Pencarian

Bidadari Lentera Merah 1

Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Bagian 1


BIDADARI LENTERA MERAH Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa
izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal
Dalam episode 003 :
Bidadari Lentera Merah
128 hal. Http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Malam itu di Kota Kadipaten Tanah Loh semua orang larut dalam kegembiraan. Suara
tepuk tangan dan teriakan kegembiraan menyemarakkan suasana.
Semua orang, besar kecil, tua muda, lelaki perempuan berdiri di halaman rumah.
Mereka menyaksikan atraksi yang dipertunjukkan Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. Perkumpulan yang beranggotakan
wanita-wanita cantik itu melakukan perjalanan keliling Kota Kadipaten Tanah Loh.
Dua puluh lima orang wanita berpakaian serba merah tampak berjalan perlahan
sambil mengulum senyum di bibir. Kedua tangan mereka memegang sehelai kain merah
yang diputar hingga menyerupai kitiran. Gerakan mereka terlihat seirama.
Di atas bahu wanita-wanita cantik itu berdiri para wanita berpakaian merah
lainnya Tangan kanan mereka memegang sebuah lentera berkerudung merah. Lentera
itu bertuliskan nama perkumpulan mereka. Dari balik kerudung lentera sesekali
keluar pijaran bunga api.
Sementara itu, tangan kiri mereka menggenggam sebuah kebutan yang juga berwarna
merah. Bulu-bulu kebutan itu berputar membentuk lingkaran. Sesekali dilontarkan
ke atas dalam keadaan
masih berputar. Sorak-sorai membahana apabila kebutan yang terlontar itu
tertahan di udara untuk beberapa lama.
Di belakang barisan itu, sebuah
kerudung besar berwarna merah tampak melayang. Kerudung besar itu bentuknya
mirip kuncup kelopak bunga mawar. Di dalamnya terdapat seorang wanita berwajah
sangat cantik. Matanya indah berbinar. Bila mengerjap, keindahannya tampak
mempesona bak bintang kejora.
Hidungnya mancung, menghiasi kulit wajahnya yang putih dan bersemu merah pada
kedua pipi. Bibirnya tipis basah dan selalu menampakkan senyum manis.
Rambutnya hitam panjang. Rambut itu digelung ke atas dengan diikat oleh kain
sutera merah dan tusuk konde emas. Seperti wanita-wanita yang berbaris di
depannya, wanita ini pun berpakaian serba merah.
Dia adalah Sekar Mayang atau
Bidadari Lentera Merah, ketua
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Setiap Sekar Mayang menggerakkan
tubuhnya, kerudung kuncup bunga mawar yang ditumpanginya akan mengangkasa
semakin tinggi. Sesekali melesat ke depan melewati barisan anak buahnya.
Sorak-sorai terdengar semakin
keras ketika kerudung kuncup bunga mawar itu berputar cepat di angkasa.
Bersamaan dengan itu, bunga aneka warna yang beraroma harum berjatuhan
menyerupai hujan bunga. Semua mata memandang dengan penuh rasa kagum.
Suara decak berulangkali dikeluarkan.
Tepukan tangan dan sorak-sorai meng-gambarkan rasa takjub yang tiada habisnya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang
melihat atraksi Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dari tingkat atas sebuah
penginapan, juga menampakkan keka-gumannya.
"Siapa mereka, Kak Weni?" tanya Ingkanputri.
"Kau bisa baca sendiri dari tulisan yang terdapat pada kerudung lentera mereka,"
jawab Anjarweni.
"Bukan itu maksudku. Mereka berasal dari golongan mana?"
"Aku tak tahu. Tapi, kedatangan mereka ke Kota Kadipaten Tanah Loh ini
sepertinya sengaja untuk memamerkan kepandaian."
"Untuk apa?"
"Pertanyaan itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku."
"Dulu, ketika ayahku masih hidup beliau pernah bercerita tentang Perkumpulan
Bidadari Bunga Mawar. Apakah mereka ada hubungannya dengan perkumpulan itu?"
Anjarweni tak menjawab pertanyaan Ingkanputri. Gadis berusia dua puluh tahunan
itu tampak berpikir keras.
"Bagaimana cerita Guru tentang
Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar?"
tanya Anjarweni. Dia menyebut ayah Ingkanputri dengan sebutan guru.
Karena, ayah Ingkanputri memang bekas guru Anjarweni ketika dia menuntut ilmu di
Perguruan Harimau Terbang.
"Menurut cerita Ayah, perkumpulan itu beraliran sesat. Walaupun ang-gotanya
wanita-wanita cantik, tapi sepak terjang mereka di luar batas kemanusiaan.
