Undangan Ratu Mesir 1
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir Bagian 1
UNDANGAN RATU MESIR
PENDEKAR SLEBOR
Negeri Sakura. Tempat lahirnya para Samurai perkasa, ksatria-ksatria yang
mengarungi kehidupan di ujung maut. Di negeri matahari terbit ini, musim panas
bertabur cahaya terik menguasai sebuah daerah bernama Kyoto.
Siksaan musim panas tak berbelas sedikit pun, telah menyengsarakan pepohonan
yang biasanya marak dengan bunga berwarna-warni di musim semi. Daun-daun
berguguran tak berdaya. Sebagian masih melayang-layang di udara dalam warna
coklat matang, lalu tergolek di tanah.
Sehingga menambah lapisan daun-daun yang bertumpuk.
Hampir semua pohon telah telanjang yang tersisa hanya ranting-ranting meranggas
yang miskin daun. Jangan lagi yang berwarna hijau. Yang berwarna coklat pun,
sudah terkatung-katung menunggu ajal.
Entah datang dari mana, langit musim panas yang tak bersahabat, tahu-tahu sudah
disatroni seekor burung berukuran sebesar ayam jantan.
Warna hitamnya menjadi demikian mencolok, ketika terjilat cahaya si raja siang.
Dengan kepala yang tak berbulu serta paruh yang begitu besar, burung itu tampak
amat menakutkan. Lehernya agak panjang. Di sebagian lehernya tumbuh bulu putih
melingkar, seolah sedang mengenakan selendang.
"Koaaak! Koaaakkk...!"
Suara makhluk angkasa itu mencabik suasana lengang di sekitar hutan di pinggir
barat Kyoto. Ternyata ada satu sosok manusia yang memperhatikan gerak-gerik binatang itu dari
bawah sana. Seorang yang berperawakan kelebihan bobot. Perutnya memang tak
begitu buncit. Tapi, di seputar pinggangnya bertumpuk lemak. Dengan ukuran yang
tak terlalu tinggi, tubuhnya jadi tampak lebih gempal. Ditambah lagi, pakaiannya
yang terlalu kecil untuk ukuran badan sebengkak itu.
Seperti layaknya penduduk negeri Nipon, mata lelaki gemuk itu sipit.
Alisnya menghitam lebat melancip seperti mata tombak. Kumisnya tak bedanya ekor
tikus selokan. Panjang menjuntai, bergulung, dan melancip.
Bibirnya tampak lebih mancung dari hidungnya sendiri. Di atas keningnya yang
melebar, tumbuh rambut panjang yang dikepang teratur.
Di bawah sebuah pohon besar kering, sosok bertubuh gempal itu duduk mengampar.
Tak peduli lagi pada lemak perutnya yang berjejal-jejal keluar dari sela-sela
pakaian. "Kurasa burung ini sudah sinting," ucapnya seperti menggerutu dalam bahasa dan
logat Jepang kental. "Setahuku, burung jenis itu hidup di gurun- gurun.
Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini" Apa dikira musim panas tahun ini akan
membuat Kyoto menjadi gurun seperti tempat tinggalnya" Bhuh! Tak sudi aku!"
"Koakkk!"
Gerutuan lelaki gemuk tadi dibayar dengan teriakan serak burung di angkasa.
"Kau membuatku muak!" teriak si lelaki gemuk sambil menengadahkan kepala.
"Suaramu membuat telingaku tuli! Kenapa kau tak pergi jauh-jauh dari sini! Aku
memang memiliki kelebihan daging. Tapi, aku tak akan sudi membaginya padamu! Kau
dengar itu!"
"Koak!"
"Ada apa Kenjiro?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran. Ketika laki-laki yang dipanggil Kenjiro itu
menoleh di sebelahnya berdiri seorang lelaki berperawakan kekar. Bahunya yang
berotot terlihat menonjol. Begitu juga dada bidangnya, meskipun mengenakan
sejenis kimono yang cukup besar.
Wajah tampan laki-laki kekar berusia sekitar dua puluh enam tahun itu dilengkapi
rahang kekar persegi yang ditumbuhi jenggot tipis tak sempat dipangkas. Matanya
juga sipit, tapi memiliki sorot berpengaruh.
Sedangkan rambutnya hitam legam agak mengkilat, ditata apik membentuk ekor kuda
dengan ikatan khas.
Dari sepasang samurai panjang dan pendek yang terselip di masing-masing bagian
pinggangnya, langsung bisa diduga kalau dia adalah seorang ksatria.
"Kau lihat itu, Hiroto! Ada burung pemakai bangkai dari gurun nyasar ke tempat
ini...," kata Kenjiro seperti sedang melapor.
Lelaki bernama Hiroto yang baru datang mendongak ke angkasa. Dari tadi pun dia
memang sudah melihat burung itu berputar-putar di sekitar mereka.
"Aku sudah tahu sejak tadi," jawab Hiroto, pendek.
"Apa kau tak merasa aneh, Hiroto...?"
Hiroto cuma mengangguk kecil. Sikapnya benar- benar tenang berwibawa.
"Kira-kira, ada pertanda apa ini?" cecar Kenjiro.
Kepala Hiroto lagi-lagi bergerak. Kali ini dia menggeleng.
"Aku belum tahu," jawab Hiroto menegaskan arti gelengannya.
"Bagaimana" Apa kau sudah siap untuk melanjutkan perjalanan?"
sambungnya ke lain masalah.
Wajah berpipi tebal Kenjiro meringis.
"Aaah! Cepat sekali kita beristirahat. Rasanya keringatku pun belum kering. Dan
rasa capekku belum hilang benar...," keluh Kenjiro.
Hiroto tidak mau lagi meminta pendapat Kenjiro. Setelah membenarkan letak dua
samurainya, kakinya melangkah di atas humus kering.
"Sebentar lagi kita sudah akan tiba di rumah. Kenapa harus beristirahat lama-
lama?" kata Hiroto.
"Baik! Baik! Kau menang!" maki Kenjiro kesal. Laki-laki bertubuh gempal itu pun
bangkit bersusah-payah. Kemudian disusulnya Hiroto dengan wajah terlipat.
Kira-kira beranjak dua ratus tindak dari tempat semula, lelaki berpakaian
ksatria Jepang yang bernama lengkap Hiroto Yamaguci menahan langkah. Wajahnya
tampak menjadi kaku, karena tegang.
Dengan sinar mata waspada penuh, diselidikinya keadaan sekitar. Dua bola matanya
bergerak kian kemari, seakan singa perkasa menanti mangsa.
"Ada apa, Hiroto?" bisik Kenjiro di belakangnya, ketika Hiroto membentangkan
tangan kanan. Hiroto tak menyahut. Cara berdirinya tetap tegang, seperti sebelumnya.
Sementara, tangannya sudah menggenggam gagang samurai, siap diloloskan jika
sesuatu yang tak diharapkan terjadi tiba-tiba.
"Ah! Kau ini mengada-ada saja!" usik Kenjiro kembali.
Laki-laki gempal itu tak merasakan ada bahaya sedikit pun. Telinganya tak
mendengar suara mencurigakan. Tidak juga matanya.
"Diam," bisik Hiroto penuh tekanan. "Aku mendengar bunyi mencurigakan...."
Kenjiro kini harus benar-benar bungkam. Sepanjang pengetahuannya, Hiroto yang
masih bertalian darah dengannya memiliki pendengaran peka.
Sebagai seorang Samurai, Hiroto pantas dikagumi. Kalau kali ini pemuda gagah
berusia sekitar dua puluh enam tahun itu berkata ada bunyi mencurigakan, artinya
memang benar ada yang mencurigakan.
Firasatnya pun tak kalah tajam, untuk membedakan mana suara yang wajar dan suara
yang mengancam.
Wajar saja kalau Hiroto memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping sebagai seorang
Samurai sejati yang kerap menghadapi hidup keras dan kejam, keluarganya juga
memiliki musuh bebuyutan. Dan itu memang sudah lumrah dalam keluarga Samurai.
Sekitar dua abad yang lalu, terjadi perselisihan antara dua orang Samurai
seperguruan yang memperebutkan senjata samurai pusaka dari guru mereka. Murid
termuda mewarisi samurai itu dari gurunya.
Sementara, murid tertua tentu saja menjadi iri. Bukankah selaku murid tertua
yang mestinya mendapatkan benda pusaka itu"
Ketegangan yang lama terpupuk, akhirnya meledak juga. Itu terjadi ketika sang
guru meninggal dunia. Dengan semena-mena, murid tertua meminta paksa samurai
pusaka dari tangan adik seperguruannya.
Murid termuda sebenarnya bersedia saja memberikan samurai pusaka itu pada kakak
seperguruannya. Dia lebih suka memilih tidak bermusuhan dengan saudara
seperguruan, hanya karena sebuah benda.
Namun gurunya sendiri sudah jelas-jelas berwasiat bahwa samurai itu tidak boleh
sampai dipegang kakak seperguruannya. Dan alasan wasiat itu tak pernah
dimengertinya. Hanya saja, dia ingin menjalankan amanat orangtua yang begitu
dihormati dan disanjungnya tanpa banyak tanya.
Maka perkelahian antara dua Samurai tangguh itu terjadi. Tidak ada yang menang,
tidak juga ada yang kalah. Hanya keduanya mengalami luka-luka berat. Setelah
masing-masing berkeluarga, murid tertua rupanya tak puas persoalan berakhir
sampai di situ. Dicekokinya semua anak-anaknya untuk bermusuhan dengan keluarga
adik seperguruannya.
Permusuhan itu sampai saat itu sudah banyak meminta korban nyawa dari anggota
keluarga keturunan mereka. Dan Hiroto dan Kenjiro termasuk salah seorang
keturunan dari murid yang termuda.
Tak ada enam tarikan napas, firasat Hiroto ter-bukti.
Srak! Dari sisi kiri Hiroto, terdengar bunyi sesuatu melanggar dahan kering.
Dengan sigap, tangan Hiroto menarik samurai panjang. Kemudian disabetkannya
samurai itu dengan satu gerak kendo*, mencoba menghadang arah suara tadi.
Sing..., tas! Mata samurai Hiroto meminta korban. Sasarannya ternyata hanya dahan kayu sebesar
paha manusia di depannya yang tak sengaja terkena. Begitu tersambar, dahan kayu
besar itu langsung terpapas rata. Padahal, kayu pohon itu termasuk jenis kayu
alot! Bersamaan dengan itu, tiba-tiba menyeruak satu bayangan hitam dari sisi kiri!
Sambaran pedang yang mestinya langsung membelah bayangan itu ternyata luput,
karena terlebih dulu menangkap kelebatan samurai Hiroto. Rupanya, bayangan itu
punya naluri untuk melakukan gerakan menghindar yang tak kalah cepat dari ayunan
samurai. "Binatang keparat! Benar kataku, bukan"! Burung itu tak sekadar berputar-putar
tanpa maksud di atas wilayah ini!" maki Kenjiro gusar, begitu melihat sosok
hitam itu melayang di angkasa.
Bayangan hitam itu rupanya burung gurun besar yang sejak tadi mereka lihat.
Begitu tahu dirinya terancam mata samurai Hiroto, dia langsung membuat gerakan
melayang kembali ke udara, bersama koakan memekakkan telinga.
"Koaaakkk!"
Hiroto tak sempat memperhatikan makian saudara sepupunya.
Perhatiannya tersita oleh gulungan papirus* yang dijatuhkan burung tadi, tepat
di kakinya. Gulungan papirus itu terlihat amat tua. Sebagian isinya sudah koyak-
moyak. "Apa lagi yang dikerjakan binatang laknat itu?" sungut Kenjiro, begitu tahu
gulungan papirus yang diperhatikan saudara sepupunya.
"Sepertinya dia membawa pesan buat kita, Kenji...," ucap Hiroto tak berkedip
sama sekali. Pandangannya terpusat pada gulungan papirus.
Sepertinya, dia hendak menyingkap maksud apa yang ada dalam gulungan.
"Apa berbahaya?" tanya Kenjiro.
"Aku heran. Bukankah ini papirus yang digunakan bangsa Mesir untuk menulis"
Kenapa burung itu bisa mendapatkannya?" gumam Hiroto, sama sekali tidak menjawab
pertanyaan Kenjiro.
"Apa berbahaya, Hiroto?" ulang Kenjiro, penasaran.
"Tampaknya tidak," barulah Hiroto menjawab. "Aku yakin ini hanya pesan."
Dengan ujung samurainya, Hiroto mengangkat gulungan papirus. Setelah memasukkan
kembali samurai ke sarungnya, mulai dibukanya lembaran papirus hati-hati sekali.
Bukan karena merasa ada ancaman bahaya, melainkan karena gulungan papirus di
tangannya sudah begitu rapuh!
Kini di depan mata Hiroto terbentang gulungan papirus. Tak ada sedikit pun
ancaman bahaya yang mencuat dari dalamnya, tepat seperti dugaannya. Di atas
lembaran itu, terdapat gambar kusam berupa piramida besar yang bersisian dengan
patung raksasa berbentuk macan berkepala manusia. Tepat di bawah gambar
piramida, ada tambahan lukisan telapak tangan terbuka.
"Ini bahasa isyarat, Kenji...," tutur Hiroto.
"Maksudnya?"
"Sepertinya, kita diundang oleh si pemilik piramida untuk datang ke sana...."
"Ratu Mesir"!" sentak Kenjiro terlonjak. Mata sipitnya jadi agak membesar.
Bibirnya pun jadi makin mancung....
*** 2 Tak ada seorang pun tahu, bagaimana waktu dapat terus memburu hari-hari tanpa
henti. Berputar dan berputar, bagai tak berujung pangkal.
Tak seperti manusia yang mengenal arti lelah.
Sehari lagi terlewati. Pagi baru lahir dengan beragam perniknya.
Seorang pemuda tampak berjalan melenggang. Wajahnya yang secerah mentari di kaki
langit sebelah timur sana selalu dihiasi senyum tipis.
Pakaiannya hijau muda, berselempang kain bercorak catur di bahu.
Rambutnya tak terurus menunjukkan pribadinya yang urakan pula. Kalau bibirnya
tampak selalu tersenyum, bukan berarti sinting. Maksudnya, hanya sekadar menyapa
hari dengan rasa damai. Terutama ketika mata berkesan tegar dan tegas miliknya
memperhatikan hamparan warna hijau alam dikanan dan kiri. Perut yang tak terisi
sejak semalam tak pernah dijadikan beban atau sebeber keluhan.
Baik ada masalah atau tidak, pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor
seakan siap menghadapi segala kemelut hidup dengan senyum. Baginya, menghadapi
hidup mesti disamakan dengan
menghadapi kekasih.
Kalau Tuhan sudah memberi sekian banyak kenikmatan sekaligus keindahan, tak
semestinya menggerutui sedikit kesusahan. Sebab pada hakikatnya, tidak akan
lahir kesenangan tanpa kesusahan. Seperti juga kita mengenal keindahan karena
ada keburukan. Mengenal sehat, karena ada sakit. Begitu kata hati Andika sambil
terus melangkah pasti menuju utara.
Tak ada tujuan pasti, hendak ke mana pemuda berselempang kain bercorak catur itu
menambatkan langkah. Di mana pun bagian bumi yang membutuhkan kehadirannya, maka
Pendekar Slebor akan ke sana.
Waktu seperti melesat cepat kalau tidak dicermati. Siang pun menjelang. Tepat
ketika sinar matahari menukik tepat pada ubun-ubun, pemuda berpakaian hijau muda
tiba di sebuah dataran tandus berbukit-bukit kapur.
Sesaat Andika berhenti. Disapunya peluh di dahi dengan bajunya. Kalau pagi tadi
bibirnya mengumbar senyum, jangan heran bila mulai sekarang mengumbar ringisan.
Panas siang demikian mendera. Kerongkongannya terasa sudah demikian kerontang.
Kalau tak segera mendapatkan air, tubuhnya terasa seperti dikeringkan.
"Bagaimana caranya aku tahu sumber air di tempat segersang ini,"
gumam Andika. Seraya menaikkan telapak tangan ke depan dahi, pandangannya
ditebarkan ke segenap penjuru.
Kekeringan. Hanya kekeringan yang disaksikan. Rumput liar yang biasanya sanggup
bertahan, malah sudah berubah kecoklatan.
Selebihnya cuma warna putih dari tanah berkapur yang membentuk bukit-bukit kecil
seperti gelombang laut membeku.
"Heran! Kenapa aku mau-maunya terus melangkah ke tempat ini?"
gumam Andika lagi, menggerutui kebodohannya. "Coba kalau tadi aku mengikuti
bapak tua penggembala bebek. Mungkin aku bisa tiba di dekat pedukuhan kecil.
Bisa menikmati kopi hangat di warung. Bisa mencicipi buah segar. Bisa melahap
dua piring nasi ditambah sepiring ketan kuning...."
Lidah Andika tanpa sadar bergerak di seputar bibir, membayangkan semua itu.
"Ah! Kalau cuma berkhayal seperti ini, mana bisa mendapatkan makanan.
Memangnya keinginan bisa jatuh dari atas langit! Dasar tolol!" maki Pendekar
Slebor pada diri sendiri.
Lalu, Andika pun memutuskan untuk melanjutkan langkah saja. Apalagi, pikirnya,
sudah telanjur jauh kakinya melangkah. Siapa tahu tak berapa jauh lagi, akan
menemukan pedukuhan kecil.
Tak terlalu jauh mengayun langkah, kembali anak muda itu berhenti.
Ada sesuatu yang menjegal niat untuk meneruskan langkahnya. Karena hidungnya
tiba-tiba mencium aroma lezat daging bakar. Belum jelas, dari mana asalnya.
Andika sendiri bingung. Siapa orang yang memanggang daging burung di tempat ini.
Padahal, sepanjang perjalanan di tempat itu tak terlihat ada seekor burung pun
terbang melintas.
Kalau ada, tentu sudah sejak tadi perutnya bisa terisi. Lalu, dari mana pula dia
mendapatkan kayu bakar" Sedangkan dataran itu cuma ditumbuhi rerumputan kering.
Tak mungkin memanggang daging hanya dengan rerumputan kering, bila tak ingin
hasilnya setengah matang.
Sebentar hidung Andika kembang-kempis. Dia ingin meyakinkan penciumannya. Siapa
tahu, aroma sedap yang sempat terperangkap dalam lubang hidungnya tadi cuma
permainan perasaan.
Cium punya cium, endus punya endus, ternyata aroma sedap menggelitik selera itu
tak juga lenyap. Kalau sudah begitu, persoalan tentu menjadi lain lagi. Bisa
dipastikan hidung Andika memang sehat walafiat.
Urusannya sekarang, cuma mencari di mana orang itu berada. Pendekar Slebor cuma
ingin tahu, bagaimana orang itu mendapatkan daging burung. Dan, dengan apa
memanggangnya. Hitung-hitung menemani makan. Itu pun kalau bisa!
Bibir Andika mulai bisa tersenyum lagi. Berharap dapat menangsal perutnya yang
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah kekuruyuk berat.
Tanpa mengalami kesulitan, anak muda itu sudah dapat menemukan tempat orang yang
dicari, di antara dua gundukan bukit kapur.
"Ah! Kau lagi, Anak Muda!" sambut seorang laki-laki tua yang sedang membalik-
balik daging panggang di tangannya. Rupanya, dengan tangannya pula daging itu
dimatangkannya.
Andika dipaksa terperangah. Bukan sekadar cara orang tua itu mematangkan daging
panggangnya. Tapi, juga karena sudah pernah berpapasan dengan orang tua itu.
Dialah penggembala bebek yang dijumpainya lepas pagi tadi! Entah, ke mana
gerombolan bebeknya yang begitu riuh mengeluarkan bunyi beleter.
"Kau ingin nimbrung menggasak dua potong daging ini, atau hanya ingin
menontonku?" tambah lelaki tua penggembala bebek tanpa menoleh.
Andika tersadar. Sambil cengar-cengir, dihampirinya orang tua itu.
"Kalau diizinkan, aku memang ingin sekali menemani...," jawab Andika cepat,
seakan takut tawaran baik orang di depannya hanya berlaku sekali.
"Kalau begitu, cepatlah!"
Tanpa banyak basa-basi lagi. orang tua berpakaian seadanya itu menyodorkan
sepotong besar daging panggang yang masih mengepulkan asap.
"Nih, sikat sampai kenyang!"ujar si penggembala bebek berkelakar, meski bibirnya
cuma tersenyum tak kentara.
Andika tersenyum-senyum menerima jatah yang demikian besar untuknya. Jangan lagi
untuk menghabiskan. Untuk memakannya setengah saja, mungkin sudah menyerah.
"Dari mana kau dapatkan burung sebesar ini, Pak Tua?" tanya Andika ingin tahu.
"Setahuku, di sini tidak ada burung sama sekali...."
"Itu bukan burung. Apa kau tak bisa mengenali" Itu kan bebek..."
Andika yang sudah duduk menekuk lutut di hadapan penggembala bebek mengangguk-
angguk "Pasti ini bebekmu...," tebak Andika sambil mencium bau bebek panggang yang bisa
membuat air liurnya menetes tak terasa.
Kalau saja Andika tak merasa harus bertata-krama di hadapan orang tua baik hati
ini, sudah diterjangnya daging bebek itu selahap-lahapnya.
