Pencarian

Manusia Pemuja Bulan 3

Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan Bagian 3


dijadikan sesajen sudah diterima Dewa Bulan.
Lalu, bagaimana tiba-tiba Mayang bersama pemuda
gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya" Apakah
telah menculiknya dari Dewa Bulan" Lho" Mengapa dia bisa melakukannya" Lalu,
siapakah sebenarnya yang membunuh Medi, Kang
Menggolo, dan istrinya" Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu singgah di
benak mereka. "Pemuda itu memang biang keladi dari semua ini!
Dia justru membuat desa ini kembali tidak aman! Kalau waktu itu membunuh Medi,
Kang Menggolo, dan istrinya, kini dia berani-beraninya menc ulik Mayang! Hhh!
Ini bahaya yang sangat besar untuk kita! Kita harus mengembalikan Mayang pada Ketua
Wedokmurko! Aku khawatir, bencana akan datang lagi kepada kita! Pemuda itu
memang harus mampus! Ayo, Kawan-kawan.... Kita bersiap untuk mencari mereka, dan
membunuh pemuda keparat itu!" seru Sawedo lantang, penuh kegeraman.
Namun sebelum mereka melangkah....
"Tolooong...! Ada ribuan tawon ganas menyerang desa kita!"
Terdengar suara minta tolong, membuat mereka
tersentak kaget.
Tridarma menghentikan langkahnya. Kepalan menegak, seolah ada sesuatu yang mengusik pendengarannya. Andika sendiri juga sudah menghentikan langkahnya. Melihat
Tridarma berbuat seolah-olah ada sesuatu yang mencurigakan, Pendekar Slebor
ikut-ikut menajamkan telinganya. Namun, tak mendengar scsuatu yang menarik
perhatiannya. "Kenapa, Tridarma?" tanya Pendekar Slebor.
Sementara Mayang tampak sudah duduk di atas
batu. "Tuan, nampaknya akan sangat berbahaya sekali kalau kita mendatangi desa
tempat tinggal gadis ini sekarang," ujar Tridarma letap dengan sikap seperti
sedangmendengarkan sesuatu yang semakin menarik
perhatiannya. Andika menajamkan telinganya. Namun lagi-lagi
tidak menangkap s uara yang mencurigakan. Dia tahu, dari jarak mereka berada
sekarang ini dengan desa itu masih sangat jauh. Paling tidak masih membutuhkan
waktu empat kali menanak nasi.
Namun bila melihat kemampuan pendengarannyal
Tridarma yang tajam seperti itu, sungguh Andika menjadi kagum
pula. Padahal, Pendekar Slebor sudah mengerahkan pendengarannya yang paling tajam!
"Apa yang menyebabkan kau berkata begitu?" tanya Pendekar Slebor karena memang
jadi penasaran.
Tuan..., hamba mendengar suara berdengung yang
sangat keras dan banyak sekali," lapor Tridarma. Kening Andika berkerut
"Berdengung?" tanya Andika.
"Ya. Seperti..., ada ribuan lebah yang sedang menyerang desa itu," jelas
Tridarma. "Oh.Tuhan! Tridarma! Benarkah yang kau katakan itu?" seru Andika terperanjat.
"Kalau pendengaran hamba masih bekerja baik,
tcntunya tidak salah, Tuanku...," kata Tridarma merendah.
"Dan agaknya, yang hamba dengar itu berasal dari ribuan tawon yang tcngah
menyerang! Mereka berada dalam
puncak kemarahan! Bahkan siap membunuh siapa saja
yang berada di dekat mereka."
Andika menghela napas panjang. Apalagi yang
terjadi ini" Rasanya, terlalu banyak peristiwa mengerikan yang dialaminya. Namun
mendengar ribuan tawon
menyerang desa itu, lebih mengerikan lagi. Saat itu juga bulu romanya berdiri
karena membayangkan kengerian.
"Tridarma.... Dan kau juga, Mayang. Aku harus ke sana. Ingat, Tridarma!
Keselamatan Mayang menjadi
tanggung jawabmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang mencelakakannya," ujar
Pendekar Slebor.
"Baik, Tuanku," sahut Tridarma. Andika merasa kalau harus mengusir tawon tawon
yang menurut pendengaran Tridarma sedang mengamuk di desa tempat Mayang
tinggal. Dari manakah sebenarnya datangnya binatang kecil yang memiliki sengat
yang mematikan itu"
Tanpa bcrpikir panjang lagi, Pendekar Slebor segera berkelebat meninggalkan
mereka. Dengan ilmu lari
cepatnya, sebentar saja Andika sudah tak tampak lagi
"Jangan tinggalkan aku, Kang Andika!" teriak Mayang, namun sudah tak terdengar
oleh Andika lagi.
Ribuan tawon menyerang ganas salah satu desa di
lereng Gunung Pengging.
Sengatnya kecil,
namun mematikan. Saat itu juga terjadi kegemparan yang disertai jerit kesakitan. Bukan
hanya manusia yang menjadi
sasaran, tetapi hewan-hewan ternak pun tak luput dari sengatan mematikan, ribuan
tawon ganas itu.
Suasana tak ubahnya terjadi wabah penyakit yang
menyakitkan. Kali ini lebih mengerikan. Tawon-tawon itu menyengat bagian-bagian
yang mematikan. Tak terhitung korban yang langsung jatuh dengan wajah memar.
Bahkan ada yang lebih mengerikan lagi. Mata beberapa korban ada yang bolong!
Sawedo bersama beberapa oraug yang lain
mengibaskan pedangnya ke sana kemari dengan geram, sambil berusaha menutupi
wajahnya dengan tangannya.
"Pergi kau, Bangsat-bangsat! Pergi dari sini! Heaaa!
Heaaa...!"
Namun tawon-tawon itu dengan ganas memburu ke
arah Sawedo yang menjadi kelabakan. Dari sudut matanya dia sempat melihat Mareko
sudah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka mengerikan. Begitu pula yang
lainnya. Meskipun mereka berusaha mengusir hewan-hewan
ganas itu, namun nampaknya sia-sia belaka.
Suasana sungguh menggiriskan, tak ubahnya bagai
datangnya kiamat. Dan tanpa sepengetahuan mereka, tiga orang perawan telah
lenyap dari tempatnya.
Jerit tangis dan orang yang berlarian bagai dikejar maut menjadi pemandangan
mengerikan pagi itu. Pagi berdarah yang tak akan pernah terlupakan.
Ini gara-gara pemuda keparat itu yang telah
mencampuri urusan Ketua Wedokmurko! Ia harus dicari! Ia harus merasakan
penderitaan yang teramat pedih! Aaakh!"
teriak Sawedo, di sela-sela kesibukannya mengenyahkan tawon-tawon ganas. Namun
tak urung tangannya tersengat pula. Pemandangan mengerikan semakin nampak di
mata. Mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, dengan sekujur tubuh penuh darah.
Juga hewan-hewan ternak yang berkeliaran, berlarian mengamuk menahan sakit, lalu
ambruk menimbulkan suara memilukan. Werrr...!
Di tengah-tengah kematian itu mendadak saja
serangkum angin keras menyerbu ke sana. Rupanya
Pendekar Slebor telah muncul dengan mengibaskan kain pusakanya yang bercorak
catur. Melihat pemandangan yang menyedihkan dengan
jerit tangis yang keras dan tubuh yang perlahan-lahan ambruk, hati Andika pun
teriris. Dengan kegeraman luar biasa, kain pusakanya dikibaskan ke sana kemari.
Wrrrttt! Breeettt! Setiap kali kain pusaka Andika mengibas, menimbulkan suara cukup keras. Kemudian menyusul
sekelompok tawon tersambar dan mati. Terus menerus Andika berbuat seperti itu
sambil mempergunakan
kecepatannya, sekaligus harus menghindari serangan-serangan sengat tawon yang
mematikan. "Pergilah kalian dari sini! Mampus semuanya!"
bentak Andika kerasnya.
