Pencarian

Istana Durjana 2

Pendekar Slebor 35 Istana Durjana Bagian 2


ketajaman pandangan luar biasa daripada orang lain.
Meski hari saat itu terbilang gelap, matanya masih bisa meneropong di kejauhan.
Bahkan dengan sedikit me-najamkan pandangan, bisa disaksikannya secara jelas
seluruh gambar timbul di dinding Istana Durjana! Padahal jaraknya dengan
bangunan sudah tidak me-
mungkinkan lagi bagi mata biasa untuk melihatnya.
"Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda membahaya-
kan, Senta," cetus Danji, melantakkan kebisuan dengan suara mendesis-desis. "Apa
tak sebaiknya kita menyusul anak muda itu?"
"Kau tak percaya pada pendekar muda itu?" tukas Senta.
"Bukan! Aku cuma khawatir. Bukankah kita be-
lum sempat menceritakan padanya tentang keadaan di
dalam istana itu?" sergah Danji mendesis lagi.
Dengan tangan kanan yang selalu dililit ular po-
hon kecil, Danji menunjuk tegas-tegas ke Istana Durjana. Wajah Senta berubah.
Benar, kata adik seperguruannya. Dia baru ingat, ada hal yang luput diceritakan
pada anak muda yang kini berada di dalam sana,
"Gusti...! Kenapa aku jadi begitu bodoh?" bisik
Senta. Kekhawatiran menyelinapi wajahnya cepat. "Sebaiknya aku menyusul dia ke
dalam sana. Sementara,
kalian tetap waspada di sini. Siapa tahu ada orang
yang tidak kita kehendaki."
Secepatnya, lelaki tua berpakaian putih kusam itu
berlari ke arah Istana Durjana.
*** Apa yang sesungguhnya dikhawatirkan Senta tua"
Menurut cerita guru besar Tiga Penunggu Telaga
Larang, dalam Istana Durjana terdapat ancaman maut.
Siapa pun, orang yang memasukinya, akan ditunggu
bahaya. Tak terkecuali, Pendekar Slebor. Di dalam sa-na setidaknya ada empat
penunggu untuk empat
ruang berbeda. Ruang pertama yang terletak di bagian timur, kini
sedang dipandangi Pendekar Slebor. Ada pintu masuk
besar yang bergambar sama dengan dinding luar sebe-
lah timur Istana Durjana. Bedanya, gambar ini dibuat dari cairan logam.
"Air bah...?" gumam Pendekar Slebor. Apa artinya"
Terbersit tanya di hati anak muda itu. Tanpa sadar, kepalanya menggeleng. Gambar
itu masih tetap samar
maknanya. Cuma satu yang mesti dilakukan untuk bi-
sa mengerti. Memasuki ruang itu!
Sebelum sempat Andika menjamah badan pintu....
"Anak Muda, tunggu!"
Senta sudah datang dan mencegahnya.
Niat Andika terjegal. Semula hatinya terkesiap
mendapati seruan lelaki tua yang tiba-tiba di bela-
kangnya. Keadaan dirinya saat itu sedang berada di
puncak ketegangan. Barangkali, sedikit jawilan kecil di belakangnya bisa
membuatnya meruntunkan serangan
seketika. Tapi karena telinganya sudah cukup terlatih untuk mengenali suara apa
pun, terlebih suara seseorang, Andika hanya sempat sedikit terlonjak.
"Ada apa, Orang Tua" Kenapa menyusul ku" Apa
ada sesuatu terjadi di luar"!" tanya Andika beruntun.
Wajahnya yang sudah tegang, kian menegang.
Senta sampai di dekat Andika.
"Tenang.... Tak ada apa-apa di luar sana. Aku
hanya ingin memberitahukan kau tentang cerita yang
luput," jelas Senta satu-satu.
Dari wajahnya terlihat kalau orang tua itu pun te-
gang. Berkali-kali matanya melirik cepat ke ruang
utama serta empat ruang yang memagarinya.
Takut-takut ada sesuatu yang tiba-tiba menye-
rang. "Sebaiknya kau cepat menceritakan kepadaku,"
pinta Pendekar Slebor bergegas.
"Kita tak cukup punya waktu untuk itu."
"Tapi setidaknya, kau memberitahukan aku satu
bagian yang paling penting!" tandas Andika bersikeras.
Senta mengangkat tangan.
"Sebentar," katanya. Lalu dia pun mengingat-ingat. "Menurut guruku, kita tak
perlu memasuki Istana Durjana untuk mengetahui rahasia yang tersem-
bunyi. Kalau tak salah, dia memberi ungkapan, 'untuk mengetahui isi manggis,
cukup melihat kulitnya'."
Otak seencer bubur bayi pendekar muda dari
Lembah Kutukan itu berputar tangkas. Direka-rekanya maksud ucapan mendiang guru
besar Senta. "Kau ingin mengatakan aku tak perlu memasuki
empat ruangan dalam istana itu?" tebak Andika kemudian. Senta mengangguk.
"Dan, maksud kulit manggis seperti kata guru be-
sarmu, tentu semacam lambang untuk...." Andika berpikir sejenak. "Dinding luar
bangunan ini!" lanjutnya.
"Tepat, Anak Muda!" timpal Senta Tua.
"Sompret! Untung saja kau cepat datang mempe-
ringati. Kalau tidak, aku akan lebih lama berkutat dalam empat ruang yang sudah
pasti siap merepotkan
ku. Sementara waktu terus berjalan, orang yang me-
nemukan Istana Durjana bisa-bisa lebih dahulu me-
nemukan batu yang hilang daripada kita!" cerocos Andika, seperti bergumam pada
diri sendiri. Semuanya
telah jadi jelas kini.
Tanpa banyak tanya lagi, Pendekar Slebor lang-
sung menggerakkan kaki diikuti Senta. Mereka keluar dari dalam Istana Durjana
yang sesungguhnya tak lebih dari perangkap.
Di luar, mereka dikejutkan laporan Danji dan Mo-
ja. "Seruni menghilang!" seru mereka berbarengan pada Andika dan Senta.
Hilang" Bagaimana mungkin"
"Bagaimana kau ini, Orang Tua"! Katamu tadi, tak ada apa-apa di luar!" sahut
Andika pada Senta Tua.
Seruni" Perempuan molek itu hilang" Bagaimana
pemuda itu jadi tidak sewot" Kalau saja Moja atau
Danji yang hilang atau ditelan bumi sekalipun, Andika tak begitu ambil pusing!
"Ah! Dasar brengsek!" maki Pendekar Slebor. Di-maki Andika, Senta cuma bisa
melotot. *** Di tempat yang sudah cukup jauh dari Istana
Durjana, Seruni terlihat sedang menghadang seseo-
rang. "Kau tak bisa menyingkir begitu saja tanpa memberitahukan alasanmu padaku,
kenapa kau mengintai
kami!" Seruni berbicara lantang pada lelaki tinggi besar.
Ternyata, lelaki itulah yang mengawasi dari balik bukit kecil di sekitar Istana
Durjana. Lelaki itu diam saja. Diawasinya Seruni seperti
seekor rubah jantan mengawasi seekor anak rusa. Bi-
nar matanya tergabung dari bersit kebengisan dan naf-su. "Hei"! Aku bertanya
padamu! Apa kau tuli"!" bentak Seruni kembali.
"Kenapa kau pikir aku akan mengatakan alasan
ku padamu?" tukas lelaki itu, baru buka suara.
Seruni jadi gusar mendapat jawaban demikian ru-
pa. Sudah tatapannya demikian kurang ajar mengge-
rayangi sekujur tubuhnya, berani-beraninya pula berkata meremehkan seperti itu.
Seruni mendengus. Geram terikut hempasan na-
fasnya. "Kalau tak ingin mengatakan alasanmu, maka kau perlu ku curigai."
Lelaki itu mengangkat kedua tangannya. Telapak
tangannya terbuka lebar.
"Silakan...," katanya. Tetap dengan raut wajah mencemooh. "Aku malah lebih suka
kau tidak hanya mencurigaiku. Tapi, lebih dari itu. Kau tahu maksudku?"
Bola mata lelaki ini bergulir genit, memuakkan Seruni.
"Kau memang lelaki kurang ajar yang perlu kuhajar!" "Aku menunggumu, Nona
Manis!" sambut lelaki ini, kian mengarah pada kecabulan.
"Keparat! Hia!"
Kemarahan yang terus menjangkit ke ubun-ubun,
tak bisa lagi ditahan Seruni Perempuan berusia ma-
tang itu menerjang calon lawannya dengan wajah amat murka.
Jep! Satu tendangan terbang dilakukan Seruni. Kaki
kanannya mengarah ke kepala.
Namun tanpa kesulitan lelaki ini menepis ke sisi.
Meski punya kesempatan untuk melakukan serangan
balasan, tidak dilakukannya. Sepertinya, dia mencoba mengejek Seruni.
Seruni membuat serangan susulan. Kakinya yang
lain berputar setengah lingkaran. Lagi-lagi, kepala lawan hendak dihantanmya.
Namun lagi-lagi, lelaki itu berhasil mementahkan tanpa kesulitan dengan me-
runduk sedikit. Maka sapuan tinggi Seruni pun luput.
"Jangan diam saja seperti itu! Lawan aku!" ledak Seruni, merasa diremehkan.
Lelaki bermata satu menertawainya. Terdengar
meremehkan. "Terlalu menyedihkan kalau tubuhmu yang meng-
giurkan terluka, Kalau kau terluka, nanti aku tak begitu bisa menikmatinya,
bukan"!"
