelaki tua,
sengit. Toya di tangan ditudingkan ke arah Hiroto.
"Kau penghuni Kuil Matahari" Apa kau punya hubungan keluarga dengan Seichi
Onigawa?" Hiroto tampaknya tak begitu peduli dengan pertanyaan lelaki tua
barusan. Mungkin benaknya terlalu dihantui oleh keluarga Seichi Onigawa yang
telah menculik anaknya.
"Kutu busuk! Sudah kubilang, kau tak berhak menanyakan siapa aku lebih dahulu!
Apa kau tak pernah diajarkan tata krama, hah!" bentak si lelaki tua. "Ayo jawab
pertanyaanku, tunggu apa lagi"!"-
Karena merasa lelaki tua di depannya tidak ber-niat memusuhinya,
meski tetap bersikap kasar,
Hiroto mengalah. "Aku Hiroto, dari Kyoto," akunya.
"Apa tujuanmu datang ke sini"!" susul si orang tua bungkuk. Masih juga dengan
pertanyaan kerasnya.
"Aku ingin tahu, apakah kuil ini masih ditcmpati oleh orang-orang Seichi
Onigawa?" Orang tua bungkuk menepis
udara. Bibirnya
mencibir. "Seichi Onigawa. Dasar lelaki pecundang!"
"Apa maksudmu, Orang Tua" Apa yang kau ketahui tentang orang itu?" Hiroto
tergesa-gesa meruntunkan pertanyaan.
Tanpa menjawab pertanyaan Hiroto, orang tua
bungkuk berbalik dan melangkah tertatih ke arah bangunan kuil.
"Orang tua, tunggu!" Hiroto menyusul di belakangnya.
"Kalau kau berurusan dengan lelaki pecundang itu, aku tak punya urusan
denganmu!" tandas orang tua bungkuk tanpa menoleh.
"Tapi, maukah kau menolongku orang tua. Aku harus tahu di mana markas.
perkumpulan Imada-Tong!"
Orang tua bertoya memanCung langkah. Ditatapnya Hiroto dengan mata kelabunya!
"Kau tadi bilang soal Imada-Tong?"
"Benar, Orang Tua. Anakku telah diculik mereka...."
"Dan Seichi Onigawa yang membayar orang-orang Imada-Tong untuk melakukan itu?"
terka orang tua bertoya dengan nada yakin.
"Benar, Orang Tua...."
Kepala orang tua itu bergoyang-goyang seperti
menarikan sesuatu. "Ya ya ya..., aku memang selalu benar!" tukasnya acuh. Lalu
dia melangkah lagi.
"Orang tua, apakah kau bisa menolongku?" Hiroto memohon.
"Yang bisa menolong dirimu, cuma kau sendiri!"
"Aku cuma butuh keterangan di mana markas
Imada-Tong."
"Kau keliru jika hendak mencari anakmu di markas mereka. Mereka dibayar untuk
melaksanakan tugas. Kalau Seichi si pecundang itu membayar mereka untuk menculik
anakmu, tak mungkin anakmu masih di tangan orang-orang Imada-Tong...," tutur
orang tua bertoya datar.
Hiroto diam-diam membenarkan ucapan si orang tua itu. Karena orang tua itu terus
saja melangkah, Hiroto mengikutinya lagi dengan sabar.
"Kalau begitu, apa kau tahu di mana bisa kutemui Seichi Onigawa?"
"Kutubusuk! Kenapa kau jadi demikian tolol?" Hiroto tersentak, Dia bukan sekadar
terkejut mendapat hardikan itu. Dia justru tersentak karena tenaga dorongan yang
lahir dari bentakan itu. Ada tenaga seperti tangan raksasa yang menyentaknya ke
belakang! Siapa orang tua ini" Hiroto berbisik dalam hati. Di negeri ini, jarang seorang
dapat melakukan hal itu.
Belum sempat terberangus rasa heran Hiroto, orang tua bungkuk mengayunkan
toyanya ke tanah tepat di depan Hiroto. Maka, terbentuklah semacam lubang
jebakan yang cuma ditutupi ranting kering dan jerami. Di dalamnya telah siap
moncong-moncong bambu setajam mata pedang!
"Lihat! Kalau kau tadi terns berjalan serampangan, kau tentu akan..., ah, kau
tahu sendiri itu!"
Dua kali dengan ini
Hiroto dibuat terpana.
Bagaimana si orang tua itu tidak terperosok ke dalam lubang yang hanya ditutupi
oleh ranting setipis sumpit dan jerami" Padahal jelas-jelas Hiroto menyaksikan
si tua bungkuk itu melangkah seenaknya di sana....
Merasa dia tengah berhadapan dengan sesepuh
para samurai, Hiroto secepatnya memperbaiki sikap. Dia merunduk dalam-dalam,
memberi hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Mataku buta untuk mengetahui kalau kau,?" '
Tak! Belum selesai Hiroto berbicarar orang tua bungkuk tadi menggetok kepalanya
dengan toya. Hiroto meringis.
"Sekali lagi kau berbuat itu padaku, aku akan menghantam batok kepalamu sampai
remuk! Kau pikir aku ini siapa"! Senseimu"! Bhuh, maaf-maaf saja...."
Jakun Hiroto turun-naik. Dia merasa serba salah menghadapi orang tua ini.
"Sebaiknya kau pergi secepatnya dari sini!" perintah si orang tua dengan wajah
dibuat sebengis mungkin.
"Tapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
"Yang mana"!"
Dimana bisa kutemukan Seichi Onigawa?"
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bhuh, si pecundang itu lagi...," gerutu orang tua bertoya.
"Di mana orang tua" Saya mohon sekali. "
"Ada di dalam sana! Dengan puluhan orang-orang Imada-Tong bayarannya...," jawab
orang tua bungkuk.
Ditunjuknya Kuil Matahari dengan toya.
"Seenaknya mereka memakai kuilku tanpa izin lagi!"
Hiroto menjura. Pemberitahuan orang tua bungkuk benar-benar dihargainya. Dengan
begitu, dia tahu bahaya macam apa yang sedang menantinya di Kuil Matahari. Bisa
jadi dia bisa tahu pula keadaan Akimoto.
"Apakah mereka menahan seorang bocah, Orang Tua?" Hiroto penasaran. Parasnya
demikian berharap mendapat jawaban atas pertanyaarrya.
"Kau terlalu banyak tanya! Kenapa tak langsung saja ke sana!"
"Baik..., baik! Terima kasih, Orang Tua!"
Hiroto pun beranjak. Empat langkah ke depan, Hiroto menoleh pada lelaki tua
tadi. Ternyata Hiroto sudah tak menemukannya lagi. Si orang tua bungkuk
menghilang dengan meninggalkan kabut.
Hiroto berdecak tak sadar. Siapa sesungguhnya dia"
Tanya hatinya lagi. Ketika teringat keadaan Akimoto, Hiroto tak bisa lebih lama
memikirkan si orang tua. Dia meneruskan langkah. Sekaligus membulat-kan tekad
untuk menghadapi bahaya amat besar yang menanti di dalam Kuil Matahari. Lelaki
berjrwa ksatria itu siap mati!
Jarak semakin dekat.
Tak lama, Hiroto sampai juga di pintu besar kuil.
Daun pintu masih terkatup. Kesannya tak pernah ada orang di dalam. Bahkan sarang
laba-laba merangas, seperti tak pernah terusik selama bertahun-tahun.
Sejenak Hiroto menjadi ragu. Benarkah ucapan
orang tua penuh teka-teki tadi" Benarkah Seichi Onigawa dan orang-orang Imada-
Tong sedang menunggu di dalam"
Kalau benar, kenapa di dalam sana begitu sunyi" Daya pendengaranriya sudah
dikerahkan, tapi tak seberkas suara
jrum jatuh pun terdengar. Sunyi terlalu mengungkung. Sementara pintu dan sekian jendela berjajar di sepanjang kuil tak
menampakkan tanda pernah dibuka.Ditipukah aku oleh orang tua sakti tadi"
Keraguannya buyar seketika. Suara riuh mena-dingi kerasnya guruh terdengar dari
dalam. Kejap itu juga, seluruh jalinan otot Hiroto mengejang tegang. Matanya
membesar. Katana di tangannya diacungkan ke depan. Dia siap menanti apa yang bak
al muncul dari balik pintu.
Sampai.... Khoarkk! Brak! Hiroto tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dia baru mengetahuinya manakala pintu besar Kuil Matahari jebol seketika.
Ledakan amat besar yang menyebabkannya. Kekuatan ledakan itu menyebabkan kayu
daun pintu setebal setengah jengkal berhamburan berkeping-keping.
Sigap, Hiroto membuang badan jauh-jauh ke
samping. Tak ingin dia menempuh bahaya sedikit pun dengan menghindar tanggung-
tanggung. Di atas rimbunya ilalang, Hiroto mendarat. Dia
begulingan, lalu berdiri kembali dengan tangkas tanpa kehilangan senjata di
tangan. Matanya nyalang mencari sesuatu yang baru saja menjebol pintu besar.
Manakala tahu apa yang .dilihatnya, wajah Hiroto seperti menjadi kaku. .Dari
gumpalah asap putih tebal bergulung-gu-lung, bermunculan delapan lelaki
berpakaian merah-merah.
Nyaris seluruh tubuh mereka tertutup oleh pakaian tersebut. Hanya bagian mata
mereka saja yang tidak.
Mereka berguliran di udara bagai delapan bola, lalu berdiri membentuk Iingkarang
tertutup, mengurung Hiroto.
Mereka adalah delapan pemimpin Imada-Tong.
Dalam dunia samurai hitam, mereka dijuluki Delapan Samurai Merah. Nama mereka
demikian ditakuti, bahkan oleh para samurai, daimyo, bahkan para perwira shogun
sekali pun. Selama ini tak ada lawan yang sanggup mengalahkan mereka. Lebih dari
itu, tak ada satu nyawa bisa lolos dari ancaman maut mereka. Mereka adalah
pencabut nyawa tak kenal ampun!
Tanpa sadar genggaraan tangan pada gagang
pedangnya mengeras. Rahangnya pun turut mengeras. Dia sadar
sesadarnya kini bahaya apa yang siap memamahnya.... *** 10 "Kau yang bernama Hiroto"!" seru salah seorang dari Delapan Samurai Merah,
menghentak. Hiroto tak menjawab. Dia tak ingin berbasa-basi dengan Iawannya. Buat apa"
Pikirnya. Toh, nanti dia atau mereka yang harus mati!
"Aku dengar kau mempunyai teman asing yang hebat, heh"!" lanjut lelaki tadi.
Tampaknya dia paling berpengaruh di antara delapan orang berpakaian merah
tertutup. "Aku tidak berurusan dengan kalian! Aku hanya berurusan dengan Seichi Onigawa!"
geram Hiroto tanpa bergerak dari kuda-kuda awal.
"Kami pun sebenarnya tidak berurusan denganmu.
Tapi Seichi Onigawa telah membayar mahal kami. Tapi tetap saja itu tidak cukup
untuk membuat kami keluar.
Kalau pun sekarang kami keluar, karena kami mendengar dari anak buah kami bahwa
kau mempunyai seorang teman sakti! Kami ingin menjajalnya! Jadi urusan kami
terlepas dari urusan kau dengan Seichi Onigawa!" papar lelaki tadi. Tangannya
mengacungkan katana ke Hiroto.
Dari caranya, jelas sekali dia memandang sebelah mata pada samurai muda dari
Kyoto itu. "Kalau kalian tak berurusan denganku, kenapa kalian tak enyah saja!" balas
Hiroto. Tak sedikit pun menyembul kesan ketakulan di raut wajahnya.
"Karena kami ingin
bertemu dengan teman asingmu!" Hiroto tersenyum, meledek. "Kalian cuma delapan ekor monyet bagi kesak-
tiannya...," ledek Hiroto lagi, membanding-bandingkan kehebatan Pendekar Slebor
dengan nama besar Delapan Samurai Merah.
"Kalau begitu, kau yang terlebih dahulu merasakan kehebatan kami!" ancam lelaki
tadi. Hiroto mengebut katana beberapa gebrakan. "Kalau begitu, kenapa kalian tak cepat
menerjang"! Aku sudah
ingin secepatnya menyelesaikan urusan dengan Seichi Onigawa keparat itu!" tandas
Hiroto. Lalu lelaki yang kehilangan anak kesayangannya itu menoleh pada bangunan Kuil
Matahari. Dengan wajah berang, dia berteriak.
"Hei, Seichi! Apa kau dengar ucapanku! Aku akan datang memenggalmu jika selembar
saja rambut anakku kau rontokkan!"
Di ujung seruannya, delapan lawan tanpa aba-aba sedikit pun serentak menyerhu
Hiroto. Memang begitu ciri khas
serangan Delapan Samurai Merah. Mereka menyerang^tanpa tanda sedikit pun kalau mereka hendak melakukannya. Namun
begitu, serangan mereka bisa dilakukan secara bersamaan. Sementara tak pernah
sekali pun mereka pernah menyerang sendiri-sendiri. Kehebatan mereka justru
terletak pada kesatuan penyerangan. Siapa pun atau bagaimanapun kehebatan lawan
yang mereka hadapi mereka akan selalu menyerang bersama. Tak perduli apakah
lawan terbilang memiliki kendo tinggi atau tidak.