Pendekar Slebor kini berusaha menolong orang-
orang yang tengah diserang tawon-tawon itu.
"Cepat kalian masuk! Masuk! Jangan ada yang
keluar! Tutup semua pintu dan jendela!" ujar Andika ke-ras.
Namun orang-orang itu bukannya masuk, malah
berlarian keluar. Karena bagi mereka, berada di dalam rumah justru sulit keluar.
Lebih baik berada di luar. Namun akibatnya, nyawa mereka pun terbuang percuma.
Hal ini mcmbuat Andika semakin kalap.
"Masuk kalian! Masuk! Jangan membuang nyawa
percuma! Brett! Werrtt!"
Kain pusaka Pendekar Slebor kembali mengibas ke
sana kemari dengan cepatnya, mengandung tenaga
semakin kuat. Namun jumlah tawon-tawon itu sangat
ba?nyak. "Masuk kalian ke rumah! Selamatkan nyawa anak istri kalian! Cepat! Tawon-tawon
ini sangat berbahaya!"
teriak Pendekar Slebor.
Sebisanya orang-orang itu berusaha masuk, menyambar siapa saja yang berada di dekatnya untuk menghindari sengatan tawon-
tawon ganas. Wuttt! Brettt! Andika terus mengibaskan kain pusakanya ke arah
tawon-tawon itu yang mendengung-dengung
mengancamnya. Dan mendadak saja tubuhnya berputar
setelah mcnyampirkan kain pusakanya. Dan ketika
putarannya bcrhenti, Andika berdiri tegak seperti menantang. "Ayo, kalian hewan-hewan bersengat! Sengat aku!
Kerubungi aku! Bunuh aku!" lantang Pendekar Slebor.
Seperti melihat kalau ada sasaran yang berani
menanlang maut, tawon-tawon itu menyerbu ke arah
Andika. Perlahan-lahan kini kedua kaki Pendekar Slebor ludah dikerubungi ribuan
tawon. Lalu, kedua tangannya dan berlanjut ke sekujur tubuhnya. Bahkan kini
wajahnya. Hingga akhirnya, terlihatlah sebuah pemandangan hagaikan sebuah patung yang dibuat dari ribuan tawon.
Hanya satu dua saja yang masih beterbangan, selebihnya hinggap di tubuh Andika.
Orang-orang yang terluka dan masih bisa bergerak,
berusaha masuk ke rumah. Kali ini mereka menuruti kata-kata Andika, setelah
melihat tubuh pemuda itu kini tertutupi ribuan tawon yang ganas.
Dari jendela mereka, para penduduk memperhatikan
pemuda yang masih dirubungi ribuan tawon. Mereka yakin, dalam waktu beberapa
hitungan saja, pemuda itu sudah tewas seketika.
Sawedo yang semula geram begitu melihat
kedatangan Andika, kini harus menahan diri. Karena sejak tadi,
dia melihat kalau pemuda itu berusaha menyelamatkan mereka dari serbuan tawon yang ganas.
Apalagi sekarang, pemuda itu seperti menyediakan
tubuhnya untuk dijadikan sasaran tawon-tawon itu, sebagai pengalih perhatian
dari sasaran yang lain.
"Gila! Siapakah dia sebenarnya?" desis Sawedo,
diam-diam kagum melihat pemuda itu yang seperti rela berkorban." Dia pasti akan
mampus dalam sekejap."
Namun tak seorang pun yang tahu, kalau Andika
sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh untuk melindungi diri
dari sengalan-sengatan tawon itu.
Tentu saja, Pendekar Slebor belum begitu tolol mau mengorbankan diri.
Padahal, pentolan dari semua
peristiwa ini belum dihancurkan.
Lagi pula, Andika masih suka makan nasi kebuli!
Setelah hampir seluruh tawon-tawon hinggap di
tubuhnya dan berusaha menusukkan sengatnya yang
paling berbahaya, diam-diam Andika memperkuat tenaga
'inti petir'nya. Sehingga yang dirasakan hanyalah sebuah tusukan-tusukan pelan
yang tak berarti.
Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bergetar
cukup kuat. Dan seketika terlihat pula beberapa ekor tawon yang menempel di
tubuhnya jatuh dan hancur.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, tawon-tawon itu berusaha
melepaskan diri dari tubuh Andika.
Namun Andika tidak akan membiarkannya begitu saja.
Pendekar Slebor akan menghancurkan seluruhnya!
Pendekar Slebor mengendalikan tenaga dalamnya yang berpusat dari pusar ke
seluruh tubuh, dan memainkannya bagaikan berada dalam suatu gelombang.
Lalu....tenaga dalam itu dibawanya ke depan. "Phuih...!"
Bersamaan dengan itu Andika menghembuskan napasnya perlahan-lahan. Sehingga
tenaga dalam yang keluar
bagaikan sebuah perekat, yang membuat tawon-tawon itu tidak bisa melepaskan
diri. Tubuh Andika semakin bergetar. Dan tawon itu
perlahan-lahan meluncur jatuh dan mati. Hingga kemudian, seluruh tawon pun


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjatuhan mati. Di bawah kaki Andika, hewan-hewan pembunuh itu bergeletakan.
Orang-orang yang melihat kehebatan itu merasa
aneh sekali, menyaksikan seorang pemuda yang nampak segar bugar. Padahal, habis
dikerubungi tawon pembunuh kejam, yang sudah tentu pasti telah menyengat salah
satu bagian tubuhnya.
Hal yang serupa pun singgah di benak Sawedo yang
diam-diam juga mcnaruh kagum pada pemuda itu. Kini dia yakin, pemuda itu
bukanlah orang sembarangan. Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal di
benaknya. Mengapa pemuda itu membunuh Medi. Kang Menggolo,
dan istrinya"
Andika yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya
ke seluruh pakaian, mengangkat wajahnya. Dan tatapannya membentur pada tatapan Sawedo yang masih berdiri tegak di sana.
Tampak kedua tangan Sawedo penuh sengatan. Juga pakaian dan celana yang
dikenakannya telah koyak moyak.
Dalam sekali lihat saja, Andika bisa mengetahui
kalau Sawedo dalam keadaan luka parah.
"Saudara Sawedo.... Anda membutuhkan perto-
longan...," kata Pendekar Slebor, hati-hati. Sawedo mengibaskan tangannya.
"Tidak... Aku tidak apa-apa...,"
tolak laki-laki ini. Padahal Sawedo merasa sekujur tubuhnya sangat panas.
Tatapannya berkunang-kunang dengan tubuh terasa limbung.
"Saudara.... Kalau Saudara tidak segera ditolong, maka... okhhh!"
Andika cepat bergerak, menangkap tubuh Sawedo
yang hendak ambruk.
"Keterlaluan! Sudah dibilang terluka, masih berlagak jago! Begini akibatnya!"
dengus Andika. "Aku tidak apa-apa," kata Sawedo lemah. "Lebih baik kau tidak
usah berkata-kata, karena hanya membuang tenaga saja. Saat ini,
tenagamu sangat diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupmu" ujar Pendekar Slebor.
Sementara orang-orang yang merasa sudah aman
itu pun segera keluar dari rumah.
"Tolong orang-orang yang masih hidup itu. Rawat mereka!" seru Andika.
Tetapi Andika salah duga. Karena, orang-orang itu
justru mendekatinya. Wajah mereka..., begitu garang.
Penuh amarah dan siap membunuhnya!
*** 9 Kening Andika berkerut ketika orang-orang itu
mengelilinginya. Matanya langsung melirik Sawedo yang terkulai lemah dalam
rangkulannya. Pemuda itu benar-benar tak berdaya, merasakan hawa panas yang
mengalir di tubuhnya semakin kuat mengikat. Andika mendengus dalam hati. Kalau
Sawedo tidak segera diselamatkan, maka nyawanya akan lepas percuma.
