Pencarian

Pusaka Langit 3

Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Bagian 3


tentang kehebohan Pusaka Langit, sampai Ratna Kumala menceritakan semuanya.
Padahal sebelumnya, dia tidak mempercayai. Meskipun, beberapa kali bayangan
kejadian berapa waktu lalu terbersit samar dalam ingatannya.
Kalau di dalam air saja benda itu mampu melipatgandakan kekuatan seseorang, apa
lagi jika di daratan" Tentu orang yang memilikinya akan mampu membelah gunung
karang! Menyadari bahaya yang akan mengancam dunia persilatan bila benda pusaka itu
berada di tangan orang sebengis lelaki berbaju hijau, Andika memutuskan untuk
menghadapinya habis-habisan.
Dia tak mau sungkan-sungkan lagi melepas pukulan
pamungkasnya sekalipun. Maka tangannya cepat bergerak dari depan dada,
membentang ke samping dengan telapak terbuka lebar. Perlahan sepasang tangan
pendekar muda itu terangkat, lalu kembali ke depan dada. Setelah menyatukan
kedua telapak tangan, matanya terpejam. Sesaat berikutnya....
Wrrr...! Satu pukulan jarak jauh yang lebih kuat
dilancarkan Pendekar Slebor. Seperti serangan sebelumnya, pukulannya kali ini
pun menimbulkan gelembung-gelembung udara memanjang yang terbentang ke arah
orang berbaju serba hijau itu.
Bedanya, kali ini gelembung-gelembung udara itu lebih besar dan bergerak
berputar di sekitar tenaga pukulannya.
Orang berbaju serba hijau yang menyaksikan pukulan Pendekar Slebor berniat
mementahkannya.
Bahkan sekaligus menguji keampuhan Pusaka Langit yang terbungkus kain putih
tembus pandang di tangannya.
Bersamaan tindakan itu, Andika segera merang-seknya. Seketika sepasang kaki dan
tangannya dikayuh sekuat tenaga. Maka pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan membuat tubuhnya meluncur bagai seekor hiu memburu mangsa.
Di pihak lain, orang berpakaian serba hijau juga melakukan hal yang luar biasa.
Pukulan sakti Pendekar Slebor yang bisa meremuk redamkan bongkahan karang
sebesar kerbau, ternyata dapat dibelokkan ke arah lain dengan sabetan kain
berisi Pusaka Langit!
Pendekar Slebor tentu saja dibuat tersentak melihat kenyataan di depan matanya
barusan. Tapi karena tubuhnya sudah telanjur meluncur deras ke arah lawan, tidak dipedulikan
lagi kekuatan maha dahsyat dalam Pusaka Langit. Yang ada dalam kepalanya hanya
tekad untuk merebut pusaka itu agar dapat diamankan dari tangan keji.
Wrrr...! Dalam terjangannya, tangan Pendekar Slebor membentang ke depan, mengarah ke dada
orang berbaju hijau yang masih lengah.
Deb! Terdengar bunyi tertahan, ketika jari-jari mengejang Andika menotok tulang dada
orang berbaju hijau yang langsung terdorong deras ke belakang. Luncuran tubuhnya
baru berhenti ketika punggungnya menimpa batu cadas besar di
belakangnya. Grrr...! Batu cadas yang menjulang ke permukaan kontan remuk di bagian yang terhajar
punggung lelaki itu.
Tapi orang bertopeng kain hijau ini tampak tidak mengalami sesuatu yang berarti.
Dengan tenang, kakinya menjejak ke batu cadas, lalu berenang menuju Pendekar
Slebor. Mata Pendekar Slebor jadi membesar, karena baru kali ini menemukan orang yang
bisa menahan pukulan pamungkas warisan Pendekar Lembah Kutukan. Apalagi, tetap
sehat walafiat seperti lelaki itu.
Sementara itu, mata orang berbaju serba hijau itu tampak berbinar angkuh. Kalau
saja wajahnya tak tertutup, tentu Pendekar Slebor akan menyaksikan senyum penuh
ejekan lawannya.
Lelaki bertopeng kain hijau itu makin dekat ke arah Pendekar Slebor. Sementara
itu, tangannya sudah siap melancarkan jurus yang mungkin menciptakan pusaran air raksasa karena
daya sakti dari Pusaka Langit....
*** 9 Sekujur tubuh Pendekar Slebor jadi mengejang karena tegang. Biarpun sudah banyak
menelan asam garam rimba persilatan, tapi tak luput pula dicekam ketegangan.
Seumur hidupnya, baru kali ini menjalani pertarungan maut di bawah air.
Terlebih, kesaktian orang berbaju serba hijau itu sulit diukur akibat pangaruh
kekuatan Pusaka Langit.
Bahkan kini dada Pendekar Slebor mulai terasa sesak. Entah sudah berapa lama
berada di bawah air, dia sendiri tidak tahu. Yang pasti, paru-parunya harus
diisi udara baru, kalau tidak ingin dadanya pecah.
Namun, Pendekar Slebor tidak bisa begitu saja melayang ke permukaan. Baru saja
sepasang kakinya hendak dikayuh ke atas, orang berpakaian serba hijau itu telah
tiba di depannya.
Srrr...! Tangan kanan lelaki bertopeng bergerak menyapu ke perut Pendekar Slebor.
Untunglah, pada saat yang gawat pendekar muda itu mampu melakukan
gerakan kecil ke belakang. Sehingga, tangan lawannya lewat beberapa rambut dari
perutnya. Kalau saja Pendekar Slebor kalah cepat, bisa dipastikan isi perutnya
akan ambrol saat itu juga, terkena tombak kecil bermata tiga di tangan lawannya.
Rupanya orang berpakaian serba hijau itu mengeluarkan senjata saat Andika lengah
Selesai dengan satu sabetan, lelaki bertopeng hijau itu mengirimkan tebasan dan
tusukan susulan.
Senjatanya berpindah-pindah sasaran. Dari dada, ke
kepala, lalu sesekali ke leher Pendekar Slebor.
Serangan bertubi-tubi ini membuat Pendekar Slebor kewalahan. Di samping
pernapasannya yang sudah tak memungkinkan, gerakan lawannya pun menggila. Kalau
saja kecepatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tidak menyatu dalam
dirinya, sulit dibayangkan lagi bagaimana keadaan-nya. Tubuhnya pasti akan
tercabik senjata lawan.
Saat berikutnya, lelaki bertopeng itu mulai pula memanfaatkan Pusaka Langit
sebagai senjata. Tanpa memberi kesempatan secuil pun pada Pendekar Slebor,
tangannya yang menggenggam kain tembus pandang berisi Pusaka Langit segera
diayunkan. Srrr...! Bagai palu aneh, batu merah bara dalam
bungkusan kain tembus pandang itu menderu ke kepala Andika. Sekejap lagi,
kepalanya tentu akan remuk. Namun, keadaan terdesak seperti itu mampu membuat
Pendekar Slebor melakuan hal yang sebenarnya sudah tidak mungkin. Entah, naluri
macam apa yang menuntun tubuhnya hingga bisa bergeser ke belakang tanpa
disadari. Sekali lagi, serangan orang berbaju serba hijau itu luput. Tapi bukan berarti
Pendekar Slebor tidak menerima akibat lain yang tak kalah parah. Pusaka Langit
ternyata telah melipatgandakan tenaga dorongan berbentuk gelombang dalam air
akibat hantaman tadi.
