Pencarian

Tabir Pulau Hitam 2

Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Bagian 2


nya terbaring dimandikan cahaya matahari, sebelum akhirnya kembali menggeliat.
Dibuka kedua matanya dengan hati-hati, dikerjap-
kerjapkan agar tidak terlalu menyilaukan.
"Buju buneng... kenapa aku tidur di sini?" desisnya dengan suara mengkerepet.
Begitu dirasakan ngilu pada kedua tangannya, dia perlahan-lahan bangkit. Duduk
dengan kedua kaki berselonjor. Lalu hati-hati direntangkan kedua tangannya.
Terdengar suara berkerutuk. "Kutu monyet!" desisnya lalu mendengus. Dibawa
ingatannya pada kejadian semalam.
Setelah meninggalkan pertarungan Setan Cambuk Api meng-
hadapi Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, dengan men-
gandalkan sisa-sisa tenaganya, anak muda- urakan ini terus menjauh. Membawa
langkah dengan segenap semangat yang
menyala di dada.
Namun melewati tiga perempat malam, Andika tak kua-
sa lagi menahan keletihan yang menderanya. Dia langsung ambruk dan tertidur.
Saat terbangun sekarang, masih dirasakan lelah yang cu-
kup meletihkan. Lalu perlahan-lahan anak muda urakan ini bersemadi. Setelah itu,
kembali dipikirkan persoalan demi persoalan yang ada.
"Hmmm... langkahku seperti dikurung oleh enam orang
manusia sesat. Dewa Lautan Timur. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Setan
Cambuk Api. Lalu Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong. Yang terakhir ini belum
kuketahui seperti apa rupanya. Tapi menilik pasangan yang ada, tentunya dia ber-
sahabat kental dengan Ki Pasu Suruan."
Mendesah pendek pemuda dari Lembah Kutukan ini.
Otaknya terus diperas memikirkan jalan keluar dari masalah yang
mengkungkunginya.
Dan yang masih membuatnya cemas, adalah ketidakjela-
san akan nasib Gadis Kayangan. Baginya, dia harus mene-
mukan gadis itu lebih dulu. Hidup atau mati.
Setelah dirasakan keadaannya agak lebih baik, anak mu-
da ini pun berdiri. Dipandangi sekelilingnya dengan seksama.
"Hmmm... aku akan mencari sungai untuk membersih-
kan tubuh dulu!"
Lalu dicobanya untuk melompat. Happ!
Kembali dia lakukan loncatan berulang kali. Dan setiap
kali meloncat, kedua tangannya direntangkan ke atas, ke bawah dan ke samping.
Tak lagi dirasakan ngilu pada kedua tangan dan kakinya.
Dadanya yang sebelumnya terhantam pukulan Dewa Lautan
Timur pun mulai dirasakan agak normal.
Mulailah Andika mencari sungai.
Begitu menemukannya, dia langsung membersihkan tu-
buh. Caranya begitu cepat (gaya bebek) karena dia merasa memburu waktu.
Setelah mandi, dia segera mencari buah-buahan sebagai
pengisi perut. Sambil memakani buah-buahan yang dida-
patkannya, dia segera meninggalkan tempat itu menuju ke selatan.
*** Sampai matahari tepat berada di atas kepala, anak muda
urakan ini masih terus berlari. Dia bersikeras untuk menemukan sebuah lembah
yang merupakan patokan ketiga menuju
ke Pulau Hitam. Secara tidak sengaja Andika memang telah menemukan patokan
pertama dan kedua menuju ke Pulau Hitam.
Tepat ketika malam kembali melingkupi alam, anak mu-
da ini tiba di sebuah lembah yang sangat curam. Saat ini rembulan bersinar
terang. Kendati demikian, sulit menemukan kedalaman lembah itu.
Sambil mengatur napas, anak muda ini berpikir keras.
"Selama aku berlari menuju ke selatan, baru kali ini kutemukan sebuah lembah.
Apakah lembah ini yang dimaksud-
kan dalam rangkaian titik gambar pada potongan pedang perak yang dimiliki Gadis
Kayangan?"
Dicobanya untuk melongok ke dalam lembah. Namun
hanya kegelapan semata yang nampak, meskipun dinding-
dinding lembah itu cukup kelihatan.
"Untuk membuktikan apakah memang lembah ini yang
menjadi patokan, aku harus menemukan dua buah pohon
yang berdekatan. Setelah itu... kalau tidak salah ingat, aku harus ke kiri. Hmm,
waktuku sangat sempit! Aku yakin, sudah banyak orang yang menuju ke Pulau
Hitam...."
Memikirkan demikian, segera saja anak muda urakan ini
berkelebat ke kiri. Namun baru saja dia melakukan, mendadak saja dirasakan satu
dorongan keras dari belakang.
"Heeiiii!!"
Terkejut bukan alang kepala si anak muda. Dia berusaha
untuk tidak kehilangan keseimbangan. Karena bila dia kehilangan keseimbangan,
tanpa ampun lagi tubuhnya akan terlempar masuk ke dalam lembah.
Dengan gerakan yang sangat menakjubkan Pendekar
Slebor langsung menangkap tangan orang yang mendorong-
nya. Dia memang berhasil melakukannya.
Namun yang mengejutkan, karena orang itu telah meli-
ukkan tubuh hingga pegangan tangannya terlepas. Menyusul dia lakukan tendangan
pada kaki kanannya.
Desss!! Untuk kedua kalinya Andika berseru kaget, "Heeiii!!"
Terhuyung anak muda ini ke belakang. Dia masih beru-
saha untuk kendalikan dirinya. Namun mendadak saja dirasakan deru angin mengarah
deras ke arahnya dari samping kanan.
Dalam keadaan seperti itu, tak mungkin Andika dapat
memapakinya. Menghindar pun tak bisa dilakukan karena
orang yang mendorongnya sudah melepaskan jotosan. Ke-
timbang dirinya terhantam gelombang angin deras itu lalu akhirnya jatuh pula ke
dalam lembah, mau tak mau Andika merelakan dirinya masuk ke dalam lembah!
Terdengar teriakannya yang sangat keras,
"Aaaakhhhh!!"
Teriakan itu menggema ke atas.
Sementara itu, dua orang yang tadi lakukan bokongan
pada Andika menyeringai penuh kepuasan.
"Dendamku telah terbalas! Pancen Dadap pasti tenang di alam sana!!" terdengar
suara lelaki berpakaian kuning-kuning.
Menyusul satu suara, "Jadi dialah pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor" Sungguh
tak patut julukannya begitu disan-jung banyak orang! Pasu Suruan! Seluruh
dendammu pa- danya telah sirna hari ini, bukan"!"
"Kau betul, Nyi Genggong! Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasakan
kepuasan yang teramat sangat!!"
Kedua orang yang tak lain Ki Pasu Suruan dan Nyi
Genggong itu terbahak-bahak lebar.
Seperti kita ketahui, kedua manusia sesat itu segera menuju ke Pulau Hitam
setelah mendengar penjelasan dari Nyi Genggong. Sepenanakan nasi sebelum
Pendekar Slebor tiba di tempat itu, keduanya telah lebih dulu tiba di sana.
Di saat hari masih cukup terang, keduanya tak bisa melihat kedalaman lembah itu.
Apalagi di saat hari sudah malam begini.
Saat itu Nyi Genggong sedang memikirkan tentang dua
buah pohon yang menjadi patokan ke empat menuju ke Pulau Hitam. Dia mengajak Ki
Pasu Suruan untuk berkeliling mencarinya. Setelah tak ditemukan, keduanya
kembali ke tempat semula.
Dan tanpa disangka, masing-masing orang melihat satu
sosok tubuh yang berdiri di permukaan lembah. Ki Pasu Suruan yang mengenali
siapa adanya orang itu, sudah tak kuasa menahan diri lagi. Tetapi Nyi Genggong
melarangnya untuk menyerang.
Karena dia telah memikirkan cara yang lebih baik. Ki
Pasu Suruan sendiri dapat menerima rencana Nyi Genggong kendati kemarahannya
sudah tak dapat dibendung lagi.
Dan disaat Andika hendak meninggalkan tempat itu, Nyi
Genggong sudah bergerak cepat mendorongnya! Sementara
gelombang angin yang menggebah tadi dilepaskan oleh Ki
Pasu Suruan. Sekarang, kedua manusia sesat itu terbahak-bahak penuh
kepuasan melihat rencana yang mereka jalankan berhasil dilakukan.
"Biar kau mampus terkubur selama-lamanya di dalam
sana, Pendekar Slebor!!" seru Ki Pasu Suruan sambil membuat corong dengan kedua
tangannya. "Bertemanlah kau dengan setan-setan neraka!!"
Nyi Genggong menyeringai lebar.
"Kau berhutang padaku, Pasu Suruan!"
Ki Pasu Suruan yang sedang gembira melihat orang
yang dibencinya berhasil didorong masuk ke dalam lembah, cuma tertawa-tawa saja.
"Kupenuhi setiap janjiku padamu! Apa pun yang ada di Pulau Hitam, akan
kuserahkan padamu!"
"Bagus!"
"Tapi perlu kau ingat, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek sudah tentu tak akan
tinggal diam! Bisa jadi keduanya akan tiba pula di Pulau Hitam!"
"Apa maksudmu?" tanya Nyi Genggong tajam.
"Nyi! Apakah kau tidak berpikir, kalau kedua manusia itu menghendaki hal yang
sama denganmu" Sudah tentu mereka tak akan membiarkan sesuatu yang akan mereka
da- patkan di Pulau Hitam."
Sejenak Nyi Genggong terdiam sebelum buka mulut,
"Aku paham maksudmu. Tetapi, mengapa kau mau bersekutu dengannya?"
"Bodoh! Aku bersekutu dengannya, dengan harapan tak terlalu mengotori tangan
kita dengan kematian Pendekar Slebor! Biar mereka yang membunuhnya!"
"Licik juga akal manusia satu ini," dengus Nyi Genggong dalam hati, Kemudian
katanya, "Dengan kata lain, lawan kita saat ini adalah Iblis Rambut Emas dan
Sangga Rantek?"
"Tak salah! Tapi jangan lupa... Dewa Lautan Timur pun nampaknya menginginkan apa
yang ada di Pulau Hitam!"
