Pencarian

Tabir Pulau Hitam 1

Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Bagian 1


TABIR PULAU HITAM Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Serial
Pendekar Slebor dalam episode: Tabir Pulau Hitam 112 hal.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Terbuka lebih lebar sepasang mata tajam milik Pendekar
Slebor. Untuk sesaat dia terdiam memperhatikan sosok lelaki tua bersorban
kuning, yang berdiri sejarak dua tombak dari hadapannya.
Otaknya langsung bekerja, "Yang kuketahui, ciri manusia sesat berjuluk Dewa
Lautan Timur mengenakan sorban
berwarna kuning. Apakah lelaki ini orang yang berjuluk De-wa Lautan Timur?"
Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. Suasana di-
bukit kapur itu mencekam. Matahari semakin merambat naik.
Orang yang tadi keluarkan bentakan dan mendadak telah berdiri di hadapan
Pendekar Slebor, memandang tak berkedip.
Tajam dan menyiratkan bahaya kematian.
Seperti telah diceritakan pada episode: "Dewa Lautan Timur", setelah berhasil
mendapatkan kuda milik salah seorang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda, Pendekar
Slebor terus bersikeras untuk menemukan Pulau Hitam. Padahal, dia tidak pernah
tahu tentang petunjuk ke Pulau Hitam yang dimiliki Sangga Rantek. Dia hanya
mengandalkan titik-titik gambar yang ada pada potongan pedang yang dimiliki
Gadis Kayangan. Di samping itu sampai saat ini, Pendekar Slebor masih mencari
Gadis Kayangan yang lenyap.
Dan tanpa disadarinya dia telah menemukan sebuah air
terjun dan akhirnya tiba di dua bukit kapur ini, yang sesungguhnya adalah
petunjuk menuju ke Pulau Hitam, yang ada
pada potongan pedang yang berada di tangan Sangga Rantek.
Selagi anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini men-
coba memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan, mendadak terdengar satu suara
keras disusul dengan munculnya lelaki tua bersorban kuning.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang bersorban
kuning yang memang Dewa Lautan Timur adanya, "Apakah kau sudah puas mengenali
siapa aku"! Berarti... nyawamu akan kukirim juga ke neraka!!"
Andika masih terdiam dengan pandangan agak menyipit.
"Dia mengatakan nyawaku akan dikirim juga ke neraka"
Apakah... sudah ada orang yang dibunuhnya dalam waktu dekat ini" Apakah
Panembahan Agung yang telah dibunuhnya"
Ah! Setahuku, Dewa Lautan Timur memang mendendam pa-
da Panembahan Agung! Dan aku yakin, kalau manusia inilah yang menyamar sebagai
Panembahan Agung! Tetapi mengapa dia berada di sini" Bukankah dua orang
Panembahan Agung kuminta untuk mendatangi Pulau Hitam" Atau se-
sungguhnya... orang ini tidak tahu di mana Pulau Hitam berada" Dan satu-satunya
petunjuk untuk... oh! Jangan-jangan...
yang dimaksudnya tadi, dia telah membunuh Gadis Kayangan untuk mendapatkan
potongan pedang yang ada padanya" Tetapi bisa jadi Sangga Rantek-lah yang
dimaksudnya, karena lelaki berpakaian serba hitam itu memiliki potongan pedang
lainnya" Kutu Landak! Otakku jadi rada ngos-ngosan nih!"
Terdiam kembali anak muda berpakaian hijau pupus ini
sebelum melanjutkan kata dalam hati, "Sulit menduga, Panembahan Agung yang
manakah yang adalah samaran Dewa
Lautan Timur" Apakah yang sebelumnya bercakap-cakap
denganku, atau yang datang belakangan?"
Sesungguhnya, memang masih ada persoalan lain di be-
nak Pendekar Slebor, tentang adanya dua orang yang menga-ku sebagai Panembahan
Agung. Dari wajah keduanya, cara
berbicara, bersikap dan bertindak, sangat sulit menentukan yang manakah
Panembahan Agung yang asli dan palsu. Bahkan suara masing-masing orang sama
(Untuk mengetahui kebingungan Pendekar Slebor dalam persoalan ini, silakan baca:
"Dewa Lautan Timur").
Di depan, Dewa Lautan Timur berkata, lebih dingin dan
menusuk, "Aku tak ingin mencabut nyawamu sebenarnya!
Keinginanku hanya untuk membalas semua perbuatan Pa-
nembahan Agung! Tetapi... akan menyenangkan bila hari ini kulihat kau berkalang
tanah!!" Mendengar ancaman orang, anak muda berambut gon-
drong acak-acakan ini cuma mengangkat kedua bahunya saja.
Lalu menyeringai seraya berkata, "Wah! Sabar dulu sedikit!
Orang sabar itu hidupnya subur, lho" Ngomong-ngomong...
aku mau tanya, nih! Siapa sih orang yang sebelumnya kau bunuh?"
Kontan Dewa Lautan Timur tertawa keras. Saking ke-
rasnya, seolah ada tenaga yang keluar melalui tawa itu.
Menghantam ranggasan semak yang langsung beterbangan
dan membuat kapur-kapur pada dua buah bukit itu berguguran.
Andika sendiri harus kerahan tenaga dalamnya ke telinga guna melindungi indera
pendengarannya.
Sekonyong-konyong, Dewa Lautan Timur memutus ta-
wanya. Dan berkata dingin, "Pertanyaan yang sangat bagus!
Tetapi banyak orang bilang otakmu seencer air! Dengan kecerdikanmu itu, tentunya
kau dapat menduga siapa yang telah kubunuh!!"
Dewa Lautan Timur tak mau mengatakan apa yang se-
benarnya terjadi. Sesungguhnya dia telah gagal mempermalukan sekaligus
menghabisi hidup Gadis Kayangan. Karena sebelum dilakukannya, seorang nenek
berpakaian hitam compang-camping telah menyambar tubuh Gadis Kayangan. Dan
nenek itu kemudian diketahui bernama Nyi Genggong (Baca:
"Dewa Lautan Timur").
Dengan berucap begitu, Dewa Lautan Timur berharap
dapat mengacaukan jalan pikiran Pendekar Slebor.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini
memang agak bimbang mendengar ucapan si kakek bersorban kuning. Tetapi
ditindihnya segala kebimbangan dengan ter-bitkan segala ketenangan yang
dimilikinya. Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia berkata, "Mana bisa aku
menebak seperti itu" Memangnya aku ini Tuhan"! Ayo, dong... katakan saja...."
(Eh, busyet! Dia merengek! Tapi jangan khawatir, itu cuma pura-pura).
Meledak kembali tawa Dewa Lautan Timur. Lelaki tua
yang memiliki dendam setinggi langit pada Panembahan
Agung, merasa telah berhasil mengacaukan perasaan Andika.
Tetapi dia belum puas hanya lakukan tindakan seperti itu.
Lalu katanya, "Sebelum orang itu kubunuh, telah ku-nikmati dulu kemolekan
tubuhnya! Dan sungguh sebuah pen-galaman yang sangat menyenangkan! Karena selama
ini, aku belum pernah melihat tubuh yang begitu indah!"
Deg! Jantung Andika mendadak seperti berhenti berde-
tak. Sesungguhnya dia memang mulai menebak siapakah
orang yang dimaksud Dewa Lautan Timur. Orang itu adalah Gadis Kayangan. Andika
yang tetap berkeyakinan, kalau
Dewa Lautan Timur adalah Panembahan Agung yang palsu,
tentunya tidak tahu jalan menuju ke Pulau Hitam. Dan untuk tiba di sana, seperti
permainan yang telah diciptakan Andika beberapa hari lalu, berarti si kakek
sesat ini harus memiliki dua potongan pedang perak yang pada masing-masing
potongan pedang terdapat rangkaian titik berbentuk gambar yang merupakan
patokan-patokan menuju ke Pulau Hitam.
Kendati saat ini perasaannya mulai agak kacau, tetapi si anak muda tetap
berusaha tenang.
"Waduh! Beruntung banget kau ini, sudah tua tetapi masih bisa melihat tubuh
indah! Padahal aku sendiri belum per-
nah, tuh" Tapi ngomong-ngomong... anak kambing mana sih yang tubuhnya begitu
indah" Masa kau nekat juga menikmati seekor anak kambing"! Yang benar saja,
ah!!" Senyuman aneh yang bertengger di bibir Dewa Lautan
Timur langsung lenyap mendengar ejekan pemuda di hada-
pannya. "Keparat!!" menggelegar bentakannya.
"Ealah! Kok jadi malah marah-marah"! Aku justru hendak mengucapkan selamat
padamu! Berarti, kau sudah men-
dapatkan apa yang selama ini kau impikan bukan" Ah, kasi-han sekali anak kambing
itu! Kalau dia hamil, anaknya kayak apa ya"!"
Meradang kakek bersorban kuning ini. Kejap itu pula
tangan kanannya terangkat. Bersamaan tangan yang diangkat itu, mendadak saja
menggebrak gelombang angin berkekua-tan tinggi. Menyeret tanah saat melabrak ke
arah Pendekar Slebor.
"Eiiittt! Nafsu amat"!" seru Pendekar Slebor sambil buang tubuh ke kanan. "Sabar
dikit, Tong!!"
Blaaammm! Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membentuk se-
buah lubang cukup besar setelah terhantam gelombang angin tadi. Sementara kuda
milik salah seorang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda yang diambil Pendekar
Slebor, telah terbirit-birit kabur begitu mendengar suara angin menggebah.
E dasar konyol padahal hatinya kebat-kebit, si anak mu-
da yang mencoba untuk menenangkan perasaannya, justru
melongok ke dalam lubang itu.
"Sayang ya hari tidak hujan! Kalau ada hujan, aku bisa berendam nih di lubang
ini!" desisnya lalu angkat kepala dan digeleng-gelengkan. Setelah pandangi
sesaat Dewa Lautan Timur dengan tatapan mengejek dia berkata lagi, "Kau ini
panasan sekali, ya" Mengapa kau muncul dengan wajah asli-mu" Mengapa tidak
menyamar sebagai-Panembahan Agung
seperti yang kau lakukan"!"
"Keparat terkutuk!! Jangan berbicara mengada-ngada!!"
bentak Dewa Lautan Timur yang sedikit banyaknya murka
sekaligus heran karena selain serangannya dapat dihindari, pemuda itu juga
lontarkan ejekan menyakitkan.