"Busuk!"
Seruni makin murka.
"Heaaah!"
Tangan perempuan berusia empat puluhan itu
mencecar habis bagian dada. Tinjunya menderu bertu-
bi-tubi. Satu pukulan yang dikawal angin kencang meluncur dengan tenaga dalam
ditingkatkan menuju
puncak. Deb, deb, deb! Seruni sudah terperangkap dalam nafsunya sendi-
ri. Dia terlalu ingin melenyapkan lawan sesegera
mungkin. Padahal, itu sangat membahayakan diri sen-
diri. Lelaki ini bisa memanfaatkan kecerobohan yang terlahir akibat nafsu
tarungnya! *** 6 Seruni ternyata bukan tandingan lawannya. Me-
mang, perempuan itu telah dididik sekaligus oleh tiga orang tua yang tergolong
sakti. Memang, gurunya Senta telah menganggapnya sudah cukup sempurna. Tapi
bukan berarti cukup pantas memenangkan pertarun-
gan. Lawan yang dihadapi di samping memiliki penga-
laman lebih kental dalam dunia persilatan, bahkan ju-ga salah satu dari tokoh
teras dunia hitam. Namanya mulai santer selama tiga tahun belakangan. Dia
adalah, Kumbang Mata Tunggal!
Kumbang Mata Tunggal turun ke dunia persilatan
tiga tahun lalu. Tak seorang pun mengetahui secara jelas asal-usulnya. Banyak
yang berpendapat begini, dan tak sedikit yang berpendapat begitu. Semuanya serba
simpang siur. Jika asal-usulnya samar, maka tindak-tanduknya
sejak turun ke dunia persilatan begitu jelas. Dia seperti mengumumkan
kemunculannya sebagai salah satu
batu penguat dari benteng golongan hitam.
Baru menjejakkan kaki di dunia persilatan saja,
Kumbang Mata Tunggal telah menggagahi seorang
pendekar wanita yang cukup disegani di golongan pu-
tih. Setelah puas melampiaskan hawa nafsu binatang-
nya, tanpa perasaan si pendekar wanita dihabisinya
secara telengas.
Sepekan kemudian, Kumbang Mata Tunggal
membuat kegemparan lagi dengan menculik anak pe-
rawan salah seorang tokoh sesepuh golongan putih!
Berhari-hari tokoh hitam ini dicari dan diburu.
Kesaktian membuatnya tak pernah bisa diringkus. Ba-
nyak orang bilang, dia memiliki ilmu menghilang. Banyak juga orang tak
mempercayai. Bisa saja dia hanya menggunakan akal licik. Begitu bantah mereka.
Sekian lama semenjak kejadian itu, Kumbang Ma-
ta Tunggal terus saja membangun kekacauan demi ke-
kacauan. Di mana pun ulahnya, seorang perempuan
akan menjadi korban birahi tak terkendalinya.
Ada satu kekhasan dari perilaku sesat Kumbang Mata
Tunggal. Perempuan-perempuan yang digagahinya ra-
ta-rata dari warga dunia persilatan. Orang sering bertanya, kenapa hanya
perempuan warga persilatan"
Mengapa tak pernah memilih korban perempuan bi-
asa" Bukankah mereka pun tak kalah cantik" Tak ka-
lah menggiurkan"
Sementara itu, anak sesepuh golongan putih yang
pernah diculiknya tak pernah lagi terdengar kabarnya.
Perawan itu seperti menghilang tanpa rimba. Hanya
kenihilan yang ditemui para pencari.
Sampai kini, sesepuh golongan putih yang kehi-
langan anak perawannya masih terus memburu Kum-
bang Mata Tunggal.
Dan, bukti keunggulan kesaktian tokoh bejat itu
dibuktikan kembali hari ini. Pada jurus-jurus ke delapan puluh, dia berhasil
mendongkel pertahanan Seru-
ni. Wanita itu terdesak, terdesak, dan terdesak. Sampai akhirnya.... Plak!
Satu tamparan keras menghantam rahang kanan
perempuan itu. Amat keras. Bukan sekadar perih yang diderita, tapi juga rasa
mual tak terhingga disertai pandangan gelap.
Hanya dengan satu tamparan itu, Seruni dibuat
tersungkur ke belakang. Telentang. Tenaganya bagai
baru diisap bumi.
"Sudah kubilang, aku tak mau melukai tubuhmu.
Sayangnya, kau terus saja ngotot...," oceh Kumbang Mata Tunggal.
Mata satu-satunya lelaki ini menjilati tubuh Seru-
ni yang telentang. liar sekali.
"Coba kalau kau mau berbaik-baik padaku. Kita
bisa membangun satu kemesraan yang melangit!" tam-bahnya ceriwis.
"Cuih!"
Seruni membuang ludahnya sendiri ke tanah. Le-
laki di depannya dianggap tak lebih berharga daripada ludah itu. Meski
kesadarannya nyaris terlempar Seruni tetap memelihara kegeraman. Kemuakan yang
me-muncak. "Kau pikir aku akan sudi!" hardiknya melengking.
"Tentu saja kau akan sudi. Kalau pun tidak, aku akan membuatmu terpaksa
melakukannya. Ha, ha, ha,
haaa!" Lalu meledaklah tawa Kumbang Mata Tunggal
terbahak. Bergejolak.
"Kau...," desisan Seruni terpancung.
Merasa sudah kepepet, Seruni mengambil jalan
nekat. Tangannya terangkat ke atas dengan telapak
terbuka. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan mata terpejam. Lalu....
Crottt...! "Aaa...!"
Didasari tak ingin kehormatannya terkoyak wanita
itu menghujamkan tangannya ke perutnya sendiri. Su-
atu tindakan yang tak diduga Kumbang Mata Tunggal.
Dikiranya, Seruni hendak mengerahkan ajian atau ju-


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus lain. Tak tahunya, bunuh diri!
"Sial!" dengus Kumbang Mata Tunggal, tepat ketika Seruni melepas nyawanya.
Tanpa belas kasihan lagi, bagai serigala lapar
Kumbang Mata Tunggal mencabik-cabik mayat Seruni.
Dia benar-benar kesal, karena santapannya lebih me-
milih bunuh diri. Tak selera bagi Kumbang Mata Tunggal untuk mencumbui mayat.
Padahal, birahinya su-
dah bergolak. Kekesalan itu dilampiaskan dengan mencabik-
cabik mayat Seruni. Benar-benar biadab dia!
*** Sampai saat itu, Andika masih digayuti sekian
pertanyaan yang belum terjawab. Tentang bagaimana
mereka bisa melacak tempat tergoleknya batu terakhir Istana Durjana. Tentunya
saat ini, orang yang menemukan bangunan tua terkutuk itu sedang menyusuri
petunjuk yang dapat mengantar ke batu tersebut.
Sementara itu, gambar timbul di empat penjuru
dinding luar Istana Durjana belum cukup dapat dis-
ingkap oleh keenceran otak si pemuda tampan itu.
Belum lagi teka-teki bisa tersingkap, sudah dige-
recoki perkara lain. Seruni menghilang!
Karena tak ingin nyawa Seruni terancam, Pendekar
Slebor dan Tiga Penunggu Telaga Larang memutuskan
untuk mencari terlebih dahulu.
Mereka semua, khususnya si pemuda 'mata
bongsang' Andika, tentu saja khawatir Seruni menga-
lami sesuatu yang membahayakan jiwanya. Bisa saja
tanpa diketahui, wanita itu telah berurusan dengan
orang yang menemukan kembali Istana Durjana. Itu
bahaya paling besar, mengingat Istana Durjana adalah kunci rahasia untuk bisa
menyerap kekuatan alam kegelapan!
"Seruni! Oiii, Seruni!"
Andika berteriak-teriak di dataran kering sebelah
utara, berbatasan dengan kaki Gunung Mayit.
Mereka sebelumnya memutuskan untuk berpen-
car. Karena mereka berempat, maka masing-masing
bisa menuju empat penjuru angin. Pendekar Slebor ke utara, Senta ke selatan.
Sedangkan Danji dan Moja ke barat dan timur.
"Seruniii! Di mana kauuu!"
Andika mengulang teriakannya. Rasanya sudah
nyaris terkoyak urat lehernya karena berteriak seperti itu. Tapi, orang yang
diteriaki tetap tak tampak batang hidungnya. Yang terdengar di telinga anak muda
itu justru pantulan balik suaranya. Menjengkelkan! Me-
nyebalkan! "Ke mana lagi aku harus mencari perempuan ba-
henol itu"!" rutuk hati Pendekar Slebor, mulai digelitik kedongkolan.
Andika berhenti di tengah-tengah arus angin ken-
cang yang melarikan sehimpun debu. Menurutnya,
perlu dipikirkan kemungkinan ke mana Seruni pergi.
Ah! Bagaimana Pendekar Slebor bisa membuat
dugaan, sementara Seruni menghilang tanpa jejak, tak beda air menguap di luasnya
Sahara..." Artinya, cuma keberuntungan saja yang bisa diandalkan untuk menemukan
Seruni. Dalam adukan rasa kebingungan,
Andika dipanggil seseorang dari jauh.
"Anak Muda! Seruni telah kami temukan!"
Andika mengenali suara tadi. Itu panggilan Senta.
Dari suaranya, telinga tajamnya menangkap kegetiran.
Ah! Ada apa dengan Seruni" Andika berbisik da-
lam hati. Lantas tubuhnya digenjot ke arah panggilan Senta.
