Pencarian

Undangan Ratu Mesir 2

Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir Bagian 2


aliran sungai untuk pengairan. Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, kalau
negeri itu cuma dipenuhi gurun dan gurun semata.
Melalui sungai itu, kapal Cina ini terus menyusur menuju tebing barat Sungai
Nil. Tepatnya, di daerah 'Thebes'. Menurut si Gila Petualang yang lebih banyak mampu menerjemahkan makna gambar-gambar di papirus, mereka pasti ke sana.
Di sanalah mereka akan menemui piramida yang dituju.
Sepanjang aliran sungai, para awak kapal kerap menyaksikan binatang raksasa
penghuninya bermunculan.... Buaya dan kuda nil! Malah beberapa kali, lambung
kapal menumbuk tubuh para makhluk perkasa nan buas itu.
Pada beberapa tempat di tepian sungai yang disesaki tumbuhan liar seperti alang-
alang, segerombolan buaya yang berukuran lebih dari dua kali tubuh manusia,
sedang berjemur dengan mulut menganga.
Keelokan bentuk kuda nil yang menjadi penghuni khas Sungai Nil, menjadi pusat
perhatian segenap awak kapal. Sebagian dari mereka memang baru pertama kali
menyaksikan dengan mata kepala sendiri binatang itu. Kecuali, si Gila Petualang
tentunya! "Apa nama binatang besar bertampang tolol itu, Pak Tua?" tanya Andika pada si
Gila Petualang.
Didahului senyum lebar mendengar pertanyaan yang terdengar ketolol-tololan
Andika, si Gila Petualang berpaling ke wajah Pendekar Slebor.
"Yang kutahu, namanya Kuda Nil. Sesuai tempat hidup mereka, Sungai Nil...,"
sahut si Gila Petualang masih disertai senyum. "Kau bilang tampang mereka tolol
barusan?" Andika mengangguk.
"Kau jangan salah sangka. Di balik wajah dungu itu, mengalir darah dingin yang
tak kalah dibanding seekor buaya luka...," ungkap si Gila Petualang sungguh-
sungguh. Mendadak tawa Andika meledak. Keras, dan memekakkan. Sampai-sampai dua serdadu
Cina di sebelahnya terlonjak
"Kenapa?" tanya si Gila Petualang, heran.
"Aku hanya ingat Pendekar Dungu si tua tamu kita. Kau menjelaskan tentang
binatang itu, seolah-olah sedang membicarakan dirinya yang bebal, tapi bisa
berbahaya karena ketololannya," sambung Andika disertai tawa. Namun....
Dukh! Tawa Pendekar Slebor tidak memanjang ketika sesuatu menimpa kapal besar Cina
itu. Dari sisi lambung kiri kapal, sebentuk dorongan amat kuat membuat kapal
besar itu oleng kuat ke satu sisi.
Dukh! "Apa kita menabrak sesuatu"!" tanya Pendekar Slebor pada nakhoda.
Dukh! Dukh! Saat yang sama, kejadian seperti tadi terulang kembali. Lebih keras dan hebat!
"Kita tidak menabrak apa-apa. Justru kita yang ditabrak..., oleh sekawanan
binatang sungai!"
Nakhoda di atas geladak kemudinya memberi sahutan yang memaksa Andika dan si
Gila Petualang terperangah.
"Apa telingaku sudah diberaki cecak?" gumam Pendekar Slebor, tak percaya pada
apa yang didengarnya.
Berbarengan dengan gumamannya, anak muda itu mencelat lincah ke sisi seberang
kapal di mana tumbukan terjadi.
Saat itu juga mata Pendekar Slebor mendelik, menyaksikan permukaan sungai di
bawah sana mana-kala melengok. Ada sekitar lima puluh ekor Kuda Nil sedang
menghantami lambung kapal!
"Aku pasti sudah sinting!" rutuk Andika, menyumpahi diri sendiri!
Sungguh mati dia tak bisa mempercayainya.
"Ada apa, Anak Muda" Kau seperti melihat dedemit sungai?" tanya si Gila
Petualang, bergegas menghampiri.
"Aku rasa, aku memang melihat dedemit sungai yang iseng-iseng menyamar menjadi
binatang bertampang tolol itu!" gerutu Andika dengan mata tak berkedip,
menyaksikan hewan-hewan raksasa penghuni sungai itu menguak mulut bergantian,
lalu melempar suara berat berdegam menggetarkan. Setelah itu secara bersamaan
mereka mulai menanduki lambung kapal kembali.
"Sulit dipercaya!" desis si Gila Petualang. Saat orang tua itu tiba, Chin Liong
pun sudah sampai pula di sisinya.
"Jelaskan padaku, Orang Tua! Apakah binatang-binatang bertampang tolol itu
memang punya kebiasaan jelek seperti itu?" tanya Andika.
"Mereka memang suka mengganggu perahu. Tapi, tidak dengan cara serempak seperti
ini. Mereka seperti ada yang memerintah!" sahut si Gila Petualang, menjelaskan.
Mata Chin Liong menyergap wajah si Gila Petualang.
"Seperti elang-elangmu dulu?"
Si Gila Petualang membenarkan dengan isyarat kepala.
Dukh! Sekali lagi kapal layar menjadi oleng. Dorongan keras para makhluk air, telah
menyeretnya menuju tepi yang bertebing. Alamat buruk pasti akan terjadi bila
kapal melabrak tepian sungai itu. Bukan lagi kawanan binatang yang memecahkan
lambung kapal, melainkan gigir-gigir tebing!
"Tuan Panglima! Apa yang harus kami perbuat"!" teriak nakhoda kalang-kabut.
"Kapal ini bisa karam, kalau sampai menghantam gigir tepian sungai!"
"Kendalikan kemudi!" seru Chin Liong.
"Tak bisa! Binatang itu terlalu kuat mendorong kapal kita!"
Saat itu, semua orang menjadi tegang. Bagi orang seperti Pendekar Slebor, si
Gila Petualang, Chin Liong, atau Putri Ying Lien, keadaan itu tak terlalu
menyulitkan. Meskipun gigir sungai bertebing tinggi dan curam, mereka masih
dapat melenting-lenting di permukaannya menggunakan ilmu meringankan tubuh
masing-masing. Namun bagaimana dengan para awak kapal lain" Mereka belum tentu mampu
menundukkan tebing securam itu, dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh.
Sementara kalau mereka tidak melompat, kapal akan segera menabrak gigir sungai
dan segera pula karam. Kalau itu terjadi, maka akan menjadi santapan buaya-buaya
besar Sungai Nil!
Chin Liong seperti kehilangan akal. Sama sekali di benaknya tak terbetik cara
untuk memecahkan masalah yang mengancam jiwa awak kapalnya. Kekalutan anak
buahnya justru menambah kekacauan otaknya untuk berpikir jernih.
"Siapkan pasukan pemanah! Hujani binatang-binatang itu!" perintah Chin Liong,
tanpa dapat menemukan cara lain. Padahal tindakan yang diperintahkannya bisa
membuat makhluk-makhluk air liar itu malah bertambah liar.
Berbeda dengan Pendekar Slebor yang otaknya begitu terlatih untuk tetap berputar
dalam keadaan gawat. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan riuh rendah
kekalutan awak kapal.
Benak anak muda itu bergulat pikir sejenak. Se-mentara itu, mata elangnya
jelalatan tangkas kian kemari, meneliti cepat keadaan yang bisa dimanfaatkan
untuk mengatasi persoalan.
Di lain sisi, pasukan pemanah Kerajaan Cina sudah siap membentuk barisan di sisi
kiri kapal. Mereka mengunggu aba-aba dari Chin Liong, andaikata gerombolan Kuda
Nil mulai melabrak lambung kapal kembali.
Sampai akhirnya mata Pendekar Slebor menghujam di kejauhan, pada segerombolan
buaya besar yang sebelumnya sedang berjemur di tepian tumbuhan sejenis ilalang.
Dia pun mendapatkan sinar terang di benaknya. Sebuah akal yang jelas-jelas amat
konyol!" "Tunggu!" seru Andika pada pasukan pemanah. "Jangan sekalipun melepaskan anak
panah pada mereka! Mereka belum tentu mati dengan anak panah kalian yang terlalu
kecil untuk ukuran tubuh mereka! Bisa-bisa, mereka malah tambah sinting!"
"Lalu apa yang hendak kita perbuat"!" tanya Chin Liong berteriak dengan kening
berkerut. Bagaimana pemuda Cina ini tidak mulai kalut kalau kapal sudah demikian dekat
dengan gigir sungai. Padahal, dia amat bertanggung jawab pada keselamatan anak
buahnya. "Kau lihat saja nanti!" ujar Pendekar Slebor disertai sebaris senyum konyolnya
yang khas. Chin Liong dipaksa meringis melihat senyum itu. Bagaimana mungkin dia masih bisa
tersenyum, pada saat genting seperti ini"
Kalau yang lain sedang bertanya-tanya tentang tindakan yang hendak dilakukan
Andika, anak muda itu malah berlari kilat menuju pintu gudang anggur.
"Hey! Bukan saatnya bergurau lagi, Andika!" hardik Chin Liong.
Sayang, Pendekar Slebor sudah menghilang ke dalam mulut gudang.
Singkat waktu, Andika sudah keluar dengan menyeret tubuh seseorang: Pendeka
Dungu! "Lepaskan aku, Pemuda Sundal! Apa yang ingin kau lakukan padaku"
Hehhh...!" oceh Pendekar Dungu tak kentara.
Pengaruh anggur yang diminum Pendekar Dungu kelewat banyak, membuatnya dalam
keadaan setengah sadar.
"Kau benar-benar sinting, Andika! Aku tak paham, apa yang hendak kau lakukan"!"
cecar Chin Liong, tak menerima tingkah Pendekar Slebor yang dianggap aneh dan
tengik. Pendekar Slebor hanya menjentikkan tangan, lalu mengambil sepasang kayuh perahu.
Dipatahkannya gagang kedua benda itu, lalu patahan bagian kepalanya dijepitkan
ke dalam alas kakinya. Setelah itu, masih dengan mencengkeram leher baju
Pendekar Dungu, Andika melompat ke sungai!
