Pencarian

Neraka Keraton Barat 2

Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat Bagian 2


Putri Permata Delima melihat wajah Tiroseta terperanjat.
"Oh, Gusti Pangeran!" sentak Tiroseta.
"Kenapa, Kakang?" tanya Putri Permata Delima dengan kening berkerut.
"Tuan Putri..., sebelum lewat tengah hari, kita sudah harus pindah dari sini!"
kata Tiroseta, sedikit waswas. Matanya tak lepas dari burung hantu itu.
"Mengapa, Kakang" Bukankah ini tempat persembunyian yang aman bagi kita?" tanya
Putri Permata Delima, tidak mengerti. "Lagi pula, bukankah rencana Kakang tadi,
nanti siang hendak melihat keadaan keraton?"
"Tuan Putri, burung hantu itu..., oh! Pasti itu burung hantu mata-mata...," kata
Tiroseta dengan wajah tegang.
"Maksudmu, dia memata-matai kita?" tanya Putri Permata Delima.
"Kau benar, Tuan Putri. Jarang sekali hamba menjumpai burung hantu yang keluar
bila ada sinar matahari. Biasanya, burung hantu selalu hanya keluar bila
rembulan bersinar. Bukan matahari. Lagi pula, hanya baru kali ini melihat burung
hantu di Jurang Setan," jelas senapati ini.
"Apakah itu tidak kebetulan saja, Kakang?" tanya Putri Permata Delima, memberi
dugaan lain. "Tuan Putri..., hamba telah banyak memakan asam garam di rimba persilatan. Hamba
bisa membedakan mana burung hantu liar, burung hantu peliharaan, burung hantu
yang dijadikan sebagai mata-mata.
Hewan sejenis itu sangat kejam, Tuan Putri. Seperti burung hantu itu. Pasti, dia
sedang memata-matai kita," sergap Tiroseta, memberi penjelasan.
Sementara itu, burung hantu berwarna abu-abu itu sudah terbang sambil
mengeluarkan suara
menyeramkan. Putri Permata Delima pun mengerti maksud dari Tiroseta. Tetapi, ia tidak ingin
merisaukan ayahandanya.
"Kakang..., setelah ayahanda selesai makan, barulah kita mengatakan padanya. Dan
bila ayahanda setuju, kita pergi dari sini...."
Tiroseta mengangguk. Lagi-lagi hatinya sangat kagum atas kebijaksanaan Putri
Permata Delima.
Lalu dilihatnya gadis itu tengah membagi-bagikan ayam panggang pada prajurit
yang berada di sana.
Dan mata senapati ini lantas menerawang. Kalau dugaannya tentang burung hantu
itu memang benar, keadaan benar-benar gawat!
*** Di Hutan Ringgis yang lebat, satu sosok tubuh kurus dengan pakaian compang-
camping dan rambut acak-acakan menutupi wajahnya, berhenti berlari. Di
punggungnya terdapat satu sosok tubuh yang terkulai pingsan. Sebentar matanya
berkeliling memperhatikan. Sepi.
"Hhh! Dasar pendekar bandel! Sudah kukatakan jangan bergerak, justru menyerang!
Keterlaluan!"
omel sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti.
Memang setelah berhasil meloloskan diri dari tangan Siluman Hutan Waringin,
Eyang Sasongko Murti itu berhasil keluar dari Alam Sunyi sambil membawa tubuh
Pendekar Slebor yang pingsan.
Sejenak tadi, bagaikan seorang anak kecil yang telah lama menginginkan sebutir
gula-gula, Eyang Sasongko Murti melonjak-lonjak kegirangan begitu meyakinkan
dirinya berada di alam luas yang indah.
Cuping hidungnya sejak tadi tidak henti-hentinya
mencium udara yang segar di sini. Udara yang sangat berbeda dengan udara di Alam
Sunyi, yang telah didiami selama seratus tahun!
Eyang Sasongko Murti merasa beruntung bisa pergi dari Alam Sunyi, alam gaib yang
sulit sekali diterima akal. Juga, beruntung bisa meloloskan diri dari tangan
Siluman Hutan Waringin yang kejam, meskipun terpaksa mengorbankan waktu Andika.
Itulah sebabnya, untuk membalas budi dari Andika yang telah menolongnya keluar
dari Alam Sunyi, laki-laki itu bersedia membantu Andika.
Lalu perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti
menurunkan tubuh Andika yang dibopongnya.
Direbahkannya pemuda itu di atas rerumputan yang masih basah. Matahari tak mampu
memasuki dasar Hutan Ringgis, karena terhalang tingginya pepohonan dan rimbunnya
dedaunan. Kini laki-laki tua itu memeriksa sekujur tubuh Andika. Lalu, dibukanya pakaian
pemuda itu yang berwarna hijau. Dan betapa terkejut Eyang Sasongko Murti ketika
melihat sebuah garis silang di dada Pendekar Slebor yang masih pingsan!
"Gila! Andika terkena aji siluman yang bernama
'Ikatan Mambang Kahyangan'! Gawat kalau begini! Di dalam sepenanakan nasi bila
tidak tertolong, ia akan menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin," sentak Eyang
Sasongko Murti dengan suara bergetar.
Dengan cepat laki-laki tua ini menempelkan telapak tangan di kening Andika. Lalu
dengan mengerahkan mantera pengusir siluman, mulutnya merapal sambil mengerahkan
tenaga dalam. Namun sekian lama bertindak demikian, tidak ada tanda-tanda Andika
siuman. Tetap tergolek lemah tak berdaya. Bahkan Eyang Sasongko Murti melihat
tanda silang di dada Andika berubah menjadi merah!
"Kacau! Kacau! Kalau tanda silang itu berubah menjadi hitam, berantakan
semuanya!" dengus laki-laki tua ini sambil melepaskan kembali telapak tangannya
pada kening Andika.
Tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti memutar kedua tangannya di depan dada, lalu
mengangkatnya di atas kepala sambil menengadah. Dihirupnya udara banyak-banyak.
Tiba-tiba.... "Pukulan Dewa Matahari! Heaaa...!"
Eyang Sasongko Murti menjerit keras sambil menyentak hawa murninya. Plashh...!
Dan mendadak saja seberkas sinar berwarna keemasan meluncur dari atas, dan
singgah di telapak tangan kanan Eyang Sasongko Murti. Setelah itu, tangan
kirinya dikibaskan ke depan, dan kembali diangkat ke atas sambil mengembalikan
hawa murni pada titik kekosongan. Titik mengosongkan diri.
Pukulan Dewa Angin!" teriak Eyang Sasongko Murti lagi.
Kembali seberkas sinar yang kali ini berwarna putih, jatuh ke telapak tangan
kiri Eyang Sasongko Murti.
Dan perlahan-lahan laki-laki tua ini membawanya ke dada Andika, lalu
menempelkannya. Terlihat kemudian tubuh Andika mengejang hebat dan mengeluarkan
keringat banyak!
Luar biasa! Dalam keadaan pingsan, Andika mengeluarkan keringat. Karena, tenaga
dua pukulan maut Eyang Sasongko Murti telah ditempelkan ke dadanya.
Sementara itu, sekujur tubuh Eyang Sasongko Murti pun telah bersimbah keringat.
Dan tubuhnya pun bergetar hebat!
"Andika..., kalau kau memang pendekar warisan Pendekar Lembah Kutukan, sadarlah!
Sadarlah kalau bahaya sudah mendekatimu...," ujar Eyang Sasongko Murti dengan
suara bergetar.
Tetapi sosok Andika tidak juga siuman. Bahkan justru kelojotannya semakin keras.
Eyang Sasongko Murti berusaha menahan dengan dua pukulan mautnya. Seluruh tenaga
dalamnya di kerahkan untuk menyelamatkan Andika. Karena ia tahu bila gagal
menyelamatkan Andika, berarti pemuda akan menjadi pengikut Siluman Hutan
Waringin. Eyang Sasongko Murti adalah murid Siluman Hutan Waringin seratus tahun yang
lalu. Maka tak heran bila dia sangat mengenal bahayanya pukulan
'Ikatan Mambang Kahyangan'. Dan tak heran pula, dia juga memiliki ilmu itu.
Hanya saja, tidak mempelajari cara memunahkannya!
Kini Eyang Sasongko Murti telah pula menyalurkan hawa murninya.
"Ayolah, Andika.... Kau kuat. Kau kuat...," desis laki-laki tua ini dengan mulut
bergetar hebat. Begitu pula sekujur tubuhnya yang bagaikan diguncang gempa
sangat kuat. "Kau mampu, Andika.... Kau mampu mengalahkan ajian Siluman Hutan
Waringin!"