Pendekar Slebor kembali memperhatikan orang-
orang yang mengelilinginya dengan pandangan geram.
Sekali lihat saja Andika yakin, kemarahan orang -orang itu ditujukan kepadanya.
"Pemuda setan! Gara-gara kaulah desa kami yang damai ini diserang petaka!"
dengus salah seorang laki-laki yang tangannya nampak penuh sengatan tawon ganas
tadi. Bahkan beberapa diantara luka itu mengeluarkan darah.
"Tahan! Jangan salah pabam... ini semua... "
"Diaaamm!!" bentak laki-laki itu, membuat kata-kata Pendekar Slebor terpenggal.
Di tangannya terdapat sebuah parang besar. "Kau telah mengacaukan upacara tumbal
untuk Dewa Bulan! Akibatnya, justru kamilah yang terkena petaka akibat kemarahan
Dewa Bulan!!"
Kini sadarlah Andika, kalau dirinya dituduh sebagai biang keladi dari serangan
tawon-tawon yang kini sudah bergeletakan dengan jumlah sangat banyak.
"Sadarlah kalian," ujar Andika masih berusaha menyadarkan mereka dari
kekeliruannya. "Kalau selama ini kalian telah diperalat dan dibodohi Manusia
Pemuja Bulan. Tidak ada Dewa Bulan. Manusia Pemuja Bulan hanya ingin memanfaatkan kalian.
Tentunya untuk tujuan kotor."
"Jangan banyak omong! Yang kini teri hat hanyalah saudara-saudara kami yang
telah menjadi mayat! Kalau saja kau tidak mengacaukan upacara dengan menculik
Mayang, kami tidak akan mengalami hal yang mengerikan seperti ini!"
Semakin sadar Andika, kalau mereka sudah tahu
tentang Mayang yang diculik ketika hendak dilenyapkan Manusia Pemuja Bulan.
"Kalian seharus nya sadar, kalau selama ini dibodohi Manusia Pemuja Bulan.
Kalian telah dimanfaatkan untuk kepentingannya. Ingatkah kalian akan kata-kata
Ki Seta sebelum ajalnya" Selama ini, kita hanya mempunyai satu keyakinan. Hanya
Gusti Al ah yang patut disembah. Bukan Dewa Bulan. Dan karena berani membantah
itulah, maka Ki Seta harus mati! Karena, Manusia Pemuja Bulan
tentunya akan takut bila kalian tidak lagi menjadi pengikutnya!" papar Pendekar
Slebor. "Ki Seta memang patut mati, karena berani
membantah permintaan Manusia Pemuja Bulan. Ki
Wedokmurko adalah utusan dari Dewa Bulan yang harus dihormati! Tetapi...,
kedamaian yang selama ini kami dapatkan harus kandas karena perbuatanmu!"
"Kedamaian?"
balas Andika pula. Dia tahu, kesalahpahaman nampaknya sudah di ambang mata.
"Apakah kalian menamakan semuanya ini kedamaian"
Kalian harus menyerahkan anak gadis kalian setiap malam Jumat untuk
dipersembahkan kepada Dewa Bulan" Kalian harus menyediakan harta kalian untuk
Dewa Bulan" Inikah yang kalian namakan kedamaian" Justru kalian telah melakukan
suatu kebodohan. Kalian telah mengorbankan nyawa gadis-gadis yang tak berdosa!
Bukan untuk Dewa Bulan, tapi untuk Manusia Pemuja Bulan yang tentunya berbuat
keji!" "Kau memang pandai bicara!" dengus laki-laki ber-senjata itu lagi.
Diam-diam laki-laki ini merasakan sekujur tubuhnya menjadi panas. Sangat
panasnya, sehingga justru harus menahan getaran tubuhnya.
"Kau sakit, Saudara...," kata Andika yang dapat melihat keadaan Sunjoyo.
"Tidak! Kau harus mati!" dengus laki-laki itu sambil menyerang Andika dengan
parangnya. "Jangan lakukan itu, Sunjoyo...."
Terdengar seruan pelan dari mulut Sawedo yang
semakin melemah.
Tetapi laki-laki bernama Sunjoyo sudah menyerang.
Namun hanya selangkah saja mampu bergerak, selebihnya sudah ambruk ke bumi. Dan
nyawanya pun me-regang.
Kejadian ini membuat yang lainya menjadi bertambah marah. Mereka siap menyerang Andika. Tetapi baru saja mereka
bergerak.... "Jangan..., jangan lakukan itu. Pemuda ini benar...
Kita memang sudah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...."
Sawedo yang semakin lemah keadaannya mencegah
dengan suara pelan.
"Sawedo! Kau akan dikutuk Dewa Bulan!" bentak seorang laki-laki berusia empat
puluh lima tahun dengan geram. Wajahnya bulat dengan kumis baplang. Di lengan
kirinya pun terdapat tiga buah bekas sengatan tawon-tawon kejam.
"Tidak.... Tidak ada Dewa Bulan seperti yang dika takan Ketua Wedokmurko.
Dia..., dia membohongi kita...,"
kata Sawedo. "Sawedo! Mengapa kau mendadak saja berbalik
padanya" Apakah matamu mendadak menjadi buta, tidak melihat betapa banyaknya
mayat yang bergelimpangan gara-gara ulah pemuda gondrong itu" Juga kau lihat
sendiri, nasib Sunjoyo yang mencoba membela kebenaran harus tewas di depan mata
kita! Dan kau sendiri, seben-tar lagi pun akan mati...," sergah laki-laki
berkumis ini Sawedo mengangkat kepalanya. Sementara tubuhnya masih
dipegang Andika.
"Tidak! Itu tidak benar. Sunjoyo mati bukan karena membela kebenaran, tetapi
bodoh. Sama seperti kita.
Hanya Ki Seta yang patut disebut sebagai pembela
kebenaran...," tandas Sawedo.
"Sawedo!"
"Paman Longgom.... Kini aku baru sadar, kalau kita selama ini keliru.... Aku
yakin, kalau yang mendatangkan bencana ini adalah Manusia Pemuja Bulan..., yang
telah memaksa kita untuk menjadi pengikutnya...."
"Kau?" laki-laki berkumis yang bernama Longgom menggeram marah.
"Paman Longgom! Selama ini kita telah mengorbankan gadis-gadis tak berdosa sebagai tumbal untuk Dewa Bulan. Yah! Aku
yakin sekarang..., tentunya Manusia Pemuja Bulan memiliki ilmu tinggi. Dengan
ilmunya itulah dia mendatangkan dan melenyapkan gadis-gadis yang dikatakan
dipilih dan telah diterima Dewa Uulan...," tutur Sawedo.
"Mengapa kau berpikiran begitu, Sawedo" Rupanya kau sudah gila berani menentang
Dewa Bulan!" desis Longgom.
"Paman Longgom...! Ada alasan yang sangat masuk akal. Bila memang Dewa Bulan
adalah sesuatu yang patut disembah, yang mampu mendatangkan dan mengambil
gadis-gadis yang dipilihnya, mengapa pemuda ini..., mampu mengambil Mayang
kembali" Mengapa" Di mana kekuatan terdahsyat yang dimiliki Dewa Bulan bila
memang patut dijadikan
sesembahan"
Pikirkanlah itu, Paman Longgom...," ungkap Sawedo.
Longgom kelihatan serba salah sekarang. Hati
kecilnya yang terdalam pun membenarkan alasan itu.
Begitu pula yang lainnya. Tetapi Longgom belum puas
"Sawedo...! Bagaimana dengan Medi, Kang Meng-
golo dan istrinya yang mati dibunuh pemuda itu?"