Dengan kepala kayuh itulah, anak muda sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh
amat disegani semua kalangan, meluncur cepat di permukaan sungai! Secara
bergantian, sebelah kakinya digunakan untuk mengayuh. Sedang yang lain,
digunakan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Cepat seperti luncuran benda di permukaan salju, Pendekar Slebor menuju tepian
jauh di sana, tempat segerombolan buaya besar sedang berjemur. Sementara di
tangan kanannya, Pendekar Dungu megap-megap di permukaan air.
"Hoi..., Anak Sundal! Glep! Kau akan membunuhku yahhh, glep... glep!"
Setibanya di dekat gerombolan buaya, mulut Pendekar Slebor membuat suara-suara
riuh. Para buaya raksasa pun terpancing. Mereka mulai terjun sungai dengan mata
bersinar rakus.
Sesaat setelah semua binatang berdarah dingin itu masuk ke sungai, Andika mulai
memain-mainkan tubuh Pendekar Dungu di tangan kanannya. Diseret-seretnya tubuh
kurus orang tua berotak bebal itu ke kiri dan ke kanan pada permukaan air
sungai. Meski mabuk berat, Pendekar Dungu rupanya masih bisa mengenali makhluk-makhluk
yang meluncur deras ke arah mereka. Mata sayunya mendelik sebesar uang logam.
Bibirnya yang lebih kusut dari kain gombal, berkibar-kibar mencerocoskan makian
kalang-kabut. "Maaf, Orang Tua! Kami dalam bahaya. Dan aku butuh kerjasamamu!"
ucap Andika, tenang.
Kerjasama katanya" Ya, akalnya memang tengik. Andika sengaja hendak menggiring
kawanan buaya itu ke arah kanan Kuda Nil. Kalau kedua kawanan binatang itu
bertemu, sudah bisa dipastikan akan saling membunuh. Itu berarti ada kesempatan
bagi nakhoda kapal untuk mengendalikan arah kapal kembali. Dan sebagai umpan
untuk memancing kawanan buaya... ya, Pendekar Dungu! Malang nian nasib si tua
keropos itu....
Kawanan buaya cepat tiba di dekat Andika dan Pendekar Dungu. Begitu moncong
salah satu buaya mulai menganga besar tepat di depan tubuh Pendekar Dungu,
Andika segera menariknya menuju arah kapal kembali.
Sekarang, si Pendekar Slebor menuju kapal dengan bala bantuan di belakangnya!
"Hup!"
Pendekar Slebor melompat kembali ke atas kapal bersama Pendekar Dungu begitu
tiba. Sedangkan di bawah sana, terjadi pergulatan berdarah yang menakjubkan
antara segerombolan buaya besar dengan Kuda Nil perusuh! Akal tengiknya ternyata
berhasil! Sang nakhoda pun kini bisa mengendalikan kembali kapalnya, sampai bisa melewati
tepian sungai bergigir tajam.
"Terima kasih banyak, Orang Tua. Kalau tak ada kau, tentu banyak awak kapal yang
menjadi makanan siang para buaya...," seloroh Andika, pada Pendekar Dungu.
"Tai kucing kau!" bentak Pendekar Dungu sewot setengah modar.
Kapal armada Cina melaju terus. Tanpa diketahui para awaknya, seorang wanita
menatap di kejauhan dari atas perahu khas Mesir. Matanya menyiratkan sehimpun
kebengisan, mengikuti ekor kapal yang terus menjauh.
*** Pada akhirnya kapal Kerajaan Cina itu tiba juga di tempat yang dituju.
Untuk mencapai piramida yang dimaksudkan dalam papirus, mereka harus menyambung
perjalanan dengan berkuda sekitar tiga hari ke bentangan gurun wilayah barat.
Pada saat yang sama, seorang wanita cantik tampak berjalan menempuh padang pasir
di utara, menuju piramida tujuan rombongan Pendekar Slebor. Sulit dipercaya,
seorang wanita seperti dia sudi menerjang kegarangan gurun yang tak memberi
kesempatan manusia untuk hidup.
Jauh dari oase*, jauh pula dari perkampungan penduduk. Sementara, setiap saat
bisa saja lahir badai gurun yang menerjang dahsyat disertai angin berpasirnya.
Perempuan itu berpakaian tak lazim untuk orang Mesir. Sementara, wajahnya justru
menunjukkan kalau dia adalah penduduk asli negeri itu.
Matanya bulat berbulu lentik. Mengerling atau tidak, tetap akan tampak menggoda.
Hidungnya bangir menggemaskan, dipersolek bibir yang merekah menggiurkan. Tak
ada olesan sedikit pun di wajahnya. Tapi, itu pun sudah cukup membuat dirinya
mempesona, dengan rambut yang mencolok. Pakaian putihnya hanya terbuat dari
sejenis gaun bahan sutera yang diikat sabuk linen warna biru tua. Di atas pasir
gurun yang bisa mematangkan sebutir telur dalam waktu singkat, wanita itu
berjalan tanpa alas kaki! Kulit kakinya yang putih mulus tak sedikit pun tampak
melepuh. Di samping itu, ada hal yang tak lazim bagi perempuan cantik seperti
dia. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besar berpilin. Ujungnya berbentuk
kepala ular kobra dari bahan logam berwarna perak keemasan.
Perempuan itu bernama Nofret, anak seorang Pendeta 'Ka' yang menguasai sejumlah
sihir. Ayahnya telah mati lima belas tahun lalu.
Dengan kematian itu, Nofret mewarisi seluruh mantera-mantera sihirnya.
Nofret tergolong jarang sekali bicara. Dia akan berkata seperlunya.
Satu kata yang diucapkan, bisa berarti banyak.
Ayahnya adalah pemelihara piramida yang kini hendak didatanginya.
Sebelum mati, si ayah berpesan padanya bahwa pada bulan pertama musim panas hari
ke empat belas, tepatnya hari ini, akan datang para undangan dari berbagai
penjuru buana. Mereka datang untuk memenuhi undangan Sang Ratu, yang jasadnya
kini bersemayam di perut piramida.
"Undangan itu dibuat, ketika nyawa Sang Ratu beberapa saat lagi hendak dijemput
Dewa Osiris*" tutur ayahnya waktu itu.
Ketika itu, si Pendeta 'Ka' tua sedang sekarat. Nyawanya sudah tiba demikian
dekat. Sebab itu, dia memutuskan untuk segera
mewasiatkannya.
"Kau beruntung mendapat kesempatan ini, anakku. Undangan itu dibuat berabad-abad
yang lalu. Dan akhirnya wasiat itu jatuh ke tanganmu.
Tepat ketika hari penentuan undangan itu...," lanjutya tersengal.
"Untuk apa Sang Ratu mengirim undangan itu, Ayah?" tanya Nofret ingin tahu.
"Itu bukan urusanmu," sergah ayahnya setengah menghardik. "Jangan gegabah
menanyakan maksud Sang Ratu...."
"Maafkan aku, Ayah," sesal Nofret.
Setelah itu, ayah Nofret pun wafat. Tugas untuk melaksanakan segala wasiat
mengenai undangan Sang Ratu kini berada di atas bahu Nofret.
Biarpun, dia tidak menjadi seorang Pendeta 'Ka*.
Dan untuk maksud itulah, Nofret menuju makam raksasa Sang Ratu.
Dalam hal ini, dia berkewajiban menyambut para tamu, serta untuk mengantar tamu
masuk ke dalam piramida yang selama ini belum pernah sekali pun dimasukinya.
Ada apa di dalam sana" Hati Nofret tak kunjung padam membeberkan pertanyaan. Ya!
Ada apa di dalam sana" Apa maksud Sang Ratu mengundang tokoh-tokoh sakti dari
berbagai penjuru bumi"
Sambil tetap melangkah, Nofret terus bertanya-tanya. Jantungnya berdetak-detak
kuat. Terasa ada suatu alamat buruk yang bakal terjadi....
*** "Hey! Kutu congek kalian semua! Kenapa aku ditinggal begitu saja"!"
Pendekar Dungu tergopoh-gopoh menyusul rombongan Putri Ying Lien.
Berhari-hari si bangkotan bebal melakukan hal yang luar biasa. Tidur sepanjang
perjalanan menuju Mesir. Artinya, dia telah bermimpi indah selama berminggu-
minggu seperti bangkai. Andai saja air liur kentalnya terus mengalir, tentu
sudah sebanyak isi gentong anggur besar! Manusia satu itu memang aneh.
Tak begitu lama, Pendekar Dngu sudah berhasil mengejar iring-iringan kendaraan
kuda. Begitu sampai, langsung disemprotnya Pendekar Slebor habis-habisan.
"Bilang padaku! Kau mulai culas, ya" Em-em-em.., dasar anak muda kualat kau, ya"
Kau pemuda kualat apa bukan, sih?"
Bisa-bisanya Pendekar Dungu menyalahkan Andika atas kesalahan yang diperbuatnya
sendiri. Andika melirik jengkel, tak ingin meladeni kesintingan orang tua aneh itu.


Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kau bisa menyusul kami, Orang Tua?" alih Andika.
"Bisa menyusul kalian?" tanya Pendekar Dungu bodoh sekali. "Bagaimana bisa
menyusul kalian?"
Bola mata orang tua berotak udang itu berputar-putar. Sedang berpikir keras
rupanya. "O! Tentu saja kau bisa mengikuti kami. Kau melihat jejak kami, bukan?"
susul Andika. Dalam hati, Andika jadi geli sendiri. Tumben, si orang tua bebal ini bisa
memakai otaknya.
"Kalau tak salah, sewaktu aku terbangun, tahu-tahu saja kulihat kalian berjalan
di depanku...," sahut Pendekar Dungu setelah Andika cukup bisa menunggu
jawabannya. Ternyata, jawaban Pendekar Dungu nyatanya jauh dari perkiraan.
Andika kontan menepak kening keras-keras. Jadi, orang tua itu berjalan tanpa
sadar dalam keadaan tidur! Yang lebih gila lagi, dia menemukan rombongan hanya
kebetulan. Bukan karena otaknya yang mulai siuman dari ketololannya yang kelewat
batas itu! "Jadi sekarang hendak ke mana?" tanya Pendekar Dungu lagi.
"Apa kau belum tahu tujuan kami" Kupikir kau pun mendapat undangan dari Ratu
Mesir...," Andika mengeluarkan papirus dari balik pakaiannya.
"Seperti ini."
Tanpa perlu disodorkan lagi, tangan kurus berbungkus kulit keriput Pendekar
Dungu menyambar papirus itu. Hampir saja lembaran rapuh itu sobek.