"Peduli setan dengan orang tua bau tanah itu! Akan ku-cincang tubuhnya sampai
sekecil-kecilnya bila dia berani mengganggu keinginanku!" dengus Nyi Genggong
dengan pandangan berapi-api. Namun sesuatu yang mendadak dis-
adarinya membuatnya buru-buru berkata, "Lagi pula, kita tak punya urusan
dengannya! Karena yang kuketahui, dia hanya punya urusan dengan Panembahan
Agung! Berarti... kita akan aman-aman saja bila berjumpa dengannya!"
Ki Pasu Suruan yang menangkap nada kecut pada kali-
mat terakhir Nyi Genggong, menyeringai lebar dan berkata penuh ejekan, "Mengapa
kau mendadak menjadi takut seperti itu, hah" Apakah kau tak sanggup menandingi
kesaktian De-wa Lautan Timur."
Kendati sadar kalau sedang diejek, Nyi Genggong yang
tiba-tiba saja menjadi tidak enak dengan perkataannya sendiri, berkata, "Aku tak
takut sama sekali pada kakek keparat itu! Siapa pun dia, bila menghalangi niat
ku, maka akan kubunuh!"
"Bagus! Dan sudah tentu aku tak akan tinggal diam bila kita terpaksa berhadapan
dengan Dewa Lautan Timur!" kata Ki Pasu Suruan masih mengejek.
Nyi Genggong mendengus dalam hati. "Gila! Apa apaan aku ngomong tadi" Sampai
saat ini aku tak mengetahui kesaktian Dewa Lautan Timur! Tetapi menurut cerita
guruku, dia saja tak sanggup menandinginya! Huh! Masih untung
Dewa Lautan Timur tak berada di sini! Tapi kalaupun ada, terpaksa aku tak
tinggal diam. Hanya saja... bila bertemu dengannya, aku akan menunjukkan sikap
baik!" Sementara itu, lelaki berkalung tengkorak yang secara
tidak langsung berhasil mengejek Nyi Genggong berkata lagi,
"Bila memang demikian adanya, berarti Panembahan Agung-lah orang yang harus kita
singkirkan pula!"
"Aku tak tahu kesaktian yang dimilikinya!"
"Jangan khawatir! Kita buat permainan baru!" bibir Ki Pasu Suruan mengembang
senyum aneh. "Apalagi yang ada di benak manusia satu ini?" geram
Nyi Genggong dalam hati. Lalu katanya serius, "Apa maksudmu dengan permainan
baru itu?"
"Sebelum kita membunuh Iblis Rambut Emas dan Sang-
ga Rantek, kita akan tetap berlaku sebagai sekutu mereka. Bi-la kita berempat,
kupikir bukanlah hal yang sulit untuk membunuh Panembahan Agung."
"Hmmm... dengan kata lain, kau menduga Panembahan
Agung akan muncul di Pulau Hitam?"
"Tepat! Sudah tentu dia mendengar berita tentang banyaknya orang-orang yang
menuju ke Pulau Hitam. Mustahil bila dia berdiam diri saja! Terbukti selama
bertahun-tahun, dia tak mengizinkan siapa pun memiliki dua potongan pedang yang
bila disatukan akan menjadi patokan-patokan lengkap menuju ke Pulau Hitam!"
Mendengar ucapan orang, Nyi Genggong mengangguk-
anggukkan kepala. Sementara itu, diam-diam Ki Pasu Suruan tersenyum dalam hati.
"Pendekar Slebor tentunya telah mampus di lembah itu!
Berarti semua urusanku telah selesai! Tinggal mendapatkan apa yang di Pulau
Hitam! Setelah berhasil membunuh Panembahan Agung, Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas, ti-ba giliran perempuan tua keparat ini untuk mampus!"
Sesaat tak ada yang keluarkan suara, angin terus ber-
hembus dingin. Sampai kemudian Nyi Genggong berkata, "Kita telah
mengelilingi lembah ini, tetapi tak mendapatkan patokan dua buah pohon. Lebih
baik...." "Kau sendiri yang sebenarnya bodoh! Katamu, kau telah menemukan dua pohon itu
sebelumnya!"
"Tutup mulutmu!" menggelegar suara Nyi Genggong.
"Sudah kukatakan tadi, waktu itu aku datang ke sini siang ha-ri, hingga aku
masih ingat patokannya! Tetapi sekarang, se-
muanya nampak samar dan samar! Apakah kau...."
"Sudah, sudah!" sahut Ki Pasu Suruan yang tak mau bu-ka urusan dengan Nyi
Genggong. Perempuan tua itu memang cepat sekali panasan. Lalu katanya, "Sekarang
kita bergerak ke kiri. Barangkali kita akan menemukan dua buah pohon
itu...." Kendati masih mendengus gusar, Nyi Genggong men-
giyakan. "Kau akan kubunuh bila sudah kuketahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam,
Manusia terkutuk!" makinya geram dalam hati.
Sementara itu, Ki Pasu Suruan membatin gusar, "Tak lama lagi, kau akan mampus di
tanganku, Perempuan Celaka!!"
Lalu masing-masing orang pun bersiap untuk mening-
galkan tempat itu. Namun belum lagi mereka melakukannya, mendadak saja satu
gelombang angin yang maha dahsyat
menggebah. Terkejut bukan alang kepalang keduanya.
Dengan sigap mereka berusaha untuk menghindari gem-
puran angin itu. Namun dua gelombang angin yang datang
kemudian, tak kuasa mereka elakkan.
Telak masing-masing orang terseret ke belakang. Tidak
terlempar jatuh ke dalam lembah. Namun akibat yang terjadi sungguh mengenaskan.
Karena begitu masing-masing orang terbanting di atas
tanah, terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Disusul keluhan tertahan
menandakan Sakit yang luar biasa.
"Apa yang terjadi?" desis Nyi Genggong yang merasakan tulang punggungnya patah.
"Aku tak tahu! Ada orang yang telah menyerang kita!"
sahut Ki Pasu Suruan bagai rintihan. Tulang punggungnya pun patah.
"Siapa?" desis Nyi Genggong menahan sakit.
Dan masing-masing orang tak tahu siapa yang melaku-
kan serangan mengerikan itu. Karena mendadak saja satu gelombang angin lainnya
telah menerjang.
Kali ini sudah tentu tak mungkin mereka dapat hindari
lagi ganasnya labrakan angin yang datang. Dan tanpa ampun lagi, masing-masing
orang telak terhantam. Diiringi teriakan yang sangat keras, tubuh keduanya
terlempar sejarak tiga tombak dari tempat semula.
Lalu terbanting keras di atas tanah dengan nyawa me-
layang. Kepala mereka pecah. Dari mulut dan hidung keluar darah segar. Dan
beberapa tulang di tubuh masing-masing orang patah.
Kejap kemudian, berkelebat satu sosok tubuh tinggi ber-
sorban kuning. Dengan langkah dan pandangan angker, orang itu mendekati mayat


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya. Lalu meludahinya dengan penuh kebencian. "Manusia-
manusia tak tahu diri! Ilmu baru sejengkal sudah berani me-nantangku!!" desis
orang yang tak lain Dewa Lautan Timur adanya ini.
Rupanya, selagi Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong me-
rencanakan apa yang akan mereka lakukan, Dewa Lautan
Timur telah tiba di tempat itu.
Sudah tentu mendidih darah kakek sesat yang mempu-
nyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, begitu mendengar orang
mengecilkan dirinya.
Tanpa mau buang waktu lagi, dia langsung lancarkan se-
rangannya. Kalaupun saat itu Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong menghadapinya,
sudah tentu mereka tak akan mampu
menandingi kesaktian sekaligus keganasan Dewa Lautan Timur.
Dan kedua orang yang mempunyai akal licik itu telah
tewas tanpa mengetahui siapa pembunuh mereka.
Dewa Lautan Timur perhatikan sekelilingnya. Lalu di-
bukanya kain putih pembungkus potongan pedang yang direbutnya dari Gadis
Kayangan. "Dua buah pohon! Aku harus melangkah ke kiri! Dan...
akan tiba di Pulau Hitam! Ha ha ha...."
Tawa kakek sesat ini menyentak malam, bertalu-talu
mengalahkan lolongan serigala.
"Di Sana, di Pulau Hitam, akan menjadi kuburanmu, Panembahan Agung!!"
Masih tertawa keras, Dewa Lautan Timur segera berke-
lebat meninggalkan tempat itu, sambil memasukkan kembali bungkusan kain putih ke
balik pakaiannya.
*** 7 Lalu bagaimana dengan nasib naas yang dialami secara
beruntun oleh Pendekar Slebor" Begitu tubuhnya terlontar ke dalam lembah, anak
muda urakan ini masih dapat pergunakan otak dan kecepatannya. Tangannya
menggapai apa saja yang dapat digapainya. Namun karena gelapnya lembah itu,
diiringi luncuran tubuhnya yang begitu cepat, sulit baginya untuk mendapatkan
apa yang bisa digapainya.
"Kutu monyet! Aku belum mau mampus!!" serunya geram. Sebisanya dia untuk
menggapai apa saja. Namun tak di-dapatnya apa yang diharapkan.
Dan secara mendadak dilepaskan lilitan kain bercorak
catur pada lehernya. Dengan tubuh yang terus meluncur, Andika segera
menggerakkan kain bercorak caturnya.
Plaakk! Sleebb!!
Kain bercorak catur itu menghajar sesuatu yang patah
dan terpental, menyusul masuk ke dalam dinding lembah.
Begitu kain bercorak catur itu masuk ke dinding lembah, dengan menjadikan kain
bercorak catur sebagai tuas dan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, Andika
memutar tubuh ke atas, ke arah dinding lembah. Karena dia yakin, pasti di
dinding lembah itu ditumbuhi pepohonan merambat.
Pan nasib naas nampaknya tidak lagi berpihak padanya.
Begitu dia memutar tubuh dengan kaki ke atas hingga
menabrak dinding lembah, dirasakan sesuatu menyentuh kedua kakinya. Tanpa
berpikir panjang lagi, dia langsung
menggerakkan kedua kakinya untuk mengepit apa yang dirasakannya.