"Tentu saja. Perutku tak biasa menerima makanan yang tak halal," balas laki-laki
tua itu sambil mengipas-ngipas dada dengan caping lusuh yang sejak tadi hanya
diletakkan di sisinya.
"Lalu mana bebek-bebekmu yang lain?" susul Andika.
"Sudah habis dimakan...."
Pemuda itu tertawa. Orang tua itu tentu sedang bergurau, pikirnya.
"Ayo, silakan disantap!" kata orang tua penggembala bebek itu mempersilakan.
Lalu mereka pun makan dengan lahap.
Selesai makan, penggembala bebek di sebelah pemuda berpakaian hijau-hijau ini
menyerahkan tempat air dari kulit pada Andika. Kebetulan sekali, pemuda ini
sedang haus tak terkira.
Segera saja Andika menjemput kantong kulit dari tangan penggembala bebek itu.
Diteguknya sepertiga air dalam kantong itu. Dahaga berat telah membuatnya jadi
tak berhati-hati lagi pada kebaikan orang yang baru dikenalnya.
Setelah puas meneguk, tenggorokan Andika memang dapat dibebaskan dari kekeringan
yang menggelantung. Tapi masalah baru yang jauh lebih mengancam jiwanya, malah
mendatangi. Kepala pemuda ini perlahan-lahan terasa memberat. Matanya berkunang-
kunang tak karuan.
Sementara seisi perut serta dadanya seperti diaduk-aduk tangan makhluk usil.
Sebentar kemudian, Andika melengak. Kerongkongannya kini lebih kerontang dari
sebelumnya. Rasanya, dia seperti tercekik tali sebesar lengan.
"Kau...," desis Andika seraya mendekap leher dan dada dengan suara terseret.
"Kau meracuniku...."
Mata Andika menatap gusar pada orang yang telah menipunya.
"Kau menipuku, Orang Tua...," desis Andika lagi, terdengar meletup diguncang
kegusaran yang menggelegak dalam diri, berbareng menggelegaknya darah akibat
pengaruh racun dalam air tadi.
"Aku tidak menipumu," jawab si penggembala bebek acuh sekali. "Hanya kau saja
yang tidak hati-hati. Di dunia ini, kau harus jeli-jeli memiliki mata. Tak semua
orang yang bersikap baik, berarti memiliki hati yang baik pula...."
"Kentut busuk!" maki Andika makin terseret karena menderita.
Pemuda itu berusaha bangkit dari duduknya. Namun, seluruh sendi di tubuhnya
seperti dipreteli. Dan otot-ototnya terasa lebur. Dia menjadi lumpuh. Tinggal
matanya saja yang kini menatap nyalang orang tua di depannya.
"Kau minumlah lagi air dalam tabung ini," ujar si penggembala tua, seakan tak
pernah merasa bersalah sedikit pun. Disodorkannya kembali kantong kulit itu pada
pemuda yang sudah telentang tanpa tenaga.
"Aku belum sinting untuk meminum racun sialmu lagi, Orang Tua Bau!"
maki Andika. Namun suara yang keluar dari mulutnya malah mirip rintihan.
"Terserah maumu, Pendekar Slebor...," tukas penggembala tua amat ringan, sambil
menyelonjorkan kaki. "Kalau aku jadi kau, tentu akan kuminum kembali air itu!"
"Kau tahu namaku pula! Sekarang, aku tahu. Kau tentunya tokoh sesat yang
mengincarku sekian lama!" tuding Andika alias Pendekar Slebor, ksatria muda
sakti dari Lembah Kutukan yang sepak terjangnya terlalu banyak membuat muak
tokoh-tokoh sesat.
"Terserah apa katamu. Kau mau minum kembali atau tidak?"
"Ya! Setelah itu, aku mati!"
"Kau tetap akan mati, baik meminum airku atau tidak. Aku pun akan mati. Semua
orang akan mati. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup terus. Yang berbeda, cuma
cara dan waktu matinya...."
"Tapi tidak dengan cara seperti ini!"
"Kalau begitu, kau harus turuti kata-kataku. Minum air ini kembali...."
Suara penggembala tua itu seperti memaksa.
Kata-kata itu membuat Pendekar Slebor agak terusik. Air beracun yang diminumnya
sudah demikian banyak tadi. Tanpa perlu meminum kembali dari kantong air lelaki
tua itu, sudah bisa dipastikan nyawanya akan terlempar keluar dari raga oleh
racun ganas dalam tubuhnya. Lalu, akan terasa aneh kalau si tua ini justru agak
memaksa untuk meminum kembali airnya.
"Bagaimana" Makin banyak kau menimbang-nimbang, makin cepat racun dalam tubuhmu
menjalari aliran darahmu...," tawar si penggembala tua kembali, seraya
menyodorkan kantong kulit berisi air untuk kesekian kalinya.
Andika akhirnya mau juga menerima kantong air dari tangan lelaki tua itu, meski
harus susah payah menggerakkan tangannya. Sudah telanjur basah, pikirnya. Tanpa
meminum kembali air dalam kantong itu, dia toh tetap akan mati digasak racun.
Kalau ternyata racun dalam tubuhnya malah bertambah, paling tidak, bisa mati
tanpa tersiksa.
Selesai meminum kembali air dalam kantong kulit beberapa teguk, perlahan-lahan
Andika merasa kepalanya mulai ringan kembali. Rasa mual dan sesak di dadanya pun
enyah entah ke mana. Termasuk cekikan di tenggorokannya.
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Slebor sudah pulih benar. Bagian-bagian
tubuhnya bisa digerakkan kembali dengan leluasa.
"Sekarang kau percaya kalau aku tidak berniat membunuhmu, bukan?"
kelakar si penggembala tua. Diperlihatkannya sebaris gigi yang tumbuh renggang.
Andika sama sekali tidak menganggap gurauan kecil itu lucu. Dan keningnya pun
berkerut. "Aku tak mengerti, apa maksudmu dengan meracuniku tadi?" tanya Pendekar Slebor
ingin tahu. Kegusarannya, entah bagaimana, diganti rasa penasaran.
"Aku tidak meracunimu, Pendekar Slebor! Bukankah sudah kukatakan sebelumnya" Dan
aku sengaja tak memperingatimu, agar kau bisa menjadikannya pelajaran. Jadi kau
nanti bisa tetap berhati-hati terhadap orang yang tampaknya baik, namun
sebenarnya memiliki hati keji. Aku tunggu ucapan terima kasihmu!" gurau si
penggembala tua lagi.
"Jadi, selama ini yang kau minum cuma air racun?" susul Andika agak terperanjat.
Memang, cuma orang sinting yang ingin menjadikan air beracun sebagai minuman
sehari-hari, Andika tak habis pikir jadinya.
"Kau mau tahu?" tanya si penggembala tua.
Laki-laki tua itu bangkit, lalu melemaskan otot-otot dengan menggeliat sejenak.
"Ini.... Bawalah kantong airku ini. Suatu saat, kau akan tahu kenapa aku
melakukannya."
Kemudian si penggembala tua itu melemparkan kantong air kusam pada Andika.
Pendekar Slebor menangkapnya dengan pertanyaan tak terjawab di hati. Sedangkan
si orang tua melenggang pergi begitu saja.
*** 3 Sebuah kapal yang kalau dilihat dari umbul-umbul yang ada berasal dari Kerajaan
Cina, merapat di dermaga sebelah barat tanah Jawa. Megah dan angker dengan layar
bertuliskan huruf Cina besar. Gambar seekor naga tampak melatar belakangi
tulisan itu. Dari bentuknya jelas sekali kalau itu adalah kapal perang.
Panjangnya sekitar lima puluh tombak.
Sedang lebarnya sekitar lima belas tombak.
Warna kapal perang itu macih cerah. Namun bukan berarti kapal baru.
Justru, usianya cukup tua dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang
diperkukuhnya. Bisa jadi kendaraan perang samudra itu telah mengalami pemugaran.
Setelah sauh dibuang, gerbang di lambung kapal tampak menganga. Tak lama,
jembatan dari papan berpermadani pun menjulur dari dalamnya.
Begitu ujung jembatan bertemu bibir dermaga, keluarlah seorang putri berwajah
cantik. Lelaki mana pun pasti akan ternganga bisa menyaksikan wajahnya yang
sarat keagungan sekaligus keanggunan.
Tak seperti layaknya seseorang yang baru tiba di negeri asing, mata sang putri
tampak tak memperhatikan suasana dermaga besar yang sarat kesibukan. Bahkan
sekalipun matanya tak melirik beberapa penduduk asli yang terlongong menatap
kemegahan kapal atau mendapati kecantikan sang putri. Mata yang bergaris dan
jeli milik pembesar wanita Cina itu seperti terpaku kaku, pada satu titik di
kejauhan sana. Apa yang diperhatikannya" Tidak ada! Orang lain tentu menganggap
putri dari negeri cina ini angkuh. Namun itu pun tidak benar. Karena, sebenarnya
mata wanita agung jelita itu buta!
Kaki langsing sang putri mulai bergerak perlahan di sepanjang hamparan permadani
tebal buatan Parsi yang menyelimuti jembatan kayu.
Sementara dia berjalan, angin tanah Jawa memberi tabik dengan sapuan ramah.
Sehingga, membuat pakaian kebesaran dari sutera hijau miliknya menjadi
menggelepar kecil.
Para prajurit, baik yang berdiri tegap di sepanjang sisi buritan atau di kedua
sisi pintu kapal, memberi penghormatan pada putri cantik yang buta ini.
Tepat di belakang sang putri, berjalan mengiringi seorang pemuda yang
kegagahannya sebanding dengan kecantikan putri di depannya. Pemuda itu
mengenakan baju panjang khas Cina berwarna biru tua. Setiap melangkah, kakinya
tersembul ringan dari belahan baju panjangnya.
Celana panjang yang dipakainya pun berwarna biru tua pula. Dengan rambut
dikepang teratur, ditambah ikat kepala berwarna merah, dia makin tampak
berwibawa. Di tangannya yang terangkat ke depan dada, terdapat pedang bergagang
kepala naga yang tersimpan dalam warangka kayu berukir, terbungkus kain sutera
berjumbai-jumbai benang emas.
Pemuda itu tak lain Chin Liong. Dialah salah seorang sahabat Pendekar Slebor
dari negeri Cina yang jauh di seberang samudera sana.
Putri di depan Chin Liong, ternyata Putri Ying Lien. Dia adalah pewaris Kerajaan
Cina yang telah berhasil memulihkan gejolak pemberontakan di dalam negerinya.
Bahkan juga berhasil merebut kembali kursi kerajaan atas bantuan Pendekar
Slebor. Dengan begitu, tentu saja kedua orang dari negeri Cina ini merasa amat
berhutang budi pada pendekar muda tanah Jawa itu (Baca: "Pusaka Langit" dan
"Pengejaran Ke Cina").
Tujuan mereka jauh-jauh membelah samudera pun, sebenarnya berhubungan erat
dengan Pendekar Slebor. Bukan sekadar untuk singgah mengunjungi sahabat lama,
tapi lebih dari itu.
Langkah Putri Ying Lien telah tiba di anak tangga dermaga. Sementara Chin Liong
segera mendekati hendak menawarkan jasa.
"Boleh kubantu, Tuan Putri?" aju Chin Liong.
Putri Ying Lien tersenyum, sampai barisan gigi putihnya tersembul kecil.
"Kenapa tiba-tiba kau memanggilku Tuan Putri, Chin Liong?" tanya Putri Ying Lien
seraya mengangkat tangan kanannya yang segera disambut Chin Liong.
"Karena aku harus menjaga wibawamu di depan penduduk tanah Jawa ini," jawab Chin
Liong berbisik. "Lagi pula, terlalu banyak prajurit yang akan mendengar. Kalau
aku memanggilmu dengan nama saja, apa nanti pikir mereka?"
Lalu pemuda itu pun tersenyum samar.
"Terima kasih, kalau kau begitu memperhatikan wibawaku sebagai Ratu baru
kerajaan kita. Tapi rasanya, kewibawaanku tidak terjamin dari panggilan
kehormatan saja, bukan?" tukas Putri Ying Lien perlahan, tapi menyentil.
Setelah itu, wanita anggun ini pun mulai menuruni tangga dermaga yang agak licin
karena tampias ombak. Tangannya masih berpegangan pada tangan Chin Liong.
"Kalau kau berbicara seperti itu, aku jadi teringat sahabat kita...," ujar Chin
Liong lagi. "Andika maksudmu, bukan?" duga Putri Ying Lien.
Chin Liong menjawabnya dengan deheman.
"Tak ingat kalau dia begitu berpegang teguh pada satu pendapatnya"
Katanya waktu itu, nilai manusia hanya bisa ditinggikan dari dalam dirinya
sendiri. Apa kau tak ingat pada pemuda itu juga?" lanjut Chin Liong bernada
menggoda. Wajah Putri Ying Lien sedikit bersemu merah. Namun, dia masih bisa menguasai
diri untuk tidak menundukkan wajah. Pribadinya memang tak gampang digoyang.
"Tentu saja," ucap wanita itu pasti. "Apa aku tak boleh rindu pada seorang
sahabat?" Chin Liong mau tertawa saat itu. Tapi, segera ditahannya. Lagi-lagi dia tak mau
wibawa Putri Ying Lien yang sudah seperti saudara kandungnya sendiri, menjadi
terusik. "Kau pandai menghindar...," ledek Chin Liong, perlahan sekali.
"Apa katamu?"
"Tidak apa-apa...."
Memang tak salah perkiraan Chin Liong. Putri Ying Lien tampaknya memaksakan
diri, untuk memenjarakan perasaan sebenarnya, terhadap diri pemuda urakan
berkesaktian tinggi dari tanah Jawa yang sedang dibicarakan.
Chin Liong yakin Putri Ying Lien tak sekadar menaruh perhatian terhadap Pendekar
Slebor. Malah lebih tepat jika dikatakan sudah mulai mengagumi. Bahkan mungkin
sudah tersemai benih cinta yang selalu saja dicoba untuk menyingkirkannya.
Pada saat Chin Liong mulai membicarakan Pendekar Slebor tadi, Putri Ying Lien
malah lebih dahulu memikirkannya. Membayangkan, bagaimana gaya anak muda itu
berbicara. Bagaimana dia tertawa. Tentang pribadinya. Juga, tentang pelukan
penuh perlindungan yang diberikan ketika mereka berhasil melewati masa genting
dalam pertarungan melawan musuh-musuh besar kerajaan dahulu.
"Kau melamun lagi, pasti...," kata Chin Liong. Kata-kata Chin Liong yang
terputus, menghanguskan bayangan yang tak sengaja dijalin Putri Ying Lien
kembali dalam benaknya.
"Bukankah kau seharusnya naik kereta kuda untuk mencari penginapan sebelum para
prajurit menemukan Andika?" susul Chin Liong.
Putri Ying Lien tersipu.
"Aku lupa," katanya.
Kereta kuda kerajaan yang dibawa serta dalam kapal pun tiba di dekat Putri Ying
Lien. Putri itu naik ke dalamnya. Dan Chin Liong pun menyusul.
"Kau tunggulah di penginapan. Soal pencarian Andika, biar semuanya aku yang
urus," kata Chin Liong dalam kereta yang sudah berlari perlahan menuju barat.
Di belakang, tampak empat orang perwira kerajaan yang ikut serta mengiring
dengan kuda masing-masing. Sedangkan puluhan prajurit, berlari-lari di kedua
sisi jalan. *** "Yang Mulia tak ada!" lapor seorang prajurit yang baru tiba dari kamar Putri
Ying Lien. Dua hari lalu, rombongan dari negeri Cina itu telah menyewa seluruh kamar di
salah satu penginapan mewah di pinggiran kotapraja.
Selama ini, Chin Liong bersama dua perwira dan beberapa prajurit, mencoba
mencari Pendekar Slebor. Mereka juga sudah mencoba menghubungi penguasa
setempat, agar bisa mendapatkan bantuan.
Setidaknya, keterangan untuk menemukan Pendekar Slebor.
Mulanya, penguasa setempat ingin menyiapkan penyambutan bagi rombongan Kerajaan
Cina ini. Mereka ingin menjalin persahabatan. Tapi, Chin Liong terpaksa
menolaknya karena tidak merencanakan untuk mengadakan kunjungan persahabatan.
Mereka ke tanah Jawa semata-mata karena hendak menemui Pendekar Slebor.
Setelah dua hari berusaha mencari, hasilnya nihil. Itu pun sudah dibantu
pengerahan prajurit penguasa setempat. Pendekar muda itu memang sulit ditemukan.
Seperti juga sifatnya yang angin-anginan.
Tujuan langkahnya pun angin-anginan pula. Datang dan pergi begitu saja.
Dia akan bersikeras tinggal jika ada satu masalah yang harus diselesaikan.
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sewaktu hendak melapor pada Putri Ying Lien di ruang tamu penginapan, Chin Liong
menyuruh salah seorang prajurit menyampaikannya ke kamar Putri Ying Lien.
Sekaligus memberitahukan kalau dirinya sudah tiba.
Dan begitu si prajurit kembali ke ruang tamu, Chin Liong justru mendapat berita
mengejutkan. "Apa maksudmu"!" tanya Chin Liong hampir menghardik. Bagaimana dia tidak
terkejut, mendengar Putri Ying Lien tidak ada.
"Yang Mulia telah menghilang dari kamarnya!" ulang prajurit tadi, menegaskan.
Rahang pemuda Cina itu mengeras. Otot-otot wajahnya seperti ditarik mendadak.
Apa-apaan ini" Cepat Chin Liong berlari menuju kamar Putri Ying Lien, diikuti
prajurit yang melapor.
Setibanya di kamar Putri Ying Lien, Chin Liong menemukan enam prajurit andalan
bergeletakkan lunglai, seperti kehilangan tulang. Mata mereka berkedip-kedip
takut, begitu tahu kalau Chin Liong yang kini menjadi panglima perang kerajaan
datang. Jangan ditanya, bagaimana pucatnya wajah keenam prajurit itu. Sebab, ini
perkara amat besar yang menyangkut nyawa Ratu mereka sendiri. Kalau sampai
terjadi apa-apa pada diri gadis itu, maka kepala mereka harus dijadikan
tebusannya! Meski kemarahan menggelegak di dada, Chin Liong tak segera meledak.
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara tersendat diamuk kegusaran, Chin Liong bertanya pada seorang
prajurit jaga setelah membebaskannya.
Si prajurit bangkit takut-takut.
"Seseorang menculik Yang Mulia, Panglima!" lapor kepala prajurit dengan tubuh
menegang. Kepala prajurit itu agak menengadah, takut menghadapi tatapan panas panglimanya.
Karena itu pula jakunnya yang besar jadi terlihat jelas turun naik, seperti ada
seekor anak katak melompat-lompat dalam lehernya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" lanjut Chin Liong. Nada suaranya agak meninggi.
Mulut si prajurit megap-megap. Dia mau bicara, tapi begitu sulit.
"Tit... tit... tidak tahu, Panglima. Ses..., sewaktu kami sedang berjaga, tahu-
tahu saja berkelebat bayangan seseorang. Begitu cepat, bahkan kami tak sempat
menyadari ketika tertotok. Ap... ap... apa di penginapan ini ada hantunya,
Panglima?" jelas prajurit itu susah payah.
Otot di bagian rahang Chin Liong tersembul-sembul. Terdengar pula gemeletuk
gerahamnya. Dimasukinya kamar dengan langkah terbanting.
Pintu kamar dikuaknya beringas, sebagai sasaran kemarahannya.
Mata memerah ksatria Cina itu mengawasi setiap jengkal kamar. Seolah dia hendak
mencungkil apa pun yang tampak mencurigakan. Namun sampai sejauh itu, tidak juga
menemukan apa-apa.
"Bagaimana dengan dua perwira yang bertanggung jawab pada penjagaan Putri?"
tanya Chin Liong kembali, pada prajurit yang meliriknya takut-takut.
"Maaf, Panglima. Aku tit... tit... tidak tahu...."
"Kau...," rutuk Chin Liong.
Bagai mana mungkin dua perwira yang ilmu bela dirinya tergolong hebat, bisa
menghilang seperti ditelan hantu" Pikir Chin Liong, tanpa mau meneruskan
kejengkelannya pada prajurit tadi.
Di kerajaan mereka, dua perwira itu bahkan sudah berada setingkat di bawah tokoh
kelas atas Cina. Itu sebabnya, mereka diangkat sebagai perwira yang diandalkan.
Diandalkan" Kata itu sekarang sepertinya hanya jadi pepesan kosong.
Tanpa banyak keributan, si penculik sanggup membuat mereka tak berdaya. Bahkan
kini tidak diketahui, ke mana mereka.
Mata Chin Liong tiba-tiba tertumbuk tanpa sengaja pada suatu yang tak wajar.
Tampak langit-langit kamar agak mencembung keluar. Ada beban yang terlalu berat
membuatnya begitu.
Tangan Chin Liong pun merambat menuju pedang di punggungnya.
Kemudian prajurit yang sudah terbebas dari totokan diisyaratkan untuk bersiaga.
Lembut sekali. Tanpa melahirkan suara sedikit pun, pedang panjang Chin Liong
terangkat dari sarungnya dan dihunuskan di depan dada. Dia pun mulai mendekat ke
bawah langiat-langit kamar, dengan langkah sangat ringan. Seekor tikus pun
mungkin tak bisa mendengar langkahnya.
