Pencarian

Putri Samudera 1

Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Bagian 1


PUTERI SAMUDERA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Putri Samudera 128 hal. 1 Laut Pantai Selatan bergemuruh. Ombak ber-
gulung-gulung bagaikan pasukan menyerbu pantai.
Menerjang keperkasaan batu karang yang berdiri ko-
koh menyambut serangan. Tak pernah lelah dan ber-
henti. Matahari sudah sepenggalah. Sinar keemasan-
nya memancarkan damai, memantul di antara gelom-
bang laut yang besar. Burung-burung camar beterban-
gan kian kemari meneriakkan kebebasan mereka.
Sebuah perahu pukat berlayar warna hitam
yang cukup tinggi merapat di Pantai Selatan tanah Ja-wa. Sementara beberapa
orang tampak menunggu se-
jak subuh tadi. Mereka bersorak begitu perahu pukat itu ditambatkan, di tengah
dua perahu kecil lainnya yang memang sejak tadi berada di tepi pantai. Bagaikan
menyambut pahlawan yang baru pulang dari me-
dan perang, mereka mengelu-elukan lima orang laki-
laki bertelanjang dada yang sedang melompat dari perahu. Angin memang sudah
menjadi sahabat kelima
pemuda itu. Sudah genap seminggu mereka menga-
rungi lautan lepas untuk mencari ikan.
Dalam tiga bulan terakhir ini, sudah dua kali
angin badai melanda perkampungan nelayan, Desa
Banyuasin. Memang tak terlalu banyak menimbulkan
kerugian, namun yang pasti perahu-perahu pukat
yang ditambatkan banyak yang tergulung dan terseret ombak. Hingga dipermainkan
sampai ke laut lepas. Ketika dikirim beberapa orang untuk menyelamatkan pe-
rahu-perahu itu, yang ditemukan hanya puing-puing
saja. Padahal, tak ada penghasilan lain bagi para ne-
layan di sana selain mencari ikan. Maka dalam meng-
hadapi keadaan seperti itu, akhirnya disepakati untuk mengirim lima orang pemuda
yang bersedia mengarungi laut lepas untuk mencari ikan. Sehingga tak heran para
penduduk gembira begitu melihat kelima
pemuda itu yang ternyata segar bugar.
"Banyakkah ikan yang bisa didapatkan, Sal-
man?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh delapan tahun. Wajahnya
menyiratkan kearifan
budi pekertinya. Janggutnya sudah berwarna putih. Ia tersenyum cerah begitu
melihat kelima pemuda tadi.
"Alhamdulillah, Ki Surya Agung...," sahut pemuda yang dipanggil Salman, langsung
mencium tan- gan lelaki berpakaian putih dengan destar batik itu penuh hormat.
"Bagus. Berarti, Penguasa Samudera sudah
berbaik hati lagi kepada kita. Seperti kita ketahui, sudah berminggu-minggu ini
hasil tangkapan para ne-
layan selalu sedikit, karena dikhawatirkan badai besar akan melanda kembali,"
kata lelaki tua bernama Ki Surya Agung.
Salman mengangguk. Selama lima belas tahun
mengarungi samudera lepas untuk mencari ikan, me-
mang baru dalam bulan terakhir ini mendapatkan ikan hanya sedikit. Itu mungkin
disebabkan karena peru-bahan gerak air laut yang akhirnya menggiring ikan-
ikan ke kejauhan.
"Adakah rintangan yang kalian alami di laut lepas, Salman?" tanya lelaki
bijaksana itu lagi. Wajahnya mencerminkan kegembiraan.
"Kalaupun ada, kami masih bisa mengatasinya,
Ki," sahut Salman sopan.
Ki Surya Agung menepuk-nepuk bahu pemuda
berkulit hitam akibat sering tersengat sinar matahari.
Lalu ia menyuruh para penduduk untuk menurunkan
hasil tangkapan. Empat lelaki yang bersama Salman
tadi pun membantu. Para penduduk bersorak gembira
begitu melihat hasil tangkapan kelima pemuda itu
yang kali ini melimpah ruah.
"Salman! Ada batu karang menempel di buritan
perahumu!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dari bu-
ritan perahu. Salman langsung berlari, meninggalkan ikan-ikan yang dibawanya ke
pantai tadi. Sebagian ce-lananya basah oleh air laut. Pijakan kakinya menim-
bulkan bekas. Keningnya pun berkerut.
"Batu karang katamu, Badur?" tanya Salman, pada lelaki yang tadi berteriak.
Badur, namanya.
"Kau lihat sendiri. Tapi anehnya, mengapa batu karang itu berwarna keemasan"
Apakah secara tidak
sengaja kau mendapatkan emas, Salman?" jelas Badur sambil menunjuk ke arah
buritan. Salman yang telah melihat apa yang dikatakan
Badur kembali mengerutkan keningnya.
Teriakan Badur memancing keingintahuan
yang lain. Namun, Ki Surya Agung segera merentang-
kan kedua tangannya, mencegah.
"Biar Salman membawanya kemari." Sementa-
ra. kini Salman sedang berusaha menarik batu karang berwarna emas yang berkilat-
kilat indah diterpa matahari pagi. Namun bagaikan terpatri, batu karang itu
menempel kuat di buritan perahunya. Pemuda berusia
dua puluh delapan tahun itu menjadi kesal. Seluruh
tenaganya dikerahkan untuk mencabut. Giginya bera-
du dengan mata menyipit saat mencoba melepaskan
batu karang keemasan itu.
"Gila! Mengapa susah sekali untuk mele-
paskannya?" desisnya. "Badur! Sabar! Bantu aku men-cabutnya!"
Setelah memakan waktu sepeminum teh, ak-
hirnya batu karang keemasan itu berhasil dilepas.
Salman menatap tak percaya begitu melihat batu ka-
rang itu semakin memancarkan sinar keemasannya.
Besarnya seperti buah kelapa.
Si pemuda berbadan kokoh ini mengerutkan
keningnya dengan mata tak lepas dari batu karang.
"Badur! Jangan-jangan yang kau katakan ini
benar. Secara tidak sengaja, aku telah mendapatkan
sebongkah emas," desis Salman.
Ki Surya Agung mengangkat tangannya, mengi-
syaratkan pada Salman untuk membawa batu karang
keemasan itu. Segera terbentuk lingkaran manusia,
ketika Salman membawa batu itu ke hadapan Ki Surya
Agung. Si lelaki tua dan si pemuda tak ubahnya tu-
kang obat yang mempertontonkan benda aneh. Semen-
tara para penonton memandang kagum sekaligus tak
percaya. "Aku tak yakin ini bongkahan emas. Tetapi un-
tuk membuktikannya, batu karang ini harus dipecah
sedikit," kata Ki Surya Agung yang sebenarnya adalah Kepala Desa Banyuasin. Maka
tak heran kalau kata-katanya selalu dituruti para penduduk.
Salman mencabut golok yang selalu terselip di
pinggangnya. Diletakkannya batu karang keemasan itu di pasir pantai. Sedangkan
orang-orang semakin tak
sabar untuk melihat apa yang terjadi.
Si pemuda bertubuh kokoh ini mengangkat
tangannya setelah melihat Ki Surya Agung mengang-
gukkan kepalanya. Lalu....
Crok! Pinggiran batu karang keemasan yang ditebas
golok Salman tidak pecah. Bahkan golok itu menjadi
sempal di tengahnya. Orang-orang terperanjat. Salman sendiri sampai melepas
goloknya, begitu merasakan
panas menyengat
Suara bergumam bagai ribuan lebah terdengar
dari mulut para penduduk yang menjadi ribut melihat keanehan itu. Sementara
Salman mengibas-ngibaskan
tangannya yang masih terasa sedikit panas. Hanya Ki Surya Agung yang mengerutkan
keningnya, seperti sedang berpikir keras.
Tiba-tiba.... "Salman! Lempar kembali batu karang itu ke
lautan!" sentak Ki Surya Agung.
Namun, terlambat. Sesuatu yang dahsyat telah
terjadi. Tiba-tiba saja batu karang keemasan itu semakin memancarkan cahaya
keemasan, membuat orang-
orang di sana terperangah. Namun belum lagi menya-
dari apa yang terjadi, mendadak saja....
"Aaa."!"
Terdengar jeritan saling susul, disusul terjeng-
kangnya tubuh para penduduk satu persatu.
Puluhan pasang mata yang sejak tadi memper-
hatikan batu karang itu kontan pecah mengeluarkan
darah, ketika terhantam sinar keemasan itu.
Ki Surya Agung bergerak cepat. Tubuhnya me-
nerobos, menyambar batu karang itu. Namun...
"Aaakh!"
Si lelaki tua menjerit keras, merasakan panas
menyengat yang menyambar kedua tangannya. Wajah-
nya menjadi pias dengan sepasang mata melotot tajam.
Tangannya berusaha digerakkan untuk mele-paskan
batu karang. Namun semakin berusaha, semakin kuat
batu karang itu melekat di tangannya.
"Pergi kalian dari sini! Tinggalkan tempat itu!
Aku pernah mendengar cerita tentang batu karang
emas milik Eyang Dewi Samudera beserta kutukannya.
Bila ada yang melihatnya, semua akan mati! Maka, cepat kalian.... Aaakh...!"
Lelaki perkasa itu menjerit keras ketika sepa-
sang matanya tersambar sinar yang sangat terang. Je-ritannya terdengar setinggi
langit. Sepasang matanya bagaikan pecah dan langsung mengeluarkan darah.
Tubuhnya terpelanting, bergulingan menahan rasa sa-
kit luar biasa. Sementara Batu karang keemasan itu
terus melekat di tangannya.
Orang-orang yang masih terbebas dari sinar
keemasan batu karang berlarian tunggang-langgang
disertai teriakan-teriakan keras. Namun tiba-tiba saja bagai dihantam tenaga
gaib, mereka semua tersuruk
ke depan dengan jeritan menyayat. Nyawa mereka me-
layang saat itu juga.
Salman sendiri berusaha melepaskan batu ka-
rang itu dari tangan Ki Surya Agung. Namun akhirnya tangannya sendiri tak bisa
dilepaskan. Kedua bola matanya sudah mencelat keluar dari rongganya, dan
mengalirkan darah.
Suasana kalang kabut terus berlangsung.
Orang-orang semakin serabutan dan semakin terden-
gar teriakan keras, disusul tubuh-tubuh yang jatuh
tersungkur. Ketika sinar keemasan dari batu karang
itu menghantam, punggung mereka kontan bolong
mengepulkan asap.
Sementara itu, orang-orang yang matanya men-
celat keluar pun perlahan-lahan mulai tak bergerak la-gi setelah tadi melayang-
layang. Dari seluruh pori-pori tampak darah merembes. Dan bagai ada kata
sepakat, mereka mati bersama. Hal yang sama pun dialami Ki
Surya Agung dan Salman.