Hanya dalam Waktu satu kejapan mata Andika mem-
biarkan kedua kakinya mengepit apa yang dirasakannya itu, sebelum menghempos
tubuhnya ke atas seraya menarik kain bercorak catur yang tadi sempat
menyelamatkan dirinya.
Kali ini lontaran tubuhnya agak meninggi. Tangan ki-
rinya menggapai asal saja dan didapatkan akar pohon me-
rambat di dinding lembah.
Dengan terus kerahkan ilmu peringan tubuhnya, anak
muda urakan yang hampir mati konyol ini, bergelantungan sambil memaki-maki.
"Monyet pitak! Bisa-bisa aku nggak pernah mencicipi nasi uduk lagi nih!"
Dasar urakan! Sudah mau ko'it begitu masih juga bersi-
kap konyol. Bergelantungan pada pohon merambat nampaknya tak
bisa dilakukan lebih lama lagi. Karena Andika yakin kalau pohon merambat itu tak
akan mampu menahan bobot tubuhnya lebih lama, kendati dia telah kerahkan ilmu
peringan tubuhnya.
Didongakkannya kepala. Dari dalam lembah, terlihat je-
las permukaan lembah yang kira-kira masih sejarak tujuh tombak.
"Busyet! Bagaimana caranya aku bisa keluar dari
tempat celaka ini" Sial betul nasibku! Baru saja selamat, sudah dibikin kayak
begini! Huh! Biar kujitak kepala orang-orang celaka yang membuatku jadi kayak
tarzan kemalaman begini!"
Diperkirakannya jarak di mana dia berada sekarang den-
gan permukaan lembah. Dikuatkan hati dan dibulatkan tekad.
Dengan perlahan-lahan Andika meraba-raba dengan per-
gunakan tangan kanannya, sementara kain bercorak catur telah disampirkan di bahu
kirinya. "Hmmm... pohon merambat ini nampaknya tumbuh ke
atas dan ke bawah. Dapatkah aku menitinya?"
Baru saja dia bertanya pada dirinya sendiri, mendadak
saja pohon merambat yang dipegangnya tercabut.
"Heeiii!!"
Kontan tubuhnya meluncur kembali ke bawah. Namun
sebelum meluncur terlalu jauh, Andika cepat menyentakkan kaki kanannya pada
dinding lembah. Dan dengan cepat pula, di saat hentakan kaki kanannya yang
membuat tubuhnya agak terlontar itu, dia menyentak tubuhnya, hingga terpental ke
atas. Dan.... Tap! Pohon merambat di bagian atas terpegang lagi.
"Bangun-bangun makan nasi sama ayam panggang!" desisnya dengan tubuh
berkeringat. "Bisa garing tubuh ku kalau terhempas dalam lembah yang tak
kuketahui berapa dalamnya ini! Aku harus... hei!!"
Memutus kata-katanya sendiri, Andika mendongak
kembali. Meyakinkan diri kalau pohon merambat itu terus
tumbuh hingga ke permukaan lembah.
"Pohon merambat ini jelas tak kuasa menahan bobot tu-buhku lebih lama. Tadi
secara tak sengaja aku berhasil ter-hindar dari kematian. Kalau begitu... akan
kucoba lagi."
Dengan hati-hati dan kerahkan ilmu peringan tubuhnya,
Andika menyentakkan kaki kanannya ke dinding lembah.
Tap! Begitu menyentak, dia langsung memutar tubuh ke atas
dan menangkap pohon merambat di bagian atas. Berhasil melakukannya, dia segera
melakukannya lagi, hingga akhirnya berhasil keluar dari dalam lembah.
Begitu tiba di atas, dijatuhkan tubuhnya di atas tanah
dengan napas megap-megap. Angin malam membelai dingin
wajahnya. Tapi dirasakan sangat sejuk ketimbang berada dalam lembah yang
berudara lembab. "Nasibku masih beruntung...," desisnya. Dua tarikan napas
kemudian, dia telah berdiri dengan sigap. Khawatir kalau orang yang tadi
mencela-kakannya masih berada di sekitar sana. Pandangannya dibuka lebih lebar
dan berhati-hati dia memutar tubuh tanpa bergeser dari tempatnya.
Begitu disadari tak ada siapa pun di sana, anak muda
slebor ini menarik napas lega.
"Kadal buntung! Kenapa sih begitu banyak orang yang menginginkan nyawaku"!"
sungutnya jengkel. Lalu dia me-nyambung, kali ini agak kege-eran, "Mungkin
mereka iri karena aku ganteng begini kali ya" Monyet buduk! Lebih baik
kuteruskan saja untuk mencari dua pohon yang menjadi patokan terakhir menuju ke
Pulau Hitam! Siapa tahu orang-orang yang mencelakakanku itu telah tiba di Pulau
Hitam! Hebat betul bila ternyata ada juga orang yang berhasil tiba di sana!"
Setelah perhatikan sekelilingnya sekali lagi, Pendekar
Slebor pun segera berlari. Sejarak sepuluh tombak dari tem-
pat semula, dihentikan larinya. Pandangannya tak berkedip melihat dua sosok
tubuh yang tergeletak tanpa nyawa. Untuk sejenak anak muda ini mengerutkan
keningnya. "Ki Pasu Suruan...," desisnya sambil menahan napas.
"Gila! Siapa yang bikin orang ini mampus" Dan... apakah perempuan berpakaian
hitam compang-camping itu yang ber-
nama Nyi Genggong" Bukankah Sangga Rantek mengatakan
kalau Ki Pasu Suruan bersama orang yang bernama Nyi
Genggong" Kura-kura bau! Siapa yang telah membunuh ke-
duanya secara kejam seperti ini?"
Pendekar Slebor terdiam sambil garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Pandangannya tak lepas dari kedua mayat di hadapannya.
"Menilik serangan yang datang padaku sebelumnya, tak pelak lagi kalau kedua
orang ini yang telah melakukannya!
Tapi, bagaimana ceritanya mereka bisa mampus" Dan nam-
paknya, si pembunuh bukan hanya memiliki kesaktian tinggi, tapi juga kekejaman
yang luar biasa! Huh! Bikin kepala jadi makin runyam saja!"
Kembali dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal se-
raya berkata, "Huh! Buat apa memikirkan kedua manusia celaka ini" Mereka mampus
toh tak ada ruginya!!"
Setelah pandangi sekali lagi mayat Ki Pasu Suruan dan
Nyi Genggong, Pendekar Slebor segera berkelebat untuk menemukan dua buah pohon
yang menjadi patokan menuju ke
Pulau Hitam. Setelah ditemukannya, kembali dia hentikan langkah.
Diingat-ingatnya apa yang harus dilakukan setelah me-
nemukan dua pohon besar ini. Memang, di sekitar sana yang nampak hanya padang
pasir. Sungguh aneh kelihatannya kalau ada dua buah pohon yang tumbuh di sana.
Dapat di- bayangkan bagaimana panasnya tempat ini bila siang hari.
"Hmmm... setelah menemukan kedua pohon ini, aku harus sedikit agak ke barat. Ya,
ke barat! Setelah itu... Pulau Hitam akan kutemukan! Huh! Semakin dekat dengan
tujuan, mengapa hatiku semakin tak menentu" Dapat kurasakan ka-
lau sesuatu yang sangat mengerikan akan terjadi di Pulau Hitam...."
Tak mau memikirkan lebih lama, anak muda urakan
yang baru saja selamat dari kematian, sudah berlari ke arah kiri.
*** Menjelang malam mengakhiri perjalanannya, Iblis Ram-
but Emas dan Sangga Rantek tiba di tempat itu. Mereka sangat terkejut melihat
mayat Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-
gong. "Gila! Siapa yang telah membunuh keduanya?" desis Iblis Rambut Emas sambil
memeriksa kedua mayat itu.
Pertanyaan itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Sangga Rantek
menjawab, "Tentunya... orang yang memiliki kesaktian tinggi."
"Apakah Pendekar Slebor?" "Tak mungkin!" sahut Sangga Rantek. Iblis Rambut Emas
berdiri kembali. "Mengapa tak mungkin?"
"Bukankah saat bertarung dengan kita dia sudah terluka parah" Dan sudah tentu
saat ini dia sudah mampus dibunuh Setan Cambuk Api?"
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor masih mampu mengalahkan Setan Cambuk
Api?" "Kemungkinan itu tipis! Dia sudah terluka parah! Tak mungkin dapat berbuat lebih
banyak!" Mendengar jawaban itu, Iblis Rambut Emas terdiam.
Otaknya berpikir keras.
Mendadak dia ajukan tanya, "Bagaimana bila ternyata di saat kita menghadapi
Setan Cambuk Api, Pendekar Slebor
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?"
Terkesiap Sangga Rantek mendengar pertanyaan orang.
Sesaat lelaki berpakaian serba hitam ini terdiam. Pandangannya nampak agak
menyipit. Menyusul dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ke-
mungkinan itu dapat terjadi! Jahanam sial! Sudah seharusnya kita bunuh Setan
Cambuk Api lalu membunuh Pendekar Slebor!"
Iblis Rambut Emas mendengus. "Jangan mendumal! Bu-
kankah kau sendiri yang mengajak untuk meninggalkan Setan Cambuk Api?"
Sangga Rantek menggeram dingin. Separo menyesali
tindakannya. Tetapi nampak lelaki berkuncir kuda ini menggeleng-
gelengkan kepala. Kemudian katanya, "Kemungkinan itu memang bisa terjadi! Tapi,
tak mungkin dia yang membunuh Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong!"
"Apa lagi yang ada di pikiranmu itu, hah"!" dengus Iblis Rambut Emas..
"Melihat kematian mengenaskan yang dialami Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong,
nampaknya dia tak banyak melakukan perlawanan! Dalam keadaan masih terluka,
taruhlah Pendekar Slebor memang telah berhasil menyembuhkan luka dalamnya, tak
mungkin dia berhasil membunuh Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong seperti ini!
Kuakui... kendati aku membenci dan ingin membunuh Pendekar Slebor, tetapi pemuda
itu bukanlah orang yang memiliki hati kejam!"
"Huh! Kau mulai memujinya!"
"Tutup mulutmu! Tak ada sedikit pun keinginanku untuk
memujinya! Tapi..."
