Pencarian

Rahasia Sang Geisha 1

Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha Bagian 1


RAHASIA SANG GEISHA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan peitama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Rahasia Sang Geisha
128 hal Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Satu pepatah lama menyebutkan musuh jangan
dicari. Tapi kalau musuh menghampiri, jangan sekali lari.
Sikap seperti itu telah diterapkan keluarga keturunan murid bungsu Sensei*
Pedang Ekor Naga.
Salah seorang dari mereka adalah Hiroto. ksatria sejati yang mengambil jalan
para bushido* di negeri Sakura. Hari boleh saja berganti, bulan boleh berlalu.
Atau tahun serta abad boleh terus berubah. Tapi jalan hidupnya tidak. Dia
memegang teguh apa yang diyakininya dengan kehormatan atau nyawa sekali pun.
Kalau keluarganya kini ada yang memus uhi, demi
kehormatan, dia tak akan menyingkir. Akan dihadapinya semua ancaman dengan
keberanian seorang samurai
sejati. Tidak lari seperti pecundang.
Seichi Onigawa, salah seorang perwira shogun yang berkuasa kini adalah musuh
besarnya. Dia adalah
keturunan dari murid sulung Sensei Pedang Ekor Naga.
Saat ini, Seichi Onigawa telah menyandera anak satu-satunya. Dan itu bagi Hirolo
adalah sangkakala perang yang harus dihadapi. Bukan dihindari. Meski pada
dasarnya. Hiroto sendiri membenci permusuhan yang terus saja berkobar turun-
temurun itu. Ke Kuil Malahari, Hiroto memburu. Di sana dia
berharap dapat menghadapi Seichi Onigawa yang telah menyandera Akimoto anaknya.
Hiroto amat tahu apa yang dikehendaki Seichi Onigawa. Lelaki berjiwa binatang
namun bersosok manusia itu sebenarnya tak c uma
menginginkan Pedang Ekor Naga warisan Sensei Pedang Ekor Naga.
Seichi Onigawa menyimpan kebencian
mendalam pada seluruh keluarga keturunan murid bungsu.
Dan kebencian itu kian lama kian menjadi karat busuk yang memicu nafsu
membantainya! Senja jatuh juga. Matahari bertekuk lutut kuyu pada di kaki langit timur. Di
pekarangan Kuil Matahari di wilayah Yamashiro, seorang lelaki berdiri mematung.
Ilalang tinggi lebat diam seperti diamnya lelaki itu, di bawah cahaya kuning tembaga matahari.
Lelaki itu Hiroto. Dia telah memutuskan untuk memasuki juga Kuil Matahari.
Ada baiknya dia mengikuti ucapan si kakek tua
bungkuk yang mengatakan padanya bahwa Seichi Onigawa musuh besarnya, telah
menunggu di dalam bangunan kuno itu (Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal
ini, bacalah episode sebelumnya; "Geisha"!)
Dari pintu besar yang telah hancur oleh ledakan
peledak milik Delapan Samurai Merah, Hiroto masuk.
Langkahnya teratur, penuh kesiagaan. Matanya nyalang mewaspadai segenap penjuru.
Memasukiruang besar tempat pemujaan, Hiroto
menajamkan pandangan. Ruangan di sana cukup gelap.
Tak ada lampu sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu, musuh tentunya lebih
leluasa mengintai dari kegelapan.
Sementara sosok Hiroto sendiri jelas terlihat akibat sinar matahari sore yang
bertandang dari mulut pintu.
Hiroto meningkatkan kesiagaan. Kakinya melangkah satu-satu pada lantai berbatu
pualam kotor. Dengan melangkah menyamping,
Hiroto berusaha sckaligus
membentuk pertahanan selagi berjalan.
Ditengah ruang besar itu, telinganya menangkap
suara halus di satu sudut. Hiroto menegang.
"Seichi! Kaukah itu"!" bentak Hiroto. Melepas lantangannya.
Tak ada tanggapan apa-apa. Tapi suara halus tadi masih tertangkap telinga
Hiroto. "Seichi! Kalau itu memang benar kau, keluarlah!
Hadapi aku sebagai seorang ksatria! Kalau kau merasa perlu untuk memerintah
orang-orang bayaranmu untuk rnenghadapku karena kau begitu pengecut,
maka perintahkan mereka! Jangan hanya main kucing-kucingan seperti ini"!" cecar
Hiroto agak mengkelap.
Tetap tak ada apa-apa.
Menguap sudah kesabaran lelaki berjiwa ksatria itu.
Dengan melangkah tetap menyamping dihampirinya sudut
ruangan besar yang dicurigainya. Lebih mendekat ke sebuah
patung besar, telinga Hiroto makin
jelas mendengar suara halus. Topi telinga lelaki itu mulai ragu ketika suara itu kian
jelas. "Apa iya aku mendengar suara mendengkur?" bisiknya dalam hati.
Tetap dengan kewaspadaan penuh, Hiroto melompat
kebalik punggung patung besar.
Kelopak matanya
mengkerut, seperti juga keningnya.
"Kau...," desis Hiroto.
Dilihatnya lelaki berwajah merah telah ada di sana.
Bukan cuma itu. Si jelek berpakaian dekil telah pula terpulas di ringi dengkur
tak sedapnya. Tak lama kemudian, mulutnya mulai menguap lebar-lebar.
"Huaaaahhh...."
"Tototo San*," tegur Hiroto pelan. Biar sejelek apa pun orang itu, Hiroto tetap
berhutang budi padanya. ketika lelaki bernama aneh itu menyelamatkannya dari
ancaman maut Delapan Samurai Merah.
"Hm. nyam nyam nyam...." Mulut Tototo malah mengecap-ngecap matanya tetap
terpejam. Hiroto baru saja bertemu dengarnya belum lama dari sepeminum teh.
Tapi orang aneh satu ini tampaknya sudah
bermimpi sampai ke surga.
"Tototo San," ulang Hiroto lagi.
"Ya ya!" Tototo tersentak. Dia bangun mencelat seraya memasang kuda-kuda.
"Oi, rupanya kau"! Sedang apa kau di sini"!" sapanya ketika menyaksikan Hiroto
berdiri di depan.
"Aku mencari...." Hiroto terdiam. Dia jadi tak enak hati dengan Tototo. Bukankah
lelaki itu sudah mengatakan kalau Seichi Onigawa memang tidak ada di dalam
bangunan ini"
"Bukankah sudah kubilang Seichi Onigawa tidak ada di sini"! Kenapa kau keras
kepala sekali, heh"!" rutuk Tototo. Sesudah itu, dia menggeloso kembali seperti
ular sanca besar kekenyangan.
"Sudah sana keluar!" hardiknya seraya menepiskan
tungan di udara. Matanya terpejam.
"Tapi...."
Hiroto tak meneruskan kalimal.
Tototo sudah mendengkur kembali. Percuma dia bilang apa pun! Dengan masih dikerubungi tanda
tanya dalam hati, akhirnya Hiroto meninggalkan Kuil Matahari. Ke mana lagi dia
akan memburu Seichi Onigawa yang telah menyandera anaknya.
Ke Suruga" Hiroto tak begitu yakin. Suruga memang tempat Seichi Onigawa dan
keturunan murid bungsu lain.
Namun daerah itu terlalu jauh. Belum tentu Akimoto dibawa ke sana. Bukankah
Seichi Onigawa tak akan bodoh membawa 'anak macan' ke tempat tinggalnya sendiri"
Itu sama artinya mengundang 'induk macan' untuk datang.
Tapi, Seichi Onigawa bukan orang sembarangan.
Kalaupun Hiroto menyantroni tempatnya, belum tentu Hiroto bisa unggul menghadapi
kehebatan lelaki itu. Jadi, mestikah aku menyusul ke Suruga" batin Hiroto
bertanya bimbang kembali.
"Sebaiknya kau tunggu saja kabar dari lelaki keparat itu!" Terdengar suara serak
Tototo dari dalam kuil. "Kalau tak salah. dia menginginkan sesuatu darimu.
bukan?" lanjutnya. "Tentu dia akan mengajukan persyaratan untuk menukar anakmu dengan
benda yang di nginkan itu!
Kenapa kau jadi terburu nafsu seperti itu"! Jangan terbawa nafsu, akal sehatmu
bisa tak berjalan!"
Mendengar ucapan Tototo, baru Hiroto sadar. Lelaki aneh itu benar. Betapa
bodohnya dia mengikuti hawa nafsu sendiri. Bukankah lebih baik dia menunggu
kabar dari musuhnya. Selama Pedang Ekor Naga tetap di tangannya, Seichi Onigawa
tak akan berani melakukan apa-apa terhadap Akimoto anaknya.
"Terima kasih, Tototo San!" seru Hiroto. Dia segera beranjak. Baru empat
langkah, dia berhenti lagi.
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Seichi Onigawa menginginkan sesuatu dariku?"
bisiknya keheranan.
*** Andika alias Pendekar Slebor membuka penya-
marannya segera setelah Hiroto meninggalkan Kuil Matahari. Ya, lelaki berwajah
merah dan jelek itu memang si pemuda urakan. Setelah Andika tahu dari samurai
bekas bawahan Hiroto bahwa Hiroto menuju kuil tua di
Yamashiro, anak muda sakti dari tanah Jawa itu pun langsung menyusul. (Baca
episode sebelumnya : "Geisha"!) Di perjalanan, tanpa kesulitan otak seencer bu-
bur bayinya menemukan akal terang untuk membantu Hiroto tanpa membuat harga diri
ksatria Nippon itu terusik. Dia menyamar! Ilmu menyamar yang pemah diturunkan
oleh Raja Penyamar padanya pun dipakai. (Tentang kisah tokoh satu ini, bacalah
episode : "Manusia Dari Pusat Bumi",
"Pengadilan Perut Bumi" dan "Cermin Alam Gaib"!) Dengan mencari bahan-bahan
penyamaran selama di
perjalanan, Pendekar Slebor akhirnya sampai dengan penampilan lain di Kuil
Matahari. Tepat saat Hiroto dalam keadaan di ujung landuk.
Kalau si lelaki berwajah merah adalah Andika, lantas siapa orang tua bungkuk
bertoya. Sampai saat itu, Andika sendiri tak sempat bertemu dengannya. Dia tiba
setelah si orang tua bungkuk sudah menghilang dari pekarangan berilalang lebat
Kuil Matahari. Yang jelas. orang tua itu tidak membohongi Hiroto.
