Pencarian

Mustika Putri Terkutuk 2

Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk Bagian 2


Guru. Kau pasti akan sembuh," suara Senaaji terdengar lirih, dibebani duka.
Sementara yang diajak bicara sama sekali tidak memberi tanggapan.
"Kalian kenapa berkumpul di sini"! Bubar. Beri Guru udara segar!" hardik Senaaji
kemudian pada murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang.
Senaaji tak peduli lagi, apakah di antara mereka kakak-kakak seperguruannya atau
tidak. Di hanya ingin udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak jadi
penat. "Beri jalan pada Pendekar Slebor!" sambung pemuda itu ketika mendapati Andika
masih berdiri di pintu ruangan.
Pendekar Slebor" Para murid yang lain langsung
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama sekali kalau tokoh besar
seperti Pendekar Slebor akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya melangkah
teratur untuk keluar ruangan, mereka menjura pada Andika sebagai salam
penghormatan. Mata mereka terus menatap Andika lekat-lekat, karena telah salah terka. Selama
ini pendekar yang menggemparkan dunia persilatan itu dianggap seorang lelaki
setengah baya berwibawa. Tapi yang disaksikan kali ini adalah seorang pemuda
ber-penampilan acuh, namun ramah. Sama sekali di luar perkiraan mereka!
Sementara, Andika membalas penghormatan itu dengan menjura pula. Sikap yang
ramah harus dibalas dengan ramah pula. Meskipun sudah masuk dalam jajaran tokoh
kalangan atas dunia persilatan, toh di dalam semesta yang luas tak terbatas ini
Andika hanya setitik debu tak berarti.
Seseorang maju ke depan Andika. Dia murid tertua di perguruan itu. Namanya,
Subali penampilannya gagah berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan hitam.
Rambutnya yang ikal sebatas bahu diikat kain coklat, warna perguruan mereka.
"Salam hormat, Tuan Pendekar. Selamat datang di perguruan kami," ucap Subali.
"Maafkan, kami tak menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-hatinkan yang
menimpa kami."
"Tak apa-apa, Kisanak. Kedatanganku ke sini justru ingin mengetahui kejadian
yang sebenarnya.
Sekaligus, untuk menjenguk guru kalian," kata Andika.
"Subali, biarkan tamu kita menemuiku," terdengar suara Ki Kusuma seperti keluhan
panjang bergetar.
"Aku ingin berbicara.... Padanya...."
Subali mempersilakan Andika.
"Ada apa, Ki?" tanya Andika seraya mendekati Ki Kusuma.
Di sisi Senaaji, Andika bersimpuh. Ditunggunya kata-kata lemah Ki Kusuma yang
akan disampaikan.
"Bolehkah aku berwasiat padamu, Anak Muda?" Ki Kusuma memulai, namun tersendat-
sendat. Mata lelaki tua itu tampak sayu tak bercahaya, dirangsek penyakit aneh. Di sela-
sela janggut putih di sudut bibirnya terdapat darah mengering.
Dan Andika hanya mengangguk. Dia tahu isyarat itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai
tanda setuju. "Kadipaten Karangwaja sedang dilanda bencana mengerikan. Aku sudah tak bisa
berbuat apa-apa lagi, karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau datang, aku
didatangi seorang wanita secara gaib.
Dalam sekaratku, dia memberi 'petunjuk' padaku, bahwa kaulah yang dapat
melepaskan kadipaten ini dari bencana. Namun terlebih dahulu kau harus meminta
bantuan seorang yang pribadinya ibarat
'kendi berisi telaga'. Kujungilah dua perguruan malam ini juga...," ucapan
terpatah-patah Ki Kusuma terhenti.
"Perguruan apa saja, Ki?" desak Andika. Pendekar Slebor ingin mengetahui lebih
jelas, tapi lelaki tua Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah menghembuskan
napas terakhir.
"Guru.... Guru," Senaaji tersentak. Senaaji yang begitu mencintai gurunya
memanggil-manggil nama Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali menundukkan
kepala dalam-dalam. Di samping rasa kehilangan merayapi batinnya, dia juga
merasa beban yang amat berat siap menantinya selaku murid tertua.
Dan tentu saja Subali akan meneruskan
kepemimpinan Perguruan Naga Langit. Seperti juga Subali, murid-murid lain di
luar ruang semadi juga tertunduk penuh rasa duka.
Sementara itu, Andika justru tengah berpikir keras tentang wasiat terakhir Ki
Kusuma. Ucapannya seperti pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang
menuntut jawaban tepat dan cepat. Mengingat, keadaan gawat kini menimpa
Kadipaten Karangwaja.
Setiap saat bisa berarti satu nyawa!
"Aku turut berdukacita atas kematian guru kalian,"
ucap Andika setelah tersadar dari kecamuk pikirannya. "Lebih baik kalian segera
mengurus jenazah Ki Kusuma dan kawan-kawan yang
meninggal di halaman depan. Dan sungguh menyesal aku tidak bisa mengikuti
upacara pemakaman, mengingat pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera berangkat
malam ini juga."
Bersama satu tarikan napas penyesalan, Andika segera mohon pamit.
"Tuan Pendekar," cegah Subali, saat Andika beru saja hendak beranjak. "Ada
sesuatu yang hendak kusampaikan. Mari...."
Subali mengajak Andika meninggalkan ruang khusus itu. Mereka lantas berjalan
beriringan. Setibanya di lorong kamar-kamar perguruan, barulah Subali memulai.
"Sewaktu lima orang bertopeng melakukan perampokan tadi, aku berusaha meringkus
mereka bersama murid lain. Tanpa sengaja, kalung salah seorang lelaki bertopeng
terjatuh, dan kutemukan."
Subali mengeluarkan kalung yang dikatakannya dari balik baju.
"Ini Tuan Pendekar," kata Subali.
Kalung telah berpindah tangan. Kini Andika
mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu berbentuk lempengan bundar
dengan gambar seekor ular bertaring besar.
"Hey" Bukankah ini lambang Perguruan Ular Iblis?"
cetus Andika. "Benar, Tuan Pendekar," sahut Subali cepat.
"Tolong panggil aku Andika saja, Kang Subali. Aku terlalu risih bila disebut
Tuan," pinta Andika, membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya.
"Mmm, bisa Kakang ceritakan tentang perguruan itu?"
"Tidak banyak yang kutahu tentang Perguruan Ular Iblis, ng.... Andika. Perguruan
itu begitu tertutup, seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu yang
sempat kuketahui dari cerita guru kami...."
"Apa itu?"
Sesaat Subali mengisi penuh-penuh paru-parunya dengan udara.
"Ki Kusuma serta dua kawan seperjuangannya pernah bentrok dengan pemimpin
perguruan itu kurang lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu mereka
masing-masing belum mendirikan perguruan."
"Sebabnya?" tanya Andika lagi.
"Aku tak tahu jelas. Namun kudengar, bentrokan itu ada kaitannya dengan Mustika
Putri Terkutuk...,"
jawab Subali dengan mata menyipit, mengingat seluruh cerita yang sempat
didengarnya dari Ki Kusuma.
"Mustika Putri Terkutuk" Ah! Makin rumit saja persoalan ini," keluh Andika dalam
hati. Belum lagi sempat Andika tahu tentang wanita cantik yang mendatanginya dan
mendatangi Ki Kusuma saat menjelang ajal, kini sudah ditambah
persoalan lelaki berwajah seram yang menyerang Walet tanpa alasan jelas. Lalu
muncul persoalan tentang seorang yang bisa membantunya dalam menghentikan
bencana Kadipaten Karangwaja. Dan menurut Ki Kusuma, orang itu berkepribadian
ibarat 'kendi berisi telaga'. Bahkan Andika pun harus mendatangi dua perguruan malam
ini juga. Malah muncul persoalan baru tentang Mustika Putri Terkutuk, yang
menurut Andika juga harus disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh rambut
di kepalanya rontok!
"Tapi, tunggu dulu...," bisik Andika.
Tiba-tiba saja benaknya teringat pada cerita Subali.
"Kau tahu, dua orang kawan Ki Kusuma yang kini membangun perguruan silat seperti
kau katakan tadi?" ungkap Andika dengan mata berbinar-binar.
"Maksudmu?" Subali belum menangkap arah pertanyaan Andika.
"Apa nama perguruan yang mereka dirikan?"
sambung Andika, langsung pada permasalahan.
Subali termangu beberapa tarikan napas. Lelaki berperawakan tinggi besar itu
tampak berusaha keras mengorek ingatannya.
"Ah! Aku ingat! Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Tangan Wesi!" cetus Subali.