"Kalau memang bukan dia yang membunuhnya, siapa
orang yang melakukannya?" putus Iblis Rambut Emas dengan pandangan melotot,
Sangga Rantek tak menjawab. Mulutnya nampak ber-
kemak-kemik namun tak keluarkan suara. Dari sinar matanya yang tajam, nampak dia
tak suka mendengar bentakan si perempuan berkerudung merah di hadapannya ini.
Sesaat tak ada yang keluarkan suara.
Dan kesunyian itu dipecahkan oleh kata-kata Sangga
Rantek, "Orang yang membunuhnya, sudah tentu memiliki kesaktian yang sangat
tinggi. Aku yakin, Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong tak diberi kesempatan untuk
melakukan perlawanan. Bila bukan Pendekar Slebor, bisa jadi Setan Cambuk Api.
Akan tetapi, menghadapi Setan Cambuk Api, keduanya masih dapat melawan. Mungkin
mengalahkannya. Be-
rarti...."
"Berarti apa"!" sengat Iblis Rambut Emas. "Kau ingat cerita Nyi Genggong pada Ki
Pasu Suruan waktu itu?" tanya Sangga Rantek tanpa pedulikan bentakan Iblis
Rambut Emas. "Tentang Dewa Lautan Timur?" "Ya! Kala itu kita men-guping pembicaraan Nyi
Genggong dengan Ki Pasu Suruan!
Kupikir satu-satunya orang yang dapat membunuh keduanya dengan mudah adalah Dewa
Lautan Timur!"
Mendengar jawaban orang, perempuan berambut emas
itu terdiam. Wajahnya menekuk dan terlihat kecemasan
membayangi wajahnya.
Sangga Rantek sendiri terdiam sebelum akhirnya berka-
ta, "Peduli setan siapa pun orang yang telah membunuh kedua manusia celaka ini!
Firasatku mengatakan, kita telah mendekati Pulau Hitam! Kita bergerak
sekarang!!"
Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah berkelebat
mendahului. Disusul Iblis Rambut Emas. Dan tanpa sepenge-tahuan satu sama lain,
masing-masing orang mencemaskan
kemungkinan munculnya Dewa Lautan Timur.
*** 8 Pulau Hitam. Sebuah tempat yang begitu sangat mengerikan. Pulau itu
cukup luas, dipenuhi dengan ranggasan semak belukar dan pepohonan. Namun yang
cukup aneh, karena tak ada pepohonan yang berwarna hijau seperti lazimnya. Semua
berwarna hitam. Bahkan hamparan langit pun begitu kelam. Tak ada sinar matahari
yang masuk. Di tempat mengerikan itu, hanya kegelapan yang agak samar-samar yang
nampak. Di kejauhan terdengar debur ombak, pertanda tak jauh dari Pulau Hitam
terdapat lautan yang cukup luas.
Keanehan itu dirasakan oleh Pendekar Slebor yang tiba
di sana. Untuk beberapa saat anak muda urakan ini terdiam dengan kening berkerut
memperhatikan sekelilingnya yang serba hitam.
"Gila! Udara di sini sangat menusuk sekali! Apa-apa yang nampak begitu
mengerikan! Aku yakin, saat ini hari telah memasuki siang! Tetapi apa yang


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak di sini, hanya samar-samar laksana malam!!" desisnya. Dan tanpa
disadarinya, hatinya terasa sedikit agak bergetar.
Hati-hati pemuda berambut gondrong acak-acakan ini
melangkah. Angin menghembus wajahnya, terasa sangat me-
nusuk. Seraya melangkah dia membatin, "Aku yakin... inilah Pulau Hitam... pulau
yang menyimpan segala misteri. Namun rahasia apa yang terdapat di pulau ini?"
Dengan penuh kesiagaan Pendekar Slebor terus melang-
kah dengan membuka kedua matanya lebih lebar, dan hati diliputi berbagai
pertanyaan. Mendadak saja anak muda ini hentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang, tatkala pendengarannya menangkap langkah suara orang.
Begitu dia putar tubuh, dilihatnya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas di
belakangnya. "Hmmm... mereka akhirnya tiba pula di pulau ini," desisnya dalam hati.
Sementara itu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
saling pandang dengan kening berkerut, begitu melihat pemuda yang dibencinya
berada sejarak delapan tombak dari tempat mereka berdiri.
"Ternyata apa yang kita duga itu benar, kalau pemuda celaka itu belum mampus!"
desis Sangga Rantek geram.
"Dia memiliki kecerdikan yang tinggi! Juga memiliki nyawa rangkap!" dengus Iblis
Rambut Emas. "Ketimbang akan jadi urusan, sebelum ada lagi orang yang datang ke sini, lebih
baik kita bunuh saja!!"
Usul Sangga Rantek langsung disetujui Iblis Rambut
Emas. Seketika masing-masing orang menerjang ke depan
dengan teriakan mengguntur.
Di depan, Pendekar Slebor sendiri mendengus dan ber-
siap untuk menerima labrakan kedua orang itu.
Namun sebelum dia lakukan satu tindakan, sebelum se-
rangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek mengenai sa-
sarannya, mendadak saja kedua orang itu terpelanting ke belakang.
"Aaaakhhhh!!" teriakan keras terdengar secara bersamaan.
Sementara Andika mengerutkan keningnya, tubuh kedua
orang itu terbanting keras di atas tanah.
"Aneh! Mengapa tahu-tahu mereka terbanting seperti itu" Tak kurasakan ada tenaga
yang telah menyerangnya! Oh, apakah ini termasuk salah satu rahasia yang ada di
Pulau Hitam?"
Belum lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan ini memecahkan apa yang baru saja terjadi, mendadak saja terdengar suara
menggema yang begitu agung, "Barang siapa yang menginjakkan kaki di Pulau Hitam,
dia harus berpikir jernih dan berhati suci! Pulau Hitam adalah pulau kera-mat!
Tak boleh dikotori oleh tangan-tangan penuh dosa! Bila kalian menerima semua
ini, rahasia akan terbuka!!"
Bukan hanya Pendekar Slebor yang terheran-heran men-
dengar suara menggema itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang telah
berdiri lagi dan merasakan ngilu pada dada mereka, pun harus mengerutkan kening.
Pandangan mereka segera diputar ke berbagai tempat.
Namun tak satu sosok tubuh pun yang berada di sana, kecuali mereka dan Pendekar
Slebor. Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang mengerutkan ke-
ningnya. Hatinya bertanya-tanya, "Suara itu begitu agung sekali. Apakah...
Panembahan Agung yang telah bicara" Bisa jadi orang yang bersuara itu yang
menahan serangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek kepadaku."
"Bila kalian dapat memenuhi semua itu, maka berjalan-lah kalian ke muka! Karena
sebentar lagi satu urusan pahit akan ada di hadapan kalian! Aku tak tahu siapa
yang dapat memecahkan urusan itu, karena dua anak manusia mau tak
mau akan bertarung sengit sampai salah seorang anak tewas!
Bila ada yang berhasil memecahkan rahasia di antara mereka, maka dialah orang
yang berhak mendapatkan apa yang menjadi rahasia di Pulau Hitam ini"!"
Kembali tak ada yang keluarkan suara. Sangga Rantek
berbisik setelah melirik geram pada Pendekar Slebor, "Apakah kau punya dugaan
siapa orang yang bicara itu?"
Perempuan berambut emas yang ditutupi kerudung me-
rah menggelengkan kepalanya.
"Sulit menebak siapa dia adanya. Bahkan suaranya seperti terdengar dari berbagai
penjuru." "Kau paham apa yang dikatakannya?" aju Sangga Rantek kembali.
Iblis Rambut Emas menggelengkan kepalanya. Tanpa
disadarinya, hati perempuan berjubah merah ini merasa tak menentu.
Sementara itu Pendekar Slebor membatin, "Aku masih tak mengerti sebenarnya.
Ternyata, setiba di Pulau Hitam ini, masih ada urusan, yang harus diselesaikan
sebelum mengetahui rahasia apa yang terpendam. Lalu siapa yang dimaksud-kan akan
melakukan satu pertarungan?"
Untuk beberapa lama pemuda yang memiliki sepasang
alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang ini terdiam, sebelum
kemudian dia mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Menilik kata-kata orang yang sulit kuketahui siapa dan di mana adanya, jelas
hanya dua orang yang akan bertarung.
Dan setahuku, Panembahan Agung serta Dewa Lautan Timur
akan berusaha untuk tiba di tempat ini. Jangan-jangan... kedua orang itulah yang
dimaksud orang yang bersuara tadi"
Tetapi, bagaimana mungkin bisa diketahui" Sementara aku sendiri belum melihat
kehadiran Panembahan Agung dan
Dewa Lautan Timur" Hanya saja, jelas kalau Dewa Lautan
Timur tak akan hadir dengan wujud aslinya! Kutu monyet!
Tentunya dia akan menyamar sebagai Panembahan Agung
dan membuat orang yang melihat, termasuk aku, akan kebingungan menentukan yang
mana yang asli dan yang mana
yang palsu! Monyet gundul!!"
Suara orang yang terdengar dari berbagai penjuru itu
menggema kembali, "Matahari semakin naik menuju puncak-nya! Tak lama lagi
pertarungan sengit tak dapat dihindarkan!
Bila ada yang berhasil memecahkan persoalan di antara kedua orang itu, maka dia
berhak mendapatkan rahasia yang terpendam di Pulau Hitam ini"!"
Di tempatnya, kembali Andika membatin, "Tak kulihat matahari dan tak kurasakan
sengatannya. Namun orang itu mengatakan hari sudah menuju siang. Hmmm...
dugaanku semakin kuat kalau Panembahan Agung dan Dewa Lautan
Timur-lah yang dimaksud orang itu! Lalu... oh! Mengapa se-pertinya semua serba
kebetulan" Bukankah aku orang yang berusaha memecahkan masalah di antara
Panembahan Agung
dan Dewa Lautan Timur" Karena, akulah yang pertama sekali bersama dengan Gadis
Kayangan, telah masuk pada persoalan dendam lama antara Dewa Lautan Timur dengan
Panem- bahan Agung" Aneh! Semuanya terasa serba kebetulan, tetapi aku yakin, semuanya
seperti memang telah diatur. Tetapi oleh siapa" Siapa yang bisa memikirkan masa
depan secara pasti"
Atau...." Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas kuat-kuat.
