Pencarian

Cincin Berlumur Darah 1

Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah Bagian 1


CINCIN BERLUMUR DARAH Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Cincin Berlumur Darah
128 hal. CINCIN BERLUMUR DARAH
Serial Pendekar Slebor
1 Pagi mulai menjelang. Suasana sejuk pagi
ini mewarnai sebuah desa di sekitar Gunung
Pengging. Para penduduk desa yang seharusnya
dapat menikmati indahnya pagi, namun kini ha-
rus menghadapi satu kenyataan pahit setelah ba-
nyak tewas diserang ribuan tawon ganas, lupa,
serangan dari manusia-manusia yang mengena-
kan pakaian dan topeng merah. (Baca serial Pen-
dekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").
Untunglah, ada seorang pendekar muda
gagah perkasa yang telah menolong. Namun
sayangnya, akibat suatu bokongan yang hebat,
pendekar muda berpakaian hijau pupus yang ber-
juluk Pendekar Slebor pun harus pingsan.
Para penduduk yang melihat Pendekar Sle-
bor dibawa pergi Manusia Pemuja Bulan dan ka-
wannya yang membokong, hanya bisa menggeram
marah. Mereka sendiri tidak menyangka kalau
pendekar berwatak konyol yang selalu menyam-
pirkan selembar kain bercorak catur di bahunya
akan mendapatkan bokongan mematikan!
Seorang pemuda yang dikenal bernama
Sawedo menggeram marah.
"Gila! Keadaan akan semakin gawat saja!"
desis Sawedo. "Kita harus segera mengikuti mereka." "Sawedo, tahan!" seru
seorang laki-laki
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia tak lain Longgom. "Jangan
gegabah! Saat ini yang terbaik adalah menyingkir dari sini. Dengan kata lain,
kita segera mengungsi."
"Maksud Paman Longgom bagaimana?"
tanya Sawedo. Sawedo adalah anak muda berhati pana-
san, yang pernah menuduh Andika alias Pende-
kar Slebor telah melakukan serangkaian pembu-
nuhan. Namun akhirnya dia sadar kalau ternyata
semua itu bukanlah perbuatan Pendekar Slebor.
Yang diyakini saat ini, semua petaka yang terjadi adalah perbuatan Ki Wedokmurko
yang mengakui diri sebagai Manusia Pemuja Bulan.
Longgom menghela napas panjang.
"Keadaan di sini benar-benar tidak men-
guntungkan sekarang. Ki Wedokmurko alias Ma-
nusia Pemuja Bulan, tentunya akan datang kem-
bali ke sini. Mungkin pula, dia dan kawannya telah membunuh Andika. Jadi menurut
hematku, lebih baik kita segera mengungsi dari sini."
Sawedo terdiam. Begitu pula orang-orang
yang berada di sana. Apa yang dikatakan Long-
gom memang benar. Kalau saja Pendekar Slebor
dibunuh Manusia Pemuja Bulan dan kawannya,
berarti tak ada lagi pembela mereka.
"Tidak!" sentak Sawedo tiba-tiba. "Maaf, Paman Longgom. Bukan maksudku untuk
menolak usulmu. Aku dan beberapa orang akan tetap
berjaga-jaga di sini."
"Jangan bodoh!" sergah Longgom. "Bisa-
bisa kau hanya akan mengorbankan nyawa bela-
ka. Sawedo!"
"Paman..., sudah kepalang basah. Semua-
nya sudah terjadi. Memang, lebih baik Paman dan kaum wanita serta anak-anak
mengungsi dari de-sa ini. Tetapi aku akan tetap berada di sini, Paman. Bahkan
kalau mungkin..., aku tetap akan
mencari Andika," sahut Sawedo tegas. "Meskipun tak memiliki kepandaian berarti,
aku akan mencari manusia-manusia busuk itu! Aku lebih puas
mati daripada dijajah seperti ini!"
Longgom hanya menghela napas saja. Bila
menuruti kata hati, dia pun akan tetap bertahan di sini. Namun bila melihat
jumlah para penduduk yang telah mati akibat keganasan Manusia
Pemuja Bulan, sudah tentu Longgom tidak meng-
hendaki lagi terjadinya pembantaian di desa ini.
"Baiklah, Sawedo.... Bila memang itu
maumu, aku setuju. Tetapi, sama sekali aku tidak sudi menjadi pengecut. Bahkan
itu pantang dalam falsafah hidupku. Namun sekarang, yang ter-
penting lagi adalah menyelamatkan nyawa para
penduduk yang masih tersisa. Karena, tidak mus-
tahil Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan
datang lagi ke sini," desah Longgom.
"Baiklah, Paman. Kurasa, usul Paman me-
mang benar. Baik! Sekarang juga kita kumpulkan
para penduduk."
Lalu dibantu beberapa pemuda di sana,
Sawedo dan Longgom mengumpulkan para pen-
duduk. Tidak sulit untuk meyakinkan mereka se-
karang, kalau Manusia Pemuja Bulan bukanlah
orang baik. Yang lebih utama, dia bukanlah utu-
san Dewa Bulan. Karena, tak ada Dewa Bulan
yang patut disembah. Tak ada Utusan Dewa Bu-
lan. Menurut Pendekar Slebor, pasti Ki Wedok-
murko itu mempunyai maksud tertentu, dengan
cara memanfaatkan keluguan mereka. Buktinya,
berkali-kali dia menipu para penduduk untuk
meminta sesajen seorang dara perawan suci yang
akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan.
Para penduduk pun setuju ketika Longgom
mengatakan mereka lebih baik mengungsi.
"Keadaan di sini kemungkinan besar akan
semakin parah," papar Longgom. "Akan semakin rata dengan tanah. Ketahuilah!
Manusia Pemuja Bulan bukanlah seseorang yang patut dihormati.
Dia adalah manusia bejat yang telah mengorban-
kan dara-dara perawan milik kita untuk kepen-
tingannya sendiri. Jadi, lebih baik kita akan mengungsi dari sini."
Mereka bersorak setuju. Karena sesung-
guhnya mereka pun ngeri melihat musibah demi
musibah yang datang. Sangat mengerikan sekali!
"Yah! Kita memang harus pindah dari sini,
Longgom. Kau benar. Tetapi, ke manakah kita
akan mengungsi?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Ki Purwa.... Aku sudah memikirkan soal
itu masak-masak. Kita akan mengungsi ke Lem-
bah Bunga. Di sana terdapat sebuah jeram yang
memang mengalirkan air sangat deras. Akan teta-
pi, aku telah menemukan jalan menuju ke sana.
Karena, di balik air terjun itu, terdapat sebuah gua yang cukup luas. Di sanalah
kita akan mengungsi untuk sementara," jelas Longgom.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Purwa men-
ganggukkan kepala. Longgom menunggu, barang
kali saja ada yang hendak bertanya kembali. Te-
tapi, sampai sejauh ini tak ada yang bertanya.
Lalu Longgom pun segera memerintahkan
mereka untuk membawa barang-barang yang di-
perlukan. Yang sangat pokok, adalah bahan ma-
kanan. *** Tanah di sekitar Gunung Pengging sepi.
Kalau dulu, setiap malam Jumat selalu ada upa-
cara memuja bulan, tetapi kini hanya kosong be-
laka. Angin di sana berhembus begitu keras. Dingin menusuk tulang.
Mendadak saja, disela-sela keheningan ma-
lam dari tempat itu dua sosok tubuh berkelebat, dan hinggap di tempat itu.
Keduanya mengedarkan pandangan sebentar. Seolah mencari manu-
sia di sana. Setelah tak melihat seorang pun berada di sana, mereka tersenyum
puas. Rembulan yang bersinar penuh, menerangi keduanya. Yang
seorang berwajah mirip seekor kera. Dia memakai ikat kepala bergambarkan wajah
kera yang buas.
Tubuh terbungkus pakaian merah.
Yang seorang lagi, bertubuh agak kurus.
Kedua tandan lebih panjang dari ukuran tangan
biasa. Dia mengenakan pakaian hitam dengan
kain bersilangan di dada. Ketika diperhatikan
dengan seksama, yang menarik adalah lelaki se-
belah kanannya. Karena yang sebelah kanan ter-
buat dari sebatang besi tajam, mulai dari deng-
kul. Sedangkan kaki yang satu lagi seperti kaki yang sewajarnya.
"Inikah kesempatan kita untuk mencari
mayat Ki Seta, Sudongdong!" kata laki-laki berpakaian hitam.
"Layan! Yakinkah kau kalau harta itu se-
benarnya ada di tubuh Ki Seta sendiri?" tanya la-ki-laki berwajah kera yang
dipanggil Sudongdong.
