Pencarian

Pengejaran Ke Cina 1

Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Bagian 1


1 Di sebelah utara kota Yingtienfu, (lebih dikenal
dengan nama 'Nanking') dua lelaki muda berperawakan
gagah sedang berjalan beriringan, menelusuri hamparan
pailang rumput. Mereka melangkah mantap tanpa
banyak cakap. Sepertinya, mereka sangat tergesa untuk
sampai di tcmpat tujuan.
Rambut dua lelaki muda yang sama-sama
panjang itu berkibaran diusik angin. Sementara di atas
sana, matahari memperlihatkan ketidak ramahannya,
tanpa sedikit pun awan menghalangi.
Tidak hanya sama-sama gagah. Kedua anak
muda itu pun memiliki wajah tampan. Rasanya, sulit bagi
para wanita untuk menentukan pilihan di antara mereka
berdua. Wajah masing-masing memang memiliki
kelebihan yang tak dimiliki satu sama lain.
Pemuda yang berjalan di sebelah kiri berwajah
ramah. Bibirnya selalu dihiasi senyum. Di atas matanya
yang tajam, sepasang alisnya legam menukik melengkapi. Di samping terlihat ramah, dia juga terlihat
acuh. Ini terlihat dari tataan rambutnya yang tak teratur.
Pakaiannya hijau-hijau, dengan kain bercorak catur
tersampir dj bahunya. Kain itu berkibaran mengiringi
gerakan rambutnya, ketika angin mengusik.
Sementara pemuda yang berjalan di sebelah
kanan berwajah dingin. Bibir tipisnya begitu kaku.
Matanya memang juga memiliki sinar tajam, seperti
pemuda di sisinya. Namun, tampak lebih sipit. Dan jika
pemuda teman sepcrjalanannya memiliki kulit agak
kecoklatan maka pemuda bermata sipit itu berkulit putih
kekuningan. Penampilannya pun jauh berbeda. Dengan
rambut panjang lurus diikat di atas kepala, dia tampak
lebih rapi Apalagi, jika menilik dari pakaiannya yang
merah memanjang hingga batas lutut. Bahannya dari
sutera yang tergolong mahal saat itu. Di ujung lengan
pakaiannya terdapat sulaman benang emas. Sedangkan
celananya yang juga terbuat dari sutera, dibatasi ikatan
sepatu hingga ke betis.
"Berapa lama lagi kita akan tiba di tempat tujuan,
Chin Liong?" tanya pemuda di sebelah kiri, memecah
kebisuan. "Tak lama lagi," jawab kawannya, singkat.
"Apakah di sana ada kedai makan?" usik pemuda
yang ternyata Andika, yang lebih dikenal dengan
sebutan Pendekar Slebor.
"Kau mulai lapar?" Pemuda bermata sipit yang
dipanggil Chin Liong malah balik bertanya.
Andika tersenyum. Tapi senyumnya lebih mirip
ringisan. "Apa kau belum merasa kalau cacing-cacing
dalam perutmu ramai bergunjing?" gurau pemuda
urakan itu acuh.
Chin Liong yang ada di sisinya hanya mengangkat
bahu. Sedikit pun tak tersembul senyum di bibir. Dia
memang bukan termasuk orang yang memiliki selera
berguyon. "Kau tidak paham maksudku?" cetus pemuda
berpakaian hijau itu manakala mendengar tanggapan
lawan bicaranya. "Sejak berperahu menelusuri Sungai
Kuning dini hari tadi, kita belum sempat mengisi perut,
kan?" "Aku tahu," jawab Chin liong, singkat.
"Nah! Apa kau tak lapar?"
"Baru setengah hari ini saja kita belum bertemu
makanan. Aku rasa, kita masih mampu bertahan."
"Tapi, kemarin kita hanya makan daun pepohonan
rambat yang tumbuh di pinggiran sungai!" rungut
Andika. "Apa di negerimu kau tidak biasa makan seperti
itu?" tanya Chin Liong agak mengejek.
"Rupanya kau termasuk pemuda manja, ya?"
"Kata siapa aku tak pernah makan sedikit" Di
negeriku, aku juga biasa makan daun singkong. Tapi,
daun satu kebun," kata Andika, setengah menggerutu di
belakang pemuda sipit yang terus melangkah.
Akhirnya, mereka kini tiba di sebuah dataran
luas ditumbuhi banyak pohon lamtoro. Tampak
sebongkah batu besar tergolek bisu di sana, tepat di
bawah naungan sebatang pohon.
"Kita telah sampai," kata Chin Liong. "Di sini kita akan menunggu seorang
penghubung untuk bertemu
Putri Ying-lien."
"Seorang putri Cina?" tanya Andika setengah ber-
piimam. Bibirnya tersenyum penuh arti. "Tentunya dia
cantik, bukan?"
Ucapannya itu sempat terdengar Chin Liong,
pemuda kawan seperjalanannya.
"Jangan coba macam-macam. Dia seorang putri
Raja," kata pemuda bermata sipit, setengah mengancam. "Boleh saja aku tidak macam-macam. Tapi,
bagaimana kalau dia tahu-tahu jatuh hati padaku?"
"Jangan terlalu yakin."
"Bagaimana tidak yakin" Aku kan cukup tampan
untuk menjatuhkan hati seorang anak raja... he he he."
Selesai berolok-olok, pemuda acuh berjuluk
Pendekar Slebor itu menghampiri batu besar dan duduk
san- tai di atasnya. Bibirnya memperdengarkan siulan
riang, seakan sedang menunggu seorang kekasih yang
hendak dikencani. Entah kenapa, rasa lapar yang
semula diributkan kini hilang begitu saja. Sementara
kawannya yang bermata sipit hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala melihat tingkahnya.
*** Waktu terus bergulir. Entah, sudah berapa lama
Pendekar Slebor dan Chin Liong menunggu. Sampai
saat itu, orang yang dimaksud pemuda Tiongkokbelum
juga mcnampakkan batang hidung. 'Sementara, Andika
yang bertingkah aneh malah masih asyik menepuk-
nepuk dengkul sambil menyenandungkan siulan.
Sedangkan Chin Liong mulai tampak gelisah. Mata
sipitnya melirik kian kemari, mencari-cari orang yang
ditunggu. "Rasanya ada yang tidak beres." gumam Chin
Liong, seraya memutar tubuh. Kau bias menunggu dulu
disini kan?"
Pendekar Slebor yang diajak bicara menoleh.
"Kau sendiri mau kemana?"
"Aku hendak menyelidiki daerah sekitar. Aku
khawatir ada sesuatu yang menimpa si Penghubung."
"Ya, pergilah sana. Hus! Hus! Hus! Ujar Andika
acuh sambil mengibasngiliaskan tangan. "O, iya. Kalau
kembali, jangan lupa bawa nasi rames!"
Pemuda bermata sipit itu terus mengayun
langkah, seperti tak peduli.
Setelah Chin Liong menghilang, Pendekar Slebor
tercenung sendiri.
"Ngomong-ngomong, apa ada nasi rames di
negeri ini" Hua ha ha...!" Andika jadi tergelak sendiri.
Baru saja tawanya terhenti, sepasang telinga
tajam Pendekar Slebor menangkap suara aneh dari sisi
kiri. Suara itu terdengar bagai gemuruh. Bukan gempa,
dan bukan pula derap kaki kuda. Untuk memastikannya,
Andika menoleh ke asal suara.
Memang yang dilihat Pendekar Slebor hal yang
tak kalah.aneh. Tampak sesosok tubuh kecil dan buntal
sedang bergulingan ke arahnya. Perutnya yang buncit
memudahkannya menggelinding seperti bola. Seluruh
pakaian yang dikenakan telah dipenuhi debu. Demikian
juga sekitar tubuhnya
"Ini pasti orang sinting buatan Tiongkok," gumam
Andika. Alis Iegam Pendekar^Slebor bertaut rapat-rapat.
merasa bingung dengan perbuatan tamu tak diundang
itu. Penampilan lelaki pendek bertubuh gemuk itu kini
lebih jelas terlihat, manakala sudah berdiri tak jauh dari
batu tempat Andika duduk. Kepalanya yang kecil, tak
memiliki rambut sehelai pun. Wajahnya terlihat bulat
lucu, dengan pipi tebal serta kumis memanjang hingga
ke bawah bibir. Seperti orang Tiongkok lain, mata lelaki
itu pun sipit. Hidungnya yang kecil seperti hendak
tertelan timbunan lemak di pipinya yang merah.
"Sebutkan namamu!" bentak orang itu tiba-tiba
pada Andika dalam bahasa Tiongkok.
