Pencarian

Putri Samudera 2

Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Bagian 2


Tatapan Putri Samudera sangat nyalang, me-
mancarkan sinar warna merah. Dia benar-benar
menggeram murka. Bila saja tak teringat akan pesan
dari Eyang Dewi Samudera, sudah dibunuhnya pemu-
da yang bersikap seenaknya sendiri.
"Jangan banyak omong di sini! Kau tak akan
bisa melarikan diri!"
"Kalau ditemani gadis cantik sepertimu, ra-
sanya aku malah ingin berlama-lama..."
Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal ketika
Putri Samudera mengangkat tangannya, siap melan-
carkan serangan.
"Eit, kalau kau menyerangku lagi, bisa-bisa kita terkubur hidup-hidup di sini,"
cegah Andika, langsung siap untuk menghindar.
Perlahan-lahan, Putri Samudera menurunkan
tangannya. "Lagi pula, aku akan membawamu jalan-jalan
ke keraton Kesultanan Laut Selatan. Kau tahu Sultan
Mangkunegoro, mengharapkan kedatanganmu. Dia in-
gin agar kau dipenjara...."
"Bangsat! Manusia keji yang berkedok dewa itu
akan mampus, Pendekar Slebor!"
"Wih! Kejam amat! Apa salahnya?"
"Manusia itulah yang membuang ku dulu sebe-
lum menjadi Sultan! Dia juga yang menghancurkan
hidup ibuku! Aku harus menuntut balas padanya!"
"Gila! Nona, sadarlah. Dendammu sangat ber-
bahaya.... Kau justru akan menambah malapetaka
yang sudah banyak terjadi di dunia ini! Apakah kau tidak bisa memaafkannya?"
"Persetan dengan ucapanmu! Manusia itu ha-
rus mampus!"
"Mati ada yang ngatur. Kalau tak percaya, mati saja...." "Keparat!"
Putri Samudera menepuk tangannya tiga kali.
Tiba-tiba saja selarik sinar hitam keluar meliuk-liuk ke arah Andika.
Pendekar Slebor terperangah. Dia berusaha
menghindarkan diri, namun tiba-tiba saja tak mampu
lagi bergerak. Bahkan sinar itu melilit tubuhnya. Begitu ketat, membuatnya mengerang.
"Lepaskan aku! Kalau berani, jangan dengan
cara ini!" teriak Andika.
Putri Samudera tersenyum dingin.
"Kau akan menjadi penghuni kedalaman Laut
Selatan ini!"
Kening Andika berkerut. Kedalaman Laut Sela-
tan" Apa maksudnya"
"Kau lihat sekelilingmu...!"
Seperti mengetahui apa yang dipikirkan Andi-
ka. Putri Samudera membentak sambil mengerah-
kan salah satu ajiannya.
Tiba-tiba saja sepasang mata Andika yang seta-
jam mata elang membelalak, ketika dinding-dinding
emas itu bagai tembus pandang. Dari ruangan ini si
pemuda bisa melihat ke luar. Tampak air laut bergerak lembut, didiami makhluk-
makhluk laut. "Aku tidak percaya! Aku pasti bermimpi!"sentak Andika sambil mengerahkan hawa
murni untuk mengusir semua pandangan yang menurutnya hanya semu
belaka. Tetapi, pandangan matanya tetap saja tak berubah. "Gila! Di mana aku
sebenarnya?"
"Kau berada di Kerajaan Laut Selatan, Pende-
kar Slebor! Karena kelancanganmu lah aku gagal
membunuh Mangkunegoro! Dan sekarang, kau yang
banyak mulut akan terkubur dalam Kerajaan Laut Se-
latan!" Andika tercekat. Bergumpal-gumpal pertanyaan menyambar urat-urat
berpikirnya. Butek!
"Satu hal yang perlu kau ketahui, Pendekar
Slebor," sambung Putri Samudera dengan tatapan bertambah dingin. "Menurut Eyang
Dewi Samudera, kau harus menikah denganku."
Kali ini kepala Andika puyeng. Menikah" Gila!
Apa-apaan ini" Pendekar Slebor bertekad sebisa-
bisanya harus melepaskan diri dari kungkungan Putri Samudera. Masalahnya Sultan
Mangkunegoro harus
diselamatkan. "Hm.... Mungkin inilah yang dikatakan Raras
waktu itu."
Teringat akan Raras, Andika jadi ingat kalau
gadis itu berada dalam gendongan Putri Samudera.
"Hei! Di mana Raras?"
Putri Samudera mendengus. "Untuk apa kau
bertanya, hah"!"
"Dia istriku! Makanya, enak saja kau main pak-
sa agar aku menikah denganmu! Biar kau paksa, aku
tak akan pernah membiarkan diriku menikah den-
ganmu!" tegas Pendekar Slebor, berdusta. Putri Samudera tersenyum dingin. "Kau
akan melakukannya, Pendekar Slebor."
"Katakan, di mana Raras"!"
"Dia berada di tempat yang aman."
"Monyet pitak! Lepaskan ikatan ini! Akan ku-
hancurkan istana busukmu ini!"
"Kita lihat bagaimana hasilnya nanti. Kau pasti akan menikah denganku. Kalau
tidak, gadismu yang
bernama Raras akan mati di hadapanmu."
Lalu wanita itu melangkah meninggalkan ka-
mar tempat Andika masih terkungkung akibat penga-
ruh ikatan sinar hitam tadi.
"Monyet busuk! Putri edan! Lepaskan aku! Aku
tak sudi untuk menikah denganmu! Hei, lepaskan! Le-
paskan! Dasar buduk!" makinya, panjang pendek
*** 7 Bagaimana keadaan Kesultanan Laut Selatan
selanjutnya"
Di tempatnya, Empu Karniaga lebih dulu si-
uman. Mata tuanya memperhatikan sekeliling, tampak
Ki Patih Darmomulyo baru saja siuman. Lelaki ini merasa seluruh tubuhnya sakit
luar biasa. "Empu...," panggil Ki Patih Darmomulyo mendesah, setelah memperhatikan keadaan
di sekeliling- nya yang porak poranda. Ingatan pertama yang mun-
cul di benaknya adalah tentang Sultan Mangkunegoro.
"Bagaimana keadaan Sultan?"
Empu Karniaga menatap sayu. Dia pun sebe-
narnya tak tahu apa yang harus diucapkan. Hanya ada dugaan dalam benaknya.
"Kupikir, Panglima Tinggi Mahesa Dewa sudah
berhasil menyelamatkannya."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya.
Aku khawatir Putri Samudera akan mengejarnya," kata Ki Patih Darmomulyo sambil
berdiri. Direntangkannya otot-otot di seluruh tubuhnya untuk menghilangkan
rasa sakit. "Tunggu," ujar Empu Karniaga "Apakah kau tidak melihat sosok berpakaian hijau
pupus yang mem-
bantu kita?"
Ki Patih Darmomulyo segera celingukan. Dia
pun teringat pemuda berbaju hijau pupus tadi. Seketi-ka tubuhnya berkelebat
mencari sosok berbaju hijau
pupus di antara berserakannya mayat. Begitu pula
Empu Karniaga. Setelah beberapa saat mencari, keduanya ber-
temu lagi dan saling pandang.
"Hanya ada dugaan. Dia ditawan Putri Samude-
ra, atau sudah mati. Dan mayatnya dibuang di satu
tempat," duga lelaki tua itu mendesah pelan.
"Kalau begitu, lebih baik kita menyusul Sultan Mangkunegoro saja," usul Ki Patih
Darmomulyo. "Ya, kau benar. Tetapi, hei"! Di mana Raras?"
Kembali mereka berkelebat mencari Raras. Se-
bentar saja mereka telah mengelilingi Istana Kesultanan. Tapi Raras tetap tak
ditemukan. Empu Karniaga kini terdiam dengan kening
berkerut. Semuanya begitu tiba-tiba dan mengerikan.
"Keadaan semakin kacau! Bisa jadi pula Raras
ditawan Putri Samudera!" geram lelaki ini.
Ki Patih Darmomulyo pun berpikiran sama.
"Empu, siapakah sesungguhnya Putri Samudera itu"
Apakah kau mengenalnya?" tanya patih ini
Empu Karniaga terdiam sesaat. Lalu kepalanya
terlihat menggeleng perlahan.
"Aku tidak tahu. Tetapi, ah...! Aku punya du-
gaan yang sangat mengejutkan, sekaligus mengerikan."
"Tentang apa, Empu?" tanya Ki Patih Darmomulyo, semakin tertarik untuk
mengetahui. Empu Karniaga menghela napas panjang sebe-
lum bercerita. Sepanjang Empu Karniaga bercerita, Ki Patih Darmomulyo
mendengarkan penuh perhatian.
"Jadi sebelum Yang Agung Sultan Mangkunego-
ro diangkat menjadi Sultan, dia telah menghamili seorang gadis?" tanya Ki Patih
Darmomulyo, setelah Empu Karniaga selesai bercerita.
"Tepatnya tidak demikian. Yang jelas, waktu itu Sultan dalam keadaan mabuk.
Sementara perempuan
yang memang sangat mencintainya, mempergunakan
kesempatan untuk menjebaknya. Hingga, Sultan tidak
tahu apa yang diperbuatnya kemudian. Tahu-tahu, pe-
rempuan itu mengaku sudah hamil. Dan di saat pem-
berontakan terjadi di Kesultanan Laut Selatan, Sultan Mangkunegoro diangkat
menjadi panglima tinggi. Dengan bantuannya, pemberontak berhasil dihalau. Na-
mun malang bagi Sultan sebelumnya dan permaisuri.
Mereka mati di tangan pemberontak. Lalu atas usulku, Panglima Tinggi
Mangkunegoro pun diangkat menjadi
Sultan. Hal itu ku lakukan, karena Sultan sebelumnya tak memiliki keturunan
seorang pun. Ini hanya ke-mungkinanku saja, Ki Patih. Aku belum tahu yang se-
benarnya."
"Jadi dengan kata lain, Empu hendak mengata-
kan kalau Putri Samudera adalah putri kandung Sul-
tan Mangkunegoro sendiri?" tebak Ki Patih Darmomulyo. "Yah, karena Sultan tidak
percaya kalau hamil-nya perempuan itu akibat perbuatannya. Di samping
perempuan itu dikenal sebagai perempuan nakal, juga Sultan dalam keadaan tak
sadarkan diri. Aku tak bisa menyalahkan Sultan, yang waktu itu masih menjadi
seorang prajurit. Yah, inilah kenyataan yang masih harus diselidiki lagi
kebenarannya. Apalagi kejadiannya berlangsung tiga puluh lima tahun yang lalu."