Padahal, belahan-belahan lantai kayu kamar akan berderit bila diinjak kecil
sekali pun. Tetap dengan mata tak berkedip yang terpusat pada langit-langit kamar, Chin
Liong tiba tepat di bawah bagian yang dicurigai. Kemudian lambat tapi pasti,
mata pedangnya terayun ringan ke belakang. Dan....
Sing! Trash! Seperti membeset kulit pelepah pisang, mata pedang Chin Liong bergerak amat
cepat, menyambar langit-langit. Sekejap berikutnya, terdengar bunyi berderak
riuh akibat patahan langit-langit kamar.
Krak! Bruk-bruk!
Dua tubuh jatuh berdebam meninju lantai kayu. Ternyata, mereka adalah dua
perwira yang semula dikira hilang oleh Chin Liong!
Masih dengan sikap waspada, Chin Liong meneliti kedua perwira itu dengan
tatapannya. Dada keduanya masih berkembang-kempis teratur.
Wajah mereka pun tak terlihat lebam. Juga, tak ada tanda-tanda kalau mereka
mengalami luka dalam. Keadaan mereka tak beda orang yang sedang tertidur pulas.
Chin Liong memasukkan pedang ke dalam sarungnya, lalu berjongkok di dekat dua
tubuh perwira tadi. Sebentar dia meraba salah satu bagian tubuh mereka.
"Hm.... Totokan hebat yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Ditempatkan pada bagian yang demikian tersembunyi, membuat mereka kehilangan
keseimbangan pada bagian otak yang mengatur keadaan jaga seseorang. Sial! Aku
sendiri pun belum sanggup mempelajarinya!" rutuk Chin Liong, jengkel bukan main.
Pemuda itu berdiri lemas. Bagaimana dia bisa menolong Putri Ying Lien, sementara
untuk membebaskan dua perwira dari totokan saja sudah tak sanggup"
Mendadak wajah Chin Liong berubah tegang kembali. Mata sipitnya tak berkedip.
Bola matanya bergerak ke satu arah di bagian kamar. Dia ingat sesuatu.
"Astaga.... Pedang Pusaka Langit," desis pemuda itu.
Setelah itu bagai orang kesetanan, Chin Liong memburu ke tempat yang menjadi
tujuan pandangannya barusan. Di sana, ada sebuah peti baja yang terkunci dari
gembok baja pula.
Chin Liong cukup lega, melihat peti baja maupun gemboknya masih dalam keadaan
wajar. Biar begitu, hatinya tetap tak akan puas jika belum meneliti dalamnya.
Cepat dikeluarkannya anak kunci dari balik pakaian.
Maka peti pun dibuka.
Seketika itu pula, mata Chin Liong membeliak. Wajahnya berubah-ubah cepat.
Pucat, memerah dadu, lalu memucat lagi. Cetusan rasa kegeraman yang berbaur
menjadi satu dengan rasa kekhawatiran.
Bagaimana tidak jadi was-was" Sementara Putri Ying Lien belum lagi diketahui
rimbanya, pedang pusaka kerajaan pun hilang! Pedang itu adalah pedang sakti yang
amat langka. Seseorang bisa melipat gandakan kesaktiannya sepuluh kali, bila
memiliki pedang itu.
Adalah sebuah bencana jika pedang pusaka itu jatuh ke tanah orang-orang sesat!
"Sial..., sial..., sial!" maki Chin Liong.
Pemuda ini tidak bisa lagi membendung kemarahannya. Pertahanan dirinya sudah
ambrol. Darahnya terasa seperti hendak menjebol ubun-ubun.
"Ada apa, Panglima?" tukas seorang prajurit sambil mendekat tergesa.
Chin Liong tak cepat menjawab, karena sibuk mengatur napasnya yang memburu.
"Pedang Pusaka Langit pun telah hilang...," kata Chin Liong mendesis berat.
Prajurit itu terbelalak. Dia pun tak kalah was-wasnya, kalau pedang itu sampai
jatuh ke salah tangan. Negeri ini bisa menjadi tempat pembantaian biadab. Kalau
itu terjadi, maka merekalah orang-orang yang pertama kali harus bertanggung
jawab. "Bagaimana mungkin, Panglima?" ucap si prajurit. Matanya yang sipit kian
menyipit. "Bukankah peti dan kuncinya masih dalam keadaan baik?"
Chin Liong menggeleng lunglai. Kemarahan telah menguras tenaganya sccara
berlebihan. "Aku tak tahu. Tampaknya kita berurusan dengan seorang yang amat lihai. Dia
sanggup menotok perwira kita tanpa bisa dibebaskan. Kini pun kita tahu, dia juga
mampu mencuri pedang pusaka tanpa merusak peti baja atau membobol kuncinya.
Manusia macam apa yang bisa melakukan semua itu dalam waktu demikian cepat,
Prajurit.'"
Si prajurit meringis ngeri. Timbul lagi bayangan dalam benaknya.
tentang hantu penginapan yang bergentayangan....
Lalu, tengkuk si prajurit pun meremang. Dia bergidik, sampai bahunya pun
mengedik-ngedik tanpa disadari.
"Apa benar perkiraanku, Panglima...," prajurit itu berbisik hati-hati di dekat
Chin Liong. Chin Liong menoleh, meminta jawaban.
"Mungkin benar semuanya dilakukan hantu penginapan ini...."
Chin Liong menggelengkan kepala. Mana ada hantu memerlukan pedang"
"Kerahkan seluruh pasukan. Termasuk sebagian prajurit yang masih berjaga di
kapal! Malam ini juga, kita cari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit!"
tandas Chin Liong kemudian.
*** 4 Malam ini juga, hampir seluruh pasukan dikerahkan Panglima Chin Liong untuk
mencari Putri Ying Lien. Bahkan dengan hormat, dia pun meminta bantuan pasukan
dari penguasa setempat. Kalau sebelumnya mendapat bantuan untuk mencari Pendekar
Slebor, tapi kali ini mendapat bantuan besar-besaran untuk mencari Putri Ying
Lien dan Pedang Pusaka Langit.
Agar tak terjadi keresahan di kalangan penguasa setempat, sengaja hilangnya
Pedang Pusaka Langit dirahasiakan. Chin Liong hanya mengutarakan permohonan
bantuan untuk mencari Putri Ying Lien. Itu saja.
Sinar bulan mendukung pencarian. Bentuknya membulat penuh begitu anggun.
Sinarnya merambah ke segenap sela-sela pepohonan.
Dini hari nyaris mati. Subuh makin dekat. Ayam-ayam jantan sudah memperdengarkan
kokok gagahnya, siap menyambut fajar yang sebentar lagi menampakkan diri. Sejauh
itu, pencarian belum menemukan titik terang.
Seluruh penjuru wilayah telah ditelusuri. Sudut-sudut kotapraja, lembah, bahkan
hutan di pingiran kotapraja tak luput disatroni.
Hasilnya, tetap nihil. Tak ada setitik petunjuk pun.
Hambatan utama, karena pencarian dilakukan malam hari. Untuk bertanya-tanya saja
sulit. Mengingat, hampir seluruh warga terlelap di kediaman masing-masing.
Padahal keterangan dari setiap orang amat diperlukan dalam satu usaha pencarian.
Membangunkan mereka pun tak ada gunanya. Penculikan dilakukan pada malam yang
sudah cukup Iarut, saat orang lebih suka mendekati pembaringan. Di samping
sakti, si penculik pun sepertinya amat lihai memanfaatkan suasana.
Chin Liong pun mengakui kehebatan kerja penculiknya, meski gusar setengah
mampus. Artinya, persoalan yang harus dihadapi bukanlah sepele. Ini persoalan
besar, menyangkut calon musuh yang besar pula.
Tak mungkin penjahat ketengan mampu melaksanakan kerja sesempurna itu.
"Benar-benar nasib buruk sedang menjerat kita," gerutu Chin Liong ketika seorang
perwiranya melaporkan hasil pencarian. "Baru saja tiba di negeri orang, kita
sudah dipecundangi demikian jauh...."
Namun Chin Liong bukan termasuk orang yang gampang patah semangat.
Sebagai seorang ksatria yang mendapat kepercayaan tinggi dalam pemerintahan
kerajaan, pantang baginya memiliki mental keropos. Dia hanya khawatir, bahkan
teramat khawatir, pada keselamatan Putri Ying Lien. Pertama, karena Putri Ying
Lien adalah seorang Ratu kerajaan yang amat dicintai rakyat dengan kepemimpinan
yang adil dan bijaksana.
Kedua, karena Putri Ying Lien sejak kecil sudah begitu dekat dengannya. Sempat
pula pemuda itu mencintai Putri Ying Lien. Namun, gadis itu selalu menegaskan
kalau Chin Liong hanya dianggap sebagai saudara semata.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Panglima?" tanya si perwira, agak sungkan mengusik
keterpakuan Chin Liong mengenang masa-masa manisnya dulu bersama Putri Ying
Lien, semasa di perguruan.
"Aku harap, tak perlu memaksakan para prajurit dan tak terlalu menyusahkan tuan
rumah...," kata Chin Liong seperti bergumam.
"Maksud, Panglima?"
"Aku mau pencarian terus dilakukan. Paling tidak, sampai kita mendapat secercah
keterangan tentang Tuan Putri kita," kata Chin Liong menegaskan.
"Kalau itu kehendak Panglima, kami akan menjalankannya."
Si perwira, segera beranjak. Sebelum jauh benar, dia menoleh sejenak.
"Asal kau tahu saja, Panglima.... Aku dan seluruh prajurit lebih suka kalau
diperintahkan untuk terus mencari. Kau tahu sebabnya" Karena, kami begitu
mencintai Yang Mulia Putri Ying Lien...," tambahnya dengan raut wajah prihatin.
Chin Liong tersenyum tawar.
"Kau benar, Perwira," timpalnya, sama tawar.
Sewaktu hari nyaris disapu warna jingga pucat sang mentari pagi, perkembangan
terjadi. Seorang prajurit berkuda dari pihak tuan rumah dengan tergopoh-gopoh
mendatangi Chin Liong yang sedang menyusuri pinggiran hutan karet.
"Tuan Chin Liong! Aku diperintah Adipati untuk melaporkan tentang Yang Mulia
Putri Ying Lien," lapor orang itu.
"Teruskan," perintah Chin Liong dengan mata berbinar di antara garis
kekhawatiran wajahnya.
"Orang kami telah menemukan Yang Mulia Putri Ying Lien...."
"Benarkah itu"!" sentak Chin Liong, terlonjak. Tanpa sadar, laporan yang belum
lagi dituntaskan telah dipenggalnya.
"Tapi, dia berada dalam kekuasaan seseorang," sambung orang yang melapor.
"Bagaimana keadaannya?" susul Chin Liong, tergesa.
"Kami belum bisa memastikan, karena hanya salah seorang dari kami yang melihat
seseorang berlari membopong wanita berpakaian dan berwajah mirip dengan gambaran
Tuan tentang Putri Ying lien!"
"Berlari" Artinya, penculik itu kini sedang dikejar?"
Si pelapor menggelengkan kepala ragu.
"Sulit, Tuan. Dia bergerak seperti demit. Waktu itu, kami hanya para prajurit
yang berkemampuan tak seberapa."
Wajah Chin Liong menampakkan kekecewaan kembali.
"Tapi, kami tahu arah orang itu berlari!"
Secercah harapan kembali tersembul di bias wajah pemuda Cina itu.
"Kalau begitu, cepat katakan ke mana arahnya"! Biar aku sendiri yang akan
mencoba mengejar!"
Lelaki di depannya menautkan alis.
"Tapi, Tuan. Apa Tuan sejak tadi tak melihat seseorang mencurigakan?"
"Apa maksudmu, Prajurit?"
"Aku justru berkuda di sini, karena hendak mencoba menguntit orang itu. Sampai,
aku bertemu Tuan...."
"Jadi..., orang itu sebenarnya berlari ke arah sini"!" sentak Chin Liong dengan
mata agak membesar.
Tanpa sempat menyaksikan anggukan orang yang melapor....
"Hua ha ha he he heee...!"
Chin Liong bersama satu perwira dan empat prajurit tersentak dengan suara tawa
seseorang yang demikian menggelegar, memporakkan suasana pagi yang damai.
Chin Liong terperangah. Sigap sekali tubuhnya diputar ke arah melompatnya suara
tawa. Sekedip dari geraknya, tangan kanannya menyambar gagang pedang dari
punggung. Lalu, menghunuskannya dengan kuda-kuda siap tarung.
Keterperangahan yang lebih besar harus ditelannya begitu
menyaksikan, siapa orang yang datang. Orang itulah yang menculik Putri Ying
Lien. Matanya menyaksikan tubuh gadis itu di bahunya. Tapi, benarkah semua itu akan
tetap menjadi persoalan" Karena orang yang berdiri dan masih tertawa terpingkal-
pingkal adalah.... Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Andika?" semprot Chin Liong.
Dikatakan gusar, tidak. Dibilang gembira pun sulit. Jantung Chin Liong nyaris
tersobek gara-gara khawatir pada keselamatan Putri Ying Lien.
Bahkan khawatir pula pada bencana yang bakal menimpa tanah Jawa, karena Pedang
Pusaka Langit. Sekarang setelah dia bertemu penculiknya, orang itu justru adalah
pendekar muda yang sedang diharap-harapnya.
"Hey, jangan mengomeliku dengan bahasa Tiongkokmu!" kelakar Andika.
"Aku bilang, apa-apaan kau ini"!" ralat Chin Liong, sembari menyarungkan pedang
kembali. Lalu, dihampirinya Andika.
"Tanyakanlah pada Tuan Putrimu sendiri!' jawab Andika, masih dengan sisa
cengirnya yang sungguh mati tak bagus! Diturunkannya tubuh Putri Ying Lien yang
sebenarnya tidak apa-apa itu.
"Apa kau baru kenal Pendekar Slebor, Chin Liong?" ujar Putri Ying Lien disertai
senyum tipis yang ditangkap Chin Liong sebagai senyum senang.
"Rupanya dia sudah tahu kalau kita ke sini. Dan dia pun ingin membuat kejutan,
yang sedikit sinting untukmu. Mulanya aku menganggap semua itu terlalu konyol.
Tapi kau tahu sendiri...."
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala Putri Ying Lien menoleh ke arah Andika.
"Pendekar kita ini terlalu keras kepala untuk di-
tolak..." Sampai di situ Chin Liong hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Benar kata Putri Ying Lien barusan. Ini benar-benar kejutan yang tidak hanya
sedikit sinting, tapi benar-benar gila! Hatinya jengkel, campur aduk dengan
gemas. Pantas saja Pedang Pusaka Langit bisa menghilang, sementara petinya atau
pun kuncinya tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Bodoh sekali dia! Bukankah
cuma Putri Ying Lien yang memegang kunci peti pedang itu"
"Heee! Kau mau memelukku atau hendak menjitak kepalaku, karena sempat kubuat
begadang semalam suntuk?" tukas Andika enteng saja.
Sepertinya Pendekar Slebor tak pernah berdosa telah menyusahkan begitu banyak
orang, hanya untuk mewujudkan gurauannya yang kelewatan.
"Rasanya aku ingin meninju keningmu, Andika!" seru Chin Liong, tak bersungguh-
sungguh. "Kalau begitu, silakan.... Mungkin dengan begitu sifat urakanku akan sembuh."
Chin Liong tertawa renyah. Andika malah tergelak besar. Lalu, keduanya
berangkulan akrab.
"Aku rindu kau, Pemuda Brengsek!" umpat Chin Liong.
"Heran! Aku justru tidak...."
Dengan gemas, perut Andika dihadiahkan bogem oleh Chin Liong.
"Dan kau perlu tahu pula, Tuan Putri kita pun pasti amat rindu padamu.
Buktinya, dia mau diajak jalan-jalan olehmu semalam suntuk. Kau tidak melakukan
yang bukan-bukan padanya. kan?" bisik Chin Liong.
"Chin Liong!" bentak Putri Ying Lien, rikuh. Telinganya yang selama ini menjadi
pengganti matanya, telah menangkap bisikan halus Chin Liong.
Kali ini Chin Liong sempat tergelak.
*** "Jadi apa maksud kalian mengunjungiku" Sekadar berkunjung, atau ada maksud yang
lebih penting?" tanya Andika ketika pada keesokan harinya, mereka berada di
kapal kerajaan Putri Ying Lien. Ketika kawan seperjuangan itu duduk saling
berhadapan di ruang kebesaran Putri Ying Lien, di atas kursi masing-masing.
Putri Ying Lien bangkit dari kursinya. Agak merayap, didekatinya sebuah laci
besar di dinding kayu ruangan.
"Sebelum kuberitahu, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Andika...," kata
gadis itu. Dari dalam laci besar berukiran Cina, putri jelita itu mengeluarkan segulungan
papirus. "Kau pernah melihat ini?" tanya Putri Ying Lien pada Andika.
Andika menggeleng.
Putri Ying Lien lantas menghampiri tempat duduk Andika.
"Ini adalah papirus, sarana menulis orang-orang Mesir. Seorang perwira
kerajaanku mendapatkannya dari seekor burung gurun. Lihatlah isinya!"
Andika menerima gulungan papirus hati-hati dari tangan Putri Ying Lien.
Dari rupanya, papirus itu sepertinya sudah demikian tua dan rapuh.
Maka dengan hati-hati pula, pemuda itu membukanya.
Papirus terbentang. Dan mata Andika pun menyaksikan sebuah lukisan piramida
serta patung singa berkepala manusia. Ditambah gambar tangan manusia yang
seolah-olah mempersilakan masuk ke dalam piramida.
"Kau diundang ke Mesir, Ying Lien...," ungkap Andika, mengutarakan pendapatnya.
"Ya! Aku pun berpendapat sama denganmu!" kata Chin Liong.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Andika kemudian.
Putri Ying Lien duduk kembali di kursinya.
"Aku berniat mengajakmu ke Mesir, Andika," ucap gadis itu.
"Mengajakku" Kalian yang diundang, kenapa aku harus diajak?"
"Firasatku mengatakan, kami akan membutuhkan pertolonganmu di sana...," papar
Putri Ying Lien, mengemukakan alasan.
"Ooo, jadi bukan karena kau ingin bersamaku?"
Putri Ying Lien menaikkan sudut bibirnya. Gadis ini termasuk tahan menerima
godaan si urakan, Pendekar Slebor.
"Panglima Chin Liong! Panglima!"
Tiba-tiba seorang perwira masuk ke dalam ruangan tergesa-gesa.
"Ada apa?" tanya Chin Liong.
"Burung gurun itu! Aku melihatnya kembali sedang berputar-putar tepat di atas
kapal kita!"
*** 5 Jauh di atas ubun-ubun kapal layar, seekor burung gurun tampak melanglang
angkasa, membawa keangkuhan dan ancaman yang sulit dimengerti. Burung inilah
yang juga pernah dilihat salah seorang perwira Kerajaan Cina, dan terlihat oleh
Kenjiro dan Hiroto di negeri Sakura.
Andika, Putri Ying Lien, Chin Liong serta para perwira dan prajurit berdiri diam
seperti tersihir atas kedatangan burung itu. Mereka memandangi dengan mata
mencerminkan kesan kekaguman, sekaligus kengerian.
"Kau yakin burung itu yang kau lihat?" tanya Andika pada perwira di sisinya.
Perwira yang ditanya mengangguk pasti.
"Bagaimana menurutmu tentang burung itu, Andika?" tanya Chin Liong.
"Memang ganjil. Tak semestinya burung gurun seperti itu berkeliaran di tanah
Jawa...," simpul Andika cepat.
"Tak semestinya juga berkeliaran di atas wilayah kami," timpal Putri Ying Lien.
Biarpun gadis ini tidak melihat langsung rupa burung itu, namun bisa tahu dari
penjelasan perwira yang melapor padanya beberapa waktu lalu.
Lalu semuanya kembali mengunci mulut serempak, seakan takut kehilangan burung
yang masih tetap melayang-layang berputar jauh di atas kapal. Sampai
akhirnya.... "Hey, lihat!" seru seorang prajurit di buritan tiba-tiba. Tangannya menunjuk ke
arah lain dengan sinar mata takjub tak terkira.
Seperti diberi aba-aba, semua yang berada di sana menoleh serempak ke arah yang
ditunjuk prajurit ladi. Bersamaan pula mereka dipaksa takjub. Ratusan burung
elang tampak melayang gagah menuju satu titik..., burung gurun!
"Apa lagi ini?" tanya Andika, tak habis pikir. Setelah itu dia hanya bisa
mengikuti apa yang terjadi.
Ratusan elang perkasa yang merentang sayap lebar-lebar mengendarai bayu, makin
dekat pada burung gurun. Mulanya berbondong bondong tanpa suara seperti kawanan
ksatria angkasa bisu. Ketika jarak makin dekat, jeritan lantang terdengar susul
menyusul, tindih-menindih.
"Kiiing! Kiiing!"
Mereka yang menyaksikan makin takjub. Benar-benar pertunjukan yang jarang
terjadi. Tak lazim burung-burung elang terbang berkawanan seperti itu, membentuk
susunan terbang yang sepertinya begitu teratur rapi.
