Pencarian

Mustika Putri Terkutuk 1

Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk Bagian 1


1 Padang rumput di kaki Gunung Pucung terhampar luas, membentuk permadani alam
berwarna hijau.
Matahari bersinar penuh kehangatan, membuat warna hijau rerumputan padang
menjadi berpendar cerah.
Dari sebatang pohon beringin besar berumur ratusan tahun yang berdiri tegak
diliputi kesan angker, melantun alunan seruling. Suaranya mendayu, seperti
berlari pada pucuk rerumputan, lalu hilang tertelan hembusan angin. Alunannya
sendiri membawa cerita pada alam, bahwa hidup ini penuh warna-warni yang setiap
saat patut disyukuri.
Padang rumput biasa menjadi tempat main para bocah pengembara sapi, sambil
melepas makan binatang peliharaannya. Di sana, mereka sering terlihat duduk
tenang di punggung seekor kerbau besar sambil meniup suling.
Tapi lantunan seruling yang saat ini terdengar, bukan dari bocah pengembala.
Melainkan, dari seorang bocah kecil berumur sebelas tahun. Dia tampak duduk
santai sambil mengangkat satu kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar
pohon beringin. Tangannya tampak bergerak-gerak indah pada lubang-lubang nada
seruling bambu.
Bocah itu tampak lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya
kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek berwarna hitam
yang sekotor rambutnya. Namun
penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya tampak susah. Wajahnya malah
terlihat ceria.
Sepasanag matanya yang bulat tampak berbinar-binar. Kelihatan kalau dia adalah
anak yang memiliki rasa percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara, bibirnya yang
masih menghembuskan udara ke serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena
panasnya sengatan matahari. Dengan bentuk yang bulat telor, wajahnya terlihat
menggemaskan. "Ah! Aku haus sekali," keluh bocah itu setelah puas memainkan seruling. "Perutku
pun sudah kalap minta diisi."
Anak kecil itu beranjak turun dari dahan pohon, dan berniat pergi ke desa
terdekat untuk mencari makanan. Apa pun caranya, yang penting perutnya bisa
terisi. Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen.
Kepandaiannya memainkan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung
kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai
tak sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung
kedai yang tak sudi mendengar alunan serulingnya.
Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-
orang seringkali menyebut-nya si Bocah Ajaib
Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini,
di desa itu memang sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara
serempak membuka usaha, sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-
alun desa untuk berbelanja atau mencari hiburan.
Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil.
Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-senandung kecil, tubuhnya
menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara
melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya diletakkan di belakang tubuhnya.
Sedang matanya yang bulat melirik ke sana kemari.
"Walet...! Oi, Walet!" panggil seseorang dari balik kerumunan orang yang
mengelilingi seorang penjual keranjinan tangan.
Bocah itu menoleh ke asal suara. Matanya menemukan seorang lelaki berusia empat
puluhan dengan pakaian amat sederhana. Bajunya ke-coklatan, dengan celana hitam
sebatas betis. Kepalanya yang ditumbuhi uban, ditutupi blankon batik lusuh. Dari sinar matanya,
tampak sekali kalau lelaki berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil yang
dipanggil Walet.
Wajah lelaki itu tak bisa disebut tampan, tapi tidak juga jelek. Bibirnya yang
kehitaman karena terlalu banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan.
Hidungnya tampak kecil, tak sesuai dengan matanya yang agak besar.
"Ada apa, Kang Sentana?" tanya Walet.
Walet. Sebuah nama yang terdengar aneh. Bocah itu sendiri senang dengan namanya.
Dia pula memberi diri nama itu, setelah mengganti nama aslinya yang terdengar
bodoh. Walet, ya, nama sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang kagum
dengan burung walet. Terutama, pada kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu
meliuk-liuk di antara karang tajam, sementara burung lain tak mampu
melakukannya. Sentana tiba di dekat Walet. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, kepalanya menoleh
ke belakang takut-takut. "Jiran datang, Let," bisik Sentana hati-hati sekali, seakan tak mau terdengar
seorang pun. "Jiran tengik itu?"
"Iya. Yang mana lagi?"
Walet menggeleng-gelengkan kepala. Wajah bocah itu tampak dongkol, menerima
berita dari Sentana.
"Apa kutu busuk itu memang sudah tidak punya muka?" desis Walet.
"Iya! Padahal, seminggu yang lalu kau sudah membuatnya malu di kedai Ki Soma,"
timpal Sentana.
Kurang lebih seminggu lalu, orang yang sedang dibicarakan Walet dan Sentana
memang telah dipermalukan anak berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan kehebatannya
mengelabui pandangan seseorang.
Walet mempermainkan lelaki bernama Jiran. Bocah itu amat benci melihat perbuatan
Jiran yang selalu memeras rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang untuk bertarung
di tengah-tengah pasar. Tentu saja tantangan itu amat membuat Jiran kalap.
Padahal, dia adalah orang yang paling ditakuti di Desa Dukuh.
Selama ini, tak ada seorang pun penduduk berani menentangnya secara terang-
terangan. Mendengar namanya saja, mereka langsung merengket seperti siput. Tapi,
ternyata Walet berani mengejeknya habis-habisan.
Waktu itu, Jiran mengeluarkan parangnya, lalu membabat perut Walet. Walet
sendiri tak mencoba mengelak. Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar.
Orang seisi pasar sudah mengira, riwayat Walet akan segera tamat. Tapi
kenyataannya, malah membuat Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di
perut Walet, ternyata ular-ular berbisa yang menjulur-julurkan kepala ke arah
Jiran. Melihat hal itu, Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama ini, dia memang belum
tahu kalau bocah yang dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki kekuatan
batin, sehingga, mampu menipu mata seseorang.
*** "Jadi bagaimana, Let?" tegur Sentana ketika melihat bocah lelaki itu tercenung.
"Aku tidak mau dia terus-terusan memeras rakyat, Kang," jawab Walet tegas.
"Jadi?"
"Kali ini aku harus membuatnya benar-benar kapok!" tandas Walet, geram.
Tangan Sentana bergerak memukul udara.
Wajahnya tampak bersemangat setelah mendengar ucapan Walet barusan.
"Aku setuju, Let! Biarpun kau jauh lebih muda dariku, tapi kau amat cocok
menjadi sahabatku," puji Sentana, berbinar-binar.
"Mari, Kang," ajak Walet.
"Ke mana, Let?"
"Katanya mau kasih pelajaran sama Jiran tengik itu?" tukas Walet.
"Ah! Aku sih tunggu di sini aja, Let. Kau sendirilah yang datangi kutu kupret
itu...," sergah Sentana seraya cengar-cengir.
"Takut?" seloroh Walet.
"O, tidak.... Tidak. Tapi kan, kalau parangnya tersangkut di leherku terasa
sakit sekali, Let...."
Walet tertawa kecil.
"Iyalah, Kang," ujar bocah itu seraya melangkah ke arah Jiran.
Tak beberapa jauh dari tempat Walet, Jiran tampak sedang membuat onar. Seorang
pedagang buah semangka berdiri ketakutan di hadapan Jiran. Seperti biasa, lelaki
itu tengah memungut pajak liar dari para pedagang. Dengan terpaksa, beberapa
pedagang memberi apa yang diminta Jiran, kalau tidak ingin mendapat perlakuan
kejam. Tapi tampaknya lain bagi si pedagang semangka.
Dia bukannya tidak ingin memberi. Namun karena hari ini, dagangannya belum
terjual sebuah pun.
Maka, dia tak bisa memberi uang pada Jiran.
"Aku benar-benar belum punya uang, Den.
Daganganku belum terjual. Maklum, musim hujan,"
ucap lelaki pedagang semangka, memelas.
"Aku tak peduli," hardik Jiran kasar.
Laki-laki bertampang kasar itu berdiri angkuh dengan tangan di pinggang.
Perawakannya tidak tinggi, tapi terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-garis
putih. Bagian dadanya yang tak tertutup memperlihatkan bulu-bulu lebat.
Celananya hitam, memanjang hingga mata kaki. Pinggangnya terlilit sabuk kulit
lebar sebagai tempat parang. Matanya agak menukik dengan kelopak mata terlipat
ke dalam. Alis mata lelaki itu setebal brewok yang tumbuh di dagunya. Hidungnya
besar dan bibirnya tebal.
"Kau mau beri aku uang apa tidak"! Atau ku acak-acak daganganmu ini!" ancam
Jiran. Matanya mendelik, seperti hendak keluar.
"Ampun, Den. Jangan diacak-acak daganganku...,"
pinta pedagang semangka memelas.
"Aaah, tai kucing!"
Baru saja Jiran hendak menendang peti
semangka.... Tiba-tiba terdengar bentakan bocah kecil yang nyaring.
"Hey, Bajingan!"
Jiran kenal suara itu. Ingatannya langsung kembali pada kejadian seminggu lalu,
yang membuat dirinya kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh seorang
bocah kecil. Ketika menoleh ke asal suara, dilihatnya Walet sedang berdiri
menantang, tujuh tombak dari tempatnya.
"Kau...," desis Jiran geram.
"Ya, aku!" sahut Walet gagah. "Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang
kuberi padamu"!"
Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang
yang amat ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja
Jiran tak mau kejadian memalukan seminggu lalu terulang lagi.
"Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin dan datar.
Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia
sudah siap menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib.
"Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para
pedagang lagi...."
"Apa"! Hua ha ha...! Kau mimpi, Bocah!"
"Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari
sini," ancam Walet tanpa kenal rasa takut sedikit pun.
"Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku"! Silakan.... Kau
pikir aku akan tertipu lagi"!" ledek Jiran, mencibir.
Walet melangkah lebih dekat ke arah Jiran. Tak ada kesan keragu-raguan pada
gerak kakinya. Bahkan matanya menatap lurus-lurus ke mata Jiran yang mampu membuat ciut nyali
para penduduk lain.
"Kau menduga aku tidak bisa menipumu lagi seperti waktu itu" Benar. Aku tidak
bisa menipumu lagi. Tapi aku akan membuatmu lari terkencing-kencing, lelaki
bernyali kodok!" cemooh Walet, berusaha memancing kegusaran lawannya.
Jiran terpancing. Tapi, tampaknya belum cukup untuk membuatnya kalap. Hanya saja
wajahnya yang terlihat makin terbakar merah dan tangannya terus meremas-remas
gagang parang. "Nah! Lebih baik, kau segera pergi dari sini. Kau tak mau kujadikan kodok buduk,
kan?" cecar Walet, lebih keterlaluan.