"Eit"! Kau bikin aku kaget saja, Pak," balas Andika
dengan ucapan terpatah-patah dan logat Tiongkok yang
kaku. "Apa kau tidak biasa berbasa-basi?"
"Sebutkan namamu!" bentak lelaki pendek itu
sekali lagi. Pendekar Slebor jadi meringis. Benar-benar orang
tua keras kepala, gerutunya dalam hati.
"Baik, baik.... Namaku, Andika," jawab Pendekar
Slebor tetap berusaha ramah.
"Andika! Bukan 'haiya'," sergah Pendekar Slebor.
Sejak peristiwa di Desa Dukuh, di mana Pendekaij
Slebor bertarung bertaruh nyawa melawan Chin Liong
hingga mengakibatkan pemuda Tiongkok itu mengalami
luka, Andika bertekad untuk mengejar lelaki aneh yang
telah mempermainkannya habis-habisan.
Setelah Chin Liong dlrawat, Pendekar Slebor pun
mendapat satu keterangan darinya kalau musuh yang
selama ini mempermainkannya adalah saudara kembar
Chin Liong sendiri. Setelah itu, mereka pun melakukan
pengejaran ke negeri Tiongkok (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang kisah Pendekar Slebor sebelumnya,
bacalah episode: "Pusaka Langit"). Dan dari dia pula,
Andika sempat belajar bahasa Tiongkok sebelum
berangkat "Jadi, namamu Andika?"
"Yaaa benar!" seru Andika seraya menuding.
"Heh"! Aku tak kenal Andika!"
Pendekar Slebor jadi menaikkan pangkal hidung
dan ujung bibirnya.
"Tentu saja kau tidak kenal. Kita kan baru pertama
kali ini bertemu," bisik Andika, menggerutu.
"Kau sendiri siapa. Pak?"
"Kau bukan penduduk sini, ya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Andika barusan,
lelaki berperut buncit itu malah balik bertanya. Dan ini
membuat tenggorokan Andika terasa bengkak karena
dongkol. "Benar, Pak. Aku berasal dari..."
"Apa maumu ke tempat ini?" potong laki-laki bulat
itu." Padahal berhubung usia lelaki itu jauh lebih tua,
Andika terpaksa menyahuti juga. Belum juga sempat
kalimat Andika tuntas, orang itu sudah memenggalnya.
Sehingga, Andika jadi memajukan bibirnya. Kejengkelannya mulai tak bisa ditahan. Maka tak
dijawabnya pertanyaan terakhir itu.
"Kau tuli" Apa maumu ke tempat ini"!" ulang lelaki
pendek itu lebih keras.
Pendekar Slebor tidak juga menyahuti. Dia malah
meneruskan siulannya, seraya melempar pandangan ke
tempat lain."
Tentu saja hal ini amat memancing kegusaran
lelaki pendek gemuk itu. Sambil menggeram, rahangnya
mengeras. Sehingga, terdengarlah suara gemeletuk
giginya. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap
Andika. "Anak muda! Apakah kau tahu kalau telah
menghina Cebol Bermuka Merah"!" sentak laki-laki yang
berjuluk Cebol Bermuka Merah penuh ancaman.
"Apa aku mengejekmu?" sangkal Andika, tanpa
melirik sedikitpun. Apa kukatakan, kalau perutmu terlah
buncit untuk ukuran tumbuhmu yang kecil" Apa ku
katakan kalau pipimu seperti bantal?"
"Grrr! Kau memang harus diberi pelajaran, Anak
Muda!" "Dan..., apa kukatakan kalau kepalamuyang tak
berambut terlalu mengkilap seperti dengkul bidadari?"
lanjut Andika tanpa mempedulikan kegeraman Cebol
Bermuka Merah. Sampai di situ, Cebol Bermuka Merah tak bisa lagi
membendung amarahnya yang telah meluap hingga,
ubun-ubun. "Khiaaagh!"
Dengan satu teriakan bagai erangan, diterjangnya
Pcndekar Slebor.
Serangkai jurus aneh ditampilkan Cebol Bermuka
Merah. Setelah menyatukan tangan tinggi-tinggi ke atas
kepala, lelaki gemuk pendek itu melempar tubuh ke
depan, bagai seorang perenangyang terjun ke air.
Seketika perutnya yang sebesar tong itu menciptakan


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

debum keras kala meninju tanah. Bersamaan dengan
itu, debu berwarna coklat mengotori udara di sekitarnya.
Pertunjukan yang terjadi di depan biji mata,
membuat Andika terpana tanpa bcrkedip. Dia sendiri
memiliki jurus aneh. Tapi, jurus lawannya kali ini kelewat
aneh. Bisa jadi orang ini sudah gila, karena terlalu hebat.
Atau mungkin juga, orang bodoh yang otaknya di perut.
Kini, Cebol Bermuka Merah mulai bergulingan
kembali, seperti saat pertama muncul. Saat bergulir
kearah Andika, sepasang tangannya meraup debu
berkali-kali. Kemudian dihempaskannya ke wajah
Andika berkali-kali.
Untunglah Pendekar Slebor tidak lengah walau
sempat terpana.Dengan serangkaian gerak lompatan
ing lincah, dihindarinya setiap serbuan debu ke
wajahnya Sebenarnya, Cebol Bermuka Merah berniat
melumpuhkan Pendekar Slebor secepatnya, dengan
melancarkan serangan licik. Namun karena siasatnya
dapat dimentahkan, mau tak mau dia hanya bisa
memanfaatkan kerepotan Pendekar Slebor dalam
menghindari terpaan debu.
Saat Pendekar Slebor berkelit ke kiri, kaki pendek
Cebol Bermuka Merah mengejarnya dengan sampuan
bertenaga dalam penuh. Kembali debu berwarna coklat
berterbangan ke udara. Sementara Andika sendiri sudah
bersalto kebelakang.
Delapan tombak dari tempat lawan, pendekar
muda ini berdiri tenang. Kedua tangannya terlipat di
depan dada, seolah menantang untuk diserang kembali.
Seraya menggeleng-gelengkan kepala, diejeknya Cebol
Bermuka Merah. "Heiii"! Apa kau saudara sepupu ayam betina"
Mereka |uga suka mandi dengan debu sepertimu...."
Tidak lucu, Orang Asing!" hardik Cebol Bermuka Merah
yang telah bangkit kembali.
Tidak lucu" Kalau tidak lucu, kenapa bisa
tertawa" Nah Sekarang lihatlah aku tertawa. Hua ha
ha...!" cecar Andlika.
Pipi lelaki cebol yang merah semakin merah,
mendengar cemooh Andika. Dan itu sudah cukup untuk
mendorong keinginannya untuk mengerahkan jurus
yang lebih hebat.
"Terimalah jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntun
Bunga'! Hiaaah!"
Cebol Bermuka Merah meluruk ke arah Pendeka
Slebor. Kakinya tidak dipergunakan untuk berlari, tapi
digantikan tangannya.
Lagi-lagi Andika dibuat terpana oleh keanehan
jurus Cebol Bermuka Merah. Tak disangkanya kalau d
negeri orang-orang bermata sipit itu, akan menemui
lawan yang memiliki jurus ganjil dan lucu. Selucu bentuk
tubuh pemiliknya. Namun demikian tampak sekali ke
ganasan serangan dari jurus tersebut.
Andika bisa menilai seperti itu, saat Cebol
Bermuka Merah sudah tiba di dekatnya sambil
meruntuhkan ter jangan-terjangan kelima bagian tubuh
yang mematikan. Jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntum
Bunga' memang memusatkan sasaran serangan pada
lima titik mematikan di tubuh lawan. Hal itu bisa
diketahui Pendekar Slebor dari serangan lawan yang
selalu mengarah ke bagian selangkangan, jantung, buah
pinggang, dan tenggorokan.
Sepasang tangan Cebol Bermuka Merah yang dija
dikan kaki memusatkan serangan pada bagian bawah
Dengan menghentakkannya, tubuh lelaki cebol itu
terangkat. Maka selang waktu yang demikian singkat
kedua tangannya serempak menohok ke bagian
pinggang Pendekar Slebor. Bagi seorang pendekar
kelas atas di negerinya, serangan seperti itu tak
terlalusulit dikan daskan. Dengan menurunkan kedua
langan bersamaan Andika sudah mampu menepis
tusukan jari-jari Cebol Bermuka Merah yang hendak
memecahkan sepasang buah pinggangnya.
Tapi serangan laki-laki cebol itu tidak berhenti
begitu saja. Kakinya yang masih melayang, langsung
mengarah ke kerongkongan dan dada Pendekar Slebor.