"Apa yang terjadi pada Seruni, Orang Tuaaa?" lemah Pendekar Slebor bertanya
setibanya di tempat kejadian.
Tiga Penunggu Telaga Larang sudah berdiri di sa-
na. Masing-masing menahan kekakuan, memerani ke-
bisuan. Mereka hening, menyaksikan bagaimana men-
genaskan keadaan perempuan yang pernah dianggap
anak mereka sendiri.
Ketiganya tidak menyahuti pertanyaan Andika ba-
rusan. Bukan tak mau menjawab, tapi memang tidak
bisa berkata apa-apa. Lidah mereka kelu oleh peman-
dangan menyakitkan yang disaksikan.
Hanya mata mereka yang menatap nanar ke arah
jasad Seruni, mewakili kata yang tak terucap.
Di atas tanah, Seruni sudah kehilangan nyawa.
Pada beberapa bagian tubuhnya terlihat koyakan se-
perti baru saja dicakari sekawanan serigala.
Mereka tahu, bukan serigala yang telah melaku-
kan itu. Serigala hanya akan membunuh jika lapar.
Kalau benar binatang itu, tentu sebagian tubuh Seruni sudah dibawa lari.
"Biadab! Perbuatan siapa ini"!" geram Pendekar Slebor.
Dalam dada si pemuda seperti diguncang gempa
saat itu. Terasa mau meledak. Nafasnya terombang-
ambing. Luapan kemurkaan itu membuatnya tanpa
sadar menggeleng-gelengkan kepala.
"Akan ku rencah siapa pun manusia busuk yang telah melakukan ini!" jerit
Pendekar Slebor mengoyak
langit malam. Wajahnya sulit tergambarkan. Seakan
ada yang tergarang di sana.
Anak muda dari Lembah Kutukan itu tak bisa lagi
menatap tubuh Seruni yang terkoyak. Dilemparnya
pandangan ke arah lain. Sementara, suasana dirinya
tetap seperti neraka.
"Pasti akan ku rencah kau...," desisnya seperti bersumpah pada semesta.
*** 7 Jasad perempuan malang Seruni, baru selesai di-
kuburkan di bumi yang sama tempat dia menjemput
ajal. Gundukan tanah kering dikelilingi empat orang yang tertunduk dalam,
sedalam kedukaan atas per-ginya Seruni.
Andika meski belum cukup lama mengenal pe-
rempuan itu, dapat merasakan pula segala apa yang
dirasa Tiga Penunggu Telaga Larang.
Kematian memang terkadang terlalu menyakitkan.
Apalagi, jika si mayat adalah orang terdekat. Lebih menyakitkan dari itu semua
bagi Tiga Penunggu Telaga Larang adalah, bagaimana Seruni menemui ajal. Si
pembunuh mencabik-cabik mayatnya. Bagaimana me-
reka tidak teramat sakit membayangkan hal itu"
Doa dipanjatkan dalam kebisuan, dengan patah
demi patah kata hati masing-masing. Angin malam te-
tap memburu ke segenap arah. Tak peduli pada kedu-
kaan, debu tetap beterbangan menerpa pakaian mere-
ka yang berkibaran.
Mereka semua yakin, Seruni telah dibunuh orang
yang kini dicari. Manusia yang juga telah menemukan kembali Istana Durjana.
Mereka menduga, tentu sang
musuh berusaha membunuh mereka satu persatu. Se-
tidaknya, membuat gentar tekad mereka untuk meng-
gagalkan dikembalikannya batu terakhir ke Istana
Durjana. "Kita tak bisa lebih lama di sini," Senta membuka kesunyian mereka.
Danji dan Moja menatap Senta. Wajah mereka se-
perti ingin meminta pada kakak seperguruannya un-
tuk tinggal lebih lama. Kalau mungkin, ingin menghabiskan malam menyakitkan itu
dengan berdiri diam di sisi makam Seruni.
"Aku tahu, aku pun ingin lebih lama berdiri di tempat ini. Rasanya, aku masih
tak percaya kalau muridku yang sudah seperti anakku, telentang kaku di
dalam gundukan ini...," desah Senta. Matanya nanar menatap gundukan tanah kering
berdebu. "Tapi kita mesti sadar. Dunia sedang terancam satu malapetaka
besar, jika orang terkutuk itu menemukan kembali ba-tu terakhir Istana
Durjana...."
"Aku tak peduli!" sentak Moja tiba-tiba. Wajahnya menegang seketika. "Aku tak
bisa meninggalkan Seruni di sini sendiri!"
Suara Moja dibayangi getaran mirip isak. Rupanya
lelaki tua bermulut cerewet itu tetap menganggap Seruni masih hidup.
Senta menggeleng-geleng. Sementara Andika me-
natap iba. Sudah sebegitu dekatnya mereka pada Se-
runi, hingga kematiannya pun sulit dipercaya.
"Seruni sudah mati, Moja!" tandas Danji dengan kalimat mendesisnya.
Moja menggeleng-geleng kuat-kuat. Sepertinya ke-
palanya sendiri hendak dilepaskan dengan gelengan-
nya. "Aku tak percaya! Aku tak percaya!" pekik Moja Senta dan Danji yang masih
mampu bertahan dari
rasa kehilangan yang luar biasa, saling berpandangan.
Keduanya sadar, bahwa tak bisa lebih lama di tempat itu. Yang mati akan tetap
menjadi mayat, meski me-nunggui makam sampai kiamat. Tapi entah di mana,
seseorang siap meletuskan petaka besar!
Danji yang berdiri di sisi Moja seperti mengerti
isyarat mata Senta. Hati-hati, didekatinya Moja yang menutup wajah. Tiba di
dekatnya.... Tuk! Moja dilumpuhkan dengan satu totokan. "Bagai-
mana?" tanya Andika, ketika berhasil memapah tubuh Moja agar tak tersungkur.
"Kita terpaksa membawanya...," keluh Senta. Wajah Pendekar Slebor mulai berubah
kecut. Kalau begitu urusannya, sudah pasti si anak mu-
da yang bakal membopong tubuh Moja. Padahal biar
tua, lelaki itu lebih berat daripada anak kerbau. Malah baunya tak karuan lagi!
"Dasar nasib apes!" gerutu Andika dalam hati.
Mereka pun meninggalkan makam Seruni.
"Ke mana harus mencari orang durjana itu, Anak Muda?" tanya Senta. "Sementara
harus segera mene-mukannya, kita malah tidak tahu ke mana harus
memburu. Ini sama artinya mencari jarum dalam tum-
pukan jerami."
"Yaaa...," timpal Danji mendesis.
Andika meletakkan tubuh Moja ke tanah. Sebe-
narnya, lebih tepat dikatakan 'membanting'. Habis..., badan Pendekar Slebor
sudah pegal-pegal setelah sekian lama membopong orang tua berpakaian hitam-
hitam itu. Pendekar muda itu melepas napas sarat-sarat.
Dihenyakkannya badan ke sebatang pohon besar yang
tumbang. Membopong Moja membuatnya nyaris modar
kecapek-an. Sompret sekali!
"Menurutku, kita harus lebih dahulu memecahkan teka-teki yang ada di empat
penjuru dinding luar Istana Durjana," cetus Andika setelah napas senin-
kemisnya sudah tak terlalu merongrong.
Senta dan Danji menunggu ucapan si pendekar
muda kesohor Tanah Jawa lebih lanjut.
Dipandangi begitu, wajah simpang siur Pendekar
Slebor makin berantakan.
"Kenapa kalian menatap ku seperti itu" O, kalian pikir aku juga yang harus
memikirkan teka-teki yang ada di dinding istana sial itu?" omelnya sewot. "Huh..
rumit! Rumit...!"
"Tapi, kami mengandalkan kau, Anak Muda. Kami
dengar, kecerdikan dan kepandaianmu seringkali
mampu memecahkan teka-teki yang orang persilatan
lain sulit menduganya," sanjung Senta.
Sebenarnya, lelaki tua itu bersungguh-sungguh.
Dia sudah kehabisan akal. Di samping sudah terlalu
tua untuk memecahkan teka-teki, pikirannya masih
tak bisa disatukan. Otak tuanya masih sering diusik bayangan Seruni.
"Kalau soal itu, aku sudah tahu dari dulu," Andika mencibir. Diam-diam,
hidungnya jadi kembang kempis
juga mendapat sanjungan tadi.
"Kalau begitu, tolonglah kami...," pinta Senta. Terselip getar memelas pada
suaranya, meski lelaki tua itu berusaha tegar.
Pendekar Slebor mengangkat bahu. Kalau ada
orang yang memelas seperti itu, Andika pasti tak ber-kutik. Padahal, jengkelnya
masih tersedak di tenggoro-
kan. Andika diam. Keningnya berkerut. Alisnya bertaut.
Dia berkutat, memikirkan teka-teki gambar timbul di dinding Istana Durjana.
Sekian lama berpikir, otaknya jadi memanas. Tapi, tak berarti ada percikan jalan
keluar. Apa maksudnya dengan gambar air yang tergurat di dinding utara Istana
Durjana" Apa pula maksud
gambar lain di dinding berbeda"
"Sompret! Buntu! Buntu!" maki si pemuda, sewot sendiri. Sambil memaki dilepasnya
tinju ke sebuah pohon cemara kering besar.
Dukh! Praaak! Bruk!
Dini hari menjelang pagi, dikotori suara riuh tum-
bangnya a pohon kering itu. Ujung pohon yang me-
runcing, jatuh ke arah semburat sinar merah tembaga sinar matahari muda.