Pendekar yang mengalami gangguan pada ingatannya itu langsung terdorong deras ke
belakang, meski di dalam air. Tubuhnya baru berhenti meluncur, setelah
menghantam batu cadas besar.
Grrrgh...! Cadas yang menjadi sasaran tubuh Andika kontan
menjadi gompal! Pecahannya pun berhamburan di dasar danau berpasir. Andika
sendiri mengalami akibat yang tak kalah hebat. Dari mulutnya keluar cairan merah
kental. Yang kemudian melayang bagai asap merah dalam air. Sementara, rasa sesak
yang mendera punggung memaksanya melepas pernapasan. Maka air pun cepat merasuk
ke saluran napasnya. Dan ini membuat Pendekar Slebor jadi gelagapan.
Kesempatan itu cepat digunakan sebaik-baiknya oleh orang berbaju serba hijau
itu. Kembali dilabrak-nya Pendekar Slebor. Setelah mengayun kaki dan tangannya
sekuat tenaga, tubuhnya meluncur deras dengan kaki kanan mengarah ke dada
Andika. Bekh! "Aaargkh! Andika langsung memekik dalam air. Namun suaranya yang terlontar kuat, teredam
begitu saja. Sementara, terjangan air ke dalam jalan napasnya kian parah. Wajah tampan
pendekar muda itu tampak mengejang dalam bias air danau. Matanya mem-belalak,
menahan sakit tak terkira. Perlahan-lahan pandangannya mengabur. Sebelum seluruh
kesadarannya lenyap, tangan kekarnya men-cengkeram orang berbaju hijau itu
dengan sisa tenaga terakhir.
Srrrt...! Serangan balasan terakhir Pendekar Slebor ternyata hanya mampu menyambar topeng
kain berwarna hijau dan baju bagian depan lawan. Kini, pandangan yang mengabur
dapat menyaksikan wajah lawannya. Sekaligus, melihat tanda tubuh berwarna hitam
berbentuk bayangan ular di dada.
Setelah itu, semuanya hilang. Pendekar Slebor
telah tak sadarkan diri.
Tubuh tegapnya langsung mengapung lamban dalam dekapan dingin air Danau Panca
Warna. Pakaian hijau-hijau dan kain bercorak caturnya melambai-lambai lemah, selemah
tubuhnya saat ini.
*** Matahari pagi mendaki sepenggalan di cakrawala.
Cahayanya yang kemerahan telah memudar sejak tadi. Perlahan benda alam raksasa
itu mengirim kehangatan ke wajah bumi. Begitu juga di sekitar Dana Panca Warna.
Beriring terusirnya kabut, Andika alias Pendekar Slebor siuman dari pingsannya.
Tubuhnya tergeletak lemah di bibir danau berpasir lembut, beberapa tombak dari
permukaan. Mata elangnya mengerjap-ngerjap silau, diterkam sinar matahari.
Kepalanya bergerak lambat.
"Kenapa aku bisa berada di luar danau?" desah Pendekar Slebor seraya mencoba
bangkit. Andika segera mendekap dada dengan kedua tangannya ketika dirambati rasa nyeri
hebat, akibat luka yang dialami dalam pertempuran kemarin.
Begitu pula bagian punggungnya. Bahkan sekujur badannya terasa bagai direncah
beribu sembilu.
Merasa dirinya tak mungkin berada di tempat itu tanpa bantuan seseorang, Andika
menoleh ke kanan dan kiri. Tanpa susah payah mencari, matanya telah menemukan
seseorang berbaju koko kuning yang dipadu celana pangsi hitam. Dia berdiri
membelakangi Andika. Dari bentuk tubuh dan warna putih rambutnya, bisa diduga
kalau lelaki itu sudah berumur lanjut. Rambutnya yang digelung ke atas,
diikat kain warna biru tua. Meski kelihatan tua, cara berdirinya tampak gagah.
Satu tanda kalau dia terbiasa melatih diri dengan ilmu olah kanuragan.
"Kau sudah siuman, Anak Muda?" sapa orang tua itu tanpa berbalik.
"Begitulah, Ki. Semula kupikir aku sudah melayat ke akherat menemui arwah para
leluhur," sahut Andika mencoba akrab, meski hatinya masih diliputi tanda tanya.
"Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya?" Andika berusaha bangkit
meski agak terseok.
"Aku hanya seorang lelaki tua tak berarti," jawab lelaki itu, sedikit pun tidak
memuaskan Andika.
"Tentu saja aku tahu kalau kau lelaki, Ki. Karena pinggulmu memang tak besar
seperti milik perempuan," kelakar Andika. "Tapi, aku tak tahu namamu. Tak
mungkin aku memanggilmu hanya dengan sebutan saja. Sebab, kau telah menolongku."
"Anak muda..., Anak Muda. Tak perlu kau ikuti anggapan orang banyak bahwa
seorang menolong mengharapkan penghormatan dan sanjungan nama.
Dunia memang seringkali brengsek. Nilai-nilai suci seperti pertolongan tanpa
pamrih, selalu saja hendak diganti nilai-nilai yang mengharuskan seseorang
menuntut pamrih pada orang yang ditolongnya," tutur lelaki itu bijak, masih
belum juga menoleh.
"Ah! Kau ini, Ki. Bikin aku malu saja," ujar Andika.
Mulut Pendekar Slebor jadi meringis-ringis. Entah karena malu oleh ucapan lelaki
tua di depannya, atau karena sakit di tubuhnya.
"Tapi, bukankah tidak salah kalau aku mengetahui namamu?" lanjut Andika.
"Memang tidak."
"Nah! Jadi, boleh aku tahu siapa namamu, Ki?"
"Kau kenal Ratna Kumala?" lontar lelaki tua itu, malah balik bertanya.
Andika menautkan alis. "Ya! Memang kenapa, Ki?"
"Kau tahu di mana dia?"
Mendadak Andika tersadar. Ya! Ke mana Ratna Kumala" Lalu ke mana pula para
pendekar yang berkumpul di sini kemarin"
"Kau tak tahu?" usik lelaki tua.
Kepala Andika menggeleng lamban.
"Kau ingin tahu?" lanjut lelaki tua itu lagi, seakan tahu jawaban Andika.
"Tentu, Ki. Ke mana dia" Apa terjadi sesuatu padanya?" sahut Andika cepat.
Kekhawatiran terhadap gadis keras kepala itu kontan menelusuri relung hatinya.
"Anak kepala batu itu pasti berbuat macam-macam lagi," rutuk orang tua itu,
seperti tak berniat menjawab pertanyaan Andika barusan.
"Kalau tak salah duga, kau tentu guru Ratna?"
terka Andika. Tak ada jawaban. Namun begitu, Andika tetap yakin kalau lelaki tua penolongnya
memang guru Ratna Kumala. Ini bisa dinilai dari tekanan suaranya yang terdengar
kebapakan saat bergumam tadi.
"Namaku, Kalingga. Aku memang guru gadis brengsek itu," jawab orang tua yang
ternyata bernama Kalingga dengan satu helaan napas.
Kemudian tubuhnya berpaling menghadap Andika.
