Pencarian

Asmara Penggoda 2

Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda Bagian 2


itu. Aku tak sadar bila yang berada di dekatku adalah kau, Kekasihku..."
Sekar Mayang memeluk tubuh Kapi
Anggara. Pemuda tampan itu pun
tersenyum senang. Dia segera balas memeluk.
"Eh, jangan, Anggara...."
Bidadari Lentera Merah menepis.
Kapi Anggara membisu dan menatap wajah wanita cantik itu dalam-dalam.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Mayang," kata si Pendekar Asmara kemudian.
"Kau menanyakan apa?"
"Kenapa kita tidak langsung saja menggempur istana?"
"Tidak semudah yang kau kira,
Anggara. Pengawal istana Baginda Prabu adalah kaum rimba persilatan golongan
atas. Ketua Pertama sedang mencoba mempengaruhi dengan ilmu 'Asmara
Penggoda'."
"Lalu, apa hubungannya dengan tindakan yang sedang kita lakukan ini"
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tak mempunyai hubungan apa-apa dengan pihak
kerajaan. Apa untungnya
memusnahkan mereka?"
"Gob..., eh...."
"Hayo, kau mau mengatakan aku
'goblok' lagi, ya?" rungut Kapi Anggara.
"Ya, eh, tidak," Sekar Mayang menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Ah, sudahlah," kata Kapi Anggara kemudian. "Jawab saja pertanyaanku itu...."
"Sedikitnya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan bila dapat memusnahkan
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Pertama, apabila sewaktu-waktu pihak kerajaan membutuhkan bala
bantuan, perkumpulan pengemis itu tidak akan dapat berbuat apa-apa...."
"Sebentar," potong Kapi Anggara.
"Kenapa pihak kerajaan mesti meminta bantuan kepada perkumpulan pengemis itu?"
"Suropati yang menjadi pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti pernah
berjasa kepada kerajaan.
Sekitar dua tahun yang lalu di Bukit Parahyangan dia telah telah melenyapkan
seorang pengkhianat kerajaan yang bernama Brajadenta atau Dewa Maut. Bukan itu
saja, Suropati adalah murid mendiang Periang Bertangan
Lembut yang merupakan mantan penasihat kerajaan. Dengan alasan-alasan itu bukan
mustahil nanti Baginda Prabu akan meminta bantuan remaja konyol itu."
Kapi Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu, keuntungan kedua apa?"
"Sampai saat ini Suropati masih terbebas dari pengaruh kekuatan ilmu
'Asmara Penggoda', jadi dia belum dapat ditundukkan. Bila perkumpulan
pengemisnya dapat dimusnahkan,
termasuk melenyapkan Gede Panjalu, Ketua Pertama berharap akan timbul dendam
kesumat dalam diri Suropati.
Dengan begitu, dia akan menjadi
makanan empuk ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalbu remaja konyol itu telah disucikan. Itu membuat ilmu 'Asmara Penggoda' tak
mempan untuk mempengaruhinya. Tapi bila kalbu
Suropati telah terkotori oleh nafsu amarah dan dendam membara, ilmu
'Asmara Penggoda' akan dapat men-
cengkeram erat jiwanya. Dari situ kekuatan kita akan bertambah."
"Keuntungan lainnya lagi apa?"
"Eh, pertanyaanmu kok tak
berhenti sih?" sungut Sekar Mayang dengan agak mendongkol.
"Memangnya kenapa" Kau mencuri-gaiku?" tanya Kapi Anggara. "Kalau dengan
pertanyaanku itu timbul kecu-rigaanmu kalau aku ini mata-mata, sekarang juga
minta saja kepada Ketua Pertama untuk mengetrapkan ilmu
'Asmara Penggoda'-nya kepadaku,"
tantang pemuda itu kemudian.
"Ah, tidak, Anggara. Kau marah, ya?"
"Tidak."
"Syukurlah kalau begitu. Aku sangat suka kepadamu, Anggara. Aku selalu
menghalangi keinginan Ketua Pertama yang ingin mengetrapkan ilmu
'Asmara Penggoda'nya kepadamu. Sebab aku tak ingin kau menjadi bangkai
bernyawa...."
Kapi Anggara tersenyum senang.
Dicubitnya paha Sekar Mayang. Wanita cantik itu menggeliat manja.
"Kau tadi mengatakan bahwa
sedikitnya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan dari musnahnya Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
Kau baru menyebutkan dua. Lainnya lagi apa?" desak si Pendekar Asmar.
"Sebenarnya banyak. Salah satunya adalah keuntungan tidak langsung yang akan
diterima oleh Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam. Karena tanpa saingan, perkumpulan itu akan berkem-bang
semakin pesat. Itu berarti juga keuntungan bagi kita. Banyak
Jalamprang telah tunduk kepada Ketua Pertama."
Tiba-tiba angin berhembus dengan
kencang. Kilat menyambar. Sebatang pohon besar yang berada tak jauh dari tenda-
tenda anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah langsung
tumbang tersambar!
"Firasatku benar...," gumam Sekar Mayang. "Aku akan menghubungi Ketua Pertama."
Kapi Anggara hanya diam
memperhatikan Bidadari Lentera Merah duduk bersemadi. Tak lama kemudian, wanita
cantik itu telah mencapai
kekosongan kalbu. Alam pikirannya melesat terbang menuju lorong bawah tanah di
mana Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar berada. Tapi, Sekar Mayang mengerutkan
kening dan membuka kelopak matanya. Raut wajahnya tampak
menyimpan kekecewaan.
"Ada apa, Mayang?" tanya Kapi Anggara, heran.
"Jiwa Ketua Pertama dibentengi oleh kekuatan kokoh yang diciptakannya sendiri.
Ketua Pertama sedang
menghimpun kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Untuk apa?"
"Dia hendak mempengaruhi seluruh pengawal istana Baginda Prabu."
"Ah, begitukah"!" Kapi Anggara berusaha menyimpan keterkejutannya.
"Kau kenapa, Anggara?" tanya Sekar Mayang yang melihat perubahan sinar wajah si
Pendekar Asmara.
"Tidak apa-apa. Mudah-mudahan keinginan Ketua Pertama itu tercapai.
Kira-kira, kapan Ketua Pertama akan mengetrapkan ilmu ajaibnya itu?"
"Entahlah. Tapi, tampaknya dalam waktu dekat ini...."
Kapi Anggara menundukkan kepala.
Pemuda itu kelihatan berpikir keras.
Sekar Mayang menatapnya dengan sinar mata penuh kasih.
Di luar hujan tetap turun dengan
derasnya. Angin berhembus kencang.
Ranting pohon meliuk-liuk bagai
ditarik tangan-tangan kasat mata.
Permukaan tanah bukit yang menjorok ke bawah sebagian tampak longsor.
"Aku akan mengatur anak
buahku...," kata Sekar Mayang tiba-tiba.
"Jangan!" cegah Kapi Anggara.
"Aku tak mau kau basah kuyup. Aku saja yang akan mengatur mereka."
Tanpa meminta persetujuan lagi
pemuda tampan itu keluar dari tenda.
Dia mengerutkan kening ketika matanya menatap sebatang pohon besar yang tumbang
menimpa sebuah tenda. Pemuda
itu segera berlari mendekati tanpa mempedulikan siraman air hujan yang membasahi
tubuhnya. Bersamaan dengan itu beberapa anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah berloncatan keluar dari tendanya. Mereka
menghampiri tiga orang wanita cantik yang berlindung di bawah pohon.
"Kalian jangan di situ.
Berlindunglah di tendaku," kata anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang
baru keluar dari tenda.
"Benar. Segera kau turuti
perkataannya," timpal Kapi Anggara.
Semua wanita cantik yang
berpakaian serba merah menatap Kapi Anggara. Tapi, mereka segera berlalu dan
masuk ke dalam tenda.
"Rupanya mereka menaruh hormat kepadaku," gumam Kapi Anggara dalam hati.
Pemuda itu menoleh ketika
merasakan bahunya tersentil benda kecil. Matanya segera melihat seorang anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang sedang membuat jalan air di sisi tenda.
Kapi Anggara memberi
isyarat dengan gelengan kepala. Lalu, tubuh pemuda tampan itu berkelebat cepat.
Wanita cantik yang menangkap
isyarat itu segera menyusul.
Ketika sampai di sebuah tebing
yang bagian atasnya menjorok keluar,
Kapi Anggara menghentikan langkah kakinya. Tempat di mana dia berdiri cukup
terlindung dari terpaan angin dan siraman air hujan. Sesosok
bayangan berkelebat dan berhenti di samping pemuda tampan itu.
"Kau yakin tidak ada orang yang mengikutimu, Puspita?" tanya Kapi Anggara seraya
mengedarkan pandangan ke sekitar bukit.
"Ah, cepat saja kau katakan apa yang telah kau dapat," kata Puspita terburu-
buru. "Sekar Mayang curiga terhadap hujan yang sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh istana.
Tapi untunglah Ratnasari sedang melakukan sesuatu, sehingga wanita itu tak dapat
berbuat apa-apa untuk menghentikan hujan buatan ini."
"Jadi semua berjalan menurut rencana, begitu?" tegas Puspita.
"Ya, hujan akan menghambat
perjalanan mereka, sampai prajurit-prajurit kerajaan datang untuk
menghancurkan kekuatan Sekar Mayang."
"Lalu, kabar penting apa yang hendak kau sampaikan?" Puspita menyeka air hujan
yang bergulir di wajahnya.
"Ratnasari sedang mengumpulkan kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'-nya untuk
mempengaruhi para pengawal
istana." "Celaka!" kata Puspita gusar.
"Kapan dia hendak mengetrapkan ilmu
iblisnya itu?"
"Kata Sekar Mayang dalam waktu dekat ini."
"Aku harus segera menyampaikan kabar ini kepada Baginda Prabu."
"Kau hendak ke istana?"
"Tentu saja tidak. Aku mempunyai kurir yang menunggu di lereng bukit."
"Cepatlah kau hubungi orang itu!"
desak Kapi Anggara.
Puspita bergegas melesat untuk
menuruni bukit. Bagi seseorang yang berilmu tinggi cuaca buruk dan keadaan tanah
yang licin bukanlah penghalang.
Puspita dapat berlari dengan cepat menuju suatu tempat. Seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun yang
berpakaian layaknya seorang gembel sedang menunggu di sebuah gubuk.