Satu dari sekian ciri khas mereka adalah senjata andalan yang berbeda satu
dengan Iain. Masing-ma-sing dari mereka sepertinya telah mencapai taraf sensei
dalam permainan
senjata yang berbeda. Seorang mempergunakan katana, yang Iain mempergunakan toya, arit kembar, rantai
berbandul pisau. trisula, pedang pendek kembar, lembing panjang berpangkal arit
dan sepasang tongkat pendek.
Di lain sisi, bukan berarti mereka tak cukup
berbahaya dalam keahlian mempergunakan senjata Iain.
Swing! Terjangan pendahuluan dilakukan oleh lelaki berkatana. Dialah yang sebelumnya bertanya pada Hiroto.
Dari udara, lelaki membacokkan senjatanya lurus-lurus ke batok kepala Hiroto.
Tenaga lompatannya sudah cukup menunjukkan bacokannya bisa membelah dua kepala
hingga tubuh lawan!
Hiroto terkesiap sejenak. Semula dia tak menganggap Delapan Samurai Merah akan melakukan serangan
secepat itu dan setiba-tiba itu. Naluri kesamuraiannya yang telah diasah dalam memperingati.
"Hai!"
Hiroto berguling di tanah. Katana lawan hanya
menghujam tanah tepat di tempat berdiri sebelumnya.
"Hea!" Swing!
Begitu kaki lawan sampai, Hiroto membuat sabetan rendah
setengah putaran. Kaki lawan hendak dikutungkannya. Namun usaha itu tidak mudah. Se-belum bisa membabat kaki lawan,
anggota Delapan Samurai Merah bersenjata katana itu sudah menjegal tebasan
Hiroto dengan katananya.
Trang! Kejap berikutnya, lawan bertrisula kembar menusukkan sepasang senjatanya ke dada Hiroto. Hiroto yang masih telentang di
tanah, mencoba memapaknya dengan telapak kaki.
Taph! Pergelangan tangan lelaki bertrisula kembar tertahan di udara. Itu tak berlangsung lama. Katana lawan yang lain mencoba
membobol pertahanan kaki Hiroto dengan menebaskan sepasang arit. Wes!
Hiroto tak mau kedua kakinya terputus. Dia menarik dalam-dalam kakinya. Lalu
melepaskan tusukan ke perut lawan bersenjatakan trisula kembar.
Swing! Trang! Tanpa sempat menembus sasaran, katana Hiroto
dijegal sepasang arit yang sebelumnya berusaha mengutungi kakinya. Pada saat yang sama, sepasang arit tadi mengunci senjata
Hiroto dengan cara menyilang di antara katana Hiroto.
Mata Hiroto cukup awas untuk mengetahui niat
lawan. Sebelum pedang panjangnya benar-benar terkunci tenaga lawan, cepat
ditariknya senjata ke samping.
Gagalnya kuncian sepasang arit di kuti oleh tusukan dua pedang dari lawan yang
lain. Hiroto yang masih telentang di tanah dipaksa bergulingan. Lawan bersenjata
dua pedang pendektcrus mengejarnya. Setiap kali Hiroto berhasil membuat tus ukan
sepasang pedang pendek itu menghujam tanah, lawan. membuat tusukan yang sama
kembali. Bles! Bles! Bles!
Hiroto tak mau terus-terusan begitu. Lama-lama dia bisa kehabisan tenaga. Maka
diputuskan untuk menjegal tusukan liar lawan dengan katananya. Sayang baru saja
senjatanya itu di ayunkan, toya baja seorang lawan mendongkelnya dari bawah.
Trang! Bunga-bunga api terpercik ketika dua batang baja berbentuk berbeda itu
berbenturan. Hiroto merasakan pergelangannya demikian ngilu karena tenaga
hantaman lawan.
Detik itu juga pedang panjang Hiroto terpental ke udara, terkena dongkelan
bertenaga lawan bertoya. Lawan berhasil membobol satu pertahanan paling penting
bagi Hiroto.Itulah kehebatan Delapan Samurai Merah. Mereka membuat pertahanan
rapat satu dengan yang Iain.
Serangan dan pertahanan mereka ibarat mata rantai yang tergabung menjadi satu.
Satu dengan yang lain saling memperkuat. Tak perduli apakah mereka menghadapi
lawan berkemampuan kendo tinggi atau tidak
Hiroto baru menyadari itu. Tapi apa gunanya
menyadari kunci benteng pertahanan lawan kalau dia sendiri telah kehilangan
benda paling penting dalam suatu pertarungan"
Ha,ti Hiroto seperti tergiris,Sementara memegang senjata saja keadaannya sudah
begitu terdesak, Apalagi jika tangannya kosong melompong.
Tanpa mau memberi kesempatan bagi Hiroto untuk
bernapas setarikan pun, seorang dari anggota Delapan Samurai Merah yang memegang
rantai panjang berbandul
pisau melepas senjatanya dari jarak jauh.
Keterdesakan Hiroto di atas tanah makin tak banyak mendapat jalan lolos. Mata
pisau berantai meluncur deras menuju kening Hiroto.
Tak ada lagi yang bisa diperbuat Hiroto saat itu. Satu sisi dia harus menghadapi
tusukan mata sepasang pedang.
Dan kalau dia mencoba menghindar ke sisi lain, maka mata pisau berantai akan
menembus keningnya!
Mau tak mau, Hiroto akhirnya memasrahkan
semuanya pada takdir. Kalau melihat keadaannya
sekarang, tentu takdir buruk yang akan menghampiri.
Namun begitu, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang tahu takdirnya sendiri.
Karena begitu mata pisau di ujung rantai lawan hendak menghujam, tubuhnya tiba-
tiba saja disambar seseorang. Sambaran itu amat cepat, lebih tangkas dari
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambaran seekor elang perkasa dari langit!.'
Thep! Kejopak mata Hiroto yang semula terkatup
memasrahkan segalanya, Jangsung saja membuka saat merasakan tubuhnya melayang
begitu cepat. Dia belum lagi tahu siapa yang baru saja menolongnya.
Ketika Hiroto merasakan ada sentakan, dia tahu si penolong telah
menjejakkan kaki di tanah.
Lalu didengamya suara orang yang membopongnya. Suara yang serak memekakkan telinga.
Saking memekakkan, mungkin lebih pantas disamakan dengan riuh-rendah kaleng
rombeng. 'Hua-he-hu-he-huaaa, jangan heran jangan ka-get!
Aku datang untuk bikin kejutan. Siapa yang tak terkejut, silahkan terkejut.
Siapa yang terkejut, silahkan tidak terkejut. Siapa yang bingung mendengar
kejutan ini"
Silahkan buat kejutan sendiri!"
Delapan Samurai Merah merasa langkah kemenangan mereka digagalkan oleh seorang sinting!
Mereka melihat seorang yang amat jelek. Kimono yang dipakainya sudah porak-
poranda. Dekil, dan tercabik-cabik.
Wajahnya amat merah menjijikan. Bagaimana tidak
mcnjijikkan kalau merah wajahnya sama dengan pinggiran bisul" Di salah satu
pipinya terdapat benjolan sebesar jempol Buto Ijoberwama biru. Mulutnya terus
saja mengecap-ngecap, menimbulkan s uara tak sedap. Dan rambutnya keras serta '
kaku seperti bulu domba tak terurus.Delapan Samurai Merah benar-benar yakin
mereka berhadapan dengan orang sinting. Belum lagi kalau mereka menilai ucapan
ngawur yang dikatakan barusan.
Kalau pun benar lelaki itu sinting, tentu dia adalah orang sinting berilmu
tinggi. Buktinya Hiroto dapat disambar demikian rupa. Pikir mereka lagi.
"Siapa kau"!" bentak lelaki bersenjatakan katana.
Dari sinar matanya tampak sekali kalau dia begitu gusar.
"Iyou-iyou! Siapa aku" Aku adalah orang yang bakal membuat kejutan. Siapa pun
manusia di dunia ini akan kubuat terkejut! Terkejut adalah kesenangan yang
mengejutkan. Apa kalian tak ingin terkejut" Hua-he-hu-heaaaa!"
Delapan Samurai Merah saling pandang tak
mengerti. Mereka mau berbuat apa sekarang" Menghabisi juga orang sinting itu"
Tampaknya lelaki bersenjata katana tak berniat
berurusan dengan si orang dekil tak dikenal. Tujuan mereka menghadang Hiroto
sesungguhnya hanya untuk membuktikan cerita anak buahnya tentang kawan
asing,Hiroto. Mereka merasa harga diri mereka terusik dengan tindak-tanduk si
anak muda asing.
Kalau orang yang akan dihadapinya kini bukan lah pemuda itu, bagaimana mereka
mau membuang tenaga tanpa tujuan yang jelas. Seichi Onigawa pun tak membayar
mereka untuk melakukan tindakan itu.
Delapan Samurai Merah menganggukkan kepala
berbarengan,Dan dengan berbarengan pula tangan mereka membanting sesuatu ke atas
tanah. Blush! Asap tebal mengepung tubuh kedelapan lelaki
berpakaian merah-merah itu. Amat tebal, sosok mereka jadi tak tampak karenanya.
Ketika angin menyapu perlahan asap putih tebal tadi, Delapan Samurai Merah telah
tak ada lagi. "Turunkan aku, Tuan!" pinta Hiroto, sesaat setelah Delapan Samurai Merah
menghilang. Lelaki dekil berwajah jelek tertawa tak beraturan
"O, iya. Aku sampai lupa," tukasnya. Dilepasnya begitu saja tubuh Hiroto dari
bahu. Kalau saja Hiroto sejenis lelaki pesakitan, tentu dia sudah jatuh
tersungkur dengan pantat terlebih dahulu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hiroto. Diberinya sang penolong juraan hormat.
Dalam dan khusuk. Sebagai samurai sejati, Hiroto memiliki tata krama tinggi.
Sementara menjura, hatinya tak habis bergumam.
Hari ini di tempat yang sama, dia sudah dua kali bertemu dengan orang yang bukan
saja bertingkah ganjil, tapi pakaiannya pun tak karuan. Sebelumnya si kakek
bungkuk. Sekarang lelaki berwajah merah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau ,tak bisa terus di sini!" sambat
lelaki berwajah merah sebelum mulut Hiroto berucap lebih banyak.
"Kenapa begitu! Tuan?"
"Jangan panggil aku Tuan! Kau pasti punya nama bukan" Begitu juga aku.... Namaku
Tototo." Mulut Hiroto meringis samar. Nama itu" bisik hatinya geli. Seumur hidup, tak
pernah didengarnya nama seaneh itu di negerinya ini.... Jangan-jangan dia orang
sinting, duga Hiroto lagi, tak beda dengan pikiran Delapan Samurai Merah."Kenapa
tersenyum"!" hardik lelaki bernama Tototo.
Matanya mendelik menyeramkan.
Hiroto menjura lagi.
"Maaf, maaf.... Aku tidak bermaksud apa-apa,"
sergah Hiroto, memperbaiki kesalahannya. "Kenapa aku tidak bisa masuk ke Kuil
Matahari, Tototo San?" Hiroto mengulang pertanyaan yang sebelumnya terbengkalai.
"Karena aku sudah ke sana."
"Tapi aku belum."
"Tapi kau tak perlu ke sana! Titik!"
"Aku punya urusan yang amat genting dengan Seichi Onigawa...." Hiroto mencoba
menjelaskan. "Aku bilang tak perlu ke sana. Waktu kau habis-habisan dikeroyok orang-orang
usil tadi, aku iseng.-iseng masuk ke dalam sana. Tak ada seorang pun di dalam
sana. Tapi tunggu dulu...." Tototo rnenghentikan ucapan-mencerocosnya Dia mengingat-
ingat sesuatu. "Tapi aku melihat satu gerombolan bersembunyi di sana...."
"Kau bertemu dengan gerombolan Imada-Tong?"
Hiroto teringat pada ucapan kakek bungkuk. Orang tua bertoya itu juga kalau
orang-orang Imada-Tong menanti di dalam Kuil Matahari.
Tototo mencibir. Wajahnya bertambah jelek.
"Aku bertemu dengan satu gerombolan kecoak!"
tukasnya acuh sambil berlalu dari tempat itu.
Hiroto ragu. Mana yang harus dipercayanya kini.
Orang tua bungkuk sebelumnya mengatakan Seichi
Onigawa dan orang-orang Imaga-Tong menunggunya di dalam kuil. Sebaliknya, lelaki
bernama Tototo ini justru mengatakan di dalam kuil tak ada orang lagi.
Bimbang meruyak. Kalau dia masuk ke sana juga
dan ternyata Tototo benar, artinya dia akan banyak kehilangan waktu. Tapi
bagaimana kalau perkataan kakek bungkuk benar"
Karena terlalu dikecamuk kebimbahgan, tanpa
sadar Hiroto menoleh ke arah bangunan Kuil Matahari.
Sewaktu kepalanya menoleh kembali ke arah lelaki bernama aneh tadi, Hiroto sudah
tak menemukannya lagi.
"Siapa pula dia?" Benak Hiroto makin dijejali teka-teki tak terjawab.