"Dua perguruan itu pasti dimaksud Ki Kusuma,"
papar Andika tanpa diminta Subali. "Di mana letak dua perguruan itu, Kang?"
Dengan singkat, Subali pun memberitahukan letak dua perguruan yang diyakini
Andika akan menjadi kunci dari seluruh teka-teki.
*** 7 Warna merah bara di kaki langit sebelah timur mulai nampak, beriring kokok
lantang ayam jantan yang bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali.
Dalam perjalanan menuju timur Kadipaten
Karangwaja, Andika banyak menemukan serakan mayat, akibat pembantaian ganjil. Di
sebuah dusun tak jauh dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa juga
ditemukan. Mulanya Andika merasa curiga menyaksikan dusun itu begitu lengang dan sunyi,
bagai tak ada denyut kehidupan sedikit pun. Padahal, warga dusun ini selalu
menyambut datangnya sang Fajar untuk mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun
didapatinya saat ini sama sekali bertolak belakang.
Kecurigaan itu mendorong keingintahuan Andika.
Segera didatanginya rumah-rumah panggung para penduduk. Dan apa yang
didapatinya" Ternyata para penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa.
Bahkan Andika memandanginya sampai bergidik.
Lantai kayu di sekitar mayat dipenuhi darah kehitaman bercampur serakan jarum.
Dan ketika rumah demi rumah dimasukinya, pemandangan demi pemandangan
menggidikkan pun disaksikannya. Sehingga memaksa kuduknya meremang tanpa
dikehendaki. "Ini sungguh-sungguh bencana mengerikan," desis Andika dengan bibir terangkat
ngeri. "Ini bukan lagi perbuatan manusia! Ini perbuatan iblis!"
Ketika Andika hendak melanjutkan perjalanan,
masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang merangkak mencoba keluar rumah.
Mulutnya merah oleh darah. Wajahnya pucat, layaknya mayat.
Andika mencoba menolong orang itu, tapi usahanya sia-sia. Nyawa orang itu telah
melayang lebih dulu, saat Pendekar Slebor tiba di sisinya.
"Laknat...," dengus Andika untuk kesekian kali.
Begitu selesai kata-katanya, Andika segera melesat cepat, pergi dari situ.
Dikerahkannya seluruh ilmu meringankan tubuh agar segera tiba di Perguruan Elang
Hitam. Dia tak ingin semua kejadian gila itu menjadi kian berlarut.
"Aku harus segera menyelesaikannya," tandas Andika, sarat kegalauan.
Dengan kobar api amarah yang seakan hendak membakar seluruh jaringan tubuhnya,
Andika berlari sepenuh tenaga. Bagai orang kerasukan setan, diterabasnya onak
berduri dan semak belukar.
Dicobanya mencari jalan pintas yang bisa mem-bawanya cepat tiba di tujuan.
Pohon-pohon raksasa yang mencoba menghalangi luncuran tubuhnya, dilompati bagai
seekor Walet mematahkan hadangan batu karang.
Seribu satu perasaan yang berkecamuk dalam diri berbaur menjadi sebentuk
kekuatan tak terduga.
Kecepatan larinya jadi kian menggila. Sampai-sampai, pandangannya hanya
menangkap kelebatan
bayangan kabur dari benda-benda yang dilewatinya saat berlari.
Tak ada berapa lama, Andika tiba di satu lembah luas yang diapit bukit. Rumput
hijau setinggi betis menghampar indah dalam selimut sinar surya.
Jajaran pepohonan pinus memagari sekitar lembah.
Tepat di tengah lembah itulah Perguruan Elang Hitam
berdiri. Tanpa ingin membuang waktu sekejap pun, Andika melanjutkan larinya. Dadanya yang
saat itu hendak terbelah karena dengus napas memburu, tak lagi dihiraukan. Hanya
satu yang dipikirkan saat itu, dia harus memecahkan seluruh teka-teki lalu
menuntas-kan bencana brutal ini!
"Heaaa...!"
Wrrr...! Setibanya di pagar tinggi Perguruan Elang Hitam, Andika melenting tinggi ke
udara. Tubuhnya melayang di udara, melewati pagar dari batang-batang cemara.
Jlek! Begitu usai melakukan gerakan indah di angkasa, kaki Pendekar Slebor menjejak
mantap di pelataran depan perguruan itu. Apa yang ditemukannya di sana" Ternyata
sebuah pemandangan yang semula begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan
mayat murid perguruan tampak berserakan tumpang tindih, bagai onggokan daging
tak berharga. "Biadaaab! Siapa dalang semua ini"!" teriak Andika, dengan suara menggelegar
penuh kemurkaan.
Dengan napas memburu, Andika mencoba mencari sisa-sisa kehidupan di dalam
bangunan Perguruan Elang Hitam. Seluruh ruang dijelajahinya.
Namun, tak sejengkal pun dilewati. Dan lagi-lagi matanya dijejali anyir darah
dan mayat-mayat tanpa tanda kehidupan.
"Oh, Tuhan...," keluh Andika lemah.
Tak mampu lagi pemuda itu menatap apa yang tergambar di depan matanya. Matanya
dipejamkan rapat-rapat. Kepalanya menggeleng lemah, seakan tidak ingin
mempercayai semua yang dilihatnya.
Saat berikutnya, Andika kembali melesat lebih gila dari sebelumnya. Tak ingin
lagi. Tak ingin lagi dia menyaksikan apa yang terjadi di perguruan mengenaskan
itu. Bahkan sekadar untuk mengingat sekalipun!
Tak lama kemudian, tubuh Pendekar Slebor sudah melesat di luar Perguruan Elang
Hitam. Dia berlari deras menuju tujuan berikut, Perguruan Tangan Wesi di wilayah
barat. Sebuah jarak yang jauh, karena ditempuh dari satu ujung ke ujung lain.
Tapi hal itu sama sekali tidak mengusik tekadnya untuk segera sampai di
penguruan itu. Sementara, hati nuraninya terus berharap agar tidak menemukan
lagi pemandangan seperti di Perguruan Elang Hitam.
*** Jauh dari harapan Andika, di Perguruan Tangan Wesi saat ini justru sedang
terjadi pertempuran maut.
Tiga puluh orang bertopeng datang menyerbu. Seperti maksud kedatangan mereka di
Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit, pasukan bertopeng itu juga
hendak merampas benda-benda pusaka milik Perguruan Tangan Wesi.
Kejadian yang menimpa dua perguruan besar di wilayah timur dan selatan, dialami
Perguruan Tangan Wesi. Sebelum penyerbuan orang-orang bertopeng, beberapa murid
perguruan juga tertimpa bencana aneh. Mereka mendadak menggelepar-gelepar
sekarat. Dari mulut masing-masing, keluar muntahan darah bercampur puluhan
batang jarum. Kemudian, kejadian serupa menimpa guru besar perguruan itu.
Belum sempat sisa murid Perguruan Tangan Wesi menguburkan jenazah rekan-rekan
dan guru mereka,
pasukan bertopeng datang dari berbagai penjuru, laksana serigala-serigala lapar
memburu sekerat daging. Berikutnya, pertarungan hidup mati pun meletus dahsyat.
Orang-orang bertopeng itu yang bersenjatakan golok membabat setiap murid
Perguruan Tangan Wesi yang lengah, karena kematian guru tercinta mereka.
Sebagian murid yang masih sempat melakukan perlawanan, harus bersusah payah
mempertahankan nyawa.
"Hiaaa!"
"Haih!"
Trang! Trang! Bret!
"Wuaaa!"
Orang kelima belas dari Perguruan Tangan Wesi menemui ajal, terbabat golok pada
bagian wajahnya.
Di lain pihak, lawan orang-orang bertopeng itu tetap dalam jumlah semula. Belum
seorang pun mengalami luka. Apalagi sampai tewas. Jelas-jelas kalau orang-orang
bertopeng itu tidak mau tanggung-tanggung menjalankan niat busuknya. Tampaknya,
yang dikirim ke perguruan itu adalah orang-orang pilihan yang memang tangguh.
Pertempuran terus berlangsung di sekitar pelataran perguruan. Setiap jengkal
tanah pelataran, menjadi kancah penentuan antara hidup dan mati.
Terutama, bagi para murid Perguruan Tangan Wesi.
Yang mati-matian membela diri dan nama perguruan.
Lebih dari itu, mereka pun siap mati untuk menghadapi kebatilan.
Di beberapa sudut pelataran, satu lelaki bertopeng dikeroyok tiga murid
perguruan. Keroyokan itu dilakukan tidak ksatria, tapi semata-mata mereka


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari kalau ketangguhan orang-orang bertopeng
itu tidak bisa diremehkan.