Kini, mata Andika bisa melihat wajah tua berwibawa di depannya.
Tak ada jenggot putih menghias dagu tuanya.
Hanya kumis tebal yang melintang hingga ke sudut bibir. Warnanya tak seputih
rambut di kepalanya.
"Jadi, kau hendak mencari murid wanitamu itu, Ki
Kalingga?" tanya Andika, ingin tahu.
"Itu salah satu tujuanku."
"Maksudmu, kau punya tujuan lain?"
"Tepat."
Andika tak melanjutkan pertanyaan, karena merasa pertanyaannya terlalu beruntun
untuk masalah pribadi lelaki tua itu. Padahal, sungguh tidak pantas seseorang
terlalu ingin turut campur dalam urusan pribadi orang lain.
"Kenapa kau tak bertanya lagi?" usik Ki Kalingga, saat mendapati wajah penasaran
pemuda di depannya.
"Kau tidak keberatan, Ki?"
"Aku bahkan berharap, kau bertanya lebih jauh."
"Ooo...."
Andika memajukan bibir bulat-bulat. Sementara, benaknya bertanya-tanya heran.
Kenapa lelaki tua ini menginginkan dia bertanya lebih jauh" Apakah ada maksud
tertentu" "Mana pertanyaanmu?" tegur Ki Kalingga,
menyadarkan ketercenungan Andika.
"O, ya. Aku lupa. Apa tujuanmu, selain mencari Ratna, Ki Kalingga?"
"Aku tak akan menjawabnya sekarang. Kecuali, bila kau sudi menukarnya dengan
jawabanmu," kilah Ki Kalingga, dibarengi sebaris senyum tipis yang ramah.
Mata Andika jadi menyipit. Dalam hati, dia agak menggerutu dengan jawaban konyol
Ki Kalingga terhadapnya. Benar-benar orangtua aneh! Dia tak ingat kalau dirinya
lebih aneh lagi. Sehingga, kaum persilatan menjulukinya Pendekar Slebor.
"Baik..., baik, Ki. Terserah kau sajalah," ucap Andika seraya melepas napas.
"Kau ingin menanya-
kan apa padaku?"
"Siapa namamu" Dan, apa tujuanmu?"
"Aku..., ah! Apa itu perlu, Ki?"
"Perlu," terabas Ki Kalingga cepat.
"Aku Andika. Kaum persilatan menjulukiku Pendekar Slebor. Tapi kau tak perlu
memuji lantaran aku keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang sudah menjadi cerita
rakyat. Karena aku sendiri tak ingin...."
Ucapan Pendekar Slebor terputus. Ada hal aneh yang tiba-tiba dirasakannya.
Sesaat dia memikirkan keanehan itu. Sampai akhirnya....
"Kodok buduk! Kutu kupret! Monyet ngantuk!
Rupanya ingatanku sudah kembali!" seru Andika, girang bukan alang kepalang.
"Kenapa?" tanya Ki Kalingga, karena tak mengerti permasalahannya.
"Tidak apa-apa, Ki. Aku baru saja mendapat anugerahTuhan..."
"Ooo..."
Kali ini Ki Kalingga yang memajukan bibir bulat-bulat. Padahal, hatinya
kebingungan. Baru kali ini ditemukannya orang aneh yang menyumpah-nyumpah
sewaktu mendapat anugerah Tuhan.


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tanpa diketahui, dalam hati terdalam Andika terpercik serangkai puji
syukur kepada-Nya.
Dan memang wajar bila dia memanjat syukur dalam hati. Karena, kesembuhan
ingatannya begitu tiba-tiba. Barangkali karena hantaman kedua sinar Pusaka
Langit yang melabrak matanya, saat bertempur melawan lelaki bertopeng di dasar
danau kemarin. Ingat pertempuran kemarin, Andika jadi terbayang wajah lawannya yang sempat
dilihatnya sebelum
pingsan. Rasanya, dia pernah melihat wajah lelaki itu.
Tapi, entah di mana.
"Bisa kembali ke percakapan kita?" tegur Ki Kalingga ketika melihat Andika
tercenung. "Oh! Tentu saja bisa, Ki. Jadi apa tujuanmu yang lain?"
"Sebelum kujawab, akan kuceritakan sebuah kisah padamu," kata Ki Kalingga
memulai. "Lima ratus tahun yang lalu, ada sebuah benda langit yang menembus
lapisan udara bumi, dan jatuh ke hulu Sungai Kuning di Cina. Seorang sakti yang
hidup di masa Dinasti Ming tahu kalau benda itu memiliki kekuatan bintang yang
sangat dahsyat, dari wangsit saat bertapa."
Andika manggut-manggut dengan kening berkerut.
Rupanya dia benar-benar tertarik mendengarnya.
"Dia pun menelusuri hulu Sungai Kuning, untuk mencari benda langit itu. Ketika
benda itu ditemukan dia mendapat kesulitan, karena ternyata mampu memancarkan
kekuatan yang mempengaruhi diri seseorang. Itu sebabnya, ia menangguhkan untuk
mengambilnya. Lalu, dia bertapa kembali untuk memohon petunjuk Yang Maha Kuasa,
untuk mengetahui bagaimana cara menangkal kekuatan benda itu, hingga bisa diambilnya.
Sampai suatu malam, dia kembali mendapat wangsit. Dalam wangsit itu, dia diberi
petunjuk untuk membuat sehelai selendang dari serat pohon yang hanya tumbuh di
suatu goa angker, di suatu pegunungan tertinggi di Tibet," lanjut Ki Kalingga.
Andika makin tertarik. Bahkan pandangannya kali ini tak beralih dari wajah Ki
Kalingga. "Meski mendapat halangan yang nyaris merengut jiwanya, akhirnya dia bisa juga
mendapatkan serat
pohon, yang kemudian dijadikan selendang putih tembus pandang. Dengan selendang
itulah ia berhasil mengambil benda langit tersebut. Dan dengan kesaktiannya,
benda angkasa raya itu dijadikan pedang pusaka tak tertandingi."
Sebentar Ki Kalingga menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia ingin mencari kata-kata yang tepat untuk menuturkan ceritanya.
"Empat ratus tahun kemudian, setelah berpindah tangan dari satu keturunan ke
keturunan berikutnya, pedang pusaka itu melebur, layaknya lilin terbakar api.
Dan leburannya lalu menyatu dengan bumi. Yang tertinggal hanya gagangnya saja.
Tapi rupanya, kekuatan benda angkasa yang menjadi bahan pedang, lenyap setelah
empat ratus tahun kemudian.
Sementara selendang penjinak kekuatan benda langit dan gagang pedang pusaka itu,
lima puluh tujuh tahun yang lalu dititipkan pada seorang keturunan si Pertapa
Sakti itu kepadaku. Menurut buyutnya, benda angkasa seperti itu akan jatuh ke
bumi kembali, setiap lima ratus tahun sekali. Dan ketika lima ratus tahun sejak
benda langit pertama ditemukan, amanatnya yang dititipkan padaku hendak
diambilnya kembali," Ki Kalingga menyelesaikan ceritanya.
"Lalu, apa hubungannya dengan diriku. Sampai-sampai, kau merasa perlu menanyakan
nama dan julukanku?" tanya Andika tidak mengerti.