Mereka sangat suka pada pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan pelampiasan nafsu
birahi. Apabila pemuda-pemuda itu dianggap sudah tidak berguna lagi, tanpa
segan-segan mereka akan membunuhnya."
"Apakah Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar itu sekarang masih ada?"
tanya Anjarweni.
Ingkanputri menggelengkan kepala.
"Sudah tidak ada" Kenapa?"
"Tak satu pun
tokoh rimba persiiatan yang tahu. Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar menghilang bagai ditelan
bumi." "Apakah Guru pernah bercerita tentang suatu peristiwa yang mungkin menjadi latar
belakang hilangnya perkumpulan itu?"
Mendengar pertanyaan kakak
seperguruannya, dahi Ingkanputri jadi berkerut. Gadis berusia sembilan belas
tahun itu tampak sedang mengumpulkan ingatannya.
"Oya, aku ingat...!"
Anjarweni menatap adik seper-
guruannya dengan penuh minat.
"Bagaimana ceritanya?"
"Pada masa itu Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar diketuai seorang wanita yang
memiliki kepandaian sangat tinggi. Wanita itu bernama Ratnasari Dia memakai
gelar Bidadari Bunga Mawar, sesuai dengan nama perkumpulannya."
"Lalu...."
"Anggotanya sangat banyak. Mereka semua wanita-wanita cantik yang haus kasih
sayang lelaki. Seperti yang kukatakan tadi, lelaki itu akan
dibunuh apabila dipandang sudah tidak berguna lagi. Dari sekian banyak lelaki
yang bernasib malang itu
terdapat seorang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga...."
"Kemudian timbul permusuhan antara Perkumpulan
Bidadari Bunga Mawar dengan Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga, begitu?" Anjarweni menyela.
Ingkanputri mengangguk pelan.
"Terjadi pertempuran besar-
besaran?" "Tidak," jawab Ingkanputri.
"Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga
yang dipimpin Datuk Risanwari sedang menghadapi masalah yang lebih pelik."
Masalah apa?" desak Anjarweni.
"Pihak kerajaan memusuhi mereka."
"Lalu, apa hubungannya masalah yang dihadapi Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga
dengan menghilangnya Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar?"
"Kau tampak begitu bernafsu ingin mengetahui riwayat Perkumpulan Bidadari Bunga
Mawar, Kak Weni?" ujar Ingkanputri dengan tersenyum geli.
Tapi, tiba-tiba bola mata
Ingkanputri melebar. Tatapannya
diarahkan ke luar jendela. "Lihat itu, Kak Weni...!"
Anjarweni segera menuruti
perintah adik seperguruannya. Matanya memandang ke jalan kota kadipaten.
Decak kagum pun seketika keluar dari mulutnya.
Barisan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah menunjukkan atraksi yang lebih hebat. Wanita-wanita cantik yang
memanggul temannya tampak melayang di udara. Telapak kakinya sama sekali tak
menyentuh permukaan tanah. Dengan diiringi deru angin keras, tubuh mereka
berputar cepat laksana baling-baling merah. Kerudung kuncup bunga mawar yang
membawa ketua perkumpulan itu meluncur ke atas salah satu
baling-baling merah. Ketika kerudung itu hampir menyentuh putaran tubuh anak
buahnya, tiba-tiba meluncur kembali menuju ke atas baling-baling merah lainnya.
Hal demikian terus berulang
sampai seluruh baling-baling merah ciptaan putaran tubuh anak buahnya didekati.
Akhirnya, kerudung kuncup bunga mawar itu berputar di angkasa seraya
mengeluarkan hujan bunga.
Semerbak harumnya menyebar mengelus hidung.
Tiba-tiba, dari dalam kerudung
meluncur empat selendang panjang berwarna merah. Selendang itu meliuk-liuk,
mempertunjukkan sebuah tarian yang indah.
Sorak-sorai terdengar semakin
keras. Ratusan pasang mata memandang tanpa berkedip. Rasa kagum pun
memuncak. "Ilmu mereka sangat tinggi...,"
gumam Anjarweni sambil memperhatikan kepergian barisan Bidadari Lentera Merah
yang melanjutkan perjalanannya.
"Kau sedang memikirkan apa, Kak Weni?" tanya Ingkanputri.
"Ah, aku tak bisa membayangkan apabila Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu
beraliran sesat. Betapa sulit untuk menghancurkannya."
Ingkanputri menatap tajam wajah kakak seperguruannya. "Kita tak perlu berpikiran
yang macam-macam. Toh, selama kemunculan perkumpulan itu, mereka tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berbuat jahat..."
"Untuk saat ini mereka belum
menunjukkan perbuatan yang mengarah ke situ. Tapi aku yakin, pada saatnya nanti
mereka akan membuka kedoknya!"