Laki-laki berpakaian hitam yang bernama
Layan menganggukkan kepala.
Memang sebenarnya, kedua orang ini ada-
lah dua tokoh hitam. Sudongdong berjuluk si Ke-
ra Sakti, sedang Layan berjuluk Setan Kaki Besi.
Dan bila mereka datang ke Gunung Pengging ini,
pasti ada maksud tertentu.
"Yah! Telah lama sebenarnya kuikuti kabar
tentang Ki Seta. Tak seorang pun yang tahu ten-
tang dirinya, kecuali guruku bernama Resi Ang-
gada. Karena, dia adalah adik seperguruan Ki Se-ta di Gunung Rinjani. Konon,
kakak adik seper-
guruan itu berguru pada Eyang Megatantra alias
Malaikat Hati Emas, yang kesaktiannya tak ada
duanya di dunia ini," tutur Layan.
Sebentar Layan terdiam, seperti berusaha
mengingat-ingat apa yang diketahuinya.
"Sebelum ajalnya. Eyang Megatantra mem-
berikan kepada Ki Seta dan guruku, masing-
masing sebuah benda pusaka. Resi Anggada,
mendapatkan sebuah kalung yang sangat ampuh,
karena, memiliki kekuatan gaib aneh. Kalung itu mampu menyedot tenaga lawan
tanpa terlihat dan
tanpa disadari. Saat itulah, biasanya guruku
menghabisi lawannya. Begitu mudahnya untuk
menjatuhkan lawan," lanjut Layan menjelaskan.
"Lalu apa yang diberikan Eyang Megatantra
pada Ki Seta?" tanya Sudongdong.
"Sebuah cincin bermata biru," sahut Layan.
"Itukah harta yang disimpan Ki Seta?" cecar Sudongdong dengan pandangan
terbelalak. "Hanya sebuah cincin" Sialan! Hanya sebuah cincin saja dikatakan sebagai harta
yang tak ternilai harganya! Kau ini rupanya sangat bodoh, Layan!
Rasanya, sia-sia aku bersahabat denganmu sela-
ma ini!" "Jangan sembarangan ngomong!" dengus
Layan mendengar kata-kata Sudongdong yang
meremehkannya. "Cincin bermata biru itu bukanlah sembarang cincin. Dengan cincin
itu, kita tak hanya mampu memindahkan tenaga lawan ke tubuh kita. Tetapi, tenaga
hewan, tumbuhan, apa
saja yang dikehendaki dapat dimiliki hanya sekali mengarahkan cincin itu pada
sasaran." "Gila!" desis Sudongdong, kagum. "Bisa-bisa, tanpa berlatih pun, kita akan
memiliki tenaga dalam dan kesaktian yang tinggi."
"Makanya, jangan sembarang ngomong!"
sungut Lanyan kesal. "Kau ini memang seringkali meremehkan orang" Nah! Katakan
sekarang, apakah kau merasa aku bodoh, hah?"
Sudongdong hanya mengibaskan tangan-
nya saja. "Lalu, di mana cincin pusaka itu berada?"
tanya lelaki berwajah kera ini.
"Menurut cerita guruku sebelum mati, dia
iri dengan keberuntungan Ki Seta. Karena, cincin pusaka milik Ki Seta mampu
mengambil dan memindahkan tenaga dalam siapa saja yang bisa
dialirkan ke tubuhnya hingga, tenaga dalamnya
semakin kuat. Sedangkan kalung pusaka yang
didapatkan guruku, hanya mampu menguras te-
naga dalam lawan saja. Itulah yang menyerahkan
guruku menjadi iri. Karena, dia serakah!" jelas Layan. Sudongdong mendengus.
"Kau sendiri serakah!"
"Aku kan muridnya!"
"Sialan! Lalu?"
"Terjadilah perkelahian hebat antara Ki Se-ta dengan guruku, tanpa ada yang
kalah. Me- mang, perkelahian di antara mereka sangat wajar, karena tidak menggunakan benda-
benda pusaka itu. Mereka bertarung menggunakan ilmu-ilmu
yang diajarkan Eyang Megatantra," jelas Layan sambil memperhatikan sinar mata
Sudongdong yang sudah memperlihatkan ketertarikannya.
"Lalu benda-benda pusaka itu?" desak Sudongdong.
"Dijadikan sebagai taruhan. Yang menang,
maka akan mendapatkan benda-benda pusaka
itu," jawab Layan.
"Gila! Salah seorang bisa berkhianat kalau begitu!"
"Tetapi pertarungan itu berjalan sangat jujur." "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Karena keduanya memiliki kesaktian sa-
ma, maka akhirnya pertarungan itu pun berjalan
berimbang. Ketika mereka melakukannya lagi, hal yang sama tetap terjadi. Hingga


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya dipu-tuskan, tak ada yang berhak memiliki benda-
benda pusaka itu. Karena...."
"Bodoh!" potong Sudongdong. "Lalu dike-manakan benda-benda pusaka itu?"
"Mereka memang memiliki otak tidak wa-
ras. Kalau guruku termasuk orang jahat, namun
hatinya jujur. Ketika Ki Seta menginginkan kedua benda pusaka itu ditelan oleh
masing-masing pe-miliknya, dia pun setuju. Ki Seta menelan cincin pusaka,
sedangkan guruku menelan kalung pusaka. Dan keanehan pun terjadi. Mendadak saja,
keduanya menjadi lumpuh. Seluruh tenaga dalam
yang mereka miliki hilang. Begitu pula kesaktian mereka. Jangankan memikirkan
soal itu, menggerakkan tangan saja keduanya tidak mampu."
"Gila! Bagaimana gurumu bisa menurun-
kan ilmunya kepadamu?"
Layan tertawa. Suaranya keras, memecah
keheningan malam.
"Mudah saja, karena otakku cerdik. Meski-
pun guruku tak memiliki tenaga dalam dan ke-
saktian lagi, namun pikiranku masih waras. Seluruh ilmu kesaktian yang pernah
dipelajari masih diingatnya. Meskipun, semuanya telah musnah.
Aku beruntung bertemu dengannya dua puluh
tahun yang lalu. Memang, selama ini aku men-
gabdi sekaligus merawatnya. Sehingga, akhirnya
aku mengetahui dari cerita guruku sendiri kalau dulu memiliki kesaktian yang
tiada banding. Kecuali, tentunya hanya bisa ditandingi oleh kesaktian Ki Seta.
Dengan hanya memberikan petunjuk
kepadaku melalui mulut, dia pun menurunkan
ilmunya kepadaku. Kau lihat hasilnya. Aku kini
menjadi manusia sakti sekalung!"
Sudongdong mendengus, walaupun men-
gakui kecerdikan otak Setan Kaki Besi yang ber-
hasil mendapatkan ilmu-ilmu sakti gurunya.
"Layan!" sahut Sudongdong tiba-tiba. "Dari siapa kini mengetahui cerita tentang
dua harta pusaka itu?"
"Guruku sendiri. Kenapa?"
"Bodoh! Di mana gurumu itu" Bukankah
dia telah menelan kalung pusaka?"
"Ya."
"Bodoh! Bodoh! Kita harus mengambilnya!
Kita harus menggali kuburannya, seperti yang
akan kita lakukan pada Ki Seta!" ujar Sudongdong berjingkat-jingkat.
Layan mendengus jengkel.
"Kalau aku tahu di mana mayatnya, tanpa
mengusikmu aku sudah melakukannya!!"
"Di mana mayatnya?"
"Setelah menceritakan semua ini kepada-
ku, Resi Anggada melompat ke dalam jurang yang
sangat dalam, di sebelah utara Gunung Rinjani.
Nah! Apakah kau mau mencoba mengorbankan
nyawamu sendiri untuk mencari kalung pusaka
itu, hah"! Kalau aku sudah tentu tidak. Karena..., hahaha.... Aku masih suka
perempuan-perempuan montok untuk kugeluti di kasur!"
Sudongdong mengibaskan tangannya.
"Sudahlah, jangan melecehkan aku! Hanya
sangat disayangkan, kalung pusaka itu. Padahal
benda langka itu membuat kita akan disegani
kawan maupun lawan."
"Tetapi, hanya satu yang bisa kita da-
patkan sekarang. Cincin sakti di tubuh Ki Seta."
"Bagus! Sekarang, kita cari di mana mayat
Ki Seta dikuburkan!!"
Lalu mereka segera berkelebat di tengah
kegelapan malam. Masing-masing membuka mata
lebih lebar lagi. Karena, harta yang dirahasiakan Ki Seta adalah cincin pusaka
yang seperti diceri-takan Layan atau Setan Kaki Besi.
*** 2 Dua sosok tubuh berkelebat menembus ke-
remangan malam. Rembulan di atas sana tak ku-
asa memancarkan sinarnya ke persada, karena
terhalang gumpalan awan hitam.