Kali ini, cemoohnya berhasil mencukil harga diri Jiran. Lelaki bertampang sangar
itu merasa ubun-ubunnya hendak dijebol aliran darah panas yang mendadak mendesir
keras. "Bajingan...," rutuk Jiran. Sisi rahangnya mengeras, memperdengarkan gemelutuk
gigi-giginya yang beradu geram. "Kucincang kau, Bocah Keparat!"
"Kau mau cincang aku" Ayo! Cincang bagian mana yang kau suka!" tantang Walet
seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi.
Bagi bocah itu bersikap angkuh pada manusia bejat seperti Jiran memang mesti
dilakukan. Orang yang tak pernah memperlakukan manusia seperti manusia, pantas
diperlakukan layak anjing geladak.
"Hiaaa!"
Berbareng satu lengkingan merobek angkasa, Jiran meluruk ke arah bocah kecil
itu. Tak ada lagi rasa malu menghadapi lawan yang jauh lebih kecil darinya.
Karena pada dasarnya, dia sendiri memang sudah tak punya rasa malu lagi.
Parangnya menciptakan bunyi yang menggidikkan manakala ditarik dari pinggangnya.
"Hih!"
Bet! Satu tebasan dilepaskan Jiran dengan kejamnya.
Senjatanya yang setiap hari diasah itu berkelebat di udara, bersama sinar
pantulan matahari. Leher kecil Bocah Ajaib adalah sasaran pertama.
Tes! "Aaakh...!"
Dalam sekerdipan mata, leher Walet terpenggal diiringi desahan kesakitan. Kepala
kecilnya yang terlontar dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah berlumpur.
Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu akan bergidik ngeri. Lain halnya Jiran.
Lelaki bengis itu tak puas dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu lagi,
seperti kejadian minggu lalu. Maka parangnya kembali diayunkan setengah tenaga.
Bet! Tes! Tebasan susulan Jiran, membabat bahu Walet hingga tangan kanannya putus. Sebelum
tubuh Walet yang tak utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran mengayun sekali lagi
parang haus darahnya.
Sing! Bret! Dada bocah kecil itu kontan terbelah dengan luka menganga lebar. Tepat ketika
Jiran mendengus garang, tubuh Walet yang tanpa kepala dan lengan lagi ambruk
diiringi bunyi berdebam. Darah sudah terpercik ke mana-mana. Warna merahnya
menodai jalanan berlumpur. Sebagian mengalir lambat dalam genangan air sisa
hujan tadi malam di sisi jalan.
Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup melihat kejadian ini lebih lama.
Perbuatan Jiran memang lebih telengas daripada pembantaian yang pernah mereka
lihat di mana pun. Beberapa wanita yang melihat bahkan menjerit sejadi-jadinya.
Bahkan ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan kebiadaban ini.
Tak lama, dari balik kerumunan, seseorang menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh
Walet yang mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah Sentana yang begitu
akrab dengan Walet.
"Walet! Walet!" seru Sentana, sesegukan.
Sambil mendekap, Sentana menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan
boneka kesayangan.
"Ini salahku. Let. Kalau saja aku tak mem-beritahukanmu tentang kedatangan
lelaki iblis itu, tentu kau tak akan bernasib senaas ini," desah Sentana lirih
di antara isak tangis.
Sementara itu, Jiran berdiri sombong tak jauh dari tempat Sentana. Tangannya
sibuk membersihkan parangnya yang bernoda darah. Sambil memperdengarkan tawa
puas tak henti-hentinya, seperti tingkahnya jika sedang menang judi.
"Hua ha ha...! Dikira aku tidak memiliki persiapan jika harus menghadapinya
lagi," kata Jiran lantang.
Seakan-akan, dia memberi pemberitahuan pada setiap teIinga di pasar itu, bahwa
dirinya tidak bisa dipermainkan lagi.
Usai memasukkan senjata ke dalam sarungnya kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu
dari balik ikat pinguang lebarnya.
"Kalian lihat ini!" seru Jiran pada seisi orang pasar, seraya mengangkat tinggi-
tinggi sesuatu di tangan
kanannya. Seketika orang-orang yang berkerumun mengarahkan pandangannya pada tangan kanan
Jiran. "Aku sudah mencari tahu tentang bocah itu seminggu belakangan ini. Setelah
kutahu kalau dia memiliki kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang mampu
mematahkan kekuatan gaibnya. Dan ini...."
Jiran menggoyang-goyangkan bungkusan kecil dari kain hitam di tangannya.
"Ini adalah pemberian dukun itu. Jimat hitam yang dapat melumpuhkan kekuatan


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah sialan ini. Ha ha ha...!"
Tawa Jiran yang penuh kemenangan bergetar, menggema ke segala arah.
"Jadi kalian sudah tak bisa berharap perlindungan dari bocah dungu ini lagi,"
sambung laki-laki bertampang seram itu seraya memasukkan jimat hitam tadi ke
dalam bajunya. Setelah puas tertawa, Jiran melangkah pergi meninggalkan tempat itu diiringi
seringai kepuasan Tinggal penghuni pasar dan Sentana yang terus menangisi
kemalangan nasib Walet.
*** 2 Sementara Jiran telah menghilang di ujung jalan, Sentana masih terduduk di jalan
becek. Tidak dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur.
Kematian mengerikan yang menimpa Walet terus ditangisinya. Sedangkan, orang
seisi pasar berkerumun di sekitarnya dengan wajah ngeri bercampur kasihan
melihat nasib bocah malang itu.
Sampai hujan rintik-rintik mulai turun, mereka tetap terpaku bisu di tempat
masing-masing. Tak ada sepatah kata pun ingin dikeluarkan. Mereka bukannya tidak
mau menghibur Sentana, karena begitu terguncang dengan pembantaian brutal di
depan biji mata. Dan mereka hanya terdiam mem-bisu.
Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet.
Kengerian telah mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di
sana. Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu
tak hanya mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh
uluran tangannya. Di antara mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak
sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa
daya" Mereka memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.
Sekian lama mereka terdiam dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai
akhirnya.... "Yhiaaa! Walet brengsek! Anak sialan!"
Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata
mereka langsung terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar
ganjil di telinga! "Apa-apaan ini" Apa Sentana kemasukan setan?" tanya hati
masing-masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana
mengangkat tubuh kaku Walet yang kini telah berubah menjadi batang pohon pisang.
Begitu juga kepala dan tangan bocah itu.
Berbarengan, para penghuni pasar berseru gembira. Tak pernah terpikirkan kalau
Walet masih mampu mempermainkan Jawara Desa Dukuh.
Padahal, Jiran telah sesumbar kalau memiliki jimat hitam yang mampu mematahkan
kekuatan si Bocah Ajaib itu.
"Walet! Walet! Ke mana kau, Bocah Brengsek"!"
seru Sentana seraya bangkit.
Mata laki-laki itu yang masih tampak berair, kini berbinar-binar diliputi
kegembiraan. "Walet! Sembunyi di mana kau"!" teriak Sentana.
Sentana mencari-carinya Walet di antara
kerumunan orang pasar. Tapi meski menyeruak ke sana kemari, bocah kecil itu tak
juga ditemukan.
*** Sementara itu jauh dari pasar, seorang anak tengah duduk santai di atas dahan
pohon yang tumbuh di sisi jalan setapak. Dia tak lain Walet, bocah sakti yang
baru saja mengecoh Jiran. Jemarinya terus memainkan seruling, seperti tak pernah
terjadi apa-apa sebelumnya.
Sengaja Walet duduk di sana, karena ada
seseorang yang ditunggunya. Tentu saja orang yang dimaksud adalah Jiran. Walet
amat tahu, lelaki itu akan melintasi jalan tempatnya menunggu. Jalan ini memang
biasa dilewati, jika Jiran hendak pulang ke tempat tuan tanah Sumpena,
majikannya. Tak lama Walet menunggu. Kini, Jiran tampak melintas tepat di bawah dahan tempat
Walet duduk. Lelaki bertampang kasar itu melangkah tenang.
Bibirnya memperdengarkan siulan berirama kacau, seakan prajurit menang perang.
Dan ketika mendengar tiupan seruling dari atas pohon yang menurut cerita
penduduk setempat amat angker, Jiran menghentikan langkah sekaligus siulannya.
Desas-desus tentang dedemit yang ber-sarang di pohon itu, berseliweran di benak
Jiran. Dan seketika matanya melirik tegang ke kanan dan kiri.
Sementara di atas dahan, Walet bisa menangkap garis ketakutan di wajah Jiran.
Memang, biarpun sanggup berlaku bengis, Jiran amat percaya pada takhayul. Betapa
takutnya dia, jika membayangkan bentuk genderuwo yang suka mengunyah jantung
manusia. Dan Walet tahu akan ketakutan laki-laki itu.
Maka, ada baiknya dimanfaatkannya kepercayaan Jiran pada takhayul.
"Jiran...," desah Walet dengan suara dibuat-buat.
Mendengar namanya disebut, Jiran makin tegang.
Sebenarnya, laki-laki itu tak begitu merasa takut melewati tempat ini bila siang
hari. Terangnya sinar matahari, membuatnya yakin kalau para dedemit tidak bakal
gentayangan. Tapi kalau hari sudah termakan senja, apalagi ditambah mendung
gelap di langit seperti itu" Jelas, jantungnya akan berdetak-detak keras bagai
tabuhan gendang.
"Jiraaan...!"
Sekali lagi Walet memperdengarkan suara berat.
Lebih keterlaluan lagi, suaranya sengaja dibuat bergetar, seperti rintihan dari
alam kubur. Sedangkan lelaki bertampang kasar di bawahnya mulai blingsatan. Kepalanya
menoleh takut-takut ke satu sudut paling gelap di dekat batang pohon sebesar
kerbau itu. Napasnya pun mulai turun naik tak teratur. Kemudian menyusul
keringat dingin membasahi keningnya.
"Jiii... raaannnthhh...," goda Walet, kian dibuat seseram mungkin.
Sekejap, Jiran menghentikan gerak tubuhnya.
Dipasangnya telinga jelas-jelas, untuk menentukan asal suara mendirikan bulu
roma yang tertangkap telinganya. Yakin suara itu dari atas pohon, kepalanya
segera mendongak.
Untunglah, lebatnya dedaunan pohon mampu melindungi Walet. Sehingga, mata Jiran
tak sempat menangkap kehadirannya. Terlebih, hari sudah demikian sunyi. Sehingga
membuat kepekatan merayapi sekitarnya.
"Jirrraaannnthhh, aku hauuusss. Aku ingin me-minum darahhhmuuu, Jiran. Dan aku
juga lapar. Jantungmu tentu amat lembut bila kukunyahhh...."