Lama mata abu-abu si tua bebal itu memperhatikan papirus. Dibolak-baliknya
lembaran itu. Di balik..., lalu dibolak. Andika sendiri jadi pusing lihat
tingkahnya. "Kau pernah mendapatkan itu dari seekor burung gurun?" tanya Andika, mulai tak
sabar. Disebut-sebut soal burung, barulah Pendekar Dungu teringat. Memang, kalau
menyangkut 'burung' saja dia baru ingat....
"Eee, iya-iya-iya. Burung, ya" Pasti binatang jelek itu yang kau maksud.
Aku memang pernah melihatnya. Dan... hei! Dia melempar benda seperti ini pada
kami!" seru si tua berotak tumpul, sambil melambai-lambaikan papirus di udara.
"Kami?" Andika mengernyitkan dahi. "Kalau begitu, kau tidak sendiri waktu itu?"
"Sendiri" Siapa sendiri?"
"Kau...."
"Aku" O, iya!"
"Dengan siapa.?"
"Siapa" Siapa dengan siapa?" tanya Pendekar Dungu.
Makin lama bicara dengan Pendekar Dungu, makin ruwet saja otak Andika dibuatnya.
Jangan-jangan, bisa saja dia jadi bertukar dengan ketololannya.
"Waktu itu kau dengan siapa, Pak Tua"!" ulang Andika keras, agak jengkel.
"O, aku.... Iya! Tentu saja aku dengan si muka jeIek itu..."
"Iya, siapa"!"
"Mmm... nyem-nyem! Rasanya sih, si Hakim Tanpa Wajah...."
Pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan itu agak terperanjat juga mendengar
Hakim Tanpa Wajah disebutkan. Setahu dia, orang itu telah mati ketika terjadi
pertarungan besar melawan murid murtadnya di Pengadilan Perut Bumi (Baca
episode: Cermin Alam Gaib").
Berarti, urusan di negeri ini akan menjadi ruwet kalau Hakim Tanpa Wajah pun
memenuhi undangan Ratu Mesir!
"Jadi, manusia bejat berhati kentut itu masih hidup," bisik Andika.
"Ah! Aku tidak kentut, kok!" sergah Pendekar Dungu. Otaknya memang sudah turun
ke dengkul! *** 7 Piramida yang dituju Pendekar Slebor dan rombongan terlihat angker dari
kejauhan. Setelah menempuh perjalanan berkuda setengah hari, mereka akhirnya
tiba. Piramida Tonggak Osiris nama bangunan tua itu. Dari jarak lebih seribu tombak,
terlihat samar-samar awan mengurung puncaknya yang berbentuk runcing.
Mengagumkan bahwa maha karya manusia itu hanya tercipta dari susunan batu-batu
besar. Setiap mata yang baru pertama kali melihat pasti terpana. Mereka tak peduli lagi
pada tiupan angin keras yang menggangu penglihatannya, kecuali si Gila
Petualang. Biar begitu, tak urung juga dia memandangi tanpa berkedip. Seakan,
dia merasa tak pernah melihat sebelumnya.
"Kita telah tiba di Piramida Tonggak Osiris," seru si Gila Petualang.
"Mungkin saja seorang Pendeta 'Ka' telah menanti kita...."
"Tapi, Orang Tua," selak Chin Liong yang berkuda tepat di sisi Andika dan Putri
Ying Lien. "Apakah pendeta yang kau maksud lebih dari satu orang?"
"Apa maksudmu?" si Gila Petualang balik bertanya.
Chin Liong menunjuk jauh ke piramida sana. Matanya yang sipit, makin menyipit.
"Coba perhatikan baik-baik. Bukankah di kaki piramida itu ada beberapa orang
berdiri di sana?" ujar Chin Liong.
Si Gila Petualang mengikuti arah telunjuk Chin Liong. Benar! Dia melihat ada
beberapa orang di sana.
"Tampaknya kita telah kedahuluan. Kuduga, mereka juga undangan seperti kita,"
simpul pendekar yang selalu melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain
itu. Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya, tiba di dekat orang-orang yang telah
lebih dahulu tiba. Di sana, ada orang-orang berbeda penampilan dari negeri yang
berbeda pula. Jumlah mereka sebenarnya bisa dihitung dengan jari.
Dua orang di antaranya adalah Kenjiro dan Hiroto dari negeri Sakura.
Tapi di antara lima orang lainnya, si Hakim Tanpa Wajah tak terlihat.
"Apakah Hakim Tanpa Wajah tidak datang karena perjalanan yang begitu jauh
membelah samudera luas" Rasanya, tidak mungkin. Orang seperti dia pasti akan
memenuhi undangan Sang Ratu Mesir. Apalagi ini menyangkut nama besar para tokoh
ksatria dunia," kata Andika dalam hati.
"Selamat datang!" sambut Hiroto dalam bahasa Nipon tanpa senyum.
Di antara mereka, cuma Hiroto dan Kenjiro saja yang nampak ramah.
Keduanya membungkukkan badan memberi penghormatan. Kalaupun bibir Hiroto tampak
kering dari senyum, itu karena jiwa Samurainya.
"Senang berjumpa Anda!" balas si Gila Petualang dalam bahasa Jepang yang tak
kalah kental. Pengetahuan bahasa si Gila Petualang sempat membuat orang dalam rombongan Putri
Ying Lien menjadi kagum. Termasuk, Andika. Entah kalau Pendekar Dungu.
Petualangannya selama ini rupanya telah membekalkan banyak hal pada dirinya.
Beberapa bahasa dari beberapa negeri sudah dikuasainya cukup mahir. Di samping,
ilmu-ilmu obat-obatan, racun, ilmu bela diri, dan olah kanuragan.
"Arigato gozaimash*!" hatur Hiroto, berbareng Kenjiro saudara sepupunya.
"Apakah kau sudah bertemu seorang Pendekar 'Ka', Tuan?" tanya si Gila Petualang.
Dia agak heran, kenapa mereka masih menunggu di kaki piramida.
"Belum-belum!" jawab Hiroto tangkas.
Baru saja dibicarakan, Nofret selaku orang yang mengemban tugas ayahnya pun
datang dari kejauhan. Mula-mula, mata Pendekar Slebor yang menemukannya.
"Chin Liong! Apa aku tidak salah lihat" Apa ini cuma bayanganku karena panas
gurun?" bisik Andika pada Chin Liong.
Dengan ujung matanya, Andika menunjuk seorang gadis berpakaian putih yang
terlihat anggun di kejauhan. Rambut hitam legamnya menggelepar-gelepar diusik
angin. Dia seperti bidadari yang terdampar di keganasan gurun.
Tak beda dengan Andika, Chin Liong pun langsung terdiam direnggut keterpesonaan.
"Aku rasa kita berdua telah melihat khayalan...," desis Chin Liong.
Wajah Nofret benar-benar sebentuk keagungan, bagi mata Chin Liong.
"Kalian kenapa kasak-kusuk seperti itu" Apa yang sedang kalian bicarakan?" sela
Putri Ying Lien.
"Kau tak akan percaya bila kukatakan...," ucap Andika, terputus.
Matanya masih saja tak berkedip mengikuti gerak langkah gemulai Nofret.
Hembusan angin gurun mengusili belahan pakaian linen gadis menakjubkan itu.
Sekelebatan, tersingkaplah kehalusan kaki jenjang dengan kepadatannya. Kulit
paha Nofret yang sebening susu, memantulkan sinar gerak mentari menjadi lembut.
Chin Liong dan Andika makin terpana.
"Tak percaya apa?" tanya Putri Ying Lien bingung.
"Bayangan seorang bidadari...," sahut Chin Liong.
Tak tahu, apa maksud pemuda Cina ini mengucapkan itu. Dia tidak ingin bergurau.
Tapi entah kenapa, justru kata itu yang diucapkannya.
Bukankah bodoh sekali terdengar kalau dua orang melihat
'fatamorgana' yang sama"
"Kalian yakin, kalau tidak terkena demam akibat hawa gurun?" tukas Putri Ying
Lien agak khawatir.
"Tidak, Putri," sela si Gila Petualang.
Orang tua itu pun sudah menyaksikan kedatangan Nofret di kejauhan.
Hanya karena sudah tidak muda lagi, sehingga dia masih mampu menguasai diri
menyaksikan pancaran mempesona diri Nofret.
"Mereka hanya melihat pemandangan mempesona...," sambung si Gila Petualang.
Sementara Nofret makin dekat dengan gerak gemulai memukau. Kini, semua orang
yang berdiri di sekitar piramida telah memusatkan perhatian kepada dirinya.
Keanggunannya melangkah seakan menyihir mereka semua menjadi patung hidup.
Nofret kian dekat.
"Pak Tua! Bisa kau katakan pada wanita itu kalau aku, pendekar muda dari tanah
Jawa ingin berkenalan dengannya?" bisik Andika, pada si Gila Petualang.
Si Gila Petualang melirik.
"Kenapa bukan kau saja?" tanya orang tua itu seraya tersenyum lebar.
"Mana bisaaa.... Aku tidak tahu sama sekali bahasa Mesir!" kata Andika, memaksa.
"Lagi pula...."
Orang tua itu menunggu.
"Lagi pula, mana bisaaa aku menyapa perawan sejelita dia tanpa kata-kata
gagap...."
Setelah itu Andika meringis sendiri.
"Atas nama Yang Mulia Ratu di makam sana, aku ditugaskan untuk menyambut
kedatangan kalian...," ucap Nofret setiba di dekat para undangan.
Tatapan mata gadis itu amat tegas dan berwibawa. Ketampanan Andika yang sudah
seringkali membuat banyak gadis terpaksa terbengong pun, tak bisa mengusik
ketegaran sinar matanya.
Andika merasa diremehkan ketika mata lentik yang legam Nofret hanya sekilas
menatapnya. Bahkan beralih kepada yang lain.
"Sombong juga rupanya dia," nilai Andika dengan bibir sedikit mencibir.
"Sesungguhnya, apa maksud Ratumu mengundang kami ke tempat ini?"
tanya si Gila Petualang menyela sambutan Nofret.