Salah satu sosok yang berkelebat, menge-
nakan jubah berwarna hitam. Dia memanggul sa-
tu sosok tubuh yang agaknya pingsan. Sementara
di sebelahnya berlari seorang lelaki bertelanjang dada. Kedua sosok yang
ternyata dua orang lelaki itu menghentikan larinya, ketika telah tiba beberapa
tombak di depan sebuah gua yang tertutup
semak-semak dan tumbuhan merambat.
"Gembel tua! Di sinikah gua yang kau
maksudkan?" tanya lelaki berjubah hitam.
"Benar, Wedokmurko," sahut lelaki bertelanjang dada yang dipanggil Gembel Tua.
Tanpa banyak cakap lagi mereka memasu-
ki gua. Jika tak mengenal betul daerah ini, tak akan ada yang mengira di sini
ada sebuah gua.
Mereka terus melangkah memasuki gua
yang semakin lama semakin melebar. Ada bebe-
rapa obor dari getah pohon jarak yang menerangi gua itu didalamnya.
Diruangan yang paling luas, lelaki berjubah
hitam yang memang Wedokmurko terbahak-
bahak sambil berputar. Sementara sosok yang
pingsan itu masih berada di bahunya.
"Hm... Tak jauh berbeda dengan gua yang
kutempati selama ini! Hhh! Gara-gara Pendekar
Busuk ini seluruh rencanaku gagal!" desis Ki Wedokmurko yang dikenal sebagai
Manusia Pemuja Bulan sambil membanting sosok pingsan, berpa-
kaian hijau pupus.
Suara Manusia Pemuja Bulan yang keras
membangunkan satu sosok tubuh ramping be-
rambut panjang yang tidur di ruang lain. Dia terkurung oleh tonggak-tonggak besi
yang mem- buatnya tak bisa keluar. Memang, sosok yang tak lain seorang gadis itu sedang
dipenjara. Dan ketika mendengar suara ribut-ribut, dia mengetahui
kalau ada yang datang ke sini.
"Wedokmurko! Ini adalah kesempatan kita
untuk membunuh Pendekar Slebor. Bila dia ma-
sih hidup, maka seluruh rencana kita akan gagal"
ujar Gembel Tua.
"Kau benar. Gembel Tua! Hhh! Kita me-
mang telah sepakat sejak lama. Kalau aku men-
dapat dan mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' kau mendapatkan cincin pusaka.
Tetapi sekarang, ga-ra-gara Pendekar Slebor, rencana kita hampir
gagal. Gembel Tua! Aku hanya membutuhkan
seorang darah perawan lagi, maka seluruh ajian
'Unggulan Dewa' yang kupelajari akan sempurna.
Kau tahu sendiri bukan, aku telah banyak menge-
luarkan tenaga untuk menghancurkan Pendekar
Slebor. Yang membuatku muak, dia ternyata tahu
kelemahanku. Karena ajian 'Unggulan Dewa' be-
lum sempurna kupelajari, sehingga bahuku sebe-
lah kanan tidak memancarkan sinar merah. Un-
tungnya, kau datang dan langsung membokong
Pendekar Slebor," papar Manusia Pemuja Bulan.
Kata-kata Manusia Pemuja Bulan mem-
buat sosok ramping yang berada dalam penjara
itu tersentak. Yah, dia tahu sekarang. Orang yang berbicara memang Manusia
Pemuja Bulan. Lalu,
apa yang dikatakannya tadi" Pendekar Slebor"
Benarkah Pendekar Slebor dalam keadaan ping-
san dan sekarang berada di dalam kekuasaan
mereka" Dan, apakah mereka bermaksud mem-
bunuhnya" "Hanya seorang dara perawan bukanlah
suatu masalah yang sulit." kata Gembel Tua.
"Maksudmu?" tanya Ki Wedokmurko.
Gembel Tua tersenyum.
"Saat ini, aku pun memiliki seorang dara
perawan yang bisa dikorbankan untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa'."
"Mana dia" Mana?" desak Ki Wedokmurko tidak sabar.
Gembel Tua tersenyum lagi.
"Tadi kukatakan, masalah itu tidak sulit.
Yang sulit sekarang, sudahkah kau mendapatkan
di mana harta Ki Seta berada?" tukas Gembel Tua. Ki Wedokmurko alias Manusia
Pemuja Bulan menggelengkan kepala.
"Sayangnya, aku tidak tahu di mana harta
Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu," keluh Manusia Pemuja Bulan.
Mendengar kata-kata itu. Gembel Tua bu-
kannya marah, justru tersenyum.
"Wedokmurko! Kau telah mendapatkan
ajian 'Unggulan Dewa' dari sebuah kitab yang tak sengaja kita temukan. Kini,
tibalah saatnya gili-ranku untuk mendapatkan cincin pusaka itu,"
ujar Gembel Tua sambil tersenyum penuh arti.
"Hei" Kau sudah tahu harta Ki Seta itu?"
tanya Ki Wedokmurko.
Sementara satu sosok tubuh yang men-
dengarkan pembicaraan itu pun tersentak. Harta
Ki Seta" Cincin pusaka" Telinganya pun dibuka
lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan se-
lanjutnya. Karena hal ini sangat menarik hatinya, terlalu sayang bila
dilewatkan. Gembel Tua mengangguk.
"Kau tahu, di mana Ki Seta dimakamkan?"
Gembel Tua malah balik bertanya.
"Ya" "Antar aku ke sana."
"Untuk apa?"
"Karena, di perut Ki Seta-lah cincin pusaka itu berada."
*** Untuk sesaat Ki Wedokmurko terdiam.
"Tololnya aku!" bentak Manusia Pemuja Bulan sambil menepuk kepalanya. "Rupanya
harta itu berada di depan mataku!"
"Kau terkadang memang tolol!" sindir Gem-
bel Tua. "Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang ini, rahasia tentang harta Ki
Seta yang berupa
cincin pusaka itu telah terdengar orang-orang
rimba persilatan. Dan dugaanku, dalam waktu
singkat saja, maka akan bermunculan mereka. Di
mana mayat Ki Seta dimakamkan?"
"Di lereng Gunung Pengging sebelah ti-
mur." "Hmm.... Wedokmurko! Kita harus secepatnya tiba di sana lebih dulu.
Menggali makam-
nya dan membelah mayatnya," ujar Gembel Tua.
"Jangan khawatir! Kita akan mendapatkan
semua yang kita inginkan. Kini, tibalah giliranmu untuk mendapatkan cincin
pusaka itu...," sahut Ki Wedokmurko sambil menepuk-nepuk bahu
kawannya. "Kapan kita akan mencarinya?"
"Kalau perlu, malam ini juga. Karena, lebih cepat lebih baik. Apalagi kau
katakan tadi, orang-orang rimba persilatan sudah mengetahui tentang cincin
pusaka yang berada di dalam tubuh Ki Se-ta." "Bagus! Lalu bagaimana dengan
pendekar tengil itu?"
Ki Wedokmurko terbahak-bahak "Mudah
saja. Bunuh sekarang juga!"
Gembel Tua pun ikut terbahak-bahak. Se-
mentara satu sosok yang mendengarkan tentang
rahasia harta Ki Seta, menghela napas panjang.
*** "Bangsat! Di mana letak makam itu?" rutuk Sudongdong, setelah sekian lama
mencari tak ju-ga menemukan makam Ki Seta. "Hei, Layan....
Yakinkah kau kalau makam itu berada di sekitar
lereng Gunung Pengging ini?"
Layan alias Setan Kaki Besi itu mengang-
guk. "Hal itu tak diragukan lagi. Tetapi tidak usah ribut-ribut karena sebentar
lagi kita pasti akan menemukannya!" ujar Layan.
Belum lagi Sudongdong menyahuti kata-
kata Setan Kaki Besi....
"Hik hik hik.... Rupanya sudah ada dua ke-
roco tak berguna yang menginginkan cincin pu-
saka itu!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh,
melengking di keremangan malam.
Keduanya tersentak dan seketika men-
gangkat kepala. Di ranting sebuah pohon besar
tampak duduk tenang satu sosok tubuh sambil
mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjun-
tai. Sikap duduk begitu ringan sambil mengayun-
ayunkan tubuhnya di ranting sekecil itu. Dalam
sekali lihat saja, sudah bisa ditebak kalau wanita tua dengan rambut digelung ke
atas itu bukanlah orang sembarangan.
"Camar Hitam...!" desis Ki Wedokmurko dan Gembel tua, berbareng.
Mereka mengenal wanita itu, yaitu sebagai
Camar Hitam, seorang tokoh golongan hitam yang
merajai daerah selatan.