Menyaksikan hal itu, benak Andika terusik. Da-
han cemara kering memberinya ilham.
"Arah! Arah!" pekik Pendekar Slebor, seperti orang gila. "Arah"! Arah apa
maksudnya"!" tanya Senta, terbelalak.
Pendekar Slebor menandak kian kemari.
"Setiap gambar di Istana Durjana diletakkan pada sisi berbeda, bukan?" tukasnya
kemudian, setelah ke-sintingannya mendadak reda.
"Iya," Senta dan Danji membenarkan. "Lalu"!"
Jari telunjuk si pemuda berontak encer berputar-
putar di udara.
"Artinya, batu itu kemungkinan ada di empat penjuru berbeda!" jelas Andika
menggebu-gebu. "Sekarang aku ingin bertanya padamu, Orang Tua!"
"Tanyalah!," sambut kedua lelaki tua itu, berba-
rengan lagi. Sepertinya, mereka adalah dua orang bocah yang baru belajar bicara.
"Telaga Larang terletak di sebelah mana dari Istana Durjana?"
Senta dan adik seperguruannya saling berpandan-
gan. "Timur," jawab mereka, lagi-lagi berbarengan.
"Nah!"
Kontan dua tua bangka yang sedang sungguh-
sungguh memperhatikan wajah Andika terlonjak men-
dengar gebahan begitu. Nyaris saja mereka melompat.
"Apa"!" desis Danji, tak sabar.
"Bukankah dinding sebelah timur menggambar-
kan air" Itu artinya, Telaga Larang adalah salah satu tempat di mana batu itu
kemungkinan berada," papar Andika.
"Tapi, kenapa batu itu malah tidak ada sewaktu dicari?" tukas Senta ingin tahu.
Penasaran dia. "Itu untuk sedikit mengelabui orang yang hendak mencari batu. Setidak-tidaknya,
pencariannya akan
terhambat. Atau malah, tidak mendapatkan sama se-
kali, kalau sampai terbunuh penjaga tempat."
"Jadi kami hanya menunggu telaga yang sesung-
guhnya hanya pancingan untuk mengalihkan perha-
tian?" "Nah! Betul! Dan kalau di empat bagian dinding istana sial itu ada empat gambar
berbeda, artinya batu itu mungkin berada di salah satu dari empat tempat berbeda
pula. Lalu kalau telaga ditunggu oleh kalian, tentu tiga tempat lain pun dijaga
pula." "Kenapa begitu?" tanya Danji, tak jelas.
Andika menyumpahi dalam hati. Dasar tua bang-


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ka. Otaknya pasti sudah setumpul pantat wajan!
"Tentu saja agar orang yang berusaha menda-
patkan batu itu akan dihalangi mereka yang menjaga
keempat tempat yang dimaksud. Seperti kalian menja-
ga Telaga Larang. Sementara, meski sudah berhasil
mengalahkan para penjaga tempat, belum tentu pem-
buru batu akan mendapatkannya! Karena, batu itu
hanya ada di salah satu dari empat tempat!" papar Pendekar Slebor, sambil
menelan kejengkelannya.
Bibir Danji melekuk.
"Ah, aku belum paham juga!" cetusnya.
Andika makin kenyang menelan kejengkelan. Be-
nar-benar bebal!
"Kalau begitu, ke mana sekarang kita harus memburu orang itu?" sela Senta.
"Karena telaga tak didatangi seorang pun sampai saat kita berangkat, sebaiknya
cari ke arah lain."
"Bagaimana cara menentukan tempat yang kita
tuju, sementara kita punya tiga pilihan?" tanya Danji.
"Kalau Telaga Larang di sebelah timur, berarti ada tiga arah lagi. Utara, barat,
dan selatan.... Lalu, apa artinya gambar di tiga bagian itu?"
Andika menekan kening dengan telunjuk. Wajah-
nya berkerut. Jelek sekali.
"Wah iya, ya...," bisiknya samar.
Pendekar Slebor lantas menatap pada dua orang
tua di depannya. Sebuah tatapan penuh binar.
"Eh, tunggu!" cetus Andika setelah berpikir sejenak. "Sebelum sampai ke gubuk
kalian, aku menemukan mayat yang tergeletak di dekat sebuah sumur
aneh. Sumur itu dipagar besi berukir. Sementara, di dasarnya tidak ada air sama
sekali. Aku jadi ingat pa-da gambar liang dalam yang tergurat di dinding sebelah
utara. Sumur itu pun berada di sebelah utara Istana Durjana. Bukankah sumur
bentuknya seperti hang
dalam?" gumam Andika sendirian. Seperti orang lin-
glung. Di depan Pendekar Slebor, dua lelaki jompo sibuk
mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti tidak men-
gerti, pokoknya mengangguk!
Andika berjalan hilir-mudik.
"Itu artinya, si pemburu batu telah mendatangi tempat di sebelah utara. Mungkin,
lelaki perlente berpakaian ningrat itulah yang menjadi penunggu sumur.
Dia mati di tangan si pemburu batu, karena memper-
tahankan sumur aneh itu.... Ya..ya..ya.... Kalau si pemburu batu sampai saat ini
belum juga tiba, artinya batu itu belum didapatkan.
"Hei, Anak Muda! Jangan terus mondar-mandir
saja! Ayo, katakan! Apa yang mesti kita lakukan"!"
Maksud Danji mau menghardik. Tapi karena sua-
ranya tak begitu jelas, malah terdengar seperti geru-tuan.
"Kalau begitu, kita tinggal menentukan dua arah lagi. Selatan, atau barat!"
"Tentukanlah" paksa Senta.
"Kalian orang tua, kenapa hanya bisa mengatur-
atur anak muda saja"!" kilah Pendekar Slebor. Hatinya dongkol terus didikte
seperti itu. "Mana mungkin aku bisa memastikan ke mana orang hendak pergi!"
"Lalu, apa usulmu?" desak Senta.
"Mau tak mau kita harus membagi tugas!"
"Nah begitu...," desis Danji, ingin memuji.
Andika malah menyangka dia menggerutu lagi.
"Aku akan melacak ke sebelah barat. Sedangkan
kalian berangkat ke selatan!" putus Pendekar Slebor, cepat.
"Tempat apa yang harus kami tuju?" tanya Senta.
Andika memikirkan kembali gambar timbul dind-
ing sisi-sisi selatan. Di sana, ada gambar semburan api
besar ke angkasa
"Semburan api besar ke angkasa?" gumam Andika. Sulit juga Andika memecahkanhya.
Karena sulit, pandangannya diarahkan ke selatan. Gambar itu memang berada di
dinding selatan. Jadi arah itu yang dimaksud.
Sinar mentari yang kian berani memancar, me-
nyapu puncak Gunung Mayit yang menjulang kokoh di
sebelah selatan. Dan puncak gunung kini jadi pusat perhatiannya.
"Gunung itu!" ledak Andika pasti. "Gambar di dinding selatan hendak
menggambarkan gunung bera-pi itu!"
Menyaksikan bagaimana cepat otak pemuda
brengsek itu berputar, Senta dan Danji nyengir berbarengan. Kepala mereka
menggeleng-geleng.
"Kalian tunggu apa lagi"!" bentak Pendekar Slebor.
Dasar pemuda tak tahu adat!
"Tapi, bagaimana dengan Moja?" kilah Senta.
Wajah Andika kontan berantakan. Sudah pasti dia
juga yang mesti membopong orang tua bau itu! Ya..., apes lagi.
*** 8 "Hum!" Takdes!
Pagi damai dilantak hentakan-hentakan berirama
maut, tepat di ubun-ubun Gunung Mayit. Tepat di sisi kawah besar berisi gejolak
lahar panas, dua lelaki ter-libat pertarungan ganas.
Seorang dari mereka adalah lelaki berambut pan-
jang. Sementara lawannya melihat ciri-cirinya yang khas berupa matanya yang cuma
satu, jelas dia adalah si Kumbang Mata Tunggal. Setelah mencabik-cabik
mayat Seruni, Kumbang Mata Tunggal langsung menu-
ju ke puncak Gunung Mayit. Memang, selama ini dia
telah menguntit lelaki berambut panjang sejak Istana Durjana ditemukan, hingga
memergoki rombongan
Pendekar Slebor meneliti Istana Durjana.
Lelaki itu rupanya tahu hikayat purba tentang
berdirinya Istana Durjana. Dalam hatinya sudah terpe-ram demikian lama keinginan
untuk menemukan ban-
gunan itu, sekaligus mengembalikan batu terakhirnya.
Jiwa laknatnya pun mendambakan keabadian dan ke-
kuasaan tanpa batas. Seperti juga, setiap manusia di muka bumi. Bedanya, setiap
manusia punya tingkat
kekuatan batin berbeda untuk menghadapi godaan se-
perti itu. Dengan akal liciknya, Kumbang Mata Tunggal mem-
biarkan si lelaki berambut panjang menyusuri tempat batu terakhir berada. Bila
tiba saatnya nanti, tinggal direbutnya dari si lelaki gondrong tanpa harus
menghadapi seluruh penjaga empat tempat yang ditunjuki
di dinding Istana Durjana. Tanpa menanam, dia ingin memetik buahnya.
Untuk beberapa lama, rencana licik Kumbang
Mata Tunggal berjalan mulus. Sampai akhirnya, lelaki berambut panjang
memergokinya sedang mengintai
dari kejauhan. Maka meledaklah kemarahan si lelaki
gondrong. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan
orang lain mendapatkan batu dari nasi perjuangan-
nya" Seperti tidak mungkinnya seekor anjing ingin
berbagi tulang dengan anjing lain.