Siapakah orang tua bungkuk bertoya" Siapa pula
Tototo" Apa tujuan keduanya" Apa yang dilakukan si urakan sakti
Pendekar Slebor untuk menolong Hiroto
tanpa perlu membuat harga diri kawannya itu terusik" "
Di mana pula Akimoto disembunyikan" Siapa
pengkhianat keluarga Hiroto"
SELESAI Ikutl serial Pendekar Slebor selanjutnya :
RAHASIA SANG GEISHA
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pendekar Gelandangan 4 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Kisah Pendekar Bongkok 9
Hiroto menggeleng.
"Tampaknya anakku telah diculik oleh perkumpulan Imada-Tong," keluh Hiroto
pekat. Rahang Pendekar Slebor bergemeletuk. Geram
sekali anak muda itu dengan tindakan pengecut seperti yang dilakukan musuh-musuh
Hiroto. Menculik seorang bocah tak berdaya" "Slompret bau pesing!" makinya dalam
hati. "Apa kau punya gagasan yang baik, Andika San?"
tanya Hiroto kemudiaa
Andika mengangguk.
"Bagaimana?" susul Hiroto. Berharap sekali lelaki itu kawan dari negeri jauh di
depanhya akan memberjkan satu jalan pemecahan untuk mengem-*Jbalikan Akimoto.
"Saat kau mencari Akimoto, aku berhasil melumpuhkan salah seorang anggota kunyuk-kunyuk itu.
Kini dia kusembunyikan di tempat yang aman. Bagaimana kalau
kita mengorek keterangan darinya?" Hiroto menggelengkan kepala lunglai.
"Percuma, Andika San." "Kenapa?"
Hiroto menghela napas sarat-sarat
"Apa kau pernah melihat tindakan mereka dalam keadaan amat terdesak?" Lelaki itu
malah mengajukan pertanyaan balik kepada Andika.
"Ya Pernah kulihat dua orang dari menikam perut sendiri dengan pedang pendek
saat tahu aku akan menangkap mereka. Saat itu aku sedang berusaha
menolong Jotaro," tutur Andika, mengenang kejadian belum lama. "Apa mereka itu
semacam orang sinting?"
Andika bertanya dengan nada meng-umpat.
Hiroto menggeleng.
"Bukan. Sama sekali bukan. Mereka adalah orang-orang yang menganut jalan
bushido. Bagi mereka tujuan lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Sayang,
tampaknya mereka berada di dalam kesesatan...."
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Apa pun yang dikalakan teman Nippon nya,
dalam hati dia tetap menyumpahi orang-orang itu dan menyebutnya slompret bau
pesing! "Membuang nyawa untuk tujuan yang bodoh!" maki Andika.,
"Itu menurutmu.
Keyakinanmu tentu berbeda
dengan mereka. Menurut mereka, itulah kebanggaan dan kehormatan tertinggi yang
lebih dari nyawa."
Kalau bicara soal keyakinan, Andika hanya bisa
mcngangkat bahu.
"Jadi apa yang akan kita lakukan, Hiroto?" Andika mengembalikan pembicaraan.
"Kupikir, aku tahu siapa yang mengatur ini semua...,"
gumam Hiroto, seakan dia sedang berbicara pada diri sendiri.
"Ada satu hal yang belum kau katakan padaku?"
"Ya Tapi aku tak bisa menjelaskan padamu
sekarang. Aku harus segera pergi mencari Akimoto."
"Kalau begitu, aku akan membantumu!"
"Dengan hormat, kuminta kau tak ikut campur dalam
urusan ini. Ini hanya urusan permusuhan keluarga yang terus berlanjut
membosankan." sergah Hiroto.
"Tapi aku ini kawanmu, Hiroto. Kawan macam apa yang membiarkan sahabatnya berada
dalam ke-sulitan.
Sementara kau menghadapi maut., apa aku harus
beruncang-uncang kaki?" debat Andika. Sama sekali dia tak setuju penolakan
Hiroto. "Mengertilah Andika San...."
"Aku tak mengerti!" terabas Andika.tak mau tahu.
Orang negeri.Sakura ini memiliki tabiat keras. Tapi si anak muda Tanah Jawa bisa
tak kalah keras. Kalau tak kepala batu, mana mungkin dia masih bisa dijuluki
Pendekar Slebor"Sayang, sifat keras Andika tak berguna menghadapi tekad Hiroto.
Andika akan sia-sia bersikeras. Ibarat memecah karang dengan palu kayu!
"Aku menjunjung tinggi kehormatanku, Andika San.
Kalau kau turut campur dalam masalah ini, aku akan sangat dipermalukan. Kuundang
kau ke sini bukan untuk susah demi aku...," tegas Hiroto. "Apa pun yang kau
katakan, sekali lagi aku minta dengan sangat hormat Andika San. Biarkan aku
sendiri yang menyelesaikan perkara ini," tandas Hiroto.
Hiroto pergi. Andika cemberut. Dia jelas tak bisa memaksa untuk mendampingi lelaki itu.
Mungkin ini masalah kehormatan dan harga diri pula seperti katanya tadi, nilai
Andika membatin.
"Hm, permusuhan keluarga.... Aku tidak bisa menunggu agar Hiroto menceritakannya
padaku. Aku harus mencari tahu!" tekad Andika. Saat itulah, di benak pemuda
sakti Lembah Kulukan itu melintas wajah lembut Akemi.
"Tentu perempuan itu tahu banyak
tentang permusuhan keluarga yang dimaksud Hiroto," duga Andika pasti, Yang tak pasti
sekarang, apakah niatnya sekadar ingin bertanya. Atau ada niat lain yang 'ehem-ehem'"
Andika sempat nyengir kuda. Sekali tepuk dua
lalatlah! Cuma satu yang bisa dilakukan Pendekar Slebor kini.
Kembali ke rumah pengasingan rahasia Hiroto. Akan ditanyakannya perihal
permusuhan keluarga pada Akemi.
Andika tiba di sana menjelang sekaratnya dinihari Ayam jantan sudah mulai
berkokok panjang. Bersahutan, memberitakan hari baru sebejitar lagi akan hadir,
meski mentari belum lagi berani beranjak dari sudul timur. Hari masih gelap.
Dalam kegelapan seperli itu seseorang mengintai kedatangan Pendekar Slebor di
sisi rumah. Cahaya lampu kertas dari depan terhalang pohon besar. Sosok itu jadi
tak nampak jelas.
Ketajaman daya pendengaran Andika tak bisa
diperdayai. Dalam jarak yang terbilang jauh, nalurinya sudah memperingati ada
seseorang mengawasi. Dengan sedikit lebih mendekat, telinga anak muda itu sudah
bisa menginderai helaan napas halus seseorang.
"Jangan coba-coba main kucing-kucingan dengan seekor kucing, Tikus!" bisik
Andika. Bibirnya menyeringai.
Akal bulusnya berjalan.
Andika menghentikan langkah. Tentu lawannya
belum tahu kalau Andika sudah menyadari sedang diawasi.
Karena itu dia tak ingin melakukan tindakan yang memancing kecurigaan. Sambil
bcrsiul-siul kecil, Andika menyorongkan
langkah kesemak-semak. Pura-pura membuang hajat kecil!
Begitu tubuhnya terhalang oleh rimbunnya semak, ringan tanpa menghasilkan suara
yang lebih keras dari tarikan napas, tubuhnya melenting ke kubah bangunan.
Kecepatan dikerahkan pendekar muda yang kini memakai pakaian seperti layaknya
penduduk setempat. Maksudnya biar tak ada kemungkinan pcngintainya melihat
tindakan itu. Mengendap-endap seperti seekor kucing hendak
mencuri sepotong daging di meja makan sebuah rumah, Pendekar Slebor mendekati
tempat sembunyi pengintai
tadi dari atap.
"Yak, di sini!" katanya dalam hati memastikan. Lalu...
Wukh! Dari atap tubuh pemuda itu berputar cepat ke
bawah. Amat cepat. Dua putaran di udara bahkan
dilakukannya dalam sekejapan.
"Hihihi...."
Tahu-tahu saja, tangan kekarnya sudah mencengkeram kerah baju si pengintai. Saat itu tangan Andika menyentuh benda
kenyal padat di dekat ba-gianhaju si pengintai yang dicengkeramnya.
"Waduh, apa ini?" batinnya kasak-kusuk cepat.
"Aw!"
Terdengar pckikan kaget. Andika mendelik. Bukan cuma suara wanita yang
didengarnya membuatnya
terkejut, tapi juga karena wajah orang itu sudah dikenalnya.
"Andika San...," sapa kaget Kissumi, orang yang dianggap sedang mengintai
Andika. "Kissumi" Ah, untung saja bogemku belum sempat melayang ke wajah cantikmu
itu...," kata Andika seperti menggerutu.
"Maaf Andika San.
Saya sedang menunggu
kepulangan Tuan berdua...," hatur Kissumi seraya menjura dalam."Kau tidak
tidur?" Andika heran. Selarut ini perempuan itu belum juga beranjak ke peraduan.
"Menunggu Andika San."
Alis anak muda urakan itu berkernyit.
"Kenapa begitu" Kenapa kau tak bilang sedang menunggu Tuanmu, Hiroto?"
Kissumi merunduk lagi. Sikap seperti itu membuat Andika terlalu jengah. Nanti
aku akan melarang dia terus begitu padaku, niat Andika di hati.
"Karena Hiroto San telah mcnyerahkan diri saya kepada Andika San...."
Menyerahkan kau padaku" Gurauan tengik macam
apa ini?" Andika mcnyeringai. Karena terlalu tak mengerti tangannya jadi sibuk
menggaruk sana-sini. Kalau kebetulan ada kera, bisa diperlombakan siapa yang
lebih cepat menggaruk!
"Dengan begitu, saya menjadi milik Andika San.
Kalau Andika San gugur dalam kericuhan tadi, maka sepantasnya saya pun harus
mati." Kening Andika dijamm berkerut-merut bak gombal
tak kena cuci setahun penuh!
"Maksudmu...?" Andika tak bisa berkedip.
"Saya harus melakukan seppuku sebagai tanda kesetiaan saya pada Andika San...."
"Seppuku?" Seperti bocah tolol, anak muda itu mengekori ucapan Kissumi. Lalu
tangannya membuat gerakan seperti orang sedang menikam pisau ke perut sendiri.
Wajahnya bertanya pada Kissumi.
"Ya, Andika San." Kissumi membenarkan.
Andika menggeleng-gelengkan
kepala. Pusing rasanya mendengar penuturan perempuan cantik di depannya barusan. Dia cepat
melangkah masuk ke dalam.
Mulutnya tak henti menggerutu, memaki, menyumpah-nyumpah tak kentara.
"Kesintingan macam apa lagi ini...," kalanya agak samar. Tapi masih bisa
ditangkap telinga Kissumi. Untung, Andika mengucapkannya dalam bahasa sendiri.
Kalau tidak, Kissumi bisa merunduk-rudukkan kepala lagi seraya meminta maaf
berkali-kali Buh, menyebalkan!
Dinihari kian menjelang pagi. Lamat, sinar kuning tembaga matahari pagi mulai
mengambang di cakrawala timur. Sapuan warnanya begitu lembut, menggelitik
perasaan damai terdalam seseorang.
Andika di kamarnya. Berdiri menatapi sinar lembut matahari muda di ufuk sana.
Dia tak mungkin bisa tidak.
Matanya tak mengantuk. Kalaupun mengantuk, dia pun akan berusaha untuk tetap
melek. Kecamuk pikirannya masih terus berlangsung. Dia
mengkhawatirkan keadaan Hiroto.
Dan jauh lebih dikhawatirkan lagi adalah nasib Akimoto. Bocah kecil itu terlalu muda untuk
mengalami kebusukan dunia ini.
Waktu hendak menanyakan pada Akemi, janda
Jolaro itu ternyata sedang tidur lelap.
Tadinya Andika mencoba lancang memasuki kamarnya. Sungguh tak pantas sebenarnya. Andika menyadari
itu. Namun karena keadaan demikian mendesak, dia memutuskan untuk mencoba memasuki kamar Akemi juga, Dia harus
secepatnya mengetahui persoalan yang sedang memanas. Siapa tahu dia bisa
mendapatkan jalan untuk menyelamatkan Akimoto.
Waktu dia masuk, Akemi ternyata terpulas. Andika jadi tak tega mengusiknya,
mendapati wajah perempuan malang itu begitu tenang dalam tidurnya.
Sewaktu sedang menyusui bayinya, tentu perempuan itu tertidur. Mulut bayinya masih menempel pada puting susu dada padat
sehalus sutera Akemi. Andika jengah melihatnya. Meski begitu, tak urung darah
mudanya menjadi melonjak sesaat Dada Akemi begitu mempesona.
Kehalusannya dan kepadatannya mengundang. Apalagi masa-masa sedang menyusui
anaknya seperti itu. Dadanya jadi kian padat.
Ada semacam godaan mendesir di benak si pemuda
dari tanah Jawa. Ingin sekali dia berdiam sampai pagi dan menatapi dada
mempesona Akemi puas-puas. Toh, tak ada yang tahu. Akemi pun sedang terlelap.
Tentu dia tak akan sadar ada yang mengawasi kemolekan tubuhnya.