Memang benar pada saat Hiroto baru sampai di Kuil Matahari. Seichi Onigawa,
Delapan Samurai Merah, dan orang-orang Imada-Tong lain sedang mengintainya di
dalam bangunan kuno tersebut.
Dan ketika Hiroto berlarung dengan Delapan Samurai Merah, Seichi Onigawa kcluar
melalui bagian belakang bangunan. Rupanya ada rencana lain yang hendak
dijalankannya. Akimoto sendiri tidak terlihat dengan mereka. Entah disembunyikan
di mana bocah kecil itu.
Sepergian Hiroto, Andika mencoba memeriksa seluruh bangunan Kuil Matahari.
Keheningan mengungkung di dalam sana. Hawa dingin merata di segenap penjuru
ruangan. Dengan menajamkan pan-dangan, anak muda itu
mencari-cari petunjuk di seluruh bagian gedung. Teliti dia meneliti. Dan usaha
itu akhirnya membawa hasil.
Andika menemukan secarik kain, tergeletak nyaris tersamar oleh gelapnya sudut
pedupaan kuil. Ia mengenalinya sebagai sobekan pakaian Akimoto.
Kepala anak muda itu mengangguk-angguk. Hmm,
anak itu rupanya pernah dibawa ke sini," Gumamnya, menyimpulkan.
Tangan Andika lalu meremas sobekan kain itu. Pada telapak tangannya, terasa
kelembapan pada kain.
"Ruangan ini tak tergolong lembab pada musim semi seperti ini," bisik si anak
muda dari tanah Jawa kembali.
Andika mencoba meyakinkan dugaannya. Dicipinya
rasa sobekan kain itu. Rasanya asin. Andika vakin kain itu basah karena keringat
Akimoto. Dengan belum keringnya sobekan kain, otak encernya berkesimpulan cepat.
"Jadi tampaknya Akimoto belum lama dibawa pergi lagi oleh Seichi Onigawa keparat
itu dari tempat ini.
Masalahnya sekarang, kemana anak itu di bawa pergi?"
Rahang Andika mengeras, memperlihatkan garis-garis kegeraman.
"Sial! Sobekan kain ini tetap tak memberi petunjuk ke mana aku harus melacak
manusia sial itu pergi!" rutuknya merambat.
Pada saat itu. tiba-tiba saja mata setajam pandangan elang si pendekar muda
menangkap kelebatan bayangan seseorang dari mulut lorong kuil sebelah timur.
Andika sigap menoleh siaga.
Sudah tak terlihat siapa pun lagi di sana. Tapi, Andika tetap yakin,
penglihatannya tak keliru.
Dia jelas menangkap kelebatan cepat melintas mulut lorong. Tak bisa dia terus berdebat
dengan diri sendiri. Dia harus membuktikan.
Andika cepat memburu ke mulut lorong yang
dicurigainya. "Siapa pun orang itu, aku harus dapat me ringkusnya lebih dahulu!"
tekadnya. *** 2 Andika sampai di ujung lorong yang menyambungkan ruang utama Kuil Matahari
dengan ruang yang tampaknya pernah digunakan sebagai kamar bagi para biksu. Dari
satu pintu yang sudah tak memiliki daun pintu lagi, Andika masuk.
Ruang itu berantakan. Sama dengan bagian gedung
lain, sarang laba-laba merangas sembarangan. Dindingnya sudah gompal di sana-
sini. Ruangan berlantai batu dan bertiang utama kayu ek itu menjadi ujung
lorong. Mestinya Andika mencmukan orang yang diburunya. Kenyataan yang kini
didapati justru bertolak belakang. Tak ada satu manusia pun ditemuinya. Bahkan
sekadar anak cecak kesasar sekali pun... .
"Slompret! Ke mana orang tadi" Apa kelebatan bayangan yang kulihat tadi cuma
perasaan was-wasku saja?" gerutu Andika scraya mcnghentak tangan ke dinding
kcsal.Mulai menyembul keraguannya. Dia merasa dibodohi oleh pandangannya
sendiri. Andika hendak buru-buru pergi dari tempat itu. "Apa gunanya lebih lama
kalau yang dilihatku tadi sekadar bayangan di kepalaku?" pikirnya.
Di lain sisi, kesadarannya mengingatkan. Ada
kemungkinan dia memang telah salah lihat. Tapi tetap tak menutup kemungkinan
bayangan yang dilihatnya memang benar-benar seseorang.
Satu-satunya cara untuk menuntaskan keraguan itu, Andika
harus meneliti ruangan. Kalau benar penglihatannya, tak mungkin orang bisa begitu saja menghilang seperti dedemit
kesiangan. Andika mengurungkan niat untuk pergi Dimas ukinya ruangan
perlahan. Kewaspadaan tetap harus dipertahankannya sebaik mungkin. Dia sama sekali tak mau kecolongan.
Sambil terus melangkah satu-satu, matanya meneliti petak demi petak lantai batu.
Di tengah ruangan, matanya
menemukan keganjilan pada satu petak batu. Rongga petaknya lebih lebar dari


Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petak lain. Bibir pemuda itu lantas menyeringai. Dia berjongkok.
Sebelumnya Pedang Pusaka Langit dilolos-kan terlebih dahulu. Ruangan yang
sebelumnya cukup gelap karena jendela besarnya terganjal kayu lebar besar, kini
menjadi terang oleh jamahan sinar merah bara Pedang Pusaka Langit. Dengan ujung
pedang itu. Andika mendongkel petak batu tadi.
Tanpa kesulitan, petak batu bulat persegi banyak selebar tiga kaki itu terangkat
Di bawahnya, Andika menemukan lubang beranak tangga batu. Tepat di bawah tanah
gedung ini, rupanya ada ruangan lain. pasti dulunya dijadikan ruang rahasia
untuk tujuan tertentu. pikir Andika.
"Kubilang juga apa..." gumamnya, bangga pada kejelian sendiri.
Setelah memasukkan Pedang Pusaka Langit kembali
ke sarungnya, Andika memasuki lubang itu. Sekitar delapan puluh anak tangga
melingkar dilalui anak muda itu. Dan ditemukannya ruangan besar terang benderang
oleh lampion-lampion* yang tergantung di sepanjang dinding. Atapnya tinggi,
hingga memungkinkan ruangan itu tetap sejuk. Sementara di beberapa bagian atas
dinding terdapat lubang-lubang keluar-masuk udara.
Berbeda dengan ruangan-ruangan di atas, tempat ini justru begitu terpelihara.
Lantai pualam nya saja bahkan begitu bersih, seolah selalu basah oleh genangan
air. Di tcngah-tengah ruangan, Andika melihat seorang lelaki tua bungkuk. Orang
itu duduk bersila bersemedi. Di depan kakinya tergeletak toya panjang.
Dari wajah orang tua itu, anak muda sakti tanah lawa itu mendapati ketenangan
penuh. Bertolak belakang dengan parasnya, di kedua sudut bibir berkeriput itu
Andika malah menyaksikan rembesan darah kehitaman.
Andika cepat menyimpulkan. Lelaki tua bungkuk itu yang telah dilihatnya melintas
sekilas. Dan dia sedang terluka dalam. Semedinya kini mungkin untuk memulihkan
tubuhnya kembali.
Andika tak mau mengusik. Sengaja dia menurunkan
tubuh ke sudut dinding. Dia duduk di sana, memeluk lutut.
Ditatapinya terus lelaki tua itu. Memang menurut pengamatannya, tak ada kesan
keji pada wajah si tua.
Biarpun begitu, tak ada salahnya dia tetap menjaga kewaspadaan.
Lewat sepeminum teh kemudian, si kakek bungkuk
mendadak bergerak. Tubuhnya mencelat ke atas bersicepat dengan sambaran langannya pada toya. Di udara dia berputar beberapa
kali menuju Pendekar Slebor.
Andika tersentak. Dia menangkap kecepatan gerak
luar biasa si kakek bungkuk. Karenanya dia cepat bangkit.
Sekerdip berikutnya, dia harus menahan hantaman toya kakek bungkuk tadi dengan
lecutan kain pusakanya.
Cletar! Tak! Andika memperhitungkan toya penyerangnya akan
lerpenggal menjadi dua dengan tenaga dalam yang telah disalurkannya melalui kain
pusaka bercorak catur.
Perhitungannya ternyata tak c ukup jitu. Bukannya terpatah dua, toya itu justru
menyentak balik kain pusaka Pendekar Slebor. Tak hanya itu. Tangan Andika pun
mendapat sentakan seketika. Nyeri berdenyar, seperti baru saja disengat sesuatu.
Wukh! Kekagetan Pendekar Slebor dibayangi oleh kelebatan susulan. Kakek bungkuk
berpakaian seorang samurai tempo dulu telah mengayunkan ujung toya yang lain ke
kaki Pendekar Slebor.
Andika melompat, menyelamatkan tulang kakinya dari hantaman toya lawan. Di
udara, dia dikejar lagi oleh putaran cepat toya tadi.
Wukh wukh! Pada saat seperti itu, Pendekar Slebor sudah tak bisa lagi membuat gerakan
menghindar ke mana-mana.
Kalaupun masih mungkin, tetap saja bahunya akan
tersambar ujung toya si samurai tua.
Pendekar Slebor tak ingin terjepit dalam gebrakan
awal. Dengan lincah. dibentangkannya kain pusaka dengan sepasang tangan, tepat
di depan arah gerak toya lawan.
Tak! "Wou!"
Untuk pertahanan yang terpaksa itu, Pendekar Slebor harus sudi menerima
akibatnya. Dorongan tenaga toya lawan terlalu kuat untuk dijegal dalam kea-daan
terjepit. Apalagi saat itu Pendekar Slebor tak memiliki pertahanan untuk jejakan kuda-
kudanya Tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang.
Tembok tiga tombak di belakang langsung terhantam punggungnya. Meski begitu,
Pendekar Slebor terny-ta punya kejutan juga untuk lawan. Sewaktu toyanya beradu
dengan kain pusaka, dengan kecepatan kilat gerak tangan.
dililitkannya kain itu di ujung toya.
Begitu kuatnya belitan itu. hingga ketika tubuh
Pendekar Slebor terlempar ke belakang toya itu pun ikut terbawa. Dengan sedikit
menambahkan sentakan pada kain pusaka, Andika berhasil merebut toya tadi dari
tangan pemiliknya!
