Pencarian

Asmara Penggoda 1

Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda Bagian 1


ASMARA PENGGODA Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa
izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal
Dalam episode :
Asmara Penggoda
128 hal. http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Siang hari di Gurun Angkara
hamparan pasir luas tersiram cahaya mentari. Biasan udara panas di
permukaan pasir membentuk kilatan-kilatan terpendar. Asap tipis kehitam-hitaman
membumbung, menimbulkan
bayang-bayang hingga mengaburkan
pandangan. Langit perak seperti
memantulkan hawa panas yang menerpa.
Pendekar Kipas Terbang berjalan
dengan tubuh bermandikan keringat.
Caping lebar dan pakaian longgarnya tak sanggup memberi perlindungan dari
sengatan hawa panas.
"Ah, kenapa otakku jadi bebal"
Mau saja aku menempuh perjalanan yang sangat menyiksa ini...," gerutu pendekar
muda berwajah lembut itu.
"Apa susahnya menolak tantangan Balong Rapaksa" Toh, aku tak berurusan
dengannya. Tapi...."
Pendekar Kipas Terbang menarik
napas panjang, lalu dihembuskannya keras-keras.
"Kaum persilatan tabu menolak tantangan," lanjut pemuda itu. "Hanya manusia
pengecut dan berjiwa lemahlah yang mau melakukan hal itu."
Sambil berkata-kata sendiri,
pendekar muda itu terus melangkahkan kakinya menyusuri hamparan pasir luas
seperti tak bertepi. Kulit wajahnya
yang putih berubah merah kehitam-hitaman, akibat terpaan hawa panas yang tiada
terkira. Ketika sampai di depan gundukan
pasir setinggi pohon kelapa, Pendekar Kipas Terbang menghentikan langkahnya.
Dari jarak lima tombak matanya menatap tajam gundukan pasir itu. Tiba-tiba....
Wooosss...! Puncak gundukan pasir menyembur
ke atas bagai gunung meletus. Lalu, sebuah bayangan hitam menyembul ke atas
dengan kecepatan laksana anak panah lepas dari busur. Bayangan hitam itu
berputar di angkasa. Sesaat
kemudian, dengan menimbulkan bunyi keras sekali kain lebar di punggungnya tiba-
tiba mengembang seperti sebuah payung. Bayangan hitam itu pun
melayang turun dengan perlahan.
"Manusia Gurun...!" desis Pendekar Kipas Terbang.
"Ha ha ha...!" Manusia Gurun yang bernama Balong Rapaksa itu tertawa.
"Ternyata kau memang seorang ksatria tulen, Raka Maruta."
Pendekar Kipas Terbang memandang kehadiran Balong Rapaksa dengan
pandangan penuh selidik. Lelaki yang berusia sebaya dengannya itu
berpakaian ketat serba hitam. Gambaran tubuh Manusia Gurun yang tegap berisi
jadi terlihat jelas.
"Kenapa kau bengong, Maruta"
Apakah kau merasa heran melihat kulit tubuhku yang hitam?" ujar Balong Rapaksa
seraya menyibak anak rambut yang menutupi wajahnya.
Rupa Manusia Gurun itu sebenarnya tampan, hanya kulit tubuhnya hitam terbakar
cahaya mentari sehingga
ketampanannya sedikit memudar.
"Aku tak pernah berurusan
denganmu, Rapaksa. Kenapa kau mengirim surat tantangan kepadaku?" tanya Raka
Maruta. "Sebuah tantangan tak selamanya berawal dari suatu urusan. Tantangan adalah
wujud nyata dari sebuah
keberanian. Aku kira kau pun tahu hal itu, Maruta...," sahut Balong Rapaksa.
"Masalahnya sekarang bukan berani atau tidak berani. Sebuah tantangan tentu
mempertaruhkan nyawa. Apakah saat ini nyawa sudah tidak berharga lagi, sehingga
untuk mengikuti gejolak nafsu mesti mempertaruhkan nyawa"
Bukankah hal ini sebenarnya tidak perlu, Rapaksa" Raga yang bernyawa dan
kepandaian yang ada alangkah baiknya bila digunakan untuk membela
kebenaran...."
"Cukup!" Balong Rapaksa menyela ucapan Raka Maruta.
"Kalimatku belum selesai,
Rapaksa." "Cukup! Tak perlu kau mengobral
kata-kata. Selesaikan kalimatmu itu dengan darah, Maruta. Darahmu atau darahku
yang akan merembes ke dalam pasir"!" ucap Balong Rapaksa seraya memasang kuda-
kuda. "Tunggu, Rapaksa!" Raka Maruta setengah berteriak. "Bukannya aku takut. Tapi,
sebelum darah di antara kita mengucur, aku ingin kau
menyebutkan alasanmu yang sebenarnya kenapa kau menantangku?"
"Ha ha ha...!" Tawa Balong Rapaksa terdengar berkepanjangan, tapi segera lenyap
tersapu angin. "Kau tahu Ratnasari?" tanya pemuda berkulit hitam itu.
"Bidadari Bunga Mawar...," gumam Raka Maruta dalam hati.
"Bukankah dia sangat cantik, Maruta?"
Pendekar Kipas Terbang terpaku di tempatnya. Matanya menatap wajah
Manusia Gurun dalam-dalam. Raka Maruta tahu walaupun sifat dan sikap Balong
Rapaksa berangasan, tapi pemuda
berkulit hitam itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Dia tak
pernah bertindak atas desakan nafsu pribadinya. Kaum rimba persilatan
memasukkannya dalam tokoh beraliran putih. Karena itu ketika Balong
Rapaksa menyebut nama Bidadari Bunga Mawar, Raka Maruta menjadi heran.
"Balong Rapaksa...," kata
Pendekar Kipas Terbang, kalem.
Manusia Gurun terlihat
menyunggingkan senyum mengejek.
"Apakah kecantikan Ratnasari begitu mempesona sehingga kau pun terpikat, dan hal
itu berakibat hiiangnya akal sehatmu?"
"Ha ha ha...!" Balong Rapaksa tertawa terbahak-bahak. "Bukankah kau pun ingin
memilikinya, Maruta?"
Pendekar Kipas Terbang mengge-
lengkan kepalanya.
Balong Rapaksa kembali tertawa.
"Pengecut!" umpat pemuda itu.
"Kau tidak berani mengatakan isi hatimu sendiri!"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau tedeng aling-
aling! Aku ingin memiliki Ratnasari.
Dan untuk mewujudkan impianku itu, aku harus melenyapkanmu!"
Manusia Gurun mengakhiri kalimat-
nya dengan sebuah terjangan.
Pendekar Kipas Terbang berusaha
berkelit. "Tunggu dulu, Rapaksa!"
cegahnya buru-buru.
"Aku sudah tidak punya waktu untuk berkata-kata!" sahut Balong Rapaksa, sewot.
"Aku tak berkeinginan untuk
memiliki Ratnasari..."
"Sudah! Jangan banyak bacot!
Lihat seranganku!"
Manusia Gurun memutar tubuhnya
seraya melakukan tendangan beruntun.
Pendekar Kipas Terbang melompat jauh-jauh, sehingga serangan itu luput dan
menimbulkan deru angin bersiutan.
Melihat lawan mencecarnya dengan penuh kesungguhan, Pendekar Kipas Terbang pun
segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Hawa gurun yang panas menyengat
terasa semakin panas oleh tempuran sengit yang terjadi. Serangan Manusia Gurun
bertubi-tubi menghujani tubuh Pendekar Kipas Terbang. Namun, Raka Maruta
bukanlah lawan yang enteng.
Serangan balasan yang dilancarkan pemuda berwajah lembut itu tak kalah,
berbahayanya. Sebenarnya, apa yang dilakukan
Balong Rapaksa atau si Manusia Gurun bukan atas kehendaknya sendiri.
Semenjak kedatangan Ratnasari ke
kediamannya, yakni di Gurun Angkara, Balong Rapaksa telah terkena pengaruh ilmu
'Asmara Penggoda' yang dimiliki wanita pemuja setan itu.
Balong Rapaksa jadi tergila-gila
kepada Ratnasari. Dan Ratnasari pun mau meladeni keinginan pemuda berkulit hitam
tersebut, dengan syarat dia bersedia melenyapkan para tokoh muda yang dianggap
sebagai penghalang
Ratnasari untuk mewujudkan cita-
citanya menguasai rimba persilatan.
Balong Rapaksa tentu saja menyanggupi.
Dirinya telah terkena ilmu sesat yang dapat mempengaruhi jalan pikirannya.
Balong Rapaksa lalu membuat surat tantangan. Sudah puluhan tokoh muda mati di
tangan Manusia Gurun, baik yang
berasal dari golongan hitam
maupun golongan putih. Dan kini
Pendekar Kipas Terbang pun datang ke Gurun Angkara untuk memenuhi tantangan
pemuda berkulit hitam itu.
Tapi, ilmu kepandaian yang di-
miliki Raka Maruta sudah bisa
disejajarkan dengan tokoh-tokoh tua tingkat tinggi. Kenyataan ini cukup
menyulitkan Balong Rapaksa yang juga berkepandaian tinggi. Pertempuran antara
dua tokoh muda itu pun
berlangsung sangat seru. Sampai
kemudian.... Wooosss...! Balong Rapaksa menjatuhkan
tubuhnya ke hamparan pasir,
lalu meluncur dengan cepat. Kedua kaki pemuda berkulit hitam itu berputar laksana
sebuah baling-baling. Dihuja-ninya tubuh bagian bawah Raka Maruta dengan
serangan mematikan.
Pendekar Kipas Terbang meloncat
ke belakang seraya mengeluarkan
senjata andalan dari balik bajunya.
Dengan sebuah gerakan indah benda pipih pendek itu mengembang. Dan, terbentuklah
kipas yang berwama
keemasan. Balong Rapaksa tertawa dengan
tubuh masih terbaring di hamparan pasir. "Terima kasih kau telah mengeluarkan
senjatamu itu, Maruta.
Kini aku tidak sungkan-sungkan lagi mengundang Dewa Kematian untuk
mencabut nyawamu!"
Pendekar Kipas Terbang tak
memberikan tanggapan. Dia melepas caping lebar yang menempel di
kepalanya. Lalu, dilemparkannya caping itu ke arah Balong Rapaksa. Caping
meluncur cepat dalam keadaan berputar.
Manusia Gurun menyeringai dingin.
Tangan kanannya segera dipentangkan untuk menyambut luncuran caping.
Usahanya ternyata berhasil. Caping Raka Maruta dapat ditangkapnya.
"Kau makan sendiri benda tak berguna ini, Maruta!" kata Manusia Gurun seraya
melemparkan caping yang berada di tangannya.
Pendekar Kipas Terbang bergegas
menghindar. Caping lebar itu pun
meluncur jauh dan hilang dari
pandangan. Tiba-tiba, tubuh Balong Rapaksa bergulingan dengan cepat. Raka Maruta
meloncat untuk menghindari serangan. Kemudian, kipas di tangannya berkelebat
cepat hendak memotong kaki Manusia Gurun!
Wooosss...! Butiran pasir bermuncratan ketika tubuh Manusia Gurun berputar laksana
gangsing. Sekejap saja tubuh pemuda itu telah amblas ke dalam hamparan pasir!