Untung, Andika masih punya kesadaran untuk tidak meneruskan perbuatan yang
dianggapnya menghina diri sendiri itu. Dengan menahan gelegak darah,dalam
dirinya, Andika menggeser pintu perlahan.Pergi meninggalkan kamar Akemi.
"Andika San. Apakah Andika San belum tidur" Boleh saya masuk?"
Suara Kissumi di pintu kamar membuyarkan
keterdiaman Pendekar Slebor.
"Ada apa Kissumi?" tanya Andika setelah membukakan pintu untuk wanita itu.
"Apa...," Kissumi tertunduk. Keraguan menjegal ucapannya.
Andika menunggu.
"Ada apa Kissumi?" ulang Andika lagi.
"Apa Andika San membutuhkan seorang 'teman'?"
aju Kissumi akhirnya.
Andika menelan ludah. Jakunnya turun naik.
Bayangan kemolekan bagian tubuh Akemi yang dilihatnya mengambang liar kembali di
benaknya. Keparat! Makinya dalam hati, mengutuki diri sendiri.
Andika tahu apa maksud Kissumi. Dari dasar hati entah di sisi mana, Andika
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digoda bisikan-bisikan kuat.
Bisikan yang mencoba mendongkel segenap birahinya selaku seorang pemuda. Dia
masih waras. Masih punya birahi yang mengelegak-gelegak.
Tanpa sadar, Andika menepikan tubuh, mem-biarkan Kissumi memasuki kamarnya.
Kissumi sendiri menganggap itu adalah isyarat
bahwa Andika memintanya menemani 'tidur' menjelang pagi ini. Dia masuk dengan
merunduk. Tak ada senyum di wajahnya. Tapi sinar mata wanita itu membersitkan
kebahagiaan. Mungkin dia pun tak sekadar mehgorbankan diri untuk Tuan barunya.
Lebih dari itu mungkin ada dorongan selaku perempuan biasa yang mengharapkan hal
itu. Di tengah kamar, Kissumi melepas satu persatu
pakaiannya. Mula-mula kimono lebar yang membungkus tubuhnya dilorotkan dalam
gerak gemulai diselubungi hasrat. Gerak tak sadar yang lahir begitu saja.
Andika terpaku. Menganga dengan mata tak
sanggup berkedip. Disaksikannya tubuh Kissumi kini hanya terbungkus pakaian
dalam. Sebagian kulit saljunya tersingkap sudah. Kamar gelap. Lampu telah
dimatikan Andika ketika dia baru masuk belum lama. Sinar lamat yang menembus
kisi-kisi dinding kertas menyapu kulit
tubuh Kissumi, membentuk bayangan memikat berlekuk mengundang.
Dada Andika berdebam-debam. Keadaan dirinya
makin kacau. Makin dihanyut gelombang liar tak
tertahankan. Tanpa berbuat apa-apa, Andika terus menatap gerak perlahan Kissumi.
Kissumi kini mulai melepas pakaian dalam bagian atas. Tetap perlahan, tapi
mengalun. Dilepasnya simpul-simpul penutup buah dada. Dan kain halus itu pun
menuruni tubuhnya.
Kini samar-samar terlihat sepasang benda padat
mengambang di dadanya. Terbuka tanpa penghalang apa-apa. Dada itu mengingatkan
Andika pada dada Akemi.
Yang kini dilihatnya tak kalah menggairahkan. Meski tak sepadat milik Akemi,
tapi tetap memanggil-manggil dalam keindahan bentuknya.
Sedikit saja, tubuh berlekuk Kissumi bergerak
menghadap siraman lamat cahaya dari kisi dinding, makin jelas saja bentuk
dadanya. Pemuda petualang sakti dari tanah Jawa seperti
terkena tenung yang ditebarnya. Kakinya beranjak perlahan. Selangkah demi
selangkah, di dekatinya tubuh setengah tak berbusana di atas talami.
Sampai di dekatnya, tangan Andika terangkat
perlahan. Kissumi menyambutnya. Dituntunnya tangannya itu ke leher jenjang mulai
terentang. Kissumi mendongak, mempersilakan Andika mengecup lehernya dengan
desah napas halus yang mulai tak berirama.
Andika makin dekat.
Kepalanya terjatuh di leher Kissumi. Disentuhkannya bibir lamat Kemudian
beranjakbibir pemuda itu menjadi liar, mengec up dan berlari di sekujur kulit
langsat leher Kissumi.
Kissumi melenguh dalam desah napas yang terulur panjang terseret. Dia
menikmatinya. Tangan Andika mulai menuruni pangkal leher
Kissumi ke bagian dada. Menurun dan menurun. Sampai jemari Andika mulai menanjak
bukit dara Kissumi.
Saat itu, Kissumi kianterbakar desahnya sendiri. Dan saat yang sama, Andika
merasakan tangannya tersengat sesuatu. Dia tersentak. Cepat dijauhkannya tangan.
Juga dijauhkannya tubuh dari Kissumi.
Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan
rupanya tak bisa untuk dibawa dalam kemesuman. Tenaga itu bergeliat lalu
menyentak kesadaran si pemuda.
Sinting! Kalau ini terus kubiarkan, aku bakal
terjerumus pada penghinaan martabat seorang perempuan! Andika tersadar dalam kecamuk birahinya sendiri. Tak mungkin
dibiarkan ini terjadi.
Aku tak bisa melakukan hal itu sekehendak birahi tanpa ikatan apa-apa. Hanya
binatang yang melakukan perbuatan seperti itu! Hati si anak muda memperingati.
Begitu kesadaran telah memenuhi benaknya, Andika beranjak
meninggalkan ruangan. Membengkalaikan
Kissumi dalam gelora birahmya sendiri.
Suatu saat nanti, aku akan melakukannya juga.
Sumpah hati Andika. Tapi hanya dengan istri tercintaku!
Sampai di luar anak muda itu mendinginkan panas darahnya dengan udara pagi.
Ditariknya napas dalam-dalam memenuhi rongga paru-parunya dengan hawa segar di
pinggiranKyoto. Hari mulai terang. Dari tempat terpencil yang berada di punggung
sebuah bukit itu, Andika bisa melepas pandangan jauh-jauh.
Di bawah sana, dilihat kumpulan-kumpulan rumah
penduduk masih berpayung kabut tipis.Hamparan hijau di mana-mana. Rasanya bukan
cuma pikiran yang menjadi segar, jiwa anak muda itu pun begitu.
Andika melangkah perlahan. Di dekatinya tebing.
Dari sana, tentu dia bisa melihat lebih lapang, desah batinnya. Tanpa sengaja,
kakinya menginjak sesuatu di bibir tebing tanah berumput.
Matanya meneliti ke bawah. Ditemukannya sebuah
benda kecil. Tampaknya benda itu terbuat dari logam tipis.
Berbentuk seperti bintang. Ada darah hampir mengering menodai seluruh
permukaannya. Dengan mengamati sebentar saja otak encer anak
muda itu sudah bisa menduga kalau benda yang
ditemukan adalah sebuah senjata rahasia. Tampaknya ada seseorang yang telah
menjadi korban. Orang itu mencabut logam bintang ini disini, pikir Pendekar
Slebor. Tapi kenapa harus di tempat ini" Andika bertanyatanya.
Kepalanya menoleh ke belakang. Rumah pengasingan rahasia Jotaro tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
"Hm..., apakah orang itu adalah salah seorang penghuni rumah Hiroto?" gumam
Andika. Andika meneliti lagi tempat itu. Terlalu aneh bagi pikirannya jika seseorang
yang terluka oleh senjata rahasia harus mencabut senjata rahasia di tepi tebing.
Tentu ada maksud lain.
Sekian lama mencari, Andika tak menemukan apa-
apa. Ketika hampir yakin memang tak ada hal
mencurigakan lain, matanya malah melihat sesuatu.. Tepat di bawah tebing yang
bagian tanahnya agak menjorok ke dalam, dilihatnya kain hitam menyembul.
Andika mengambil ranting kering. Dengan ranting itu, diraihnya ujung kain tadi.
"Hmm.... Sekarang jelas sudah," bisik Andika ketika menyaksikan benda baru yang
ditemukannya adalah pakaian hitam seperti milik anggota perkumpulan rahasia
Imada-Tong. "Di rumah itu ada musuh dalam selimut!" tandasnya lagi, masih berbisik. Pantas
saja para penculik Akimoto tahu rumah pengasingan rahasia Hiroto. Padahal,
Hiroto pernah bilang pada Andika bahwa rumah di atas bukitnya ini benar-benar
terpencil. Tak ada yang mengetahui kecuali anggota keluarganya sendiri.
Kalau di rumah itu hanya ada Akemi dan Kissumi, apa mungkin di antara dua wanita
itu ada seorang penghianat" Tanya hati Andika ragu.
Andika tak bisa membuang waktu lebih lama. Begitu Akemi bangun pagi itu,
ditemuinya Akemi. Ditanyakannya tentang permusuhah keluarga yang dimaksud
Hiroto. "Memang terjadi permusuhan turun-temurun yang terjadi antara keluarga Hiroto
dengan keluarga Tokugawa,"
papar Akemi di ruang upacara minum teh.
"Bagaimana asal mulanya?" Andika ingin tahu lebih banyak.
Akemi pun mulai menceritakan dari awal. Sekitar satu setengah abad silam, ada
Perguruan Samurai Naga Langit Merah. Perguruan itu dibawah pimpinan dan didikan
seorang sensei* berjuluk Pedang Ekor Naga.
Sensei Pedang Ekor Naga hanya memiliki dua orang murid pewaris seluruh
ferafo*nya yang amat disegani.
Bahkan shogun yang berkuasa saat itu pernah menganggap lelaki tua itu sebagai Benteng Besar Keshogunan.
Dia amat disegani dan mendapat kehormatan langsung dari shogun
Suatu hari, karena merasa dirinya sudah begitu tua, Sensei Pedang Ekor Naga
ingin menyerahkan katana pusakanya yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Karena muridnya ada dua orang dan sama-sama.
baik dalam menguasai kendo yang diajarkan, maka Sensei Pedang Ekor Naga membuat
satu ketentuan. Kedua
muridnya harus bertanding untuk membuktikan diri siapa di antara mereka yang
pantas menerima warisan katana pusaka tersebut!
Pertandingan penentuan pun di laksanakan di
bawah kaki Gunung Fuji.
Pada pertandingan adu kendo yang memakan waktu
sehari-semalam itu, ternyata murid bungsu unggul.
Dikalahkannya kakak seperguruan dalam jurus-jurus terakhir.
Maka, Sensei Pedang Ekor Naga pun membuat
keputusan saat itu juga.
Dibuatlah satu upacara
penerimaan katana pusaka kepada murid bungsu di tempat itu juga.
Setengah tahun sejak kejadian itu, Sensei Pedang Ekor Naga wafat. Dengan
wafatnya sang Guru, mulai tumbuh rasa tak puas pada diri murid tertua. Dia
merasa dilangkahi oleh adik perguruannya sendiri. Kehormatannya merasa dihina.
Akhirnya, dia pun menuntut si murid bungsu agar katana pusaka diberikan padanya.
Menurutnya, dialah yang pantas menerima senjata warisan itu selaku murid
tertua.Karena merasa Katana Pusaka Ekor Naga adalah amanat
dari gurunya, murid bungsu tak ingin menyerahkan. Baginya amanat berarti harga diri, kehormatan dan jiwanya. Semua itu akan dipertaruhkan urituk amanat tersebut.
Jadi, bukan masalah pedang pusaka itu sendiri. Sebab menurutnya, kalau saja itu
bukan amanat dari sang Guru, dia akan dengan senang hati menyerahkan
Pedang Ekor Naga pada kakak seperguruannya.
Untuk mendapatkan pedang yang dihasratinya,
kakak seperguruan itu rnenantang tanding ulang.
Murid bungsu mulanya menolak. Karena dipaksa,
akhirnya terjadi juga pertandingan ulang yang sebenarrrya lebih tepat dikatakan
pertarungan dua lelaki seperguruan.
Murid tertua benar-benar hendak melenyapkan adik perguruannya
dalam pertandingan itu. Serangan- serangannya tak beda dengan terjangan penuh hasrat membunuh.
Menyadari hal itu, murid bungsu meladeni.
Sebelumnya dia hanya mencoba bertahan. Namun tak mungkin dia terus begitu. Mana
mungkin dibiarkannya nyawa lepas dari badan di tangan kakak seperguruannya.
Sampai pertarungan berjalan hampir dua hari, murid bungsu untuk kedua kalinya
mengalahkan murid tertua.
Mereka sama-sama terluka parah. Namun katana murid termuda pada akhir
pertarungan siap membabat leher murid
tertua. Itu tak dilakukannya. Dia malah meninggalkan murid tertua begitu saja.
Merasa tak bisa lagi tinggal di tempat itu, murid bungsu pergi amat jauh ke
Kyoto. Dia ingin memisahkan diri dari kakak seperguruannya.
Sejak saat itu setiap babak keturunan dari murid tertua, mendapat semacam
warisan kebencian. Mereka harus mendapatkan kembali katana pusaka dari tangan
keluarga murid bungsu!
"Begitulah ceritanya, Andika San...," Akemi menyelesaikan penuturan.
