Pencarian

Istana Durjana 1

Pendekar Slebor 35 Istana Durjana Bagian 1


ISTANA DURJANA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam
1 Malam ini langit tak menampakkan keindahan-
nya. Jutaan bintang di angkasa tersaput gumpalan
mega kelabu. Arakan awan tambun merayap tersendat
memamerkan bentuknya yang menyebalkan, dan ju-
stru menghalangi keindahan yang mestinya terlihat.
Pada tanggal-tanggal seperti ini semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan
penuh. Sayangnya keharusan
itu tak selamanya berlaku. Karena, bulan purnama
bernasib sama dengan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa bila terjadi pa-
da setiap musim penghujan. Arakan awan pekat, uda-
ra dingin menggigit, gelap yang meraja, adalah hal biasa. Tapi, akan jadi tak
biasa bila nyatanya suasana seperti sekarang ini justru terjadi pada musim-musim
kering. Apakah ada yang tak beres dengan alam" Sebuah
pertanyaan yang sesungguhnya amat pantas diperta-
nyakan siapa pun dan oleh manusia dari mana pun.
Kecuali, seorang lelaki tua yang kini berjalan sendiri di satu dataran
kerontang. Lelaki tua itu berambut amat panjang. Hitam
bergelombang kasar. Ujung rambutnya hampir-hampir
menyentuh betis. Seperti tidak ingin sedikit pun memperlihatkan wajahnya, rambut
depannya dibiarkan
menjuntai liar.
Wajah orang ini bisa dibilang mirip suasana ma-
lam. Dingin, penuh kegelapan. Sepertinya memang
pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat,
seakan darahnya telah terperah sekian puluh tahun
lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti tanah di bawah kakinya. Malah,
terlalu tipis untuk bisa dikata-
kan memiliki bibir. Sepasang matanya selalu mele-
satkan pandangan menikam. Besar dan berwarna hi-
tam di sekujur kelopaknya.
Pakaian lelaki ini tak mengisyaratkan apa-apa,
kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam kelam panjang yang tergerai
begitu saja, seluruh tubuhnya tertutupi.
Di pusat dataran tandus yang dikepung bukit-
bukit tanah berpasir ini, lelaki itu memantek kaki. Di-am mengarca. Tangannya
menjuntai, tanpa kehendak.
Angin membekukan mengusik rambut dan pakaian-
nya. Sikapnya tetap tak peduli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada
suasana mencekam. Atau
bahkan seperti tak peduli pada diri sendiri.
Yang ingin dilakukan lelaki ini agaknya hanya
mendongak kaku-kaku ke angkasa, tepat mengarah
pada gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang
membiaskan cahaya tipis bulan. Wajahnya yang lurus
sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang me-
nonjol bengis. Jika ada yang melihatnya, maka akan sulit me-
nentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup.
Pada saatnya, gumpalan awan tambun mulai ter-
gebah angin. Perlahan-lahan awan-awan itu menying-
kir. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan
meneroboskan cahayanya, yang kemudian cahaya pu-
cat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat wajah si lelaki tadi.
Mendapati siraman cahaya bulan, lelaki ini seper-
ti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya napas dalam-dalam. Seakan dia
hendak menghirup rasa
dari cahaya bulan. Setelah bertahan beberapa saat,
barulah dadanya dihempos kembali. Seperti sebelum-
nya, dada lelaki itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup
lama pada bulan untuk menampakkan keindahan ca-
hayanya ke bumi. Waktu pun merayap. Lewat titik tengah malam, bulan bulat
perlahan-lahan ditelan bayangan. Bukan, bukan oleh awan. Tapi oleh Sang Batara
Kala. Gerhana tengah malam berlangsung.... Tepat ketika bulan tertelan penuh
oleh sang Batara Kala, lelaki tadi mendengking-dengking seperti seekor anjing
ter-siksa. Tubuh kurusnya tersentak-sentak, terhenyak ke belakang. Lalu, rubuh.
Matikah dia"
Tidak! Bukankah tidak pernah ada orang mati
yang dapat menggeser-geserkan tubuhnya pada tanah
kerontang" Ya! Sungguh mengherankan! Dengan
punggungnya, lelaki itu menyapu permukaan tanah
tandus. Tubuhnya merayap-rayap ke belakang, tak be-
danya ular ajaib yang berjalan telentang!
Setelah merayap dengan cara terlalu aneh, tubuh
lelaki itu berhenti di bagian lain dari dataran tandus.
Sejenak dia terdiam, kemudian bangkit mendadak se-
kali. Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak, lelaki ini sudah tersungkur
lagi. Tidak. Sesungguhnya tak tersungkur. Sengaja kedua lututnya dijatuhkan.
Selanjutnya dengan tangan yang berkuku panjang, dia mulai menggali, mengais,
mendongkel sarat kejalan-gan. Tingkahnya mirip anjing malam yang hendak
menggali pendaman tulang.
Caranya menggali lelaki ini tak lagi seperti manu-
sia biasa, Tangannya mengais amat kuat. Seakan, ada tenaga yang berasal dari
puluhan makhluk-makhluk
gaib dalam dirinya. Setiap kali tangannya mencakar
tanah, maka bongkahan besar tanah terhambur ke-
luar. Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk se-
macam kubangan kering besar pada dataran tadi. Le-
bar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan kedalaman tak kurang dari lima
depa! Di dasarnya mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggali si
lelaki berambut panjang di dasar kubangan terhenti
sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip. Bagai seorang yang memendam kerinduan
asing, diusap- usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di permukaannya. Bahkan
diciuminya benda itu
dengan garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, lelaki ini sudah
mulai mengais-ngais lagi. Sepertinya dia hendak mencoba mengeluarkan benda
menonjol tadi. Jika melihat bentuknya, masih sulit diduga ben-
da apa gerangan. Namun yang jelas bukan sekadar
benda biasa. Ukuran yang tampak sekarang pun bu-
kanlah ukuran sesungguhnya. Karena, benda yang
menonjol seperti batu tumpul di permukaan lubang
yang dibuat si lelaki kurus, sesungguhnya adalah
ujung stupa. Dan melihat corak serta ukiran yang ada, lelaki ini yakin kalau itu
adalah istana yang pernah hilang selama ratusan tahun! Bangunan yang dikenal
sebagai Istana Durjana!
"Ha ha ha ha...! Hanya dengan menyusun satu
batu bagian istana ini, guruku akan menjadi penguasa jagat yang tak pernah
mati!" pekik si lelaki kurus me-nyaingi sentakan petir. "Jadi, aku tinggal
mencari batu yang tertinggal dan tersimpan entah di mana...."
Ya! Lelaki. ini telah mendapatkan sesuatu yang
begitu meluapkan perasaannya!
Betapa tidak" Sebab, baru tiga hari yang lalu le-
laki ini bangkit dari tapa selama setahun lebih. Dari
tapanya di puncak Gunung Mayit, sesosok makhluk
yang tak tergambarkan wujudnya mendatangi. Dan di-
perintahkannya lelaki itu untuk menggali tempat yang kini sedang dikangkanginya.
Dalam mimpi dikatakan, lelaki ini akan mene-
mukan sebuah istana yang tak terlalu besar. Dan jika ia berhasil menyempurnakan
bangunan istana itu
dengan meletakkan batu terakhir ke tempatnya, maka
makhluk dari alam kegelapan akan memberi apa yang
diminta! Lelaki ini terus menggali, dan menggali Sampai
akhirnya tercipta sebuah kubangan sangat besar yang di tengah-tengahnya terdapat
bangunan megah yang
disebut Istana Durjana.
Sesungguhnya, bagaimana asal-usul Istana Dur-
jana" *** Konon ratusan tahun yang lampau, pernah hidup
seorang berhati amat kelam. Namanya Durja, seorang yang tak pernah puas pada
kehidupan. Dari hari ke
hari hatinya makin mengeras dan mengeras. Sampai
akhirnya, hatinya benar-benar bagai batu. Dalam di-
rinya yang ada hanya mimpi untuk berkuasa. Keingi-
nan untuk sepenuhnya menguasai manusia lain sela-
manya di dunia.
Durja sadar, dirinya tak bisa mewujudkan mimpi itu.
Maka jalan sesat diambilnya. Dia mencoba bersekutu dengan makhluk-makhluk alam
kegelapan. Iblis terkutuk diundangnya datang untuk memberi
padanya janji kekuasaan dan keabadian.
Iblis datang memenuhi undangan. Namun untuk
mengabulkan keinginan Durja, iblis meminta satu sya-
rat yang teramat berat bagi manusia mana pun di mu-
ka bumi. Durja diminta untuk membangun satu istana
untuk sang iblis dalam waktu dua purnama, menje-
lang matahari terbit.
Istana itu harus dibangun dari tumpukan batu
Gunung Mayit. Setiap batu, mesti dipindahkan Durja
dengan tangannya sendiri. Tanpa bantuan orang lain!
Namun bukan itu sesungguhnya yang tersulit. Selain
memindahkan batu gunung satu persatu lalu disusun
menjadi istana, Durja juga harus memandikan setiap
potongan batu dengan darah manusia!
Hati Durja memang sudah mati. Maka, persyara-
tan yang amat berat sekaligus mengerikan pun disetu-juinya. Dan mulai hari itu,
dia bekerja memindahkan sepotong demi sepotong batu Gunung Mayit. Dipindahkan,
lalu disusun di sebuah dataran amat kering
yang jaraknya memakan waktu setengah hari dari Gu-
nung Mayit. Setengah hari sisanya digunakan untuk
mencari darah manusia.
Sejak saat itu, desa-desa di sekitar Gunung Mayit
menjadi tidak tentram. Setiap hari selalu ditemukan seseorang menemui ajal
secara menggidikkan. Lehernya tergorok, sementara darahnya telah terperas habis.