"Sudah, Kak Weni. Aku tidak mau membicarakan hal itu. Sebaiknya kita segera
beristirahat. Besok pagi-pagi sekali
kita harus melanjutkan
perjalanan," kata Ingkanputri kemudian menutup daun jendela
"Kau belum melanjutkan ceritamu tentang Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar,
Putri...," ujar Anjarweni seraya mendekati Ingkanputri yang sudah merebahkan
diri di pembaringan.
"Ayolah, Putri. Bukankah kau telah berjanji akan melanjutkan ceritamu?"
Anjarweni lalu meletakkan
pantatnya di tepi pembaringan.
"Kenapa kau begitu bernafsu untuk mengetahui cerita tentang perkumpulan itu, Kak
Weni?" "Firasatku mengatakan kalau Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar mempunyai hubungan
dengan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Tidak kah kau lihat kerudung besar
yang menunjukkan atraksi itu" Bentuknya mirip kuncup bunga mawar. Lagi pula,
kemunculan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah bersamaan waktunya dengan semakin
berkembangnya Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...."
Ingkanputri merasakan kebenaran
ucapan kakak seperguruannya.
"Menurut cerita Guru, setelah Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga yang dipimpin
Datuk Risanwari dapat
dibubarkan oleh kerajaan, bagaimana keadaan Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar"
Apakah perkumpulan itu
berkembang semakin pesat?"
Ingkanputri menarik napas
panjang. "Justru sebaliknya, Kak Weni," katanya sambil memandang langit-langit
kamar penginapan "Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar pun ikut bubar setelah
Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga dibubarkan."
"Aneh...,"
gumam Anjarweni.
"Dengan bubarnya Perkumpulan Pengemis Tongkat
Naga, bukankah hal itu
merupakan suatu kesempatan bagi Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar untuk semakin
memperbesar kekuatan" Tapi, kenapa perkumpulan itu malah ikut bubar?"
Ingkanputri membisu. Matanya
menerawang. Coba dicernanya ucapan Anjarweni.
"Ke manakah perginya Datuk
Risanwari setelah perkumpulan penge-misnya dibubarkan oleh kerajaan?"
tanya Anjarweni lagi. Rupanya gadis itu begitu tertarik dengan cerita
Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar.
"Tokoh itu menghilang. Tak
seorang pun tahu di mana dia berada."
jawab Ingkanputri.
"Ketua Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar yang bernama Ratnasari
itu apakah juga menghilang?"
"Tepat!"
"Aneh...," gumam Anjarweni kembali.
"Ah, sudanlah. Kak Weni. Kau jangan terlalu memikirkan hal itu,"
Ingkanputri memejamkan matanya,
bersiap-siap hendak pergi tidur.
"Putri...," panggil Anjarweni.
Ingkanputri terpaksa membuka
kelopak matanya kembali. "Ada apa?"
tanyanya. "Tentu kau sudah tahu tentang perkembangan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang dipimpin oleh Suropati...."
Mendengar ucapan kakak seper-
guruannya, mata Ingkanputri langsung menerawang jauh. Tiba-tiba dia
teringat sosok remaja pujaan hatinya itu.
"Di manakah dia sekarang"
Masihkan dia tetap berperilaku konyol seperti dulu" Ah, kapan aku bisa bertemu
dengannya lagi?" Ingkanputri melamunkan Suropari.
"Putri...."
Panggilan Anjarweni menyadarkan
Ingkanputri dari lamunannya.
"Kau ingat remaja konyol itu, Putri?"
Ingkanputri tak menjawab
pertanyaan kakak seperguruannya.
Namun, kedua pipinya tampak merona merah. Melihat itu, bibir Anjarweni mengulum
senyum. "Kelihatannya adik seperguruanku ini sedang merindukan kehadiran
Suropati," kata Anjarweni dalam hati.
"Eh, Kak Weni. Kenapa kau tiba-tiba membicarakan Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti?" tanya Ingkanputri, berusaha menepis bayangan Suropati yang menggoda
benaknya. "Mungkinkah akan terjadi bentrok antara perkumpulan pengemis itu dengan
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Ah, kau ini aneh, Kak Weni.sela Ingkanputri. "Antara kedua perkumpulan itu
tidak ada sangkut-pautnya, kenapa mesti terjadi bentrok?"
Anjarweni menatap wajah adik
seperguruannya.
"Kalau memang benar Perkumpulan Bidadari Lentera Merah ada hubungannya dengan
Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar, hal itu aku kira mungkin saja terjadi. Mereka
menyimpan dendam lama.
Aku dengar, sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang bernama Gede Panjalu adalah putra Datuk
Risanwari."