"Jadi yang telah membayar perkumpulan Imada-Tong untuk melakukan pembunuhan
terhadap Jotaro dan
penculikan Akimoto adalah keluarga keturunan murid tertua?"
"Sepertinya memang begitu, Andika San," Akemi membenarkan dugaan Pendekar
Slebor. "Keturunan keluarga murid tertua, kini memiliki pengaruh dan kekuasaan yang
besar. Mereka berhasil memasuki lingkungan shogun yang berkuasa kini. Salah
seorang dari mereka telah menjadi seorang perwira tinggi di Suruga. Itu sebabnya
Hiroto makin tersudutkan. Hiroto sendiri adalah salah satu daimyo dari shogun
yang diruntuhkan."
Andika bangkit dari tatami. Di ruangan cukup luas itu, si anak muda berjalan
mondar-mandir. Tangannya terus mengusap-usap dagu. Ada sesuatu yang begitu
dipikirkannya. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Andika San?"
tanya Akemi lembut. Sejak Andika mengenal Akemi, perempuan itu memiliki
perhatian yang besar pada Andika.
Memang tak terlalu tampak dari sikapnya, namun mata tajam Andika bisa menangkap
perhatian itu pada sinar matanya.
"Ya, benar," jawab Andika seraya menghindari tatapan dalam Akemi. "Aku sedang
memikirkan Akimoto.
Kalau sekarang anak itu diculik, ada dua kemungkinan tempat dia disembunyikan.
Pertama, mungkin Akimoto dibawa ke markas perkumpulan Imada-Tong. Kedua,
mungkin anak itu dibawa langsung ke keluarga murid tertua."
"Tapi perkumpulan Imada-Tong adalah perkumpulan amat rahasia, Andika San. Sulit
sekali mengetahui di mana markas mereka. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mengetahui. Sedangkan keluarga murid tertua sekarang berkuasa di Suruga. Daerah
itu amat jauh dari Kyoto...."
Wajah Andika jadi berkerut ketat.
"Jadi, ke mana Akimoto harus dicari?" tanyanya bergumam.
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau diputuskan untuk mencari ke markas
perkumpulan Imada-Tong, ke mana harus pergi" Sementara jika diputuskan untuk ke
Suruga, belum tentu Akimoto di bawa ke sana. Perjalanan yang memakan waklu lama
ke Suruga tentu bisa membuat segalanya jadi terlambat untuk menolong Hiroto yang
Andika sendiri tak tahu pergi ke mana saat ini....
*** 8 "Andika San. Ada orang asing masuk pekarangan!?"
lapor Kissumi dari mulut pintu.
Andika dan Akemi yang sedang berbicara bertatapan sebentar.
"Kau kenal orangnya, Kissumi?" tanya Akemi Kissumi menggeleng.
"Sebaiknya kita melihatnya," putus Andika. Anak muda itu segera bangkit. Akemi
dan Kissumi mengikutinya di belakang tergopoh-gopoh.
"Sebaiknya kalian tetap di dalam," cegah Andika.
Setelah mendapat
anggukan dari dua wanita
di belakangnya, Andika keluar.
"Siapa T uan sebenarnya?" T anpa mengucapkan basa-basi sambutan, Pendekar Slebor
langsung bertanya.
Di taman yang ditata apik oleh Kissumi dengan seni pertamanan tradisional, tamu
tak diundang itu berdiri. Raut wajahnya melemparkan kesan kecurigaan pada
Andika. Perawakannya kekar. Lebih pendek tiga empat jari dari Andika. Pakaiannya
memperlihatkan kalau dia adalah seorang samurai. Wajahnya bergaris keras.
Rambutnya panjang diekor kuda. Berkimono hitam-hitam dengan menyandang sepasang
katana dan pedang pendek di ikatan kimononya. Menilik wajahnya, Andika yakinusia
orang itu hanya terpaut lima-enam tahun lebih tua.
"Semestinya, aku yang bertanya begitu padarrru.
Siapa kau sebenarnya pemuda asing?" balas sang ta-mu.
"E-eh, kalau orang bertanya padamu, kau harus menjawabnya dengan jawaban. Bukan
dengan pertanyaan kembali! Ibumu belum pernah mengajarkan teladan itu?"
sentak Andika. Dibilang sungguh-sungguh, bibirnya masih menampakkan senyum sok
ramah. Mau dibilang bergurau, kata-katanya terlalu pedas.
"Di mana lelaki pemilik rumah ini?" Sekali lagi, lelaki tak diundang itu malah
menyahuti pertanyaan mengejek Andika dengan pertanyaan.
Andika tertawa.
"Aku senang dengan orang ini...," gumamnya sebal.
"Kamu jangan main-main, Orang Asing! Aku sedang tergesa. Sebaiknya kau katakan
di.mana pemilik rumah ini"!" Nada suara tamu berwajah keras meninggi.....
"Kupikir, kalau tidak salah aku bisa disebut pemilik rumah ini...." jawab Ahdika
asal sebut. . Mata orang di depannya menajam, menusuk manik mata Pendekar Slebor. Terdengar
geramnya. Dan tahu-tahu.... Sraang!
Orang itu meloloskan katananya. "Hei! Apa aku telah salah bicara padamu"!"
lonjak Andika. "Aku tahu, kau pasti orang yang harus kuenyahkan!"
sergah tamu tadi. Makin meninggi saja nadanya.
"Sontoloyo! Baru saja bertemu, kau sudah bisa memastikan kalau aku harus kau
enyahkan?" Andika mendelik sejadi-jadinya. Jangan bilang dia tidak sewot!
"Sini kau!" bentak Andika. Dilambaikannya tangan.
Lagaknya sudah tak beda dengan aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu
nakalnya. Siapa yang tak jadi berang dibegitukan"
"Heaaa!"
Samurai berpakaian hitam berlari menerjang.
Katananya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Wukh!
Satu sabetan tercipta. Dengan amat bernafs u,
hendak dibelahnya batok kepala Pendekar Slebor saat itu juga. Pendekar Slebor
menyambutnya hanya dengan menyurutkan tubuh ke belakang. Trak!
Kayu lantai rumah panggting termakan katana kalap si samurai berpakaian hjiam.
Kayu di bagia itu terbelah.
Pecahahnya berpentalan.
"Nah, kan luput! Kubilang juga apa...," gumam Andika."Hea-hea-hea!"
Lawan makin kalap. Disabet-sabetkannya senjata
kesegala penjuru.
Sementara itu suara teriakanya
meledak-ledak tak juntrungan.
"Hea-hea-heaaaa!"
Andika menimpalinya. Teriakannya malah lebih tak ada juntrungan. Beberapa ekor burung di atas dahan
pohon kontan berterbangan kalang-kabut. Ada angin ribut, pikir mereka.
Karena serangan pertama gagal, samurai berwajah keras menerkam lawan di atas
lantai teras rumah panggung. Senjatanya teracung ke depan. Dada Pendekar Slebor
hendak disatainya!
Sesaat sebelum terkaman tiba, Pendekar Slebor
dengan amat slebor malah membusungkan dada.
"Yak, di sini! Di sini!" teriakanya bersemangat sambil menunjuk lubang pusar
sendiri. Dan begitu mata katana lawan tinggal sejengkal lagi, pemuda itu mengenyahkan
diri ke sisi. Sebelah kakinya terangkat sedikit. Dukh!
Masih di udara, samurai kalap tadi merasakan 'telur perkutut'nya begitu nyeri.
Sakitnya seperti menjalar langsung ke ulu hati. Dia merasa teramat muak,
sekaligus sesak. Dan keadaan itu membuatnya tak bisa lagi mengendalikah diri.
Bruak! Tubuhnya berdebam menghantam lantai panggung
teras. "Hati-hati jatuh!" seru Pendekar Slebor.
Orang berangasan tadi bangun buru-buru. Meski
masih merunduk-runduk sambil memegangi selangkangan dengan sebelah tangan, dia
bersikeras menyerang pemuda asing lawannya.
"Hey..., siapa pun namamu! Sebaiknya kau berhenti dulu! Apa kau tak ingin
berbicara dengan kepala dingin?"
tahan Andika. Bukannya takut. Dia cuma tak tega menyaksikan betapa 'tersiksanya'
samurai itu. "Tak perlu!"
Usai menjerit tinggi, samurai berpakaian hitam
kembali menerjang Pendekar Slebor tanpa kenal menyerah. Menyerah itu bodoh!
Menyerah itu memalukan!
Tekad hatinya. Srang wukh! Kedua tangannya kini menggenggam dua senjata
berbeda. Tangan kanan memegang katana,yang lain memegang pedang pendek.
"Jangan serakah! Satu saja kau belum berhasil!"
cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika menghadapi orang keras kepala. Padahal dia sendiri biangnya keras kepala!
"Heah!"
Wing wukh wing!
Membabi-buta, samurai tadi membabatkan dua
senjata di tangannya ke seluruh bagian tubuh lawan yang masih bisa disambar.
Andika berkelit enteng. Sebentar tubuhnya terhuyung ke sini. Sebentar ke sana. Sebentar dia meliuk, sebentar kemudian dia
berjingkrak. Jurusnya memang tak pernah karuan. Tapi selalu ampuh. Dijamin!
Jaminan seperti itu ada buktinya. Sewaktu lawan terlupa membentengi bagian
perutnya, dengan lemah gemulai
sekaligus bertenaga, Pendekar Slebor menyodokkan dengkulnya penuh perasaan.
Degh! "Egh!"
Mata si samurai berpakaian hitam mendelik.
Tubuhnya mcngejang di tempat dengan posisi setengah membungkuk. Pendekar Slebor
tidak mau berlama-lama.
Mumpung lawannya sedang menikmati 'cita rasa' dengkul buatan tanah Jawa, cepat-
cepat disarangkannya jotokan pelumpuh ke satu bagian tubuh lawan.
Tuk! Orang itu pun menggeioso.
"Aku kenal dia,
Andika San," tukas
Akemi, menyaksikan samurai berpakaian hitam yang tergeletak di lantai kayu dipan.
Andika menolehpada perempuan yang baru keluar
dari pintu itu.
"Kau kenal?"
"Ya," Akemi membenarkan. "Fujimoto, samurai yang pernah menjadi bawahan Hiroto
San ketika masih menjadi Daimyo...."
"Aaahhh...." Andika menampar kening sendiri keras-keras. "Kenapa kau tak bilang-
bilang?" katanya terdengar menggerutu.
"Andika San melarang aku keluar," kilah Akemi.
Andika tengengesan.
"Tapi tak pernah melarang untuk memberitahukan kalau kau kenal orang itu,
bukan?" kelit Andika lagi. Dia memang jarang mau kalah. Sekali mau kalah kalau
otaknya sudah tak beres lagi!
"Apakah dia tak apa-apa, Andika San?"susul Akemi.
Wajahnya menampakkan kekhawatiran juga ketika dia bersimpuh untuk memeriksa
'korban' Pendekar Slebor.
"Aku kurang yakin dengan keadaan 'senjata'nya...,"
ucap Andika. Akemi menatap Andika talc mengerti. Kalau tak
salah, aku tadi menanyakan keadaan orang ini. Bukan soal senjata" Bisik hatinya
keheranan. Andika malah tergelak-gelak.
Lalu tanpa menghiraukan tanda-tanya di wajah
mulut Akemi, Andika mengangkat tubuh lelaki bernama Fujimoto ke dalam rumah. Di
atas tatami, lelaki itu lalu dibaringkan. Akemi terus mengikuti di belakangnya.
Juga Kissumi. Setelah dibaringkan, Andika menotok Fujimoto
kembali, membebaskan jalan darahnya.
"Haih!"
Begitu terbebas, kontan Fujimoto berteriak seraya mengangkat tangannya tinggi-
tinggi. Dia merasa saat itu masih memegang katana.
"Aaa!" Pendekar Slebor bertingkah tengik lagi. Si pemuda urakan itu berteriak
keras-keras sambil mendekap dadanya. Mending kalau teriakannya tidak keras!
Akemi dan Kissumi di belakangnya tak bisa tidak untuk terkikik tertahan
menyaksikan tontonan konyol
tersebut. Mereka benar-benar baru sekali itu mengenal seorang pria yang sifatnya
sama sekali membingungkan.
Tapi entah kenapa mereka menikmatinya. Wuh, suka barangkali!
"Cukup, Fujimoto!" seru Akemi kemudian. Tentu saja setelah
dia berhasil menguasai rasa geli yang menggelitikinya..
"Nyonya Jotaro?" Fujimoto tersadar. Tangannya diturunkan. "Siapa orang
ini,Nyonya?" tanyanya lagi sambil menuding Andika.
"Perkenalkan....
Ini Andika San," Akemi memperkenalkan.
Fujimoto bangkit terseok. Badannya masih terasa ngilu. Sambil berdiri, dia
mengingat-ingat sesuatu. Diulang-ulangnya nama Andika berbisik.
"Kau Andika San!" serunya, meledak tiba-tiba. Andika sampai
hendak mencak karena kelewat terkejut. "Kausahabat Hiroto San!" susul Fujimoto masih meledak-Iedak. "Kau pendekar dari
negeri jauh itu!"