Maka pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.
Malah kini, baku hantam di antara mereka telah
memasuki jurus-jurus paling mematikan. Si lelaki berambut panjang telah pula
mengandalkan rambutnya
sebagai senjata. Jika rambut itu sudah berubah men-
jadi senjata maut, artinya tidak ingin mengulur waktu lebih lama. Lawan akan
dihabisi secepatnya.
Menjelang pendakian ke puncak pertarungan dua
orang lain sampai di tempat itu. Mereka tak lain dari Senta dan adik
seperguruannya, Danji. "Hentikan pertarungan!" teriak Senta, sarat wibawa
bercampur kemurkaan.
Mata lelaki berbaju putih kusam itu berkilat-kilat
menerkam bergantian dua lelaki yang langsung meng-
hentikan pertarungan.
"Jawab pertanyaanku! Siapa di antara kalian yang telah lancang mengusik Istana
Durjana?" teriak Senta, meledak-ledak. Ketuaan pada wajahnya tidak berarti
mengurangi keberingasan. Dia laksana seekor naga
tua yang siap memangsa.
Dua lelaki di sana tidak ada yang berniat menja-
wab. "Ku ulangi! Siapa di antara kalian yang telah lancang mengusik Istana
Durjana"!" ulang Senta lebih menggelegar.
"Aku...," sahut lelaki berambut panjang. Wajah amat pucatnya tidak menampakkan
perubahan sama sekali. Teramat dingin, seperti tak pernah lagi memiliki rasa. "Bagus...!" geram
Senta terseret. Mata lelaki ini semakin menyorot tajam, menyiratkan kemurkaan.
"Kalau begitu, pasti kau pula yang telah memperlakukan muridku demikian biadab!"
tandas Senta kembali.
Mungkin tak salah bila Senta memusuhi si lelaki
berambut panjang. Sebab biar bagaimanapun, orang
itu berdiri di barisan tokoh sesat. Tapi untuk melem-parkan tuduhkan kedua,
Senta jelas keliru. Si lelaki berambut panjang tak pernah melakukan apa pun
terhadap Seruni. Bertemu saja belum.
"Aku tak ada waktu untuk mendengar bualan mu,
Orang Jompo!" tepis lelaki berambut panjang amat kasar. "Heh"!" dengus Danji tak
kentara. "Enak sekali kau mau lari dari tanggung jawab, setelah puas menghambur-hamburkan
kelaknatan mu!" hardik Senta.
"Kau harus membayar nyawa murid kami!" timpal Danji mendesis-desis.
Lalu.... "Huaaa!"
Berbarengan, dua orang tua kalap itu meluruk ke
arah lelaki berambut panjang. Selaku orang yang su-
dah terlalu kenyang menelan garam dunia persilatan, tidak sepantasnya mereka
segelap mata itu. Karena
kemungkinan besar, justru akan rugi sendiri.
Cuma karena mereka benar-benar tidak bisa me-
nerima keadaan Seruni, perempuan yang telah diang-
gap seperti anak sendiri, membuat pikiran waras jadi mengabur.
"Pergilah kau ke neraka!"
Wush! Sambaran tangan kanan Danji datang hendak
mematuk wajah lawan. Tak hanya tangan itu. Ular po-
hon berbisa yang melilitnya pun siap mengirim bi-
sanya. Lelaki berambut panjang hanya menggelengkan
kepala ringan ke samping.
Pada saat nyaris bersamaan, Senta melancarkan
sambaran cakar dari samping ke wajah lawan pula.
Dari serangan awal itu saja, tampak sekali bagai-
mana dua lelaki tua sudah terbiasa menyiapkan jurus gabungan. Jika satu orang
menyerang ke satu arah
maka yang lain akan menyerang dari arah lain. Den-
gan begitu, ruang gerak lawan bisa terkunci.
Namun meski usia lelaki berambut panjang ber-
taut jauh dengan kedua lawan, bukan berarti bakal
terkecoh. Tanpa terlihat kelimpungan, dipapakinya
sambaran cakar Senta dengan siku.
Debs! Hebatnya lagi, ujung siku itu tepat menghantam
bagian tengah telapak tangan Senta. Padahal sikunya meleset sedikit saja, maka
jari tangan sekeras baja Senta akan mengoyaknya. Kejelian mata lelaki berambut
panjang rupanya bisa menangkap keampuhan jari
Senta. Itu sebabnya, sikunya ditempatkan tepat di tengah telapak tangan lawan.
"Pintar juga kau, Bocah!"
Selesai menyanjung yang sesungguhnya tak lebih
dari cemoohan, cakar Senta merenggut cepat. Siku lawan masih menempel di
telapaknya. Dan dia ingin me-
rontokkannya dalam sekali cengkeram!
Crep! Cuma bunyi itu yang tercipta. Sementara, cengke-
raman jari Senta tak berhasil meremukkan tulang siku lawan, karena maksudnya
terlalu cepat terbaca.
Pecahnya pertarungan antara Senta dan Danji mela-
wan lelaki berambut panjang, membuka peluang amat
lebar bagi Kumbang Mata Tunggal untuk menggulirkan
rencana liciknya. Betapa mekar hati busuknya menge-
tahui dua lelaki tua telah menimpakan semua perbua-
tan yang dilakukannya pada lelaki berambut panjang!
Sungguh, ini di luar rencananya.
Meski begitu, tidak ada yang ingin disiakan Kum-
bang Mata Tunggal. Sementara tak ada seorang pun
mempedulikannya lagi, akan didahuluinya lelaki be-
rambut panjang untuk mengambil batu. Dia sendiri
kini tahu tempat batu itu, ketika menguntit.
Sebelumnya, lelaki berambut panjang bersemedi
cukup lama di tepian kawah Gunung Mayit. Usai me-
nyelesaikan tapa singkatnya, dia berjalan dengan mata terpejam. Seolah, ada yang
menuntunnya untuk menuruni lereng kawah. Di depan salah satu bagian lereng yang
mencekung ke dalam, barulah matanya di-
buka. Saat itu bibirnya melengkung. Entah menyerin-
gai, entah pula tersenyum. Sesudahnya, dia terbahak tergelak-gelak.
Kumbang Mata Tunggal pun yakin, lelaki beram-
but panjang telah berhasil menemukan tempat terku-
burnya batu terakhir Istana Durjana, sebelum akhir-
nya tertangkap basah oleh lelaki berambut panjang.
"Bertarunglah kalian sampai mampus!" serapah-nya mendesis. Bibirnya menyeringai
memendam ke- menangan. Mengendap-endap, Kumbang Mata Tunggal menu-
runi lereng kawah. Di seberang sana, bagian mence-
kung terlihat. Kalau berjalan dari atas, maka orang yang bertarung di sana akan
melihatnya. Satu-satunya jalan, harus beringsut menyusuri lereng kawah. Namun
kendalanya, sedikit saja salah pijak, tubuhnya
tak ayal lagi akan ditelan gelegak lahar di bawah sana!
"Ah, peduli setan!"
Kumbang Mata Tunggal tak lagi peduli. Yang me-
nari-nari dalam benaknya hanya janji sang Durjana
untuk memberinya keabadian dan kekuasaan tak ter-
hingga! Perlahan dan hati-hati, kaki Kumbang Mata Tung-
gal menjejaki satu bagian demi bagian lereng yang menonjol. Setiap bagian,
teramat rapuh. Berat seekor
kucing saja sudah bisa menggugurkannya. Kalau saja
tingkat ilmu meringankan tubuhnya tang-gung-
tanggung, jangan harap bisa tiba di seberang lereng dengan selamat!
Dengan menguras segenap kemampuan ilmu me-
ringankan tubuhnya, Kumbang Mata Tunggal terus
menyusuri lingkaran lereng. Jarak yang mesti ditem-
puh cukup jauh. Dengan jalan perlahan-lahan seperti itu, akan memakan waktu
cukup lama. Tapi, dia tetap yakin kalau pertarungan di atas sana akan
berlangsung alot. Dua lelaki tua bukan orang sembarangan.
Sementara, lawannya pun sudah membuktikan kedig-
dayaannya ketika bertarung dengan Kumbang Mata
Tunggal. Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan. Kumbang
Mata Tunggal tetap yakin bisa memetik keuntungan


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa harus banyak mengeluarkan keringat. Satu-
satunya yang mesti diusahakan kini adalah, bagaima-
na agar perhatiannya benar-benar terpusat pada le-
reng. Tidak sulit kalau lereng itu memiliki pijakan cukup luas. Kalau yang mesti
dijadikan pijakan hanya
tonjolan sebesar telapak tangan, apa itu tidak jadi masalah"
Di tengah jalan, mendadak tonjolan lereng yang
dipijak lelaki ini berguguran. Bagian itu rupanya terlalu rapuh, meski Kumbang
Mata Tunggal telah mengu-
ras ilmu meringankan tubuhnya.
Gruuuk! Wrrr! Pecahan rapuh bagian lereng berguliran cepat
menuju gelegak kawah. Kumbang Mata Tunggal terke-
siap. Keseimbangannya saat itu juga tak terkendali.
Tubuhnya limbung ke arah mulut kawah. Mata lelaki
itu mendelik. Uap panas di bawah sana menerpa wa-
jahnya. Keringat sebesar biji jagung yang telah berbaur uap kawah, sepertinya
terasa mengering tiba-tiba begitu tubuhnya bergulingan di lereng menurun, menuju
mulut kawah yang meletup-letup!