Sebentar saja, tak seorang pun yang hidup. Ke-
gembiraan mereka punah ditelan kengerian menggi-
riskan. Batu karang keemasan yang tadi sukar dile-
paskan Ki Surya Agung dan Salman, tiba-tiba saja bergulir. Sinar yang
dipancarkannya semakin menerangi
sekitar pantai itu. Lalu....
Blamm...! Tiba-tiba terdengar dentuman yang berasal dari
laut yang berjarak lima puluh tombak dari pantai.
Byurrr! Air membuyar membentuk kelompok dan me-
nyebar ke segala arah. Saat itu juga ombak bergulung semakin membesar. Begitu
air berjatuhan, di atas ombak telah berdiri seorang gadis cantik bukan main.
Begitu cantiknya, sehingga hanya bisa dikalahkan oleh para bidadari. Si gadis
berpakaian jingga, terbelah hingga ke pangkal paha. Kedua bahunya yang mulus
terbuka. Rambutnya panjang hingga ke ping-gang.
Ombak tempat gadis itu berdiri, terus memburu
ke pantai. Dan bagaikan terbang, si gadis melayang
dari ombak ke pasir pantai.
Wajah gadis ini yang jelita menyeringai. Sepa-
sang matanya begitu tajam bak sembilu bermata dua.
Di kepalanya bertengger sebuah mahkota bersusun ti-
ga, dihiasi butiran permata indah yang berkilat-kilat diterpa matahari pagi.
"Secara tak sengaja, kalian telah membangun-
kan aku dari alam gelap di dasar samudera. Dari hawa murni kalian yang tersedot
Mustika Karang Emas, telah menambah kekuatanku untuk hidup lagi di dunia
nyata!" seru si gadis dingin.
Dan mendadak si gadis terbahak-bahak seting-
gi langit, membahana ke seantero pantai. Deretan pohon nyiur yang ada di sana
kontan tumbang pada ba-
gian tengah. Pasir pantai beterbangan terbawa ta-
wanya. "Eyang Dewi..., aku telah sampai di alam nyata ini!"
Lalu si gadis berbaju jingga itu memungut batu
karang keemasan yang telah membunuh puluhan
orang di pantai. Bibirnya tersenyum dengan kedua ma-ta tajam bersinar
menggiriskan. "Mustika Karang Emas yang dikendalikan tena-
ga dalamku ini membuktikan betapa hebatnya tenaga
dalam yang kumiliki!" suaranya keras menggelegar.
"Akulah Putri Samudera yang akan menguasai dunia ini!"
Plas! Setelah berkata begitu, bagai ditelan bumi dan
dihembus angin prahara, gadis jelita yang menyebut
dirinya Putri Samudera lenyap dari pandangan.
*** 2 Waktu terus bergulir. Dan senja pun datang.
Matahari membiaskan garis-garis merahnya di perma-
dani langit, menyisakan kelembutan di persada.


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang pemuda yang baru tiba di pantai Desa
Banyuasin mengerutkan kening melihat mayat-mayat
bergeletakan. Rambutnya yang gondrong menjadi tidak teratur dipermainkan angin
nakal yang ber-hembus
dingin. Pakaiannya yang berwarna hijau pupus dengan kain bercorak caturnya di
bahu pun tak luput dari an-
gin nakal itu. "Astaga! Kompak sekali mereka" Mati kok ba-
reng-bareng?" desisnya tanpa maksud bercanda. Kening masih berkerut saat
memperhatikan mayat-mayat
itu satu persatu. "Gila, dada mereka bolong dengan jantung hangus. Dan yang
ini.... Oh, Gusti! Mata mereka bagaikan pecah tanpa bola mata! Monyet pitak!
Apa yang telah terjadi?"
Si pemuda yang memiliki pancaran mata dan
alis bagai kepakan elang menggeleng-geleng kepala
dengan mulut berdecak penuh penyesalan. Dia masih
berlutut memeriksa mayat-mayat itu.
"Apakah ada seseorang atau puluhan orang
yang telah mengamuk dan membunuhi mereka" Hm....
Bila melihat isi perahu pukat itu, sepertinya ada di antara mereka yang baru
saja mencari ikan. Dan bila melihat tubuh-tubuh yang sudah dingin ini, aku
yakin..., paling tidak peristiwa pembunuhan ini terjadi pagi ta-di...." "Hhh! Di
senja yang indah ini, rupanya ada manusia berhati iblis!"
Gumaman si pemuda terpenggal oleh sebuah
bentakan di belakangnya. Cepat kepalanya menoleh
seraya berdiri. Tampak kini seorang gadis kira-kira berusia delapan belas tahun
sedang menatap tajam ke-
padanya. Begitu dingin sekali.
Si pemuda tampan ini bergerak menghampiri
dengan langkah satu-satu. Dan dia berhenti setelah
berjarak tiga tombak di depan gadis itu. Bukannya
hendak marah lantaran bentakan itu. Bukan. Si pe-
muda cuma ingin menikmati wajah cantik di depan-
nya. "Kau bicara padaku, Neng" Kalau iya, sumpah mampus biar disambar capung aku
bukan pela- kunya...," sahut pemuda itu, enteng.
"Mana ada maling mengaku maling! Mana ada
pembunuh yang mengakui perbuatannya! Pemuda ke-
parat! Tangan celaka mu telah menimbulkan dosa
yang tak bisa diampuni!" bentak gadis berpakaian putih dengan sulaman benang
perak di sisi kanan dan ki-ri pakaiannya. Kedua tangan gadis itu siap mencabut
sepasang pedang yang bersilang di punggungnya
"Sabar..., sabar..., orang tak sabar temannya
setan. Makanannya ketan. Rumahnya di wetan. Pacar-
nya orang utan, ha ha ha.... Eh, maaf. Terus terang, aku baru saja tiba di
tempat ini. Begitu tiba, semua pemandangan mengerikan ini sudah terjadi," kilah
si pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor,
setelah ngoceh tak karuan.
"Pandai bicara! Biasanya hanya orang licik yang pandai bicara! Mampuslah kau!"
Gadis berkucir ekor kuda itu segera bergerak
cepat. Sepasang pedangnya di tangan kanan dan kiri
mengibas ke arah Andika. Namun dengan enak dan
entengnya, Pendekar Slebor berlompatan ke sana ke-
mari menghindari sambaran sepasang pedang itu.
"Wah..., ini sih salah paham. Kalau tak cepat
dihentikan, bisa-bisa aku yang repot sendiri...," gumam si pemuda sambil
menghindar dengan kecepatan
melebihi gerakan pedang gadis berbaju putih itu.
Gadis yang menyangka kalau pemuda itulah
pelaku pembunuhan itu semakin mempergencar se-
rangannya. Kali ini sepasang pedangnya berkelebat lebih dahsyat dari semula.
Angin keras menderu-deru
terdengar, seolah mampu membuat jantung putus.
Namun dengan kelincahannya yang begitu dah-
syat, si pemuda mampu menghindarinya. Dan menda-
dak, Pendekar Slebor melompat ke belakang, mengam-
bil jarak. Wajah yang semula cerah berubah geram bukan main.
"Nona! Aku bisa saja membuatmu tak berkutik.
Tapi sekali lagi, ini hanya salah paham," tegas si pemuda yang lama-kelamaan
menjadi jengkel.
"Justru aku ingin melihat kehebatan manusia
picik dan pengecut sepertimu!" geram si gadis, kembali melancarkan serangan.
"Astaga! Benar-benar kepala batu! Kalau begini terus menerus, waktuku bakalan
habis. Dalam keadaan seperti ini, sudah tentu dia tak akan mau men-
dengarkan kata-kataku."
Sehabis berpikir begitu, si pemuda mendadak
saja membuat gerakan cepat laksana kilat. Pada saat yang sama, sepasang pedang
di gadis meluruk ke
arahnya dengan sentakan kuat.
Mendadak saja kedua tangan Pendekar Slebor
yang bersilang di dada tadi bergerak menyilang. Jari telunjuk yang dijadikan
satu dengan jari tengah, menotok kedua pergelangan tangan si gadis.
Tuk! Tuk! Secepat itu pula Andika menyambar kedua pe-
dang gadis itu.
Tap! Tap! Si gadis melompat mundur dengan wajah ge-
ram. "Keparat! Kembalikan pedang-pedangku! Kau harus mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatanmu!" dengus si gadis muda marah bukan main
Andika tersenyum.
"Dengar, Nona. Mau percaya syukur, tak per-
caya yang sudah. Sekali lagi kukatakan, aku tak tahu-menahu soal kematian orang-
orang ini. Aku baru saja datang, ketika kau datang. Atau..., sebelumnya kau sa-
lah makan obat?"
"Sialan! Kalau memang bukan kau yang mela-
kukannya, apa yang bisa kau jelaskan tentang semua
ini, Pemuda Keparat"!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Dalam hati dia memuji kecantikan gadis ini. Tetapi sikapnya membuat si
pemuda menjadi jengkel.
"Kau mungkin perlu selembar bulu ayam untuk
mengorek kuping mu, Neng. Aku harus bilang berapa
kali, sih?" tukas Andika, enteng.
Si gadis mendengus.
"Kalau kau berdusta, sampai kapan pun aku
akan mencarimu! Kembalikan kedua pedangku!"
Pendekar Slebor melemparkan kedua pedang
yang tadi dirampasnya. Cepat gadis itu menangkap
dan memasukannya kembali ke warangka yang berjun-
tai benang perak di punggung.
Lalu si gadis bergerak ke sana kemari men-
gumpulkan mayat-mayat yang berserakan. Sementara
Andika hanya memperhatikannya saja.
"Jangan bengong saja! Bantu aku mengubur-
kan mayat-mayat ini!"
Andika tersentak ketika mendengar bentakan si
gadis. Seperti baru sadar, kedua alisnya diangkat.
"Kutu monyet! Galak benar sih, gadis ini!" gumam Pendekar Slebor, mangkel.
*** Malam makin larut. Angin pantai semakin ber-
hembus dingin. Pohon nyiur melambai-lambai bagai
tarian gadis-gadis cantik. Pekerjaan menguburkan
mayat-mayat itu akhirnya selesai. Kini Andika dan gadis galak itu terduduk di
pasir pantai dengan kedua
kaki ditekuk. Tak ada yang berbicara, kecuali angin pantai yang mempermainkan
seluruh tubuh mereka.
"Aku ingin tahu siapa yang melakukan tinda-
kan keji ini," cetus si gadis memecah kesunyian tanpa menoleh.
"Aku akan menyeretnya untuk mempertang-
gungjawabkan segala tindakan busuknya ini," sahut Andika dengan sikap sama.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu.