Eyang Sasongko Murti berusaha keras
menyelamatkan Andika. Hatinya benar-benar khawatir. Bila gagal, maka pemuda
tangguh dan gagah ini akan menjadi pengikut dari Siluman Hutan Waringin! Bukan
hanya berbahaya. Eyang Sasongko Murti merasakan, kalau semua itu terjadi gara-
gara dirinya. Dan sebelum kekhawatiran laki-laki itu lenyap...
Tiba-tiba saja dari mulut Andika keluar teriakan
sangat keras, membedah seluruh Hutan Ringgis.
Seketika wajah Eyang Sasongko Murti justru gembira.
"Ayo, terus Andika! Terus, bangkitkan kesadaran-mu! Kalahkan pukulan 'Ikatan
Mambang Kahyangan'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil menambah seluruh tenaga dalamnya.
"Aaa...!"
Jeritan demi jeritan pun terdengar dari mulut Andika. Sangat keras, bersamaan
dengan tubuhnya yang bergejolak hebat.
Sementara tubuh Eyang Sasongko Murti kelihatan tegang sekali. Kedua tangannya
pun bergetar, mengikuti semua perubahan getar tubuh Andika yang semakin kuat.
Lalu mendadak saja Eyang Sasongko Murti
mengangkat kedua tangannya dari dada Andika. Dan tiba-tiba dipukulnya kening
Andika dengan keras.
Plak! Seketika jeritan Andika berhenti. Juga getaran tubuhnya yang kelojotan tadi.
"Maafkan aku, Andika.... Kau baru sadar bila matahari sudah turun nanti...,"
ucap Eyang Sasongko Murti mendesah lega.
Kini Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang memerah di dada Andika berangsur-
angsur memutih, lalu perlahan-lahan menghilang.
Eyang Sasongko Murti jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, setelah seluruh tenaganya
terkuras. "Kau hebat, Andika.... Kau hebat...," puji laki-laki tua ini.
Sebentar kemudian Eyang Sasongko Murti bersemadi untuk memulihkan kembali
seluruh tenaganya.
5 Kekejaman Raja Akherat yang telah menguasai Kerajaan Pakuan membangkitkan
kemarahan para tokoh persilatan golongan putih. Hati mereka teriris bila
mendengar betapa gadis-gadis jelita dari berbagai desa diculik, demi memuaskan
nafsu birahi Raja Akherat. Juga, penindasan dan pembunuhan yang dilakukan
sewenang-wenang oleh Raja Lalim itu.
Para tokoh dari golongan putih itu pun mendengar kabar kalau Raja Akherat
berniat menguasai rimba persilatan. Sudah tentu tidak menghendaki. Karena mereka
tahu, bila Raja Akherat berhasil mewujudkan keinginannya, keadaan rimba
persilatan pasti berada di ambang kehancuran.
Saat ini, di tepi Danau Abadi, telah berkumpul empat orang tokoh dunia
persilatan golongan putih.
Mereka sedang merencanakan untuk menghancurkan Raja Akherat.
Mereka duduk bersila berbentuk lingkaran di tepi danau yang berudara sejuk,
meskipun matahari sudah tepat di puncak kepala.
"Kita tidak bisa membiarkan kekejaman Raja Akherat terus menerus. Karena,
seluruh rimba persilatan termasuk Kerajaan Pakuan, akan hancur di tangannya!"
kata tokoh persilatan yang berpakaian putih dengan sorban putih pula. Sementara
tangannya tak henti-hentinya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
Wajah lelaki bersorban ini begitu arif. Suaranya pun lembut. Orang-orang
persilatan mengenalnya
sebagai Ki Pangsawada yang berjuluk, Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kau benar, Pangsawada!" Suara sahutan itu meluncur dari mulut seorang laki-laki
yang usianya kira-kira enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit harimau
dan bersenjatakan sebuah tongkat berukir kepala harimau pada ujungnya.
"Kita tidak bisa berpangku tangan saja. Kita pun tidak akan membiarkan
kesewenang-wenangan Raja Akherat!" tambah laki-laki yang tak lain Ki Wirayuda,
Penguasa Harimau. Dialah ayah Sari.
Sebenarnya saat ini, kemunculan Ki Wirayuda adalah untuk mencari Sari. Biasanya,
gadis itu meninggalkan rumah hanya dalam waktu tiga hari.
Tetapi sudah dua minggu lebih, Sari tidak muncul juga. Dan tidak disangka, Ki
Wirayuda justru bertemu Ki Pangsawa yang segera menceritakan tentang Raja
Akherat, yang saat ini menguasai Kerajaan Pakuan dan berkeinginan menguasai
rimba persilatan.
"Ya! Apa yang kalian omongkan memang benar."
timpal seorang wanita berpakaian berwarna merah tua.
Rambut perempuan tua itu digelung ke atas, dan diberi tusuk konde terbuat dari
tulang. Usianya kira-kira tak jauh berbeda dengan Ki Pangsawada dan Ki Wirayuda.
Namanya, Nyai Selastri yang berjuluk Naga Gunung.
"Tetapi, kita tidak tahu di mana saat ini Prabu Adiwarman berada. Karena
menurutku, justru Prabu Adiwarman-lah yang harus diselamatkan lebih dulu,"
tambah si Naga Gunung.
"Tetapi aku yakin, dia telah selamat, Nyai....
Meskipun, kita tidak tahu di mana Prabu Adiwarman berada saat ini," tegas
seorang laki-laki berusia dua
puluh tahun. Tokoh ini satu-satunya yang termuda di antara kelompok itu. Namanya, Permadi.
Dia memang belum mendapatkan julukan apa-apa dari orang persilatan.
Bahkan, pemuda itu sendiri belum pula menjuluki diri.
"Tetapi menurutku yang terpenting, aku harus membalas kematian guru yang tewas
di tangan Raja Akherat!" tegas Permadi, mendesis.
Ki Pangsawada melihat wajah Permadi memerah garang dengan suara menggeram. Ia
tahu, betapa dendamnya pemuda itu pada Raja Akherat. Karena, Ki Kelana, guru
Permadi telah tewas di tangan tokoh bejat itu. (Baca serial Pendekar Slebor
dalam episode "Raja Akherat").
"Tetapi yang pasti sekarang ini, kita harus segera bergerak untuk menghancurkan
Raja Akherat. Sebelum ia semakin bertindak sewenang-wenang."
Tak ada yang bersuara lagi. Ketika Ki Pangsawada bangkit, yang lain pun bangkit.
Lalu mereka berjalan beriringan menuju Kerajaan Pakuan.
*** Saat ini, Raja Akherat yang mempunyai cita-cita menguasai rimba persilatan telah
memanggil kerabatnya yang lain pula. Dan sudah tentu mereka bersedia membantu.
Mereka adalah, Nyai Pamunti yang berwajah mengerikan. Hidungnya bengkok.
Matanya sipit memerah. Julukannya, Wanita Burung Hantu.
Orang kedua yang diajak bergabung Raja Akherat adalah seorang laki-laki berwajah
pedok, alias masuk ke dalam. Begitu pula hidungnya. Wajahnya mengerikan sekali,
tak ubahnya hantu di siang
bolong. Namanya, Kokorongko, yang berjuluk Dewa Muka Iblis. Senjata andalannya,
sepasang gada besar.
Sementara orang ketiga adalah laki-laki bermata picek. Rambutnya kemerah-merahan
acak-acakan. Tubuh bertelanjang dada. Celananya berwarna hitam.
Namanya, Anomdoro. Di kalangan tokoh hitam, dia di kenal sebagai Manusia Mata
Picek, yang terkenal dengan permainan ilmu racunnya.
Ketiga orang itu tadi pagi datang secara
bersamaan. Padahal tempat tinggal masing-masing di daerah sepi dan berjauhan.
Mereka telah dikirimi undangan melalui mimpi, dengan kekuatan ilmu milik Raja
Akherat. Raja Akherat pun menyambut mereka dengan
tangan lebar. Di atas meja, telah disediakan arak yang banyak dan makanan
melimpah ruah. Bahkan enam orang gadis telah dipaksa menemani
Kokorongko dan Anomdoro. Masing-masing, mendapatkan tiga orang. Sementara Nyai
Pamunti hanya mendengus saja.
Sebelumnya, Raja Akherat telah menyuruh Nyai Pamunti yang selalu membawa burung
hantu untuk melacak jejak Prabu Adiwarman.
Dan kini, burung hantu peliharaan perempuan tua itu telah datang. Nyai Pamunti
pun bangkit sambil bersiul, burung hantu berwarna abu-abu dengan mata merah itu
pun hinggap di lengannya yang terulur.