"Tetapi kalau memang Putri Samudera adalah
putri kandung Sultan Mangkunegoro, mengapa wajah-
nya seperti baru berusia delapan belas tahun, Empu?"
Empu Karniaga terdiam dulu sebelum menja-
wab. "Mungkin, karena memiliki ajian awet muda."
Tak ada yang bersuara. Angin dingin berhem-
bus. "Sudahlah. Benar atau tidaknya dugaanmu itu, lebih baik kita segera mencari
Sultan Mangkunegoro
dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa," kata Ki Patih Darmomulyo.
*** Di tempat yang cukup jauh dari Kesultanan
Laut Selatan, di Hutan Wonocolo yang lebat. Sultan
Mangkunegoro duduk sambil termenung. Sesekali ter-
dengar desahan nafasnya.
"Aneh... Mengapa batin ku seolah bergetar bila mengingat nama Putri Samudera?"
desisnya dalam hati Lelaki ini lantas melirik Sang Ratu Sri Dewi Ra-
jasi yang sedang tertidur di balai-balai kayu kusam yang ditemukan Panglima
Tinggi Mahesa Dewa. Malam
semakin larut. Hewan malam yang berkeliaran menya-
nyikan tembang malam saling bersahut-sahutan.
"Mengapa begini" Padahal, Putri Samudera in-
gin membunuhku. Tetapi, dengan alasan apa?" tanya Sultan Mangkunegoro dalam
hati. Sultan Mangkunegoro jadi pusing sendiri me-
mikirkan apa yang berkecamuk di benaknya. Namun,
semakin mencoba memikirkan tentang Putri Samude-
ra, dia merasakan ada sebuah jarak yang teramat de-
kat. "Aneh..." Mengapa jadi begini" Siapa sebenar-
nya Putri Samudera" Mengapa pula menyerang Kesul-
tanan dan berkeinginan untuk membunuhku?"
Sultan Mangkunegoro masih tak bisa meme-
jamkan matanya. Pikirannya semakin galau dengan
hati tak menentu.
"Kanda..., mengapa kau belum tidur?"
Sultan Mangkunegoro tersentak, ketika terden-
gar suara dari sampingnya.
"Oh, Dinda... Tidak apa-apa," sahut Sultan Mangkunegoro.
"Sudahlah, Kanda. Terimalah keadaan ini den-
gan lapang dada. Mungkin Gusti Allah tengah menguji kita...," hibur wanita
cantik itu. "Kau benar, Dinda. Tidurlah lagi."
"Mana bisa aku tidur, sementara kau masih ter-
jaga begitu?" tukas Sang Ratu Sri Dewi Rajasi dengan suara lembut
"Sebentar lagi aku pasti akan tidur. Dan Mahe-
sa Dewa akan menjaga kita dari segala kesulitan. Sekarang Dinda tidurlah. Aku
tahu, dia akan rela men-
gor-bankan seluruh jiwa dan raganya. Ah! Entah, ba-
gaimana nasib yang lainnya?"
Tak ada yang bersuara.
Sang Permaisuri segera memejamkan matanya.
Namun kali ini tak bisa segera tertidur. Pikirannya pun larut dalam kedukaan
yang menimpa. Sementara itu, di luar gubuk yang ditemukan
Panglima Tinggi Mahesa Dewa, panglima perkasa itu
masih terjaga dengan kedua mata terbuka lebar. Dia
memang sangat terlatih dalam hal menahan kantuk.
Bahkan dia mampu tak tidur selama tujuh hari tujuh
malam. Angin berhembus dingin. Namun tak mempen-
garuhi lelaki itu, karena telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa
dingin. Di saat genting
seperti ini, Sang Panglima tidak berniat untuk mem-
buat kayu bakar sebagai penambah kehangatan. Kare-
na, bisa-bisa akan memancing perhatian Putri Samu-
dera. "Hm.... Siapa sebenarnya Putri Samudera itu?"
desisnya mengungkapkan apa yang sejak tadi dipikir-
kannya. "Kekejaman dan kesaktiannya sangat tinggi.
Mengapa dia hendak membunuh Sultan Mangkunego-
ro" Apakah wanita itu sisa-sisa dari pemberontak da-hulu" Tidak mungkin!
Semuanya sudah disapu bersih
sampai ke akar-akarnya. Tetapi, siapa dia?"


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Tinggi Mahesa Dewa merenung kem-
bali. "Hm.... Tabir mimpi Sultan Mangkunegoro rupanya memang mengerikan.
Kedatangan Raras sema-
kin menambah keyakinanku. Dan bahaya sudah da-
tang mengancam bertubi-tubi. Tetapi kalau tidak sa-
lah, aku melihat seorang pemuda tampan berbaju hi-
jau pupus. Hmm.... Kalau tak salah, Raras menyebut-
nya Pendekar Slebor. Ah! Rupanya orang yang berjuluk
Pendekar Slebor masih sangat muda. Telah lama aku
mendengar julukannya yang santer. Kelihatannya dia
pun membantu. Mudah-mudahan dengan bantuannya,
keadaan bisa mereda. Tetapi bagaimana bila berhasil dikalahkan Putri Samudera?"
Kembali Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam
dengan pikiran berkecamuk dan semakin membuatnya
galau. "Keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Sri Dewi Rajasi berada di
tanganku sekarang.
Bagaimana nasib Empu Karniaga dan Ki Patih" Apa-
kah mereka tewas dalam pertarungan mengerikan itu"
Oh! Tidak seharusnya aku melarikan diri seperti ini.
Tetapi, ini bukan melarikan diri. Aku berusaha menyelamatkan Yang Agung dan
istrinya. Bila aku sudah
mendapat tempat aman, aku akan kembali ke Kesulta-
nan. Tetapi sekarang ini, aku memang harus berdiam
di Hutan Wonocolo ini. Dan selanjutnya, akan mene-
ruskan perjalanan menuju Bukit Pedang. Yah.... Satu-satunya bantuan yang bisa
diharapkan sekarang ada-
lah menerima bantuan Dewa Pedang. Konon ilmu pe-
dangnya sangat tinggi dan sukar ditandingi. Kudengar pula dia memiliki ajian
bangsa siluman. Mudah-mudahan saja, dia mau membantu."
Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Berjuta
harapan ada di dadanya berbaur kecemasan hatinya.
Malam semakin larut. Dan udara semakin ber-
hembus dingin. *** 8 "Hm... Sekarang aku harus melepaskan diri."
Pendekar Slebor segera mengerahkan tenaga
'inti petir' dan getaran ajian 'Guntur Selaksa'. Namun ikatan sinar itu tak
putus juga. Bahkan sinar-sinar itu mulai menembus kulitnya, hingga berdarah.
Akhirnya, Andika memutuskan untuk mempergunakan ajian
bangsa siluman yang pernah diajarkan Eyang Sasong-
ko Murti (silakan baca: "Siluman Hutan Waringin").
Pendekar Slebor lantas duduk terdiam dengan
kedua mata tertutup. Perlahan-lahan dia menarik na-
pas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dan men-
dadak saja tubuhnya bagai mengeluarkan hawa yang
sangat panas luar biasa. Bahkan terlihat kobaran api di sekujur tubuhnya. Itulah
ajian 'Tapa Geni' yang
sangat dahsyat. Dan tubuhnya bergetar hebat. Kerin-
gat pun mengalir keluar dari seluruh pori-porinya.
Tiba-tiba Andika merasakan kalau lilitan sinar
itu perlahan-lahan mulai mengendor. Menyadari kalau ajian 'Tapa Geni' yang
sedang dikerahkan mulai me-nampakkan hasil, dia pun semakin kuat meng-
alirkannya. Namun yang terjadi kemudian justru menge-
jutkannya. Karena, tiba-tiba saja sinar itu melilit kembali tubuhnya. Bahkan
kali ini lebih keras dari yang semula. Semakin Andika mengerahkan ajian 'Tapa
Ge-ni'.... "Aaa...!" Andika berteriak kesakitan. Tubuhnya kali ini kelojotan
dengan teriakan bagai lolongan serigala.
*** Pada saat yang sama di satu tempat yang dike-
lilingi bunga-bunga emas, Putri Samudera tersenyum
penuh kemenangan.
"Hm.... Ajian bangsa siluman yang kau miliki
tak ada gunanya, Pendekar Slebor! Masih lebih dah-
syat lagi ajian bangsa siluman dari Laut Selatan."
Kedua tangan wanita itu yang menyatu di dada,
bergetar hebat. Dan terlihat sinar kemerahan di sekujur tubuhnya yang sedikit
bergetar mempertahankan
sikap tubuhnya.
Rupanya saat ini Putri Samudera tengah beru-
saha menggagalkan keinginan Andika untuk mele-
paskan diri dari sinar hitam itu. Tadi, di saat dia hendak melanjutkan
semadinya, tiba-tiba terasa sesuatu yang sangat keras bagai menimpanya. Seluruh
mata batinnya segera dikerahkannya. Dan dilihatnya Andika sedang berusaha melepaskan
diri dari lilitan sinar hi-tamnya.
"Apa yang dikatakan Eyang Dewi tentang pe-
muda ini memang benar. Dia sangat tangguh dan bisa
menjadi lawan berbahaya. Beruntung sekali bila dia
menjadi suamiku, meskipun saat ini adalah yang pal-
ing tepat untuk membunuhnya. Tak akan ada lagi
penghalang yang paling tangguh untuk melaksanakan
niatku membunuh Sultan Mangkunegoro. Hhh! Aku
ingin tahu, siapa yang berjuluk Dewa Pedang itu," gumam Putri Samudera. Segera
ilmunya dikerahkan
kembali untuk menangkal ajian 'Tapa Geni' yang dikerahkan Andika. "Kau akan
mengalami hal yang parah bila tidak segera melepaskan ajian 'Tapa Geni' itu.
Seluruh tenaga dalammu akan hilang. Namun, tak
menghilangkan kejantanan mu yang kubutuhkan."
*** Andika yang tengah berteriak setinggi langit
menahan rasa sakit, segera sadar kalau harus mele-
paskan ajian 'Tapa Geni' bila tidak ingin menderita sesuatu yang tak
diinginkannya. Begitu melepaskan ajian 'Tapa Geni', Pendekar
Slebor tak lagi merasakan hujaman ikatan sinar hitam yang mulai menembus
dagingnya. Ditariknya napas
panjang dengan tubuh berkeringat.