Tak peduli lelaki wanita, tak peduli tua muda.
Hari berganti hari. Setiap hari, istana persemba-
han Durja pada iblis laknat makin memperlihatkan
bentuknya. Sepanjang itu pula, korban terus berjatu-han. Penduduk sendiri tak
pernah tahu, siapa yang telah melakukan perbuatan keji di tempat mereka, Dari
hari ke hari mereka terus dihantui ketakutan. Bila sore terpuruk dan malam
menjelang, semua penduduk
mengunci diri di rumah masing-masing. Namun begi-
tu, tetap saja ada korban untuk yang kesekian.
Benak mereka mulai menerka-nerka kalau semua
kekejian itu adalah kerja semacam dedemit. Makhluk
halus yang meminum darah manusia!
Hari terus bergulir. Purnama kedua telah hampir
tamat. Sementara Durja terus menyempurnakan ista-
na persembahannya. Sedangkan penduduk makin tak
sanggup menghadapi ketakutan. Satu demi satu, ke-
luarga demi keluarga di desa-desa sekitar Gunung
Mayit akhirnya mengungsi ke daerah lain. Mereka tak peduli bila mesti berjalan
sejauh apa pun. Tak juga di-pedulikan rintangan yang harus dihadapi selama
perjalanan. Yang mereka inginkan hanya secepatnya me-
nyingkir dari desa.
Menjelang satu hari sebelum purnama kedua, se-
luruh desa di sekitar Gunung Mayit benar-benar men-
jadi desa mati. Tak ada kehidupan di sana. Mereka
semua telah pergi meninggalkan onggokan-onggokan
sisa kehidupan.
Durja sendiri pada saat itu nyaris menyelesaikan
kerja laknatnya. Tinggal tersisa batu terakhir yang harus ditempatkan di bagian
pintu istana kecilnya.
Malam nanti adalah purnama kedua. Tadi Durja telah
mendapatkan bongkahan batu terakhir dari Gunung
Mayit. Berarti malamnya, dia harus segera berangkat ke desa terdekat. Hatinya
sudah tak sabar untuk me-nyiramkan darah pada batu terakhir, seperti tak sa-
barnya menantikan janji Iblis Durjana. Terbayang sudah di benaknya kekuasaan tak
terbatas dan keaba-
dian baginya. Dia akan menjadi raja di raja dunia.
Menjadi penguasa tak terbantah!
Bayangan di benak lelaki ini terberangus ketika mendapati desa sudah tak
berpenghuni lagi. Padahal, belum lama dia masih sempat membantai seorang bocah
kecil untuk diambil darahnya!
Durja mencoba menghibur diri. Kalau desa ini
tak ada, pasti desa yang lain masih berpenghuni. Begitu pikirnya. Segera dia
pergi ke desa sebelah. Nya-
tanya, di sana tak juga ditemuinya seorang pun. Juga, di desa-desa lain yang
berada di sekitar Gunung Mayit.
Durja menjadi gusar teramat sangat. Dia harus men-
dapatkan darah manusia sebelum pagi menjelang. Jika ayam jantan berkokok dan
darah belum didapat, maka
hancurlah harapannya. Iblis telah memberinya batas
waktu hanya sampai matahari membuka cahaya di
ufuk timur di purnama kedua!
Dengan kegusaran meletup-letup, Durja pergi ke
desa yang lebih jauh dari Gunung Mayit. Lelaki ini
memang berhasil mendapatkan darah manusia. Seo-
rang petani desa yang pulang kemalaman telah diter-
kamnya dari belakang.
Tergesa-gesa, Durja kembali ke tempat istana per-
sembahan. Sampai di sana, ternyata matahari telah
tercukil ke angkasa. Sinarnya menerobos mata Durja, seperti hendak mengoyak isi
kepalanya! Durja menjerit-jerit sejadinya. Dia telah gagal.
Sementara, perjanjian dengan iblis terkutuk telah tergurat. Bukanlah kekuasaan
dan keabadian yang dida-


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat, tapi malah kematian! Sehimpun lidah petir yang ganjil di tengah hari cerah,
mendadak menghantami
tubuhnya, tepat di saat tangannya hendak menyiram-
kan darah manusia ke batu terakhir.
Durja mati seketika. Sambaran petir bertubi-tubi yang menghantami tubuhnya tak
berhenti meski lelaki ini
sudah tersungkur tanpa nyawa. Petir baru menghilang, manakala tubuhnya sudah
tuntas menjadi hangus.
Abu jenazahnya tersapu angin ke mana-mana.
Sekitar tiga ratus tahun berlalu sejak peristiwa
itu, Gunung Mayit mendadak meletus. Lahar panas
mengalir merajalela. Istana persembahan Durja pun
terkubur. Sementara, batu terakhir yang tersisa, konon ditemukan oleh seorang
laki-laki berilmu tinggi, yang mengerti sejarah Istana Durjana. Dengan alasan
akan terjadi malapetaka bila batu itu terpasang di Istana Durjana, maka dia
menyimpannya di suatu tem-
pat yang tersembunyi.
*** Di sebuah telaga yang letaknya tak begitu jauh
dari Gunung Mayit, seorang perempuan sedang asyik
menjala. Usianya memang tidak muda. Mungkin sudah
memasuki usia kepala empat. Meski begitu, bukan be-
rarti wajah dan tubuhnya tidak menarik lagi. Wajah-
nya justru memancarkan kecantikan yang berkesan
matang. Dan tubuhnya yang terbungkus pakaian me-
rah jambu begitu berisi. Potongan pinggangnya padat dengan pinggul molek.
Kulitnya agak kecoklatan. Bisa jadi karena sering tersengat matahari.
Telah beberapa kali perempuan itu melempar jala
ke telaga, kemudian menariknya. Cara memainkan ja-
lanya tak seperti cara seorang nelayan biasa. Perempuan berambut ikal mengembang
sepunggung itu bu-
kan saja sangat lihai, tapi juga amat memukau orang awam.
Ketika melempar jala, perempuan ini menjentik-
kan satu bandul pemberat disalah satu jala. Kekuatan jentikan jari halus yang
terlihat remeh, ternyata sanggup membuat jala besar tadi membentang lebar-lebar
di udara. Sebentar benda itu melayang dalam gerak
berputar, selanjutnya menyergap permukaan air tela-ga! Pyarrr...!
Sementara untuk menariknya, perempuan itu
menyentak ujung jala seketika. Itu pun dilakukannya hanya dengan menggerakkan
jari telunjuk! Dari bawah permukaan telaga, jala seperti hendak mencuat ke
langit. Air bertebaran tak karuan. Tepat ketika jala tadi melayang di atas,
telunjuk perempuan ini membuat
sentakan kembali. Maka, jala pun jatuh tepat di lambung perahu bersama puluhan
ikan air tawar yang
menggelepar-gelepar tentunya!
Dari caranya menjala, agaknya perempuan itu
memiliki kepandaian tak sembarangan. Paling tidak,
berada beberapa tingkat dari orang-orang dunia persilatan kalangan bawah.
Begitu matahari condong sepenggalan, ikan yang
didapat sudah cukup melimpah. Sambil melihat hasil
tangkapannya, perempuan itu menyeka peluh dengan
ujung tangan baju.
"Kurasa cukup," katanya pada diri sendiri.
Si perempuan berpakaian merah jambu meletak-
kan jala di sudut perahu kecil. Dijemputnya kayu besar yang sejak tadi tergolek
minta disentuh tangan molek. Perlahan, dikayuhnya perahu kecil itu ke tepian.
"Mau ke mana kau"!" hardik seseorang yang tiba-tiba telah berada di tepian
telaga, Suaranya terlalu berat berdegam untuk seorang berusia muda.
Wanita tadi mengangkat kepala. Disaksikannya
seorang lelaki tua. Tak ada kumis, jenggot, rambut, bahkan sekadar alis di wajah
keriput yang memucat.
Dengan pakaian putih mengabur sepucat wajahnya, le-
laki tua itu menaikkan pangkal hidung. Kemarahan
diperlihatkan dari caranya mendengus.
Tiba-tiba, lelaki tua berpakaian putih kusam itu
melompat ringan. Jarak yang cukup jauh antara tepian telaga dengan perahu,
dilaluinya hanya dua lompatan.
Sekali kakinya menyentak permukaan air, lalu melenting kembali seperti seekor
burung camar menyambar
ikan. Usai berjumpalitan, tangan si tua berpakaian putih itu melepaskan ikatan
kain panjang dari pinggang.
Masih di udara, dilepaskannya satu lecutan tajam ke kepala perempuan di perahu.
Ctar! Dari bunyi dan angin yang tercipta, terlihat jelas tenaga dalam yang terbawa
bersama lecutan kain tadi begitu tinggi. Jika ada sebongkah batu sebesar kerbau
melayang di depannya, bisa dipastikan saat itu juga akan hancur lebur berkeping-
keping! Kepala si perempuan di atas perahu tentu tak se-
keras batu. Dia sadar akan hal itu. Maka harus dilakukan tindakan segera untuk
menyelamatkan batok
kepalanya. "Heaaa!"
Teramat gesit, si perempuan di atas perahu ber-
jumpalitan ke belakang. Di ujung perahu kakinya
hinggap bertengger sebentar. Dan dengan tangkas tangannya meraih ujung jala.
Wishhh! Tepat ketika jarak lecutan kain putih lelaki tua
yang menyerangnya tinggal berjarak dua jengkal lagi, jala perempuan itu
menyongsongnya.