"Mana bisa aku mengada-ngada" Kau tentunya memiliki salah satu pecahan genting
yang bertuliskan huruf 'PS', bukan" Dan kau sesungguhnya tidak tahu jalan menuju
ke Pulau Hitam! Sehingga kau mencoba merebutnya dari tangan Gadis Kayangan atau
juga dari Sangga Rantek! Aku memang tidak tahu mengapa kau justru menyamar
sebagai Panembahan
Agung" Padahal kau mendendam padanya! Bila yang kukata-
kan ini salah, lebih baik kau bunuh diri saja deh!!"
"Pemuda celaka! Kau bukan hanya terlalu mengada-ada, tetapi ternyata kau tukang
fitnah belaka!" maki Dewa Lautan Timur dengan tangan menuding yang bergetar.
"Tak mungkin aku bertindak menyerupai manusia keparat yang ingin kubunuh itu!!"
Mendengar ucapan orang, Andika terdiam dengan ken-
ing berkerut. "Monyet pitak! Dari ucapannya itu, dia begitu pasti apa yang kukatakan ini
salah! Apakah bukan dia orangnya yang menyamar sebagai Panembahan Agung" Tidak
mungkin! Jelas dia orangnya! Karena yang mengetahui urusan masa lalu dan
perempuan bernama Laksmi Harum hanyalah Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur!
Hmmm... baik! Akan
kuikuti permainannya meskipun saat ini aku masih mence-
maskan keadaan Gadis Kayangan. Apakah dia memang sudah
tewas di tangan kakek celaka ini, atau masih hidup?"
Habis berpikir begitu, Pendekar Slebor berkata, "Ih!
Tua-tua masih tukang bohong juga! Ngomong-ngomong...
dulu kau pernah menjadi pemain ketoprak yang suka mang-
gung di Kotapraja, ya" Wah! Sayang sekali aku tak pernah menontonnya!!"
"Sinting! Kau bukan hanya slebor, tetapi juga sinting!"
maki Dewa Lautan Timur dengan kedua tangan bergetar tan-da amarah makin
memuncak. Tetapi ya dasar urakan, ancaman sudah di depan mata
Andika masih berkata, "Biar sinting tapi kan tidak sinting!
Nah, lo! Bingung, kan" Ya pegangan saja!"
Dilihatnya bagaimana si kakek sesat itu terdiam dengan
pandangan Man menusuk. Kemudian dengan santai Andika
melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau tidak mau mengaku juga, ya tidak apa-apa!
Biar deh, aku yang menggantikan Panembahan Agung untuk menghajar mu! Ayo, sini
maju!!" Menggeram Dewa Lautan Timur mendengar orang me-
ngecilkannya. "Akan kulumat tubuhmu seperti Gadis Kayangan!!"
Menyusul diangkat tangan kanannya ke atas. Kembali
bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin mengerikan melabrak deras,
menyeret tanah dan ranggasan semak.
Disusul dengan hamparan angin lainnya.
Andika yang diam-diam telah alirkan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kelima, sudah menggebrak maju. Saat di gerakkan tangan kanan kirinya,
terdengar dua salakan petir yang mengejutkan. Menyusul....
Blaaammm!! Blaaammm!!
Letupan keras dua kali berturut-turut terdengar saat ben-trokan terjadi. Tubuh
Pendekar Slebor langsung terdorong ke belakang disertai seruan, "Monyet buduk!!"
Dengan sigap dia berusaha untuk kuasai keseimbangan-
nya kembali, karena dalam keadaan kehilangan keseimban-
gan, lawan dengan mudah akan menjatuhkan.
Apa yang diperkirakannya memang benar.
Dewa Lautan Timur yang hanya surut dua tindak ke be-
lakang, telah susulkan serangan kembali. Kali ini tangan kanan kirinya diangkat
dan serta-merta menggebrak dua gelombang angin mengerikan.
Tak ada jalan lain bagi Pendekar Slebor kecuali mema-
pakinya kembali. Sadar kalau serangan lawan lebih besar dari yang pertama, tak
tanggung lagi, segera dikerahkan tenaga
'Inti Petir' tingkat pamungkas. Suara salakan petir yang terdengar lebih keras
dan mengerikan.
Blaaammmm!! Blaaammmm!!
Kontan tanah di sekitar tempat itu bergetar begitu benturan yang lebih keras
terjadi. Bongkahan batu-batu kapur runtuh bergulingan.
Dan... astaga! Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas yang begitu mengerikan,
bukan hanya tak mampu menahan serangan Dewa Lautan Timur. Tetapi juga membuat
pemiliknya terlempar ke belakang dan ambruk di atas tanah dengan kedua tangan terentang.
"Kutu monyet! Dadaku sakit sekali!!" desis Andika dan perlahan-lahan berdiri.
Agak sempoyongan dengan tangan
kanan menekan dada.
Sejarak tiga tombak, Dewa Lautan Timur nampak se-
dang rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Jelas kalau dia juga merasakan
kedahsyatan tenaga serangan Andika.
"Keparat busuk! Sungguh hebat tenaganya! Tetapi tak terlalu banyak berarti! Akan
kulumat pemuda celaka ini sebelum akhirnya membuat seluruh rencanaku
berantakan!" desisnya, setelah merasakan keadaannya lebih nya man.
Seraya maju satu langkah ke muka, lelaki tua berwajah
mengerikan ini berseru, "Sebelum melihat Panembahan
Agung mampus, nyawamu akan kukirim dulu ke akhirat!!"
"Wah, wah! Bagaimana bisa kau mengirimnya" Apakah
kau memiliki kurir" Ngomong-ngomong, akhirat itu di mana sih" Apa di sana ada
yang menjual kue apem?"
Memang konyol anak muda satu ini! Napasnya sudah
kembang kempis dia masih dapat berlagak saja.
"Bagus! Kutunjukkan kau jalan ke sana!!"
Habis bentakannya, mendadak saja Dewa Lautan Timur
berdiri tegak dengan kedua tangan lurus di samping kanan kirinya. Matanya
memandang tak berkedip dan lamat-lamat
nampak pancarkan sinar agak kemerahan. Mulutnya terlihat mengembung bersamaan
kedua tangannya terangkat di depan dada. Disejajarkan satu sama lain tetapi


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak disatukan.
"Monyet Kudisan! Sudah tentu apa yang diperlihatkannya ini ilmu yang sangat
dahsyat! Peduli kambing bunting!
Aku tetap ingin tahu apa maksud lelaki celaka ini menyamar sebagai Panembahan
Agung" Tetapi... dia tetap membantah saat kukatakan demikian! Huh! Pasti cuma
omong kosong belaka!!"
Lalu diam-diam anak muda ini pun segera alirkan ajian
'Guntur Selaksa'. Lamat namun pasti, terlihat tubuhnya dikeli-lingi sinar warna
keperakan. Di depan, Dewa Lautan Timur sejenak melengak dengan
mata agak menyipit. Tapi di kejap lain, mendadak saja kedua tangannya yang
disejajarkan di depan dada, sudah digerakkan seperti menebas.
Brrrrr!! Saat itu pula menderu angin laksana topan menghantam
dua dusun di pesisir pantai. Bukan hanya menyeret tanah dan ranggasan semak
belukar saja, tetapi juga menumbangkan
dua buah pohon yang laksana tangan-tangan raksasa menderu ke arah Pendekar
Slebor. Terkesiap Pendekar Slebor tatkala merasakan gebahan
angin dalam jarak dua tombak. Tak mau menunggu lama, dia segera mencelat ke
depan, menyongsong serangan dahsyat itu bersama kedua tangannya didorong.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat kuat. Dalam
suasana panas yang cukup menyengat, munculnya gelombang angin dahsyat dan
salakan guntur susul menyusul itu benar-benar akan membuat kening orang
berkerut. Dan yang sangat mengejutkan, karena mendadak saja
Andika justru membuang tubuh ke samping. Anak muda ini
tiba-tiba merasakan tusukan laksana puluhan anak panah
yang melesat sedemikian cepat.
Blaammm! Blaammm!!
Gelombang angin dahsyat yang keluar dari dorongan
kedua tangan Dewa Lautan Timur menghantam hancur tanah, ranggasan semak dan
sebuah pohon yang kontan beterbangan di udara membentuk rangkaian kepekatan.
Sementara itu angin laksana tusukan anak panah yang
keluar dari mulut Dewa Lautan Timur, mencacah sebuah pohon yang saat itu pula
mengering dan beterbangan bagai ser-pihan.
Di tempatnya, Andika yang membuang tubuh ke samp-
ing, harus pula merasakan sambaran angin tadi. Langsung dia tekap tangan
kanannya yang terasa ngilu. Dan kejap itu pula kedua mata terbeliak karena angin
tak ubahnya tusukan anak panah telah meluncur lagi ke arahnya.
Untuk kedua kalinya Dewa Lautan Timur meniup!
"Celaka! Aku bisa mampus nih!!" desis Andika seraya melompat ke samping kiri.
Dan dicobanya untuk menyerang dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang tadi
diurungkan. Glegar!! Salakan guntur terdengar sangat menyakitkan telinga.
Namun pukulan itu putus di tengah jalan, tertabrak dorongan angin raksasa dari
kedua tangan Dewa Lautan Timur. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja yang
terjadi. Karena tubuh anak muda urakan ini pun terlempar deras
ke belakang. Belum lagi dia kuasai keseimbangannya, Dewa Lautan Timur yang
terbahak-bahak, telah mendorong kedua tangannya kembali.
Tanpa ampun lagi, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan ini makin terlempar ke belakang. Seruan terta-hannya terdengar
keras. Lalu terbanting di atas tanah seperti sebuah nangka bu-
suk. Namun yang mengejutkan, karena tubuhnya terlihat telah terbungkus kain
bercorak catur yang sebelumnya melilit pada lehernya. Rupanya dalam keadaan yang
sangat kritis, Andika masih dapat bertindak cepat.
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, dia telah melin-
dungi tubuhnya dengan kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
Bila saja dia tak lakukan tindakan seperti itu, saat itu pula nyawanya akan
segera hijrah ke alam baka.
Kendati berhasil lindungi tubuhnya dengan kain berco-
rak catur, namun apa yang dialaminya sangat menyedihkan.
Napasnya memburu keras dengan dada naik turun. Dari hi-
dung dan mulutnya keluar darah segar.
"Oh! Apakah saat ini aku sudah di akhirat" Tetapi kenapa akhirat panas begini"
Ada dua bukit kapur pula" Tidak, ini bukan akhirat!!"
Dikerahkan tenaganya untuk bangkit. Namun karena ra-
sa ngilu yang mendera hingga ke dalam tulang, dia seakan tak mampu untuk
bangkit. Dewa Lautan Timur sendiri telah berdiri sejarak tiga
langkah di samping kanannya. Bibir kakek sesat itu membentuk senyuman aneh.