Naluri bahaya dari seekor burung gurun memperingati. Burung dari tempat yang
jauh itu bisa merasakan, kalau kawanan elang hendak menyerang dirinya. Karena
itu, sayapnya dikepak kuat-kuat. Dite-jangnya udara, terbang sepenuh tenaga
untuk menjauh dari tempatnya semula.
Kawanan elang itu tak membiarkan calon korban menyingkir begitu saja.
Satu-satunya tujuan sepertinya hanya mendapatkan tubuh calon korban untuk
direncah ramai-ramai dengan cakar tajam mereka.
Seekor burung elang yang paling besar mengepak sayap lebih kuat, memisahkan diri
dari kelompoknya. Penuh kesan gagah laksana seekor panglima perang di medan
laga, dibuatnya satu tukikan tajam ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan
sasaran. "Kiiing!"
Dari arah atas, burung elang itu membuka cakarnya lebar-lebar. Dan punuk burung
gurun pun langsung menjadi tempat mendarat cakar elang itu.
Namun tak begitu mudah rupanya bagi sang elang untuk menundukkan burung gurun
yang sebenarnya tak kalah ganas. Belum lagi cakar sang elang merejam, burung
berkepala nyaris gundul itu membuat gerakan menyamping.
Sebentar burung nyaris gundul ini memutar tubuh. Lalu tubuhnya melayang deras,
berhadapan dengan arah terbang sang elang.
Dua ekor burung yang sama besar kini siap saling mencabik atau mematuk di udara.
Sampai pada saatnya...,
"Kaaakkk!"
"Kiiing!"
Keduanya sama-sama melepas teriakan menusuk angkasa. Saat yang sama cakar mereka
menyambar ke tubuh satu sama lain. Sang elang bisa merobek dada lawannya. Burung
gurun pun berhasil menyarangkan cakarnya ke dada sang elang. Maka gerakan
terbang keduanya sejenak limbung.
Burung gurun yang terkenal tangguh lebih dapat menguasai keadaan.
Otot-otot sayapnya mampu membuat gerakan keseimbangan terbangnya kembali, meski
dadanya sudah terembesi darah.
Secepatnya, burung itu memanfaatkan kelimbungan sang elang.
Didahului teriakan serak, diburunya lawan dari arah belakang.
Sayang! Pada kala itu pula, kawanan burung elang yang lain sudah tiba.
Cakar-cakar mereka langsung bergantian mencabik. Beberapa di antara nya malah
mencengkeram tubuh burung gurun kuat-kuat. Sampai akhirnya, burung gurun itu tak
berdaya lagi. Bulu-bulunya bertebaran tertiup angin, melayang-layang lunglai
seperti nyawa burung gurun yang ikut melayang direnggut cabikan cakar dan paruh
sang elang. Sementara itu orang-orang di atas kapal tertegun. Mereka seperti menyaksikan
sandiwara manusia yang dimainkan secara nyata oleh para makhluk di atas sana.
Bukankah manusia pun kerap begitu" Saling mencabik, cakar-mencakar untuk mencari
kepuasan dan kemenangan dengan darah sesama"
Selagi mereka tertegun, kawanan burung elang yang mencengkeram tubuh burung
gurun menjatuhkan bangkai itu ke geladak kapal.
"Aku tak mengerti, apa maksud kawanan elang itu. Aku yakin mereka adalah burung-
burung terlatih...," bisik Andika seraya menghampiri bangkai burung gurun.
Pada kaki burung itu, Andika menemukan gulungan papirus seperti pernah
didapatkan Putri Ying Lien. Maka dengan segera dibukanya.
Diperlihatkan isi papirus itu pada Putri Ying Lien.
"Papirus dengan isi yang sama...." ucap Chin Liong, memberitahu Putri Ying Lien.
"Ya! Papirus dengan isi yang sama!" Tiba-tiba terdengar suara orang lain
menimpali. Dan tahu-tahu saja, orang itu sudah ikut hadir di antara mereka.
Andika langsung menoleh ke arah orang itu, dan kontan terkejut. Orang itu sudah
dikenalnya beberapa hari lalu. Benarkah cuma dia saja yang mengenal si pendatang
baru itu" Tidak! Nyatanya, Putri Ying Lien pun agak terkesiap mendengar suara
itu. Termasuk, Chin Liong....
"Kau rupanya, Pak Tua Penggembala! Tak kukira kau akan bertandang juga ke kapal
sahabatku ini!" sambut Andika ramah. Lelaki yang baru datang memang Penggembala
Tua, yang pernah ditemui Pendekar Slebor beberapa waktu lalu.
"Selamat berjumpa lagi, Orang Tua!" sapa Chin Liong hangat. Dari caranya
melempar salam jelas sekali kalau dia sudah cukup mengenalnya.
"Kau mengenalnya?" tanya Andika pada Chin Liong.
"Ya! Beberapa waktu lalu, dia tinggal cukup lama di kerajaan kami.
Selama disana, dia banyak memberi banyak pelajaran baik pada para perwira, serta
para tabib kami...," Putri Ying Lien yang menyahuti pertanyaan Andika.
"Ah! Jangan dengarkan ucapan yang berlebihan itu!" sergah si orang tua, merasa
risih mendapat semua sanjungan Putri Ying Lien. "Aku hanya seorang petualang
kecil, yang mencoba menyusuri setiap jengkal tanah di bumi yang telah ditempati
manusia...."
"Petualang?" Andika berbisik sendiri.
Rasanya Pendekar Slebor sempat mendengar desas-desus tentang seorang tokoh
golongan putih yang sudah begitu banyak melanglangi wajah bumi. Hampir setiap
jengkal tanah berpenghuni telah dijejaki.
Karena itu pula, dia disebut-sebut sebagai si Gila Petualang. Disebut gila,
bukan berarti otaknya terganggu. Justru karena dia begitu tergila-gila untuk
terus berjalan, sepanjang bumi masih berputar pada sumbunya. Dan sepanjang
usianya masih memungkinkan, tentunya.
"Kebetulan sekali kau ada di sini, Orang Tua! Bagaimana kalau kau kuajak serta"!
Bukankah pengalamanmu bisa menjadi penuntun yang baik untuk perjalanan kami?"
Putri Ying Lien menawarkan.
"Bicara soal keberangkatan kita ke Mesir, aku jadi teringat pada papirus ini,"
sela Andika. "Aku menemukannya terikat di kaki burung gurun tadi. Bagaimana
menurutmu, Pak Tua?" tanya Andika.
Diserahkannya gulungan papirus di tangan pada laki-laki penggembala yang
ternyata berjuluk si Gila Petualang.
Si Gila Petulang mengamati sesaat.
"Benar.... Ini memang dari negeri Mesir sana. Usianya pun sudah begitu tua...,"
ungkap orang tua itu kemudian. "Hm.... Jadi aku memang tak salah lihat. Burung
yang direncah elang-elangku memang burung gurun."
"Jadi elang-elang tadi milikmu?" cetus Andika.
"Ah! Aku hanya memelihara dan melatih. Tak ada yang bisa memiliki mereka secara
mutlak. Mereka punya kebebasan dan naluri hidup sendiri."
Tiba-tiba pemuda dari Lembah Kutukan ini tersenyum seraya menjentikkan jarinya.
"Sekarang aku tahu, kenapa kau dulu mengatakan bebek-bebek milikmu sudah habis
dimakan. Rupanya, sudah kaujadikan santapan elang-elangmu itu bukan"! Maaf kalau
waktu itu aku menggangumu
penggembala... bebek! He he he. Rupanya kau hanya hendak memberi makan binatang-
binatang peliharaanmu yang hebat itu."
*** Sementara di tempat lain rupanya tengah berlangsung pertarungan puncak antara
dua tokoh sesepuh persilatan yang bisa dibilang sama-sama sinting. Keduanya
punya sifat berbeda. Yang satu begitu dingin, seperti gumpalan es kutub utara.
Sedang yang lain begitu lugu. Biar sifat berbeda, mereka tetap memiliki
kesamaan. Di samping sama-sama tua bangka, juga sama-sama memiliki kelainan
otak. Alias, kurang waras!
Nama keduanya amat santer di dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu
sebagai dua orang seteru. Yang satu berjuluk Hakim Tanpa Wajah. Dan yang lain
berjuluk Pendekar Dungu.
Beberapa waktu yang lalu, mereka mulai unjuk gigi lagi. Meskipun, sebenarnya
sudah sama-sama kehabisan 'gigi' (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi").
Hakim Tanpa Wajah yang berhasil lolos dari ancaman muridnya sendiri di
Pengadilan Perut Bumi beberapa waktu yang lalu, rupanya tetap penasaran terhadap
Pendekar Dungu. Dari dulu hingga sekarang, bahkan bila siap terjun ke liang
lahat sekalipun, dia akan tetap ingin mempecundangi Pendekar Dungu. Karena saat
masa jayanya dulu, Pendekar Dungu adalah salah satu orang yang tak bisa
ditundukkannya!
Hari itu, setelah mencari demikian lama dan mendongkolkan, Hakim Tanpa Wajah
akhirnya berhasil menjumpai si bangkotan bebal musuh lamanya. Dan tanpa salam
pertemuan atau basa-basi lagi, langsung saja diterjangnya Pendekar Dungu.
"He he he! Biar mampus kau, Bangkotan!" seru Hakim Tanpa Wajah seiring satu
sambaran pukulan intinya.
Saat itu pertarungan mereka sudah memasuki juus ke seratus dua belas.
"Eee! Kau saja yang mampus, sana!" balas Pendekar Dungu dengan bibir maju-mundur
sambil membalas sambaran dengan depakan kaki, setelah lebih dahulu menghindar.
Hakim Tanpa Wajah melayang ke belakang, lalu berdiri cukup jauh dari lawannya.
Sedangkan Pendekar Dungu tak memburu. Sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan
pertarungan yang demikian lama, tapi belum juga membawa hasil.
"Mana kawan jelekmu si Manusia Berbulu Hitam"! Biar kukepruk kepalanya sekalian!
Bukankah waktu itu kalian sudah bisa berjalan bersama, seperti anjing kura dan
kucing kudis yang insaf!" cemooh Hakim Tanpa Wajah.
Pendekar Dungu berpikir sebentar.
"Aku tak tahu, ke mana si biang monyet itu.... Apa kau tahu, ke mana dia" Apa
tak mungkin dia sedang mengeritingkan bulu-bulunya?"
ucapnya, polos sekali. Orang bebal seperti dia, mana tahu kalau dirinya tadi
sedang dicemooh.
Hakim Tanpa Wajah menyeringai. Sulit dikatakan senyum, sulit juga dikatakan
geram. Bibirnya yang begitu tersembunyi menjadi terlihat menjijikkan.
"Sebenarnya cuma dongkol yang kutelan, kalau berurusan denganmu.
Tapi tololnya, entah kenapa aku masih saja penasaran denganmu, otak udang sial!"
dengus Hakim Tanpa Wajah.
"Yang tolol aku, bukan kau! Berani-beraninya kau mengaku tolol padaku"!"
"Kaaak!"
Tiba-tiba terdengar suara serak di angkasa. Keduanya sama-sama menoleh. Kalau
burung biasa, jangan harap mereka akan peduli. Yang satu ini, lain sama sekali.
Begitu menurut pikiran mereka masing-masing.
"Idih, burung apa itu"!" seru Pendekar Dungu. "Jeleknya kok bisa nyaingi aku,
ya?" Begitu menyaksikan rupa burung yang mereka lihat, keduanya seperti kehilangan
semangat untuk melanjutkan pertarungan. Masing-masing tidak peduli lagi pada
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelengahan satu sama lain. Ada semacam kekuatan pesona yang dimiliki burung itu.
"Aneh juga..., baru kali ini aku melihat burung seperti itu" Burung dari mana?"
bisik Hakim Tanpa Wajah membatin. Alisnya yang tak kentara jadi bertaut.
Tak lama berikutnya, sesuatu dijatuhkan burung itu dari kakinya.
Wajah Pendekar Dungu berbinar. Tak tahu, apa yang sedang
dipikirkannya saat itu. Bisa jadi, dikira si burung menjatuhkan buah dari sorga.
"Tangkap! Tangkap!" seru Pendekar Dungu blingsatan.
Bersemangat dia memburu ke arah luncuran jatuh benda tadi. Biarpun terbilang
keropos, larinya masih lebih lincah daripada biang kadal buduk!
"Dapat!" teriak Pendekar Dungu setelah benda tadi disergapnya. "Apa ini! Oiii,
apa ini"! Aku dapat rejeki..., aku dapat rejeki!"
"Berikan padaku!" ucap Hakim Tanpa Wajah penuh tekanan dengan Wajah mengancam.
Pendekar Dungu mencibir. Dibukanya benda yang ternyata gulungan papirus.
Wajahnya lantas cemberut, begitu tak menemukan apa-apa di dalam-nya.
"Benda bau pesing! Kau mau ini" Nih, makan!" dengus Pendekar Dungu seraya
melempar kertas itu pada Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah menangkapnya, lalu memperhatikan seksama.
Beberapa saat kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang didapatkan
dari gambar di papirus. Sebentar kemudian, dicampakkannya papirus itu, lalu
pergi begitu saja dengan wajah sungguh-sungguh.
Tinggal si bangkotan berotak bebal yang terbengong sendiri.
Ditatapnya lama-lama papirus di tanah. Lalu, diambilnya benda itu.
Perlahan-lahan dibukanya papirus, dan dipelototinya sekian lama.
Beberapa saat kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk.
Seperti Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Dungu juga mencampakkan pula papirus tadi ke
tanah, lalu ngeloyor pergi. Apakah dia telah pula mendapatkan sesuatu" Mustahil!
Otak sebesar tempurung dengkul miliknya, tak mungkin mencerna maksud di papirus.
Dia cuma latah meniru lagak Hakim Tanpa Wajah barusan!
*** 6 Siang itu, kapal layar Cina milik Putri Ying Lien siap meniti samudera bebas
kembali. Mesir sebagai tujuan utama, memenuhi undangan yang penuh teka teki dari
seorang penguasa yang juga tak jelas. Siapa dia"
Dan mengapa mengundang banyak tokoh persilatan untuk memasuki piramidanya"
Bukankah amat aneh, kalau piramida itu sendiri sebenarnya adalah sebuah makam
raksasa" Mungkinkah penguasa Mesir yang mengundang telah mati"
Teka-teki besar tak perlu dijawab secepatnya. Yang harus mereka lakukan cuma
tiba secepatnya di sana.
Layar terkembang lebar, berkibar-kibar disapu sang bayu. Teriakan-teriakan riuh
para awak kapal terdengar. Sauh pun sudah diangkat.
Bersama Pendekar Slebor serta si Gila Petualang, kapal perang Cina ini
meninggalkan dermaga.
Langit memayungi samudera dengan wajah cerahnya. Sampai ke kaki langit sana,
mega-mega tipis saja yang tampak ramah. Angin pun berhembus bersahabat, cukup
untuk menuntun kapal layar melaju lurus.
Burung-burung pemburu ikan-ikan kecil terbang riang, seakan menyampaikan ucapan
selamat jalan. Di punggung kapal, Pendekar Slebor berdiri menyendiri, menatap tepian dermaga
yang kian menjauh. Ada perasaan kehilangan dalam dirinya saat itu. Perasaan yang
sama, seperti ketika meninggalkan tanah Jawa menuju negeri Cina dahulu.
"Selalu tak enak meninggalkan tanah kelahiran, bukan?" usik seseorang di
belakangnya. Ternyata si Gila Petualang telah berada di sana. Sama-sama berdiri, melepas
pandangan jauh ke dermaga yang mulai mengabur.
"Aku pun merasakan hal yang sama, setiap kali harus melanglang ke negeri orang.
Biar bagaimanapun, tanah pertiwi tetap membuat kita selalu rindu untuk kembali.
Sepertinya darah kita adalah darah yang mengalir dalam tubuh Tanah Pertiwi...,"
papar orang tua itu, terdengar agak lirih.
"Tapi kenapa kau tetap terus melanglang buana?" tanya Andika.
"Karena bumi ini luas, Anak Muda. Biar cinta pada tempat kelahiran, kita tak
bisa menjadi katak dalam tempurung!"
Andika tertawa kecil. "Benar katamu, Orang Tua," katanya. "O, ya....
Bisa kau bercerita sedikit tentang papirus itu" Kudengar dari Putri Ying Lien,
kau pernah menyinggahi negeri Mesir. Sedikit banyak kau tentu tahu makna gambar
dalam papirus itu, bukan?" susul Andika.
"Mesir...," si Gila Petualang menarik napas dan diam sesaat. "Negeri yang punya
banyak teka-teki. Tentang kuburan raksasa para rajanya, tentang kuil-kuilnya.
Tapi, kau tak akan menanyakan itu bukan" "
"Ya! Khususnya tentang piramida," tegas Andika.
Si Gila Petualang menggelengkan kepala.
"Aku tak tahu banyak tentang itu. Selama di sana, aku tak pernah masuk ke
dalamnya, meskipun begitu berhasrat. Tak bisa sembarang orang masuk kesana,
karena kuburan kebesaran seperti itu selalu di jaga seorang Pendeta 'Ka'...."
"Pendeta 'Ka'?" ulang Andika, langsung tergugah keingintahuannya.
"Seorang yang mendapat amanat untuk mengadakan misa 'Ka', sekaligus sebagai
pemelihara kuburan itu...."
Andika tercenung.
"Kalau undangan itu benar-benar datang dari seorang penguasa Mesir, tentu kita
akan bertemu orang seperti itu," gumam Andika seperti berkata pada diri sendiri.
Pendekar Slebor memang begitu ingin tahu tentang negeri asing yang disebut kawan
seperjalanan di sisinya sebagai negeri yang begitu banyak mengandung teka-teki.
"Hey! Siapa kau"! Kenapa bisa ada di sini"!"
Tiba-tiba terdengar hardikan seorang dari ruang bawah gudang kapal.
Andika dan si Gila Petualang cepat-cepat menuju tempat keributan.
Setibanya di sana, Pendekar Slebor menyaksikan seseorang yang sudah tak asing
lagi, dengan bentuk tubuhnya yang melengkung seperti tongkat. Wajahnya lucu,
namun menyebalkan. Dan orang tua ini pernah membuatnya dongkol setengah mampus.
"Pendekar Dungu?" sebut anak muda itu, seperti tak percaya pada penglihatannya.
Sementara orang tua yang dipanggil namanya malah sedang terbang dibawa mimpi di
antara tumpukan gentong-gentong anggur Cina. Salah satu gentong sudah berlubang.
Sebagian besar isinya berceceran.
Jangan tanya, ke mana perginya sebagian yang lain. Si bangkotan bebal itu tentu
sudah menggasaknya sampai mabuk!
Kalau lantai gudang basah dengan genangan anggur, maka dagu keriput tua bangka
itu basah dengan genangan air liurnya. Begitu nyenyaknya, sampai-sampai mulutnya
yang menganga lupa dikunci hingga seperti lubang tikus sawah.
Pendekar muda dari tanah Jawa itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak disangka akan
bertemu kembali dengan orang yang bisa membuatnya mati berdiri! Kini, si tua itu
ikut pula dalam kapal. Artinya, mau tidak mau, dia pun mesti diajak serta
memenuhi undangan penguasa Mesir.
"Sial...," rutuk hati Andika membatin.
"Biar orang tua tak tahu adat ini kubuang ke laut, Tuan Pendekar!"
Prajurit yang barusan menghardik meminta persetujuan Andika.
Wajahnya garang sekali dengan warna merah.
Mendengar ucapannya, Andika jadi tertawa.
"Jangan...," cegah pendekar muda itu. "Jangan-jangan, malah kau yang dilempar
jauh-jauh ke tengah laut...."
Mendengar ada nada kesungguhan dalam kata-kata Pendekar Slebor, si prajurit
meringis. Bergidik juga mendengarnya. Kalau seorang pendekar kesohor seperti
Pendekar Slebor berkata begitu, berarti si keropos yang kelihatan lemah itu
sebenarnya memiliki kehebatan setara dengannya. Atau mungkin juga lebih tinggi!
"Ya! Kurasa aku pun belum tentu sanggup melakukannya," timpal si Gila Petualang
jujur dan seadanya. Dia cukup kenal tokoh yang lebih dahulu melabrak dunia
persilatan, sebelum dirinya itu.
Nah! Makin meringis saja prajurit tadi!
"Kalau begitu, biarkan dia tertidur pulas di sana sampai terjaga. Suruh orang
mengawasi. Kalau sudah terjaga, cepat beritahu aku," perintah Andika.
Si prajurit mengangguk cepat. Kemudian, Pendekar Slebor dan si Gila Petualang
pun naik ke buritan.
*** Mesir kala itu sebenarnya merupakan tempat yang bisa disebut mempesona. Begitu
memasuki Sungai Nil, terpampanglah pemandangan yang menjerat perasaan. Warna
biru pucat terhampar di sepanjang sungai besar ini. Pantulan mentari menciptakan
kepingan-kepingan cahaya, seperti ribuan cermin kecil berkerlap-kerlip.