"Ufh, jangan salah paham, Kakek Galak! Tentu saja aku bukan pencuri toya!" tukas
Andika dengan senyum maha lebar. Sakit sedikit di bagian punggung akibat
benturan pada dinding. tak sudi dirasakannya. Yang penting, dia sudah berhasil
mendapatkan toya lawan.
Si orang tua bungkuk tampak demikian gusar. Mata kelabunya yang berkelopak
sempil makin menyempit saja.
Terdengar geramnya. Setelah itu, dia malah terbatuk-batuk.
Dari mulutnya tersembur da-rah hitam kekentalan.
Tentu saja pcngerahan tenaga dalam saat menycrang Pendekar Slebor mcnyebabkan
luka dalamnya kambuh kembali. Mungkin sekali ini akan lebih parah kalau dia
terus ngotot menyerang Pendekar Slebor.
"Sudahlah, Kck! Kenapa kau memaksakan diri! Aku pun sebenarnya tak berniat
memusuhimu.... Kenapa kau begitu ngotot ingin menghajarku?" kata Andika, mencoba
menyabarkan si orang tua bungkuk ketika orang tua itu
mulai hendak menggebrak lagi.
"Kau tampaknya orang asing. Mau apa kau ke tempat ini" Apa kau salah seorang
antek-antek Seichi Onigawa?"
Andika cepat menggeleng. Disodorkannya toya di
tangan. Si kakek bungkuk sejenak ragu menerima "
tawaran persahabatan itu. Namun diambil juga akhirnya.
"Aku datang dari jauh. Anak sahabat yang kukunjungi di negeri ini telah diculik
oleh orang yang namanya baru kau sebutkan tadi," Andika menjelas-kan.
"Maksudmu Seichi Onigawa?" Kakek bungkuk kelihatan terperanjat.
"Yak, lelaki itu penculiknya!"
"Tunggu dulu." tahan kakek bungkuk seraya mendekap dadanya. Mungkin dia mcrasakan nyeri yang mulai menyerang kembali.
"Apakah kau orang asing yang diributkan mereka?"
tanyanya seperti bertanya pada diri sendiri.
Andika mcmbcrengut. Dia tak jelas menangkap
maksud perkalaan orang tua di depannya.
"Apa maksudmu, Kek?"
"Delapan Samurai Merah, para ketua Imada-Tong, mereka mencarimu! Bukankah kau
sahabat Hiroto"!"
Sekali ini Andika terkejut. "Hei, bagaimana Kakek bisa kenal dengan Hiroto?"
sergahnya dengan paras tak mengerti.
Kakek bungkuk tak segera menjawab. Itu menyuburkan rasa penasaran Andika. Anak muda dari negeri jauh itu ingin
mendesaknya. Tapi urung dilakukan ketika orang tua tadi terbatuk-batuk
mengeluarkan darah kehitaman kembali.
"Ah, kau tentu terluka dalam, Kek! Biar aku bantu!"
pinta Andika. Kakek bungkuk mengibas tangan di udara. Wajahnya tetap mencerminkan kekerasan
untuk tidak mengharapkan pertolongan siapa pun.
"Aku bisa mengobati luka dalamku sendiri," tolaknya dengan wajah masam. "Aku tak
akan jadi begini kalau kau
tak muncul!" gerutunya, menambah-an.
Pendekar Slebor angkat bahu. Mana bisa dia
disalahkan begitu saja. Sudah jelas kakek bungkuk itu telah menyerangnya
terlebih dahulu. Dengan mengerahkan tenaga pada saat pemulihan, tentu
mengakibatkan kekambuhan. Biar tak merasa bersalah, tetap Andika menganggap tak ada gunanya
mendebat orang tua itu.
Mungkin sifat keras kepalanya lebih keras dari sifat Andika sendiri.
"Baik kalau memang itu maumu. Tapi, mungkin kau mau mengatakan padaku, lelaki
sial mana yang telah membuatnya seperti itu?" Andika sengaja mengucapkan kata
'lelaki sial' dengan wajah yang dipasang segeram mungkin. Supaya simpati si
kakek tua terpancing. Dengan begitu, tentu dengan suka rela si kakek bungknk
keras kepala akan mengatakan siapa yang telah melukainya.
Pancingan Andika mendapat hasil. Berkawal geraman serak, kakek bungkuk
menyebutkan nama seseorang yang telah melukainya.
"Seichi Onigawa! Pecundang laknat itu yang inembuatku begini!"
"Hm, sudah kuduga," bisik Andika dalam hati. Sampai di situ, Andika dipaksa
tertawa tertahan. Masalahnya, bibir kakek bungkuk menjadi manyun. Begitu
bencinya dia dengan Seichi Onigawa tampaknya.
Lalu kakek bungkuk tertatih kembali ke batu di lengah ruangan. Baru melangkah
tiga tindak, tubuhnya terhuyung.
Dia hampir saja jatuh.
Jangan bilang itu tak mengganggu perasaan Andika.
Tentu saja pemuda kepala batu namun tetap berhati bening itu bergegas mendekati.
Hendak dipapahnya kakek bungkuk. Belum lagi tangannya sampai, si kakek bertoya
sudah menggebrak lantai dengan senjatanya.
'Tak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!" hardiknya pada Andika dengan mata
mendelik. Andika meringis. "Jompo slompret!" Cibirnya dalam hati, dongkol setengah mati.
*** Pekerjaan apa yang lebih menjenuhkan dari menunggu" Andika tampaknya tak bisa menghindar dari hal itu. Lebih dari empat
jam anak muda itu menunggu orang tua yang belum lagi diketahui namanya.
Tanpa bisa menyumpal mulutnya untuk tidak
menggerutu, Andika dudukbersandardi dinding. Tepat di bawah satu lampion besar.
Satu kakinya dijulurkan begitu saja. Sementara kaki yang lain dilipat untuk
tumpangan tangan. Sesekali dia mengetuk-ngetuk lantai, mencoba mengenyahkan
kejenuhan. Lewat empat jam, barulah kakek bungkuk tadi mulai bergemik dari semadi
khusuknya. Andika lega. Rasanya dia baru saja terbebas dari rantai sebesar
telapak anak dedemit yang membelitnya.
"Bagaimana, Kek?" tanya Andika setelah berge?gas mendekati lelaki tua bungkuk
itu. "Bagaimana apa?" sungut kakek bungkuk.
Tolong terangkan padaku, ke mana Seichi Onigawa
membawa Akimoto?"
Kakek bungkuk mencibir. "Kau pikir aku tahu?"
ucapnya tak sedap.
"Aku yakin kau tahu. Bukankah kau mendengar setiap pembicaraan mereka ketika
semuanya masih ada di kuil ini?" desak Andika. Dia berusaha menahan kesabaran,
meski jakunnya sudah turun-naik menahan dongkol.
"Dari mana kau tahu aku bisa mendengarkan
pembicaran mereka dari tempat ini?" Kakek bungkuk makin berbelit-belit.
"Bukankah kau juga yang bilang tadi kalau kau mendengar percakapan Delapan
Samurai Merah yang
penasaran ingin menjajal ilmu bela diriku?"
"O, iya aku lupa. Maklum saja aku sudah tua." "Kalau begitu kau tentu dengar
mereka mengatakan satu tempat yang mungkin ke sana Akimoto dilarikan."
Kakek bungkuk terdiam. Wajahnya terlipat ketat,
makin membuat tebal kerut wajahnya. Dia sedang
mengingat-ingat sesuatu.
"Rasanya aku ingat sekarang...."
"Bagus! Tolong katakan padaku ke mana Akimoto dilarikan?" tegas Andika.
"Tapi, apa kau tak mau tahu kenapa aku bisa terluka oleh Seichi Pecundang itu?"
Kakek bungkuk kembali mementahkan jawaban yang begitu Andika harapkan.
Andika geleng-geleng kepala. Semalam saja aku
bersama orang tua ini, bisa rontok seluruh rambutku karena jengkel! Serapahnya
membatin. "Tapi yang kubutuhkan adalah keterangan ke mana Akimoto dilarikan," Andika mulai
sengit. Nada suaranya agak menanjak.
"Jadi kau marah padaku, ya"!" Dengan tak kalah sengit. kakek bungkuk mendongak.
dipelototinya Andika dengan susah payah. Bagaimana tidak susah payah kalau
kelopak matanya saja sudah begitu sempit.
Baik-baik!" putus Andika tetap dibayangi kedongkolan meletup-letup. Terpaksa dia
menuruti kemauan orang tua itu.
Kakek bungkuk menimang-nimang toyanya. Andika
menunggu dengan wajah terlipat. Kakinya tak bisa diajak diam. Anak muda itu
terus mondar-mandir di depan kakek bungkuk.
"Asal kau tahu. aku bukannya gampang dikalahkan oleh si Pecundang Seichi," mulai
kakek bungkuk akhirnya.
"Tapi tampaknya Kojiro sudah berhasil menyempurnakan kesaktian yang didapatnya
dari ne-geri asing...." "
"Siapa Kojiro" Kenapa sepertinya kau malah jadi ngawur, Kek?" potong Andika
sambil menghentikan langkah gelisahnya.
Kakek bungkuk memelototinya lagi. Andika diam. Dia memang harus diam kalau ingin
mendapatkan keterangan yang di nginkan. Memang agak apes nasibnya hari ini!
"Kojiro adalah kakek si Pencundang Seichi. Sewaktu mudanya dia menuntut ilmu di
negeri orang, entah di negeri mana. Ilmu itu tergolong ilmu sesat. Dipelajarinya
juga ilmu itu sekadar untuk memerangi keluargaku."
"Ah, kau makin ngawur saja, Kek! Sekarang, apa hubungannya bocah yang hendak
kuselamatkan dengan dirimu" Dan apa gunanya aku mendengarnya" Ini sama artinya
melakukan hal yang sia-sia!" potong Andika sekali lagi. Wajahnya sudah mematang
dibakar kekesalan. Ingin rasanya dia meruntunkan sumpah serapah pada orang tua
bungkuk itu. Tapi, kalau Andika takut kalau dia salah ucap orang tua itu tak mau
mengatakan ke mana Akimoto di bawa. Wuh, serba salah...
*** 3 Saat itu di sebuah wilayah di dekat perbatasan antara propinsi Kyoto dengan


Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yamashiro, seorang memacu
kudanya dalam kecepatan menggila. Di depannya ada tubuh kecil terjuntai yang
terikat ke pelana.