*** 9 Sepanjang perjalanan ke arah barat, benak Pen-
dekar Slebor terus berkutat. Semua gambar di empat
sisi dinding Istana Durjana diingatnya, terpatri jelas-jelas dalam ingatannya,
Termasuk, gambar di dinding sebelah barat.
Persoalannya sekarang, Pendekar Slebor masih
belum bisa menemukan titik terang maksud gambar
timbul tersebut.
"Akar menghujam bumi?" gumamnya mengingat gambar itu.
Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari seratus
kali menyebut-nyebut gambar itu. Dia bingung, tapi
merasa harus memecahkannya. Jadinya, malah mirip
orang linglung yang mengulang-ulang ucapan serupa,
selagi terus berlari. Apalagi, di punggungnya ada beban berat menjengkelkan!
"Kutu Buduk! Tikus Borok!" maki Pendekar Slebor keras-keras. "Kenapa aku selalu
mendapat bagian paling menyusahkan"!"
Karena merasa tak berguna hanya memikirkan ar-
ti gambar timbul di benaknya, anak muda itu memu-
tuskan untuk tetap berlari ke arah timur. Berlari saja,"
pikirnya. Tak peduli pada Moja tua yang terguncang-
guncang tak karuan. Siapa tahu, secara kebetulan bisa menemukan jawaban di
jalan! Setelah cukup lama berlari ke arah barat, anak
muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini tiba di se-
buah hutan yang membentang di ujung barat Gunung
Mayit. "Hutan?" gumam Pendekar Slebor seperti baru tersadar dari mimpi.
Andika mengedarkan pandangan ke seluruh pen-
juru kegelapan hutan. Sinar sengit siang tak berdaya di dalam sana. Pohon-pohon
tumbuh terlalu bongsor.
Daunnya memadati angkasa, seolah menjadi benteng
terhadap serbuan sinar matahari.
Sampai di situ, bibir Pendekar Slebor terungkit.
Ada yang membuatnya terasa tertimpa berkah melim-
pah ruah. "Pohon!" pekiknya seperti perawan tua bertemu perjaka tampan. Kakinya melonjak-
lonjak kegirangan.
Merasa kegirangannya, tak akan sempurna kalau ma-
sih membopong tubuh Moja. Maka, anak muda itu me-
lempar tubuh tua bangka itu seenaknya.
Bruk! Kalau saja si tua bangka itu sedang siuman, su-
dah pasti bakal dilabraknya Pendekar Slebor sampai terkencing-kencing!
Dari lonjakan-lonjakannya, Pendekar Slebor men-
dadak pula berhenti. Dia terdiam lagi. Wajahnya terlipat rapat-rapat.
"Kalau gambar itu adalah perlambang pohon, ba-
gaimana aku bisa menemukan pohon yang dijadikan
tempat menyembunyikan batu dari istana sial itu, sementara di tempat ini ada
sekian ratus pohon besar!"
gerutu Andika, menyadari ketololannya sendiri.
Dan sumpah serapah paling meriah pun tersem-
prot dari mulutnya.
Tak lama berikutnya, sikap si anak muda urakan
ini berubah mendadak lagi. Seperti sebelumnya, tu-
buhnya terdiam. Bola matanya terangkat, memikirkan
sesuatu. "Tapi, tentu pohon yang dijadikan tempat me-
nyembunyikan batu memiliki ciri tertentu," bisiknya.
"Pohon itu pasti berbeda dengan yang lain. Ah! Aku harus mulai mencari satu
pohon yang berbeda!"
Dari bersemangatnya, secepat itu pula wajah An-
dika terlipat kembali.
"Tapi..., sompret! Pohon sebanyak ini"!" maki Pendekar Slebor dengan mata
terbelalak. Dia hendak men-gajukan ketidaksenangannya, tapi pada siapa" Andika
tak peduli. Pemuda itu hanya tahu kalau saat ini
dongkol besar! Besuaaar!
Sambil terus memaki-maki, Pendekar Slebor men-
gangkat kembali tubuh Moja. Lalu pencariannya dilanjutkan.
"Mudah-mudahan ada dedemit hutan yang sudi
memungut tua bangka ini menjadi menantunya!" gerutu si pemuda tak kentara saat
mulai berlari. Selang sepeminum teh, langkah lari Pendekar Sle-
bor mendadak dihadang satu terjangan.
Wusss...! "Hah"!"
Si penyerang menyeruak ganas dari semak-semak
lebat. Andika tahu, kalau saat ini tidak sedang diterkam binatang buas. Ada
seseorang yang tidak menyu-
kai bila pencariannya dilanjutkan. Yang tidak diketa-huinya, siapa orang itu"
Pendekar Slebor cepat berjumpalitan. Gerakannya
lincah, biar pun ada beban seberat anak gajah di pun-
daknya. "Heaaa!"
Tep! Anak muda sakti itu hinggap di sebatang ranting!
sebesar jari kelingking, di atas pohon randu besar.
"Siapa kau"!" bentak Andika bertanya.
Pendekar Slebor melihat seorang tua berdiri di
bawah sana. Dari cara berdirinya yang agak limbung, bisa ditebak kalau orang itu
sedang menderita luka dalam parah.
"Kau siapa"!" orang itu balik bertanya.
"Eee.... Belum menjawab sudah bertanya pula"!
Aku tanya, siapa kau"!"
"Hmm.... Kau yang mesti menjawab, siapa kau"!"
Andika menarik napas dalam-dalam. Kalau terus-
terusan berebut pertanyaan seperti itu, urusan bakal tidak selesai sampai
kiamat! "Baik! Aku Pendekar Slebor! Kedatanganku ke sini karena satu urusan yang teramat
genting!" jelas Andika, mencoba mengalah.
Si penyerang yang ternyata Kakek Penjaga Makam
memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun, yang
muncul malah ringisan menahan sakit.
"Kau pikir, kalau aku tahu kau pendekar muda
yang sedang melangit itu, lalu membiarkan mu kelayapan seenaknya di dalam hutan
ku"! Beh! Tak usah,
ya...!" cibir Kakek Penjaga Makam.
Andika geleng-geleng kepala. Sedang runyam uru-
san, ada lagi 'setan hutan' yang bikin kacau! Serapah-nya dalam hati.
"Kalau begitu tolong katakan padaku, bagaimana agar aku bisa mendapatkan izinmu,
Orang Tua"!" bu-juk Andika.
"Tidak!"
"Tidak apa"!"
"Tidak akan kuizinkan! Memang kau pikir apa"!"
"Sebaiknya kau mengizinkan," paksa Andika. Dia jadi rada runyam juga.
"Kau mengancamku, heh"! Hua ha ha... ugh..
ugh!" Lelaki ini cepat memberesi batuk yang mengeluarkan darah. Diusapnya sudut-
sudut bibirnya yang ber-lendir merah.
"Jangan mentang-mentang kau sudah punya na-
ma besar di dunia persilatan! Aku tak gemetar men-
dengar namamu! Pendekar Slebor.... Huh! Apa itu"!"
sambung Kakek Penjaga Makam.
"Sompret!" desis Andika.
Anak muda itu melayang turun dari atas pohon.
Keadaan sudah begitu mendesak. Dia tidak bisa mem-
buang-buang waktu lagi melayani kesintingan orang
tua satu ini. "Jadi, apa maumu sebenarnya, Orang Tua"!" bentak Pendekar Slebor, ngotot.
Semena-mena dibanting-
nya tubuh Moja ke tanah.
Bruk! Paling tidak, si anak muda urakan ini bisa sedikit
melampiaskan kedongkolan....
Moja telentang pasrah di tanah. Mulutnya men-
ganga, lupa dikunci ketika terkena totokan. Menyaksikan wajah Moja, Kakek
Penjaga Makam terpana. Mu-
lutnya ikut ternganga, seperti Moja.
"Moja"!" seru Kakek Penjaga Makam.
"Kau kenal dia, Orang Tua"!"
"Kau apakah dia, haaah"!" teriak Kakek Penjaga Makam kalap.
Saking kerasnya lelaki ini berteriak, dedaunan
berguguran. Bumi bergetar. Yang paling kasihan, ya
Moja. Badan bongsornya tersentak mendadak. Ah! Sial lagi dia...,
"Aku tak berbuat apa-apa padanya, Orang Tua!
Sumpah mampus dicium bidadari!" sangkal Andika mendelik, ketika Kakek Penjaga
Makam memelototi.
Tangan anak muda itu terangkat ke depan, men-
coba menyabarkan Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak percaya!" sentak lelaki tua itu.
"Ah! Aku percaya!" balas Andika.
"Kalau begitu, katakan padaku! Kau apakan dia"!"
"Kalau kau bisa tenang sedikit, baru akan ku jelaskan," ujar Andika, setengah
mengancam. Mestinya tidak pantas kalau orang setua Kakek
Penjaga Makam merajuk seperti bocah ingusan. Na-
mun, dia memang benar-benar merajuk saat itu.
"Baik," katanya.
Andika pun mulai menceritakan semuanya.
*** 10 "Apa"!"
Moja yang baru siuman dari tidur panjangnya ber-
teriak kalap. "Kau jangan main-main, Danggi!" semprotnya lagi pada Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak main-main, Tolol! Aku mengenal benar, bagaimana jurus-jurusnya.
Bagaimana keampuhan racun pada pukulannya...!"