Slet! Dua benda itu seketika saling pagut. Pada saat
bersamaan, perempuan di atas perahu menyentak
ujung jala. Bettt! Seketika itu juga terdengar bunyi kebatan kain
putih milik lelaki tua di udara. Menyusul, tersentaknya tubuh si lelaki tua ke
arah perahu. Luncuran deras
tubuhnya ternyata disambut perempuan berpakaian
merah jambu dengan satu tendangan kaki kanan lurus
ke depan. Deb! Dada si lelaki tua terancam.
Tapi dengan sangat mengagumkan, orang tua berpa-
kaian putih ini hanya membuat sedikit sentakan di
udara. Luar biasa! Dia telah memanfaatkan udara di
bawah telapak kakinya untuk menyentak tubuhnya ke
atas! Dengan begitu, terlihat betapa tinggi tingkat ilmu meringankan
tubuhnya.... Hebatnya lagi, kaki orang tua itu hinggap di betis
lawannya. Tep! "He he he! Kemajuanmu boleh juga, Seruni!" puji si orang tua, masih di atas kaki
perempuan tadi.
Tanpa berniat menurunkan kaki kanannya cepat-
cepat, bibir perempuan yang dipanggil Seruni terse-
nyum. "Terima kasih, Guru!" ucapnya seraya menarik kakinya.
Orang tua berpakaian putih yang ternyata gu-
runya sendiri hinggap di atas perahu.
"Ayo cepat kayuh perahu ke tepi! Kita harus membakar ikan untuk makan siang.
Tamu-tamu kita sudah
menunggu dengan. perut keroncongan di gubuk!" perintah lelaki tua seraya membuat
berang wajahnya.
Seruni hanya bisa tertawa sambil mendekati
kayuh. *** 2 Aduh Emak..., aduh Bapak... Langit bumi menga-
barkan tangisnya
Di hulu tiap pergantian hari...
Senandung enteng meluncur dari mulut seseorang di jalan setapak. Seperti tanpa
beban di wajahnya,
orang itu melenggang seringan senandungnya. Utara
tujuannya. Apa yang hendak dilakukan di sana, cuma
dia yang tahu. Dia seorang pemuda, berambut gondrong tak ber-
tata. Garis wajahnya mengisyaratkan kejantanan den-
gan mata sembilu dan alis menukik. Pakaiannya hijau pupus. Sementara dada bidang
dan bahu kekarnya
tertutup kain bercorak catur.
Diselingi siulan, si pemuda meneruskan senan-
dungnya. Langit tangisi bumi,
bumi tangisi diri
Sebab disini, kian banyak terkapar
Mata hati yang terjangkit... E, copot-copot!
Senandung penuh hikmah si pemuda diakhiri kalimat yang tak mengenakkan telinga,
ketika kakinya tersandung sesuatu. Pemuda tampan tapi berpenampi-
lan sembarangan itu mencak-mencak sambil menyem-
burkan makian pedas tak terperikan.
"Sompret! Mentang-mentang bumi luas, tidur
sembarangan saja!" rutuknya pada seseorang yang ba-ru saja mengusik langkahnya.
Orang itu terbaring pulas sembarangan di pinggir
jalan setapak. Kakinya melintang sembarang pula.
Si pemuda berpakaian hijau pupus tak bisa men-
genali orang yang terpulas. Karena tidurnya tertelungkup. Yang terlihat hanyalah
pakaian berwarna kuning dari bahan yang tergolong mewah.
Menilik penilaiannya, si pemuda berpakaian hijau pupus mau tak mau menjadi
heran. Orang yang tidur pu-
las ini jelas dari kalangan berada. Setidak-tidaknya, bangsawan yang sanggup
membeli pakaian dengan
bahan yang dipakainya. Kalau benar dia bangsawan,
kenapa tidur seenaknya di jalan berdebu" Sungguh itu sesuatu yang di luar
kebiasaan kaum berada.
"Hei, Saudara!" tegur si pemuda agak sengit. Tak terlihat orang yang
tertelungkup hendak menanggapi
teguran si pemuda.
"Saudara!" ulang si pemuda sedikit dongkol. Memang, kaum bangsawan banyak yang
bertingkah memuakkan. Mereka sering tak menganggap pada orang ba-
wah. Mentang-mentang bisa hidup lebih baik dari yang lain! Karena jengkel, si
pemuda menyepak kaki orang tertelungkup tadi.
Pak! Sekali.. Kedua.. Sampai ketiga kali, orang itu tetap tak bergerak. Sudah aneh
seorang bangsawan berbar-ing sembarangan, tambah aneh lagi kalau sudah dis-
epak tiga kali tetap tak bergerak.
Si pemuda mulai curiga.
"Jangan-jangan...," bisik si pemuda menduga-duga, seraya berjongkok. Dengan
tangannya dibalik-
kannya tubuh orang tadi.
Sekarang persoalan jadi jelas. Orang itu memang tidak pernah berniat tidur
sembarangan di pinggir jalan. Lebih dari itu, dia 'tertidur' untuk selamanya!
Mati den- gan amat mengerikan. Sekujur tubuh bagian depan,
dari kaki sampai wajah, membengkak biru legam se-
perti digilas sesuatu. Wajahnya sudah sulit dikenali.
Bahkan hidung dan bibirnya sudah tak berbentuk lagi, karena kulitnya sudah
kelewat menggelembung!
Mual seketika memutar-mutar perut si pemuda
berpakaian hijau pupus. Bukan cuma keadaan si
mayat yang sudah demikian menjijikkan, juga karena
dari bagian yang membengkak keluar bau busuk me-
nyengat! "Biang monyet!" maki si pemuda seraya cepat membalikkan kembali tubuh mayat
tadi. Pemuda tampan ini cepat berdiri. Kakinya mundur
beberapa langkah.
"Apa yang terjadi padanya?" bisiknya setelah agak jauh. Si pemuda seperti
berpikir sejenak. Ditelitinya segenap tempat itu. Tak ada secuil pun sesuatu
yang mencurigakan. Cuma ada sebuah sumur. Bentuknya
tidak berbeda dengan sumur biasa, dibangun dari be-
ton. Lucunya, sumur itu dikelilingi pagar besi berukir.
Padahal, untuk apa dipagar kalau dibuat di tempat
terbuka seperti itu" Bukankah sumur di tempat terbu-ka, biasanya dibuka untuk
para petualang yang ke-
hausan di jalan" Lagi pula, apa gunanya dipagari besi mahal" Dia jadi tak habis
pikir. "Sumur kok diperlakukan seperti kuburan!"
Karena begitu penasaran, anak muda itu mencoba
meneliti. Ditengoknya juga mulut sumur, setelah me-
lompati pagar besi mewah tak berpintu. Di dalam sana tak ada apa-apa. Seperti
sumur biasa, bau tanah. Cu-ma tak ada air di dasarnya.
Mau tak mau si anak muda jadi garuk-garuk ke-
pala. Selanjutnya bahunya mengedik. Bibirnya menci-
bir. "Kenapa pusing-pusing memikirkannya. Nanti ju-ga aku tahu!" tukasnya
enteng. Si pemuda pun melanjutkan langkah. Melan-
jutkan senandungnya pula.
Kini, pemuda berbaju hijau pupus ini sampai di
dekat sebuah gubuk cukup besar di bahu bukit sebe-
lah telaga. Hidungnya langsung kembang-kempis tak
karuan, mencium aroma ikan panggang. Dengan sedi-
kit mengendus-endus, hendak dipastikan apakah bau
mengundang perutnya itu berasal dari gubuk.
Melihat asap tipis putih melayang di atap gubuk,
pemuda itu semakin yakin ada orang yang sedang ber-
pesta panggang ikan di sana. Dan perutnya pun ber-
kukuruyuk, menghasutnya untuk mendatangi gubuk
itu. "Mudah-mudahan ada sepotong ikan bakar besar yang sudi menjadi penghuni
perutku.. Nyam, nyam!"
seloroh pemuda ini seraya mengeluarkan kecapan.
Si pemuda kian mendekat, lalu mengetuk pintu.
Tok.... Tok.... tok....
Karena terlalu dipengaruhi 'seradak-seruduk' cac-
ing dalam perut, ketukan si pemuda jadi terlalu kencang. Malah, terdengar
seperti hendak membegal.
"Siapa"!" tanya suara di dalam. Suara orang tua.
"Aku.. Seorang pengelana!" sahut si pemuda.
"Apa maksudmu datang ke gubuk ini"!"
"Lapar! Eh! Anu..., maksudku, aku hendak num-
pang berteduh di tempatmu. Apa boleh?"
"Tentu saja boleh!"
Sahutan terakhir dibarengi dengan terbukanya
pintu gubuk. Tampak orang tua berpakaian putih
muncul. "Ayo masuk, Anak Muda!"
Si pemuda masuk. Di dalam sana, terlihat sudah
banyak orang berkumpul. Ada sekitar tiga orang du-
duk membentuk setengah lingkaran dekat tungku pe-


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manas gubuk yang dijadikan tempat membakar ikan.
Satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun berpakaian
merah jambu. Dia tak lain dari Seruni. Semuanya duduk pada bangku kecil pendek
tanpa penyanggah punggung.
"Waduh.... Sudah banyak yang antri. Kira-kira, apa aku akan kebagian jatah?"
kasak-kusuk hati si pemuda.
"Jangan berdiri saja seperti itu, Anak Muda! Ayo bergabung!" ajak lelaki tua,
berpakaian putih, guru Seruni. Didahuluinya pemuda berbaju hijau pupus me-
nuju kumpulan. "Berapa ikan yang dibakar?" tanya pemuda berpakaian hijau pupus tanpa malu-malu.
Biar saja diang-
gap muka tembok. Yang penting, tak kelaparan. Den-
gan mulut terus mengecap-ngecap, didekatinya orang-
orang yang berkumpul itu.