Tetapi bagi Sudongdong dan Layan, sama
sekali tidak merasa gentar. Bahkan mereka sudah mengepalkan kedua tangan. Hati
mereka panas melihat sikap si Camar Hitam.
Sudongdong rupanya masih bisa menyem-
bunyikan kemarahannya.
"Tak kusangka..., rupanya orang selatan
pun hijrah ke daerah barat ini," kata Sudongdong, sambil tertawa.
"Monyet busuk! Apakah kau pikir aku akan
berdiam diri di tempatku saja, hah"!" bentak Camar Hitam sambil terkikik.
Wajah Camar Hitam yang tirus penuh keri-
put. Pakaiannya berwarna keperakan. Di tangan
kanannya terpegang sebatang tongkat yang nam-
pak kusam. "Lalu, untuk apa kau datang ke sini, hah"!"
tanya Sudongdong balik membentak.
"Hik hik hik.... Rupanya otakmu sama per-
sis dengan wajahmu itu, Sudongdong! Telingaku
masih tajam untuk mendengar tentang cincin pu-
saka yang diributkan orang! Hhh! Apakah keda-
tangan kalian di tempat ini untuk merebut benda yang sama?"
Layan yang berjuluk Setan Kaki Besi, tak
bisa menguasai amarahnya.
"Camar Hitam! Selama ini, kupandang kau
sebagai tokoh hitam nomor satu di selatan! Tetapi sekarang, malam ini sikapmu
yang memuakkan itu telah membuat kemarahanku naik!"
Mendengar bentakan yang bernada anca-


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

man bukannya membuat Camar Hitam jeri, justru
makin terkikik-kikik. Suaranya mirip kuntilanak yang sedang mencari bayi!
"Hebat! Hebat sekali kata-katamu itu,
Layan! Kau memang patut dijuluki Setan Kaki
Besi! Tetapi..., hmmm. Rasanya, lebih baik mulai malam ini juga julukanmu itu
aku ganti, menjadi Setan Tanpa Kaki!"
"Keparat!"
Layan langsung mengibaskan tangannya ke
arah Camar Hitam.
Srrrttt! Serangkum angin keras menderu ke arah
nenek itu. Tetapi tanpa berpindah dari tempat
duduknya di ranting yang kecil, Camar Hitam
menggerakkan tangan kanannya yang memegang
tongkat. Teb! Teb! Teb! Tiga buah daun putus karena ayunan
tongkat Camar Hitam langsung meluncur ke arah
Layan. Siiing! Siiing! Siiing!
Dua buah daun yang telah dialirkan tenaga
sakti, menghalau angin keras yang dilontarkan
Setan Kaki Besi. Sementara sehelai daun lagi meluncur deras ke arah kaki kiri
Layan. Layan menggeram sambil melenting ke
samping. "Anjing peot!" maki laki-laki itu begitu hinggap di tanah.
"Hikhikhik.... Lumayan, lumayan keheba-
tanmu itu, Layan. Kau memang masih pantas un-
tuk diperhitungkan. Cuma, sayang. Malam ini,
namamu akan terkubur di lereng Gunung Pengg-
ing!" Layan sudah tidak mampu lagi menguasai amarahnya. Namun sebelum berbuat
apa-apa.... "Camar Hitam...!" sela Sudongdong. "Kehebatanmu memang tak perlu disangsikan
lagi. Te- tapi, bagaimana kalau kita sama-sama mencari
mayat Ki Seta dan mendapatkan cincin pusaka
itu?" "Hmmm.... Boleh juga akal licikmu itu, Sudongdong. Kau memang sangat
terkenal karena
kelicikanmu. Bila aku sudah menemukan di ma-
na mayat Ki Seta, lalu kau akan membokongku"
Hik hik hik.... Hebat, hebat sekali!" tukas Camar Hitam. "Bukan itu maksudku.
Setelah mendapatkan mayat Ki Seta, kita akan mencari cincin
pusaka itu. Karena menurutku, aku masih me-
nyangsikan kalau cincin pusaka itu berada di dalam tubuh Ki Seta," jelas
Sudongdong sudah mengeluarkan akal bulusnya.
Lelaki berwajah tirus itu tahu. Camar Hi-
tam adalah orang yang mudah terpengaruh
meskipun kesaktiannya teramat tinggi. Paling tidak, harapan Sudongdong, bila
semua itu terlak-
sana memang akan membokongnya. Wajahnya
tadi sempat memerah ketika Camar Hitam mam-
pu menebak maksudnya. Tetapi dia adalah orang
licik, yang akan menggunakan segala macam cara
untuk mendapatkan maksudnya.
"Permainan seperti itu tak patut diberikan kepadaku. Sudongdong. Sudah tentu
cincin pusaka itu berada di perut Ki Seta," kata Camar Hitam. Sudongdong tertawa
meremehkan, me-
mancing rasa penasaran Camar Hitam.
"Tak kusangka, orang yang ditakuti di selatan ternyata percaya kabar burung.
Bahkan lang- sung percaya kalau dikatakan cincin pusaka itu
berada di tubuh Ki Seta. Sayang sekali. Padahal seharusnya, harus dibuktikan
dulu. Mencari mayat Ki Seta, sekaligus membuktikan apakah
cincin pusaka itu benar-benar berada di dalam
tubuhnya. Camar Hitam terdiam. Sudongdong tahu
kalau nenek sakti itu telah terpengaruh kata-
katanya. "Camar Hitam! Dalam dunia persilatan ini,
orang yang paling sakti maka dialah yang akan
menang. Nah! Apakah kau masih khawatir aku
dan Layan membokongmu bila sudah menemu-
kan cincin pusaka itu" Jelas tidak mungkin itu kami lakukan. Karena kami tahu
akan kesaktianmu. Kami tidak akan mampu melawanmu
meskipun berdua. Tetapi, jangan lupa. Itu pun
kalau memang cincin pusaka itu berada di perut
Ki Seta." lanjut Sudongdong.
Camar Hitam semakin terdiam, mulai ter-
makan kata-kata Sudongdong.
"Hhh! Tidak mungkin kalau cincin pusaka
itu tidak ada di perut Ki Seta! Lantas, untuk apa kau dan Setan Kaki Besi
mendatangi tempat ini,
kalau bukan untuk memburu mayat Ki Seta,
hah"!" dengus Camar Hitam.
"Karena, kami masih ingin membuktikan
berita burung itu. Apakah kau tidak malu, nama
besarmu sebagai tokoh di selatan akan ditertawakan orang-orang rimba persilatan"
Kau susah payah mendatangi wilayah barat ini hanya untuk
menelan kebodohan. Karena, rupanya kabar ten-
tang cincin pusaka itu hanyalah kabar burung"
Sangat disayangkan!"
Camar Hitam sudah benar-benar terkena
ucapan si Kera Sakti. Ia benar-benar orang bo-
doh, tak mempergunakan otaknya. Segala sesua-
tunya hanya ditekankan pada kesaktiannya saja.
"Tetapi, siapakah yang berhak menda-
patkan cincin pusaka itu bila memang ternyata
benar berada di perut Ki Seta?" tanya Camar Hitam. "Ha ha ha...! Bagaimana
mungkin kau bisa langsung yakin cincin itu berada di perut Ki Seta"
Hah"! Apakah kau melihatnya dia menelan cincin
itu" Jangan bodoh, Camar Hitam!" tukas Sudongdong. Kata-kata Sudongdong yang
mengandung bujukan itu kini dimakan bulat-bulat oleh Camar Hitam. Dan tiba-tiba dia
melompat dengan satu
gerakan ringan manis sekali, lalu hinggap di tanah bagaikan sehelai kapas yang
dipermainkan angin dengan mata menatap nyalang.
"Aku menurut kata-katamu. Tetapi bila ka-
lian membokongku, tak akan pernah kubiarkan
hidup!" ancam Camar Hitam.
Sudongdong terbahak-bahak. Pertama, un-
tuk menutupi kekhawatirannya akan ancaman
Camar Hitam. Kedua, menertawakan kata-kata
Camar Hitam sendiri.
Kalaupun dia akan membokongnya nanti,
sudah bisa dipastikan si Camar Hitam akan men-
jadi mayat. Dan, lelaki berwajah kera itu memang berniat melakukannya.
"Camar Hitam! Tadi pun kukatakan, apa-
kah aku dan Setan Kaki Besi akan mampu meng-
hadapi kesaktianmu?" tukas Sudongdong penuh sanjungan. "Kami merasa kecil di
hadapanmu. Dan lagi, kami cukup gentar mendengar ancaman
itu. Sehingga, kami tidak berani mencoba-coba
melakukannya. Kami harus menggunakan otak
untuk melakukannya!"