Pendekar Slebor menoleh pada si gadis yang
sedang menatap gundukan tanah besar yang berisi
mayat-mayat tadi. Keningnya berkerut.
"Untuk apa kau tahu namaku" Bukankah kau
masih menyangka aku yang melakukan tindakan ini?"
tukas Andika. "Bodoh! Kalau aku tetap pada dugaan seperti
itu, kau sudah menjadi mayat tahu!"
Si pemuda tersenyum mendengar kata-kata
melecehkan dari gadis itu.
"Namaku Andika. Kau sendiri?"
"Namaku Raras."
Andika mengangkat kedua alisnya tak menger-
ti. Heran juga melihat sikap gadis yang bernama Raras yang cukup
membingungkannya. Dan ia semakin bingung melihat Raras menghela napas panjang,
bagai merisaukan satu hal.
"Kenapa denganmu, Raras?" tanya Andika hati-hati. "Ada masalah yang merisaukan
mu?" Raras menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh aku tahu, aku bersedia menden-
garkannya."
Raras mendesah panjang.
"Andika.... Aku baru saja turun gunung. Guru-
ku berjuluk Dewa Pedang yang mendiami Bukit Pe-
dang. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama Guru sebe-
narnya. Hampir tujuh tahun aku hidup bersamanya.
Aku diajarkan bermacam ilmu olah kanuragan yang
sangat hebat. Dua minggu yang lalu, Guru memanggil-
ku. Aku diperintah untuk datang ke Kesultanan Laut
Selatan yang dikuasai Sultan Mangkunegoro. Menurut
guruku, saat ini Kesultanan Laut Selatan sedang diintai bahaya. Tetapi, guruku
sendiri tidak tahu bahaya apa. Maka aku diharuskan untuk memberitahukan
semua itu pada Sultan Mangkunegoro. Sekaligus, un-
tuk membantunya."
"Lalu, apa yang merisaukan mu" Bukankah ja-
rak Kesultanan Laut Selatan dari tempat ini hanya
membutuhkan waktu dua hari?" tanya Andika.
"Benar. Tetapi yang merisaukan ku, bagaimana
caranya aku bisa membantu Kesultanan Laut Selatan
dari intaian maut, sementara menghadapimu saja aku
tidak mampu?"
Andika mendesah pendek. Rupanya itu masa-
lah yang merisaukan Raras.
"Hei, kau tak perlu risau. Jujur saja, aku tahu kau belum mengeluarkan segenap
ilmu yang kau miliki. Dalam dua gebrak selanjutnya, bisa dipastikan kepala ku
akan berpisah selama-lamanya dari tubuhku,"
hibur Pendekar Slebor.
Raras tersenyum sedih.
"Aku tahu kau cuma menghibur. Justru aku
sudah mengeluarkan segenap kemampuanku," desah si gadis.
Selain bingung dengan sifat gadis ini, Andika
tahu kalau Raras sangat perasa. Tanpa sadar tangan-
nya merangkul bahu Raras. Dan gadis itu diam saja.
"Bila kau rajin berlatih, dalam waktu satu ta-
hun, pasti akan mampu mengalahkan aku, Raras."
Raras terdiam. Diamnya Raras justru membuat
Andika semakin tak enak
"Aku suka padamu, Andika," kata Raras tiba-tiba. "Sifatmu yang kelihatan urakan,
ternyata masih memiliki hati bersih. Sudahlah.... Aku harus segera ke Kesultanan
Laut Selatan sebelum terlambat. Andika...
Maukah kau ikut bersamaku untuk membantu Kesul-
tanan Laut Selatan dari bahaya?"
Andika tak mengangguk, tak pula menggeleng.
"Aku masih ingin menghabiskan malam di sini," kata Andika. Raras hanya
mengangguk saja. Lalu si gadis
bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa, tubuhnya sudah
berkelebat cepat.
Sepeninggal Raras, Andika mendesah pendek.
Apa yang sebenarnya akan menimpa Kesultanan Laut
Selatan" Kematian mayat-mayat itu saja masih mem-
bingungkannya. Andika bermaksud untuk mengetahui apa yang
telah menimpa para penduduk di sini. Juga, bermak-
sud untuk membantu Raras menyelamatkan Kesulta-
nan Laut Selatan dari bahaya yang belum diketa-
huinya. Tetapi, Pendekar Slebor harus menunggu saat yang tepat.
*** 3 Kesultanan Laut Selatan pada masa ini cukup
dikenal namanya. Berkumandang di seluruh pulau
Jawa dan Sumatra berkat pimpinan Sultan Mangku-
negoro yang merupakan keturunan ketiga dari Sultan
Laut Selatan. Sikapnya yang arif dan penuh kebijaksa-naan dalam membangun
wilayah Kesultanan Laut Se-
latan, membuat rakyat sangat menghormati sekaligus
mengagungkannya.
Pagi sudah cukup tua. Namun suasana tam-
paknya cerah. Cocok sekali untuk istirahat di taman keputren. Dan itu yang
dilakukan Sultan Mangkunegoro. Bibirnya tersenyum-senyum melihat beberapa selir
sedang berenang-renang di kolam berbentuk persegi
panjang sambil tertawa bersenda gurau. Di sudut ko-
lam ada dua patung kecil yang menggambarkan sepa-
sang kekasih sedang memadu asmara.
Di kursi yang mirip singgasana Sultan Mang-
kunegoro duduk. Di hadapannya terdapat meja kecil
berlapiskan kain beludru berwarna keemasan. Di
atasnya terdapat minuman segar dan buah-buahan.
Dan senyum Sultan Mangkunegoro mendadak
lenyap, ketika ada sesuatu yang menyentak perasaan-
nya. Dia mencoba menyingkirkan ganjalan di benak-
nya dengan memandangi selir-selirnya yang ber-
cengkerama di kolam, tapi tetap saja tak mampu. Berkali-kali terdengar
desahannya yang pelan. Dua orang selir yang menemaninya tak berani berkata apa-
apa. Mereka terus memijiti tangan dan kaki Sultan Mang-
kunegoro. "Ah! Aku harus membicarakan semua ini pada
para patih dan sesepuh Kesultanan Laut Selatan," desahnya perlahan, hampir tanpa
suara. "Barangkali mereka bisa menemukan apa arti mimpi ku semalam."
Lalu perlahan-lahan lelaki gagah berusia enam
puluh delapan tahun itu bangkit. Bibirnya tersenyum pada kedua selirnya yang
segera menyisih.
"Kalian bersenang-senanglah dulu," ujar Sultan Mangkunegoro dengan senyum penuh
kearifan. Dengan langkah mengesankan kegagahannya,
Sultan Mangkunegoro melangkah meninggalkan kepu-
tren. Pakaian panjangnya yang terbuat dari sutera
mahal dengan tarikan benang emas di seluruh bagian-


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya, menjuntai hingga ke lantai.
*** Sultan Mangkunegoro telah mengumpulkan pa-
ra pejabat Kesultanan Laut Selatan di balairung istana.
Dengan matanya, dia menyapu para bawahannya yang
duduk bersimpuh di hadapannya. Paling dekat den-
gannya adalah seorang lelaki berusia enam puluh ta-
hun. Sikapnya gagah penuh wibawa. Sebilah pedang
bersarung dan berhulu emas tersampir di pinggang-
nya. Namanya, Ki Patih Darmomulyo.
Di sebelah Ki Patih Darmomulyo, duduk seo-
rang lelaki yang berusia empat puluh tahun yang men-jabat Panglima Tinggi
Kesultanan Laut Selatan. Pa-
kaiannya panjang berwarna hitam dengan ikat ping-
gang warna keemasan. Sehingga menambah keperka-
saannya. Namanya Mahesa Dewa. Di balik pinggang-
nya, terselip sepasang trisula berhulu kayu cendana.
Di sebelah Panglima Tinggi Mahesa Dewa du-
duk seorang lelaki tua yang usianya melebihi Sultan Mangkunegoro. Pakaiannya
panjang berwarna putih.
Di dadanya terdapat sulaman warna biru bergambar
tasbih. Kumis dan jenggot yang lebat telah memutih.
Kepalanya terbungkus sorban yang rapi sekali. Di tangannya terdapat tasbih warna
putih pula yang lebih
besar ukurannya dari tasbih biasa. Namanya, Empu
Kamiaga. Dia dikenal sebagai penasihat Sultan Mang-
kunegoro. Kehadiran tiga orang bawahannya yang sangat
dipercayai, membuat Sultan Mangkunegoro semakin
mantap untuk membicarakan mimpinya semalam.
"Tak biasanya aku memanggil kalian pagi ini,
bukan?" kata Sultan Mangkunegoro memulai kata-
katanya. "Semua ini dikarenakan, ada masalah yang menggangguku."
Tak ada yang bersuara. Semuanya mendengar-
kan penuh seksama.
"Mimpi yang ku alami sangat mengerikan. Tiba-
tiba saja matahari bagai lenyap dari peredarannya, pa-dahal saat itu siang hari.
Seluruh alam gelap gulita, termasuk Kesultanan Laut Selatan. Tak ada alat pe-
nerangan yang bisa bekerja. Kekalutan menggema di
sana-sini. Lalu sayup-sayup terdengar teriakan burung prenyak yang ramai. Ketika
ku kuakkan jendela, samar kulihat burung prenyak berbondong-bondong
mengitari Kesultanan Laut Selatan. Bahkan...." Sultan Mangkunegoro menggantung
kata-katanya. Sepertinya
ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Sementara
yang lain menanti kelanjutannya dengan penuh pena-
saran. "Dinding-dinding Kesultanan Laut Selatan mendadak saja roboh perlahan,
menimbulkan suara
mengerikan. Aku melihat para selir sudah menjadi
mayat dengan luka mengerikan di dada. Dalam kegela-
pan itulah, mendadak saja aku melihat sebuah cahaya bagai sinar emas. Dari
cahaya itu, mendadak saja keluar satu sosok tubuh yang begitu cantik sekali. Di
kepalanya ada mahkota bersusun tiga. Aku tak sempat
bertanya, karena wanita berparas rupawan itu sudah
mencekik leherku. Aku berteriak sekuat tenaga, na-
mun tak ada yang mampu menolongku. Sebelum aku
menemui ajal, tiba-tiba saja aku terbangun. Mimpi itu pun lenyap. Nah! Karena
mimpi yang mengerikan itu-
lah aku memanggil kalian untuk menafsirkannya," pa-par Sultan Mangkunegoro.
Tak ada yang segera menyahut. Terus terang, di
hati masing-masing sudah tersirat kalau bahaya akan datang menimpa Kesultanan
Laut Selatan. Namun, tak
ada yang ingin mengungkapkannya.