"Tak seorang pun akan dapat menahan pukulan 'Prahara Lautan'! Tak terkecuali kau
dan Panembahan Agung! Pendekar Slebor... urusan kita kucukupkan sampai di sini!
Karena kau tak akan mungkin dapat pulih seperti sediakala! Kubiarkan kau hidup
dalam segenap penderitaan!!"
Pendekar Slebor cuma meringis menahan sakit. Bila me-
nuruti kata hatinya, tak sabar rasanya ingin menjitak kepala kakek celaka itu.
Sementara itu Dewa Lautan Timur sedang tertawa keras.
Masih tertawa kakek bersorban kuning ini segera meninggalkan tempat itu.
"Tinggal kau, Panembahan Agung! Tinggal kau!!" desisannya masih terdengar
padahal sosoknya telah lenyap dari pandangan.
Tinggal Pendekar Slebor yang sedang menderita saat ini.
Dibiarkan tubuhnya terbaring. Dipejamkan matanya kuat-
kuat menahan rasa sakit. Lalu perlahan-lahan, dilepaskan lilitan kain pusaka
bercorak catur dari tubuhnya.
Masih dalam keadaan terbaring, anak muda ini mencoba
untuk bersemadi.
*** 2 Dua bayangan hitam dan merah terus berlari laksana di-
kejar setan, menembus senja yang semakin menurun. Masing-masing orang nampak tak
mau hentikan lari mereka. Dan tak seorang pun yang buka suara.
Setelah cukup lama berlari, lelaki yang berlari di sebelah kiri dan berpakaian
serba hitam dengan rambut di kuncir ku-da, yang tak lain Sangga Rantek berkata,
"Kupikir... kita su-
dah menjauh dari Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan! Kita
berhenti dulu di depan"!"
Perempuan berpakaian putih dengan Jubah dan kerudung
warna merah menganggukkan kepalanya. Nampak untaian
rambutnya yang berwarna keemasan. Lalu diikutinya saja
keinginan Sangga Rantek dengan hati yang masih diliputi berbagai pertanyaan.
Dua kejap kemudian, masing-masing orang sama-sama
telah berhenti berlari. Mereka memperhatikan sekeliling yang dipenuhi dengan
pepohonan dan ranggasan semak belukar.
Sejarak dua puluh tombak, samar-samar terlihat sebuah per-simpangan. Dan tatkala
pandangan diarahkan ke jalan semu-la, nampak jalan tumpang tindih.
Setelah perhatikan sekelilingnya, Sangga Rantek sejenak memantek pandangan pada
si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas.
"Semakin lama aku semakin tak mengerti, mengapa aku masih terus bersama
dengannya?" katanya dalam hati. "Padahal aku tahu, kalau dia tengah merencanakan
sesuatu terhadap diriku" Hhh! Biar bagaimanapun juga, tenaganya kuper-lukan
untuk menghabisi Pendekar Slebor! Telah kurasakan bagaimana kesaktian anak muda
dari Lembah Kutukan itu."
Sementara itu Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu ka-
lau sedang diperhatikan. Pandangannya tertuju ke depan. Dan diam-diam perempuan
berkerudung merah ini berkata dalam hati, "Aku semakin yakin... kalau lelaki
celaka ini memang sedang menuju ke Pulau Hitam. Sebelum berjumpa dengan
Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, aku sudah yakin akan hal itu. Dan keyakinan itu
semakin menguat saja. Hhhh! Kalau begini adanya, tak perlu kurebut Pedang
Buntung yang berada padanya. Lagi pula, aku mendapatkan keuntungan lain,
bersekutu dengan lelaki celaka ini, Nyi Genggong dan Ki Pa-
su Suruan. Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan memiliki pula keinginan untuk
membunuh Pendekar Slebor."
Sampai saat ini, Sangga Rantek memang belum tahu ka-
lau sesungguhnya Iblis Rambut Emas mengetahui dia memi-
liki Pedang Buntung, yang bila disatukan dengan potongan pedang lainnya, akan
lengkaplah patokan-patokan menuju ke sebuah tempat yang bernama Pulau Hitam.
Sesungguhnya Sangga Rantek memang sedang menuju ke Pulau Hitam,
dengan mengandalkan patokan-patokan tidak utuh yang be-
rupa rangkaian titik gambar pada potongan pedang yang ada padanya.
Sementara potongan pedang yang satunya lagi, sekarang
berada di tangan Dewa Lautan Timur yang telah menda-
patkannya dari tangan Gadis Kayangan.
Di samping itu mereka baru saja mengadakan perseku-
tuan dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan yang ber-
keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor (Baca: "Dewa Lautan Timur").
Saat ini Sangga Rantek sedang membatin, "Air terjun yang menjadi patokan menuju
ke Pulau Hitam telah kutemukan. Tetapi dua bukit kapur belum kulihat sampai saat
ini. Menilik keadaan, tak mungkin bila Pendekar Slebor telah menuju ke sana, karena
tentunya dia akan kesulitan karena potongan pedang satunya berada di tangan ku.
Perempuan celaka ini tentunya masih menduga kalau kedua potongan pedang perak
itu berada di tangan Pendekar Slebor. Bagus! Aku akan tetap mencari dua bukit
kapur!" Memang, masing-masing orang yang berlaku sebagai
sahabat ini, saling memendam rahasia dan kebencian. Namun keduanya tidak tahu
kalau potongan pedang satunya lagi bukan dimiliki oleh Pendekar Slebor. Kalaupun
mereka mendu-ga seperti itu, ini disebabkan karena Gadis Kayangan menga-
takan soal itu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang Buntung").
Iblis Rambut Emas yang tak sabar ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan Sangga Rantek selanjutnya, sudah buka mulut, "Sangga
Rantek....Kita telah sepakat untuk bergabung dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu
Suruan. Tetapi nampaknya, bukan hanya kau saja yang tidak percaya dengan kedua
manusia itu. Aku pun tidak percaya pada mereka. Lantas, mengapa kau masih
berdiam diri di sini" Apakah kau sengaja menunggu mereka, atau berkeinginan
mereka mengetahui apa yang akan kita lakukan?"
Mala Sangga Rantek menusuk tajam.
"Perempuan celaka ini memang pandai bicara. Dia bisa mengorek keterangan tanpa
disadari oleh orang yang akan di-korek keterangannya. Kendati terpaksa aku
bersedia untuk bergabung dan secara tak langsung mengajaknya melacak Pulau
Hitam, tenaganya memang dapat dipergunakan."
Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Tak sudi kulakukan tindakan bodoh
menunggu kedua manusia celaka
itu, karena...."
"Kalau begitu mengapa kau masih berdiam di sini?" putus Iblis Rambut Emas yang
saat itu pula membuat Sangga Rantek menggeram gusar.
"Jahanam keparat! Tak sabar rasanya untuk merobek-
robek mulutnya!" makinya dalam hati. Lalu sambil menahan jengkelnya dia berkata,
"Tengah kupikirkan satu masalah yang nampaknya ada di hadapanku."
"Bila memang begitu adanya, katakan hingga aku tidak banyak tanya lagi!" sahut
Iblis Rambut Emas sambil melipat kedua tangannya di atas dadanya yang membusung.
Wajahnya dibuat agak acuh tak acuh.
Kembali Sangga Rantek mendengus.
"Benar-benar terkutuk! Dia dapat memanfaatkan situasi untuk mengorek keterangan!
Tetapi karena telah kuputuskan untuk mengajaknya melacak dan menuju Pulau Hitam,
mau tak mau kukatakan juga apa yang ku pikirkan!"
Memutuskan demikian, lelaki berhidung bengkok ini
berkata dingin, "Aku tengah memikirkan jalan menuju Pulau Hitam!"
Iblis Rambut Emas melirik seraya membatin, "Tepat dugaanku! Dia memang tengah
menuju ke Pulau Hitam. Ten-
tunya dia telah mempelajari Pedang Buntung yang dimili-
kinya. Hmmm... aku akan tetap berlagak tidak tahu."
Kemudian dengan kening dibuat berkerut, dia berkata,
"Sangga Rantek! Apakah kau sudah tidak lagi pergunakan otakmu"! Untuk menuju ke
Pulau Hitam, kita harus memiliki dua buah potongan pedang, maka akan lengkaplah
patokan-patokan menuju Pulau Hitam. Lalu sekarang, kau nekat menuju Pulau Hitam
dengan segala bayangan-bayangan ko-
song?" Mendengar ucapan perempuan berkerudung merah,
Sangga Rantek merasa sebagian kesalnya telah hilang.
"Dasar perempuan bodoh! Dia tetap tidak tahu kalau aku memiliki Pedang Buntung!"
ejeknya dalam hati. Bila saja Sangga Rantek mengetahui kalau Iblis Rambut Emas
berdus-ta, tentunya dia akan marah besar. Kemudian katanya, "Peduli setan apakah
aku memiliki petunjuk atau tidak! Aku tetap akan melacak jalan menuju ke Pulau
Hitam!" Iblis Rambut Emas memainkan peranannya, "Bila kau
memang nekat juga, jalan mana yang akan kau tuju?"
"Itulah yang sedang kupikirkan"!"
"Kau sedang berpikir atau tengah menentukan patokan lain yang kau ketahui
setelah menemukan air terjun?" ejek Iblis Rambut Emas dalam hati. Lalu dengan
suara dibuat serius
dia berkata, "Sangga Rantek! Kau memang lelaki penuh semangat! Bahkan kau berani
mengambil keputusan untuk
mencoba sesuatu yang masih gelap! Bila saja aku tidak terin-gat pada kekasihku
yang dibunuh Pendekar Slebor, sudah tentu dengan mudah aku akan jatuh cinta
padamu!" Sangga Rantek hanya mendengus. Dia sama sekali tak
percaya dengan cerita Iblis Rambut Emas kalau Pendekar
Slebor telah membunuh kekasihnya (Baca: "Pedang Buntung").
Tanpa sahuti ucapan Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek
arahkan pandangan ke depan.
"Dua bukit kapur.... Hmm... di mana harus kutemukan patokan kedua untuk menuju
ke Pulau Hitam" Kalaupun aku telah menemukannya, aku tidak tahu lagi jalan mana
yang harus kutuju" Jahanam sial! Seharusnya aku menyusul Pendekar Slebor setelah
dia menyelamatkan Winarsih! Sial! Sungguh Sial!!"
Iblis Rambut Emas yang melihat perubahan wajah
Sangga Rantek tersenyum dalam hati.
"Kau tak pandai bersandiwara rupanya! Dari wajah mu jelas kau kebingungan
sendiri! Huh! Benar-benar satu pemandangan yang sangat menyenangkan! Orang dungu
berla- ku pintar!"
Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, Sangga Rantek
sudah berkata, "Kita teruskan langkah sekarang!"