"Bagaimana, Manis" Apakah kau menemukan jejak mereka?" tanya Wanita Burung
Hantu. Burung itu berkaok-kaok dengan suara mengerikan.
"Bagus, bagus sekali," puji Nyai Pamunti, yang mengerti maksud peliharaannya
itu. "Hm..., siapa saja
yang berada di sana?"
Burung hantu itu berkaok-kaok lagi.
"Bagus, bagus.... Hanya segitu saja" Hmmm..., apakah kau melihat seorang pemuda
berpakaian berwarna hijau, Manis?"
Burung hantu itu kembali bersuara.
"Tidak" Bagus! Sekarang..., kau boleh beristirahat!
Nah, kau buru makananmu sendiri!"
Burung hantu itu pun terbang entah ke mana. Yang pasti, akan segera datang pada
majikannya. Wanita Burung Hantu duduk kembali. Sementara Raja Akherat tidak sabar ingin


Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui, apa maksud bunyi burung hantu itu.
"Apa yang didapat burung hantumu itu, Pamunti?"
tanya Raja Akherat.
Nyai Pamunti menenggak araknya, sebelum menjawab,
"Raja Akherat..., apakah di sekitar daerah timur dari Keraton ini, ada sebuah
jurang?" Nyai Pamunti justru balik bertanya.
"Maksudmu?"
"Menurut laporan si Manis..., dia menemukan Prabu Adiwarman, bersama dua puluh
orang prajurit dan seorang dara jelita. Hmmm..., pasti dara itu tak lain dari
Putri Permata Delima," papar Wanita Burung Hantu.
Raja Akherat terdiam.
"Jurang" Jurang..., hm.... Aku tidak tahu kalau di daerah scbelah timur sana ada
jurang. Kalau begitu, kau dan Kokorongko, nanti malam menyatroni jurang itu
dengan petunjuk burung hantu peliharaanmu,"
ujar Raja Akherat.
"Ha... ha... ha..., jangan khawatir."
"Bunuh Prabu Adiwarman!" tandas laki-laki bengis
itu. "Tugas mudah. Tugas mudah. Tetapi, Raja Akherat, menurut laporan si Manis..., ia
tidak melihat seorang pemuda berpakaian hijau-hijau yang menurutmu Pendekar
Slebor," jelas Nyai Pamunti.
"Tidak ada?"
"Ya."
"Bangsat! Ke mana pendekar usil itu berada" Hhh!
Tak sabar aku untuk melihat kematiannya!" geram Raja Akherat.
Anomdoro tertawa dengan suara nyaring. "Aku belum mendapat tugas apa-apa darimu.
Akan kucari pendekar keparat itu! Tak lama lagi, orang-orang rimba persilatan
dari golongan putih akan menangisi kematiannya! Sementara, orang-orang rimba
persilatan dari golongan hitam akan terbahak-bahak penuh kemenangan...," timpal
laki-laki bermata picek itu. Mereka pun terbahak. Pesta itu dilanjutkan kembali.
Lalu, Kokorongko dan Anomdoro meng-gandeng tiga gadis yang hanya pasrah saja.
Gadis-gadis itu ingin menangis dengan luka yang dalam. Mereka merasa, selama
hidupnya hanya menjadi pemuas nafsu orang-orang biadab ini.
Akankah pertolongan akan tiba" Tak ada yang tahu.
Sedangkan Nyai Pamunti hanya mendengus saja.
Mulutnya menenggak arak lagi, tidak bisa mengikuti pesta cabul yang sedang
dilakukan teman-temannya.
Sementara itu, Raja Akherat sendiri melangkah menuju kamar tempat Sari disekap.
*** Sari menggeram begitu melihat sosok Raja Akherat muncul.
"Manusia bejad! Lepaskan ikatanku ini! Kita bertarung sampai mati!" teriak Sari
dengan muak. Sari berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan tali yang mengikat kedua
kaki dan tangannya. Namun sejak tadi ia gagal. Karena ikatan itu begitu kuat,
karena tali itu telah dialiri tenaga dalam Raja Akherat yang sulit ditembus!
Raja Akherat terbahak-bahak. "Aku suka sekali denganmu, Cah Ayu...," kata Raja
Akherat sambil menyeringai.
Laki-laki itu melangkah mendekat, dan duduk di sisi Sari yang telentang di
ranjang lembut milik Prabu Adiwarman. Lalu tangannya dengan jahil mencolek pipi
lembut gadis itu.
Sari menolehkan kepala, menghindari rabaan tangan Raja Akherat.
"Cih! Tangan busuk ini akan membuat kulitku menjadi busuk!" dengus Sari.
"Tenanglah, Manis...," desis Raja Akherat yang mendadak saja kembali merasakan
kehilangan birahi.
Sungguh, laki-laki ini tidak mengerti sama sekali, Mengapa terjadi hal seperti
itu. Padahal, keinginan untuk menggumuli gadis ini begitu menggebu-gebu.
Memang Raja Akherat tidak tahu kalau di sekujur tubuh Sari telah ditamengi
semacam sinar yang kasat mata.
Tameng itu diciptakan Eyang Sasongko Murti lewat tenaga batin dengan ilmu yang
dipelajari dari Siluman Hutan Waringin. Dan hanya Siluman Hutan Waringin lah
yang mampu melihat sinar itu. Bahkan
menyingkirkannya.
"Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" seru Sari kalap. Sementara sampai
saat ini, gadis itu tidak mengerti, mengapa Andika belum muncul juga"
Apakah pemuda itu termasuk pemuda pengecut"
Yang hanya banyak bicara saja" Padahal, sesungguh-nya melarikan diri melalui
jalan rahasia itu"
"Bertarung" Ha... ha... ha...! Apakah kau tidak sayang bila kulitmu yang mulus
terluka, Cah Ayu?"
ejek Raja Akherat.
"Manusia keparat! Dosa-dosamu tak bisa diampuni lagi!" teriak Sari keras.
Dan justru kata-kata Sari kembali membuat Raja Akherat terbahak-bahak.
"Aku tak ingin dosa-dosaku diampuni, Cah Ayu....
Bahkan aku ingin membunuh semua pendekar dari golongan putih. Ketahuilah.... Tak
lama lagi, aku akan menjadi penguasa rimba persilatan, menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan ini! Ha... ha... ha...!
Dan kau akan menjadi permaisuriku, yang akan melahirkan seluruh keturunanku...,"
lanjut Raja Akherat.
Sari mengkeret mendengar kata-kata Raja Akherat.
Hatinya ngeri membayangkan bila Raja Akherat benar-benar melakukannya. Meskipun
tidak meng-harapkan manusia kejam itu melakukan perbuatan terkutuk padanya,
tetapi Sari merasa heran. Karena selama dua hari ini, tubuhnya seperti dibiarkan
saja. "Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menjadi penerus keturunanmu!" dengus
gadis itu sengit.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak lakukan, hah"!' sahut Raja Akherat enteng.
Wajah Sari memerah.
"Baik! Lihatlah!" kata Sari, dengan suara tegar.
Gadis itu kemudian bermaksud menggigit lidahnya
sendiri. Tetapi tangan Raja Akherat bergerak lebih cepat. Dan....
Tuk! Tuk! Raja Akherat menotok urat di bagian leher Sari, sehingga mulutnya sukar
dikatupkan. "Sebelum melahirkan seluruh penerusku, kau takkan bisa mati, Manis.... Ha...
ha... ha...," tegas Raja Akherat.
Kini manusia bengis yang bertubuh tinggi besar menyeramkan itu pun bangkit
meninggalkan Sari yang hanya bisa menatap dengan mata garang.
Sementara, mulutnya sulit dikatupkan kembali.
"Oh! Mengapa Andika belum muncul juga?" kata Sari, lirih.
Gadis ini merasa lebih baik mati daripada menjadi ibu dari keturunan Raja
Akherat. *** Dari sebuah pohon tinggi besar berdaun rimbun, sepasang mata memperhatikan
suasana di Keraton Pakuan. Meskipun telinganya mendengar suara terbahak-bahak
keras, tetapi sosok yang tak lain Danji tidak melihat siapa-siapa di sana.
Berarti, orang-orang itu berada di dalam keraton.
Danji sendiri yakin, Raja Akherat kini mengundang sahabatnya kembali. Kalau
begitu, keadaan semakin genting saja. Dan hal ini harus dilaporkan Prabu
Adiwarman. Dan diam-diam Danji pun merasa yakin pula, kalau para prajurit Kerajaan Labuan
telah berhasil dilumpuhkan Raja Akherat. Mungkin pula telah tewas.