Kakek Penjaga Makam yang rupanya bernama
Danggi balas menyemprot. Dia baru saja menceritakan pada Moja kejadian yang
belum lama dialaminya. Ten-
tang seseorang yang datang hendak membongkar ma-
kam aneh di atas pohon yang selama ini dijaga oleh-
nya. Sesungguhnya, siapakah Kakek Penunggu Ma-
kam" Bagaimana dia kenal Moja"
Seluruh penjaga tempat yang dilambangkan den-
gan gambar pada dinding Istana Durjana sebenarnya
berasal dari satu perguruan. Guru besar mereka telah menugaskan untuk menjaga
tempat masing-masing.
Satu dengan yang lain tidak pernah diberitahu, tempat mana yang dijaga.
Terkadang mereka sering bertemu, tanpa pernah
tahu tugas apa yang diemban masing-masing.
Dari keempat tempat tersebut, hanya kawah Gu-
nung Mayit yang tidak dijaga. Itu memang mengun-
dang teka-teki. Bukankah jika batu benar-benar bera-da di puncak gunung,
pemburunya akan mudah sekali
mendapatkan kalau tak ada penjagaan" Dan itupun
tak pernah diketahui baik oleh Tiga Penunggu Telaga Larang, Kakek Penjaga Makam,
atau Penunggu Sumur
Kering yang berasal dari kalangan berada. Lelaki terakhir jelas ditemukan Andika
dalam keadaan tewas
secara mengerikan. Badan bagian depannya membu-
suk! Maka, tak begitu aneh kalau Kakek Penjaga Ma-
kam mengenali Moja ketika masih tertidur pulas dari menerima pelampiasan
kejengkelan Pendekar Slebor
berkali-kali. Setelah Andika berhasil menjelaskan duduk per-
karanya pada Danggi yang berjuluk Kakek Penjaga
Makam, barulah orang tua itu mulai jinak. Moja pun
dibebaskan. Belum lagi Moja sempat menyadari apa yang ter-
jadi pada dirinya, Danggi sudah mengatakan sesuatu
yang sulit dipercaya.
"Aku tak mungkin bisa percaya kalau si Danji telah berkhianat pada kita. Bahkan
telah berkhianat pu-la pada amanat Guru Besar!" tolak Moja mencak-
mencak di depan Kakek Penjaga Makam.
Andika duduk membiarkan kedua tua bangka itu
mengomel-ngomel. Bacot meski sudah kiwir-kiwir se-
perti popok bayi, masih tetap selincah mulut perawan.
Mereka membuat anak muda itu jadi pusing tujuh ke-
liling jagad! Andika akhirnya hanya bisa memperhatikan polah mereka sambil
bertopang dagu..
Kakek Penjaga Makam tak mau kalah mencak.
Padahal, dia masih menderita luka dalam akibat pukulan lelaki berambut panjang
beberapa waktu lalu, setelah terjadi pertarungan.
"Lalu kau mau berkata apa pada luka yang ku derita sekarang"! Luka ini akibat
pukulan beracun
'Pembusuk Daging'! Kau tahu, siapa yang telah diwari-si pukulan itu oleh Guru
Besar" Danji!"
"Tapi selama beberapa hari belakangan, Danji selalu bersama kami! Tak mungkin
dia datang ke sini
tanpa sepengetahuan kami!" sanggah Moja.
"Kau memang berotak kerupuk! Aku tak mengata-
kan Danji yang telah melukai ku!" dengus Danggi.
"Tapi, tadi kau bilang itu pukulan Danji!"
Teriakan-teriakan kedua tua bangka itu makin
melengking-lengking, kian mendengking-dengking. Me-
reka sudah seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang yang tersimpan dalam
tanah! Pendekar Slebor tak tahan lagi. Bisa kena seran-
gan darah tinggi kalau telinganya terus dirasuki suara cempreng mereka.
"Cukup, cukup, cukup!" hardik Andika seraya bangkit.
Dua kakek yang sedang berbaku bacot langsung


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti. Andika dipelototi.
"Sekarang, jelaskan perlahan! Mulai dari kau,
Orang Tua!" ujar Andika, menengahi. Ditunjuknya Kakek Penjaga Makam.
Kakek Penjaga Makam menghempas napas sesak-
nya. Dada kerempeng itu kembang-kempis. Di samping
pengaruh luka dalam, juga terlalu gusar dengan Moja.
"Dua hari lalu, aku didatangi seorang lelaki berusia sekitar tiga puluhan. Dia
berambut panjang...," tutur Danggi setelah mengatur napas.
"Apa perlunya dia datang ke tempat ini"!" susul Andika.
Kakek Penjaga Makam mendengus. Matanya ber-
kilat-kilat, gusar mengingat kejadian dua hari lalu.
"Dia mau membongkar makam itu!" jelasnya sambil melirik makam ganjil yang
menempel di batang pohon beringin besar. "Seenaknya saja dia mau membongkar.
Padahal, aku sudah dipercaya Guru Besar
untuk menjaganya dengan nyawaku sendiri! Aku lan-
tas bertarung dengannya. Ketika aku berhasil dilukai dan tak mampu melanjutkan
pertarungan secara aneh
dia menatap makam Guru. Sekian lama menatap, tak
banyak yang dilakukan. Hanya mengangguk, lalu ber-
lalu begitu saja. Sepertinya dia sudah bisa menduga tentang makam."
"Kuburan siapa yang seaneh itu?" Andika berbisik.
Kalau tak diberitahu Kakek Penjaga Makam, An-
dika tak pernah sadar di dekatnya ada makam.
"Tentu saja makam guruku!" bentak Kakek Penjaga Makam.
"Guru dimakamkan di sini"! Apa yang telah kau
lakukan"! Apa kau sudah sinting, Danggi"! Kau mau
menghina Guru"!" cerocos Moja bertubi-tubi.
Sungguh! Moja sendiri baru tahu kalau gurunya
telah dimakamkan seperti itu.
Andika tak cepat percaya. Bukan tidak percaya
pada Kakek Penjaga Makam. Dia hanya tidak yakin
apakah guru besar mereka benar-benar dimakamkan
di tempat itu. Sebab kalau teringat pada gambar timbul di dinding barat Istana
Durjana, mestinya makam itu adalah salah satu kemungkinan tempat batu terakhir.
Bukan tempat peristirahatan terakhir seseo-
rang. "Kau yakin?" tukas Andika, mencoba mengorek lebih jauh.
Mata Kakek Penjaga Makam melotot besar.
"Bheh! Pertanyaan macam apa itu"!" cibirnya.
"Jawab saja pertanyaanku, Orang Tua...."
"Tentu saja aku yakin!" tandas Kakek Penjaga Makam jengkel.
"Bagaimana kau bisa yakin"!" sela Moja. Mulutnya mulai gatal lagi.
Kakek Penjaga Makam mau berbicara lagi. Tapi,
dia terjebak pertanyaan Moja. Dengan kepala bergerak kian kemari, dia tergagap.
"Yaaa, aku yakin saja...," kilahnya, asal bisa menjawab.
"Jawab yang benar, Orang Tua. Kita sedang bera-da dalam keadaan amat genting!
Jangan main-main!"
omel Pendekar Slebor, tegas.
Danggi terbatuk-batuk.
"Baik, baik.... Aku tidak yakin makam itu adalah tempat peristirahatan terakhir
Guru Besar. Aku cuma mendapat amanat dari beliau, untuk menjaga makan
aneh ini. Puas"!"
Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Ada yang
mulai jelas sekarang. Kalau kuburan itu kini masih
utuh, tentu si pemburu batu telah mengetahui benda
yang dikehendakinya tidak ada di sana. Kini, yang tersisa hanya satu tempat...
puncak Gunung Mayit!
Andika menjentikkan jari.
"O, ya! Kau bilang tadi, terkena pukulan beracun"
Apakah pukulan itu mengakibatkan tubuh korbannya
menjadi membusuk?" tanya Pendekar Slebor pada Kakek Penjaga Makam. Dia ingin
menyakinkan dugaan
pada mayat yang ditemukan di dekat sumur.
"Dari mana kau tahu?" tanya Kakek Penjaga Makam, terperangah.
Andika tak peduli pada pertanyaan tadi.
"Lalu, kenapa kau tidak tewas?"
"Bangsaaat! Kau menyumpahiku, Anak Muda"!"
"Aku cuma ingin tahu!"
"Aku tidak mati, karena hanya aku yang diberikan penangkal pukulan itu oleh Guru
Besar!" Kakek Penjaga Makam mau juga menjawab.
"Kau bilang juga tadi, cuma Danji yang diwarisi pukulan itu. Tapi tadi katamu,
kau bukan dilukai
olehnya?" Untuk bagian ini, Kakek Penjaga Makam menjadi
bersemangat. Dia merasa mendapat dukungan Andika,
setelah sebelumnya ditentang Moja.
"Ya..ya..betul!"
"Lalu kau berpendapat Danji telah mendidik se-
seorang. Dan, muridnya itulah yang telah melukaimu?"
"Ya..ya..ya, betul! Betuuul!" wajah Kakek Penjaga Makam makin meriah. Diliriknya
Moja dengan sinar
mata mengejek. Sementara kedua orang tua itu bermain lirik-
lirikan, tubuh Andika malah mengejang. Dadanya ba-
gai disentak sesuatu. Dia ingat, Senta kini berada di puncak Gunung Mayit
bersama Danji. Sementara, si
pemburu batu pun tentu sudah pula ke sana. Kalau
benar Danji telah berkhianat dan si pemburu batu
adalah muridnya, maka Senta berada di ujung taring
maut! "Astaga! Aku harus cepat-cepat ke sana!" desis Pendekar Slebor.