Di antara mereka, hanya Seruni yang begitu ber-
minat mengawasi wajah sang tamu muda. Tampan ju-
ga, bisik hati Seruni. Dia tahu, usianya tentu terpaut lebih tua beberapa tahun
dari pemuda itu. Tapi, usia toh tak akan pernah menjadi kendala bagi
ketertarikan hatinya.
Sewaktu mendapati mata bergaris tegas berkesan
tegar si pemuda, Seruni merasakan desir halus di dadanya. Mata itu demikian
menggetarkan! Hanya di da-
lam hati Seruni bisa berkata.
Lain yang sungguh-sungguh memperhatikan, lain
juga orang yang diperhatikan. Entah sadar atau tidak kalau sedang diperhatikan
seorang wanita matang
mempesona, pemuda berambut gondrong justru mulai
sibuk menghitung ikan bakar.
"Satu, dua, tiga..., sembilan, sebelas. Wah, banyak juga! Mujair besar itu boleh
buatku"!"
Seruni tersenyum. Rasanya, sulit dipercaya me-
nyaksikan seorang pemuda yang tak hanya tampan
tapi gagah ternyata mempunyai sikap rada memalu-
kan. "Silakan!" guru Seruni menjulurkan telapak tangannya menuju ikan-ikan
bakar. Pemuda berpakaian hijau pupus lantas saja me-
nyambar mujair besar yang sudah diincar-incarnya.
Acuh saja! Tak perlu heran. Karena, dia memang salah seorang paling acuh di atas
jagat.... Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor"!
"Sebenarnya, siapa yang tengah disunat sehingga kalian berkumpul seperti ini?"
Didahului sendawa santer seenaknya, Pendekar
Slebor yang mempunyai nama asli Andika bertanya
pada lelaki tua berpakaian putih. Anak muda itu cuma mau berbasa-basi dengan
orang-orang yang telah begitu baik padanya. .
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah
kami tahu siapa namamu" Juga, julukanmu jika kau
punya?" tanya lelaki tua, guru Seruni .
Andika cengengesan. Dia paling tak suka kalau ju-
lukannya dikutak-kutik.
"Namaku Andika...," akunya. Sementara, julukannya tak ingin disebutkan.
"Kau orang persilatan, bukan?" cukil guru Seruni lagi. Andika cengengesan lagi.
Mau berbohong tak terlalu pandai. Mau menjawab, nanti-nantinya malah
akan didesak untuk menyebutkan julukannya. Ja-
dinya, memang serba salah.
"Jadi kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Andika, berusaha mengalihkan
persoalan. Guru Seruni mengalah. Lelaki tua berbaju putih
ini cukup maklum tamunya tak ingin diketahui lebih
jauh. Khususnya, soal julukan. Di dunia persilatan, julukan terkadang
mempengaruhi sikap seseorang pada
yang lain. Orang persilatan seringkali menyanjung berlebihan, jika seseorang
memiliki julukan besar. Sikap mereka terkadang terlalu merendah, kalau tahu nama
besar orang itu. Golongan hitam akan mengangkat-
angkat tokoh berpamor hebat yang berdiri di golongan mereka. Golongan putih pun
sering kali terjebak pada hal seperti itu. Dan pemuda ini nampaknya tak begitu
suka. Begitu pikir guru Seruni.
Lelaki itu melirik yang lain, meminta pertimban-
gan. Tampak sekali dia tak mau sembarangan membi-
carakan alasan berkumpul. Apalagi, pada seorang ta-
mu yang tak dikenal.
Selain Seruni, lima lelaki lain tampaknya tak setu-
ju Andika tahu urusan mereka. Guru Seruni bisa me-
nyimpulkan itu dari isyarat garis wajah mereka.
"Sayang sekali, Anak Muda. Kami tak bisa menga-takannya padamu...," sesal guru
Seruni. Dari hanya berbasa-basi, Andika malah jadi be-
nar-benar penasaran. Apa-apaan" Masa memberitahu
alasan berkumpul saja pelit sekali" Pasti ada sesuatu yang disembunyikan! Pasti
ada sesuatu yang amat
penting, sehingga mereka harus bersikap hati-hati! Ha-ti anak muda dari Lembah
Kutukan itu berkecamuk.
Apa akalnya supaya mereka mau buka mulut"
Mereka rata-rata berusia lebih tua. Tiga lelaki itu berusia paling tidak sekitar
tujuh puluhan. Termasuk, guru Seruni. Cuma Seruni yang berusia empat puluhan.
Kalau orang-orang tua seperti mereka sedikit diusili, apa
nanti tidak kualat" Bisik hati Andika. Pikiran urakannya mulai menjangkit.
Ah, peduli setan!
"Wadoo, wadoo, wadooo...!" Mendadak sontak anak muda brengsek itu menjerit-jerit
kalang-kabut. Tangannya mendekap perut kencang-kencang, seolah-
olah isi perutnya, hendak ditahan agar tidak brojol!
"Kenapa, Anak Muda"!" sentak guru Seruni kaget.
Mata keriputnya membeliak.
"Ada yang telah meracuni ku! Ada yang telah meracuni ku!" erang Andika dengan
wajah dibuat seme-melas mungkin. Raut wajahnya seribu kali lebih me-
nyedihkan daripada seorang perempuan tua yang ter-
lambat melahirkan. Bayangkan!
Yang lain, ikut kaget. Mereka saling menoleh. Saat
itu juga mulai terbersit kecurigaan di mata masing-
masing antara satu dengan yang lain.
Dalam hati, Pendekar Slebor cekikikan. Perutnya
jadi mulas sungguhan, karena terlalu menahan tawa
yang hendak meledak saat itu juga.
Karena keempat orang itu hanya saling melirik,
Andika merasa harus memperseru sandiwaranya. Ba-
dannya segera disentak-sentakkan seperti kuda lump-
ing kerasukan. Bola matanya mendelik dengan warna
hitam melejit-lejit ke atas. Makin gila dia!
"Kalian..., ugh!" bual Andika meyakinkan sekali.
"Kkkh..., kalian kenapa begitu tega meracuni ku" Apa salahku" Ap..., ap...."
Andika megap-megap. Persis seperti ikan mujair
besar yang sudah menjadi penghuni perutnya..
"Ap..., apa hanya karena aku dianggap terlalu banyak ta... tahu, sehingga kal...
kal, ugh! Kalian hendak menyingkirkan ak..., ku?"
Sambil terus sungsang-sumbel menahan geli, An-
dika pura-pura terhuyung limbung. Sebentar lagi, dia pura-pura tak sadarkan
diri. Kalau sudah begitu, dia ingin tahu apa tanggapan mereka. Dalam keadaan
saling curiga, biasanya kegusaran yang bakal mencuat.
Kalau mereka semua gusar, biasanya bicara pun ser-
ing tak terpikirkan. Mudah-mudahan mereka akan
mengocehkan rencana secara tak sadar saat saling
tuding. Dan Andika makin geli.
Bruk! Andika menjatuhkan tubuhnya. Biar lebih terlihat
sungguh-sungguh, sengaja badannya dijatuhkan ke-
ras-keras. Sakit sedikit tidak apa-apa, yang penting rencananya berhasil.
Bibirnya meringis, tetapi yang penting hatinya puas.
Perangkap Andika mulai mengena. Orangtua ber-
pakaian putih terdengar mendengus.
"Ada apa sesungguhnya ini" Apakah di antara kita telah ada yang lancang main
hakim sendiri?" desisnya dengan mata merah terbakar. Ditatapnya dua lelaki
tua sebayanya, seakan ingin menyudutkan. Bahkan
muridnya sendiri, Seruni.
"Guru menuduhku?" tukas Seruni, tersinggung melihat tatapan gurunya.
"Kau pun mencurigai aku, Senta!" tukas orang tua berjubah serba merah. Ucapannya
tak begitu jelas.
Terdengar bagai desisan ular yang melilit di tangan kanan.
Sementara orang tua berpakaian hitam terus me-
mainkan dua bola baja di tangannya. Biar pun terlihat tenang, wajahnya tak bisa
menyembunyikan kegusaran..
"Jadi, apa maksudnya?" desak orang tua berpakaian putih yang dipanggil Senta.
"Apa maksudmu"!" ledak orang tua berpakaian ke-
lam. Daya tahan kesabarannya hanya sampai di situ.
"Aku tahu, kita sedang menghadapi persoalan besar. Tapi, bukan berarti aku
menghalalkan kalian berbuat sekehendak hati dengan meracuni anak muda tak
berdosa ini!" hardik Senta bertekanan, berkekuatan.
"Hei"! Kau sudah kelewatan, Senta! Aku memang
tidak setuju anak muda ini mengetahui masalah besar yang sedang kita hadapi.
Tapi, bukan berarti aku akan tega meracuninya!" sangkal orang tua berpakaian
hitam. Kalimatnya menyerocos lancar seperti ada mercon dalam mulutnya.
Diremasnya geram-geram dua bola
baja di kedua tangannya. Ditantangnya tatapan mem-
berangus Senta.
"Jadi siapa?" desis Senta, terseret "Siapa yang telah lancang meracuni anak muda
ini"!"
Kalimat Senta tua menanjak tajam. Urat lehernya
menggelembung, menahan kegusaran.
"Yang jelas bukan aku," tandas orang tua berjubah merah. Tetap dengan suara
terdengar samar men-
desis. "Aku belum mengatakan kau yang melakukannya,
bukan" Kenapa tiba-tiba merasa harus membela diri, Danji?" desis Senta.
Kecurigaannya beralih pada Danji, orang tua berpakaian merah.
Danji tua tergelak. Mungkin hanya saat tertawa
suaranya jelas terdengar.