Camar Hitam kali ini bukan hanya mene-
lan bulat-bulat kata-kata Sudongdong yang berbi-sa, bahkan tersenyum sumringah
mendengar pu- jian itu. "Yah, kalian memang tak ada apa-apanya
dibanding kesaktianku!" kata Camar Hitam dengan dagu terangkat
"Nah! Kau sendiri yakin, akan mampu
mengalahkan kami...?"
"Sudah, sudah! Sekarang jangan banyak
mulut! Kita cari di mana makam Ki Seta!"
Sudongdong tertawa puas. Layan pun ter-
tawa dalam hati, memuji kepintaran Sudongdong
untuk menghasut sekaligus membujuk Camar Hi-
tam. Karena dia pun yakin, meskipun berdua
akan menyerang Camar Hitam, belum tentu akan
mampu menaklukkannya.
3 Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas
melihat tubuh Pendekar Slebor yang telah terikat dengan rantai besi yang besar
dan kuat. Di leher pendekar urakan itu melilit seutas tali besar, yang sangat
menyulitkan untuk meloloskan diri. Karena bila Andika bergerak, maka tali yang
melilit lehernya akan semakin mengencang.
Si Gembel Tua yang telah mengambil
seember air, segera menyiramkannya ke tubuh
Andika berkali-kali. Seketika, pemuda pewaris il-mu Lembah Kutukan itu gelagapan
dan basah kuyup. Sebelumnya tadi, dia telah mengobati tu-
buh Andika yang dibokongnya.
Mata Pendekar Slebor mengerjap-ngerjap.
Seluruh tubuhnya terasa sakit luar bisa. Dan
alangkah terkejutnya Andika ketika merasa sulit saat menggerakkan kedua tangan
dan kakinya. Rasa sakit pun sangat terasa, ketika lehernya
bergerak. "Ha ha ha.... Pendekar Slebor..., selamat
bertemu kembali...," kata Manusia Pemuja Bulan.
Telinga Andika sayup-sayup mendengar
kata-kata itu. Lalu penglihatannya ditajamkan.
Dan dilihatnya dua sosok tubuh sudah menatap-
nya dengan dingin.
"Apakah kau merasa mampu melepaskan
dirimu sekarang, Pendekar Slebor?" ejek Manusia Pemuja Bulan. "Sudah kukatakan,
kau akan mampus karena terlalu lancang mencampuri se-
gala urusanku!"
Andika tersenyum. Meskipun sekujur tu-
buhnya masih terasa lemas, namun pikirannya
sudah bekerja. Pendekar Slebor pun tak heran
melihat sosok di sebelah Manusia Pemuja Bulan
yang menatapnya dengan sinis.
"He he he...! Tridarma..., kita bertemu la-gi...," kata Andika, kalem.
Gembel Tua yang tak lain Tridarma terse-
nyum mengejek "Sekarang, kau tahu siapa aku, bukan?"
kata Tridarma. Sikapnya sangat pongah. Andika
nyengir. "Dari semula juga aku tahu, kalau kau bu-
kan pelayan Eyang Ki Saptacakra. Mana ada sih,
penghuni Lembah Kutukan kurus kerempeng se-
perti itu!" cerocos Andika.
Memang, sebelumnya Andika tertipu ting-
kah laku Tridarma yang mengaku sebagai bekas
pelayan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutu-
kan beberapa puluh tahun yang lalu. Bersama
Andika, dia pun saat itu ikut mencari Manusia
Pemuja Bulan. Dan sekarang, tak tahunya laki-
laki berusia delapan puluh lima tahun yang tak
mengenakan baju itu adalah musuh dalam seli-
mut (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode :
"Manusia Pemuja Bulan").
Wajah Tridarma memerah.
"Andika... Tak pernah kusangka kalau
pendekar muda yang namanya sangat tersohor
itu dapat tertipu oleh sebuah sandiwara kecil!"
ejek Tridarma lagi.
"He he he...! Namanya juga kan manusia.
Terkadang suka lupa dan khilaf, kan?" sambut Andika enteng. "Tetapi ya...,
sebenarnya aku juga sudah curiga. Hanya saja, aku sengaja membiar-kanmu merasa
bangga karena kau mampu meni-
pu pendekar ganteng dan hebat yang gagah ini,"
"Kau bodoh!" desis Tridarma.
"Lumayan pujian itu," kata Andika enteng.
Tridarma tersenyum mengejek. "Kau memang sle-bor! Pantas julukan Pendekar Slebor
itu untuk- mu!" "Lumayan buat makan nasi, sih!" sahut Andika lagi. Tetap dengan gayanya
yang urakan, "Eh! Apakah kalian sudah yakin, dengan kekuatan rantai dan tali besar ini?"
Justru wajah Ki Wedokmurko alias Manu-
sia Pemuja Bulan yang memerah sekarang. Dia
merasa diejek dengan kata-kata Pendekar Slebor.
"Kau sudah tak berdaya, Pendekar Slebor!
Jangan banyak tingkah sekarang!" bentak Manusia Pemuja Bulan.
"He he he....! Aku hanya tanya saja, kok.
Boleh, kan?" tukas Andika sambil memperkirakan kekuatan rantai dan tali besar
itu. Pendekar Slebor yakin, rantai dan tali be-
sar itu sudah dialiri tenaga dalam kuat oleh Manusia Pemuja Bulan. Diam-diam
hatinya menye- sali kebodohannya, ketika Tridarma mengaku pe-
layan Ki Saptacakra. Andika baru menyadari ka-
lau Tridarma adalah musuh dalam selimut, ketika mencari Mayang, gadis desa yang
hendak dikorbankan untuk Dewa Bulan. Keselamatan Mayang
waktu itu dititipkan pada Tridarma. Dan ternyata, gadis itu tidak ada di tempat
semula. Dan satu alasan lagi yang membuatnya
semakin yakin kalau Tridarma adalah kawan Ma-
nusia Pemuja Bulan, ketika penduduk yang ber-
mukim di sekitar lereng gunung Pengging diserbu ribuan tawon. Saat itu, Tridarma
mengatakan kalau ribuan tawon telah menyerang desa di lereng Gunung Pengging.
Padahal pada saat yang sama
Andika pun menajamkan telinganya, namun tak
mendengar apa-apa.
Lagi-lagi Andika menyadari kebodohannya,
karena telah ditipu Tridarma. Dia yakin, sebenarnya Tridarma sudah tahu kalau
hari itu Manusia
Pemuja Bulan akan mengeluarkan tawon-tawon
ganasnya. Dan yang terpenting lagi, ketika Andika hendak mengorek keterangan
salah seorang manusia berpakaian dan bertopeng merah yang dike-
tahui sebagai anak buah Manusia Pemuja Bulan.
Namun tahu-tahu saja Tridarma muncul dan
langsung membunuhnya (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").
"Rupanya, Pendekar Slebor adalah orang


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bodoh!" ejek Tridarma
"Kalau kau iri dengan kecerdikanku, seha-
rusnya jangan mengatakan aku bodoh, dong,"
sergah Andika. "Nah.... Biasanya memang begitu.
Orang bodoh suka mengaku pintar, dan enak saja
mengatakan orang lain yang bodoh. Seperti kalian ini yang seharusnya.... .
eagghhkkkhh!"
Sebuah pukulan keras telah menghantam
perut Andika. "Jangan banyak cincong! Nyawamu sudah
di ujung Muluk!" bentak Tridarma.
Andika masih nyengir saja. "Lumayan,
memang aku sedang pegal!"
"Bangsat!"
Dengan geram Tridarma kembali melan-
carkan pukulan ke sekujur tubuh Andika. Meski-
pun Andika sudah mengeluarkan tenaga dalam-
nya, namun dalam keadaan tak berdaya seperti
itu harus merasakan sakit juga
"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!" dengus Tridarma sambil menendang wajah Andika.
Duk! Wajah Pendekar Slebor langsung berbelok
ke kiri. Bukan sakit akibat tendangan, melainkan karena ikatan tali pada
lehernya. Tetapi dasar
bandel. Andika cuma tersenyum-senyum saja.
"Yah...! Lumayan tenagamu. Tridarma. Cu-
kup untuk mengocok kue apem yang banyak di
jual di pasar!"
Tridarma hendak mengayunkan tangannya
kembali, tetapi sudah ditahan Manusia Pemuja
Bulan. "Biarkan manusia ini ngoceh terus menerus sampai berbusa. Sekarang, kita
tinggalkan sa-ja dia di sini!" ujar Ki Wedokmurko.
"Tidak! Aku ingin melihat sampai di mana
kekuatannya"!" tolak Tridarma, tegas.