Di sebelah timur kancah pertarungan, dua murid Perguruan Tangan Wesi harus
melayani habis-habisan, golok seorang lelaki bertopeng yang bergerak begitu
cepat mengejar keduanya. Padahal mereka sudah berusaha memperlebar jarak satu
dengan yang lain, agar perhatian orang bertopeng itu dapat terpecah.
Kedua murid perguruan yang tidak menggunakan senjata dalam pertempuran itu
terpaksa tunggang langgang menghadapi sabetan golok orang
bertopeng. Sebagaimana namanya, murid-murid Perguruan Tangan Wesi memang hanya
meng-andalkan sepasang tangan sebagai senjata. Mereka dilatih sedemikian rupa,
agar tangan mereka mampu menjebol karang. Namun begitu, bukan berarti tangan
mereka kebal terhadap senjata tajam. Itu sebabnya, mereka hanya menghindari
serangan tanpa mampu menangkis sambaran golok. Kalau kebetulan beruntung, mereka
bisa menangkis tangan orang bertopeng yang memegang senjata.
"Hiah!"
Bet, bet! "Hait!"
Pada suatu kesempatan, lelaki bertopeng yang terus menyabet-nyabetkan golok
bertubi-tubi, tiba-tiba melepaskan tendangan menyapu dengan memutar tubuh
terlebih dahulu.
Gerakan yang tak terduga ini membuat seorang murid terkesiap kaget. Dia tak
terburu lagi melangkah mundur untuk menghindari kepalanya dari ancaman
tendangan. Terpaksa badan merunduk, sehingga luput dari tendangan ganas itu.
Namun baru saja bisa bernapas lega. Lelaki bertopeng itu segera
melancarkan serangan susulan. Goloknya langsung menggempur buas dari atas.
Sehingga.... "Mampus kau! Hiaaah!"
Crak! "Aaakh!"
Didahului satu suara benda tajam membelah batok kepala, terdengar jerit kematian
dari murid Perguruan Tangan Wesi. Tengkorak murid naas itu nyaris terbelah
hingga pelipis. Darah pun langsung menyembur deras, begitu golok itu dicabut
dari kepalanya.
"Adi Karsa!" teriak murid Perguruan Tangan Wesi yang seorang lagi, melebihi
kerasnya jerit kematian kawannya. Wajahnya memerah matang menyaksikan adik
seperguruannya mengalami nasib memilukan di tangan orang bertopeng itu.
"Hua ha ha...! Kenapa"! Kaget melihat kawanmu mampus dengan mudah di tanganku"!
Atau kau takut mendapat giliran berikutnya?" ejek lelaki bertopeng itu pongah.
Dengan mata berkobar-kobar amat gusar, murid Perguruan Tangan Wesi yang baru
saja kehilangan seorang saudaranya, mendengus geram. Pangkal hidungnya terangkat
sebagai tanda kegeramannya pada orang bertopeng itu.
"Iblis! Kau harus membayar nyawa saudara seperguruanku!" dengus murid itu,
sambil mengangkat tangan di depan dada. Otot-otot tangannya kontan bersembulan
dan menegang. "Ah! Jangan anggap dirimu pedagang tempe. Pakai bayar-bayaran segala," cemooh
orang bertopeng itu kembali, kian mendidihkan darah murid Perguruan Tangan Wesi.
"Bangsat! Hiyaaa...!"
Deb, deb, deb! Tubuh murid Perguruan Tangan Wesi melenting tinggi ke arah orang bertopeng itu.
Kedua tangannya memukul bergantian di udara, menimbulkan bunyi menggetarkan
gendang telinga. Rupanya, dia berniat meremukkan kepala lawannya sebagai bayaran
atas kematian adik seperguruannya yang bernama Karsa.
"Hih!"
Seketika orang bertopeng itu secepatnya menyer-gap tanah untuk menyelamatkan
kepalanya. Usahanya berhasil. Tubuhnya langsung bergulingan, tepat di bawah kaki
murid Perguruan Tangan Wesi yang tengah melayang. Dan dalam satu rangkaian gerak
yang begitu cepat, golok di tangannya menebas ke atas, tepat diarahkan ke
sepasang betis murid itu.
Crak! "Waaa!"
Bruk! Setelah kawannya mengalami nasib mengerikan, kali ini murid Perguruan Tangan
Wesi itu mendapat giliran. Kedua kakinya terputus sebatas betis di udara.
Potongannya langsung terpetal ke samping, diikuti semburan darah segar. Kemudian
tubuhnya ambruk ke tanah, karena tidak bisa lagi berpijak.
"Sayang sekali! Sebenarnya aku masih suka main-main denganmu beberapa jurus
lagi. Tapi, tampaknya kau tak bisa lagi menjadi lawan tandingku. Lebih menyesal
lagi, pemimpinku menugaskan agar pekerjaanku harus diselesaikan secara tuntas.
Jadi...." "Kau ingin bunuh aku" Bunuhlah! Aku tak pernah gentar untuk mati di tanganmu,
Bangsat!" "O-o-o! Itu sudah pasti kulakukan. Nah, terimalah ke.... Akh!"
Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, lelaki bertopeng keji itu mengejang.
Matanya mendelik keatas. Sedangkan dadanya membusung ke depan tegang. Tak pernah
diduga kalau ucapannya tadi justru menjadi sambutan bagi ajalnya sendiri.
"Ya! Terimalah kematianmu, Iblis Keparat," ujar seseorang di belakangnya seraya
membetot tangan kanannya dari tubuh lelaki bertopeng itu. Orang yang membokong
memang murid tertua Perguruan Tangan Wesi.
Bruk! Tubuh lelaki bertopeng ambruk ke depan seperti sebatang pohon tumbang. Di
bokongnya kini terlihat jelas lubang menganga, yang mengeluarkan darah segar.
"Menyingkirlah, Adi! Selamatkan dirimu bagaimanapun caranya!" perintah lelaki
berperawakan pendek kekar dengan kumis melintang di bawah hidungnya. Sementara
kepalanya dicukur gundul.
"Tapi, Kang Manggala...."
"Jangan pakai tetapi! Kau harus menjadi saksi mata atas kejadian ini, agar para
tokoh aliran putih bisa menyelesaikannya. Sehingga, kejadian seperti ini tidak
terulang pada perguruan lain!" hardik orang yang dipanggil Manggala, tanpa
maksud memarahi adik seperguruannya.
"Baik, Kakang. Tapi bukan berarti aku takut mati.
Kau harus tahu itu, Kakang," ucap murid yang dua kakinya buntung itu.
"Aku tahu. Kita semua bukan orang-orang pengecut. Kita adalah ksatria yang tak
gentar mati demi menghadapi kebatilan. Ayo, cepatlah Adi...,"
pinta Manggala dengan suara bergetar.
Meski Manggala dikenal sebagai lelaki berjiwa
tegar, tak urung perasaannya tersentuh melihat semangat juang adik
seperguruannya.
Dalam kancah pertarungan yang kian mendebar bau anyir darah, seorang murid
Perguruan Tangan Wesi terseok-seok menyeret tubuh untuk keluar dari medan
kematian. Mata berairnya tak henti-henti menatapi mayat demi mayat saudaranya.
"Kalau kalian gugur semua hari ini, aku berjanji tidak akan menangisi. Karena
kalian adalah ksatria.
Ya, ksatria. Dan walau aku ditinggalkan sendiri di dunia busuk ini, yang penting
kalian jangan memisahkan aku pada saat kita akan bertemu lagi nanti...."
*** 8 Andika semula berharap, bencana yang menimpa dua perguruan yang dikunjungi
sebelumnya, tidak menimpa Perguruan Tangan Wesi pula. Namun, Tuhan berkehendak
lain. Apa yang diharapkannya ternyata melesat. Begitu pun keinginannya agar
tidak terlambat tiba di perguruan itu.
Setibanya di Perguruan Tangan Wesi, matanya malah menyaksikan pembantaian.
Manggala, murid tertua perguruan itu pun menemui ajal, tepat saat Andika
menjejakkan kaki di pelataran perguruan.
Darah Pendekar Slebor mendidih sehebat-
hebatnya. Kemurkaannya yang memang sudah menggelegak, kini tiba di puncak ubun-
ubun. Dalam sekejap, rahangnya mengeras. Demikian pula seluruh otot di sekujur
tubuhnya. Dadanya kini ibarat gunung berapi yang siap meletus.
"Kalian keparat semua! Akan kubantai kalian, seperti kalian bantai mereka!"
bentak Andika menggelegar, seraya menunjuk pada serakan mayat para murid
Perguruan Tangan Wesi.
Teriakan itu mengejutkan dua puluh orang bertopeng yang masih hidup. Serempak
mereka menoleh ke arah Andika, dengan tatapan siaga.