"Kambing congek! Mengapa jadi berbalik seperti ini?" gerutu Andika, terengah-
engah. Otak encernya segera mendapat jawabannya. "Hmm... Aku yakin, Putri
Samudera mengetahui perbuatanku. Bisa berba-
haya sekarang. Apa dayaku untuk melepaskan diri da-
ri semua ini" Keadaan akan menjadi kacau bila Putri Samudera sudah bergerak lagi
dan muncul ke daratan, untuk meneruskan keinginannya membunuh Sultan
Mangkunegoro."
Andika pun terdiam dengan pikiran galau.
Pada saat Pendekar Slebor menghentikan ajian
'Tapa Geni'nya, Putri Samudera pun menghentikan se-
luruh ajian penangkalnya. Bibirnya tersenyum sen-
dirian. "Kau benar, Eyang Dewi.... Memiliki seorang suami seperti Pendekar
Slebor, akan membuatku semakin hebat saja. Dan kemungkinan, aku bisa men-
guasai dirinya untuk memperlancar niatku membunuh
Sultan Mangkunegoro."
Putri Samudera terbahak-bahak keras.
"Hm.... Sebaiknya aku menemui Raras seka-
rang. Aku yakin, dia sudah siuman."
*** Saat ini Raras sudah siuman. Matanya me-
mandang penuh keheranan ke sekelilingnya. Kening-
nya berkerut berkali-kali tak mengerti.
"Apakah aku berada di surga?" desisnya. "Tempat ini seluruhnya terbuat dari
emas." Gadis ini masih tak bisa mempercayai indera
perabanya tentang dinding-dinding yang berkilauan
itu. Berkali-kali pula tangannya meraba.
"Emas! Ini memang emas! Oh"! Apakah surga
dipenuhi emas" Seingatku, aku berada di Kesultanan
Laut Selatan yang sedang diserang Putri Samudera"
Dan ketika aku menyerangnya, dia memukulku ping-
san. Apakah ini bukan tempat tinggal Putri Samude-
ra?" oceh gadis ini sendirian.
"Kau benar, Raras."
Terdengar suara, bersamaan dengan pintu yang
terbuka. Putri Samudera telah berdiri di ambang pintu penuh seringai.
"Ini memang tempatku. Dan sekarang kau men-
jadi tawananku. Jadi..., bersikaplah yang sopan," lanjut Putri Samudra.
Raras langsung siaga. Kedua pedangnya dilo-
loskan dengan tatapan geram.
"Gadis keparat! Kau pikir aku tak berani me-
nantangmu, hah"!" bentak Raras.
"Siapa bilang begitu"! Dan..., apa yang ingin
kau lakukan dengan kedua pedangmu itu, Raras?"
"Aku ingin membunuhmu!"
Sehabis berkata begitu, Raras langsung berge-
rak dengan kecepatan penuh. Jurus 'Dua Pedang
Membelah Langit' langsung dikerahkannya.
Namun Putri Samudera cukup mengangkat se-
belah tangannya saja ke arah Raras.
"Eh.."!"
Dan tiba-tiba Raras merasa gerakannya me-
lambat. Lalu tubuhnya sulit digerakkan. Rupanya Pu-
tri Samudera telah menotok Raras dengan ilmu toto-
kan sangat dahsyat dan aneh, karena dilepaskan dari jarak jauh.
"Setan! Lepaskan aku! Lepaskan! Kau harus
mampus, Keparat!" maki Raras.
Putri Samudera tertawa keras.
"Itu adalah upah dari kelancanganmu yang
hendak mencampuri urusanku!" desis wanita ini.
Raras masih berteriak-teriak keras. Sementara
Putri Samudera hanya berdiri di hadapannya sambil
tersenyum sinis.
"Kau hanya membuang-buang tenagamu saja!
Simpanlah tenagamu. Karena, kau akan mengalami
sesuatu yang sangat mengerikan!" katanya dingin, penuh ancaman.
"Peduli setan dengan ancamanmu! Lepaskan!
Kita bertarung sampai mampus!"
"Dibantu teman-temanmu saja, kau tak mampu
mengalahkan aku, Raras. Apalagi seorang diri dan berada di kediamanku ini?"
"Peduli setan!"
"Oh, ya. Aku salah bila mengatakan kau seo-
rang diri di sini," ralat Putri Samudera kemudian dengan senyum semakin dingin.
"Nah! Lihatlah ke kirimu!"
Raras sebenarnya enggan untuk melakukan-
nya. Namun dia merasa ada sebuah tenaga kuat yang
memaksanya untuk menatap ke kiri.
Dan gadis ini terkejut bukan main, karena
dinding yang terbuat dari emas tadi mendadak bagai-
kan tembus pandang. Dan keterkejutan akan peruba-
han dinding itu beralih ke hal yang lebih menga-
getkannya. Tampak Pendekar Slebor dalam keadaan
tak berdaya dengan kedua kaki tertekuk dan tubuh di-lilit sinar hitam sangat
ketat. Kelihatan sekali bagaimana Pendekar Slebor tak mampu bergerak.
"Keparat!" bentak Raras keras. "Aku akan mengadu jiwa denganmu, Putri Samudera!"
Putri Samudera terbahak-bahak saja. "Kau tak
perlu mencemaskan suamimu. Dia akan aman saja.
Dan aku tak akan membunuhnya. Hanya sayangnya,
suamimu itu sebentar lagi akan menikah denganku,"
kata Putri Samudera.
Meskipun kening Raras berkerut mendengar
Putri Samudera menyebut suami buat Pendekar Sle-
bor, namun untuk saat ini dia tak ingin menanyakan-
nya. "Peduli setan apakah dia hendak menikah denganmu atau tidak! Tetapi,
lepaskan dia! Atau, lepaskan aku. Dan, kita bertarung sampai mati!" dengus
Raras. Putri Samudera yang percaya akan kata-kata
Pendekar Slebor kalau Raras adalah istrinya, sangat menikmati permainan yang
diciptakannya. Karena,
akan membuat gadis itu muak dan cemburu padanya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu cembu-
ru. Kekasihmu itu memang tampan sekali. Dan aku bi-
sa mengerti kekecewaanmu bila menyaksikan bagai-
mana suamimu akan menikah denganku!"
Justru Raras yang semakin tak mengerti. Na-
mun hatinya yang geram karena melihat bagaimana
Pendekar Slebor dalam keadaan tak berdaya, mem-
buatnya berteriak-teriak keras dengan amarah meng-
gele-gak "Manusia hina! Lepaskan dia! Lepaskan!"
"Sayang sekali, aku membutuhkannya. Maaf-
kan aku yang telah membuatmu gusar," kata Putri
Samudera, di sela-sela teriakan Raras.
"Setan!" geram Raras.
Gadis ini semakin tak mengerti mengapa Putri
Samudera mengatakan Pendekar Slebor adalah sua-
minya. Bahkan telah berhasil membuatnya cemburu.
Namun, hatinya dibalur kemarahan menggelegar, me-
nyadari kalau dirinya dan Pendekar Slebor menjadi tawanan Putri Samudera.
"Dan kau sendiri, akan mendapatkan sebuah
anugerah yang sangat besar. Karena, aku membutuh-
kan darah sucimu untuk menjaga agar aku tetap awet
muda..." "Iblis! Ayo, lepaskan aku! Lebih baik aku mati daripada melakukan keinginanmu!"
"Hal yang sama pun dikatakan suamimu!
Sayangnya, kalian berdua tak akan mampu berbuat
apa-apa. Takdir sudah menulis, kalau kalian akan
menghuni tempat ini untuk sementara. Karena, setelah berhasil kuambil darah
sucimu dan kuambil kejantanan Pendekar Slebor, maka kalian harus mampus.
Dan aku akan membunuh Sultan Mangkunegoro, un-
tuk selanjutnya menguasai rimba persilatan di daratan! Ha ha ha...!"
Masih terbahak-bahak Putri Samudera mening-
galkan tempat itu. Meninggalkan Raras yang tengah
geram meskipun tak mengerti apa maksud Putri Sa-
mudera mengatakan Pendekar Slebor adalah sua-
minya. Yang disadari gadis ini sekarang, bukan hanya nyawa Sultan Mangkunegoro
saja yang terancam. Tapi
juga nyawanya sendiri, bahkan..., nyawa Pendekar
Slebor! *** 9 Bukit Pedang siang hari.
Matahari panas menyengat. Siang meranggas,
menebarkan debu-debu menyakitkan. Binatang yang
biasanya banyak hidup di sana, tak ada yang berkeliaran. Tak kecuali burung-
burung. Bentuk bukit yang terjal itu memang aneh. Dari
kejauhan, terlihat seperti sebilah pedang. Gagangnya di bawah, ujungnya yang
tajam menjulang ke atas. Di sanalah Dewa Pedang hidup selama lima puluh tahun.
Dan selama lima belas tahun pula, Dewa Pe-
dang menggembleng Raras yang merupakan murid sa-


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tu-satunya. Saat ini, laki-laki bertubuh gagah berpakaian
serba putih itu tengah bersemadi, menyatukan diri
dengan Yang Maha Pencipta. Warna rambutnya yang
memutih dan wajahnya terlihat kokoh meskipun su-
dah mulai ditumbuhi keriput. Di wajahnya tampak gu-
ratan-guratan dari selaksa peristiwa yang pernah di-arunginya. Di sisi laki-laki
berusia sekitar delapan puluh tahun itu terdapat sebilah pedang berwarangka
keemasan, dengan butir-butir mutiara di sepanjang
warangkanya. Melalui mata batinnya Dewa Pedang berusaha
menerobos alam gaib untuk melihat keberadaan mu-
ridnya. Dan melalui batinnya pula dia mampu melihat keberadaan seorang pemuda
berbaju hijau pupus.
"Raras dalam bahaya," desahnya. "Begitu pula pemuda yang aku yakini adalah
Pendekar Slebor.
Nampaknya pemuda itu akan mampu menguasai kea-
daan. Akan tetapi untuk saat ini, dia tak lebih dari seorang pesakitan belaka."