"Biarkan saja dia berbuat semaunya! Toh,
aku tidak bisa melawannya, bukan" Hei, jubah
hitam jelek! Apakah kau tidak ingin memukulku
juga?" sahut Pendekar Slebor, sambil tertawa.
Mendengar tantangan itu, wajah Manusia
Pemuja Bulan menjadi memerah. Dia tahu, saat
ini tenaganya telah terkuras karena bertarung
melawan Pendekar Slebor sebelumnya. Apalagi
tenaganya juga harus disimpan untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang di-
pelajarinya. Makanya dia hanya bisa menggeram.
"Tridarma! Kalau kau ingin menghabisinya
sekalian juga, lakukan! Aku menunggumu di
luar!" ujar Manusia Pemuja Bulan sambil melangkah keluar.
"Hei, jangan di luar! Banyak nyamuk yang
dapat menggigit tubuhmu..., eeiiggkkhh!" ujar Pendekar Slebor, yang kemudian
terputus oleh hantaman Tridarma.
Lelaki tak berbaju itu marah sekali men-
dengar ejekan-ejekan pendekar urakan yang ko-
nyol. Sementara di ruangan lain, di gua itu juga,
satu sosok tubuh hanya bisa menangis menden-
gar pukulan-pukulan Tridarma pada tubuh Pen-
dekar Slebor. Sosok itu lak lain adalah Mayang, yang telah diculik Tridarma
ketika Pendekar Slebor menyelamatkan para penduduk dari serangan
tawon-tawon ganas.
Air mata gadis itu terus menitik.
*** "Sawedo! Ke mana lagi arah yang harus ki-
ta tempuh?" tanya seorang pemuda pada Sawedo.
Memang, setelah beristirahat untuk memu-
lihkan tenaga, Sawedo segera mengajak tiga ka-
wannya untuk berangkat mencari Pendekar Sle-
bor. Meskipun ini termasuk rencana gila, akan tetapi Sawedo yang merasa
berhutang budi terha-
dap Pendekar Slebor telah bertekad merelakan
nyawanya demi keselamatan pemuda sakti itu.
Sawedo sendiri sadar kalau dirinya bukanlah to-
koh sakti. Buktinya, Pendekar Slebor saja berhasil dikalahkan Manusia Pemuja
Bulan dan ka- wannya itu. Apalagi dia" Memang, bagi Sawedo ini ada-
lah perjalanan berat yang baru pertama dilaku-
kan. Apalagi, Sawedo pun teringat kalau sebe-
lumnya pernah menuduh Andika telah melaku-
kan pembunuhan terhadap Medi, Kang Menggolo,
dan istrinya. Inilah yang membangkitkan tekad-
nya. Dia ingin menebus kesalahannya waktu itu
dengan mencari Pendekar Slebor.
"Aku tidak tahu, Subekti. Tetapi menurut
firasatku, ia pasti dibawa ke arah timur," sahut Sawedo pada pemuda yang
bertanya padanya.
Saat ini mereka berada di sebuah hutan le-
bat. Malam sangat pekat. Di samping sinar bulan yang malam ini tertutup awan
hitam, juga sinarnya tak mampu menembus lebatnya dedaunan.
"Tetapi, bagaimana kita bisa menolongnya,
sementara kita tidak memiliki kemampuan berar-
ti?" tanya pemuda yang berkepala botak. Tangan kanannya memegang sebilah parang
besar. "Itu juga yang kupikirkan, Jalu!" sahut Sawedo seraya menghela napas panjang.
"Nah! Lalu, mengapa kau tetap bersikeras
untuk mencarinya. Lagi pula, kita tidak tahu
apakah dia masih hidup atau sudah mati" Kita
sendiri melihat pendekar itu terkapar ketika dibokong laki-laki tua yang
bertelanjang dada, lalu di-panggul Manusia Pemuja Bulan dalam keadaan
pingsan?" tukas pemuda botak yang dipanggil Ja-lu.
Kali ini Sawedo terdiam, lalu menghela na-
pas panjang, "Memang, ini hanyalah kenekatan belaka.
Tetapi budi baik pendekar sakti itu harus dibalas.
Mungkin dia mengalami suatu siksaan yang me-
nyakitkan saat ini," desah Sawedo.
"Tetapi, Sawedo. Ke mana lagi kita harus
mencarinya?" tanya pemuda lain yang sejak tadi diam saja. "Belum lagi
kemungkinan besar Manu-
sia Pemuja Bulan dan kawannya akan mudah
menghancurkan kita."
"Memang pahit kenyataan ini, Giri! Tetapi
hatiku sudah mantap, meskipun tahu tenaga kita
tidak akan ada gunanya," sahut Sawedo, sejenak Sawedo mengedarkan pandangan pada
teman-temannya. "Sekarang bagaimana" Apakah kalian masih mau ikut bersamaku"
Kalau kalian keberatan, aku tidak apa-apa. Silakan kalian kembali ke desa, atau
menyusul rombongan yang dipimpin
Paman Longgom ke Lembah Bunga."
Tak ada sahutan. Mereka hanya saling
pandang saja. "Sawedo! Jangan marah dengan kata-kata
kami tadi. Kami hanya mengungkapkan suatu
kemungkinan, kalau pencarian kita pada Pende-
kar Slebor akan sia-sia. Ini sama saja mengantarkan nyawa." kata Subekti.
"Kuhargai soal itu. Tetapi, aku akan tetap mencarinya, meskipun sekali lagi
kukatakan kemungkinan nyawa kita yang akan melayang. Ter-
serah kalian. Meskipun terus terang, aku sangat mengharapkan sekali kalian ikut
bersamaku," sahut Sawedo.
Lagi-lagi mereka saling berpandangan. Me-
rasa tak enak juga mendengar kata-kata Sawedo.
Apalagi sampai membiarkannya pergi seorang diri dalam keadaan gawat seperti ini.
"Sudahlah, kita lupakan saja percakapan
kita barusan," kata Subekti lagi. "Kami akan tetap ikut bersama."
Sawedo tersenyum.
"Terima kasih."
*** Rombongan yang dipimpin Longgom telah
tiba di Lembah Bunga. Mengungsi di tempat yang
jaraknya tak jauh itu memang membutuhkan ke-
beranian luar biasa. Karena, akan sangat mudah
sekali dicari lawan-lawan mereka.
Tetapi yang dikatakan Longgom tentang
sebuah gua yang luas terdapat di belakang air terjun, memang benar. Setelah
mereka melintasi
Lembah Bunga luas yang penuh ditumbuhi aneka
bunga, mereka pun tiba di atas sebuah air terjun yang sangat deras. Suaranya
bergemuruh dan sangat menakutkan.
"Jalan mana yang akan kita tempuh untuk
sampai ke gua itu, Longgom?" tanya laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Purwa.
"Di sebelah sana. Mari semua ikut aku!"
ajak Longgom sambil menunjuk satu arah.
Dan rombongan itu pun bergerak kembali.
Jalan menurun bebatuan kini dijajaki.
"Jalan satu-satunya untuk tiba di belakang gua itu, hanyalah lewat sini," kata
Longgom, begitu berhenti di tempat yang agak rendah.
"Gila!" seru Ki Purwa. "Apakah kau tidak lihat jalannya begitu landai dan penuh
batu-batu tajam?"
"Hanya itu jalan satu-satunya," sahut
Longgom, pelan.
"Kau mengada-ada, Longgom."
"Tidak, Ki. Kita memang harus melalui ja-
lan ini untuk tiba di belakang air terjun itu. Banyak yang mengetahui jalan ini
sebenarnya. Teta-pi, semuanya tak ada yang tahu jalan tembus un-
tuk menuju ke gua di balik air terjun. Ayo, semua berpegangan dan hati-hati."
Lalu satu persatu dengan dipimpin Long-
gom, mereka pun menuruni jalan berbatu yang
landai. Suasana terasa sangat tegang. Apalagi di-tingkahi bunyi gemuruh air
terjun, yang mampu
membuat kengerian semakin menjadi-jadi. Tetapi
berkat kesabaran dan tekad yang gigih, mereka
pun berhasil menuruni batu-batu itu.
"Lewat sini!" tunjuk Longgom sambil mengibaskan goloknya pada sebuah semak yang
ting- gi dan besar. Setelah disibakkan dengan golok, terlihat-
lah sebuah jalan yang sedikit berliku. Memang,
tak seorang pun yang akan menyangka di balik
rimbunnya semak itu terdapat sebuah jalan.
Kemudian satu persatu mereka melangkah.
Longgom sendiri dengan dibantu tiga orang pe-
muda, menutupi jalan rahasia itu dengan semak-
semak pula. Kini mereka menyusuri jalan yang berliku.