"Kau benar-benar tak waras, Senta! Jangan men-
tang-mentang aku ahli dalam racun, tiba-tiba kau seenaknya menuduhku. Persoalan
terbongkarnya Istana
Durjana adalah tanggung jawabku. Tanggung jawab ki-
ta. Kita sama-sama tahu, ada orang yang berhasil me-nemukannya. Orang itu akan
amat berbahaya jika te-
lah menempatkan batu terakhir yang hilang ke tem-
patnya. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa anak
muda ini orangnya...," desisnya berliku-liku.
"Kau jangan mencoba mengelak dari tanggung ja-
wab, Danji! Mengakulah! Kau mencurigai anak muda
ini sebagai orang yang telah menemukan Istana Durja-na. Kau merasa harus
membunuhnya, karena kau be-
gitu takut...," Senta kian memojokkan.
Danji terbahak lagi. Ada bara kegusaran yang di-
tahan-tahan pada kerut wajah dengan tawanya.
"Katakan padaku, bagaimana aku mencurigai
anak muda ini sebagai orang yang telah menemukan
rahasia tempat Istana Durjana" Apakah dia memperli-
hatkan tanda-tanda mencurigakan?" kelit Danji.
Sekarang, ganti Senta yang tersudut. Danji tua
memang benar. Tak ada secuil pun yang bisa dicurigai pada diri pemuda berpakaian
hijau pupus. Tidak wajah tampannya yang lebih banyak memperlihatkan ke-
tololan, tidak sifatnya. Juga, tidak ada benda-benda dari Istana Durjana yang
dibawanya. Jadi, tak ada kemungkinan bagi siapa pun di antara mereka yang bisa
mencurigai si pemuda.
"Ukh! Ukh! Ukh!"
Kecamuk kekalutan Senta diberantas habis seke-
tika manakala, pemuda 'biang kerok' di lantai gubuk, terbatuk-batuk.
"Debu sial! Kalian pasti tak pernah membersihkan lantai gubuk ini!"
Kedok pemuda brengsek itu mesti dibuka seka-
rang! Kepepet! *** 3 Danji adalah lelaki tua berperawakan aneh untuk
seorang berusia lanjut seperti dia. Kesan yang paling lekat adalah lehernya yang
terlalu pendek. Bukan karena gemuk. Badannya justru cenderung kurus. Di
lain sisi, tulang dadanya malah terlalu mencembung
keluar. Dengan begitu, dagunya menjadi rapat dengan dada. Untuk menoleh sedikit
saja, mau tak mau harus memiringkan badan. Namun, di antara yang lain, di-alah
yang paling pendek.
Untuk wajah, Danji tak terbilang istimewa. Paras-
nya bahkan terbilang terlalu kampungan.
Keanehan lain, tangan Danji tak pernah lepas dari
seekor ular pohon berbisa berwarna hijau terang.
Binatang itu selalu melilit di pergelangan tangan
kanannya seperti gelang hidup.
Danji sebenarnya termasuk salah seorang tokoh
persilatan yang menguasai berbagai jenis racun. Terutama, segala jenis racun
ular berbisa. Meski wajahnya tak mirip ular, giginya justru seperti taring
seekor ular sendok. Begitu akrabnya Danji dengan berjenis-jenis ular, tak heran
kalau dunia persilatan menjulukinya Moyang Ular.
Orang tua ini sangat jarang berbicara. Rupanya
dia sadar, suara dan ucapannya tidak jelas terdengar.
Orang sering kali menganggapnya sedang berdesis ke-
tika berbicara.
Danji adalah adik seperguruan Senta, guru Seru-
ni. Di samping Danji, Senta memiliki adik bungsu seperguruan. Namanya, Moja.
Orang tua ini senang
mengenakan pakaian kelam.
Usia Moja lebih muda empat tahun daripada Dan-
ji. Perawakannya tak ada yang menarik. Biasa-biasa
saja. Wajahnya berkerut, berhias jenggot tipis kemera-han seperti serabut
jagung. Yang menarik perhatian dari Moja justru sifat dan
kebiasaannya. Mulutnya terlalu cerewet. Apa saja yang tidak disukai akan
diceletukinya. Seperti juga jika sedang menyenangi sesuatu.
Kalau Moja berbicara, maka mulutnya akan meli-
lit-lilit simpang-siur. Pantasnya dia adalah seorang nenek-nenek yang mulutnya
disumpal sirih!
Kebiasaan aneh dan satu-satunya hanya memain-
kan dua buah bola baja di tangannya. Sebentar bola-
bola itu dipilin-pilin dengan telapak tangan. Di lain waktu, dilempar-lemparnya.
Di waktu lain, dibentur-benturkannya hingga menimbulkan bunyi menyebal-
kan. Senta, Danji, dan Moja semasa muda dikenal se-
bagai Tiga Penunggu Telaga Larang. Sebuah telaga
yang berada tak jauh dari gubuk mereka. Menurut ce-
rita, batu terakhir Istana Durjana terlempar ke telaga ketika terjadi letusan
Gunung Mayit. Guru mereka menugasi ketiga tokoh tua untuk
menjaga agar tak ada seorang pun yang mengambil ba-
tu dari dasar telaga. Jika batu ditemukan dan dapat ditempatkan kembali ke
bagian lowong Istana Durjana, kiamat dunia persilatan akan segera terjadi!
Iblis akan memiliki kesempatan untuk membuka
gerbang kekuatan gelapnya, dan mengambil seorang


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia berhati mati untuk dijadikan penguasa keba-
tilan, sebagai wakil iblis di bumi.
Seruni yang telah mendapat gemblengan matang
dari ketiga lelaki uzur itu, nantinya akan meneruskan tugas Tiga Penunggu Telaga
Larang. Dan ketika mengetahui ada seseorang telah ber-
hasil menemukan letak Istana Durjana, mereka pun
segera mengatur pertemuan guna membicarakan ma-
salah teramat besar yang siap menerkam dunia persi-
latan! "Siapa kau sebenarnya" Kau pasti telah menipu
kami dengan bualan tengik mu!" maki Moja sengit, begitu menyadari mereka baru
saja 'dikadali' Pendekar Slebor.
Andika bangun dari pingsan buatannya. Bibirnya
cengar-cengir menyebalkan.
"Kalau kalian menghadapi masalah besar yang
menyangkut nyawa banyak orang, kenapa mesti dis-
embunyikan?" tukas anak muda acuh itu. "Kalian tentunya butuh banyak tenaga
untuk itu, bukan?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Tengik!" te-rabas Moja lagi.
Bibir lelaki tua ini kemudian melintir-lintir. Andi-ka sampai pegal sendiri
menyaksikannya.
"Pertanyaan yang mana?" tanya Andika, berlagak bodoh.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" sela Senta, mengulang pertanyaan adik bungsu
seperguruannya.
Bertolak belakang dengan sikap Moja, Senta jauh lebih ramah.
"Aku suka kau, Orang Tua. Dengan tata krama
seperti itu, kau pantas dituakan...," puji Andika, nge-lantur. Lain yang
ditanya, lain yang dijawab.
"E.... Kau menghinaku, ya"!" ketus Moja berang.
"Cukup, Moja!" bentak Senta.
Biar pun sudah maklum dengan sifat adik seper-
guruannya, tetap saja orang tua berpakaian putih itu kesal juga melihat sikap
Moja yang dianggap kekanak-kanakan.
"Terima kasih..., terima kasih!" hatur Andika, me-
rasa telah dibela.
Pendekar Slebor menjura. Bukan untuk meng-
hormat. Namun, sekadar untuk mengolok-olok Moja.
"Sekarang, kuharap kau sudi menjelaskan siapa
dirimu sebenarnya...," lanjut Senta.
Andika masih mau mengulur-ulur persoalan. Ha-
tinya masih belum puas dalam menggoda Moja.
"Sebentar!" sela Seruni.
Setelah lebih banyak diam, perempuan itu men-
dadak berbaur dalam suasana kacau.
"Rasanya aku ingat sekarang!" sambungnya nyaris berseru. Wajahnya menampakkan
garis keterkejutan.
Terkejut karena apa" Masih belum jelas. Yang pasti, dia telah ingat sesuatu.
Maka dihampirinya Pendekar Slebor. Mata jelinya terus mengawasi potongan wajah
dan tubuh Andika. Pakaiannya pun tak luput.
Andika jadi risih juga diteliti dalam jarak dekat
oleh seorang perempuan yang memiliki kematangan,
baik pada wajah atau tubuh. Terlebih, waktu hidung-
nya mengendus aroma tubuh Seruni. Hmmm... Andika
menarik napas panjang-panjang dan dalam-dalam....
"Nona.... Apa ada yang kurang padaku" Hidungku kebanyakan lubang" Atau, daguku
pindah ke jidat?"
oceh Andika. "Ya, benar!" cetus Seruni tiba-tiba. Wajahnya ber-binar gembira. Dia benar-benar
yakin pada ingatannya sekarang.
Tololnya, Andika malah salah tanggap. . "Astaga!
Jadi benar"! Benar lubang hidungku sudah bertam-
bah" Dan jidatku...."
Andika cepat meraba hidung dan dahinya. Kok
masih sama seperti kemarin"
"Aku tahu siapa dia, Eyang Guru!" lapor Seruni bersemangat pada Senta. "Dia
Pendekar Slebor!"
*** Satu pertarungan sedang berkecamuk sengit jauh
di sebelah tenggara Gunung Mayit. Dua orang yang sedang bertukar jurus sama-sama
berilmu tinggi.