Orang itu demikian bernafsu melecut binatang
kendaraannya, seolah ada sesuatu yang diburu. Kuda tunggangan
hitam mendengus-dengus
menghempas kepulan uap dari moncongnya. Sesekali kuda itu meringkik terkena lecutan tali
kendali. Dalam jarak lima belas to.jibak dari lari kuda, debu terbangun tinggi. Mengapung
beberapa lama di udara, lalu perlahan turun kembali.
Penunggangnya adalah seorang lelaki berpakaian
seorang samurai. Rompi panjangnya berwarna hijau tua sedang dalamannya berwarna
merah. Rambutnya tak
begitu panjang. Bagian belakangnya dikuncir. Sedangkan rambut pada bagian kening
dipangkas tinggi hingga licin.
Wajahnya terlalu beringas. Dengan sudut bibir yang terus saja terungkit ke atas,
seakan tak henti menyeringai.
Hidungnya agak melengkung seperti paruh burung. Sedang matanya diliputi
kekejaman, apalagi dengan alis mata yang nyaris tersambung satu dengan yang
lain. Lelaki inilah Seichi Onigawa. lawan besar Hiroto yang menginginkan Pedang Ekor
Naga diserahkan padanya sebagai satu kebanggaan sekaligus simbol kehormatan
keluarga besar keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga. Bagi Seichi
Onigawa, darah boleh ditumpahkan sampai terkuras, nyawa boleh terlepas, asal
pedang pusaka itu bisa didapatkan.
Sementara kenyataannya, Seichi Onigawa tidak hanya bernafsu memiliki Pedang Ekor
Naga. Ada nafsu lain yang lebih jahat terselip di dalam hatinya. Nafsu untuk
menghabisi setiap keturunan Murid Bungsu!
Nafsu itu tak bisa dipadamkan andai dia telah
mendapatkan pedang pusaka yang di nginkan. Dan selera
keji untuk membunuh si bocah kecil, Akimoto pun
menjalari benaknya.
Sebuah rencana telah disusunnya agar bisa mendapatkan Pedang Ekor Naga, sekaligus menyingkirkan Hiroto dan anak satu-
satunya. Rencana rahasia yang bukan cuma begitu malang direncanakan. Tapi juga
butuh waktu bertahun-tahun untuk menjalankannya!
Rencana apa gerangan"
Kuda Seichi Onigawa terus terpacu jalang, melintasi daerah kering. Sampai satu
tepian lembah yang banyak ditumbuhi Sakura, seseorang menjegat lari kudanya.
"Berhenti kau Seichi Onigawa!!" Seichi Onigawa menyaksikan seorang berpakaian
ninja berdiri menantang, sembilah depa dari tempat kudanya berhenti. Kedua
tangannya bertolak pinggang. Seichi menyangka orang itu adalah salah satu
anggota Imada-Tong, orang-orang bayarannya.
"Ada apa"! Apa markas kita telah berhasil diketahui musuh?" tanyanya tegang
terburu. Si penghadang tertawa. Suaranya terdengar lebam
terhalang topeng kain hitam.
"Aku bukan jenis orang-orang yang mengabdikan diri pada uang, Manusia Laknat!"
benta ksi penghadang-Nadanya menanjak, menohokkan kebencian.
Barulah Seichi Onigawa menyadan orang di depan
bukan berada di pihaknya. Pakaian ninja yang dikenakan mungkin cuma untuk
menutupi jati dirinya. Siapa dia"
Kenapa harus mengenakan pakaian tertutup itu" Tanya hati Seichi Onigawa.
"Menyingkir dari jalanku!" berang Seichi Onigawa.
Orang berpenutup wajah menggeleng tegas. "Kau hanya akan kuizinkan lewal jika
kau menyerahkan anak itu padaku!" tandasnya mantap.
Mata Seichi Onigawa menajam. Seperti ada garis
sembilu di sepasang bola mata lelaki bengis itu.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuatanmu, kukatakan sekali lagi...,
menyingkir dari
jalanku!!"
bentaknya lebih mirip menggeram.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuataanmu, kukatakan sekali lagi...,
serahkan anak itu padaku!" tiru orang berpakaian hitam, mengejek.
"Keparat! Heaaa...!"
Mendadak Seichi Onigawa menghentak kuda tunggangannya. Kuda jantan gagah itu meringkik teramat keras. Sentakan kaki
Seichi Onigawa pada per utnya terlalu mengejutkan. Dia menjadi binal. Dua kaki
depannya terangkat tinggi siap menendang apa pun di depannya.
"Hieei i...!"
Seichi Onigawa tampaknya mahir dalam keahlian
menunggang kuda. Kepanikan kudanya tak membuat lelaki itu terlempar jatuh.
Justru dengan begitu dia hendak memanfaatkan keadaan.
Cukup dengan sekali gebahan lagi, kuda yang
hcrubah liar itu melaju ke depan. Memburu, mendengus-dengus
dan mengancam. Siap menginjak-injak
penghadang di depan!
Orang berpakaian hitam tak ingin melakukan
kebodohan. Tak dibiarkannya kuda perkasa itu menginjaknya. Dengan tangkas dia melempar tubuh
kesamping. Tepat ketika kuda melewatinya, satu tangan orang itu meloloskan
pedang pendek dari kaki. Untuk melakukan hal itu, diperlukan ketrampilan
permainan pedang pendek yang trampil. Di samping karena
keadaannya tidak menguntungkan, juga karena di depan Seichi Onigawa ada tubuh
seorang bocah. Salah-salah, justru bocah itu yang tersayat. Tapi, orang
berpakaian hitam tak tampak kesulitan melakukannya. Sat!
Satu tebasan dibuatnya ke arah lambung Seichi
Onigawa. Pada saat yang bersamaan. Seichi Onigawa pun punya pikiran untuk
membabat lawan dengan samurai yang sebelumnya diloloskan.
Trang! Terjadi benturan keras dua senjata masing-masing.
Bunga api terpercik, lalu tersamar di bawah hujanan sinar
matahari siang.
Kuda tunggangan Seichi Onigawa dihentikan tuannya.
Sememara orang berpakaian hitam sudah bangkit tangkas.
Matanya menatap siaga ke arah lawan, menyiagakan serangan berikutnya.
"Aku bukannya takut mcnghadapimu. Bukan ke-
biasaanku melarikan diri. Asal kau tahu, suatu saat nanti kau akan berhadapan
denganku lagi. Saat itu, kau akan kchilangan nvawa di tanganku. Kupastikan itu!"
ancam Seichi Onigawa. Setelah itu dia menggcbah kudanya tergesa. "Hushaaa!"
Apa pun alasan lawan, orang berpakaian hitam tak sudi membiarkan lawan
menyingkir begitu saja. Tahu kalau Seichi Onigawa hendak menyingkir, tangannya
masuk ke dalam bagian dalam pakaian, bersicepat dengan setiap langkah kuda.
"Hih!" Sing..!
Empat-lima pisau kecil sepanjang jari tangan
berterbangan ganas ke udara. Lima bagian tubuh berbeda Seichi Onigawa hendak
dijadikan sasaran. Benda-benda tajam dari logam itu seperti memiliki mata
sendiri. Kalau menilik keadaan Seichi Onigawa saat itu yang sedang sibuk menggebah kuda
tunggangannya, sepertinya dia akan kesulitan untuk mengenyahkan serangan senjata
rahasia tadi. Seichi Onigawa tidak demikian. Padat kesan meremehkan, diputarnya
samurai di belakang tubuh dari atas kepalanya. Itu dilakukan tanpa menoleh pula.
Trang! Trang! Traaang!
Hasilnya, seluruh senjata rahasia yang siap mcngganyang rontok saat itu juga.Tinggal orang berpakaian hitam mendengus geram ketika kuda Seichi Onigawa terus menjauh
meninggalkannya.
*** "Hei, bangun kau"!"
Andika tersentak bangun. Matanya yang belum lagi siap menerima cahaya ditusuk
oleh terang-benderang
lampion-lampion dalam ruangan. Dia mengerjap-ngerjap sebentar, mencoba mencari
tahu di mana dia kini. Setelah itu si anak muda dari Lembah Kutukan menyadari
kalau dirinya masih di dalam ruang rahasia bawah tanah Kuil Matahari.
Tolol, kenapa kau jadi ketiduran"!" maki kakek bungkuk, sudah bertolak pinggang
di depan hidung Andika.
Tertidur. Ya, Andika ingat sekarang. Dia telah tertidur selagi menunggu kakek
bungkuk bersemedi. Rasa letih yang merongrongnya setelah perjalanan jauh
membuatnya matanya tak bisa diajak berdamai lagi. Ditambah lagi dengan hawa
sejuk yang terus saja mendayu-dayu dalam ruangan.
Andika terburu bangkil.
"Kau sudah selesai bersemedi, Kek?" tanya An?dika berbasa-basi. Sebenarnya, dia
jadi agak malu hati.
"Kalau saja kau salah seorang muridku, akan kupanc ung saat ini juga kau!"
sembur kakek bungkuk sengit. "Apa kau tahu, dalam keadaan teraman sekali pun,
kau tak boleh kehilangan kewaspadaan!"
Mendapat semburan sepedas sambal janda kembang
itu, wajah Andika memerah bukan main. Apa-apaan dia mengomeliku begitu rupa"
Muridnya bukan, cucunya bukan! Rutuknya dalam hati.
Andika baru hendak menyengiti kembali makian itu.
Sebelum mulut ceriwisnya 'menyanyi', kakek bungkuk malah menyodorkan sesuatu
padanya. "Ini...."
"Apa ini?" tanya Andika bingung. Diterimanya juga benda sejenis kertas gulungan
itu. "Bukankah kau tadi mau tahu markas Seichi
Pecundang itu!"
"Ooo," Andika menyorongkan mulut bulat-bulat. Kalau ada ikan mujair besar, bisa-
bisa dia dianggap pawangnya.
Sekarang dia mengerti apa yang diberikan kakek bungkuk.
Pasti semacam peta, duga-nya yakin.
"Ini peta, bukan?" tanya Andika, ingin meyakinkan diri.
"Kalau sudah tahu, kenapa kau tak segera menyingkir
dari tempat ini!"
"Baik! Baik!" Andika runyam. "Lagi pula, siapa yang mau lebih lama bersama orang
tua sesial kau!" rutuknya sebal tak alang kepalang.
Setelah menjura segan-segan, Andika meninggalkan ruang bawah tanah Kuil Matahari
itu. "Terima kasih untuk keterangannya!" ucapnya di anak tangga tanpa menoleh. Kalau
bisa dia malah mau tak mengucapkan terima kasih.