Mendadak saja Danji menundukkan kepala. Kalau begitu, apakah Andika telah tewas"
Hati Danji terenyuh memikirkan soal itu. Bila memang benar, ah...! Kasihan sekali nasib
pemuda konyol itu.
"Andika.... Kalau kau memang sudah mati, aku bersumpah! Aku akan mencari mayatmu
sampai ketemu...," desah Danji, lirih.
Danji pun bermaksud turun, untuk menyampaikan berita itu pada Prabu Adiwarman.
Hanya, mendadak saja matanya tertumbuk pada satu sosok kecil yang menatapnya
dengan mata memerah di salah satu cabang pohon.
"Heran" Sejak tadi aku tidak melihat burung hantu itu!" gumam Danji. Lalu tanpa
mempedulikan burung hantu itu, pemuda ini pun mulai menuruni pohon.
Namun mendadak saja....
Siuuut! "Heh"!"
Danji tersentak. Tiba-tiba saja burung hantu meluncur, dan menyerangnya dengan
ganas. Dengan sebisanya, Danji menggerakkan tangan untuk menangkis.
Crab! Tok!! Cakar dan patukan yang tajam dari burung hantu itu mampir di lengan Danji. Dan
burung itu semakin gila menyerang. Danji menjadi kalang kabut, sambil berusaha
turun dengan cepat. Dan dia juga harus berusaha untuk tidak terjatuh dari pohon
tinggi itu. Burung hantu yang ternyata peliharaan dari Nyai Pamunti terus menyerang ganas.
Rupanya, setelah selesai mencari makan, burung hantu itu kembali ke keraton
tempat majikannya berada. Tetapi, burung hantu yang memang telah dilatih Nyai
Pamunti untuk selalu berbuat jahat, melihat satu sosok tubuh yang menurutnya
orang tak dikenal.
Danji tidak mempedulikan serangan ganas dari
burung hantu itu. Dia terus saja turun dengan membiarkan tubuhnya dicakar dan
digigit. "Gila! Akan kubunuh kau nanti!" bentak Danji sambil terus menuruni pohon yang
tinggi. Dan gerakan pemuda itu tidak bisa selincah ketika naik tadi, karena mendapatkan
serangan ganas dari burung hantu itu.
Danji pun melompat ke tanah ketika diperkirakan jaraknya sudah pendek dari
tanah. Namun tubuhnya terus jatuh terguling, sementara burung hantu itu kembali
menyerangnya. "Bangsat! Burung hantu setan rupanya!"
Tangan Danji menyambar sebatang dahan pohon kering yang ada di dekatnya. Cepat
diayun-ayunkan dahan itu pada burung hantu yang sedang terbang sambil menatap
dengan mata memerah.
"Ayo, ayo sini! Biar mampus kau kulumat kayu ini!"
tantang Danji. Siuuttt...! Dan mendadak saja burung hantu itu menyerangnya kembali. Sementara Danji segera
mengibaskan kayunya.
Wuuut! Luput! Karena, burung hantu itu mampu menghindari serangan dengan lincah. Hal
ini membuat Danji makin marah dan penasaran. Kembali dahan kayu itu di ayunkan
dengan kuat. Pikirnya, sekali ayun pasti burung hantu itu akan mampus.
Wuuut...! Tetapi lagi-lagi serangan Danji gagal. Karena, burung hantu itu dengan lincah
berkelit menghindar.
Bahkan kini menyerangnya kembali dengan kedua cakarnya yang terbuka. Meskipun
kuku-kukunya kecil, namunruncing luar biasa.
"Ayo, sini! Sini, Bangsat!" tantang Danji kalap.
Ketika burung hantu itu menyerang lagi, Danji pun langsung mengayunkan dahan
kayunya. Namun lagi-lagi burung hantu itu mampu menghindar.
"Suiiittt...!"
Mendadak terdengar siulan keras sekali. Seketika burung hantu yang diperkirakan
Danji akan menyerang kembali, terbang dan hinggap di pohon yang tadi dinaiki
Danji. Sedikit banyak, kening Danji pun berkerut. Karena dahan kayunya sudah siap untuk
diayunkan kembali.
Dan belum lagi kening Danji yang berkerut tadi membalik kembali, tampak satu
sosok tubuh berkelebat ke arahnya. Begitu tiba, sosok itu menyeringai mengerikan
dengan tatapan nyalang.
"He... he... he.... Rupanya ada anak nakal yang nyasar kemari," kata sosok yang
tak lain Nyai Pamunti.
Danji sadar, kalau kini terjebak. Rupanya siulan tadi isyarat bagi burung hantu.
Dan dirinya yang sedang sibuk melayani serangan-serangan menjadi tidak sadar
kalau berada di sarang lawan.
Tetapi Danji bukanlah orang yang pengecut.
Meskipun tidak memiliki ilmu olah kanuragan, dia tetap tak hengkang dari tempat
ini. "Hhh! Manusia busuk! Rupanya kau antek-antek dari Raja Akherat itu!" bentak
Danji. Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Dan kau akan mampus hari ini juga, Anak Muda."
"Mati ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bukan oleh tanganmu. Bila Yang Kuasa
belum mengizinkan mati, maka aku tidak akan mati!" sahut Danji gagah.
Nyai Pamunti sebenarnya adalah tokoh kejam.
Makanya, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya segera
melayang menyerang Danji.
Danji yang menyadari hal itu, segera mengibaskan dahan kayunya.
Wuuut! Prak! Dahan kayu itu kontan patah terhantam kerasnya tangan Nyai Pamunti yang berjuluk
si Wanita Burung Hantu.
"He... he... he.... Sudah kukatakan, kau akan mampus hari ini, Anak Muda!" ejek
si Wanita Burung Hantu.
Kembali Nyai Pamunti berkelebat menyerang lagi.
Kali ini dengan satu keyakinan, ia akan menghabisi pemuda itu.
Danji berusaha menghindar ke samping. Namun tanpa diduga, si Wanita Burung Hantu
melenting ke atas, seraya melepaskan hantaman ke punggung.
Desss...! "Aaakh...!"
Danji terhuyung ke depan, dan seketika muntah darah. Pada saat yang sama Nyai
Pamunti telah mendarat. Dan dia memang berniat menghabisi Danji.
Maka seketika dia bergerak lagi dengan tangan telah tersalur tenaga dalam. Namun
baru beberapa langkah....
"Hauuum...!"
"Heh"!"
Mendadak saja si Wanita Burung Hantu melompat ke belakang. Diiringi raungan
keras, sebuah sosok tubuh berkaki empat tampak meluruk ke arahnya dengan ganas.
"Bangsat!" bentak Nyai Pamunti.
Mata perempuan itu kontan terbelalak melihat seekor harimau besar berdiri tegak
di dekat Danji dengan tatapan berkilat-kilat.
Danji merasa bersyukur, karena si Belang muncul pada saat yang tepat. Memang
sejak tadi harimau itu disuruh menunggu di balik rimbunnya semak, tanpa boleh
bersuara. Dan Belang memang menuruti. Tetapi rupanya, penciumannya sangat tajam.
Ia merasa, Danji adalah sahabat majikannya. Makanya binatang itu pun langsung
keluar dan menyerang Nyai Pamunti yang sedang melayang untuk menghabisi nyawa
Danji. Nyai Pamunti terkekeh-kekeh.
"Kalau tidak salah lihat, kau adalah peliharaan Wirayuda si Penguasa Harimau.
Bagus! Di mana dia sekarang"!" bentak Wanita Burung Hantu.
Si Belang ingin menyerang kembali. Tetapi Danji segera mendekatkan wajah ke
telinga si Belang.
"Tak ada gunanya melawan manusia terkutuk itu Belang! Lebih baik melarikan diri
saja!" ujar Danji.
Belang pun urung menyerang. Lalu tubuhnya merunduk dengan cepat. Dengan menahan
rasa sakit di dada, Danji pun segera melompat ke atas punggung si Belang yang
langsung berlari cepat.
"Bangsat! Mau ke mana kau!" bentak Nyai Pamunti sambil mengibaskan tangannya,
mengirimkan pukulan jarak jauh berkekuatan dahsyat.
Wesss...! Tetapi si Belang memang hewan peliharaan
tangguh dan mengerti. Serangan itu bisa dihindarinya dengan berlari secara
melompat-lompat ke kanan dan kiri.
Pukulan jarak jauh Nyai Pamunti pun luput, menghantam sebuah pohon besar.
Blarrr...! Krak! Pohon itu langsung tumbang.
"Manis! Ikuti mereka! Cari tahu, di mana mereka berada!" perintah Nyai Pamunti
pada burung hantu peliharaannya.