Sawedo menggeleng-geleng lemah.
"Kini aku yakin, bukan pemuda itulah yang
membunuh mereka," jelas Sawedo semakin pelan.
"Lalu siapa?"
"Manusia Pemuja Bulan."
"Hhh! Mustahil. Dia justru datang memberi perlindungan dari musibah-musibah yang mengerikan pada wanita. Lantas bagaimana
mungkin telah melakukan
pembunuhan itu?" sergah Longgom.
la juga telah membunuh Ki Seta, Paman Longgom...,"
tambah Sawedo. Kali ini Longgom terdiam. Orang-orang yang marah
pada Andika pun menurunkan tangan yang memegang
berbagai senjala lajam.
Andika diam-diam mendesah lega. Dia sendiri tidak
menyangka kalau Sawedo akan membelanya. Bahkan
Sawedo berpihak kepadanya. Tetapi kini dia yakin, kalau manusia-manusia ini
masih memiliki kepercaya yang tulus dan hati nurani yang dalam.
Mendadak saja Pendekar Slebor melihat orang-orang
itu menjerit-jerit kesakitan. Rupanya sengatan yang dialami tadi, kini sudah
mulai bekerja. Mereka memang tidak segera mati, karena hanya menderita beberapa
sengatan saja. Namun, hawa panas itu mulai menjalari tubuh!
Termasuk Longgom!
Di tempat persembunyiannya, Wedokmurko alias
Manusia Pemuja Bulan tengah menyempurnakan ajian
'Unggulan Dewa' nya dengan mempergunakan darah tiga perawan yang diculik.
Sebenarnya dia sangat geram
terhadap Pendekar Slebor yang telah mengacaukan
seluruh rencananya.
Kalau tidak ingat pantangan ajian 'Unggulan Dewa'
yang sedang disempurnakannya, sudah tentu Pendekar Slebor sudah diserangnya.
Namun, selama berada dalam tahap penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' tenaga
dalamnya pantang dikeluarkan terlalu banyak Karena, tanpa tenaga dalam kuat,
maka ajian 'Unggulan Dewa'
tidak akan pernah berhasil disempurnakan.
Tetapi kelak, bila Manusia Pemuja Bulan berhasil
menguasai ajian 'Unggulan Dewa', tak seorang pun yang akan bisa mengalahkannya.
Tak seorang pun!
Ki Wedokmurko tersenyum puas membayangkan
sesuatu yang tak sabar dinantinya. Kini dengan kejamnya, Manusia Pemuja Bulan
menekan perut gadis-gadis itu kuat-kuat, sehingga darah perawan mereka muncrat.
Setelah tiga pertanakan nasi Ki Wedokmurko
melakukan hal itu. namun bukan wajahnya menjadi gembira, justru menggeram marah.
"Bangsat! Tinggal satu dara perawan lagi yang harus kudapatkan. Maka, ilmuku
akan sempurna! Hhh! Bila aku terus menerus seperti ini, maka tenagaku untuk
menculik mereka akan hilang perc uma. Lain bila orang-orang bodoh itu
menyediakan gadis-gadis itu untukku! Sialnya, aku tak menemukan lagi dara
perawan di sana! Rata-rata masih berusia di bawah dua belas tahun!" dengus
Manusia Pemuja Bulan. Dan tiba-tiba, matanya berbinar. "Hmm..., Mayang. Ya...,
tinggal dia saja perawan di desa itu! Ini semua gara-gara Pendekar Slebor! Hhh!
Pendekar Slebor....
Tunggu balasanku!"
Kali ini Andika sangat sibuk, bekerja mati-matian
untuk menyelamatkan tubuh-tubuh yang tengah menahan sakit. Rasa letihnya tak
dihiraukan lagi. Bahkan tenaganya pun harus terkuras, karena hanya seorang diri
bekerja. Namun semuanya tak dipedulikannya lagi. Yang ada
dibenaknya, hanyalah menyelamatkan tubuh-tubuh itu.
Dengan mempergunakan kain pusaka yang bercorak
catur, Andika mengalirkan tenaga dalam dan mengusapkannya pada dada si sakit. Hasilnya, hawa panas yang mengaliri tubuh-
tubuh itu mulai berkurang. Dan lama kelamaan, menghilang. Namun karena begitu
banyaknya yang harus ditolong, beberapa orang tak sempat diberikan bantuan.
Sehingga, mereka pun mati


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi pun berjalan. Matahari sudah sepenggalah.
Sinarnya yang sejuk seharusnya membuat orang mampu menikmati, dan mempergunakan
untuk menjemur pakaian, dan makanan. Bahkan sebagai tanda sudah waktunya
bekerja di sawah dan ladang.
Tetapi pagi ini, tak seorang pun yang mampu
menikmati pagi dan matahari. Tak seorang pun yang pergi menuju sawah dan ladang.
Karena, mereka harus berjuang melawan maut.
Sementara Pendekar Slebor terus
berusaha menyelamatkan mereka.
Ketika pekerjaannya selesai, barulah Andika merasakan tenaganya sangat letih. Dia segera duduk bersemadi untuk memulihkan
tenaga dalam dan hawa
murni yang benar-benar terkuras.
Selama satu penanakan nasi Pendekar Slebor duduk
memejamkan matanya. Bila saja ada orang yang ingin membunuhnya, maka akan sangat
mudah dilakukan.
Karena Andika benar-benar sudah melepas semua
kesadarannya, membiarkan seluruh tubuhnya kosong dan mengisinya dengan
kesegaran. Lalu Andika mendesah panjang dan berdiri kembali.
Dilihatnya sudah ada beberapa orang yang bisa bangun dan merasakan hawa panas
yang menyiksa tadi
menghilang. Namun tubuh mereka masih terasa lemah.
Sawedo yang tadi membujur di sisi Andika pun
sudah duduk. Ditatapnya Andika.
"Sobat..., lerima kasih atas pertolonganmu...," ucap Sawedo tulus.
Andika tersenyum.
"Aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau akhirnya mau mengerti segala
peristiwa ini. Kalau kau tidak membantah kata-kata mereka tadi, sudah tentu aku
tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dari sini. Dan akibatnya, akan banyak
nyawa yang melayang percuma...."
Sawedo mengangguk-angguk.
"Sobat, siapakah namamu?" tanya Sawedo.
"Andika."
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Andika...," kata Sawedo lagi.
Andika mengangguk.
"Untungnya, petaka itu bisa diselesaikan, meskipun memakan korban yang sangat
banyak. Hmm, Sawedo....
Kini kita tinggal menghadapi otak licik Manusia Pemuja Bulan yang telah
menimbulkan seluruh petaka ini," kata Pendekar Slebor.
"Kau benar, Andika. Yah..., aku memang bodoh,"
kata Sawedo jujur. "Sebenarnya, aku tidak percaya pada Manusia Pemuja Bulan.
Hanya saja..., ah! Sudahlah....
Tidak baik mengingat kebodohan itu...."
"Kau benar. Tetapi, Sawedo. Tahukah kau, di mana Manusia Pemuja Bulan tinggal?"
Sawedo menggeleng.
"Aku tidak tahu. Dia datang dan pergi begitusaja...."
Inilah yang sulit. Kalau dibiarkan saja, maka petaka demi petaka akan menimpa
masyarakat di sini.
Orang-orang pun sudah mulai bisa berdiri dan ber-
cakap-cakap. Juga terdengar tangis yang memilukan dari beberapa orang ibu yang
melihat anak dan suami mereka telah menjadi korban sengatan tawon-tawon ganas.
Saat itulah Andika teringat Mayang.
"Sawedo...! Bila tenagamu sudah pulih kembali, ajaklah penduduk di sekitar sini
untuk mcmbangun desa ini kembali. Sadarkanlah mereka, kalau selama ini telah
dibodohi Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Sic bor.