Tak lama kemudian, terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, ya... aku punya dugaan kuat siapa orang yang barusan bicara.... Sudah tentu
dia.... Tetapi, ini baru dugaan. Masih banyak yang harus kuyakini lebih dulu.
Kendati demikian, memang hanya seorang yang dapat mengetahui semua ini.
Mungkin dengan ilmu dan kesaktiannya, dia telah meramalkan kalau semua ini
terjadi. Semenjak puluhan tahun yang la-lu. Bila memang demikian, berarti...."
Kata batin Pendekar Slebor mendadak terputus. Karena
tiba-tiba saja terdengar angin berkesiur cukup keras. Tak ada
letupan yang terdengar, namun pasir hitam sejarak lima tombak di hadapannya
membuyar ke udara.
Mendadak saja telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian putih panjang dengan
sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Pancaran mata kakek yang memiliki
rambut, kumis, dan jenggot putih itu, begitu teduh sekali.
Bukan hanya Pendekar Slebor yang keluarkan suara,
"Panembahan Agung!" Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek pun berucap kata yang
sama. Orang tua yang mendadak muncul itu memang sosok
Panembahan Agung. Dan dia kembangkan senyumnya yang
begitu tenang pada ketiga orang yang berada di sana.
Tak seperti yang dialami Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek yang begitu melihat kemunculan si kakek mendadak menjadi membenci,
Pendekar Slebor justru merasakan hatinya agak bergetar keras.
"Oh! Salah seorang dari Panembahan Agung telah muncul di sini! Apakah kakek ini
adalah Panembahan Agung
yang asli" Atau justru Panembahan Agung yang palsu" Dan menilik kehadirannya,
jelas apa yang dimaksud orang yang bersuara tadi, memang pertarungan antara
Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur. Tapi, apakah...."
Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatkala kembali terdengar angin berkesiur
keras. Pasir yang muncrat akibat kesi-uran angin itu lebih tinggi dari yang
pertama. Seperti kedatangan si kakek, mendadak pula telah berdiri satu sosok tubuh dengan
kedua tangan bersedekap di depan dada. Sosok berpakaian putih panjang dengan
sulaman angin dan api berwarna biru dan merah. Sosok yang berwajah tenang
dihiasi rambut, kumis, dan jenggot memutih.
Sosok Panembahan Agung!
Kalau Pendekar Slebor yang telah mengetahui semua ini
hanya mendengus, lain halnya dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek.
Kedua manusia sesat itu melongo dengan kedua mata
terbuka lebih lebar. Bahkan saking kagetnya, tanpa sadar masing-masing orang
surut satu tindak ke belakang.
Lagi tanpa mereka sadari keduanya berucap kaget, "Panembahan Agung!"
Disusul suara Sangga Rantek, "Gila! Apa yang telah terjadi" Apakah Panembahan
Agung ternyata kembar"!"
*** Dua sosok Panembahan Agung telah berada di sana.
Masing-masing perlihatkan sikap yang tak jauh berbeda. Keduanya tersenyum bijak
dan bersikap tenang.
Andika yang merasa dirinyalah yang harus memecahkan
yang manakah Panembahan Agung yang sesungguhnya,
hanya garuk-garuk kepala.
"Kutu monyet! Dua orang Panembahan Agung telah tiba di sini" Dan nampaknya
pertarungan memang tak dapat dielakkan! Aku tetap berkeyakinan, kalau salah
seorang dari mereka adalah Dewa Lautan Timur yang menyamar" Tetapi,
yang mana orangnya?"
Untuk beberapa saat Pendekar Slebor memperhatikan
dua sosok Panembahan Agung yang bersikap tenang, bergantian.
Seraya maju satu langkah ke muka, anak muda ini berka-
ta, "Wah! Kuucapkan selamat atas keberhasilan kalian yang berhasil mendatangi
Pulau Hitam! Selamat, deh!"
Kedua Panembahan Agung itu tersenyum. Yang datang
pertama kali berkata, "Anak muda! Bukan hanya diriku yang telah tiba di sini,
tetapi kawan yang serupa denganku pun te-
lah tiba! Apa yang akan kau lakukan sekarang" Apakah kau akan menunjuk siapa
Panembahan Agung yang asli dan palsu" Atau, kau punya pikiran lain untuk
menentukan yang ma-na di antara kami Panembahan Agung yang asli"!"
Mendengar ucapan itu, Andika menggaruk-garuk lagi
kepalanya. Otaknya cukup runyam menghadapi masalah ini.
Diliriknya Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang nampak hanya berdiam diri
dengan pandangan tak berkedip. Kening masing-masing orang masih berkerut, tak
percaya dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Lalu Andika berkata, "Mana bisa aku langsung menunjuk yang mana di antara kalian
yang asli dan yang mana
orang celaka yang lakukan tindakan busuk seperti ini" Habis-nya, kalian satu
sama lain tak berbeda! Cuma saja... o ya, mana tanda yang telah kuberikan pada
kalian"!"
Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
yang masih keheranan, perlahan-lahan tahu apa yang telah terjadi. Ada dua orang
yang mengaku sebagai Panembahan
Agung. Dan Pendekar Slebor telah mengalami masalah rumit ini sebelumnya, hingga
memberikan tanda pada masing-masing orang.
Panembahan Agung yang datang belakangan berkata te-
nang, "Anak muda! Apakah kau pikir tanda yang kau berikan pada kami, dapat kau
jadikan sebagai petunjuk siapa yang asli dan siapa yang palsu?"
Andika menggelengkan kepalanya, agak ragu. Lalu ka-
tanya, "Sudah tentu tidak! Kan waktu itu kukatakan, aku cu-ma memastikan siapa
Panembahan Agung yang sebelumnya
bercakap-cakap denganku dan
Gadis Kayangan, lalu siapa yang tahu-tahu muncul di
ambang pintu!! Seingatku, yang pertama berbicara denganku, mendapatkan pecahan
genting bertuliskan huruf" 'PS' yang
putih. Sementara yang datang belakangan, mendapatkan yang agak menghitam! Ayo,
kalian serahkan kepadaku! Biar kepa-laku tidak jadi makin pusing!"
Panembahan Agung yang datang belakangan, mendadak
melempar sesuatu ke arah Andika. Gerakan yang dilakukannya ringan saja, namun
hasil lemparannya cukup menge-
jutkan. Bila saja Andika tidak kerahkan tenaga dalamnya, begitu pecahan genting
ditangkapnya, sudah pasti tubuhnya agak terjerembab ke belakang. "Brengsek!"
makinya kesal dalam hati. Segera dibuka telapak tangannya. Dilihatnya pecahan
genting bertuliskan huruf 'PS' berwarna putih.
"Anak muda... sekarang giliranku!" kata Panembahan Agung yang datang pertama.
Andika langsung mengangkat kepalanya. Dengan cara
yang sama, Panembahan Agung ini melemparkan potongan
genting itu. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, sigap Andika kembali menangkapnya.
Lalu segera dibuka telapak tangannya. Saat itu juga terdengar desisannya
terkejut, begitu melihat pecahan genting di telapak tangannya. "Oh!"
Pecahan genting itu, bertuliskan huruf 'PS' yang berwar-na putih pula!
*** 9 "Monyet pitak! Sudah tentu salah seorang dari mereka telah mengubah warna hitam
pada pecahan genting yang dimilikinya menjadi putih!" desisnya mangkel. "Kutu
busuk! Seingatku, Panembahan Agung yang tahu-tahu muncul di
ambang pintu, mendapatkan pecahan genting yang berwarna
agak kehitaman! Dan sudah tentu dialah orang yang telah mengubahnya menjadi
warna putih! Tetapi sekarang, yang
mana di antara keduanya yang telah lakukan hal semacam
ini" Kadal buntung! Sambel terasi! Badak bau!!"
Panembahan Agung yang datang pertama berkata lagi,
"Anak muda! Kulihat perubahan pada wajahmu" Apakah kau tak bisa menentukan
sekarang juga"!"
"Brengsek!" dengus Andika. Lalu seperti tukang obat, tangan kanan kirinya
mengangkat dua pecahan genting yang bertuliskan huruf 'PS' itu. "Ayo, siapa yang
nakal nih" Siapa yang telah mengubah warna pada salah satu pecahan genting
hingga menjadi serupa dengan yang lain"!"
Sudah tentu kedua Panembahan Agung itu tak ada yang
berucap. Namun wajah masing-masing orang sama sekali tak menampakkan kekagetan.
Malah tenang-tenang saja.
Melihat hal itu, Andika mendengus, "Kadal pitak! Masa sih tidak ada yang mau
bertanggung jawab"!"
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek,
hanya tetap memperhatikan. Kali ini mereka tak berkeinginan untuk membunuh
Pendekar Slebor. Pertama, karena mereka
telah berhasil tiba di Pulau Hitam. Kedua, mereka tertarik untuk mengetahui apa
yang telah terjadi sekarang. Ketiga, bila urusan dua Panembahan Agung selesai,
barulah mereka bertindak.
Tetapi sedikit banyaknya, mereka merasa kecut mengin-
gat kata-kata orang yang tak diketahui berada di mana. "Barang siapa yang
berhasil mengatasi pertarungan yang akan terjadi, maka dialah yang berhak
mendapatkan rahasia Pulau Hitam."


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua manusia ini yakin, kalau yang dimaksud adalah
pertarungan dua Panembahan Agung itu.
Selagi tak ada yang keluarkan suara, mendadak terden-
gar ucapan Panembahan Agung yang datang kedua, "Anak muda! Kesabaran orang ada
batasnya! Bila kau tak dapat membuktikan siapa di antara kami yang asli dan
palsu, nampaknya, pertarungan jelas tak dapat dihindari!!"
"Tunggu!" desis Andika, lalu membuang dua pecahan genting yang menurutnya saat
ini tak berguna sama sekali.
"Apalagi yang akan kau bicarakan?" tanya Panembahan Agung yang datang
belakangan, suaranya tetap bijak.
Andika yang tak tahu lagi harus berbuat apa, mengga-
ruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara dia terus berpikir untuk
memecahkan masalah di hadapannya.
"Memang sulit menentukan siapa di antara kalian yang asli dan palsu! Tapi...."