*** 6 Malam kembali merebak. Begitulah hukum alam.
Saat ini Eyang Sasongko Murti masih duduk terpekur.


Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak tadi, tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya.
Matanya yang sipit dan tertutup rambut yang acak-acakan, memandang pada sosok
Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan.
Meskipun Andika belum juga siuman, tetapi Eyang Sasongko Murti sudah merasa
sedikit tenang.
Karena, tanda silang di dada Andika sudah menghilang. Berarti, pengaruh dari
pukulan 'Ikatan Mambang Kahyangan' telah berhasil dilumpuhkan.
Meskipun, Eyang Sasongko Murti harus menguras tenaga dalam dan hawa murninya.
Namun sekarang semua itu sudah berangsur-angsur kembali seperti semula berkat
semadinya. Dan yang diam-diam dipikirkan laki-laki tua ini, jelas Siluman Hutan Waringin
tidak akan membiarkannya bebas begitu saja. Pasti siluman itu akan mencarinya.
Kini malam telah datang. Suasana di Hutan Ringgis tetap menyeramkan. Dan ketika
Eyang Sasongko Murti tengah mengantuk, tiba-tiba telinganya menangkap erangan
Andika. Pelan. "Oh! Kau sudah sembuh" Hei, bangun! Bangun!
Jangan manja seperti itu!" ujar Eyang Sasongko Murti sambil mengguncang-guncang
tubuh Andika. "Nakal!
Bangun!" Perlahan-lahan erangan yang tadi terdengarnya pelan, kini semakin jelas.
Disusul, goyangan kepala
Andika yang lembut. Pemuda itu kini sudah merasakan rasa sakit kembali.
Kepalanya pusing tak karuan. Sekujur tubuhnya bagaikan kehilangan tenaga.
"Ayo, jangan manja! Keterlaluan sekali kau ini!"
dengus Eyang Sasongko Murti lagi sambil meng-goyang-goyangkan tubuh Andika agak
keras. Perlahan-lahan mata Pendekar Slebor membuka.
Kesadarannya memang telah pulih.
"Pelan-pelan! Sakit!" bentak Andika agak kesal.
"Ha... ha... ha...!"
Eyang Sasongko Murti hanya terbahak-bahak.
Hatinya senang melihat pemuda yang gagah ini telah kembali sedia kala.
"Bagus, bagus! Daya tahan tubuhmu memang hebat! Tidak perlu disangsikan lagi!"
puji Eyang Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.
Sementara kakinya masih berselonjor. Sekujur tubuhnya masih terasa sangat lemah.
Tetapi untuk membalas selorohan Eyang Sasongko Murti, ia masih sanggup
melakukannya. "Hebat ya, hebat! Tetapi di mana raksasa mata satu yang jelek itu"!" kata Andika
sambil memandang ke sekelilingnya.
"Hei" Tidak tahukah kau, kita berada di mana" Ini di alam bebas, Andika! Alam
bebas merdeka! Bukan Alam Sunyi yang mengerikan!" seru Eyang Sasongko Murti
sambil bersorak-sorak tak ubahnya anak kecil.
Kegembiraan Eyang Sasongko Murti pertama, karena sudah melihat Andika terbebas
dari pukulan Siluman Hutan Waringin. Kegembiraan kedua, karena kembali menyadari
telah berada di alam yang dirindukan selama seratus tahun.
"Hmmm..., apakah kau tidak membedakan udara yang segar ini dengan udara dingin
yang terdapat di Alam Sunyi?" tanya laki-laki tua aneh ini.
Andika memonyongkan mulutnya.
"Jangan sembarangan mengejek! Kau lihat sendiri hidungmu yang penyok kayak gitu!
Pasti kau yang tidak bisa membedakan udara yang segar itu!"
seloroh Andika sambil mendengus. "Kau iri ya, melihat hidungku yang mancung
seperti ini?"
"Ha... ha... ha...!"
Eyang Sasongko Murti justru terbahak-bahak. "Aku menyukaimu, Andika," ujar Eyang
Sasongko Murti.
"Aku malah tidak! Gara-gara kau, aku terdampar di Alam Sunyi! Juga harus
meninggalkan kewajibanku membela Kerajaan Pakuan Barat!" gerutu Andika.
Dan kini Pendekar Slebor yakin kalau sudah tidak berada lagi di Alam Sunyi.
Entah bagaimana Eyang Sasongko Murti membawanya keluar dari sana.
"Jangan takut! Kita akan menyerang ke sana bersama-sama!" ujar Eyang Sasongko
Murti masih terbahak-bahak.
"Enaknya kau ngomong! Kesaktian Raja Akherat sulit ditandingi!"
"Jangan meremehkan aku!" bentak Eyang Sasongko Murti, tiba-tiba. "Manusia
setinggi apa pun ilmunya, tidak akan ada yang mampu menandingi kesaktianku!"
"Sombong!" cibir Andika.
"Kau akan melihat buktinya nanti! Akan kulumat orang yang berjuluk Raja Akherat
itu!" tandas laki-laki tua aneh ini.
"Jangan bisanya cuma ngomong!" sengat Andika lagi.
Wajah Eyang Sasongko Murti mengkerut jengkel.
"Lihat saja nanti!"
"Aku lapar!" seru Andika tiba-tiba.
"Nah! Mengapa kau tidak mencari?"
"Enaknya.... Tubuhku masih lemah begini!"
Eyang Sasongko Murti menggaruk-garuk rambutnya yang semakin bertambah acak-
acakan. "Kalau begitu, bersemadilah dulu. Aku akan segera mencari makanan!"
Andika nyengir. "Itu lebih baik."
"Hei! Kau mengakali aku yang lebih tua, ya?"
"Sekali-sekali tidak apa-apa. Hitung-hitung kau sudah kubebaskan dari Alam
Sunyi!" sahut Andika kalem.
"Slompret!" Eyang Sasongko Murti bersungut-sungut.
"He... he... he.... Orang yang sudah bau tanah memang suka ngomel!" seloroh
Andika. *** Seperti yang diperkirakan Tiroseta, akhirnya mereka pun meninggalkan Jurang
Setan. Senapati ini menerangkan alasan, mengapa mereka harus pindah pada Prabu
Adiwarman. Dan akhirnya penguasa Kerajaan Pakuan itu mau mengerti. Mungkin saja
memang benar dugaan Tiroseta, kalau burung hantu itu adalah burung 'mata-mata'.
Entah milik siapa.
Kini berbondong-bondong mereka keluar dari dasar Jurang Setan. Menurut Putri
Permata Delima, barangkali saja Danji masih mengetahui tempat rahasia yang
tersembunyi. Tetapi, alangkah terkejutnya mereka ketika tidak melihat Danji.
Juga si Belang.
Sementara itu, Tunggal bergegas menghampiri bersama Riaka, begitu melihat
rombongan itu muncul
dari jalan rahasia Jurang Setan.
"Tunggal! Ke mana pemuda yang bernama Danji?"
tanya Tiroseta.
"Maafkan aku, Kakang.... Dia bersikeras untuk melihat keadaan keraton," sahut
Tunggal, penuh hormat.
"Gusti.... Kau mengizinkannya?" desah Tiroseta, terkejut.
"Sangat sulit menghalangi keinginannya, Kakang."
Tiroseta menggeram jengkel. Seharusnya, dia memikirkan kemungkinan itu tadi.
"Bersama siapa perginya?" tanya Tiroseta lagi.
"Dengan harimau besar itu, Kakang."
Tiroseta mendesah lagi.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata senapati ini. Dalam hati dia hanya
berharap, Danji dan si Belang mampu menjaga diri. "Kalau begitu..., kau dan
Riaka... berjalan semakin ke timur. Kita harus pindah dari Jurang Setan ini.
Karena menurut perkiraanku, akan lebih berbahaya bila masih berada di sini...."
Tanpa banyak tanya lagi, Tunggal segera mendahului bersama Riaka. Tetapi ada
satu masalah lagi yang mendadak saja terjadi.
"Aku ingin menunggu Kang Danji di sini!" kata Putri Permata Delima dengan suara
cemas. "Tuan Putri..., keadaan sangat genting. Hamba yakin, burung hantu itu milik
salah seorang kawan Raja Akherat. Kita bisa mati konyol bila terus menerus
bertahan di sini," sergah Tiroseta.
Tetapi Putri Permata Delima tetap menolak.
Hatinya mendadak menjadi cemas akan nasib kekasihnya.
Saat itulah diam-diam Prabu Adiwarman
mengetahui, kalau putrinya mencintai Danji. Mungkin
pula tanpa sepengetahuannya, mereka telah lama memadu kasih.