Dewa Pedang perlahan-lahan membuka ma-
tanya. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah
sedikit cerah. "Hmm... Pemuda berjuluk Pendekar Slebor. Ka-
lau tak salah aku memang pernah mendengarnya. Di-
alah pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Namun
menghadapi ajian bangsa siluman, pemuda itu me-
mang bisa dikatakan tak berdaya, meskipun juga me-
miliki ajian bangsa siluman. Yaahh..., mudah-
mudahan dia akan menemukan akal...," gumam Dewa Pedang. Dewa Pedang terdiam
kembali. Dan sebelum
melanjutkan gumamannya, tiba-tiba saja pendenga-
rannya yang terlatih dan sangat tajam, menangkap suara di lereng Bukit Pedang.
Dengan mempergunakan
mata batinnya, lelaki tua ini bisa melihat kalau yang datang adalah Sultan
Mangkunegoro, Permaisuri Sri
Dewi Rajasi, dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Hmm.... Rupanya Panglima Tinggi Mahesa De-
wa membawa Yang Agung dan permaisuri ke sini. Aku
harus segera menyambutnya."
Dewa Pedang bangkit, lalu melangkah ke pintu
pondoknya. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Den-
gan sekali berkelebat saja, dia sudah menghilang dari pandangan. Dan tahu-tahu
dia sudah berhenti, langsung berlutut di hadapan Sultan Mangkunegoro.
"Salam hormat untuk Yang Agung Sultan
Mangkunegoro dan Yang Mulia Permaisuri Sri Dewi
Rajasi." Sejenak rombongan sultan itu jadi terkejut. Tetapi mereka segera tenang
kembali begitu mengenali
Dewa Pedang. "Oh, Dewa Pedang.... Tak kusangka kau menge-
tahui kedatangan kami," sahut Sultan Mangkunegoro
dengan suara hangat.
"Daulat, Yang Agung. Terima kasih Yang Agung
sudi singgah di tempatku yang kotor dan jelek ini."
Sultan Mangkunegoro tersenyum.
"Berdirilah. Aku terpaksa mengganggumu," ujar Penguasa Kesultanan Laut Selatan.
"Seluruh jiwa dan ragaku, milik Yang Agung,"
sahut Dewa Pedang seraya bangkit.
Sultan Mangkunegoro jadi terharu mendengar-
nya. Lalu kakinya melangkah bersama Permaisuri Sri
Dewi Rajasi. Begitu keduanya melangkah, Panglima
Tinggi Mahesa Dewa mengatupkan kedua telapak tan-
gan di dada pada Dewa Pedang.
"Mungkin kedatangan kami menganggu, Dewa
Pedang," kata panglima itu.
Dewa Pedang tersenyum. "Silakan, Mahesa. Da-
lam keadaan seperti ini, kita memang harus saling
membantu. Putri Samudera memang tokoh yang baru
muncul. Tetapi sepak terjang dan kesaktiannya sangat tinggi sekali."
Panglima Tinggi Mahesa Dewa hanya mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Meskipun demikian, aku masih penasaran.
Dan lebih rela bertarung mati-matian daripada mena-
han sakit hati yang semakin dalam."
Dewa Pedang tersenyum. Dapat dimaklumi ke-
gusaran hati Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Lalu mereka pun perlahan-lahan menaiki Bukit
Pedang. *** Dengan kedatangan Sultan Mangkunegoro dan
permaisuri, Dewa Pedang menjadi sedikit sibuk. Gu-
buknya dirapikan dengan gerakan sangat luar biasa
cepatnya. Namun semuanya itu dilakukan penuh rasa
hormat. Bahkan dia telah menyediakan buah-buahan
yang bisa dipetik di sana.
Karena lelah, Sultan Mangkunegoro dan per-
maisuri tertidur. Sementara Dewa Pedang dan Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa berada di luar.
Udara dingin mulai menggigit. Senja temaram
sebentar lagi akan tiba. Burung-burung pun mulai pulang ke sarangnya.
"Dewa Pedang.... Adakah yang kau ketahui ten-
tang Putri Samudera?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa memecah kesunyian.
Dewa Pedang mengangguk-angguk.
"Mungkin, Empu Karniaga pun menduga akan
hal itu. Dugaannya sama dengan dugaanku," sahut Dewa Pedang.
"Oh"! Soal apa itu?"
Dewa Pedang mengatakan dugaannya. Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa sampai terjingkat karena ter-
kejutnya. "Jadi, Putri Samudera kemungkinan besar ada-
lah putri Sultan sendiri?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa, seakan ingin lebih
yakin lagi. "Ini hanya kemungkinan. Kebenarannya bisa
diketahui dari mulut Putri Samudera sendiri. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita
untuk mengorek keterangan itu," jelas Dewa Pedang.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Du-
gaan-dugaan yang membuatnya tak mengerti mulai
bermunculan. "Dendam karena merasa perlakuan Sultan-lah
yang membuatnya melakukan seperti itu. Lagi pula,
kau jangan lupa, Mahesa. Dia adalah murid Eyang
Dewi Samudera yang sampai sekarang kita tak pernah
mengerti bagaimana pribadi sesungguhnya...."
"Tahukah kau, di mana dia berada sekarang?"
"Di kerajaan dasar Laut Selatan. Kerajaan milik Eyang Dewi Samudera. Di sana
pula muridku sekarang menjadi tawanannya. Juga seorang pemuda sakti
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang ber-
juluk Pendekar Slebor."
"Ya.... Aku pun melihat kehadiran Pendekar
Slebor, saat Putri Samudera menyerang Kesultanan
dan ingin membunuh Sultan. Kalau begitu, aku akan
ke sana segera."
Dewa Pedang tersenyum. "Bukan kusangsikan
kepandaianmu, Mahesa. Akan tetapi yang perlu kau
ketahui, Putri Samudera adalah murid Eyang Dewi
Samudera. Sudah tentu kesaktian Eyang Dewi Samu-
dera diturunkan padanya. Lagi pula, kau akan menga-
lami kesulitan sangat luar biasa untuk masuk ke Kerajaan Laut Selatan. Jangankan
untuk masuk, untuk
menemukannya saja sangat sulit."
"Gusti! Bagaimana cara mengalahkannya" De-
wa Pedang! Bukankah kau memiliki ajian bangsa silu-
man pula" Apakah kau tak bisa menembus dan men-
cari tahu, di mana Kerajaan Laut Selatan itu?"
"Kemungkinan itu memang ada. Akan tetapi,
aku tak akan kuasa untuk melakukannya. Harapan ki-
ta satu-satunya, Pendekar Slebor-lah yang mampu me-
lakukannya. Meskipun, saat ini masih ku sangsikan."
"Mengapa kau yakin, tetapi menyangsikan ke-
mampuan Pendekar Slebor?" tanya Panglima Tinggi Mahesa Dewa heran.
"Sekarang ini dia ditawan Putri Samudera. Bila saja sampai menikah dengannya,
tak mustahil Pendekar Slebor akan mati," jelas Dewa Pedang.
"Kalau begitu, hanya akulah yang bisa menga-
tasi semua ini...."
Mendadak terdengar suara di belakang mereka.
Serentak keduanya bangkit dan segera berlutut di hadapan sosok yang ternyata
Sultan Mangkunegoro.
"Bangunlah.... Aku sudah mendengar semua
itu," ujar Sultan Mangkunegoro sambil tersenyum bijaksana. "Aku pun sudah
menduga ke arah itu sebenarnya. Karena, aku merasa begitu dekat sekali, saat
pertama kali melihat wajah Putri Samudera. Mungkin
ini dulu kesalahanku. Dan tak pernah kusangka akan
terjadi seperti ini. Mungkin, kelalaiankulah yang membuatnya terjadi. Padahal
sekali pun aku tak pernah
mengusir Murti Ningsih yang saat itu sedang hamil.
Gadis itu saja yang meninggalkan ku. Dan aku tak
sempat memikirkannya lagi, karena Kesultanan sedang menghadapi pemberontakan.
Setelah semua-nya berhasil diatasi, aku mencari Murti Ningsih. Namun dia tak
pernah bisa kutemukan sampai aku diangkat menjadi Sultan."
"Maafkan kami, Yang Agung," ucap Dewa Pe-
dang. "Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini mungkin ganjaran yang nyata akibat
kelalaian ku dulu. Dewa Pedang.... Dapatkah kau mengantarku ke Kerajaan
Laut Selatan?"
Dewa Pedang mengangguk.
"Antarkan aku ke sana."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Bukan hamba
menolak titah Yang Agung. Akan tetapi, sebaiknya
Yang Agung jangan meninggalkan Bukit Pedang untuk
sekarang ini. Karena, Putri Samudera masih akan
mencari Yang Agung untuk menuntaskan seluruh sa-
kit hatinya."
"Aku akan menerima keadilan itu."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Mungkin semu-
anya masih bisa ditenangkan. Karena hamba yakin,
Pendekar Slebor akan mampu mengatasi semua itu."
"Menurutmu, Pendekar Slebor berada dalam
cengkeraman Putri Samudera?"
"Betul."
"Bagaimana bisa kau katakan kalau dia akan
mampu mengatasi semua ini?"
"Karena, dia adalah seorang pemuda cerdik. Di
samping itu, kemampuannya tak perlu disangsikan la-
gi." Sultan Mangkunegoro mendesah pendek. "Ini
kesalahanku. Kalian semua jadi terlibat."
"Tidak, Yang Agung. Ini hanyalah salah paham
yang melebar. Salah pengertian yang dialami Putri Samudera. Bila saja dia mau
bersabar dan bertanya lebih dulu duduk perkara masalah ini, bisa jadi akan
mengerti." "Kau benar, Dewa Pedang. Tetapi, perasaan berdosa telah merambat
hatiku. Kau tahu, betapa banyak para prajuritku yang setia harus menjadi korban"
Berapa banyak kerugian yang diderita Kesultanan"
Rasanya, memang adil bila aku menerima hukuman
yang akan dijatuhkan Putri Samudera."
Tak ada yang bersuara. Dewa Pedang dan Pan-
glima Tinggi Mahesa Dewa sama-sama menyesali,
mengapa Sultan Mangkunegoro sampai mengetahui
semua ini. "Kesalahan ini memang harus ku tebus," desah Sultan Mangkunegoro sambil
melangkah masuk kembali ke gubuknya. Inilah jawaban yang membuatnya
berhari-hari memikirkan tentang Putri Samudera.
Tak ada yang bersuara beberapa saat. Sampai
kemudian, Dewa Pedang memecah kesunyian.
"Sekarang..., mau tak mau aku harus masuk ke
Kerajaan Laut Selatan, Mahesa."