"Aku tidak pernah tahu. Bahkan ayahku yang menjadi Pendeta 'Ka' pun, tak
mengetahui. Tugasku hanya mengantar kalian memasuki makam Ratu Yang Mulia. Bisa
jadi, kalian akan tahu segalanya di dalam sana...," jawab Nofret ringkas dan
padat. "Ya! Kenapa kita tak masuk saja ke dalam sana! Aku sendiri sudah tak sabar
menyaksikan harta peninggalan Sang Ratu yang pasti begitu berlimpah dalam sana!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara seseorang yang mengguntur. Tidak sulit
menentukan asal suara di tempat yang begitu terbuka. Asalnya, dari puncak
piramida. Semua mata serentak mengarahkan mata ke sana. Mereka pun bisa melihat seorang
laki-laki tua buruk rupa. Jenggot dan rambutnya amat panjang. Dialah si Hakim
Tanpa Wajah yang sedang duduk santai tepat di pucuk bangunan raksasa ini.
Berbeda dengan mata yang lain, mata Nofret tampak berkilat-kilat gusar
menyaksikan ulah Hakim Tanpa Wajah. Pipi halusnya berubah warna. Meskipun air
mukanya masih tetap mantap.
"Kuharap kau mau turun dari sana, Orang Tua!" ujar Nofret memperingatkan dengan
suara halus, tapi menghunus. Terlebih tatapan matanya.
Hakim Tanpa Wajah malah cengengesan.
"He he he hek.... Apa katanya" Bukannya aku tuli, Nona. Aku hanya tak mengerti
kata-kata yang kau ucapkan!"
"Dia minta kau turun dari sana, Hakim Tanpa Wajah!" jelas si Gila Petualang,
mencoba membantu menyampaikan permintaan Nofret barusan.
"Dia minta aku turun?"
Mata cekung dan besar milik Hakim Tanpa Wajah terbelalak seraya melalap bentuk
tubuh yang menggiurkan milik Nofret.
"Kalau aku sudah turun, apa yang diinginkannya dariku?" sambung Hakim Tanpa
Wajah, bernada cabul.
"Kalau kau tak segera turun...."
Ucapan Nofret terputus, terhalang kegusaran yang menanjak cepat.
Kalimatnya diucapkan dalam bahasa Melayu yang terpatah-patah. Semua yang ada di
sana, termasuk si Gila Petualang, tak pernah menduga kalau Nofret cukup
menguasai bahasa Melayu.
Memang, semenjak meninggalkan sang ayah lima belas tahun yang lalu, Nofret
merasa perlu mempelajari beberapa bahasa, sehubungan tugasnya untuk menyambut
beberapa tokoh persilatan dari berbagai belahan bumi yang diundang ke Piramida
Tonggak Osiris. Bahasa Melayu adalah salah satu di antaranya.
"Kalau aku tak segera turun, kenapa?" tantang Hakim Tanpa Wajah, kian
keterlaluan. "Kenapa kau tak menuruti saja permintaan Nona ini, Kakek Jelek!"
hardik Andika. Hatinya ikut mengkelap menelan sikap memuakkan tokoh tua yang
pernah berurusan dengannya.
"Pendekar Slebor.... Anak muda yang sok dan merasa telah begitu hebat. Jangan
mencoba mengambil hati perempuan cantik ini...," kata Hakim Tanpa Wajah, malah
mencemooh. Andika mendengus.
"Kalau kau memang tak bisa bersikap selaku tamu yang baik, maka aku sudi
memberimu pelajaran. Biar kau bisa tahu sedikit tatakrama!"
bentak Pendekar Slebor.
Di atas sana, Hakim Tanpa Wajah lagi-lagi memperdengarkan kekehnya.
"Apa yang mau kau perbuat, heh"!" tantang Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
Tantangan ini benar-benar membuat semua undangan yang hadir di sana menjadi
bertambah muak. Bagaimana mereka tidak muak" Tingkah Hakim Tanpa Wajah justru
membuang-buang waktu mereka untuk segera memasuki piramida. Padahal, rasa
penasaran mereka sudah demikian menggebu-gebu.
Diawali gemerutuk giginya, Pendekar Slebor hendak menegaskan ancamannya. Namun,
baru saja kalimatnya hendak terlepas....
Wussshhh! Mendadak angin rasaksa berkejaran cepat menerjangkan pasir gurun yang panas.
Orang-orang yang ada di sana bahkan nyaris terseret, karena tidak menduga akan
ada tiupan sekencang itu. Akibat paling parah dialami Hakim Tanpa Wajah. Pucuk
piramida tempatnya hinggap, sepertinya menjadi sasaran utama tiupan angin
kencang itu. Tubuh kerempengnya tersentak. Hampir saja dia tergelincir, kalau
saja kesigapannya yang begitu terlatih sebagi tokoh dedengkot tidak menolongnya.
Menurut pengamatan si Gila Petualang yang sudah cukup mengenal keadaan gurun di
Mesir, angin seperti itu terhitung ganjil. Terjangan badai gurun memang memiliki
kekuatan seperti itu. Tapi, yang terjadi barusan bukanlah badai gurun. Sepanjang
pengalamannya, dia tak pernah melihat badai gurun terjadi dalam waktu yang
begitu singkat.
Seolah-olah, ada raksasa kasap mata yang terbatuk mendadak.
Belum lagi keterkejutan mereka tuntas, kejadian lain yang tak kalah mengherankan
terjadi. Sekitar empat depa dari sekeliling pucuk piramida, bermunculan begitu
saja ribuan ular berbisa!
Semua mata tak sedikit pun menyaksikan gerombolah besar ular itu keluar dari
celah-celah batu piramida. Seperti juga angin yang mengawalinya, ular-ular itu
pun muncul mendadak tanpa diketahui!
Binatang-binatang bersisik menjijikkan itu merayap di dinding curam piramida
tanpa terjatuh. Arah utamanya adalah tempat hinggap Hakim Tanpa Wajah. Mereka
mendesis-desis ramai. Semuanya menegakkan kepala, menuju sasaran dengan lidah
yang menjulur-julur. Sepertinya, mereka merayap tanpa kesulitan. Lebih mantap
daripada rayapan seekor cecak sekali pun.
Demi menyaksikan semua makhluk mengancam itu, mata cekung dan besar Hakim Tanpa
Wajah jadi bertambah besar. Kalau saja alis panjangnya tak menghalangi, tentu
wajahnya akan terlihat lebih memuakkan.
"Sihir! Ini sihir!" teriak Hakim Tanpa Wajah kelimpungan.
Kaki kurus Hakim Tanpa Wajah yang selangsing batang pohon singkong dan sekeriput
gombal bau terangkat-angkat di atas pantatnya. Bibirnya yang diramaikan kerut-
merut menjadi berkibar-kibar, karena terlalu kencang berteriak.
Tingkah serabutan Hakim Tanpa Wajah sesungguhnya bisa membuat siapa pun yang
melihatnya menjadi terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Sayang, daya pesona
gerombolan ular melata di dekatnya lebih kuat. Para undangan di bawah piramida
hanya bisa membisu dengan kelopak mata tak berkedip, menyaksikan kerepotan Hakim


Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa Wajah. Keanehan lain segera menyusul, begitu Hakim Tanpa Wajah cepat-cepat melompat
dari pucuk piramida. Gerombolan makhluk berbisa yang hampir tiba, mendadak
hilang begitu saja. Tak ada yang tahu, ke mana perginya.
"Sudah kubilang itu sihir! Aku tahu itu memang sihir!" semprot Hakim Tanpa Wajah
tak tahu pada siapa, setibanya di bawah. "Tak mungkin ular sebanyak itu
menghilang begitu saja!"
"Kalau tahu sihir, kenapa harus minggat dari tempatmu tadi?" ledek Pendekar
Slebor. "Kau tahu, ular-ular itu bukan sungguhan, bukan?"
Hakim Tanpa Wajah mendongak kesal pada anak muda itu. Benar juga kata pemuda
ini.Kalau dia tahu itu cuma permainan sihir, kenapa merasa harus minggat"
"Apakah kau sudah sadar, kalau sekarang kau ternyata bodoh?" tambah Pendekar
Slebor lagi. "Ya! Aku di sini!" sahut Pendekar Dungu bersemangat, seraya mengacungkan jari
tinggi-tinggi. Salah alamat dia....
*** 8 "Semua itu pasti perbuatanmu, Anak Perawan!" tuding Hakim Tanpa Wajah
beringasan. Ditujukannya tuduhan itu pada Nofret. "Kalau begitu, kau harus
kuadili! Kau mesti menerima hukumanku!"
Nofret tampak hanya melirik lelaki tua bertampang buruk itu dengan tatapan
dingin. Kelopak matanya yang menawan agak menyipit, menerima semua tuduhan yang
dilimpahkan Hakim Tanpa Wajah. Meski memiliki sihir, Nofret sendiri heran atas
kejadian tadi. Jelas-jelas, dia tak merasa telah melepaskan kekuatan sihirnya
pada Hakim Tanpa Wajah.
Kalau bukan dia lalu siapa"
"Jangan merasa tidak melakukan kesalahan, Anak Perawan! Kau siap menjalani
pengadilanku!" bentak Hakim Tanpa Wajah kembali sontak.
"Sudah! Tutup saja bacotmu yang rata itu, Orang Tua Jelek! Aku sudah muak
melihat sikapmu yang sok menghakimi!" terabas Pendekar Slebor.
Sejak berurusan pertama kali dengan tokoh dedengkot aliran sesat itu, Andika
sudah demikian benci. Banyak tokoh aliran putih yang punya nama harum harus mati
di tangannya, hanya karena tingkah sinting orang tua itu.
Sewaktu terjadi keributan besar di Pengadilan Perut Bumi antara Hakim Tanpa
Wajah melawan muridnya sendiri yang berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi, Andika
menyangka lelaki bangkotan itu sudah terlempar ke dasar neraka. Nyatanya, tidak.
Karena tanpa diduga hari ini, dia harus menelan kembali semua sifat tengik Hakim
Tanpa Wajah. Tapi sebenarnya justru bukan itu yang membuat pemuda sakti dari tanah Jawa ini
merasa perlu mencampuri suasana panas yang terbangun antara Hakim Tanpa Wajah
dengan Nofret. Kalau mau sedikit jujur, tentu Andika akan mengakui kalau
sebenarnya hanya ingin mendapat perhatian dari Nofret, wanita bak bidadari yang
membuat dadanya berdebur-debur kencang.
Dasar hidung belang!