Napas Jiran langsung terhenti. Begitu pula detak jantungnya. Rasanya, dia bisa
mati berdiri tanpa darah di wajahnya. Wajahnya benar-benar menjadi pucat
melebihi mayat.
Saat berikutnya....
Srak! Walet tiba-tiba membuang tubuhnya ke bawah.
Gesekan dengan dedaunan yang menimbulkan suara cukup keras, membuat Jiran
tersentak bukan alang kepalang. Dan ketika matanya menangkap sesosok
tubuh melayang dari atas pohon, kontan saja kedua kakinya yang sudah sejak tadi
bergetar hebat bergerak. Lelaki bengis berhati kodok itu kontan lari tunggang
langgang. "Wuaaa, ampun Mbah! Jantungku jangan dimakaaan!" jerit laki-laki bertampang
seram itu amat keras.
Tanpa menoleh sedikit pun, Jiran terus lari sampai tubuhnya menghilang di ujung
jalan setapak. Sepeninggaran Jiran, Walet kontan tertawa terbahak-bahak. Perutnya bahkan sampai
terasa sakit, melihat kejadian lucu tadi.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba tawa bocah kecil itu terpenggal oleh tepukan seseorang. Masih dengan
wajah merah menahan geli, Walet cepat menoleh. Dilihatnya seorang pemuda gagah
dan tampan berdiri tak jauh dari tempatnya. Pemuda berpakaian hijau muda itu
dipundaknya tersampir kain bercorak catur.
Sementara, rambutnya yang panjang sebahu tak teratur, membuat penampilannya
makin terlihat gagah.
"Siapa Kakang ini?" sapa Walet sopan.
"Aku Andika. Kau siapa?" sahut pemuda itu, tak kalah ramah.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Andika, yang kesohor dengan julukan Pendekar
Slebor. Keduanya kemudian saling berjabatan tangan dengan hangat. Sesaat kemudian
keduanya terlibat percakapan ringan sambil melangkah beriringan.
*** Di sebuah pondok terbengkalai di pinggir desa tampak dua orang berbeda usia
sedang bercakap-cakap. Suara mereka lamat-lamat menembus curahan hujan gerimis
di luar pondok. Dan mereka memang Walet dan Andika.
Keduanya tampak akrab bertukar cerita setelah tadi berkenalan. Andika sudah
memperhatikan seluruh sepak terjang Walet sejak di pasar. Pemuda itu terkesan
melihat keberanian bocah kurus ini dalam membela orang lemah terhadap tangan
kejam Jiran. Makanya, Pendekar Slebor tertarik untuk mengenal lebih jauh.
Seperti juga Sentana, Andika pun merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan
seseorang yang usianya jauh lebih muda. Nilai sebuah persahabatan, toh tak bisa
hanya dinilai dengan perbedaan usia.
Secara jujur, Andika mengakui kalau
ketertarikannya pada Walet, dikarenakan ada kesamaan sewaktu kecil dulu. Mereka
sama-sama gelandangan, tak memiliki siapa-siapa. Dan mereka merasa senasib
hingga persahabatan itu sudah seperti keluarga sendiri. Dan mereka pun sama-sama
tak sudi melihat ketidakadilan, kesemena-menaan, dan kekejaman yang terjadi di
depan mata. Bedanya, Andika kecil memilih jalan menjarahi pundi-pundi uang milik
para penguasa lalim. Sedangkan Walet menentang orang-orang lalim dengan kekuatan
batinnya. "Jadi, Kang Andika tak tertipu oleh kekuatan batinku?" tanya Walet seraya
merapatkan kain pusaka pinjaman Andika ke tubuhnya.
Andika mengangguk.
"Aku juga tidak mengerti, kenapa orang lain tertipu sedang aku tidak," jawab
Andika. "Mmm, mungkin karena Kakang memiliki hati bersih," duga Walet.
"0, ya?"
"Bersihnya hati Kakang Andika, karena berpegang teguh pada kebenaran sebagai
amanat Tuhan. Keimanan pada Tuhan, tidak membuat orang mudah terpengaruh sesuatu...," tutur
Walet. Mendengar ucapan bijaksana bocah kecil di depannya, Andika tertawa renyah.
Dikucek-kuceknya rambut Walet seperti sikap seorang kakak pada adiknya. Andika
tidak bermaksud meledek Walet. Dia tertawa, karena merasa tak percaya kalau
ucapan penuh makna tadi terlontar dari bibir seorang anak sebelas tahun.
"Kau anak yang hebat. Let!" puji Andika tulus.
"Ah, masa" Setiap orang bisa berkata seperti itu, Kang. Asal dia bisa
memperhatikan hidup yang dijalaninya," sergah Walet, menghindari pujian Andika.
Lama keduanya berbincang simpang siur, berbagai kisah duka atau suka. Namun....
"Tunggu, Let...," tukas Andika tiba-tiba.
Mata pemuda itu menyipit dan terarah ke tempat yang cukup gelap di depannya.
Seolah dia hendak menembus rintik-rintik gerimis di luar.
"Ada apa, Kang?" tanya Walet heran.
"Aku melihat seorang berdiri di sana tadi. Kau tunggu saja di sini. Aku ingin
menyelidikinya," ujar Andika seraya beranjak dari pondok tua ini.
Tanpa mempedulikan kepungan hujan, Andika berlari menuju tempat seseorang yang
dilihatnya tadi.
Wajar saja jika kecurigaannya timbul, karena tidak biasanya seseorang berdiri di
bawah curahan gerimis dan kungkungan udara dingin.
Begitu cepat Andika berkelebat, sehingga sebentar saja tubuhnya tiba di tempat
tujuan. Namun ternyata di situ Andika tidak melihat orang tadi. Bagi pemuda itu,
hal ini tergolong aneh. Bagaimana tidak" Tempat itu berupa padang rumput luas,
yang tidak memungkinkan seserang bersembunyi. Satu-satunya tempat bersembunyi,
hanya pohon besar di dekatnya.
Tapi ketika seluruh penjuru pohon diawasi, tidak juga diketemukan orang yang
dicari. "Apa mungkin dia melarikan diri?" tanya hati Andika. "Ah! Sepertinya tidak
mungkin!" Sewaktu mendekati tempat itu, Andika telah mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Di dunia persilatan, kecepatan gerak warisan dari buyutnya yang
berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, memang sulit dicari tandingan. Bila orang itu
melarikan diri, tentu masih sempat terlihat. Lalu kenapa tiba-tiba orang itu
menghilang bagai menyatu dengan desir angin malam"
"Aneh...," bisik Andika, tidak mengerti.
Belum lagi keheranannya terjawab, mendadak saja ada teguran lembut di belakang
Andika. "Tuan...."
Meski sapaan itu tak terdengar keras, Andika tetap tersentak. Lagi-lagi benaknya
digerayangi keheranan.
Kenapa tiba-tiba pula orang itu muncul lagr" Tak ada suara sekecil apa pun yang
tertangkap telinga Andika.
Bahkan desah napasnya sekalipun.
Dengan gumpalan keheranan dalam benaknya, Andika menoleh ke belakang. Tampak
seorang wanita cantik nan anggun berdiri tepat dua tombak di dekatnya. Saat mata
Andika bertumbukan dengan wajahnya, pendekar muda itu menjadi terpukau. Tak
pernah dalam hidupnya wajah secantik itu dilihatnya.
Kulitnya putih agak berpendar terang, meski suasana saat ini dirundung gelap.
Matanya berhias bulu-bulu lentik, seolah menggapai langsung ke hati Andika.
Hidungnya bangir dan bibirnya merekah merah delima. Rambutnya yang hitam legam
sebatas pinggang, terurai bak hamparan permadani surga.
Tubuhnya yang tinggi sintal diselimuti gaun kuning rembulan.
Andika menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai getaran asing yang mendadak
menyeruak dalam relung batinnya.
"Dia benar-benar sempurna...," desah Andika tak sabar.
"Tuan...," sapa wanita itu sekali lagi.
Andika terkesiap dari keterpesonaannya. Sambil mengutuki dirinya yang bersikap
seperti orang bodoh, bergegas dilontarkannya senyum ramah. Namun yang terlihat
di bibirnya ternyata lebih mirip ringisan seekor kuda pikun. Maklum saja, dia
begitu kikuk. "Kau..., kau ini siapa?" tanya Andika, agak tergagap.
Tak, terdengar jawaban dari bibir wanita cantik itu, kecuali membalas senyum
Andika dengan keranuman bibirnya. Sehingga, memaksa jantung Andika kian berdetak
tak karuan. "Ng..., anu kau. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kan?" kata Andika.
"Tolong aku, Tuan Pendekar," pinta wanita itu, tak sedikit pun menjawab
pertanyaan Andika sebelumnya.
Sepasang alis sayap elang pemuda gagah itu bertaut.
"Tolong" Tolong bagaimana?" bisik batin Andika lagi.
"Bencana itu..., bencana itu. Aku terpaksa melakukannya. Tolong aku, Tuan
Pendekar," lanjut wanita cantik itu, makin membingungkan Andika.
"Tunggu dulu, Dik. Bisakah kau jelaskan padaku satu persatu?" tanggap Andika
sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya kali ini menangkap bias kemurungan di
wajah wanita itu.
Cukup lama Andika menunggu jawaban, tapi wanita di hadapannya tetap tertunduk
dalam-dalam. Andika menggeleng-geleng kepala. Dan saat menggeleng, matanya terlempar ke arah
lain. "Bagaimana aku bi...."
Andika tak melanjutkan ucapannya, karena begitu matanya kembali pada wanita itu,
dia tak menemukan siapa-siapa lagi.
"Hei.... Ke mana kau"!" panggil Andika.
Seketika Andika menyadari sesuatu yang ganjil.
Ternyata wanita itu menghilang begitu saja dalam waktu demikian singkat!
Padahal, Andika hanya sempat mengalihkan pandangan saat menggeleng.
Maka saat berikutnya bulu roma Andika meremang.
"Siapa wanita itu?" bisik pemuda itu amat samar.
*** 3 Wilayah Kadipaten Karangwaja yang luas, terbentang dari kaki Gunung Srandil di
sebelah timur hingga Pesisir Pantai Laut Selatan. Di kadipaten itu berdiri empat
perguruan besar. Masing-masing Perguruan Elang Hitam di wilayah timur, Perguruan
Tangan Wesi di sebelah barat, Perguruan Naga Langit di wilayah selatan, dan
Perguruan Ular Iblis di wilayah utara. Dari keempat perguruan ini, hanya
Perguruan Ular Iblis yang kerap kali menimbulkan masalah di kadipaten itu.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kadipaten yang yang dipimpin Adipati Tunggul Manik ini sering dibuat susah oleh
para murid Perguruan Ular Iblis yang melanggar hukum.