"Mungkin benar demikian, Kak Weni. Tapi sekarang aku tidak dapat menemanimu


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicara. Kelopak mataku sudah terasa sangat berat. Aku mau
tidur...," suara Ingkanputri terdengar lirih seperti orang yang terserang kantuk
berat. Anjarweni menatap adik
seperguruannya. Kelopak mata gadis berumur sembilan belas tahun itu tampak
terpejam rapat. Tak lama
kemudian, hembusan napasnya terdengar sangat teratur. Ingkanputri telah terlelap
dibuai mimpi. Anjarweni membaringkan tubuhnya
di sisi saudara seperguruannya itu.
Ditariknya selimut hingga sebatas leher. Dia mencoba untuk memejamkan mata tapi
tak mampu. Pikiran tentang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah terlalu mengusik
benaknya. Matanya nanar memandang langit-langit kamar.
Dalam kesendiriannya itu, tiba-
tiba telinganya menangkap suara
gerakan yang mencurigakan di atas atap.
"Malam sudah larut begini. Orang yang berada di atas atap itu tentu mempunyai
maksud buruk...," bisik murid Dewi Tangan Api itu dalam hati.
Bergegas Anjarweni bangkit dari
berbaringnya. Setelah membuka daun jendela, dia pun melompat keluar.
Lalu, tubuhnya melenting ke atas atap.
"Setan alas! Apa yang sedang kau lakukan"!" bentak Anjarweni.
Orang yang sedang berdiri membe-
lakangi Anjarweni itu terkejut bukan
main. Cepat sosok hitam itu meloncat turun dan berlari menerobos kegelapan
malam. "Hei, Bangsat! Jangan lari...!"
Anjarweni mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Sementara sosok yang dikejarnya
berkelebat cepat meninggalkan Kota Kadipaten Tanah Loh. Beruntung bagi
Anjarweni, purnama sedang memancarkan cahayanya dengan penuh. Bias cahaya
rembulan membantunya untuk terus mengikuti gerak sosok itu.
Ketika sampai di pinggir hutan
kecil, bayangan misterius itu
membalikkan badan. Dari kedua belah telapak tangannya tiba-tiba meluncur sehelai
selendang panjang berwarna merah. Selendang itu kaku mengejang, dan menghunjam
ke tubuh Anjarweni!
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Murid Dewi Tangan Api itu
berkelit. Namun belum sempat dia members serangan balasan, bayangan misterius
itu telah berkelebat dan untuk selanjutnya menghilang.
Mata Anjarweni nanar memandang
kegelapan malam. Dia menajamkan
pendengarannya ketika merasakan deru angin bersiutan di sekitar tempatnya
berdiri. "Mereka mengepungku!" desis gadis itu.
Tiba-tiba mata Anjarweni menjadi
silau. Cahaya terang benderang
menyibak kegelapan! Terlihatlah keadaan sekelilingnya. Keningnya berkerut
mengetahui dirinya benar-benar telah terkepung. Sepuluh wanita cantik berpakaian
serba merah berdiri
mengitarinya. Kesepuluh wanita cantik itu masing-masing memegang sebuah lentera,
"Bidadari Lentera Merah!" bisik Anjarweni.
Dan ketika Anjarweni masih
terpaku, sepuluh ujung selendang menghunjam deras ke arahnya!
"Bangsat!" umpat murid Dewi Tangan Api itu.
Buru-buru Anjarweni berusaha
menyampok ujung selendang yang tampak mengejang itu. Serangkaian angin pukulan
berhawa panas menerpa. Tapi, ujung-ujung selendang berbelok arah!
Kemudian, segera meluncur kembali ke arah Anjarweni. Gadis itu cepat
menjatuhkan diri ke tanah dan meraup segenggam kerikil. Lalu...
Wuuusss! Kerikil itu meluncur menuju tubuh kesepuluh wanita penyerangnya. Tapi, serangan
Anjarweni tak berarti apa-apa. Kerikil yang menyebar rontok di tanah terkena
kebutan selendang.
"Selendang Membelit Sukma ...!"
Salah seorang dari anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu
berteriak, memberi komando kepada teman-temannya. Selendang di tangan kesepuluh
wanita itu lalu bergerak sangat cepat. Meliuk-liuk, berusaha mencapai tubuh
Anjarweni, Tentu saja gadis itu berusaha
mengelak. Tapi, mendadak dia merasakan tangan kanannya menjadi kaku dan tak
dapat digerakkan. Tangan kanannya telah terbelit selendang lawan.
Bet! Bet! Bet! Anjarweni menjadi gusar bukan
main. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa mengejang. Dia pun segera sadar kalau
tubuhnya telah terbelit
kesepuluh selendang merah.