"Yang Agung, tak ada tersirat apa pun dalam
mimpi Sultan. Itu hanya bunga tidur saja," kata Empu Karniaga, setelah dicekam
suasana sunyi. "Tetapi, aku begitu merasakannya," tegas Sultan Mangkunegoro.
"Maafkan hamba, Yang Agung. Itu dikarenakan
Yang Agung memikirkan semuanya. Menurut hamba,
itu hanyalah bunga tidur saja."
"Bagaimana dengan kau, Ki Patih?" tanya Sultan Mangkunegoro. Wajahnya masih
memperlihatkan ketidakpuasannya atas jawaban Empu Karniaga.
Ki Patih Darmomulyo mengatupkan kedua tan-
gannya di dada.
"Sesungguhnya, Sultan lebih penuh pengertian
daripada hamba. Empu Karniaga, memiliki pengala-
man lebih dari hamba. Dan hamba pun sependapat
dengannya, Yang Agung. Kalau mimpi yang telah
mengganggu tidur Yang Agung, hanyalah bunga tidur
saja," jawab lelaki tua ini.
Perhatian Sultan Mangkunegoro beralih pada
Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Apakah kau hendak mengatakan hal yang sa-
ma, Panglima?"
Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengerti kalau
kedua kawannya seakan menutupi kejadian yang se-
benarnya. Makanya dia sedikit tercekat ketika di tanya.
Tetapi, kepalanya pun mengangguk
"Begitu pula pendapat hamba, Yang Agung."
Sultan Mangkunegoro bersandar. Tangannya
mengusap-usap dagunya. Jelas sekali pendapat ketiga bawahannya yang setia ini
masih diragukan.
"Bila kalian sepakat seperti itu, aku tak akan memikirkannya lagi. Aku tidak
tahu, apakah kalian
berkata sungguh-sungguh atau hanya menghibur ku
saja. Sekarang, kembalilah ke tempat masing-masing,"
ujar Sultan Mangkunegoro, akhirnya.
Penguasa Kesultanan Laut Selatan ini pun
bangkit dari duduknya. Seketika ketiga bawahannya
yang setia berdiri dan mengiringinya di belakang.
Setelah Sultan Mangkunegoro masuk ke pera-
duannya, Empu Karniaga meminta kepada Ki Patih
Darmomulyo dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa untuk
berkumpul di kediamannya, di belakang Istana Kesul-
tanan Laut Selatan.
"Aku berterima kasih kepada kalian, karena se-
cara tidak langsung kalian mendukung pendapatku.
Aku yakin, sebenarnya kalian juga memikirkan hal
yang sama denganku. Hmm..., Kesultanan Laut Sela-
tan dalam bahaya," kata Empu Karniaga, ketika mereka telah berkumpul di ruang
tamu. "Kau betul, Empu," sahut Ki Patih Darmo-
mulyo. "Pendapat yang kau kemukakan itu memang betul. Kebohongan kita justru
untuk kepentingan Yang Agung sendiri."
"Maafkan aku, Empu," ucap Panglima Tinggi Mahesa Dewa. "Nampaknya kabut memang
akan menutup Kesultanan Laut Selatan. Mungkin darah akan
bersimbah, meskipun aku tidak tahu apa yang akan
terjadi, dan siapa yang melakukannya. Namun, aku
akan lebih memperketat penjagaan di Kesultanan Laut Selatan. Terutama, kesiagaan
untuk menyelamatkan
Yang Agung Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Sri
Dewi Rajasi."
"Kalau soal ilmu perang, mungkin ilmuku tak
sebanding denganmu, Panglima," kata Empu Karniaga merendah. "Namun kuminta,
kirimkan beberapa perwira dan prajurit untuk menyelidiki sekitar Kesultanan Laut
Selatan. Bahkan melangkah sampai ke empat
penjuru. Dan kau, Ki Patih. Bukannya mengenyam-
pingkan kehebatanmu. Namun kuminta mulai seka-
rang, di mana pun Sultan Mangkunegoro berada, kau
harus selalu mendampinginya."
"Baik, Empu."
"Satu hal yang penting, sebagai tonggak dari
Kesultanan Laut Selatan ini, kita bertiga harus beru-paya sekuat tenaga untuk
menyelamatkannya. Teru-
tama, keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Sri Ra-
tu." Semuanya terdiam. Hati mereka bertanya-tanya
tak enak. Benarkah apa yang mereka duga ini" Atau-
kah, mimpi yang dialami Sultan Mangkunegoro hanya-
lah bunga tidur belaka"
Dan sebelum ada yang berkata lagi....
"Aku datang untuk melaporkan sesuatu pada
Sultan Mangkunegoro!"
Terdengar teriakan dan suara ribut-ribut dari
halaman Kesultanan Laut Selatan.
*** Empu Karniaga mendesah pendek ketika ber-
sama dua kawannya tiba di halaman depan istana.
"Panglima, kau tengok siapa yang datang. Ki
Patih, kau jaga Sultan Mangkunegoro. Katakan, segala sesuatunya aman. Tinggalkan
aku di sini. Karena..., ada sesuatu yang samar di otakku. Dan aku ingin
mendapatkan kejelasannya," ujarnya.
Kedua orang yang mempunyai kedudukan ting-
gi di Kesultanan Laut Selatan itu mengangguk. Tak
ada yang membantah. Mereka saling menghormati sa-
tu sama lain. Panglima Tinggi Mahesa Dewa melihat seorang
gadis sedang melancarkan serangan pada lima orang
prajurit bertombak yang mengurungnya. Dalam sekali
lihat saja, bisa diketahui kalau gadis itu memiliki ilmu cukup lumayan. Karena
dalam gebrakan berikutnya,
kelima prajurit itu berpentalan.
Ketika gadis itu hinggap di tanah dengan rin-
gan, Panglima Tinggi mencelat ke depan. Beberapa
orang prajurit yang tadi siap menyerang langsung
mundur lima tindak.
"Hup!"
Kini lelaki ini berada dalam jarak dua tombak
dengan gadis berbaju putih yang sedang mengatur na-
fasnya. "Nona..., tak ada angin tak ada hujan, kau telah menurunkan tangan di
halaman Kesultanan Laut Selatan," desis Panglima Tinggi Mahesa Dewa
"Siapa yang berani bilang begitu, hah"! Apakah salah, seorang gadis sepertiku
ini datang untuk menghadap Yang Agung Sultan Mangkunegoro. Para prajurit
brengsek ini saja yang main tangkap saja! Atau, kalian sebenarnya memang terdiri
dari orang-orang kejam"!"
bentak si gadis yang tak lain Raras, dengan nada sewot. Panglima Tinggi Mahesa
Dewa tersenyum. Dia
tahu, gadis ini tidak sabar. Dan itu dapat dimaklu-
minya. "Nona.... Namaku Mahesa Dewa. Aku adalah Panglima Tinggi di Kesultanan
Laut Selatan."
"Hhh" Percuma mempunyai jabatan seperti itu,
kalau tak becus mengurus. anak buahmu yang breng-
sek ini!" Wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa memerah mendengarnya. Hatinya sudah
panas sekali. Tetapi,
bibirnya tetap tersenyum.
"Maafkan mereka, Nona. Sekarang, katakan
apa yang hendak kau sampaikan kepada Sultan
Mangkunegoro."
Sambil berkata begitu, dalam hati Panglima
Tinggi Mahesa Dewa berpikir kalau melihat cara ber-
pakaiannya, jelas gadis ini dari kalangan persilatan.
Hmm... Apakah yang hendak disampaikannya ini ada
hubungannya dengan apa yang dibicarakan tadi"
"Aku tak akan mengatakannya bila tidak ber-
hadapan dengan Yang Agung sendiri," tandas Raras.
"Soal itu mudah kita bicarakan, Nona...."
"Raras."
"Begini, Raras.... Segala sesuatunya ada tata
krama yang harus dijalani. Bukan main tabrak saja..,"
jelas Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Siapa suruh mereka menghadangku?" potong Raras sewot
"Bisakah kita membicarakannya berdua lebih
dulu, apa yang hendak Nona sampaikan kepada Yang
Agung Sultan Mangkunegoro?"
"Dan kau bermaksud untuk menjebakku, bu-
kan?" Kembali wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa memerah. Ini benar-benar
keterlaluan. Tetapi, hatinya tetap bersabar.
"Nona. Harga diriku lebih tinggi untuk melaku-
kan hal-hal yang pengecut. Nona bisa mempercayai
ku.... Silakan...."
Raras memperhatikan dengan mata menyelidik.
Para prajurit yang sudah siap mengurungnya tadi me-
nurunkan senjata yang dipegang. Setelah menimbang
beberapa saat, Raras pun mengangguk.
Gadis ini lantas diajak ke sebuah ruangan yang
terdapat di sisi barat Kesultanan. Ruangan itu cukup besar. Beralaskan permadani
merah. "Katakan, Nona.... Apa yang hendak disampai-
kan...," ujar Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Sudah kukatakan, aku hendak mengatakan-
nya pada Sultan Mangkunegoro. Begitu guruku meme-
rintahku."
Kali ini kening Panglima Tinggi Mahesa Dewa
berkerut. "Gurumu" Siapakah beliau?"
Melihat kesabaran dan kesopanan yang diperli-
hatkan Panglima Tinggi Mahesa Dewa, kelakuan Raras
mulai mencair. "Guruku berjuluk Dewa Pedang," sahut gadis itu.
Raras terkejut ketika melihat Panglima Tinggi
Mahesa Dewa terbahak-bahak.
"Aha. Apa kabar beliau, Raras" Apakah dia se-
hat-sehat saja" Tak pernah kusangka kalau Dewa Pe-
dang mempunyai murid. Cantik Ayu. Gesit. Dan he-
bat." Raras mendesah pendek. Secara tidak langsung dia tahu kalau Panglima
Tinggi Mahesa Dewa mengenal gurunya.
"Raras.... Sekarang, ceritakan apa yang hendak kau sampaikan. Beliau menitip apa
kepadamu?"
Kali ini sikap Raras benar-benar tenang. Lalu
diceritakannya apa yang hendak disampaikannya. Se-
jak pertama kali Raras bercerita, kening Panglima
Tinggi Mahesa Dewa selalu berkerut. Setelah akhir dari cerita Raras, terdengar
helaan nafasnya.
"Rupanya apa yang tengah kami bicarakan
memang akan terjadi," katanya pelan.
Lalu karena Raras orang sendiri, apalagi men-
getahui gadis itu murid dari sahabatnya, Panglima
Tinggi Mahesa Dewa pun menceritakan apa yang baru
saja dibicarakan.
"Raras.... Dengan kehadiranmu ini..., jelas sudah kalau Kesultanan tengah


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diintai awan gelap.