Kerusuhan sering diciptakan di beberapa kampung.
Tabiat ugal-ugalan dan semena-mena adalah hal biasa bagi murid perguruan itu.
Untuk melakukan penangkapan, para prajurit kadipaten malah dibuat kewalahan.
Karena, murid-murid perguruan itu rata-rata memiliki ilmu kesaktian tinggi
Dengan alasan inilah, Adipati Tunggul Manik berulang kali mengirim utusan ke
tiga perguruan lain, untuk memohon bantuan mengatasi sepak terjang Perguruan
Ular Iblis. Meski begitu, persoalan demi persoalan yang ditimbulkan para murid
Perguruan Ular Iblis tak kunjung selesai.
Seperti halnya hari ini, dua lelaki dari Perguruan Ular Iblis terlihat memasuki
gerbang desa. Keduanya berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan ular
bertaring besar di bagian belakangnya. Pakaian
itu masih dipadu dengan celana panjang warna kelabu. Kepala mereka diikat kain
merah bergambar lambang perguruan, seperti di baju bagian belakang yang
dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua lelaki muda berwajah tampan itu.
Sayang, sinar mata mereka berbinar culas.
Mereka terus melangkah angkuh, memasuki jalan desa yang lengang siang ini. Tak
heran, karena para penduduk yang terutama laki-laki sedang pergi ke sawah.
Sedangkan para wanitanya sedang memper-siapkan makan siang untuk dibawa ke sawah
nanti. Ketika kedua lelaki itu melewati jembatan bambu yang membelah anak Sungai
Lanang, seorang gadis desa berwajah cantik dan bertubuh molek kebetulan
melintasi jembatan pula. Maka ketiganya berpapasan di tengah jembatan bambu.
"Ada anak kelinci, Kang Wisesa," seloroh lelaki yang berwajah lebih muda.
"Anak kelinci yang montok dan manis, Karta,"
timpal laki-laki yang dipanggil Wisesa seraya terbahak-bahak keras.
Sedangkan gadis desa yang digoda menjadi tersurut ketakutan ke sisi jembatan.
Matanya mem-beliak ngeri, mendapati seringai nakal Karta dan Wisesa. Dia berniat
lari menerobos sisi kiri jembatan, tapi Wisesa dengan sigap menghalang-
halanginya. "Kenapa terburu-buru, Nyai?" tanya Wisesa. "Apa tidak sebaiknya kita berkenalan
dulu" Siapa namamu"
"Marni," sahut gadis itu, cepat.
"Marilah, kita ngobrol-ngobrol dulu," ajak Karta.
Marni menggelengkan kepala. Rambutnya yang panjang tergerai bergoyang-goyang
mengikuti irama gelengan kepalanya.
"Maaf, aku terburu-buru, Kang. Mau ngantar makanan buat Ayah di sawah," tukas
Marni, berusaha menolak ajakan Wisesa.
"Aaah! Hanya ngobrol saja kan tidak lama," selak Karta sambil menjulurkan tangan
untuk menjamah pangkal lengan Marni.
"Tapi, Emak sudah menunggu di rumah. Masakan buat Ayah pasti sudah matang,"
tolak Marni lagi seraya berusaha mundur, menghindari tangan liar Karta dengan
wajah mulai memucat.
Merasa usahanya untuk melintasi jembatan sia-sia, Marni perlahan-lahan melangkah
mundur. Pikirnya, lebih baik kembali ketimbang harus berurusan dengan dua lelaki hidung
belang ini. Terlebih, dia tahu kalau mereka adalah anggota Perguruan Ular Iblis,
biang kekacauan di Kadipaten Karangwaja.
Melihat Marni siap-siap melarikan diri, Karta mendekatkan wajahnya pada telinga
Wisesa. "Kang, mumpung tidak ada orang. Bagaimana kalau kita bawa lari perempuan ini?"
bisik Karta, memberi usulan.
Wisesa melirik kawannya sesaat. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Yang
pasti, bibirnya menyeringai jalang. Setelah itu, kepalanya mengangguk, memberi
persetujuan atas usul Karta tadi.
Marni tahu, gelagat itu tidak baik. Ia memang sering bertemu orang-orang seperti
Karta dan Wisesa yang selalu memperlihatkan tingkah mencurigakan jika menyimpan
niat busuk pada dirinya yang menjadi kembang desa.
Menyadari hal ini, Marni segera berbalik, dan lari sekuat tenaga di atas
jembatan bambu. Sehingga, membuat jembatan itu bergoyang-goyang bersama suara
berderit. "Mang, kejar!" seru Karta setengah berteriak, dan langsung mengejar Marni.
Saat berikutnya, Wisesa pun mengejar gadis itu.
Tiga orang berlari di atas jembatan, mengakibatkan kerangka bambu itu nyaris
roboh. Deritnya riuh, seperti oleng ke kiri dan kanan, sehingga Marni terhuyung-
huyung. Sementara di bawah sana, anak sungai berbatu sebesar kerbau siap menanti. Bagi
Karta maupun Wisesa, jarak setinggi tujuh tombak dari jembatan ke permukaan
sungai bukan masalah. Dengan tingkat meringankan tubuh yang mereka miliki,
ketinggian yang lebih dari itu pun sanggup ditaklukkan.
Tapi buat Marni, yang tak memiliki ilmu bela diri sekalipun" Ancaman terenggut
maut di atas batu besar bisa saja menimpa dirinya.
Rasa bingung Marni membuat keseimbangan
tubuhnya tidak bisa terkuasai lagi. Tubuhnya oleng ke kiri, langsung melanggar
sisi jembatan dari bilah bambu memanjang. Dorongan tubuhnya yang begitu keras,
menyebabkan bambu di sisi jembatan tak kuasa menahannya.
Krak! Bambu sisi jembatan itu patah, dan....
"Aaa...!"'
Tak ayal lagi, Marni terlempar ke bawah. Jeritan melengking yang terdengar
menyayat keluar dari tenggorokannya, sehingga tercipta gema ke setiap penjuru,
seperti panggilan maut.
"Bodoh! Kenapa tidak menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menangkapnya"!"
bentak Wisesa menyesali keterlambatan Karta mengejar gadis desa itu.
"Mak..., maksudku tadi hanya ingin mempermain-
kan dia, Kang," jawab Karta tergagap.
"Tapi akibatnya dia jatuh ke sana!" hardik Wisesa kembali seraya menunjuk ke
anak sungai. Di sana, tubuh Marni tergolek tanpa bergerak sedikitpun setelah
menghantam permukaan sebongkah batu besar.
"Jadi apa harus diperbuat, Kang" Apa penduduk kampung bakal tahu?" tanya Karta,
tertunduk-tunduk.
"Goblok! Aku memarahimu bukan karena takut pada penduduk kampung!"
"Jadi apa, Kang?"
"Karena kita tak jadi menikmati tubuh gadis cantik itu!"
"Ooo, aku kira apa. Kalau itu sih, aku juga menyesal, Kang," tukas Karta seraya
meringis-ringis takut.
"Ayo kita pergi! Aku tak ingin buang-buang tenaga jika penduduk desa tahu
kejadian ini...," ajak Wisesa pada Karta.
Keduanya baru hendak melangkah tapi segera diurungkan. Karena, mata mereka
menemukan seseorang berdiri di ujung jembatan. Tangannya terlipat di depan dada,
seperti menantang Karta dan Wisesa.
"Siapa kau"!" bentak Wisesa kasar. Sikap orang itu membuat dirinya merasa
ditantang secara tak langsung.
Bentakan itu sama sekali tidak digubris lelaki yang baru datang. Malah matanya
menatap terus kedua orang murid Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam.
Jemari tangan kanannya terlihat menepuk-nepuk lengan yang lain.
"Hey, aku bicara padamu!" bentak Wisesa sekali lagi. Suaranya terdengar makin
meninggi. Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau dan tersampir kain bercorak catur
pada pundaknya itu malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu ditujukan pada
orang di belakangnya. Tentu saja perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol.
"Aku bicara padamu, Goblok!" maki Wisesa dengan wajah matang.
Sekali lagi si Pemuda menoleh ke belakang. Lebih menjengkelkan lagi, badannya
dibalikkan pula.
Dengan membelakangi Karta dan Wisesa, bahunya diangkat.
"Apa orang itu sudah sinting" Tidak ada siapa-siapa di belakangmu, kok teriak-
teriak seperti itu...?"
Meski tidak terlalu keras, ucapannya tetap dapat ditangkap telinga Wisesa.
Kontan saja wajah lelaki itu menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya
terlipat. Sedang bibir atasnya terangkat, seperti mulut kera sedang marah.
Saat itulah pemuda tadi berbalik menghadap mereka. Wajahnya terperangah, melihat
mimik muka Wisesa. Sepasang alisnya terangkat, seperti orang ketakutan.
"Astaga, jadi orang itu benar-benar sinting...," ujar pemuda itu agak keras.
"Bangsaaat!" maki Wisesa tak alang kepalang murka.
Siapa yang sudi disebut orang sinting" Begitu marahnya Wisesa, sampai-sampai
seluruh urat lehernya tersembul ketika memaki.
Sementara Karta di belakangnya malah tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
kejengkelan kawannya. Apalagi jika teringat ucapan si Pemuda yang menganggap
Wisesa orang gila.
"Tolong! Tolooong, ada dua orang sinting di
jembatan!" teriak pemuda berpakaian hijau itu selanjutnya.
Tawa meriah Karta terputus seketika mendengar teriakan tadi. Jelas, perasaannya
ikut tersinggung. Itu artinya dia juga dianggap sinting! Dan wajahnya pun
tertular wajah jelek Wisesa....
"Kita hajar saja dia, Kang," usul Karta pada Wisesa.
"Diam kau!" bentak Wisesa, kesal ditertawai Karta.
Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura ketakutan. Langkahnya terbanting-
banting di jembatan bambu, membuat getaran bagai ada gempa.
"Hei..., hei, hati-hati! Bambu-bambu itu sudah keropos!" teriak pemuda gondrong
yang ternyata Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit bambu yang
dikeratnya dari sisi jembatan.
Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan
tiba-tiba saja menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak Wisesa.
Krak! Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu jentikan kecil Andika tadi
disertai tenaga dalam tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan remuk.
Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa.
"Kunyuk! Kunyuk!" umpat Wisesa seraya bangkit terseok.
Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk potongan bambu. Sambil meringis
menahan nyeri yang merasuk hingga ke ulu hati, tangannya menunjuk ke arah Karta.