Di sepanjang sungai itu, banyak terhampar tanah pertanian yang memanfaatkan
Pedang Bintang 3 Pasangan Naga Dan Burung Hong Karya S D Liong Badai Laut Selatan 14
UNDANGAN RATU MESIR
PENDEKAR SLEBOR
Negeri Sakura. Tempat lahirnya para Samurai perkasa, ksatria-ksatria yang
mengarungi kehidupan di ujung maut. Di negeri matahari terbit ini, musim panas
bertabur cahaya terik menguasai sebuah daerah bernama Kyoto.
Siksaan musim panas tak berbelas sedikit pun, telah menyengsarakan pepohonan
yang biasanya marak dengan bunga berwarna-warni di musim semi. Daun-daun
berguguran tak berdaya. Sebagian masih melayang-layang di udara dalam warna
coklat matang, lalu tergolek di tanah.
Sehingga menambah lapisan daun-daun yang bertumpuk.
Hampir semua pohon telah telanjang yang tersisa hanya ranting-ranting meranggas
yang miskin daun. Jangan lagi yang berwarna hijau. Yang berwarna coklat pun,
sudah terkatung-katung menunggu ajal.
Entah datang dari mana, langit musim panas yang tak bersahabat, tahu-tahu sudah
disatroni seekor burung berukuran sebesar ayam jantan.
Warna hitamnya menjadi demikian mencolok, ketika terjilat cahaya si raja siang.
Dengan kepala yang tak berbulu serta paruh yang begitu besar, burung itu tampak
amat menakutkan. Lehernya agak panjang. Di sebagian lehernya tumbuh bulu putih
melingkar, seolah sedang mengenakan selendang.
"Koaaak! Koaaakkk...!"
Suara makhluk angkasa itu mencabik suasana lengang di sekitar hutan di pinggir
barat Kyoto. Ternyata ada satu sosok manusia yang memperhatikan gerak-gerik binatang itu dari
bawah sana. Seorang yang berperawakan kelebihan bobot. Perutnya memang tak
begitu buncit. Tapi, di seputar pinggangnya bertumpuk lemak. Dengan ukuran yang
tak terlalu tinggi, tubuhnya jadi tampak lebih gempal. Ditambah lagi, pakaiannya
yang terlalu kecil untuk ukuran badan sebengkak itu.
Seperti layaknya penduduk negeri Nipon, mata lelaki gemuk itu sipit.
Alisnya menghitam lebat melancip seperti mata tombak. Kumisnya tak bedanya ekor
tikus selokan. Panjang menjuntai, bergulung, dan melancip.
Bibirnya tampak lebih mancung dari hidungnya sendiri. Di atas keningnya yang
melebar, tumbuh rambut panjang yang dikepang teratur.
Di bawah sebuah pohon besar kering, sosok bertubuh gempal itu duduk mengampar.
Tak peduli lagi pada lemak perutnya yang berjejal-jejal keluar dari sela-sela
pakaian. "Kurasa burung ini sudah sinting," ucapnya seperti menggerutu dalam bahasa dan
logat Jepang kental. "Setahuku, burung jenis itu hidup di gurun- gurun.
Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini" Apa dikira musim panas tahun ini akan
membuat Kyoto menjadi gurun seperti tempat tinggalnya" Bhuh! Tak sudi aku!"
"Koakkk!"
Gerutuan lelaki gemuk tadi dibayar dengan teriakan serak burung di angkasa.
"Kau membuatku muak!" teriak si lelaki gemuk sambil menengadahkan kepala.
"Suaramu membuat telingaku tuli! Kenapa kau tak pergi jauh-jauh dari sini! Aku
memang memiliki kelebihan daging. Tapi, aku tak akan sudi membaginya padamu! Kau
dengar itu!"
"Koak!"
"Ada apa Kenjiro?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran. Ketika laki-laki yang dipanggil Kenjiro itu
menoleh di sebelahnya berdiri seorang lelaki berperawakan kekar. Bahunya yang
berotot terlihat menonjol. Begitu juga dada bidangnya, meskipun mengenakan
sejenis kimono yang cukup besar.
Wajah tampan laki-laki kekar berusia sekitar dua puluh enam tahun itu dilengkapi
rahang kekar persegi yang ditumbuhi jenggot tipis tak sempat dipangkas. Matanya
juga sipit, tapi memiliki sorot berpengaruh.
Sedangkan rambutnya hitam legam agak mengkilat, ditata apik membentuk ekor kuda
dengan ikatan khas.
Dari sepasang samurai panjang dan pendek yang terselip di masing-masing bagian
pinggangnya, langsung bisa diduga kalau dia adalah seorang ksatria.
"Kau lihat itu, Hiroto! Ada burung pemakai bangkai dari gurun nyasar ke tempat
ini...," kata Kenjiro seperti sedang melapor.
Lelaki bernama Hiroto yang baru datang mendongak ke angkasa. Dari tadi pun dia
memang sudah melihat burung itu berputar-putar di sekitar mereka.
"Aku sudah tahu sejak tadi," jawab Hiroto, pendek.
"Apa kau tak merasa aneh, Hiroto...?"
Hiroto cuma mengangguk kecil. Sikapnya benar- benar tenang berwibawa.
"Kira-kira, ada pertanda apa ini?" cecar Kenjiro.
Kepala Hiroto lagi-lagi bergerak. Kali ini dia menggeleng.
"Aku belum tahu," jawab Hiroto menegaskan arti gelengannya.
"Bagaimana" Apa kau sudah siap untuk melanjutkan perjalanan?"
sambungnya ke lain masalah.
Wajah berpipi tebal Kenjiro meringis.
"Aaah! Cepat sekali kita beristirahat. Rasanya keringatku pun belum kering. Dan
rasa capekku belum hilang benar...," keluh Kenjiro.
Hiroto tidak mau lagi meminta pendapat Kenjiro. Setelah membenarkan letak dua
samurainya, kakinya melangkah di atas humus kering.
"Sebentar lagi kita sudah akan tiba di rumah. Kenapa harus beristirahat lama-
lama?" kata Hiroto.
"Baik! Baik! Kau menang!" maki Kenjiro kesal. Laki-laki bertubuh gempal itu pun
bangkit bersusah-payah. Kemudian disusulnya Hiroto dengan wajah terlipat.
Kira-kira beranjak dua ratus tindak dari tempat semula, lelaki berpakaian
ksatria Jepang yang bernama lengkap Hiroto Yamaguci menahan langkah. Wajahnya
tampak menjadi kaku, karena tegang.
Dengan sinar mata waspada penuh, diselidikinya keadaan sekitar. Dua bola matanya
bergerak kian kemari, seakan singa perkasa menanti mangsa.
"Ada apa, Hiroto?" bisik Kenjiro di belakangnya, ketika Hiroto membentangkan
tangan kanan. Hiroto tak menyahut. Cara berdirinya tetap tegang, seperti sebelumnya.
Sementara, tangannya sudah menggenggam gagang samurai, siap diloloskan jika
sesuatu yang tak diharapkan terjadi tiba-tiba.
"Ah! Kau ini mengada-ada saja!" usik Kenjiro kembali.
Laki-laki gempal itu tak merasakan ada bahaya sedikit pun. Telinganya tak
mendengar suara mencurigakan. Tidak juga matanya.
"Diam," bisik Hiroto penuh tekanan. "Aku mendengar bunyi mencurigakan...."
Kenjiro kini harus benar-benar bungkam. Sepanjang pengetahuannya, Hiroto yang
masih bertalian darah dengannya memiliki pendengaran peka.
Sebagai seorang Samurai, Hiroto pantas dikagumi. Kalau kali ini pemuda gagah
berusia sekitar dua puluh enam tahun itu berkata ada bunyi mencurigakan, artinya
memang benar ada yang mencurigakan.
Firasatnya pun tak kalah tajam, untuk membedakan mana suara yang wajar dan suara
yang mengancam.
Wajar saja kalau Hiroto memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping sebagai seorang
Samurai sejati yang kerap menghadapi hidup keras dan kejam, keluarganya juga
memiliki musuh bebuyutan. Dan itu memang sudah lumrah dalam keluarga Samurai.
Sekitar dua abad yang lalu, terjadi perselisihan antara dua orang Samurai
seperguruan yang memperebutkan senjata samurai pusaka dari guru mereka. Murid
termuda mewarisi samurai itu dari gurunya.
Sementara, murid tertua tentu saja menjadi iri. Bukankah selaku murid tertua
yang mestinya mendapatkan benda pusaka itu"
Ketegangan yang lama terpupuk, akhirnya meledak juga. Itu terjadi ketika sang
guru meninggal dunia. Dengan semena-mena, murid tertua meminta paksa samurai
pusaka dari tangan adik seperguruannya.
Murid termuda sebenarnya bersedia saja memberikan samurai pusaka itu pada kakak
seperguruannya. Dia lebih suka memilih tidak bermusuhan dengan saudara
seperguruan, hanya karena sebuah benda.
Namun gurunya sendiri sudah jelas-jelas berwasiat bahwa samurai itu tidak boleh
sampai dipegang kakak seperguruannya. Dan alasan wasiat itu tak pernah
dimengertinya. Hanya saja, dia ingin menjalankan amanat orangtua yang begitu
dihormati dan disanjungnya tanpa banyak tanya.
Maka perkelahian antara dua Samurai tangguh itu terjadi. Tidak ada yang menang,
tidak juga ada yang kalah. Hanya keduanya mengalami luka-luka berat. Setelah
masing-masing berkeluarga, murid tertua rupanya tak puas persoalan berakhir
sampai di situ. Dicekokinya semua anak-anaknya untuk bermusuhan dengan keluarga
adik seperguruannya.
Permusuhan itu sampai saat itu sudah banyak meminta korban nyawa dari anggota
keluarga keturunan mereka. Dan Hiroto dan Kenjiro termasuk salah seorang
keturunan dari murid yang termuda.
Tak ada enam tarikan napas, firasat Hiroto ter-bukti.
Srak! Dari sisi kiri Hiroto, terdengar bunyi sesuatu melanggar dahan kering.
Dengan sigap, tangan Hiroto menarik samurai panjang. Kemudian disabetkannya
samurai itu dengan satu gerak kendo*, mencoba menghadang arah suara tadi.
Sing..., tas! Mata samurai Hiroto meminta korban. Sasarannya ternyata hanya dahan kayu sebesar
paha manusia di depannya yang tak sengaja terkena. Begitu tersambar, dahan kayu
besar itu langsung terpapas rata. Padahal, kayu pohon itu termasuk jenis kayu
alot! Bersamaan dengan itu, tiba-tiba menyeruak satu bayangan hitam dari sisi kiri!
Sambaran pedang yang mestinya langsung membelah bayangan itu ternyata luput,
karena terlebih dulu menangkap kelebatan samurai Hiroto. Rupanya, bayangan itu
punya naluri untuk melakukan gerakan menghindar yang tak kalah cepat dari ayunan
samurai. "Binatang keparat! Benar kataku, bukan"! Burung itu tak sekadar berputar-putar
tanpa maksud di atas wilayah ini!" maki Kenjiro gusar, begitu melihat sosok
hitam itu melayang di angkasa.
Bayangan hitam itu rupanya burung gurun besar yang sejak tadi mereka lihat.
Begitu tahu dirinya terancam mata samurai Hiroto, dia langsung membuat gerakan
melayang kembali ke udara, bersama koakan memekakkan telinga.
"Koaaakkk!"
Hiroto tak sempat memperhatikan makian saudara sepupunya.
Perhatiannya tersita oleh gulungan papirus* yang dijatuhkan burung tadi, tepat
di kakinya. Gulungan papirus itu terlihat amat tua. Sebagian isinya sudah koyak-
moyak. "Apa lagi yang dikerjakan binatang laknat itu?" sungut Kenjiro, begitu tahu
gulungan papirus yang diperhatikan saudara sepupunya.
"Sepertinya dia membawa pesan buat kita, Kenji...," ucap Hiroto tak berkedip
sama sekali. Pandangannya terpusat pada gulungan papirus.
Sepertinya, dia hendak menyingkap maksud apa yang ada dalam gulungan.
"Apa berbahaya?" tanya Kenjiro.
"Aku heran. Bukankah ini papirus yang digunakan bangsa Mesir untuk menulis"
Kenapa burung itu bisa mendapatkannya?" gumam Hiroto, sama sekali tidak menjawab
pertanyaan Kenjiro.
"Apa berbahaya, Hiroto?" ulang Kenjiro, penasaran.
"Tampaknya tidak," barulah Hiroto menjawab. "Aku yakin ini hanya pesan."
Dengan ujung samurainya, Hiroto mengangkat gulungan papirus. Setelah memasukkan
kembali samurai ke sarungnya, mulai dibukanya lembaran papirus hati-hati sekali.
Bukan karena merasa ada ancaman bahaya, melainkan karena gulungan papirus di
tangannya sudah begitu rapuh!
Kini di depan mata Hiroto terbentang gulungan papirus. Tak ada sedikit pun
ancaman bahaya yang mencuat dari dalamnya, tepat seperti dugaannya. Di atas
lembaran itu, terdapat gambar kusam berupa piramida besar yang bersisian dengan
patung raksasa berbentuk macan berkepala manusia. Tepat di bawah gambar
piramida, ada tambahan lukisan telapak tangan terbuka.
"Ini bahasa isyarat, Kenji...," tutur Hiroto.
"Maksudnya?"
"Sepertinya, kita diundang oleh si pemilik piramida untuk datang ke sana...."
"Ratu Mesir"!" sentak Kenjiro terlonjak. Mata sipitnya jadi agak membesar.
Bibirnya pun jadi makin mancung....
*** 2 Tak ada seorang pun tahu, bagaimana waktu dapat terus memburu hari-hari tanpa
henti. Berputar dan berputar, bagai tak berujung pangkal.
Tak seperti manusia yang mengenal arti lelah.
Sehari lagi terlewati. Pagi baru lahir dengan beragam perniknya.
Seorang pemuda tampak berjalan melenggang. Wajahnya yang secerah mentari di kaki
langit sebelah timur sana selalu dihiasi senyum tipis.
Pakaiannya hijau muda, berselempang kain bercorak catur di bahu.
Rambutnya tak terurus menunjukkan pribadinya yang urakan pula. Kalau bibirnya
tampak selalu tersenyum, bukan berarti sinting. Maksudnya, hanya sekadar menyapa
hari dengan rasa damai. Terutama ketika mata berkesan tegar dan tegas miliknya
memperhatikan hamparan warna hijau alam dikanan dan kiri. Perut yang tak terisi
sejak semalam tak pernah dijadikan beban atau sebeber keluhan.
Baik ada masalah atau tidak, pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor
seakan siap menghadapi segala kemelut hidup dengan senyum. Baginya, menghadapi
hidup mesti disamakan dengan
menghadapi kekasih.
Kalau Tuhan sudah memberi sekian banyak kenikmatan sekaligus keindahan, tak
semestinya menggerutui sedikit kesusahan. Sebab pada hakikatnya, tidak akan
lahir kesenangan tanpa kesusahan. Seperti juga kita mengenal keindahan karena
ada keburukan. Mengenal sehat, karena ada sakit. Begitu kata hati Andika sambil
terus melangkah pasti menuju utara.
Tak ada tujuan pasti, hendak ke mana pemuda berselempang kain bercorak catur itu
menambatkan langkah. Di mana pun bagian bumi yang membutuhkan kehadirannya, maka
Pendekar Slebor akan ke sana.
Waktu seperti melesat cepat kalau tidak dicermati. Siang pun menjelang. Tepat
ketika sinar matahari menukik tepat pada ubun-ubun, pemuda berpakaian hijau muda
tiba di sebuah dataran tandus berbukit-bukit kapur.
Sesaat Andika berhenti. Disapunya peluh di dahi dengan bajunya. Kalau pagi tadi
bibirnya mengumbar senyum, jangan heran bila mulai sekarang mengumbar ringisan.
Panas siang demikian mendera. Kerongkongannya terasa sudah demikian kerontang.
Kalau tak segera mendapatkan air, tubuhnya terasa seperti dikeringkan.
"Bagaimana caranya aku tahu sumber air di tempat segersang ini,"
gumam Andika. Seraya menaikkan telapak tangan ke depan dahi, pandangannya
ditebarkan ke segenap penjuru.
Kekeringan. Hanya kekeringan yang disaksikan. Rumput liar yang biasanya sanggup
bertahan, malah sudah berubah kecoklatan.
Selebihnya cuma warna putih dari tanah berkapur yang membentuk bukit-bukit kecil
seperti gelombang laut membeku.
"Heran! Kenapa aku mau-maunya terus melangkah ke tempat ini?"
gumam Andika lagi, menggerutui kebodohannya. "Coba kalau tadi aku mengikuti
bapak tua penggembala bebek. Mungkin aku bisa tiba di dekat pedukuhan kecil.
Bisa menikmati kopi hangat di warung. Bisa mencicipi buah segar. Bisa melahap
dua piring nasi ditambah sepiring ketan kuning...."
Lidah Andika tanpa sadar bergerak di seputar bibir, membayangkan semua itu.
"Ah! Kalau cuma berkhayal seperti ini, mana bisa mendapatkan makanan.
Memangnya keinginan bisa jatuh dari atas langit! Dasar tolol!" maki Pendekar
Slebor pada diri sendiri.
Lalu, Andika pun memutuskan untuk melanjutkan langkah saja. Apalagi, pikirnya,
sudah telanjur jauh kakinya melangkah. Siapa tahu tak berapa jauh lagi, akan
menemukan pedukuhan kecil.
Tak terlalu jauh mengayun langkah, kembali anak muda itu berhenti.
Ada sesuatu yang menjegal niat untuk meneruskan langkahnya. Karena hidungnya
tiba-tiba mencium aroma lezat daging bakar. Belum jelas, dari mana asalnya.
Andika sendiri bingung. Siapa orang yang memanggang daging burung di tempat ini.
Padahal, sepanjang perjalanan di tempat itu tak terlihat ada seekor burung pun
terbang melintas.
Kalau ada, tentu sudah sejak tadi perutnya bisa terisi. Lalu, dari mana pula dia
mendapatkan kayu bakar" Sedangkan dataran itu cuma ditumbuhi rerumputan kering.
Tak mungkin memanggang daging hanya dengan rerumputan kering, bila tak ingin
hasilnya setengah matang.
Sebentar hidung Andika kembang-kempis. Dia ingin meyakinkan penciumannya. Siapa
tahu, aroma sedap yang sempat terperangkap dalam lubang hidungnya tadi cuma
permainan perasaan.
Cium punya cium, endus punya endus, ternyata aroma sedap menggelitik selera itu
tak juga lenyap. Kalau sudah begitu, persoalan tentu menjadi lain lagi. Bisa
dipastikan hidung Andika memang sehat walafiat.
Urusannya sekarang, cuma mencari di mana orang itu berada. Pendekar Slebor cuma
ingin tahu, bagaimana orang itu mendapatkan daging burung. Dan, dengan apa
memanggangnya. Hitung-hitung menemani makan. Itu pun kalau bisa!
Bibir Andika mulai bisa tersenyum lagi. Berharap dapat menangsal perutnya yang
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah kekuruyuk berat.
Tanpa mengalami kesulitan, anak muda itu sudah dapat menemukan tempat orang yang
dicari, di antara dua gundukan bukit kapur.
"Ah! Kau lagi, Anak Muda!" sambut seorang laki-laki tua yang sedang membalik-
balik daging panggang di tangannya. Rupanya, dengan tangannya pula daging itu
dimatangkannya.
Andika dipaksa terperangah. Bukan sekadar cara orang tua itu mematangkan daging
panggangnya. Tapi, juga karena sudah pernah berpapasan dengan orang tua itu.
Dialah penggembala bebek yang dijumpainya lepas pagi tadi! Entah, ke mana
gerombolan bebeknya yang begitu riuh mengeluarkan bunyi beleter.
"Kau ingin nimbrung menggasak dua potong daging ini, atau hanya ingin
menontonku?" tambah lelaki tua penggembala bebek tanpa menoleh.
Andika tersadar. Sambil cengar-cengir, dihampirinya orang tua itu.
"Kalau diizinkan, aku memang ingin sekali menemani...," jawab Andika cepat,
seakan takut tawaran baik orang di depannya hanya berlaku sekali.
"Kalau begitu, cepatlah!"
Tanpa banyak basa-basi lagi. orang tua berpakaian seadanya itu menyodorkan
sepotong besar daging panggang yang masih mengepulkan asap.
"Nih, sikat sampai kenyang!"ujar si penggembala bebek berkelakar, meski bibirnya
cuma tersenyum tak kentara.
Andika tersenyum-senyum menerima jatah yang demikian besar untuknya. Jangan lagi
untuk menghabiskan. Untuk memakannya setengah saja, mungkin sudah menyerah.
"Dari mana kau dapatkan burung sebesar ini, Pak Tua?" tanya Andika ingin tahu.
"Setahuku, di sini tidak ada burung sama sekali...."
"Itu bukan burung. Apa kau tak bisa mengenali" Itu kan bebek..."
Andika yang sudah duduk menekuk lutut di hadapan penggembala bebek mengangguk-
angguk "Pasti ini bebekmu...," tebak Andika sambil mencium bau bebek panggang yang bisa
membuat air liurnya menetes tak terasa.
Kalau saja Andika tak merasa harus bertata-krama di hadapan orang tua baik hati
ini, sudah diterjangnya daging bebek itu selahap-lahapnya.