"Tak ada tapi lagi! Aku khawatir, orang yang menyamar sebagai diriku, telah
membuat onar, hingga namaku menjadi cemar!" putus Panembahan Agung yang bicara
tadi. "Aku paham soal itu! Tentunya, Panembahan Agung
yang datang lebih dulu darimu, pun berpikir demikian! Tetapi, sekali lagi
kukatakan, memang sulit untuk menentukan siapa di antara kalian yang asli dan
palsu! Hanya saja, aku minta kesempatan sebentar sebelum kalian kupersilakan
untuk bertarung habis-habisan!!"
Selesai kata-katanya, mendadak saja Pendekar Slebor
mencelat ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggang
Sangga Rantek. Lelaki berpakaian serba hitam yang masih terpaku pada
perhatiannya, terkejut, karena tak menyangka kalau Pendekar Slebor akan lakukan
tindakan seperti itu.
Dia mencoba menahannya dengan jotosan tangan ka-
nannya, namun tangan kiri Pendekar Slebor sudah menepaknya dan....
Wuuuttt!! Anak muda urakan ini telah kembali ke tempat semula.
Tetapi kali ini, di tangannya terdapat bungkusan kain hitam.
Sangga Rantek yang gusar bersiap untuk menerjang, te-
tapi ditahan oleh Iblis Rambut Emas.
"Tahan amarahmu! Biarkan dia! Toh, Pedang Buntung
itu sudah tidak digunakan! Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya! Siapa
tahu kita dapat memetik keuntungan dari sikap kita menahan amarah."
Kendati masih geram, Sangga Rantek hanya mengang-
guk-anggukkan kepalanya.
Di depan, Pendekar Slebor membuka bungkusan kain hi-
tam itu. Lalu dengan tangan kanannya, diangkatnya Pedang Buntung bagian hulu ke
atas. "Kita tahu bukan, kalau titik-titik gambar yang merupakan patokan pertama dan
kedua menuju ke Pulau Hitam terdapat pada Pedang Buntung ini! Nah! Barang siapa
yang berhasil menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya,
maka dialah Panembahan Agung yang asli!!"
Tetapi di antara kedua Panembahan Agung itu tak ada
yang melakukan seperti yang dimintanya.
"Monyet pitak! Semula kuharap aku berhasil menjebaknya dengan cara seperti ini!
Aku masih berkeyakinan kalau Dewa Lautan Timur-lah salah seorang dari Panembahan
Agung ini! Dan dia telah mendapatkan potongan pedang satunya lagi dart tangan
Gadis Kayangan! Bila ada salah seorang yang menunjukkan potongan pedang itu,
maka dialah yang palsu! Huh! Nasib Gadis Kayangan sendiri sampai saat ini masih
membingungkanku!"
Habis mendumal tak karuan dalam hatinya, Pendekar
Slebor membungkus lagi potongan pedang perak itu. Lalu
memasukkannya ke balik bajunya sendiri.
Lalu berkata, "Kalau tak ada yang bisa menyatukan Pe-
dang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya ya sudah!
Kalian bertarung deh!!"
Panembahan Agung yang datang pertama berkata bijak,
"Anak muda! Kecerdikanmu memang sungguh hebat! Tetapi, kau menghadapi orang yang
lebih cerdik!"
Andika cuma mengangguk-angguk. "Betul! Malah juga
licik!" "Lalu sekarang, kau tak mampu mengatakan siapakah
yang asli dan palsu?"
"Pada kenyataannya seperti itu! Ayo, deh! Kalian bertarung!!" kata Andika
seperti pasrah. Padahal anak muda ini tengah memikirkan sesuatu yang dapat
diraihnya dari pertarungan kedua Panembahan Agung itu.
Panembahan Agung yang kedua berkata bijak, "Anak
muda... bila memang tak ada lagi yang dapat kau lakukan untuk memecahkan masalah
di antara kami, mungkin dengan
cara bertarunglah kau akan dapat melihat siapa yang asli dan palsu!"
Andika yang sedang memikirkan sesuatu, mendadak
mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
Panembahan Agung ini tersenyum, "Aku yakin, kau
akan dapat memetik apa yang kau inginkan! Tetapi perlu kau ingat, lawanmu sangat
cerdik! Melebihi kecerdikanmu!"
Mendengar ucapan Panembahan Agung yang satu ini,
Andika terus mengerutkan keningnya. Pikirannya diperas berulang kali. Sampai
kemudian dia tertawa sendiri.
"Kau betul! Lawan yang kuhadapi ini memang sangat
cerdik! Melebihi kecerdikan Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong yang telah tewas!
Mungkin juga melebihi kecerdikan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Ah,
ternyata kecerdikan itu memang lebih penting ketimbang kesaktian! Tetapi
kupikir, kedua-duanya mengikat! Tak seperti Setan Cambuk
Api yang hanya memiliki kesaktian tetapi tak memiliki kecerdikan! Makanya,
dengan mudah dia dapat kubunuh! Yah...
semuanya terpaksa! Ayo deh, kalian bertarung!!"
Mendengar ucapan Pendekar Slebor, Iblis Rambut Emas
dan Sangga Rantek berpandangan.
"Gila! Rupanya Pendekar Slebor berhasil membunuh Setan Cambuk Api!" desis Iblis
Rambut Emas. "Ya! Padahal dia sudah hampir sekarat! Menilik keadaan itu, bisa jadi kita salah
menduga, kalau ternyata Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong memang dibunuh olehnya?"
desis Sangga Rantek dengan kening berkerut.
Iblis Rambut Emas tak menyahut, hanya nampak bibir-
nya bergetar. Sementara itu, Panembahan Agung yang kedua terdiam,
Panembahan Agung yang pertama membuka mulut, "Anak muda... siapakah orang yang
berjuluk Setan Cambuk Api?"
Andika mengangkat kedua bahunya. "Aku sendiri tidak tahu siapa perempuan tua itu
sebenarnya! Tetapi dia sangat ganas! Ya... terpaksa dia kubunuh daripada bikin
urusan bertambah banyak!"
"Tak seharusnya kau membunuhnya, Anak muda. Ba-
rangkali saja dia mau bertobat."
"Urusan bertobat itu bukan ditentukan olehku, Kek! Tetapi oleh dirinya sendiri!
Hanya kupikir... tak mungkin dia akan bertobat! Dosanya sudah melimpah ruah. Ya
terpaksa harus kubunuh...."
"Tak kusangka jalan pikiranmu begitu sempit, Anak
Muda." Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung yang
kedua yang tadi terdiam, bicara, "Kau terlalu telengas, Anak Muda. Tanganmu
terlalu ringan."
"Terpaksa! Apa kau tidak mendengar tadi kukatakan,
aku terpaksa melakukannya"!" desis Andika dengan mata melotot. "Huh! Masa sih
aku harus mengulanginya lagi"! Kek!
Apakah kau mengenal perempuan itu?"
Panembahan Agung yang kedua ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengenalnya!"
"Kalau kau tidak mengenalnya, ya sudah! Tidak usah dibikin pusing!"
Panembahan Agung yang kedua ini tersenyum seraya
berkata, "Memang malang nasib perempuan tua berpakaian batik kusam dengan
senjata cambuk berlidah tiga itu. Tetapi, mungkin sudah nasibnya yang harus
tewas di tanganmu! Sekarang, apakah kau tetap berusaha untuk memecahkan siapa
Panembahan Agung yang asli di antara kami?"
"Tidak, deh! Kalau kalian mau bertarung, ya silakan!"
sahut Andika sambil menggedikkan bahunya.
Panembahan Agung yang datang kedua memutar tubuh
menghadap Panembahan Agung yang datang pertama.
Lalu sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada,
Panembahan Agung ini berkata sopan, "Maafkan sikapku, Kawan! Terpaksa ini
kulakukan, karena kau telah berlaku buruk di hadapanku!"
Panembahan Agung yang datang pertama pun rang-
kapkan kedua tangannya pula.
"Kupikir, memang tak ada cara lain lagi. Padahal sesungguhnya, aku tak ingin
semua ini terjadi. Tetapi, mungkin ini telah digariskan."
"Kalau begitu... lebih baik kita mulai sekarang." Habis kata-katanya, Panembahan
Agung yang kedua ini melangkah agak menjauh dari sana. Langkahnya begitu ringan
sekali. Menyusul Panembahan Agung yang datang pertama ber-
jalan menjauh pula.
Lalu masing-masing orang berdiri sejarak lima tombak
satu sama lain. Keduanya masih saling memperhatikan dengan pandangan teduh.
"Aku tak menghendaki pertarungan ini sebenarnya," kata Panembahan Agung yang
kedua sambil menghela napas panjang.
"Begitu pula denganku," sahut Panembahan Agung yang datang pertama. "Tapi
nampaknya... semua ini memang sulit dihindari lagi...."
"Kau benar! Silakan mulai!" kata Panembahan Agung yang kedua sambil membuka
tangan kanannya sejajar dengan pinggang, sementara tangan kirinya memegang
bagian ping-gir kiri pakaiannya.
"Terima kasih!" sahut Panembahan Agung yang pertama. "Tetapi. aku ingin justru
kau yang memulainya."
Lalu nampak Panembahan Agung yang kedua mulai
membuka kedua tangannya. Kaki kirinya ditarik ke belakang.
Dengan kedudukan kuda-kuda seperti itu, jelas dia akan lakukan satu terjangan
yang tentunya sangat dahsyat.
Namun sebelum pertarungan itu terjadi, mendadak saja
Andika berteriak, "Tunggu!!"
*** 10 Panembahan Agung kedua yang siap lancarkan seran-
gan, palingkan kepala, "Ada apa lagi, Anak Muda?"
Andika nyengir seraya berkata, "Yah... memang aku terpaksa harus membunuh Setan
Cambuk Api. Tetapi, itu belum kulakukan, kok! Tentunya saat ini dia masih segar
bugar kalau memang ajal belum menjemputnya! Justru aku yang di-
buatnya hampir mampus!"
Orang-orang yang berada di sana terkejut mendengar
penjelasan pemuda berbaju hijau pupus itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
berpandangan tak mengerti.
"Apa maksudmu mengatakan kau telah membunuh Setan
Cambuk Api, Anak Muda?" tanya Panembahan Agung yang pertama.