Namun kesiagaan itu percuma, karena Pendekar Slebor telah bergerak sebelum
mereka lebih lama melihatnya.
"Hiaaat!"
Wesss! Bayangan hijau muda dari pakaian Pendekar
Slebor bergerak dalam kecepatan luar biasa. Mata para lelaki bertopeng sampai-
sampai begitu sulit menangkap bentuk tubuhnya, kecuali seberkas bayangan hijau
muda. Plak! Des! Dan tiba-tiba saja, seorang bertopeng terpental tinggi ke udara. Dari mulutnya
berceceran percikan darah. Entah apa yang hancur dari bagian tubuhnya, setelah
menerima hantaman Pendekar Slebor. Yang pasti, begitu tubuhnya ambruk di tanah,
sudah tak memiliki nyawa lagi.
Andika terus berkelebat, lalu....
"Khaaah!"
Deb! Krak! "Waaa!"
Menyusul dua lelaki bertopeng yang kontan ambruk terkena serangan Pendekar
Slebor. Kedua orang itu pun terpental bagai batang pohon kering terhempas topan.
Satu orang memuntahkan darah segar, setelah menerima jotosan telak yang langsung
memecah ulu hatinya. Seorang lagi tak sempat berteriak. Kepalanya remuk begitu
saja dari ubun-ubun hingga pangkal hidung.
Tujuh belas lelaki bertopeng lain terkesiap bukan alang kepalang. Seumur hidup,
belum pernah mereka menyaksikan serangan yang begitu cepat. Bagi mereka,
kecepatan itu sudah tidak mungkin dilakukan manusia. Tapi kenyataan yang terjadi
di depan mata" Sungguh membuat mereka bertanya dalam hati masing-masing, apakah
mereka telah diserang siluman sinting"
Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka tidak punya waktu lagi. Langkah terbaik
sisa pasukan bertopeng itu adalah bersiap menanti serangan
datang. Seandainya melarikan diri pun tampaknya sia-sia belaka, karena dengan
mudah sosok bayangan hijau itu akan dapat mengejar.
"Jangan lengah!" seru salah seorang yang tampaknya menjadi pemimpin pasukan,
mempe-ingati bawahannya.
Baru saja seruan itu selesai....
Plak! "Aaa!"
Kembali terdengar pekikan, yang diawali suara tamparan keras. Tampak seorang
laki-laki bertopeng terjengkang ke tanah.
Melihat kenyataan ini, nyali sisa pasukan bertopeng makin menciut. Napas mereka
tersengal tak beraturan, sebagai ungkapan kengerian yang terjadi. Orang-orang
keji itu kini bisa merasakan, bagaimana keadaan bila maut siap menjemput seperti
dialami murid-murid Tangan Wesi.
"Kenapa kalian diam saja"! Apa iblis di diri kalian telah pergi, setelah puas
membantai"!"
Terdengar teriakan Andika dari sebelah selatan pelataran.
Secara berbarengan, keenam belas lelaki
bertopeng itu menoleh. Kini mereka baru bisa melihat jelas sosok yang dihadapi.
Dia adalah seorang pemuda yang ketampanannya kini diselimuti kobaran api
kemurkaan. "Sss..., siapa kau sebenarnya"!" tanya pemimpin pasukan bertopeng agak gentar.
"Aku" Aku siapa, ya?" cemooh Andika, mencibir,
"Barangkali orang sinting yang begitu berselera menghisap darah kalian hidup-
hidup." Bibir Pendekar Slebor kali ini menyeringai penuh ancaman. Sementara dari balik
topeng, mata keenam
belas lelaki bertopeng itu menyipit. Bisa jadi mereka menanggapi secara sungguh-
sungguh ucapan Andika barusan.
"Kam... kami tidak ada urusan denganmu. Kenapa kau turut campur?" untuk yang
kedua kalinya, sang Pemimpin pasukan bertopeng bertanya tersendat.
"Ada! Kenapa tidak"!" bentak Andika sangar.
"Kalian tahu apa hubunganku dengan orang-orang yang telah kalian bantai"!"
Para lelaki bertopeng itu saling melirik. Bagaimana pertanyaan terakhir Pendekar
Slebor terjawab, kalau mereka sendiri tidak mengenalnya.
"Tidak tahu, kan" Aku juga tidak tahu!" cerocos Pendekar Slebor lagi.
Kata-kata Andika membuat keenam belas lelaki di sekitarnya makin yakin kalau
orang yang dihadapi memang orang sinting tulen.
"Kau ingin tahu"!" bentak Andika pada pemimpin pasukan lawan.
Bentakan barusan disertai penyaluran tenaga dalam penuh, sehingga terdengar
mengguntur. Pemimpin orang bertopeng yang memang sudah jatuh nyali tersentak bukan main.
Sampai-sampai kepalanya tersentak ke atas seperti sedang mengangguk.
"Bagusss! Jadi kau ingin tahu"!" sambung Andika setelah melihat gerakan kepala
lelaki itu. "Kalau kau dan anak buahmu benar-benar ingin tahu, maka kuizinkan
pergi dari sini...."
Mereka amat lega mendengar keputusan terakhir Andika.
"Dan kalian harus ke suatu tempat, untuk mengetahui jawabannya!" terabas Andika
lagi. Keenam belas lelaki bertopeng itu menunggu kata Pendekar Slebor selanjutnya.
Mereka berharap,
pemuda sinting itu menyebutkan nama suatu tempat.
Sehingga mereka bisa aman meninggalkan pelataran Perguruan Tangan Wesi.
Sementara itu, Andika malah menggeram tak karuan.
"Grrrmmmhhh! Ya! Kalian harus pergi ke... ke neraka!"
Kelegaan sesaat mereka buyar seketika mendengar jawaban Pendekar Slebor. Jantung
mereka saat itu juga terasa hendak berhenti berdenyut, dengan napas tersekat di
tenggorokan. Bagaimana mereka tidak setakut itu kalau pemuda berbaju hijau ini
memiliki kesaktian yang tak mungkin ditandingi, meski dikeroyok sekaligus.
"Ampun...."
Baru saja pemimpin pasukan bertopeng hendak memohon ampun, mulut Pendekar Slebor
sudah memperdengarkan gelegar menggetarkan bangunan perguruan.
"Khhhuaaa...!"
Lalu.... Pendekar Slebor langsung berkelebat cepat, sambil melepaskan pukulan dan
tendangan berturut-turut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Akh!"
"Waaakh...!."
Dua lelaki bertopeng yang berdiri paling dekat terhempas ke belakang bagai tanpa
bobot, begitu terhantam pukulan dan tendangan Andika. Tubuh keduanya baru
berhenti terlempar, kala menghantam dinding bangunan perguruan. Dinding itu
langsung remuk, seperti remuknya tubuh kedua lelaki yang termakan serangan
Pendekar Slebor.
Saat berikutnya....
Pendekar Slebor kembali berkelebat, disertai tamparan khas. Dan....
Jbret! Prak! Prak!
"Aaakh...! Aaa...! Aaakh...!"
Tiga suara menggidikkan terdengar dalam waktu hampir bersamaan. Satu orang
langsung melintir di udara terhajar tamparan sakti pada wajahnya. Dua orang lagi
masih tetap tegak di tempat. Namun kepalanya sudah tidak utuh lagi, terkena
babatan tangan pada leher. Lalu keduanya ambruk bersamaan, disertai semburan
darah segar. Pendekar Slebor tak puas sampai di situ. Baginya, mereka telah berhutang nyawa
puluhan murid Perguruan Tangan Wesi. Suka tidak suka, hutang itu harus dibayar
lunas dengan nyawa.
"Hiaaa!"
Kembali terdengar teriakan merobek angkasa dari Pendekar Slebor. Ketika teriakan
itu terdengar, tubuhnya sudah tidak ada di tempat. Saat berikutnya, Pendekar
Slebor sudah tiba di depan empat lawan yang tersurut ketakutan. Dan tanpa dapat
ditangkap mata, tangannya bergerak membentuk kelebatan hijau muda.
Deb, deb, deb, deb!
Empat jotosan telak langsung menghajar ulu hati keempat lelaki bertopeng. Wajah
mereka sulit digambarkan dengan mata terbeliak.
Tak terlontar jeritan sedikit pun dari mulut keempat lelaki bertopeng itu,
karena nyawa lebih dahulu terlepas ketika ambruk di tanah.
Bruk, bruk, bruk, bruk!
Menyaksikan kematian mengerikan kawan-
kawannya, sisa pasukan bertopeng itu putus harapan.
"Ampuni kami, Tuan! Ampuni kami...."
Seperti bocah kecil bodoh, mereka serempak berlutut sambil merengek-rengek.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Slebor sendiri sudah berdiri tepat di depan mereka dengan napas
mendengus-dengus.