"Baik, Andika. Kau sendiri hendak ke mana?" Andika nyengir."Apakah kau tidak
ingin melihat Mayang?" Andika malah balik bertanya.
"Oh! Ya, ya.... Aku sendiri ingin tahu, bagaimana keadaannya dan apa yang
dirasakannya...."
"Tunggulah di sini. Saat ini dia aman di satu tempal bersama kawanku yang bisa
dipercaya."
Sawedo mcngangguk.
Andika pun berkelebat cepat. Dan diam-diam
Sawedo menghela napas panjang.
"Ah! Siapakah sebenarnya Andika itu" Bila melihat gerakan dan sikapnya, jelas
sekali dia seorang pendekar yang meskipun agak urakan tetap memiliki
kebijaksanaan. Kalau saja tidak ada Andika, sudah pasti kehidupan di desa ini akan hanc ur.
Karena tidak mustahil, akan selalu berada di bawah pengaruh Manusia Pemuja
Bulan!" kata Sawedo dalam hati.
Sawedo semula merasa yakin kalau Andikalah yan
membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Namun
perlahan-lahan keyakinannya mulai sirna. Dia menangkap sesuatu yang sangat sulit
dilacak Namun hati kecilnya mengatakan,
Manusia Pemuja Bulan-lahyang telah melakukannya. Entah mengapa, sampai saat ini dia belum
menemukan jawabannya.
Tetapi kayakinan yang lebih pasti, Ki Seta jelas
dibunuh Manusia Pemuja Bulan. Seharus nya, mendengar kata Ki Seta yang menentang
Manusia Pemuja Bulan,
mereka segera sadar. Segera mengerti bahwa yang
dilakukan selama ini adalah suatu kesalahan.
Namun, saat itu pikiran mereka telah menghitam,
penuh ajaran-ajaran yang diberikan Manusia Pemuja
Bulan. Hingga saat itu mereka mempunyai satu keyakinan, kalau Ki Seta yang
memang patut mati karena berani menentang kehendak Dewa Bulan.
Diam-diam Sawedo mendesah panjang. "Hmm,
sebenarnya harta apa yang disembunyikan Ki Seta"
Kecuali Manusia Pemuja Bulan sampai saat ini tak seorang pun yang tahu kalau Ki
Seta menyimpan harta yang
tentunya sangat banyak.
Karena harta itulah Ki Seta harus mati! Lalu
perlahan-lahan Sawedo bangkit, berusaha menyadarkan teman-temannya yang lain
dari pengaruh Manusia Pemuja Bulan.
"Pemuda berbaju hijau itulah yang patut kita sebut dewa penolong! Dialah yang
mencoba menyadarkan kebodohan kita, meskipun semula harus dimus uhi karena telah
kita tuduh sebagai biang onar!"
*** Hari sudah siang. Matahari tepat di pusat kepala,
ketika Andika kembali ke tempat sebelumnya dia
meninggalkan Mayang dan Tridarma. Namun ternyata
Pendekar Slebor tidak menemukan mereka di sana.
"Hei" Ke mana mereka, ya?" tanya Pendekar Slebor sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Seluruh tenaga dan hawa murni Pendekar Slebor
kini s udah kembali berjalan seperti biasa, Andika mencari-cari di sekitar sana,
tetapi tak ada tanda-tanda keduanya berada.
"Edan! Berani-beraninya
Tridarma melanggar perintahku! Dibawa ke mana Mayang sebenarnya?" rutuk Pendekar Slebor.
Andika menempelkan kedua tangannya di mulut
membentuk corong. Lalu....
"Tridarma! Mayaaang! Di mana kalian"!" teriak Pendekar Slebor.
Tak ada sahutan.
Angin semilir berhembus,
menggoyang dedaunan. Andika berteriak sekali lagi, tetapi hasilnya sama.
"Brengsek Tridarma! Hhh! Tak heran aku kalau dia berani meninggalkan Ki
Saptacakra, ketika sedang
bersemadi!" dengus Andika.
Tetapi mendadak saja Pendekar Slebor terdiam. Ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang seperti baru menyadarkannya. Lalu
dihelanya napas panjang, dan
berkelebat kembali ke desa tempat tinggal Sawedo.
*** 10 Sebenarnya Andika cukup malu juga ketika kembali
ke desa tempat tinggal Sawedo tanpa Mayang. Apalagi tadi Sawedo nampak menunggu
kedatangannya. "Maaf, Sawedo... Mayang dan Tridarma tidak berada di sana.... Mungkin, mereka
meninggalkan tempat itu,"
ucap Pendekar Slebor, mau tak mau harus mengatakan juga. "Sudahlah, Andika.
Lebih baik, beristirahat saja dulu.
Kulihat beberapa orang ibu sudah pulih dari kekagetan mereka. Mereka nampak
sudah bersedia menanak nasi,"
ujar Sawedo, sangat ramah.
Andika mendesah panjang. Dia menyesali, mengapa
hal itu harus terjadi" Berkali-kali Pendekar Slebor menotol-notol kepala dengan
telunjuknya. Dan sekarang, dia masih menunggu kemunculan Tridarma dan Mayang.
Sawedo mendekati.
"Andika.... Nampaknya malam ini akan kita lewati dengan aman...," desah Sawedo.
"Itu lebih baik. Apakah kau ingin kerusuhan terjadi lagi?" tanya Andika sambil
nyengir. "Ya, tidak. Malah aku berkeinginan agar Manusia Pemuja Bulan segera pergi dari
sini." "Ya, sayangnya tak seorang pun yang tahu di mana manusia itu berada. Bahkan tadi
pagi, aku sudah mendatangi dan mengelilingi Gunung Pengging. Namun tak satu
tempat pun yang bisa dijadikan tanda-tanda sebagai tempat persembunyian Manusia
Pemuja Bulan dan para anak buahnya. Tetapi.., he he he.... Sudah tentu Manusia
Pemuja Bulan telah memagari persembunyiannya dengan ajian yang tak bisa ditembus
mata." "Itu sudah pasti. Hhh! Kalau saja selama ini aku tidak bodoh, tidak akan pernah
ada korban perawan
berikutnya!" geram Sawedo.
sekali lagi menyesali kebodohannya. "Sudahlah.... Tidak sudah dipermasalahkan lagi Yang
terpenting... hei!"
Andika tiba-tiba berdiri disertai rasa kagct. Segera"
dia melesat ke satu tempat.
Sawedo dan teman-temannya segera berlari ke
tempat Andika dengan senjata terhunus. Sementara
sebagian berjaga-jaga di tempat semula.
Begitu tiba, mereka melihat Andika sedang berlutut memeriksa dua sosok tubuh
yang telah menjadi mayat dengan leher hampir putus.
"Rupanya manusia itu telah menebarkan petaka
kembali!" desis Andika.
Sawedo menghela napas panjang. Hatinya teriris
melihat luka yang diderita dua pemuda yang ditugasi untuk meronda. Luka yang
teramat mengerikan.
"Andika..., siapakah yang telah melakukannya?"
tanya Sawedo geram.
"Hanya satu dugaanku, Manusia Pemuja Bulanlah yang melakukannya. Rupanya, kini
dia sendiri yang datang menyerang. Bila melihat kelebatannya yang sangat cepat,
dugaanku jelas-jelas Manusia Pemuja Bulan. Karena, berkali-kali aku bentrok
dengan anak buahnya yang
berpakaian dan bertopeng merah. Namun tak seorang pun yang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi seperti itu. Kita harus..., oh, Tuhan! Sawedo!
Cepat kita kembali ke desa!" sentak Pendekar Slebor.
Andika kembali berkelebat lebih dulu. Dia harus
berpacu dengan waktu. Dadanya bergetar cemas.