Sedikit banyaknya Prabu Adiwarman menyesal, karena telah mengadakan sayembara
'Mungut Mantu' yang akhirnya berakibat munculnya Raja Akherat, sekaligus menguasai keraton.
Yang lebih membuatnya sedih, karena Putri Permata Delima tidak pernah ditanyakan
pendapatnya tentang keputusan mengadakan sayembara.
Putri Permata Delima telah menunjukkan sikap tegar. Bila Danji selamat, Prabu
Adiwarman akan menanyakan kebenaran dugaannya. Tetapi yang terpenting sekarang
ini, putrinya harus dibujuk untuk pindah dari Jurang Setan.
"Permata Delima..., keadaan kita semakin gawat.
Ancaman demi ancaman tanpa disadari telah ber-kembang. Kita tidak bisa berdiam
di sini terus menerus, Permata...," bujuk Prabu Adiwarman lembut sambil menatap
putrinya. Putri Permata Delima menundukkan kepala. Gadis ini tak kuasa menatap mata
ayahandanya. Dia khawatir hubungannya dengan Danji diketahui ayahnya, yang sudah
tentu dapat melihat riak-riak kecemasan di matanya.
Menurut perkiraan Putri Permata Delima, ayahnya akan marah besar bila mengetahui
hubungannya dengan Danji. Terbukti, dengan diadakannya sayembara 'Mungut Mantu'.
"Baiklah, Ayahanda.... Kita segera pindah dari sini...," desah Putri Permata
Delima, perlahan.
Prabu Adiwarman mendesah. Justru perasaannya terpukul mendengar kata-kata
putrinya. "Permata.... Pasti Danji akan kembali kepadamu."
hibur Prabu Adiwarman.
Seketika Putri Permata Delima mengangkat
kepala. Hatinya tersentak mendengar kata-kata ayahandanya.
"Ayah...."
"Percayalah.... Karena ia seorang pemuda yang gagah dan berani...," tegas Prabu
Adiwarman, meyakinkan.
Putri Permata Delima tidak berani memperbesar keyakinannya, kalau sedikit banyak
ayahnya mengetahui hubungannya dengan Danji. Dari kata-katanya, dapat ditangkap
kalau ayahnya merestui hubungannya dengan Danji. Tetapi, Putri Permata Delima
tidak berani berharap banyak.
"Baiklah, Ayahanda.... Aku menurut...," desah Putri Permata Delima.
Kemudian rombongan itu pun melangkah
meninggalkan Jurang Setan. Tiroseta melangkah sambil memperhatikan sekelilingnya
dengan tatapan waspada. Matanya mencari-cari burung hantu yang menurutnya 'mata-
mata' Raja Akherat. Dan diam-diam keyakinannya terhadap saudara-saudaranya yang
telah tewas semakin membesar saja.
Sementara, Putri Permata Delima melangkah dengan kepala tertunduk. Hatinya
sangat merisaukan nasib Danji. Ah! Bila saja rencana kekasihnya itu diketahui,
sudah tentu ia tidak akan pernah mengizinkannya.
*** Memang, apa yang diduga Tiroseta sangat benar.
Karena keesokah harinya, Nyai Pamunti dan Kokorongko berhasil menemukan Jurang
Setan. "Hhh! Pasti Prabu Adiwarman berada di sini,"
desah Kokorongko sambil memandang ke bawah. Tak terlihat apa-apa, karena jurang
itu sangat dalam.
"Kau benar, si Manis tidak pernah salah. Tetapi, dari manakah mereka masuk dan
keluar?" tanya Nyai Pamunti.
"Tentunya ada jalan rahasia. Kita tidak usah mencarinya! Akan kita timbun dasar
Jurang Setan ini dengan batu-batu besar... ha ha ha! Biar Prabu Adiwarman mampus
di sana, beserta para pengikut setianya!" kata Kokorongko.
Lalu mereka pun mulai sibuk menggeser batu-batu besar yang ada di sana, dan
digulingkan ke dasar Jurang Setan. Sehingga menimbulkan suara cukup keras.
Bahkan tanah yang dipijak terasa bergoncang.
Sambil terbahak-bahak dan membayangkan
betapa orang-orang yang berada di dasar Jurang Setan itu kalang kabut, mereka
terus secara membabibuta mendorong batu-batu besar.
Tiga puluh batu besar sudah masuk ke perut Jurang Setan. Kini, mereka
menghentikan tindakan-nya.
"Cukup! Aku yakin, mereka sudah menjadi daging cacah di sana!" ujar Kokorongko
dengan suara puas.
"Hhh! Apakah Pendekar Slebor juga berada disana?" tanya Nyai Pamunti.
"Aku tidak tahu. Tetapi kalau memang berada di sana, namanya pun sudah tenggelam
di antara puluhan batu yang kita lemparkan tadi."
Nyai Pamunti terdiam sejenak. Kalau memang Pendekar Slebor yang namanya
menghebohkan dunia persilatan memang berada di sana, alangkah mudahnya membunuh
pendekar itu. Tetapi, apakah pendekar itu berada di sana" Nyai Pamunti masih
meragukannya. "Pamunti, kenapa kau terdiam?" tegur Kokorongko.
"Alangkah mudahnya membunuh pendekar itu.
Padahal, aku ingin sekali menjajaki kesaktiannya!"
sahut Nyai Pamunti.
"Ha... ha... ha.... Dan kini niatmu terkubur sudah.
Tetapi, kau harus bangga. Karena di tanganmu jugalah Pendekar Slebor mampus!
Kita kembali ke keraton," ajak Kokorongko, akhirnya.
"Yah! Aku sendiri ingin tahu laporan dari si Manis tentang pemuda yang
menunggang harimau itu!"
*** 7 Rombongan Prabu Adiwarman yang dipimpin Tiroseta telah tiba di sebuah hutan yang
sangat lebat. Memang, tak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan tempat hunian. Menurut
Tiroseta sendiri, tempat itu sudah cukup aman. Paling tidak, bisa jauh dari
orang-orang Raja Akherat.
Mereka pun segera mendirikan tenda. Sementara persiapan darurat dilakukan secara
mendadak dan cepat. Tiroseta mempersilakan Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima untuk beristirahat. Sementara dia sendiri berjaga-jaga.
Sungguh, saat ini Tiroseta lebih ingin menyerang saja ke Keraton Pakuan. Bila
menunggu yang lainnya saat ini belum kembali juga, Tiroseta yakin mereka sudah
mati. Begitu pula dengan pasukan yang dipimpin Karnapati (Untuk mengetahui
pasukan pertama Kerajaan Labuan yang dipimpin Karnapati, baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : "Raja Akherat").
Lagi-lagi yang dipikirkan Tiroseta adalah Monoseta dan Ardiseta. Mereka adalah
dua orang saudaranya yang menyerang ke Keraton Pakuan. Apakah mereka selamat,
berhasil menaklukkan Raja Akherat. Atau, malah hari itu menjadi kiamat untuk
mereka" Tiroseta menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya juga merasa bingung dengan
Pendekar Slebor. Telah lama dia mendengar nama Pendekar Slebor ramai dibicarakan
orang banyak. Baik dari rimba persilatan, maupun orang awam. Tetapi sekarang,
mengapa tidak juga datang untuk memberi laporan"
Sungguh, Tiroseta sangat sulit memperkirakan seala sesuatunya dalam keadaan
seperti ini. Yang pasti sekarang, nyawa dan keselamatan Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima berada di tangannya.
Dan malam pun semakin merayap perlahan-lahan.
Suara nyanyian binatang malam mulai terdengar.
Kesiagaan diperketat. Tiroseta berkali-kali memberi peringatan, agar seluruhnya
bersiaga dalam kewaspadaan penuh. Karena besok pagi, mereka akan segera
melanjutkan perjalanan kembali. Bahkan mungkin, dalam pikiran Tiroseta, akan
membawa Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima ke Kerajaan Labuan. Jelas bila
keduanya berada di sana, keamanan dan keselamatan terjamin. Dan sebelum lamunan
Tiroseta lenyap....
"Hi... hi... hi...!"
"Ha... ha... ha...!"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang keras sekali. Menilik suaranya, jelas
tawa laki-laki dan perempuan.
Serentak Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan bersiaga. Sementara
prajurit Kerajaan Pakuan, berusaha melindungi Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima yang berada di tenda dengan tombak di tangan.
Belum habis keterkejutan mereka, mendadak berkelebat dua sosok tubuh lalu
hinggap di hadapan mereka. Keduanya adalah sepasang manusia bertampang
mengerikan dengan tatapan mata licik yang kejam.