"Kau pun akan turut kuadili, karena telah lancang mencampuri urusanku dengan
perawan ini!" sergah Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
"Selalu itu saja yang kau tudingkan padaku! Masih saja kau merasa menjadi Hakim
dari segala Hakim"!" dengus Andika. "Di mataku, kau tak lebih dari orang sinting
yang gila kuasa! Atau monyet tak punya otak yang merasa paling berhak mengatur
manusia." '
"Kau benar-benar anak sundal yang mesti kuhukum gantung!" geram Hakim Tanpa
Wajah. Tak biasanya Hakim Tanpa Wajah memperlihatkan kemarahan besar.
Mungkin karena baru dipermalukan di depan hidung tokoh-tokoh dunia manakala
serabutan menghindari dari serbuan gerombolan ular.
"Kau mau melakukannya"! Ayo, tunggu apa lagi"!" tantang Pendekar Slebor.
Pertikaian besar menyangkut adu kesaktian tingkat tinggi antara dua tokoh
berbeda usia sekaligus berbeda jalan itu tampaknya tidak bisa dihindari lagi.
Namun, mendadak saja sesuatu yang ganjil terjadi.
Dari beberapa tempat di sekeliling Hakim Tanpa Wajah berdiri, mendadak pasir
tersibak layaknya kembang api bertaburan. Bahkan diikuti pula dengan suara-suara
nyaring yang meletak-letak, seolah ada berpuluh benda yang dimasukkan dalam
kuali berisi minyak mendidih.
Kalau Pendekar Slebor saja dibuat terperanjat, apalagi Hakim Tanpa Wajah. Selaku
tokoh dedengkot dunia persilatan yang sudah kenyang makan asam garam, tubuhnya
langsung berkelit siaga, setiap kali pasir panas di sekitarnya meletak. Walaupun
hingga sejauh itu, hanya belum mengancamnya.
"Apa lagi ini"!" rutuk hati si tua berwajah buruk itu, gusar. "Kenapa selalu aku
yang menjadi sasaran setiap kejadian ganjil di sini"!"
Belum lagi tuntas bunyi bising letupan-letupan tadi, permukaan pasir tempat
Hakim Tanpa Wajah berdiri tiba-tiba melesak cepat. Saat itu juga jutaan kati
pasir begitu saja tersedot ke dasar bumi.
Tanpa dapat dicegah, tubuh kerempeng Hakim Tanpa Wajah tersedot ke bawah. Dia
kelimpungan bukan main. Lebih kelimpungan daripada saat diserbu gerombolan ular
aneh. Segenap kemampuan, Hakim Tanpa Wajah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk menyelamatkan diri dari sedotan pasir longsor
tersebut. Namun, ternyata kehandalan ilmu meringankan tubuhnya yang sanggup
melenting di atas selembar daun, belum cukup menolong. Karena dengan tiba-tiba,
tumpukan pasir di sekelilingnya menyergap sepasang kaki kurus Hakim Tanpa Wajah.
Bahkan menghimpitnya sekuat himpitan dua gunung karang kokoh.
Hakim Tanpa Wajah harus bertindak sesegera mungkin, kalau tubuhnya tak ingin
terus tertelan longsoran pasir yang membentuk lubang bergaris lingkar besar itu.
Timbunan pasir di bagian kakinya harus dihantam dengan pukulan tingkat tinggi.
Barangkali dengan begitu, cengkeraman pada kakinya bisa diatasi.
"Heaaakh!"
Seiring teriakan serak melengking, Hakim Tanpa Wajah merangsakkan serangkum
tenaga dalam andalannya. Tenaga Sakti Pembelah Bumi! Satu ilmu pukulan amat
dahsyat yang sempat hilang puluhan tahun, bersama menghilangnya Hakim Tanpa
Wajah. Dengan kemunculannya belakangan ini, maka pukulan yang menjadi ciri
khasnya pun turut muncul kembali.
Keistimewaannya, sanggup memaksa batu karang sekeras apa pun lebur menjadi
bubuk! Saat dikerahkan, bumi bagai digoncang oleh naga raksasa di perut bumi....
Jassshhh! Timbunan pasir yang terus menghimpit sepasang kaki Hakim Tanpa Wajah menjadi
sasaran ilmu pukulan. Sebentar saja, bagian itu berhamburan ke mana-mana. Butir-
butir pasir halus menjadi semakin halus, hingga sanggup diterbangkan angin
lembut sekalipun.
Dengan perhitungan matang, Hakim Tanpa Wajah merencanakan untuk mengerahkan
kembali ilmu meringankan tubuhnya pada saat itu. Sayang, rencana hanya tinggal
rencana. Belum sempat tubuhnya digenjot, serbuan beribu kati pasir yang lain
lebih cepat menelan sebagian tubuhnya, hingga sebatas pinggang. Maka keadaan
Hakim Tanpa Wajah makin genting!
Cepat sekali sedotan pasir dari dasar bumi ini menelan sebagian demi sebagian
tubuh lelaki tua itu. Tak ada tiga kedipan mata, pasir sudah menelannya hingga
sebatas leher. Sementara tokoh tua nan angkuh kini tak bisa lagi berbuat apa-
apa. Jangankan untuk mengerahkan kesaktiannya. Untuk mengemikkan jarinya saja
tak mampu. Sementara himpitan yang teramat menyesakkan juga terasa memanggang
sekujur kulit tubuhnya. Sehingga memaksa pita suara Hakim Tanpa Wajah melempar
teriakan menggidikkan.
"Huaaah!"
Andika masih terdiam. Kejap berikutnya dia menyumpahi diri sendiri, karena hanya
terpaku seperti orang kehilangan akal. Bukankah saat itu ada seseorang yang
membutuhkan uluran tangannya" Ya! Andika amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah.
Tokoh tua sesat berhati keji dan haus darah. Mungkin memang lebih baik dia mati,
daripada harus menyumpakkan bumi ini dengan tabiat iblisnya.
Tapi biar bagaimanapun, Andika tak bisa berdiam diri. Saat itu, Hakim Tanpa
Wajah berada dalam keadaan lemah. Dia bukan lagi pihak yang harus dimusuhi,
melainkan pihak yang mesti ditolong.
Maka dengan cepat, Pendekar Slebor memutuskan untuk menolong Hakim Tanpa Wajah.
Dengan kelincahan yang lebih indah dan gesit daripada gerak seekor walet, tubuh
pemuda sakti itu melenting ke pasir berlubang yang hanya memunculkan wajah pucat
pasi milik Hakim Tanpa Wajah.
Di atas pasir yang terus bergerak menurun ke perut bumi, kaki Pendekar Slebor
hinggap ringan. Agar tidak turut tersedot gerakan pasir, sepasang kakinya
bergerak-gerak ke belakang, mengimbangi luncuran pasir.
"Mau apa kau, Anak Muda Sundal"!" bentak Hakim Tanpa Wajah parau.
"Diam! Jangan bergerak kalau kau tak ingin cepat tertelan pasir ini!"
balas Pendekar Slebor, lebih keras lagi. "Aku akan berusaha menolongmu!"
Dalam keadaan di ujung tanduk seperti itu, masih juga si tua berpikiran tak
waras itu tertawa terkekeh, meski terdengar dipaksakan.
"He-he-hekkk! Kau terlalu berhati mulia untuk hidup di dunia yang nista ini,
Anak Sundal!"
Tanpa ingin mendengarkan ucapan berbau pujian sekaligus cemoohan tadi, Pendekar
Slebor mengempos segenap tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan hingga
tingkat sembilan belas. Dan ini merupakan tingkat pamungkas tenaga sakti yang
dimilikinya! "Hiaaahhh!"
Sepasang tangan Pendekar Slebor yang mengejang di sisi-sisi dada dengan telapak
tangan terbuka ke atas, seketika menghujam ke pasir yang terus bergerak. Andika
tahu, tak akan mudah menembus pasir yang kelihatannya rapuh itu. Kalau si tokoh
tua yang pernah menguasai napas dunia hitam tanah Jawa saja tidak bisa berbuat
banyak, dia tentu juga tak bisa tanggung-tanggung untuk menembusnya.
Blas! Sepasang tangan Pendekar Slebor berhasil menembus ke dalam pasir hingga sebatas
lutut, tepat dua lengkal di kedua sisi kepala Hakim Tanpa Wajah. Sengaja daerah
itu yang ditujunya, karena Pendekar Slebor berniat hendak meraih tangan Hakim
Tanpa Wajah. Mungkin dengan cara itu, tubuh musuhnya bisa ditarik keluar dari
himpitan pasir hidup!
Memang himpitan pasir bergerak bisa ditembusnya. Dan memang pula, kedua
pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah berhasil diraih di dasar pasir. Tapi
selanjutnya, tidak mudah bagi pendekar muda berhati pualam ini menarik Hakim
Tanpa Wajah. Begitu tangannya siap dihentakkan keluar, jutaan butiran pasir di
sekelilingnya seperti memiliki perekat kuat, menahan Hakim Tanpa Wajah ketat-
ketat. "Gila!" desis Pendekar Slebor, tak bisa membendung keterkejutan.
"He-he-he-hek! Kenapa" Kaget anak muda sundal?" cemooh Hakim Tanpa Wajah.
Padahal, Andika berani bertaruh nyawa untuk
menyelamatkan jiwa semata wayangnya.
Sekali lagi Andika mengerahkan segenap tenaga sakti warisan dari buyutnya.
Mulutnya tanpa disadari melempar teriakan mengguntur, karena begitu ngotot
mengerahkan tenaga dalam. Namun itu pun tak banyak membawa hasil. Tangannya
hanya bergeser tak lebih dari setengah kuku!
Sementara itu, pasir makin liar menimbun dari segenap penjuru lingkaran. Kalau
sebelumnya Hakim Tanpa Wajah masih bisa berceloteh menyakitkan telinga, kali ini
tidak bisa lagi. Mulutnya sudah tersumpal pasir. Kepalanya kian tenggelam.
Dengan bertambahnya pasir yang menguruk, tubuh Pendekar Slebor pun ikut terkubur
sebagian demi sebagian. Yang masuk ke dalam timbunan pasir bergerak kini tidak
lagi sebatas siku, melainkan sudah beringsut hingga sebatas bahu!
Tentu saja hal itu mencemaskan. Bukan saja Pendekar Slebor sendiri, tapi juga
orang-orang yang menyaksikan pergulatan maut mereka dari atas.