Kejap itu pula, lelaki berpakaian serba hitam ini sudah berkelebat ke depan.
Iblis Rambut Emas sendiri tak mau banyak berpikir, kendati perasaannya, sangat
senang menikmati kebodohan yang tanpa disadari diperlihatkan oleh Sangga Rantek.
*** Malam mulai menggelapi alam. Angin berhembus din-
gin. Bau tanah terasa menusuk hidung, tak sedap. Sangga Rantek terus berlari
sambil memikirkan jalan yang harus dituju. Sementara Iblis-Rambut Emas masih
tertawa dalam hati.
Setelah cukup jauh mereka berlari, di sebuah persimpan-
gan ketiga jurang mereka lalui, Sangga Rantek memutuskan untuk berbelok ke kiri.
Dia terus mengira-ngira arah barat daya seperti yang tertera pada rangkaian
titik-titik yang terdapat pada Pedang Buntung yang dimilikinya.
Sampai kemudian, kembali lelaki bermata bergelambir
ini hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke depan. Iblis Rambut Emas tak
perlu bertanya mengapa Sangga Rantek menghentikan larinya. Sejarak lima belas
tombak, nampak dua buah bukit berdiri kokoh diselimuti malam.
"Untuk kedua kalinya kulihat wajah lelaki keparat ini seperti menemukan harta
karun! Pertama saat melihat air terjun, kemudian dua bukit itu! Hmm... aku tahu!
Sudah tentu dua bukit itulah yang dijadikan sebagai patokan kedua menuju ke
Pulau Hitam! Sebaiknya, aku tetap berlagak tidak tahu!"
kata Iblis Rambut Emas dalam hati.
Lalu dengan suara dibuat agak jengkel, perempuan be-


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambut emas yang ditutupi kerudung warna merah ini mem-
bentak, "Sangga Rantek! Apa yang sebenarnya kau inginkan, hah"! Tadi kau
berhenti, lalu mengatakan akan melacak jejak ke Pulau Hitam! Dan sekarang, kau
berhenti lagi! Apakah dua bukit kembar itu dulu pernah kau diami hingga kau
menjadi terkenang sekarang" Dasar kapiran!"
Untuk pertama kalinya Sangga Rantek tidak gusar men-
dengar ucapan orang yang bernada mengejek. Dia justru menyeringai sendiri.
Tanpa tolehkan kepala pada Iblis Rambut Emas, dia ber-
kata, "Kupikir... bukit itu dapat kita jadikan sebagai tempat peristirahatan!
Siapa tahu besok kita harus mcugerahkan tenaga lebih banyak!"
Tertawa Iblis Rambut Emas dalam hati.
"Semakin kuat keyakinanku kalau dua bukit itu merupakan patokan menuju ke Pulau
Hitam." Lalu katanya, "Keputusanmu itu sungguh tepat! Aku ju-ga membutuhkan istirahat!!"
Sangga Rantek hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Kejap kemudian dia sudah berkelebat menuju dua bukit kapur. Iblis Rambut
Emas kembali hanya mengikuti.
Sesampai di sana, Sangga Rantek kembali menghentikan
larinya. Dipandanginya kedua bukit kapur itu dengan mata berbinar-binar.
"Tak salah! Tak sia-sia kulalui semua ini! Kedua bukit ini tentunya patokan
kedua menuju ke Pulau Hitam! Sayang.
aku tidak tahu lagi harus ke mana! Biarpun demikian, akan kuselidiki dulu tempat
ini! Barangkali saja akan membawaku pada jalan yang tepat menuju ke Pulau Hitam!
Jahanam sial! Bila saja saat ini kumiliki potongan pedang lainnya, tentunya tak akan sebingung
ini!" katanya dalam hati.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas yang juga memperha-
tikan kedua bukit kapur itu membatin, "Aku ingin tahu apa yang akan
dilakukannya." Untuk beberapa lama tak ada yang keluarkan suara. Hanya suara
burung-burung malam yang
berseliweran dan berkaokan. Malam semakin merambat naik.
Kegelapan kian menyelimuti, apalagi saat ini rembulan tak kuasa menembus
rangkaian awan hitam yang bergandengan
tangan. Sangga Rantek membatin, "Malam terus merambat. Aku tak boleh buang waktu untuk
menyelidiki tempat ini."
Memutuskan demikian, Sangga Rantek segera berkata
pada Iblis Rambut Emas, "Kau tentunya lapar, bukan" Kali ini aku ingin bersikap
baik padamu! Kau tunggu di sini! Aku akan mencari kelinci gemuk untuk mengisi
perut!" Iblis Rambut Emas pentangkan senyuman aneh. "Manu-
sia bodoh! Dengan sikap yang kau perlihatkan, kau bukannya menutupi segala
kebohongan yang kau lakukan! Malah kau
justru menampakkannya!! Akan kuikuti ke mana kau pergi!"
Lalu Iblis Rambut Emas menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku memang lapar! Sementara kau mencari kelinci gemuk, aku akan membuat
api!" Sudah tentu Sangga Rantek tak mau membuang waktu.
Dia pun segera berlari untuk menyelidiki sekeliling bukit-bukit kapur itu. Namun
baru lima langkah dia lalui, mendadak saja terdengar suara orang seperti muntah.
"Huaaakkk!!"
Suara itu cukup keras terdengar, karena sekeliling tem-
pat itu sunyi. Bukan hanya Sangga Rantek yang hentikan larinya dan putar tubuh.
Iblis Rambut Emas yang bermaksud mengikutinya pun lakukan hal yang sama.
*** 3 Kedua manusia sesat itu tak ada yang buka suara. Pan-
dangan masing-masing orang membuka lebih lebar. Mereka
juga membuka indera pendengaran lebih tajam.
Sampai kemudian terdengar geraman Sangga Rantek,
"Jahanam keparat! Rupanya kita tidak hanya berdua di tempat ini! Berpencar! Dan
bunuh siapa pun orang itu!!"
Habis kata-katanya, Sangga Rantek yang geram karena
merasa ada orang yang mendahuluinya tiba di situ, sudah
berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas mempertimbangkan dulu apa yang
dilakukannya sebelum dia lakukan tindakan yang sama.
Sangga Rantek yang melesat ke bagian kiri dari dua bu-
kit kapur itu, semakin dibuai kemarahan. Dia benar-benar tak menyangka ada orang
lain yang tiba di situ. Dan ini sungguh tak dapat diterimanya.
"Setan jahanam! Siapa orang yang seperti muntah darah itu, hah" Dalam keadaan
terluka, atau dia memang sengaja agar kehadirannya diketahui" Setan alas!!
Jangan-jangan...
orang itu adalah Pendekar Slebor" Tetapi tak mungkin! Dengan hanya memiliki satu
potongan pedang yang ada padanya, sudah tentu dia akan tersesat sampai ke tempat
ini! Namun bisa pula justru karena tak sengaja dia tiba di sini! Jahanam
keparat! Kubunuh saat ini juga bila dia tak mau menyerahkan potongan pedang yang
satunya lagi"!"
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas ternyata juga memi-
kirkan hal yang sama.
"Aku, tahu kalau Sangga Rantek memiliki Pedang Buntung, begitu pula dengan
Pendekar Slebor yang memiliki potongan pedang. Bisa jadi orang yang nampaknya
sedang menderita kesakitan itu, adalah Pendekar Slebor. Tetapi tak dapat dipungkiri
bila ada orang lain yang secara tak sengaja tiba di tempat ini"!"
Orang yang tadi keluarkan suara laksana orang muntah,
memang Pendekar Slebor adanya. Cukup lama anak muda da-
ri Lembah Kutukan ini bersemadi guna memulihkan keadaan dirinya setelah dihajar
Dewa Lautan Timur.
Dan di akhir semadinya, dia muntah darah. Darah yang
keluar sangat hitam, pertanda dia terluka dalam. Namun setelah dialirkan tenaga
'Inti Petir', rasa sakit yang dideritanya sedikit banyaknya terobati.
Dihelanya napas perlahan-lahan. Lalu bangkit untuk du-
duk berlutut. Meskipun dadanya sudah tak terlalu nyeri, tetapi kedua
tangannya masih terasa ngilu. Perlahan pula dililitkan kembali kain bercorak
catur yang telah melindungi dirinya dari kematian, ke lehernya.
"Monyet buduk! Tak kusangka kalau aku akan berjumpa dengan Dewa Lautan Timur!
Kesaktian kakek sesat itu sangat tinggi! Huh! Menurutnya dia telah berhasil
membunuh Gadis Kayangan.... Aku tak tahu harus berpikir apa tentang hal itu.
Bisa jadi Gadis Kayangan memang telah. tewas di tangannya.
tetapi bisa jadi pula Dewa Lautan Timur hanya mencoba
mengacaukan perasaanku saja. Sungguh masalah yang cukup pelik."
Lamat-lamat dialirkan kembali tenaga 'Inti Petir' ke seluruh tubuhnya. Dan hawa
panas pun melingkupinya. Sedikit demi sedikit dia dapat bernapas agak longgar.
Untuk beberapa lama, baru dihentikan aliran tenaga 'Inti Petir'.
Anak muda ini tarik napas dalam-dalam. Lalu dihem-
buskan kembali seraya mendesis, "Yang masih membingungkanku sampai saat ini
tentang dua orang Panembahan Agung.
Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu" Menurut
dugaanku, Dewa Lautan Timur-lah orang yang menyamar se-
bagai Panembahan Agung. Kendati dia membantah, tetapi
aku tetap berkesimpulan kalau manusia itulah yang lakukan tindakan semacam itu.
Terbukti karena dia sesungguhnya tidak tahu di mana Pulau Hitam berada. Karena
dapat kupastikan, dia akan berusaha untuk tiba di Pulau Hitam seperti yang
kukatakan." (Untuk mengetahui masalah itu, silakan baca:
"Dewa Lautan Timur").
Kembali pemuda yang memiliki alis hitam legam dan
menukik laksana kepakan sayap elang ini menghela napas,
membuang sedikit beban yang menggayuti perasaannya.
Otaknya diperas untuk memikirkan masalah-masalah yang
dihadapinya. "Urusan ini bermula dari dua potongan pedang. Di mulai dengan pembunuhan yang
dilakukan Sangga Rantek terhadap Pemimpin Agung dan semuanya berkembang menjadi
urusan yang panjang. Kadal buntung! Perjalanan harus kuteruskan!
Aku harus tetap bisa mencapai Pulau Hitam! Di samping aku penasaran ingin
mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam... aku tetap berkeyakinan kalau
dua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung akan tiba di sana...."
Setelah beberapa lamanya terdiam, perlahan-lahan Pen-
dekar Slebor berdiri. Kedua kakinya masih sedikit goyah.