Salah seorang adalah lelaki berambut sepanjang
betis, yang terlihat di dataran kering beberapa waktu lalu. Sedangkan lawannya,
seorang lelaki tua berusia sembilan puluhan. Usia yang terlalu tua untuk
bertarung melawan musuh berusia tak lebih dari empat pu-
luh tahun. Meski demikian, pertarungan tidak berarti dikua-
sai lelaki berambut panjang. Sebab, si tua bangka itu tampaknya mempunyai ilmu
olah kanuragan tak sembarangan. Ibarat tua-tua keladi, ketuaannya justru
menyempurnakan kematangan kesaktiannya.
Si orang tua mengenakan cawat dari akar tumbu-
han. Tubuhnya tidak ditutupi apa-apa lagi. Pun, untuk penutup dada yang kurusnya
kelewatan. Rambut keri-tingnya memutih rata sampai batas. Jenggotnya yang
terlalu panjang, dililitkan ke leher.
Kakek Penjaga Makam, sebutan orang tua itu.
Dalam menghadapi lawan, Kakek Penjaga Makam
menggunakan sebilah batu nisan besar sebagai senja-
ta. Beratnya jangan dikira. Jauh lebih berat dari tubuh si tua itu sendiri.
Lebarnya saja sudah setengah meja.
Tebalnya, tak kurang dari setengah jengkal. Makam
orang edan mana yang mau memakai nisan sebongsor
itu" Kakek Penjaga Makam sendiri tak memusingkan
itu. Hanya saja, siapa yang tak jadi berdecak heran"
Bagaimana seorang jompo seperti Kakek Penjaga Ma-
kam mau-maunya bersenjatakan benda menyusah-
kan" Tapi di tangannya batu nisan itu justru menjadi
senjata mematikan! Dengan amat mudah senjata itu
dikebutkan, diputar, dan dibabatkan sekehendak hati.
Yang jadi masalah sekarang, apakah senjata se-
rampangan itu bisa meruntuhkan kehebatan lelaki pu-
cat berambut panjang" Sementara sudah lewat seratus jurus, Kakek Penjaga Makam
menggenjot kesaktian
dalam usaha menjatuhkan lawan. Hasilnya" Tidak bisa dibilang menggembirakan.
Biar pun lawan cukup kerepotan, tapi tetap belum menjamin bisa melumpuh-
kannya. Wukh, wukh, wukh!
Kakek Penjaga Makam memutar-mutar batu nisan
raksasa di tangannya, ketika keprukan terakhir luput mendarat di kepala lawan.
Putaran senjata anehnya
bukan cuma untuk menangkis sodokan jari yang me-
lebihi kecepatan patukan ular sekalipun. Selain itu, Kakek Penjaga Makam memang
sudah mulai bosan
dengan pertarungan yang dianggap tak ada juntrun-
gannya. Dia hendak membuat benteng yang memung-
kinkannya mengambil jarak.
"Tak ada angin tak ada hujan, kenapa kau tiba-
tiba menyerangku, Kutu Busuk"!" maki Kakek Penjaga Makam, muak bukan main dengan
perbuatan lawannya, sesudah berhasil mundur beberapa depa.
"Aku hendak menggali makam itu!" sahut lelaki pucat, langsung ditunjuknya makam
tua tak jauh dari tempat mereka bertarung.
Agak menyimpang dari kuburan biasa, makam itu
terletak di batang sebuah pohon beringin besar. Itu sa-ja sudah cukup ganjil.
Tapi yang lebih ganjil lagi, makam tua itu bukan terletak melebar, tapi tegak
lurus pada sisi batang pohon. Seolah-olah, menempel begitu saja bagai cecak
raksasa di badan pohon!
"Hmmm.. " gumam Kakek Penjaga Makam. "Pan-
tas saja kau bernafsu sekali ingin membuatku mam-
pus. Rupanya kau ingin menggali makam ini. Kalau
kau tak membunuhku, maksudmu tentu akan ku ha-
langi.... Hm hm hm...." Kepala Kakek Penjaga Makam terangguk-angguk.
"Kalau kau sudah tahu, kuperintahkan menying-
kir dari sini! Jika bersikeras menghalangiku, kau akan cepat masuk lubang
kuburmu!" ancam lelaki pucat tak main-main.
"Aa hi hi hi!"
Kakek Penjaga Makam terkikik seperti nenek ke-
ropos. Tubuhnya terguncang-guncang menahan geli.
"Aku tanya kau sedikit, Kutu Busuk! Apa kau mau kuperintahkan meninggalkan
kepalamu"!"
Lelaki bertubuh kurus sepucat mayat mendengus.
Pertanyaan Kakek Penjaga Makam tak perlu dijawab.
"Nan, makam itu...."
Kakek Penjaga Makam menunjuk dengan jempol
ke arah makam. Sikapnya khidmat sekali.
"Makam itu ibarat kepalaku sendiri. Mana mau
aku meninggalkan kepalaku" Sableng sekali kau ini!"
lanjut Kakek Penjaga Makam, merutuk.
"Kalau menyayangkan makam yang kau ibaratkan
sebagai kepalamu, maka kau akan segera kehilangan
kepalamu yang sesungguhnya!" tandas lelaki pucat, berkawal suara gemeletuk dari
rahang. Tangan Kakek Penjaga Makam menepis udara.
"Kau pikir aku ini tikus bengek yang bisa dibikin mampus sekali kepruk"! Kau
ngelindur, Kutu Busuk!
Sana, lebih baik cuci muka biar pikiran waras mu bi-sa...."
Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Kakek
Penjaga Makam Sudah dikejar serangan lawan!
Wrrr! Untuk serangan baru, lelaki pucat pun mengelua-
rkan simpanan baru pula. Satu ajian pamungkas dike-
luarkannya. Dia tak ingin lebih banyak buang waktu.
Pertarungan mesti cepat dituntaskan. Dengan begitu, makam di pohon beringin bisa
secepatnya dibongkar.
Apa yang dicarinya" Masih belum jelas. Hanya dia
yang tahu. Serangan sambungan lelaki pucat tak bisa diang-
gap remeh. Betapa pun Kakek Penjaga Makam sulit
untuk memperkirakan bahaya sebesar apa yang men-
gikuti sampokan rambut panjang lelaki pucat.
Maka ketika rambut panjang itu berseliwer deras
menuju dada kurusnya, kakek ini dengan gesit mema-
pak. Trash! Getar berdesir tajam terhentak ke udara, begitu
rambut panjang lelaki pucat tertahan nisan di tangan Kakek Penjaga Makam. Hawa
berbau sangit menyusul.
Sepersekian kejap kemudian, memporakkan udara di
sekitarnya. Kenyataan itu mengejutkan Kakek Penjaga Ma-
kam. Pertama karena merasakan nyeri menjalar di ke-
dua tangannya. Kedua, karena mencium bau sangit
tadi. Tahulah si tua bangka yang telah kenyang makan
asam garam dunia persilatan itu, kalau lawan ternyata memiliki rambut beracun.
Dari baunya saja sudah tergambar seberapa ganas racun tersebut!
Wukh wukh wukh!
Wrrr! Diawali putaran rambut liar bersama kayuhan
menggila kepala, lelaki pucat mengejar terus lawan
bangkotannya. Satu sabetan dilakukan.
Wusss...! Rambut lelaki pucat mendesis di udara lurus-
lurus ke arah kening si tua bangka penjaga makam.
Luar biasa! Jika semula rambut itu terlihat gemulai, saat itu juga mengejang
amat tegang. Sepertinya, rambut itu telah berubah dalam sekedipan mata menjadi
bilah-bilah baja halus!
Siapa yang mau keningnya dilubangi" Maka se-
raya mengempos tenaga dalam lebih kuat, tangan ku-
rus Kakek Penjaga Makam menyorongkan nisan besar
di depan kepala. Dikiranya, rambut maut lawan bakal terjegal lagi. Nyatanya,
tidak sekali ini.
Traaakh! Nisan raksasa di tangan Kakek Penjaga Makam
kontan terbelah. Wajah lelaki tua itu terlihat pucat se-kilas di antara belahan
batu nisan. Matanya membe-
liak, tak mempercayai apa yang terjadi!
*** 4 "Kalau nyatanya batu itu sebagai kunci bencana, kenapa tidak dimusnahkan saja"
Kita ambil batu itu
dari dalam telaga, lalu hancurkan!" usul Andika pada Tiga Penunggu Telaga Larang
dan Seruni. Pendekar muda kesohor itu baru saja mendengar-
kan kisah Tiga Penunggu Telaga Larang tentang Istana Durjana. Termasuk, bahaya
amat besar yang mengancam dunia dengan ditemukannya kembali istana ter-
sebut. Ketiga lelaki tua bangka di dekat Pendekar Slebor
tersentak. Mereka seperti baru siuman, setelah meng-habiskan hampir seluruh
hidup untuk menjaga Telaga
Larang. Kenapa tak terpikir sejak dulu" Bisik hati masing-masing.
"Bagaimana?" cetus Andika, ingin jawaban.
Pendekar Slebor tak mau lebih banyak menunggu.
Waktu terus menggilas, ditunggu atau tidak. Dalam
hal ini, kalah cepat menyiasati waktu, dengan orang sesat yang menginginkan batu
di dasar telaga, bisa berarti kebodohan besar! Keangkaramurkaan punya ke-
sempatan untuk jadi raja dunia!
"Aku setuju," sambut Senta cepat. Dua adik seperguruannya mengangguki putusan
Senta. Andika mengedipi Seruni dengan sebelah mata.
"Aku setuju!" jawab perempuan itu cepat.
Wanita ini mengira Andika hendak meminta per-
timbangannya juga. Julukannya saja Pendekar Slebor.
Tak terlalu luar biasa kalau dia meminta persetujuan dengan cara yang sedikit
keblinger! "Bagus! Kalau kau setuju, besok kita bisa menikah!" ucap Andika ngawur, seraya
melangkah ke luar gubuk seenaknya pula.