"Andika! Cepat menyingkir dari tempat itu! Sebentar lagi tentu pasir akan
menguburmu kalau tak segera pergi!" seru Chin Liong memperingati.
Kalau Andika khawatir dengan nyawa bejat Hakim Tanpa Wajah, justru Chin Liong
khawatir dengan keselamatan nyawa sahabatnya. Seperti juga si Gila Petualang,
dan Putri Ying Lien. Meski buta, gadis itu bisa merasakan apa yang sesungguhnya
sedang berlangsung.
Biar begitu, Pendekar Slebor masih juga bersikeras menarik keluar tubuh si
lelaki tua berwatak bejat dari sana. Keringat sebesar biji jagung sudah menyapu
basah seluruh wajah dan tubuhnya. Wajah tampannya tampak memerah saga, akibat
terlalu memaksakan tenaga tarikan pada tangannya.
"Percuma kau hendak menariknya dari sana, Tuan!" teriak Nofret yang sejak tadi
hanya memperhatikan semua itu. "Kalau masih tetap sayang nyawa, cepat kau lepas
tanganmu dari tubuh orang itu. Sebenarnya, hanya dia yang menjadi sasaran
kemarahan Sang Ratu!"
Selesai Nofret memperingati, kepala Hakim Tanpa Wajah pun tertelan urukan pasir
liar. Di lain pihak, tubuh Pendekar Slebor pun sudah terkubur hingga pinggul.
Kalau nyawa anak muda itu sudah di ujung tanduk, bagaimana pula nyawa Hakim
Tanpa Wajah" Terlalu sulit dibayangkan. Bisa jadi, si tua renta berjiwa bejat
itu sudah remuk redam dihimpit pasir. Mestinya dengan begitu, Andika melepas
cengkeramannya pada pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah. Tapi itu tidak
dilakukannya. Dia terlalu keras kepala untuk melakukannya, biarpun tahu kalau
nyawanya bisa saja ikut dihempaskan ke dasar bumi.
Sampai akhirnya, tarikan pasir dari dasar bumi menyentak cengkeraman Pendekar
Slebor. Maka pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah pun terlepas. Usaha hidup dan
matinya tidak membawa hasil sama sekali.
Tak ada lagi yang harus dilakukan Andika sekarang, kecuali menyelamatkan diri
sendiri. Sewaktu Chin Liong dan si Gila Petualang hendak terjun pula ke lubang pasir
bergerak untuk menolong, Pendekar Slebor telah menggenjot tubuhnya. Anehnya,
saat itu tidak mengalami kesulitan sedikit pun.
Bahkan tidak merasakan ada cengkeraman ketat yang menjerat, seperti saat
tangannya hendak menarik keluar Hakim Tanpa Wajah.
*** 9 Bisu. Hanya kebisuan memanjang dipertahankan sekian lama oleh semua yang hadir
di sekitar lubang pasir, tempat tertelannya Hakim Tanpa Wajah. Tak ada lagi
gemerisik ramai jutaan butir pasir yang membentuk lubang dalam. Alam seperti
ikut bisu. Angin pun enggan untuk sekadar merangkak.
Tak seorang pun bisa menduga, kapan maut menjemput. Begitu pikir masing-masing.
Dan sebagian besar orang di situ amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Julukannya
telah menggetarkan tanah Jawa dengan tabiat anehnya yang menebar santer hingga
ke negeri-negeri di seberang laut.
Seperti beberapa tokoh sakti kawakan tanah Jawa, Hakim Tanpa Wajah kerap menjadi
bahan pembicaraan kalangan ksatria atau para durjana di beberapa negeri.
Kesaktiannya digembar- gemborkan orang-orang sealiran. Sebaliknya, malah
disayangkan oleh orang-orang yang berlawanan aliran.
Kalau kini Hakim Tanpa Wajah mati, maka tuntaslah sebuah cerita besar tentang
seorang tokoh sakti mandraguna bertabiat ganjil. Tapi, mereka tetap saja sulit
mempercayai. Benarkah si tokoh besar aliran sesat itu sungguh telah tiada"
Dengan cara kematian yang begitu mudah pula"
Mereka masih sulit percaya.
"Dia harus menerima hukuman atas sikapnya yang terlalu lancang pada tempat
peristirahatan suci Sang Ratu...?" jelas Nofret memecah kebisuan.
"Apa maksudmu, Nona?" tanya si Gila Petualang.
Mata bulat berbulu hitam lebat Nofret mengarahkan pandangan ke arah piramida.
Sejenak terdengar desah napas halusnya.
"Aku tak suka kalian menatapku dengan pandangan curiga seperti itu...,"
lanjut Nofret. "Bukan aku yang melakukannya."
Yang lain menunggu. Mata mereka menatap, seolah menuntut jawaban selanjutnya.
"Ratu.... Sang Ratu yang telah menentukan hukuman bagi orang tua tadi...," ucap
Nofret, lebih terdengar seperti desah berisi kekhawatiran.
Entah mengapa bulu kuduk orang-orang di sekitarnya seperti diusik tangan-tangan
halus. Semuanya meremang, mendengar penuturan terakhir gadis jelita mempesona
itu. Kalau di luar piramida saja pengaruh kekuatan gaib Sang Ratu begitu dahsyat,
apalagi sudah berada di dalam sana" Lalu, apa yang sebenarnya akan mereka
hadapi" Tanya hati masing-masing. Bergidik. Mereka yakin, seyakin-yakinnya,
bahwa sesaat lagi akan menghadapi sebentuk peristiwa yang belum pernah
diperkirakan sebelumnya. Ya, mereka yakin itu!
"Jadi, bagaimana selanjutnya, Nona?" tanya Hiroto tegas.
Selaku seorang Samurai sejati, Hiroto tak mau terlalu lama dihanyut perasaan
asing yang sulit dipahami.
"Kita akan masuk ke dalam piramida," putus Nofret singkat.
*** Tepat ketika gurun berbukit-bukit dijajah terik mentari tengah hari, para
undangan memasuki Piramida Tonggak Osiris.
Nofret sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memandu para tamu,
melangkah lebih dahulu mendekati sisi utara piramida. Di belakangnya, para


Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

undangan mengikuti dalam barisan tak teratur.
Sekitar dua puluh langkah dari dinding sisi utara piramida, Nofret memaku
langkah. Bagai sepotong tonggak anggun, tubuhnya mematung sejenak tepat di atas
sebongkah batu datar berbentuk bundar. Di atas batu setebal tiga jengkal dengan
lebar lingkaran sebesar dua tombak, terdapat guratan-guratan tulisan Mesir Kuno
serta gambar-gambar yang aneh bagi setiap mata undangan.
Di sanalah Nofret tepekur dengan kepala mendongak tinggi. Kemudian tangannya
lambat-lambat membentang dari sisi tubuhnya. Makin tinggi dan tinggi, hingga
akhirnya menjulang seolah hendak menggapai langit pucat. Lalu, tongkat berpilin
keperakan di tangannya membersitkan pantulan sinar garang matahari, yang
menerobos langsung tepat ke setiap manik-manik mata para undangan.
Dari bibir ranum gadis itu meluncur mantera-mantera. Seperti juga guratan di
atas batu, mantera itu pun sulit dipahami. Terdengar seperti sealun senandung,
dari masa ratusan tahun yang silam. Mengalun dengan nada naik turun. Sebentar
mendayu, sebentar meninggi.
Pada ujung mantera, tangan Nofret perlahan turun kembali ke kedua sisi tubuhnya.
Dari keterpakuannya ke langit pucat, pandangannya beralih ke satu bagian dinding
utara piramida. Dibanding seluruh batu penyusun dinding piramida, bagian itu
tampak berbeda dari yang lain.
Terlihat lebih besar, juga lebih tua. Ukurannya dua kali lebih besar daripada
batu penyusun lain.
Setelah lama menatap, barulah tangan kanan Nofret bergerak lambat, namun
berkekuatan. Tongkat kunonya diketukkan beberapa kali, tepat di lubang kecil
dangkal di atas batu.
Duk! Duk! Duk...!
Pada ketukan kesekian kali, bukan lagi suara batu bertumbukan dengan ujung
tongkatnya yang terdengar. Melainkan, telah hadir pula suara lain yang lebih
mengguruh sangar, berat, serta menggema. Seakan, suara itu berasal dari abad
yang terkubur begitu lama.
Grrrhhhkkk! Setiap mata para undangan untuk kesekian kalinya disuguhkan peristiwa
menakjubkan. Mata mereka seperti tak ingin berkedip, jika tak mau kehilangan
kesempatan langka menyaksikan, bagaimana sebuah rancang bangun raksasa dari
kebesaran daya pikir manusia, membukakan pintu bagi mereka untuk masuk ke dalam
perutnya! Rupanya, batu yang paling besar di dinding utara piramida ini merupakan gerbang
masuk ke pemakaman kebesaran Sang Ratu. Geseran lamban batu ke bawah, melahirkan
suara bergemuruh tadi.
Padahal di sisi selatan bangunan terdapat undakan tangga batu yang membentang
dalam jarak puluhan depa. Sepertinya dinding yang baru terbuka tadi adalah jalan
rahasia untuk masuk ke dalamnya.
"Mari," ajak Nofret begitu singkat seperti kebiasaannya.
Ketika menoleh ke arah para undangan, tanpa sengaja mata gadis jelita itu
bertumbukan dengan sepasang mata Andika. Memang, di antara mereka, hanya pemuda
itu yang paling rajin mencuri-curi pandangan ke arah Nofret. Barangkali hatinya
masih penasaran pada sikap dingin Nofret yang dianggap terlalu angkuh. Atau bisa
juga merasa kagum mendapatkan kemantapan sikap Nofret. Jadi, tak hanya di sudut
lahirnya saja wanita itu bisa dikagumi Andika.
Kejap itulah Nofret menangkap jelas, bagaimana pesona memancar dari mata
berkesan garang tapi bersinar lembut. Mata yang menyampaikan padanya sebuah
sapaan ksatria. Sebetik ketertegunan merambatinya, tertenung oleh wibawa
pandangan mata muda dari tanah Jawa ini.
Sesaat kemudian, Nofret menjadi agak jenggah manakala matanya ternyata tak mampu
mengalahkan kekokohan sinar mata Pendekar Slebor.
Biar begitu, tak sedikit pun hal itu membuat Nofret menjadi kikuk.