Hm.... Sebaiknya kau menetaplah di sini. Bukankah
tadi kau mengatakan kalau hendak membantu?" kata Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Raras mengangguk
"Sebaiknya kau beristirahat dulu," ujar Panglima Tinggi Mahesa Dewa. Lalu lelaki
ini menyuruh dua orang emban untuk menyiapkan kamar.
*** 4 Angin laut menderu-deru membawa ombak
bergulung-gulung. Andika alias Pendekar Slebor
menghela napas panjang. Telah seharian mayat-mayat
yang bergeletakan dikuburkannya. Dia masih terus
menguak tabir apa yang terjadi, sehingga banyak ma-
nusia yang menjadi mayat
Andika duduk menekuk kedua lutut di atas pa-
sir, agak jauh dari pantai. Di sebelah timur tak jauh darinya terlihat beberapa
buah gundukan tanah. Matahari masih sepenggalah. Sinarnya yang masih lem-
but menerangi seluruh alam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andika
sambil sesekali melempar batu ke laut. Lemparannya
luar biasa. Sekali tolak saja, batu itu meluncur bagai anak panah lepas dari
busurnya. "Hmm.... Aku jadi penasaran. Namun tak seorang pun yang bisa kuta-nyai
tentang kejadian ini. Begitu pula Raras. Ah, ada apa ini" Mengapa dia begitu
tergesa untuk datang ke Kesultanan Laut Selatan" Apakah kedatangannya ada
kaitannya dengan peristiwa berdarah itu?"
Andika terus merenungi apa yang terjadi. Na-
mun, sejauh itu belum didapatkannya kesimpulan pe-
nyebab dari semua ini.
"Sial! Lama juga aku menunggu Raras di sini.
Apa dikira aku pelayannya"! Ah, lebih baik aku me-
nyusul Raras! Memang lebih baik menyusul. Masalah-
nya penasaran sih! Apa sih yang terjadi di Kesultanan Laut Selatan" Ya,
sebaiknya kususul dia kesana!"
Lalu mendadak saja pemuda tampan pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu berkelebat. Yang
nampak hanya bayangan hijau belaka.
*** Malam menyelimuti alam dengan kegelapannya.
Di langit, sinar rembulan tak mampu menembus tim-
bunan awan hitam yang enggan bergerak dari tempat-
nya. Kesultanan Laut Selatan nampak bagaikan raksa-
sa tertidur. Beberapa orang perwira dan prajurit hilir mudik berjaga. Di
kejauhan, terdengar ombak berde-bur keras.
Dan tiba-tiba....
Plasss! Sebuah benda yang memancarkan sinar kee-
masan melayang-layang dari kejauhan, berputar di
atas halaman Kesultanan Laut Selatan. Beberapa
orang perwira dan prajurit terkejut. Serentak mereka bersiaga dengan pandangan
tak lepas dari benda yang memancarkan sinar itu.
"Laporkan semua ini pada Panglima Tinggi Ma-
hesa Dewa! Aku menangkap isyarat tidak enak!" teriak orang perwira Kesultanan
Laut Selatan, memerintah.
Dua orang prajurit segera menjalankan perin-
tah. Namun mendadak saja dua buah sinar keemasan
mendesing ke arah mereka dengan kecepatan dahsyat.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Kepala kedua prajurit itu putus bergulingan.
Tubuh yang sudah tanpa kepala itu ambruk bersim-
bah darah. Suasana menjadi kacau sekarang. Apalagi si-
nar-sinar keemasan itu berderu-deru mencari sasaran.
Sebentar kemudian, lima orang prajurit pun terkapar dengan dada bolong.
Keadaan kacau semakin menjadi-jadi. Beberapa
orang yang bersenjata panah segera melepaskan anak
panah dari busurnya secara serempak
Tras! Tras! Namun sinar keemasan dari benda yang masih
mengapung di udara itu mematahkan serangan anak-
anak panah. Bahkan patahan dari mata anak panah
itu melesat ke pemiliknya sendiri.
Crap! Crap! "Aaa...!"
Lima orang prajurit ambruk
"Semua bersiaga! Benda itu benar-benar me-
mancarkan maut!" teriak perwira lain.
Keributan itu memancing Panglima Tinggi Ma-
hesa Dewa yang berada di tempatnya keluar. Matanya
bagaikan hendak mencelat keluar melihat beberapa
orang prajuritnya terkapar. Pandangannya dingin dan tajam melihat benda keemasan
yang memancarkan sinar. Sulit ditebak, benda apa itu. Karena, sinar yang
memancar sangat menyilaukan mata.
Raras sendiri yang belum tidur pun segera
mencelat keluar dan melihat apa yang terjadi.
"Panglima! Bahaya telah datang!" desis Raras sambil meloloskan kedua pedangnya.
"Kau benar, Raras. Tetapi..., awaaasss...!"
Panglima Tinggi Mahesa Dewa mencelat ke
samping begitu sinar keemasan menderu ke arahnya
disertai angin dahsyat.
Bummm! Dentuman terdengar. Dan tanah yang dipijak
Panglima Tinggi Mahesa Dewa membentuk sebuah lu-
bang. "Iblis! Benda iblis!" maki Raras.
Gadis ini cepat menghempos tubuhnya ke atas.
Namun dia harus segera berjumpalitan kembali, kare-
na tiga buah sinar itu menghalanginya.
"Setan! Bagaimana caranya untuk menda-
patkan sekaligus melumpuhkan benda laknat itu!"
maki Raras. Dan sebelum ada yang menjawab, sinar-sinar
keemasan yang dipancarkan benda itu kembali berde-
singan dahsyat. Begitu mengerikan. Bahkan disusul
kembali oleh jeritan menyayat dari beberapa orang prajurit yang tewas dengan
dada berlubang mengeluarkan asap. Raras berusaha melompat ke sana kemari
menghindari setiap desingan benda keemasan itu. Se-
mentara Panglima Tinggi Mahesa Dewa yang memiliki
ilmu cukup hebat pun kelihatan pias. Dia seakan tak mampu mempergunakan ilmunya.
Kesempatan semakin melanda ketika benda
keemasan itu mulai menghantam dinding-dinding Ke-
sultanan Laut Selatan. Suara bagai dentuman terden-
gar berkali-kali. Dinding kokoh itu roboh. Batu-batu kontan berpentalan. Lima
belas prajurit yang baru
muncul dari dalam Kesultanan Laut Selatan terpelanting dengan kepala pecah dan
dada bolong ketika sinar-sinar keemasan itu menghantam.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Panglima Tinggi Mahesa Dewa melesat ke
dalam, namun...
Duarrr! Panglima Tinggi Mahesa Dewa harus berjumpa-
litan menghindari desingan sinar keemasan yang san-
gat dahsyat. Wajahnya seakan menjadi pias. Ketika sinar keemasan itu menderu
lagi, mendadak kedua tan-
gannya dikatupkan di dada menjadi satu. Dan tiba-
tiba kedua tangannya dimajukan ke depan dengan ge-
rakan menyentak
Plas! Selarik sinar warna biru mencelat dari tangan
Panglima Tinggi Mahesa Dewa, langsung menghantam
sinar keemasan.
Blam! Dentuman terdengar kembali. Namun akibat-
nya, tubuh Panglima Tinggi Mahesa Dewa terpental ke belakang disertai muntahan
darah. Rupanya tenaga
pukulannya kalah jauh dibanding tenaga yang melesat dari sinar keemasan itu.
Dan kekalutan semakin bertambah ketika ben-
da keemasan itu kembali melayang-layang. Bahkan
mendadak saja menderu ke arah pintu Kesultanan
Laut Selatan yang sudah ditutup.
Blarrr! Pintu yang terbuat dari kayu jati kuat dan be-
sar itu kontan pecah berkeping terhantam benda kee-
masan yang langsung menerobos masuk
Raras segera meluncur untuk menghalangi.
Namun sinar keemasan kembali menghalau gerakan-
nya, hingga gadis itu pun mengurungkan niatnya. Ce-
pat tubuhnya berjumpalitan menghindari sambaran
sinar yang mematikan sekaligus menyilaukan.
"Rupanya bahaya itu sudah datang, inilah arti
mimpi dari Sultan Mangkunegoro," desah Empu Karniaga. Lalu dengan cepatnya,
lelaki ini meluruk ke arah benda keemasan itu. Tongkat di tangannya berputar dua
kali. Seketika sebuah sinar warna merah
ber-gulung-gulung mengarah pada benda keemasan
itu. Wrrr! Wrrr!
Benda keemasan itu bagai terperangkap di da-
lamnya. Bergerak-gerak liar namun sulit keluar.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Em-pu Karniaga.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa segera meluruk
masuk ke dalam Kesultanan Laut Selatan.
Sementara benda yang bagaikan berada dalam
perangkap pusaran sinar merah yang dilepaskan Em-
pu Karniaga semakin liar bergerak. Hanya sesaat hal itu terjadi. Karena di kejap
lain, benda itu tiba-tiba sa-ja lolos dan meluruk ke arah Empu Karniaga.
"Hiaaah...!"
Di kawal satu teriakan keras, lelaki itu mengge-
rakkan tongkatnya.
Trak! Benda itu terpental ke belakang sejenak. Se-
mentara, tongkat Empu Karniaga patah pada ujung-
nya. "Astaga! Siapa yang memiliki benda keparat
itu?" desis Empu Karniaga. Tubuhnya bergetar terkena hantaman tadi. "Aku yakin,
ada orang yang mengendalikannya. Berarti tenaga dalam orang itu sangat
tinggi." Dan anehnya, benda keemasan itu yang hendak melayang masuk ke dalam
Kesultanan Laut Sela-
tan tiba-tiba melayang ke arah timur. Semua mata ter-tuju ke arah benda itu. Dan
mata mereka pun terbelalak lebar ketika melihat benda itu telah berada di tangan
seorang dara jelita berpakaian jingga yang terbelah hingga ke pangkal paha, dan
terbuka pada bahunya.
Di kepalanya yang berambut panjang, terdapat mahko-
ta bersusun tiga. Wanita itu menyeringai menampak-
kan wajah yang sangat mengerikan dan dingin sekali.
*** Sepasang mata Empu Karniaga menyipit, mem-
perhatikan sosok gadis jelita yang memandang tajam.
Melihat benda itu berada di tangan si gadis yang tak lain Putri Samudera,
sadarlah Empu Karniaga kalau
dialah si pemilik batu keemasan yang memancarkan
sinar maut menggidikkan.
"Gadis laknat! Manusia bodoh boleh berbuat.
Tapi Yang Kuasa menentukan. Perbuatanmu yang te-
lah menurunkan keangkaramurkaan, tak akan pernah
diampuni!"