Di balik dinding tangga melingkar, tubuh tegap anak muda itu menghilang. Belum
lama kepalanya muncul lagi.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu, Kek?" tanyanya sambil
merunduk menjulurkan kepala. Senyumnya sekarang mengembang. Biarpun terlihat belum begitu ikhlas, tapi masih terbilang
lebih ramah ketimbang ringisan kerbau.
Kakek Bungkuk mendengus.
"Apa perlunya kau mengetahui namaku"!" cibir-nya menyebalkan Andika.
"Kalau suatu hari kita bertemu, aku toh tak perlu memanggil kau dengan ' hei
kakek bungkuk'! Atau ' hei orang tua besar adat'! Atau...."
"Ah. cukup!" penggal kakek bungkuk. Tahu dirinya bakal jadi bulan-bulanan bibir
ceriwis pemuda asing itu, dia cepat-cepat menyebutkan namanya.
"Yoshioka!" teriaknya.
"Apa itu?" Andika berpura-pura. Juluran kepalanya makin memanjang. Wajahnya
dibuat kebodoh-bodohan.
Sepantasnya aku membalas perlakuan menyebalkan
kakek slompret ini, geli Andika dalam hati.
"Namaku, tolol!"
"O, jadi Yoshioka aku harus memanggilmu. KaIau begitu aku pamit dulu...," Andika
melambaikan tangan.
Kepalanya menghilang di balik dinding anak tangga kembali.
"Sampai berjumpa lagi 'orangtua besar adat'!"
lerdengar teriakannya bergema ke segenap ruangan.
Di kuti gelak tawanya yang tersedak-sedak.
Kakek Yoshioka mendengus, dan mendengus dan
mendengus lagi....
*** Andika tiba di satu daerah yang masih termasuk
piopinsi Yamashiro. Tepatnya di pinggiran sebuah hutan bambu kuning yang
memanjang di sebelah lenggara.
Menurut peta yang didapat dari Kakek Yashioka. di tengah hutan bambu kuning
itulah berdiri markas Seichi Onigawa.
Sejauh mata memandang, yang Andika lihat cuma
bilah-bilah batang bambu. Menjulur liar bagai sehimpun tangan-tangan asing
berwarna kuning. Kalau diperhatikan memang c ukup memikat. Warna kuning bambu
yang batangnya tipis agak mengkilat ditempa sinar mentari, berpadu dengan kehijauan
daunnya. Tapi, ketika Andika mulai masuk ke dalam dan lebih ke dalam, mulai
meruyak kesan keangkerannya. Ibarat seorang peri cantik yang menyimpan kekejaman
pada kecantikannya!
Sekitar sejam perjalanan, Andika sampai di dekat satu air terjun kecil yang
bersambung dengan sungai bening dangkal berbatu. Air terjun berasal dari semacam
bukit batu kecil yang nyaris dipenuhi pepohonan rambat.
Lebarnya lebih dari empat tombak.
Di tempat itu, tepian sungai tidak lagi ditumbuhi bambu kuning. Ada beberapa
jenis pepohonan semak tumbuh di sana. Semula Andika tak begitu tertarik dengan
tetumbuhan di tepi sungai itu. Matanya justru meneliti ke bagian lain.
Ketika matanya menemukan ada bagian yang
mencurigakan, barulah Andika mulai tertarik. Pada satu bagian sesemakan di sisi
sungai terlihat tumbuh tak wajar.
Batang-batangnya rebah ke tanah. Dedaunannya sebagian mati. Andika mendekat ke
bagian itu. "Hm, bagian ini tampaknya sering dijadikan jalan setapak," nilainya jeli.
Andika mencoba mengikuti jejak jalan setapak yang tampaknya berumur belum begitu
lama itu. Anak muda itu yakin benar, jalan setapak itu dibuat oleh orang-orang
Seichi Onigawa.
Pemuda dari tanah Jawa itu mengikuti jalan setapak yang mengikuti pinggiran
sungai. Semakin di kuti, Andika dibawa kian dekat ke arah air terjun. Tepat di


Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan luncuran air sungai dari semacam bukit itu, jejak yang ditelurusinya
buntu. Jalan setapak itu terhadang oleh bukit batu amat curam berlumut.
kecuramannya tegak lurus.
Sementara lumut yang lumbuh di sana membuatnya begitu licin. Hampir tak mungkin
dinding batu itu untuk didaki.
Andika dipaksa garuk-garuk jidat.
Ke mana perginya orang-orang yang telah membuat
jalan setapak ini" Apa mereka sejenis dedemit hutan bambu yang bisa menelusup ke
dalam dinding batu"
"Tak mungkin...," cibir Andika. "Jadi ke mana. ya"
Slompret sekali!"
Andika mencoba memutar otaknya. Sambil memutar-
mutar otak, matanya jelalatan ke sekitar. kalau mereka ke kiri
dinding batu, tentunya mereka tetap akan meninggalkan jejak karena di bagian itu semak masih tumbuh. Sementara di bagian
kanan dinding batu hanya ada badan sungai.
"Ei. tunggu dulu!" Andika berdesis. Rasanya dia mulai menemui titik terang di
benaknya. Matanya lalu tertuju pada sungai. Sungai itu cukup dangkal untuk dilalui,
meski aimya deras.
Untuk menyebcranginya, scseorang tak memcrlukan perahu atau rakil. Sudah pasti mereka
melalui sungai. Itu sebabnya jejak di semak menjadi buntu!
Tapi apa mungkin mereka hanya ingin menyeberangi sungai'.' Bukankah kalau hanya
ingin menyeberang mereka bisa melakukannya jauh sebelumnya" Tanpa perlu
membuang waktu melintasi pinggiran sungai sampai ke depan air terjun"
Air terjun! Hati Andika seperti melonjak. Dia makin
jelas mencium maksud orang-orang yang diburunya.
Lalu diambilnya sebutir batu kerikil. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam,
dilemparnya batu itu ke arah air terjun.
Slah! Ada suara halus batu bertumbukan dengan arus air terjun. Telinga tajam And'ka
tak hanya menangkap itu. Dia juga menangkap pantulan halus di antara gemuruh air
terjun. Pantulan dari bunyi benturan batu dengan ruang di balik air terjun. Ya,
Andika memastikan itu! Di balik air terjun terdapat semacam goa!
*** 4 Di sini rupanya sarang begundal-begundal sial itu!
Kepalan tangan Andika mengeras. Sudah saatnya dia sedikit
melemaskan otot-ototnya. Setidaknya buat mengggebuki orang-orang Imada-Tong nanti. Termasuk juga Seichi Onigawa.
"Tunggu saja kalian!" ancamnya membatin. Sudah tak sabar rasanya anak muda itu
membuat ubun-ubun mereka benjut, atau membuat pipi mereka bonyok. Masalahnya,
Andika paling benci pada setiap tindak pengecut. Seperti penculikan seorang anak
tak berdosa untuk mencapai tujuan.
Krak! Krak! Andika meletakkan jari-jemarinya.
Dia siap menggenjot badan ke air terjun. Niat tersebut urung begitu telinganya menangkap
desiran halus namun ramai dari ubun-ubun bukit batu berair terjun.
Wrrr! Gesit anak muda sakti itu mendongak. Di atasnya, sebentang jala lebar dari baja
siap meringkus! Pemuda bersandang nama besar Pendekar Slebor itu lak
kehilangan kesempatan untuk meloloskan diri.
Memang luncuran jaring baja di atas sana cepat. Tapi lesatan tubuh Pendekar
Slebor jauh lebih cepat. Pyrrr!
Jaring lebar dari baja berbandul baja pula tak berhasil memperdayai Pendekar
Slebor. Benda itu ambruk begitu saja di pinggiran sungai.
"Kutu kontet! Apa dikiranya aku anak kemarin sore apa"!" rutuk Pendekar Slebor,
sudah berdiri di tengah-tengah sungai pada sebuah batu yang mencuat di atas
permukaan sungai. Tangannya bertolak-pinggang, seolah negeri Nippon itu mbahnya
yang punya. Baru sempat menarik napas dua tarikan, datang lagi serangan susulan. Sekali ini
bukan cuma hendak
melumpuhkan Pendekar slebor. Lebih dari itu, tamu tak diundang dari negeri luar
itu hendak dilempar ke neraka!
Andika menyaksikan bagaimana dinding bukit batu
berair terjun yang menjulang di depannnya memuntahkan puluhan bahkan ratusan
senjata dalam bentuk beragam.
Setidaknya ada dua puluh lembing, tiga puluh pisau terbang, dan lebih dari lima
puluh anak panah tiba-tiba mencelat dari lubang di dinding bukit batu. Scmuanya
menyerbu membawa suara riuh rendah. menyumpal
seluruh ruang gerak Andika hingga sejauh belasan depa!
Dengan mata agak membelalak ngeri. Andika sekelebatan menyaksikan ratusan benda
lajam itu bagai binatang-binatang mengerikan memenuhi udara. Dan kelebatan
berikutnya, dia harus bersicepat mengerahkan segenap kemampuan peringan
tubuhnya.... "Hhiaaa...!"
Beriring teriakan menggetarkan permukaan sungai
dan bukit batu, tubuh pemuda buyut pendekar Besar -
Pendekar Lembah Kutukan itu memburu ke belakang.
Hanya arah itu satu-satunya
pilihan tepat untuk
menyelamatkan diri. Itu pun kalau dia mampu lebih cepat dari hujanan benda-benda
tajam di belakangnya.
Sebenarnya, bisa saja Andika tak beranjak dari lempat semula. Cukup dia
meloloskan kain pusaka dan Pedang Pusaka
Langit sekaligus lalu memutar keduanya bersamaan. Bermodal tenaga dalam, tindakan itu bisa membentangkan benteng tak
tertem-bus di depannya.
Kalau sekarang anak muda itu melakukan tindakan
yang agak merepotkan, sudah pasti ada satu rencana licin di balik batok
kepalanya itu....
Apa benar begitu"
Sulit untuk dipercaya, ketika tiba-tiba saja teriakan berikutnya meledak dari
kerongkongan Pendekar Slebor.
Teriakan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Lolongan itu seperti suara orang
meregang nyawa.
"Wuaaa!"
Selanjutnya tubuh yang sedang meluncur tadi
terjerembab di permukaan sungai. Setelah terseret arus sebentar. tubuh pemuda
itu terjegat oleh bongkahan batu besar di tengah sungai. Pada bagian punggung
pemuda itu, menancap tiga batang anak panah!