"Siapa kau" Kenapa mencampuri urusan kami"!" tanya salah seorang wanita cantik
berpakaian merah.
Anjarweni tak menjawab. Dia
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berusaha melepaskan diri dari belitan
selendang. Peluh bergulir dari kening murid Dewi Tangan Api itu. Selendang yang
membelitnya ternyata sangat kuat.
Apabila dia mengerahkan tenaga dalamnya, mendadak selendang itu mengendor.
Sedangkan apabila menarik tenaga dalamnya, selendang itu terasa
menjepit tubuhnya.
"Siapa kau" Dan, kenapa
mencampuri urusan kami"!" Pertanyaan itu kembali dilontarkan.
"Gadis Bandel! Apabila kau tidak
segera menjawab pertanyaanku, nyawamu akan segera kukirim ke neraka!" bentak
wanita cantik yang tadi melontarkan pertanyaan dan tak ditanggapi
Anjarweni. Anjarweni tersenyum dingin.
"Siapa takut terhadap ancamanmu"!
Kalau kau mampu, segera lakukan!"
katanya dengan berani.
Tiba-tiba, selendang-selendang
yang membelit tubuh murid Dewi Tangan Api itu bergetar. Anjarweni merasakan rasa
sakit yang hebat. Kulit tubuhnya terasa panas.
Tulang-belulangnya
seperti mau remuk. Mata gadis itu tampak melotot merasakan jalan
napasnya terhenti....
"Ha ha ha...!"
Kesepuluh anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah tertawa keras.
Lalu, selendang di tangan mereka bergerak pelan. Tapi, akibatnya sungguh di luar
dugaan. Tubuh Anjarweni yang sudah tak berdaya itu terlontar ke atas. Dan ujung-
ujung selendang di tangan kesepuluh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
meluncur laksana tombak. Siap menghunjam tubuh Anjarweni!
Gadis itu sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia segera memejamkan mata untuk
menyambut datangnya Dewa Kematian. Tiba-tiba...
Bret! Bret! Bret!
Sesosok bayangan berkelebat cepat dan menyampok hunjaman selendang dengan
menggunakan sebatang tongkat!
Jlek! Bayangan itu mendarat di tanah
dengan membopong tubuh Anjarweni.
Anjarweni tersenyum dalam pondongan dewa penolongnya.
"Suro...," bisik gadis itu pelan.
Tapi, raut muka gadis itu segera merona merah. Dia pun melompat turun dari
pondongan penolongnya. Diperhatikannya sosok itu. Sepintas memang mirip dengan
Suropati. Pakaiannya juga penuh tambalan.
"Aku Wirogundi," kata pemuda itu memperkenalkan diri melihat Anjarweni berdiri
tertegun. "Selendang Menggempur Sukma ...!"
Teriakan itu terdengar melengking nyaring. Sesaat kemudian, sepuluh selendang
merah berkelebatan cepat.
Membentuk gulungan sinar merah yang menimbulkan suara menderu-deru.
Anjarweni dan Wirogundi
terperangah sesaat. Tapi, keduanya segera menyadari keadaan dan buru-buru
menyiapkan serangan untuk menyambuti.
Wuuusss...! Anjarweni melancarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'-nya. Akibatnya, lima selendang di tangan anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
hangus terbakar.
Tongkat di tangan Wirogundi
digunakan untuk membabat hujan
selendang yang meluncur ke arahnya.
Lima anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah menggeram gusar ketika melihat
selendangnya terkoyak.
"Lentera Penyebar Kematian ...!"
Suara komando terdengar lagi.
Sepuluh lentera berkerudung merah yang dipegang wanita-wanita cantik itu
meluncur ke arah Anjarweni dan
Wirogundi. Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Wirogundi berusaha menggeprak
lentera-lentera. Tapi benda yang mengeluarkan sinar merah itu mampu menepis,
seperti bernyawa saja. Bahkan kemudian berputar mengitari Anjarweni dan
Wirogundi. Dan ketika kedua orang muda itu kebingungan, mendadak dari dalam
lentera-lentera meluncur keluar puluhan jarum beracun!
Tes! Tes! Tes! Wirogundi menghalau dengan
putaran tongkatnya. Namun, Anjarweni kesulitan untuk menepis serangan itu.
Dia hanya mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyampok hujan jarum
beracun. Sehingga....
"Ah...!"
Gadis itu menjerit ketika bahu
kirinya tertusuk sesuatu. Sesaat kemudian tubuhnya limbung. Pandangannya pun
mengabur. Tapi sebelum tubuh
murid Dewi Tangan Api itu terjerembab ke tanah, Wirogundi bertindak cepat.
Disambarnya tubuh Anjarweni lalu dibawanya berlari meninggalkan tempat itu.