"Karta! Tunggu apa lagi. Goblok"! Ayo singkirkan manusia pembawa sial itu!"
teriak Wisesa. Mendapat teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih setengah terkejut, dia berlari
menuju Andika. "Manusia siaaal...!" teriak Karta seraya mengayunkan tinju ke wajah Andika.
Di lain pihak, Pendekar Slebor malah asyik senyum-senyum saja menantikan
serangan. Padahal, Karta mengirim pukulan beserta pengerahan tenaga dalam. Maka
ketika tinju Karta hampir mendarat di wajah, Andika segera menggenjot tubuh
dengan pengerahan seluruh kemampuan meringankan tubuhnya. Wesss!
Tubuh Pendekar Slebor tiba-tiba seperti menghilang dari pandangan Karta.
Alhasil, pukulannya pun melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun agak
bodoh itu meluruk deras, kemudian terjerembab di ujung jembatan. Lalu dengan
segera Karta bangkit dengan mata membesar sejadi-jadinya.
"Kang! Cepat lari, Kang! Orang tadi barangkali prajurit Nyi Roro Kidul!" jerit
Karta pada Wisesa yang menyaksikan juga peristiwa tadi.
Tak ada dua helaan napas, keduanya sudah kocar-kacir kelimpungan. Sebentar saja,
mereka sudah cukup jauh meninggalkan jembatan bambu ini.
Menyusul menghilangnya dua lelaki tadi, Andika muncul kembali.
"Walet! Ayo kita teruskan perjalanan!" seru Pendekar Slebor ke arah sebatang
pohon besar. Dari balik pohon besar itu, keluar Walet bersama Marni. Ya! Marni memang tidak
mati. Tubuhnya yang tergolek di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya batang
kayu kering. Sudah pasti itu hasil kerja Walet.
Memang, semula Pendekar Slebor dan Walet hendak berkunjung ke beberapa desa
untuk menemui sesepuhnya. Ini karena Andika hendak
menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti disebutkan wanita aneh yang
ditemuinya beberapa malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi daerah itu
dan menyaksikan Marni sedang dipermainkan dua lelaki tadi.
*** 4 Setelah Andika mengalami kejadian aneh beberapa hari lalu, kepalanya tak habis-
habisan berpikir tentang wanita cantik yang ditemuinya di bawah sebatang pohon
besar. Siapa dia" Bagaimana dia bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula
menghilang"
Apa maksudnya meminta tolong" Lalu, bencana macam apa yang dimaksudnya" Seruntun
pertanyaan itu terus bergaung di benak Andika.
Di mulut sebuah jendela kamar, Andika terpekur.
Dicobanya memahami seluruh ucapan wanita itu.
Lama dia begitu, namun tak secercah jawaban pun yang didapat.
Setelah menolong Marni siang tadi, Andika dan Walet mengantarnya pulang dan
sampai di rumah.
Mereka berdua ditawari bermalam oleh Nyi Saodah, ibunya Marni. Semula, Andika
menolak karena masih punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna pesan
wanita cantik aneh itu kepada beberapa sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan
begitu saja mengguyur bumi, mau tak mau diterimanya juga tawaran Nyi Saodah.
Mereka diperlakukan seperti tamu kehormatan oleh keluarga Marni. Bukan karena
telah berjasa menyelamatkan Marni dari cengkeraman dua lelaki bejat siang tadi,
tapi semata-mata karena nilai-nilai tata krama dalam keluarga itu sendiri.
Kendati demikian, kedua orangtua Marni amat berterima kasih anaknya telah
diselamatkan. Andika dan Walet mendapat kamar istirahat di
rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi, Walet sudah tertidur pulas
di balai dalam kamar.
Tampaknya, bocah itu terlalu lelah setelah seharian berjalan bersama Andika.
Kini keadaan sepi. Suara hujan di luar, menembus dinding bilik kamar. Sementara,
angin basah singgah melalui jendela tempat Andika merenung.
Sampai saat itu, hujan tidak juga mau berhenti.
Dan ini agaknya membuat Andika kesal karena urusannya jadi mandek. Namun biar
bagaimanapun, dia harus menerima perlakuan alam yang seperti ini.
Lagi pula, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan untuk menurunkan hujan"
Lamat-lamat Andika bisa menikmati suasana seperti ini. Sampai tiba-tiba
berkelebat bayangan seseorang di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya,
diyakini kalau bayangan itu tubuh seseorang wanita.
"Marni.... Kaukah itu?" sapa Andika, menduga-duga. Tidak ada jawaban. Sementara,
desah hujan di luar masih terus terdengar.
"Marni...," ulang Andika. Dugaannya, barangkali suaranya terlalu lemah untuk
menembus hujan, sehingga Marni tidak mendengar.
Tapi, tak juga ada sahutan.
Andika mulai curiga. Dipasangnya pendengaran tajam-tajam, mencoba menangkap
gerakan terkecil yang mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali menangkap
kelebatan seseorang. Anehnya, telinganya tidak menangkap suara sedikit pun!
Entah kenapa, kuduk Andika meremang hebat.
Padahal, dia belum menduga yang bukan-bukan.
"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Slebor amat samar.
Andika jadi teringat wanita cantik yang ditemuinya
beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun meremang. Dan kini, napas Andika
seperti hendak terhenti karena tegang. Saat berikutnya....
Brak! Dinding bilik di depan Andika jebol seketika, menciptakan suara keras
mengalahkan keramaian hujan. Dan tiba-tiba, seorang berambut panjang menerobos
masuk. Dari arah terjangannya, Andika tahu kalau orang itu hendak menyerang
Walet. Dengan sigap Andika menghentakkan kakinya.
Tubuhnya cepat meluruk deras ke arah orang yang baru masuk. Tak ada tindakan
lain yang ingin dilakukannya saat itu, kecuali menahan si penyerang agar tidak
mendekati Walet.
Mendapati seseorang berusaha menghalangi, sosok berpakaian merah-merah itu
menghentikan gerakannya.
Sementara Walet yang mendengar keributan, seketika terbangun. Matanya mengerjap-
ngerjap pedih, karena terbangun tiba-tiba.
"Ada apa, Kang Andika?" tanya Walet setengah berseru.
Andika tak menyahut, apalagi menoleh. Karena pada saat bersamaan, sosok yang
baru datang itu menuding ke arahnya.
"Minggir kau! Jangan campuri urusanku!" bentak sosok berpakaian serba merah itu.
"Kalau kau berurusan dengan kawan kecilku ini, itu berarti berurusan langsung
denganku," sanggah Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata bukan wanita.
Sosok itu ternyata lelaki berusia lima puluh tahunan. Rambutnya yang panjang
dipenuhi uban. Wajahnya amat menakutkan dengan bekas luka


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga ke pipi. Sebelah matanya
terlihat sudah tidak utuh lagi karena sayatan itu. Meski rambutnya panjang,
bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga keningnya tampak menjadi lebih
lebar. Dengan kumis lebat menutupi bibir, lelaki itu makin terlihat sangar.
"Kau akan menyesal jika mencampuri urusanku, Anak Muda," ancam orang itu dingin.
Andika tersenyum sinis, di bawah terpaan sinar lampu minyak dalam kamar.
"Keliru! Justru kau yang akan menyesal telah berurusan denganku," tangkis Andika
tenang. "Bagaimana, ya" Karena siang tadi, aku baru saja mendapat sebutan baru dari dua
orang laki-laki.
Manusia pembawa sial. Kau mau ikut sial seperti dua lelaki itu?"
"Kau terlalu memaksa, Kisanak. Hiaaah!"
Tak banyak berbasa-basi lagi, lelaki itu melancarkan serangan ganas ke mata
Andika. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengejang, seakan ditarik
rentangan kawat baja di dalamnya.
Wut! Untuk mengukur tingkat kekuatan tenaga dalam lawannya, sengaja Andika memapak
totokan itu dengan telapak tangan kanannya.
Dab! Kini Andika tahu, lawannya memiliki ilmu kesaktian yang tergolong tinggi. Itu
bisa dirasakan dari getaran hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan
kanannya. Menyadari lawan tidak bisa dibuat main-main, Pendekar Slebor lantas
mengirim serangan balasan.
Jurus awal 'Memapak Petir Membabi Buta'
dikerahkan untuk menyerang tinju geledek tingkat
lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga.
Wesss! Pukulan sepasang tangan yang bergerak dari dua arah berbeda, menimbulkan deru
angin keras. Ini sebagai bukti kalau kecepatan dan penyaluran tenaga Andika
dikerahkan tak tanggung-tanggung.
"Hih!"
Laki-laki berpakaian serba merah itu menaikkan kaki kanannya dalam bentuk
melipat ke atas. Dan begitu pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat sudah
melepaskan tendangan ke perut, dengan badan condong ke samping. Dengan demikian
selain bisa menghindari pukulan Andika, orang itu mampu melepaskan serangan
balasan. Dan itu memang sebuah gerak kembangan dari jurus 'Sapuan Ekor Ular'.
Andika cepat menarik tubuh ke belakang, lalu secepatnya berputar. Berbareng
dengan itu, kakinya membuat gerakan menyapu untuk menjatuhkan lawan dengan
mendepak kakinya yang masih menjejak.
Wres! Namun gerakan laki-laki itu tak kalah cepat dalam memindahkan jejakan kakinya,
setelah melompat terlebih dahulu untuk menghindari sapuan Andika.
Sementara keduanya bertukar jurus, Walet malah berteriak-teriak menyemangati
Andika. "Terus, Kang! Hajar jidatnya yang lebar itu! Yak, yak! Jitak saja!" teriak Walet
seraya meninju-ninju.
Matanya yang semula kuyu karena kantuk, kini terbuka lebar-lebar dan berbinar
penuh semangat.
Tiga puluh jurus berlalu begitu cepat. Pertarungan antara Pendekar Slebor
melawan laki-laki berpakaian serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi
satu sama lain. Dugaan Andika sebelumnya memang tidak meleset. Lawan memang
memiliki kedigdayaan yang cukup tangguh.
"Hiyaaah!"
Jep! Biarpun hingga saat ini belum tahu alasan pasti, mengapa lelaki berwajah sangar
itu hendak menyerang Walet, namun Andika bersungguh-sungguh untuk menjatuhkan
lawannya. Dalam pertarungan seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau
dibunuh. Meski selaku ksatria sejati Pendekar Slebor lebih suka tidak ada yang
menjadi korban.