Setelah menerima pesan dari Puspita, laki-laki itu segera pergi berlalu.
"Hati-hati, Sabrang. Hujan hanya turun di sekitar Bukit Pangalasan. Kau bisa
melanjutkan perjalanan dengan berkuda!" pesan Puspita.
Ketika kurirnya telah pergi,
wanita cantik itu pun berlari untuk kembali ke perkemahannya. Tapi, sebuah
bayangan menghadang langkahnya!
"Benar dugaan Sang Ketua.
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah telah kemasukan seorang telik sandi.
Ternyata orangnya adalah kau,
Puspita!" bentak Ayumi yang memang
ditugasi Sekar Mayang untuk memperhatikan gerak-gerik Puspita.
"Terus, kau mau apa"!" sambut Puspita tak kalah ketus.
"Menyerahlah! Aku akan membawamu menghadap Sang Ketua!" "Aku tak sudi!"
Ayumi menatap Puspita dengan
pandangan sinis. Lalu.... Ujung
selendang panjangnya yang berwarna merah kaku mengejang dan meluncur ke arah
Puspita. "Senjata penggendong bayi itu saja yang selalu kau andalkan, Ayumi!"
ejek Puspita seraya menghindar dari serangan.
Sambil menggeram gusar, Ayumi
mengeluakan jurus-jurus ampuhnya.
Selendang di tangan wanita cantik itu berkelebat cepat, mencecar bagian-bagian
tubuh Puspita yang berbahaya.
Tapi, Puspita yang sudah hafal semua jurus andalan Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah dengan mudah dapat
menepis serangan.
Ayumi yang menyadari hal itu
segera mengubah gerakannya. Dikeluar-kannya jurus 'Bidadari Mengusir Awan'
yang merupakan salah satu jurus
rahasia Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Tidak semua anggota perkumpulan itu
dapat memainkannya. Sekar Mayang hanya mengajarkan jurus itu kepada orang-orang
kepercayaan. Melihat lawan mengganti jurus yang masih asing
baginya, Puspita jadi sedikit
kerepotan. "Uh! Selama aku berdiam di
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah jurus itu tak pernah kulihat?" keluh Puspita
dalam hati. Wanita cantik telik sandi
kerajaan itu segera mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ditepisnya kelebatan ujung selendang lawan yang bergerak bagai patukan seribu
ular berbisa. Sraaattt...! Puspita meloloskan selendang yang melingkar di pinggangnya. Kemudian, langsung
dibalasnya serangan Ayumi dengan tak kalah hebat.
Pertempuran sengit antara
duawanita cantik yang sama-sama
mengenakan pakaian serba merah itu berlangsung seru di bawah siraman air hujan.
Di tempat lain, Kapi Anggara
berlari-lari kecil masuk ke dalam tendanya kembali. Dia terkejut karena tak
melihat Sekar Mayang di sana.
Sebelum dia dapat menduga apa yang terjadi, tiba-tiba saja tenda roboh dan tubuh
si Pendekar Asmara terjerat di dalamnya. Tapi, pemuda tampan itu bukanlah orang
sembarangan. Tubuh Kapi Anggara melenting ke
udara. Lalu, mendarat di tanah dengan indahnya.
Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan ujung selendang meluncur
laksana tombak langsung menghujani tubuh Kapi Anggara. Pemuda itu dengan
terpaksa kembali melenting ke udara.
Ketika mendarat, dia pun mendengus gusar melihat dirinya telah terkepung belasan
wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
"Hei! Kalian jangan gegabah! Aku Kapi Anggara!" kata si Pendekar Asmara dengan
tatapan tak mengerti.
Seorang wanita cantik yang
rambutnya disanggul tinggi menyibak kepungan.
"Belangmu sudah ketahuan,
Anggara!" kata wanita cantik itu, yang tak lain Sekar Mayang.
Kening Kapi Anggara berkerut
dalam. "Apa maksudmu, Mayang?"
"Huh! Jangan pura-pura bodoh! Aku tak menyangka sama sekali orang yang selama


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini kukasihi ternyata hanyalah monyet busuk, kaki tangan Prabu Arya Dewantara
yang bangkotan!"
Si Pendekar Asmara terkejut
mendengar perkataan Sekar Mayang.
"Rupanya aku telah bertindak ceroboh...," keluhnya dalam hati.
"Bagaimana dengan Puspita?"
"Kau tak perlu diam terbengong-bengong macam kerbau dungu, Anggara!"
bentak Sekar Mayang. "Kalau kau sedang
mengharapkan bantuan Puspita untuk meloloskan diri dari lubang maut, jangan
mimpi, Kerbau Dungu! Temanmu itu sebentar lagi akan menghadap Dewa Kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
wanita cantik itu memberi isyarat.
Belasan anak buahnya segera menggempur Kapi Anggara.
Selendang-selendang merah yang
basah terkena siraman hujan meluncur cepat mencari jalan kematian di tubuh si
Pendekar Asmara!
Berkali-kali pemuda tampan itu
melennngkan tubuhnya ke atas
menghindari serangan. Dari sana Kapi Anggara melemparkan senjata mautnya yang
berupa bunga kenanga.
Set...! Set...! Set...!
Jerit kesakitan langsung
membahana. Tujuh Perkumpulan Bidadari Lentera Merah meloncat ke belakang seraya
mendekap dahinya yang
tertancapi setangkai bunga kenanga.
Tak lama kemudian, tubuh wanita-wanita cantik itu berkelojotan di tanah
meregang nyawa.
Sekar Mayang menggeram. Dengan
lambaian tangan diberi isyarat pada anak buahnya untuk kembali menyerang.
Sernentara Kapi Anggara masih
berputar-putar di angkasa sambil
melempar bunga kenanga mautnya.
Selendang para anggota Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah
berkelebatan mencecar tubuh si
Pendekar Asmara. Tapi, tubuh pemuda tampan itu sangat sukar untuk dicapai.
Putaran tubuhnya laksana putaran angin puting beliung. Ujung-ujung selendang
anak buah Sekar Mayang yang hampir menyentuh terpental balik. Bahkan, Kapi
Anggara berhasil menyebar
kematian lewat bunga kenanga mautnya.
"Arghhh...!"
Tiga jerit kematian terdengar
secara bersamaan. Tubuh-tubuh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
berkelojotan di tanah sambil mendekap dahinya.
Sekar Mayang menggeram laksana
harimau marah. "Minggir kalian semua!" teriak wanita cantik itu.
Kapi Anggara berdiri di bawah
siraman hujan ketika para
pengeroyoknya menepi.
"Sebelum aku melumat tubuhmu katakan siapa kau sebenarnya, Kapi Anggara!"
"Dari dulu kau sudah tahu. Aku si Pendekar Asmara. He he he...!" sahut Kapi
Anggara ringan sekali.
Sekar Mayang menatap sinis.
"Kentut Busuk! Apakah kau orang upahan Prabu Arya Dewantara"!"
Mendengar pertanyaan itu, si
Pendekar Asmara hanya tersenyum
simpul. "Bila kau memang orang upahan, aku bersedia membayar lebih banyak dari yang
telah kau terima."
"Berapa kau akan membayarku?"
tantang Kapi Anggara dengan tatapan melecehkan.
"Berapa pun yang kau minta!"
"Baik! Tapi, aku tidak minta bayaran uang."
"Apa?"
"Dirimu! Kau akan kubawa
menghadap Baginda Prabu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang hendak melakukan pemberontakan!"
"Bangsat!" umpat Bidadari Lentera Merah. Diloloskannya selendang merah dari
pinggangnya. "Aku pun akan meminta bayaran darimu berupa nyawa, Kerbau Dungu!"
Kapi Anggara tersenyum. Pemuda
itu ringan sekali meloncat ke samping ketika selendang Sekar Mayang
menghunjam. Wanita cantik itu tak mau membuang-buang waktu lagi. Dia segera
mengeluarkan jurus 'Bidadari Mengusir Awan'.
Kibasan dan hunjaman ujung
selendang Sekar Mayang menimbulkan suara menderu-deru. Si Pendekar Asmara
berkali-kali melenting ke udara. Tapi, selendang di tangan Sekar Mayang terus
mengejar. Wooosss...! Kapi Anggara mengeluarkan jurus
'Putaran Beliung'-nya. Tubuh pemuda tampan itu pun berputar cepat sambil
melontarkan bunga-bunga kenanga.
Tes...! Tes...! Tes...!
Tebaran bunga itu rontok terkena
kibasan selendang Sekar Mayang!
"Habiskan senjata busukmu itu, Kerbau Dungu!" kata wanita cantik itu seraya
melecutkan selendangnya
berusaha untuk membelit tubuh Kapi Anggara.
"Selendangmu itu hanya pantas untuk mengikat kayu bakar, Wanita Murahan!" balas
si Pendekar Asmara.
Dua orang berlainan jenis itu pun segera terlibat pertempuran seru.
Disaksikan seluruh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Mereka membuat
lingkaran besar tanpa mempedulikan air hujan yang terus mengguyur.
* * * Setelah keluar dari lereng Bukit
Pangalasan, kurir Puspita yang bernama Goran Sabrang berhasil mendapatkan kuda
dan langsung memacunya menuju istana. Jarak antara Bukit Pangalasan dengan Kota
Praja memakan waktu
setengah hari. Jadi, Goran Sabrang yang sebenarnya seorang pengawal
kerajaan tak mau membuang waktu lagi.
Tapi, pemuda berumur tiga puluh
tahun dan bertubuh kekar itu menjadi terkejut. Telinganya mendengar derap
langkah kaki kuda berlari cepat di belakangnya. Goran Sabrang menolehkan kepala.
Terlihatlah olehnya lima orang penunggang kuda berpakaian serba
merah. "Celaka!" kata Goran Sabrang dalam hati. "Anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah mengejarku."
Pemuda bertubuh kekar itu
menggeprak kuda-nya untuk berlari lebih cepat. Namun, berulang kali terdengar
keluhan Goran Sabrang. Lari kudanya bukan bertambah cepat, justru meringkik-
ringkik panjang dari berlari semakin lambat.
"Uh! Kuda sialan!" umpat Goran Sabrang. "Kalau tahu diikuti orang, tak bakalan
aku memilihmu. Sernentara itu, lima ekor kuda
yang sedang mengejarnya sudah semakin dekat. Peluh segera membasahi wajah pemuda
itu. Bercampur dengan air hujan yang membuat kuyup pakaiannya.