Tidak terlalu landai dan banyak batu. Bahkan terasa malah mudah sekali.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di
sebuah tempat yang besar. Longgom memerin-
tahkan beberapa pemuda untuk menyalakan obor
yang dibawa, namun sejak tadi tidak dinyalakan.
Dengan bantuan cahaya penerangan dari
obor semakin terlihat gua yang besar itu. Jarang sekali angin berhembus di situ.
Sehingga, tempat itu terasa hangat. Meskipun jarang ada angin
yang masuk ke sana, namun karena dinginnya
percikan-percikan air, suasana di sana tidak terlalu pengap.
Ki Purwa mendesah kagum ketika melihat
air terjun yang ada di hadapannya dari dekat. Ki-ni dia percaya pada Longgom.
4 Fajar mulai menyingsing. Sinar mentari
memberikan penerangan indah bagi alam. Begitu
indah, seolah mampu membuai anak manusia da-
lam rangkulan alam, dalam kenyamanan hidup
yang bisa dirasakan. Hanya sayang, seringkali
keindahan itu luluh oleh keangkara-murkaan
yang terjadi. Sementara itu tiga sosok tubuh tampak
masih mondar-mandir disekitar Gunung Pengg-
ing. Mereka tak lain Sudongdong, Layan, dan
Camar Hitam yang sedang mencari makam Ki Se-
ta. Namun sampai mentari menampakkan ca-
hayanya, makam itu belum juga ditemukan.
Camar Hitam yang mengetuk-ngetuk setiap
jengkal tanah dengan tongkat menggeram jengkel.
"Gila! Di mana sebenarnya makam itu be-
rada?" maki perempuan sakti ini penuh kemarahan. Camar Hitam merasa bosan
berjalan, tak ubahnya orang buta yang setiap kali melangkah
harus menjejakkan tongkatnya ke tanah, untuk
menebak jalan mana yang lebih baik dijalani.
"Lama-lama aku bisa gila mengetuk-ngetuk
tanah seperti ini!" semburnya lagi penuh kejeng-kelan. "Sabar saja, nanti juga
ketemu," ujar Sudongdong yang diam-diam juga bosan dengan ke-
giatan ini. Tanpa sepengetahuan Camar Hitam, berka-
li-kali lelaki berwajah kera itu melirik Layan yang hanya mengangguk dengan
pasti. Agaknya, Setan
Kaki Besi itu tetap pada keyakinannya kalau
mayat Ki Seta berada di sekitar sana.
Camar Hitam menoleh. Dan ketika melihat
senyum mengejek di bibir Sudongdong, dia men-
dengus. Diam-diam hatinya membenarkan kata-
kata Sudongdong tentang kemungkinan mayat
dan cincin pusaka yang ada di tubuh Ki Seta.
"Buang senyum monyetmu itu!" dengus
Camar Hitam. Sudongdong tertawa dalam hati. Menerta-
wakan kebodohan Camar Hitam!
"Bila kau sudah menemukan mayat Ki Seta
dan kebenaran tentang cincin pusaka itu, maka
kau akan mampus!" desis lelaki berwajah kera
itu, tetap dalam hati.
Sudongdong memang telah menemukan
suatu cara yang paling jitu daripada membokong.
Tetapi, membokong pun akan dilakukan bila ren-
cananya gagal. Camar Hitam kembali menjejakkan tong-
katnya di setiap jengkal tanah sambil menggerutu berkali-kali.
"Aku bukan orang buta! Aku bukan orang
buta!" maki Camar Hitam.
Setelah melakukan agak lama, tiba-tiba
tongkatnya melesak ke dalam.


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hik hik hik.... Tak sia-sia pencarianku ini!
Hik hik hik.... Ini dia harta yang tak ternilai harganya!" seru Camar Hitam.
Sudah tentu Sudongdong dan Layan segera
mendekati. "Kau menemukan makam itu, hah"!" tanya Sudongdong.
Bukannya gembira, Camar Hitam justru
memasang wajah sengit.
"Ya. kalian mau apa?"
"Hei"! Bukankah kau akan membuktikan
tentang cincin pusaka itu?" kata Sudongdong sambil tersenyum.
"Phuih...!"
Camar Hitam membuang ludah melihat
tampang monyet Sudongdong tersenyum.
"Kini, tibalah saatnya bagi kalian untuk
mampus!" kata perempuan cantik itu, menggeram.
Sudongdong dan Layan terkejut. Namun le-
laki bertampang kera yang memiliki otak licik itu lagi-lagi segera tersenyum.
"Memang mudah sekali membunuh kami,
Camar Hitam. Tetapi bukankah tadi sudah kuka-
takan, apakah kau percaya kalau cincin pusaka
itu berada di perut Ki Seta?" kata Sudongdong, enteng. "Itu urusanku!" sentak
Camar Hitam dengan tatapan menyalang. "Mau percaya atau tidak, itu urusanku!
Kini urusan kalian, hanya mampus
atau minggat dari sini!"
Sudongdong tertawa lagi.
"Sayang, sayang sekali. Hanya tinggal se-
langkah saja, kau masih tidak mau membuktikan
soal kebenaran itu. Kau masih dibawa pengaruh
kabar burung rupanya, Camar Hitam!" sergah Sudongdong, kalem.
"Jangan membodohiku!"
"Ha ha ha.... Semua orang di rimba persilatan ini sangat mengagumi
kecerdasanmu!" kata Sudongdong. Dalam hati dia tertawa begitu melihat Camar
Hitam mengangkat dagunya. "Mana
mungkin kami berani membodohimu! Yang benar
saja kau ini!"
Sudongdong melihat kepala Camar Hitam
semakin terangkat. Dia kembali terlena oleh kata-kata berbisa si Kera Sakti.
"Sudongdong benar, Camar Hitam," timpal Layan. Dia tadi sengaja membiarkan
Sudongdong sendiri berkata-kata. Karena Layan tahu, Si Kera
Sakti lebih pandai mempergunakan lidahnya da-
ripada dirinya sendiri.
"Kami tak akan mampu menghadapi kesak-
tianmu. Dan lagi, kau adalah orang yang cerdas,"
lanjut Layan. Dua orang telah memujinya, membuat Ca-
mar Hitam menganggukkan kepalanya. Lalu den-
gan tongkatnya dibongkarnya tanah yang tadi di-
tekan dengan tongkatnya.
Tanah itu memang membentuk kuburan.
Lalu perlahan-lahan tanah itu terlihat semakin
berkurang dan semakin dalam.
Sudongdong dan Layan berusaha menahan
dirinya untuk tidak melihat ke dalam lubang,
agar tidak terlalu kelihatan menyolok dari pan-
dangan Camar Hitam. Keduanya pun yakin, kalau
tanah yang digali adalah kuburan Ki Seta.
"Hayya! Bagus, bagus sekali! Tidak sia-sia aku meninggalkan daerah selatan untuk
mencari cincin pusaka yang hebat ini!" seru perempuan sakti itu sambil melirik
Sudongdong dan Layan.
Si Kera Sakti dan Setan Kaki Besi beranjak
untuk melihat satu sosok tubuh yang terbujur di tanah. Kaku. Namun yang
mengherankan, tubuh
itu belum hancur. Masih nampak kuat dan
layaknya orang tidur belaka.
Namun bisa dimaklumi bila mengingat la-
tar belakang Ki Seta. Meskipun seluruh kesak-
tiannya telah punah akibat menelan cincin pusa-
ka itu, pengaruh kesaktiannya masih mampu me-
lindungi tubuhnya dari koyakan alam.
Sudongdong mendesah dalam hati. Kini dia
harus lebih bersikap hati-hati, karena yang diinginkan sudah di ambang mata.
Seperti yang dice-
ritakan Setan Kaki Besi, sudah tentu cincin pu-
saka itu memang berada di tubuh Ki Seta. Begitu pula kehadiran Camar Hitam.
Perempuan tua ini
tentu sudah yakin sekali kalau cincin pusaka itu memang berada di tubuh Ki Seta.
Tetapi yang menjadi masalah sekarang, ba-
gaimana untuk mengelabui Camar Hitam kemba-
li" Paling tidak, berusaha agar cincin pusaka itu pindah tangan!
"Camar Hitam! Kau baru bisa tertawa bila
memang sudah melihat cincin pusaka itu!" ujar Sudongdong dengan suara
melecehkan. "Kalau kau belum melihatnya, mana mungkin bisa tertawa seperti itu?"
Tiba-tiba Camar Hitam menghentikan ta-
wanya. Tatapannya tak sedap dilihat. Mata kela-
bunya melotot dengan mulut tertarik ke dalam.
Napasnya seperti tertahan.
"Diaammm! Aku tidak mau dibodohi terus
menerus, Sudongdong!" bentak perempuan tua ini.