Hanya napas banteng ngamuk yang bisa menandingi kekerasan Andika. Tak ada tanda-
tanda kalau Andika telah puas atas kematian para lawannya tadi. Itu terlihat
jelas dari warna matanya yang memerah matang. Namun entah kenapa, Pendekar
Slebor menghentikan gerak menggilanya kala sisa pasukan bertopeng itu berlutut
memelas. Seolah ada satu kekuatan dari relung batinnya yang mencegah
serangannya. "Ka..., kami memang manusia busuk, Tuan. Kami mengaku bersalah. Kami juga
mengaku, kalau kami semua pantas mendapat perlakuan seperti yang Tuan Pendekar
lakukan. Tapi, tolong beri kesempatan hidup agar kami dapat menebus semua
kesalahan,"
pinta seorang dari mereka mengiba.
"Kalian bisa menebus kesalahan hanya dengan nyawa...," tandas Andika bergetar
dan terdengar dingin.
"Tapi, apakah di hadapan Tuhan kami tidak bisa bertobat, Tuan Pendekar" Kalau
Tuan tidak bisa mengampuni kami, sudikah menyerahkan kami pada Tuhan Penguasa
Alam. Biar Dia yang akan
menentukan, hukuman apa yang pantas bagi kami...,"
lanjut orang itu makin lirih. Kepalanya tertunduk dalam, seperti juga kawan-
kawannya. Seberkas kekuatan asing tiba-tiba menyeruak kembali dari relung batin Andika
yang terdalam. Seolah, dalam dirinya terdengar ucapan, "Tuhan Maha Pengampun...."
Lalu terjadi keganjilan. Seluruh daya kemurkaan
yang bergolak dalam diri Andika surut bagai tersapu gelombang maha sejuk.
"Baiklah.... Kalian kumaafkan," putus Andika perlahan. "Namun, kuminta kalian
membuka topeng itu. Di mataku, topeng itu adalah perlambang manusia tak
bertanggung jawab. Bisanya hanya melakukan kebusukan dari belakang, namun tetap
ingin dianggap orang baik...."
Mereka pun memenuhi permintaan Andika. Satu persatu mereka melepas kain hitam
penutup kepala.
Sampai pada orang terakhir yang membuat Andika mengerutkan dahi dalam-dalam.
"Kau.... Jiran?" ujar Andika setengah bertanya.
*** 9 Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki yang pernah disaksikannya
saat dipermainkan Walet di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang bertopeng
itu. Setahu dia, Jiran bukan murid Perguruan Ular Iblis.
"Tuan Pendekar mengenalku?" tanya Jiran terheran-heran.
"Bukankah kau yang hendak membunuh seorang bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?"
Andika balik bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.
"Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf," sahut Jiran.
"Jadi benar?"
Jiran mengangguk.
"Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?"
tanya Andika kembali.
"Tidak ada Tuan...."
Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres.
"Kau bersedia menceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui?" tanya Andika,
setengah mendesak.
Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah, memperlihatkan ketakutan.
Kepalanya pun menggeleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu tampak
amat gelisah. "Kau takut pada seseorang?" duga Andika.
Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar takut-takut ke setiap penjuru, seakan
sedang diintai maut. "Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan berusaha melindungimu. Lagi pula,
bukankah kau ingin bertobat" Inilah saatnya untuk membuktikan kesungguhanmu pada
Tuhan. Paling tidak, kau telah berusaha menebus sedikit dosamu...," desak
Andika, berusaha menekan ketakutan Jiran.
Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri.
"Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus sedikit kesalahanku...,"
desah Jiran, akhirnya.
Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang pada keputusan Jiran yang berani
menanggung akibat demi tobatnya.
"Silakan," ucap Andika. "Aku senang sekali mendengarnya."
"Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di kadipaten ini tidak ada hubungan
sama sekali dengan Perguruan Ular Iblis," Jiran memulai ceritanya.
"Perguruan itu memang tertutup dan penuh kerahasiaan, tapi tidak pernah
melakukan tindak kerusuhan...."
"Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak memfitnah perguruan itu?" selak
Andika. "Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu domba, Tuan," lanjut Jiran. "Orang-
orang bertopeng yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga
Langit, sengaja diperintah untuk meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular
Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan pengacauan. Mereka
diperintah untuk mengenakan pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu,
Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan lain di kadipaten ini. Dan
setiap kejahatan yang terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai
pelakunya...."
"Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak seenaknya tanpa kedoknya terbuka"
Agar dia tetap dipandang bersih dan tetap aman?" selak Andika lagi.
"Benar, Tuan...," jawab Jiran singkat. Sesaat Andika bergumam samar. Ditepuk-
tepuknya dagu dengan jemari tangan kanannya.
"Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu dapat melakukan pembunuhan keji,
dengan memasukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh manusia?" lanjut Andika.
Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih Andika sudah lebih dahulu menemukan
jawabannya. "Pasti Mustika Putri Terkutuk itu!" duga Pendekar Slebor agak heran, setelah
ingat pesan terakhir Ki Kusuma.
"Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang mustika itu?" tanya Jiran heran.
"Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk membunuh?" lanjut Andika, seakan
tidak mendengar pertanyaan Jiran tadi.
"Kalau itu aku tidak tahu, Tuan," jawab Jiran.
Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu pada dirinya.
"Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini"
Siapa dalang pembantaian keji ini?" tanya Andika dengan kata-kata tegas.
Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari.
"Gusti Adipati, Tuan...," bisik Jiran amat halus, dan takut-takut.
Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak percaya. Kelopak matanya tampak
menyipit, seakan hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu.
"Kau jangan main-main, Jiran," tandas Pendekar Slebor setengah memojokkan. "Apa
kau pikir aku akan mudah dipermainkan?"
Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya terlihat merapat, untuk
memperlihatkan kesungguhan ucapannya barusan.
"Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan selama Tuan membuktikan hal itu.
Kalau aku ternyata menipu, Tuan boleh membunuhku," tegas Jiran yakin.
Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia tidak bisa lagi
menganggap lelaki itu hendak menipunya. ,
"Ya, Tuhan...," desis Andika tiba-tiba terperangah.
Saat itu pula dia ingat sesuatu. "Walet ada di kadipaten. Dan dia pernah hendak
dibunuh oleh seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang sudah pasti kaki
tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini dalam sarang harimau, dan berarti dalam
bahaya besar...."
"Tuan sedang berbicara padaku?" usik Jiran pada Andika.
"Walet! Kau kenal dia, kan?"
"Jadi bocah itu masih hidup?" sergah Jiran bingung. Setahunya, anak itu telah
habis direncahnya.
"Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin membunuhnya?" tanya Andika
tergesa, dirasuki kekhawatiran pada nasib Walet.
"Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku dipecundangi bocah itu seminggu
sebelumnya, aku melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati Tunggul Manik
tampak geram. Aku masih ingat, telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia
membisikkan sesuatu pada Artabuncah...."
"Artabuncah" Lelaki yang wajahnya cacat bekas
sayatan?" "Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati."
Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa alasannya Walet hendak dibunuh" Lama
Andika memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya menyerah.
"Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik sembunyi dulu, selama aku
menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati
Tunggul Manik," putus Andika secepatnya. "Aku harus segera ke kadipaten. Kawan
kecilku dalam bahaya."
"Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan.
Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata Adipati?" tukas Jiran dengan
wajah pasi. "Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga Langit. Katakan, kalian adalah
utusan Pendekar Slebor," ujar Andika cepat.
"Jadi Tuan ini Pendekar Slebor"!" kata Jiran setengah berseru.
Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Begitu juga
kawannya. Pantas saja mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar muda itu.
Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman, Andika sendiri mendadak terdiam.
Benaknya ter-ngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat Perguruan Naga Langit.
"'Kendi berisi telaga'...," bisik Andika. "Bukankah ibarat itu berarti seseorang
yang berjasmani kecil, namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang
tangguh. Walet! Dialah orang yang dimaksud wanita cantik dalam 'petunjuk' Ki
Kusuma, orang yang mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika Putri Terkutuk!
Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak
membunuh Walet! Ya, bocah itulah yang sanggup menghalanginya memanfaatkan
kekuatan Mustika Putri Terkutuk...."
Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan.
Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan bertopeng yang masih
menatapnya, seperti kumpulan orang' dungu. Sampai tubuh Andika menghilang,
barulah mereka tersadar.
*** Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua prajurit jaga tampak berdiri tegak
di sisi pintu gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat keduanya agak
terkantuk. Di sekitar pagar tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik
angin lalu. Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten, Walet tertidur pulas. Sejak Andika
pergi, bocah lelaki itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa sempat
tertidur, Walet terus menunggu Andika kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan
perjuangan Andika jauh di sana. Setelah keletihan meringkusnya habis-habisan,
dia tak bisa lagi terjaga.
Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik bocah itu akhirnya tertidur.
Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan jendela tempat angin melintas masuk
mengirim cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di sebelah jendela
tampak lemari besar berukir berdiri.
Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir terpaku bisu. Tirai putih yang
menutup tempat tidur yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai halus
ketika angin menerpa.
Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman bagi Walet. Namun, tanpa disadari
sepasang mata bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari sang Pengintai
itulah bahaya maut siap mencengkeram jiwa Walet.
Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser perlahan. Suara geserannya begitu
halus, sehingga tak mengusik kenyenyakan tidur Walet. Namun begitu, kalaupun
suaranya terdengar lebih keras, Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia
memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat nyenyak.
Grrr...! Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah satu lubang persegi sebesar
pintu. Dari sana, seseorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu Adipati
Tunggul Manik! Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengenakan pakaian kebesaran, melainkan
berpakaian jubah hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celananya berwarna
hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat kain berwarna merah darah.
Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati Walet. Sedikit pun tak
terdengar suara kala sepasang kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal
dia mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas bagaimana tingginya
ilmu meringankan tubuhnya.
Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika tiba tepat di sisi tempat tidur
Walet, tangan kanannya bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.
Sret! Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini tergenggam kuat-kuat, siap
dihujamkan ke tubuh bocah kecil yang tetap tertidur pulas.
Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata itu diangkat tinggi-tinggi di
atas tubuh Walet. Sesaat keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-
tiba.... "Adipati! Keluar kau!"
Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak hanya mengagetkan Adipati
Tunggul Manik. Walet punkontan tersentak kaget, hingga terjaga.
Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati Tunggul Manik bergerak sigap.
Hanya sekali hentak saja, tubuhnya berputar ke belakang di udara. Dalam waktu
yang demikian cepat, dia sudah menghilang kembali di balik pintu rahasia sebelum
Walet benar-benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun kembali ke
tempat semula. "Adipati! Di mana kau"!" Kembali terdengar seruan di luar.
"Hei" Bukankah itu suara Kang Andika?" gumam Walet seraya mengusap-usap kelopak
matanya yang sepat.
Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan kamar. Dia terus berlari, melewati
lorong-lorong kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak girang
melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya seharian penuh telah kembali.
"Kau sudah pulang, Kang"! Wah, bawa oleh-oleh apa"!" kata Walet.
"Kesini kau!"
Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-keras pada Walet.
Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-hampiri Andika.
"Ada apa sih. Kang"! Kayaknya sewot sekali...,"
gerutu bocah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Andika segera, ketika Walet sampai di dekatnya.
Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-nya Andika dengan bola mata
terangkat ke atas.
"Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang sakit lepra?" sahut Walet
asal bunyi. "Bagus! Berarti bajingan itu tidak memiliki kesempatan untuk menghabisimu...."
"Banjingan" Siapa, Kang?" tanya Walet. Bocah itu bingung melihat sikap Andika
yang begitu tegang.
Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan hendak mengawasi setiap gerak
mencurigakan di seluruh penjuru kekadipatenan ini.
"Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus!"
lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah kecil di depannya.
"Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak bisa tidur. Mataku melek terus,
seperti kerbau kebanyakan kopi!"
"Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?" tanya Andika lagi.
"Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran," sahut Walet acuh. "Memangnya ada apa,
Kang?" Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya.
"Adipati! Keluar kau! Apa perlu aku yang memaksamu keluar!"
Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan tenaga penuh, membuat Walet
menutup telinganya rapat-rapat.
"Kang! Oi, Kang! Apa Kakang baru dicolek setan sewot?" dengus Walet sambil
mendongak ke wajah tegang Andika. "Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di pintu
gerbang itu?"
Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya
menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.
"Aku menotoknya," jawab Andika singkat. Tanpa menoleh sedikit pun.
Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol.
Maka disikutnya lengan Andika.
"Kenapa Kakang jadi usil?" tanya Walet, setengah menggerutu.
"Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan semuanya," sergah Andika.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku maunya sekarang, Kang."
Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk mengawasi bangunan kadipaten yang
masih tetap sepi.
"Kaaang, aku maunya sekarang!" jerit Walet sewot.
"Diam! Ini bukan waktunya bergurau!" hardik Andika.
Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat.
Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh.
Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari bangunan kadipaten dengan setengah
berlari. Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu berdiri menyusun pagar betis.
Sehingga, terbentuklah empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka
adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempatkan di padepokan belakang.
Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-rata tegar berotot dengan dada
bidang membusung penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan celana hitam
sebatas betis yang dililit kain batik, tanpa memakai baju. Sementara rambut
mereka digelung ke atas. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tombak
serta tameng besi.
Puluhan prajurit itu siap menjalani titah junjungannya, tanpa pernah disadari
kalau ternyata diumpankan untuk membela seorang berhati busuk dan bermuka dua.
"Kalian kuminta menyingkir! Jangan sampai kalian mati di tanganku hanya karena
telah dibodohi Adipati," pinta Andika.
"Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana yang berkewajiban menjalani segala
titah junjungannya...!" seru seseorang dari belakang barisan. Kemudian muncul
dua orang berpakaian senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-masing bernama
Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna.
Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap.
Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain merah berjumbai benang warna
emas di sisinya.
Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana hitam yang dililit kain batik.
Bedanya, pada ujung celananya terdapat hiasan dari benang perak.
Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi, mengingat usianya yang masih
tiga puluh lima tahun.
Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga, membuat penampilannya terlihat
kian gagah. Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala dari perak berukir. Di tangannya
terhunus keris pusaka miliknya.
Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak gemuk. Badannya ditutup pakaian
kebesaran seorang tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti milik
Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung meninggi itu, dihiasi garis-garis
lurus berwarna emas.
Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran berwarna emas. Celananya
berwarna putih susu, dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih.
Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa
ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup tua, membuat matanya agak abu-
abu. Namun, wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya yang agak tipis
berlawanan dengan hidungnya yang agak tebal.
"Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung," mulai Andika kembali, "Aku sangat
menghormati kalian, selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak
menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul Manik."
"Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu saja junjungan kami diusik orang?"
sanggah Tumenggung Adiguna tegas.
"Kalian harus mempercayaiku...."
"Karena kau seorang pendekar kesohor?" selak Senapati Wisesa.
"Bukan...," Pendekar Slebor segera menggeleng.
"Karena aku telah mendapatkan bukti kalau junjungan kalian telah melakukan makar
jahat." "Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu bisa dipercaya, kami sudah
kenal lama pada Kanjeng Adipati, selaku pemimpin yang baik," sanggah Tumenggung
Adiguna kembali.
"Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu saja. Aku bisa memaklumi. Tapi,
izinkanlah aku meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian kupertemukan
pada seseorang yang mengetahui jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya,"
tutur Andika berusaha bersabar.
"Bagaimana kami harus mempercayaimu"
Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?" tanya Tumenggung Adiguna, lagi-lagi
berusaha menyudut-kan Andika.
Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun
caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka pada junjungan. Apalagi, Andika
tidak bisa langsung membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik.
Namun begitu, Andika harus tetap meringkus Adipati Tunggul Manik untuk
diserahkan pada pihak Perguruan Naga Langit. Di lain sisi, dia tak ingin ada
korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena mereka sebenarnya hanya
menjalankan tugas tanpa tahu apa-apa.
Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan sulit. Seakan dia dihadapkan pada
buah simalakama.
Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama mengandung bahaya. Kalau
bersikeras untuk meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau harus
dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa dan bersama Tumenggung Adiguna.
Itu berarti mem-bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha meringkus Adipati
ditangguhkan, maka bisa saja pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa
memakan korban lebih banyak di pihak rakyat.
"Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat ini sebelum kami bertindak,"
ujar Senapati Wisesa mengancam.
Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati Wisesa tadi seperti tidak
didengarnya. Bukan apa-apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, untuk
mengambil satu keputusan. Meski dirinya dikenal sebagai pendekar berotak encer,
keadaan yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan.
Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran Senapati Wisesa. Selaku
petinggi, sikapnya harus tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar
yang disegani di seantero persilatan sekalipun.
"Kalau itu maumu, apa boleh buat...," tandas
senapati itu. Kemudian.... "Seraaang!"
Layaknya air bah, puluhan prajurit segera menyerbu Pendekar Slebor. Dalam
sekejap mata saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada satu tujuan di
benak para prajurit saat itu, menunaikan tugas sebaik-baiknya.
"Hiaaat!"
Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan tombak.