Goran Sabrang bukannya takut
untuk menghadapi kelima anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Pemuda itu hanya sedang mengejar
waktu. Pesan yang akan disampaikannya kepada Baginda Prabu Arya Dewantara tidak
boleh terlambat.
"Kuda tua sialan! Kenapa kau tidak mati kemarin-kemarin saja!"
umpat pemuda bertubuh kekar itu sambil melihat ke belakang. Jarak kelima orang
pengejarnya tinggal beberapa tombak saja.
Sraaattt...! Salah seorang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah melontarkan
selendangnya. Kaki kuda yang
ditunggangi Goran Sabrang terbelit.
Akibatnya... kuda tua itu terpeleset dan terjungkal jatuh. Derigan sigap Goran
Sabrang meloncat.
Set...! Set...! Set...!
Puluhan jarum beracun menghunjam
kearahnya! Goran Sabrang bergegas melempar tubuhnya ke atas. Serangan senjata
rahasia itu pun hanya mengenai angin kosong. Goran Sabrang meloncat jauh hendak
melarikan diri begitu menjejak tanah. Tapi, kuda-kuda
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah telah mengepungnya.
"Kenapa kalian menyerangku?"
tanya Goran Sabrang.
Kelima wanita cantik penunggang
kuda itu tak memberi jawaban. Mereka hanya mendengus. Diserangnya Goran Sabrang
dengan selendang ampuhnya.
Pemuda bertubuh kekar itu menjatuhkan diri ke tanah.
Saat itulah dari kejauhan tampak
seratus orang, penunggang kuda menuju tempat itu. Goran Sabrang tersenyum
girang. "Senopati Risang Alit!"
Kelima orang anggota Perkumpulan^
Bidadari Lentera Merah terkejut
melihat umbul-umbul
yang dibawa penunggang kuda terdepan.
"Prajurit kerajaan...!" kata salah seorang dari mereka.
Lalu, wanita cantik itu
menggeprak kudanya dan melarikan diri.
Teman-temannya segera menyusul. Goran Sabrang hanya menatap kepergian mereka
tanpa berbuat apa-apa.
. "Kenapa kau di sini, Sabrang?"
tanya Senopati Risang Alit ketika sudah sampai di dekat pemuda bertubuh kekar
itu. "Aku tak punya waktu banyak, Alit. Sebaiknya kupinjam kuda salah seorang
prajuritmu," sahut Goran Sabrang.
Senopati Risang Alit yang sudah
mengenai siapa Goran Sabrang
mengabulkan permintaan itu. Tak lama kemudian, Goran Sabrang telah melesat
dengan kuda tunggangannya. Ketika pemuda bertubuh kekar itu berpapasan dengan
lima ratus orang prajurit
kerajaan pejalan kaki, dia tak
mempedulikan. Kudanya dipacu bagai orang kesurupan.
Sesampainya di istana Goran
Sabrang disambut dengan tatapan penuh tanda tanya oleh Baginda Prabu Arya
Dewantara. Pemuda bertubuh kekar itu
segera menyampaikan pesan Puspita.
Baginda Prabu pun menyiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar.
* * * 6 Puspita yang sebenarnya adalah
seorang pendekar berjuluk Pedang Perak membuang selendang merahnya. Gadis itu
menggantinya dengan senjata andalannya berupa pedang pendek terbuat dari perak.
Karena tertimpa air hujan, pedang itu mengeluarkan asap tipis.
Senjata andalan Puspita memang
mengandung tenaga mukjizat yang
berhawa panas. Ayumi menggeram penuh kemarahan
ketika berkali-kali lehernya sampai terbabat. Tapi, orang kepercayaan Sekar
Mayang itu tak mau larut dalam keterkejutan. Dia berusaha mencecar Puspita
dengan selendang merahnya seraya melempar jarum-jaram beracun.
Jarum-jarum itu tak begitu
berarti bagi Puspita. Dengan putaran pedangnya, senjata rahasia itu rontok ke
tanah. Dan suatu
saat pedang Puspita meluncur cepat ke arah dada!
Ayumi berkelit ke samping. Tapi,
pedang Puspita yang berlambarkan jurus
'Pedang Membela Rembulan' berhasil
membabat. Bret...! "Augh...!"
Jerit kecil keluar dari mulut
Ayumi. Bahu kanannya terserempet.
Kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang, pedang Puspita akan
memenggal kepalanya.
"Bangsat!" umpat Ayumi.
Puspita mendengus dan terus
mengejar. Tampaknya dia
tak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk menarik napas.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Ujung pedang Puspita sepera'
mempunyai mata. Berkelebat cepat
mencari jalan kematian di tubuh Ayumi.
Hingga kemudian....
"Arghhh...!"
Ayumi berdiri kaku dengan mata
mendelik. Dadanya tertembus pedang Puspita. Perlahan-lahan tubuh tanpa nyawa itu
terjerembab ke tanah.
Puspita bernapas lega. Kakinya
dilangkahkan hendak meninggalkan
tempat itu. Sraaattt...! Empat selendang merah meluncur
cepat. Puspita yang tak menduga
datangnya serangan merasakan tubuh dan kedua belah tangannya tak dapat
digerakkan. Rupanya, dia telah
terbelit! Wanita cantik itu menggeram
marah. Matanya menatap empat orang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
yang berputar mengitarinya.
Puspita tahu belitan selendang-
selendang lawan tak akan dapat
dilawannya. Bila dia mengerahkan
tenaga dalam selendang-selendang itu akan semakin erat membelitnya.
Dengan gerakan lemah Pedang Perak menjatuhkan senjatanya. Kaki kanan wanita
cantik itu menendang gagang pedang. Pedang itu pun terlontar ke atas. Senjata
andalan Puspita itu kemudian bergerak cepat seperti
mengikuti pusaran air.
Slash...! Empat selendang merah yang
membelit tubuhnya terbabat putus.
Puspita langsung menerjang. Kecepatan geraknya bagai setan sedang mengejar
mangsa. Keempat lawannya yang masih
terperangah karena selendang mereka terbabat putus tak mampu menghindari
datangnya serangan. Maka, tak ayal lagi pedang Puspita menyambar leher empat
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Jerit panjang
mengiringi kematian mereka!


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, serangkaian angin
pukulan berhawa panas menerjang tubuh Puspita dari belakang. Wanita cantik yang
masih dalam kesiagaan penuh itu meloncat.
Blaaarrr...! Tanah tempat pukulan jarak jauh
itu mendarat berkubang dalam. Mayat-mayat yang tergeletak tak jauh dari tempat
itu terlontar jauh.
"Ingkanputri...!" desis Puspita.
Gadis yang disebut namanya cuma
mendengus. Murid Dewi Tangan Api yang dalam pengaruh kekuatan sihir itu menatap
wajah Puspita penuh kebencian.
Pedang Perak yang sudah
mengetahui keadaan gadis di hadapannya itu balas menatap. Tapi, Puspita
segera melangkah mundur dua tindak.
"Celaka!" kata Puspita dalam hati. "Aku sudah berjanji kepada Suropati untuk
melindungi gadis ini.
Kalau dia menyerangku, apa yang harus kuperbuat?"
Puspita tak mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih panjang.
Ingkanputri telah menerjangnya. Mau tak mau Pedang Perak memutar
senjatanya untuk membentuk suatu
perlindungan....
Suropati dan Raka Maruta berlari
menuju Bukit Pangalasan. Di
belakangnya tampak Carang Gati dan puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. "Mereka berada di mana, Gati?"
tanya Suropati. Pemuda itu menanyakan tempat berkumpulnya para anggota
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
"Di lereng sebelah timur...,"
Carang Gati mendongakkan kepalanya menatap langit yang berangsur-angsur terang.
"Bila hujan telah berhenti mereka akan segera naik," kata Carang Gati kemudian.
"Tidak," sela Suropati. "Mereka akan menunggu sampai tanah menjadi kering."
"Orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam terkenal nekat."
"Itu berarti keuntungan bagi kita. Mereka akan bersusah payah untuk naik.
Setelah sampai di tujuan,
keadaan mereka tidak bugar lagi...."
"Tapi, anggota perkumpulan kita yang berada di atas bukit tak cukup banyak untuk
menghadapi mereka," ucap Carang Gati, khawatir.
Pada saat itu dari arah belakang
terdengar derap langkah kaki kuda berlari cepat. Seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti membalikkan badan. Ketika melihat umbul-umbul
kerajaan, ketegangan di wajah mereka sedikit memudar.
Senopati Risang Alit dan kese-
ratus prajuritnya mengekang kendali kuda. Mereka berhenti di hadapan
Suropati. "Suropati...," kata Senopati Risang Alit. "Kebetulan aku berjumpa denganmu di
tempat ini. Aku membawa titah Baginda Prabu untuk disampaikan
kepadamu."
Pengemis Binal hanya mena-
tap.wajah pejabat tinggi kerajaan itu dengan tatapan tak mengerti.
"Baginda Prabu meminta bantuanmu untuk turut memadamkan pemberontakan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam."
Kening Suropati berkerut. Tanpa
sadar dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, kenapa mereka hendak
menyerbu pemukiman orang-orang kami?"
tanya remaja konyol itu,
"Itu salah satu siasat dari
mereka....",
Bersamaan dengan usainya kalimat
Senopati Risang Alit, cahaya mentari menyorot ke bumi dengan terangnya.
Awan hitam yang semula menyelimuti, telah pergi. Hujan pun berhenti.
"Sebentar lagi akan datang lima ratus orang prajurit pejalan kaki. Kau dan anak
buahmu harap membantu mereka, Suro...," pinta Senopati Risang Alit.
Pengemis Binal menarik napas lega mengetahui jumlah prajurit kerajaan yang
begitu besar. Jadi, untuk
menghadapi orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam tak akan banyak menemui
kesulitan. Suropati menganggukkan kepalanya.
Melihat persetujuan itu, Senopati Risang Alit memberi tanda kepada
prajuritnya untuk segera melanjutkan
perjalanan. Mereka menyendal kendali kuda dan berlari ke arah selatan.
"Mereka mau ke mana?" tanya Suropati.
"Ke tempat berkumpulnya orang-orang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah," jawab
Carang Gati. "Jadi, dua perkumpulan itu telah mengepung pemukiman kita...."