"Tentu saja. Perutku tak biasa menerima makanan yang tak halal," balas laki-laki
tua itu sambil mengipas-ngipas dada dengan caping lusuh yang sejak tadi hanya
diletakkan di sisinya.
"Lalu mana bebek-bebekmu yang lain?" susul Andika.
"Sudah habis dimakan...."
Pemuda itu tertawa. Orang tua itu tentu sedang bergurau, pikirnya.
"Ayo, silakan disantap!" kata orang tua penggembala bebek itu mempersilakan.
Lalu mereka pun makan dengan lahap.
Selesai makan, penggembala bebek di sebelah pemuda berpakaian hijau-hijau ini
menyerahkan tempat air dari kulit pada Andika. Kebetulan sekali, pemuda ini
sedang haus tak terkira.
Segera saja Andika menjemput kantong kulit dari tangan penggembala bebek itu.
Diteguknya sepertiga air dalam kantong itu. Dahaga berat telah membuatnya jadi
tak berhati-hati lagi pada kebaikan orang yang baru dikenalnya.
Setelah puas meneguk, tenggorokan Andika memang dapat dibebaskan dari kekeringan
yang menggelantung. Tapi masalah baru yang jauh lebih mengancam jiwanya, malah
mendatangi. Kepala pemuda ini perlahan-lahan terasa memberat. Matanya berkunang-
kunang tak karuan.
Sementara seisi perut serta dadanya seperti diaduk-aduk tangan makhluk usil.
Sebentar kemudian, Andika melengak. Kerongkongannya kini lebih kerontang dari
sebelumnya. Rasanya, dia seperti tercekik tali sebesar lengan.
"Kau...," desis Andika seraya mendekap leher dan dada dengan suara terseret.
"Kau meracuniku...."
Mata Andika menatap gusar pada orang yang telah menipunya.
"Kau menipuku, Orang Tua...," desis Andika lagi, terdengar meletup diguncang
kegusaran yang menggelegak dalam diri, berbareng menggelegaknya darah akibat
pengaruh racun dalam air tadi.
"Aku tidak menipumu," jawab si penggembala bebek acuh sekali. "Hanya kau saja
yang tidak hati-hati. Di dunia ini, kau harus jeli-jeli memiliki mata. Tak semua
orang yang bersikap baik, berarti memiliki hati yang baik pula...."
"Kentut busuk!" maki Andika makin terseret karena menderita.
Pemuda itu berusaha bangkit dari duduknya. Namun, seluruh sendi di tubuhnya
seperti dipreteli. Dan otot-ototnya terasa lebur. Dia menjadi lumpuh. Tinggal
matanya saja yang kini menatap nyalang orang tua di depannya.
"Kau minumlah lagi air dalam tabung ini," ujar si penggembala tua, seakan tak
pernah merasa bersalah sedikit pun. Disodorkannya kembali kantong kulit itu pada
pemuda yang sudah telentang tanpa tenaga.
"Aku belum sinting untuk meminum racun sialmu lagi, Orang Tua Bau!"
maki Andika. Namun suara yang keluar dari mulutnya malah mirip rintihan.
"Terserah maumu, Pendekar Slebor...," tukas penggembala tua amat ringan, sambil
menyelonjorkan kaki. "Kalau aku jadi kau, tentu akan kuminum kembali air itu!"
"Kau tahu namaku pula! Sekarang, aku tahu. Kau tentunya tokoh sesat yang
mengincarku sekian lama!" tuding Andika alias Pendekar Slebor, ksatria muda
sakti dari Lembah Kutukan yang sepak terjangnya terlalu banyak membuat muak
tokoh-tokoh sesat.
"Terserah apa katamu. Kau mau minum kembali atau tidak?"
"Ya! Setelah itu, aku mati!"
"Kau tetap akan mati, baik meminum airku atau tidak. Aku pun akan mati. Semua
orang akan mati. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup terus. Yang berbeda, cuma
cara dan waktu matinya...."
"Tapi tidak dengan cara seperti ini!"
"Kalau begitu, kau harus turuti kata-kataku. Minum air ini kembali...."
Suara penggembala tua itu seperti memaksa.
Kata-kata itu membuat Pendekar Slebor agak terusik. Air beracun yang diminumnya
sudah demikian banyak tadi. Tanpa perlu meminum kembali dari kantong air lelaki
tua itu, sudah bisa dipastikan nyawanya akan terlempar keluar dari raga oleh
racun ganas dalam tubuhnya. Lalu, akan terasa aneh kalau si tua ini justru agak
memaksa untuk meminum kembali airnya.
"Bagaimana" Makin banyak kau menimbang-nimbang, makin cepat racun dalam tubuhmu
menjalari aliran darahmu...," tawar si penggembala tua kembali, seraya
menyodorkan kantong kulit berisi air untuk kesekian kalinya.
Andika akhirnya mau juga menerima kantong air dari tangan lelaki tua itu, meski
harus susah payah menggerakkan tangannya. Sudah telanjur basah, pikirnya. Tanpa
meminum kembali air dalam kantong itu, dia toh tetap akan mati digasak racun.
Kalau ternyata racun dalam tubuhnya malah bertambah, paling tidak, bisa mati
tanpa tersiksa.
Selesai meminum kembali air dalam kantong kulit beberapa teguk, perlahan-lahan
Andika merasa kepalanya mulai ringan kembali. Rasa mual dan sesak di dadanya pun
enyah entah ke mana. Termasuk cekikan di tenggorokannya.
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Slebor sudah pulih benar. Bagian-bagian
tubuhnya bisa digerakkan kembali dengan leluasa.
"Sekarang kau percaya kalau aku tidak berniat membunuhmu, bukan?"
kelakar si penggembala tua. Diperlihatkannya sebaris gigi yang tumbuh renggang.
Andika sama sekali tidak menganggap gurauan kecil itu lucu. Dan keningnya pun
berkerut. "Aku tak mengerti, apa maksudmu dengan meracuniku tadi?" tanya Pendekar Slebor
ingin tahu. Kegusarannya, entah bagaimana, diganti rasa penasaran.
"Aku tidak meracunimu, Pendekar Slebor! Bukankah sudah kukatakan sebelumnya" Dan
aku sengaja tak memperingatimu, agar kau bisa menjadikannya pelajaran. Jadi kau
nanti bisa tetap berhati-hati terhadap orang yang tampaknya baik, namun
sebenarnya memiliki hati keji. Aku tunggu ucapan terima kasihmu!" gurau si
penggembala tua lagi.
"Jadi, selama ini yang kau minum cuma air racun?" susul Andika agak terperanjat.
Memang, cuma orang sinting yang ingin menjadikan air beracun sebagai minuman
sehari-hari, Andika tak habis pikir jadinya.
"Kau mau tahu?" tanya si penggembala tua.
Laki-laki tua itu bangkit, lalu melemaskan otot-otot dengan menggeliat sejenak.
"Ini.... Bawalah kantong airku ini. Suatu saat, kau akan tahu kenapa aku
melakukannya."
Kemudian si penggembala tua itu melemparkan kantong air kusam pada Andika.
Pendekar Slebor menangkapnya dengan pertanyaan tak terjawab di hati. Sedangkan
si orang tua melenggang pergi begitu saja.
*** 3 Sebuah kapal yang kalau dilihat dari umbul-umbul yang ada berasal dari Kerajaan
Cina, merapat di dermaga sebelah barat tanah Jawa. Megah dan angker dengan layar
bertuliskan huruf Cina besar. Gambar seekor naga tampak melatar belakangi
tulisan itu. Dari bentuknya jelas sekali kalau itu adalah kapal perang.
Panjangnya sekitar lima puluh tombak.
Sedang lebarnya sekitar lima belas tombak.
Warna kapal perang itu macih cerah. Namun bukan berarti kapal baru.
Justru, usianya cukup tua dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang
diperkukuhnya. Bisa jadi kendaraan perang samudra itu telah mengalami pemugaran.
Setelah sauh dibuang, gerbang di lambung kapal tampak menganga. Tak lama,
jembatan dari papan berpermadani pun menjulur dari dalamnya.
Begitu ujung jembatan bertemu bibir dermaga, keluarlah seorang putri berwajah
cantik. Lelaki mana pun pasti akan ternganga bisa menyaksikan wajahnya yang
sarat keagungan sekaligus keanggunan.
Tak seperti layaknya seseorang yang baru tiba di negeri asing, mata sang putri
tampak tak memperhatikan suasana dermaga besar yang sarat kesibukan. Bahkan
sekalipun matanya tak melirik beberapa penduduk asli yang terlongong menatap
kemegahan kapal atau mendapati kecantikan sang putri. Mata yang bergaris dan
jeli milik pembesar wanita Cina itu seperti terpaku kaku, pada satu titik di
kejauhan sana. Apa yang diperhatikannya" Tidak ada! Orang lain tentu menganggap
putri dari negeri cina ini angkuh. Namun itu pun tidak benar. Karena, sebenarnya
mata wanita agung jelita itu buta!
Kaki langsing sang putri mulai bergerak perlahan di sepanjang hamparan permadani
tebal buatan Parsi yang menyelimuti jembatan kayu.
Sementara dia berjalan, angin tanah Jawa memberi tabik dengan sapuan ramah.
Sehingga, membuat pakaian kebesaran dari sutera hijau miliknya menjadi
menggelepar kecil.
Para prajurit, baik yang berdiri tegap di sepanjang sisi buritan atau di kedua
sisi pintu kapal, memberi penghormatan pada putri cantik yang buta ini.
Tepat di belakang sang putri, berjalan mengiringi seorang pemuda yang
kegagahannya sebanding dengan kecantikan putri di depannya. Pemuda itu
mengenakan baju panjang khas Cina berwarna biru tua. Setiap melangkah, kakinya
tersembul ringan dari belahan baju panjangnya.
Celana panjang yang dipakainya pun berwarna biru tua pula. Dengan rambut
dikepang teratur, ditambah ikat kepala berwarna merah, dia makin tampak
berwibawa. Di tangannya yang terangkat ke depan dada, terdapat pedang bergagang
kepala naga yang tersimpan dalam warangka kayu berukir, terbungkus kain sutera
berjumbai-jumbai benang emas.
Pemuda itu tak lain Chin Liong. Dialah salah seorang sahabat Pendekar Slebor
dari negeri Cina yang jauh di seberang samudera sana.
Putri di depan Chin Liong, ternyata Putri Ying Lien. Dia adalah pewaris Kerajaan
Cina yang telah berhasil memulihkan gejolak pemberontakan di dalam negerinya.
Bahkan juga berhasil merebut kembali kursi kerajaan atas bantuan Pendekar
Slebor. Dengan begitu, tentu saja kedua orang dari negeri Cina ini merasa amat
berhutang budi pada pendekar muda tanah Jawa itu (Baca: "Pusaka Langit" dan
"Pengejaran Ke Cina").
Tujuan mereka jauh-jauh membelah samudera pun, sebenarnya berhubungan erat
dengan Pendekar Slebor. Bukan sekadar untuk singgah mengunjungi sahabat lama,
tapi lebih dari itu.
Langkah Putri Ying Lien telah tiba di anak tangga dermaga. Sementara Chin Liong
segera mendekati hendak menawarkan jasa.
"Boleh kubantu, Tuan Putri?" aju Chin Liong.
Putri Ying Lien tersenyum, sampai barisan gigi putihnya tersembul kecil.
"Kenapa tiba-tiba kau memanggilku Tuan Putri, Chin Liong?" tanya Putri Ying Lien
seraya mengangkat tangan kanannya yang segera disambut Chin Liong.
"Karena aku harus menjaga wibawamu di depan penduduk tanah Jawa ini," jawab Chin
Liong berbisik. "Lagi pula, terlalu banyak prajurit yang akan mendengar. Kalau
aku memanggilmu dengan nama saja, apa nanti pikir mereka?"
Lalu pemuda itu pun tersenyum samar.
"Terima kasih, kalau kau begitu memperhatikan wibawaku sebagai Ratu baru
kerajaan kita. Tapi rasanya, kewibawaanku tidak terjamin dari panggilan
kehormatan saja, bukan?" tukas Putri Ying Lien perlahan, tapi menyentil.
Setelah itu, wanita anggun ini pun mulai menuruni tangga dermaga yang agak licin
karena tampias ombak. Tangannya masih berpegangan pada tangan Chin Liong.
"Kalau kau berbicara seperti itu, aku jadi teringat sahabat kita...," ujar Chin
Liong lagi. "Andika maksudmu, bukan?" duga Putri Ying Lien.
Chin Liong menjawabnya dengan deheman.
"Tak ingat kalau dia begitu berpegang teguh pada satu pendapatnya"
Katanya waktu itu, nilai manusia hanya bisa ditinggikan dari dalam dirinya
sendiri. Apa kau tak ingat pada pemuda itu juga?" lanjut Chin Liong bernada
menggoda. Wajah Putri Ying Lien sedikit bersemu merah. Namun, dia masih bisa menguasai
diri untuk tidak menundukkan wajah. Pribadinya memang tak gampang digoyang.
"Tentu saja," ucap wanita itu pasti. "Apa aku tak boleh rindu pada seorang
sahabat?" Chin Liong mau tertawa saat itu. Tapi, segera ditahannya. Lagi-lagi dia tak mau
wibawa Putri Ying Lien yang sudah seperti saudara kandungnya sendiri, menjadi
terusik. "Kau pandai menghindar...," ledek Chin Liong, perlahan sekali.
"Apa katamu?"
"Tidak apa-apa...."
Memang tak salah perkiraan Chin Liong. Putri Ying Lien tampaknya memaksakan
diri, untuk memenjarakan perasaan sebenarnya, terhadap diri pemuda urakan
berkesaktian tinggi dari tanah Jawa yang sedang dibicarakan.
Chin Liong yakin Putri Ying Lien tak sekadar menaruh perhatian terhadap Pendekar
Slebor. Malah lebih tepat jika dikatakan sudah mulai mengagumi. Bahkan mungkin
sudah tersemai benih cinta yang selalu saja dicoba untuk menyingkirkannya.
Pada saat Chin Liong mulai membicarakan Pendekar Slebor tadi, Putri Ying Lien
malah lebih dahulu memikirkannya. Membayangkan, bagaimana gaya anak muda itu
berbicara. Bagaimana dia tertawa. Tentang pribadinya. Juga, tentang pelukan
penuh perlindungan yang diberikan ketika mereka berhasil melewati masa genting
dalam pertarungan melawan musuh-musuh besar kerajaan dahulu.
"Kau melamun lagi, pasti...," kata Chin Liong. Kata-kata Chin Liong yang
terputus, menghanguskan bayangan yang tak sengaja dijalin Putri Ying Lien
kembali dalam benaknya.
"Bukankah kau seharusnya naik kereta kuda untuk mencari penginapan sebelum para
prajurit menemukan Andika?" susul Chin Liong.
Putri Ying Lien tersipu.
"Aku lupa," katanya.
Kereta kuda kerajaan yang dibawa serta dalam kapal pun tiba di dekat Putri Ying
Lien. Putri itu naik ke dalamnya. Dan Chin Liong pun menyusul.
"Kau tunggulah di penginapan. Soal pencarian Andika, biar semuanya aku yang
urus," kata Chin Liong dalam kereta yang sudah berlari perlahan menuju barat.
Di belakang, tampak empat orang perwira kerajaan yang ikut serta mengiring
dengan kuda masing-masing. Sedangkan puluhan prajurit, berlari-lari di kedua
sisi jalan. *** "Yang Mulia tak ada!" lapor seorang prajurit yang baru tiba dari kamar Putri
Ying Lien. Dua hari lalu, rombongan dari negeri Cina itu telah menyewa seluruh kamar di
salah satu penginapan mewah di pinggiran kotapraja.
Selama ini, Chin Liong bersama dua perwira dan beberapa prajurit, mencoba
mencari Pendekar Slebor. Mereka juga sudah mencoba menghubungi penguasa
setempat, agar bisa mendapatkan bantuan.
Setidaknya, keterangan untuk menemukan Pendekar Slebor.
Mulanya, penguasa setempat ingin menyiapkan penyambutan bagi rombongan Kerajaan
Cina ini. Mereka ingin menjalin persahabatan. Tapi, Chin Liong terpaksa
menolaknya karena tidak merencanakan untuk mengadakan kunjungan persahabatan.
Mereka ke tanah Jawa semata-mata karena hendak menemui Pendekar Slebor.
Setelah dua hari berusaha mencari, hasilnya nihil. Itu pun sudah dibantu
pengerahan prajurit penguasa setempat. Pendekar muda itu memang sulit ditemukan.
Seperti juga sifatnya yang angin-anginan.
Tujuan langkahnya pun angin-anginan pula. Datang dan pergi begitu saja.
Dia akan bersikeras tinggal jika ada satu masalah yang harus diselesaikan.
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sewaktu hendak melapor pada Putri Ying Lien di ruang tamu penginapan, Chin Liong
menyuruh salah seorang prajurit menyampaikannya ke kamar Putri Ying Lien.
Sekaligus memberitahukan kalau dirinya sudah tiba.
Dan begitu si prajurit kembali ke ruang tamu, Chin Liong justru mendapat berita
mengejutkan. "Apa maksudmu"!" tanya Chin Liong hampir menghardik. Bagaimana dia tidak
terkejut, mendengar Putri Ying Lien tidak ada.
"Yang Mulia telah menghilang dari kamarnya!" ulang prajurit tadi, menegaskan.
Rahang pemuda Cina itu mengeras. Otot-otot wajahnya seperti ditarik mendadak.
Apa-apaan ini" Cepat Chin Liong berlari menuju kamar Putri Ying Lien, diikuti
prajurit yang melapor.
Setibanya di kamar Putri Ying Lien, Chin Liong menemukan enam prajurit andalan
bergeletakkan lunglai, seperti kehilangan tulang. Mata mereka berkedip-kedip
takut, begitu tahu kalau Chin Liong yang kini menjadi panglima perang kerajaan
datang. Jangan ditanya, bagaimana pucatnya wajah keenam prajurit itu. Sebab, ini
perkara amat besar yang menyangkut nyawa Ratu mereka sendiri. Kalau sampai
terjadi apa-apa pada diri gadis itu, maka kepala mereka harus dijadikan
tebusannya! Meski kemarahan menggelegak di dada, Chin Liong tak segera meledak.
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara tersendat diamuk kegusaran, Chin Liong bertanya pada seorang
prajurit jaga setelah membebaskannya.
Si prajurit bangkit takut-takut.
"Seseorang menculik Yang Mulia, Panglima!" lapor kepala prajurit dengan tubuh
menegang. Kepala prajurit itu agak menengadah, takut menghadapi tatapan panas panglimanya.
Karena itu pula jakunnya yang besar jadi terlihat jelas turun naik, seperti ada
seekor anak katak melompat-lompat dalam lehernya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" lanjut Chin Liong. Nada suaranya agak meninggi.
Mulut si prajurit megap-megap. Dia mau bicara, tapi begitu sulit.
"Tit... tit... tidak tahu, Panglima. Ses..., sewaktu kami sedang berjaga, tahu-
tahu saja berkelebat bayangan seseorang. Begitu cepat, bahkan kami tak sempat
menyadari ketika tertotok. Ap... ap... apa di penginapan ini ada hantunya,
Panglima?" jelas prajurit itu susah payah.
Otot di bagian rahang Chin Liong tersembul-sembul. Terdengar pula gemeletuk
gerahamnya. Dimasukinya kamar dengan langkah terbanting.
Pintu kamar dikuaknya beringas, sebagai sasaran kemarahannya.
Mata memerah ksatria Cina itu mengawasi setiap jengkal kamar. Seolah dia hendak
mencungkil apa pun yang tampak mencurigakan. Namun sampai sejauh itu, tidak juga
menemukan apa-apa.
"Bagaimana dengan dua perwira yang bertanggung jawab pada penjagaan Putri?"
tanya Chin Liong kembali, pada prajurit yang meliriknya takut-takut.
"Maaf, Panglima. Aku tit... tit... tidak tahu...."
"Kau...," rutuk Chin Liong.
Bagai mana mungkin dua perwira yang ilmu bela dirinya tergolong hebat, bisa
menghilang seperti ditelan hantu" Pikir Chin Liong, tanpa mau meneruskan
kejengkelannya pada prajurit tadi.
Di kerajaan mereka, dua perwira itu bahkan sudah berada setingkat di bawah tokoh
kelas atas Cina. Itu sebabnya, mereka diangkat sebagai perwira yang diandalkan.
Diandalkan" Kata itu sekarang sepertinya hanya jadi pepesan kosong.
Tanpa banyak keributan, si penculik sanggup membuat mereka tak berdaya. Bahkan
kini tidak diketahui, ke mana mereka.
Mata Chin Liong tiba-tiba tertumbuk tanpa sengaja pada suatu yang tak wajar.
Tampak langit-langit kamar agak mencembung keluar. Ada beban yang terlalu berat
membuatnya begitu.
Tangan Chin Liong pun merambat menuju pedang di punggungnya.
Kemudian prajurit yang sudah terbebas dari totokan diisyaratkan untuk bersiaga.
Lembut sekali. Tanpa melahirkan suara sedikit pun, pedang panjang Chin Liong
terangkat dari sarungnya dan dihunuskan di depan dada. Dia pun mulai mendekat ke
bawah langiat-langit kamar, dengan langkah sangat ringan. Seekor tikus pun
mungkin tak bisa mendengar langkahnya.