"Cuma iseng saja, kok! Yah... kalian mengaku tidak mengenal Setan Cambuk Api.
Kan tidak apa-apa bila aku sedikit berbohong pada kalian. Cuma yang
mengherankanku...."
Andika mengarahkan pandangannya pada Panembahan
Agung yang kedua, lalu melanjutkan, "Mengapa bila kau mengaku tak mengenalnya
kau justru mengatakan ciri-ciri Setan Cambuk Api" Seorang perempuan, mengenakan
pakaian batik kusam dan bersenjatakan cambuk berlidah tiga" Mungkin kau lupa kali ya,
kalau kau mengenalnya lalu mengatakan tidak?"
Panembahan Agung yang kedua ini nampak terkejut. Te-
tapi di lain saat dia sudah tertawa.
"Ha ha ha... aku memang mulai pikun, hingga lupa kalau aku mengenal perempuan
tua itu." "Yah... kumaklumi deh! Tapi, mengapa kau tadi begitu yakin kalau aku dapat
memetik hasil yang memuaskan bila melihat kalian bertarung" Apakah kau berpikir,
aku akan melihat potongan pedang yang sebelumnya berada pada tangan Gadis
Kayangan ada pada dirimu bila kalian bertarung?"
Kalau tadi agak melengak wajah Panembahan Agung
yang kedua, kali ini nampak agak memias. Untuk beberapa lamanya dia tak
keluarkan suara. Andika mengangkat bahunya. "Setahuku, Setan Cambuk Api
diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk membunuhku. Dan tentunya, De-wa
Lautan Timur sangat mengenal siapa perempuan itu. Juga
kupikir, salah seorang Panembahan Agung yang palsu adalah orang yang berjuluk
Dewa Lautan Timur, mengingat dialah satu-satunya orang yang mengetahui tentang
perempuan bernama Laksmi Harum yang merupakan istri dari Panembahan
Agung. Juga, Panembahan Agung palsulah yang langsung
mengetahui keuntungan apa yang dapat kupetik dari pertarungan kalian berdua.
Yah... dengan berat hati, kukatakan, kalau engkaulah Panembahan Agung yang palsu
dan tak lain Dewa Lautan Timur!!"
Mundur satu tindak Panembahan Agung yang kedua
mendengar kata-kata Pendekar Slebor. Wajahnya yang me-
mias nampak mulai mengkelap.
Sementara itu, Panembahan Agung yang pertama diam-
diam tersenyum. "Cerdik. Dia sangat cerdik. Tak kusangka kalau dia bermaksud
menjebak dengan kata-katanya. Dan seperti dugaanku, memang Dewa Lautan Timur-lah
yang me- nyamar sebagai diriku, karena dialah yang tahu mengenai Laksmi Harum."
Dalam keheningan seperti itu, mendadak saja Panemba-
han Agung yang kedua menyentakkan pakaian yang dikena-
kannya. Breeettt! Nampaklah pakaian warna kuning di balik pakaian putih
panjangnya. Dengan kegeraman yang menjadi-jadi dia me-
nuding Pendekar Slebor, "Pemuda keparat! Kecerdikan mu memang luar biasa! Terus
terang, aku terkejut begitu melihatmu berada di sini! Karena kupikir, kau sudah
mampus terkena hajaranku!"
"Betul sih aku akan mampus! Tetapi bila tak ada kain bercorak catur ini! Tetapi
ya... orang baik-baik selalu panjang umur lho!!"
Mendengar ejekan Pendekar Slebor, Panembahan Agung
kedua yang memang Dewa Lautan Timur yang menyamar,
sudah kibaskan tangan kanannya ke arah Pendekar Slebor.
Wuussss!! Segera menghampar gelombang angin raksasa yang ke-
luarkan suara sangat mengerikan, menyeret pasir-pasir hitam dan menggebrak ke
arah Pendekar Slebor.
Namun sebelum labrakan angin itu mengenai sasaran-
nya, mendadak terdengar letupan yang sangat keras.
Blaaaammmm!! Punah gelombang angin yang dilepaskan Dewa Lautan
Timur, terhantam gelombang tenaga dari samping kiri.
Seketika kakek sesat ini palingkan kepalanya ke kanan.
Sepasang matanya seakan melompat keluar, disusul suaranya menggelegar keras,
"Panembahan Agung!! Kini tiba saatnya kau untuk mampus!!"
Orang yang tadi halangi serangan Dewa Lautan Timur
pada Pendekar Slebor cuma tersenyum.
"Dewa Lautan Timur... ternyata dendammu memang se-
luas dan sedalam lautan. Apakah tak pernah terpikirkan di benakmu, kalau kita
sudah sama-sama tua dan tak layak untuk saling simpan dendam dan
menumpahkannya?"
"Tutup mulutmu, Panembahan Agung!!" sentak Dewa Lautan Timur keras. "Dendamku
tak akan pernah padam sebelum melihatmu mampus!!"
"Dewa Lautan Timur... tidakkah kau masih terbayang akibat ulahmu puluhan tahun
lalu, hingga menewaskan
Laksmi Harum, perempuan yang sama-sama kita cintai?"


Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini semua gara-garamu! Bila kau tak menahan seluruh keinginanku, perempuan itu
masih hidup dan akan menjadi istriku!!"
"Kau terlalu dibutakan oleh cinta hingga urusan...."
"Tutup mulutmu!! Lebih baik kau mampus sekarang ju-
ga!!" Habis kata-katanya, dengan kemarahan tinggi, Dewa
Lautan Timur mendorong kedua tangannya. Wrrrr!!
Gelombang angin yang perdengarkan suara laksana om-
bak lautan mengamuk, menggebrak dahsyat.
Panembahan Agung sendiri tak mau bertindak lebih la-
ma. Segera dia balas mendorong kedua tangannya. Bongka-
han awan putih yang semakin lama semakin membesar dan
keluarkan suara menggemuruh tak kalah kerasnya, melesat cepat. Akibatnya....
Blaaaammmm!! Pulau Hitam seakan bergetar tatkala benturan keras ter-
jadi. Bukan hanya pasir-pasir hitam yang muncrat ke udara, tetapi juga tanah
terbongkar ke atas.
Tatkala semuanya sirap, nampak masing-masing orang
terhuyung lima tindak ke belakang dengan kedua tangan yang terasa sangat ngilu.
Pendekar Slebor yang telah kerahkan tenaga dalamnya,
pun harus terpental tiga langkah akibat kerasnya benturan itu.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
yang terpelanting di atas tanah, megap-megap dengan wajah pias.
"Celaka! Rasanya lebih baik kita meninggalkan tempat ini!" desis Iblis Rambut
Emas dengan wajah pias. "Apa maksudmu, hah"!" maki Sangga Rantek. "Jangan
berlaku bodoh! Kita bisa mati konyol di sini akibat pertarungan kedua orang itu! Lagi pula,
apakah kau lupa kalau orang yang bicara dan entah berada di mana tadi, hanya
akan mengatakan rahasia apa yang ada di Pulau Hitam ini pada orang yang
berhasil...."
"Aku tahu! Aku tahu!" putus Sangga Rantek. "Berarti, Pendekar Slebor-lah yang
akan mengetahui! Dengan kata
lain, kita tetap akan mempunyai kesempatan untuk mengeta-
huinya! Baik, kita tinggalkan tempat celaka ini dan terus memburu Pendekar
Slebor!!" Habis kata-katanya, tak mau buang waktu lagi, Sangga
Rantek sudah melesat meninggalkan tempat itu. Iblis Rambut Emas pun lakukan hal
yang sama. Di lain pihak, Dewa Lautan Timur yang merasakan ke-
dua tangannya ngilu, mendesis dingin. "Kau masih tetap tangguh, Panembahan
Agung! Tetapi, aku tak akan mundur
sebelum melihatmu terkapar"!!"
Panembahan Agung hanya menggeleng-gelengkan kepa-
la. "Aku sama sekali tak ingin menurunkan tangan! Tetapi bila memang itu yang
terjadi, rasanya...."
"Tak perlu banyak cakap lagi!!" bentak Dewa Lautan Timur sambil lancarkan
serangan kembali.
Pertarungan yang terjadi kemudian sungguh luar biasa
mengerikannya. Gelombang angin setiap kali melesat keluarkan suara menggidikkan.
Pulau Hitam bergetar berulang
kali. Pendekar Slebor sendiri harus terus kerahkan tenaga dalamnya untuk menjaga
keseimbangannya.
Hampir lima belas jurus pertarungan mengerikan itu ter-
jadi. Hingga kemudian, nampak masing-masing orang meng-
gebah ke depan dengan tenaga dalam tingkat tinggi.
Benturan keras tak dapat dielakkan kedua orang ini.
Blaammmm!! Bersamaan bertemunya dua pukulan sakti itu, masing-
masing orang terlempar deras ke belakang dan terpelanting keras.
Dewa Lautan Timur terjingkat dua kali setelah terban-
ting. Pada bantingan yang kedua terdengar suara 'krak'. Rupanya tulang punggung
lelaki tua sesat ini patah. Nampak kalau dia berusaha untuk mengatasi
kesakitannya. Menyusul dia
muntah darah. Darah kental menghitam membasahi pakaian-
nya. Satu bungkusan kain putih terlempar dari balik pakaiannya.
Di seberang, nampak Panembahan Agung yang begitu
terbanting, duduk bersila dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Nampak
sekali kalau tubuh lelaki tua bijaksa-na itu bergetar hebat. "Huaaakkk!!"
Dia pun muntah darah berulang kali dengan tubuh yang
semakin terasa lemah. Dan mendadak saja tubuhnya terjatuh di atas pasir hitam.
Andika yang melihat keadaan masing-masing orang,
menarik napas pendek. Lalu dengan sigap dia menyambar
bungkusan kain putih yang terlempar dari balik pakaian De-wa Lautan Timur. Hati-
hati dibukanya bungkusan itu.
"Tepat dugaanku. Dewa Lautan Timur bisa tiba di sini, tentunya dengan pergunakan
potongan pedang ini. Sungguh cerdik dia melakukannya. Hmm... aku harus menolong
keduanya...."