Dengan pasti, kakinya melangkah mendahului para undangan untuk memasuki mulut
gerbang piramida. Ketertarikan dalam diri Andika pun membesar.
"Heh! Kita sebenarnya mau ke mana, sih?"
Teguran si tua berotak kerbau Pendekar Dungu di belakang
mengejutkan Andika. Keterpanaan Andika pada diri Nofret jadi terbang entah ke
mana. "Dasar tua bangka slompret!" maki Pendekar Slebor dalam hati.
"Kau tuli, ya" Aku tanya, kita hendak ke mana?" ulang Pendekar Dungu sewot,
karena tidak diladeni Andika.
"Kandang dedemit!" sahut Andika mangkel.
"Dedemit Mesir" Pasti tampangnya sejelek aku juga, ya?" gumam si bangkotan lugu.
Otaknya memang susah membedakan, mana ucapan sungguh-sungguh dan mana umpatan.
Memang sudah nasibnya....
*** Selain rombongan Kerajaan Cina di bawah pimpinan Putri Ying Lien dan Chin Liong,
Pendekar Slebor, si Gila Petualang, Hiroto, dan Kenjiro, Pendekar Dungu, siapa
lagi undangan yang mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam piramida"
Ada lima orang lain yang selama terjadi keributan kecil di luar piramida hanya
diam memperhatikan setiap langkah kejadian.
Orang pertama sulit ditentukan, dari negeri mana asalnya. Pakaiannya sama sekali
tidak mewakili salah satu budaya di muka buana. Tubuhnya paling tinggi di antara
yang lain. Kulitnya pucat. Rambutnya lurus dan kaku, sepanjang bahu. Dengan
pakaian yang terlalu sesak berbentuk balutan kain perca berwarna kelabu,
tubuhnya jadi tampak makin jangkung.
Ciri-ciri yang paling mudah dikenali dari dirinya adalah, bentuk wajahnya yang
tak sesuai ukuran tubuhnya. Kepalanya terlalu kecil bertengger di leher. Seperti
buah apel yang tumbuh di pucuk pohon beringin!
Pada Nofret, dia memperkenalkan diri sebagai Kepala Kacang. Satu julukan yang
menggelikan untuk sifatnya yang sesungguhnya sangat mengerikan.
Tanpa diketahui siapa pun, Kepala Kacang adalah salah seorang pemuja iblis
sejati. Setiap catur purnama, tokoh aneh ini akan memburu seorang manusia untuk
dijadikan santapan malam! Dengan melakukan hal itu, ilmu-ilmu sesat yang
didapatnya dari makhluk durjana bisa tetap dikuasai.
Orang kedua dan ketiga adalah sepasang suami istri yang datang dari negeri
tetangga Mesir. Terlihat sekali dari perawakan dan wajah mereka yang khas.
Berkulit hitam, serta sama-sama memiliki hidung mancung.
Yang wanita berusia lebih tua daripada si suami. Kalau suaminya masih berusia
sekitar dua puluhan, wanita itu berusia sekitar empat puluhan.
Biar begitu, penampilannya masih tetap menarik perhatian. Kerutan kecil di
sebagian kening dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat bertambah manis.
Kulit gelapnya tak menghilangkan pesonanya. Apalagi dengan rambut yang panjang
lurus terjulur, diimbangi sepasang bola mata bulat nan jeli.
Sayangnya, semua itu tidak diikuti tabiat yang mempesona. Tabiat wanita ini
lebih mirip seorang nenek sihir cerewet yang akan mampus kalau tak bicara
sebentar saja! Sementara, suaminya terlihat masih lugu. Sepertinya pula, dia berada di bawah
pengaruh istrinya. Itu terlihat jelas dari tatapan matanya yang menyerah pasrah,
jika harus bertumbukan mata dengan si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang istrinya yang tinggi semampai serta berpinggul
padat. Rambutnya keriting kusam. Wajahnya pun tak bisa dibilang tampan, meski
tak bisa pula dibilang buruk. Entah, apa yang menarik dalam dirinya sehingga si
wanita sudi diperistri.
Si istri mengenakan pakaian kurung dari kain halus, berwarna kuning terang.
Sedangkan si suami mengenakan pakaian kurung pula. Hanya dengan warna berbeda.
Coklat pucat. Pada waktu perkenalan, mereka menyebut nama mereka masing-masing.
Nama mereka sulit untuk diingat, karena begitu rumit diucapkan. Biar tak ada
kecanggungan dalam memanggil, Pendekar Slebor sambil berkelakar menghadiahi
mereka satu julukan Sepasang Manyar.
Alasannya, karena mereka sama-sama hitam seperti bulu burung Manyar. Dan si
perempuannya pun secerewet hewan kecil itu! Dasar jodoh! Mereka ternyata senang-
senang saja....
Sebenarnya Sepasang Manyar adalah suami isri pawang binatang melata dari
kalajengking sampai ular berbisa. Dan jangan dikira dengan penampilan seperti
itu, mereka tidak membawa binatang taklukan.
Tepat di balik baju kurung masing-masing yang besar itu, justru tersembunyi
empat puluh jenis binatang yang paling berbisa di seantero jagad!
Sementara itu, dua orang lain amat tertutup. Selama tiba di sana, hanya tepat
empat kata yang di ucapkan secara berbarengan.
"Kami Pertapa Dari Tibet," begitu mereka memperkenalkan diri.
Setelah itu, mereka bungkam kembali. Seolah, mulut keduanya memiliki kunci.
Pertapa Dari Tibet memang biksu. Terlihat jelas dari penampilan mereka. Dengan
kepala gundul, bertanda bulatan-bulatan kecil. Dan yang lebih meyakinkan lagi,
mengenakan pakaian layaknya para biksu.
Ada yang tidak pantas dari diri mereka selaku biksu. Mereka selalu membawa
tasbih yang terbuat dari tempurung tengkorak manusia yang telah dikecilkan
dengan ramuan khusus! Selain itu, sinar mata mereka pun tampak membersitkan
kekejian tak terbatas. Semacam kekejian yang dibungkus kulit yang bagus....
Ada rahasia yang mereka sembunyikan. Kalau mereka belum
membukanya, maka siapa yang bisa menduga"
*** 10 Piramida Tonggak Osiris adalah sebuah maha karya manusia yang mengagumkan. Kesan
tersebut yang pertama kali didapat para undangan.
Dari gerbang masuk, mula-mula para undangan menyusuri lorong panjang persegi
yang berliku. Di sepanjang dinding lorong terdapat lukisan yang bercerita banyak
tentang peradaban Mesir Kuno pada zaman
berkuasanya Sang Ratu. Tak ada seorang pun yang mengerti tentang gambar serta
tanda-tanda itu. Tapi mereka tetap takjub pada ketinggian nilai seninya.
Makin mengikuti lorong, mereka merasakan kalau langit-langit di atas makin
memendek. Begitu seterusnya, hingga mereka harus berjalan membungkuk. Tak ada
yang tahu, kenapa sebagian lorong dirancang dan dibangun demikian pendek.
Sampai akhirnya, mereka tiba di ujung lorong. Di sana ditemukan satu jalan masuk
tanpa pintu. Tingginya, tak lebih dari pinggul orang dewasa.
Karena itu, mereka harus membungkuk cukup dalam untuk melewatinya.
Selaku pemandu, Nofret masuk lebih dahulu.
"Ini yang disebut Ruang Para Dewa," papar wanita jelita ini, setibanya di dalam
ruangan sebesar pendopo itu.
Seperti juga dinding lorong, dinding ruang ini pun dipenuhi gambar berwarna
buram. Jika memperhatikan dengan teliti, sedikit banyak mereka bisa menduga
kalau gambar-gambar itu menceritakan tentang berbagai upacara keagamaan serta
gambar-gambar perwujudan Dewa menurut kepercayaan penduduk Mesir. Di samping
itu, banyak terdapat patung dalam berbagai bentuk di sekitar ruangan.
"Mengapa kau membawa kami ke ruangan ini?" tanya Hiroto, tak bisa menahan rasa
ingin tahunya. "Di ruang inilah, kita akan mendapatkan amanat Sang Ratu. Dari ruangan ini pula
nanti kita akan tahu, apa gerangan tujuan Sang Ratu mengundang kalian," ungkap
Nofret, mengulangi pesan terakhir mendiang ayahnya.
Sementara yang lain menunggu penuturan Nofret selanjutnya. Di hati masing-masing
sudah membuncah pertanyaan yang enggan dilontarkan, bagaimana cara gadis itu
mendapatkan amanat yang diberikan oleh seorang wanita yang telah mati berabad-
abad yang lalu"
"Bagaimana caranya?"
Akhirnya mulut lancang Pendekar Dungu tak bisa dibendung lagi.
Didahului tawanya yang kaku dan lebih mirip orang sakit perut, si tua bangka
berotak udang itu bertanya.
Sementara dara Mesir itu tak segera menjawab. Dia lebih suka memperlihatkan
langsung, bagaimana amanat yang sudah terkubur dalam senjang waktu yang demikian
renta itu didapatkannya.
Perlahan namun pasti, kaki jenjang Nofret melangkah ke tengah-tengah ruangan.
Pada lantai pualam tempatnya berdiri terdapat gambar besar matahari yang
dilukiskan secara sederhana, namun mengandung banyak kesan. Tepat di pusat
gambar matahari, terdapat ceruk kecil yang pas sekali dengan ukuran tongkatnya.
Dimasukkannya tongkat berpilin itu ke dalam ceruk, sampai berdiri tegak.
Usai begitu, tak ada lagi yang dilakukan Nofret. Dia diam membatu, dengan mata
menatap satu lubang sebesar uang logam di langit-langit ruangan.
Melihat hal itu, mulut Pendekar Dungu kembali tak bisa diajak bungkam lebih lama
lagi. "Sedang apa dia" Hah-hah! Sedang apa dia?" tanya Pendekar Dungu serampangan pada
setiap orang yang ada di dekatnya.
Pendekar Slebor yang kebetulan paling dekat dengannya, sampai terkena semburan
air liurnya. Andika menggerutu.
"Bukankah justru kau yang bertanya tadi"!" rutuk Pendekar Slebor agak sengit.
"Aku bertanya" Bertanya apa" Yang ingin kutahu, 'bagaimana caranya kita buang
hajat di tempat tertutup yang sumpek ini'!" sangkal si bangkotan berotak karatan
ini, lugu dan menyebalkan.