Suropati menggaruk kepalanya.
Raka Maruta yang berdiri di.
sampingnya menyenggol lengan remaja konyol itu.
"Kau jangan bersikap
seperti kerbau dungu begitu!" kata Pendekar Kipas Terbang. "Anak buahmu sedang menanti
perintah darimu."
"Eh, iya...," Suropati tetap tak menghentikan
garukan di kepalanya.
"Kau naiklah, Gati. Katakan kepada Kakek Gede bahwa lima ratus prajurit kerajaan
akan datang. Seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti agar membantu
menggempur para
pemberontak itu."
"Lalu, teman-teman yang ikut bersama kita ini?"
"Suruh menunggu kedatangan
prajurit kerajaan, dan agar ikut
menyerbu bersama-sama."
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Aku bersama Raka Maruta akan membantu Senopati Risang Alit!"
"Huh! Enak saja!" gerutu Carang
Gati. "Kalau mendengar ada wanita cantik, penyakitmu selalu kambuh!"
"Ah, sudahlah.
Tak perlu kau ributkan itu. Segera kau turuti
perintahku!"
Suropati meloncat lalu berlari ke selatan. Raka Maruta bergegas
menyusul. Carang Gati menatap
kepergian mereka sambil menyunggingkan senyum pahit.
"Huh! Maunya yang enak saja.
Bertempur dengan wanita-wanita cantik sambil mencari kesempatan untuk colak-
colek...," gerutu pemuda bertubuh kurus itu.
* * * Setelah hujan berhenti, pertem-
puran antara Puspita dan Ingkanputri bertangsung tak seimbang.
Puspita yang tak mau menjatuhkan
tangan maut hanya bergerak menghindar.
Sesekali gadis cantik itu melakukan serangan tak membahayakan. Sebaliknya,
Ingkanputri tampak begitu bernafsu untuk segera menyudahi pertempuran itu.
Berkali-kali pukulan jarak jauh
Ingkanputri hampir mencapai sasaran.
Pakaian yang dikenakan Puspita telah koyak-koyak terkena angin sambaran pukulan
murid Dewi Tangan Api.
Pada suatu kesempatan, tubuh
Puspita melenting bagai seekor udang meloncat dari atas batu. Kald kiri wanita
cantik itu menyambar. Tangan kanannya digerakkan untuk menotok jalan darah di
punggung Ingkanputri.
Melihat serangan itu, Ingkanputri tersenyum sinis. Pancingannya ternyata
berhasil. Serta-merta dia menjatuhkan tubuh ke tanah lalu memutar kaki kanannya
ke samping! Des...! Tubuh Puspita terlontar dua
tombak. Wanita cantik itu segera
bangkit berdiri sambil mendekap bahu kirinya. Perlahan-lahan dia meloloskan
pedang yang telah disarungkannya
kembali. Tapi ketika Puspita menatap ketajaman pedangnya, dia terpuruk dalam
keraguan. "Apakah aku harus membunuh gadis itu" Dia hanyalah raga yang jiwanya telah
dikuasai oleh Sekar Mayang. Ah, bagaimana dengan Suropati bila dia meminta
pertanggungjawabanku...?"
Ingkanputri menatap dingin.
Sambil mendengus, dia menerjang
Puspita dengan hentakan tenaga dalam penuh.
"Jangaaan...!"
Sebuah teriakan keras membahana
di angkasa. Tapi, pukulan jarak jauh Ingkanputri sudah tak dapat dibendung lagi.
Puspita hanya dapat membentengi tubuhnya dengan putaran pedang.
Untunglah seberkas sinar putih
memapaki pukulan jarak jauh
Ingkanputri. Blaaarrr...! Tak urung, tubuh Puspita mencelat akibat serempetan pukulan jarak jauh
Ingkanputri. "Puspita...!" pekik Suropati yang baru saja hadir di tempat itu.
Remaja konyol itu mengejar tubuh
Pedang Perak yang bergulingan di atas tanah berlumpur. Kemudian, dia
mendekap erat dalam rasa haru.
Menyaksikan hal itu, sikap
Ingkanputri jadi semakin beringas.
Dengan kekuatan penuh dia hendak
melancarkan 'Pukulan Api Neraka'-nya!
Untunglah Raka Maruta telah datang.
Lebih dulu diterjangnya murid Dewi Tangan Api.
"Puspita...," bisik Suropati sambil menatap wajah wanita cantik yang berada
dalam dekapannya.
Pedang Perak balas menatap, lalu
mengulum senyum. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya.
"Aku terlambat datang,
Puspita...."
"Tidak, Suro. Kau datang tepat pada waktunya.
Arghhh...!". Pedang
Perak mengeluh sambil mendekap
dadanya. "Aku akan menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, Puspita," kata Suropati.
Didudukkannya tubuh Pedang Perak.
Sebentar kemudian, wanita cantik itu merasakan hawa segar muncul dari
telapak tangan Suropati yang menempel di punggungnya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring. Ingkanputri yang sedang
bertempur melawan Raka Maruta
menggeleng-gelengkan kepala. Dengan sebuah geraman keras dia meloncat dan
berlari cepat menuju asal suara
suitan. Raka Maruta berlari mengejar.
Suropati yang telah selesai
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Puspita menatap sejenak kepergian mereka.
"Kau sudah bisa mengatasi luka dalammu sendiri, Puspita?" tanya remaja konyol
itu. Pedang Perak mengangguk pelan.
Suropati segera bangkit berdiri dan mengejar kepergian Ingkanputri.
"Bantu Kapi Anggara, Suro...!"
teriak Puspita.
* * * Cahaya perak mentari kembali
menyapa Bukit Pangalasan. Dedaunan yang basah perlahan-lahan mengering.
Hembusan sang bayu membantu sisa
butiran air hujan turun ke tanah.
Burung-burung terbang dalam kicaunya yang riang. Di balik keindahan yang
diciptakan Sang Penguasa Tunggal itu, mayat-mayat bergelimpangan di lereng
bukit. Darah tercecer dan merembes ke dalam tanah berlumpur.
Siasat Baginda Prabu Arya
Dewantara untuk menghancur leburkan kekuatan pemberontak yang dipimpin Sekar
Mayang sangat jitu. Raja yang telah mencium adanya pemberontakan itu mengirim
sepasang telik sandi, yaitu Kapi Anggara dan Puspita.
Dari merekalah Baginda Prabu Arya Dewantara tahu kalau untuk menggempur kekuatan
Sekar Mayang merupakan hal yang mustahil. Sarang mereka berada di dalam lorong
bawah tanah yang berliku-liku dan penuh jebakan.
Jalan satu-satunya untuk memus-
nahkan kekuatan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah, yang dibantu Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam, hanyalah dengan menunggu mereka keluar dari sarangnya.
Kapi Anggara berhasil menanamkan
rasa benci dalam dada Sekar Mayang kepada Suropati. Akhirnya, wanita cantik itu
bermaksud memusnahkan
perkumpulan pengemis yang dipimpin murid Periang Bertangan Lembut itu.
Dari situ pula Sekar Mayang
berharap akan timbul dendam dalam diri Suropati, agar ilmu 'Asmara Penggoda'
yang dimiliki Puspita dapat mempengaruhinya. Tapi, kenyataannya langkah
itulah yang justru menghancurkan
kekuatan Sekar Mayang sendiri.
Pasukan berkuda yang dipimpin
Senopati Risang Alit menggempur orang-orang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
tanpa mau memberi ampun. Tapi, semangat dalam diri anak buah Sekar Mayang tak
pernah pupus. Mereka
memberi perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Sekar Mayang yang dibantu belasan anak buahnya terus menggempur Kapi Anggara.
Pemuda berwajah tampan itu jadi kerepotan. Berkali-kali tubuhnya terlempar
dihajar ujung selendang lawan.
Aku akan segera mengirimmu ke
nereka, Keparat!" umpat Sekar Mayang sambil terus mencecar tubuh si
Pendekar Asmara dengan kibasan
selendangnya. "Sebaiknya
kau menyerah saja,
Mayang," jawab Kapi Anggara. "Tidakkah kau lihat prajurit kerajaan telah
mendesak anak buahmu"!"
"Bangsat! Bicaralah sepuasnya, karena hal itu akan mempercepat
kematianmu!"
Sekar Mayang menghunjamkan ujung
selendangnya ke dada Kapi Anggara.
Dibarengi oleh kibasan selendang
belasan anak buahnya.
Wooosss...! Dengan jurus 'Putaran Beliung'-
nya, si Pendekar Asmara berusaha
menepis serangan itu. Tapi ketika kaki pemuda tampan itu kembali menjejak tanah,
Sekar Mayang telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan.
Tadi sewaktu tubuh Kapi Anggara
berputaran di udara, Sekar Mayang meluncur ke atas. Dan ketika kaki si Pendekar
Asmara telah mendarat,
Bidadari Lentera Merah meluruk dari atas dengan sebuah tendangan ke arah kepala.
Kapi Anggara yang tak menduga
datangnya serangan itu hanya sempat memiringkan kepalanya.
Des...! Bahu kanan pemuda tampan itu
tertendang dengan telak. Tubuh si Pendekar Asmara terlempar sambil
berputaran. Kalau saja Kapi Anggara tak melambari tubuhnya dengan tenaga dalam,
tulang-belulangnya tentu akan remuk.


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Mayang menatap tajam si
Pendekar Asmara yang berdiri
terhuyung-huyung. Pemuda tampan itu mengibas-ngibaskan telapak tangannya di
depan wajah, karena pandangannya menjadi kabur.
Saat itulah Sekar Mayang mengge-
rakkan tangan kanannya. Puluhan jarum beracun meluncur deras.
Srat...! Trak....! Putaran pedang bersinar hitam
menyampok jarum-jarum itu. Sekar
Mayang terperangah menatap kehadiran Senopati Risang Alit.
"Kentut Busuk! Rupanya kau juga mencari mati!"
Mendengar perkataan gadis itu,
Senopati Risang Alit tersenyum sinis.
Senapati kerajaan yang berwajah halus dengan rambut digelung ke atas itu menatap
Sekar Mayang tanpa sinar
kebencian. "Menyerahlah kau!" ucap Senopati Risang Alit penuh wibawa. "Mungkin Baginda
Prabu akan meringankan
hukumanmu."