Andika tak tahan lagi melihat Fujimoto reriak-teriak seperti itu. Tak tahu
Andika, apa orang itu cuma terkejut mengetahui siapa dirinya atau sedang
kerasukan memedi Gunung Fuji.
"Iyaaa!" balas Andika tak kalah meledak. Habis dia mangkel sekali.
Lantas saja Fujimoto membungkuk dalam-dalam.
"Satu kehormatan besar bisa bertemu dengan Pendekar Slebor!" ucapnya
bersemangat. "Eh, dia tahu julukanku?" Pendekar Slebor me-ngernyit.
"Hiroto San sering bercerita tentang Andika San.
Tentang kisah mengagumkan di Piramida Tonggak
Osiris...," cecar Fujimoto lagi seraya bersimpuh di depan Andika. Raut wajahnya
simpang-siur karena, terlalu bersemangat.
"Ooo...," Andika baru mengerti. Diam-diam, hidung Andika jadi kembang-kempis
juga. Siapa yang tidak bangga
namanya dipuji di negeri orang"
"Hai! Hai!" timpal Fujimoto dengan bahasa Nip?pon kentalnya.
Buntut-buntutnya,
Fujimoto meminta Andika mengajarkan beberapa jurus silat. "Slompret," dengus Andika.
*** Sulitnya membuat keputusan bagi Andika mem-
buatnya terus saja terombang-ambing keresahan. Dia tertahan di rumah pengasingan
Hiroto tanpa bisa berbuat apa-apa. Hal itu sungguh menyiksanya.
Hari makin siang. Kian lama waktu menggelinding, kian tak menentu nasib Hiroto
dan Akimoto entah di mana.
Andika tak bisa berdiam diri selaku seorang teman. Tapi dia pun tak bisa berbuat
banyak. Andika pun mencoba bertanya pada Fujimoto. Siapa tahu lelaki bekas samurai
bawahan Hiroto itu mengetahui sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak
ke mana perginya Hiroto.
. "Apa kau pernah dengar tentang markas Imada-Tong?" tanya Andika. Saat itu
Andika, Fujimoto, Akemi, dan Kissumi sudah duduk mcmbentuk lingkaran di ruang
upacara minum teh.
Fujimoto menggeleng.
Andika menghempas napas.
"Kau tahu sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk untuk mencari Hiroto dan
Akimoto?" lanjut Andika.
Fujimoto tepekur sebentar.
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian dia menggeleng lagi.
"Sial! Jadi apa yang kau tahu"!" Andika agak mengkelap.
"Apa Andika San tak ingin menanyakan tujuanku ke tempat ini?" Fujimoto mulai
berbicara. "Yah, benar. Apa tujuanmu ke sini?" terjang Andika, tergesa. Dia baru menyadari
kebodohannya. Tak mungkin
seorang datang begitu saja ke rumah pengasingan rahasia Hiroto tanpa tujuan apa-
apa. "Aku ingin menyampaikan pesan dari Hiroto San..."
"Apa benar begitu"!"
Pendekar Slebor mencengkeram kerah baju Fujimoto. Anak muda itu terlalu bernafsu.
"Hiroto San memintaku untuk menyampaikan pesan bahwa jika dalam sepekan dia
tidak pulang, Andika San diminta menyelamatkan Akimoto. Hiroto San menganggap
dirinya telah gugur jika waktu sepekan telah terlewati. Tapi tetap ingin Akimoto
selamat." "Bagaimana aku bisa menyelamatkan anak itu.
sedang tempatnya saja aku tak tahu!" maki Andika entah pada siapa. Ditinjunya
lantai kayu tuangan sampai jebol.
Geram sekali tampaknya anak muda dari tanah Jawa itu.
"Obani, Andika San," ujar Fujimoto.
"Apa" Apa tadi kau menyebut satu nama tempat?"
"Obani, tepatnya di kuil tua di tepi danau kota itu.
Begitu Hiroto San berpesan padaku!"
"Bagus!" Andika bangkit cepat. Karena terlalu tergesa-gesa, tanpa sengaja kaki
Andika melanggar sebelah bahu Fujimoto.
Fujimoto mengeluh seraya mendekap bahunya.
Andika sempat melihat ada genangan darah merembes.
Tampaknya setelah terlanggar kaki Andika, luka yang dibalut di balik pakaian itu
menganga lagi. "Kenapa dengan bahumu, Fujimoto?" tanya Andika penuh selidik. Pendekar muda itu
teringat pada senjata rahasia yang ditemukan di bibir tebing depan rumah
pengasmgan rahasia Hiroto pagi tadi.
"Ceritanya panjang, Andika San," jawab Fujimoto mencoba mengelak. Dari wajah
lelakinya ter-lihat kalau dia tak ingin menjelaskan. Andika melirik matanya
tegas-tegas..Apa bukan terkena senjata rahasia?" desak anak muda itu.
Fujimoto menggeleng.
Andika merasa harus memperlihatkan bukti yang
didapatnya pagi tadi. Segera dikeluarkannya benda tersebut dari balik kimono
pinjamannya. 'Tadi pagi aku menemukan benda ini," katanya sambil melempar logam tipis
berbentuk bintang yang ditutupj darah kering itu ke lantai kayu.
Fujimoto menatap Andika.
"Kau tahu di mana kutemukan benda itu. Di depan rumah ini. Kau mau tahu
kesimpulanku" Kurasa, ada yang telah berkhianat pada Hiroto. Orang itu tahu
tempat rahasia ini dan telah memberitahukan pula pada musuh Hiroto. Hingga rumah
ini dapat disantroni dan Akimoto dapat diculik...."
Fujimoto bangkit dan berdiri menghadap Andika.
'Tampaknya Andika San mencurigaiku...," desisnya gusar. "Bukankah kau mengetahui
tempat rahasia ini?"
Fujimoto mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya
memerah amat matang.
"Itu tuduhan keterlaluan, Andika San...," tandasnya tegas. "Aku tak pernah
berkhianat pada Hiroto San"
tegasnya lagi dengan napas tersendat.
"Bagaimanaaku bisa percaya?" tepis Andika enteng.
Bibirnya menyeringai, mencoba menyudutkan Fujimoto.
Mata lelaki itu menerkam mata Pendekar Slebor.
"Kau perlu bukti, Andika San?" desisnya. Setelah itu.... Srang!
Fujimoto meloloskan pedang pendeknya. Andika
tersentak. Dia mengira Fujimoto akan menyerangnya. Tapi itu tak pernah terjadi.
"Aku akan seppuku untuk membuktikan kesetiaanku pada Hiroto San," kata Fujimoto.
"Menurutku, itu tidak membuktikan apa-apa. Sebab, musuh Hiroto pun melakukan hai
yang sama agar tidak bisa dikorek keterangan darmya...," sangkal Andika lincah.
Fujimoto mati kutu. Keadaannya mutlak tersudut.
Dia terdiam dengan wajah tak karuan. Merah, bingung dan geram.
Melihat hai itu, Andika bisa cepat menilai.
"Aku percaya. kau bukan seorang penghianat...,"
katanya sambil beranjak. Dibuatnya Fujimoto tak mengerti sama sekali. Padahal
kesimpulannya seder-hana saja bagi anak muda berotak encer itu. Kalau benar-
benar Fujimoto penghianat, tentu dia akan benar-behar menikamkan pisaunya ke
perut. Bukankah begitu yang dilakukan lawan-lawan Hiroto sebeIumnya manakala
sudah tersudut"
Tapi si pemuda urakan tak peduli pada ketidak
mengertian Fujimoto. Sementara samurai berpakaian hitam itu terbengong-bengong,
Pendekar Slebor dia yang tahu....
*** 9 Hiroto tiba di sebuah kuil kuno di wilayah Yaraashiro.
Tengah hari kala itu. Matahari musim semi berada di puncaknya. Memang sinarnya
tak segarang musim panas.
Namun begitu, tetap saja menyiksa. Setelah memakan waktu perjalanan berkuda
selama tiga hari, akhirnya dia tiba juga di Kuil Matahari.
Sampai saat itu, Hiroto sendiri masih sangsi apakah anaknya dilarikan ke sana
atau tidak. Yang dia tahu hanyalah tempat itu pernah dipergunakan se-bagai
markas oleh musuh keluarganya. Di mana dari sana mereka menggempur keluarga
keturunan Murid Bungsu yang banyak tinggal di Kyoto. Yamashiro memang daerah
yang paling dekat dengan Kyoto.
Hiroto ingat saat itu serangan mus uh keluarga
keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga
dipimpin oleh seorang samurai bengis yang begitu membencinya. Namanya Seichi
Onigawa. Kala itu. Hiroto masih menjabat sebagai daimyo dari shogun yang
berkuasa. Setelah shogun yang lama terguling, Seichi Onigawa diangkat menjadi salah
seorang perwjra shogun yang baru.
Hiroto dan anggota keturunan keluarga Murid Bungsu pun menjadi buronan utamanya.
Mereka dikejar ke sana ke sini seperti binatang hutan. Di bantai tanpa belas
kasihan. Semata-mata karena Seichi Onigawa ingin memuaskan hasrat membunuhnya.
Seichi Onigawa begitu memegang teguh kebencian
yang diwariskan secara turun-temurun oleh buyutnya. Dan hanya satu yang dapat
membayar semua itu, Pedang Pusaka Ekor Naga. Kebetulan sekali, Hiroto adalah
salah seorang keturunan Murid Bungsu yang mendapat
kepercayaan untuk menerima warisan pedang pusaka itu.
Maka, makin kuat saja alasan Seichi Onigawa membenci Hiroto.Kuda Hiroto kini
telah berhenti terengah-engah di
depan gerbang kuil. Kuil Matahari sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya
kelengangan penat. Sejauh mata memandang, hanya tampak ilalang-ilalang jangkung
di seluruh penjuru tanah kuil.
Tembok bangunan tua itu sudah dimakan lumut.
Sekarat dengan warna buram muram. Dindingnya gompal di sana sini. Kubah
bertingkat sebagian sudah hancur.
Pintu gerbang yang dulunya mungkin berdiri gagah, sekarang tinggal puing
terkatung. Hiroto menghentak tali kekang. Kuda-berjalan
perlahan, memasuki mulut gerbang Kuil Matahari. Dari kejauhan mata Hiroto.
memang tak menyaksikan siapa-siapa. Sementara naluri samurainya sendiri
memperingati ada
berpasang-pasang
mata sedang mengawasi kedatangannya. Kesiagaan Hiroto
semakin menjangkit
begitu kudanya sudah berada di halaman luas penuh ilalang.
Matanya tak bergerak, terpusat di bangunan sekarat di depan sana. Biarpun
begitu, bukan berarti dia tak mewaspadai keadaan sekitarnya. Sebelah tangannya
tetap pada tali kekang kuda. Tangan yang lain bersiap di gagang katananya. Kalau
mendadak ada yang menerjang, dia siap membabatnya.
Hewan kendaraan ksatria Nippon itu terus melangkah membawa tuannya lebih jauh masuk ke
pekarangan Kuil Matahari. Lebih jauh mas uk, naluri Hiroto bertambah kuat
memperingati. Sampai satu saat, kuda tunggangan Hiroto dibuat meringkik keras oleh seruakan
tiba-tiba dari serumpun ilalang lebat. Kuda itu menaikkan kedua kaki depannya
liar. Hiroto berusaha mengendalikan. Meski tali kekang ditarik demikian rupa dan
mulutnya berseru-seru, tetap saja bmatang itu sulit dikendalikan.
Tentu saja ada yang membuat binatang itu terkejut luar biasa. Ada seseorang
muncul tepat di depannya. Orang itu kini berdiri memperhatikan kepanikan kuda
Hiroto dengan wajah menyeringai.
, Hiroto melompat dari kuda. Dia tak ingin tubuhnya terlempar, dan lelaki di
depannya memanfaatkan keadaan itu. Seraya cepat meloloskan katana dari
pinggangnya, Hiroto berdiri empat depa di depan si pcnghadang.
"Siapa kau"!" hardik Hiroto.
Orang yang ditanya berwajah buruk. Tubuhnya
bungkuk karena s udah terlalu tua. Wajahnya sudah diramaikan kerut-merut. Cuma
giginya yang tampak masih utuh. Hanya tanggal beberapa butir. Kumis putihnya
memanjang sampai ke leher. Dia berpakaian seorang samurai lama. Pakaiannya
berwarna hitam dengan
dalaman putih. Tangannya menggenggam toya panjang yang selalu diketuk-ketukkan
ke tanah. "Bodoh! Kau tak berhak bertanya begitu! Aku tuan rumah di sini Jadi aku yang
mestinya bertanya padamu, siapa kau"! Sekarangjawab!" balas si lelaki tua,
sengit. Toya di tangan ditudingkan ke arah Hiroto.
"Kau penghuni Kuil Matahari" Apa kau punya hubungan keluarga dengan Seichi
Onigawa?" Hiroto tampaknya tak begitu peduli dengan pertanyaan lelaki tua
barusan. Mungkin benaknya terlalu dihantui oleh keluarga Seichi Onigawa yang
telah menculik anaknya.
"Kutu busuk! Sudah kubilang, kau tak berhak menanyakan siapa aku lebih dahulu!