*** 10 Benarkah yang dikatakan Dewa Pedang kalau
Pendekar Slebor memiliki kecerdikan untuk mengatasi keadaannya yang berada di
bawah cengkeraman Putri
Samudera. Yang jelas, Putri Samudera saat ini telah mun-
cul di kamar Pendekar Slebor. Si pemuda saat ini menjadi sangat letih, karena
sudah dua hari dua malam tidak makan. Bahkan dalam keadaan terikat oleh sinar
hitam yang sangat kuat sekaligus aneh itu.
Tetapi, bukan Andika kalau tak bisa bertingkah
walau dalam keadaan terjepit sekalipun.
Begitu Putri Samudera muncul, Andika mema-
sang wajah cengar-cengir.
"Apa kubilang! Kau pasti muncul karena kan-
gen sama aku, 'kan" Memang susah cari orang seper-
tiku. Maklum, sudah tak keluar lagi di pasaran. Oh, ya. Maaf, ya. Aku tak mau
menikah denganmu. Habis
di duniaku masih banyak gadis yang lebih cantik dan bahenol, sih....," oceh
Andika. Wajah Putri Samudera memerah. Sesungguh-
nya, bila tak ingat akan pesan Eyang Dewi Samudera
sudah dibunuhnya pemuda sialan ini.
"Jangan banyak bacot! Kau tak akan bisa mela-
rikan diri dari kenyataan itu!" desis wanita itu seraya
melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Tangan halus Putri Samudera bergerak bagai
menepuk nyamuk.
Pak! Tiba-tiba saja tubuh Andika terjatuh di lantai,
setelah sinar hitam yang melilitnya terlepas.
Meskipun Andika sudah terlepas dari belenggu
yang menyiksanya, akan tetapi sebenarnya merasa pe-
nat bukan main. Dalam keadaan kaki tertekuk dan
tangan menjadi satu, seolah darahnya sulit mengalir.
Dan kini perlahan-lahan tenaga dalamnya dialirkan.
"Pendekar Slebor! Bila kau mencoba menolak
keinginanku, maka kau akan mati," desis Putri Samudera dengan sinar mata dingin.
"Sayang aku masih doyan nasi uduk dengan la-
lap jengkol. Dimakan pagi hari pakai sambal, wuih,
enak sekali!" sahut Pendekar Slebor, ngawur.
"Keparat!" bentak Putri Samudera dengan wajah memerah kelam mendengar seloroh
Andika yang membuatnya benar-benar muak. Tiba-tiba tangannya
mengibas. Wuutt! Andika yang masih belum pulih benar tena-
ganya hanya bisa sedikit melompat menghindar. Tapi


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak urung tangan kirinya terhantam pukulan yang ke-
ras itu. Andika terpelanting ke belakang, namun tetap hanya cengar-cengir saja.
Padahal dia ingin berteriak kuat-kuat karena rasa sakit luar biasa diderita.
"Ayo lagi! Lagi! Sekalian saja. Daripada aku
menikah denganmu"!" serunya sambil menjulur-
julurkan lidahnya.
Tangan Putri Samudera mengibas kembali.
Wuutt...! Kali ini Andika yang sudah memperhitungkan-
nya berhasil meloloskan diri dengan jalan bergulingan.
Melihat hal itu, Putri Samudera semakin ber-
tambah geram dan menyerang bertubi-tubi.
Jder! Jder! Pukulan keras itu menghantam dinding yang
terbuat dari emas hingga jebol dengan suara keras.
Bersamaan dengan jebolnya dinding itu, Raras yang
berada di kamar sebelah terpelanting deras ke bela-
kang. "Raras!" seru Andika begitu melihat dan segera bergulingan mendekat
"Aduh...," desis Raras tak mampu.
Dadanya terasa sangat sakit sekali. Tulang-
tulang belulangnya bagaikan remuk, namun hatinya
lebih tenang karena ada Andika di sisinya.
"Tahan! Bila kita tenang dan sabar, aku yakin
bisa menghancurkan Putri Samudera."
Lalu Andika segera berusaha untuk membe-
baskan gadis yang wajahnya memucat itu. Rupanya,
selama dua hari dua malam tidak makan, keadaan Ra-
ras lebih memprihatinkan dibanding Andika.
Putri Samudera melesat ke kamar sebelah. Be-
tapa geram hatinya melihat bagaimana Andika sedang
berusaha membebaskan Raras dari totokan. Sementa-
ra dalam pandangannya sikap Raras begitu manja se-
kali pada Andika.
"Keparat! Kalian membuatku muak!" desis wanita itu. Kedua tangan Putri Samudera
bertepuk dua kali. Mendadak saja terlihat sinar merah yang sangat menyilaukan menerangi kedua
tangannya. Andika yang masih berusaha menemukan toto-
kan Putri Samudera di tubuh Raras, terperanjat sebe-
lum berhasil menemukannya.
Diam-diam si pemuda yakin kalau ajian yang
akan dilepaskan Putri Samudera itu sangat dahsyat.
Dalam keadaan seperti ini, memang sangat sulit untuk menghindar. Terutama, untuk
menyelamatkan Raras.
Andika masih memperhitungkan, kalau tidak
ingin melihat Raras celaka. Tiba-tiba saja tangannya diangkat.
"Tahan!" seru Andika.
"Pemuda keparat! Apa lagi yang hendak kau
mainkan, hah"!" geram Putri Samudera.
Kali ini Putri Samudera tak peduli lagi dengan
pesan Eyang Dewi Samudera yang menyuruhnya un-
tuk menikahi Pendekar Slebor. Baginya, biarlah pemu-da sialan yang selalu
membuat telinganya memerah itu mampus!
Perlahan-lahan Andika berdiri dengan otak
berpikir keras.
"Kulihat, kau memang ingin membunuh kami,
ya?" usik Andika.
"Tanpa bertanya, kau sudah tahu jawabannya!"
sahut Putri Samudera mantap.
"Lho" Katanya mau kawin" Atau..., jangan-
jangan kau cemburu, ya?"
Bukan hanya wajah Putri Samudera yang me-
merah. Telinganya pun demikian. Dan hatinya sema-
kin geram. "Keparat! Kau mampuslah!"
"Hei! Kau 'kan hendak menjadi istriku" Masa'
tega membunuhku?" seru Andika.
Pendekar Slebor terus memikirkan nasib Raras.
Tidak mustahil gadis ini akan sulit diselamatkan, karena cahaya panas berpendar-
pendar itu sangat me-
nyilaukannya. Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya
bila pukulan itu dilepaskan Putri Samudera. Jalan sa-tu-satunya, Putri Samudera
harus dibujuk sampai
berhasil menemukan totokan pada tubuh Raras yang
tak berdaya. Kata-kata Andika yang penuh bujukan itu ak-
hirnya termakan juga oleh Putri Samudera. Perlahan-
lahan kedua tangannya diturunkan. Maka sinar merah
yang menyilaukan itu pun perlahan-lahan pula meng-
hilang. Diam-diam Andika menghela napas.
"Baik! Kau harus secepatnya menikah dengan-
ku!" "Itu bisa diatur! Tetapi, kau harus membebaskan dulu Raras dari totokanmu!"
cetus Andika, memberikan syarat.
"Justru dia akan kubawa sekarang!"
Kali ini Andika terlengak mendengar kata-kata
Putri Samudera. Dia memaki dirinya sesaat, yang tak memikirkan kemungkinan itu.
Tetapi bukan Andika
kalau tak bisa membalasnya dengan cerdik.
"Kalau begitu, aku tidak mau menikah den-
ganmu," kata Andika, kalem.
"Persetan dengan pernikahan itu! Toh, aku bisa memaksamu untuk melakukannya!"
"Wah, kawin terpaksa itu tidak baik! Kalau be-
gitu aku memilih mati saja!" kata Andika semakin ngawur. Sementara dia terus
berpikir untuk melepaskan diri dari semua ini.
"Kalau begitu, matilah kau!"
"Dengan kematianku, kau tidak mengindahkan
pesan Eyang Dewi Samudera! Berarti kau mengkhiana-
tinya! Dan kau bisa mati, Putri Samudera!"
Putri Samudera terdiam kali ini. Kegeramannya
kelihatan ditahan setengah mati. Namun dibenarkan
pula kata-kata Andika barusan. Dengan kata lain, bila Andika dibiarkan mati maka
dia gagal menikahi Andika. Dan berarti, dia telah melanggar pesan Eyang Dewi
Samudera. Ini tak boleh terjadi!
"Baik! Kita menikah lebih dulu! Setelah meni-
kah, kau harus menyerahkan gadis itu kepadaku!" ka-ta Putri Samudera, akhirnya.
"Kalau soal itu sih beres," kata Andika sambil tersenyum.
Pendekar Slebor merasa telah terbebas dari be-
lenggu pertama yang membingungkannya. Dan dia te-
lah mendapatkan jalan keluar yang terbaik
Sementara itu Putri Samudera pun melangkah
meninggalkan tempat itu dengan hati kesal.
"Jangan main-main, ya! Aku sudah tak sabar
nih!" Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata Pendekar Slebor yang membuatnya
semakin kesal. Tetapi, pesan Eyang Dewi tak boleh dilanggar. Putri Samudera
bersumpah, bila berhasil menikah dan me-
miliki tenaga 'inti petir' yang dimiliki Andika, dia akan segera membunuh
Pendekar Slebor.
"Kang Andika..., mengapa kau membuat perjan-
jian seperti itu" Kau tak harus melakukannya, hanya untuk menyelamatkan aku,"
kata Raras, setelah Putri Samudera tak terlihat lagi.
Andika tertawa.
"Siapa yang membuat perjanjian" Aku tidak
merasa berjanji?" sahut Pendekar Slebor santai.
Kembali Andika berusaha mencari letak totokan
yang dilakukan Putri Samudera. Dan tak lama kemu-
dian dia pun menemukannya.
Sebenarnya totokan itu berada di pangkal len-
gan dan mata kaki Raras. Namun totokan yang dilaku-
kan Putri Samudera menggunakan tenaga hampa uda-
ra. Sehingga, akan sulit ditemukan bila bukan oleh seorang pendekar tingkat
tinggi. Untuk membebaskan totokan seperti ini, Andi-
ka harus mempergunakan tenaga panas dalam tubuh-
nya. Dia berharap akan bisa segera membebaskan Ra-
ras. Karena, bila sampai tiga kali melakukannya na-
mun gagal, maka tubuh Raras akan tersengat hawa
panas yang dipancarkannya.