Padahal, belahan-belahan lantai kayu kamar akan berderit bila diinjak kecil
sekali pun. Tetap dengan mata tak berkedip yang terpusat pada langit-langit kamar, Chin
Liong tiba tepat di bawah bagian yang dicurigai. Kemudian lambat tapi pasti,
mata pedangnya terayun ringan ke belakang. Dan....
Sing! Trash! Seperti membeset kulit pelepah pisang, mata pedang Chin Liong bergerak amat
cepat, menyambar langit-langit. Sekejap berikutnya, terdengar bunyi berderak
riuh akibat patahan langit-langit kamar.
Krak! Bruk-bruk!
Dua tubuh jatuh berdebam meninju lantai kayu. Ternyata, mereka adalah dua
perwira yang semula dikira hilang oleh Chin Liong!
Masih dengan sikap waspada, Chin Liong meneliti kedua perwira itu dengan
tatapannya. Dada keduanya masih berkembang-kempis teratur.
Wajah mereka pun tak terlihat lebam. Juga, tak ada tanda-tanda kalau mereka
mengalami luka dalam. Keadaan mereka tak beda orang yang sedang tertidur pulas.
Chin Liong memasukkan pedang ke dalam sarungnya, lalu berjongkok di dekat dua
tubuh perwira tadi. Sebentar dia meraba salah satu bagian tubuh mereka.
"Hm.... Totokan hebat yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Ditempatkan pada bagian yang demikian tersembunyi, membuat mereka kehilangan
keseimbangan pada bagian otak yang mengatur keadaan jaga seseorang. Sial! Aku
sendiri pun belum sanggup mempelajarinya!" rutuk Chin Liong, jengkel bukan main.
Pemuda itu berdiri lemas. Bagaimana dia bisa menolong Putri Ying Lien, sementara
untuk membebaskan dua perwira dari totokan saja sudah tak sanggup"
Mendadak wajah Chin Liong berubah tegang kembali. Mata sipitnya tak berkedip.
Bola matanya bergerak ke satu arah di bagian kamar. Dia ingat sesuatu.
"Astaga.... Pedang Pusaka Langit," desis pemuda itu.
Setelah itu bagai orang kesetanan, Chin Liong memburu ke tempat yang menjadi
tujuan pandangannya barusan. Di sana, ada sebuah peti baja yang terkunci dari
gembok baja pula.
Chin Liong cukup lega, melihat peti baja maupun gemboknya masih dalam keadaan
wajar. Biar begitu, hatinya tetap tak akan puas jika belum meneliti dalamnya.
Cepat dikeluarkannya anak kunci dari balik pakaian.
Maka peti pun dibuka.
Seketika itu pula, mata Chin Liong membeliak. Wajahnya berubah-ubah cepat.
Pucat, memerah dadu, lalu memucat lagi. Cetusan rasa kegeraman yang berbaur
menjadi satu dengan rasa kekhawatiran.
Bagaimana tidak jadi was-was" Sementara Putri Ying Lien belum lagi diketahui
rimbanya, pedang pusaka kerajaan pun hilang! Pedang itu adalah pedang sakti yang
amat langka. Seseorang bisa melipat gandakan kesaktiannya sepuluh kali, bila
memiliki pedang itu.
Adalah sebuah bencana jika pedang pusaka itu jatuh ke tanah orang-orang sesat!
"Sial..., sial..., sial!" maki Chin Liong.
Pemuda ini tidak bisa lagi membendung kemarahannya. Pertahanan dirinya sudah
ambrol. Darahnya terasa seperti hendak menjebol ubun-ubun.
"Ada apa, Panglima?" tukas seorang prajurit sambil mendekat tergesa.
Chin Liong tak cepat menjawab, karena sibuk mengatur napasnya yang memburu.
"Pedang Pusaka Langit pun telah hilang...," kata Chin Liong mendesis berat.
Prajurit itu terbelalak. Dia pun tak kalah was-wasnya, kalau pedang itu sampai
jatuh ke salah tangan. Negeri ini bisa menjadi tempat pembantaian biadab. Kalau
itu terjadi, maka merekalah orang-orang yang pertama kali harus bertanggung
jawab. "Bagaimana mungkin, Panglima?" ucap si prajurit. Matanya yang sipit kian
menyipit. "Bukankah peti dan kuncinya masih dalam keadaan baik?"
Chin Liong menggeleng lunglai. Kemarahan telah menguras tenaganya sccara
berlebihan. "Aku tak tahu. Tampaknya kita berurusan dengan seorang yang amat lihai. Dia
sanggup menotok perwira kita tanpa bisa dibebaskan. Kini pun kita tahu, dia juga
mampu mencuri pedang pusaka tanpa merusak peti baja atau membobol kuncinya.
Manusia macam apa yang bisa melakukan semua itu dalam waktu demikian cepat,
Prajurit.'"
Si prajurit meringis ngeri. Timbul lagi bayangan dalam benaknya.
tentang hantu penginapan yang bergentayangan....
Lalu, tengkuk si prajurit pun meremang. Dia bergidik, sampai bahunya pun
mengedik-ngedik tanpa disadari.
"Apa benar perkiraanku, Panglima...," prajurit itu berbisik hati-hati di dekat
Chin Liong. Chin Liong menoleh, meminta jawaban.
"Mungkin benar semuanya dilakukan hantu penginapan ini...."
Chin Liong menggelengkan kepala. Mana ada hantu memerlukan pedang"
"Kerahkan seluruh pasukan. Termasuk sebagian prajurit yang masih berjaga di
kapal! Malam ini juga, kita cari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit!"
tandas Chin Liong kemudian.
*** 4 Malam ini juga, hampir seluruh pasukan dikerahkan Panglima Chin Liong untuk
mencari Putri Ying Lien. Bahkan dengan hormat, dia pun meminta bantuan pasukan
dari penguasa setempat. Kalau sebelumnya mendapat bantuan untuk mencari Pendekar
Slebor, tapi kali ini mendapat bantuan besar-besaran untuk mencari Putri Ying
Lien dan Pedang Pusaka Langit.
Agar tak terjadi keresahan di kalangan penguasa setempat, sengaja hilangnya
Pedang Pusaka Langit dirahasiakan. Chin Liong hanya mengutarakan permohonan
bantuan untuk mencari Putri Ying Lien. Itu saja.
Sinar bulan mendukung pencarian. Bentuknya membulat penuh begitu anggun.
Sinarnya merambah ke segenap sela-sela pepohonan.
Dini hari nyaris mati. Subuh makin dekat. Ayam-ayam jantan sudah memperdengarkan
kokok gagahnya, siap menyambut fajar yang sebentar lagi menampakkan diri. Sejauh
itu, pencarian belum menemukan titik terang.
Seluruh penjuru wilayah telah ditelusuri. Sudut-sudut kotapraja, lembah, bahkan
hutan di pingiran kotapraja tak luput disatroni.
Hasilnya, tetap nihil. Tak ada setitik petunjuk pun.
Hambatan utama, karena pencarian dilakukan malam hari. Untuk bertanya-tanya saja
sulit. Mengingat, hampir seluruh warga terlelap di kediaman masing-masing.
Padahal keterangan dari setiap orang amat diperlukan dalam satu usaha pencarian.
Membangunkan mereka pun tak ada gunanya. Penculikan dilakukan pada malam yang
sudah cukup Iarut, saat orang lebih suka mendekati pembaringan. Di samping
sakti, si penculik pun sepertinya amat lihai memanfaatkan suasana.
Chin Liong pun mengakui kehebatan kerja penculiknya, meski gusar setengah
mampus. Artinya, persoalan yang harus dihadapi bukanlah sepele. Ini persoalan
besar, menyangkut calon musuh yang besar pula.
Tak mungkin penjahat ketengan mampu melaksanakan kerja sesempurna itu.
"Benar-benar nasib buruk sedang menjerat kita," gerutu Chin Liong ketika seorang
perwiranya melaporkan hasil pencarian. "Baru saja tiba di negeri orang, kita
sudah dipecundangi demikian jauh...."
Namun Chin Liong bukan termasuk orang yang gampang patah semangat.
Sebagai seorang ksatria yang mendapat kepercayaan tinggi dalam pemerintahan
kerajaan, pantang baginya memiliki mental keropos. Dia hanya khawatir, bahkan
teramat khawatir, pada keselamatan Putri Ying Lien. Pertama, karena Putri Ying
Lien adalah seorang Ratu kerajaan yang amat dicintai rakyat dengan kepemimpinan
yang adil dan bijaksana.
Kedua, karena Putri Ying Lien sejak kecil sudah begitu dekat dengannya. Sempat
pula pemuda itu mencintai Putri Ying Lien. Namun, gadis itu selalu menegaskan
kalau Chin Liong hanya dianggap sebagai saudara semata.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Panglima?" tanya si perwira, agak sungkan mengusik
keterpakuan Chin Liong mengenang masa-masa manisnya dulu bersama Putri Ying
Lien, semasa di perguruan.
"Aku harap, tak perlu memaksakan para prajurit dan tak terlalu menyusahkan tuan
rumah...," kata Chin Liong seperti bergumam.
"Maksud, Panglima?"
"Aku mau pencarian terus dilakukan. Paling tidak, sampai kita mendapat secercah
keterangan tentang Tuan Putri kita," kata Chin Liong menegaskan.
"Kalau itu kehendak Panglima, kami akan menjalankannya."
Si perwira, segera beranjak. Sebelum jauh benar, dia menoleh sejenak.
"Asal kau tahu saja, Panglima.... Aku dan seluruh prajurit lebih suka kalau
diperintahkan untuk terus mencari. Kau tahu sebabnya" Karena, kami begitu
mencintai Yang Mulia Putri Ying Lien...," tambahnya dengan raut wajah prihatin.
Chin Liong tersenyum tawar.
"Kau benar, Perwira," timpalnya, sama tawar.
Sewaktu hari nyaris disapu warna jingga pucat sang mentari pagi, perkembangan
terjadi. Seorang prajurit berkuda dari pihak tuan rumah dengan tergopoh-gopoh
mendatangi Chin Liong yang sedang menyusuri pinggiran hutan karet.
"Tuan Chin Liong! Aku diperintah Adipati untuk melaporkan tentang Yang Mulia
Putri Ying Lien," lapor orang itu.
"Teruskan," perintah Chin Liong dengan mata berbinar di antara garis
kekhawatiran wajahnya.
"Orang kami telah menemukan Yang Mulia Putri Ying Lien...."
"Benarkah itu"!" sentak Chin Liong, terlonjak. Tanpa sadar, laporan yang belum
lagi dituntaskan telah dipenggalnya.
"Tapi, dia berada dalam kekuasaan seseorang," sambung orang yang melapor.
"Bagaimana keadaannya?" susul Chin Liong, tergesa.
"Kami belum bisa memastikan, karena hanya salah seorang dari kami yang melihat
seseorang berlari membopong wanita berpakaian dan berwajah mirip dengan gambaran
Tuan tentang Putri Ying lien!"
"Berlari" Artinya, penculik itu kini sedang dikejar?"
Si pelapor menggelengkan kepala ragu.
"Sulit, Tuan. Dia bergerak seperti demit. Waktu itu, kami hanya para prajurit
yang berkemampuan tak seberapa."
Wajah Chin Liong menampakkan kekecewaan kembali.
"Tapi, kami tahu arah orang itu berlari!"
Secercah harapan kembali tersembul di bias wajah pemuda Cina itu.
"Kalau begitu, cepat katakan ke mana arahnya"! Biar aku sendiri yang akan
mencoba mengejar!"
Lelaki di depannya menautkan alis.
"Tapi, Tuan. Apa Tuan sejak tadi tak melihat seseorang mencurigakan?"
"Apa maksudmu, Prajurit?"
"Aku justru berkuda di sini, karena hendak mencoba menguntit orang itu. Sampai,
aku bertemu Tuan...."
"Jadi..., orang itu sebenarnya berlari ke arah sini"!" sentak Chin Liong dengan
mata agak membesar.
Tanpa sempat menyaksikan anggukan orang yang melapor....
"Hua ha ha he he heee...!"
Chin Liong bersama satu perwira dan empat prajurit tersentak dengan suara tawa
seseorang yang demikian menggelegar, memporakkan suasana pagi yang damai.
Chin Liong terperangah. Sigap sekali tubuhnya diputar ke arah melompatnya suara
tawa. Sekedip dari geraknya, tangan kanannya menyambar gagang pedang dari
punggung. Lalu, menghunuskannya dengan kuda-kuda siap tarung.
Keterperangahan yang lebih besar harus ditelannya begitu
menyaksikan, siapa orang yang datang. Orang itulah yang menculik Putri Ying
Lien. Matanya menyaksikan tubuh gadis itu di bahunya. Tapi, benarkah semua itu akan
tetap menjadi persoalan" Karena orang yang berdiri dan masih tertawa terpingkal-
pingkal adalah.... Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Andika?" semprot Chin Liong.
Dikatakan gusar, tidak. Dibilang gembira pun sulit. Jantung Chin Liong nyaris
tersobek gara-gara khawatir pada keselamatan Putri Ying Lien.
Bahkan khawatir pula pada bencana yang bakal menimpa tanah Jawa, karena Pedang
Pusaka Langit. Sekarang setelah dia bertemu penculiknya, orang itu justru adalah
pendekar muda yang sedang diharap-harapnya.
"Hey, jangan mengomeliku dengan bahasa Tiongkokmu!" kelakar Andika.
"Aku bilang, apa-apaan kau ini"!" ralat Chin Liong, sembari menyarungkan pedang
kembali. Lalu, dihampirinya Andika.
"Tanyakanlah pada Tuan Putrimu sendiri!' jawab Andika, masih dengan sisa
cengirnya yang sungguh mati tak bagus! Diturunkannya tubuh Putri Ying Lien yang
sebenarnya tidak apa-apa itu.
"Apa kau baru kenal Pendekar Slebor, Chin Liong?" ujar Putri Ying Lien disertai
senyum tipis yang ditangkap Chin Liong sebagai senyum senang.
"Rupanya dia sudah tahu kalau kita ke sini. Dan dia pun ingin membuat kejutan,
yang sedikit sinting untukmu. Mulanya aku menganggap semua itu terlalu konyol.
Tapi kau tahu sendiri...."
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala Putri Ying Lien menoleh ke arah Andika.
"Pendekar kita ini terlalu keras kepala untuk di-
tolak..." Sampai di situ Chin Liong hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Benar kata Putri Ying Lien barusan. Ini benar-benar kejutan yang tidak hanya
sedikit sinting, tapi benar-benar gila! Hatinya jengkel, campur aduk dengan
gemas. Pantas saja Pedang Pusaka Langit bisa menghilang, sementara petinya atau
pun kuncinya tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Bodoh sekali dia! Bukankah
cuma Putri Ying Lien yang memegang kunci peti pedang itu"
"Heee! Kau mau memelukku atau hendak menjitak kepalaku, karena sempat kubuat
begadang semalam suntuk?" tukas Andika enteng saja.
Sepertinya Pendekar Slebor tak pernah berdosa telah menyusahkan begitu banyak
orang, hanya untuk mewujudkan gurauannya yang kelewatan.
"Rasanya aku ingin meninju keningmu, Andika!" seru Chin Liong, tak bersungguh-
sungguh. "Kalau begitu, silakan.... Mungkin dengan begitu sifat urakanku akan sembuh."
Chin Liong tertawa renyah. Andika malah tergelak besar. Lalu, keduanya
berangkulan akrab.
"Aku rindu kau, Pemuda Brengsek!" umpat Chin Liong.
"Heran! Aku justru tidak...."
Dengan gemas, perut Andika dihadiahkan bogem oleh Chin Liong.
"Dan kau perlu tahu pula, Tuan Putri kita pun pasti amat rindu padamu.
Buktinya, dia mau diajak jalan-jalan olehmu semalam suntuk. Kau tidak melakukan
yang bukan-bukan padanya. kan?" bisik Chin Liong.
"Chin Liong!" bentak Putri Ying Lien, rikuh. Telinganya yang selama ini menjadi
pengganti matanya, telah menangkap bisikan halus Chin Liong.
Kali ini Chin Liong sempat tergelak.
*** "Jadi apa maksud kalian mengunjungiku" Sekadar berkunjung, atau ada maksud yang
lebih penting?" tanya Andika ketika pada keesokan harinya, mereka berada di
kapal kerajaan Putri Ying Lien. Ketika kawan seperjuangan itu duduk saling
berhadapan di ruang kebesaran Putri Ying Lien, di atas kursi masing-masing.
Putri Ying Lien bangkit dari kursinya. Agak merayap, didekatinya sebuah laci
besar di dinding kayu ruangan.
"Sebelum kuberitahu, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Andika...," kata
gadis itu. Dari dalam laci besar berukiran Cina, putri jelita itu mengeluarkan segulungan
papirus. "Kau pernah melihat ini?" tanya Putri Ying Lien pada Andika.
Andika menggeleng.
Putri Ying Lien lantas menghampiri tempat duduk Andika.
"Ini adalah papirus, sarana menulis orang-orang Mesir. Seorang perwira
kerajaanku mendapatkannya dari seekor burung gurun. Lihatlah isinya!"
Andika menerima gulungan papirus hati-hati dari tangan Putri Ying Lien.
Dari rupanya, papirus itu sepertinya sudah demikian tua dan rapuh.
Maka dengan hati-hati pula, pemuda itu membukanya.
Papirus terbentang. Dan mata Andika pun menyaksikan sebuah lukisan piramida
serta patung singa berkepala manusia. Ditambah gambar tangan manusia yang
seolah-olah mempersilakan masuk ke dalam piramida.
"Kau diundang ke Mesir, Ying Lien...," ungkap Andika, mengutarakan pendapatnya.
"Ya! Aku pun berpendapat sama denganmu!" kata Chin Liong.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Andika kemudian.
Putri Ying Lien duduk kembali di kursinya.
"Aku berniat mengajakmu ke Mesir, Andika," ucap gadis itu.
"Mengajakku" Kalian yang diundang, kenapa aku harus diajak?"
"Firasatku mengatakan, kami akan membutuhkan pertolonganmu di sana...," papar
Putri Ying Lien, mengemukakan alasan.
"Ooo, jadi bukan karena kau ingin bersamaku?"
Putri Ying Lien menaikkan sudut bibirnya. Gadis ini termasuk tahan menerima
godaan si urakan, Pendekar Slebor.
"Panglima Chin Liong! Panglima!"
Tiba-tiba seorang perwira masuk ke dalam ruangan tergesa-gesa.
"Ada apa?" tanya Chin Liong.
"Burung gurun itu! Aku melihatnya kembali sedang berputar-putar tepat di atas
kapal kita!"
*** 5 Jauh di atas ubun-ubun kapal layar, seekor burung gurun tampak melanglang
angkasa, membawa keangkuhan dan ancaman yang sulit dimengerti. Burung inilah
yang juga pernah dilihat salah seorang perwira Kerajaan Cina, dan terlihat oleh
Kenjiro dan Hiroto di negeri Sakura.
Andika, Putri Ying Lien, Chin Liong serta para perwira dan prajurit berdiri diam
seperti tersihir atas kedatangan burung itu. Mereka memandangi dengan mata
mencerminkan kesan kekaguman, sekaligus kengerian.
"Kau yakin burung itu yang kau lihat?" tanya Andika pada perwira di sisinya.
Perwira yang ditanya mengangguk pasti.
"Bagaimana menurutmu tentang burung itu, Andika?" tanya Chin Liong.
"Memang ganjil. Tak semestinya burung gurun seperti itu berkeliaran di tanah
Jawa...," simpul Andika cepat.
"Tak semestinya juga berkeliaran di atas wilayah kami," timpal Putri Ying Lien.
Biarpun gadis ini tidak melihat langsung rupa burung itu, namun bisa tahu dari
penjelasan perwira yang melapor padanya beberapa waktu lalu.
Lalu semuanya kembali mengunci mulut serempak, seakan takut kehilangan burung
yang masih tetap melayang-layang berputar jauh di atas kapal. Sampai
akhirnya.... "Hey, lihat!" seru seorang prajurit di buritan tiba-tiba. Tangannya menunjuk ke
arah lain dengan sinar mata takjub tak terkira.
Seperti diberi aba-aba, semua yang berada di sana menoleh serempak ke arah yang
ditunjuk prajurit ladi. Bersamaan pula mereka dipaksa takjub. Ratusan burung
elang tampak melayang gagah menuju satu titik..., burung gurun!
"Apa lagi ini?" tanya Andika, tak habis pikir. Setelah itu dia hanya bisa
mengikuti apa yang terjadi.
Ratusan elang perkasa yang merentang sayap lebar-lebar mengendarai bayu, makin
dekat pada burung gurun. Mulanya berbondong bondong tanpa suara seperti kawanan
ksatria angkasa bisu. Ketika jarak makin dekat, jeritan lantang terdengar susul
menyusul, tindih-menindih.
"Kiiing! Kiiing!"
Mereka yang menyaksikan makin takjub. Benar-benar pertunjukan yang jarang
terjadi. Tak lazim burung-burung elang terbang berkawanan seperti itu, membentuk
susunan terbang yang sepertinya begitu teratur rapi.