Apa kau tak pernah diajarkan tata krama, hah!" bentak si lelaki tua. "Ayo jawab
pertanyaanku, tunggu apa lagi"!"-
Karena merasa lelaki tua di depannya tidak ber-niat memusuhinya,
meski tetap bersikap kasar,
Hiroto mengalah. "Aku Hiroto, dari Kyoto," akunya.
"Apa tujuanmu datang ke sini"!" susul si orang tua bungkuk. Masih juga dengan
pertanyaan kerasnya.
"Aku ingin tahu, apakah kuil ini masih ditcmpati oleh orang-orang Seichi
Onigawa?" Orang tua bungkuk menepis
udara. Bibirnya
mencibir. "Seichi Onigawa. Dasar lelaki pecundang!"
"Apa maksudmu, Orang Tua" Apa yang kau ketahui tentang orang itu?" Hiroto
tergesa-gesa meruntunkan pertanyaan.
Tanpa menjawab pertanyaan Hiroto, orang tua
bungkuk berbalik dan melangkah tertatih ke arah bangunan kuil.
"Orang tua, tunggu!" Hiroto menyusul di belakangnya.
"Kalau kau berurusan dengan lelaki pecundang itu, aku tak punya urusan
denganmu!" tandas orang tua bungkuk tanpa menoleh.
"Tapi, maukah kau menolongku orang tua. Aku harus tahu di mana markas.
perkumpulan Imada-Tong!"
Orang tua bertoya memanCung langkah. Ditatapnya Hiroto dengan mata kelabunya!
"Kau tadi bilang soal Imada-Tong?"
"Benar, Orang Tua. Anakku telah diculik mereka...."
"Dan Seichi Onigawa yang membayar orang-orang Imada-Tong untuk melakukan itu?"
terka orang tua bertoya dengan nada yakin.
"Benar, Orang Tua...."
Kepala orang tua itu bergoyang-goyang seperti
menarikan sesuatu. "Ya ya ya..., aku memang selalu benar!" tukasnya acuh. Lalu
dia melangkah lagi.
"Orang tua, apakah kau bisa menolongku?" Hiroto memohon.
"Yang bisa menolong dirimu, cuma kau sendiri!"
"Aku cuma butuh keterangan di mana markas
Imada-Tong."
"Kau keliru jika hendak mencari anakmu di markas mereka. Mereka dibayar untuk
melaksanakan tugas. Kalau Seichi si pecundang itu membayar mereka untuk menculik
anakmu, tak mungkin anakmu masih di tangan orang-orang Imada-Tong...," tutur
orang tua bertoya datar.
Hiroto diam-diam membenarkan ucapan si orang tua itu. Karena orang tua itu terus
saja melangkah, Hiroto mengikutinya lagi dengan sabar.
"Kalau begitu, apa kau tahu di mana bisa kutemui Seichi Onigawa?"
"Kutubusuk! Kenapa kau jadi demikian tolol?" Hiroto tersentak, Dia bukan sekadar
terkejut mendapat hardikan itu. Dia justru tersentak karena tenaga dorongan yang
lahir dari bentakan itu. Ada tenaga seperti tangan raksasa yang menyentaknya ke
belakang! Siapa orang tua ini" Hiroto berbisik dalam hati. Di negeri ini, jarang seorang
dapat melakukan hal itu.
Belum sempat terberangus rasa heran Hiroto, orang tua bungkuk mengayunkan
toyanya ke tanah tepat di depan Hiroto. Maka, terbentuklah semacam lubang
jebakan yang cuma ditutupi ranting kering dan jerami. Di dalamnya telah siap
moncong-moncong bambu setajam mata pedang!
"Lihat! Kalau kau tadi terns berjalan serampangan, kau tentu akan..., ah, kau
tahu sendiri itu!"
Dua kali dengan ini
Hiroto dibuat terpana.
Bagaimana si orang tua itu tidak terperosok ke dalam lubang yang hanya ditutupi
oleh ranting setipis sumpit dan jerami" Padahal jelas-jelas Hiroto menyaksikan
si tua bungkuk itu melangkah seenaknya di sana....
Merasa dia tengah berhadapan dengan sesepuh
para samurai, Hiroto secepatnya memperbaiki sikap. Dia merunduk dalam-dalam,
memberi hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Mataku buta untuk mengetahui kalau kau,?" '
Tak! Belum selesai Hiroto berbicarar orang tua bungkuk tadi menggetok kepalanya
dengan toya. Hiroto meringis.
"Sekali lagi kau berbuat itu padaku, aku akan menghantam batok kepalamu sampai
remuk! Kau pikir aku ini siapa"! Senseimu"! Bhuh, maaf-maaf saja...."
Jakun Hiroto turun-naik. Dia merasa serba salah menghadapi orang tua ini.
"Sebaiknya kau pergi secepatnya dari sini!" perintah si orang tua dengan wajah
dibuat sebengis mungkin.
"Tapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
"Yang mana"!"
Dimana bisa kutemukan Seichi Onigawa?"
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bhuh, si pecundang itu lagi...," gerutu orang tua bertoya.
"Di mana orang tua" Saya mohon sekali. "
"Ada di dalam sana! Dengan puluhan orang-orang Imada-Tong bayarannya...," jawab
orang tua bungkuk.
Ditunjuknya Kuil Matahari dengan toya.
"Seenaknya mereka memakai kuilku tanpa izin lagi!"
Hiroto menjura. Pemberitahuan orang tua bungkuk benar-benar dihargainya. Dengan
begitu, dia tahu bahaya macam apa yang sedang menantinya di Kuil Matahari. Bisa
jadi dia bisa tahu pula keadaan Akimoto.
"Apakah mereka menahan seorang bocah, Orang Tua?" Hiroto penasaran. Parasnya
demikian berharap mendapat jawaban atas pertanyaarrya.
"Kau terlalu banyak tanya! Kenapa tak langsung saja ke sana!"
"Baik..., baik! Terima kasih, Orang Tua!"
Hiroto pun beranjak. Empat langkah ke depan, Hiroto menoleh pada lelaki tua
tadi. Ternyata Hiroto sudah tak menemukannya lagi. Si orang tua bungkuk
menghilang dengan meninggalkan kabut.
Hiroto berdecak tak sadar. Siapa sesungguhnya dia"
Tanya hatinya lagi. Ketika teringat keadaan Akimoto, Hiroto tak bisa lebih lama
memikirkan si orang tua. Dia meneruskan langkah. Sekaligus membulat-kan tekad
untuk menghadapi bahaya amat besar yang menanti di dalam Kuil Matahari. Lelaki
berjrwa ksatria itu siap mati!
Jarak semakin dekat.
Tak lama, Hiroto sampai juga di pintu besar kuil.
Daun pintu masih terkatup. Kesannya tak pernah ada orang di dalam. Bahkan sarang
laba-laba merangas, seperti tak pernah terusik selama bertahun-tahun.
Sejenak Hiroto menjadi ragu. Benarkah ucapan
orang tua penuh teka-teki tadi" Benarkah Seichi Onigawa dan orang-orang Imada-
Tong sedang menunggu di dalam"
Kalau benar, kenapa di dalam sana begitu sunyi" Daya pendengaranriya sudah
dikerahkan, tapi tak seberkas suara
jrum jatuh pun terdengar. Sunyi terlalu mengungkung. Sementara pintu dan sekian jendela berjajar di sepanjang kuil tak
menampakkan tanda pernah dibuka.Ditipukah aku oleh orang tua sakti tadi"
Keraguannya buyar seketika. Suara riuh mena-dingi kerasnya guruh terdengar dari
dalam. Kejap itu juga, seluruh jalinan otot Hiroto mengejang tegang. Matanya
membesar. Katana di tangannya diacungkan ke depan. Dia siap menanti apa yang bak
al muncul dari balik pintu.
Sampai.... Khoarkk! Brak! Hiroto tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dia baru mengetahuinya manakala pintu besar Kuil Matahari jebol seketika.
Ledakan amat besar yang menyebabkannya. Kekuatan ledakan itu menyebabkan kayu
daun pintu setebal setengah jengkal berhamburan berkeping-keping.
Sigap, Hiroto membuang badan jauh-jauh ke
samping. Tak ingin dia menempuh bahaya sedikit pun dengan menghindar tanggung-
tanggung. Di atas rimbunya ilalang, Hiroto mendarat. Dia
begulingan, lalu berdiri kembali dengan tangkas tanpa kehilangan senjata di
tangan. Matanya nyalang mencari sesuatu yang baru saja menjebol pintu besar.
Manakala tahu apa yang .dilihatnya, wajah Hiroto seperti menjadi kaku. .Dari
gumpalah asap putih tebal bergulung-gu-lung, bermunculan delapan lelaki
berpakaian merah-merah.
Nyaris seluruh tubuh mereka tertutup oleh pakaian tersebut. Hanya bagian mata
mereka saja yang tidak.
Mereka berguliran di udara bagai delapan bola, lalu berdiri membentuk Iingkarang
tertutup, mengurung Hiroto.
Mereka adalah delapan pemimpin Imada-Tong.
Dalam dunia samurai hitam, mereka dijuluki Delapan Samurai Merah. Nama mereka
demikian ditakuti, bahkan oleh para samurai, daimyo, bahkan para perwira shogun
sekali pun. Selama ini tak ada lawan yang sanggup mengalahkan mereka. Lebih dari
itu, tak ada satu nyawa bisa lolos dari ancaman maut mereka. Mereka adalah
pencabut nyawa tak kenal ampun!
Tanpa sadar genggaraan tangan pada gagang
pedangnya mengeras. Rahangnya pun turut mengeras. Dia sadar
sesadarnya kini bahaya apa yang siap memamahnya.... *** 10 "Kau yang bernama Hiroto"!" seru salah seorang dari Delapan Samurai Merah,
menghentak. Hiroto tak menjawab. Dia tak ingin berbasa-basi dengan Iawannya. Buat apa"
Pikirnya. Toh, nanti dia atau mereka yang harus mati!
"Aku dengar kau mempunyai teman asing yang hebat, heh"!" lanjut lelaki tadi.
Tampaknya dia paling berpengaruh di antara delapan orang berpakaian merah
tertutup. "Aku tidak berurusan dengan kalian! Aku hanya berurusan dengan Seichi Onigawa!"
geram Hiroto tanpa bergerak dari kuda-kuda awal.
"Kami pun sebenarnya tidak berurusan denganmu.
Tapi Seichi Onigawa telah membayar mahal kami. Tapi tetap saja itu tidak cukup
untuk membuat kami keluar.
Kalau pun sekarang kami keluar, karena kami mendengar dari anak buah kami bahwa
kau mempunyai seorang teman sakti! Kami ingin menjajalnya! Jadi urusan kami
terlepas dari urusan kau dengan Seichi Onigawa!" papar lelaki tadi. Tangannya
mengacungkan katana ke Hiroto.
Dari caranya, jelas sekali dia memandang sebelah mata pada samurai muda dari
Kyoto itu. "Kalau kalian tak berurusan denganku, kenapa kalian tak enyah saja!" balas
Hiroto. Tak sedikit pun menyembul kesan ketakulan di raut wajahnya.
"Karena kami ingin
bertemu dengan teman asingmu!" Hiroto tersenyum, meledek. "Kalian cuma delapan ekor monyet bagi kesak-
tiannya...," ledek Hiroto lagi, membanding-bandingkan kehebatan Pendekar Slebor
dengan nama besar Delapan Samurai Merah.
"Kalau begitu, kau yang terlebih dahulu merasakan kehebatan kami!" ancam lelaki
tadi. Hiroto mengebut katana beberapa gebrakan. "Kalau begitu, kenapa kalian tak cepat
menerjang"! Aku sudah
ingin secepatnya menyelesaikan urusan dengan Seichi Onigawa keparat itu!" tandas
Hiroto. Lalu lelaki yang kehilangan anak kesayangannya itu menoleh pada bangunan Kuil
Matahari. Dengan wajah berang, dia berteriak.
"Hei, Seichi! Apa kau dengar ucapanku! Aku akan datang memenggalmu jika selembar
saja rambut anakku kau rontokkan!"
Di ujung seruannya, delapan lawan tanpa aba-aba sedikit pun serentak menyerhu
Hiroto. Memang begitu ciri khas
serangan Delapan Samurai Merah. Mereka menyerang^tanpa tanda sedikit pun kalau mereka hendak melakukannya. Namun
begitu, serangan mereka bisa dilakukan secara bersamaan. Sementara tak pernah
sekali pun mereka pernah menyerang sendiri-sendiri. Kehebatan mereka justru
terletak pada kesatuan penyerangan. Siapa pun atau bagaimanapun kehebatan lawan
yang mereka hadapi mereka akan selalu menyerang bersama. Tak perduli apakah
lawan terbilang memiliki kendo tinggi atau tidak.
Satu dari sekian ciri khas mereka adalah senjata andalan yang berbeda satu
dengan Iain. Masing-ma-sing dari mereka sepertinya telah mencapai taraf sensei
dalam permainan
senjata yang berbeda. Seorang mempergunakan katana, yang Iain mempergunakan toya, arit kembar, rantai
berbandul pisau. trisula, pedang pendek kembar, lembing panjang berpangkal arit
dan sepasang tongkat pendek.