Kecepatan gerak dua kaki yang menuju dua sasaran,
sempat membuat Andika terperangah
Sayang, Cebol Bermuka Merah tidak pernah
mengira kalau lawan yang dihadapinya adalah ksatria
tangguh tanah Jawa Dwipa yang memiliki kecepatan
sulit dipercaya. Begitu ujung kedua kaki itu nyaris
hendak menjebol kerongkongan dan dada kiri, sepasang
tangan Andika tiba-tibasaja sudah mencengkeram
pergelangan kaki.
Wajah Cebol Bermuka Merah yang berada di
bawah, terperangah tak tanggung-tanggung menerima
kenyataan itu. Bagaimana mungkin tangan lawan bisa
berpindah begitu cepat. Bahkan lebih cepat dari
kerdipan matanya" Dan sebelum rasa herannya
terjawab, tubuhnya terasa terayun ke atas.
"Hih!"
Terdengar hentakan napas Andika. Rupanya,
Pendekar Slebor mencoba melempar lawan ke udara.
Maka seketika tubuh buntal Cebol Bermuka Merah pun
melayang. Sesaat kemudian, luncuran tubuhnya terhenti
tiba tiba. Karena, ikat pinggang kain miliknya tetap
dicengkeram Pendekar Slebor kuat-kuat.
"Hekh!"
Mulut lelaki botak itu melepas keluhan tertahan.
Mill mya yang sipit terbelalak tanpa bisa membesar.
Perutnya terasa sedang dijepit keras oleh ikat
pinggangnya sendiri. Bahkan disusul rasa sakit yang
menyerang hingga ke rongga tenggorokan ketika Andika
menohok pusarnya sedalam satu jari.
"Masuk! Hua ha ha...!" teriak Pendekar Slebor
kegirangan. Cebol Bermuka Merah sendiri menjulurkan lidah
nya keluar, menahan rasa mual yang tak
terhingga. *** 2 "Andika, tahan!"
Tiba-tiba sebuah suara mencegah terdengar jauh
di lu-lakang Pendekar Slebor. Seketika Andika langsung
bisa menyimpulkan kalau teriakan tadi milik Chin Liong.
Entah kcnapa, kawannya itu menahan pertarungan. Tapi
yang pasti, tubuh cebol lawannya langsung dilempar
seperti karung beras ke atas tanah.
"Kenapa kau begitu usil menghentikan aku meni
mang-nimang bayi ajaib itu?" gerutu Andika, ketika Chin
Liong berlari tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Dan kenapa kau begitu ceroboh bertindak"!"
bentak Chin Liong, agak kesal. Wajahnya memperlihatkan kesungguhan yang dalam. "Dialah
orang yang kumaksud sebagai penghubung kita kepada
Putri Ying-lien!"
"Tanya pada si Botak itu! Siapa yang ceroboh
bertindak"! Aku sendiri sudah berusaha ramah. Tapi dia
malah memperlakukanku seperti kucing buduk yang
mcncuri daging Bahkan membentak-bentak seenak
nya," sergah Andika, membela diri.
Saat bicara, mata Pendekar Slebor membelalak-
belalak dongkol. Dia ingat pada sikap Cebol Bermuka
Merah yang begitu angkuh.
"Baik, baik. Mungkin salah paham," tutur Chin
Liong Akhirnya. Dia memang berusaha mengalah pada
Pendekar keras kepala itu. "Kini mari kuperkenalkan
pada Chia-ceng, si Cebol Bermuka Merah adalah
julukannya."
Dihampirinya Chia-ceng yang sedang sibuk
menepuk-nepuk debu yang mengotori pakaian.
"Aku sudah tahu julukannya!" sungut Andika
"Yang belum kutahu, adalah namanya. Siapa namanya
tadi" Bonceng?"
"Chia-ceng," ulang Chin Liong.
"Ooo. Nama bagus.... Nama bagus. Tapi,
menurutku lebih bagus Bonceng."
Andika segera menyusul Chin Liong mendekati
Chia-ceng. Setelah dekat, tangannya disodorkan, untuk
mengajak salaman.
"Aku Andika," Pendekar Slebor memperkenalkan
diri. Selaku ksatria sejati, tidak ada rasa dendam
sedikit pun di hati Andika. Padahal, dia sempat dibuat
kesal oleh lelaki itu.
Chia-ceng menyambut juluran tangan Andika. Kini
kedua orang itu bersalaman. Sementara Pendekar
Slebor melepas senyum sebagai salam perkenalan, si
Cebol Bermuka Merah malah menyeringai. Bukan
karena masih gusar, tapi karena perutnya masih terasa
mulas tertotok jari Andika.
Usai perkenalan, Chin Liong segera mengajak
Chia ceng agar segera mengantar mereka menemui
Putri Ying-lien.
*** Di tepi selatan kota Yingtienfu, terdapat kuil
terbengkalai berusia sekitar tujuh ratus tahun. Karena
begitu lama tak dipergunakan, hingga nyaris
dilupakan orang. Apalagi, letaknya juga amat tersembunyi, di antara himpitan pepohonan hutan lebat.
Tak banyak orang tahu nama kuil itu. Demikian
juga Ietaknya yang pasti. Segelintir orang yang tak
sengaja menemukannya, menyebutnya Kuil Peraduan
Bulan. Disebut begitu, karena setiap kali bulan purnama
hadir mengisi cakrawala, selalu saja menghilang di balik
bukit itu. Dari kejauhan, kubah Kuil Peraduan Bulan me
nyembul di antara pucuk pepohonan. Letak tanahnya
memang lebih tinggi daripada yang lain. Bentuk
kubahnya bcrsusun dua. Dan yang paling puncak,
berupa limas yang pada masing-masing ujungnya
meruncing ke atas seperti tanduk.
Andika bersama Chin Liong dan Chia-ceng tiba di
sana, tcpat ketika malam baru menjelang. Lembayung
yang tersaput warna jingga, kian pupus di ujung kaki
langit. "Kita telah tiba," jelas Chia ceng, ketika mereka
sudah berdiri di depan gerbang kuil yang dipenuhi
gerombolan alang-alang setinggi paha.
Pendekar Slebor langsung menyapukan pandangan ke beberapa tempat. Tapi yang ditemuinya
hanya suasana yang tidak nyaman. Tembok gembur
yang sudah dilimuti lumut. Papan nama kuil yang sudah
tak jelas lagi tulisannya. Juga, bangunan kuil yang
terlihat kusam.
"Katamu, kita akan bertemu seorang putri. Kupikir,
kita akan menemuinya di istana. Tapi, kenapa malah
dating ke kandang dedemit?"rungut Andika pada Chin
Liong. "Ini bukan istana Putri Ying-lien, tapi tempat
persembunyiannya," sahut Chin Liong datar.
"Kenapa mesti bersembunyi?" tanya Andika,
penasaran. "Nanti akan kujelaskan," ujar Chin Liong lagi.
"Kenapa tak sekarang saja?" desak Andika, saat
mu lai memasuki pelataran kuil.
"Kenapa mulutmu jadi seperti perempuan?" selak
Chia-ceng, kesal mendengar kecerewetan pemuda yang
baru dikenalnya.
Dikatakan seperti itu, Andika hanya cengar-cengir.
Sebelah alisnya diungkit-ungkit ke arah Chia-ceng.
Mereka terus memasuki bangunan tua yang
terasa lembab ini. Kini, mereka tiba di ruang besar yang
dulu nya dipakai sebagai tempat pemujaan.
Di tengah ruangan berlantai pualam kusam,
tampak memancar cahaya kemerahan dari sebuah api
unggun. Di satu sisi api unggun, terlihat seorang wanita
cantik duduk melipat lutut. Tak seperti orang Tiongkok
umum nya, matanya tidak tampak sipit. Tapi, itu
mungkin karena kelopak matanya dilengkapi bulu yang
lentik dan hitam. Hidungnya yang mancung membelah
kedua pipi yang halus. Di pangkal hidungnya terdapat
alis melancip pada ujung-ujungnya. Dengan bibir merah
merekah, semakin sempurna saja wajah wanita ini.
Sementara, sapuan cahaya merah api unggun
menciptakan kesan kesayuan di kulit halus wajahnya.
Dialah Putri Ying lien.
Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, penam
pilan Putri Ying lien amat bersahaja. Rambut
panjangnya hanya diikat buntut kuda, tanpa pernik-
pernik yang biasa dipakai para wanita pembesar
Tiongkok. Demikian pula pakaiannya, yang hanya
berupa jubah panjang warna hijau berhias lukisan bunga
teratai. Sedang pakaian lapisan dalamnya berwarna
kuning gading, memanjang dari pangkal lengan hingga


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke ujungnya. "Salam hormat kami, Tuan Putri," hatur Chin
Liong, ketika telah berada sekitar tiga-empat tombak dari
wanita anggun itu.
Chia-ceng juga memberi hormat. Kini kedua lelaki
ini tampak menyatukan kedua tangan di bawah wajah
dengan mata terpuruk ke lantai. Sementara, Andika
hanya berdiri santai sambil memperhatikan kedua lelaki
itu. Dan ketika Chin Liong melirik Andika, diberinya
isyarat dengan lirikan. Itu dilakukan agar Pendekar
Slebor juga ikut menghaturkan hormat. Tapi sungguh
keterlaluan, nyatanya Andika malah ikut melirik ke
arahnya. "Bagaimana tugasmu, Chin Liong?" tanya Putri
Ying lien, membuat Chin Liong tidak mempedulikan
sikap masa bodoh Andika.
"Sebelumnya aku mohon maaf, Putri. Aku telah
berusaha semampuku, namun nyatanya tetap gagal,"
Chin Liong memulai laporannya.
"Kau tidak berhasil mendapatkan benda Iangit,
gagang pedang pusaka, dan kain pusaka itu. Kini,
semua nya berada di tangan saudara kembarmu," tutur
Putri Ying lien, amat tenang tanpa sedikit pun kegusaran
di wajahnya. Ching Liong tersentak, langsung mengangkat
wajah. Hatinya agak terkejut, karena Putri Ying lien telah
mengetahuinya. Padahal, dia belum lagi menceritakan.
Bahkan pada Chia-ceng sekali pun.
"Aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu,
karena beberapa orang kita melaporkan, bahwa telah
melihatmu beberapa waktu lalu. Tapi aku menduga,
lelaki yang dilihat mereka adalah Chin Chung, saudara
kembarmu!. Apalagi, saat itu kau belum juga datang
memberi laporan. Dan waktu kau mengatakan gagal
tadi, aku bisa langsung mengetahui kalau Chin Chung
telah mendahuluimu, membawa benda-benda pusaka
itu," jabar Putri Ying-lien, seperti tahu keheranan Chin
Liong. "Memang benar begitu, Putri," aku Chin Liong
dengan segumpal rasa bersalah menggelayuti benak
"Untuk itu, aku bersedia menerima hukuman apa saja.'
Putri Ying lien menggelengkan kepala, seraya
menebar sebaris senyum menawan. Dan ini membuat
Andika tak sempat berkedip, karena terpesona.
"Kau tak melakukan kesalahan apa-apa, Chin
Liong. Bukankah kau telah berusaha sebaik-baiknya"
Kegagalan bisa terjadi pada siapa saja. Dan itu bukan
selalu berarti kesalahan," kata Putri Ying lien, bijak.
Kali ini, Andika terpesona oleh keindahan yang
terpancar dari jiwa Putri Ying lien. Sungguh wanita yang
nyaris sempurna!
"Sekarang, maukah kau perkenalkan pemuda
yang bersamamu?" tanya Putri Ying lien, pada Chin
Liong. "Lelaki yang hersamaku ini adalah seorang
pendekar ternama di tanah Jawa Dwipa, Putri.
Namanya, Andika. Di negerinya, dia amat tersohor
dengan julukan Pendekar Slebor," tutur Chin Liong,
memperkenalkan Andika.
Mendengar julukan Pendekar Slebor disebutkan,
Putri Ying lien mengembangkan senyum lebar.
"Pendekar Slebor?" tanya wanita anggun itu agak
geIi. Kelihatannya merasa lucu mendengar julukan
seorang pendekar seperti itu.
Lalu, Chin Liong menceritakan keterlibatan Andika
dengan peristiwa Pusaka Langit. Sampai akhirnya,
mereka bertemu dalam satu pertarungan maut akibat
fitnahan Chin Chung.
"Kini dia bersedia mengulurkan tangan untuk kita,
Putri," kata Chin Liong, mengakhiri ceritanya.
"Tuan Andika," sebut Putri Ying lien, setelah
mengangguk sesaat. "Sungguh suatu hal yang amat
kami yukuri pada Thian* karena Tuan sudi membantu
kami. Bagi kami sendiri, itu menjadi sebuah kehormatan
besar...."
Sementara Putri Ying lien menyambung kalimat
demi kalimat dalam berbasa-basi. Andika terus menatap
wajah Putri Ying-lien lekat-lekat. Manik matanya seperti
terpaku tak bergerak di wajah jelita itu. Saat
memperhatikan begitu, Andika menemukan suatu
kejanggalan. Mata indah wanita itu tampak begitu kaku,
dan jarang sekali bergerak. Manik matanya seperti tetap
tertuju pada satu titik. Kenapa dengan matanya" Tanya
hati Andika. "Namun begitu," lanjut Putri Ying-lien. "Chin
Chung adalah lelaki sesat yang memiliki kesaktian tak
tertandingi di penjuru kota Yingtienfu. Bahkan, dia
termasuk tokoh jajaran atas di negeri ini. Bukan kami
merendahkan kemampuan Tuan. Tapi, kami tak ingin
Tuan hanya menjadi korban sia-sia kebiadabannya."
"Chin Chung telah melakukan kejahatan keji di
negeriku, Putri Ying-lien. Diperlukan atau tidak, aku
tetap akan menuntut tanggung jawabnya atas kebiadaban yang telah dilakukannya," putus Andika
tegas. Sebenarnya ada tekanan aneh ketika Putri Ying
lien menyebut nama Chin Chung. Malah dia seperti
terpaku. Dan seketika, ingatannya kembali ke masa-
masa pahit yang pernah dialaminya.
*** Beberapa tahu lalu, setelah berhasil menyelamat
kan putri junjungannya, Chia-ceng langsung membawa
Putri Ying-lien ke Soochow untuk dititipkan pada Rahib
Mata Elang yang berasal dari tepi kota Soochow. Kota
itu terletak di kawasan tenggara negeri tirai bambu.
Sejak saat itu, Putri Ying-lien menjadi murid Rahib
Mata Elang. Sebagai anak yang pandai dan berbakat
Putri Ying lien muda begitu pesat menyerap ilmu-ilmu
yang diberikan Rahib Mata Elang. Baik ilmu bela diri
kesaktian, maupun ilmu-ilmu rohani.
Tiga tahun berselang, mendadak seorang anak
lelaki muncul di tempat latihan Putri Ying-lien di sebuah
pelataran di tengah Hutan Bambu Kuning. Anak itu
begitu kumuh dan kotor, seperti telah tersesat berhari-
hari. Anak kecil yang ternyata bernama Chin Liong itu
keluarganya telah dibantai gerombolan pemberontak
Saat itu, Chin Liong bersama saudara kembarnya,
melarikan diri dan tiba di Hutan Bambu Kuning. Di sana
mereka diburu sekawanan serigala, hingga terpaksa
terpisah. Lalu Chin Liong akhirnya tiba di tempat latihan
Putri Ying-lien dan Rahib Mata Elang yang kemudian
diangkat murid.
Menginjak usia tujuh belas tahun, Putri Ying lien
telah begitu baik mengenal Chin Liong. Keakraban
keduanya membangun ikatan kasih sayang satu sama
lain, sampai-sampai, Putri Ying lien sudah menganggap
Chin Liong adiknya sendiri. Tapi, lain bagi Chin Liong.
Justru dia menyayangi kakak seperguruannya, karena
benih cinta pertama yang bersemi di hati.
Dan suatu hari seusai latihan, mereka bersantai
berdua di sebuah lembah di tepi Hutan Bambu Kuning.
"Apa kau merasa hidup ini terlalu kejam, Chin
Liong?" tanya Putri Ying Lien. "Apa maksudmu?" Chin
Liong balik bertanya.
Pemuda itu segera mendekati kakak seperguruan
nya yang duduk pada sebuah kursi kayu dari batang
pohon. Dia tahu, Putri Ying lien hendak membicarakan
sesuatu yang sungguh-sungguh. Itu terlihat dari bias
wajahnya. "Dalam usia muda, aku mesti kehilangan seluruh
orang-orang yang kucintai. Ibuku, ayahku, saudaraku.
Mereka mati saat aku benar-benar membutuhkan
kehadiran dan kasih sayang mereka," papar Putri Ying
Lien murung. Chin Liong menarik napas berat dan sarat.