Andika lantas menatap kedua orang tua di depan-
nya. "Kita harus ke Gunung Mayit, Orang Tua!" se-runya pada Moja dan Kakek
Penjaga Makam. "Aku tidak bisa.... Aku harus menunggu makam
ini!" semprot Kakek Penjaga Makam.
*** Gelegak lahar kawah Gunung Mayit nyatanya lu-
put memamah tubuh Kumbang Mata Tunggal. Lelaki
itu berhasil menguasai keseimbangan lagi. Sewaktu
tubuhnya berguliran menuruni lereng kawah, tangan-
nya membuat satu hentakan kuat. Dan hentakan itu
dimanfaatkan untuk membuat putaran tubuh, hingga
kakinya bisa menjejak pada tonjolan batu yang cukup kuat. "Fhuhhh....".
Kumbang Mata Tunggal membuang napas lega.
Bulir-bulir keringat sudah tercelup dalam gelegak lahar di bawah sana. Untung
cuma keringat. Coba kalau tubuhnya yang masuk ke cairan merah bara itu" Sulit
dibayangkan! Usai menenangkan diri, lelaki bermata satu itu
melanjutkan penyusuran mautnya. Kakinya menjejak
tonjolan demi tonjolan rapuh kembali. Satu demi satu.
Perjuangan lelaki ini tidak sia-sia. Akhirnya, dia
tiba juga di seberang lereng kawah. Bagian yang men-
cekung ke dalam ditengoknya. Rupanya, ada sebuah
gua kecil di dalam sana.
"Bagus! Tampaknya aku akan segera menda-
patkan batu itu!" pekiknya dalam hati.
Kumbang Mata Tunggal pun masuk.
Belum lama tubuh lelaki ini menghilang di mulut
gua yang setinggi setengah badan manusia, mendadak
saja.... Bekhr! "Aaa!"
Dari mulut gua kecil, tubuh Kumbang Mata Tung-
gal termuntah deras. Ada satu tenaga amat kuat yang telah menghempasnya demikian
kuat. Lelaki ini bukan orang sembarangan. Tingkat te-
naga dalamnya pun tidak diragukan. Maka kalau ada
tenaga yang berhasil melempar tubuhnya tak bedanya
kerikil, tentu tenaga itu berkekuatan luar biasa.
Kalau sebelumnya Kumbang Mata Tunggal masih
bisa menyelamatkan diri dari gelegak cairan merah ba-ra di bawah sana, kali ini
tidak! Tenaga dorongan itu terlalu hebat dalam mengendalikan arah luncuran
tubuhnya. Begitu melewati batas lereng, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk
mempertahankan nyawa.
Dan.... Blep, blep, blep!
Tubuh lelaki berhati busuk itu ditelan perlahan
oleh lahar menyala. Dia menjerit-jerit, meraung-raung.
Tapi manusia mana yang bisa meluputkannya dari
jemputan tangan maut"
Tak terlalu lama, beriring gemeritik daging ma-
tang, Kumbang Mata Tunggal tertelan permukaan ka-
wah. Di atas sana, pertarungan masih berlangsung
sengit. Kalau semula lelaki berambut panjang dike-
royok dua orang, kini justru Senta yang ditekan dua lawan sekaligus!
Benar kecurigaan Kakek Penjaga Makam, Danji te-
lah berkhianat. Lelaki pewaris Ilmu Pukulan Pembu-
suk Daging itu rupanya tergiur selentingan kabar tentang Istana Durjana.
Maka selama dua puluh tahun Danji merencana-
kan untuk mendapatkan batu terakhir! Langkah awal-
nya, diangkatnya seorang murid untuk membantu
menjalankan rencana.
Sang murid bernama Mutaka, anak seorang du-
kun ilmu hitam yang telah lama mati. Terpilihnya Mutaka menjadi murid, karena
anak itu mewarisi seba-
gian kekuatan ayahnya. Sejak muda, dia sudah men-
guasai beberapa kekuatan. Terutama, kekuatan batin.
Dengan kekuatan itu, Danji berharap suatu hari Mu-
taka berhasil melacak letak Istana Durjana.
Mutaka memang tak lain lelaki berambut panjang
yang kini membantu Danji dalam melenyapkan Senta.
Mendapat tekanan yang semula tak pernah didu-
ga, Senta tua jadi cepat terdesak. Di samping harus kerepotan menghadapi
terjangan-terjangan dua lawannya, harus pula menghadapi terjangan ketidakper-
cayaan pada perbuatan Danji di hatinya. Perhatiannya jadi tak terpusat. Dia
terus terdesak, terus tertekan.
Sampai.... Desssh! Satu tendangan lelaki berambut panjang telak
bersarang di ulu hati lelaki tua itu. Tubuhnya terje-rembab, lalu terseret ke
tepi kawah. Kalau saja tangannya tak sempat meraih tepian tebing kawah, tentu
akan langsung meluncur ke dalam kubangan besar lahar mendidih!
"Kenapa..." Kenapaaa kau lakukan ini, Danji?" ke-
luh Senta pada Danji.
Tubuh lemah orang tua itu menggelantung di teb-
ing kawah. Cuma satu tangan yang diandalkan untuk
menahan tubuhnya.
Danji mendekati tebing. Ditatapnya kakak sepergu-
ruannya dengan sinar mata dingin. Mutaka di sisinya..
"Kekuasaan, Senta.... Kekuasaan.... Dan Satu
lagi, keabadian! Guru tak bisa memberikan itu pada-
ku. Tapi Sang Durjana bisa!" kata Danji, mendesis.
"Kau tertipu, Danji! Tak ada satu makhluk yang bisa memberikan keabadian,
kecuali janji kosong!" lirih Senta. Nyawanya tak dipikirkan. Dia hanya tak
sampai hati menyaksikan saudara seperguruan yang sudah
seperti saudara kandung sendiri telah diperdaya tipu manis iblis.
"Itu menurutmu, bukan" Aku tetap percaya
Sang Durjana sanggup membuatku menjadi abadi dan
memberikan kekuasaan tak terbatas padaku.... Hsss,
hsss, hsss...."
Danji tertawa. Namun lebih mirip desis ular.
"Jadi, aku tak perlu minta maaf padamu, jika
aku harus membunuhmu, Senta. Karena kau telah
menghalangi jalanku...," desis Danji lagi. "Temuilah Guru di alam kubur!"
Danji segera menurunkan tangannya yang dili-
lit ular kecil paling berbisa ke tangan Senta. Jika bisa ular teratuk ke tangan,
lelaki itu akan mengalami sik-saan paling menyakitkan sebelum menemui ajal di
da- lam lahar panas yang menanti.
Danji rupanya telah benar-benar menjadi seku-
tu sejati Sang Durjana!
Sebelum sempat ular kecil itu mematuk tangan
Senta yang meregang menahan berat tubuhnya, seke-
lebat bayangan mencelat dari gua di seberang lereng:
Bayangan itu amat cepat bergerak ke arah dua
guru murid berhati busuk di atas Senta. Amat cepat, seolah hantu pencuri
hari.... Desh! Desh! "Wuaaa!"
Berbarengan, Danji dengan ular kecil di tangan
dan muridnya seketika terlempar deras ke tengah-
tengah kawah, Di udara mereka bergelinjang-gelinjang liar, meronta dari
panggilan mulut Gunung Mayit. Ta-pi, lagi-lagi tak seorang pun bisa lari dari
maut bila waktunya tiba.
Dan.... Bup, blup! Mereka tertelan lahar membara. Tubuh mereka
dimatangkan di sana, dengan gemeritik ramai men-
gawal lepasnya nyawa.
Senta menatap tertelannya dua wajah meregang
maut di bawah sana. Wajahnya pucat. Namun, hatinya
lebih pucat mengingat Danji telah mati sebagai manusia durjana!
Lamat-lamat, mata Senta menyaksikan sesosok
tubuh berdiri di antara layangan uap kawah. Berdiri di bagian yang mencekung
lereng kawah. Sosok berpakaian putih terang. Sosok yang dikenal sebagai, guru
besarnya.... Bagaimana dengan nasib Istana Durjana"
Tanpa sepengetahuan murid-muridnya, sang
Guru Besar dengan kesaktiannya telah menguruk
kembali kubangan amat besar, sehingga Istana Durja-
na terpendam kembali. Entah sampai kapan. Mungkin
bila ada sosok yang terhasut iblis durjana, istana itu akan muncul kembali.
Tepat ketika Pendekar Slebor dan Moja tiba di puncak
Gunung Mayit, Senta telah berhasil naik ke bibir kawah.
"Kau tak apa-apa, Pak Tua?" tanya Andika.
"Semuanya sudah berakhir, Anak Muda," sahut Senta.
"Mana Danji keparat dan muridnya?" susul Moja.
"Mereka terkubur di kawah bersama nafsu iblis
mereka...."
"Lantas, bagaimana kau bisa mengalahkan mereka, Pak Tua?" kali ini Andika agak
heran, sekaligus me-nyangsikan kemampuan Senta.
"Nanti sajalah kuceritakan di gubukku...."
Hanya itu yang terucap dari mulut Senta, lalu ber-
lalu dari tempat ini. Sementara Pendekar Slebor dan Moja mengikuti, setelah
saling berpandangan tak mengerti.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Aura PandRa


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara 21 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Hong Lui Bun 5
^