"Hi... hi... hi...! Kau lihat sendiri, Kokorongko.... Aku tidak yakin kalau
mereka masih berada di Jurang
Setan yang telah kita timbun batu itu" Nah, buktinya kau lihat sendiri, bukan?"


Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata sosok wanita yang ternyata Nyai Pamunti.
Rupanya Wanita Burung Hantu itu mempunyai otak cerdik. Meskipun mempercayai
laporan dari burung hantu peliharaannya, namun tidak bisa percaya bila belum
melihat buktinya. Memang, Jurang Setan telah ditemukan. Dan mereka telah
menggulingkan batu-batu besar dalam jumlah yang sangat banyak. Tetapi Nyai
Pamunti tidak puas.
Ketika mereka hendak kembali ke Keraton
Pakuan. Nyai Pamunti justru hendak kembali ke Jurang Setan. Meskipun bersungut-
sungut, Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis menuruti saja. Dan mereka menemukan
sebuah lubang yang tertindih batu besar.
Dari sanalah mereka menuruni dasar Jurang Setan, melihat-lihat dan mengibaskan
batu-batu besar yang digulingkan tadi. Namun tak satu mayat pun yang di temukan
di sana. Berarti, dugaan Nyai Pamunti benar. Jelas, orang-orang itu sudah keluar
dari sana. Berarti pula, apa yang dilakukan dengan mendorong batu-batu ke dasar
Jurang Setan, adalah suatu kesia-siaan.
Lalu, Nyai Pamunti pun mengajak Kokorongko untuk segera mencari saja rombongan.
Hingga akhirnya mereka menemukan di sini.
"Ha... ha... ha...!"
"Tak kusangka kau mempunyai otak encer, Pamunti...," puji Dewa Muka Iblis sambil
memperhatikan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang bersiaga.
"Kalian manusia-manusia dungu! Cepat serahkan Prabu Adiwarman kepada kami!"
Tiroseta menggeram gagah. Dugaannya tentang burung hantu benar. Dan mereka sudah
sebisanya untuk meninggalkan tempat itu, meskipun akhirnya dapat di temukan
juga. "Hhh! Semudah itukah kalian memintanya, hah"!"
balas Tiroseta membentak.
"Jangan menantang!" dengus Kokorongko.
"Justru kami ingin mengatakan, langkahi dulu mayat kami. Baru kalian boleh
melakukan sekehendak hatimu!" seru Tiroseta dengan suara yang semakin gagah. Dadanya
dibusungkan. Golok besar yang tersampir di pinggang telah dicabutnya.
"Orang bodoh! Mau cari mampus rupanya!" seru Kokorongko.
Mendadak saja Dewa Muka Iblis menerjang
Tiroseta dengan tangan siap mencekik leher. , Tiroseta yang sudah bersiaga
penuh, sudah tentu tidak menginginkan lehernya menjadi sasaran. Maka segera
goloknya dikibaskan untuk menghalau serangan Kokorongko.
Namun di luar dugaan, tangan Kokorongko mampu bergerak lebih cepat lagi. Dengan
bantuan gerak tubuhnya, tangannya memutar bagai membentuk segitiga. Lalu
disentaknya sedikit tangan Tiroseta dengan jari telunjuk.
Plak! Kembali tangan Dewa Muka Iblis mengarah pada leher Tiroseta.
Tetapi Tiroseta pun sudah memperhitungkannya.
Dengan lincah kepalanya diputar dengan tubuh sedikit condong keluar. Lalu
goloknya ditusukkan dari bagianbawah ke atas.
Gerakan yang dilakukan dengan cepat dan tak disangka, membuat Kokorongko harus
mendengus. "Pantas kau berani bertingkah begitu, hah"!"
"Karena aku akan membunuhmu, Manusia Busuk!"
desis Tiroseta sambil mendahului menyerang.
Kali ini senapati itu ingin menyerang lebih dulu.
Dicobanya menekan dengan beberapa gebrakan yang mampu membuat lawannya menjadi
keder. Tetapi yang dihadapi bukanlah anak bawang, melainkan seorang tokoh yang
cukup disegani karena
kekejamannya. Sementara itu, sepuluh prajurit Kerajaan Labuan segera menyerang Nyai Pamunti
yang hanya terkekeh-kekeh saja, menyambut serbuan tombak-tombak tajam dari berbagai
penjuru. "Bagus, bagus! Kini kalian harus mampus semuanya!"
Mendadak saja tubuh Wanita Burung Hantu bergerak bagaikan terbang. Kedua
tangannya mengibas, bagaikan seekor burung hantu yang sedang marah.
Dan.... Prak! Brak! Crrott!
"Aaa...!"
Tiga prajurit Kerajaan Labuan menjerit menyayat dengan tubuh terhuyung. Kepala
mereka pecah, menyemburkan darah.
Sedangkan Tiroseta terus berusaha mendesak Kokorongko dengan gencar. Serangan-
serangan goloknya sangat berbahaya.
Kokorongko untuk sesaat memang kehilangan kendali. Namun lewat lima jurus
berikut, ganti dia yang menguasai serangan-serangan.
"Cukup sudah pertunjukan yang kau perlihatkan."
desis Kokorongko.
Tiba-tiba tubuh laki-laki berjuluk Dewa Muka lblis itu merunduk. Kakinya
bergeser ke belakang dengan
tangan membuka bagaikan melentur. Itu jurus, 'Pukul Kupu-kupu' miliknya.
Gerakannya bisa nampak pelan namun sangat berbahaya hasil pukulannya.
Tiroseta pun dapat membaca kehebatan jurus itu.
Hanya saja yang membuatnya sulit, gerakan Kokorongko benar-benar melentur.
Sehingga susah dipastikan ke arah mana yang akan diserang.
Maka dengan sebisanya Tiroseta menggerak-
gerakan goloknya bila serangan Kokorongko dilepaskan. Hanya saja, tenaganya
menjadi lebih banyak yang terbuang percuma. Karena, senapati ini harus mengikuti
arah gerak tangan Dewa Muka Iblis yang belum tentu menyerang.
"Keparat! Jurus apa yang kau pakai itu, hah"!"
bentak Tiroseta sengit.
Kokorongko terkekeh-kekeh.
"Kau akan mengetahuinya kalau sudah mampus!"
Saat ini, Tiroseta mendesah pendek. Dia berpikir, bila saja di sini ada Monoseta
dan Ardiseta, maka sudah tentu akan bisa membentuk gabungan jurus
'Tiga Mata Golok Menguasai Angin'! Sayangnya, keduanya tidak berada di sana.
Sehingga bila jurus itu dikeluarkan hanya merupakan satu gerak yang sangat mudah
untuk dilumpuhkan.
Sedangkan Nyai Pamunti sudah memukul roboh sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang
menghalangi niatnya untuk membawa Prabu Adiwarman.
Lalu perempuan tua itu pun melangkah ke arah sebuah tenda yang dijaga enam orang
prajurit Kerajaan Pakuan. Matanya sempat melirik pertarungan antara Kokorongko
dengan prajurit berbaju hitam yang menggunakan golok besar.
Dengan sigap keenam orang prajurit Kerajaan Pakuan, mengelilinginya sambil
menjaga pintu masuk
ke tenda. Nyai Pamunti melihat dua sosok tubuh berada di sana dalam keadaan
berpelukan. Dia yakin, mereka adalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.
"Kalian manusia-manusia tengik! Minggir! Atau kalian akan mampus, heh"!"
"Wanita tua busuk! Kau seharusnya sadar, kalau nyawamu sudah di ambang pintu!"
"Bangsat!"
Mendadak saja Nyai Pamunti berkelebat begitu cepatnya sambil mengibaskan
tangannya. Prak! Prak! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dan seketika itu pula, tiga sosok tubuh berpental dengan kepala pecah.
Tetapi tiga orang sisa prajurit bukanlah bertambah jeri. Malah mereka semakin
bernafsu untuk membunuh Nyai Pamunti. Sayang, mereka pun tak kuasa menahan
kekejaman Wanita Burung Hantu. Karena hanya sekali gebrak saja, ketiganya pun
segera menyusul yang lain akherat.
Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima..., ayo
keluar! Kita akan kembali ke keraton!" ujar perempuan tua itu dengan suara
merayu. Tak ada sahutan.
Nyai Pamunti atau si Wanita Burung Hantu masih terus membujuk. Tetapi lagi-lagi
tetap tidak ada sahutan. Sehingga, membuatnya menjadi geram.
"Kalau tidak keluar juga, akan kuseret kalian!"
desis perempuan tua ini garang.
Tetapi, tetap tak ada sahutan.