"Aku berharap, kau sudi menolongku menyelamatkan benda angkasa sakti itu dari
tangan orang-orang berhati iblis."
"O. Jadi, itu tujuanmu selain mencari Ratna?"
"Ya."
"Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?"
"Aku sudah tua. Sudah jenuh oleh gelora dunia
persilatan yang selalu berbau anyir darah. Aku berharap, kau sebagai tokoh muda
yang disegani, sudi melanjutkan perjuanganku. Kini, aku hanya ingin mendidik
murid-muridku menjadi orang berguna bagi rakyat, bagi orang banyak," tutur Ki
Kalingga perlahan, namun tetap berkesan tegas berwibawa.
"Nah! Kurasa aku sudah cukup menyampaikan amanatku padamu, Pendekar Slebor.
Terima kasih atas kesediaanmu meneruskan perjuanganku," lanjut Ki Kalinga,
seraya menepuk bahu kekar Andika.
"Tapi, Ki...."
Belum sempat Andika melanjutkan ucapan, lelaki tua itu sudah melesat cepat bagai
tersapu angin. Tampak jelas, bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuh Ki Kalingga. Mungkin
hanya segelintir orang yang mampu melakukannya, termasuk Andika sendiri.
Setelah Ki Kalinga pergi, Andika tercenung.
Ingatannya yang mulai pulih, membuatnya cepat terbayang pada kematian dua murid
terbaik Ki Kalingga, Rudapaksa dan Rudapaksi.
"Kalau gurunya sudah sesakti itu, murid terbaiknya tentu tak kalah hebat. Tapi,
bagaimana kedua murid pilihan itu dapat dibunuh dengan mudah" Musuh macam apa
yang mesti kuhadapi ini?" desis Andika dengan alis bertaut rapat.
Cukup lama Andika terdiam, memikirkan lawan yang akan dihadapi. Sampai akhirnya,
dia teringat pada lelaki bertopeng di dasar danau.
"Diakah orangnya?" gumam Andika.
Andika berusaha mengingat-ingat wajah yang sempat dilihatnya secara sekilas itu.
Ya! Dia yakin pernah melihat wajah itu. Di mana dan kapan ter-lihatnya, belum
begitu jelas. Karena, setiap kali mengingat, luka dalam yang diderita membuat
daya ingatannya buyar seketika.
Akhirnya, diputuskan untuk menyembuhkan luka dalamnya lebih dahulu. Andika lalu
bersila di tanah.
Matanya perlahan-lahan terperjam. Sedang sepasang tangannya bersidekap di depan
dada. Dia memulai semadi untuk menyalurkan hawa murni ke bagian tubuhnya yang
terluka. Lambat laun, tubuh Pendekar Slebor mulai terasa segar kembali. Maka Andika pun
memenggal semadi-nya. Berbareng dengan gerakan tangan untuk meng-hapus peluh
yang membasahi keningnya, dia mulai mengingat kembali lelaki yang dihadapi di
dasar Danau Panca Warna.
Dan tiba-tiba gangguan datang lagi tanpa disangka-sangka. Telinga tajamnya
menangkap desir lembut dari arah belakang.
Zing...! "Hiaaah!"
Tanpa mau menoleh ke belakang lagi, tubuh Pendekar Slebor melenting ringan ke
atas. Andika sudah sering mendengar suara seperti itu. Bahkan bisa dibilang
sudah begitu akrab selama mengarungi buasnya rimba persilatan. Desing itu adalah
suara yang ditimbulkan luncuran senjata tajam kecil.
Dugaan Andika tidak meleset sedikit pun. Tampak sebilah pisau belati hendak
memangsa punggungnya.
Jlep! Luput dari sasaran, belati itu menembus batang pohon cemara lima belas tombak di
depan Andika. "Kutu koreng!" maki Andika di udara.
Setelah berputaran beberapa kali, tubuh Pendekar Slebor meluncur turun kembali.
Sepasang kakinya ringan sekali menjejak tanah berpasir tanpa kesulitan.
"Siapa manusia biang kurap yang coba-coba main-main"!" bentak Andika jengkel,
seraya mengedarkan pandangan liar ke sekitar tempatnya berdiri.
Tak terdengar jawaban. Bahkan desahan napas sekalipun. Tampaknya, si Pembokong
telah melarikan diri ketika Andika sibuk menghindari serangan gelap tadi.
Dengan bibir bergerak-gerak menggerutu, Andika mengalihkan pandangan ke belati
di pohon cemara.
Di gagangnya, terdapat sehelai daun lontar yang diikat seutas tali.
"Permainan macam apa lagi itu?" gerutu Pendekar Slebor dongkol.
Kakinya lantas melangkah menuju pohon cemara sasaran belati itu. Setibanya di
dekat pohon itu, Andika mencabut belati. Kemudian, ikatannya dibuka.
Dibentangnya daun lontar yang terdapat di belati, lalu terlihat tulisan di
dalamnya. Maafkan aku bila menyuruh seseorang
menyampaikan pesanku ini, meski sebenarnya lebih pantas disampaikan langsung.
Tuan Pendekar, kulihat kau sudah cukup akrab dengan adik seperguruanku Ratna
Kumala. Untuk itu, aku meminta tolong pada Tuan untuk menjaga keselamatannya.
Tugas yang kami jalankan amat berbahaya. Bisa saja kami akan terbunuh suatu
saat. Jadi, untuk kedua kalinya aku memohon pertolongan Tuan. Bila ternyata kami
memang terbunuh, sudilah kiranya Tuan Pendekar menyelamatkan gagang pedang yang
kami simpan di satu tiang Penginapan Mekar Harum di Desa Ambangan.
Tertanda, Rudapaksa.
Andika menutup daun lontar itu. Lalu tanpa sadar, diremas-remasnya. Persoalan
kini mulai menjadi jelas bagi dirinya. Bahkan sekarang bisa teringat jelas,
siapa lelaki yang bertarung dengannya di dasar danau kemarin, setelah surat itu
menyebut-nyebut tentang tugas yang diemban Rudapaksa dan Rudapaksi.
Wajah lawannya memang wajah lelaki dari Tiongkok yang dilihatnya di Bandar Sunda
Kelapa, bersama Rudapaksa dan Rudapaksi beberapa saat lalu.... Ya!
Chin Liong! Lalu, ke mana Ratna" Pertanyaan yang sempat diajukan pada Ki Kalingga kini
tersembul lagi di lerung benaknya. Andika terpaku memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi pada diri gadis kepala batu itu.
Plok! Tiba-tiba, Andika menepuk keningnya keras.
"Mengapa aku lamban sekali berpikir! Tentu saja Chin Liong telah menculiknya,
karena mengira Ratna Kumala tahu tempat persembunyian gagang pedang pusaka yang
disebut Rudapaksa dalam suratnya!"
cetus hati Andika. "Heh! Rupanya lelaki itu sudah mengkhianati Rudapaksa dan
Rudapaksi untuk menguasai selendang penjinak Pusaka Langit, sekaligus ingin
mendapatkan benda angkasa raya dan gagang pedang pusaka itu!"
Bibir Pendekar Slebor tampak menyeringai, antara senang karena berhasil
memecahkan teka-teki, dengan kegusaran atas pengkhianatan Chin Liong.