Pendekar Kipas Terbang
terperangah melihat kubangan pasir yang telah tertutup. Dan belum sempat dia
berbuat sesuatu, hamparan pasir di bawah kaki Raka Maruta bergetar. Lalu, sebuah
bayangan hitam meluncur keluar dengan kecepatan kilat seraya
melancarkan serangan!
Des...! Kaki kanan Pendekar Kipas Terbang terhantam. Pemuda itu pun jatuh
terjengkang. Bayangan hitam yang tak lain Balong Rapaksa itu kembali amblas ke
dalam pasir. Tapi Raka Maruta
terkejut setengah mati. Tubuhnya
terasa bagai tersedot.
Pemuda berwajah lembut itu
menjejakkan kakinya dalam-dalam
ke pasir, berusaha melawan tenaga
sedotan. Tapi hal itu justru memper-parah keadaan. Tubuh Pendekar Kipas Terbang
amblas ke dalam kubangan
pasir. Sekejap kemudian, hilang dari pandangan.
Pertempuran segera terhenti.
Suasana gurun berubah menjadi hening kembali seperti sebelum terjadi
pertempuran. Hanya desau angin yang menemani mentari. Hembusannya menghilangkan
jejak-jejak pertempuran yang baru saja terjadi.
Tapi, tak lama kemudian....
"Heaaa...!"
Dua tubuh anak manusia meluncur
dari dalam pasir. Ketika telah berada di udara, mereka saling menyerang. Dan
tampaknya serangan kali ini berhasil melukai masing-masing lawannya. Mereka
meluncur turun hampir bersamaan sambil mendekap luka di tubuhnya. Raka Maruta
berdiri mendekap dadanya yang terkena pukulan. Sebaliknya, Balong Rapaksa meraba
bahunya yang mengucurkan darah karena terkena sambaran kipas lawan.
"Kau hebat, Rapaksa," puji Pendekar Kipas Terbang dengan
kesungguhan hati.
"Kau pun lihai, Maruta," sambut Manusia Gurun balas memuji.
"Sayang, kita harus menyabung nyawa hanya karena sebuah alasan tak berarti."
"Apa pun yang kau
katakan, pertempuran ini harus dilanjutkan.
Sampai ada di antara kita yang
tergeletak tiada bernyawa!" Manusia Gurun tetap pada niatnya semula.
Balong Rapaksa berdiri tegak di
tempatnya. Kedua tangannya terpentang ke atas. Kemudian, turun perlahan-lahan
dan bertemu di depan dada.
Bersamaan dengan itu hembusan angin kencang keluar dari telapak tangannya yang
menyatu. Butiran pasir langsung beterbangan menghunjam ke arah Raka
Maruta! Wesss...! Wesss...!
Pemuda berwajah lembut itu
mengibas-ngibaskan kipasnya yang
terbuat dari baja bersepuh emas. Dari kibasan itu timbul hembusan angin yang tak
kalah kencang. Butiran pasir yang menghunjam ke arahnya sampai terhenti di
udara. Lalu, meluncur ke atas dan jatuh bertaburan bagai hujan deras.


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manusia Gurun mendengus kasar
melihat tindakan lawan. Dengan
kecepatan yang melebihi kecepatan suara, dia kembali menerjang. Raka Maruta
bergegas mengacungkan kipasnya.
Dan, kilatan benda putih kecil
memapaki tubuh Balong Rapaksa!
Blak...! Dengan tubuh masih melayang di
udara, Manusia Gurun mengembangkan kain lebar di punggungnya. Pisau kecil yang
meluncur ke arahnya pun terpental ketika membentur kain. Lalu, kain lebar hitam
itu mengejang dan
menghunjam ke dada Raka Maruta.
Pendekar Kipas Terbang mengga-
galkan serangan itu dengan kibasan kipasnya. Belum sempat Manusia Gurun
menyambung serangannya kembali, kipas di tangan Raka Maruta lepas lalu
meluncur deras!
Balong Rapaksa terpaksa meloncat
ke sana kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi. Kipas Raka Maruta
berkelebatan mencari jalan kematian di tubuh Manusia Gurun. Seuntai tali halus
yang hampir kasat mata
mengendalikan gerak serangan kipas Raka Maruta.
Ketika mengetahui keberadaan tali halus itu, kain lebar hitam milik Balong
Rapaksa digunakan untuk
menyampok kipas hingga terpental.
Lalu, dengan kecepatan kilat telapak tangan Manusia Gurun membacok tali kipas.
Tali itu hanya bergetar! Balong
Rapaksa terperangah melihat tali yang dibacoknya tak putus. Padahal,
sebatang pohon kelapa pun akan tumbang terkena bacokan telapak tangannya itu.
Dalam keheranannya pemuda
berkulit hitam ini menjadi lengah.
Akibatnya.... Srat...! Dada Balong Rapaksa robek lebar.
Darah segar kembali mengucur deras.
Raka Maruta bergegas menarik
senjatanya melihat lawan yang telah terluka.
"Maaf, Rapaksa...," kata Pendekar Kipas Terbang.
"Kau tak perlu mengucapkan kata itu, Maruta. Kau memang lihai. Lebih lihai dari
yang kukira. Tapi, aku belum kalah...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Manusia Gurun amblas ke dalam
pasir. Raka Maruta menajamkan
pendengarannya. Daun telinganya bagian bawah tampak bergetar. Mendadak pemuda
itu meloncat jauh-jauh dari tempat berdirinya.
Bias! Bias! Bias!
Puluhan batu runcing menghujani
tubuhnya dari dalam pasir. Cecaran bebatuan itu laksana kerutukan
berondong jagung. Dan sebuah ledakan dahsyat yang menimbulkan gempa
berkepanjangan mengakhiri serangan itu.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang
terlontar ke udara. Saat mendarat di pasir Pendekar Kipas Terbang
menyeringai sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Tapi, tangannya segera
bergerak cepat meluncurkan senjata mautnya.
Kipas itu amblas ke dalam pasir.
Tak lama kemudian, darah segar tengah merembes keluar. Mata Raka Maruta bersinar
tajam. Ditariknya tali
pengendali kipas.
Tubuh Manusia Gurun tertarik
keluar kemudian jatuh berdebam di atas hamparan pasir. Tapi, dia segera
bangkit berdiri. Tangan kanannya
memegang tali pengendali kipas dengan kuat. Sementara tangan kirinya
mencabut kipas Raka Maruta yang
tertancap di dada kiri. Ketika Balong Rapaksa ber-hasil mencabut kipas baja
bersepuh emas itu, darah menyembur laksana sebuah mata air yang baru dibuka.
"Kau jangan gembira dulu,
Maruta...," desah Manusia,Gurun dengan geram. "Aku belum kalah."
Tangan kanan pemuda berkulit
hitam itu lalu menghentakkan tali pengendali kipas Raka Maruta. Mereka pun
berkutat saling mengerahkan
kekuatan tenaga dalam. Tapi hal itu hanya sekejap. Dengan tiba-tiba tubuh
Manusia Gurun melayang seraya
melancarkan sebuah tendangan maut!
Pendekar Kipas Terbang berkelit
ke samping. Tangan kirinya lalu
dilontarkan kuat-kuat. Pukulan Raka Maruta telak menghantam dada Balong Rapaksa.
Dan, tubuh pemuda berkulit hitam itu jatuh bergulingan di atas hamparan pasir.
Manusia Gurun berhasil bangkit
berdiri. Tapi, segera jatuh
terjengkang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Balong Rapaksa menatap wajah
lawannya dengan tiada berkedip.
"Kau... kau hebat, Mar...
Maruta...," ujar Balong Rapaksa terbata-bata. "Aku puas... mati di tangan...
mu...." Tubuh Manusia Gurun itu lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Desau angin mengantar kepergian
Balong Rapaksa untuk menghadap pada
Sang Pencipta. Suasana gurun kembali sepi. Butiran pasir terhampar rata.
Hening.... * * * 2 Ketika itu di tepi Sungai
Bayangan sebuah perahu kecil bergerak perlahan. Pirangga Muksa atau Dewa Obat
duduk tenang di atasnya.
Pakaiannya yang berwarna putih-kuning berkibaran ditiup angin. Wajah lelaki
berusia dua puluh delapan tahun itu merona merah diterpa cahaya mentari siang.
Matanya berkilat tajam memperha-
tikan kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan dayungnya. Dia menghentikan
dayungannya ketika merasakan arus sungai tiba-tiba membesar. Terlihat puluhan
benda pipih panjang berkelok-kelok meluncur dengan cepat.
Lalu, melayang ke atas perahu Pirangga Muksa!
Tas! Tas! Tas! Dewa Obat memutar-mutar dayung-
nya. Dipapakinya benda-benda pipih panjang itu. Cairan kental berwarna merah
bermuncratan ke atas permukaan sungai.
"Ular-ular bodoh!" umpat pemuda bertubuh kekar itu. "Bila mengikuti
perintah tuanmu, hanya kematian yang akan kalian dapatkan!"
Lalu dengan sebuah dayungan yang
menggunakan tenaga dalam perahu
Pirangga Muksa meluncur ke tengah sungai. Dan, berhenti tepat di sisi gundukan
batu besar yang menjulang tinggi. Dewa Obat bergegas meloncat ke atasnya.
Gerakannya sangat tangkas.
Pemuda itu mendarat dengan mulusnya.
Padahal, permukaan batu itu licin oleh lumut.
"Tampakkan batang hidungmu,
Sawung Jenar!" teriak Pirangga Muksa.
Teriakan yang dibarengi penge-
rahan tenaga dalam itu terdengar
membahana ke seluruh permukaan Bukit Bayangan.
Tiba-tiba, seekor ular sebesar
paha manusia dewasa muncul dari dalam air. Mulutnya menganga lebar berusaha
mencaplok kepala Dewa Obat. Pemuda bertubuh kekar itu terlihat sama
sekali tak bergeming dari tempatnya.
Hanya, dengan dengusan pendek dia melayahgkan telapak tangannya!
Prakkk...! Darah segar berhamburan. Kepala
ular besar itu hancur menjadi serpihan daging berbau anyir.
"Ini hanya permainan anak kecil, Sawung Jenar!" teriak Pirangga Muksa lebih
keras. Tak lama kemudian, dari hulu
sungai muncul sebuah titik hitam yang bergerak perlahan mendekati Dewa Obat.
Ketika sudah dekat, tampaklah seorang lelaki bermata sipit dan berkulit kasar
seperti sisik ular duduk bersila di atas air.
"Jangan memamerkan tipuan di hadapanku, Jenar! Tubuhmu tak seringan kipas! Kau
hanya duduk di atas ular buduk!"
Mendengar perkataan Pirangga
Muksa, Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular menggeram. Ujung jari telunjuknya
dicelupkan ke dalam air. Dan.... tubuh Sawung Jenar terangkat. Tampaklah seekor
naga yang menyeramkan. Lidahnya bercabang tiga, menjilat-jilat
sepanjang satu tombak.
"Kenapa kau membawa cacing ke hadapanku, Jenar"!" kata Dewa Obat mengejek. Iblis
Selaksa Ular tak
memberi jawaban. Dia mengelus kepala ular naganya. Ular itu menggeliat.