"Kau harus mengalirkan hawa dingin di tu-
buhmu, Raras. Agar kau tidak terlalu merasakan pa-
nas yang akan menyengat," kata Andika, memberi ta-hu.
"Lakukanlah, Kang Andika."
"Kalau kau sudah bebas, kita akan mencari ke-
sempatan untuk meloloskan diri!"
Andika memegang tubuh Raras yang mulai te-
rasa dingin. Rupanya gadis itu sudah mengalirkan ha-wa dingin ke seluruh
tubuhnya. Lalu tangan Pendekar Slebor bergerak cepat. Dan....
Tuk! Tuk! Tuk! Tubuh Raras terjingkat disertai keluhan cukup
keras. Tubuhnya pun menjadi sempoyongan. Dengan
cepat Andika menangkapnya hingga tidak terjatuh.
"Alirkan hawa panasmu. Cepat!" ujar si pemuda. Dalam keadaan lemah seperti itu,
sebenarnya Ra- ras tak akan mampu mengalirkan hawa panasnya.
Maka dengan segera Andika membantunya. Cepat di-
alirkannya tenaga 'inti petir' yang dimilikinya. Dengan begitu, Raras mampu
melakukan yang diperintah Andika. Dan perlahan-lahan, aliran darahnya terasa
kembali berjalan seperti biasa.
"Terima kasih, Kang Andika," ucap Raras sambil menghapus peluh di sekujur
tubuhnya yang perla-
han-lahan terasa segar kembali.
Andika tersenyum.
"Aku juga mengucapkan terima kasih," kata Andika. "Dalam hal apa?"
"Merangkulmu itu suatu pengalaman yang san-
gat luar biasa," sahut Andika nyengir.
Raras tertawa pula. Diam-diam mulai dis-
ukainya sikap Andika yang menurutnya agak urakan,
namun menyenangkan. Tiba-tiba ingatannya kembali
pada kata-kata Putri Samudera yang mengatakan ka-
lau Pendekar Slebor adalah suaminya.
"Kau tidak usah heran," kata Andika setelah Raras mengatakan akan hal itu.
"Karena, memang aku yang mengatakannya. Eh! Kalau kau tidak suka, kau
boleh marah. Lagi pula, aku cuma membohongi Putri
Samudera saja, 'kan?"
Mendengar kata-kata Andika, justru Raras jadi
tertunduk. Entah mengapa, hatinya menjadi teraduk-
aduk tak karuan. Kalau sebelumnya merasa aneh den-
gan ucapan Putri Samudera, justru sekarang ma-lah
tidak enak mendengar kata-kata Andika.
Sementara kini Andika kembali berpikir untuk
meloloskan diri dari Kerajaan Laut Selatan. Makanya dia tak menghiraukan Raras.
Karena pikirnya, Raras
mungkin sedang berpikir apakah harus marah atau ti-
dak. *** Dan sebelum Pendekar Slebor merangkai jalan
keluar yang sudah didapat dalam pikirannya, tiba-tiba saja Busss...!
Segumpal asap tebal menebarkan bau sangat
wangi tercium oleh hidung mereka. Andika terkejut,
cepat dibawanya tubuh Raras melesat keluar.
"Asap pembius!" serunya.
Akan tetapi, belum lagi melewati ambang pintu,
tiba-tiba Pendekar Slebor merasakan sebuah hanta-
man sangat kuat menerpa tubuhnya, hingga terpental
ke belakang. Tubuh Raras yang dipegangnya tadi bagai ada yang menarik, terlepas
dari pegangannya.
"Raras!" seru Pendekar Slebor keras, bersamaan lenyapnya tubuh Raras dari
pandangan. Sejenak Andika berusaha mengejar, akan tetapi
asap pembius yang menebarkan bau wangi telah ter-
cium dan terhirup hidungnya. Dia gelagapan beberapa saat, lalu pingsan.
*** 11 Putri Samudera membawa tubuh Raras yang
pingsan ke sebuah ruangan indah dan megah. Letak-
nya kira-kira sepuluh tombak dari tempat Andika
pingsan. Wanita ini terbahak-bahak ketika membaring-
kan tubuh Raras yang pingsan ke sebuah batu dari
emas. "Rupanya Pendekar Slebor mengira lebih cerdik dariku! Tidak akan pernah
kubiarkan dia menghalangi seluruh keinginanku! Hhh! Kini tiba saatnya kuambil
darah suci gadis ini untuk menambah ilmu awet muda
yang kumiliki."
Setelah meletakkan tubuh Raras di atas batu
emas, Putri Samudera mengambil sikap bersemadi. Dia terdiam beberapa saat.
Seluruh inderanya ditutup.
Dan pusat sukmanya ditujukan pada satu titik. Hanya sesaat. Tiba-tiba wanita itu
membuka matanya. Sorot-nya sangat tajam, bak mata seekor serigala lapar.
Bibirnya menyeringai mengerikan. Dia mendesis bagai
ular. "Eyang Dewi.... Pesanmu yang pertama akan kulaksanakan sekarang!"
Mendadak saja Putri Samudera mengulapkan
kedua tangannya ke atas. Seketika, muncul asap hi-
tam yang menyelingkupi tubuhnya. Dan perlahan-
lahan, asap itu seperti membentuk dua buah tangan.
Bagai digerakkan tenaga gaib, asap yang men-
jelma menjadi tangan itu bergerak ke arah tubuh Ra-
ras. Mengitarinya berkali-kali, lalu berhenti tepat di atas anggota tubuh Raras
yang paling rahasia.
Perlahan-lahan asap itu menurun, mulai mera-
ba. Namun mendadak saja....
Wusss...! Blap! Asap hitam berbentuk tangan itu sirna, ketika
serangkum angin dahsyat menghantam dengan suara
mengerikan. "Keparat! Mau cari mampus rupanya!" bentak Putri Samudera. Suaranya mampu
merontokkan jantung. Wanita ini telah berdiri tegak. Matanya terbelalak, melihat
sosok Pendekar Slebor dan sosok seorang laki-laki yang memegang pedang
berwarangka penuh
mutiara! *** "Maaf.... tak kuizinkan kau melakukan hal se-
perti itu...," kata Pendekar Slebor sambil nyengir.
"Pemuda tak tahu diuntung! Mau cari mam-
pus!" Saat itu, Putri Samudera melesat ke arah Andika dengan gerakan cepat luar
biasa. Gerakannya me-
nimbulkan deru angin menyakitkan.
Dengan serentak Pendekar Slebor mencelat ke
samping. Begitu pula sosok yang memegang pedang
berwarangka mutiara yang tak lain Dewa Pedang.


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana mungkin Andika yang sedang ping-
san itu tahu-tahu sudah muncul di hadapan Putri Sa-
mudera bersama Dewa Pedang"
Ketika menyatakan keinginannya pada Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa untuk segera menyusup ma-
suk ke Kerajaan Laut Selatan, Dewa Pedang pun sege-
ra melakukannya.
Dengan ajian bangsa siluman yang pernah di-
pelajarinya, tiba-tiba saja tubuh Dewa Pedang lenyap dari pandangan Panglima
Tinggi Mahesa Dewa.
Dengan keahliannya, guru dari Raras itu perla-
han-lahan masuk ke Kerajaan Laut Selatan. Ajian
'Pandangan Menembus Sukma' yang telah dipancar-
kannya, membuatnya tak banyak menemui kesulitan
untuk menemukan kerajaan itu.
Dewa Pedang pun bisa melihat sosok Pendekar
Slebor yang pingsan. Hatinya pun tercekat saat melihat Raras tengah dibawa Putri
Samudera ke sebuah kamar. Namun tidak mudah bagi Dewa Pedang untuk
menyelamatkan mereka. Karena saat itu juga bermun-
culan belasan manusia bersisik dengan kepala berben-
tuk ikan. Melihat keadaan mereka, Dewa Pedang terbela-
lak. Namun dia tidak bisa terus menerus terbelenggu oleh keterkejutannya. Karena
belasan manusia ikan itu telah menyerangnya.
Lewat pertarungan sengit belasan makhluk
aneh itu satu persatu berhasil dilumpuhkan. Apalagi setelah Dewa Pedang mencabut
pedangnya yang memancarkan sinar warna putih. Saat itu juga para ma-
nusia ikan yang merupakan para prajurit Kerajaan
Laut Selatan berjatuhan.
Tak ada darah yang keluar. Tak ada mayat
yang mengapung. Karena begitu terkena sabetan pe-
dang Dewa Pedang, tubuh mereka lenyap begitu saja.
Sebentar kemudian Dewa Pedang berusaha
menyelamatkan diri dari pengaruh asap beracun den-
gan hawa murni yang dimilikinya. Dan dengan gerakan sangat cepat, Dewa Pedang
menotok lutut, paha, dan
bahu Andika. Lalu menghentakkan kedua tangan si
pemuda ke atas.
Perlahan-lahan terlihat asap keluar dari mulut
dan hidung Andika. Dewa Pedang mendesah panjang,
dan membuatnya semakin bersemangat setelah tahu
asap pembius itu sudah menghilang.
Sekarang tinggal menyadarkan Andika. Dengan
dua kali totokan di urat leher, Andika perlahan-lahan siuman dan mengeluarkan
keluhan pendek Pendekar Slebor terperanjat begitu melihat so-
sok asing di hadapannya. Namun setelah Dewa Pedang
menjelaskannya, Andika cepat mengerti.
Mereka lantas berkelebat ke kamar yang dilihat
Dewa Pedang dengan batinnya. Begitu tiba, dengan ha-ti geram Andika segera
menerjang sambil mengebutkan kain pusaka warisan Ki Saptacakra, ke asap hitam
yang menjelma menjadi tangan yang sedang meraba
bagian terlarang Raras.
*** "Kalian tak akan pernah bisa keluar dari sini!"
desis Putri Samudera.
Wanita ini terus menyerang dengan gempuran-
gempuran berbahaya. Suara ledakan terdengar begitu
serangannya dilepaskan.
Bukan hanya Andika yang kewalahan mengha-
dapi gempuran maut itu. Dewa Pedang pun mengalami
kesulitan luar biasa. Keduanya mengerahkan segenap
kemampuan, namun tetap saja Putri Samudera terus
menggebrak. Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba sa-
ja. "Putri Samudera! Tahan seranganmu itu! Ada
yang perlu kita bicarakan!" teriak Dewa Pedang.
"Kakek tua renta! Tak ada waktu untuk berbi-
cara! Sekarang saatnya bagimu untuk mampus?"