Naluri bahaya dari seekor burung gurun memperingati. Burung dari tempat yang
jauh itu bisa merasakan, kalau kawanan elang hendak menyerang dirinya. Karena
itu, sayapnya dikepak kuat-kuat. Dite-jangnya udara, terbang sepenuh tenaga
untuk menjauh dari tempatnya semula.
Kawanan elang itu tak membiarkan calon korban menyingkir begitu saja.
Satu-satunya tujuan sepertinya hanya mendapatkan tubuh calon korban untuk
direncah ramai-ramai dengan cakar tajam mereka.
Seekor burung elang yang paling besar mengepak sayap lebih kuat, memisahkan diri
dari kelompoknya. Penuh kesan gagah laksana seekor panglima perang di medan
laga, dibuatnya satu tukikan tajam ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan
sasaran. "Kiiing!"
Dari arah atas, burung elang itu membuka cakarnya lebar-lebar. Dan punuk burung
gurun pun langsung menjadi tempat mendarat cakar elang itu.
Namun tak begitu mudah rupanya bagi sang elang untuk menundukkan burung gurun
yang sebenarnya tak kalah ganas. Belum lagi cakar sang elang merejam, burung
berkepala nyaris gundul itu membuat gerakan menyamping.
Sebentar burung nyaris gundul ini memutar tubuh. Lalu tubuhnya melayang deras,
berhadapan dengan arah terbang sang elang.
Dua ekor burung yang sama besar kini siap saling mencabik atau mematuk di udara.
Sampai pada saatnya...,
"Kaaakkk!"
"Kiiing!"
Keduanya sama-sama melepas teriakan menusuk angkasa. Saat yang sama cakar mereka
menyambar ke tubuh satu sama lain. Sang elang bisa merobek dada lawannya. Burung
gurun pun berhasil menyarangkan cakarnya ke dada sang elang. Maka gerakan
terbang keduanya sejenak limbung.
Burung gurun yang terkenal tangguh lebih dapat menguasai keadaan.
Otot-otot sayapnya mampu membuat gerakan keseimbangan terbangnya kembali, meski
dadanya sudah terembesi darah.
Secepatnya, burung itu memanfaatkan kelimbungan sang elang.
Didahului teriakan serak, diburunya lawan dari arah belakang.
Sayang! Pada kala itu pula, kawanan burung elang yang lain sudah tiba.
Cakar-cakar mereka langsung bergantian mencabik. Beberapa di antara nya malah
mencengkeram tubuh burung gurun kuat-kuat. Sampai akhirnya, burung gurun itu tak
berdaya lagi. Bulu-bulunya bertebaran tertiup angin, melayang-layang lunglai
seperti nyawa burung gurun yang ikut melayang direnggut cabikan cakar dan paruh
sang elang. Sementara itu orang-orang di atas kapal tertegun. Mereka seperti menyaksikan
sandiwara manusia yang dimainkan secara nyata oleh para makhluk di atas sana.
Bukankah manusia pun kerap begitu" Saling mencabik, cakar-mencakar untuk mencari
kepuasan dan kemenangan dengan darah sesama"
Selagi mereka tertegun, kawanan burung elang yang mencengkeram tubuh burung
gurun menjatuhkan bangkai itu ke geladak kapal.
"Aku tak mengerti, apa maksud kawanan elang itu. Aku yakin mereka adalah burung-
burung terlatih...," bisik Andika seraya menghampiri bangkai burung gurun.
Pada kaki burung itu, Andika menemukan gulungan papirus seperti pernah
didapatkan Putri Ying Lien. Maka dengan segera dibukanya.
Diperlihatkan isi papirus itu pada Putri Ying Lien.
"Papirus dengan isi yang sama...." ucap Chin Liong, memberitahu Putri Ying Lien.
"Ya! Papirus dengan isi yang sama!" Tiba-tiba terdengar suara orang lain
menimpali. Dan tahu-tahu saja, orang itu sudah ikut hadir di antara mereka.
Andika langsung menoleh ke arah orang itu, dan kontan terkejut. Orang itu sudah
dikenalnya beberapa hari lalu. Benarkah cuma dia saja yang mengenal si pendatang
baru itu" Tidak! Nyatanya, Putri Ying Lien pun agak terkesiap mendengar suara
itu. Termasuk, Chin Liong....
"Kau rupanya, Pak Tua Penggembala! Tak kukira kau akan bertandang juga ke kapal
sahabatku ini!" sambut Andika ramah. Lelaki yang baru datang memang Penggembala
Tua, yang pernah ditemui Pendekar Slebor beberapa waktu lalu.
"Selamat berjumpa lagi, Orang Tua!" sapa Chin Liong hangat. Dari caranya
melempar salam jelas sekali kalau dia sudah cukup mengenalnya.
"Kau mengenalnya?" tanya Andika pada Chin Liong.
"Ya! Beberapa waktu lalu, dia tinggal cukup lama di kerajaan kami.
Selama disana, dia banyak memberi banyak pelajaran baik pada para perwira, serta
para tabib kami...," Putri Ying Lien yang menyahuti pertanyaan Andika.
"Ah! Jangan dengarkan ucapan yang berlebihan itu!" sergah si orang tua, merasa
risih mendapat semua sanjungan Putri Ying Lien. "Aku hanya seorang petualang
kecil, yang mencoba menyusuri setiap jengkal tanah di bumi yang telah ditempati
manusia...."
"Petualang?" Andika berbisik sendiri.
Rasanya Pendekar Slebor sempat mendengar desas-desus tentang seorang tokoh
golongan putih yang sudah begitu banyak melanglangi wajah bumi. Hampir setiap
jengkal tanah berpenghuni telah dijejaki.
Karena itu pula, dia disebut-sebut sebagai si Gila Petualang. Disebut gila,
bukan berarti otaknya terganggu. Justru karena dia begitu tergila-gila untuk
terus berjalan, sepanjang bumi masih berputar pada sumbunya. Dan sepanjang
usianya masih memungkinkan, tentunya.
"Kebetulan sekali kau ada di sini, Orang Tua! Bagaimana kalau kau kuajak serta"!
Bukankah pengalamanmu bisa menjadi penuntun yang baik untuk perjalanan kami?"
Putri Ying Lien menawarkan.
"Bicara soal keberangkatan kita ke Mesir, aku jadi teringat pada papirus ini,"
sela Andika. "Aku menemukannya terikat di kaki burung gurun tadi. Bagaimana
menurutmu, Pak Tua?" tanya Andika.
Diserahkannya gulungan papirus di tangan pada laki-laki penggembala yang
ternyata berjuluk si Gila Petualang.
Si Gila Petulang mengamati sesaat.
"Benar.... Ini memang dari negeri Mesir sana. Usianya pun sudah begitu tua...,"
ungkap orang tua itu kemudian. "Hm.... Jadi aku memang tak salah lihat. Burung
yang direncah elang-elangku memang burung gurun."
"Jadi elang-elang tadi milikmu?" cetus Andika.
"Ah! Aku hanya memelihara dan melatih. Tak ada yang bisa memiliki mereka secara
mutlak. Mereka punya kebebasan dan naluri hidup sendiri."
Tiba-tiba pemuda dari Lembah Kutukan ini tersenyum seraya menjentikkan jarinya.
"Sekarang aku tahu, kenapa kau dulu mengatakan bebek-bebek milikmu sudah habis
dimakan. Rupanya, sudah kaujadikan santapan elang-elangmu itu bukan"! Maaf kalau
waktu itu aku menggangumu
penggembala... bebek! He he he. Rupanya kau hanya hendak memberi makan binatang-
binatang peliharaanmu yang hebat itu."
*** Sementara di tempat lain rupanya tengah berlangsung pertarungan puncak antara
dua tokoh sesepuh persilatan yang bisa dibilang sama-sama sinting. Keduanya
punya sifat berbeda. Yang satu begitu dingin, seperti gumpalan es kutub utara.
Sedang yang lain begitu lugu. Biar sifat berbeda, mereka tetap memiliki
kesamaan. Di samping sama-sama tua bangka, juga sama-sama memiliki kelainan
otak. Alias, kurang waras!
Nama keduanya amat santer di dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu
sebagai dua orang seteru. Yang satu berjuluk Hakim Tanpa Wajah. Dan yang lain
berjuluk Pendekar Dungu.
Beberapa waktu yang lalu, mereka mulai unjuk gigi lagi. Meskipun, sebenarnya
sudah sama-sama kehabisan 'gigi' (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi").
Hakim Tanpa Wajah yang berhasil lolos dari ancaman muridnya sendiri di
Pengadilan Perut Bumi beberapa waktu yang lalu, rupanya tetap penasaran terhadap
Pendekar Dungu. Dari dulu hingga sekarang, bahkan bila siap terjun ke liang
lahat sekalipun, dia akan tetap ingin mempecundangi Pendekar Dungu. Karena saat
masa jayanya dulu, Pendekar Dungu adalah salah satu orang yang tak bisa
ditundukkannya!
Hari itu, setelah mencari demikian lama dan mendongkolkan, Hakim Tanpa Wajah
akhirnya berhasil menjumpai si bangkotan bebal musuh lamanya. Dan tanpa salam
pertemuan atau basa-basi lagi, langsung saja diterjangnya Pendekar Dungu.
"He he he! Biar mampus kau, Bangkotan!" seru Hakim Tanpa Wajah seiring satu
sambaran pukulan intinya.
Saat itu pertarungan mereka sudah memasuki juus ke seratus dua belas.
"Eee! Kau saja yang mampus, sana!" balas Pendekar Dungu dengan bibir maju-mundur
sambil membalas sambaran dengan depakan kaki, setelah lebih dahulu menghindar.
Hakim Tanpa Wajah melayang ke belakang, lalu berdiri cukup jauh dari lawannya.
Sedangkan Pendekar Dungu tak memburu. Sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan
pertarungan yang demikian lama, tapi belum juga membawa hasil.
"Mana kawan jelekmu si Manusia Berbulu Hitam"! Biar kukepruk kepalanya sekalian!
Bukankah waktu itu kalian sudah bisa berjalan bersama, seperti anjing kura dan
kucing kudis yang insaf!" cemooh Hakim Tanpa Wajah.
Pendekar Dungu berpikir sebentar.
"Aku tak tahu, ke mana si biang monyet itu.... Apa kau tahu, ke mana dia" Apa
tak mungkin dia sedang mengeritingkan bulu-bulunya?"
ucapnya, polos sekali. Orang bebal seperti dia, mana tahu kalau dirinya tadi
sedang dicemooh.
Hakim Tanpa Wajah menyeringai. Sulit dikatakan senyum, sulit juga dikatakan
geram. Bibirnya yang begitu tersembunyi menjadi terlihat menjijikkan.
"Sebenarnya cuma dongkol yang kutelan, kalau berurusan denganmu.
Tapi tololnya, entah kenapa aku masih saja penasaran denganmu, otak udang sial!"
dengus Hakim Tanpa Wajah.
"Yang tolol aku, bukan kau! Berani-beraninya kau mengaku tolol padaku"!"
"Kaaak!"
Tiba-tiba terdengar suara serak di angkasa. Keduanya sama-sama menoleh. Kalau
burung biasa, jangan harap mereka akan peduli. Yang satu ini, lain sama sekali.
Begitu menurut pikiran mereka masing-masing.
"Idih, burung apa itu"!" seru Pendekar Dungu. "Jeleknya kok bisa nyaingi aku,
ya?" Begitu menyaksikan rupa burung yang mereka lihat, keduanya seperti kehilangan
semangat untuk melanjutkan pertarungan. Masing-masing tidak peduli lagi pada
Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelengahan satu sama lain. Ada semacam kekuatan pesona yang dimiliki burung itu.
"Aneh juga..., baru kali ini aku melihat burung seperti itu" Burung dari mana?"
bisik Hakim Tanpa Wajah membatin. Alisnya yang tak kentara jadi bertaut.
Tak lama berikutnya, sesuatu dijatuhkan burung itu dari kakinya.
Wajah Pendekar Dungu berbinar. Tak tahu, apa yang sedang
dipikirkannya saat itu. Bisa jadi, dikira si burung menjatuhkan buah dari sorga.
"Tangkap! Tangkap!" seru Pendekar Dungu blingsatan.
Bersemangat dia memburu ke arah luncuran jatuh benda tadi. Biarpun terbilang
keropos, larinya masih lebih lincah daripada biang kadal buduk!
"Dapat!" teriak Pendekar Dungu setelah benda tadi disergapnya. "Apa ini! Oiii,
apa ini"! Aku dapat rejeki..., aku dapat rejeki!"
"Berikan padaku!" ucap Hakim Tanpa Wajah penuh tekanan dengan Wajah mengancam.
Pendekar Dungu mencibir. Dibukanya benda yang ternyata gulungan papirus.
Wajahnya lantas cemberut, begitu tak menemukan apa-apa di dalam-nya.
"Benda bau pesing! Kau mau ini" Nih, makan!" dengus Pendekar Dungu seraya
melempar kertas itu pada Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah menangkapnya, lalu memperhatikan seksama.
Beberapa saat kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang didapatkan
dari gambar di papirus. Sebentar kemudian, dicampakkannya papirus itu, lalu
pergi begitu saja dengan wajah sungguh-sungguh.
Tinggal si bangkotan berotak bebal yang terbengong sendiri.
Ditatapnya lama-lama papirus di tanah. Lalu, diambilnya benda itu.
Perlahan-lahan dibukanya papirus, dan dipelototinya sekian lama.
Beberapa saat kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk.
Seperti Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Dungu juga mencampakkan pula papirus tadi ke
tanah, lalu ngeloyor pergi. Apakah dia telah pula mendapatkan sesuatu" Mustahil!
Otak sebesar tempurung dengkul miliknya, tak mungkin mencerna maksud di papirus.
Dia cuma latah meniru lagak Hakim Tanpa Wajah barusan!
*** 6 Siang itu, kapal layar Cina milik Putri Ying Lien siap meniti samudera bebas
kembali. Mesir sebagai tujuan utama, memenuhi undangan yang penuh teka teki dari
seorang penguasa yang juga tak jelas. Siapa dia"
Dan mengapa mengundang banyak tokoh persilatan untuk memasuki piramidanya"
Bukankah amat aneh, kalau piramida itu sendiri sebenarnya adalah sebuah makam
raksasa" Mungkinkah penguasa Mesir yang mengundang telah mati"
Teka-teki besar tak perlu dijawab secepatnya. Yang harus mereka lakukan cuma
tiba secepatnya di sana.
Layar terkembang lebar, berkibar-kibar disapu sang bayu. Teriakan-teriakan riuh
para awak kapal terdengar. Sauh pun sudah diangkat.
Bersama Pendekar Slebor serta si Gila Petualang, kapal perang Cina ini
meninggalkan dermaga.
Langit memayungi samudera dengan wajah cerahnya. Sampai ke kaki langit sana,
mega-mega tipis saja yang tampak ramah. Angin pun berhembus bersahabat, cukup
untuk menuntun kapal layar melaju lurus.
Burung-burung pemburu ikan-ikan kecil terbang riang, seakan menyampaikan ucapan
selamat jalan. Di punggung kapal, Pendekar Slebor berdiri menyendiri, menatap tepian dermaga
yang kian menjauh. Ada perasaan kehilangan dalam dirinya saat itu. Perasaan yang
sama, seperti ketika meninggalkan tanah Jawa menuju negeri Cina dahulu.
"Selalu tak enak meninggalkan tanah kelahiran, bukan?" usik seseorang di
belakangnya. Ternyata si Gila Petualang telah berada di sana. Sama-sama berdiri, melepas
pandangan jauh ke dermaga yang mulai mengabur.
"Aku pun merasakan hal yang sama, setiap kali harus melanglang ke negeri orang.
Biar bagaimanapun, tanah pertiwi tetap membuat kita selalu rindu untuk kembali.
Sepertinya darah kita adalah darah yang mengalir dalam tubuh Tanah Pertiwi...,"
papar orang tua itu, terdengar agak lirih.
"Tapi kenapa kau tetap terus melanglang buana?" tanya Andika.
"Karena bumi ini luas, Anak Muda. Biar cinta pada tempat kelahiran, kita tak
bisa menjadi katak dalam tempurung!"
Andika tertawa kecil. "Benar katamu, Orang Tua," katanya. "O, ya....
Bisa kau bercerita sedikit tentang papirus itu" Kudengar dari Putri Ying Lien,
kau pernah menyinggahi negeri Mesir. Sedikit banyak kau tentu tahu makna gambar
dalam papirus itu, bukan?" susul Andika.
"Mesir...," si Gila Petualang menarik napas dan diam sesaat. "Negeri yang punya
banyak teka-teki. Tentang kuburan raksasa para rajanya, tentang kuil-kuilnya.
Tapi, kau tak akan menanyakan itu bukan" "
"Ya! Khususnya tentang piramida," tegas Andika.
Si Gila Petualang menggelengkan kepala.
"Aku tak tahu banyak tentang itu. Selama di sana, aku tak pernah masuk ke
dalamnya, meskipun begitu berhasrat. Tak bisa sembarang orang masuk kesana,
karena kuburan kebesaran seperti itu selalu di jaga seorang Pendeta 'Ka'...."
"Pendeta 'Ka'?" ulang Andika, langsung tergugah keingintahuannya.
"Seorang yang mendapat amanat untuk mengadakan misa 'Ka', sekaligus sebagai
pemelihara kuburan itu...."
Andika tercenung.
"Kalau undangan itu benar-benar datang dari seorang penguasa Mesir, tentu kita
akan bertemu orang seperti itu," gumam Andika seperti berkata pada diri sendiri.
Pendekar Slebor memang begitu ingin tahu tentang negeri asing yang disebut kawan
seperjalanan di sisinya sebagai negeri yang begitu banyak mengandung teka-teki.
"Hey! Siapa kau"! Kenapa bisa ada di sini"!"
Tiba-tiba terdengar hardikan seorang dari ruang bawah gudang kapal.
Andika dan si Gila Petualang cepat-cepat menuju tempat keributan.
Setibanya di sana, Pendekar Slebor menyaksikan seseorang yang sudah tak asing
lagi, dengan bentuk tubuhnya yang melengkung seperti tongkat. Wajahnya lucu,
namun menyebalkan. Dan orang tua ini pernah membuatnya dongkol setengah mampus.
"Pendekar Dungu?" sebut anak muda itu, seperti tak percaya pada penglihatannya.
Sementara orang tua yang dipanggil namanya malah sedang terbang dibawa mimpi di
antara tumpukan gentong-gentong anggur Cina. Salah satu gentong sudah berlubang.
Sebagian besar isinya berceceran.
Jangan tanya, ke mana perginya sebagian yang lain. Si bangkotan bebal itu tentu
sudah menggasaknya sampai mabuk!
Kalau lantai gudang basah dengan genangan anggur, maka dagu keriput tua bangka
itu basah dengan genangan air liurnya. Begitu nyenyaknya, sampai-sampai mulutnya
yang menganga lupa dikunci hingga seperti lubang tikus sawah.
Pendekar muda dari tanah Jawa itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak disangka akan
bertemu kembali dengan orang yang bisa membuatnya mati berdiri! Kini, si tua itu
ikut pula dalam kapal. Artinya, mau tidak mau, dia pun mesti diajak serta
memenuhi undangan penguasa Mesir.
"Sial...," rutuk hati Andika membatin.
"Biar orang tua tak tahu adat ini kubuang ke laut, Tuan Pendekar!"
Prajurit yang barusan menghardik meminta persetujuan Andika.
Wajahnya garang sekali dengan warna merah.
Mendengar ucapannya, Andika jadi tertawa.
"Jangan...," cegah pendekar muda itu. "Jangan-jangan, malah kau yang dilempar
jauh-jauh ke tengah laut...."
Mendengar ada nada kesungguhan dalam kata-kata Pendekar Slebor, si prajurit
meringis. Bergidik juga mendengarnya. Kalau seorang pendekar kesohor seperti
Pendekar Slebor berkata begitu, berarti si keropos yang kelihatan lemah itu
sebenarnya memiliki kehebatan setara dengannya. Atau mungkin juga lebih tinggi!
"Ya! Kurasa aku pun belum tentu sanggup melakukannya," timpal si Gila Petualang
jujur dan seadanya. Dia cukup kenal tokoh yang lebih dahulu melabrak dunia
persilatan, sebelum dirinya itu.
Nah! Makin meringis saja prajurit tadi!
"Kalau begitu, biarkan dia tertidur pulas di sana sampai terjaga. Suruh orang
mengawasi. Kalau sudah terjaga, cepat beritahu aku," perintah Andika.
Si prajurit mengangguk cepat. Kemudian, Pendekar Slebor dan si Gila Petualang
pun naik ke buritan.
*** Mesir kala itu sebenarnya merupakan tempat yang bisa disebut mempesona. Begitu
memasuki Sungai Nil, terpampanglah pemandangan yang menjerat perasaan. Warna
biru pucat terhampar di sepanjang sungai besar ini. Pantulan mentari menciptakan
kepingan-kepingan cahaya, seperti ribuan cermin kecil berkerlap-kerlip.
Di sepanjang sungai itu, banyak terhampar tanah pertanian yang memanfaatkan
Pedang Bintang 3 Pasangan Naga Dan Burung Hong Karya S D Liong Badai Laut Selatan 14