"Seujung rambut saja gadis itu terusik kau akan kubuat hancur seperti sambal
terasi, Chin Liong...!"
Selesai mengucapkan kalimat terakhir, Andika melesat dari tempat itu.
Kini tepian Danau Panca Warna sunyi. Desir angin
yang membelai permukaan danau terdengar men-dayu. Tanpa diketahui Andika,
beberapa depa dari tempatnya berdiri teronggok dua timbunan tanah yang cukup
besar. Pada satu ujung timbunan, tertancap batang pohon kering. Di dalamnya
bersemayam puluhan mayat yang dibantai sepasukan orang berpakaian merah, bersama
lelaki biadab yang membawa selendang berisi Pusaka Langit.... Salah seorang di
antara mayat-mayat itu adalah Ratna Kumala!
*** 10 Karena letaknya tak jauh dari pusat perniagaan Bandar Sunda Kelapa, Desa
Ambangan tak pernah mati dari kesibukan. Pasar di desa itu terus berdenyut siang
dan malam, tak seperti pasar di tempat lain yang baru ramai jika jatuh hari
pasaran. Hal itu wajar saja, jika memperhatikan bagaimana barang-barang yang
dibongkar muat di Bandar Sunda Kelapa, sebagian dibawa ke pasar tersebut untuk
dijual. Sementara, kapal-kapal niaga yang membawa barang tak pernah kenal kata siang
atau malam untuk berlabuh di bandar.
Malam itu, Andika tiba di pusat Desa Ambangan.
Mestinya, dia bisa tiba lebih awal di sana. Karena, jarak antara Danau Panca
Warna dengan pusat desa hanya berjarak sepeminum teh. Namun, penduduk desa tentu
akan mengenalinya sebagai seorang pendekar yang menolong Buntar waktu itu.
Akibatnya, kedatangannya di desa itu akan cepat tercium lawan yang bisa saja
menguping dari obrolan penduduk. Itu sebabnya, diputuskannya untuk datang malam
hari. Tempat yang dituju Pendekar Slebor adalah Penginapan Mekar Harum, tempat di mana
Rudapaksa menyembunyikan gagang pedang pusaka dari Tiongkok pada satu tiangnya.
Agar tak mudah dikenali, sengaja dia mengenakan caping lebar dan berjalan pada
tempat-tempat yang tak terlalu terang.
Sementara, matanya terus mengawasi kian kemari.
Siapa tahu saat itu dia bisa menemukan Chin Liong!
Saat Pendekar Slebor melintasi satu kelontong
yang cukup terang oleh cahaya lampu minyak, seseorang yang dikenalnya melintas
tepat di depannya. Langkah Andika bergegas berhenti. Tangannya cepat-cepat
menurunkan caping ke depan. Andika amat hafal wajah lelaki desa yang bernama
Diding itu. Dia adalah kawan Buntar, orang yang ditolongnya tempo hari. Kalau cahaya dari
lampu minyak kelontong dibiarkan menerpa wajah, tentu Diding akan mengenalinya
pula. Setelah Diding lewat beberapa langkah darinya, Andika meliriknya. Dia hanya
ingin meyakinkan kalau Diding tidak menoleh ke belakang. Yakin kalau lelaki desa
itu tidak akan menoleh, Andika segera melanjutkan langkahnya.
Tapi baru dua tindak kakinya bergerak....
"Lho, Den Pendekar! Mau ke mana"!"
Terdengar panggilan Diding di belakangnya.
"Benar-benar apes," rutuk Andika membatin.
"Matamu jeli juga, Kang," ujar Andika, setengah menggerutu ketika Diding sudah
berdiri di hadapan-nya. Mata besar Diding berbinar-binar senang bisa bertemu
kembali pendekar sebaik Andika.
"O, jelas...," tukas Diding bangga. Hidungnya kembang-kempis merasa dipuji. "Den
Pendekar mau ke mana?"
Bukannya menjawab, Andika malah meraih pergelangan tangan lelaki desa itu.
"Ikut aku," bisik Andika, seraya menarik Diding ke satu lorong di antara dua
bangunan kelontong.
"Eh, eh...! Jangan narik-narik seperti ini, Den. Nanti aku dikira pencopet yang
ketangkap basah," kicau Diding.
"Diam!"
Mendapat bentakan Andika, mulut Diding yang
berbibir setebal tahu langsung saja terkatup rapat-rapat.
"Kuminta, kau tidak berbicara pada siapa pun kalau aku ada di desa ini," ujar
Andika di sudut lorong. Matanya terpaut erat pada mata Diding, sebagai isyarat
kalau pembicaraannya sangat penting.
Diding mengangguk-angguk tergesa dengan alis terangkat tinggi-tinggi.
"Ho-oh... ho-oh," ucap Diding ketolol-tololan.
"Dan satu lagi...."
"Apa, Den?"
"Apa kau melihat lelaki Tiongkok?"
Kening Diding berkerut.
"Lihat, Den...," jawab Diding.
"Bagus. Di mana dia?" lanjut Andika.
"Itu, tuh! Di perkampungan Tiongkok di ujung pasar. Ada Bun li, ada Bo Liang,
Mei Lan, Ling ling.
Mpeh Lim Giok yang perutnya sebesar tong juga ada...."
Andika menarik napas kesal. Yang ditanya lain, yang dijawab lain lagi. Andika
jadi menggerutu dalam hati.
"Aku tak menanyakan para pendatang dari negeri Tiongkok yang menetap di daerah
ini." "Jadi yang mana, Den?"
"Lelaki Tiongkok berwajah tampan yang baru datang saat ada kegemparan benda
langit yang jatuh ke danau. Pakaiannya berwarna merah, dan ter-kadang mengenakan
pakaian warna hijau," urai Andika, menjelaskan ciri-ciri Chin Liong.
Kembali kening Diding berkerut. Kali ini, benaknya sungguh-sungguh mengingat
lelaki pendatang dari Tiongkok yang sampai di desanya belakangan ini.
"O, iya Den. Aku pernah lihat lelaki Tiongkok yang seperti Aden gambarkan...."
"Di mana?" sela Andika cepat.
"Di... mmm, penginapan Mekar Harum!"
"Penginapan Mekar Harum," gumam Andika, tak kentara.
Terbersit pikiran dalam benak Pendekar Slebor kalau Chin Liong telah
mendahuluinya. Meskipun, belum diyakini benar apakah Chin Liong telah
mendapatkan gagang pedang pusaka itu atau belum.
"Aku harus segera ke sana...," bisik Andika.
"Ah! Aku sih tidak perlu diajak, Den," tukas Diding.
"Siapa yang mengajakmu?" tanya Andika, seraya memberi senyum sebagai tanda
terima kasih. Diding cengar-cengir tak karuan.
"O, kukira mau ngajakku, he he he."
"Kalau mau ikut, ya boleh saja. Tapi asal berani mati."
"Kok?"
"Aku bukan mau menginap di sana, tapi mau mencari seorang pembunuh berdarah


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin. Mau ikut?"
"Ah-ah! Terima kasih banyak kalau gitu!"
Sekali lagi, Andika tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih, Andika berlalu
dari lorong itu.
Tinggal Diding yang mengedik-ngedikkan bahu kalau ngeri membayangkan dirinya
harus berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin.