Tanpa peduli lagi, Putri Samudera menerjang
Dewa Pedang. Maka sebisanya lelaki ini bertahan dengan jurus-jurus pedangnya.
Namun itu semua tak
membawa arti. Karena tiba-tiba saja dengan gerakan
sangat sulit diikuti mata, kaki Putri Samudera sudah menerobos ke perutnya.
Diegkh! "Aakh...!"
Dewa Pedang memekik dengan tubuh terjajar.
Tanpa memberi kesempatan, Putri Samudera kembali
melepas tendangan. Untungnya, Dewa Pedang cepat
mengibaskan senjatanya.
Trang! Satu keanehan terjadi. Karena suara keras
yang ditimbulkan bagai hantaman dua bilah pedang.
Seolah, kaki Putri Samudera terbuat dari logam saja.
Bahkan memiliki tenaga lebih kuat.
Tangan Dewa Pedang sampai bergetar. Tubuh-
nya terhuyung ke belakang. Bersamaan dengan itu,
kaki Putri Samudera melayang kembali, siap mengha-
bisi. Sementara Dewa Pedang sepertinya tak mampu
lagi bertahan. Di saat yang gawat, Andika melesat cepat. Diki-
rimkannya jotosan tangan yang telah dialiri ajian
'Guntur Selaksa'.
Duaarrr...! Hantaman itu tepat mengenai kaki Putri Samu-
dera. Namun di luar dugaan, justru tubuh Andika yang terjajar ke belakang.
Sementara bagai tak merasakan sakit, Putri Samudera terus menerjang ke arah Dewa
Pedang. Memang, karena jotosan Andika barusan, tena-ga kaki Putri Samudera yang
siap menghantam Dewa
Pedang tak lagi terlalu kuat. Akan tetapi bila Dewa Pedang terhantam, jelas akan
merasakan sakit luar bi-
asa. Andika yang terjajar ke belakang menyadari kalau Dewa Pedang tetap tak akan
mampu menghindar.
Maka dengan gerakan sangat cepat kembali diterjang-
nya Putri Samudera.
Tangan Pendekar Slebor sudah mengebutkan
kain bercorak caturnya. Suara dengungan bagai ri-
buan tawon mengudara di ruangan itu.
Sret...! Kain bercorak catur itu melilit kaki Putri Sa-
mudera. Dan Pendekar Slebor segera mencoba mena-
riknya. Betapa geramnya Putri Samudera menyadari
hal itu. Segera tenaganya dikerahkan untuk menying-
kirkan kain bercorak catur yang melilit kakinya. Tetapi, sangat sulit
dilakukannya. Apalagi saat itu, Andika sudah memadukan tenaga 'inti petir',
ajian 'Guntur Selaksa' dan ajian 'Tapa Geni', sebuah ajian bangsa siluman yang
dimilikinya. Secepat kilat si pemuda menarik kaki Putri Samudera hingga bagai
tersentak. *** 12 Tepat ketika tubuh Putri Samudera tersentak
ke arahnya, Andika menggerakkan kakinya.
Wuutt! Dalam keadaan seperti itu, Putri Samudera ma-
sih menunjukkan kehebatannya. Laksana kilat tan-
gannya mengibas ke arah kaki Andika.
Dess! Benturan tangan dan kaki itu terjadi. Akibat-
nya, justru Andika yang terpelanting ke belakang. Pegangannya pada kain bercorak
caturnya pun terlepas.
Putri Samudera melihat kesempatan untuk
membebaskan diri. Segera dia berusaha melepaskan
kain pusaka milik Pendekar Slebor yang melilit ka-
kinya. Tetapi Dewa Pedang yang melihat kesempatan
yang sangat sukar dicari segera melesat. Disambarnya kain bercorak catur.
Dalam keadaan hendak melepaskan kain berco-
rak catur dari kakinya, mau tak mau tenaga Putri Samudera, tak terpusat lagi.
Makanya ketika Dewa Pe-
dang menyentakkan kain bercorak catur itu, tubuhnya pun terbawa.
Bersamaan dengan itu tangan kiri lelaki ini
mengibaskan pedangnya yang memancarkan sinar pu-
tih. *** Wuutt! Putri Samudera segera membuang tubuhnya
rata dengan lantai. Kibasan pedang itu memang lolos dari sasarannya. Namun
tendangan yang dilancarkan
Dewa Pedang telak mengenai dadanya.
Dess...! "Augkh...!" keluh Putri Samudera.
Sementara Andika meskipun merasakan selu-
ruh tulang-belulangnya seperti patah, sudah masuk
kembali dalam pertarungan. Karena dia yakin, seben-
tar lagi Dewa Pedang tak akan mampu mengendalikan
kain bercorak catur yang dimilikinya.
"Lepaskan kain pusaka itu, Dewa Pedang! Kau
hajar terus dengan pedangmu!" seru Pendekar Slebor.
Dewa Pedang pun cepat melakukannya, Andika
segera menyambar kain bercorak catur, lalu bergerak setengah lingkaran hingga
tubuh Putri Samudera terpelanting mengikuti arah gerakannya. Bersamaan den-
gan itu, Dewa Pedang berkelebat dengan jurus-jurus pedangnya yang dahsyat
Putri Samudera seakan tak mampu lagi meng-
halangi setiap serangan.
"Bunuh aku! Bunuh!" teriak Putri Samudera.
Sementara itu Andika telah berhasil melilit se-
belah kaki Putri Samudera yang satu lagi, dan menjadikan satu. Seluruh tenaga
'inti petir' yang masih di-
padu ajian 'Guntur Selaksa' dan ajian bangsa siluman
'Tapa Geni' segera dikerahkan. Kini dengan mudahnya, ujung pedang tajam Dewa
Pedang telah menempel di
leher Putri Samudera.
"Dengar penjelasanku sekarang, Putri Samude-
ra," desis Dewa Pedang sambil menghapus keringat.
"Kalian akan menyesal bila tak segera membu-
nuhku!" bentak Putri Samudera.
"Dengar ucapanku!" balas Dewa Pedang dah-
syat. Putri Samudera tercekat. Dan dengan wajah ditekuk yang memancarkan
kegeramannya, wanita ini
terdiam. "Putri Samudera! Keinginanmu untuk membu-
nuh Sultan Mangkunegoro telah menimbulkan petaka
yang tak terkirakan! Sebaiknya kau urungkan niatmu
itu!" lanjut Dewa Pedang.
"Tidak! Manusia keparat itu harus kubunuh!
Dia telah menyia-nyiakan ibu dan diriku! Apakah aku harus membiarkan dia hidup
senang selama-lamanya?" tolak Putri Samudera dengan mata melotot.
"Tidak tahukah kau kalau Sultan Mangkunego-
ro setelah berhasil menumpas gerombolan pemberon-
tak bermaksud mencari ibumu yang sedang mengan-
dung mu" Dia adalah orang yang bertanggung jawab!
Meskipun nampaknya masa lalunya digores kenangan
buruk! Akan tetapi, dia bukanlah orang yang tidak bertanggung jawab! Sepanjang
hidupnya, dia selalu me-
mikirkan ibumu yang sedang mengandung dirimu, Pu-
tri Samudera!" jelas Dewa Pedang.
"Persetan dengan bualan mu itu, Orang Tua!
Bunuh aku sekarang. Kalau tidak, kau akan menyes-
al!" Dengan keenceran otaknya, Andika jadi men-
gerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Putri Samudera! Tak pernah kujumpai seorang
tokoh sepertimu! Kau hendak membunuh ayah kan-
dungmu sendiri, yang tanpa kau ketahui begitu bersusah payah mencarimu. Bahkan
begitu penuh kasih
sayang ingin melihatmu dan ibumu! Apakah kau ma-
sih akan melakukan tindakan bodoh seperti itu?" tim-pal Andika.
"Ini semua gara-gara tindakan lancang mu,
Pendekar Slebor! Kau tak akan pernah kuampuni!"
maki Putri Samudera.
"Seorang anak yang tak mengakui orang tua-
nya, terlebih-lebih lagi hendak membunuhnya, tak
akan pernah tenang selama hidupnya!" kata Andika la-gi.
"Justru aku akan merasa senang bila melihat
dia mampus! Juga kau, Pemuda Keparat!"
"Monyet pitak! Rupanya otakmu mesti dikuras
dulu...," Sebelum ada yang bersuara lagi.
"Apa yang dikatakan Pendekar Slebor dan Dewa
Pedang memang benar, Putri Samudera."
Mendadak terdengar sebuah suara lembut,
membuat Putri Samudera tercekat.
"Eyang Dewi!" seru Putri Samudera. "Tetapi aku berkeinginan untuk tetap membunuh
manusia keparat
yang bernama Mangkunegoro!"
"Seperti yang kau ketahui, aku tak pernah ber-
pihak pada siapa pun. Juga kau, Putri Samudera. Se-
lama ini, aku tak pernah memberimu perintah. Aku
hanya memberi saran. Dan saat ini aku sarankan tu-
rutilah kata-kata Pendekar Slebor."
"Tidak, Eyang Dewi! Aku akan membunuh ma-
nusia keparat itu! Bantulah aku, Eyang Dewi! Bunuh-
lah kedua manusia ini!"
"Untuk membunuh keduanya, semudah mem-
balikkan telapak tangan! Tetapi sekali lagi, aku tak pernah berpihak pada siapa
pun. Itulah sebabnya, ku larang seluruh anak buahku untuk campur tangan dalam
urusan ini! Dan tiga belas anak buahku yang di-
hancurkan Dewa Pedang, kini sudah kuhidupkan
kembali. Kini, semua menjadi urusanmu, Putri Samu-
dera! Kau sudah cukup dewasa untuk menimbang,
mana yang baik dan mana yang buruk...!"
Tiba-tiba saja tempat itu menjadi gelap gulita.
Dewa Pedang yang sudah mengerahkan ajian
'Pandangan Menembus Sukma'nya pun tak mampu
menembus kegelapan itu. Perasaannya menjadi kalut
ketika teringat Raras yang terbujur tak berdaya. Dia bermaksud menemukannya,
namun seluruh anggota
tubuhnya tak mampu lagi digerakkan.