Wirogundi terus berlari tanpa
sekali pun menoleh ke belakang. Suhu badan Anjarweni yang berada di atas bahunya
terasa meninggi. Tanpa mau membuang waktu lagi, pemuda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu segera mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berlari
cepat. Tubuh pemuda itu bermandi keringat. Tapi, dia bernapas lega mengetahui
tak seorang pun dari anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang
mengejarnya. Sesampainya di tanah lapang
berumput tebal, Wirogundi memperlambat larinya. Kemudian diturunkannya tubuh
Anjarweni dari pondongan. Dengan di-bantu sinar rembulan pemuda ini
memeriksa bagian tubuh Anjarweni yang terkena jarum beracun.
Pemuda itu menyobek lengan baju
Anjarweni. Darah Wirogundi langsung berdesir ketika menyaksikan kulit Anjarweni
yang putih mulus. Namun melihat ketidak berdayaan Anjarweni yang sangat
membutuhkan pertolongan,
Wirogundi segera menepis perasaannya yang tiba-tiba menggelora.
Pemuda berumur dua puluh dua
tahun itu tampak bingung sejenak
menyaksikan luka kecil di bahu kiri Anjarweni.
"Bagaimana caraku untuk
mengeluarkan racun dalam tubuhnya?"
Wirogundi bertanya-tanya sendiri.
"Untuk mendorong racun itu keluar tenaga dalamku belum begitu sempurna.
Aku takut terjadi bentrokan dalam tubuhnya. Dan kalau hal itu terjadi, bukan
mustahil aku sendiri akan ikut celaka...."
Kening Wirogundi berkerut. Peluh sebesar biji-biji jagung bergulir dari dahinya.
"Jalan satu-satunya untuk
menolongnya adalah... Ah...," dalam batin Wirogundi terjadi perang.
"Persetan dengan semua itu! Nyawanya terancam. Aku harus bertindak cepat!"
Setelah dapat mengatasi perang
yang berkecamuk dalam batinnya,
Wirogundi segera merundukkan kepala ke bahu kiri Anjarweni. Bibir pemuda itu
mengulum bagian luka di bahu
Anjarweni. Darah Wirogundi kembali berdesir, merasakan kehalusan kulit Anjarweni
yang tersentuh bibirnya.
Perlahan-lahan Wirogundi menyedot racun yang berkumpul di dalam luka itu. Dan
ketika pemuda itu meludah, darah berwarna kehitam-hitaman keluar dari mulutnya.
Wirogundi kembali mengulum luka di bahu gadis itu.
Akhirnya, darah yang diludahkan
Wirogundi pun berwarna merah sehat.
"Uhhh.... Di mana aku...?"
Anjarweni menggeliat kecil. Gadis itu rupanya tersadar dari pingsannya.
Perlahan-lahan kelopak matanya
membuka. Dia terperanjat ketika
melihat Wirogundi duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Siapa kau"!"
"Aku Wirogundi," jawab pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
tenang. "Kenapa aku berada di sini?"
Anjarweni meraba bahu kirinya
yang masih terasa panas. Bagian
tubuhnya itu terbuka. Tiba-tiba, gadis itu meloncat bangkit.
"Apa yang telah kau lakukan"!"
"Tenanglah, Nona. Tubuhmu belum begitu kuat. Berbaringlah kembali."
Belum juga ucapan Wirogundi
selesai, tubuh Anjarweni mendadak limbung dan jatuh terduduk di tanah.
"Kau sedang terluka, Nona.
Istirahatlah dulu. Tak perlu kau ber-prasangka buruk padaku," ujar Wirogundi
lagi. Anjarweni menarik napas panjang.
Dia berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja dialaminya.
"Kaukah yang menolongku ketika menghadapi serangan angota-anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah?"
tanya gadis itu sambil menatap wajah
Wirogundi dalam-dalam.
Wirogundi cuma tersenyum kecil.
"Terima kasih," ucap Anjarweni kemudian. Diperhatikannya lebih sek-sama wajah
Wirogundi. "Aku seperti pernah melihatmu...."
"Benar, Nona. Kita memang pernah berjumpa di sebuah kedai di Kota Kadipaten
Bumiraksa."
"Jangan memanggilku dengan
sebutan 'nona'. Namaku Anjarweni,"
kata murid Dewi Tangan Api itu sambil menyungging senyum manis. "Oya, siapa
namamu" Wirogundi?"
Yang ditanya menganggukkan
kepalanya. Tiba-tiba Anjarweni tercenung. "Perkumpulan Bidadari Lentera Merah,"
gumamnya. "Apa yang kau katakan, No..., eh...." "Kau bisa panggil aku dengan
'Weni'." Mendengar ucapan Anjarweni yang bernada
persahabatan itu, Wirogundi menundukkan kepala. Dia berusaha mengusir perasaan
hatinya yang tiba-tiba jadi tak karuan.