Dilontarkannya tubuh Sawung Jenar ke tepi sungai.
"Pengecut!" umpat Pirangga Muksa.
Tapi, dia tak sempat berkata-kata lebih banyak. Ular besar yang berada di
hadapannya telah menyerang. Dewa Obat meloncat, menghindari terkaman.
Ular naga itu menyembur. Uap kehitaman bercampur dengan percikan api keluar dari
mulutnya. "Bangsat!" umpat Pirangga Muksa
sambil meloncat tinggi-tinggi. Sebuah pukulan jarak jauh segera dilontar-kannya.
Ular naga itu hanya menggeliat terkena pukulan Dewa Obat. Mulutnya kembali
mengeluarkan semburan.
"Cacing Tanah! Jangan kau kira dirimu kebal terhadap ilmu pukulanku!"
kata Pirangga Muksa.
Kembali dilancarkan pukulan jarak jauh untuk kedua kalinya. Ledakan dahsyat
menggema. Air sungai yang semula mengalir tenang menjadi
bergolak akibat geliat kesakitan ular naga. Dan ketika ledakan ketiga
menggema, kepala ular naga itu hancur berkeping-keping.
"Ha ha ha...!" Pirangga Muksa tertawa terbahak-bahak. Lalu, tubuhnya melayang ke
tepi sungai. "Giliran kepalamu yang akan
kupecahkan, Sawung Jenar!" kata Dewa Obat dengan sinar mata berkilat.
Ditatapnya Iblis Selaksa Ular yang berdiri tiga tombak dari hadapannya.
"Ucapanmu terbalik, Muksa!" kata Sawung Jenar tak kalah lantang.
"Justru aku yang akan melumatkan kepalamu!"
"Huh! Kata-kata tak ada bukti, apa gunanya"!"
"Baik. Akan aku buktikan. Untuk mendapatkan cinta Bidadari Bunga Mawar memang
perlu mempertaruhkan nyawa...."
"Ha ha ha...!" Dewa Obat tertawa
terpingkal-pingkal. "Kau sungguh lucu, Jenar. Tidakkah kau tahu diri"
Tampangmu itu sudah mirip ular
tercebur lumpur, mana mau Ratnasari yang cantik jelita memberikan cinta
kepadamu"!"
"Kesaktian adalah jawabannya!"
Pirangga Muksa kembali tertawa.
"Kau merasa dirimu sakti"
Kepandaianmu hanyalah menjinakkan ular. Kau tak patut mendampingi
Bidadari Bunga Mawar!"
"Bangsat!" Iblis Selaksa Ular menggeram marah.
Gigi lelaki berumur tiga puluh
tahun itu bertaut erat. Rahangnya menegang hingga membentuk balok segi empat.
Lalu, dengan gerakan cepat dia mencabut seruling dari balik bajunya.
Sawung Jenar menerjang Dewa Obat.
Sending di tangannya menusuk leher.
Melihat serangan itu, Pirangga Muksa hanya menyeringai dingin. Dan setelah
berkelit ke samping, telapak tangannya berkelebat!
Des...! Dada Iblis Selaksa Ular dengan
telak terkena pukulan. Tubuhnya
terlempar dan bergulingan di atas tanah. Tapi, dia segera bangkit
berdiri seperti tak terjadi apa-apa.
Dewa Obat menatap heran.
Pukulannya itu apabila menghantam batang pohon sebesar rangkulan manusia
dewasa akan tumbang. Tapi, kenapa tubuh Sawung Jenar tetap tegar"
"Kenapa bengong, Muksa" Kau heran melihat pukulanmu tak mempan?" kata Sawung
Jenar penuh ejekan. "Inilah sebagian dari kesaktian yang
kumiliki."
"Huh! Jangan pamer kesombongan di hadapanku!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
kedua tangan Pirangga Muksa
terpentang, lalu menghentak ke depan!
Blaaarrr...! Iblis Selaksa Ular menadahi
pukulan jarak jauh Dewa Obat dengan dadanya. Akibatnya, manusia bersisik ular
itu terlontar. Tubuhnya membentur sebatang pohon besar hingga tumbang.
Sawung Jenar tetap bangkit
berdiri dan berjalan perlahan
mendekati Pirangga Muksa. Tentu saja Dewa Obat terkejut setengah mati.
Pukulan jarak jauhnya yang berlambarkan seluruh tenaga dalam hanya sanggup
mengoyakkan baju Iblis Selaksa Ular. Keanehan itu membuat Pirangga Muksa
bergidik ngeri.
"Manusia atau silumankah dia?"
tanya Dewa Obat dalam hati.
"Rupanya otakmu tak lebih pintar dari otak monyet kudisan, Muksa," ejek Sawung
Jenar. "Kau senang berpikir untuk mencari jawaban, tapi tak pernah kau temukan
apa yang kau cari itu."
"Kau hebat, Jenar," gumam Dewa Obat.
"Ha ha ha...!" Iblis Selaksa Ular tertawa bangga. "Dengan ilmu 'Lembu Sekilan'
yang kumiliki, tentu saja aku jadi hebat. Kau tak perlu heran,
Muksa. Inilah modalku untuk
mendapatkan cinta Bidadari Bunga
Mawar." Dewa Obat menggeram. "Tidak!"
katanya membentak. "Kau tak pantas duduk berdampingan dengan wanita
cantik itu!"
"Selain dungu, rupanya kau juga suka ngeyel, Muksa. Tapi, saat ini juga aku akan
menghentikan eyelanmu itu."
Sawung Jenar mendekatkan seruling ke bibirnya yang tipis dan monyong ke depan.
Keluarlah sebuah irama merdu yang mendayu-dayu. Pirangga Muksa menyeringai
dingin mendengarkan suara syahdu yang mengelus sukmanya itu.
"Kau jangan mengajak bercanda, Jenar...."
Pirangga Muksa menatap tajam
wajah Iblis Selaksa Ular yang tiba-tiba
berubah lembut seperti seorang bocah yang tiada berdosa. Mendadak, alunan irama
yang keluar dari seruling Sawung Jenar melengking tinggi dan menyayat hati. Dewa
Obat terperangah. Degup jantungnya dirasakan mengencang.
Gendang telinganya pun bergetar keras seperti mau pecah!
Pirangga Muksa terpaksa
mengerahkan seluruh hawa murninya untuk memberi perlindungan. Sementara alunan
irama seruling semakin
meninggi. Tubuh Pirangga Muksa
menggigil seperti terserang hawa
dingin yang hebat. Perlahan-lahan tubuh Dewa Obat melorot ketanah, lalu duduk
bersila. Asap tipis mengepul dari kepala pemuda bertubuh tegap itu.
Goyangan tubuhnya menimbulkan gesekan di permukaan tanah hingga debu
mengepul. Tiba-tiba alunan irama seruling
Sawung Jenar berubah cepat bagai desau tiupan angin topan. Akibatnya, dari


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh pori-pori tubuh Pirangga Muksa mengalir darah segar. Bersamaan dengan
itu bermunculan puluhan ular dari semak-semak.
Ular-ular itu terus merayap
mendekati tubuh Dewa Obat. Ketika ular-ular menyentuh tubuh Pirangga Muksa,
binatang melata tersebut
terlempar jauh lalu berkelojotan dan mati!
"Tubuh Pirangga Muksa mengandung racun ganas," kata Sawung Jenar dalam hati.
"Tapi, bukanlah Iblis Selaksa Ular bila tidak mempunyai ular yang sanggup
menandingi keganasan racun itu." Sawung Jenar menghentikan tiupan
serulingnya, Lalu, benda bulat panjang itu dihentakkan. Seekor ular putih
sebesar lidi meluncur dengan cepat ke arah Pirangga Muksa.
Plap...! Ular itu masuk ke dalam lubang
hidung Dewa Obat. Lewat kerongkongan ular itu menyerang! jantung! Tubuh Pirangga
Muksa terjengkang. Sebentar kemudian berkelojotan seperti ayam disembelih. Tubuh
pemuda naas itu pun diam dalam keadaan telentang.
Splash...! Dari dada kiri tubuh tanpa nyawa
itu menyembul ular putih kecil yang baru saja merenggut nyawa Pirangga Muksa.
Ular itu meluncur cepat dan masuk kembali ke dalam seruling di tangan Sawung
Jenar. Pemuda bersisik ular itu pun
tertawa terbahak-bahak menikmati
kemenangannya. Rupanya, ilmu 'Asmara Penggoda' Ratnasari benar-benar telah
mempengaruhi jalan pikirannya. Sawung Jenar kemudian berlari cepat menuju Bukit
Hantu, di mana Ratnasari
tinggal. Rimba persilatan memang telah
diselimuti kabut hitam. Tokoh-tokoh muda saling bunuh. Tak peduli dari aliran
putih atau pun hitam. Darah manusia yang masih penuh harapan itu membanjir hanya
untuk mewujudkan
sebuah harapan. Mereka menginginkan
Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar.
Setelah menjalani upacara
pemulihan, wanita cantik itu
menyebarkan ilmu 'Asmara Penggoda'.
Tak satu puh tokoh muda rimba
persilatan yang sanggup melawan ilmu setan itu. Mereka jadi linglung, tak mampu
berpikir benar sehingga dengan mudah Ratnasari mengadu domba.
Untuk sementara, yang luput dari
serangan ilmu 'Asmara Penggoda'
hanyalah Raka Maruta atau Pendekar Kipas
Terbang. Pendekar berwajah
lembut itu memiliki ilmu 'Hati Suci'
yang merupakan warisan dari
leluhurnya. * * * 3 Sebentuk kepala manusia tampak
menyembul ke atas permukaan air danau kecil itu. Wajah manusia yang
melakukan tapa brata itu menggambarkan suatu keteduhan. Kedua matanya
terpejam dengan bantuk alis tebal menukik tajam di kedua ujungnya.
Hidungnya mancung. Garis-garis wajahnya menunjukkan ketampanan. Usia orang itu
masih sangat muda, sekitar tujuh belas tahun. Dia adalah Suropati atau Pengemis
Binal. Tubuh telanjang remaja tampan itu
melayang di kedalaman air, ditopang oleh semburan mata air yang memancar di
bawah kakinya yang bersila.
Gelombang kecil tampak berputar di sekitar kepala. Rambutnya yang hitam panjang
bergerak-gerak mengikuti arus.
Hari itu adalah hari ketujuh bagi Suropati dalam menjalani tapa brata sesuai
petunjuk yang diberikan Datuk Risanwari.
Dalam keheningan kalbu di
kekelaman pejaman matanya Suropati tiba-tiba melihat segumpal cahaya menuju ke
arahnya. Cahaya itu
berpendar ketika jarak mereka telah dekat. Asap tipis terlihat menyebar.
Sesaat kemudian, terbentuklah sesosok makhluk menyeramkan.
Tinggi makhluk itu menyamai
tinggi pohon kelapa. Tubuhnya sebesar tiga kali tubuh gajah. Tangan dan kakinya
mulur panjang, berbulu lebat dengan kuku-kuku hitam berkilat. Kedua matanya yang
sebesar tampah tampak memerah. Berhidung besar. Dari sela-sela bibirnya yang
tebal menyembul taring runcing.
"Bangunlah kau, Bocah!"
Suara makhluk menyeramkan itu
menggelegar laksana halilintar.