Kali ini dia memaki-maki tak karuan, "Monyet buduk!
Hajaran Dewa Lautan Timur bikin aku mati kutu! Huh! Kalau berjumpa lagi
dengannya, akan kujitak kepalanya itu! Siapa tahu di balik sorban kuning yang
dikenakannya, kepalanya pi-takan!"
Diedarkan pandangan ke sekelilingnya yang diliputi ma-
lam. Kendati yang nampak hanya kegelapan semata, namun
matanya yang terlatih dalam gelap, dapat melihat keadaan di sekitarnya. Bau
kapur yang berasal dari dua bukit kapur itu, sungguh tak sedap. Terasa sedikit
mengganggu pernapasan.
"Aku harus terus mencari Pulau Hitam...," desisnya ber-semangat. "Dan aku ingin
tahu kebenaran tentang nasib Gadis Kayangan."
Lalu perlahan-lahan anak muda ini mulai melangkah ke
depan, ke arah perginya Dewa Lautan Timur. Baru dua belas langkah dia bergeser
dari tempatnya, mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian putih dengan jubah dan
kerudung merah telah berdiri di hadapannya!
Melengak anak muda ini melihat kehadiran orang yang
tak disangka-sangka. Tetapi kejap kemudian, dia sudah senyum-senyum sendiri.
"Eh! Kita berjumpa lagi, nih! Apa kabar" Bagaimana kabar ibu" Bapak" Semua baik"
Kalau baik, syukur deh!
Ayo, minggir! Tuanmu mau lewat nih!!"
Mendengar ucapan konyol dan dilakukan secara berun-
tun, sosok berkerudung merah yang tak lain Iblis Rambut Emas menggeram.
Pandangannya agak menyipit dan menyiratkan kilatan berbahaya.
"Pendekar Slebor! Rupanya, manusia yang muntah darah itu kau adanya!" desis si
perempuan yang seketika otaknya bekerja. Diam-diam dia membatin dalam hati,
"Bila aku dapat membunuh pemuda celaka ini, maka urusanku akan selesai!
Berarti, potongan pedang itu akan jatuh ke tanganku dan tinggal membunuh Sangga
Rantek! Tetapi... tak semudah itu nampaknya kulakukan! Karena tentunya Sangga
Rantek akan mendengar suara bila aku menggempurnya!"
Pendekar Slebor yang tak menyangka akan bertemu
dengan Iblis Rambut Emas, cuma garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Sambil pandangi perempuan di hadapannya, dia membatin,
"Kehadiran perempuan sesat ini sungguh mengejutkan. Dan melihat kilatan matanya
tadi, aku yakin dia tidak sendiri. Sebaiknya, kupancing dulu siapa orang yang
datang bersamanya."
Berpikir demikian, Pendekar Slebor berkata, "Sudah tentu sesuatu yang bagus
kalau kita dapat berjumpa lagi! Ngomong-ngomong... kau mendengar aku muntah
darah, ya" Iya nih! Aku lagi sakit! Tolong dong carikan obat"! Kau cantik deh
bila mau melakukannya"!"
"Serahkan potongan pedang itu padaku!!" hardik Iblis Rambut Emas dengan wajah
membesi. "Lho, masih urusan itu" Kupikir kau menghendaki nya-
wa ku" O iya, di mana kawanmu itu, hah"!"
Ucapan yang dilakukan Pendekar Slebor hanya merupa-
kan wujud dari nalurinya saja. Tetapi Iblis Rambut Emas nampak terkejut
mendengarnya. "Setan keparat! Rupanya dia tahu kalau aku datang bersama Sangga Rantek! Jangan-
jangan dia telah mengintip tadi!
Huh! Terpaksa harus kupanggil Sangga Rantek sekarang!!
Dan jalan yang terbaik, menyerang pemuda keparat ini hingga Sangga Rantek
mendengarnya dan hadir disini!"
Memutuskan demikian, mendadak saja perempuan ber-
kerudung merah ini menggerakkan tangan kanannya ke de-
pan. Wusssss!! Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat ke arah
Andika diiringi suara menggidikkan.
Andika yang sebelumnya pernah bertarung dengan pe-
rempuan berkerudung merah ini, tak mau bertindak ayal.
Kendati kedua tangannya masih terasa ngilu, namun segera diangkat tangan
kanannya yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir', menyusul disabetkan ke depan.
Blaaammm! Blaammm!!
Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar ke udara.
Namun karena keadaan Andika belum pulih benar, justru sosoknya yang terhuyung
tiga langkah ke belakang.
Melihat hal itu, Iblis Rambut Emas yang tadi hanya me-
rasakan tangannya agak bergetar dan sadar kalau Pendekar Slebor memang dalam
keadaan terluka, sudah lakukan serangan susulan.
Wuuuss! Wusss!!
Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa dingin
menggigit, menghampar dengan kekuatan maha besar. Andi-
ka memekik tertahan begitu merasakan hawa dingin yang
membuat urat-uratnya menjadi kaku.
Cepat dia kembali memapaki serangan itu.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi terjadi. Ledakan dahsyat terdengar
disusul dengan goncangan pada tempat itu.
Dua bongkah kabut putih yang dilepaskan Iblis Rambut Emas terlontar dan membuyar
di udara. Tanah di mana tadi bertemunya benturan itu muncrat setinggi dua tombak
yang seketika menghalangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampak sosok Pendekar Slebor
terhuyung-huyung dan kelihatan kalau dia berusaha untuk kuasai keseimbangannya.
Di seberang, Iblis Rambut Emas hanya surut tiga tindak
ke belakang. Keadaan perempuan berambut emas ini nampak tak kurang suatu apa
kecuali merasakan kedua tangannya
agak bergetar. Bila saja Pendekar Slebor tidak terluka dalam, sudah tentu sosok
Iblis Rambut Emas akan terpental ke belakang.
"Celaka! Dalam keadaan seperti ini, jelas aku tak akan mampu tandingi perempuan
celaka itu! Aku yakin, serangan yang dilakukannya selain memang ingin
membunuhku, juga
sebagai isyarat untuk memanggil temannya yang entah siapa.
Kadal buntung! Sambal bau! Aku harus menjauh dari sini!!"
Namun sudah tentu Iblis Rambut Emas tak akan mele-
paskan buruannya. Seraya maju dua tindak ke muka, perempuan ini berkata
mengejek, "Sayang beribu sayang... kalau pendekar yang banyak dipuja orang
ternyata tak memiliki kemampuan apa-apa! Tetapi aku masih mengampuni nyawamu,
bila kau menyerahkan potongan pedang perak kepada-
ku!!" "Menyerahkan potongan pedang itu sih gampang! Tetapi yang sulit, aku mau atau
tidak menyerahkannya"!" seru Andika yang berusaha untuk alirkan tenaga dalamnya
guna me- mulihkan keadaannya seperti semula.
"Jahanam! Kubunuh kau!!"
Habis bentakannya, Iblis Rambut Emas segera angkat
kedua tangannya ke atas.
Sementara Andika memaki-maki dalam hati, "Buaya
mati! Ketimbang aku yang celaka, terpaksa kupergunakan
kain bercorak catur untuk menahan serangannya!!"
Namun belum lagi serangan itu dilakukan Iblis Rambut
Emas, mendadak terdengar suara keras yang memecah ma-
lam, "Tunggu!! Aku juga ingin membunuhnya!"
Menyusul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam telah
berdiri di samping kiri Iblis Rambut Emas.
"Sangga Rantek...," desis Andika dan tanpa sadar surut satu tindak ke belakang.
*** Orang yang muncul itu memang Sangga Rantek. Dia
mendengar suara letupan demi letupan yang terjadi hingga memutuskan untuk
mencarinya. Tak disangkanya kalau Pendekar Slebor yang nampak di depan mata. Dan
menilik gela-gatnya, Sangga Rantek yakin, kalau Iblis Rambut Emas telah
menghajar pemuda itu.
"Kematianmu sudah bertambah dekat, Pendekar Slebor!


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah kematian yang akan kau nikmati dengan segala penderitaan yang sangat
pedih! Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan dapat melihat
matahari besok!!"
Kendati sadar dalam keadaan diri belum pulih benar aki-
bat gempuran Dewa Lautan Timur, anak muda ini tetap bersi-fat urakan. Sambil
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal padahal menahan nyeri, dia berseru, "O...
jadi kalian sudah bergabung untuk membunuhku, ya" Ayo katakan, siapa lagi
orang yang telah bergabung dengan kalian"!"
Sangga Rantek terbahak-bahak.
"Karena kau akan mampus malam ini juga, akan kukatakan apa yang kau tanyakan! Ki
Pasu Suruan dan Nyi Genggong pun akan siap mencabik-cabik tubuhmu!!"
"Ki Pasu Suruan... salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan. Tetapi siapa orang
yang bernama Nyi Genggong?" desis Andika dalam hati. Lalu dia tertawa sendirian
dan berkata, "Busyet! Apa tidak salah kau sebutkan nama orang tadi" Nyi Gonggong" Wah!
Sebangsa manusia serigala kali, ya"!"
"Puaskanlah semua ejekanmu itu, Pendekar Slebor! Karena kau tak akan dapat lagi
lakukan sikap urakan mu!" hardik Sangga Rantek. "Ah, masa?"
Iblis Rambut Emas yang sudah tidak sabar untuk mem-
bunuh Pendekar Slebor, dengan harapan dia dapat lakukan niatnya untuk membunuh
Sangga Rantek pula, berkata, "Untuk apa banyak bicara lagi! Kita bunuh pemuda
celaka itu!!"
Habis kata-katanya, perempuan berkerudung merah ini
sudah mendorong kedua tangannya. Dua bongkah kabut pulih yang keluarkan hawa
dingin menderu mengerikan.
Melihat lawan telah lancarkan serangannya, Andika
yang memutuskan untuk pergunakan kain bercorak catur,
sengaja mundur. Disusul dengan gerakkan tangan kanannya yang telah memegang kain
pusaka bercorak catur.
Wrrrrr!! Angin raksasa dikawal suara dengungan laksana ribuan
tawon murka menggebah. Dua bongkah kabut pulih milik Iblis Rambut Emas kontan
putus di tengah jalan. Sementara gelombang angin itu terus menderu ke arah si
perempuan yang memekik dan membuang tubuh.
Bersamaan Andika mengibaskan kain bercorak catur,
Sangga Rantek sudah lakukan serangan pula. Serangan itu
memang dapat dipatahkan oleh Andika.
Iblis Rambut Emas yang telah berdiri tegak, kembali le-
paskan serangan pula. Begitu pula dengan Sangga Rantek
yang untuk pertama kalinya, loloskan gelang-gelang duri yang melingkar pada
kedua pergelangan tangannya.