Andika pun merasa tangannya tiba-tiba mele-


Pendekar Slebor 37 Putri Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mah. Meskipun dia yakin kalau lilitan kain pusaka warisan Ki Saptacakra pada
kedua kaki Putri Samudera
terlepas, namun tak mampu untuk melilitkannya
kembali. Sedangkan Putri Samudera sendiri bagai mera-
sa terbebas dari ikatan kain bercorak catur itu. Akan tetapi, ketika hendak
mengirimkan serangan pada kedua lawan yang telah mengaduk-aduk perasaan-nya,
tangannya terasa lemah sekali. Bahkan tak mampu
berbuat apa-apa!
Selagi ketiganya berada dalam kebingungan
yang luar biasa, mendadak saja tempat di sekitar mereka menjadi terang kembali
*** Namun rasa terkejut ketiganya semakin menja-
di-jadi, karena kini mereka tak lagi melihat dinding-dinding emas dan tempat
yang sudah porak-poranda.
Melainkan, pepohonan hijau, angin semilir, sinar matahari dan bukit.
"Astaga! Bukankah ini kediamanku sendiri"
Bukit Pedang! Luar biasa! Sangat luar biasa sekali!
Rupanya Eyang Dewi Samudera mengirim kita ke sini!"
desah Dewa Pedang, memecah kesunyian bernada ke-
kaguman. "Edan! Ilmunya sangat tinggi!" puji Pendekar Slebor sambil menghirup udara senja
yang segar. Dan Dewa Pedang langsung memeriksa keadaan
Raras yang tahu-tahu ada di sebelahnya masih
dalam keadaan pingsan.
Dan mendadak keduanya mendengar isakan
dari sebelah. Tampak Putri Samudera sedang menan-
gis sambil menundukkan kepalanya.
Pendekar Slebor dan Dewa Pedang saling ber-
pandangan dan sama-sama mengangkat bahu. Mereka
membiarkan Putri Samudera menangis. Baru setelah
beberapa saat, Pendekar Slebor mendekat
"Rupanya, Eyang Dewi Samudera mengizinkan
kau untuk meneruskan dendammu pada Sultan
Mangkunegoro, Putri," kata Pendekar Slebor.
Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata
Andika. Dia masih sesenggukan dengan hati pilu. Di
lubuk sanubarinya yang paling dalam, dia sangat me-
rindukan belaian kasih sayang orang tuanya. Kendati tak mungkin lagi mendapatkan
belai kasih sayang seorang ibu, tetapi dari seorang ayah pun masih mungkin
didapatkannya. Kesempatan itu dipergunakan Andika sebaik-
baiknya. "Putri Samudera.... Bila kau memang ingin
membalas sakit hatimu pada Sultan Mangkunegoro,
maka kau akan berhadapan denganku lagi..."
Putri Samudera tak berkata apa-apa. Dia masih
terisak. Namun tiba-tiba....
Wuusss...! Saat itu meluruk sebuah angin dahsyat ke arah
Putri Samudera. Andika yang berdiri tak jauh darinya segera melesat. Disambarnya
tubuh Putri Samudera
yang bagaikan kehilangan seluruh semangatnya. Bah-
kan tak berkeinginan untuk mengelak.
Wanita ini teramat sedih ketika menyadari
Eyang Dewi Samudera tak berpihak padanya. Dan
lambat laun kesadarannya muncul bersamaan rasa
rindu akan belaian seorang ayah yang kerap kali
membayangi setiap tidurnya. Namun, semua itu harus
ditepis karena sejuta dendam masih menggayut ha-
tinya. Blarrr...!
Angin dahsyat yang meluruk tadi menghantam
tanah tempat Putri Samudera tadi berdiri, hingga
membentuk lubang cukup besar. Sementara Andika
sudah hinggap kembali di tanah dengan ringan. Se-
mentara Putri Samudera yang berada dalam rang-
kulannya menatap ke satu tempat. Kosong.
"Hhh! Lepaskan gadis keparat itu! Dia harus
membayar seluruh nyawa yang telah dirampasnya!"
Terdengar bentakan bersamaan munculnya Ki
Patih Darmomulyo dan Empu Karniaga. Ki Patih Dar-
momulyolah yang membentak tadi.
"Tahan!" desis Andika. "Semuanya sudah selesai. Putri Samudera sudah menyadari
kesalahannya."
"Kau betul, Anak Muda!" kata Empu Karniaga tetap dengan sikap bijaksana.
Lelaki tua ini lantas mendatangi Putri Samude-
ra, "Putri Samudera..., ah! Julukanmu itu sangat
mengerikan. Tetapi aku tidak tahu, siapa namamu
yang asli. Perlu kau ketahui, semuanya ini hanyalah salah paham yang berbalur
dendam terpendam yang
dibiarkan membesar. Pada dasarnya, di dalam kehidu-
pan ini selalu saja ada dendam. Akan tetapi, bila
mempergunakan otak dingin, dendam itu akan lenyap
dengan sendirinya."
"Kau benar, Empu!"
*** Semua berbalik ke arah datangnya suara tadi
Tampak Sultan Mangkunegoro, Permaisuri Sri Dewi
Rajasi dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa tergopoh-
gopoh menghampiri.
Dengan penuh kasih Sultan Mangkunegoro
mendekati Putri Samudera. Wanita ini terbelalak, masih memancarkan dendam. Akan
tetapi hanya sesaat
itu terjadi, karena selebihnya kepalanya menunduk.
"Putri Samudera...," sebut Sultan Mangkunegoro mendesah. "Kau cantik sekali.
Seperti ibumu. Maafkan ayahmu yang telah menyia-nyiakan dirimu, Nak.
Tetapi perlu kau ketahui, selama puluhan tahun ini
aku selalu mencarimu. Selalu berusaha menemukan-
mu. Namun, pertemuan kita tak pernah terjadi. Dan
ketika bertemu, dalam keadaan yang kurang menye-
nangkan. Maafkan aku..."
Perlahan-lahan Putri Samudera mengangkat
kepalanya. Sinar dendam kini mulai menghilang. Di
dasar hatinya yang terdalam, ingin sekali dirangkulnya Sultan Mangkunegoro.
Namun, hatinya masih ragu.
Sulit dibayangkan, bagaimana penderitaan ibu-nya du-lu.
"Anakku," kata Sultan Mangkunegoro lagi. Sementara itu Ratu Sri Dewi Rajasi
hanya menahan na-
pas saja. Biar bagaimanapun juga, dia mulai bisa menerima kehadiran Putri
Samudera yang ternyata anak
suaminya sendiri.
"Bila kau memang ingin membalas dendam atas
sakit hatimu dan membalas sakit hati ibumu, lakukanlah. Aku rela menerimanya.
Karena memang kuakui,
itu semua kesalahanku."
Putri Samudera tak melakukan gerakan apa-
apa, kecuali nafasnya yang bagai tertahan.
"Berkatalah, Anakku.... Jangan siksa aku den-
gan kediamanmu seperti itu."
"Ayah...," desah Putri Samudera, bergetar.
Wajah Sultan Mangkunegoro cerah.
"Oh, Gusti Yang Maha Kuasa! Ternyata Kau ka-
bulkan juga permohonan ku...."
Perlahan-lahan Sultan Mangkunegoro melang-
kah mendekati Putri Samudera. Dipegangnya kedua
tangan gadis itu.
"Kau mau memaafkan segala perbuatanku ini,
Anakku?" Kepala Putri Samudera mengangguk perlahan.
Dan tiba-tiba saja tubuhnya dijatuhkan di pelukan
Sultan Mangkunegoro, lelaki cukup tua itu meneri-
manya dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan segala tindakanku yang keji, Ayah.
Aku telah banyak membunuh manusia yang tak ber-
dosa." "Lupakanlah semuanya, Anakku"
Yang hadir di sana berusaha menahan haru.
Tak terkecuali, Pendekar Slebor yang paling tidak suka
melihat keadaan seperti ini. Untuk menutupi rasa ha-runya pula dia berpaling.
"Kayak lakon ketoprak saja!"
Dewa Pedang langsung menjitak kepalanya.
Tak! "Jangan sembarangan omong."
"Busyet! Usil amat sih kau ini?" dengus Andika sambil mengusap-usap kepalanya.
Dewa Pedang melotot,
"Marilah kita pulang. Kita bangun kembali Ke-
sultanan Laut Selatan, Anakku."
Terdengar lagi suara Sultan Mangkunegoro.
Dan Putri Samudera hanya mengangguk.
"Sekarang, jabatlah tangan ibumu ini...," kata Sri Dewi Rajasi tersenyum dan
mengulurkan tangannya. Rasa haru yang dialami oleh Putri Samudera
semakin membesar. Bagaimana tidak" Dia yang sela-
ma ini merindukan belaian kasih sayang kedua orang-
tuanya, tahu-tahu mendengar kata-kata tulus dari
Permaisuri Sri Dewi Rajasi
Putri Samudera segera melepaskan rangkulan-
nya pada Sultan Mangkunegoro. Dia bukan hanya
mencium tangan Permaisuri Sri Dewi Rajasi, melain-
kan juga menyembah dan merangkulnya sambil teri-
sak. "Ibu...," desahnya.
Permaisuri Sri Dewi Rajasi dengan penuh ke-
ibuan merangkul Putri Samudera.
"Tak usah menangis. Semuanya sudah berak-
hir," ujar Permaisuri Sri Dewi Rajasi.
"Maafkan aku, Ibu....."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang terjadi,
biarlah terjadi dan berlalu. Dengar kata-kata ayahmu
tadi, Anakku. Kita kembali ke Kesultanan Laut Sela-
tan. Dan kau hidup bersama kami sampai akhir
hayat." Semuanya memang sudah berakhir. Sultan Mangkunegoro segera berpaling
pada yang lainnya.
Namun dia sudah tak melihat Pendekar Slebor lagi.
"Ke mana Pendekar Slebor?" tanyanya.
"Dia sudah pergi, Yang Agung. Tapi, dia sempat menitip pesan"
Dewa Pedang yang menyahut
"Apa pesannya?" tanya Sultan Mangkunegoro.
"Katanya, Yang Agung dimohon siap-siap untuk
menjadi mertuanya...," jelas Dewa Pedang.
"Dia berkata begitu?" kejar Sultan Mangkunegoro, gembira karena akan bermantukan
seorang pen- dekar besar. "Jangan berpegang dengan kata-katanya, Yang
Agung! Julukannya saja Pendekar Slebor. Bisa-bisa
kata-kata hanya bagian dari kesleborannya!" kata De-wa Pedang.
Dan Sultan Mangkunegoro hanya tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Entah, apa arti senyumannya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pengantin Ratu Pesolek 1 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Kisah Pedang Di Sungai Es 23
^