Cukup lama arus sungai mempermainkan tubuh tak
bergerak Pendekar Slebor. Sampai akhirnya dua belas lelaki berpakaian hitam-
hitam muncul dari ubun-ubun bukit batu. Selincah kera mereka menuruni dinding
bukit yang tegak lurus dengan meng-gunakan tali-temali.
Tiba di tanah, mereka berjajar membentuk barisan teratur. Sebagian berdiri di
sungai. Ada kesan mereka hendak membentuk pagar betis. Masih dengan berbaris,
mereka lalu melangkah menuju tubuh Pendekar Slebor terkulai. Kentara jelas
bagaimana mereka dididik untuk tetap hati-hati meski lawan diperkirakan sudah
tak bernyawa lagi.
Di dekat tubuh Pendekar Slebor, barisan mereka
berubah. Kedua belas lelaki berpakaian ninja itu kini membentuk kurungan di
sungai, mengelilingi tubuh Pendekar Slebor yang tertelungkup di sisi batu besar.
Semuanya mengawasi waspada. Tak perlu memakan
waktu lama mereka melakukan itu. Sebab mereka
langsung menemukan ada satu ketidak beresan.B
agaimana mungkin orang yang tertembus anak panah tidak
mengeluarkan darah" Masing-masing mcnggumamkan kecurigaan dalam hati.
"Menyingkir! Kita telah ditipu!" seru salah seorang dari mereka seketika.
Menyadari kalau mereka kini berganti masuk perangkap yang dibuat si tamu tak
diundang. Sayang semuanya sudah terlambat bagi kedua belas anggota Imaga-Tong itu. Begitu
mereka menyebar,
Pendekar Slebor kontan bangkit lebih cepat dari gerak menerkam seekor singa
lapar. "Hiahuhuuu...!" teriak anak muda itu seperti bocah gendeng baru dapat jajan.
Kimono pemberian Hiroto menebarkan percikan air ke mana-mana, membuatnya lebih
mirip sebagai makhluk pemakan manusia dari dasar sungai! Di tangannya tergenggam
tiga batang anak panah.
Rupanya punggungnya tak pernah tertembus benda-benda tajam itu.
Sewaktu dia bergerak cepat ke belakang, tanpa
lerlihat tangannya bergerak merebut tiga batang anak panah di udara yang
kebetulan meluncur satu arah dengannya. Lalu ketiga benda itu dipegangnya di
atas punggung sehingga terlihat seperti mcngenai sasaran.
Dan.... Swut! Andika mengebutkan tangan. Ketiga anak panah tadi terlepas dan mclesat cepat.
Jrep! Jrep! Jrep! "Waaa...!"
Tiga teriakan menyayat dari tiga kerongkongan
berbeda terlempar ke udara. Tiga orang dari kedua belas lelaki tadi langsung
ambruk tanpa nyawa, termakan mala anak panah!
"Maaf, tak sengaja!" koar Pendekar Slebor lagi. Lalu dia berjingkatan dari atas
satu batu ke batu lain, memburu sisa lawan.
"Pegang! Pegang!" serunya makin urakan.
Sembilan anggota Imada-Tong yang tersisa tak sudi menjadi buruan Pendekar
Slebor. Mereka berbalik tangkas seraya meloloskan fejiono* masing-masing.
"Wo, mau marah rupanya"!" tukas Pendekar Slebor seraya mengerem jingkat-
jingkatnya. Srang!
Bunyi setiap katana yang terangkum menjadi satu
menandai kesiapan mereka menghadapi lawan. Mereka pun siap mati. Tapi tak sampai
sejauh itu, suatu isyarat menahan mereka.
Suit! Mengekori suitan meninggi tadi, dari balik air terjun mcncelat Delapan sosok
tubuh yang rata-rata tinggi besar berkimono merah. Sama dengan orang sebelumnya,
wajah kedelapan lelaki ini pun ditutupi kain. Warnanya sama dengan pakaian
mereka. Kedelapan orang itu hinggap di batuan sungai. tak jauh dari tempat
berdiri Pendekar Slebor.
"A, Delapan Samurai Merah!" Pendekar Slebor malah memekik girang. Wajahnya
seperti menyambut kedatangan
tamu terhormat. Pantas saja banyak di antara anggota Imada-Tong menganggapnya
sinting! "Tapi jujur-jujur saja..., aku sebenarnya tidak punya urusan dengan kalian.
Kalau kalian mau berbaik hati, sudikah kalian memberitahu aku di mana Seichi
Onigawa?" mulai Pendekar Slebor lagi sok ramah.
Delapan Samurai Merah menjawabnya dengan bunyi
senjata mereka masing-masing.
"Wah, kalian ini...," tukas Pendekar Slebor. "Nanti kalian menyesal.... Pasti
kalian akan menangis dan meraung-raung di depan dengkul ibu kalian masing-masing
kalau kepala kalian kujitaki satu persatu. Jadi, sebaiknya kalian cari main saja
di tempat yang agak jauh...," cibirnya lagi, kelewatan.
"Sudah lama kami menunggumu orang asing! Orang-orang kami membesar-besarkan
kehebatanmu. Kami ingin membuktikannya!" seru salah seorang dari Delapan Samurai
Merah. Di Kuil Matahari waktu itu mereka punya kesempatan untuk menjajal
kesaktian Pendekar Slebor.
Karena Pendekar Slebor sendiri sedang menyamar,
mereka malah meluputkan kesempatan itu. Kini, mereka mengganggap sudah tepat
saatnya mereka membuktikan seberapa hebat orang asing yang banyak dibicarakan
anak buah mereka.
Sementara lelaki yang menjadi pemimpin berbicara, yang lain membentuk kepungan
di sekeliling Pendekar Slebor. Orang yang dikurung masih tetap santai. Kepalanya
menolehi setiap anggota Delapan Samurai Merah dengan tatapan orang cacingan.
Ketika kepungan terbentuk scmpurna, tanpa banyak komando, kedelapan lelaki itu
melabrak Pendekar Slebor berbarengan dengan senjata khas masing-masing.
"Heaa!!"
Dari delapan penjuru berbeda Pendekar Slebor
dilabrak. Lawan sudah bergerak menggiring hawa maut pada teriakan garang mereka.
Pendekar Slebor justru merengut-rengut kesal.
"Kalian pasti tak pernah diajarkan ibu kalian untuk menghargai nasihat orang
lain," gerutunya. Dan ketika delapan mata senjata nyaris tiba di tubuhnya....
Wut! Trang! Mendadak berkelebat cahaya merah terang yang
melingkari tubuh Pendekar Slebor. Cahaya merah terang yang melengkung panjang
itu memapas semua senjata lawan. Kejap berikutnya, terlihat tubuh Pendekar
Slebor mencelat tinggi ke atas, melepaskan diri dari kepungan kedelapan
lawannya. "Pikir-pikir lagi jika kalian benar-benar hendak menghadapiku!" bentak Pendekar
Slebor dengan wajah sematang-matangnya. Anak muda yang mulai dongkol itu sudah
berdiri jauh di tepi sungai yang lebih tinggi.
Tangannya menggenggam Pedang Pusaka Iangit. Senjata itu menebar sinar merah bara
menyilaukan mata setiap lawan. Cahayanya terpantul di antara riyakan arus
sungai. Para lawan tidak hanya dibuat terpesona dengan
pedang langka itu. Mereka juga dipaksa takjub dengan hasil yang dilakukan
Pendekar Slebor hanya dalam segebrakan. Ya, hanya dalam segebrakan, seluruh
senjata Delapan Samurai Merah telah tak sempurna lagi
bentuknyal Sembilan orang anggota Imada-Tong berpakaian
hitam yang mula-mula muncul terdiam bagai jajaran patung.
Mereka seperti baru saja menyaksikan pertunjukan sihir. Mereka tak percaya kalau delapan pemimpin mereka diperlakukan
begitu rupa dengan cara begitu remeh. Padahal dari ujung propinsi Tajima sampai
sudut propinsi Kojuke, Delapan Samurai Merah memiliki nama besar!
Andika memang sengaja melakukan itu. Semestinya, dia hanya ingin mempergunakan
Pedang Pusaka Langit dalam keadaan yang benar-benar genting. Sekarang dia
mempergunakannya juga. Itu bukan berarti dia dalam keadaan amat terdesak. Dia
cuma tak ingin membuang-buang waktu dengan melayani Delapan Samurai Merah.
Gertakan pcrtama tadi diharap cukup untuk membuat mereka mempertimbangkan
kembali untuk berhadapan dengannya.
Ah, mestinya Andika bisa belajar banyak selama
berurusan dengan para Imada-Tong. Mereka bukan sejenis manusia
yang gampang digertak. Dalam setiap

Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan, mati adalah salah satu pilihan mereka Buktinya, Delapan Samurai
Merah yang sempat dibuat takjub tak menggubris gertakannya. Mereka malah
mengeluarkan senjata lain.
"Sial benar!" maki Andika kesal. Jakunnya sampai melompat-lompat.
"Biar orang asing ini aku yang hadapi!" seru seseorang, mencegat serbuan Delapan
Samurai Merah lebih jauh. Seseorang muncul lagi dari balik air terjun. Menilik
penampilan dan wajahnya, jelas kalau lelaki ini adalah Seichi Onigawa.
Andika meliriknya acuh tak acuh. Bibimya mencibir meremehkan. Kalau tak risau
dianggap benar-benar sinting, dia malah ingin menguap lebar-lebar dan bergeliat
semaunya. "Kalau tak salah, kau tentu Seichi Onigawa. Dan kalau
'tak benar'. kurasa kau siluman monyet bau pesing!"
celotehnya dalam bahasa Nippon yang ngelantur.
"Kau yang bemama Andika?"
Andika meringis.
"Kau yang menjadi tamu Hiroto?" tanya Seichi Onigawa lagi. Wajahnya tak berubah.
Tetap kaku mcski pemuda di depannya sudah cengar sana cengir sini.
Andika meringis lagi.
"Kau tentu orang asing yang hebat itu, heh"!"
Mendengar kata 'hebat' disebutkan calon lawannya, Pendekar Slebor kontan
membusungkan dada.
'Hail Hai" sergahnya sengak.
"Bagus! Sekarang kau akan tahu, apakah kau sudah cukup hebat menghadapi Seichi
Onigawa!" tandas Seichi
Onigawa tak ragu. Tanpa perlu menepuk dada atau
bertingkah tengik seperti Pendekar Slebor, mata lelaki itu memperlihatkan
keangkuhan kental.