"Kenapa kau menolongku, Wirogundi?" "Ah, hanya kebetulan saja. Aku melihat


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirimu tengah terancam bahaya, lalu timbul keinginanku untuk memberi
pertolongan," jawab Wirogundi seraya mendongakkan kepala. Melihat tatapan mata
Anjarweni, darah pemuda itu kembali berdesir.
"Aku tidak percaya bila kau
katakan itu hanya kebetulan saja.
Bukankah kau juga sedang menguntit salah seorang anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah?"
"Benar, Weni. Ketika aku sedang beristirahat di emper sebuah kedai, aku melihat
sebuah bayangan mencurigakan berkelebat cepat. Aku segera mengejarnya, Tapi
ketika langkah kakiku sampai di pinggir hutan, aku kehilangan jejak. Dan ketika
kulihat di kejauhan ada sinar terang
benderang, aku pun mendekati. Saat itulah aku melihat dirimu tengah terancam
bahaya." "Lalu kau menolongku, begitu?"
Wirogundi menganggukkan kepala.
"Terima kasih, Wirogundi."
"Kau sudah mengatakannya," ucap Wirogundi dengan tersipu.
"Uhhh...!"
Tiba-tiba Anjarweni menjatuhkan
tubuhnya ke tanah. "Bahu kiriku terasa sangat panas...," rintihnya.
Melihat Anjarweni yang tampak
menahan sakit itu, Wirogundi bergegas beringsut mendekat.
"Cobalah kau lihat bahu kiriku, Wirogundi," pinta Anjarweni.
Tanpa pikir panjang lagi
Wirogundi segera menuruti permintaan gadis itu. Tapi, Wirogundi jadi
terkesiap ketika Anjarweni mendekap telapak tangannya.
"Ah, apa yang kau lakukan, Weni?"
"Badanku terasa sangat panas, Wirogundi. Apakah kau bisa menyalurkan hawa
murni?" "Akan kucoba..."
Anjarweni melepas telapak tangan Wirogundi yang didekapnya. Sebentar kemudian,
pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu pun
menyalurkan hawa murni ke tubuh
Anjarweni. "Rasa panas itu telah berkurang,"
kata murid Dewi Tangan Api seraya menggeliat. Tak disengaja kakinya menendang
lutut Wirogundi. Pemuda berumur dua puluh dua tahun itu pun jatuh terjerembab di
atas tubuh Anjarweni. Dia memang sedang dalam kedudukan berjongkok ketika
menyalurkan hawa murninya
"Ah, maaf...," bisik Anjarweni.
Otak Wirogundi jadi linglung
ketika merasakan hembusan napas
Anjarweni mengelus pipinya. Dia
mencoba bangkit berdiri. Tapi,
darahnya berdesir begitu keras melihat bagian tubuh Anjarweni yang terbuka.
"Ehm... ah...," Wirogundi jadi gelagapan. "Kau... kau sangat cantik, Weni..."
Tanpa sadar pemuda bertubuh kurus itu menatap wajah Anjarweni berlama-lama.
Kemudian, tatapannya beralih ke bagian tubuh Anjarweni yang tiba-tiba
jadi sangat mempesona.
"Apa yang kau lihat?" tanya Anjarweni.
"Eh, tidak...."
Melihat sikap Wirogundi yang
mendadak jadi aneh, Anjarweni yang sedang terbaring telentang mencoba bangkit.
Dengan bertelekan pada kedua tangannya ke tanah, akhirnya dia berhasil duduk di
hadapan Wirogundi.
Saat itulah baju Anjarweni yang telah robek melorot turun. Wirogundi pun
terkesiap. Sebuah pemandangan yang sangat menggiurkan terpampang di depan
matanya. Anjarweni segera menyadari kea-
daan itu. Dia menjatuhkan tubuhnya kembali seraya mengeluarkan isakan tangis.
"Bunuh saja aku!" kata gadis itu di sela-sela tangisnya.
Wirogundi jadi kebingungan.
"Maafkan aku, Weni...," bisik pemuda itu dengan rasa bersalah yang tiba-tiba
datang menyergap.
"Aku malu. Kau bunuh saja aku, Wirogundi!" Mata Wirogundi jadi nyalang
menyaksikan tangis Anjarweni yang semakin hebat. "Uhhh...!