Tinggal Seruni menjadi merah padam.
Tanpa memusingkan rupa Seruni yang tak karuan
lagi, pendekar muda pemilik nama besar di dunia! persilatan itu ngeloyor ke luar
gubuk. Tiga orang tua satu perguruan mengikuti di belakang. Sementara, Seruni
memilih berjalan paling akhir. Dia masih belum bisa membenahi perasaan kacaunya.
Seperti telah disepakati, mereka akan menuju ke
Telaga Larang. Karena tak begitu jauh, tak lama mereka sudah
sampai dan di tepi telaga, anak muda dari Lembah Kutukan itu berjongkok.
Dicelupkannya tangan ke per-
mukaan telaga. "Hiiyyy...!"
Seketika pemuda itu berjingkat. Bahunya menyu-
sut cepat seperti kucing tertimpa hujan.
"Sial! Dingin sekali air telaga ini," rutuknya meng-gumam.
Senta tak bisa menahan geli, hingga terpaksa


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan kekehannya.
"Satu kelebihan telaga ini adalah airnya yang amat dingin. Meski hari sedang
membakar sekalipun, airnya tetap bisa membuat beku!" jelasnya seperti membang-
gakan benda miliknya.
Andika melirik. "Kau tampaknya bangga sekali
dengan telaga sial ini...."
"Tentu saja! Berpuluh tahun kami menunggu tela-ga ini sebagai satu kehormatan
besar dari guru kami!"
sahut Moja, mewakili Senta.
Ringisan Andika terungkit.
"Kalau begitu, sebaiknya satu di antara kalian saja yang menyelam, ya?" usul
Pendekar Slebor, lebih mirip mengejek.
Seruni mendeliki Andika. Tega-teganya pemuda ini
meminta orang setua mereka menyelam ke dasar da-
nau yang bukan hanya dalam, tapi juga dingin mem-
bekukan" Seruni mangkel dalam hati.
Danji yang lebih banyak diam malah menanggapi
sungguh-sungguh kalimat main-main Andika. Tanpa
banyak basa-basi, jubahnya dibuka.
"Hei, hei! Memang kau hendak berbuat apa, Pak
Tua?" tahan Andika.
"Aku hendak menyelam," jawab Danji, tak mau banyak cincong. Dia tak suka ucapan
mendesisnya lebih sering terdengar.
Andika mau tak mau terbahak.
"Kalian kira aku tak punya perasaan membiarkan badan keropos kalian jadi tiang
kaku di dasar telaga
sial ini?"
Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Dibukanya baju atas dengan sikap acuh saja.
Seruni terkesiap. Cepat-cepat wajahnya dibuang
ke arah lain. Siapa tahu pemuda brengsek itu lupa kalau Seruni berdiri di sana.
Lalu membuka semua pa-
kaiannya. Bisa berabe!
"Seruni!" panggil Andika.
"Apa"!" sahut Seruni ketus, tanpa mau menoleh.
"Hei"! Kalau ada seorang memanggilmu, kau mesti menoleh. Jangan cuma menyahut.
Itu baru namanya
tata krama!" omel Andika sok berkhotbah. Padahal, dia sendiri lupa pada tata
krama dengan membuka baju
sembarangan. Tapi yang dibuka Pendekar Slebor cuma pakaian atas.
Jadi, apa salahnya"
"Seruni!" ulang Andika setengah jengkel karena perempuan itu tetap tak ingin
menoleh. Sambil membuang napas, Andika melempar pa-
kaian atasnya ke bahu perempuan itu.
"Au!" pekik Seruni, kaget bukan main. Sedang tegang begitu, mana tidak kaget"
Byur! Sebentar kemudian, tubuh tegap Andika sudah
tertelan ketenangan permukaan telaga.
"Phuah!"
Anak muda dari Lembah Kutukan itu membuang
sisa udara, lalu menghirup yang masih segar di atas permukaan telaga. Rambut
gondrongnya basah kuyup.
Sekuyup sekujur tubuhnya bersimbah air telaga. Se-
lama lebih dari sepenanakan pemuda ini berusaha
mencari batu yang dimaksud Tiga Penunggu Telaga
Larang. Hasilnya, nihil. Padahal hampir seluruh dasar telaga yang cukup luas itu
telah dijelajahi dengan dada
hampir meledak!
"Tidak ada!" kata Andika, ke arah Senta.
"Mungkin kau belum menyisir seluruh dasar tela-ga!" sahut Senta ragu dari tepi
Telaga Larang. "Jangan menyiksaku, Orang Tua! Sudah lima kali aku mondar-mandir di dasar telaga
ini. Seluruh dasarnya tak luput kujelajahi. Bisa-bisanya kau tak percaya pada
kerja ku?" gerutu Andika mangkel.
"Barangkali kau kurang teliti?" sela Moja. Tak puas dengan satu kalimat, tua
bangka bermulut rewel semerdu kaleng rombeng itu menambah ucapannya.
"Siapa tahu matamu tersamar. Banyak batu serupa di dasarnya. Kau pasti kurang
teliti. Apa kau benar-benar yakin tak menemukan batu sebesar setengah badan
manusia berukir halilintar."
"Aku belum rabun. Tentu saja aku yakin!" jawab Andika.
"Yakin benar?"
Andika mencibir.
"Kalau tak yakin, kenapa bukan kau saja yang
menyelam"!" sungut pendekar muda yang mulai bere-nang ke tepian itu. Biar kulit
kendor dan daging pahit mu jadi beku sekalian! Begitu umpatan Andika dalam
hati. "Tapi bagaimana mungkin?" ujar Senta begitu Andika beranjak dari
permukaan, naik ke darat
"Kau yang mesti menjawabnya. Bukan aku. Ba-
gaimana mungkin batu itu tidak ada, sementara kalian telah menjaga telaga ini
selama puluhan tahun. Bhuh!"
Acuh saja, Andika menjentikkan jarinya pada Se-
runi. Seruni datang membawakan pakaian atas pemuda
itu. Darah wanita empat puluhan itu berdesir deras, menyaksikan bentuk dada
berotot Andika yang meng-
kilat di bawah siraman sinar matahari. Malah dia
sampai merasa harus membuang wajah.
Andika tak terlalu peduli. Diambilnya baju yang
disodorkan Seruni. Dengan baju itu, disapunya sisa air di wajah.
"Aku jadi tak mengerti," gumam Senta.
Andika ngeloyor. Perutnya jadi lapar lagi, karena
serangan dingin air telaga. Seingatnya, dia gubuk masih banyak tersisa ikan
bakar. Bakal disikat semuanya!
Tubuh Pendekar Slebor yang basah kuyup meng-
hilang di balik pintu gubuk. Tak lama, pemuda ini berlari-lari keluar sambil
membawa sepotong ikan bakar besar. "Apa kalian tak merasa aneh dengan tidak
ditemukannya batu itu?"
Tanpa peduli pada mulut yang masih sesak, pe-
muda urakan itu berusaha memancing tanggapan Tiga
Penunggu Telaga Larang.
Senta mengangguk lamat. Pikirannya diusik ke-
camuk pertanyaan. Bagaimana mungkin batu itu tak
ada" Sementara, guru mereka telah menugasi untuk
menjaga telaga agar batu tak diambil seorang pun.
Kerja puluhan tahun seperti itu bukan hal kecil.
Tangan lelaki tua berpakaian putih kusam itu
mengusap dagu tak sadar.
"Mhh, glek! Aku bertanya pada kalian, lho.. Bukan pada dedemit...," cetus
Andika, merasa pertanyaannya diacuhkan.
"Kau benar, Anak Muda. Ada sesuatu yang ter-
sembunyi selama puluhan tahun. Dan itu luput dari
pengamatan kami," tutur Senta.
"Jangan salahkan aku!" tukas Andika, sambil mencukil tulang ikan yang terselip
di giginya. "Tapi yang jelas, kalau mau tahu soal senjata, kita mesti datangi
seorang empu...."
Tiga Penunggu Telaga Larang mengernyitkan ken-
ing. Rasanya anak muda satu ini sudah mulai ngelan-
tur lagi. Mata mereka mengeroyok Andika.
"Aku tak sedang bergurau!" tandas Andika.
Mata melotot Andika menghujam pada tiga lelaki
tua itu bergantian.
"Maksudku, kita harus mencari tahu sesuatu dari sumbernya. Jadi, sebaiknya kita
berangkat ke Istana Durjana. Bukankah dari sana batu itu berasal" Aku
yakin, di sana ada hal yang bisa memperjelas teka-teki ini...," papar Andika,
sok tahu. Baru tiga prang tua di dekatnya manggut-
manggut. *** 5 Istana Durjana masih berdiri megah, kaku dan
bisu. Sebuah istana yang menyimpan keangkeran di
antara luncuran angin menggiring debu.
Andika, Senta, Danji, Moja, dan Seruni tiba dis-
ana. Dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari bangunan kuno itu mereka
berdiri berjajar. Beku tanpa gerak. Sepertinya, mereka sedang dilingkupi te-
nung. Mata kelima orang itu pun tertancap lurus-lurus ke arah Istana Durjana.
"Luar biasa.... Setelah empat puluh tahun lebih aku hanya pernah mendengar
cerita tentang istana ini, baru kali ini bisa menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri," cetus Moja dengan suara cemprengnya yang menyakitkan telinga.
Senta hanya tampak mengangguk-anggukkan
kepala samar. Sedangkan Danji mendesis-desis tak ta-hu juntrungan. Baik Senta,
Danji, atau Moja, sama-
sama baru kali itu menyaksikan Istana Durjana yang
telah menjadi cerita dongeng di benak masing-masing.