Di lain sisi, bukan berarti mereka tak cukup
berbahaya dalam keahlian mempergunakan senjata Iain.
Swing! Terjangan pendahuluan dilakukan oleh lelaki berkatana. Dialah yang sebelumnya bertanya pada Hiroto.
Dari udara, lelaki membacokkan senjatanya lurus-lurus ke batok kepala Hiroto.
Tenaga lompatannya sudah cukup menunjukkan bacokannya bisa membelah dua kepala
hingga tubuh lawan!
Hiroto terkesiap sejenak. Semula dia tak menganggap Delapan Samurai Merah akan melakukan serangan
secepat itu dan setiba-tiba itu. Naluri kesamuraiannya yang telah diasah dalam memperingati.
"Hai!"
Hiroto berguling di tanah. Katana lawan hanya
menghujam tanah tepat di tempat berdiri sebelumnya.
"Hea!" Swing!
Begitu kaki lawan sampai, Hiroto membuat sabetan rendah
setengah putaran. Kaki lawan hendak dikutungkannya. Namun usaha itu tidak mudah. Se-belum bisa membabat kaki lawan,
anggota Delapan Samurai Merah bersenjata katana itu sudah menjegal tebasan
Hiroto dengan katananya.
Trang! Kejap berikutnya, lawan bertrisula kembar menusukkan sepasang senjatanya ke dada Hiroto. Hiroto yang masih telentang di
tanah, mencoba memapaknya dengan telapak kaki.
Taph! Pergelangan tangan lelaki bertrisula kembar tertahan di udara. Itu tak berlangsung lama. Katana lawan yang lain mencoba
membobol pertahanan kaki Hiroto dengan menebaskan sepasang arit. Wes!
Hiroto tak mau kedua kakinya terputus. Dia menarik dalam-dalam kakinya. Lalu
melepaskan tusukan ke perut lawan bersenjatakan trisula kembar.
Swing! Trang! Tanpa sempat menembus sasaran, katana Hiroto
dijegal sepasang arit yang sebelumnya berusaha mengutungi kakinya. Pada saat yang sama, sepasang arit tadi mengunci senjata
Hiroto dengan cara menyilang di antara katana Hiroto.
Mata Hiroto cukup awas untuk mengetahui niat
lawan. Sebelum pedang panjangnya benar-benar terkunci tenaga lawan, cepat
ditariknya senjata ke samping.
Gagalnya kuncian sepasang arit di kuti oleh tusukan dua pedang dari lawan yang
lain. Hiroto yang masih telentang di tanah dipaksa bergulingan. Lawan bersenjata
dua pedang pendektcrus mengejarnya. Setiap kali Hiroto berhasil membuat tus ukan
sepasang pedang pendek itu menghujam tanah, lawan. membuat tusukan yang sama
kembali. Bles! Bles! Bles!
Hiroto tak mau terus-terusan begitu. Lama-lama dia bisa kehabisan tenaga. Maka
diputuskan untuk menjegal tusukan liar lawan dengan katananya. Sayang baru saja
senjatanya itu di ayunkan, toya baja seorang lawan mendongkelnya dari bawah.
Trang! Bunga-bunga api terpercik ketika dua batang baja berbentuk berbeda itu
berbenturan. Hiroto merasakan pergelangannya demikian ngilu karena tenaga
hantaman lawan.
Detik itu juga pedang panjang Hiroto terpental ke udara, terkena dongkelan
bertenaga lawan bertoya. Lawan berhasil membobol satu pertahanan paling penting
bagi Hiroto.Itulah kehebatan Delapan Samurai Merah. Mereka membuat pertahanan
rapat satu dengan yang Iain.
Serangan dan pertahanan mereka ibarat mata rantai yang tergabung menjadi satu.
Satu dengan yang lain saling memperkuat. Tak perduli apakah mereka menghadapi
lawan berkemampuan kendo tinggi atau tidak
Hiroto baru menyadari itu. Tapi apa gunanya
menyadari kunci benteng pertahanan lawan kalau dia sendiri telah kehilangan
benda paling penting dalam suatu pertarungan"
Ha,ti Hiroto seperti tergiris,Sementara memegang senjata saja keadaannya sudah
begitu terdesak, Apalagi jika tangannya kosong melompong.
Tanpa mau memberi kesempatan bagi Hiroto untuk
bernapas setarikan pun, seorang dari anggota Delapan Samurai Merah yang memegang
rantai panjang berbandul
pisau melepas senjatanya dari jarak jauh.
Keterdesakan Hiroto di atas tanah makin tak banyak mendapat jalan lolos. Mata
pisau berantai meluncur deras menuju kening Hiroto.
Tak ada lagi yang bisa diperbuat Hiroto saat itu. Satu sisi dia harus menghadapi
tusukan mata sepasang pedang.
Dan kalau dia mencoba menghindar ke sisi lain, maka mata pisau berantai akan
menembus keningnya!
Mau tak mau, Hiroto akhirnya memasrahkan
semuanya pada takdir. Kalau melihat keadaannya
sekarang, tentu takdir buruk yang akan menghampiri.
Namun begitu, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang tahu takdirnya sendiri.
Karena begitu mata pisau di ujung rantai lawan hendak menghujam, tubuhnya tiba-
tiba saja disambar seseorang. Sambaran itu amat cepat, lebih tangkas dari
Pendekar Slebor 26 Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambaran seekor elang perkasa dari langit!.'
Thep! Kejopak mata Hiroto yang semula terkatup
memasrahkan segalanya, Jangsung saja membuka saat merasakan tubuhnya melayang
begitu cepat. Dia belum lagi tahu siapa yang baru saja menolongnya.
Ketika Hiroto merasakan ada sentakan, dia tahu si penolong telah
menjejakkan kaki di tanah.
Lalu didengamya suara orang yang membopongnya. Suara yang serak memekakkan telinga.
Saking memekakkan, mungkin lebih pantas disamakan dengan riuh-rendah kaleng
rombeng. 'Hua-he-hu-he-huaaa, jangan heran jangan ka-get!
Aku datang untuk bikin kejutan. Siapa yang tak terkejut, silahkan terkejut.
Siapa yang terkejut, silahkan tidak terkejut. Siapa yang bingung mendengar
kejutan ini"
Silahkan buat kejutan sendiri!"
Delapan Samurai Merah merasa langkah kemenangan mereka digagalkan oleh seorang sinting!
Mereka melihat seorang yang amat jelek. Kimono yang dipakainya sudah porak-
poranda. Dekil, dan tercabik-cabik.
Wajahnya amat merah menjijikan. Bagaimana tidak
mcnjijikkan kalau merah wajahnya sama dengan pinggiran bisul" Di salah satu
pipinya terdapat benjolan sebesar jempol Buto Ijoberwama biru. Mulutnya terus
saja mengecap-ngecap, menimbulkan s uara tak sedap. Dan rambutnya keras serta '
kaku seperti bulu domba tak terurus.Delapan Samurai Merah benar-benar yakin
mereka berhadapan dengan orang sinting. Belum lagi kalau mereka menilai ucapan
ngawur yang dikatakan barusan.
Kalau pun benar lelaki itu sinting, tentu dia adalah orang sinting berilmu
tinggi. Buktinya Hiroto dapat disambar demikian rupa. Pikir mereka lagi.
"Siapa kau"!" bentak lelaki bersenjatakan katana.
Dari sinar matanya tampak sekali kalau dia begitu gusar.
"Iyou-iyou! Siapa aku" Aku adalah orang yang bakal membuat kejutan. Siapa pun
manusia di dunia ini akan kubuat terkejut! Terkejut adalah kesenangan yang
mengejutkan. Apa kalian tak ingin terkejut" Hua-he-hu-heaaaa!"
Delapan Samurai Merah saling pandang tak
mengerti. Mereka mau berbuat apa sekarang" Menghabisi juga orang sinting itu"
Tampaknya lelaki bersenjata katana tak berniat
berurusan dengan si orang dekil tak dikenal. Tujuan mereka menghadang Hiroto
sesungguhnya hanya untuk membuktikan cerita anak buahnya tentang kawan
asing,Hiroto. Mereka merasa harga diri mereka terusik dengan tindak-tanduk si
anak muda asing.
Kalau orang yang akan dihadapinya kini bukan lah pemuda itu, bagaimana mereka
mau membuang tenaga tanpa tujuan yang jelas. Seichi Onigawa pun tak membayar
mereka untuk melakukan tindakan itu.
Delapan Samurai Merah menganggukkan kepala
berbarengan,Dan dengan berbarengan pula tangan mereka membanting sesuatu ke atas
tanah. Blush! Asap tebal mengepung tubuh kedelapan lelaki
berpakaian merah-merah itu. Amat tebal, sosok mereka jadi tak tampak karenanya.
Ketika angin menyapu perlahan asap putih tebal tadi, Delapan Samurai Merah telah
tak ada lagi. "Turunkan aku, Tuan!" pinta Hiroto, sesaat setelah Delapan Samurai Merah
menghilang. Lelaki dekil berwajah jelek tertawa tak beraturan
"O, iya. Aku sampai lupa," tukasnya. Dilepasnya begitu saja tubuh Hiroto dari
bahu. Kalau saja Hiroto sejenis lelaki pesakitan, tentu dia sudah jatuh
tersungkur dengan pantat terlebih dahulu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hiroto. Diberinya sang penolong juraan hormat.
Dalam dan khusuk. Sebagai samurai sejati, Hiroto memiliki tata krama tinggi.
Sementara menjura, hatinya tak habis bergumam.
Hari ini di tempat yang sama, dia sudah dua kali bertemu dengan orang yang bukan
saja bertingkah ganjil, tapi pakaiannya pun tak karuan. Sebelumnya si kakek
bungkuk. Sekarang lelaki berwajah merah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau ,tak bisa terus di sini!" sambat
lelaki berwajah merah sebelum mulut Hiroto berucap lebih banyak.
"Kenapa begitu! Tuan?"
"Jangan panggil aku Tuan! Kau pasti punya nama bukan" Begitu juga aku.... Namaku
Tototo." Mulut Hiroto meringis samar. Nama itu" bisik hatinya geli. Seumur hidup, tak
pernah didengarnya nama seaneh itu di negerinya ini.... Jangan-jangan dia orang
sinting, duga Hiroto lagi, tak beda dengan pikiran Delapan Samurai Merah."Kenapa
tersenyum"!" hardik lelaki bernama Tototo.
Matanya mendelik menyeramkan.
Hiroto menjura lagi.
"Maaf, maaf.... Aku tidak bermaksud apa-apa,"
sergah Hiroto, memperbaiki kesalahannya. "Kenapa aku tidak bisa masuk ke Kuil
Matahari, Tototo San?" Hiroto mengulang pertanyaan yang sebelumnya terbengkalai.
"Karena aku sudah ke sana."
"Tapi aku belum."
"Tapi kau tak perlu ke sana! Titik!"
"Aku punya urusan yang amat genting dengan Seichi Onigawa...." Hiroto mencoba
menjelaskan. "Aku bilang tak perlu ke sana. Waktu kau habis-habisan dikeroyok orang-orang
usil tadi, aku iseng.-iseng masuk ke dalam sana. Tak ada seorang pun di dalam
sana. Tapi tunggu dulu...." Tototo rnenghentikan ucapan-mencerocosnya Dia mengingat-
ingat sesuatu. "Tapi aku melihat satu gerombolan bersembunyi di sana...."
"Kau bertemu dengan gerombolan Imada-Tong?"
Hiroto teringat pada ucapan kakek bungkuk. Orang tua bertoya itu juga kalau
orang-orang Imada-Tong menanti di dalam Kuil Matahari.
Tototo mencibir. Wajahnya bertambah jelek.
"Aku bertemu dengan satu gerombolan kecoak!"
tukasnya acuh sambil berlalu dari tempat itu.
Hiroto ragu. Mana yang harus dipercayanya kini.
Orang tua bungkuk sebelumnya mengatakan Seichi
Onigawa dan orang-orang Imaga-Tong menunggunya di dalam kuil. Sebaliknya, lelaki
bernama Tototo ini justru mengatakan di dalam kuil tak ada orang lagi.
Bimbang meruyak. Kalau dia masuk ke sana juga
dan ternyata Tototo benar, artinya dia akan banyak kehilangan waktu. Tapi
bagaimana kalau perkataan kakek bungkuk benar"
Karena terlalu dikecamuk kebimbahgan, tanpa
sadar Hiroto menoleh ke arah bangunan Kuil Matahari.
Sewaktu kepalanya menoleh kembali ke arah lelaki bernama aneh tadi, Hiroto sudah
tak menemukannya lagi.
"Siapa pula dia?" Benak Hiroto makin dijejali teka-teki tak terjawab.
Siapakah orang tua bungkuk bertoya" Siapa pula
Tototo" Apa tujuan keduanya" Apa yang dilakukan si urakan sakti
Pendekar Slebor untuk menolong Hiroto
tanpa perlu membuat harga diri kawannya itu terusik" "
Di mana pula Akimoto disembunyikan" Siapa
pengkhianat keluarga Hiroto"
SELESAI Ikutl serial Pendekar Slebor selanjutnya :
RAHASIA SANG GEISHA
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pendekar Gelandangan 4 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Kisah Pendekar Bongkok 9