Putri Samudera terkikik keras disertai tenaga
dalam tinggi sekali. Dedaunan dari tiga buah pohon
yang tumbuh di halaman Kesultanan Laut Selatan se-
ketika rontok. Beberapa prajurit langsung terkapar, menjerit sambil menekap
kedua telinga yang mengalirkan darah segar. Sedang Empu Karniaga bergetar tu-
buhnya. "Luar biasa! Tenaga dalamnya sangat tinggi!
Siapa dia sebenarnya?" desisnya dalam hati.
"Kalian hanyalah mencari mampus! Aku masih
mengasihani kalian. Karena yang kubutuhkan adalah
nyawa Mangkunegoro!" bentak Putri Samudera.
"Siapa kau"!" bentak Empu Karniaga sambil mengalirkan tenaga dalam ke indera
pendengarannya.
"Begitu lancang kau menyebut Sultan seperti itu!"
"Namaku Putri Samudera! Penguasa Samudera!
Yang menginginkan nyawa Mangkunegoro!"
"Gila! Eyang Dewi Samudera yang mengua-
sainya!" desis Empu Karniaga dalam hati. "Tetapi, apakah benar semua ini?"
"Aku adalah murid Eyang Dewi Samudera!
Orang tua keparat! Suruh keluar Mangkunegoro! Ma-
ka, nyawamu akan kuampuni!"
"Perempuan laknat! Justru kau yang akan
mampus!" sentak Empu Karniaga.
Tubuh lelaki itu langsung melesat menimbul-
kan suara bergemuruh. Sementara Putri Samudera
masih terkikik-kikik keras. Sebelum serangan Empu
Karniaga mengenai sasaran, wanita itu tiba-tiba me-
niup. Wrrr! Sepertinya hanya hembusan napas belaka saat
Putri Samudera meniup. Namun, hasilnya sangat di
luar dugaan. Tubuh lelaki perkasa yang gagah itu terguling ke belakang ketika
merasakan angin raksasa
menghantam tubuhnya. Tulang iganya terasa patah.
Tetapi dia segera berdiri tegak dengan kedua mata nyalang penuh amarah.
"Laknat!" maki Empu Karniaga.
"Menyingkir dari sini bila masih ingin hidup!"
ujar Putri Samudera tandas.
"Mati ditentukan Yang Kuasa. Bila aku mati se-
karang pun tergantung pada-Nya!" seru Empu Karniaga gagah.
"Hhh! Mau mampus!"
Tangan yang halus dengan jari jemari yang len-
tik milik si wanita mengibas kembali. Kali ini Empu Karniaga nampak sudah
bersiap menyambut serangan.
Segera dia bergerak ke kanan dan ke kiri menghindari sambaran angin bak topan
prahara. Akibat dari semua itu, lima orang prajurit ter-
pental ke belakang. Mereka mati seketika terkena
sambaran angin dahsyat mematikan.
Sedangkan Empu Karniaga menjadi murka bu-
kan alang kepalang.
Sementara Ki Patih Darmomulyo pun sudah
hadir di sana. Pedang berhulu emasnya sudah dilo-
loskan. Begitu pula Raras yang sudah berdiri di si-
sinya. Melihat hal itu, Putri Samudera hanya terbahak-bahak saja. Tiba-tiba
tangannya menepuk seba-
nyak tiga kali. Seketika terdengar suara gemuruh yang sangat memekakkan telinga.
Begitu keras hingga
membuat orang yang mendengar harus menutup telin-


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga dan mengerahkan seluruh tenaga dalam kalau tak
ingin gendang telinga pecah.
Sedangkan puluhan prajurit yang memiliki te-
naga dalam lemah mendadak saja jatuh tumpang tin-
dih dengan jeritan bak lolongan serigala. Dan darah pun mengalir deras dari
telinga. Bukan hanya itu saja yang terjadi. Dari seluruh pori-pori mereka pun
mengalirkan darah. Lalu sesaat kemudian tubuh mereka
meledak! "Ini tak bisa dibiarkan!" sentak Ki Patih Dar-
momulyo. Lelaki ini segera melenting sambil mengibaskan
pedangnya. Terdengar suara begitu dahsyat bak ribuan tawon berdengung. Dia
berusaha menghalau suara ta-wa Putri Samudera. Namun akibatnya....
Desss...! "Aaakh...!"
Justru tubuh Ki Patih Darmomulyo yang harus
terjungkir balik ke belakang.
Melihat hal itu, Raras segera berkelebat untuk
menyelamatkan Ki Patih Darmomulyo bila tak ingin
tubuhnya yang melayang deras menghantam dinding
Kesultanan Laut Selatan. Namun gadis itu sendiri harus terpelanting ke belakang
ketika tangan Putri Samudera mengibas dan membuatnya merasa bagai se-
butir kelereng yang dilontarkan.
Brak! Tubuh Raras yang sedang membopong tubuh
Ki Patih Darmomulyo menabrak dinding hingga han-
cur. Raras merasa tubuhnya bagai patah-patah.
"Raras.... Lebih baik kau menyingkir dari sini,"
ujar Ki Patih Darmomulyo. "Keadaan sangat berbahaya! Rasanya kita akan
mendapatkan kesulitan."
Raras menggeleng mantap.
"Tidak! Aku harus menjalankan amanat Guru,"
tegas gadis ini.
"Apakah kau hendak bunuh diri?"
Belum lagi Raras menyahut, serangkum angin
menderu-deru kembali meluruk dahsyat. Dengan su-
sah payah mereka melompat menghindar, lalu bergu-
lingan dengan wajah pias.
"Sejak tadi kuperingatkan! Kalian lebih baik
menyerahkan Mangkunegoro untuk kubunuh!" desis Putri Samudera
Mendadak tubuh si wanita penghuni Laut Sela-
tan melayang bagai terbang. Tatapannya semakin din-
gin, seolah menebarkan hawa kematian yang mengeri-
kan menuju ke Kesultanan Laut Selatan.
"Kau harus mampus, Mangkunegoro!" teriak
Putri Samudera "Rupanya, peristiwa lama ingin menuntut ba-
las. Aku yakin sekali akan hal ini," desis Empu Karniaga.
Gerakan yang dilakukan Putri Samudera mem-
buat Ki Patih Darmomulyo dan Raras tersentak. Mere-
ka mencoba memotong gerakan laksana kilat itu.
Namun tiba-tiba saja...
Des! Des! Tubuh keduanya tahu-tahu terjengkang ke be-
lakang, langsung muntah darah. Angin deras yang di-
kibaskan Putri Samudera tanpa menoleh, menghantam
telak tubuh mereka.
Tubuh Putri Samudera terus melesat masuk ke
dalam tanpa menghiraukan keduanya lagi. Namun be-
lum lagi tiba di ambang pintu Kesultanan Laut Sela-
tan, mendadak saja satu bayangan hijau berkelebat,
memotong gerakannya.
Wuuttt...! Deb! Debb...! "Manusia hina! Lancang bertingkah di depan
Putri Samudera!" maki Putri Samudera, seraya melenting ke belakang.
*** 5 Bayangan hijau yang ternyata seorang pemuda
berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu cengar-cengir di
hadapan Putri Samudera. Padahal amarah wanita ini sudah begitu membludak,
siap meledak "Kang Andika!" seru Raras dengan wajah sedikit gembira.
"Manusia busuk! Lancang sekali tindakanmu"!"
Dikawal kemarahan membludak, Putri Samu-
dera meniup perlahan. Dari mulutnya keluar angin
lembut, namun semakin lama semakin bergemuruh
bagai gelombang lautan menerjang pada sosok berbaju hijau pupus yang tak lain
Pendekar Slebor.
Bagai digebah kekuatan dahsyat si pemuda se-
gera berjumpalitan menghindari angin keras bertenaga luar biasa.
"Heit! Sabar dong!"
Putri Samudera yang tengah geram semakin
gencar menyerang.
"Monyet cacingan! Tenaga dalamnya hebat ju-
ga!" rutuk Andika kalang kabut sambil terus bergulingan. Karena sambaran angin
yang dahsyat itu datang
secara beruntun. "Monyet pitak! Lama kelamaan aku bisa mampus juga! Hhh! Aku
harus memotong serangan itu!"
Setelah berpikir demikian, Pendekar Slebor ber-
gerak setengah lingkaran. Tubuhnya lantas bergulin-
gan, lalu melompat ke depan! Gerakannya merupakan
paduan gerak menghindar dan menyerang sangat ce-
pat. Namun, masih kalah cepat dengan serangan angin dahsyat itu. Hingga....
Dess...! "Aaakh...!"
Pendekar Slebor kontan tersungkur ke bela-
kang begitu angin dahsyat menghantam dadanya. Tu-
buhnya terbanting keras di halaman Kesultanan Laut
Selatan. Saat itu juga bagai ada sebongkah batu besar merasuki dada Pendekar
Slebor. Rasa sakitnya luar biasa, cepat Pendekar Slebor mengerahkan hawa mur-
ninya. "Madirodok! Kalau dadaku sampai jebol, awash...!" desis Andika seraya
bangkit dengan mulut meringis.
Sementara itu, Putri Samudera sudah berkele-
bat cepat ke arah Andika. Gerakan tubuhnya yang terlihat hanyalah bayangan
jingga saja, Andika tentu saja tak mau mati cepat-cepat. Dia ingin menikmati
masa mudanya lebih lama lagi. Tenaga dalamnya cepat di-
alirkan pada tubuhnya.
"Gila! Siapakah sebenarnya gadis kejam yang
sakti ini?" desisnya dalam hati. "Bagaimana caranya untuk menghentikan sepak
terangnya?"
Dalam keadaan yang gawat itu, Andika terpak-
sa mempergunakan kain bercorak catur warisan Ki
Saptacakra. Begitu tubuh Putri Samudera satu tombak lagi ke arahnya, dengan
cepat tangannya yang meng-genggam kain bercorak catur mengibas.
Wuutt! Angin keras bertenaga raksasa menderu pula,
melabrak serangan Putri Samudera. Benturan pun ter-
jadi Bumm! Suara bagai ledakan terdengar hebat. Dan ma-
lang bagi si pemuda dari Lembah Kutukan ini. Justru dia merasakan satu kekuatan
lebih hebat menghantam
dadanya. Tubuhnya pun tersuruk ke belakang.
"Kau hanya mengganggu niatku untuk mem-
bunuh Mangkunegoro! Hhh! Bersiaplah untuk mene-
rima ajalmu!" desis Putri Samudera.
Tiba-tiba Putri Samudera melepaskan batu ka-
rang emas di tangannya yang bergerak liar ke arah Andika dengan kecepatan
dahsyat. Andika mengeluh dalam hati. Terlebih, saat ini
keadaannya cukup sulit, karena seluruh tubuhnya te-
rasa kaku. Namun pada saat hawa panas yang sangat
tinggi meluruk hebat ke arahnya, semangatnya segera dikempos. Pendekar Slebor
cepat berdiri dengan tatapan waspada.