Andika hanya bisa menggeleng-geleng. Modal utama untuk menghadapi
'makhluk langka' sejenis Pendekar Dungu, ya hanya ketabahan!
Waktu terus melangkah. Sementara para undangan menunggu tindakan Nofret
selanjutnya. Ketika lewat dua kali waktu sepeminuman teh, barulah mereka mulai
bisa meraba maksud dara jelita itu.
Dari lubang sebesar mata uang di langit-langit ruangan, pada saat itu menelusup
seberkas sinar memanjang yang tepat menghujam ke arah ceruk tempat tongkat
Nofret. Rupanya, sinar itu adalah cahaya matahari yang menembus langsung, tepat
ketika garis edarnya berhadapan dengan arah lubang yang menghubungkan luar
piramida dengan ruangan ini.
Kekurangan cahaya dari ruangan, menyebabkan berkas cahaya yang menerobos dari
luar itu menjadi tampak jelas, membentuk jejak terang memanjang. Sehingga,
terciptalah sudut tajam antara ujung tongkat Nofret dengan sinar tadi.
Beracu pada sudut itulah Nofret mendorong tongkatnya, hingga sejajar jejak
cahaya memanjang. Ketika batang tongkat bersinggungan tepat dengan bentangan
cahaya, sesuatu tiba-tiba saja terjadi....
Tepat pada moncong gambar Dewa Anubis*, perwujudan Dewa dengan sosok manusia
berkepala serigala, tersembullah sebentuk tabung sepanjang satu jengkal.
Pendekar Slebor yang memiliki ketajaman otak, cepat dapat menduga kalau tabung
itu semacam tempat menyimpanan papirus. Dan dia agak sedikit bertanya dalam
hati, kenapa tabung itu harus keluar dari gambar moncong Dewa Anubis, Dewa
Kematian" Pertanyaan itu pula yang mengusik diri Nofret, demi menyaksikan hal tadi. Ada
sebentuk ketakutan tersirat di wajahniya. Ketakutan yang berat, tanpa bisa
disembunyikan kecantikannya.
Dan Andika menangkap keanehan itu. Termasuk, si Gila Petualang yang cukup banyak
mengetahui tentang kepercayaan orang-orang Mesir Kuno.
Dari laki-laki tua itu pula Andika sempat mengetahui tentang Dewa Anubis.
"Aku rasa ada yang mengganggu pikiranmu, bukan?" usik Andika.
Si gadis pemandu mengangguk samar. Kelopak matanya menyipit, masih tetap terpaku
tepat ke arah tabung di gambar mahkota Dewa Anubis.
"Jangan katakan padaku, kalau kejadian ini sebagai pertanda adanya ancaman maut
bagi kami," desah si Gila Petualang ragu.
Sepertinya dia mengucapkan demikian berat pada Nofret. Bukannya petualang
kawakan itu takut. Dia hanya tak menyangka kalau lawatan mereka akan disimbahi
anyir darah, atau sambutan kematian demi kematian!
Nofret menoleh pada si Gila Petualang. Sepertinya dia sulit membenarkan
pertanyaan ragu si tua tadi. Sesulit dia menyangkalnya.
Selaku anak seorang Pendeta 'Ka', Nofret amat tahu satu-satunya makna di balik
gambar Dewa Anubis.... Kematian!
"Kau belum menjawab pertanyaan beliau, Nona," desak Kenjiro yang sejak pertama
tidak membuka suara.
Meski sama sekali tak memahami apa yang terjadi, namun Kenjiro tidak terlalu
bodoh untuk mengendus ketidakberesan pada sikap Nofret,si Gila Petualang, dan
Andika. Lelaki berbadan boros sepupu Hiroto itu, tentu saja tidak sudi Nofret hanya
menjawabnya dengan lirikan datar. Hatinya tidak puas. Karena itu, hendak
didekatinya Nofret untuk mendesaknya. Tapi sebelum niatnya kesampaian, Hiroto
sudah mencegah.
"Biarkan dia menyelesaikan dulu tugasnya," bisik Samurai muda itu pada Kenjiro.
Dengan bersungut, Kenjiro menurut.
Untuk memperjelas kecurigaan, satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah
mengetahui, apa isi pesan pada papirus di dalam tabung.
Nofret pun melangkah tegang ke tabung yang tersembul barusan.
Langkahnya seperti terhambat-hambat geliat kecemasan dalam dirinya.
Setibanya di dekat gambar Dewa Anubis, tangan halusnya hendak menjangkau tabung.
Namun, tiba-tiba Andika menahannya.
"Tunggu, Nona!" seru Andika. Cepat didekatinya gadis itu.


Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nofret mengurungkan niat. Kepalanya mengikuti kedatangan pemuda tampan itu di
sisinya. Sedangkan, matanya seolah mewakili pertanyaan tak terungkap, kenapa
pemuda itu mencegahnya.
"Kau tak perlu bertanya kenapa aku menahanmu," ujar Andika seperti tahu pikiran
Nofret. "Gambar itu sudah cukup bagiku untuk waspada, terhadap kemungkinan buruk
yang bisa saja terwujud sekejap mata."
"Lalu apa maksudmu?" tanya si gadis Mesir itu, bertanya.
"Aku hanya tak ingin kau menjadi korban," jelas Andika kemudian.
"Biarpun aku tahu kau anak seorang Pendeta 'Ka' sekalipun...."
Mata Nofret, entah kenapa jadi berkilat gusar. Ucapan Andika telah
menyinggungnya.
"Kau telah mencurigai Ratuku, Tuan," ungkap Nofret tegas.
Mata elang Pendekar Slebor menantang pandangan gusar Nofret.
"Aku tahu, kau sebenarnya cemas pada tabung Dewa Anubis itu. Kau tak bisa
memungkiri. Aku bisa melihat dari pandangan matamu. Bukankah mata adalah jendela
jiwa yang sulit berdusta?" kata Pendekar Slebor menyudutkan, sambil menyeringai.
Pendekar Slebor kemudian melepaskan tatapan Nofret yang
mengundang debur hebat di dada.
"Kalaupun kau berkata seperti tadi padaku, itu semata-mata karena kau memiliki
sikap hormat pada Ratumu. Aku dapat memakluminya. Tapi, jangan harap aku akan
berdiam diri membiarkan kau celaka," sambung Andika, sok jadi pahlawan.
Sejenak sinar mata anggun Nofret berubah. Ada semacam getaran aneh yang segera
ditekannya kembali dalam-dalam. Sebagai wanita, biar bagaimanapun, hatinya tak
bisa menghindari dari kekaguman pada jiwa ksatria seorang jejaka. Apalagi,
jejaka itu begitu menawan seperti Pendekar Slebor.
"Jadi apa maumu?" tanya Nofret. Nada bicaranya tak setajam sebelumnya.
"Izinkan aku mengambilkan tabung itu untukmu, Nona," pinta Andika, sungguh-
sungguh. Nofret ragu sesaat. Karena pandangan mata si Gila Petualang yang memiliki wibawa
kuat mendesaknya untuk meluluskan permintaan Andika, akhirnya kepalanya
mengangguk lambat.
"Kuminta kau mengambil jarak," kata Andika lagi.
Sekali lagi, Nofret menuruti anjuran Pendekar Slebor. Tidak ada salahnya dia
memberi kesempatan pada orang lain, demi kepentingan mereka bersama.
Tujuh tindak setelah Nofret menyingkir dari depan gambar Dewa Anubis, Andika pun
mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menarik tabung.
Waktu terseret seperti ayunan langkah para pencabut nyawa, ketika mereka menanti
tangan kekar Pendekar Slebor menjemput tabung di dinding. Perlahan, tangan kanan
Andika menjangkaunya.
Belum lagi tabung ditarik Andika....
Zzz! Mendadak terdengar desisan hingar bingar yang mencuat dari dasar ruangan. Amat
bergemuruh, seolah ada naga perut bumi hendak mengamuk!
Tak ada yang tak terkejut mendengarnya. Terlebih karena mereka begitu tegang
menanti apa yang bakal terjadi bila Andika menarik tabung dari dinding.
Dengan kewaspadaan penuh, Pendekar Slebor mengurungkan niat menjemput tabung.
Tubuhnya memasang kuda-kuda siaga, mengarah pada pusat suara desisan barusan.
Apa yang sesungguhnya terjadi"
Tepat dua depa dari tempat Andika berdiri tegang, terbentuk sebuah lubang besar
menganga dalam. Di dasar lubang terlihat gerakan pasir seperti buncahan lahar
gunung berapi. Gerakan liarnyalah yang menimbulkan desis bernada tinggi.
Sekian kejap setelah mulut lubang menganga, Andika menyaksikan dengan mata
kepala sendiri tubuh seseorang muncul dari gelegak pasir berhawa panas di
dalamnya. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa, dan hampir-hampir kehilangan bentuk
aslinya. Hancur seperti diinjak-injak gerombolan 'buto ijo'!
"Hakim Tanpa Wajah...," desis Pendekar Slebor. disergap keterpanaan.
*** Edit by : Angon
Apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diri Hakim Tanpa Wajah"
Dasar piramida tampaknya berhubungan dengan gurun di luar. Kalau begitu, ada apa
sesungguhnya di dasar piramida itu"
Lalu, apa pula yang akan dihadapi Pendekar Slebor jika mengambil bahaya untuk
menarik tabung papirus dari dinding" Terbuktikah kecurigaannya"
Benarkah para undangan Ratu Mesir akan menghadapi ancaman maut yang tak terduga
dalam bangunan kuno raksasa itu" Teka-teki apa yang sesungguhnya akan
ditunjukkan Sang Ratu untuk menyambut para undangan"
Apa yang disembunyikan sepasang biksu dari Tibet dalam diam mereka yang bengis"
Bagaimana pula Sepasang Manyar dan si Kepala Kacang"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PIRAMIDA KEMATIAN
Kendo = ilmu pedang.
Papirus = sejenis kertas yang digunakan bangsa Mesir Kuno untuk menulis.
Oase = mata air di tengah gurun.
Osiris = Dewa Kematian menurut kepercayaan Mesir Kuno.
Arigato gozaimash = terima kasih.
Dewa Anubis = Dewa Penjaga Kematian bertubuh manusia berkepala serigala, yang
mengadili 120 jiwa setelah mati menurut kepercayaan Mesir Kuno.
Kasih Diantara Remaja 2 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah 4
^