Lebih dari empat puluh tahun lalu, guru besar mereka menceritakan tentang hal
itu. "Aku tak mengira kalau aku masih sempat me-
nyaksikan istana ini..." sambung Moja, belum puas.
"Bukan begitu, Senta"!"
Senta berdehem saja.
Moja tak puas mendapat jawaban ala kadarnya.
"Bukan begitu, Danji?" tanya Moja, kali ini dialihkan pada Danji.
Danji cuma mendesis.
Moja jengkel. Dia baru mau menggerutu, tapi....
"Mulutmu pasti kesemutan kalau tak diam se-
bentar saja...," celetuk Andika, mendahului.
Moja menggeram. Sehimpun sumpah serapah ra-
sanya mau dimuntahkan begitu saja di depan wajah
anak muda itu. Eit! Jangan berani-berani! Andika
mungkin punya dua himpun sumpah serapah untuk
membalasnya! "Sebaiknya kita memeriksa istana itu, Orang
Tua," ajak Andika meminta persetujuan Senta.
"Ayo," ajak Senta.
Lelaki berbaju putih ini pun sebenarnya sudah
begitu ingin meneliti Istana Durjana. Setidak-tidaknya bisa mencari tahu, kenapa
istana itu begitu istimewa.
Bukan hanya dari cerita yang pernah didengarnya.
Kelima orang itu mulai melangkah lagi.
Pada langkah kesekian.... Srrraattt...!
Mereka semua disentak oleh sambaran lidah petir.
Kekuatan alam raksasa itu seperti membelah jalan di depan Tiga Penunggu Telaga
Larang dan Seruni sam-
pai nyaris berseru berbarengan karena begitu terkejut.
Dengan sigap tangan mereka melindungi mata dari
terkaman sinar menyilaukan. Bahkan Andika yang bi-
asa dengan serbuan petir di Lembah Kutukan pun se-
perti hendak rontok jantungnya!
Untuk beberapa saat, kembali mereka semua se-
perti dikuasai tenung kuat. Mereka terpaku diam kembali. "Sebaiknya kita terus
melangkah," ujar Senta, seperti menyadarkan.
Didahului saling pandang, hendak meyakinkan
satu dengan yang lain, mereka mulai melangkah lagi.
Anehnya, baru saja satu jejakan mencoba mene-
ruskan langkah....
Sraaat...! Glarrr...! Kilat kembali berkelebat, menyusul guntur di be-
lakangnya. Seperti sebelumnya, mereka merasa han-
taman petir melintas amat dekat di depan.
Dalam ketercengangan, hati mereka bertanya-
tanya, apa alam telah murka" Bukankah mereka se-
dang menuju tempat terkutuk yang diminta makhluk
terkutuk" Dua kali mendapat kejadian tak terduga, mem-
buat telinga mereka seperti tuli sejenak. Dan untuk kali yang kedua ini, Seruni
tak bisa lagi menguasai di-ri. Wanita tetaplah wanita. Kodratnya memang mem-
butuhkan perlindungan seorang pria. Manakala petir
menyalak, disergapnya dada bidang Andika. Dia ingin bersembunyi sampai setenang
mungkin dalam pelukan
pemuda perkasa itu.
Dalam keadaan begitu rupa, sempat-sempatnya
Andika cengengesan. Rezeki nomplok, kicau hatinya
mekar. Tahu kalau Seruni butuh ditenangkan, Andika
mendesis-desis seperti seorang bapak menenangkan
bayinya. Ditepuk-tepuknya bahu perempuan itu. Kalau tidak dalam keadaan seperti
itu, maunya sih menepuk-nepuk pantat padat Seruni saja! Anak muda itu meng-
geleng-gelengkan kepala, heran pada pikiran dekilnya sendiri yang masih bisa
gentayangan ke mana-mana.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Senta, membegal keasyikan Andika.
Andika berdehem. Urusan tak akan beres ten-
tunya kalau Seruni masih melekat erat di dadanya.
Dengan wajah sematang-matangnya, wanita itu
buru-buru mengangkat wajah dari dada Andika.
"Kita tak punya pilihan, kecuali tetap menuju istana itu. Tapi karena alam
tampaknya tak begitu suka, sebaiknya aku saja yang ke sana. Kalian tunggu di si-
ni...," tandas Andika, mencoba memutuskan. Menurutnya, cukup bijaksana untuk
tidak menyertakan tiga orang tua dan perempuan ke Istana Durjana.
"Eit, kau pikir kami takut?" elak Moja, gusar. Bibirnya menari maju-mundur,
kiri-kanan. Senta berdehem.
"Beri kesempatan pada yang muda, Moja...," ujar-nya mengingatkan adik
seperguruannya.
Moja cemberut. Wajah keriputnya jadi mirip gom-
bal. Andika tersenyum, merasa menang.
Lalu dengan nyali tetap kembang kempis, anak
muda itu menyiagakan diri sepenuhnya. Seluruh ke-
mampuan kecepatan warisan Pendekar Slebor dike-
rahkan pada satu kewaspadaan puncak.
Kaki Pendekar Slebor pun melangkah. Amat pelan,
amat hati-hati.
Satu langkah, dua, tiga, empat..., sampai Pende-
kar Slebor tiba di Istana Durjana, nyatanya sambaran
petir tak kunjung datang. Andika lega....
Mungkin itu tadi hanya gejala alam biasa, simpul
Andika akhirnya.
Mulailah anak muda itu meneliti. Pertama-tama
yang menarik perhatiannya adalah lubang besar di sisi pintu. Otak encernya bisa
cepat menduga, kalau batu di bagian itulah yang menjadi pangkal perkara.
Selanjutnya, Pendekar Slebor meneliti lebih sek-
sama. Tak terlalu sulit. Sebentar saja ditemukannya satu yang menarik
perhatiannya lagi. Pada dinding sebelah timur istana, ada semacam gambar timbul
yang menggambarkan tentang air, memenuhi satu bagian
batu dinding saja.
Andika mencari petunjuk lain ke sisi dinding ba-
rat. Di sana, ditemukan gambar timbul pula. Seperti bagian timur, ada satu batu
dinding yang dipenuhi
gambar akar yang menghujam bumi.


Pendekar Slebor 35 Istana Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara di dua sisi lain, selatan dan utara, Andika menemukan hal yang sama.
Bedanya satu batu besar
di dua bagian ini, menggambarkan semburan api besar ke angkasa. Satunya lagi,
menggambarkan semacam
liang dalam. "Apa arti ini semua?" desis Andika terdiam di tempat. Teka-teki ini masih
terlalu samar buatnya. Itu saja masih kabur. Belum lagi jika memeriksa bagian
dalamnya.... Pendekar Slebor masuk ke dalam istana yang
sebenarnya lebih tepat disebut puri dari bentuknya
yang tak terlalu besar. Di dalam dadanya, ketegangan kian menjadi-jadi.
Ketidaktahuan memang seringkali
menjadi biang keladi dari kecemasan berlebihan. Itu dialami pendekar muda ini.
Andika tidak tahu, ada apa di dalam sana. Ti-
dak tahu pula, apa yang akan menimpanya di dalam
sana. Jika diperhatikan dari sebutan angker Istana
Durjana, sudah menggerayang di segenap bagian be-
naknya bahwa di dalam bangunan kuno itu bakal ber-
hadapan dengan bahaya maut. Setidak-tidaknya bisa
saja menghadapi sosok jadi-jadian. Siluman mengeri-
kan yang memiliki jasad kasar!
Membayangkan hal itu, Pendekar Slebor jadi ingat
bagaimana saat dulu menghadapi lawan-lawan yang
bersekutu dengan makhluk kegelapan. Seorang lawan
yang paling diingatnya adalah Manusia Dari Pusat
Bumi. Untuk menghadapi orang itu, Pendekar Slebor
mesti memasuki satu alam yang selama hidup baru
kali itu diinjaknya. (Untuk lebih jelas, bacalah tiga epi-sode: 'Manusia Dari
Pusat Bumi', 'Pengadilan Perut
Bumi', dan 'Cermin Alam Gaib'!).
Apakah sekarang ini dia pun akan terperosok da-
lam keadaan serupa"
Sementara itu, di luar istana empat orang lain ter-
seret ketegangan masing-masing. Mereka melihat tu-
buh pendekar muda dari Lembah Kutukan telah dite-
lan pintu masuk yang menguak lebar, seperti mulut
sosok dedemit raksasa.
Benarkah hanya Senta, Danji, Moja, dan Seruni
yang menyaksikan itu"
Tidak! Di kejauhan sana sekitar lima puluh tombak dari
tempat mereka berdiri, seorang lelaki bermata satu
ikut juga mengawasi seluruh kejadian. Dia mengintai di kungkungan kegelapan, di
balik sebuah gundukan
tanah besar yang menyerupai bukit kecil....
Si pengintai berperawakan tinggi besar. Satu ma-
tanya telah cacat. Dari bekas lukanya, tampak ada
benda tajam telah mendongkel sebelah matanya bebe-
rapa tahun lalu.
Wajah lelaki mata satu ini terlalu bengis. Mulut-
nya lebar seperti ikan mujair. Hidungnya selalu kembang-kempis layaknya kelinci.
Rambutnya pendek dan
berdiri kaku. Pada seluruh dagu perseginya, tumbuh
brewok tipis kehijauan.
Pakaian si pengintai ini gelap, hingga tersamar
oleh malam yang meraja saat ini. Sebagian pakaian
atasnya tidak tertutup rapat, memperlihatkan otot-otot keras di bagian dadanya
yang selalu bersimbah keringat. Meski bermata satu, lelaki ini ternyata memiliki
Pisau Terbang Li 15 Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Kencan Di Ujung Maut 2
^