Wut, wut, wut! *** 10 Sejak malang melintang dalam dunia persilatan, maka pertarungan terberat yang
dialami Andika kali ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena lawan-
lawan yang meski dihadapinya rata-rata berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka
semua mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan pendekar urakan ini. Tentu
saja selaku pendekar sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan tangan kejam
pada orang-orang yang sebenarnya hanya diperalat.
Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya
direncah puluhan batang tombak yang mengancam dirinya dari segala penjuru.
Secepatnya dilepas kain pusaka dari pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam
secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa disapu bersih.
"Hih!"
Wut! Kra-krak-krak-krak!
Satu rentetan suara patahan tombak terdengar.
Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak, mengikuti hentakan pada senjata
masing-masing. Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung lagi, patah terkena hantaman
senjata ganjil Andika.
Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh berserakan di tanah.
Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan susulan oleh para prajurit.
Sebagai pasukan pilihan, dengan sigap mereka membentuk satu bentuk
pertempuran mirip bintang berpijar. Secara bergantian, orang yang di belakang
maju ke depan dan sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak seperti kerlip
bintang. Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh di bawahnya, tapi tak urung
Andika merasa agak bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan bergantian
berupa tangan dan kaki itu benar-benar mendobrak benteng pertahanan Andika.
Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai mengeluarkan pedang panjang
masing-masing. Dengan begitu, daya jangkau serangan makin membesar. Dan itu berarti semakin
memperkecil ruang gerak Pendekar Slebor.
Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para prajurit yang terus mencecarnya,
Pendekar .Slebor mengubah siasat pertahanannya. Di tengah kepungan, tubuhnya
tiba-tiba berputaran cepat dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya
yang lain sengaja diseret di tanah berdebu.
Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan.
Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu itu bertebaran di tengah
kepungan. Maka tubuh Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat ditangkap
lagi oleh mata para pengeroyoknya.
Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas seperti hendak terbang. Dia
berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit.
Dan usahanya ternyata berhasil.
"Walet! Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul bego!"
Ketika masih di udara, Andika berteriak pada Walet yang berdiri di dekat tembok
kadipatenan. Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu
rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu.
Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit, sehingga tidak mendapat
rintangan apa-apa.
Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu yang hanya menonton dirinya.
Padahal Andika sendiri sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan.
"Lawan saja, Kang! Salah sendiri, kenapa hanya bertahan!" sahut Walet begitu
Andika menjejak tanah, lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak bocah itu
seperti tukang sabung ayam yang sedang memberi semangat pada jagonya.
"Tai kucing!" maki Andika sengit. "Aku tak mau mereka celaka, karena diperalat
Adipati Tunggul Manik!"
"Lumpuhkan saja kalau begitu! Totok saja mereka.
Tok, tok, tok, bereskan"!"
"Dengkulmu beres! Jumlah mereka terlalu banyak untuk ditotok satu persatu! Apa
matamu buta"!"
"Kalau begitu, gimana ya?" tanya Walet santai seraya menaikkan kedua bola
matanya. "Jangan banyak tanya! Kau bisa bantu apa tidak, Bocah Sialan"!"
"Tentu saja. Kenapa tidak?" sahut Walet, tetap acuh.
"Ayo lakukan! Kenapa masih tunggu-tunggu lagi!"
bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh prajurit kini malah turut
menyerbunya. Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai.
"Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah sendiri...."
"Cepaaat!" sergah Andika mangkel tak ketolongan.
Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila seraya memejamkan mata.
Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun
memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang kian membesar. Kekuatan tak
terlihat itu lalu mulai merasuk dalam benak setiap prajurit. Dan tiba-tiba saja,
para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar menyeramkan menghadang di depan.
Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon kelapa. Badannya ditumbuhi lumut
berwarna hijau tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra dengan
taring sebesar mata tombak di mulutnya yang terbuka lebar. Sepasang matanya
bersinar merah tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di rongga mulutnya.
Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu guntur, puluhan prajurit di
depannya tersurut mundur dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak ber-kedip
pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan batin Walet.
Berbarengan satu erangan kembali, tangan makhluk itu bergerak menyapu.
"Aaarrrgggkhhh!"
Wessshhh! "Wuaaa!"
Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana kulit padi terhempas angin.
Prajurit yang lain tentu saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur
hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang demikian mengerikan. Tanpa
banyak kata, puluhan orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi perkedel,
ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini.
Andika sendiri pun sempat terkesima melihat kawan kecilnya mampu memunculkan
makhluk dari dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat memuji kehebatan
Walet. Tak percuma si wanita cantik aneh itu menjuluki Walet 'kendi berisi
telaga'. "Bagus, Walet! Usahakan agar mereka tak celaka.
Cukup membuat mereka 'buang hajat' di celana saja!
He he he...," seloroh Andika, puas melihat hasil kerja sahabatnya.
Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot tubuhnya menuju bangunan
kadipatenan. Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna masih berusaha mengadakan
perlawanan pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera mengeluarkan keris pusaka
masing-masing. Dengan senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa kenal
takut. Selaku orang kepercayaan adipati, mereka memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi. Ini bisa terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk jejadian
ciptaan Walet itu mencoba menyampok, dengan gesit keduanya melenting tinggi ke
perut buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris pusaka di tangan
masing-masing. "Khiah!"
Sret! Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan mereka. Tapi, sama sekali tidak
mengakibatkan luka sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas gumpalan asap
tebal saja. Kenyataan itu benar-benar mengejutkan Senapati dan Tumenggung
Adiguna. Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul
begitu saja. Selama hidup, Senapati Wisesa maupun
Tumenggung Adiguna memang belum pernah
memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya terbatas mempelajari ilmu
olah kanuragan yang terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu sebabnya, mereka
menjadi terheran-heran dengan
kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.
Sementara itu, Andika telah jauh memasuki bangunan kekadipatenan. Pemuda itu
tiba di ruang tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana ditemukannya
Adipati Tunggul Manik yang sudah berdiri menantang dengan sorot mata tajam.
Kedua tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari bentuknya yang bulat telur
sebesar kepalan tangan dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu
adalah Mustika Putri Terkutuk.
"Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar Slebor! Kau memang akan menjadi
penghalang segala rencanaku," sambut Adipati Tunggul Manik dingin.
"O, ya?" timpal Andika kalem. "Kalau begitu, aku memang benar-benar manusia
pembawa sial seperti kata anak buahmu."
Adipati Tunggul Manik menggeram.
"Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah.
Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi bersama nyawamu ke dasar
neraka!" "Wow-wow-wow! Tunggu dulu. Bagaimana kalau kesialan yang kubawa, justru
memberimu ongkos ke liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah begitu kangen
padamu...," ledek Andika menimpali.
Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di tangannya.
"Dengan benda keramat di tanganku ini, kau memiliki kemungkinan kecil untuk
menjadi pemenang!"
"Ah! Jangan bicara soal menang atau kalah! Aku tak suka pasang undian!" tukas
Andika ngaco. Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-
sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal
hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.
"Kenapa meringis" Belum menunaikan kewajiban, buang hajat sebelum bertarung" Hi
hi hi...," ejek Andika.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau banyak mulut, Babi!" hardik Adipati Tunggul Manik.
Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika dengan amarah membludak. Mustika
di tangan kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar Slebor.
"Khiaaa!"
Wut! Andika menghindari hantaman itu hanya dengan menggeser tubuh satu langkah ke
belakang. Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua.
Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan kaki kiri terangkat, berusaha
meremukkan kepala Pendekar Slebor kembali.
Kali ini, Andika tak menghindar. Namun
dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul Manik dengan pergelangan
tangannya. Sementara tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan ke
selangkangan sebagai balasan.
Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang rahasianya pecah. Maka dengan
sigap bagian terpenting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan kedua tangan.
Seketika tangan mereka berbenturan keras.
Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul Adipati Tunggul Manik satu
serangan lagi. Dengan tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi
tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu membuat Adipati Tunggul Manik
mati langkah. Dia tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran
sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan hanya membuang tubuh ke
belakang. "Hiaaah!"
Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul Manik melenting ke udara dan
berputaran ke belakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat tombak dengan
kuda-kuda mantap kembali.
Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu bernapas lega. Baru saja
tubuhnya sampai di atas tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu terkaman
menggila. Dari gerakannya terlihat kalau Andika tengah mengeluarkan jurus sakti
ciptaannya, 'Memapak Petir Membabi Buta'.
Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah, menyaksikan jurusnya yang aneh.
Bagaimana Adipati Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan yang
diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan orang sinting yang kalap"
Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu hilang, tangan kanan Pendekar Slebor
sudah tiba di dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul Manik serba salah.
Maka diusahakannya untuk menyelamatkan wajah dari sampokan tangan Pendekar
Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah
tangan itu bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak menentu.