Sesekali terbetik dugaan dalam benak Andika bahwa lawannya mungkin mengalami
kesalah-pahaman. Namun serangan-serangan mematikan yang dihadapi tidak memberi
kesempatan untuk mempertimbangkan dugaan itu. Mau tak mau, Pendekar Slebor
melayani setiap gempuran yang datang.
Memasuki jurus ketiga puluh empat, kecepatan gerak Pendekar Slebor meningkat
pesat. Bukan hanya itu, jurus yang dimainkannya pun terlihat tak beraturan lagi.
Dengan begitu, bukan berarti lelaki berpakaian serba merah itu mendapat
kesempatan untuk berada di atas angin. Gerakan menggila pendekar muda berjuluk
Pendekar Slebor justru seperti menutup seluruh ruang geraknya.
"Gila! Jurus apa ini!" maki lelaki itu, antara kekaguman dan kegusaran.
Jep! Wess, wesss, jeb, jeb, jeb!
Keterperanjatan lawan dimanfaatkan Andika untuk melepaskan totokan beruntun ke
leher, dada, ulu hati, dan pinggang.
Melihat hal ini, lelaki berpakaian serba merah itu
kian terperangah. Wajah buruknya menegang demikian rupa. Lalu sekejap
berikutnya, berganti ringisan menahan sakit luar biasa pada bahunya.
Des! "Akh!"
Tanpa disangka-sangka, rupanya Pendekar Slebor menyelipkan satu bacokan lengan
di antara pukulan berantainya.
Bersama erangan tertahan, tubuh lelaki setengah baya itu terlempar ke belakang,
langsung menghantam dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di tanah
tergenang air. Hujan langsung menyerbunya, membuat seluruh badan lelaki itu
basah kuyup. Sebelum benar-benar berhenti berguling, orang itu menghentakkan kakinya ke
udara, sehingga bisa berdiri kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia langsung
melarikan diri begitu cepat laksana kelelawar malam. Sementara Andika hanya
berdiri saja memperhatikan kepergian orang itu.
"Kenapa tak dikejar, Kang?" Walet, tak puas menyaksikan Andika membiarkan lawan
melarikan diri. "Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang brengsek yang tak
pantas diberi ampun!"
"Tak perlu," sergah Andika. "Yang perlu sekarang ini, adalah penjelasanmu.
Kenapa orang itu hendak menyerangmu?"
"Mana aku tahu," sahut Walet, seraya mengangkat bahunya.
"Jangan bohong. Buktinya kau tahu kalau dia dari Perguruan Ular Iblis. Pasti kau
punya masalah dengan mereka, kan?" desak Andika.,
"Sumpah modar bohongan! Aku tidak punya masalah apa-apa dengan mereka, Kang.
Kalau aku tahu bahwa dia dari perguruan itu, karena sempat
melihat lambang perguruan di punggung bajunya,"
sangkal Walet. Andika menyerah. Bisa saja anak ini tidak berbohong.
"Ada apa, Nak Andika"!" tanya Nyi Saodah yang tiba-tiba menguak pintu kamar.
"Tidak ada apa-apa, kok Nyi. Hanya ada tikus tadi,"
sahut Walet cepat.
Nyi Saodah melongo. Tikus sebesar apa yang bisa menjebol dinding bilik rumahnya"
*** Satu teka-teki belum terjawab, telah datang lagi teka-teki lain. Andika jadi
pusing memikirkannya. Di lain sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara
peristiwa wanita cantik yang ditemaninya, dengan tokoh sakti dari Perguruan Ular
Iblis semalam. Namun demikian jawabannya masih buntu.
Untuk menghubungkan seluruh mata rantai
peristiwa semua itu, Andika memang harus menyelidiki satu persatu. Mula-mula hal
ihwal mengenai Perguruan Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-nya.
Termasuk, kepentingannya terhadap diri Walet.
Selanjutnya dia akan mencari tahu tentang bencana seperti disebutkan wanita
cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidikinya
siapa wanita cantik terselubung teka-teki itu sebenarnya.
"Benar-benar rumit...," keluh Andika bersama satu helaan napas panjang.
"Kopinya, Kang Andika...."
Andika tersadar dari kecamuk pikirannya.
Didapatinya Marni telah berdiri di depannya, mem-
bawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas.
"Wah! Pagi-pagi seperti ini, memang tepat kalau disuguhkan kopi ngebul-ngebul,"
seloroh Andika seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni.
"Terima kasih, ya."
Gadis manis di depan pemuda itu tersipu-sipu sambil meletakkan cangkir kopi yang
lain di meja kayu. Kulit wajahnya yang putih memperlihatkan semu merah, kala
mata Andika berusaha menangkap mata lentiknya.
"Mmm, kopi ini betul-betul nikmat. Kau yang buat, Ni?" tanya Andika setelah
menyeruput kopi.
Marni mengangguk malu, tanpa berani mengadu pandang dengan pemuda tampan yang
duduk di kursi itu.
"Tapi, kurasa hanya perlu kopi satu cangkir.
Kenapa disediakan dua?" lanjut Andika.
"Ah! Cangkir yang ini buat Walet, kok Kang...," kata Marni lembut.
"Ooo," bibir Andika membulat. "Dikira buat aku. He he he...!"
Lagi-lagi Marni tersipu. Wajah ayu berhias rona merah itu membuat Andika gemas.
Hati pemuda itu mau tak mau memuji keayuan Marni yang begitu alami. Bulu matanya
yang lentik, berkelopak lembut.
Hidungnya tinggi menipis, dan bibirnya merah delima....
"Aku ke belakang dulu, ya Kang Andika."
Andika tersentak. Matanya sempat berkerjap kaget mendengar sapaan Marni.
"Eh! Iya, ya. E..., apa tidak sebaiknya menemani aku ngobrol?" sahut Andika
gelagapan. Mendapat tawaran Andika, Marni tidak bisa menyembunyikan rasa senang di
wajahnya. Itu bisa
dilihat dari bias mata beningnya. Dia pun duduk di depan Andika malu-malu.
Kepalanya tertunduk dalam memandang ke bawah meja.
Lama keduanya terdiam seperti orang bodoh.
Andika sendiri bingung, mau bicara mulai dari mana.
Rasanya semua jadi serba salah. Sampai akhirnya, dia teringat pada wanita aneh
berwajah cantik yang pernah ditemuinya.
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah mendengar desas-desus tentang wanita cantik
yang aneh?" tanya Andika pada Marni.
Marni mengangkat kepala.
"Aneh bagaimana, Kang?"
"Datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Ya, seperti menghilang begitu saja."
Wajah Marni mendadak memperlihatkan
kengerian. "Ada apa, Ni?" ungkit Andika, ingin tahu. Marni tidak segera menjawab.
Sepertinya, dia sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Apa yang Kakang maksud Nyai Roro Kidul?" tanya Marni, hati-hati.
"Nyai Roro Kidul?"
"Dia Ratu Penguasa Laut Setan. Dan Kadipaten Karangwaja masih termasuk wilayah
kekuasaannya. Beliau..., beliau Ratu Lelembut."
Andika tercekat. Bulu halus di kuduknya kontan meremang.
"Ratu Lelembut," desis pemuda itu tak sadar.
*** 5 Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan menanjak menuju puncak singgasananya.
Sinarnya yang kemilau singgah pada genangan air hujan, lalu memantul lagi ke
udara. Pantulan cahaya matahari pada genangan air yang beriak diterpa angin,
membuat genangan itu bagai kilau mutiara berserakan.
Awal siang ini Andika memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama Walet.
Keduanya pamit pada keluarga Marni yang dengan berat hati melepas kepergian
mereka. Terlebi-lebih, bagi Marni. Per-kenalan singkat dengan pemuda tampan itu
mengukir kesan teramat dalam hati Marni.
Marni sendiri tak pernah mengerti perasaan macam apa yang mengusiknya, setelah
mengenal Andika. Gadis itu hanya tahu kalau dirinya amat berharap Andika tetap
tinggal bersama keluarganya.
Dan kalaupun tetap harus pergi, dia berharap dapat berjumpa lagi.
"Selamat jalan, Kang Andika...," ucap Marni begitu berat, seperti tercekat di
tenggorokan. Keluarga Marni kini berdiri di pintu rumah untuk melepas kepergian Andika dan
Walet. Andika menghentikan langkahnya seraya menoleh.
Ucapan perlahan Marni sempat tertangkap telinganya. Dijawabnya kalimat
perpisahan Marni dengan seulas senyum. Lalu langkahnya dilanjutkan menyusul
Walet yang berjalan lebih dahulu.
"Ke mana kita, Kang?" tanya Walet ketika mereka sudah cukup jauh.
"Kau tahu orang yang paling tepat untuk ditanyai tentang Kadipaten Karangwaja
ini?" Andika balik bertanya.
"Adipati Tunggul Manik, aku rasa."
"Tepat."
"Jadi kita akan ke pendapa kadipaten?"
Andika mengangguk.
"Wah! Seumur-umur, baru kali ini aku mau masuk tempatnya para kanjeng. Apa kita
bakal diizinkan masuk ke sana, Kang" Kita kan hanya wong cilik?"
tukas Walet agak ragu.
"Kau jangan cerewet. Lihat saja nanti," sahut Andika.
Kali ini, Walet yang mengangguk-angguk. Matanya bergerak kian kemari,
membayangkan suasana pendapa kadipaten.
"Pasti dayangnya cantik-cantik ya, Kang!" usik Walet, seraya tersenyum nakal.
Andika menggeleng-geleng. Bibirnya memperlihatkan senyum yang hanya dimengerti
oleh dirinya sendiri.
"Kau mirip sekali dengan diriku waktu kecil, Let!"
ucap Andika dalam hati.
*** Sesampai di kadipatenan, Pendekar Slebor dan Walet disambut dua prajurit penjaga
gerbang yang berseragam punggawa, dan bercelana hitam sebatas betis berlapis
kain batik. Rambut keduanya digelung ke atas. Pada masing-masing pangkal lengan,
terdapat semacam gelang berukir.
"Siapa Kisanak. Dan ada keperluan apa?" tanya
seorang di antara dua punggawa seraya mengacungkan tombak.
"Aku ingin bertemu Adipati Tunggul Manik," sahut Andika. "Katakan pada beliau,
Pendekar Slebor ingin bertemu."
Mendengar nama Pendekar Slebor disebutkan, prajurit itu tampak agak terperangah.
Baginya, bisa bertemu langsung pendekar besar seperti Andika adalah suatu
kehormatan tak ternilai. Paling tidak sama saja mendapat kepercayaan dari
seorang bangsawan.
Sementara, prajurit punggawa yang satu lagi pun terperanjat.