Begitu tiba di tengah desa yang ditakutkannya
Pendekar Slebor pun terjadi Tampak lima belas tubuh telah meregang nyawa dengan
leher hampir putus.
"Bangsat! Manusia busuk, keluar kauuu! Kita ber-tarung sampai mampus!" semprot
Andika keras dengan kedua tangan mengepal keras.
Sawedo dan yang lainnya pun tiba di sana. Mereka
kontan terkejut melihat mayat-mayat itu.
"Andika!" serunya pada
Andika yang tengah
menumpahkan kekesalannya.
"Sawedol Suruh semuanya masuk ke rumah! Jangan ada yang keluar! Manusia Pemuja
Bulan telah muncul di sini!" ujar Andika berteriak.
"Andika..., mereka bisa menjaga diri. Aku lebih ingin mengorbankan nyawaku untuk
membantumu! Untuk
menghancurkan Manusia Pemuja Bulan yang telah
membodohiku selama ini! Lagi pula, Paman Longgom dan beberapa orang yang lain
kurasa sudah cukup untuk
menjaga keselamatan mereka."
Andika mengangkat bahu.
"Terserah kaulah. Tetapi kuperingat kan, hati-hati!"
Begitu mendengar Andika berkata hati-hati, Sawedo
dan temannya pun segera bersiaga. Mereka melihat
Pendekar Slebor nampak seperti terdiam. Namun mereka yakin kalau Andika dalam
siaga penuh. Tiba-tiba saja, dari tempat yang gelap berloncatan beberapa sosok tubuh
berpakaian dan bertopeng merah berjumlah sekitar sepuluh orang. Kalau biasanya
mereka tidak membawa senjata, kini di tangan masing-masing tergenggam sebilah
golok besar. Andika mendengus.
"Mana manusia kodok itu, hah"!" bentak Pendekai Slebor. "Suruh dia keluar!
Hadapi aku, Pendekar Slebor yang menghancurkannya!
Sawedo menegakkan telinganya.
Pendekar Slebor" Oh, Tuhan...! Andika kah yang
berjuluk Pendekar Slebor?" gumam Sawedo, dalam hati Selama ini sayup-sayup
Sawedo memang pernah
mendengar tentang seorang pendekar bijaksana, namun sedikit urakan. Dia dijuluki
Pendekar Slebor. Lalu yang dikatakan Andika tadi" Sungguh Sawedo tak pemah
menyangka kalau Pendekar Slebor yang begitu harum
namanya berada di dekatnya. Bahkan, sudah selama dua minggu berada di dekatnya. Namun saat itu, kemarahan dan kebencian masih membalut tubuhnya.
Sehingga, dia tidak tahu siapakah orang yang dibencinya.
Orang-orang di balik topeng merah itu menggeram,
Salah seorang mengangkat goloknya.
"Hhh! Pendekar Slebor...! Kau terlalu banyak
mencampuri urusan kami! Tetapi kini, kau akan membayar semua perbuatanmu itu
dengan nyawamu!"
Dalam keadaan sesulit dan setegang apa pun, naluri urakan Andika tetap saja
muncul. "Wah, wah...! Bagaimana kalau kuganti dengan uang dua ketip" Lalu, kubeli nyawa
kalian seharga satu ketip"
Lumayan, kalian bisa membeli pecel di ujung pasar sana!"
kata Pendekar Slebor, seenak udelnya.
"Bangsat!"
Orang itu segera melesat dengan cepat ke arah
Andika."Lihat serangan! YeaaaF" Wuuuttt! "Uts.. !"
Andika melenting ke atas dengan ringan. Dan secara serempak,
Sawedo dan kawan-kawannya segera menyerang pula yang segera disambut sembilan orang bertopeng merah yang lain.


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertempuran sengit pun berlangsung seru. Sawedo
begitu geram. Dia bergerak dengan gesiL Rupanya pemuda itu memiliki kepandaian
yang cukup lumayan. Ge-rakannya gesit dan ringan. Serangan parangnya mantap.
Trang! Trang! Trang!
Suara senjata beradu semakin ramai terdengar,
seolah menyemarakkan malam yang semakin berjalan.
Orang-orang yang berada di dalam rumah tak ada yang berani melihat pertempuran.
Mereka saling dekap dengan anak, istri, atau suami.
Andika berkelebat ke sana kemari. Dan dia tidak
mau bertindak tanggung lagi. Tenaga 'inti petir'nya sudah dipergunakan sampai
tingkat kedua puluh lima. Blarrr!
Glarrr! Terdengarlah suara bagai petir menyalak setiap kali langan Andika
berkelebat. Hasilnya, lima orang pun terpental dengan tubuh muntah darah dan
meregang nyawa. Sisa lima orang lagi pun menjadi sasaran
kemarahan Sawedo dan teman-temannya yang tinggal
enam orang. Karena, dua orang sudah tewas.
Kalau saja Andika tidak membantu, maka akan sia-
sia saja perlawanan Sawedo dan teman-temannya. karena, lawan mereka amat
tangguh. Andika sudah kembali
berkelebat ke sana kemari dengan pukulan 'inti petir'nya.
Sementara itu, Longgom dan dua belas orang yang
menjaga keselamatan para penduduk harus menghadapi pula serangan yang datang
mendadak. Untungnya sejak tadi mereka sigap, sehingga tidak sampai kecolongan.
Sebenarnya tadi mereka sudah ingin membantu
Andika, Sawedo dan yang lainnya. Namun, Longgom
menahan. Karena dia berpikir, barangkali saja nanti ada lawan yang melakukan
pembokongan. Lagi pula, tadi pun telah didengar siapa Andika sebenarnya.
Pendekar Slebor yang kesohor!
Dan mereka pun perlahan-lahan melihat orang-orang
berpakaian dan bertopeng merah itu mulai terdesak, lalu ambruk satu persatu.
Memang, perhitungan Longgom sangat mantap
Karena mendadak saja delapan orang berpakaian dan
bertopeng merah muncul dari balik semak dengan cara melompat sambil mengayunkan
golok besar di tangan.
"Ayo, Kawan-kawan! Kita musnahkan manusia-
manusia bangsat ini!" teriak Longgom yang kini sudah sadar, kalau selama ini
hanya diperalat Manusia Pemuja Bulan. Pedang di tangannya pun terayun cepat ke
sana kemari. Trang! Wuuuttt!
"Aaakkkhhh!"
Salah satu orang bertopeng menjerit sambil
mendekap tangan kirinya yang buntung akibat sabetan pedang Longgom. Namun
meskipun lebih sedikit, mereka lebih tangguh dari kelompok Longgom. Karena,
hanya Longgom saja yang memiliki kepandaian. Sementara, yang lainnya hanya
mengandalkan semangat. Mereka harus
melampiaskan kemarahan, karena selama ini dibodohi.
Maka sebentar saja teri hat Longgom dan sisa
teman-temannya mulai terdesak, menghadapi gempuran-
gempuran yang hebat dari lawannya.
Trang! Trang! Wuuuttt! "Aaakh!"
Satu orang teman Longgom ambruk meregang
nyawa. Namun Longgom terus memberi semangat pada kawan-kawannya.
"Ayo, jangan mundur! Kita harus maju terus!
Hancurkan mereka! Hancurkan!" teriak Longgom.
Lalu dengan penuh kegeraman dan keberanian,
Longgom menyerang sekuat tenaga. Namun, dia pun harus menghadapi tiga orang
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian tangguh.
Kali ini Longgom harus terdesak. Begitu pula teman-temannya. Namun di saat yang
gawat, melesat satu
bayangan hijau sambil mengibaskan tangan ke sana
kemari.Desss.. ! Desss!
"Aaakh...!"
Orang-orang itu pun berpentalan disertai muntah
darah. Melihat sosok bayangan yang tak lain Andika, nyali Longgom yang mulai
menciut, kini mekar kembali. Maka langsung diterjangnya lawan- lawannya.