"Gila! Jurus sial macam apa itu"!" maki Adipati Tunggul Manik dongkol.
"Pengumuman...! Pengumuman. Ini jurus
'Memapak Petir Membabi Buta'! Hea ha ha ha...!"
teriak Andika seraya menyambung terjangan ngawurnya.
Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung
deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya siap dibenturkan ke dada.
Berbareng pelototan matanya karena terkesiap, Adipati Tunggul Manik merunduk
sedalam-dalamnya.
Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah berada di sudut ruangan. Saat
itu, sifat berandalan Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul kembali.
Dia ingin sedikit mempermainkan orang terhormat bermuka dua itu.
Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah keadaan tubuhnya yang membungkuk,
Andika mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak keras-keras di
atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul Manik makin merundukkan badan. Sampai
akhirnya, dia merangkak serabutan layaknya babi tolol.
"Huh! Hus!" ledek Pendekar Slebor sambil ber-tepuk-tepuk tangan.
Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati Tunggul Manik untuk berguling
menjauhi lawan. Dan, mulutnya pun langsung memaki panjang pendek, karena merasa
telah dipermainkan.
"Bangsat-bangsat-bangsat!" maki adipati itu saat bergulingan.
"Biar-biar-biar-biaaarrr!" balas Andika tak kalah gencar.
Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras.
Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa pengkhianat yang menganggap orang-
orang kecil hanya anjing yang bisa diperalat.
Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah terbakar. Sepasang matanya
berkobar-kobar merah, di puncak kemurkaan.
"Kau harus membayar perlakuan ini dengan nyawa, Keparat!" ancam lelaki setengah
baya itu bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di dada.
"Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Pendekar
Slebor berlagak pilon.
Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap memanfaatkan kekuatan gaib
benda keramat yang dipegangnya.
"Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin Perguruan Ular Iblis. Iya, kan"
Lalu, dia kau bunuh secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak pernah sadar
kalau mereka telah kecolongan. Dan kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka.
Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba perguruan itu dengan perguruan
lain...," kata Andika, berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.
"Diaaam!" bentak Adipati Tunggul Manik menggelegar.
"Wah-waaah! Sebagai seorang penguasa, kau ternyata memiliki otak encer. Sayang
sekali, keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri...."
"Diaaam! Aku memang ingin berkuasa penuh di daerah ini. Aku ingin seluruh cita-
citaku tercapai. Aku ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, agar dapat
membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-
perguruan itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang tindak-tandukku.
Maka, mereka harus dimusnahkan!"
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya seekor babi rakus!"
Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya mengejang, memperlihatkan gerakan
otot kegeraman di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar hebat. Selama ini, tak ada
seorang pun yang berani menghinanya seperti itu.
"Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk!"
dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan.
Setelah itu dia memejamkan mata seraya
mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-
gerak merapal-kan mantera.
Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawannya dengan kewaspadaan penuh. Hari
ini, bisa disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu melakukan serangan
biadab. Mungkin Andika harus menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu
menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya, seperti dialami rakyat dan
orang-orang perguruan tempo hari.
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala selarik sinar berwarna merah bara
terlontar dari Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar mengelilingi
tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan menunggu aba-aba darinya. Lalu....
Nging...! Terdengar denging halus saat cahaya merah itu meluruk menuju Pendekar Slebor.
Meski belum pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun Pendekar Slebor tak
mau ayal-ayalan. Segera seluruh daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap
mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan yang tak terlihat. Memang,
benteng tembusan pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir sekalipun.
Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu menjalani penyempurnaan
kedigdayaan di Lembah
Kutukan, petir memang tak sanggup menembus benteng pertahanan puncaknya. Namun
bagi kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini melesat cepat ke arahnya,
benteng itu ternyata tidak berguna sama sekali!
Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah milik Adipati Tunggul Manik
menelusup begitu saja dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya, cahaya
itu langsung menerjang dada bidang Pendekar Slebor.
Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut telah menghilang di dalam dada
Andika. Seketika saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu halus di
tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya
menjadi tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa direncah-rencah dari
dalam. Rupanya, ratusan batang jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari
dalam! "Aaa!"
Terdengar satu lengkmgan menyayat yang
terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar biasa yang kini diderita
memaksanya berteriak kuat-kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa sadar
ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga, membuat lapisan luar dinding beton
kadipatenan menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung besar di tengah
ruangan yang terbuat dari pualam gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian,
lampu hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak ke seluruh ruangan.
Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-gulingan di lantai ruangan. Kedua
tangannya mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di
lehernya tampak membesar, karena erangan tertahan.
Pada puncak penderitaan itu, Andika masih sempat menyadari kebenaran 'petunjuk'
yang diterima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya seseorang yang bisa
menolongnya. Seorang berkepribadian 'kendi berisi telaga'.
"Walet! Ke mana kau?" desis Andika seiring lelehan darah kental dari bibirnya.
Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha menghalau Senapati Wisesa dan
Tumenggung Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah nyawanya akan
berakhir di sini"
Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat deraan sakit yang begitu hebat, tiba-
tiba selarik sinar hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan.
Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar Slebor.
Seketika terdengar pekikan panjang kembali.
Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala mendongak. Satu pertempuran gaib
memang sedang terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan siksaan yang lebih
menggila dari sebelumnya.
Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu
terkulai. Belum lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar merah dan
hijau keluar dalam keadaan menyatu.
Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga menimbulkan sayatan-sayatan cahaya
beraneka warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai akhirnya cahaya hijau
menelan habis cahaya merah membara.
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah, Mustika Putri Terkutuk sirna di
tangan Adipati Tunggul
Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, langsung menghantam
tembok beton setebal tiga jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang besar
menganga, bersama hancurnya seluruh tulang punggung Adipati Tunggul Manik.
Penguasa lalim itu tewas dengan mata terbeliak dan darah merah membasahi
mulutnya. *** Ada terpaan hangat pada wajah Andika. Ada
lantunan seruling mendayu mengusik telinganya.
Pendekar Slebor membuka mata perlahan. Dia tidak berharap kalau dirinya telah
tiba di sorga, setelah ingat kejadian terakhir yang dialaminya. Harapannya
terkabul. Di sisinya, Walet tampak asyik meniup seruling bambu.
"Syukurlah kau sudah siuman, Kang. Bagaimana dadamu" Apa masih terasa sakit. Kalau masih, tahanlah sedikit. Jamak bagi pendekar kesohor
seperti Kakang Andika," kata Walet seraya melepas ujung suling dari bibirnya.
"Walet..., apa yang terjadi?" tanya Andika tersendat.
"Ng.... Kemarin kita berhasil menumpas manusia busuk yang bernama Adipati
Tunggul Manik. Sayang Kang Andika tidak sampai selesai menikmati pesta itu."
Andika mendelik berang.
"Jangan gila kau! Aku sudah hampir mati dibilang pesta!"
"Seperti kukatakan tadi, jamak bagi pendekar kesohor seperti Kakang," sahut
Walet santai. Bocah itu lantas berdiri seraya menepuk-nepuk
pantat. Kakinya melangkah perlahan. Dan dari bibir mungilnya terdengar siulan
riang. "Mau ke mana kau?" tanya Andika seraya bangkit terseok. Disusulnya Walet.
"Cuci mata ke Desa Dukuh. Aku sudah lama tidak melihat janda penjual batik di
pasar itu," kata bocah itu seenaknya.
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Hey! Kau tahu tentang Mustika Putri Terkutuk"
Apa ada riwayatnya?" tanya Andika.
"Dulu ada seorang putri dan pangeran yang jatuh cinta. Mereka ingin menikah,
tapi tak diizinkan orangtua masing-masing. Karena kerajaan keduanya sedang
bermusuhan satu sama lain. Namun mereka nekat dengan kawin lari. Mengetahui hal
itu, ayah sang Pangeran yang sakti mengutuk keduanya. Putri itu menjadi mustika
keramat, dan sang Pangeran mati tertelan bumi," tutur Walet santai.
"Dari mana kau tahu?"
"Jangan usil, Kang! Kalau aku tahu, ya tahu,"
sergah Walet acuh.
"Ah, sayang. Aku kira wanita cantik itu penjelmaan Nyi Roro Kidul. Padahal, aku
ingin sekali bertemu dengannya...," bisik Andika amat perlahan.
Keduanya terus menelusuri jalan berumput hijau menuju barat, tempat matahari
terpuruk lelah dalam selimut lembayung. Dan sampai saat itu, Andika tidak pernah
mengetahui kalau Walet adalah titisan sang Pangeran yang kini berada di
sampingnya! SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Rahasia Kunci Wasiat 2 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Sadis 11
^