"Kang Andika! Hati-hati! Batu karang yang me-
mancarkan sinar emas itu sangat berbahaya!" seru Raras, memberi tahu.
"Sompret! Tak usah bicara, aku juga sudah ta-
hu...!" desah Andika perlahan dengan dada dag-dig-dug. Sementara itu Putri
Samudera sendiri sudah
melesat masuk ke Istana Kesultanan Laut Selatan.
Dan dengan susah payah Ki Patih Damomulyo dan
Empu Karniaga mengejar.
Pendekar Slebor cepat berkelebat dengan men-
gerahkan ilmu meringankan tubuh, menghindari ter-
jangan batu karang bersinar keemasan itu. Bahkan
sambil menghindar, dilepaskannya satu hantaman
bertenaga dalam dahsyat.
Wusss! Bagai memiliki mata, batu karang keemasan itu
tiba-tiba meliuk lincah, membuat pukulan Andika
mengenai tempat kosong.
"Monyet botak! Aku yakin, gadis itulah yang
mengendalikannya. Luar biasa! Dalam keadaan me-
nyerang yang lain, dia bisa membagi tenaga dalamnya untuk mengendalikan batu
karang keemasan itu! Jalan satu-satunya, aku harus menghadapi Putri Samu-
dera! Sekarang aku yakin, dialah yang menurunkan
tangan maut pada penduduk di pesisir! Hhh! Biarpun
aku tidak tahu mengapa Putri Samudera mengingin-
kan nyawa Sultan Mangkunegoro, tetapi yang jelas, dia sudah membawa kesengsaraan
bagi orang banyak!"
Belum sempat Andika menjejak tanah kembali,
batu karang keemasan itu sudah melayang lagi ke
arahnya. Si pemuda perkasa tanah Jawa ini mencelat ke samping. Namun gerakannya
kurang cepat, sehingga tak urung bahu kirinya terhantam batu karang keemasan
itu. Crasss! "Aaa...!"
Andika memekik tertahan. Sakit luar biasa me-
nyerang tangannya. Bahunya terasa remuk.
*** Sementara itu Panglima Tinggi- Mahesa Dewa
berhasil membujuk Sultan Mangkunegoro. Penguasa
Kesultanan Laut Selatan tetap berwajah bijaksana. Tak terlihat sedikit pun
kekalutan di wajahnya.
"Aku sudah mendengarnya, Panglima. Hmm....
Tak kusangka kalau seorang yang menjuluki dirinya
Putri Samudera akan muncul. Siapakah dia sebenar-
nya?" kata Sultan Mangkunegoro. Dia tadi sempat melihat wajah Putri Samudera
yang begitu cantik. Dan
entah mengapa, Sultan Mangkunegoro seolah merasa
begitu akrab dengan wajah itu.
"Yang Agung, saat ini kita tak perlu bercakap
lebih panjang. Sebaiknya, Yang Agung menyingkir dari
sini bersama Permaisuri," usul Panglima Tinggi Mahesa Dewa agak mendesak namun
tak meninggalkan kesopanannya.
Sultan Mangkunegoro tersenyum dan men-
gangguk "Baiklah. Sebentar lagi, istriku akan muncul...."
Benar saja, tak lama dari dalam kamar muncul
seorang wanita setengah baya berwajah cantik jelita.
Dialah sang Permaisuri, Ratu Sri Dewi Rajasi. Ke-
munculan itu membuat kegelisahan Panglima Tinggi
Mahesa Dewa menjadi mereda. Segera diajaknya kedua
orang yang dihormatinya itu ke belakang istana.
Selang beberapa saat, Putri Samudera muncul
di ruangan ini dengan wajah beringas. Para prajurit gagah berani yang mencoba
menghalangi harus menemui ajal secara mengenaskan.
Bukan main marahnya Putri Samudera ketika
tak menemukan Sultan Mangkunegoro. Dia masih
mencoba mencari, namun justru Ki Patih Darmomulyo
dan Empu Karniaga yang muncul. Dan ini membuat
kemarahannya dialihkan kepada kedua pejabat istana
itu. Tubuhnya seketika berkelebat, melepas serangan dahsyat.
Dess! Desss...!
"Aaakh...!"
Sekali berkelebat saja, wanita ini sudah mem-
buat kedua tokoh Kesultanan Laut Selatan terkapar
pingsan dengan seluruh tulang patah. Ketika dia akan menghabisi nyawa keduanya,
mendadak saja...
Wusss...! Saat itu juga meluruk segulung angin dahsyat
ke arah Putri Samudera.
"Gadis keparat! Kau hendak mencari mampus!"
geram Putri Samudera sambil melompat ke kiri cepat
bagai kilat. Melihat serangannya gagal, sosok yang ternyata
Raras berkelebat cepat. Kedua pedangnya diputar-
putar menimbulkan desingan dan hawa panas.
Namun hanya dua kali saja gadis itu bisa mela-
kukannya, karena tiba-tiba saja Putri Samudera men-
gibaskan tangannya.
Wuuttt! Desss! Raras kontan tersuruk ke belakang dengan de-
ras ketika dadanya terhantam angin serangan Putri
Samudera. Gadis itu merasa dadanya bagai dihantam
godam yang berat sekali. Pandangannya mengabur, la-
lu jatuh pingsan.
"Huh! Cari mampus saja!" geram Putri Samudera. Dengan langkah ringan, dia
mendekati Raras. Ke-
pala gadis itu siap diinjaknya. Namun
"Putri Samudera.... Biar hari ini kau gagal
membunuh Mangkunegoro, bukanlah suatu masalah.
Yang aku inginkan sekarang, bawa gadis itu dan pe-
muda berbaju hijau pupus ke Kerajaan Laut Selatan.
Tak perlu kau hiraukan kedua manusia yang telah
pingsan itu."
Sebuah suara keras kontan membuat Putri
Samudera menghentikan tindakannya. Dia tersentak,
seraya menengadah.
"Eyang Dewi...," desah Putri Samudera menja-tuhkan tubuhnya, berlutut. Suaranya
serak dan begitu ketakutan. Kekejamannya bagai menghilang. "Maafkan saya."
"Bawalah Pendekar Slebor bersamamu. Aku hendak mengawinkan kau dengannya,"
lanjut suara itu.
"Eyang Dewi!"
"Tak usah membantah! Kau bawa gadis berna-
ma Raras itu! Dari kesuciannya sebagai gadis, maka
meskipun usiamu semakin menua, namun akan me-


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

miliki wajah dan tubuh seperti sedia kala."
"Tetapi, Eyang Dewi... Mengapa aku harus me-
nikah dengan...."
Kata-kata itu terputus. Karena saat itu pula
terdengar suara bagai desis angin yang akhirnya melenyap. Suara dingin mencekam
itu tak terdengar lagi.
Putri Samudera menghela napas panjang. Men-
gapa Eyang Dewi Samudera menghendaki seperti itu"
Padahal, gara-gara pemuda itulah seluruh keinginan-
nya gagal. Paling tidak keinginan untuk membunuh
pemuda sialan itu. Kalau membawa Raras karena da-
rah sucinya bisa dipergunakan untuk memperdalam
ilmu awet mudanya, dia jelas setuju. Namun pemuda
itu" Dengan menahan geramnya, Putri Samudera
mengangkat tubuh Raras yang pingsan dan melesat
kembali keluar.
"Hm.... Itu pasti pemuda yang berjuluk Pende-
kar Slebor," gumam Putri Samudera begitu tiba di luar.
Tampak pemuda tampan itu sedang kalang kabut me-
nerima serangan dari batu karang emasnya yang telah memancarkan sinar bertubi-
tubi dan menimbulkan
suara ledakan berkali-kali.
Dan wanita ini sangat terkejut. Karena meski-
pun nampak kewalahan, Pendekar Slebor mampu
menghalangi setiap serangan sinar merah yang dah-
syat dengan mengibaskan kain bercorak catur yang
mengeluarkan suara gemuruh.
"Gila! Batu karang keemasan ku bisa-bisa tak berarti menghadapi kain bercorak
catur itu! Hhh! Aku harus memberi pelajaran padanya!" desis Putri Samu-
dera. Selagi Pendekar Slebor masih berusaha meng-
halangi setiap desingan sinar yang datang ke arahnya, tubuh Putri Samudera pun
melesat dahsyat
"Eit..! Apa ini..."!" sentak Pendekar Slebor begitu merasakan sambaran angin
dahsyat. Andika masih sempat menghindar. Namun tu-
buhnya terasa bagai diterabas angin sangat keras,
hingga membuat tubuhnya terpental dan terguling-
guling. "Keparat!" maki Andika, seraya bangkit. Dan matanya terbelalak begitu
melihat Raras berada dalam gendongan Putri Samudera.
"Lepaskan gadis itu!" teriak Andika.
Putri Samudera menyeringai.
"Bila kau menginginkannya, mengapa tidak se-
gera diambil?" tukas wanita itu, enteng.
"Monyet pitak!"
Andika menggeram marah, karena serbuan si-
nar keemasan kembali melesat dari batu karang kee-
masan. Cepat tubuhnya melenting di udara. Di udara, Pendekar Slebor melesat ke
arah wanita itu.
Apa yang dilakukan Putri Samudera justru
amat mengejutkan. Wanita ini sama sekali tidak
menghindar. Namun begitu serangan Andika sudah
mendekat, tiba-tiba saja bahunya digerakkan.
Andika terperanjat. Tubuhnya segera dibuang
ke kanan. Karena kalau tidak, justru tubuh Raras
yang terkena pukulannya.
Kesempatan itulah yang dipergunakan Putri
Samudera untuk menghantam Pendekar Slebor.
"Hiih...!"
Desss...! "Aaakh...!"
Pukulan keras bukan main membuat tulang
kepala Pendekar Slebor terasa remuk. Pandangannya
mengabur, lalu ambruk pingsan.
"Hhh! Bila bukan karena keinginan Eyang Dewi
untuk membawamu, sudah kubunuh kau, Keparat!"
geram wanita ini muak, sambil memanggul tubuh Pen-
dekar Slebor di bahu kiri.
Membawa dua beban, tak sedikit pun Putri
Samudera kelihatan kewalahan. Bahkan seolah hanya
memanggul seonggok kapas belaka.
Putri Samudera lantas menatap Kesultanan
yang porak poranda.
"Mangkunegoro! Urusan ini belum selesai! Kau
harus membayar perbuatanmu terhadap ibuku dulu!"
teriak wanita itu.
Setelah berteriak keras, tubuh Putri Samudera
berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara batu karang keemasan itu
melayang-layang dibe-lakangnya.