"Hei" Apa maksudmu?" balas Sudongdong sambil tersenyum. "Aku berkata apa adanya.
Lebih baik buktikan saja dulu tentang kebenaran
cincin pusaka itu."
Bukannya menjawab. Camar Hitam justru
mengibaskan tongkatnya ke arah Sudongdong.
Wuuuttt! "Heeiiittt!"
Sudongdong telah melenting ke atas. Sam-
baran tongkat itu dirasakan amat kuat sekali.
Mampu meredam hawa panas di tubuhnya.
Begitu menarik pulang kembali tongkatnya,
Camar Hitam kembali menggerakkannya. Kali ini
ke arah Layan yang sejak tadi memang sudah
bersiaga. Dia juga menduga kalau kali ini Camar Hitam tak bisa dibohongi lagi.
"Kau juga harus mampus, Buntung!" desis Camar Hitam.
Layan menghindarinya dengan bersalto, la-
lu hinggap di samping Sudongdong yang sudah
bersiaga. Camar Hitam terkikik-kikik.
"Bagus, bagus sekali! Dua pasangan yang
pas! Kini, terimalah kematian kalian!"
"Tahan!" seru Sudongdong. "Sudah lama aku menginginkan pertarungan ini
sebenarnya!"
Si Kera Sakti merasa kali ini tak ada jalan
lain lagi, kecuali bicara apa adanya. Namun, mulutnya masih penuh bisa.
"Tetapi, aku paling tidak suka bila berta-
rung tanpa ada sesuatu yang dipertaruhkan," lanjut si Kera Sakti.
Camar Hitam menghentikan gerakannya,
menancapkan tongkatnya di sisinya.
"Apa yang akan kita pertaruhkan?" tanya perempuan tua sakti itu.
"Cincin pusaka itu!" sahut Sudongdong, mantap.
Layan tersenyum, memuji kecerdikan Su-
dongdong. "Boleh, boleh saja! Tetapi, di mana cincin itu?" tanya Camar Hitam.
"Bodoh! Bukankah kita akan membuktikan
kalau cincin itu berada di tubuh Ki Seta?" maki si Kera Sakti.
"Oh, ya... ya. Baik, aku setuju! Tetapi, siapa yang akan membedah mayat itu?"
"Bagaimana kalau kau saja?"
"Aku?" Camar Hitam terkikik. "Enak saja!
Selagi aku melakukannya, kalian akan membo-
kongku! Bagaimana kalau kau saja?"
Sudongdong terdiam sesaat, memperguna-
kan kemampuan liciknya lagi.
"Baik! Layan yang akan melakukannya,
sementara kita berdua menyaksikannya. Bagai-
mana" Kau setuju dengan usul itu, Camar Hi-
tam?" Camar Hitam mengangguk.
"Lakukan!"
Layan alias Setan Kaki Besi segera mela-
kukan tugas itu. Kedua tangannya digerakkan.
Dan seperti ada tenaga kuat sekali, mendadak sa-ja tubuh Ki Seta terangkat.
Kalau tadi berada di lubang kuburannya, sekarang berada di tanah
yang sejajar pijakan kaki mereka.
Layan mengambil sebatang kayu yang
ujungnya agak runcing. Kepalanya menoleh ke
Camar Hitam dan Sudongdong yang mengangguk
secara bersamaan.
Lalu tangan Layan pun segera terangkat,
siap menghujamkan kayu yang tajam ke tubuh Ki
Seta, untuk mencari di bagian mana cincin pusa-
ka yang tersembunyi.
Namun belum lagi tangan itu turun ke tu-
buh Ki Sela, serangkum angin berdesing.
Trakkk! Kayu yang dipegang Layan patah!
*** "Bangsat! Siapa yang berani berbuat nekat
seperti ini?" bentak Layan sambil bangkit dengan mata nyalang.
Sementara Camar Hitam dan si Kera Sakti
pun bersiaga. Mereka tak melihat siapa-siapa di sana, kecuali mereka bertiga.
Tetapi, tiba-tiba terdengar kikikan Camar Hitam.
"Hik hik hik.... Rupanya Penguasa Alas Ro-
ban pun sudah tiba di sini! Silakan keluar dan
masuk ke kalangan, kalau tidak ingin dikatakan
pengecut!"
"Tak kusangka! Penciumanmu ternyata
sangat tajam, Camar Hitam!" terdengar suara bernada berat, menandakan kewibawaan
penuh. "Aku jadi malu sendiri karena masih saja nekat untuk bersembunyi! Baiklah, aku
akan keluar!"
Tak lama, satu sosok tubuh melenting dari
satu tempat. Gerakannya sangat ringan. Dan ta-
hu-tahu dia sudah hinggap di hadapan ketiganya.
Satu sosok tubuh berpakaian putih seperti seo-
rang pendeta. Wajah berkesan bijaksana. Jenggot putihnya cukup panjang. Di
tangannya terdapat
sebuah tasbih berwarna emas, yang ukurannya
lebih besar dari tasbih biasa.
"Ki Abdi Kanwa!" seru Camar Hitam. "Hik hikhik.... Kiranya cincin pusaka itu pun
terdengar di telinga Penguasa Alas Roban, sehingga harus
repot-repot keluar dari sarang!"
Lelaki tua berpakaian putih yang dipanggil
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Memang,
kemunculan tokoh golongan putih dari Alas Ro-
ban dikarenakan telah mendapat wangsit dari
mimpinya, kalau sebuah cincin pusaka kelak
akan menjadi sumber silang sengketa, yang akan
menjadikan bumi bertabur darah.
Sebagai orang golongan putih yang sebe-
narnya sudah menyepi di Alas Roban, Ki Abdi
Kanwa pun merasa terpanggil untuk menyelesai-
kan masalah ini. Meskipun yang paling aneh, da-
lam mimpinya ada seorang pemuda berpakaian
hijau muda dan memiliki selembar kain bercorak
catur di bahunya, yang akan mampu menyelesai-
kan masalah ini. Tetapi siapa dia" Selama me-
nyepi itu, Ki Abdi Kanwa tidak lagi menghiraukan masalah dunia ramai. Itu
sebabnya, dia tak men-genali pemuda itu.
Karena ingin menyelamatkan cincin pusa-
ka itu, dan rasa penasarannya pada pemuda da-
lam mimpinya, Ki Abdi Kanwa terpaksa harus ke-
luar ke dunia ramai.
Ki Abdi Kanwa tersenyum.
"Aku pun tak menyangka kalau Camar Hi-
tam pun sudah berada di sini. Itu menandakan
betapa ramainya kabar tentang cincin pusaka mi-
lik Ki Seta yang akan menjadi petaka di dunia
persilatan ini." kata Ki Abdi Kanwa bijaksana.
"Dan, apakah kehadiranmu di sini untuk
merebut cincin pusaka itu?" sindir Camar Hitam.
Ki Abdi Kanwa menggelengkan kepalanya.
"Tidak.... Aku hanya menghendaki cincin
pusaka itu dimusnahkan saja. Karena, akan me-
nimbulkan perpecahan yang semakin menjadi di
antara tokoh persilatan."
Camar Hitam terkikik.
"Ki! Apakah selama ini matamu buta dan
telingamu tuli" Secara hukum alam, di rimba persilatan ini pun sejak lama telah
bermusuhan an- tara golongan hitam dan golongan putih!"
"Aku mengerti! Itulah sebabnya, aku akan
menghalangi siapa saja, baik dari golongan hitam maupun golongan putih yang
menginginkan cincin pusaka itu!" sahut Ki Abdi Kanwa alias Penguasa Alas Roban.
Sudongdong yang merasa bisa mengambil
muka di hadapan Camar Hitam sekarang, segera
mempergunakan kesempatan.
"Hmmm.... Rupanya kaulah yang berjuluk
Penguasa Alas Roban, Ki! Tak kusangka, tokoh
putih yang bijaksana ternyata pandai memper-
mainkan lidah! Berlagak ingin memusnahkan cin-
cin pusaka itu. Padahal dalam hatinya berniat
untuk menyerakahinya sendiri," sindir si Kera
Sakti sambil melirik Camar Hitam. "Camar Hitam.... Jangan sampai kau terpancing
ucapan- ucapannya yang bercabang itu. Hati-hati! Karena dia sangat pandai berkata-kata."
"Jangan mengajari aku!" bentak Camar Hitam, lalu menoleh ke arah Penguasa Alas
Roban. "Ki Abdi Kanwa..., ketahuilah! Aku berniat memiliki cincin pusaka itu! Bila kau
pun berniat pula, maka harus berhadapan denganku!"
Ki Abdi Kanwa mengusap jenggotnya.
Pendekar Latah 7 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Anak Pendekar 27
^