"Sebagai tamu yang baik, tentu saja aku akan melayani semua keinginan tuan
rumah." Andika mulai mau ngoceh lagi. "Selama masih punya tangan, aku akan
menggebukmu jika kau minta. Di bagian mana yang kau suka" Pilih saja! Biasanya
bagian yang paling empuk dari sapi adalah daging pahanya, kalau tidak salah.
Tapi, bukan berarti aku menganggap kau sapi. Hanya wajahmu
memang nyerempet-nyerempet
sedikit.... Terutama moncongmu. Wah, aku suka itu!" Pendekar Slebor makin ngalor-ngiduL
Seichi Onigawa memperdengarkan
dengus mengancam. "Kau hanya membuang waktu, Orang Asing! Huph...."
Tak seperti samurai lain, Seichi Onigawa tidak segera meloloskan katananya.
Seichi Onigawa justru memejamkan mata.
Dia tampak memusatkan pikiran sebentar.
Kemudian dihirupnya udara dalam-dalam dengan tangan mengejang kaki di kedua sisi
pinggangnya. Terus dan terus.
sampai dadanya membesar seperti seekor katak!
Dari cengengesan, wajah Pendekar Slebor berubah
mengkerut. Ilmu apa ini'" Tanyanya takjup juga. Tentu anak muda sakti itu
terheran-heran. Bagaimana mungkin dada manusia bisa menggelembung seperti
bantalan karet begitu"
Tanpa bisa menuntaskan keheranan, Pendekar Slebor harus menyingkir dari batu
tempat bertenggernya. Lawan mulai melabrak. Bagai orang kesetanan. lelaki yang
dadanya menggelembung itu berlari di sungai dangkal menuju Pendekar Slebor.
Kedua tangannya membentuk cakar di muka.
Wukh! Satu cakaran menyambar tajam ke wajah Pendekar
Slebor, tepat pada saat tubuh anak muda itu sudah melejit lebih dahulu ke
belakang. Seichi Onigawa tidak berlari lagi. Dia ikut melejit memburu tubuh Pendekar
Slebor di udara. Wukh! Wukh!
Wukh! Des! Dengan sekali sampokan bertenaga, Pendekar Slebor mengenyahkan cakaran bertubi-
tubi Seichi Onigawa yang menyusulnya. Betapa terkesiapnya Pendekar Slebor ketika
itu. Tangannya terasa panas luar biasa. Sepertinya dia baru saja memapaki
gulungan bara! Pada satu bongkahan batu meruncing yang tak lebih besar dari kepalan tangan,
Pendekar slebor hinggap amat ringan. Meski sebelumnya tangannya terasa terbakar,
meski dia baru saja melompat dengan kekuatan penuh, tak sedikit pun tampak
pemuda ksatria itu kehilangan keseimbangan.
Di lain pihak, Seichi Onigawa s udah hinggap pula di sebuah batu tak lebih dari
tiga tombak di depan Pendekar Slebot.
"Bujubuneng! Buntalan kentut ini hebat juga rupanya!"
rutuk Pendekar Slebor. Bergegas disalurkannya hawa murni ke kedua tangan,
mencoba mengusir rasa panas yang mengendap.
"Sekarang kau
baru sadar kau kini sedang
berhadapan dengan siapa, heh?" cemooh Seic hi Onigawa dalam. Suaranya terpendam
seperti suara orang yang berbicara dari balik tembok.
Andika tak bisa meremehkan ucapan lawan sekarang.
Seichi Onigawa telah memperlihatkan bukti. kalau dia bukan lawan enteng bagi
Pendekar Slebor!
Sampai saat itu, Pendekar Slebor mendapat kesulitan untuk mengetahui kesaktian
apa yang dimiliki Seichi Onigawa. Seumur hidup, baru kali itu dia menyaksikan
ilmu yang demikian aneh. Dada dapat menggelembung seperti bantalan karet"
Bagaimana tidak aneh"
Dalam beberapa petualangan menegakkan keadilan,
anak muda itu memang tak jarang berhadapan dengan lawan yang memiliki kesaktian
di luar akal manusia.
Pernah dia menghadapi lawan yang sanggup menyatukan
kepalanya kembali meski sudah terpenggal dan mampu menghilang (Baca dua episode:
"Darah Pembangkit Mayat"
dan "Bangkitnya Ki Rawe Rontek"!). Atau seorang tokoh yang sanggup menciptakan
angin puting beliung, api, halilintar (Baca episode: "Permainan Tiga Dewa"!).
Juga sederet tokoh-tokoh lain. Termasuk mereka yang mendukung perjuangannya.
Tapi yang satu ini benar-benar lain dari semua yang pernah diketahuinya. Lagi
pula, dari mana Seichi Onigawa mendapat kesaktian aneh itu" Sepanjang
pengetahuan Pendekar Slebor, di negeri ini kesaktian-kesaktian macam itu tidak
pernah ada. Kalaupun ada, mungkin terlalu sulit ditemui. Kebanyakan para
jawaranya mengandalkan
kecepatan, kejelian, ketangkasan, dan kegesitan.
"Kenapa terdiam, Orang Asing"!" tukas Seichi Onigawa dengan suaranya yang
berubah berat dan dalam.
Kecamuk rasa heran Pendekar Slebor jadi terpancung karenanya. Karena tak mau
kehilangan muka, anak muda itu cepat berkelit.
"Ah, aku cuma kasihan melihat rupamu...," tukas Pendekar Slebor sekenanya.
Boleh-boleh saja dia terkejut.
Tapi, tak akan sudi dia memperlihatkan perasaan itu terhadap lawan!
"Jadi, apa kita akan lanjutkan permainan ini" Kurasa kalau kita hendak
melanjutkan, sebaiknya kita bertaruh.
Kalau kau dapat menepuk pantatku sekali saja, maka aku akan bertekuk lutut di
balik ketiakmu!" sambung Pendekar Slebor jumawa. Tantangannya dibarengi oleh
cibiran meremehkan. Selalu dia begitu dalam menghadapi lawan.
Biar lawan terpancing kemarahannya, dan dia dapat memanfaatkan keadaan itu.
Taktik licin yang seringkali membawa hasil memuaskan. Meski dengan begitu tak
jarang dia dianggap sableng.
Seichi Onigawa tak mau menanggapi ocehan lawan.
Dia cepat menghempas napas seperti sebelumnya.
"Huph!"
Tangannya mulai membuat gerakan kaku ke
beberapa arah. Tak beda dengan gerak batang pohon bambu tersapu angin kencang.
Dan gerak tangannya terlahir suara-suara yang juga ganjil. Mau dibilang seperti
suara derak tulang, tapi terlalu meninggi. Mau dikata seperti bunyi deru angin,
tapi terlalu berat.
Dretak! Dretaak! Dretak!
"Ck, ck, ck!" Pendekar Slebor berdecak-decak.
Kepalanya menggeleng-geleng.
"Untuk menghadapi ilmumu itu, kurasa aku pun harus mengeluarkan kesaktian
puncakku," perangah anak muda itu. Matanya membesar. Kemudian, dia bermaksud
membuktikan ucapannya.
"Hiaah!"
Pemuda dari tanah Jawa itu mulai menghempas
napas juga. Kedua tangannya disorongkan ke muka
dengan wajah amat tegang. Sebentar kemudian....
Tak! Bletak! Bretak!
Pendekar Slebor pun mengeluarkan bunyi yang
hampir mirip dengan milik lawan sebelumnya. Cuma bunyi ini tercipta karena
pendekar kelewat urakan ilu baru saja mcnggcliatkan tulang-tulang punggung-nya.
"He he he, baru menyaksikan kesaktianmu saja.
badanku sudah pcgal-pegal...," ocehnya dengan bibir cengar-cengir badak!
"Heuahhhh!"
Seichi Onigawa mulai menerjang. Tangannya yang
menghasilkan bunyi ganjil tadi teracung lurus-lurus ke dada Pendekar Slebor
seakan ada baja teramat keras menjadi rangkanya. Sesaat kedua tangan lelaki
berparas bengis itu tergetar hebal. Otot-ototnya bersembulan seperti ditarik
satu kekuatan dari dalam. Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor sekelebatan
menyaksikan udara pukulan yang terbentuk amat kuat. Wukh!
Meski sudah mengerahkan kecepatan saat me-
nyorongkan badan rendah-rendah ke belakang, Pendekar Slebor tak urung merasakan
dadanya terhantam sesuatu.
Desh! "Akh!"
Terlampau kuat hantaman itu sampai tubuh si
pemuda dari tanah Jawa terseret di permukaan air sungai sejauh delapan depa! Air
bcrhamburan seperti percikan kembang api tanpa cahaya.
Selagi berkutat melawan sesak yang mengunci
napasnya, Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
Dia mclihat jelas, tadi tangan lawan tak menyentuhnya samasekali. Tapi kenapa
merasa hantaman itu begitu
telak" Padahal angin pukulan tak akan berakibat seperti itu. Sudah sering
Pendekar Slebor mcnemui lawan
bertenaga dalam tingkat tinggi, tapi tetap angin pukulannya tak seperti yang
kini dia terima.
"Khuih!"
Wukh! Berbarengan, sepasang tangan kejang Seichi Onigawa hendak mengepruk kepala
Pendekar Slebor yang mencoba bangkit terhuyung.
"Kunyuk! Pantas saja Kakek Yoshioka bisa dipecundanginya!" serapah Pendekar Slebor mendesis seraya menangkis cepat kedua
tangan lawan. Tak pelak lagi anak muda itu meyakini lawan memiliki semacam ilmu
kanuragan hitam. Entah didapatnya dari mana kesaktian itu, Pendekar Slebor tak
lagi peduli. Yang dia tahu saat itu.
dia harus mengerahkan kecepatan untuk mengimbangi serbuan dua tangan Seichi
Onigawa bertenaga luar biasa!
Dua tangan lawan mendcsak Pendekar Slebor habis-
habisan, selalu dari dua sudut berbeda. Itu sungguh merepotkannya. Selama ini,
Pendekar Slebor tak pernah menghadapi lawan yang begitu menguasai ruang gerak
dengan leluasa. Lawan-lawan sebelumnya tak ada yang bisa bergerak diruang yang
terlalu sempit.
Berbeda dengan lawannya kini. Tangannya bisa
menelusup dan meliuk seenaknya, memanfaatkan ruang-ruang
sempit yang menjadi kelemahan benteng pertahanan jurus-jurus Pendekar Slebor. Seolah sepasang tangan Seichi Onigawa
menjelma menjadi dua ekor ular sanca bengis, sanggup mencari sendiri kelemahan
pertahanan Pendekar Slebor. Di situ repotnya.'