"Hiiiy, amit-amit!" desis laki-laki itu.
*** Penginapan Mekar Harum kini terselimut sepi.
Para pendekar yang beberapa hari lalu menginap di
sana, sejak kemarin mulai pergi satu persatu. Mereka sudah kehilangan keberanian
untuk mendapatkan Pusaka Langit, setelah tiga tokoh utama aliran sesat terbantai
oleh orang aneh dalam sekali tepuk.
Kini penginapan itu ibarat kembang desa yang kehilangan kecantikannya. Tak ada
lagi yang mau bertandang ke sana. Sementara, para pedagang dari negeri lain
tidak begitu berminat menyewa kamar di sana, karena terletak begitu terpencil di
sudut desa. Suasana Penginapan Mekar Harum memang sama sekali tidak menarik. Bahkan boleh
dibilang agak berkesan angker. Letaknya persis di bibir tebing yang menghadap
Danau Panca Warna. Bangunannya tampak kuno, berdiri di ketinggian dengan kawalan
pepohonan cemara yang besar dan rimbun.
Keangkeran juga terlihat pada bangunannya. Pintu utamanya terbuat dari kayu
meranti berwarna merah kusam, bagai darah mengering. Di beberapa bagian
dindingnya, lumut meranggas liar ditambah beberapa bagian lain yang sempal.
Atapnya terbuat dari genting beton dan dihiasi patung besar berbentuk buto ijo
pada ujung-ujungnya.
Di ruang tengah bangunan itu, tampak seseorang berpakaian merah duduk menyendiri
di satu kursi bermeja. Kedua tangannya tampak memutar-mutar cangkir bambu berisi
tuak. Sesekali, tangannya terangkat untuk meneguk isinya. Setelah tuak dalam
bambu habis, dituangnya kembali tuak dari tabung bambu panjang yang disandarkan
di sisi meja. Tampaknya, hanya lelaki itu yang masih berminat menyewa kamar di Penginapan
Mekar Sari. Karena, tak ada satu orang pun terlihat selain dia dan pemilik
penginapan tua yang duduk terkantuk-kantuk dibelai angin malam.
Saat hari makin teringkus kegelapan malam, terdengar langkah seseorang memasuki
ruangan tengah penginapan itu. Kesunyian di sana membuat langkah-langkah itu
terdengar jelas berirama bagai detak jantung orang sekarat.
"Kita bertemu lagi, Chin Liong!" seru seseorang di belakang lelaki berpakaian
merah yang ternyata Chin Liong, lelaki Tiongkok yang dicari Andika.
Chin Liong tak menoleh. Wajahnya tetap dingin, sedingin gunung karang. Tak
ditanggapinya seruan itu, meski terdengar penuh kegeraman. Karena, dia sendiri
tahu kalau orang yang baru datang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Dengan
begitu, masih punya banyak kesempatan untuk menghindar kalau orang di
belakangnya mencoba bermain api.
"Kau tak gembira bertemu lagi denganku?" lanjut lelaki berpakaian hijau-hijau
itu. Dia mengenakan kain bercorak catur di pundaknya. Ya! Dia adalah Andika yang baru
tiba di penginapan ini.
"Ah! Sayang sekali kalau kau tak gembira,"
sambung Andika seraya melangkah perlahan mendekati Chin Liong. "Padahal ini
malam terakhirmu untuk menikmati dunia konyol ini...."
"Bicara apa kau, Kisanak?" ujar Chin Liong datar dan dingin.
Matanya yang sipit terpaku lurus pada satu sudut ruangan, seperti tak
mempedulikan kehadiran Andika.
Andika tersenyum sinis.
"Aku bicara apa" Kau tak dengar ucapanku tadi"
Sayang sekali Lelaki sehebat kau, ternyata malas membersihkan kuping," cemooh
Andika, memancing kemarahan calon lawannya.
Chin Liong tak melontarkan sepatah kata pun untuk menanggapi ucapan terakhir
Andika. Malah dia berdiri dari kursinya.
"Kurasa kau berbicara pada orang yang tidak tepat. Ada baiknya, aku masuk kamar.
Aku perlu istirahat. Jadi aku mohon pamit, Kisanak," tutur Chin Liong dengan
kalimat terputus-putus dan kaku. Dia memang belum begitu menguasai bahasa
Melayu. "Tunggu, Bajingan Bau!" bentak Andika tiba-tiba.
Lelaki tua pemilik penginapan yang semula mengangguk-angguk dipermainkan kantuk,
mendadak saja tersentak. Matanya terbelalak karena begitu kaget-nya.
Sementara, Chin Liong mengurungkan niat untuk masuk kamarnya. Dia berdiri tanpa
gerak, tepat di antara meja dan kursi yang didudukinya tadi.
"Ada apa lagi, Kisanak?" tanya Chin Liong tetap datar.
"Di mana kau sembunyikan wanita yang kau culik itu"!"
Chin Liong menoleh. Matanya bertumbukan
langsung pada Andika. Wajah tampan lelaki Tiongkok itu tak terlihat berubah
sedikit pun. Tetap dingin.
"Wanita?" tanya Chin Liong singkat.
"Jangan coba-coba bermain-main denganku, Chin Liong!" hardik Andika, mulai
gusar. Bagaimana tidak gusar hati Andika kalau wanita yang telah menyelamatkannya, dan
menjadi kawan baiknya belakangan ini dalam ancaman tangan keji Chin Liong"
"Kau sungguh aneh, Kisanak. Aku bahkan tidak mengenalmu. Tapi, tiba-tiba saja
kau menuduhku menyembunyikan seorang wanita...," sangkal Chin Liong tenang.
"Kau..., benar-benar tai kucing!" maki Andika.
Kegusaran Pendekar Slebor sudah tiba di ubun-ubun. Pendekar muda itu merasa
dirinya sedang dipermainkan.
"Aku sudah tak mau banyak basa-basi lagi, Chin Liong! Katakan, di mana wanita
itu! Kalau tak kau serahkan, terpaksa kita harus bersabung nyawa kembali seperti
di dasar danau," ancam Andika dengan mata terbakar merah.
Menanggapi ancaman Andika, Chin Liong malah tersenyum tipis dan sinis. Kepalanya
menggeleng-gelengkan perlahan. Di mata Andika, sikapnya seperti sedang mengejek.
"Telor busuk! Kentut busuk! Bubur busuk!" maki Andika kalap, sekalap kakek-kakek
kehilangan cangklong kesayangan.
Usai menyemprotkan sumpah serapahnya,
Pendekar Slebor langsung menerjang Chin Liong.
"Khiaaah!"
Beriring teriakan menggeledek, tubuh Andika meluncur secepat kilat ke arah Chin
Liong. Satu tendangan dilancarkan ke dada laki-laki Tiongkok itu.
"Hih!"
Kecepatan gerak Andika yang hanya dimiliki para Pendekar Lembah Kutukan, memaksa
Chin Liong membuang diri ke samping secepat mungkin.
Brak! Kaki Chin Liong membentur meja kayu enam tombak dari tempatnya semula, hingga
langsung hancur berkeping-keping. Setelah berguling di lantai beberapa kali,
kakinya menjejak lantai. Sekejap tubuh lelaki Tiongkok itu berputar di udara,
lalu mendarat mantap di satu meja lain.