Suropati sama sekali tak bergeming.
Kedua matanya tetap terpejam rapat.
Tapi, dia melihat dengan mata hatinya.
"Bocah Geblek! Kalau kau tak
segera bangun, aku akan melumatkan tubuhmu!"
Tak ada tanggapan sedikit pun
dari Pengemis Binal.
Makhluk menyeramkan itu menggeram marah. Dari mulutnya menyembur uap panas.
Suropati merasakan tubuhnya bagai terpanggang di lautan api.
Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan batinnya untuk melindungi tubuh.
Cahaya kebiru-biruan memancar
dari tubuh remaja tampan itu. Lalu, hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Rasa panas
yang dirasakan Suropati seketika lenyap. Tapi, mendadak saja kaki
makhluk menyeramkan itu menendang.
Suropati merasakan tubuhnya terlontar jauh masuk dalam kegelapan yang begitu
pekat. Sernentara itu, seberkas sinar kemerahan meluncur ke arahnya! Sinar itu
menelan tubuh Pengemis Binal.
Suropati merasakan suatu
kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya terasa segar. Hawa sejuk mengelus sukma.
Lalu, terdengar alunan musik berirama syahdu.
Seorang wanita cantik berpakaian
indah gemerlap tampak menari dengan lemah gemulai. Tubuhnya meliuk-liuk
menciptakan gerakan yang meng-undang hasrat kelelakian.
"Bangunlah kau, Bocah Bagus...,"
kata wanita cantik itu. "Mari menari bersamaku!"
Tangan wanita cantik itu
menggapai dengan mata terpejam penuh kepasrahan. Suropati hanya diam.
Pemuda itu tak melakukan tindakan apa pun. Perlahan-lahan wanita cantik itu
bergerak menjauh. Sanggul rambutnya dilepas sehingga mahkota yang indah itu
jatuh tergerai ke punggung. Lalu, satu persatu dia melepas kancing
bajunya. Ketika kancing-kancing itu telah
usai dilepas, badannya dibalikkan seraya menjatuhkan bajunya. Nampaklah kulit
tubuhnya yang putih mulus tanpa noda. Suropati merasakan darahnya berdesir.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Hasrat kelelakiannya terasa melonjak-lonjak!
"Oh...," wanita cantik itu mendesah panjang. "Peluklah aku."
Dengan dada sesak dan napas
terengah-engah menahan gejolak
nafsunya, Suropati mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan godaan
hebat itu. Sementara wanita cantik di hadapan Suropati terus mendesah-desah.
Diikutinya irama musik yang mengalun syahdu dengan menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Sisa pakaian yang menempel di tubuhnya pun melorot jatuh.
Tampaklah suatu pemandangan yang
menggiurkan. "Peluklah aku...," kata wanita cantik bertubuh telanjang itu.
Suropati merasakan bumi ber-
goncang dahsyat. Tubuh Suropati yang tengah melakukan tapa brata bergetar keras.
Perang besar sedang berkecamuk dalam hati remaja tampan itu.
"Oh... oh...."
Suara desahan tiada henti
terdengar menggoda. Sampailah Suropati pada puncak keinginan gejolak
nafsunya. Perlahan-lahan dia melepas kedua tangannya yang bersedekap.
Hendak dipeluknya wanita cantik di hadapannya. Pada saat itulah muncul bisikan
lembut di telinga Pengemis Binal.
"Manusia berhati lemah akan
selamanya diperbudak oleh nafsu.
Mereka akan dilemparkan ke jurang gelap penuh penderitaan. Nafsu selalu
menggoda. Hanya dengan keteguhan
imanlah godaan nafsu
dapat diatasi...."
Ketika bisikan itu berhenti,
Suropati mulai tersadar dari
keadaannya. Diiringi dengan menyebut asma Tuhan kedua tangan remaja tampan itu
kembali bersedekap. Tubuhnya lalu diam tak bergeming bagai patung batu.
Sinar kebiruan memendar dari
tubuh Suropati. Wanita cantik yang hendak didekapnya terpental disertai suara
jerit kesakitan. Kemudian,
bisikan lembut di telinga remaja
tampan itu terdengar kembali.
"Kau bisa membuka kelopak matamu, Suro. Tapa bratamu telah usai."
Pengemis Binal mengikuti bisikan
lembut di telinganya. Dan ketika gelap telah pergi dari pandangan, tampaklah
seorang kakek tua renta tengah duduk bersila dalam keadaan melayang di udara.
"Datuk Risanwari...," gumam Suropati.
"Sebuah ujian berat telah kau jalani, Suro. Kini dalam dirimu telah tercipta
sebuah benteng kokoh untuk menepis segala godaan nafsu
keduniawian. Dengan penuh keikhlasan dalam mengabdi kepada jalan kebenaran,
mudah-mudahan kabut gelap yang
menyelimuti rimba persilatan dapat kau lenyapkan. Tuhan bersamamu, Suro...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Datuk Risanwari meluncur cepat dan menghilang dari pandangan.
Suropati hanya memandangi keper-
giannya. Pemuda konyol itu kemudian
berusaha menggerakkan kaki dan tangannya yang kaku. Dia berenang mencapai tepi
danau. Diambilnya pakaiannya yang tergantung di dahan pohon.
Tak lama kemudian, dia telah
bertengger di dahan pohon kedondong besar. Dengan rakusnya dilahapnya buah
berasa manis-asam itu. Tapi mendadak saja Suropati cengar-cengir. Hidungnya
mencium aroma wangi bunga mawar.
"Rupanya di pagi ini ada Wewe yang nyasar ke sini...."
Suropati celingukan. Ketika mata-
nya menangkap sosok wanita berpakaian serba merah yang tengah duduk di
seberang danau, dia meloncat turun dari atas pohon. Dihampirinya wanita itu
dengan berjalan mengitari tepian danau.
"Hai, Gadis Manis!" sapa Suropati yang mulai timbul kekonyolannya.
Yang disapa diam saja seperti tak mendengar apa-apa.
"Uh! Sombong amat!" umpat Suropati. "Sayang, cantik wajahnya tapi telinganya
tuli...." "Apa"!"
Wanita berpakaian serba merah itu menolehkan kepala. "Kau mengatakan aku tuli?"
katanya berang. Tapi, tiba-tiba saja wanita berpakaian serba merah itu tertawa
memperlihatkan barisan giginya yang berjajar rapi.
"Alangkah cantiknya...," gumam Suropati sambil menggaruk kepala.
Matanya menatap keindahan yang
terpampang di wajah wanita berpakaian merah. "Siapa namamu?" tanyanya kemudian.
"Ratnasari."
Suropati terperanjat.
"Inikah wanita berumur seratus lima puluh tahun yang telah menjalani upacara
pemulihan itu"!" tanya
Suropati dalam hati. Diperhatikannya Ratnasari lebih teliti. "Dia memang sangat
cantik. Menurut Datuk
Risanwari, wanita ini memiliki ilmu
'Asmara Penggoda'. Aku harus berhati-hati..."
"Eh, kenapa kau bengong, Tampan?"
Ratnasari bertanya. Suaranya terdengar begitu lembut. "Apakah namaku terdengar
aneh?" "Ah, tidak. Namamu justru sangat enak di telinga. Ratna itu permata Sari itu
inti. Jadi, kau inti dari keindahan permata. Pantas kau sangat cantik," puji
Suropati sejujurnya.
Ratnasari atau Bidadari Bunga
Mawar tertawa senang.
"Eh, siapa namamu, Tampan?" tanya wanita itu.
"Suropati."
"Pengemis Binal?"
"Ya."
"Oh, Dewata Yang Agung.Ratnasari menengadahkan kedua telapak tangannya seperti
sedang berdoa. "Betapa bahagianya hatiku bertemu dengan
pemuda yang selama ini kuimpi-impikan.
Terima kasih, Dewata Yang Agung."
Mata Bidadari Bunga Mawar kemu-
dian mengerling penuh arti. Suropati merasakan ada sesuatu kekuatan tiba-tiba
menguasai pikirannya.
"Uh! Aku harus lebih waspada.
Jangan-jangan ini salah satu dari
jurus ilmu 'Asmara Penggoda'...,"
gumam Suropati dalam hati.
Ratnasari mengambil bunga mawar
yang terselip di antara sanggulan rambutnya.
"Terimalah bunga persembahanku ini, Suro...."
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Suropati
mengulurkan tangan kanan.
Ratnasari segera menangkap lalu
menarik ke arah dirinya. Suropati yang belum menyadari apa yang terjadi jatuh
terjerembab ke dalam pelukan Bidadari Bunga Mawar.
"Uh...! Uh...!"
Pengemis Binal gelagapan ketika
jalan napasnya tersedak oleh ciuman ganas Bidadari Bunga Mawar. Suropati
mendorong tubuh wanita cantik yang mendekapnya.
"Aku tak bisa melakukan itu.
Soalnya aku masih anak-anak. He he he...," ujar Suropati kemudian.
"Eh, siapa yang masih anak-anak"
Kau" Ah, tidak! Kau sudah besar!"
bantah Ratnasari. "Kau belum pernah merasakan ciuman, ya?"
"Uh! Salah!"
"Lalu kenapa?"
"Aku ingin yang lebih dari itu."
Ucapan konyol Suropati membuat
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Tapi, sekejap kemudian dia meloncat ke belakang. Matanya menatap wajah
Suropati dalam-dalam.
"Eh, kau kenapa" Baru tahu kalau aku lebih tampan dari yang kau kira?"
tanya Suropati menggoda.
Bidadari Bunga Mawar tak memberi
jawaban. Matanya terus menatap wajah Pengemis Binal. Bola mata Ratnasari yang
hitam bening memantulkan seberkas cahaya aneh. Mata Suropati menjadi pedih.
Tanpa sadar dia mengucak-ucaknya.
Tawa kemenangan Bidadari Bunga
Mawar terdengar membahana.
"Kini kau tak lebih dari kunyuk bodoh yang akan selalu menuruti
perintahku, Suro...."
Selesai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Ratnasari berkelebat lenyap meninggalkan Suropati yang berdiri terhuyung-


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

huyung sambil mendekap
wajah. Rasa pedih yang menyerang mata
Suropati sedemikian hebatnya, hingga pemuda itu merintih-rintih kesakitan.
Kemudian tubuh Suropati terjerembab ke tanah. Mendadak saja rasa pedih yang
menyerang matanya lenyap, berganti dengan kesejukan yang melenakan.
Dalam keadaan duduk terbayang di
pelupuk mata Suropati wajah wanita-wanita cantik yang pernah dijumpainya.
Pertama-tama muncul wajah Anjarweni, Ingkanputri, Dewi Ikata, dan bayangan wajah
Puspita serta Ayumi. Terakhir
wajah Sekar mayang. Tapi, wajah-wajah cantik itu segera lenyap, tersapu oleh
cahaya kehitam-hitaman, Muncullah seraut wajah yang sangat cantik
mempesona. Wajah Ratnasari atau
Bidadari Bunga Mawar.