Dengan kasar dan penuh amarah Nyai Pamunti
melesat seraya menyingkap pintu tenda.
"Uts!"
Dan mendadak saja tubuh perempuan tua itu melompat ke belakang, ketika dua buah
tombak siap menghujam perutnya. Lalu, muncullah dua prajurit Kerajaan Pakuan
yang membuat Nyai Pamunti makin geram. Karena, yang berada di dalam tenda sejak
tadi bukan Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Tapi, kedua prajurit itu.
Amarah Nyai Pamunti semakin membludak,
karena merasa dipermainkan. Tentunya Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima
sudah melarikan diri entah ke mana.
Sebagai sasaran amarahnya, Wanita Burung Hantu ini segera berkelebat, langsung
menghajar. Walau kedua prajurit itu melawan, namun lagi-lagi bukanlah lawan Nyai
Pamunti. Prak! Prak! "Aaa..! Aaakh...!"
Dengan sekali gebrak saja, tombak di tangan kedua prajurit itu patah. Dan ketika
tangan Wanita Burung Hantu mengibas, kepala mereka kontan pecah. Kedua prajurit
itu ambruk di tanah bersimbah darah. Mati.
Setelah menatap mayat-mayat prajurit itu, Nyai Pamunti kembali pada Kokorongko
yang sedang mendesak Tiroseta. Perempuan tua itu khawatir kalau Prabu Adiwarman
dan Putri Permata Delima semakin jauh larikan diri.
Mendadak saja Wanita Burung Hantu
mengibaskan tangan kanan ke arah Tiroseta.
Weeebbb! Meskipun sedang menghadapi serangan dari
Kokorongko, Tiroseta dapat merasakan hawa panas
dan kencang menderu ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya melenting ke samping.
Sehingga serangan Nyai Pamunti pun luput.
"Monyet!" maki Nyai Pamunti marah. Kali ini perempuan tua itu mengempos tubuhnya
ke arah Tiroseta. Bersamaan dengan itu, Kokorongko pun menyerang dari arah yang
berlawanan. Bukan main gugupnya Tiroseta. Sebisanya tubuhnya berguling ke sana kemari
menghindari kedua serangan yang sama-sama dahsyat! Namun
kelincahannya pun tak bisa dipertahankan lebih lama.
Begitu dia bangkit berdiri, Nyai Pamunti sudah meluruk deras dengan sambaran
kakinya. Dan....
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Tiroseta terpelanting ke belakang dan terguling-guling. Bersamaan dengan
itu, Kokorongko telah meluncur melepaskan satu injakan. Demikian pula Nyai
Pamunti. Ketika Tiroseta sudah merasa pasrah, dengan gerak bawah sadar tangannya
menjumput tanah berpasir. Begitu kedua tokoh sesat itu dekat, Tiroseta melempar
tangan berpasir.
Pyurrr...! "Heh"!"
Nyai Pamunti dan Kokorongko terkejut setengah mati. Dengan kelabakan mereka
mengibaskan kedua tangan sambil melenting ke belakang.
Mendapat kesempatan, Tiroseta segera mem-
pergunakannya. Sambil menahan rasa sakit laki-laki ini segera melarikan diri.
"Bangsat!" geram Nyai Pamunti, setelah berhasil membebaskan diri dari tanah yang
dilemparkan Tiroseta. Hatinya semakin geram tidak melihat
Tiroseta! Tetapi Kokorongko tidak lagi tertarik dengan Tiroseta.
"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima?" tanya Dewa Muka Iblis.
"Aku ditipu permainan anak kecil yang dilakukan para prajurit itu! Keduanya
sudah melarikan diri."
desis Nyai Pamunti.
"Bodoh! Ke mana larinya?" bentak Kokorongko.
"Aku tidak tahu!"
"Cepat cari mereka, sebelum menjauh!"
Mereka lantas berkelebat cepat.
*** 8 Pagi kembali menjelang. Tidak seperti pagi-pagi yang lalu, kali ini suasana
begitu kelabu. Sinar mentari menyapu lembut, menerpa empat sosok di halaman
Keraton Pakuan.
Keempat orang yang berdiri gagah itu tak lain dari Ki Wirayuda, Ki Pangsawada,
Nyai Selastri, dan Permadi. Sikap keempat tokoh persilatan ini tampak waspada
dengan sinar mata menahan kebencian.
Terutama, yang diperlihatkan Permadi, karena gurunya menjadi korban keganasan
Raja Akherat. "Raja Akherat! Keluar kau! Hadapi kami. Dan nyawamu akan melayang hari ini
juga!" teriak Permadi yang sudah tidak sanggup menahan dendamnya lagi.
Angin berhembus, menebarkan hawa kematian.
Sejauh ini tak ada sahutan apa-apa.
"Manusia keparat! Kau harus membayar nyawa guruku dengan nyawa setanmu itu!"
teriak Permadi lagi.
Baru saja gema suara Permadi hilang...
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras sekali.
"Kiranya ada tamu yang tak diundang"! Tetapi sebagai tuan rumah, sudah
selayaknyalah aku menyambut kedatangan kalian...," lanjut suara itu, yang
disusul berkelebatnya satu sosok bayangan.
Kini tahu-tahu di hadapan mereka kira-kira tiga tombak jaraknya, telah berdiri
sosok tinggi besar, dengan wajah sedikit menyeramkan. Siapa lagi kalau bukan
Raja Akherat. Mata tokoh sesat ini menyapu keempat tamu yang sejenak tertegun menyaksikan
kemunculannya yang luar biasa itu.
"Kiranya..., para tokoh persilatan sudah datang kesini. Ah! Sayang sekali...,
kalian datang terlalu cepat. Padahal, aku baru saja hendak mengumum-kan, kalau
aku akan menjadi nomor satu di rimba persilatan ini.... Ha... ha... ha....
Kalian terlalu baik.
Yah..., dengan bantuan kalianlah aku akan menjulang tinggi di antara barisan
puncak!" kata Raja Akherat, sombong.
Wajah keempat tokoh persilatan golongan putih ini seketika merah padam mendengar
kata-kata Raja Akherat itu. Namun Ki Pangsawada lebih bisa mengendalikan
amarahnya. "Hmmm..., Tidar! Lebih baik tinggalkan Keraton Pakuan. Kembalilah ke asalmu.
Jangan sampai kau luluh lantak dihajar para tokoh dunia persilatan...,"
desis Ki Pangsawada, alias Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Raja Akherat terbahak-bahak. Padahal hatinya geram bukan main. Pertama, namanya
sendiri sudah berusaha dilupakan. Tetapi barusan kembali disebut Ki Pangsawada.
Kedua, alangkah enaknya menyuruh-nya pergi dari sini.
"Ha... ha... ha...!"
Raja Akherat tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai perutnya berguncang.
"Ki Pangsawada...! Namamu sebagai Imam Arif Penguasa Gunung Bontang telah lama
sekali kudengar. Sehingga, telingaku pun menjadi gatal. Kini kau telah menghadap
ke sini. Dan..., kalangan sudah terbuka. Mengapa tidak segera dimulai saja?"
tantang Raja Akherat dengan suara merendahkan.
Justru Permadi yang tidak bisa menahan diri. Sejak pertama melihat Raja Akherat,
dendamnya sudah sampai di ubun-ubun. Kematian gurunya harus dibalas. Akan
dicabik-cabiknya Raja Akherat dengan keris pusaka pemberian Ki Kelana. Maka
seketika kedua tangannya menghentak.
"Hih...!"
Wesss...! Angin yang meluruk kencang mudah sekali ditepis Raja Akherat dengan mengebutkan
tangannya. Lalu tubuh tokoh sesat ini bergeser, ketika Permadi meluruk disertai
sambaran tangan kiri yang cepat.
"Ha... ha... ha.... Anak Muda! Aku menyukaimu...
Cuma sayang, nyawamu hanya bertahan sampai hari ini saja...."
Mendadak saja Raja Akherat mengembangkan ke dua tangannya, lalu membukanya bagai
seekor burung merentangkan sayap.
Werrr...! Serangkum angin kencang meluruk dari tangan Raja Akherat. Dada Permadi bergetar,


Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu tiba terasa angin dingin menyusup hingga ke tulangnya.
Dan hal itu pun membuatnya sadar, kalau lawan tengah menggunakan ilmu dahsyat.
Tetapi sebagai murid tunggal Ki Kelana, Permadi sudah tentu tidak akan ciut
nyalinya. Dengan membulatkan tekad, Permadi meng-
emposkan semangatnya. Lalu tubuhnya meluruk deras sambil mencabut keris yang
Sumpah Palapa 10 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Manusia Meteor 3
^