"Cih! Siapa sudi menyerah! Justru kaulah yang harus menyerahkan
kepalamu!"
Sebuah bayangan berkelebat, dan
berhenti tepat di samping Bidadari Lentera Merah.
"Bagus, Putri...," Sekar Mayang tersenyum senang. "Tugasmu masih banyak. Bunuh
laki-laki berpedang itu!"
Mendengar perintah itu, Ingkan-
putri langsung menggeprak. Senopati Risang Alit memutar pedang. Disambutnya
serangan Ingkanputri dengan ujung pedang mengarah ke dada.
Tubuh Ingkanputri terus meluncur.
Ketika ujung pedang tinggal sejengkal mencapai sasaran, tiba-tiba tubuh
murid Dewi Tangan Api itu melenting ke atas seraya melancarkan tendangan!
Wuuuttt...! Senopati Risang Alit terperangah.
Beruntung dia segera meloncat ke
belakang. Kalau tidak, tubuhnya tentu akan terlempar pada gebrakan pertama itu.
"Bagus, Putri. Segera kau bunuh dia!" teriak Sekar Mayang. Wanita itu kemudian
melesat untuk menyerang Kapi Anggara.
Dua sosok bayangan berkelebat
datang dan berhenti di pinggir arena pertempuran.
"Kau bantulah Kapi Anggara...,"
pinta Suropati kepada Raka Maruta.
"Aku akan mencoba menyadarkan Ingkanputri.
Aku takut senopati
kerajaan itu akan menjatuhkan tangan mautnya."
Suropati melenting dan langsung
berusaha melumpuhkan Ingkanputri.
Tapi, gadis itu bukanlah lawan yang mudah untuk ditundukkan. Kelebatan kedua
belah tangannya sangat berbahaya karena selalu memendarkan hawa panas.
Suropati terperangah menyaksikan
serangan-serangan Ingkanputri yang membabi buta. Tapi, Pengemis Binal tak mau
menggunakan tongkatnya. Dia hanya mengandalkan jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'
untuk melancarkan totokan di tubuh Ingkanputri.
Sernentara itu, Kapi Anggara dan
Raka Maruta telah berhasil menjatuhkan beberapa anak buah Sekar Mayang. Dua
pendekar muda itu tak mau membuang waktu lagi untuk segera menyudahi perlawanan
Sekar Mayang. Mata wanita cantik itu mendelik
penuh amarah. Jurus 'Bidadari Mengusir Awan'-nya sama sekali tak mampu untuk
menghadapi kedua lawannya. Bahkan, pada suatu kesempatan selendang di tangan
Sekar Mayang terbabat putus oleh kibasan kipas Raka Maruta.
Lalu, dengan satu gerakan indah
tubuh Pendekar Kipas Terbang bersalto di udara seraya melontarkan kipas mautnya.
Breeettt...! Tangan kanan Sekar Mayang yang
masih me-egang potongan selendang terbabat putus sebatas siku!
Wanita cantik itu menjerit keras.
Mulutnya lalu mengeluarkan suitan nyaring. Tubuh Sekar Mayang berkelebat pergi.
Ingkanputri yang sedang bertempur melawan Senopati Risang Alit dan
Suropati mendengar suitan Sekar
Mayang. Gadis itu menghentikan
serangannya, dan berlari mengikuti Ketua Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Suropati ingin bergerak mengejar, tapi ditahan oleh Kapi Anggara.
"Aku harus membebaskan Ingkanputri dari pengaruh sihir yang
menggelapkan matanya," kata Suropati memberi alasan.
"Masih banyak waktu untuk melakukan hal itu. Kau harus mengkesam-pingkan urusan
pribadimu dulu,
Suro...," sahut si Pendekar Asmara.
"Kemungkinan besar saat ini Ratnasari sedang menuju istana untuk
mengetrapkan ilmu 'Asmara Penggoda'-
nya. Kita harus menghadang kehadiran wanita iblis itu."
Suropati menatap wajah Kapi
Anggara sejenak, lalu kepalanya di-anggukkan.
Mereka berdua bersama Raka Maruta segera naik ke punggung kuda. Binatang
tunggangan itu meluncur cepat menuju istana kerajaan. Senopati Risang Alit
tinggal di tempat untuk membantu
prajuritnya menumpas sisa-sisa anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Sementara itu, di bagian timur
lereng Bukit Pangalasan pertempuran masih berlangsung seru. Jerit
kesakitan dan teriak kematian terus membahana. Permukaan tanah memerah bersimbah
darah. Prajurit-prajurit kerajaan
menggempur para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam laksana benteng ketaton.
Anak buah Banyak Jalamprang memberikan perlawanan gigih. Mereka
yang rata-rata berasal dari golongan hitam menerjang ganas seperti iblis haus
darah! Dari arah Kadipaten Tanah Loh
tampak puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bersama
Katabang, Wirogundi, dan Anjarweni.
Setelah mengetahui teman-teman
mereka bertempur bahu-membahu dengan prajurit kerajaan, mereka segera
menyerang para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
Wirogundi dan Anjarweni bertempur saling membelakangi. Setiap musuh yang mencoba
mendekat akan terpental oleh hantaman tongkat Wirogundi, atau
tendangan dan pukulan Anjarweni.
Sepasang kekasih ini dapat muncul di tempat itu karena berjumpa dengan Katabang
yang sedang berusaha
mengumpulkan para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Katabang
menceritakan apa yang telah terjadi di Bukit Pangalasan.
Di sebuah tanah datar Gede
Panjalu berhadapan dengan Banyak
Jalamprang. Dua orang tokoh yang sama-sama ahli memainkan tongkat itu saling
terjang dengan hebatnya. Berkali-kali senjata mereka berbenturan di udara,
hingga kedua pemiliknya terpental.
Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang sadar kalau tenaga dalam mereka seimbang. Keduanya segera
mengandalkan kecepatan gerak ilmu meringankan tubuh untuk menghadapi serangan
lawan.. Deru angin deras mengiringi
kelebatan tongkat di tangan kedua tokoh tua itu. Pada suatu kesem-patan, tubuh
mereka saling geprak dari
kejauhan. Gede Panjalu berusaha
menyodok dada iawan dengan ujung
tongkatnya. Sedangkan Banyak Jalamprang mengemplang kepala!
Tak...! Tongkat mereka saling
berbenturan. Banyak Jalamprang segera menendang dada Gede Panjalu. Kakek bongkok
itu hanya memiringkan
tubuhnya, kemudian balas menendang.
Desss...! Secara bersamaan tendangan mereka mengenai tubuh lawan.
Gede Panjalu terkena bahu
kanannya, hingga tongkatnya terpental dari pegangan. Banyak Jalamprang
terkena siku kanannya. Tongkat di tangan kakek berjanggut lebat itu pun jatuh ke
tanah. Gede Panjalu dan Banyak
Jalamprang saling berpandangan dengan geraman gusar. Kemudian, saling
menerjang kembali mengandalkan jurus tangan kosong.
Gede Panjalu melambari serangan-
nya dengan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'. Tubuh bongkok itu meluncur
ke atas, lalu melenting cepat seraya melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Pukulan itu hanya membuat
kubangan dalam di tanah. Banyak
Jalamprang berhasil mengelak dengan melompat jauh ke belakang. Gede
Panjalu terus merangsek maju.
Desss...! Tubuh Banyak Jalamprang terpental tiga tombak ketika tendangan Gede Panjalu
bersarang tepat di dadanya.
Kakek berjanggut lebat itu bangkit dengan tubuh limbung. Darah segar
menyembur dari mulutnya.
"Bangsat kau, Bongkok Bangkotan!"
umpat Banyak Jalamprang.
Gede Panjalu tak mau mendengarkan kata-kata itu. Tubuhnya melesat cepat bagai
anak panah lepas dari busur.
Desss...! Untuk kedua kalinya tubuh Banyak
Jalamprang terlempar jauh. Kali ini dia hanya sempat mengangkat kepalanya.
Lalu, diam untuk selama-lamanya.
Menyaksikan tubuh ketuanya
tergeletak di tanah tanpa nyawa, nyali para anggota Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam langsung menciut. Keadaan mereka kocar-kacir. Bahkan, di antaranya ada
yang menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
* * * 7 Bukit Hantu terselubungi hawa
magis yang pekat. Burung gagak
berkoakan dalam rasa ngeri. Burung-burung lain tak sanggup mengeluarkan suara.
Mereka hanya berloncatan di atas dahan. Satwa-satwa tanah terpuruk dalam
kebisuan. Angin yang berhembus menimbulkan
desau yang sanggup
mendirikan bulu roma.
Di depan meja pemujaan yang
menempel pada dinding Ratnasari duduk bersimpuh. Tangannya terpentang
memegang lidi sembahyang yang ujungnya mengepulkan asap keputihan. Kemudian,
kedua tangan wanita yang telah
menjalani upacara pemulihan itu
menangkup. Diletakkannya lidi yang dipegangnya ke sebuah tabung kecil berwarna
hitam. Tubuh Ratnasari tampak bergetar keras dalam kedudukan
bersemadi. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan mantera. Lalu, tangan kanannya
menjuntai ke depan meraih gelas yang berisi cairan darah bayi.
Ratnasari meminum cairah darah
itu dengan penuh nafsu. Sesaat
kemudian, tubuhnya meloncat ke atas dan bersalto beberapa kali. Wanita itu
mendarat di lantai dalam kedudukan tubuh agak dibungkukkan untuk memberi hormat.
"Demi setan, jin,
ulu-ulu, banaspati, peri perayangan yang
menguasai jagat hitam, telah hamba persembahkan upacara kegelapan yang akan
menyatukan segala kekuatan
angkara murka. Himpunlah daya pancar kekuatan gaib sesat dalam diri hamba.
Umu 'Asmara Penggoda', menyatulah dalam tatap wajah hamba yang cantik mempesona.
Menyatulah dalam hembusan napas dan aliran darah hamba. Dengan kekuasaan alam
hitam, mayapada
goncang, manusia terpuruk dalam nafsu buta..."
Bukit Hantu sunyi berbaur sepi.
Burung gagak diam. Suaranya tersekat di tenggorokan. Satwa lainnya bergerak
lemah seperti kehilangan kekuatan.
Desau angin membuat suasana makin mencekam.
Perlahan-lahan sebuah kerudung
kuncup bu-nga mawar sebesar gentong melayang di angkasa. Lalu, melesat cepat
bagai gerak batu meteor.