Wanita cantik itu tampil di
hadapan Pengemis Binal dalam keadaan tanpa selembar benang pun menempel di
tubuhnya. Untuk kedua kalinya jiwa Suropati terserang hawa nafsu yang
menghentak. Meronta-ronta bagai hendak menghilangkan akal sehat. Tapi, kalbu
Suropati yang baru saja tercuci dalam tapa brata membuat perisai hitam yang
menutupi bayangan Ratnasari. Pemuda itu terlempar kembali ke alam nyata.
"Uh...! Hampir saja aku termakan ilmu "Asmara Penggoda' yang dilancarkan
Ratnasari...," gumam Suropati sambil menggaruk kepalanya. Kemudian, dipungutnya
bunga mawar yang
tergeletak di tanah tak jauh darinya, Tapi... bunga mawar yang dipegang Suropati
berubah menjadi sehelai daun lontar.
"Sihir...!" desis remaja konyol itu. Mata Pengemis Binal menatap tajam ke bans
tulisan yang tertera di atas daun lontar.
Bunuh Raka Maruta Atau Pendekar Kipas Terbang.
Kau Akan Mendapatkan Cinta
Membara Dariku.
"Huh! Siapa yang butuh cinta palsumu, Nenek Sihir!" umpat Suropati seraya
meremas daun lontar hingga menjadi abu.
Remaja konyol itu lalu masuk ke
dalam danau. Tak lama kemudian telah mencapai tepian di seberang. Dengan pakaian
basah kuyup, Pengemis Binal bersiul-siul melangkahkan kaki dengan ringannya.
* * * Sementara itu di tempat lain
Anjarweni dan Wirogundi yang mencari Ingkanputri terjebak ke dalam lorong bawah
tanah. Sudah sepekan mereka berputar-putar di tempat itu tanpa bisa keluar.
Tubuh mereka lemas karena selama itu tak makan suatu apa pun.
Hanya minum tetes-tetes air yang
kebetulan merembes dari atas dinding.
"Kita telah memasuki tempat yang lebih mengerikan dari lubang tikus, Weni," kata
Wirogundi sambil mengusap dahinya. Jelaga yang menempel di
wajahnya semakin menyebar rata.
"Menyesal aku mengajamu, Wiro,"
ucap Anjarweni pelan.
"Kau jangan berkata seperti itu.
Aku pernah mengatakan kepadamu kalau penderitaanmu adalah penderitaanku.
Aku rela melakukan apa saja untukmu, Weni."
Anjarweni terdiam mendengar per-
kataan Wirogundi. Dia merasakan suatu kesejukan mengelus hatinya. Menimbulkan
rasa bahagia yang tiada
terkira. Tanpa sadar murid Dewi Tangan Api itu meraih tangan Wirogundi dan
menggenggamnya erat-erat.
"Terima kasih, Wiro...," gumam Anjarweni.
Wirogundi membalas meremas.
Melalui cahaya obor gas alam yang temaram, dia menatap wajah Anjarweni dalam-
dalam. Mendadak, pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu tertawa.
"Ha ha ha...! Kau lucu, Weni!"
"Eh, apanya yang lucu?" tanya Anjarweni tak mengerti.
"Wajahmu itu...."
"Kenapa?"
"Hitam! Seperti monyet kecebur lumpur. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...," Anjarweni ikut tertawa. "Kau kira kau tidak lucu"
Wajahmu juga hitam seperti...."
"Seperti apa?"
"Nggak tahu!"
Tiba-tiba Anjarweni memegang
perutnya. Gadis itu meringis
kesakitan. "Eh, kau kenapa, Weni?" tanya Wirogundi khawatir.
"Kau juga merasakannya, bukan?"
"Lapar?"
Anjarweni menganggukkan kepala.
"Sayang, aku tidak bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Seandainya bisa aku
membawakanmu makanan yang enak-enak."
"Bodoh! Kalau kau bisa keluar, tentu saja aku ikut. Siapa sudi
tinggal di tempat seperti ini?"
"Kalau tinggal bersamaku, kau tidak sudi?"
Anjarweni tak memberikan jawaban.
Matanya menerawang jauh.
"Kasihan Ingkanputri...," katanya lirih.
"Mungkinkah dia juga terjebak di tempat ini, Weni?"
"Kemungkinan itu ada saja," sahut Anjarweni.
Sebuah bayangan yang entah dari
mana datangnya berkelebat dan berhenti tepat dua tombak di hadapan kedua remaja
itu. Wirogundi dan Anjarweni terkejut melihat kehadiran gadis
cantik berpakaian serba merah.
"Ingkanputri...!" ucap mereka hampir bersamaan.
Yang disebut namanya hanya
membisu. Kedua matanya yang bersorot aneh menatap Wirogundi dan Anjarweni
bergantian. "Ingkanputri, ini aku... kakak-mu...," Anjarweni menghambur ke arah adik
seperguruannya. Tapi....
Serangkum angin
pukulan menerpa.
Anjarweni terkesiap dan mencoba
menghindar. Des...! Terlambat! Anjarweni mendekap
bahu kanannya. Hawa panas terasa
menjalar. Baju yang dikenakannya pun hangus.
"Kau... kau...," kata murid Dewi Tangan Api itu gelagapan.
"Kau lupa padaku, Putri?"
Ingkanputri tak memberikan
tanggapan apa-apa. Kedua matanya yang bersorot aneh menatap nyalang.
"Putri, itu kakak seperguruanmu, Anjarweni," Wirogundi ikut meyakinkan.
Tapi Ingkanputri hanya mendengus.
Kedua telapak tangannya berubah merah membara. Hawa panas segera menyelimuti
tempat itu. "Pukulan Api Neraka!" desis
Anjarweni dalam keterkejutannya.
"Hati-hati, Weni...," pesan Wirogundi seraya mendorong tubuh
Anjarweni ke samping.
"Adik seperguruanmu itu sepertinya sedang berada di bawah pengaruh ilmu sihir."
"Tidak!" Anjarweni menepis pergelangan
tangannya dari pegangan
Wirogundi. "Tidak ada orang yang mampu menyihir Ingkanputri!"
"Tapi buktinya...."
"Tidak!" potong Anjarweni keras.
Ingkanputri tak mempedulikan
perdebatan itu. Kedua tangannya
diangkat lalu mendorong ke depan.
Blaaarrr...! Dinding lorong setebal satu depa
ambrol terkena hantaman pukulan. Hujan bebatuan tak bisa dihindari lagi. Debu
mengepul tebal membuat keadaan tempat itu semakin gelap pekat.
Wirogundi menggamit lengan Anjarweni. Diajaknya gadis itu pergi. Tapi, Anjarweni
berontak. "Kau kenapa, Weni?" tanya Wirogundi heran. "Ingkanputri sedang kalap. Dia bisa
membunuh kita!"
"Biar!" jerit Anjarweni seperti orang kesurupan. "Ingkanputri masih sadar. Dia
tidak apa-apa."
"Tadi dia bermaksud menyerangmu, Weni."
"Tidak."
Wirogundi terperangah. Dia jadi
bingung. Melihat sikap Anjarweni yang seperti orang kehilangan ingatan, pemuda
bertubuh kurus itu dihantui perasaan galau. Pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu segera menotok jalan darah di punggung
Anjarweni. Tubuh gadis itu pun melorot jatuh bagai selembar karung basah.
Dengan susah payah Wirogundi yang sangat menderita karena perutnya
kosong berusaha membopong tubuh
Anjarweni. Tapi pemuda itu hanya
berputar-putar di lorong yang tak
berujung pangkal. Wirogundi terkejut dan menghentikan langkah ketika tiba-tiba
saja sosok Ingkanputri telah berdiri di hadapannya.
Merasa tidak mampu menghadapi
murid Dewi Tangan Api itu, Wirogundi segera mengambil langkah seribu.
Tapi.... Serangkum angin pukulan
berhawa panas menerpa! Wirogundi yang sedang membawa beban tak mampu
berkelit. Dia hanya memutar tongkat di tangan kanannya.
Tongkat itu tak mampu menahan
pukulan lawan. Tubuh Wirogundi
terhempas. Sernentara pemuda itu masih tetap mendekap tubuh Anjarweni dengan
erat. Mereka berdua bergulingan di lantai.
"Ha ha ha...!" Tawa Ingkanputri membahana seperti tawa iblis yang haus darah.
Dengan kedua belah tangan merah
membara, murid Dewi Tangan Api itu melangkah mendekati Wirogundi dan Anjarweni
yang sudah tiada ber-daya.
Ingkanputri menghentakkan telapak
tangannya ke depan.
Blaaammm...! Pukulan jarak jauh gadis
berpakaian merah itu membentur
kekuatan kasat mata.
Wirogundi dan Anjarweni yang
sudah pasrah menghadapi Dewa Kematian kelihatan terkejut. Ingkanputri men-
dengus marah. Matanya menatap tajam sosok wanita cantik yang telah berdiri di
hadapannya. Wanita yang tak lain Puspita itu mengerling ke arah
Wirogundi. "Bebaskan totokan gadismu itu,"
bisik Puspita. Wirogundi segera menuruti
perintah dewi penolongnya.
Puspita melangkah mundur dua
tindak. Lalu, secepat kilat dia
melancarkan pukulan jarak jauh ke atap lorong. Bebatuan runtuh diiringi suara
menggelegar. Debu tebal menyelimuti.
Bersamaan dengan itu Puspita menggamit lengan Wirogundi dan Anjarweni.
Dibawanya kedua remaja itu berlari ke sebuah lorong sempit. Setelah
berputar-putar, sampailah mereka ke sebuah kolam kecil berair bening
dengan batu-batu cadas di
sekelilingnya. "Kalian ikuti lorong yang berada di bawah kolam itu," kata Puspita.
"Untuk apa?" tanya Wirogundi.
"Bodoh! Apakah kau tidak ingin keluar dari tempat ini"!"
"Oh, ya...," Wirogundi seperti baru saja disadarkan dari keterpa-kuannya.
"Apakah aku harus berenang?"
"Tentu saja."
"Uh! Aku sudah hampir kehabisan tenaga. Bayangkan, selama sepekan aku tak makan
apa pun," keluh Wirogundi.
"Sudahlah, Wiro. Kita ikuti saja petunjuk gadis penolong kita ini,"
Anjarweni segera melerai.
"Bagaimana dengan Ingkanputri?"
"Ah, kasihan dia. Tapi bagaimana lagi" Kita tak bisa hidup di tempat seperti
ini. Tampaknya ucapanmu benar, adik seperguruanku itu berada di bawah pengaruh
kekuatan sihir," desah Anjarweni dengan wajah muram.
"Hei, kenapa kalian hanya
berkata-kata saja"!" sela Puspita.
Anjarweni menatap Puspita dalam-
dalam. "Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Puspita.
"Melihat warna pakaianmu yang
serba merah dan selendang yang
melingkar di pinggangmu, apakah kau anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Tak perlu kau ributkan itu. Yang penting segera kau turuti petunjukku.
Aku tidak punya banyak waktu."
Puspita membalikkan badan hendak
mening-galkan tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!" cegah Anjarweni. "Siapa namamu?"
"Ah, itu juga tak perlu...,"
jawab Puspita. Kemudian, gadis itu melesat pergi menghilang dari tempat itu.
Anjarweni dan Wirogundi saling
berpandangan. "Eh, Wiro...," kata
Anjarweni kemudian. "Kau bisa berenang?"
"Kau?" balas Wirogundi.