"Bukan hanya kau yang mengalami nasib seperti
itu. Aku juga demikian," kata Chin Liong perlahan. "Tapi,
Aku sama sekali tak ingin menyalahkan hidup ini. Justru
yang kusalahkan adalah para pelakon hidup itu sendiri
Merekalah yang telah merampas kebahagiaanku
dengan membunuh keluargaku...."
Putri Ying Lien melirik Chin Liong yang kini duduk
di sisinya. "Kau tak mau menyalahkan hidup, karena kau
takut menyalahkan Thian tanya gadis itu, sedikit ingin
tahu alasan adik seperguruannya.
"Apa kau bisa memisahkan hidup dan Thian. Bui
kankah hidup dan kehidupan adalah perwujudan Nya
Maksudku, Dia lah yang memiliki hidup. Bagiku,
menyalahkan hidup berarti menyalahkan Dia," jelas Chin
Liong. "Mungkin kau benar," ucap Putri Ying lien lagi.
"Tapi, di mana keadilan hidup" Di mana keadilan-Nya,
kallau kita harus menderita seperti itu?"
"Kau tahu, seseorang yang hendak mencapai
tingkat ilmu tertentu, harus lebih dahulu menjalani ujian.
Bukankah guru kita pun memperlakukan kita seperti
itu?" Putri Ying lien menatap Chin Liong lekat-lekat
dengan sepasang bola mata menawan, yang jarang
dimiliki gadis Tiongkok lain.
"Maksudmu, Dia ingin memberi kita sesuatu yang
besar. Dan agar siap menerima pemberian yang besar,
kita lebih dahulu diujinya?"
"Aku rasa begitu. Dan aku yakin begitu," jawab
Chin Liong, singkat.
Putri Ying lien terdiam dengan kepala tertunduk
dalam. Barangkali dia sedang merenungi perkataan
bijak adik seperguruannya.
"Tapi, aku tak tahan hidup tanpa orang-orang
yang kucintai," keluh gadis itu seperti tak ditujukan pada
Chin Liong. Chin Liong tersenyum tipis.
"Kau ingin tahu keadilan Nya?" tanya Chin Liong.
Putri Ying lien tak menjawab. Hanya ditatapnya
wajah Chin Liong penuh harap.
"Dia pun menggantikan orang-orang yang kita
cintai Kini, kau memiliki guru dan aku...," kata Chin
Liong!", sebelum gadis itu berkata-kata.
Putri Ying lien mengangguk lamat. Dalam hati, dia
merutuk, betapa bodohnya karena begitu lambat
menyadarinya. Disumpahinya diri sendiri. Benar kata
Chin Liong. Bukankah dia kini memiliki orang-orang
yang dicintai dan mencintainya, seperti keluarga sendiri"
Saat itulah matanya menampakkan sebaris garis bening
memanjang. "Kau sunggu-sungguh menyayangiku?" bisik Putri
Ying lien haru.
Chin Liong tak bisa menjawab secepatnya.
Seketika dadanya diusik debur berguruh. Ada yang ingin
diungkapnya saat itu juga.
"Aku..., aku bahkan mencintaimu, Putri Ying
lien...," aku Chin liong terbata.
"Apa maksudmu?" tanya Putri Ying lien tak
mengerti. "Aku mencintaimu, Putri Ying lien. Apa kau tak
mengerti dan tak merasakannya?"
Putri Ying lien menggeleng-geleng perlahan,
setelah lama memperhatikan wajah terpana.
"Tidak, Chin Liong. Itu tidak boleh terjadi. Kau
harus menjadi adikku. Bukan kekasihku," tolak gadis itu
halus "kenapa" Apa aku salah bila mencintaimu lebih
dari sekedar adik" Apa itu suatu dosa?" sergah Chin
Liong, tak dapat menerima ucapan terakhir Putri Ying
lien. "Bukan itu."
"Lalu apa?" desak Chin Liong.
"Entahlah. Aku hanya ingin menganggapmu
sebagai adik," jawab Putri Ying lien, tak memuaskan hati
Chin Liong sedikit pun.
Dengan kecewa, Chin Liong bangkit dari
duduknya Dengan gontai, dia berjalan meninggalkan
Putri Ying lien sendiri. Kepalanya merunduk dalam
seolah telah menerima kekalahan yang menyakitkan.
Setelah Chin Liong lenyap ditelah kerimbunan
rumpun bambu, Putri Ying lien terpaku lama. Seluruh
kata di mulutnya terkunci meski hatinya terus berujar
gelisah. Dia takut telah menyayatkan luka di hati
pemuda itu. Keterpakuannya berakhir, ketika seseorang terdengar menyeruak rumpun bambu di belakangnya.
"Ah, Chin Liong! Kupikir siapa," sapa gadis itu.
"Kau tak sakit hati dengan kata-kataku tadi, kan?"
Secara tidak langsung Putri Ying lien mencoba
meminta maaf pada adik seperguruannya.
Pemuda yang baru saja menginjak usia cinta itu
malah menatapnya lama dengan sinar mata yang sulit
dimengerti Putri Ying lien. Matanya memang menyimpan
keterpesonaan, layaknya orang jatuh cinta. Tapi, disana


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga menyembul sinar jalangyang luput dari pengamatan
Putri Ying lien
"Maafkan aku," ucap Putii Ying lien pelan, sambil
memutar tubuhnya kembali Diselingi tarikan napas berat
dia hendak menyambungnya. Tapi, tiba-tiba saja
pemuda belia di belakangnya menyergap kasar.
Tindakan itu benar-benar di luar dugaan Putri
Ying-lien. Sehingga meski ilmu bela diri sudah cukup
baik yang dikuasainya, tetap tak bisa menghindari atau
melepaskan diri dari sergapan itu.
Menyadari dirinya dalam keadaan bahaya,
sementara dalam hati dia amat bingung terhadap sikap
Chin Liong yang tiba-tiba berubah tak sopan, Putri Ying-
lien berusaha melepaskan diri dari sergapannya. Sekuat
tenaga dia berontak. Namun, pemuda di belakangnya
ternyata jauh lebih kuat.
Rasa bingung membuat Putri Ying-lien memutuskan untuk segera melakukan perlawanan.
Dengan untung-untungan, diinjaknya kaki pemuda itu.
Kakinya memang berhasil mengenai jari kaki pemuda
yang dianggapnya Chin Liong. Tapi, untuk itu dia harus
menerima dorongan kasar dari belakang.
Bruk! Putri Ying-lien terjatuh. Seketika kepalanya
membentur batu besar di tanah. Dan karena benturan
amat keras menghajar belakang kepalanya, maka saat
itu pula kesadarannya hilang.
Ketika sadar, Putri Ying-lien merasakan seluruh
tubuhnya sakit. Bukan hanya pada kepalanya, tapi juga
bagian kegadisannya. Segera saja disadari kalau
saudara Seperguruannya telah menodainya. Itu benar-
benar menyakitkan. Terlebih, dengan kebutaan yang
dialaminya akibat benturan terlalu keras di belakang
kepala. Dengan terseok-seok serta meraba-raba, Putri
Ying lien pulang ke pondok gurunya. Padahal, saat itu
Rahib Mata Elang sedang pergi ke ibu kota untuk suatu
urusan. Setibanya di pondok, gadis itu menerjang pintu ma
suk. Pintu kain berbingkai bambu dijadikan sasaran
kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berbaur
menjadi satu. Di dalam pondok, dia berteriak-teriak
beringas. "Chin Liong! Di mana kau! Jangan sembunyi,
Pengecut! Akan kucabik-cabik tubuh busukmu!"
Sementara, orang yang dicari memandangnya
penuh keheranan dan keterkejutan. Hati-hati sekali di
bangkit dari semadinya. Lalu, dengan hati-hati pula di
hampirinya Putri Ying-lien.
"Kenapa kau, Putri Ying-lien," tanya Chin Lionj
tanpa berani mendekat pada gadis yang sedang diamuk
amarah ini. "Ke... kenapa penglihatanmu. Dan... dan
kenapa kau berjalan tertatih-tatih seperti itu?"
Bersama isak tertahan, Putri Ying-lien menggigit
bibirnya sendiri. Cuping hidungnya memerah dan
bergerak-gerak karena menahan tangis.
"Bajingan kau! Kau sudah berbuat laknat padaku
tapi kini bertanya kenapa"!"
"Aku sungguh tak mengerti maksudmu, Putri Ying
lien," sangkal Chin Liong. Tangannya terangkat-angkat
di depan tubuh, memperlihatkan kebingungan.
"Bajingan!" maki Putri Ying-lien lagi. Seketika
tangan kanannya menyampok ke depan tepat mengenai
wajah Chin Liong.