* * * Setelah menerima pesan Puspita
yang disampaikan Goran Sabrang,
Baginda Prabu Arya Dewantara segera memerintahkan seluruh pendekar
kerajaan untuk membuat pagar betis.
Istana Kerajaan Anggarapura
dikelilingi oleh para ahli silat
tingkat atas. Para ahli sihir pun
setelah menyelesaikan tugasnya, untuk membuat hujan tiruan, berkumpul
kembali di ruang nujum. Mereka
menciptakan benteng gaib di sekitar istana.
Baginda Prabu Arya Dewantara sendiri berdiri di ruang utama sambil bersedekap. Matanya menatap tajam jauh ke
depan. Bibirnya bergetar
mengucapkan doa.
"Dewata Yang Agung, cobaan yang Kau timpakan kepada Kerajaan
Anggarapura begitu besar. Berilah kekuatan kepada hamba dan seluruh punggawa
istana. Dengan kekuasaan-Mu pula Kerajaan Anggarapura akan kembali tenteram dan
damai...."
Di luar para tokoh silat kerajaan dalam ketegangan memuncak. Dari
kejauhan tampak titik merah mengangkasa bergerak cepat menuju istana.
Diiringi suara seperti desisan ular, kerudung kuncup bunga mawar berhenti di
depan pintu gerbang istana.
"Seperti ada kekuatan kasat mata yang menghalangi gerakku," bisik Ratnasari yang
berada di dalam
kerudung kuncup bunga mawar. "Apakah tokoh-tokoh istana telah mengetahui
kedatanganku?"
belum sempat wanita
cantik pemuja setan itu berpikir lebih jauh, mendadak....
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Srat! Srat! Srat!
Puluhan batang tombak dan ratusan anak panah meluncur datang!
Ratnasari menghentakkan kakinya.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
sedang ditungganginya pun melenting ke atas. Serangan mendadak itu tak
mengenai sasaran.
Bidadari Bunga Mawar menggeram
gusar melihat dirinya telah terkepung puluhan tokoh silat kerajaan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Puspita kemudian membahana.
"Kalian hanya kroco-kroco yang akan menjemput Dewa Kematian!"
Kerudung kuncup bunga mawar
meluncur cepat.
Desss...!

Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang tokoh silat kerajaan
terjungkal. Tawa Ratnasari kembali membahana. Tiba-tiba, kerudung kuncup bunga
mawar bergerak menuju tanah bebas. Tirai penutup kerudung kuncup bunga tersibak.
Ratnasari menatap tajam puluhan tokoh silat kerajaan yang berdiri tak jauh
darinya. "Awas! Jangan tatap matanya!"
Seorang tokoh silat kerajaan yang mengenakan ikat kepala berteriak
lantang. "Bangsat!" umpat Ratnasari.
"Siapa yang telah membocorkan rencanaku ini"!"
Sraaattt...! Sehelai tali baja menjerat
kerudung kuncup bunga mawar Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menggeram marah.
Telunjuk jari kanannya
digerakkan. Meluncurlah sinar kemerah-merahan yang hanya sanggup menggetar-kan
tali baja. Wanita pemuja setan itu pun
mengaum laksana harimau murka.
Kerudung kuncup bunga mawar yang
ditungganginya berputar cepat. Tali baja yang menjerat pun lepas. Tapi....
Srat...! Srat...! Srat...!
Puluhan tali baja lainnya
meluncur deras disertai sebuah jaring lebar. Kerudung kuncup bunga mawar
terjerat erat. Wooosss...! Tubuh Ratnasari meluncur ke atas
meninggalkan kerudung kuncup bunga mawarnya.
Wanita pemuja setan itu mendarat
di tanah dengan mulus. Pakaian
kebesarannya yang berwarna merah
berkibar tertiup angin. Ditatapnya tajam-tajam puluhan tokoh silat
kerajaan yang berdiri empat tombak di hadapannya.
"Jangan tatap matanya!" teriak tokoh silat kerajaan yang mengenakan ikat kepala
untuk kedua kalinya.
"Wanita Iblis, kau menyerahlah!"
teriak tokoh silat lainnya.
Ratnasari mendengus. Kedua
tangannya diputar hingga menimbulkan
pusaran angin besar. Para ahli tokoh silat kerajaan berloncatan menghindar.
Pusaran angin besar itu tetap mengejar mereka!
Seorang tokoh silat kerajaan yang berpakaian seperti pendeta menarik kedua
tangannya ke belakang. Kemudian, dihentakkan ke depan dengan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya.
"Heaaa...!"
Blaaarrr...! Diiringi ledakan dahsyat, pusaran angin yang diciptakan Ratnasari lenyap
seketika. Wanita pemuja setan itu lalu menerjang. Kedua tangan dan kakinya
bergerak cepat menimbulkan suara
bersuitan. Para tokoh silat kerajaan
bergerak mengepung.
"Jangan biarkan dia lolos!"
teriak tokoh silat kerajaan yang
mengenakan ikat kepala.
Pertempuran seru segera
berlangsung. Tokoh-tokoh kerajaan mencecar tubuh Ratnasari dengan
serangan hebat. Sambaran pedang,
tombak, keris, trisula, dan senjata tajam lainnya berbaur jadi satu
mencari jalan kematian!
Tapi, tubuh Ratnasari bergerak
cepat bagai bayangan iblis. Dengan mengandalkan jurus-jurus maut yang dilambari
ilmu setan, wanita cantik itu membobol kepungan.
Des...! Des...! Des...!
Tiga tokoh silat kerajaan roboh
dengan dada hancur terkena pukulan dan tendangan Ratnasari.
Namun, tokoh-tokoh kerajaan yang
rata-rata telah berusia lanjut itu tak gentar. Mereka terus merangsek maju
dengan jurus dan ilmu pamungkas mereka yang paling dahsyat.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring,
seorang tokoh silat kerajaan yang mengenakan pakaian pendeta menerjang.
Kedua tangannya bergerak lurus ke depan. Ratnasari balas menerjang.
Kedua tangannya menempel di dada, lalu menghentak!
Blaaarrr...! Dua kekuatan tenaga dalam bertemu di udara. Tubuh tokoh silat kerajaan terlontar
dan membentur dinding
gerbang istana hingga jebol. Tokoh tua itu pun terhempas ke tanah lalu
menghembuskan napas terakhir.
Ratnasari sendiri hanya terdorong mundur satu tindak. Kesempatan itu tak disia-
siakan lawan-lawannya yang lain.
Mereka menerjang secara bersamaan.
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas.
Pada saat itu seorang kakek bertubuh gemuk melontarkan jaring. Tapi,
pukulan jarak jauh Ratnasari telah mendahului.
Blaaarrr...! Tubuh kakek gemuk itu terlempar
dalam keadaan hancur!
Ratnasari benar-benar berpesta
kematian. Satu persatu tokoh-tokoh kerajaan terjungkal. Permukaan tanah di
sekitar arena pertempuran basah bersimbah darah. Jerit-jerit kesakitan membahana
mengantarkan kematian.
Di ruang utama istana Baginda
Prabu Arya Dewantara diliputi rasa amarah dan khawatir. Matanya memandang nanar
ke setiap sisi ruangan.
Raja yang berusia lima puluh
tahun itu kemudian meloloskan keris lambang kekuasaannya. Keris berlekuk
sembilan sembilan itu memancarkan sinar kebiruan. Untuk beberapa lama Baginda
Prabu Arya Dewantara menatap keris yang diacungkan ke depan
wajahnya. Kemudian, kakinya
melangkah.... "Sinuwun hendak ke mana?"
Seorang wanita cantik berpakaian
gemerlap muncul dari serambi. Baginda Prabu Arya Dewantara menatap kehadiran
wanita cantik itu.
"Kabut yang menyelubungi istana begitu tebal, Nimas," ucap Baginda Prabu Arya
dewantara. "Aku akan mencoba untuk mengusir kabut itu."
"Jangan, Sinuwun...," cegah wanita cantik berpakaian gemerlap yang tak lain
permaisuri Baginda Prabu Arya Dewantara, Rara Nawangwulan.
"Kewajiban seorang raja selain memimpin, mengatur, dan memakmurkan kehidupan
rakyat j-ga harus dapat memberikan rasa aman dan tenteram...,"
titah Baginda Prabu Arya Dewantara dengan suara lembut. "Ratnasari adalah salah
satu sumber kekacauan yang akan memporak porandakan kehidupan rakyat.
Sebagai seorang pemimpin, sudah
menjadi kewajibanku untuk menghalau wanita iblis itu."
"Tapi tokoh-tokoh kerajaan masih banyak, Sinuwun"
"Kau lihat sendiri, Nimas. Mereka tak mampu menghadapi keganasan wanita iblis
itu." "Tapi...."
"Ah, sudahlah. Kau jangan
menghalangiku...."
Baginda Prabu Arya Dewantara
melangkahkan kakinya. Rara Nawangwulan hanya dapat menatap kepergian laki-laki
kecintaan yang sekaligus
junjungannya itu.
Pada saat itulah muncul Kapi
Anggara. Pemuda tampan ini langsung berlutut di hadapan Baginda Prabu Arya
Dewantara. "Mohon ampun, Baginda. Hamba datang terlambat. Tapi, Baginda tak perlu turun
tangan. Hamba datang
bersama Pengemis Binal dan Pendekar Kipas Terbang," lapor Kapi Anggara.
"Mereka di mana?"
"Langsung menggempur Ratnasari.
Untuk itu, perkenankanlah hamba mohon diri guna membantu mereka."
Kapi Anggara beringsut mundur.
Lalu, berkelebat menuju ke arena
pertempuran. Tokoh silat kerajaan yang masih
tersisa tiga orang bisa bernapas lega melihat kehadiran Suropati dan Raka
Maruta. Apalagi ketika datang Kapi Anggara yang sudah mereka kenal.
Semangat tempur mereka tiba-tiba
menggelora kembali.
"Hyaaattt...!"
Dengan berteriak bersamaan,
Suropati dan Raka Maruta menerjang!
Tongkat di tangan Pengemis Binal
terayun dalam jurus 'Tongkat Menghajar Maling'. Sedangkan Pendekar Kipas Terbang
melontarkan kipas andalannya dengan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin'.