"Bisa. Kau tidak bisa, ya?"
Wirogundi tersenyum simpul.
"Kau lupa kalau aku seorang
pengemis, Weni," kata Wirogundi.
"Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup di alam bebas. Jadi, soal berenang bukan
masalah bagiku."
"Tapi untuk menemukan lorong yang dimaksud gadis aneh itu kita mesti menyelam.
Kau juga bisa?"
"Yang menanyakan hal itu
seharusnya aku," Wirogundi jadi kesal juga karena kemampuannya diragukan.
Mendengar perkataan Wirogundi,
Anjarweni mengambil ancang-ancang.
Lalu.... Byuuurrr...! Air kolam yang semula tenang
tiba-tiba bergelombang besar ketika menerima beban tubuh Anjarweni.
Wirogundi segera menyusul.
Mereka menyelam mengitari dasar
kolam yang tak seberapa luas. Setelah menemukan lorong yang dimaksud
Puspita, mereka segera menyusul. Tak lama kemudian Wirogundi dan Anjarweni
menyembul di permukaan sebatang sungai yang berarus tenang. Mereka pun
berenang ke tepian.
* * * 4 Di pinggir sebuah hutan jati
burung-burung terdengar mencicit
ngeri. Mereka terbang berserabutan seperti menyimpan rasa takut yang sangat.


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, suara menggelegar laksana guntur menusuk gendang telinga.
"Apa yang sedang terjadi di
sana?" tanya Suropati dalam hati.
"Mungkinkah ada raksasa sedang mengamuk?"
Sambil menggaruk-garuk kepalanya, remaja konyol itu terus melangkahkan kaki.
Tongkat yang dipegang di tangan kanan terseret hingga membentuk
guratan di permukaan tanah.
Ketika terdengar suara mengge-
legar yang lebih keras, seekor anak harimau tampak berlari melintas di hadapan
Pengemis Binal. Remaja konyol itu bergegas menjejakkan kaki ke
tanah. Tubuhnya melayang lalu mendarat tepat di hadapan anak harimau yang sedang
berlari. "Jangan terkejut, Manis. Aku hanya hendak bertanya kepadamu...,"
kata Suropati sambil membentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalan.
Anak harimau itu menggeram. Cepat badannya dibalikkan seraya hendak berlari.
"Eit! Tuhggu dulu! Kenapa takut"
Aku bukan setan, Goblok!"
Tubuh Suropati melenting dan
menghalangi langkah kaki harimau kecil itu. Dengan tatapan mata nyalang, anak
harimau menggeram marah.
"Lho, kenapa kau cepat naik
darah. Aku hanya hendak bertanya. Di pinggir hutan sebelah sana sedang terjadi
apa?" Tentu saja anak harimau itu tak
bisa menjawab. Dia hanya mengeluarkan geraman marah.
"Eh, rupanya kau sakit gigi, ya"
Mari kuperiksa...."
Suropati berjalan mendekati.
Tapi, anak raja rimba itu menggeram lebih keras, lalu menerkam! Pengemis Binal
berkelit. Dan ketika harimau kecil yang masih diliputi rasa takut itu
menjejakkan kakinya di tanah, dia segera mengambil langkah seribu.
"Uts...! Kau terlalu jual mahal, Kucing Besar!" Kembali Suropati menghalangi
jalan. "Di pinggir hutan sebelah sana sedang terjadi apa?"
tanya remaja konyol itu lagi.
Karena tak mendapat jawaban,
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
Lalu, tubuh remaja konyol itu melayang dan hinggap di punggung anak harimau.
"Kalau kau tidak mau memberi jawaban, tidak apa-apa. Tapi bawa aku ke sana...."
Harimau kecil itu bukannya menu-
ruti perintah Suropati, malah menggeram penuh kemarahan dan berusaha melontarkan
tubuh pemuda yang duduk di atas punggungnya.
Dengan berpegangan di kedua
telinga anak harimau, Suropati tertawa kesenangan.
"Ayo, terus... terus.... Nikmat!
He he he...."
Anak harimau menggeram keras.
Tubuhnya melesat, berlari kencang seperti sedang dikejar setan. Mata Suropati
mendelik. Pemuda itu hendak melompat turun tapi takut jatuh
terjerembab. Karena tak tahu apa yang harus diperbuat, dia berteriak-teriak
seperti orang kehilangan ingatan.
"Hei! Sudah... sudah...!
Hentikan...!"
Teriakan Suropati membahana di
sekitar hutan. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh. Kedua matanya segera dipejamkan sambil memanjatkan doa.
Tiba-tiba anak harimau menghen-
tikan larinya. Suropati menarik napas lega. Perlahan-lahan dia membuka
kelopak matanya. Dan.... Suropati
langsung menjerit ngeri!
Di hadapan Pengemis Binal berdiri seekor harimau besar yang sedang
mendelik marah. Remaja konyol itu segera meloncat ke tanah sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengar-
cengir. "Maaf... maaf, Yang Mulia Raja Peng... eh, Raja Rimba. Aku tadi cuma main-main
dengan anakmu. Habis, anakmu itu lucu, sih."
Suropati kemudian berjalan
mundur, setindak dua tindak sambil menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Setelah dirasa cukup jauh, pemuda itu bergegas lari terbirit-birit....
Sementara itu, di bagian lain di
hutan jati itu sebuah pertempuran sedang berlangsung seru. Suara
menggelegar akibat pukulan jarak jauh berkali-kali terdengar membahana.
"Aku akan segera mengirimmu ke neraka, Maruta!" kata Prahasta atau Tangan
Halilintar. "Sebenarnya di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi, kenapa kau
begitu bernafsu untuk membunuhku?"
Mendengar perkataan Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang, Prahasta tertawa mengejek.
"Alasan bagiku tak begitu
penting...," sahut pemuda brewokan itu. "Demi dewi pujaan hatiku, aku rela
melakukan apa saja."
"Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu!"
"Ratnasarikah?"
Mata Prahasta mendelik, mendengar tebakan Raka Maruta yang tepat.
"Sadarlah, Prahasta...," kata
Pendekar Kipas Terbang, kalem. "Kau sedang berada di bawah pengaruh ilmu
'Asmara Penggoda'."
"Ha ha ha...!" Tangan Halilintar tertawa terbahak-bahak. "Aku memang sedang
tergoda asmara, Maruta. Dan untuk mewujudkan segala impianku, sebaiknya kau
serahkan kepalamu!"
Raka Maruta menatap wajah
Prahasta dengan tatapan penuh belas kasihan. "Sadarlah, Prahasta," ucapnya
lembut. Tangan Halilintar tak
mempedulikan peringatan itu. Dia menggeram keras lalu menyorongkan telapak tangannya ke depan.
Wuuusss...! Serangkum angin pukulan menerpa.
Pendekar Kipas Terbang meloncat ke samping. Akibatnya, permukaan tanah tempat
pukulan itu mendarat berlubang besar. Batu dan kerikil berhamburan.
Debu mengepul hitam. Lubang yang
menganga lebar pada sisi-sisinya
berwarna hitam seperti habis tersambar lidah petir.
Prahasta terus mencecar Raka
Maruta dengan 'Pukulan Halilintar'-
nya. Melihat kehebatan lawan yang begitu bernafsu untuk membunuhnya, Pendekar
Kipas Terbang tanpa sungkan-sungkan lagi segera mengeluarkan jurus andalannya.
Jurus yang membuatnya begitu terkenal, yakni jurus 'Kipas
Terbang Membelah Angin'.
Pertempuran berlangsung semakin
seru. Diiringi suara menggelegar yang memekakkan telinga, kipas di tangan Raka
Maruta mendesing-desing tak kalah hebatnya. Tak jauh dari arena
pertempuran sepasang mata tampak
mengawasi. Sosok itu berlindung di balik semak belukar yang tumbuh di sela-sela
pohon jati. "Wuih, hebat...!" puji si pengintip yang tak lain Suropati.
"Kipas pemuda berbaju kuning itu seperti bernyawa saja. Walaupun lawan mempunyai
ilmu pukulan yang dahsyat, dia dapat mengimbanginya."
Bersamaan dengan usainya kalimat
Suropati, kipas Raka Maruta berkelebat cepat.
Breeettt...! Prahasta melompat jauh sambil
mendekap kulit dadanya yang robek lebar. Darah segar merembes dari sela jari
pemuda brewokan itu.
"Keparat!" umpat Prahasta, geram.
"Bukan maksudku untuk melukaimu, Prahasta. Tapi, aku mesti membela diri dari
gempuranmu yang membabi buta,"
kata Pendekar Kipas Terbang untuk membela diri.
"Tak perlu banyak bacot! Aku akan membalas hinaanmu!"
Dengan secepat kilat tubuh Tangan Halilintar meluncur. Kedua tangannya
terulur lurus ke depan mengarah dada Pendekar Kipas Terbang. Raka Maruta
bergegas meloncat ke samping seraya melancarkan sebuah tendangan
melingkar. Des...! Tendangan itu tertangkis tangan
kanan Prahasta. Raka Maruta merasakan kakinya kesemutan. Tubuh pendekar berwajah
lembut itu jadi limbung.
Kesempatan ini tak disia-siakan
Tangan Halilintar. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya, dia
melontarkan pukulan jarak jauh. Raka Maruta yang tak mempunyai kesempatan untuk
menghindar segera mengibaskan kipas di tangannya.
Blaaarrr...! Suara menggelegar membahana di
angkasa. Tubuh Prahasta terlempar dua tombak. Karena kedudukannya yang tidak
menguntungkan, tubuh Raka Maruta
terhempas lebih jauh dan jatuh
bergulingan di tanah.
"Ha ha ha...."
Diiringi suara tawa yang
mendirikan bulu roma, tubuh Tangan Halilintar kembali meluncur ke arah Raka
Maruta yang tampak belum siap untuk menerima serangan. Suropati yang melihat
adegan itu jadi
bergidik ngeri. Sraaartt...! "Arghhh...!"
Tubuh Prahasta sesaat tertahan di udara. Lalu, jatuh berdebam di tanah.
Bersamaan dengan itu kepalanya lepas dari tubuh dan menggelinding jauh.
Rupanya, dalam keadaan terdesak
Raka Maruta masih sempat melontarkan kipas terbangnya. Tangan Halilintar yang
tak menduga datangnya serangan hanya dapat mendelik tanpa mampu untuk
menghindar. Akibatnya, leher pemuda brewokan itu terbabat!
Ketika mendengar suara jeritan,
Suropati menyebut asma Tuhan.
Perlahan-lahan kemudian dia membuka kelopak matanya yang tadi dipejamkan.
Remaja konyol itu terkejut bukan main menyaksikan tubuh Tangan Halilintar
tergeletak tanpa kepala lagi.
Keterkejutan Suropati semakin menjadi tatkala di hadapannya terpentang
sepasang kaki yang tampak begitu
kokoh. "Kenapa kau mengintipku?" Terdengar sebuah suara. Suropati menggaruk-garuk
kepala mendengar pertanyaan itu.
"Eh, bukankah kau Pengemis Binal?"
"Kau mengenalku" Aku memang sudah terkenal. He he he...," ujar Suropati seraya
bangkit dari berjongkoknya.
"Aku pun mengenalmu. Bukankah kau Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang?"