Hingga si pemuda berkimono pinjaman itu pun
dipaksa serabutan kian kemari. Menangkis, berkelit, melompat berguling tanpa
bisa meyakini apa yang harus dihajarnya.
Belum lagi terhitung terkaman dan terjangan kedua tangan itu begitu kuat. Tenaga
tiga ekor banteng saja masih belum apa-apa. Setiap tandukan kepalanya terasa
oleh Andika seperti hantaman batu gunung sebesar padepokan! Untuk menangkisnya
pun, Pendekar Slebor harus mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan hingga nyaris terkuras.
Sayang, itu tak terlalu berguna. Lawan memiliki
kehebatan lain. Jika tenaga sakti Pendekar Slebor menghantami seluruh bagian
mana pun badan Seichi Onigawa, dengan tenaga sekeras apa pun, saat itu juga
Pendekar Slebor merasakan tenaganya terpantul. Dia seperti menghantami buntalan
karet kenyal. Sesaat, hanya untuk sesaat, Seichi Onigawa akan terjajar. Setelah
itu dia akan kembali menyerbu dengan segenap ancamannva!
Suatu ketika Pendekar Slebor mencoba menghantam
dada menggelembung lawan.
"Fheih!"
Deb! Pendekar Slebor berhasil menembus dengan mudah.
Semula anak muda itu heran juga. Bagaimana mungkin pukulannya mencuri begitu
saja di bagian yang biasanya memiliki pertahanan paling ketat. Manakala kepalan
bertenaga saktinya sampai, barulah anak muda dari negeri seberang itu tahu apa
maksud lawan....
Blep! Des! Dengan segenap keterperanjatan
memuncak, Pendekar Slebor tersentak ke belakang. Dadanya megap-megap Kalau saja kuda-
kudanya tidak cukup kokoh, dia bisa terseret lagi di permukaan sungai. Apa yang
terjadi" Andika sungguh dipaksa terperangah. Tenaga pukulannya telah memantul balik ke
diri sendiri! Kontan meluap seribu satu makian dongkol setengah mampus dari mulut lincah si
pemuda urakan. "Cacing buduk, kunyuk benjol, dedemit bau pesing, slompret sial kau...!"
*** 5 Dalam semua urusan. tidak ada manusia yang mutlak berkuasa selamanya. Selalu
saja ada saat di mana kekalahan dan keruntuhan menghampiri. Ibarat seorang raja
yang tak selamanya berkuasa, pendekar muda dari tanah Jawa berjuluk Pendekar
Slebor pun tak bisa mengaku dirinya tak tertandingi siapa pun.
Hari ini, anak muda sakti itu menelan pengalaman pahit dari rentang perjalanan
panjangnya menempuri kebatilan. Memang bukanlah pengalaman pahit pertama.
Namun tetap membuktikan bahwa biar bagaimanapun
tinggi ilmu kesaktiannya, tetap satu saat harus mengalami kekalahan. Di atas


Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langit masih ada langit!
Saat itu, Pendekar Slebor sedang terdesak habis-
habisan. Seichi Onigawa rupanya tak hanya memiliki kehebatan kanuragan yang baru
pertama disaksikan Pendekar Slebor. Lelaki dari negeri para shogun itu sanggup
pula melepas satu ajian Pelumpuh Ninja Hitam.
Satu ajian yang diperdalam dalam ninjitsu tingkat tinggi.
Kalangan di luar ninja menyebutnya dengan Sihir Ninja.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil sampai ke tingkat ini. Seichi Onigawa,
meski tergolong tak terlalu tua, dia telah mampu menguasainya.
Ajian Pelumpuh Ninja Hitam dapat membuat otot-otot lawan menjadi kaku. Lawan
kehilangan kelincahan dalam pertarungan. Bagai seekor rubah terjerat jaring.
"Heuih!"
Deb! Deb! Telah berkali-kali kepalan berhawa maut Seichi
Onigawa berhasil merangsak benteng pertahanan Pendekar Slebor. Dada Pendekar Slebor terhantam telak.
Akibatnya, hidung dan mulut pemuda itu dibasahi darah.
Andika sekadar jadi bulan-bulanan. Jurus 'Gun-tur Slaksa' atau 'Mengubak Petir
Membabibuta' seakan terkunci dalam dirinya. Kalau pun dia berbekal dengan Pedang
Pusaka Langit, tetap tak berguna. Jangankan untuk
memainkannya, untuk meloloskan dari sarungnya saja sudah tak bisa. Maka segala
kekuatan sakti di dalam benda pusaka itu pun tak bisa di-manfaatkan.
Des! Des! Untuk ke sekian kalinya, dada si pendekar muda tanah Jawa digempur.
Tubuhnya tersentak-sentak.
Darah semakin banyak terscmbur keluar dari mulutnya.
Yang hanya bisa dilakukan saat itu cuma bcrusaha terus bertahan agar tidak
tersungkur. Tapi, tak ada manusia yang bisa terus bertahan
menerima gempuran terus-menerus. Pada akhirnya, tubuh Pendekar Slebor terhuyung
limbung ke belakang, lalu tumbang.
Antara sadar dan tidak, lelaki muda itu mengelinjang-gelinjang di atas tanah.
Betapa amat tersik-sanya dia.
Kimono pinjaman bagian depannya nyaris kuyup oleh darah dan keringat.
"Menyesal kau harus mati tidak di negerimu sendiri, Orang Asing," seringai
Seichi Onigawa. Kakinya berdiri tepat di sisi kepala Pendekar Slebor. Dengan
sikap seperti itu, seakan dia hendak menyanjung kehebatan sendiri.
Dua kepalan Seichi Onigawa pun teracung tinggi.
Seluruh ototnya mengejang di antara aliran keringat. Akan diakhiri pertarungan
itu dengan satu tinju maut terakhir yang bisa memastikan kepala Pendekar Slebor
remuk seketika.
"Huph! Heih!"
Wuhs! Dash! Tanpa sempat mendaratkan tinju mautnya, Seichi
Onigawa tiba-tiba terjajar ke depan. Nyaris saja dia terjatuh. Ada seseorang
yang campur tangan. Orang itu pula yang membokongkan tendangan keras.
"Jangan pernah bermimpi kau akan membunuh lelaki itu, Manusia Busuk!" maki si
pembokong, ter dengar geram.
Seichi Onigawa cepat menoleh. Bola matanya
menyudut bengis. Bibirnya terungkit kejam.
"Kau...," desisnya. Dilihatnya seorang bertopeng kain
serta berpakaian serba hitam. Kalau hanya melihat pakaian, Seichi Onigawa bisa
malah menyangka orang itu anggota Imada-Tong. Hanya garis mata orang itu yang
langsung dikenalinya. Dialah yang telah menghadang beberapa waktu lalu, ketika
Seichi Onigawa hendak membawa Akimoto.
"Terkejut?" tukas orang yang baru datang.
Seichi Onigawa menggeram.
"Kau akan menerima nasib serupa dengan oran asing itu!"
ancamnya bergejolak bagai lahar mendi-dih. Ditudingnya tubuh Pendekar Slebor yang sudah tak bergerak.
"Sudah kubilang, kau jangan bermimpi! Kau bisa saja membuatnya seperti itu. Kau
tahu sebabnya" Karena lelaki asing itu tak mengetahui rahasia kelemahan
kesaktian Ninja Hitammu, Busuk!"
Suara berat berdebam Seichi Onigawa terdengar lagi.
"Kau pandai menggertak rupanya?" cibirnya. Sedikit beranjak dari tempat semula,
orang berpakaian hitam bertolak pinggang.
"Kau bisa buktikan. Seranglah aku!" tantangnya, menepis cemoohan Seichi Onigawa.
Seichi Onigawa diam. Dia ragu. Tampak sekali kalau benaknya sedang
mempertimbangkan untuk menyerang pembokongnya atau tidak. Kalau cuma menggertak,
kenapa orang itu begitu yakin melepas tantangan"
Bimbang hatinya.
Lepas dari benar tidaknya orang berpakaian hitam mengetahui kunci kelemahan
kesaktian Seichi Onigawa, pada dasarnya Seichi Onigawa telah masuk perangkap
yang dipasangnya.
"Heh...," dengus orang berpakaian hitam, ganti mencibir.
"Lihatlah dirimu itu. Seichi," sambungnya padat kesan mengejek. Entah dari mana
dia mengetahui nama Seichi Onigawa.
Seichi Onigawa sendiri dibingungkan dengan kenyataan itu. "Bagaimana dia bisa tahu namaku?"
bisiknya membatin. "Mungkinkah dia orang yang telah begitu lama mengenalku"
Kalau namaku saja dikenalnya, apa tidak mustahil dia pun benar-benar mengetahui
kunci kelemahan kesaktianku?"
Mendapati keterdiaman Seichi Onigawa, lelaki berpakaian hitam makin merasa mendapat angin untuk terus mencemooh.
Diteruskannya kalimat yang terpotong tadi.
Bercerminlah Seichi! Biar kau tahu kalau scsungguhnya kau sekadar lelaki pengecut. Kau tak pernah merangkul jalan
bushido. Kau terlalu takut untuk itu. Pantas saja Yoshioka Tua selalu menyebutmu
pecundang!" cecar orang bertopeng kain hitam.
Untuk kedua kalinya, Seichi Onigawa dikejutkan
perkataan calon lawannya. Tak lagi diperhatikannya kalimat menghina orang itu.
Biarpun perkataan itu telah menginjak harga dirinya sekali pun. Yang cuma
menjadi perhatiannya cuma nama Yoshioka Tua yang disebutkan barusan.
Seichi Onigawa kembali bertanya-tanya dalam diri.
Siapa sesungguhnya orang ini" Dia mengenal pula
Yoshioka..., orang tua yang selama ini selalu saja menjadi duri dalam daging
bagi Seichi Onigawa. Orang tua bungkuk itulah yang paling mengetahui siapa dan.
bagaimana Seichi Onigawa.
"Ah, buang-buang waktu aku terus di sini. Apa aku harus menunggumu terdiam di
situ sampai kiamat?" leceh orang berpakaian hitam.
Kemudian, dihampirinya tubuh Pendekar Slebor.
Senja Jatuh Di Pajajaran 1 Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Pembalasan Ratu Mesum 1
^