Empat buah gelang duri melesat dengan suara membe-
set. Dua mengarah pada kaki dan dua lagi mengarah pada bagian kepala. Belum lagi
dilepaskan pukulan jarak jauhnya sementara Iblis Rambut Emas juga lepaskan
kabut-kabut putihnya.
Makin kacau gerakan yang dilakukan Pendekar Slebor.
Kendati dia berhasil menghalau setiap serangan dengan pergunakan kain bercorak
catur, namun karena keadaannya masih dalam keadaan terluka dalam, sudah tentu
lambat laun tenaganya terkuras dengan sendirinya.
Bahkan saat dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa' se-
rangannya seolah tak mengandung tenaga yang diharapkan.
Hingga kemudian dengan satu tendangan yang dilakukan Iblis Rambut Emas, tangan
kanan Andika terhajar telak. Kain bercorak caturnya terlepas.
Sementara Sangga Rantek sudah mendorong kedua tan-
gannya didahului dengan lesatan tiga buah gelang-gelang du-rinya.
Apa yang dialami Andika sungguh sesuatu yang menge-
rikan. Nyawanya bisa putus hari itu juga. Dasar keras kepala, dia masih berusaha
untuk melawan kendati tak kuasa dilakukannya lebih lama. Hingga satu jotosan
Sangga Rantek bersa-rang di dadanya. Disusul gempuran yang dilakukan Iblis
Rambut Emas dari atas.
Namun sebelum jotosan Iblis Rambut Emas memecah-
kan kepala si anak muda, dan tendangan memutar yang dilakukan Sangga Rantek
menghajar dadanya, mendadak saja
terdengar suara yang sangat keras seperti membelah udara....
Cltaaarrr!! Seketika masing-masing orang mengurungkan serangan-
nya dan mundur tiga langkah ke belakang.
Tiba-tiba saja terdengar suara yang nyaring, "Aku juga menginginkan nyawanya!
Siapa pun orangnya yang menda-huluiku, maka dia akan mampus!!"
*** 4 Kita tinggalkan dulu maut yang nampaknya akan di te-
rima Pendekar Slebor. Kita ikuti perjalanan Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong.
Setelah bersepakat bergabung dengan Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas, kedua manusia sesat itu pun meneruskan perjalanannya,
meninggalkan Gadis Kayangan yang
kemudian dibawa lari oleh seorang kakek yang berwajah arif.
Ki Pasu Suruan yang mendendam pada Pendekar Slebor
karena pemuda itu telah membunuh adik seperguruannya, Ki Pancen Dadap, memang
sama sekali tak menyangka akan
bertemu dengan Nyi Genggong yang sedang membopong
Gadis Kayangan. Sebelumnya, Gadis Kayangan dihajar oleh Dewa Lautan Timur.
Tatkala Dewa Lautan Timur hendak
mempermalukan gadis itu, muncul Nyi Genggong yang me-
nyambar tubuh Gadis Kayangan.
Saat ini, masing-masing orang sedang hentikan langkah-
nya di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Nyi Genggong
langsung keluarkan suara pada lelaki setengah baya berpakaian kuning-kuning,
"Pasu Suruan! Aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau mengajak bersekutu
dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Padahal, aku sudah tak sabar untuk
membunuh perempuan berkerudung
merah yang menyerangku itu!"
Ki Pasu Suruan hanya menatap si nenek berpakaian hi-
tam compang-camping itu. Sebelumnya di saat keduanya
memutuskan meninggalkan tempat, satu serangan yang dilakukan oleh Sangga Rantek
menghalangi maksud mereka. Dan serangan itu terarah pada Nyi Genggong. Tetapi
Iblis Rambut Emas yang merasa harus menunjukkan kesetiakawanannya
pada Sangga Rantek, mengatakan dialah yang telah lakukan serangan pada Nyi
Genggong. "Dengan cara begitu, kita dapat membunuh Pendekar
Slebor dengan mudah!" sahut Ki Pasu Suruan.
Si nenek menggeram gusar. "Sejak semula kukatakan, aku tidak punya urusan dengan
Pendekar Slebor! Yang kuin-ginkan adalah menuju ke Pulau Hitam! Hanya karena kau
mengatakan kalau dua potongan pedang perak itu berada di tangan Pendekar Slebor
saja, aku menuruti kata-katamu! Paling tidak, kau membuatku tidak banyak
membuang waktu la-gi!"
"Tetapi itu pun satu masukan yang sangat berguna, bukan" Kau menyangka dua
potongan pedang itu berada di tangan Gadis Kayangan, padahal tidak sama sekali!"
"Dan seharusnya gadis itu kubunuh!"
"Tanpa kau bunuh pun dia tentunya akan mati! Bukankah kau telah menotoknya?"
Nyi Genggong mendengus. Wajahnya masih menyi-
ratkan kemarahan. Dia tetap jengkel pada Iblis Rambut Emas yang mengaku telah
menyerangnya. Lelaki berkalung tengkorak ini sendiri lama kelamaan
menjadi geram melihat sikap Nyi Genggong. Dengan pan-
dangan dan suara menusuk dia berkata, "Selain Pendekar Sle-
bor... urusan Dewa Lautan Timur pun harus kita pikirkan!"
"Aku tak punya urusan dengannya!!"
"Kau telah menggagalkan niatnya untuk membunuh ga-
dis itu! Apakah kau pikir dia tidak mengetahui siapa adanya kau"!"
"Tak mungkin dia mengenaliku!"
"Lantas bagaimana dengan yang kukatakan, kalau ke-
mungkinan besar Dewa Lautan Timur mengenalimu, hah"!
Apakah kau akan berdiam diri saja"!"
Mulut si nenek berbibir keriput ini, mencang-mencong
tanpa keluarkan suara. Sedikit banyaknya dibenarkan juga ka-la-kata lelaki
berpakaian kuning-kuning di hadapannya.
Kemudian katanya jengkel, "Ke mana lagi kita harus pergi" Sangga Rantek dan
Iblis Rambut Emas jelas-jelas tak menunggu atau menyenangi kehadiran kita"!
Jelas dari sikap Sangga Rantek yang melarang kita untuk berangkat bersama-sama?"
Lalu lanjutnya dalam hati, "Setan keparat! Mengapa aku harus bertemu manusia
satu ini" Padahal aku bisa bertindak seorang diri! Rasa penasaranku untuk
mengetahui ada rahasia apa di Pulau Hitam, harus terjawab!"
Ki Pasu Suruan tidak segera menjawab pertanyaan si ne-
nek. Sambil lipat kedua tangannya di depan dada, pandangannya tertuju ke depan.
"Kedua manusia itu menuju ke barat daya. Tetapi hingga saat ini belum juga
terlihat di mana sesungguhnya mereka berada. Apakah yang mereka lakukan, hanya
untuk mengelabui saja padahal keduanya tak pergi ke arah barat daya?"
Untuk beberapa lamanya Ki Pasu Suruan terdiam sebe-
lum terdengar bentakan Nyi Genggong, "Setan laknat! Apakah kau sudah menjadi
tuli, hah"!"
Tanpa palingkan kepala, Ki Pasu Suruan menjawab, "Ki-ta tetap menuju ke barat
daya! Peduli setan apakah dapat ber-
temu kembali dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas!
Nyi Genggong... sasaranku adalah Pendekar Slebor!"
"Dan hingga saat ini kau belum juga menemukan pemu-da yang telah membunuh Pancen
Dadap! Dasar kau yang bo-
doh! Tak berguna sama sekali apa yang kau miliki! Kau bukan hanya dapat
dikalahkan oleh pemuda celaka itu, tetapi harus juga ditebus dengan nyawa Pancen
Dadap! Apakah itu bukan tindakan bodoh"!"
Ejekan Nyi Genggong membuat sepasang telinga Ki Pa-
su Suruan memerah. Seketika dia palingkan kepala. Matanya menusuk dan berkilat-
kilat penuh kebencian. Namun tatkala diingatnya kalau dia dapat pergunakan
kesaktian Nyi Genggong, ditindih segala jengkelnya.
Kemudian katanya, "Kuakui aku memang tak sanggup
mengalahkan pemuda itu! Tetapi dengan bantuan mu, bukankah semuanya akan
berlangsung seperti yang kuharapkan?"
Berkembang hidung Nyi Genggong mendengar pujian
orang. Bibirnya mengembung senyuman senang. Sementara
Ki Pasu Suruan memaki-maki dalam hati, "Ku bunuh kau bila urusanku dengan
Pendekar Slebor telah selesai!"
Karena merasa Ki Pasu Suruan takluk padanya, Nyi
Genggong berkata pongah, "Bagus kau sadar akan kemampu-anku! Kini, akan
kuceritakan satu masalah lain yang belum kau ketahui!!"
"Katakan!!"
"Aku tahu... bukan hanya gurumu saja yang dulu menghendaki dua potongan pedang
perak yang berada di tangan Panembahan Agung dan Pemimpin Agung! Guruku pun
menghendakinya! Dan perlu kau ketahui, sebelumnya dia telah berhasil mendapatkan
dua potongan pedang perak itu
tatkala berada di tangan Pemimpin Agung! Tetapi sayangnya, Pemimpin Agung
kembali berhasil mendapatkannya, sekali-
gus membunuh guruku!"
"Lantas... apa yang hendak kau ceritakan?"
"Jangan memotong setiap ucapanku!! Guruku berhasil mendapatkannya, tatkala
Pemimpin Agung sedang bersemadi! Tetapi sayangnya, jejaknya ketahuan hingga dia
akhirnya mampus! Yang perlu kau ketahui... guruku telah menghafal seluruh titik-
titik yang merupakan rangkaian gambar beberapa patokan yang ada pada kedua
potongan pedang itu!"
"Percuma karena dia telah mampus!!"
Plaaakk!! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Ki Pasu Suruan me-
rasakan pipinya kena tamparan. Murka sudah lelaki ini. Namun begitu didengarnya
kata-kata Nyi Genggong selanjutnya, dia berusaha tindih kemurkaannya.
"Sebelum mampus dibunuh Pemimpin Agung, guruku
menceritakan tentang patokan-patokan pada kedua potongan pedang itu padaku!"
Bagai menemukan durian runtuh sepasang mata Ki Pasu
Suruan langsung membuka lebar.
"Apakah kau sekarang masih mengingatnya?" tanyanya tergesa-gesa.
Nyi Genggong mendengus lebih dulu sebelum menja-
wab, "Sudah tentu aku mengingatnya! Bahkan telah kutemukan patokan menuju ke
Pulau Hitam!"
"Apa... apa itu?" suara lelaki berkalung tengkorak ini begitu bernafsu.