Tak...! Wuuusss...! Tangan kiri Ratnasari menangkis
ayunan tongkat Suropati. Tangan
kanannya menghentak ke depan seraya melancarkan pukulan jarak jauh.
Akibatnya, kipas Raka Maruta
terpental. Wanita pemuja setan itu langsung
menendang kepala Suropati. Tapi,
dengan mudah Pengemis Binal menghindari serangan itu. Ratnasari tak putus
asa karenanya. Kaki kanannya yang masih melayang di udara terus
meluncur! Desss...! Seorang tokoh silat kerajaan tertendang dadanya dengan telak. Dia pun roboh memeluk bumi tanpa mampu bangkit
lagi. "Ha ha ha...!" Tawa Ratnasari membahana. "Satu persatu aku akan mengirim kalian
ke neraka!"
Tubuh wanita pemuja setan itu
berputar cepat hingga menimbulkan deru angin dahsyat. Putaran itu tanpa
diduga-duga berhenti mendadak lalu meluncurlah serangan beruntun.
Des...! Des...!
Dua tokoh kerajaan yang masih
tersisa tak sempat menghindar. Tubuh mereka terlontar dalam keadaan hancur.
Pukulan Ratnasari memang dilambari seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
* * * 8 Sehebat-hebatnya seorang manusia, apabila terus-menerus mengerahkan tenaga tentu
tubuhnya berangsur-angsur akan menjadi lemah. Hal itu juga
dialami Ratnasari.
Pertempuran yang berlangsung dari menjelang siang sampai malam banyak
menguras tenaganya. Apalagi yang
dihadapi bukanlah tokoh-tokoh samba-rangan. Ratnasari harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk menghadapi mereka.
Pakaian wanita cantik itu telah
basah oleh keringat bercampur darah.
Peluh sebesar biji-biji ja-gung
bergulir dari keningnya. Dengusan napasnya pun terdengar memburu.
Tapi, wanita pemuja setan itu
terus mencecar lawan. Dia berusaha menjatuhkan tangan mautnya. Teriakan-nya
masih terdengar nyaring.
Dan, di suatu kesempatan yang
kurang menguntungkan Ratnasari....
Des...! Tongkat Suropati berhasil
mengenai bahu kiri. Tapi, tenaga dalam wanita
pemuja setan itu sudah
sedemikian kuatnya. Dia tak mengalami luka yang berarti. Namun keberuntungan itu
tak berlangsung lama. Senjata andalan Raka Maruta meluncur cepat menjalankan
tugasnya! Bret...! Punggung Ratnasari terkoyak
lebar. Darah segar merembes mengotori kulit tubuhnya yang putih. Sebentar
kemudian.... bunga kenaga Kapi Anggara menancap di dada kanan wanita itu.
Diiringi jeritan panjang tubuh
Ratnasari mencelat jauh. Wanita itu kemudian berdiri tegak dengan kedua
telapak tangannya menyatu di depan dada. Mulutnya komat-kamit merapal mantera.
Wooosss...! Tubuh Ratnasari lenyap bagai
ditelan bumi, meninggalkan asap
keputih-putihan di tempat hilangnya.
"Di mana dia?" tanya Raka Maruta dan Kapi Anggara bersamaan.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalian bertanya kepadaku?" katanya ganti bertanya.
"Kerbau dungu!" umpat Raka Maruta.
"Eh, siapa yang kau katakan
'kerbau dungu' itu?" tanya Pengemis Binal.
"Kau! Monyet Goblok!" sungut Kapi Anggara.
Mendengar itu Suropati hanya
menggaruk-garuk kepalanya. "Uh!
Sebel!" katanya pelan. "Kalian tidak lebih pintar bila dibanding denganku.
Kenapa mesti mengataiku seperti itu?"
"Tolol!" umpat Kapi Anggara lagi.
"Kalau kau tidak mau dikatakan goblok dan dungu, coba kau cari di mana
Ratnasari sekarang"!"
Pengemis Binal menggaruk kepala-
nya lagi. "Wanita iblis itu sedang
mengetrapkan aji 'Halimun Sakti', Tuan Pendekar Budiman yang pintar kaya
kentut!" Brot...! Suropati menggoyang-goyangkan
pantatnya yang habis mengeluarkan udara 'beracun'. Dengan serta merta, Raka
Maruta dan Kapi Anggara memencet hidung mereka. Mencegah udara
'beracun' itu terhirup masuk ke dalam paru-paru.
"Eh, jangan memencet hidung, Pendekar Pintar! Nanti udara
'beracun'-nya tidak terhirup!" teriak Suropati dengan cengengesan.
Mendengar kalimat
itu, Raka Maruta dan Kapi Anggara berjalan
mendekati Suropati. Lalu....
Tak! Tak! Remaja konyol itu meraba
kepalanya yang terkena jitakan.
"Setan Alas! Kambing Congek!
Kadal Buduk! Sapi Ompong!" umpat Suropati sejadi-jadinya.
Setelah puas memaki-maki, dia


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentangkan tangannya. Gerakannya seperti sedang mengu-ir sesuatu.
"Minggir kau, Pendekar-Pendekar Pintar! Aku akan mengeluarkan ilmu
'Mata Awas'-ku untuk mencari
Ratnasari...."
Tubuh remaja konyol itu kemudian
melesat. Dikejarnya asap keputihan yang melayang tertiup angin. Raka Maruta dan
Kapi Anggara saling
berpandangan. Dengan menggerutu mereka
mengikuti langkah kaki Suropati.
Asap keputihan itu terus melayang hingga sampai ke sebuah sungai kecil berair
dangkal. Tiba-tiba saja
Pengemis Binal melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Suara menggelegar langsung
membahana. Asap keputihan itu pun lenyap. Tampaklah tubuh Ratnasari yang berdiri
terhuyung-huyung.
"Rupanya kau sedang mabuk karena terlalu banyak makan kentutku, ya?"
ejek Suropati. "Bocah Gendeng! Aku akan mengupas bibirmu yang memble itu!" teriak Ratnasari.
"Eit! Tak baik marah-marah
begitu! Dulu kau pernah mengajakku bermesraan. Bagaimana kalau kita mulai
sekarang?" goda Suropati dengan konyolnya.
"Kurang ajar!" umpat Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menyerang dengan membabi buta. Tapi karena
tubuhnya yang sudah sedemikian lemah, gerakan Ratnasari jadi lambat, Sambil
tersenyum-senyum Suropati menghindar dengan mudah. Bahkan tongkat remaja konyol
itu berhasil mengemplang kepala Ratnasari. Kalau saja wanita cantik itu bukan
tokoh pilih tanding,
tentulah kepalanya akan pecah.
"Lihat kepalamu yang benjol itu,
Sayang!" ucap Pengemis Binal. "Nah, tidak bisa, kan" Nggak usah dilihat!
diraba saja!"
Ratnasari mendengus dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Kembali diterjangnya Suropati dengan lebih bernafsu.
Tapi, Suropati telah
mempersiapkan serangan mendadak. Tubuh remaja konyol itu membalik berdiri
membelakangi. Ratnasari tersenyum senang melihat tindakan remaja konyol itu. Dia
pun semakin mempercepat
terjangannya. Namun....
Bluuusss...! Mata wanita pemuja setan itu
mendelik lebar. Mulutnya menganga.
Kedua tangannya menggelantung lemah.
Dada Ratnasari tertembus ujung tongkat Pengemis Binal!
Dengan sigap Suropati mencabut
tongkatnya. Lalu, mata remaja konyol itu menata tubuh Ratnasari yang
tergeletak di atas tanah.
"Mati kau, Wanita Iblis!"
Tiba-tiba, suatu keanehan ter-
jadi. Luka yang menganga di dada
Ratnasari mengepulkan asap hitam.
Sekejap kemudian luka itu perlahan-lahan menangkup kembali seperti
sediakala. Wooossss...! Tubuh wanita pemuja setan itu
mencelat ke atas, dan mendarat di tanah dengan mulusnya.
"Ha ha ha...! Kau jangan gembira dulu, Bocah Gendeng! Demi setan
gentayangan penguasa jagat hitam, aku akan mempersembahkan nyawamu untuk
dijadikan budak!"
Mau tak mau Suropati merasa
ngeri. Pemuda itu melangkah rrmndur beberapa tindak. Mata Ratnasari tampak
memancarkan sinar aneh.
"Ilmu 'Asmara Penggoda'," bisik Suropati seraya memalingkan mukanya.
"Ayo, pandanglah aku, Bocah
Gendeng! Katanya kau ingin bermesraan denganku!"
"Baik. Aku akan segera memeluk tubuhmu," Suropati membalikkan badannya.
Dengan kepala tertunduk remaja
konyol itu mendekatkan ujung jari telunjuknya ke depan dada. Sebentar kemudian,
dari kepalanya mengepul asap tipis. Tubuh Pengemis Binal lalu
meluncur deras melancarkan ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'!
Blab! Blab! Blab!
Ilmu totokan yang dilambari
kekuatan sihir itu tepat mengenai sasaran. Tubuh Ratnasari berdiri
limbung. Dari bagian tubuh yang
tertotok memancar darah segar. Untuk beberapa lama, Ratnasari memandangi
tubuhnya yang basah bersimbah darah.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, tawa wanita itu
tercetus. "Ini hanya. ilmu tembre, Bocah Gendeng! Aku akan...."
Wanita pemuja setan itu
melanjutkan kalimatnya. Dia merasakan suatu perubahan terjadi pada tubuhnya.
Perlahan-lahan kulit tubuh Ratnasari menjadi keriput,
lalu mengelupas.
Wajahnya yang semula cantik berubah mengerikan bagai wajah iblis baru bangun
dari kuburan. Suropati terkejut bukan main.
Kepalanya tertunduk tak sanggup
menyaksikan pemandangan yang menggi-riskan itu. Saat itulah tubuh
Ratnasari yang mengeluarkan bau anyir melayang ke arah Pengemis Binal.
Malaikat kematian pun mengintai nyawa Suropati.
Mendadak, sebuah bayangan
berkelebat memapaki luncuran tubuh Ratnasari.
Blaaarrr...! Tubuh dewa penolong yang tak lain Kapi Anggara itu terlontar dalam
keadaan terluka dalam. Ratnasari
berjumpalitan di udara lalu mendarat di atas tanah.
Suropati bergegas menghampiri
Kapi Anggara. "Kau tidak apa-apa, Anggara?" tanyanya.