Andika memburu kembali. Didekatinya laki-laki
sipit itu dengan bersalto melewati pecahan kayu meja. Setibanya di dekat lawan,
kaki tangannya diputar untuk menyapu kepala.
Serangan Andika kali ini tidak berusaha dihindari.
Dipapakinya tendangan Andika dengan tangan kiri.
Des! Sementara tangan kanan Chin Liong yang bebas, segera mengirim serangan balasan
ke perut Andika yang masih di udara.
"Hih!"
Bet! Pendekar Slebor tak ingin perutnya jadi sasaran empuk pukulan lawan. Segera
kedua tangannya membentuk silang untuk menangkis pukulan Chin Liong.
Des! Pukulan Chin Liong dapat dimentahkan Pendekar Slebor. Kini, tubuh Chin Liong
meluncur turun dan tiba di sisi meja tempat Andika berdiri. Melihat kaki Chin
Liong berada tepat di depannya, Pendekar Slebor menyentak sepasang tangan dengan
telapak membentuk cakar.
"Haih!"
Jep! Jep! Lagi-lagi, gempuran Pendekar Slebor tak menemui sasaran. Karena, Chin Liong
melompat ke lantai yang tak kalah cepat dengan sentakan tangannya.
Sementara itu, lelaki tua pemilik penginapan menjadi kalang kabut. Terbungkuk-
bungkuk dia berlari kelimpungan kian kemari, mengkhawatirkan meja-mejanya yang
mulai berantakan akibat pertempuran dua lelaki muda tangguh itu.
"Hey., hey! Kalian jangan bercanda di sini!" bentak laki-laki tua itu seraya
mengacung-acungkan tongkat.
"Kali ini, jangan berharap kau akan mem-
pecundangi aku!"
Terdengar seruan Pendekar Slebor di sela-sela teriakan jengkel si pemilik
penginapan. "Keluarkan Pusaka Langit itu! Aku tak gentar dengan benda seperti itu!'
Lelaki yang diteriaki hanya menatap Pendekar Slebor dengan mata kian menyipit.
Meski sudah memulai pertarungan, wajahnya tetap tak me-nunjukkan perubahan.
Seakan wajah lelaki Tiongkok itu terbuat dari potongan arca saja!
"Ayo, tunggu apa lagi"! Serang aku dengan senjata yang paling hebat sekalipun,"
tantang Andika dengan wajah matang.
Tetap saja Chin Liong berdiri dalam kuda-kuda tanpa bergerak-gerak. Tentu saja
hal itu membuat Pendekar Slebor makin diberangus kegusaran.
"Kau memang...."
Andika kehabisan kata-kata untuk memancing kemarahan lawan. Bibirnya terkatup.
Sedangkan rahangnya mengeras.
Merasa tak ada gunanya lagi banyak bicara, Pendekar Slebor mulai membuka jurus
baru. Tubuh Andika mulai bergerak ke sana kemari, seperti kehilangan
keseimbangan. Namun, bukan berarti gerakannya tidak mengandung maut.
Sedangkan Chin Liong sendiri bisa menilai, bagaimana dahsyatnya gerakan yang
sedang diperlihatkan Pendekar Slebor. Seumur hidup, belum pernah dia melihat
jurus serupa itu. Jurus yang luar biasa cepat, dan liar. Malah dalam setiap
pergantian gerakan, tercipta berpuluh bayangan kaki atau tangan lawannya.
Pendekar Slebor rupanya sudah tak ingin
membuang waktu lagi. Hingga telah mengerahkan jurus 'Mengubak Hujanan Petir',
jurus keseratus dari rangkaian jurus yang diciptakannya di Lembah Kutukan.
Kedahsyatan jurus itu terletak pada dinding kekuatan yang tercipta di sekitar
tubuh Pendekar Slebor. Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini Pendekar
Slebor mengeluarkan jurus 'Mengubak Hujanan Petir'. Karena, Andika berpikir
kalau lawan akan segera mengeluarkan Pusaka Langit ber-kekuatan bintang. Jurus
'Mengubak Hujanan Petir'
mungkin bisa menandinginya. Karena, Andika pernah melindungi diri dengan
kekuatan jurus tersebut, ketika menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan. Saat
itu rentetan lidah petir bagai membentur dinding tak terlihat, hendak menyambar
tubuh Pendekar Slebor. Akibat yang terjadi sungguh menakjubkan! Sekitar tubuhnya
berpendar cahaya terang benderang yang mampu membutakan mata seseorang!
Menyadari lawan mengerahkan jurus ampuh, Chin Liong tak mau kalah bahaya. Tak
ada waktu lagi baginya untuk menimbang lebih lama. Segera dipersiapkannya jurus
andalan. Disatukannya telapak tangan di depan dada. Sepasang kelopak matanya
mengatup. Lalu terdengar tarikan napas panjangnya.
Beberapa saat napasnya diatur tarikan demi tarikan, hembusan demi hembusan.
Sampai akhirnya, dia mendorong kedua tangan ke depan dengan telapak mengejang
bersama hembusan napas keras.
"Hsss...."
Chin Liong kini siap memainkan jurus 'Naga Menerjang Badai'. Suatu jurus yang
diimbangi pengerahan tenaga geledek dalam tubuh melalui
pernapasan. Terciptanya pemusatan tenaga geledek pada sepasang tangannya,
membuat tangan lelaki Tiongkok mengeluarkan percikan api. Bentuknya bagai bunga
yang berpijar indah. Namun, di balik itu terpendam kekuatan yang mampu menjebol
gulungan ombak laut sebesar gunung!
Kemudian, sepasang tangan laki-laki Tiongkok itu mulai berputar teratur dan
lamban. Gerakannya seperti seseorang yang sedang menggapai seluruh udara dalam
ruangan tersebut. Dan tiba-tiba saja....
Sret! Sret! Terjulur lidah-lidah geledek ke seluruh ruangan.
Seakan dalam ruang ini sedang terjadi badai petir.
"Khiaaa!"
Dimulai satu bentakan membahana, Chin Liong meluruk menuju Andika. Sepasang
tangannya tetap berputar, namun lebih cepat dari sebelumnya. Setibanya di dekat
Pendekar Slebor, kedua tangannya meng-hentak dari samping kiri.
"Hsss...!"
Web! Sret! Sret!
Dalam luncuran teramat deras, tangan Chin Liong mengancam kedua sisi dada
Andika. Namun Pendekar Slebor yang sudah siap sejak tadi, tak sudi dadanya dijebol tangan lawan. Dengan
sigap, kedua tangan dinaikkan dari bawah dengan tenaga penuh untuk membentengi
dada. Dret! Percikan bunga api raksasa langsung membersit, manakala tangan mereka
berbenturan. Kalau tangan Pendekar Slebor masih terpaku pada keadaan semula,
maka tangan Chin Liong terhentak ke belakang, seakan baru menimpa dinding karet
kuat yang tak terlihat.
Chin Liong sempat terkesiap melihat kenyataan itu.
Dengan wajah yang sukar dilukiskan, kakinya tersurut tiga langkah ke belakang,
akibat dorongan kuat pada sepasang tangannya. Tapi sebagai tokoh sakti yang amat
disegani di seluruh daratan Tiongkok, dia tak pernah berpikir untuk mengurungkan
serangan berikutnya.