Kembali Nyi Genggong mendengus. Kemudian katanya,
"Telah kutemukan sebuah lembah yang sangat curam berikut dua buah pohon besar
yang menjadi patokan. Menurut cerita mendiang guruku sebelum mampus, kita harus
bergerak ke arah kiri dan terus melangkah hingga akhirnya tiba di Pulau Hitam."
Binaran mata Ki Pasu Suruan semakin bertambah. Bi-
birnya tersenyum lebar penuh kepuasan. Namun mendadak
saja keningnya dikerutkan. Pandangannya tak berkedip pada Nyi Genggong.
Yang dipandang menggeram, "Mengapa kau menatapku
seperti itu, hah"!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau masih
mencoba memburu dua potongan pedang itu, hah"!"
"Karena setelah kutemukan semua itu, aku masih tidak percaya!"
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu, guruku bukanlah orang baik-baik! Dia manusia sesat yang tak pernah
sungkan untuk berbuat apa saja pa-da siapa pun, termasuk aku, muridnya sendiri!
Berulang kali aku dipermainkannya! Tetapi karena dia guruku, aku tak bisa
berbuat apa-apa kecuali menindih segala kebencian! Dan kupikir, apa yang
dikatakannya itu adalah ulahnya untuk mem-permainkanku lagi! Sehingga
dikarenakan rasa penasaran
yang memenuhi dadaku melihat kematian guruku, kupu-
tuskan untuk melacak jejak Pulau Hitam, Walaupun demi-
kian, kendati aku telah menemukan petunjuk terakhir dari Pulau Hitam, keraguanku
kembali datang, hingga kupikir aku kembali dipermainkannya! Itulah sebabnya,
kuputuskan untuk mendapatkan dua potongan pedang itu untuk membuatku lebih
yakin!" "Taruhlah apa yang dikatakannya benar! Lantas... mengapa dia tak melacak jejak
itu seorang diri?" tanya Ki Pasu Suruan masih tak percaya.
"Aku sendiri pernah memikirkan soal itu. Setelah dia menceritakan tentang titik-
titik yang tergambar pada dua potongan pedang itu, aku diperintahkannya untuk
pergi. Dan ketika besoknya aku kembali, dia telah mampus sementara dua
potongan pedang telah lenyap. Nah! Siapa lagi yang telah melakukannya kalau
bukan Pemimpin Agung" Dari tenggang
waktu yang sedemikian singkat, sudah jelas kalau dia tak memiliki kesempatan
untuk melacak jejak Pulau Hitam!"
Kali ini Ki Pasu Suruan terdiam cukup lama. Keningnya
berulangkali berkerut tanda dia berpikir keras. Setelah itu, terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
Lalu katanya, "Bila memang demikian, tak perlu kita ikuti ke mana perginya
Sangga Rantek dan Iblis Rambut
Emas! Lebih baik kita jajaki apa yang kau katakan tadi! Dan sangat menyenangkan
karena kau telah menemukan petunjuk terakhir menuju ke Pulau Hitam!"
Mendengar ajakan itu, Nyi Genggong tak langsung
mengiyakan. Dia berkata sinis penuh mengejek, "Dengan berkata begitu, apakah kau
melupakan urusan
Pendekar Slebor" Atau... sesungguhnya kau memang in-
gin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam dan berlagak tidak tertarik
lagi karena kau ingin membalas kematian Pancen Dadap di tangan Pendekar Slebor?"
Memerah wajah si lelaki berkalung tengkorak menden-
gar ejekan si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tak keluarkan suara. Setelah
menemukan jawaban yang menurutnya
tepat, dia baru buka mulut, "Dua potongan pedang itu berada di tangan Pendekar
Slebor! Tak mustahil pemuda setan itu telah tiba di sana! Bukankah ini sebuah
keputusan yang sangat bagus" Dengan kata lain, kita tahu di mana Pendekar Slebor
saat ini!"
Nyi Genggong cuma menyeringai. Sambil arahkan pan-
dangannya ke depan, dia berkata, "Karena aku telah bersepakat denganmu, tak ada
salahnya kita menuju ke lembah curam yang menurut guruku adalah tanda menuju ke


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Hitam! Kalau begitu, kita langsung menuju ke selatan!"
Habis kata-katanya, si nenek membelokkan arah larinya
lebih ke kanan. Kejap kemudian dia sudah bergerak sedemikian cepatnya menembus
kegelapan malam.
Ki Pasu Suruan yang sama sekali tak menyangka akan
mendapatkan keuntungan yang sangat besar, segera saja
menghempos tubuhnya. Dia tak mau ketinggalan dan dia pun bersiaga penuh bila
ternyata si nenek menjebaknya.
*** 5 Masing-masing orang yang berada di bukit kapur itu ter-
diam dengan pandangan membuka lebih lebar. Terutama
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Sebelum mereka
mengetahui siapa orang yang tadi menggagalkan keinginan untuk membunuh Pendekar
Slebor, hati mereka sudah diliputi oleh kemarahan yang tinggi. Dapat dibayangkan
bila mereka sudah melihat orang yang tadi halangi niat.
Lain halnya dengan Pendekar Slebor yang berusaha agar
tidak terjatuh. Suara orang yang tadi barusan membentak itu, begitu akrab di
telinganya. Hingga untuk sesaat hatinya menjadi makin tak menentu. Dan semakin
kacau tatkala ingatannya tiba pada seseorang. Seraya menghela napas pendek, dia
mendesis, "Setan Cambuk Api... Kutu monyet! Mungkin saat ini aku ditakdirkan
untuk mampus!!"
Selang dua kejapan mata, dari sebelah kanan melangkah
satu sosok tubuh sambil geleng-geleng kepalanya. Dengan se-ringaian lebar yang
bertengger di bibir keriputnya, orang ini berhenti sejarak dua tombak dari
hadapan masing-masing
orang. Sosok seorang perempuan tua yang mengenakan pa-
kaian batik kusam ini, memiliki paras bulat telur dan dihiasi
rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak beraturan.
Saat menyeringai, wajahnya tak lebih dari kuntilanak belaka.
Perempuan tua yang di tangan kanannya tergenggam
cambuk berlidah tiga ini mendadak terkikik keras begitu melihat Pendekar Slebor,
"Hik hik hik... ke mana pun kau lari, nampaknya kau tak akan luput dari
kematian, Pendekar Slebor! Kalaupun kau lolos dari tangan ku, nampaknya kau tak
akan bisa lolos dan tangan kedua manusia-manusia keparat itu!! Tetapi kematianmu
sudah berada di tanganku! Tak seorang pun yang akan kubiarkan hidup bila halangi
keinginanku?"
Lalu tanpa hiraukan pandangan tajam dari Sangga Ran-
tek dan Iblis Rambut Emas, si nenek yang memang Setan
Cambuk Api adanya, melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Cambuknya yang berlidah tiga digerak-gerakkan hingga terdengar suara angin tajam
berdesir-desir.
Sudah tentu sikapnya membuat Iblis Rambut Emas dan
Sangga Rantek tersinggung, karena sejak kedatangannya perempuan berpakaian batik
kusam tak sekali pun melirik mereka. Iblis Rambut Emas rupanya sudah tidak kuasa
menahan diri lebih lama lagi. Segera saja dia melompat ke depan seraya
membentak, "Datang dengan penuh kesetanan sudah tentu dapat kami terima! Tetapi
datang dengan bertindak busuk, sudah tentu akan mendapat ganjaran pahit!!"
Seketika Setan Cambuk Api menghentikan langkahnya.
Pandangannya menusuk dalam, menyiratkan isyarat kematian yang sebentar lagi akan
diturunkan. Senyuman mengejek
menghiasi wajah buruknya, hingga membuat orang yang me-
lihatnya dapat berpikir dua kali untuk lakukan tindakan.
"Perempuan berkerudung merah! Sayang sekali aku tak pernah memikirkan soal sopan
santun segala!! Jangan mengganggu setiap keinginanku!!"
Menggeram Iblis Rambut Emas. Belum lagi dia buka
mulut, perempuan tua bersenjatakan cambuk berlidah tiga itu sudah menghardik,
"Jangan coba-coba halangi keinginanku!
Lebih baik menyingkir dari sini sebelum akhirnya kau sesali diri! Ajak kawan mu
itu!" Mendengar hardikan orang, wajah Iblis Rambut Emas
kontan mengkelap. Dadanya yang agak membusung naik tu-
run pertanda gusar. Rasa kecut yang tadi sempat hinggap, tatkala melihat tatapan
kejam perempuan berpakaian batik kusam itu, sirna seketika.
Seraya maju satu langkah, dia balas membentak, "Ucapanmu sungguh tak enak
didengar! Katakan siapa kau adanya sebelum mampus berkalang tanah!"
Perempuan tua berpakaian batik kusam ini, menyipitkan
matanya. Ada kilatan api di dalam mata kelabunya. Perempuan yang diperintahkan
oleh Dewa Lautan Timur untuk
menghalangi langkah Pendekar Slebor, sementara Dewa Lautan Timur sendiri
mempecundangi Gadis Kayangan, memang
sedang memburu Pendekar Slebor. Karena dia pernah dika-
lahkan oleh pemuda itu. Dan amarahnya kian menjadi-jadi.
Apalagi sekarang, ada orang yang jelas-jelas halangi maksudnya.
Sambil putar tubuh, Setan Cambuk Api mendesis dingin,
"Kau berhadapan dengan Setan Cambuk Api! Lekas berlutut sebelum kepalamu pisah
dari badan!"
Iblis Rambut Emas sesaat melengak mengetahui siapa
adanya orang. Namun dia tidak peduli karena kemunculan
Setan Cambuk Api justru membuat amarahnya naik.
Seraya menuding dia berkata, "Kau berhadapan dengan Iblis Rambut Emas! Lekas
menyingkir dari sini sebelum semuanya kau sesali! Dan satu hal lagi yang perlu
kau ingat, jangan coba-coba mengganggu urusanku!!"
Terdengar suara rahang dikertakkan, menyusul suara ke-
jam Setan Cambuk Api, "Aku hanya memperingatkan sekali!
Lekas menjauh dari sini! Ajak temanmu itu!!"
Tak sanggup lagi menahan gejolak amarah di dadanya,
Iblis Rambut Emas sudah mendorong kedua tangannya ke
depan. Serta-merta menderu dua bongkah kabut putih yang keluarkan hawa sangat
dingin. Di tempatnya, Setan Cambuk Api mendengus. Tanpa
bergeser dari tempatnya, perempuan tua ini sudah menggerakkan cambuk berlidah
tiga. Cltaaarrr!! Suara keras itu terdengar menggidikkan disusul dengan
tiga gelombang angin yang menggeledar. Serangan balasan yang dilakukan Setan
Cambuk Api memang tak mampu menahan dua bongkah kabut Iblis Rambut Emas.