"Maafkan kebodohanku, Tuan Pendekar. Aku benar-benar tak mengenalimu," hatur
punggawa itu seraya menjura hormat, disusul kawannya.
"Ah! Jangan perlakukan aku seperti kalian memperlakukan kalangan istana. Aku
sama saja seperti kalian," sergah Andika, risih mendapat penghormatan berlebihan
kedua punggawa itu.
"Sudikah kiranya Tuan menunggu sesaat. Aku akan melapor dahulu pada Kanjeng
Adipati," pamit prajurit yang menanyai Andika tadi.
"Silakan."
Sepeninggalan prajurit tersebut, Walet menyenggol lengan Andika.
"Jadi Kang Andika adalah Pendekar Slebor itu" Oh, jadi selama ini aku bersama
seorang pendekar kesohor!"
Sambil berbicara mata bocah kecil itu terus membesar. Entah karena kesal tidak
pernah diberi tahu Andika tentang dirinya selaku pendekar yang begitu disegani,
atau karena bocah kecil itu sama kaget dengan prajurit kadipaten tadi.
"Kakang ini benar-benar brengsek...," gerutu Walet.
"Kalau tahu begitu, aku sudah minta diajarkan jurus saktimu...."
Andika tak mempedulikan gerutuanmu Walet, karena prajurit yang melapor telah
kembali. "Tuan Pendekar dipersilakan menemui Kanjeng Adipati di pendapa," kata prajurit
itu, mempersilakan.
Andika dan Walet memasuki gerbang kekadipatenan, diantar prajurit tadi.
Setelah berjalan melewati taman sari kekadipatenan, mereka tiba di satu bangunan
besar ber-tiang-tiang kokoh. Bangunan ini tak berdinding, sehingga orang di
dalamnya bisa melepas pandangan ke seluruh penjuru taman sari. Di tengah ruangan
berlantai agak meninggi itu, tampak Adipati Tunggul Manik duduk di atas kursi
kebesaran. Mimik wajahnya terlihat senang. Matanya berbinar-binar menyambut
kedatangan Andika.
"Selamat datang di kadipaten kami, Pendekar Slebor," sambut laki-laki setengah
baya itu seraya berdiri ketika Andika telah melewati tangga batu pendapa.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Salam hormat dari hamba, Kanjeng Adipati," hatur Andika sambil menjura
berbareng dengan Walet.
Setelah mempersilakan duduk, Adipati Tunggul Manik menanyakan maksud kedatangan
Andika dan Walet. Maka secara gamblang, Pendekar Slebor pun mengajukan beberapa
pertanyaan pada Penguasa Kadipaten Karangwaja ini.
"Apakah di kadipaten belakangan ini sering terjadi keresahan, Kanjeng Adipati?"
tanya Andika, meng-ungkapkan keingintahuannya.
"Keresahan?" gumam Adipati Tunggul Manik sambil mengusap-usap dagu. "Aku tidak
tahu, apakah yang terjadi belakangan ini di kadipatenku bisa disebut sesuatu yang meresahkan.
Karena menurut-ku, kejadian-kejadian itu lebih tepat disebut bencana."
Mata Adipati Tunggul Manik jatuh pada lantai pendapa, seperti sikap seseorang
yang sedang prihatin.
"Bencana?" Andika teringat langsung pada wanita cantik yang menemuinya. Dan dia
juga bertutur tentang bencana. "Bencana macam apa, Kanjeng Adipati?"
Adipati Tunggul Manik menarik napas dalam-dalam. Beban berat tampak tergambar di
wajahnya, karena begitu memikirkan keadaan kadipatennya yang sedang dilanda
sesuatu yang amat mengerikan.
"Kalau ingin mengetahui lebih jelas, lebih baik Kisanak bermalam beberapa lama
di sini," ujar Adipati Tunggul Manik itu lemah. "Aku sangat berharap kau dapat
membantu memecahkan persoalan kami."
Andika menyetujui tawaran Adipati Tunggul Manik.
Lebih-lebih, Walet yang begitu berhasrat menikmati sedikit kenyamanan tempat
tinggal para pembesar.
Terutama, kecantikan para dayangnya.
*** Waktu tanpa lelah terus berputar, sebagaimana hukum alam. Malam pun menjelang.
Angin dingin berlarian di seluruh wilayah Kadipaten Karangwaja.
Untung saja hujan yang biasanya turun, tidak menampakkan diri. Meski begitu,
suasana di luar tetap tidak terasa nyaman.
Seluruh kampung di kadipaten ini tampak mati.
Tidak ada seorang penduduk kampung pun yang menampakkan batang hidung. Mereka
semua meringkuk was-was di tempat tidur masing-masing.
Sementara di luar sana, lolongan anjing hutan bersahut-sahutan seakan membawa
ancaman di setiap saat.
Hingga malam demikian menua, Andika belum juga bisa memejamkan matanya. Maka
diputus-kannya untuk bergabung dengan para pengawal di gerbang istana. Dan baru
saja kakinya melangkah keluar dari kamar, Walet menyusul. Rupanya, bocah itu
juga tidak bisa tidur. Menurut perasaannya, ada sesuatu yang bakal terjadi malam
ini. Benar saja!
karena.... "Aaa...! Firasat mereka ternyata terbukti. Baru saja keduanya hendak menyapa tiga
prajurit, tiba-tiba saja terdengar teriakan tinggi melengking, merobek ke-
heningan malam.
"Pasti ada satu korban lagi," desis seorang prajurit dengan wajah menegang.
"Kalian tetap berjaga di sini. Biar aku yang akan memeriksa apa yang terjadi!"
ujar Andika sigap. "Kau juga Walet!"
Andika memang melihat gelagat, bocah kecil tampaknya juga ingin tahu itu. Maka
tanpa mempedulikan gerutuan Walet, pendekar gagah itu melesat cepat keluar dari
rumah adipati itu. Ke-cepatannya begitu memukau. Sampai-sampai prajurit yang
menjaga pintu gerbang terperangah tak percaya, menyaksikan tubuh Andika tiba-
tiba saja menghilang.
"Itu tadi teman karibku, kalian mesti tahu itu,"
tukas Walet, menyombong. Tapi, siapa yang mau peduli ocehan bocah macam Walet"
*** Di tempat lain, tepatnya di sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebelas
lelaki sedang mengadu jiwa melawan lima lelaki bertopeng.
Seorang di antara mereka tampak tergeletak tanpa nyawa di tanah basah. Tubuhnya
bermandikan darah dari luka menganga di dadanya. Bisa dipastikan, jeritan yang
didengar Andika tadi berasal dari mulut lelaki naas itu.
Sebelas lelaki yang bertarung melawan lima orang itu berasal dari Perguruan Naga
Langit. Itu bisa dilihat dari gambar naga bersayap yang terdapat di dada kanan
mereka. Sedangkan lelaki yang tergeletak juga berasal dari Perguruan Naga
Langit. Di lain pihak, kelima lawan orang-orang Perguruan Naga Langit itu hitam-hitam.
Topeng mereka juga berwarna hitam.
Dengan senjata berbentuk cakar dari logam, orang-orang Perguruan Naga Langit
berusaha menggempur habis-habisan kelima lawan mereka.
Cara mereka bertempur demikian membabi-buta. Ini memperlihatkan, bagaimana
kalapnya kesebelas lelaki itu. Sementara, lima lelaki bertopeng itu menggunakan
golok untuk melakukan gempuran balik.
Trang, tring, tring!
"Heaaa!"
"Hih!"
Gegap gempita pertempuran, memporak-
porandakan kesenyapan kaki bukit. Berbaurnya denting senjata beradu dengan
teriakan pembangkit semangat, merambah suasana malam ini. Bukit ini seolah
hendak digoncang gempa. Sementara, dedaunan seolah hendak dirontokkan.
Ditilik dari jumlah, kawanan lelaki bertopeng mestinya kewalahan. Tapi
kenyataannya, justru sebaliknya. Kelima orang itu malah tampak menguasai
keadaan. Bahkan lambat-laun mereka mulai berada di atas angin.
Dari cara bertempurnya jelas sekali kalau kelima lelaki bertopeng itu, rata-rata
memiliki ilmu beberapa tingkat di atas orang-orang Perguruan Naga Langit.
Bahkan.... Bret!
"Waaa!"
Bukti kelebihan lima lelaki bertopeng itu terjadi, ketika seorang lagi dari
kawanan Perguruan Naga Langit mendapat sabetan golok telak di perutnya.
Padahal, lelaki yang menjadi korban memiliki ilmu paling tinggi. Bahkan dia
sudah dibantu seorang kawannya dalam mengeroyok.
Kenyataan yang terjadi di depan mata itu membuat semangat orang-orang Perguruan
Naga Langit yang lain menjadi susut. Mereka mulai dirasuki kegentaran, melihat
ketangguhan yang rata-rata dimiliki kelima lelaki itu. Bahkan kegentaran itu
makin parah, tatkala kesepuluh lelaki dari Perguruan Naga Langit melihat kakak
seperguruan mereka menggelepar-gelepar sambil mendekap perutnya.
Seorang di antara mereka rupanya masih memiliki sedikit keberanian. Walaupun
orang itu paling muda, namun memiliki semangat menggebu, sebagaimana layaknya
orang berdarah muda.
"Ayo, jangan biarkan nyali kita ciut! Tak perlu ragu menghadapi maut, jika
berada di pihak yang benar!"
teriak anak muda itu lantang.
Namun teriakan penuh gelegak semangat tempur itu seperti tidak berarti dalam
membakar keberanian sembilan orang Perguruan Naga Langit yang lain.
Mereka terlihat mulai tersurut setindak demi setindak, setelah sebelumnya
menghentikan serangan.
"Kenapa kalian ini?" bentak murid termuda itu gusar. "Apa kalian tak ingin
menuntut balas atas kematian guru kita tercinta yang telah dibunuh secara
mengerikan oleh orang-orang biadab ini!"
Sementara itu, kelima lelaki bertopeng sudah siaga penuh menanti serangan
selanjutnya. Masing-masing tahu, pihak mereka sudah mampu mengalahkan nyali sisa
orang-orang Perguruan Naga Langit.
Dalam suatu pertempuran, hal ini sudah menjadi suatu keuntungan yang tak
ternilai. "Ayooo!" seru si Murid termuda lagi. Mata anak muda itu memerah bagai seonggok
bara. Begitu pula wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis. Ketampanannya berubah
menjadi mimik kemurkaan tak
terkendali. Dia benar-benar murka terhadap kelima lelaki bertopeng yang telah
banyak membunuh saudara seperguruan dan gurunya. Di sisi lain dia juga murka
kepada kesembilan kawannya.