Tiba-tiba Raka Maruta meloncat
mundur. "Apakah kau juga ingin membunuhku?" tanyanya dengan pandangan
nanar. "Eh, kau kenapa" Siapa yang mau membunuhmu?"
"Kau tidak terpengaruh oleh
kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'?"
Suropati menggelengkan kepalanya
kuat-kuat. "Memangnya kenapa?"
"Semua tokoh muda yang kujumpai selalu berusaha untuk membunuhku."
"Oh, begitu. Mereka semua berada dalam pengaruh ilmu iblis yang
dilancarkan Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar," jelas Suropati.
"Aku sudah tahu."
"Kenapa kau tidak ikut
terpengaruh?"
Raka Maruta menatap tajam wajah
Suropati. "Apakah kau benar-benar bukan utusan wanita cantik itu?" tanya pendekar berwajah
lembut ini dengan ragu.
"Demi Tuhan, bukan!"
"Kau mempunyai ilmu penangkal?"
"Kau sendiri?"
"Aku mewarisi ilmu leluhurku yang bernama ilmu 'Hati Suci'. Ilmu itu membuatku
kebal dari segala pengaruh kekuatan jahat."
"Hebat!" puji Suropati. "Tapi ilmu penangkalku agak aneh. Namanya ilmu 'Hati
Ayam'! He he he...."
"Hus! Ini bukan saatnya untuk
bercanda!" bentak Raka Maruta dengan mata melotot.
"Kenapa Ratnasari tidak
mempengaruhi tokoh-tokoh tua dengan ilmu iblisnya itu?" Suropati termenung. Dia
baru menyadari keanehan tindakan Ratnasari.
"Entahlah...."
"Bodoh! Karena mereka sudah loyo.
Tak mampu bergelut sampai tiga ronde.
He he he...!" ucap Suropati dengan konyolnya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa bertanya?"
Suropati hanya menggaruk-garuk
kepalanya. "Mulai saat ini sebaiknya kita saling bahu-membahu untuk menghentikan tindakan
wanita itu," usul Pendekar Kipas Terbang kemudian.
"Huh! Keenakan kau!" tolak Suropati buru-buru.
"Kenapa?"
"Gadis-gadis cantik yang
menggemariku banyak. Kalau kau selalu bersamaku, aku takut mereka akan
berpaling kepadamu."
Mendengar perkataan Suropati,
Pendekar Kipas Terbang tersenyum
simpul. "Aku bukan lelaki hidung belang," katanya.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kita tidak bisa terus berdiam diri.
Tindakan Ratnasari harus segera
dihentikan."
"Benar. Kita serbu sarangnya!"
sambut Raka Maruta penuh semangat.
"Kau tahu tempatnya?" tanya Suropati dengan tak kalah tertariknya.
"Tidak."
"Bodoh! Kalau kau tidak tahu kenapa kau berkata mau menyerbu
sarangnya?" Suropati jadi kecewa mendengar jawaban Raka Maruta.
"Kita bisa mencarinya."
"Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar tentu ada hubungannya dengan Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah.
Kalau sarang perkumpulan itu, atau tahu..,."
"Kita masuk ke sana!"
Suropati menggelengkan kepalanya.
"Jangan! Itu sama saja dengan mencari mati."
"Kenapa?"
"Sarang perkumpulan itu di lorong bawah tanah yang berliku-liku dan penuh
jebakan. Sebaiknya kita pancing saja Bidadari Bunga Mawar itu untuk keluar."
"Bagaimana caranya?"
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Wajah pemuda itu kelihatan tegang. Rupanya dia sedang mencari cara


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melaksanakan rencananya.
* * * Lewat bola kristal ajaibnya
Ratnasari tahu kalau Raka Maruta belum mati. Semua tokoh muda tingkat atas yang
berada di bawah pengaruh ilmu setannya gagal melaksanakan perin-tahnya.
Kemarahan Ratnasari benar-benar
tak dapat dibendung lagi. Darahnya mendidih bagai digodok di atas tungku api
neraka. Apalagi ketika dia tahu Suropati pun kebal terhadap pengaruh sihir ilmu
'Asmara Penggoda'. Bahkan, dua tokoh muda berilmu tinggi itu telah bersepakat
untuk menghentikan tindakannya.
Dengusan yang keluar dari hidung
Ratnasari begitu keras. Geraham
Bidadari Bunga Mawar itu
bergemeletukan. Sinar matanya menyala-nyala, membuat kecantikan wajahnya
memudar. Braaakkk...! Ratnasari menendang meja di
hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Bola kristal yang berada di atasnya
terlempar deras. Tapi,
luncuran benda ajaib itu tiba-tiba berhenti di udara, lalu melayang ke arah
Ratnasari. Bola kristal itu
hinggap di atas telapak tangannya yang tengadah.
Bidadari Bunga Mawar memandang
bola kristal ajaibnya dengan tatapan aneh. Tiba-tiba... dengan meninggalkan
bunyi letupan cukup keras dan asap tipis kehitaman, benda bulat kuning seperti
kaca itu lenyap.
"Kalian jangan gembira dulu...,"
rungut Ratnasari. "Aku akan merejam tubuh kalian menjadi serpihan daging
cincang. Sukma kalian akan kuper-sembahkan kepada setan untuk dijadikan budak!"
Seorang pemuda berpakaian serba
hijau datang menghadap Ratnasari.
"Kenapa kau kemari, Jenar?" tanya Ratnasari dengan tatapan mata penuh selidik.
"Aku mendengar suaramu yang
merdu, Sari. Tiba-tiba timbul hasratku untuk menemuimu," jawab Sawung Jenar atau
Iblis Selaksa Ular.
"Apa perlumu?"
"Aku merindukan kehangatan
cintamu...."
Mendengar ucapan Sawung Jenar,
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
"Walau wajahmu tidak tampan, tapi kau sungguh hebat, Jenar. Hal itu yang
membuatku suka."
Sawung Jenar tersenyum. Matanya
mengerling penuh arti. Pemuda itu segera menghambur ke arah Ratnasari.
"Eit! Tunggu dulu!"
Wanita cantik itu menghindar.
Sawung Jenar terdengar mendengus
gusar. "Kau tahu Raka Maruta dan
Suropati, Jenar?" tanya Ratnasari.
"Kenapa?"
"Kau harus mampu mempersembahkan darah mereka untukku."
Iblis Selaksa Ular tertawa.
"Apa susahnya membunuh mereka, Sari," kata pemuda berkulit kasar seperti sisik
ular itu. "Kau yakin bisa melakukannya?"
"Kenapa tidak?"
Ratnasari membentangkan kedua
tangannya. Kemudian, dengan kekuatan penuh
dia mendorongnya ke depan.
Sawung Jenar yang tak menduga akan datangnya serangan, tak bisa
menghindar. Dadanya terhantam dengan telak.
Brooolll...! Tubuh pemuda berkulit kasar itu
terhempas dan membentur dinding
setebal satu depa hingga jebol!
Bumi berguncang. Atap ruangan
seperti hendak runtuh. Ratnasari
menatap tubuh Iblis Selaksa Ular yang terbujur kaku tertindih puing-puing
reruntuhan. "Aku tak butuh orang bermulut bes..., eh..."!"
Ucapan wanita cantik itu
terhenti. Tubuh Sawung Jenar tampak bergerak-gerak, lalu bangkit berdiri.
"Kenapa kau memukulku, Sari?"
tanya Iblis Selaksa Ular sambil
rpemegang bajunya yang hangus terbakar
pada bagian dada.
"Kau... kau tidak mati"!"
Bidadari Bunga Mawar kelihatan
terkejut bukan main.
"Ha ha ha...!" Suara Sawung Jenar menggema. "Kau belum menjawab pertanyaanku.
Sari. Kenapa kau
memukulku?"
"Aku hendak menguji sampai di mana tingkat kepandaian yang kau
miliki," dusta Ratnasari.
"Untuk apa?"
"Raka Maruta dan Suropati bukan tokoh sembarangan. Untuk menaklukkan mereka
dibutuhkan manusia yang benar-benar pilih tanding."
"Jadi kau meragukan kemampuanku?"
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu mempersoalkan itu," Ratnasari berusaha mengelakkan
percakapan. Wanita itu lalu memejamkan matanya. Wajahnya ditengadahkan. "Peluk
aku, Jenar...,"
bisik Ratnasari, manja.
Iblis Selaksa Ular yang berada
dalam pengaruh ilmu 'Asmara Penggoda'
melihat sosok Ratnasari bagai seorang bidadari turun dari kahyangan. Dengan
penuh nafsu dia pun menerkam.
Digumulinya wanita cantik itu.
Ratnasari mengerang. Sawung Jenar semakin ganas. Tubuh wanita cantik yang berada
dalam pelukannya itu
dihempas-hempaskan ke lantai.
Mendadak, Ratnasari melepaskan pelu-
kannya. Tubuh dua anak manusia itu pun
bergulat, dan lebur dalam desakan nafsu yang menggelora. Hingga sampai beberapa
lama. "Eh, kau kenapa. Sari?" tanya Iblis Selaksa Ular sambil berusaha memeluk tubuh
Ratnasari kembali.
"Cukup, Jenar. Aku harus
melakukan sesuatu."
"Apa?"
"Kau tak perlu tahu."
Sawung Jenar melompat. Diraihnya
tubuh Bidadari Bunga Mawar. Tapi, wanita cantik itu menghindar.
"Sari, mari kita lanjutkan
permainan tadi, Aku belum selesai...."
"Tidak! Besok masih ada waktu,"
kata Ratnasari seperti menyimpan
kekhawatiran. Iblis Selaksa Ular tidak peduli.
Ditariknya tubuh wanita cantik itu ke lantai. Lalu, diciuminya dengan ganas.
Bidadari Bunga Mawar berusaha
melepas pelukan pemuda yang sudah kerasukan setan itu. Tenaga Sawung Jenar
begitu kuat. Mau tak mau Ratnasari mesti mengerahkan tenaga dalam.
Akibatnya.... Blaaarrr...! Tubuh Iblis Selaksa Ular
terlontar. Namun, dengan geraman
pendek dia bangkit dan kembali menerkam.
Plak...! Pipi pemuda berkulit kasar itu
terkena tamparan Ratnasari. Kalau saja bukan Sawung Jenar, kepalanya tentu akan
remuk terkena tamparan yang
berlambarkan kekuatan tenaga dalam itu.
Iblis Selaksa Ular tetap nekat.
Dia kembali menerkam bagai seekor harimau kelaparan. Dan, Ratnasari yang tak
sempat berkelit segera menerima dekapan Sawung Jenar. Dengan napas memburu,
Iblis Selaksa Ular meng-hempas-hempaskan tubuh wanita cantik itu. Bidadari Bunga
Mawar meronta-ronta sekuat tenaga.
Sawung Jenar jadi terkejut
setengah mati ketika merasakan kulit halus Ratnasari berubah kasar dan keriput.
Tanpa sadar dia meloncat ke belakang. Matanya bersinar nyalang menatap sosok
Bidadari Bunga Mawar.
Ratnasari tiba-tiba berubah wujud menjadi nenek berwajah menyeramkan.
"Kau... kau...," Iblis Selaksa Ular gelagapan.