Namun yang mengejutkan, karena tiga gelombang angin
yang membeset tadi, nyeplos dan terus menerjang ke arah Iblis Rambut Emas.
Masing-masing orang segera membuang tubuh.
Terdengar letupan beruntun. Dua bongkah kabut putih
itu menghantam tumbang sebuah pohon, sementara tiga ge-
lombang angin yang membeset, menghantam sebuah pohon
pula. Seketika terbentuk tiga buah lubang di tubuh pohon itu.
Menyusul mengeringnya pohon itu secara mendadak.
Dan di tempat masing-masing, keduanya saling pandang
tanpa kedip. Di lain pihak, Sangga Rantek membatin, "Menilik serangan perempuan berpakaian
batik itu, jelas kalau dia dapat mengalahkan Iblis Rambut Emas. Karena tak
mustahil dia memiliki pukulan jarak jauh untuk memutuskan bongkahan
kabut Iblis Rambut Emas. Sementara cambuk berlidah ti-
ganya sangat berbahaya! Hmmm... biar urusan cepat selesai,
sebaiknya kubantu!!"
Memutuskan demikian. lelaki setengah baya berkuncir
kuda ini sudah mencelat ke depan.
"Kau hanya membuang-buang waktu saja, perempuan
celaka!!" bentaknya seraya mendorong kedua tangannya ke depan.
Wuusss!! Wuusss!!
Menghampar dua gelombang angin deras ke arah Setan
Cambuk Api. Si perempuan berpakaian batik kusam ini cuma men-
dengus dingin. Kejap itu pula diangkat tangan kirinya. Menggebrak satu gelombang
angin yang tak kalah dahsyatnya.
Menyusul digerakkan tangan kanannya yang memegang
cambuk berlidah tiga.
Cltaarrr!! Blaaammm!! Benturan dua tenaga sakti itu bertemu. Sosok Sangga
Rantek terhuyung tiga langkah ke belakang, disusul dia segera lakukan lompatan,
tatkala sambaran cambuk lidah tiga lawan siap membeset tubuhnya.
Di lain pihak, Setan Cambuk Api sendiri masih tegak di
tempatnya. Bibirnya menyeringai dingin.
"Sebaiknya kalian memang maju bersama-sama biar
urusan cepat selesai!!"
Habis kata-katanya, perempuan tua ini langsung mener-
jang ke depan. Cambuk berlidah tiganya digerakkan berulang kali hingga terdengar
suara yang sangat menyakitkan telinga.
Sementara tangan kirinya lakukan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sudah tentu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tak
mau berdiam diri. Apa yang mereka inginkan sudah ada di depan mata, namun
kehadiran perempuan bersenjatakan cam-
buk ini justru memupuskan segala keinginan.
Iblis Rambut Emas menyerang dengan lepaskan bong-
kahan-bongkahan kabut putihnya yang serta-merta di tempat itu seperti ditindih
segenap hawa yang sangat dingin. Sementara Sangga Rantek mencoba menyerang dari
belakang den- gan lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Pertarungan yang sengit itu terjadi begitu cepat. Teriakan demi teriakan
terdengar. Letupan demi letupan terjadi.
Hingga dalam waktu yang singkat saja, tempat itu telah diliputi oleh muncratan
tanah dan ranggasan semak belukar ke udara.
Sementara itu, Pendekar Slebor yang makin terluka da-
lam, diam-diam menyingkir dari tempat itu. Dia belum memutuskan apakah akan
menjauh atau melihat pertarungan itu.
Sesungguhnya, di dasar hati kecil anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini merasa sedih, melihat
orang-orang kejam dan serakah seperti mereka saling bertarung, hanya untuk
menunjukkan siapa yang lebih hebat. Dan dia selalu berharap agar dunia ini tidak
lagi dibanjiri oleh darah dan air mata. Namun setiap kali harapan itu muncul,
setiap kali pula segera ditindihnya dalam-dalam.
"Memang tak mungkin aku menghadapi ketiganya seka-
ligus dalam keadaan terluka seperti ini. Kemunculan Setan Cambuk Api nampaknya
membawa keberuntungan tersendiri
bagiku. Sebaiknya... untuk sementara aku menyingkir dulu untuk mencari tempat
sunyi guna memulihkan keadaanku...."
Setelah memperhatikan sejenak pertarungan yang sema-
kin mengerikan itu, perlahan-lahan dengan langkah agak terhuyung, Pendekar
Slebor meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
terus berusaha keras untuk mencecar Setan Cambuk Api.
Kendati dikeroyok berdua oleh orang-orang yang sebenarnya
tak bisa dipandang sebelah mata, Setan Cambuk Api agaknya masih dapat kuasai
pertarungan. Ini disebabkan karena cambuk berlidah tiganya yang berhasil membuat
jarak para pe-nyerangnya. Belum lagi, bila dia lakukan tindakan yang sangat
cepat dengan gerakan-gerakan yang mengejutkan.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, karena setiap kali
dia gerakkan cambuk berlidah tiganya, melesat bola-bola api sebesar kepalan
tangan orang dewasa yang keluarkan suara mengerikan.
Terkesiap Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Mas-
ing-masing orang berusaha untuk menghindar sekaligus memutuskan bola-bola api
itu. Namun yang membuat mereka
harus bertambah hati-hati, karena lidah-lidah cambuk si perempuan siap mengirim
nyawa mereka ke akhirat.
Untuk beberapa lamanya Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek seperti kehilangan bentuk penyerangan. Iblis Rambut Emas memang masih
agak beruntung, karena dia berhasil
memutuskan bola-bola api lawan dengan bongkahan-
bongkahan kabut putihnya. Kendati demikian, dia pun tak dapat segera bernapas
lega. Cltaarr!! Cltaarr! Cltaarr!! Tiga kali suara keras itu terdengar dan
terlihat tanah kembali membentuk garis lurus sedalam pergelangan tangan. Sangga
Rantek yang tadi menghindari serangan itu, menjadi pias wajahnya. Namun
kegeramannya tak surut sedikit pun juga.
Sementara itu, Setan Cambuk Api yang bertambah be-
ringas, menggerak-gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap itu pula beruntun
menderu bola-bola api sebesar kepalan tangan mengarah pada kedua lawannya.
Sementara di tempat itu, sebagian telah terbakar dan
langsung mengepulkan asap putih yang tebal.
Merasa asap putih itu dapat menghalangi pandangan,
Sangga Rantek yang berpikir lain langsung mendekati Iblis
Rambut Emas seraya berbisik, "Kita tinggalkan tempat ini!"
"Tidak! Perempuan celaka itu harus mampus"!" dengus Iblis Rambut Emas geram.
"Selagi dia masih memiliki cambuk itu, kita dapat di buatnya tak berdaya!"
"Kalau begitu, kita rebut cambuknya!"
"Kita akan banyak membuang waktu! Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini!"
"Mengapa kau jadi pengecut seperti itu, hah"!"
"Karena aku memikirkan satu kemungkinan lain ketimbang melayani perempuan tua
itu!" "Bagaimana dengan Pendekar Slebor"!" tanya Iblis Rambut Emas yang menyangka
Pendekar Slebor masih berada di sana.
"Biarkan dia! Karena perempuan itu berkeinginan untuk membunuhnya pula! Berarti,
kita tak perlu mengotori tangan kita dengan darah pemuda setan itu!"
Mendengar alasan yang dikemukakan Sangga Rantek,
Iblis Rambut Emas akhirnya setuju. Kendati demikian, keinginan keduanya tak
mudah dilakukan begitu saja. Karena Setan Cambuk Api terus berusaha menghajar
keduanya. Puluhan bola-bola api yang keluar dari lidah-lidah cam-
buknya, terus mengejar masing-masing orang yang memaki
panjang pendek seraya mencoba lepaskan serangan balasan.
Iblis Rambut Emas yang merasa dapat menahan bola-bola api itu dengan serangan
kabut-kabut putihnya, mencoba memapaki sementara Sangga Rantek menyerbu ke
bagian bawah. "Sekarang!!" mendadak Iblis Rambut Emas melayang ke atas, seraya menggempur
membabi buta. Bongkahan-bongkahan kabut putihnya menyerbu ganas.
Kian terpancing kemarahan Setan Cambuk Api seraya meng-
gerakkan tangan kiri disusul dengan bola-bola api yang ke-
luar dari cambuk berlidah tiganya.
Sementara itu, begitu mendengar seruan Iblis Rambut
Emas, Sangga Rantek sudah mencelat menjauh dan melarikan diri. Perempuan
berkerudung merah sendiri telah pergunakan kesempatan itu untuk meninggalkan
tempat itu pula selagi Setan Cambuk Api menghalau setiap serangannya.
Sadar kalau kedua lawannya sudah berlalu, menggeram
setinggi langit Setan Cambuk Api. Sambil mencelat ke depan dia mencoba
menggerakkan cambuk berlidah tiganya.
Wiiinggg! Sembilan buah bola-bola api melesat mencoba menahan
larinya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Namun kedua orang itu telah menjauh
dari tempatnya.
"Terkutuk!! Tak akan kulepaskan nyawa kalian!!" maki perempuan berpakaian kusam
ini. Kemarahannya makin menggila tatkala tak menemukan
sosok Pendekar Slebor di tempat semula.
"Sial!! Setan keparat sial!! Ini gara-gara kedua manusia sialan!! Kubunuh
mereka! Kubunuh mereka!!"
Dengan penuh kegeraman, perempuan bersenjatakan
cambuk berlidah tiga ini segera berkelebat menyusul perginya Sangga Rantek dan
Iblis Rambut Emas.
***

Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 Hamparan sinar matahari pagi mulai mendesak masuk ke
persada bumi, menggeser sisa-sisa sinar rembulan. Burung-burung beterbangan riuh
rendah penuh kegembiraan. Langit membiru cerah dihiasi gumpalan awan-awan putih.
Udara saat ini sejuk berhembus, menebarkan pesona yang tak dapat
ditepiskan begitu saja.
Di balik sebuah ranggasan semak belukar, nampak satu
sosok tubuh terbaring dengan mata terpejam. Tatkala sinar matahari menerpa
wajahnya, sosok yang tak lain Pendekar Slebor adanya perlahan-lahan mulai
membuka kedua matanya.
Kejap itu pula kembali dipejamkan. Ada rasa nyeri yang
dirasakan di sekujur tubuhnya.
Cukup lama anak muda urakan ini membiarkan tubuh-
Pengelana Rimba Persilatan 13 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 1
^