Plak! "Ah! Apa-apaan kau ini Putri Ying-lien! Apa kau
tak bisa menjelaskan dulu duduk persoalannya dengan
kepala dingin padaku" Kalau aku punya salah.
Katakanlah. Setelah itu, ceritakan kenapa kau bisa jadi
begitu!" bentak Chin Liong. Kemarahannya ikut
terpancing setelah merasakan pedas di pipinya.
"Masih juga berpura-pura! Kau telah menodaiku,Chin Liong! Aku saja! Dan akibat perbuatanmu, kini mataku tidak bisa melihat lagi...!"
Di batas itu, benteng kewanitaan Putri Ying lien
tak bisa membendung tangisnya.
"Kau kejam, Chin Liong! Tidakkah kau bisa
menerima jiwa besar kalau aku tidak bisa mencintaimu?" kata Putri Ying lien bergetar.
"Aku?" tanya Chin Liong, nyaris bergumam.
"Siapa lagi"!"
Chin Liong terpaku. Pikirannya kini terlempar pada
suatu hal. Ingatannya seketika bergeliat. Dia ingat pada
saudara kembarnya yang terpisah di Hutan Bambu
Kuning beberapa tahun lalu.
"Jadi Chin Chung belum mati...," bisik Chin Liong.
Sctelah itu, Chin Liong membujuk Putri Ying-lien untuk
lebih tenang. Agak susah payah, akhirnya gadis malang
itu bisa ditenangkan juga. Lalu pemuda itu menceritakan
tentang saudara kembarnya yang selama ini tak pernah
diceritakannya pada Putri Ying-lien. Bahkan pada
gurunya sendiri, Rahib Mata Elang. Alasannya, karena
Chin Chung dianggap sudah mati. Dia tak ingin
kesedihannya timbul jika mengingat Chin Chung.
*** "Sebenarnya kami amat membutuhkan seorang
yang sanggup menandingi kesaktian Chin Chung.
Apalagi, kini dia telah menguasai Pusaka Langit
yang mampu melipat gandakan kekuatannya. Sebelum
memiliki benda langit itu, tingkat kesaktiannya setaraf
denganku. Setelah benda itu dimiliki, maka bisa jadi
kepandaiannya berada tiga belas tingkat di atasku," kata
Putri Ying-lien, setelah lama terdiam dengan ingatannya
kembali ke masa lalu.
Bagi telinga Andika, ucapan terakhir Putri Ying lien
terdengar seperti sebuah pengajuan uji tanding.
"Jadi maksud, Putri?" tanya Andika ingin langsun
ke inti permasalahan.
'Maaf sebelumnya, Tuan. Aku terpaksa mengujimu
dulu," kata Putri Ying-lien, menuntaskan maksudnya.
Andika melirik Chin Liong, seakan meminta meir
pertimbangan. "Maaf, Putri. Kurasa tidak perlu. Aku amat tahu
tentang pendekar kita ini. Di negerinya, orang-orang
persilatan mengakui kalau kesaktiannya sulit tertandingi.
Kecepatannya bagai hantu. Dan kekuatannya bagai
naga langit. Setelah Chin Chung menguasai Pusaka
Langit, harapan kita mungkin hanya pada dirinya, selak
Chin Liong. Selaku orang yang langsung memohon bantuan
pada Andika dia merasa tak enak hati kalau kemampuan
pendekar muda itu diragukan.
"Namun begitu, aku belum yakin kalau belum
dibuktikan, Chin Liong," putus Putri Ying-lien tegas.
Andika akhirnya hanya bisa mengangkat bahu.
Didahului helaan napas, matanya menatap tajam Putri
Ying-lien. 'Baiklah. . Aku menerima keputusanmu."
Putri Ying-lien mengembangkan senyum. Matanya
tetap tak bergeming.
"Apa aturan mainnya?" tanya Andika.
"Kalau kau mampu mengalahkanku
dalam sepuluh jurus aku akan terima," aju Putri Ying-lien.
"Kenapa tak lima jurus saja?" tantang Andika.
Sementara, Cebol Bermuka Merah di sisi kiri
Pendekar Slebor mendadak terperangah. Tak pernah
dinyana kalau pemuda yang tergolong hijau usianya,
begitu berani menantang seorang pendekar wanita
Tiongkok yang disegani, hanya dalam lima jurus.
Apakah pemuda ini mungkin sudah gila"
Sesaat wanita jelita yang masih duduk menekuk
lutut di sisi perapian itu terdiam.
"Apa kau yakin?" ungkap Putri Ying-lien kemudian. "Yap,"
jawab Andika mantap, seraya mengangguk. *** 3 Andika dan Putri Ying-lien naik ke satu altar
pemujaan yang berupa panggung di salah satu sudut
ruangan. Altar batu itu sebenarnya tidak cukup lebar
untuk satu pertandingan. Dalam lima jurus sesuai
kesepaktan, siapa yang terlempar dari tempat itu
dianggap sebagai pihak yang kalah.
Kini mereka saling berhadapan dalam jarak tiga
tombak. Dan sampai saat ini, Andika masih saja
menyangsikan bola mata Putri Ying-lien yang jarang
sekali bergerak seperti orang lain. Timbul kecurigaan
dalam dada Andika. Apalagi ketika menggerakkan
tangan perlahan ke depan.
"Tunggu.. tunggu!, Aku tak mungkin menghadapi
wanita buta! Dimana wajahku akan kutaruh"!"
Sementara Putri Ying Lien di depannya malah
tertawa. "Jangan khawatir. Mataku memang buta. Tapi,bisa
sehebat orang-orang yang melek," kata wanita cantik itu
ringan. Kalimat Putri Ying-lien tadi seperti menggiring
ingatan Andika, saat pertama kali masuk ke ruang ini.
Saat itu Putri Ying lien tahu kalau dia berdiri di sisi Chin
Liong. Padahal, Chin Liong sendiri sama sekali belum
memperkenalkan pada Putri Ying-lien. Lalu, bagaimana
caranya dapat mengetahui"
Jadi, bagaimana?"
lontar Putri Ying-lien, membuyarkan ingatan di benak Andika.
"Aku tetap tak akan tega melayani wanita buta
sepertimu," sahut Andika, bersikeras.
Bagi Pendekar Slebor, bukan hal yang ksatria jika
mesti berhadapan dengan orang cacat. Apalagi seorang
wanita. Sementara Putri Ying-lien di depannya malah i.
"Anak muda cerewet! Kau tak perlu banyak mulut!
Jangan dipikir akan bisa mengalahkan Bidadari Buta
Bersayap Naga!" bentak Chia ceng. Laki-laki ini
memang sudah amat dongkol dengan bawelnya mulut
Andika. Jadi, julukan Bidadari Buta Bersayap Naga, Putri
Ying Lien?" tanya Andika.
, "Ya!" jawab Putri Ying-lien singkat "Kebutaanku ini
justru membuat namaku ditakuti. Apa kau juga takut
mendengar julukanku?"
Andika mengungkit sudut bibirnya. wanita ini
ternyata cukup keras kepala juga.
"Baik kalau itu maumu," ucap Andika seraya
menaikkan bahu, "Baik kalau itu maumu," ucap Andika,
seraya menaikan bahu. "Tapi jangan salahkan, kalau
lutut halusmu mencium lantai."
"Coba saja," tanggap Putri Ying-lien, menantang.
"Kau boleh menyerangku lebih dahulu," ucap
Andika lagi, menimpali tantangan Putri Ying-lien.
Putri Ying-lien tak mengulur waktu lebih lama lagi.
langsung diterjangnya Andika yang masih berdiri santai.
Tanpa ragu-ragu, dibukanya jurus yang menurutnya
bisa diandalkan. Jemarinya membentang dalam gerakan
tangan gemulai, bagai irama ombak. Di balik
kegemulaian itu tersimpan tenaga dalam tingkat tinggi,
yang mampu membelah dada seseorang dalam satu
sapuan. Tangan lentik Putri Ying-lien yang mengandung
maut, menyerbu lurus ke dada Andika. Siapa pun akan
dibuat kewalahan oleh kecepatan gelombang tangan
yang mulai menampakkan bayangan, saking cepatnya
Tapi, tidak bagi Pendekar Slebor!
Sekali melengos ringan ke sisi kanan saja,
Pendekar Slebor sudah membuat sapuan jemari lawan


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memakan angin. "Kau ini pendekar wanita atau penari?" cemooh
Andika, sambil memajukan bibir ke telinga Putri Ying-
lien. Putri Ying-lien yang mengandalkan ketajaman
telinga saat bertempur, segera mengibaskan satu
tangan samping. Punggung tangannya bergerak deras,
hendak menghajar wajah Andika.