"Tidak apa-apa bagaimana" Jelas aku.... Uoookkk..!"
Si Pendekar Asmara menyemburkan
darah segar. Dia pun segera duduk bersila untuk menyalurkan hawa
murninya ke dada.
"Lukanya tidak sebegitu parah, Suro," kata Raka Maruta yang datang bersamaan
dengan Kapi Anggara. "Kita hadapi bersama wanita iblis itu."
Pengemis Binal tidak menyahuti.
Pemuda itu melompat ke hadapan
Ratnasari. Wanita pemuja setan itu hendak menerjang. Tapi, Suropati hanya diam
di tempatnya. Kedua tangannya bersedekap. Lalu, dari sekujur tubuh Pengemis
Binal memancar cahaya kebiru-biruan.
Blaaarrr.,.! Tubuh Ratnasari terpental jauh.
Wanita itu terkena hempasan kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang melindungi tubuh Suropati.
Tubuh wanita pemuja setan itu
bergulingan di atas tanah. Tapi, dia segera bangkit dengan sosok yang lebih
mengerikan. Pakaiannya yang koyak-koyak memperlihatkan bagian tubuh membusuk
dengan daging berbau anyir dan mengelupas di sana-sini.
Sosok mengerikan itu kembali
menerjang Pengemis Binal. Bersamaan dengan itu Raka Maruta melayang cepat.
Dilemparkannya kedua telapak tangannya ke punggung Suropati.
Blaaarrr...! Kembali ledakan dahsyat membahana di angkasa. Ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma' yang disertai
kekuatan ilmu 'Hati Suci' milik Raka Maruta membuat tubuh Ratnasari lebur jadi
serpihan daging berbau sangat anyir.
Dengan matinya Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar, para tokoh rimba persilatan yang dipengaruhi ilmu
'Asmara Penggoda' langsung tersadar.
Mereka terkejut, bagai baru
muncul dari tempat gelap yang
membutakan pikiran dan akal sehat. Di antara tokoh itu adalah Sawung Jenar atau
Iblis Selaksa Ular yang masih berada di lorong rahasia di Bukit Hantu.
Pemuda bersisik ular itu berlari-
lari bagai orang kesurupan. Dia
mencoba keluar dari tempat yang sangat membingungkannya itu. Dengan ilmu yang
dimilikinya dia berhasil mencapai Sungai Bayangan, tempat kediamannya.
* * * Mentari terusir. Malam rebah
menangkupi bumi. Gelap menerpa.
Perlahan-lahan Sang Candra menampakkan wujudnya. Cahayanya berbaur dengan
gemerlap bintang.
Sekar Mayang dan Ingkanputri
berlari cepat menuju Lembah Tengkorak.
"Aduh!" jerit Sekar Mayang tiba-tiba.
"Kau kenapa, Ketua?" tanya Ingkanputri.
"Tidakkah kau lihat tanganku tinggal sebelah, Putri?"
"Oh...."
Ingkanputri mendekap mulutnya.
Dalam temaram malam, murid Dewi Tangan Api itu menatap pergelangan tangan Sekar
Mayang yang buntung sebatas siku. Balutannya masih basah oleh darah.
Tuk...! Tuk...! Tuk...!
Sekar Mayang menotok beberapa
jalan darah di lengan kanannya. Jerit tertahan keluar dari mulut wanita cantik
itu. "Segera kau cari tempat untuk bermalam, Putri...," pinta Sekar Mayang kemudian.
Ingkanputri menganggukkan kepala.
Dia segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian Ingkanputri telah kembali.
"Di sana ada sebuah gua, Ketua,"
lapor Ingkanputri sambil menudingkan jari telunjuknya.
"Sekarang juga kita ke sana, Putri."
Dua wanita cantik itu pun melesat berlari menyibak gelap. Sesampainya di gua
yang mereka dituju Sekar Mayang memerintahkan Ingkanputri untuk
membuat perapian. Murid Dewi Tangan Api itu segera menuruti.
Keadaan dalam gua jadi terang-
benderang. Sekar Mayang menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ingkanputri duduk di
hadapan perapian. Sesekali gadis itu memandang wajah Sekar Mayang
dengan tatapan kosong.
Sekar Mayang menghembuskan napas
berat. Matanya menerawang jauh.
Pikirannya kembali ke peristiwa yang baru saja dialaminya.
Tiba-tiba, terdengar alunan suara seruling yang mendayu-dayu. Sekar Mayang
memejamkan pendengarannya.
"Siapa itu"!" teriak Sekar Mayang. Suaranya menggema dan memantul di dinding-
dinding gua. Lama wanita cantik itu menunggu
jawaban. Tapi, yang diinginkannya tak juga dia dapatkan.
"Tunjukkan dirimu, Manusia!"
teriak Sekar Mayang lebih keras.
Jawabannya adalah suara seruling
yang semakin keras. Sekar Mayang
menggeram gusar.
"Segera kau cari peniup seruling itu, Putri!"
Ingkanputri bangkit dari
duduknya. Gadis cantik itu melangkah ke luar gua. Suara tawa berkepanjangan yang
tak tentu dari mana asalnya
menghentikan langkah Ingkanputri.
"Tunjukkan dirimu, Keparat!"
teriak Sekar Mayang, geram bukan main.
Perlahan-lahan suara tawa itu
berhenti, lalu berganti dengan alunan bunyi seruling kembali. Sayup-sayup
terdengar lantunan tembang....
Ketika setan telah terusir dari sorga
Dia punya kekuatan untuk
melurukkan Manusia ke lembah dosa
Tapi, manusia pun punya kekuatan Untuk menghalaunya
Kekuatan setan terhempas
Namun, bisa dihimpun
Kekuatan setan yang telah
terhimpun Sanggup melontarkan manusia ke neraka
Jiwa pun luruh dalam gelap nafsu angkara
Satu jalan menghimpun kekuatan setan
Adalah Kitab Sukma Gelap.
Mata Sekar Mayang bersinar nanar
ketika lantunan tembang itu berhenti.
"Apa maksud yang terkandung di dalam syair itu?" gumam wanita bertangan buntung
ini. "Seperti sebuah petunjuk untuk menghimpun kekuatan setan. Tapi, bagaimana
caranya" Ah, tadi kudengar kata 'Kitab Sukma
Gelap'. Apakah itu jawabannya?"
Ketika Sekar Mayang larut dalam
pikirannya, seberkas cahaya meluncur ke arahnya. Sekar Mayang meloncat tinggi-
tinggi. Cahaya itu akhirnya membentur dinding gua hingga jebol.
Debu mengepul tebal. Serpihan
batu berhamburan. Dari dinding gua yang menganga lebar terpancar cahaya
menerangi seluruh ruangan.
Seorang kakek bertelanjang dada
tampak du-uk di atas batu besar. Bulu lebat tumbuh subur di sekujur
tubuhnya. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Tertutup bulu lebat yang juga
tumbuh di seputar wajahnya.
Yang menandakan kalau dia seorang lelaki tua adalah dadanya yang datar dan
telapak kakinya yang keriput.
"Siapa kau?" tanya Sekar Mayang dengan tatapan ngeri.
"Dewa Sesat...," jawab kakek berbulu lebat itu. Suara yang keluar dari mulutnya
seperti rintihan orang sakit.
"Apakah kau yang barusan
menyerangku?"
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggema
berkepanjangan. Sekar Mayang mendengus gusar.
"Jawab pertanyaanku, Dewa Sesat!"
"Hawa amarah bercampur dendam
membutakan mata. Seseorang yang ingin menunjukkan kebaikan pun terkena
akibatnya."
"Apa maksudmu?" tanya Sekar Mayang penuh selidik.
"Mendekatlah kemari, Wanita
Buntung.."
Sekar Mayang terpaku di
tempatnya. Hatinya diliputi keraguan.
"Bila kau punya dendam membara, mendekatiah kemari, Wanita Buntung!"
"Untuk apa?"
"Aku akan menunjukkan jalan untuk melampiaskan dendammu itu."
Perlahan lahan Sekar Mayang


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkahkan kakinya.
"Bagus, Wanita Buntung. Kau punya keberuntungan hingga menjadi pewaris ilmu
'Leluhur Sesat'. Untuk itu,
segeralah kau berlutut di hadapanku!"
"Huh! Aku tak tahu siapa kau.
Kenapa kau memerintah seenak perutmu sendiri"!"
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa menggema
berkepanjangan.
"Binatang! Kenapa kau selalu mengeluarkan tawa jelekmu itu" Apakah kau sengaja
menghinaku"!" Sekar Mayang membentak keras-keras.
Kakek berbulu lebat yang
memperkenalkan dirinya sebagai Dewa Sesat terlihat menggelengkan kepala.
"Sudah kukatakan, kau punya
keberuntungan hingga menjadi pewaris ilmu 'Leluhur Sesat'! Lalu, untuk apa
aku menghinamu" Kau adalah manusia yang dianugerahi amarah dan dendam membara
yang begitu berapi-api. Kau pantas untuk memiliki Kitab Sukma Gelap."
"Jangan bicara yang tak ketahuan ujung pangkalnya!" sentak Sekar Mayang.
"Sedikit pun aku tak tahu maksud ucapanmu."
"Di dunia ini ada dua kekuatan yang saling bertentangan. Hitam dan putih.
Kekuatan hitam terhimpun dari dunia gelap yang dikuasai nafsu
angkara. Kekuatan setan itu selalu berusaha menghancurkan kekuatan putih.
Demikian pula sebaliknya. Tapi, dengan Kitab Sukma Gelap kekuatan hitam akan
dapat mengalahkan kekuatan putih. Dan kau adalah pewaris kitab itu, Wanita
Buntung...."
Dewa Sesat menengadahkan telapak
tangan kanannya. Sebuah kitab
bersampul hitam berada di atas telapak tangan itu. Sekar Mayang menatap tajam
kitab yang disodorkan ke arahnya.
Rupanya, wanita buntung itu benar-benar akan menjadi pewaris Kitab Sukma Gelap.
Sampai di manakah kehebatan ilmu hitam yang terkandung di dalam kitab tersebut"
Dan, bagaimanakah
sepak terjang Sekar Mayang setelah
mempelajari isinya"
SELESAI Ikuti serial Pengemis Binal dalam episode
"KITAB SUKMA GELAP"
Scam/E-Book: Abu keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Siluman Gurun Setan 2 Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 36
^