Andika sendiri merasa harus menyelesaikan semua
ini dengan segera. Karena menurut perkiraannya, Manusia Pemuja Bulan akan muncul
sekarang juga. Pendekar Slebor pun bergerak cepat sambil
mengibaskan pukulannya yang mengandung tenaga 'inti petirl "Mampuslah kalian
semua!" bentak Andika.
"Sawedo! Kang Longgom, cepat tinggalkan tempat itu!
Kembali kalian ke rumah masing-masing! Karena menurut perkiraanku, Manusia
Pemuja Bulan akan muncul! Sekali ini, turuti kata-kataku!"
Setelah berkata demikian, Andika bersalto ke depan.
Namun belum lagi hinggap di tanah....
Blarrr...! "Aaa...!"
Terdengar ledakan dahsyat yang disertai jeritan
menyayat. "Edan...!"
Andika merutuk melihat Longgom dan tiga orang
temannya telah tewas dengan tubuh pecah berantakan.
"Sawedo! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Pendekar Slebor sambil berbalik ke
belakang. Matanya bersiaga penuh, dengan kewaspadaan sangat tinggi.
Di atas sebuah pohon, Andika melihat satu sosok
berjubah hitam menatap nyalang kepadanya. Inikah
Manusia Pemuja Bulan" Serangan pertama yang diperlihatkan tadi sungguh sangat hebat!
"Hei, Jubah Hitam Dekil! T urun sini, biar kulihat mukamu itu! Apakah lebih
dekil daripada jubahmu"!" seru Pendekar Slebor sambil mengulapkan tangannya.
Sosok yang tak Iain Ki Wedokmurko menunjuk ke
wajah Andika. "Kau terlalu banyak ikut campur, Pendekar Slebor!"
Werrr...! Andika tertawa. Tetapi Pendekar Slebor segera
mengibaskan tangannya pula, ketika merasakan serangkum angin menyambarnya. Rupanya, Manusia
Pemuja Bulan mencoba membokongnya, atau menjajaki
kekuatan tenaga dalamnya" Saat itu juga Andika mengalirkan kekuatan 'inti petir'
ke sekujur tubuhnya.
Wusss.. ! Ganti Ki Wedokmurko yang harus berjumpalitan
ketika merasakan sebuah dorongan angin besar yang
menderu ke arahnya.
"Luar biasa! Nama besar Pendekar Slebor memang bukan omong kosong belaka!"
sentak Manusia Pemuja Bulan, begitu mendarat di tanah.
"He he he...! Siapa dulu dong orangnya?" seloroh Andika."Hanya sayang, nama
besar Pendekar Slebor hari ini akan musnah bersama angin lalu!"
"He he he.;.! Boleh saja, boleh saja ngomong begitu.
Ngomong memang mudah, kok," sahut Andika, mengejek.
"Akan kubuktikan omonganmu!" desis Ki Wedok*.
murko sambil membuka jurusnya.
Kedua tangan Manusia Pemuja Bulan mengembang
ke muka. Kaki kirinya berada sedikit menyerong ke arah kanan, sementara kaki
kanan berada di belakang, sejajar pinggul."He he he.... Jurus kedok buntet kau
perlihatkan, ya?"
Ejek Andika disambut gerakan menyusur tanah
sangat cepat sekali. Satu serbuan Manusia Pemuja Bulan yang mampu membuat Andika
menjadi kalang kabut tak karuan. Karena, gerakan itu mengandung kekuatan penuh
dari satu jurus pembuka yang mematikan.
"Edan! Hebat juga jurusmu itu, Orang Jelek!" leceh Pendekar Slebor sambil
melenting dan berputar dua kali di atas, dengan gerakan ringan manis sekali.
Mendadak saja Pendekar Slebor meluruk ke arah
Manusia Pemuja Bulan, dengan satu gerak tipu.
Namun gerakan Pendekar Slebor rupanya berhasil
digagalkan Ki Wedokmurko hanya dengan satu sontekan kaki ke depan. Sehingga mau
tak mau, Andika harus
mengubah jurusnya lagi. Bahkan menarik pulang dengan satu hembusan napas.
"Gila!"
"Ha ha ha.... Kau akan merasakan, betapa bodohnya malam ini, karena berani
menantang dan mengusik
Manusia Pemuja Bulan!" seru Ki Wedokmurko sambil terus menyerang gencar.
Wuuuttt! Deb! Deb! "Hei ittt! Boleh, boleh! Boleh saja kau ngomong begitu! Tetapi sekarang
kukatakan. Kalau kau merasa bodoh, ya jangan mengajak orang lain ikut bodoh,
dong!" ejek Andika.Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor memulai tubuhnya
berkali-kali, bagai berlari menghindari serangan Manusia Pemuja Bulan. Padahal,
gerak yang dilakukannya
salah satu gerak tipuan yang telah dikembangkannya dari jurus 'Memapak Petir
Membabibuta'. Bila lawan terbawa arus gerakannya, maka Pendekar
Slebor secara mendadak akan menghentikan langkahnya.
Tubuhnya cepat merunduk. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia melenting ke atas.
Sementara tangannya siap menghantam kepala.
Namun lagi-lagi gerak tipu itu tidak membawa arti.
Karena bukannya mengikuti gerakan Pendekar Slebor, Manusia Pemuja Bulan justru
memotong geraknya dalam satu gerak lurus membentuk serangan berputar.
'Mampuslah kau!"
Deb! "Hei ittt!"
Andika mengubah gerakannya dengan melompat
kekiri. "Kutukupret! Kodok bantet!"omeI Andika jengkel.
"Ha ha ha...! Kau sudah merasakan ketangguhan jurusku
itu, bukan" Kini, bersiaplah menerima kembangannya dari jurus 'Dewa Bulan Menebar Cahaya',"
ejek Ki Wedokmurko.
Andika tahu kalau jurus yang akan diperlihatkan
Manusia Pemuja Bulan merupakan jurus tangguh.
"Kasih lihat deh! Dan kau juga akan melihat jurusku
'Dewa Bulan Menebar Kentut'!"
Dalam keadaan demikian, masih sempat-sempatnya
Andika mengejek, membuat wajah Manusia Pemuja Bulan memerah.
Tiba-tiba saja Ki Wedokmurko bergerak cepat, bagai gerakan terjun ke sungai.
Jubah hitamnya mengembang.
Kedua tangannya yang tadi mengatup menjadi satu, kini membuka. Seolah dia sedang
menebarkan sesuatu ke
bawah.Benar saja! Pendekar Slebor merasakan getaran cukup kuat, yang seolah
mengalir dari kedua tangan Manusia Pemuja Bulan. Dengan cepat tubuhnya berguling
ke kanan. Namun, Manusia Pemuja Bulan terus
mengejarnya. "Edan! Aku bisa mampus kalau begini!" dengus Andika.Lalu mendadak saja Pendekar
Slebor melompat ke atas,
setelah sebelumnya bergulingan sekali lagi menghindari serangan. Begitu berdiri tegak, tatapannya menyipit dengan wajah
dingin. Tetapi tetap saja tidak mengurangi kekonyolannya.
"Kalau begitu, baiklah.... Kini kau akan mendapatkan perlawanan yang hebat
dariku! Tetapi..., he he he.. .
Asalkan kau tidak membalas, aku pasti menang,"
kata Pendekar Slebor sambil tertawa, karena merasa lucu dengan ucapannya
sendiri. Dan mendadak saja, Andika memutar kedua
tangannya di atas. Kemudian perlahan-lahan dikerahkannya ajian "Guntur Selaksa'
yang diciptakannya sendiri di Lembah Kutukan, dan secara tidak langsung adalah
salah satu jurus warisan dari Pendekar Lembah Kutukan. Terlihat kalau sekujur
tubuh Pendekar Slebor kini bagai dikelilingi sinar berwarna putih keperakan.