Kali ini, Andika tidak berniat menghindar.
Pendekar Slebor ingin mengetahui, sampai di mana
tingkat tenaga dalam wanita itu. Untuk itu, dihadangnya
tangan indah ini dengan tangannya pula.
Des! Punggung tangan langsung Putri Ying-lien,
membentur pergelangan tangan Andika. Seketika timbul
bunyi cukup keras, pertanda dua kekuatan tangguh
telapak bertemu.
Andika mengira lawannya akan mengeluh kesakitan. Apalagi sebagian tenaga sakti warisan
Pendeki Lembah Kutukan sudah dikerahkan. Namun
kenyataan yang didapati jauh dari dugaan. Tak ada satu
erangan pun terlepas dari mulut indah Putri Ying-lien.
Dengan begitu, Andika bisa mengambil kesimpulan kalau lawannya memang pantas memiliki
nama besar seperti dikatakan si Cebol Bermuka Merah.
Dalam hati, Andika mau tidak mau memuji juga
kehebatan Putri Ying lien, meski sebelumnya meragukan kepandaiannya.
Dalam uji tanding ini, Putri Ying-lien rupanya
mengambil kendali serangan. Sejak awal, Pendekar
Slebor tak diberi kesempatan untuk balik menyerang.
Tapi, bukannya Andika tak bisa balas menyerang.
Sebagai pendekar kawakan berkesaktian tinggi, bisa
saja kesempatan sekecil apa pun dimanfaatkan. Hanya
saja, dia tak ingin melakukannya. Entah bagaimana, dia
jadi khawatir Putri Ying-lien akan mengalami cedera jika
mesti menerima hantamannya. Wanita itu ibarat karya
seni bernilai tinggi bagi Pendekar Slebor. Sedikit saja tak
boleh lecet, karena akan berkurang kecantikannya.
Putri Ying-lien rupanya menyadarinya. Maka dia
pun berusaha memanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan
ketangkasan seekor kijang betina, kembali Andika
digempurnya. "Hih!"
Sebuah sapuan kaki yang manis sekaligus
berbahaya dikirim Putri Ying-lien ke rusuk Pendekar
Slebor. Belum lagi tendangan itu mendarat pada
sasaran, sepasang tangannya yang membentang,
bergerak lurus ke satu titik. Dua sisi telinga Pendekar
Slebor tampak hendak ditumbuknya.
Deb! Wet! "Iyauo!"
Sambil berteriak kebodoh-bodohan,
Andika melempar tubuhnya ke belakang. Dia bersalto sekali,
untuk mematahkan tendangan Bidadari Buta Bersayap
Naga, sekaligus tumbukan kedua telapak tangannya.
Putri Ying-lien yang berjuluk Bidadari Buta
Bersayap Naga tak membiarkan Pendekar Slebor lolos
begitu saja. Selagi tubuh pemuda itu melayang lurus di
udara, kedua kakinya segera dihentakkan. Tubuh
Andika segera disusul dengan satu sergapan. Lalu
secepatnya kaki Pendekar Slebor disergap.
Andika terkesiap, menyadari kakinya kini dicengke
ram tangan Putri Ying-lien. Cengkeraman itu berusaha
dilepaskan dengan menghentakkan kuat-kuat. Dan
usahanya tampaknya sudah terlambat. Lawan wanitanya ternyata sudah lebih dulu mempererat
cengkeraman. Alhasil, keduanya melayang di udara seperti dua
mata rantai yang terhubung satu sama lain. Dan ketika
Pendekar Slebor menjejakkan tangan ke lantai altar,
Bidadari Buta Bersayap Naga justru meneruskan
luncuran tubuhnya dengan melempar kaki ke depan.
Sampai saat ini, Andika baru menyadari kalau
terlalu meremehkan wanita buta itu.
Sesaat berikutnya, Pendekar Slebor menyesali
keterlambatan sikapnya. Karena kini, dengan mudah
Putri Ying-lien memutar kaki kirinya satu lingkaran ke
bawah, menuju dada Andika.
Bukh! "Egkh!"
Andika mengeluh tertahan. Ulu hatinya kontan
terasa mual, tak tertolong. Tak hanya itu. Tubuhnya pun
terlempar bagai karung kering tak berarti keluar arena
pertandingan. Bruk! Satu debam cukup keras, tercipta manaka tubuh
Pendekar Slebor disambut lantai di luar altar. Kalau tadi
Andika bisa meledek lutut Putri Ying-lien mencium lantai,
kini justru lututnya yang mencumbu batu pualam ku-
sam itu. Bahkan lebih mesra.
"Hanya tiga setengah jurus!" seru Putri Ying-lien,
seperti meledek sesumbar Andika sebelumnya. "Bagaimana mungkin pemuda seperti ini akan mampu
mengalahkan Chin Chung" Aku yakin, dia hanya
mencari borok jauh-jauh ke negeri ini...."
'Tunggu dulu!" sergah Andika.
Pendekar Slebor segera bangkit terseok-seok,
sambil mengelus-elus dengkulnya yang berdenyut-
denyut. "Aku minta uji tanding ulang!" usul Andika ngotot
"Terus terang saja, tadi aku belum begitu sungguh-
sungguh." Putri Ying lien memamerkan barisan giginya yang
memikat. "Ah! Tidak ada aturan seperti itu! Kau kira
pertandingan tadi semacam permainan anak ingusan
yang bisa diulang?"
Mata Andika melotot sebesar jengkol, mendapat
tolakan itu. Dongkolnya bukan main mendengar
keputusan Putri Ying-lien. Dengan bersungut-sungut, dia
kembali ke atas altar.
"Ini tidak bisa kuterima! Kita harus bertanding
ulang!" rutuk Pendekar Slebor, benar-benar ngotot kali
ini. Sampai-sampai urat-urat di lehernya menonjol
keluar. 'Tidak bisa." Putri Ying-lien menggeleng. Kakinya
melangkah enang ke anak tanggang altar.
"Tak perlu lima jurus. Tiga jurus saja.'Aku pasti
bias menundukkanmu!" cecar Andika lagi.
Tidak bisa."
"Dua jurus?" desak Andika, tak mau menyerah.
Putri Ying-lien tetap menggeleng.
"Kalau begitu, berilah aku satu jurus saja untuk
mengalahkanmu...," ratap Pendekar Slebor mulai
memelas. Mirip bocah tolol meminta jatah ketupat.
Permintaan Andika tak dipedulikan Putri Ying lien.
Kakinya terus melangkah lambat ke anak tangga.
Kemudian dituruninya satu persatu dengan rabaan tumit
kaki. "Chin Liong! Ajak pemuda pecundang itu keluar.
Aku bukannya menghina. Tapi kenyataannya, dia
memang tidak dibutuhkan," ujar Putri Ying-lien,
setibanya di dekat Chin Liong.
Pedas telinga Andika mendengar perkataan Putri
Ying-lien. Didekatinya wanita jelita itu dengan langkah
terbanting-banting.
"Jangan sesombong itu, Ying-lien!" bentak
Pendekar Slebor tanpa embel-embel 'putri' lagi seperti
saat sebelumnya.
"Chin Liong!" seru Putri Ying-lien.
Dengan agak terpaksa, Ching Liong merengkuh
tangan Andika. Lalu, digiringnya pemuda keras kepala
itu keluar kuil.
"Satu jurus saja, Ying-lien!" teriak Andika sebelum
benar-benar diseret keluar oleh Chin Liong.
*** Malam kini bertandang ke angkasa kota Yingtienfu. Di atas sana, bulan membulat peniih. Tak
ada arakan awan kelabu berarti yang mengusik
singgasana sang Dewi Malam. Sementara barisan
bintang-bintang mengawal penampilannya.
Malam ini adalah hari kelima belas, bertepatan
dengan pesta lentera Cap Go Meh. Di jalan, kerumunan
orang terlihat. Masing-masing membawa lampu kertas
yang digantung pada sebatang bambu berhias.
Pesta rakyat yang cukup meriah ini tidak
mengusik keasyikan dua pemuda gagah di dalam satu
kedai makan. Mereka adalah Pendekar Slebor dan Chin
Liong. Setelah lelah seharian tadi melakukan perjalanan
untuk menemui Putri Ying-lien, mereka memutuskan
untuk mengisi perut sambil beristirahat sekadarnya.
Di salah satu sudut kedai makan, keduanya duduk
menikmati hidangan di atas meja. Saat itu, suasana
kedai bisa dibilang sepi. Hanya ada dua orang selain
mereka yang duduk di dekat pintu masuk. Maklum saja.