"Anak muda... kau tak perlu membantu mereka! Biar
aku yang melakukannya!!" mendadak saja terdengar suara orang yang entah berada
di mana itu. Belum lagi habis suara itu terdengar, mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian
jingga telah berdiri sejarak tiga langkah di hadapan Andika. Keterkejutan Andika
semakin men- jadi-jadi, begitu melihat sosok Gadis Kayangan berdiri di samping kanan orang
tua yang sangat tua itu.
"Gadis Kayangan!"
Gadis berkepang dua itu tersenyum. "Andika!"
"Kau... kau... selamat?"
Gadis Kayangan menganggukkan kepalanya. "Yah...
Eyang Mega Tantra yang menyelamatkanku...."
Andika menatap dulu pada orang tua di hadapannya se-
belum haturkan sembah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Eyang...," desisnya.
Orang tua yang di pergelangan kedua tangannya meling-
kar gelang-gelang baja itu tersenyum.
"Aku hanya kebetulan melihat gadis ini pingsan. Tetapi, kau begitu cerdik
sekali, Anak Muda."
Andika mengangkat kepalanya. Diam-diam dia memba-
tin, "Sudah kuduga, kalau orang tua inilah yang berbicara.
Sebelumnya, Panembahan Agung telah menceritakan tentang gurunya yang sekian
puluh tahun menghilang setelah menyerahkan dua potongan pedang perak yang satu
kepadanya dan yang satu lagi pada Pemimpin Agung. Dan setelah tiba di si-ni, aku
berpikir, kalau menghilangnya Eyang Mega Tantra adalah berdiam di Pulau Hitam.
Apakah kehadirannya merupakan rahasia Pulau Hitam" Atau masih ada lainnya?"
Lalu, apa yang sebenarnya dialami oleh Gadis Kayan-
gan" Setelah ditinggalkan oleh Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek, serta Ki Pasu
Suruan dan Nyi Genggong, Gadis
Kayangan yang pingsan, ditolong oleh seorang lelaki tua berpakaian jingga.
Dengan ilmunya, lelaki tua yang tak lain Eyang Mega
Tantra ini segera membawa Gadis Kayangan ke Pulau Hitam.
Begitu siuman dari pingsannya Gadis Kayangan terkejut bukan alang kepalang. Dia
hampir saja melarikan diri dari Pulau Hitam bila saja tak mendengar penjelasan
dari Eyang Mega Tantra, kalau dialah guru dari gurunya, si Pemimpin Agung.
Kendati merasa tenang di samping Eyang Mega Tantra,
Gadis Kayangan masih memikirkan pula tentang Pendekar
Slebor. Dan diam-diam, gadis yang telah jatuh cinta pada si Urakan itu, merasa
tak tenang sebelum mengetahui keadaan pemuda yang dicintainya.
Selama di Pulau Hitam, Gadis Kayangan memang tak
tahu apakah saat ini hari masih pagi, siang, sore ataukah malam. Karena tak ada
kelihatan kalau saat itu pagi, siang, sore atau malam.
Dan sekarang, begitu melihat pemuda yang dicintainya
berada di situ tanpa kurang suatu apa, hati Winarsih alias Gadis Kayangan bukan
main senangnya.
Sementara itu, Panembahan Agung menarik napas pan-
jang. "Sekian puluh tahun tak berjumpa dengan Guru, hari ini aku berjumpa kembali.
Guru nampak masih segar-bugar."
Dengan berusaha untuk bangkit, Panembahan Agung
berkata hormat, "Guru...."
"Tetaplah kau berbaring. Luka dalammu akan bertambah bila kau mencoba untuk
bangkit." Dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra meng-
hampiri Panembahan Agung. Perlahan-lahan tangan kanan-
nya bergerak ke atas, ke bawah dan ke samping kanan kiri.
Satu kejap kemudian, Panembahan Agung merasakan jalan
napasnya agak melonggar. Aliran darahnya yang tadi kacau, agak lancar sekarang.
Lalu dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra
mendekati Dewa Lautan Timur. Sambil tersenyum dia berka-ta, "Kau masih dibutakan
oleh dendammu.... Padahal bila kau sadari dan mau berpikir sedikit, dendam itu
sama sekali tak ada gunanya."
Sepasang mata Dewa Lautan Timur melotot gusar. Dia
hendak memaki, tapi yang keluar justru keluhan tertahan,
"Aaaakhhh...."
"Tulang punggungmu telah patah. Mungkin akan sulit untuk menyembuhkannya lagi."
"Peduli setan dengan ucapanmu!!" bentak Dewa Lautan Timur. Di tempatnya,
Pendekar Slebor mendengus, "Kadal
buntung! Sikapnya masih sok saja!!"
Eyang Mega Tantra tak pedulikan bentakan orang. Se-
perti yang dilakukannya pada Panembahan Agung, dia pun
menggerakkan tangan kanannya ke arah Dewa Lautan Timur.
Saat itu pula lelaki sadis ini merasakan napasnya me-
longgar dan tubuhnya lebih nyaman dari semula. Namun dasar tak tahu berterima
kasih, dia malah memaki-maki tak karuan.
Eyang Mega Tantra tersenyum.
Mendadak saja dia menggedikkan kaki kanannya di pa-
sir hitam. Menyusul lenyapnya tubuh Dewa Lautan Timur da-ri pandangan.
Pendekar Slebor melengak kaget, "Busyet! Ternyata di dunia ini, masih ada ilmu-
ilmu aneh yang menakjubkan"!"
Dari mulut Eyang Mega Tantra terdengar ucapan, "Mudah-mudahan... setelah nanti
dia siuman, dia akan sadar atas semua tindakannya." Lalu katanya pada Andika,
"Anak mu-da... bolehkah kuminta kedua potongan pedang itu?"
Andika segera menyerahkannya pada Eyang Mega Tan-
tra. Orang tua arif itu mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil memperhatikan dua potongan pedang di tangannya.
"Sebenarnya, dua potongan pedang ini adalah ciptaanku.
Semata kuberikan pada muridku, Purwacaraka atau yang kalian kenal sekarang
berjuluk Panembahan Agung dan Ronggo Sewu alias Pemimpin Agung. Sengaja ku
lakukan, untuk menguji kecerdikan mereka. Agar mereka memecahkan raha-
sia titik-titik gambar pada kedua potongan pedang ini. Mak-sudku, untuk
mencariku yang sengaja meninggalkan mereka.
Tapi nyatanya kedua potongan pedang ini justru menimbulkan masalah hebat, akulah
sebenarnya yang menjadi rahasia Pulau Hitam. Anak muda, kau sangat cerdik.
Tapi...." Mendadak Eyang Mega Tantra memukul potongan pe-
dang perak pada potongan yang berupa hulu.
Traaangg!! Blaaammm!! Kejap itu pula terdengar suara letupan yang sangat dah-
syat di kejauhan. Orang-orang yang berada di sana terkejut bukan alang kepalang.
Nampak gumpalan tanah mengepul di udara.
"Kedua potongan pedang ini, menyimpan satu kekuatan dahsyat yang dapat menyerang
lawan. Sekarang, kalian akan kuperlihatkan rahasia lain di Pulau Hitam ini."
Habis kata-katanya, Eyang Mega Tantra menancapkan
kedua potongan pedang perak itu ke pasir hitam di atasnya.
Mendadak terdengar suara letupan dari dalam tanah. Be-
rulang-ulang dan suaranya laksana terobosan air yang muncrat ke atas. Dan
mendadak saja, tanah sejarak delapan tombak dari tempat masing-masing orang,
meletup dan membu-
ka. Muncratan tanah itu untuk sesaat halangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampaklah sebuah lubang yang cukup besar. Sebelum
masing-masing orang menyadari ada apa di lubang itu, mendadak terlihat cahaya
putih yang bening.
Keterkejutan mereka bertambah, tatkala perlahan-lahan
terangkat naik sebuah rantai sebesar lengan orang dewasa yang bersinar indah.
Hanya tiga kejapan mata rantai yang bersinar terang indah itu mengambang, lalu
jatuh kembali ke dalam lubang. Anehnya, begitu rantai itu masuk, tanah yang tadi
terbuka, kini menutup kembali.
"Itulah rahasia yang ada di Pulau Hitam. Sebuah rantai sakti bernama Rantai Naga
Siluman." Andika yang tak tahan untuk tidak bertanya sudah mem-
buka mulut, "Eyang... mengapa kita tak mengambilnya?"
Eyang Mega Tantra tersenyum. "Masih ada teka-teki lain
yang harus kau pecahkan, Anak Muda. Mendekatlah. Kau
akan kuberitahukan teka-teki itu."
Perlahan-lahan Andika mendekati Eyang Mega Tantra.
Sejarak lima langkah dia berhenti. Saat itu pula telinganya mendengar ucapan-
ucapan Eyang Mega Tantra sementara
Panembahan Agung dan Gadis Kayangan tak mendengarnya
sama sekali. "Ingat," kata Eyang Mega Tantra kemudian. "Waktumu hanya satu kali bulan
purnama. Bila kau gagal memecahkan-nya, maka dunia persilatan akan kembali
dipenuhi dengan darah dan air mata."
Lalu dia berpaling pada Panembahan Agung, "Kembalilah kau ke Pesanggrahan Bayu
Api. Habisi hidupmu di sana."
Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki tua arif itu lenyap dari pandangan,
laksana ditelan bumi.
Gadis Kayangan langsung mendekati Pendekar Slebor
dan berkata, "Katakan apa yang kau ketahui tentang rahasia itu?"
Andika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Masih
menggeleng anak muda ini melangkah meninggalkan Pulau
Hitam. Gadis Kayangan merengut. Dia melirik Panembahan
Agung. Setelah dilihatnya Panembahan Agung tersenyum dan menganggukkan kepala,
disusulnya anak muda urakan itu.
Sementara itu, Panembahan Agung pun perlahan-lahan
bangkit. Angin berhembus dingin. Pulau Hitam tetap mencekam.
Dua potongan pedang tetap menancap di atas pasir hi-
tam, yang di saat angin berhembus, butiran-butiran pasir itu perlahan-lahan
mengubur dua potongan pedang perak....
SELESAI Segera menyusul:
RAHASIA SEBELAS JARI
E-Book by Abu keisel https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Hina Kelana 42 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pahlawan Dan Kaisar 8
^