*** 6 Dalam keadaan pingsan, sulit bagi Andika un-
tuk mengetahui bagaimana dirinya dibawa masuk ke
dalam Laut Selatan yang memiliki ombak sangat ga-
nas. Begitu pula halnya Raras yang masih dalam kea-
daan pingsan. Putri Samudera membopong Andika dan Raras
yang telah dalam keadaan tertotok baik urat kesada-
rannya, maupun jalan nafasnya. Bila saja Andika saat ini dalam keadaan sadar,
tak mustahil akan menjadi
memaki-maki kalang kabut karena dibawa masuk ke
dalam air. Sedangkan Raras sudah tentu akan ping-
san, tanpa harus ditotok segala.
Dengan gerakan luar biasa anehnya, Putri Sa-
mudera terus bagai melayang membawa kedua anak
muda itu masuk ke dasar laut. Dan kini, dia tiba di sebuah istana yang sangat
megah. Dari kejauhan sudah nampak kilatan emas berkilau. Karena memang,
ternyata seluruh bangunan itu terbuat dari emas mur-ni.
Aneh! Tak ada air yang masuk ke dalamnya! In-
ilah salah satu kesaktian dari Eyang Dewi Samudera, Penguasa Samudera Luas.
Beberapa orang penjaga yang memiliki bentuk
manusia namun berkepala ikan membungkuk begitu
melihat Putri Samudera muncul. Tanpa peduli, wanita itu melangkah membawa tubuh
Pendekar Slebor dan
Raras yang masih pingsan. Para penjaga di istana dasar laut ini memang memiliki
sisik pada tubuh mereka.
Wajah mereka bulat. Di tangan mereka terdapat tom-
bak yang sangat tajam.
Putri Samudera melangkah memasuki ruangan
indah yang dindingnya semua bersinar kemilau. Ruan-
gan itu pun terbuat dari emas murni. Kursi dan meja yang ada di sana pun terbuat
dari bahan yang sama.
"Eyang Dewi..., aku telah datang," kata Putri Samudera pelan sambil
membungkukkan tubuhnya.
Tiba-tiba saja tanpa diketahui dari mana da-
tangnya, di hadapan wanita ini telah duduk seorang
wanita cantik luar biasa di singgasana dari emas. Bahkan kecantikan Putri
Samudera tak bisa dibandingkan dengan kecantikannya. Wajah yang jelita itu bagai
memancarkan cahaya pesona yang sukar ditepiskan!
Sementara pakaiannya terbuat dari emas dengan
mahkota bersusun tiga dipenuhi butiran mutiara. Di-
alah yang dipanggil Eyang Dewi Samudera.
"Maafkan atas kelalaian ku, Eyang Dewi...," Putri Samudera membungkuk kembali.
"Dan ini Karang Emas yang Eyang Dewi pinjamkan padaku...."
Eyang Dewi Samudera tersenyum. Segera dite-
rimanya benda batu karang berwarna keemasan ber-
nama Karang Emas yang diangsurkan Putri Samudera.
"Dengan membawa Pendekar Slebor seluruh
kesalahanmu bisa diampuni, Putri Samudera. Dan
dengan membawa Raras, kau akan menjadi semakin
cantik," kata perempuan cantik bernama Eyang Dewi Samudera, setelah meletakkan
Karang Emas di sisinya. "Terima kasih atas kemurahan Eyang Dewi. Tetapi, mengapa
Eyang Dewi menginginkan agar aku
menikah dengan pemuda ini" Padahal, aku berkeingi-
nan untuk membunuhnya. Hhh.... Kalau tidak karena
ulahnya, Mangkunegoro sudah mampus di tangan ku!
Karena, dialah yang tertangguh dari orang-orang yang mencoba menghalangi
perbuatanku. Kalau soal Raras,
aku masih bisa menerimanya Eyang Dewi."
"Putri Samudera.... Pendekar Slebor adalah
pemuda dari Lembah Kutukan. Dia telah memakan
buah 'inti petir'. Bila menikah dengannya, maka kau akan mampu menyerap tenaga
'inti petir' dari dalam
tubuhnya," jelas Eyang Dewi Samudera.
"Tapi dia telah menghalangi niatku, Eyang De-
wi..." "Putri Samudera.... Ketika masih bayi kau dibuang ibumu di tepi pantai.
Aku menemukan, dan
membawamu ke istanaku ini. Dan aku telah memberi-
kan ilmu yang tinggi untukmu justru untuk mele-
nyapkan Mangkunegoro. Namun, kekuatanmu belum
cukup, karena dia akan meminta bantuan Dewa Pe-
dang..." Putri Samudera menundukkan kepalanya.
"Kau benar, Eyang Dewi."
"Itulah sebabnya, mengapa kau tak ku marahi,
karena belum dapat membunuh Mangkunegoro. Putri
Samudera.... Seperti yang telah ku jelaskan kepadamu aku tak berpihak pada siapa
pun. Kalau kau men-ganggap Mangkunegoro salah, karena menyia-nyiakan
mu dan ibumu, aku tak melarangmu untuk membu-
nuhnya. Itu hakmu. Walaupun sebenarnya dia adalah
ayah kandungmu."
"Tetapi dia telah menyia-nyiakan ku, Eyang
Dewi!" sentak Putri Samudera dengan mata memancarkan sinar amarah namun tersaput
air mata terge-
nang. "Dia telah menelantarkan ibuku, Eyang Dewi!
Akibatnya, ibuku sakit hati berkepanjangan. Lalu mati setelah melahirkan aku.
Sementara, aku ditinggalkan-nya di tepi pantai. Biar bagaimanapun juga, ini
karena Mangkunegoro!"
"Kau benar, Putri Samudera. Dan seperti yang
kau ketahui, di dalam tubuhmu mengalir ilmu-ilmu
yang kuberikan. Dan bila kau menikah dengan pemu-
da yang telah memakan buah 'inti petir', maka kekuatanmu akan bertambah...."
"Eyang Dewi! Tapi pemuda itu...."
"Aku hanya menyarankan!" potong Eyang Dewi.
"Dan bila menolak, kau bisa membawanya
kembali ke daratan. Tetapi, ketahuilah. Dialah orang yang paling berbahaya.
Apalagi dengan kain bercorak catur yang tersampir di bahunya. Ketahuilah, kau
akan berhadapan dengan Dewa Pedang. Tanpa kekua-
tan dari Pendekar Slebor, usahamu akan sia-sia bela-ka."
Putri Samudera melirik Pendekar Slebor yang
masih pingsan dan sekarang terbujur di lantai. Perasaan sebal dan marahnya masih
ada di hatinya.
Putri Samudera terdiam beberapa saat. Piki-
rannya yang masih dibaluri kemarahan karena Pende-
kar Slebor menghalangi niatnya, masih berpendar-
pendar. Namun dia yakin, Eyang Dewi Samudera
memberikan yang terbaik untuknya
"Baiklah, Eyang Dewi... Aku akan melakukan
yang kau sarankan itu."
"Ingat, Putri Samudera. Ini hanya sekadar sa-
ran. Seperti biasanya, aku tak pernah berpihak pada siapa pun juga. Kalau
begitu, bawa dia ke kamarmu,
Putri. Sadarkan dia dari pingsannya. Juga, bawa gadis yang bernama Raras itu ke
kamar di sebelah kamarmu. Bila saatnya tiba, kau bisa mempergunakan darah suci
gadis itu untuk obat awet muda."
Putri Samudera hanya mengangguk saja. Dan
seketika menatap lagi ke depan, sosok Eyang Dewi sudah tak ada di singgasana
emasnya. Wanita ini meng-
hela napas panjang. Lalu dibawanya Pendekar Slebor
yang masih pingsan ke kamarnya.
"Pemuda ini telah bertindak lancang," desisnya sambil meraih tubuh Pendekar
Slebor dan Raras, bagaikan meraih gumpalan kapas saja. "Seharusnya aku
membunuhnya! Tetapi aku yakin, saran yang diberi-kan Eyang Dewi bukan saran
sembarangan! Meskipun
ingin membunuhnya, tetapi aku akan melaksanakan
saran Eyang Dewi. Setelah kubunuh Mangkunegoro,
pemuda sialan ini akan segera mendapatkan giliran-
nya!" *** Pendekar Slebor perlahan-lahan mulai siuman.
Matanya berat sekali untuk dibuka. Dan sejenak ma-
tanya memejam lagi ketika ada sinar menerobos bola
matanya Kepalanya terasa pening dengan tubuh le-
mas. Mendadak saja Andika teringat tentang keja-
dian sebelumnya. Dengan cepat dia bangkit dari berba-ringnya. Namun berdirinya
masih sempoyongan. Kepa-
lanya masih pusing. Dan bertambah pusing ketika
mendapati dirinya berada di sebuah ruangan sangat
indah. "Gila! Dinding itu terbuat dari emas! Ha ha ha...
Aku kaya mendadak! Bukan main... Ini sebuah kejutan yang luar biasa! Akan kubawa
emas ini, dan ku bagi-kan pada gelandangan-gelandangan kotaraja...!" so-raknya.
Namun, "Eh"! Aku sekarang berada di mana, ya?"
"Kau berada di kamarku!"
Terdengar seruan dingin di belakang Andika.
Pendekar Slebor tercekat. Segera tubuhnya
berbalik. Tampak Putri Samudera berdiri di belakangnya dengan tatapan dingin
memancarkan sinar ama-
rah. Sejenak Pendekar Slebor jadi malu sendiri, karena sesumbarnya yang ingin
membawa emas yang
melapisi dinding-dinding ruangan ini. Namun sebentar kemudian dia sudah kembali
pada sikap urakannya.
"He he he.... Aku cuma bohong-bohongan kok.
Orangtua ku juga kaya. Emas-emas di sini sih belum ada apa-apanya dibanding yang
ada di rumahku. Ada
E, Mas Semprul. E, Mas Kubil. E, Mas Bodong. Tapi
mereka semua pelayan-pelayanku, ha ha ha...!" oceh-nya tak karuan.
Wajah Putri Samudera memerah. "Jangan ba-
nyak omong, Pendekar Slebor! Bila tidak karena perintah Eyang Dewi, kau sudah
mampus, Pendekar Sle-
bor!" Andika terjingkat. Tawanya langsung tertekan kembali ke perut.
"Eyang Dewi" Siapa dia?"
"Jangan menyebutnya dengan nada meleceh-
kan seperti itu!"
Tangan Putri Samudera langsung mengibas.
Seketika angin dahsyat meluruk ke arah Andika. Na-
mun Pendekar Slebor tidak kalah sigap. Dia langsung menghindar dengan melompat
ke kanan sejauh dua
tombak sebab tak ingin tubuh remuk
"Ya..., begitu saja kok, marah?" kata Andika, tenang saja.


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malaikat Jubah Keramat 2 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 16
^