"Khaaaih!"
Entah apa yang hendak dilakukannya saat itu, Pendekar Slebor sendiri tidak
mengerti. Tubuhnya mendadak saja melenting ke belakang, bagai sebatang tombak
melengkung. Di udara, dia memutar tubuhnya sehingga kakinya meluncur lebih
dahulu. Srrr...! Tep! Pada satu tiang penyangga bangunan, kaki Chin Liong menjejak. Lalu saat
berikutnya, kakinya dihentakkan. Kemudian tubuhnya meluncur kembali, kali ini
dengan tangan yang menyilang di atas kepala serta putaran tubuh, membentuk
sebuah pengebor hidup!
"Khaaaih!"
Teriakan dan lidah geledek milik Chin Liong, seperti hendak melantakkan ruangan
penginapan. Bukan cuma itu. Gerak aneh yang sedang dilakukannya pun tampak hendak
melantakkan dinding kekuatan Pendekar Slebor.
Sementara itu, Andika membengkokkan kedua lutut dengan kaki terpentang. Sepasang
tangannya mengepal kejang di sisi-sisi pinggang. Pendekar Slebor sedang mencoba
membuat kuda-kuda
bertahan, karena ia tahu kalau lawan hendak mengadu tenaga.
Sambil mengimbangi teriakan mengguntur Chin Liong, Pendekar Slebor menarik
seluruh otot-otot
dadanya. Dada bidangnya seketika mengeras, memperlihatkan garis-garis otot yang
menojol. "Khaaah!"
Drarrr! Gemuruh besar tercipta saat tangan Chin Liong mampu menguak dinding pertahanan
Pendekar Slebor. Bahkan tangannya yang berputar mampu mendarat telak di dada
Andika. Dan itu terjadi karena pendekar muda kesohor itu memang sengaja membuka
dadanya. Kenyataannya, akibat yang menimpa Chin Liong sungguh luar biasa. Kulit di
sekujur tubuhnya tiba-tiba memerah dan terbakar. Sedangkan tubuhnya terlontar ke
belakang, bagai terseret di udara.
"Wuaaa!"
Duk! Brak! Tiang besar yang semula berdiri kokoh dan angkuh, menjadi porak poranda terhajar
tubuh Chin Liong. Andai tidak ada tiang lain, tentu bangunan penginapan itu akan
segera runtuh! Sementara itu Pendekar Slebor masih tertancap tegak dalam kuda-kudanya. Tapi,
hal itu bukan berarti tidak mengalami akibat dari pertumbukan dua kekuatan liar
tadi. Dari lubang hidung dan mulutnya mengalir darah kental kehitaman. Darah itu
terus mengalir lambat melalui dagu Andika, lalu menetes di kain bercorak catur
yang melingkari pundaknya.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu bergetar seperti kehilangan tenaga. Dia yakin,
dirinya telah mengalami luka dalam. Itu sebabnya, segera dilepas-kannya kekuatan


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakti yang memperkuat jurus
'Mengubak Hujanan Petir'nya. Lalu, dia segera mengerahkan hawa murni untuk
mengobati luka dalam yang diderita.
Terdengar pengaturan napas Andika. Sepasang matanya terpejam rapat. Sementara,
sepasang tangannya disatukan oleh ujung jari tengah di depan dada.
Tak lama kemudian, suasana menjadi hening.
Pendekar Slebor telah menyelesaikan pengerahan hawa murni dalam tubuhnya. Sedang
tujuh tombak di depannya, Chin Liong tergeletak tanpa gerak.
Badannya tertelungkup, menutupi pecahan-
pecahan tiang bangunan.
"Kau terlalu rakus untuk memiliki Pusaka Langit, Sobat," desah Andika perlahan.
"Rupanya, kau tak ingin membiarkan aku merebut benda sakti itu dari tanganmu.
Sehingga, kau lebih rela kehilangan nyawa ketimbang mempergunakan benda itu
untuk melawanku."
Di salah satu sudut ruangan, lelaki tua pemilik penginapan meringkuk seperti
tikus kehilangan akal.
Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat.
"Tolong..., tolong! Ada dua orang gila ingin meng-hancurkan penginapanku satu-
satunya," lirih orang tua itu seperti sedang sekarat.
Selanjutnya, terdengar langkah ringan Andika.
Didekatinya tubuh Chin Liong yang tergolek. Darah kental kehitaman menodai
lantai. Andika berharap lawannya belum mati. Masih ada satu urusan yang mesti
diselesaikan. Ya! Dia belum tahu, di mana Ratna Kumala. Menurutnya, Ratna Kumala
disandera Chin Liong. Oleh karena itu, dia ingin menanyakannya pada lelaki
Tiongkok itu. Itu pun kalau masih hidup.
"Chin Liong...," sapa Andika seraya membalik tubuh lelaki itu dengan kedua
tangannya. Saat itulah mata Andika tertumbuk pada suatu yang membuatnya amat terkesiap.
Tidak, dia tidak
melihat gagang pedang pusaka seperti yang disebutkan Rudapaksa dalam suratnya.
Nyatanya, dada Chin Liong tak memiliki tanda tubuh berbentuk bayangan ular
seperti yang dilihatnya, ketika bertempur di dasar Danau Panca Warna.
Jantung pemuda itu mendadak hendak berhenti berdenyut. Bulu halus di tengkuknya
meremang hebat, dirayapi kekhawatiran yang menyeruak dirinya.
"Dia bukan lelaki yang bertempur denganku di dasar danau itu...," desis Andika.
"Ya, Tuhan....
Tampaknya aku telah salah tangan...."
Pada waktu yang bersamaan, terdengar tawa lantang seseorang yang menggema liar
di sekitar ruangan besar itu.
"Hua ha ha...! Bagaimana Pendekar Slebor yang juga bodoh" Apakah kau sudah
menyadari dirimu telah kupermainkan" Begitu mengasyikan permainan-ku, bukan"
Tentang surat palsu dari Rudapaksa yang kubuat dengan tanganku. Juga, tentang
cerita bohong mengenai gagang pedang pusaka yang tersimpan di satu tiang
bangunan ini. Kau telah terkecoh, Babi Bodoh! Hua ha ha.... Kau hendak mencari
teman wanitamu itu, bukan" Carilah dia di antara puluhan mayat yang telah
terbantai di tepi Danau Panca Warna tempo hari. Hua ha ha...! Selamat tinggal,
Pendekar Bodoh!"
Tubuh Andika mengejang. Tak ada sepatah kata pun yang bisa diucapkan. Lidahnya
kelu. Seluruh sendinya kaku. Dia tak bisa berbuat apa-apa, karena begitu
terpukul oleh rasa bersalah yang men-cengkeramnya saat itu.
*** Siapakah lelaki yang telah mempermainkan Andika" Bagaimana dengan Pusaka Langit"
Benarkah cerita Ki Kalingga mengenai benda langit yang pernah turun lima ratus
tahun lalu" Apa yang akan diperbuat Andika selanjutnya" Matikah Chin Liong,
lelaki Tiongkok yang menjadi korban fitnahan lelaki terselubung teka-teki"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : PENGEJARAN KE CINA
SELESAI Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pedang Kiri Pedang Kanan 20 Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Pendekar Pemanah Rajawali 28
^