Keramaian Cap Go Meh menyedot para pengunjung
yang biasanya masih menyempatkan diri untuk
berbincang- bincang di sana.
Saat ini wajah Andika masih tampak kesal. Tentu
saja karena peristiwa siang tadi,saat dicundangi seorang
wanita buta! Bayangkan, Wanita buta! Bagaimana
hatinya tidak mendongkol setengah edan?"\
Kau masih ingin tahu, kenapa anak Raja seperti
Putri Ying Lien bersembunyi ditempat seperti itu?" tanya
Chin Liong, membuka percakapan.
Acuh tak acuhAndika menjumput sayuran matang
dengan sumpit. Setelah memasukkannya ke dalam
mulut, ditanggapinya dengan masa bodoh pertanyaan
Chin Liong. "Terserah kau."
"Sebenarnya dia adalah salah seorang keturunan
petapa sakti yang menemukan batu Pusaka Langit
pertama kali. Ayahnya, raja negeri ini dan merupakan
keturunan ketujuh dari sang Pertapa. Sewaktu Putri Ying
lien masih berumur lima belas tahun, terjadi perang
saudara untuk merebut kekuasaan dari tangan ayahnya.
Para pengkhianat berhasil membunuh keluarga kerajaan. Dan yang tersisa hanya Putri Ying lien, setelah
diselamatkan Chia-ceng yang hingga kini menjadi
pengasuh sekaligus pengawalnya...."
Chin Liong menghentikan cerita sesaat. Diteguk
nya arak dari cangkir keramik. Setelah menyeka sisa
arak di bibir dengan ujung lengan baju, dia siap-siap me
lanjutkan cerita.
"Kursi kekuasaan sampai saat ini masih diperebut
kan oleh pihakyang masih setia dengan kerajaan,
melawan para pengkhianat. Bergulirnya waktu hingga
lima belas tahun berlalu, tak mengubah keadaan itu.
Perang dan pertempuran masih sering terjadi di
beberapa tempat yang diperebutkan...."
"Lalu, kau hadir di pihak kerajaan. Sedangkan,
saudara kembarmu hadir di pihak Iawan?" selak Andika,
menduga. "Ya," desah Chin Liong amat berbeban. "Berat
sekali jika harus berhadapan dengan saudara sedarah
sendiri. "Tapi, aku tak bisa menolak panggilan negara."
Andika mengangguk-angguk. Bisa dirasakan
keprihatinan Chin Liong terhadap sikap saudara
kembarnya yang memihak para pengkhianat. Saat
seperti itulah Pendekar Slebor harus bersikap selaku seorang
sahabat yang sudi berbagi rasa dengannya. Ditatapnya
mata Chin liong lekat-lekat, seolah siap menerima cerita
dan keluh kesah pemuda Tiongkok itu.
Karena Chin Liong hanya diam sambi] mengetuk-
ngetuk meja dengan jari, akhirnya Andika mencoba ber


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya. "Lalu, apa kaitannya Pusaka Langit dengan huru-
hara di negeri ini?" tanya Pendekar Slebor seolah-olah
tak mengerti. Padahal Andika cukup paham arti penting benda
sakti itu untuk mendukung kemenangan pihak kerajaan.
Itu dilakukan untuk mengenyahkan kesedihan Chin
Liong. "Ah! Kau pasti sudah tahu Andika. Kau hanya
ingin coba agar aku tak berkecil hati dengan sikap Chin
Chung, bukan?"
Andika tertawa renyah. Ditepuk-tepuknya
punggung tangan pemuda Tiongkok itu.
"Ya... ya," kata Pendekar Slebor.
"Tentu saja benda itu amat berarti bagi perjuangan
kami " jelas Chin Liong, "Jika batu langit itu sudah
dijadikan mata pedang dan disatukan dengan gagang
pusaka, maka akan menjadi lambang kejayaan kerajaan
kami. Lebih dan itu, benda itu tentunya amat berperan
banyak dalam menentukan kemenangan perjuangan
kami. Jika Thian mengizinkan...."
"Ya! Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan," timpal
Andika dalam hati.
Sementara itu, tanpa ada yang tahu dua pasang
mata sedang menatap mereka tajam-tajam. Kedua
mata-mata itu terus menguping pembicaraan Andika dan
Chin Liong hati-hati. Mereka adalah dua lelaki yang
duduk di meja dekat pintu masuk.
*** 4 "Bagaimana menurutmu keputusan Putri Ying-lien
kemarin?" tanya Andika pada Chin Liong.
Saat itu keduanya tengah melangkah ke arah
tenggara. Mereka berjalan bersisian di suatu lembah
yang banyak ditumbuhi pepohonan. Memang, ada
seseorang yang mesti ditemui.
"Mengenai penolakannya terhadap uluran tanganmu?" balik Chin Liong, ingin memperjelas arah
pertanyaan kawannya.
Andika mengangguk.
"Tak perlu kau tanggapi. Kalau sikapku tetap
sebagai abdinya, tentu kau sudah kusuruh kembali ke
negerimu. Tapi aku amat tahu, siapa kau. Dan,
bagaimana kemampuanmu. Jika kupikir ada baiknya
tidak kuturuti dulu perintah Putri Ying-lien...."
"Ahaaa! Apa aku tak salah dengar?"selak
seseorang tiba-tiba dengan suara lantang menggelegar.
"Chin Liong, Pendekar Bermuka Dingin yang setia pada
kerajaan, ternyata masih menyimpan sifat membangkang juga!"
Seketika langkah Andika dan Chin Liong lantas
terhenti, Mereka berdiri tegak tanpa gerak. Hanya wajah
mereka menampakkan kesiagaan penuh.
"Aku kenal suara itu," bisik Chin Liong.
"Kurasa aku tidak kenal," timpal Andika agak
dungu. Bagaimana dia bisa mengenali suara yang baru
kali ini didengarnya"
"Si Pembawa Badai...," desis Chin Liong kembali,
menyebulkan satu julukanseseorang. Wajahnya tampak
memerah, menampakkan ketegangan memuncak dalam
dada. "Apa" Kau tadi bilang apa?" tanya Andika, tak
mengerti. "Orang itu adalah Si Pembawa Badai, salah
seorang 'datuk sesat yang tergabung dalam Empat
Penguasa Penjuru Angin. Mereka berempat pemegang
kendali napas dunia kaum sesat," tutur Chin Liong
penuh getaran. Tampaknya, nama yang baru saja
disebut tadi benar-benar nama besar yang menakutkan.
"Kau takut?" usik Andika.
"Aku bukan pengecut," tandas Chin Liong. "Aku
tahu, mereka memiliki kepandaianyang melebihi diriku
jika bergabung menjadi satu. Itu sebabnya, perasaan
gentar selaku manusia tetap ada dalam diriku. Tapi
kukatakan sekali lagi, aku bukan pengecut!"
Tak berapa lama kemudian, mereka melihat
seseorang muncul dengan cara memukau. Mula-mula
berhembus angin kuat dari arah munculnya orang yang
berjuluk Si Pembawa Badai. Begitu kencangnya tiupan
angin itu, membuat debu berhamburan dan dedaunan di
ranting-ranting pohon tersapu tanpa daya. Saat berikut
nya, angin makin menggila. Bisa saja Andika dan Chin
Liong terhempas berbarengan. Untung mereka segera
mengokohkan kuda-kuda.
Tak lama, muncul Si Pembawa Badai yang
meluncur di permukaan tanah dengan kedua kakinya.
Bagaimana dia melakukannya, Andika sendiri tidak
mengerti. Kedua kakinya tak terlihat bergerak sama
sekali. Seolah-olah, lelaki itu sedang berdiri pada
sebuah papan luncur tak terlihat.
Si Pembawa Badai adalah lelaki tua berusia lebih
dari seratus tahun. Tak hanya namanya yang
menghantui negeri itu selama tiga turunan. Penampilannya pun demikian menakutkan. Rambutnya
yang putih merata dan kaku, memanjang hingga
kebahu. Malah, sampai menutupi sebagian wajahnya.
Wajahnya pucat yang bagai mayat, tampak sudah
mengeriput. Matanya sudah begitu kelabu, tapi tetap
memiliki sinar keji. Tubuhnya yang kurus dan agak
membungkuk, terlihat tersengal- sengal menyeret
napas. Kekurusannya terlihat jelas karena mengenakan
jubah hitam kelam.
Orang yang baru pertama kali melihatnya, tentu
Pendekar Guntur 21 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Naga Sasra Dan Sabuk Inten 41
^