"Bangsat kau, Jenar!" umpat Ratnasari. Suara yang keluar dari mulutnya bagai
suara iblis penunggu kuburan.
"Kau... kau Ratnasari?"
Pertanyaan Sawung Jenar tak
mendapat jawaban. Tubuh Bidadari Bunga Mawar telah lenyap dari pandangannya.
Di depan sebuah kolam berair
jernih yang pada sisi-sisinya berhias patung wanita cantik berwarna merah, Sekar
Mayang terkejut melihat
kedatangan Ratnasari yang telah
berubah wujud. "Aku lupa bila malam ini adalah malam bulan purnama," kata Bidadari Bunga Mawar.
"Cepat kau siapkan upacara pemulihanku kembali, Mayang."
"Sejak tadi telah hamba
persiapkan, Ketua Pertama," beritahu Sekar Mayang.
"Kalau begitu, cepat laksanakan upacara pemulihanku itu!"
Sekar Mayang yang telah duduk
bersimpuh mengangkat kedua pergelangan tangannya. Perlahan-lahan tujuh tubuh
gadis yang terbujur kaku di hadapannya melayang ke atas kolom. Dilubanginya dahi
ketujuh gadis korban itu. Dari sana menguncur darah segar yang
memerahkan warna air kolam.
Wuuusss...! Bruuukkk...! Tubuh gadis-gadis malang yang
telah terkuras darahnya itu kembali melayang, dan membentur dinding dengan
derasnya. Tak terdengar suara jeritan.
Ratnasari segera meloncat masuk
ke dalam kolam. Cahaya rembulan yang menyorot dari jendela batu
memperlihatkan permukaan air kolam yang bergolak. Lalu, berputar-putar
dan membentuk pusaran. Tak lama
kemudian, tubuh Ratnasari menyembul keluar dari kolam dengan wujud yang telah
kembali sempurna.
"Ha ha ha...!"
Tawa wanita cantik pemuja setan
itu menggema tiada henti. Cerminan rasa puas yang menghentak....
* * * 5 Bukit Pangalasan tersiram cahaya
mentari pagi. Kabut telah hilang dari pandangan. Angin yang bertiup meng-
goyangkan ranting-ranting pohon.
Rerumputan tersenyum menyambut hari yang telah berganti.
Carang Gati berlari cepat menaiki bukit. Keringat membanjiri tubuhnya.
Wajah pemuda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu mencer-minkan kekalutan yang sangat.
"Kakek Gede...! Kakek Gede...!"
teriak Carang Gati ketika langkah kakinya telah sampai dekat tempat tinggal
mereka. "Ada apa, Gati?" tanya Gede Panjalu. Disambutnya kedatangan pemuda bertubuh
kurus itu. "Bahaya...
bahaya.,.. Sebaiknya
kita mengungsi!"
"Hah"! Apa katamu?"
"Di lereng bukit sana...," Carang Gati menudingkan jari telunjuknya.
"Ada apa?" tanya Gede Panjalu, heran. "Sebaiknya kau tenangkan dulu pikiranmu,
Gati." Carang Gati menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Pemuda itu berusaha menenangkan
dirinya. "Bahaya, Kakek Gede...,"
katanya kemudian dengan sinar mata masih me-nyimpan kekalutan.
"Kau jangan membingungkan orang, Gati. Katakan yang jelas. Apa yang hendak kau
sampaikan?"
"Perkumpulan Pengemis Baju Hitam hendak menyerbu kemari...."
"Hah"!" Gede Panjalu tercengang.
"Jumlah mereka sekitar lima ratus orang," lapor Carang Gati.
"Benar katamu itu, Gati?"
Carang Gati menganggukkan
kepalanya dengan past! Gede Panjalu segera mengeluarkan desahan panjang.
"Kita tak pernah berurusan dengan mereka...," kata kakek bongkok itu.
"Apakah pertempuran kecil antara kau dengan Juwing Balangan di pasar itu telah
menyulut api permusuhan yang sedemikian hebat?"
Seorang pemuda bertubuh agak
pendek berlari mendekati. Gede Panjalu menatap kehadiran Katabang dengan tatapan
penuh tanda tanya.
"Ada apa, Katabang?" tanya kakek
bongkok itu. "Perkumpulan Bidadari Lentera Merah menyerbu kemari," beritahu Katabang dengan
napas agak memburu.
Untuk kedua kalinya Gede Panjalu
dihantam keterkejutan yang luar biasa.
Mata kakek bongkok itu sampai
mendelik. "Berapa jumlah mereka?"
"Sekitar seratus orang," jawab Katabang.
Gede Panjalu mendengus gusar.
"Apa maksud dua perkumpulan itu menyerbu kemari?" gumamnya. "Mereka sepertinya
telah bersekongkol untuk memusnahkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
"Sebaiknya kita segera mengungsi, Kek...," usul Carang Gati. "Jumlah anggota
perkumpulan kita yang sekarang berada di sini tak cukup untuk
menghadapi mereka."
Gede Panjalu menatap tajam Carang Gati yang diliputi rasa takut.
"Kau mengungsilah bersama para wanita dan anak-anak. Lewat jalur utara agar
lebih cepat mencapai Kota Kadipaten Bumiraksa. Di sana terserah apa yang akan
kalian lakukan."
"Lalu, Kakek sendiri?"
"Aku akan menanti kehadiran
mereka." "Kalau begitu, aku tidak jadi mengungsi. Kita lawan mereka!" Carang
Gati menolak usul Gede Panjalu.
"Jangan bodoh! Jumlah anggota perkumpulan kita sekarang hanya
sekitar tiga ratus orang. Itu sudah termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua.
Seperti yang kau katakan, kita tak mungkin melawan mereka. Sebaiknya kalian
memang harus mengungsi."
"Tidak! Aku akan bersamamu, Kek!"


Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Carang Gati tetap bersikeras dengan keinginannya.
"Benar, Kek. Kita harus membela kehormatan," timpal Katabang.
Gede Panjalu menatap wajah mereka berdua bergantian. Perhatiannya segera
dialihkan ketika melihat kilatan
cahaya berpendar di angkasa. Lalu, disusul dengan suara halilintar
membahana. Awan tebal berarak cepat menutupi mentari. Rintik-rintik hujan mulai
turun membasahi bumi.
"Terima kasih, Tuhan...," gumam Gede Panjalu sambil menatap cuaca di sekitar
bukit yang berubah gelap.
Carang Gati dan Katibang saling
berpandangan. Kemudian, ditatapnya wajah Gede Panjalu bersamaan.
"Tuhan Yang Maha Agung sedang menunjukkan kekuasaan-Nya...," kata kakek bongkok
itu lirih. "Untuk sementar waktu, orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam
dan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah tak akan dapat melanjutkan perjalanan
mereka." "Mudah-mudahan hujan turun cukup lama agar kita bisa mengumpulkan bala
bantuan...," harap Carang Gati.
"Izinkan aku untuk turun, Kek."
"Untuk apa?"
"Mengumpulkan teman-teman yang berada di Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Aku akan ke Kadipaten Tanah Loh," sahut Katabang.
Terdengar suara halilintar
menggelegar lebih keras. Hujan pun turun semakin deras.
"Izinkan aku, Kek...," kata Carang Gati dan Katabang hampir
bersamaan. Mau tak mau Gede Panjalu akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati...," pesan kakek bongkok itu sambil mengusap air hujan yang membasahi
wajah. Mendengar ucapan sesepuh Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu, Carang Gati dan Katabang segera
berlari menuruni bukit. Mereka berdua sudah sangat paham pada medan di
sekitar bukit itu. Permukaan tanah yang berubah licin tak begitu
menyulitkan langkah mereka.
Sernentara itu, Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam yang dipimpin seorang tokoh beraliran hitam, yang bernama
Banyak Jalamprang atau
Pengemis Baju Hitam, sedang menaiki
Bukit Pangalasan dari jalur timur.
Mereka berserabutan mencari tempat bernaung di bawah pohon-pohon besar agak
terhindar dari siraman air hujan yang turun begitu deras.
"Juwing Balangan!" panggil Banyak Jalamprang pada anak buahnya yang berlindung
tak jauh dari tempatnya.
"Ya, Ketua!" jawab pemuda bertubuh tinggi besar yang berjuluk Pengemis Gajah
itu. Tangan kanannya memegang umbul-umbul hitam yang
bergambar tengkorak tertusuk dua
tongkat menyilang.
"Kau larilah ke selatan. Katakan kepada Sekara Mayang bahwa teman-teman di sini
tak dapat melanjutkan
perjalanan. Sampaikan pula bila hujan tak segera berhenti, kita akan nekat!"
Setelah menyerahkan umbul-umbul
pada temannya, Juwing Balangan
membungkukkan badan dan segera berlalu menyibak air hujan. Berkali-kali
pemuda bertubuh tinggi besar itu jatuh terpeleset. Suara halilintar yang
menyambar-nyambar sedikit membuatnya giris. Tapi karena tekadnya yang bulat
untuk menyampaikan amanat ketuanya, akhirnya Juwing Balangan dapat menemui Sekar
Mayang. Wanita cantik yang bergelar
Bidadari Lentera Merah itu mengerutkan kening setelah menerima pesan yang
disampaikan Pengemis Gajah.
"Kau segeralah kembali menghadap ketuamu. Bila hujan tak segera
berhenti, jangan nekat. Itu sangat berbahaya...," kata Sekar Mayang.
"Hujan yang turun ini tidak wajar. Aku akan menghubungi Ketua Pertama.
Katakan kepada ketuamu, jangan bertindak gegabah. Tunggulah sampai ada perintah
dariku." "Baik, Ketua Mayang."
Juwing Balangan Membungkukkan
badan. Pemuda itu kemudian berlalu dengan cepat. Sekar Mayang menatap wajah Kapi
Anggara yang berdiri di sampingnya.
"Sebaiknya kau mengatur orang-orang kita, Anggara," pinta wanita cantik itu.
"Ah, kukira mereka bisa mengatur diri sendiri...," tolak si Pendekar Asmara
seraya menatap Sekar Mayang penuh arti. "Untuk menunggu hujan berhenti aku ingin
bercumbu denganmu, Mayang."
"Gila! Tenda ini bisa roboh!"
"Tidak! Aku akan bersikap
lembut." "Ah, sudahlah. Kalau kau tidak mau mengatur orang-orang kita, tak apa. Tapi
jangan berbuat yang macam-macam. Dengan musnahnya Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti, jalan mulus akan aku dapatkan untuk mewujudkan cita-citaku. Untuk itu,
kau jangan berbuat sesuatu yang akan menggagalkan rencana Ketua Pertama, Anggara."
"Aku heran, Mayang. Kenapa kita tidak langsung saja menggempur istana"
Toh, seluruh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah yang kau pimpin rata-rata berilmu tinggi. Apalagi dibantu
oleh Banyak Jalamprang."
"Goblok!"
Mata Kapi Anggara mendelik
mendengar makian Sekar Mayang.
"Kenapa kau berkata kasar seperti itu, Mayang?" kata pemuda tampan berambut
pirang itu. "Oh, maaf, Anggara. Rupanya aku sudah terbiasa memaki anak buahku dengan kata
Misteri Lukisan Tengkorak 3 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Kaki Tiga Menjangan 34
^