"Kalian pengecut semua!" hardik anak muda itu ketika menyaksikan sembilan lelaki
saudara seperguruannya tiba-tiba saja lari serabutan tanpa mempedulikan seluruh
ucapannya. Kemudian, mata anak muda itu beralih jalang pada kelima lelaki itu. Sepasang
tangannya yang menggenggam senjata berbentuk cakar meregang kuat, memperlihatkan
tarikan otot-otot. Seakan, dia hendak meremas hancur gagang senjatanya.
"Aku memang tak akan mampu menandingi kalian.
Tapi, jangan harap aku akan melarikan diri seperti mereka!" dengus anak muda itu
geram, seberat auman seekor singa luka.
Kelima lelaki bertopeng itu saling berpandangan mendengar kalimat nekat anak
muda tadi. Mata mereka terlihat begitu meremehkan. Dari balik topeng yang hanya
memperlihatkan mata, terdengar tawa mengejek kelima lelaki itu.
"Apa kau tak dengar ocehan seekor lalat yang hendak kita tepuk mati ini?" leceh
seorang lawan berperawakan kurus, namun berotot kenyal.
"Ah! Aku tidak mendengarnya, Kang. Yang kudengar malah suara ng... ng... ng!"
"Suara lalat! Hus... ha ha...!" Ejekan demi ejekan semakin memanaskan telinga
pemuda dari Perguruan Naga Langit ini. Maka kemarahannya makin terukir hingga ke puncak.
Telinganya terasa terbakar, karena darah sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun.
Dia murka semurka-murkanya.
"Keparat busuk kalian semuaaa! Hiaaa!" Kini pemuda itu meluruk buas. Tak ada
lagi keinginan untuk bisa memenangkan pertarungan, kecuali mengadu jiwa.
Kalaupun tangannya tak mampu mencabut satu nyawa lawan, dia tidak peduli. Mati
sebagai seorang ksatria jauh lebih baik ketimbang menjadi seorang pengecut.
Tubuh pemuda itu terus melabrak salah seorang lawan terdekatnya. Sepasang
senjata di tangannya terayun cepat dari samping menuju wajah dan dada.
"Hih!"
Wut, wut! Orang yang menjadi sasaran sempat terkesiap mendapat gempuran membabi buta ini.
Sebelumnya orang itu tahu kalau kemampuan jurus pemuda itu berada jauh di
bawahnya. Namun sedikit pun tak diduga kalau puncak kenekatan seseorang mampu
melipatgandakan kekuatannya. Begitu pula yang
terjadi pada diri pemuda dari Perguruan Naga Lagit ini.
"Hiah!"
Trang! Satu tebasan ke wajah dapat ditangkis dengan golok orang bertopeng itu. Namun
keterkejutannya membuat matanya lengah menangkap sambaran senjata pemuda dari
Perguruan Naga Langit yang mengarah ke dadanya. Akibatnya....
Bret! "Aaakh!"
Lolongan panjang terdengar setelah dada lelaki bertopeng itu terkoyak oleh
senjata pemuda ini.
Begitu kuatnya senjata berbentuk cakar itu merobek dadanya, sehingga sebagian
kulitnya terbawa di ujung senjata cakar itu. Darah pun kontan tersembur dari
lukanya yang tertembus, hingga nyaris mengenai dinding paru-parunya.
Lelaki bertopeng itu terhuyung-huyung limbung.
Kedua tangannya mendekap dada yang bersimbah warna merah. Tak begitu lama
kemudian, tubuhnya pun ambruk tak berkutik lagi.
Tak puas membabat satu orang, pemuda dari Perguruan Naga Langit melabrak lawan
berikutnya. Serangan pertama yang membawa hasil tak terduga tadi, membuatnya makin
bersemangat dan menggila menggempur lawan.
Dengan satu terkaman pemuda itu berusaha menyambar salah seorang lawan di sisi
kanan. "Hiaaa!"
Namun tentu saja lelaki bertopeng yang menjadi sasaran tak ingin mengalami nasib
serupa kawannya.
Terkaman pemuda itu segera dihindarinya dengan membuang tubuh ke belakang.
Sambil melempar
tubuh, kaki kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut pemuda dari Perguruan Naga
Langit yang masih di udara.
Begkh! "Akh!"
Bersama satu erangan pendek, pemuda dari Perguruan Naga Langit itu terpental
lebih tinggi ke udara. Setelah itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi.
Isi perutnya yang terasa bagai diaduk-aduk oleh tangan-tangan raksasa,
membuatnya berguling-gulingan di tanah berlumpur. Seluruh tubuhnya langsung
berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian juga kedua tangannya. Dan keadaan itu
membuat telapak tangannya menjadi licin. Akibatnya, senjatanya langsung
terlepas. Kesempatan baik itu tak disia-siakan tiga lelaki bertopeng yang masih berdiri
siaga. Serentak mereka menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak setajam
taring iblis terayun di udara, siap merencah tubuhnya yang masih bergelinjang di
tanah. "Hiaaa!"
"Mampus kau bangsat busuk!"
"Kini kau akan menebus nyawa kawan kami!"
*** 6 Ketika sekejap lagi senjata-senjata tiga orang bertopeng memangsa tubuh pemuda
dari Perguruan Naga Langit, tiba-tiba....
Wusss! Mendadak terdengar suara keras menderu. Lalu....
Trang, trang, trang!
Tahu-tahu ketiga tombak lelaki bertopeng itu berterbangan ke udara dalam keadaan
terbelah dua. Kejadian tak terduga sama sekali ini, membuat tiga orang bertopeng tersentak.
Sementara itu, tangan mereka terasa berdenyar-denyar nyeri.
"Apakah kalian ini anjing-anjing lapar yang memperebutkan sepotong tulang"
Sungguh tak tahu malu mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu" Di mana muka
kalian ditaruh" Di pantat?" cecar seorang pemuda tampan berbaju hijau yang baru
datang. Wajahnya tampak bersungut-sungut. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika,
pendekar yang memiliki seribu satu tingkah slebor"
"Keparat! Jangan cari mampus kau!" bentak salah seorang bertopeng.
"Kalau aku cari mampus, kenapa senjata kalian kubuat terpental seperti itu"
Kasihan-kasihan.... Di samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak punya
otak," cemooh Andika.
"Tutup bacotmu!"
"Dan di samping tidak punya otak, kalian juga tidak punya perasaan," tambah
Andika, makin memanas-manasi.
"Diam! Diam! Diam!"
"Dan..., di samping tidak punya perasaan, kalian juga tidak punya... he... he,"
Andika terkekeh. Saat memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan kain
pusakanya tadi, dia rupanya sempat pula melucuti celana mereka. "Kalian juga
tidak punya celana lagi... hi... hi... hi."
Mendadak ketiga lelaki bertopeng itu melirik celana mereka berbarengan. Benar
saja! Celana mereka ternyata sudah hilang entah ke mana!
"Nah! Aku rasa urusan dengan kalian cukup sampai di sini. Izinkanlah aku pergi
bersama lawan kalian ini," ujar Andika lagi.
Kemudian Andika berkelebat cepat bagai
bayangan hantu, setelah menyambar tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit.
Ditinggalkannya tempat itu, sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk
mengumpat-umpat karena merasa begitu bodoh telah dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara seorang
bertopeng lain yang tak kebagian kerjaan usil Pendekar Slebor, hanya menatap
ketiga kawannya tak mengerti.
*** Pendekar Slebor memapah pemuda dari
Perguruan Naga Lagit yang ditolongnya. Pemuda yang mengaku bernama Senaaji
kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya, kenapa orang-orang Perguruan
Naga Langit sampai bertarung melawan orang-orang bertopeng itu.
Menurut Senaaji, waktu itu Perguruan Naga Langit tengah dirundung suasana
berkabung. Seluruh murid berkumpul di ruang khusus guru mereka yang
bernama Ki Kusuma. Seminggu, belakangan, perguruan ini dilanda kejadian aneh
yang mengerikan. Setiap malam, beberapa murid mendadak jatuh sakit, memuntahkan
darah segar. Lebih mengerikan lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan
batang jarum. Setelah memakan banyak korban dari murid perguruan, malam itu pun Ki Kusuma
menderita penyakit aneh pula. Dan hal ini menyebabkan murid-murid Perguruan Naga
Langit jadi begitu khawatir.


Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan akhirnya berkumpul di sekitar pembaringan Ki Kusuma.
Saat mereka lengah, lima lelaki bertopeng menyelinap masuk untuk menjarah benda-
benda pusaka di ruang penyimpanan. Namun sebelum sempat membawa lari benda-benda
pusaka termasuk kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang murid memergoki
mereka. Maka terjadilah pertempuran maut di halaman perguruan yang membawa
korban lima murid perguruan.
Ketika kelima lelaki bertopeng melarikan diri, dua belas murid segera melakukan
pengejaran. Sampai akhirnya terjadi pertarungan yang menyebabkan dua orang murid
Perguruan Naga Langit gugur, sedangkan sembilan lainnya melarikan diri. Maka
tinggalah Senaaji sendiri sampai akhirnya ditolong oleh Pendekar Slebor.
Kini Pendekar Slebor dan Senaaji tiba di halaman depan Perguruan Naga Langit. Di
halaman yang cukup luas ini lima mayat murid Perguruan Naga Langit masih
tergeletak bermandikan darah.
"Mari kita langsung masuk ke ruang semadi guru, Tuan Pendekar," ajak Senaaji.
Pemuda itu masuk lebih dahulu, baru kemudian
diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar perguruan, nanti mereka akan
tiba di ruang khusus Ki Kusuma. Memasuki kelokan lorong, keduanya berpapasan
dengan seorang murid yang lari tergegas-gesa.
"Ada apa, Kang Dirun?" tanya Senaaji was-was karena melihat gelagat tak baik di
wajah lelaki itu.
"Guru.... Guru!" jawab murid bernama Dirun itu terbata. "Beliau sedang sekarat!
Kau mesti cepat menemuinya, Senaaji! Aku mau memberi tahu murid-murid yang
sedang berjaga di ruang penyimpanan benda pusaka!"
Bagai diberi aba-aba, Senaaji dan Dirun berlari ke arah berlawanan. Sedangkan
Andika terus mengikuti Senaaji dari belakang.
Setibanya di ruang khusus gurunya, Senaaji menyeruak di antara puluhan murid
yang berkerumun di sana.
"Guru!" teriak Senaaji tatkala tiba di sisi pembaringan Ki Kusuma. "Bertahanlah,
Mawar Maut Perawan Tua 2 Dewi Ular Gadis Penunggu Jenazah Pedang Naga Kemala 2
^