"Manusia Pemuja Bulan! Kita lihat, siapa yang digdaya!" bentak Pendekar Slebor,
garang. "Hhhh! Kau akan menyesali kenekatanmu ini,
Pendekar Slebor!"
Lalu dengan kecepatan penuh, Manusia Pemuja
Bulan menyerang. Begitu pula dengan Andika yang
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya cepat bergerak memapaki.
Orang-orang yang memperhatikan pertarungan itu
bergetar hatinya. Terutama, Sawedo yang kini sudah merasa dekat dengan Andika
yang dikenal sebagai
Pendekar Slebor.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua kali benturan terjadi, menyusui dua buah tubuh yang terlontar deras ke
belakang disertai jerit kesakitan.
Tubuh Pendekar Slebor tampak menabrak sebuah po-on.
Begitu pula Ki Wedokmurko atau Manusia Pemuja Bulan.
Keduanya sama-sama merasakan rasa sakit di dada
masing-masing. Namun seketika mereka sudah tegak kembali.
Masing-masing membuka jurusnya. Ki Wedokmurko diam-diam menggeram dalam hati.
Nama besar Pendekar Slebor memang cukup lama dikenalnya, sebagai pendekar muda
yang memiliki kesaktian tinggi.
Akan tetapi, tokoh itu telah bertekad untuk
memusnahkan pemuda berpakaian hijau pupus ini. Dan mendadak saja Manusia Pemuja
Bulan duduk bersila,
dengan kedua tangan terkatup menjadi satu di dada.
Andika pun berbuat yang sama, sekaligus untuk
memulihkan rasa sakit yang diderita.
Pendekar Slebor melihat tubuh Manusia Pemuja
Bulan mengeluarkan asap. Dan mendadak saja, perlahan-lahan sekujur wajah Ki
Wedokmurko teri hat memerah.
Namun yang membuat kening Pendekar Slebor berkerut, karena bagian bahu di lengan
kanan Manusia Pemuja
Bulan tidak terlihat warna merah.
Rupanya' Manusia Pemuja Bulan telah mengeluarkan ajian pamungkas yang belum sempurna
betul. Ajian 'Unggulan Dewa' memang masih membutuhkan satu darah perawan lagi


Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar menjadi sempurna. Namun Manusia Pemuja Bulan berpikir, menghadapi Pendekar
Slebor bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan bisa-bisa
nyawanya sendiri akan terancam.
Kesempatan itu pun dipergunakan Ki Wedokmurko
untuk memulihkan tenaga dalamnya. Karena dalam taraf kurang sempurna, ajian
'Ungulan Dewa' akan kurang
kedahsyatannya. Meskipun, kepakan tangannya mampu
menumbangkan sebuah pohon. Lantas, bagaimana bila
sudah sangat sempurna" Cita-citanya untuk menjadi orang nomor satu di dunia
persilatan pasti akan tercapai!
Lalu masih dalam keadaan bersila, Manusia Pemuja
Bulan mengibaskan kedua tangannya ke muka.
Wesss. .! Andika merasakan hawa panas menderu kepada-
nya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Brak!
Dan angin keras itu menghantam sebuah pohon
hingga langsung tumbang.
"Gila!" seru Andika terkejut.
Pendekar Slebor lebih terkejut lagi ketika bagian
tubuhnya bergerak, menimbulkan angin cukup keras.
Andika merasa kelabakan juga. Sudah dua kali
tubuhnya terdorong tenaga angin yang kuat, membuat dadanya terasa sakit. Bisa
dibayangkan, bagaimana bila terkena pukulan atau tendangan itu secara langsung!
Namun mendadak saja Pendekar Slebor melayang
dengan jurus 'Guntur Selaksa' tingkat tinggi. Bertepatan dengan itu, Ki
Wedokmurko pun berbuat yang sama.
Dua tubuh tampak melenting ke depan, lalu beradu
dengan tenaga sakti penuh. Des! Duk! "Aaakh...!"
Dua benturan barusan menimbulkan sinar cukup
menyilaukan, meskipun sesaat.
Satu sosok tubuh terlontar cepat ke belakang.
Sedangkan satu lagi hanya mundur tiga tindak. Yang terlontar ternyata Pendekar
Slebor. Sementara Manusia Pemuja Bulan hanya menggeram kecil. Dia memang hanya berani memapak
dengan satu tangan saja. Karena, ajian 'Unggulan Dewa'
belum menyerap ke lengan kanan bagian atas. Namun, hasilnya sungguh luar biasa!
Tubuh Pendekar Slebor melunc ur cukup jauh. Bisa dibayangkan kalau saja
Manusia Pemuja Bulan telah menyempurnakan ajian
'Ungulan Dewa' ini, niscaya tubuh Pendekar Slebor akan hancur seketika.
Pendekar Slebor berusaha bangkit sambil menahan
rasa sakit yang luar bisa di dada. Tubuhnya sedikit limbung. Ternyata ajian
'Guntur Selaksa' tak banyak gunanya!
Namun Pendekar Slebor melihat Manusia Pemuja
Bulan memegang lengan kanan bagian atas. Nampaknya
laki-laki berjubah hitam itu tengah menahan sakit yang luar biasa pula. Andika
ingat. Sebelum terlontar tadi. kakinya masih sempat menendang bahu itu.
Manusia Pemuja Bulan mendengus. Rupanya baru
kini dia merasakan sakit yang menyengat bahu kanannya.
Diam-diam Pendekar Slebor terus memperhatikan,
hingga tiba pada satu kesimpulan. Jelas bagian bahu kanan atas Manusia Pemuja
Bulan yang tak berwarna
merah seperti sekujur tubuhnya yang Iain adalah titik ke-lemahan dari ilmunya
yang sangat dahsyal.
Andika pun menghimpun lagi tenaga saktinya. Kini
dia siap memburu dan menggedor bahu bagian kanan
Manusia Pemuja Bulan. Dan....
"Heaaa! Kini mampuslah kau, Manusia Pemuja
Bulan!"Disertai tcriakan keras, Pendekar Slebor menerjang cepat ke depan. Namun
sebelum sempat menyarangkan
pukulan sebuah bayangan berkelebat cepat menghantamnya. Des! Brak! "Heigkhhh!"
Bukannya Manusia Pemuja Bulan yang menjerit,
justru Andika yang ambruk sebelum serangannya me-
ngenai sasaran. Pendekar Slebor kontan pingsan karena mendapat bokongan keras.
"Ha ha ha...!"
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Kukira kau tidak akan munc ul, Gembel Tua!"
Sosok bayangan yang baru datang itu mendengus.
"Lebih baik dia kita bunuh saja, sebelum seluruh rencana yang telah tersusun
berantakan! Kau sudah
menemukan harta Ki Seta?" kata sosok itu.
"Belum.... Tetapi, tak lama lagi."
Para penduduk di sana terkejut melihat Pendekar
Slebor ambruk dan pingsan. Mereka pun berlarian keluar, ketika tubuh Pendekar
Slebor dibawa Manusia Pemuja Bulan, di kuti temannya yang barusan membokong.
Siapa sebenarnya orang yang membokong Pendekar
Slebor" Harta apa yang disimpan Ki Seta" Di mana Mayang dan T ridarma berada
saat ini" Kali ini, nasib Pendekar Slebor berada di ujung tanduk. Karena, kedua
manusia keji itu sudah merencanakan untuk membunuhnya!
Bagaimana nasib Pendekar Slebor akhirnya" Ikuti
kelanjutan kisah ini dalam episode:
CINCIN BERLUMUR DARAH
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Panji Sakti 3 Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang Pedang Langit Dan Golok Naga 43
^