Aduh...!" Tiba-tiba Anjarweni menjerit
kesakitan. Gadis itu menggeliat-geliat seperti sedang merasakan kesakitan yang
sangat. "Eh, kau kenapa, Weni"!" tanya Wirogundi tak mengerti.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Anjarweni. Tubuh gadis itu bergerak
mengejang! "Ah, jangan-jangan sisa racun yang bersarang dalam tubuhnya sedang bekerja,"
desis Wirogundi cemas sekali.
Dan karena terbawa rasa khawatir akan keselamatan Anjarweni, Wirogundi buru-buru
membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa.
"Aduh, bahu kiriku terasa panas lagi!"
Anjarweni mengaduh. Serta-merta
Wirogundi meraba bagian tubuh
Anjarweni yang terluka. Kembali
disalurkannya hawa murni untuk
menolong murid Dewi Tangan Api itu.
Usai menyalurkan hawa murni,
mendadak Wirogundi memeluk tubuh Anjarweni. Lalu, mencium bibirnya yang merah
bagai delima merekah. Tanpa sadar Anjarweni membalas ciuman
Wirogundi. Mereka pun segera berkutat dengan ciuman melenakan.
Kedua tangan Wirogundi meraba-
raba seluruh bagian tubuh Anjarweni.
Bibirnya pun tak mau kalah, menelusuri keindahan yang terbentuk dari
kehalusan kulit gadis yang berada dalam dekapannya itu.
Malam yang dingin membuat mereka berdua semakin terlena. Suara jangkrik dan
burung hantu mengiringi dengus napas mereka yang memburu. Kedua anak manusia itu
semakin erat berpelukan.... *** 2 Di sebuah gua yang terletak di
Bukit Hantu, obor-obor gas alam
menyala terang. Tonjolan-tonjolan batu di dinding gua tampak berkilat tajam.
Sementara tebaran batu runcing meratai permukaan atas gua. Di lantai gua pun
kerikil-kerikil tajam berserakan hingga ke lorong-lorong sempit.
Seorang nenek tua renta terlihat duduk tiada bergeming di singgasananya yang
terbuat dari tulang-belulang manusia. Bahu nenek itu diapit dua tempurung
kepala. Kedua tangannya tergeletak lemah dengan ditopang tulang paha. Kakinya
yang terjulur ke bawah dijepit oleh tulang-tulang iga.
Wujud nenek yang duduk di
singgasana aneh itu pun tak menyerupai manusia pada umumnya. Tubuhnya kurus
kering tiada berdaging. Hanya kulit keriput yang membungkus tulang-tulang
tubuhnya. Rupa nenek itu sudah menyerupai
tengkorak yang berbalut kulit tipis.
Kulit wajah itu ditumbuhi jamur.
Rambutnya yang berwarna putih riap-riapan menambah kengerian bagi siapa pun yang
memandangnya. Yang membedakan wujud nenek itu dari rupa sesosok mayat adalah
hembusan napasnya yang masih teratur.
Kelopak matanya terpejam rapat.
Ujung hidungnya bengkok ke samping.
Sebuah jamur payung berwarna putih tampak menempel di ujungnya. Bentuk bibirnya
sudah tak karuan lagi. Jatuh ke bawah laksana serpihan lilin yang habis
terbakar. Tak jauh dari tempat duduk nenek berwujud mengerikan itu, seorang kakek duduk
bersimpuh di atas batu lebar.
Rupa kakek itu pun tak kalah
menyedihkan. Rambutnya yang putih riap-riapan terjuntai panjang menutupi seluruh
wajahnya. Ujung-ujung rambut itu berserakan di atas permukaan batu.
Pakaian yang dikenakannya nyaris hancur termakan usia. Hingga, tak mampu
menutupi tulang-tulangnya yang terbungkus kulit keriput.
Nenek yang duduk di singgasana
tulang itu adalah Ratnasari. Atau, biasa disebut Bidadari Bunga Mawar.
Sedangkan kakek yang duduk bersimpuh adalah Datuk Risanwari, pendiri
Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga!
Ratnasari dan Datuk Risanwari
sesunggihnya sedang menunggu saat kebangkitan mereka cembali. Yakni, kebangkitan
menuju usia muda dan memulihkan seluruh kekuatan yang pernah mereka miliki.
Tiba-tiba dari luar gua, sebuah
bayangan berkelebat masuk kemudian menjatuhkan diri di hadapan Ratnasari.
"Sekar Mayang datang
menghadap...," kata wanita cantik yang berlutut di hadapan nenek berwajah
mengerikan. Perlahan-lahan kelopak mata
Ratnasari terbuka. Debu yang menempel di dahinya rontok. Dengan sinar mata tajam
ditatapnya kehadiran Sekar Mayang.
"Sekar Ma... yang..."
Suara yang terdengar lebih mirip suara iblis penunggu kuburan ketika Ratnasari
menggerakkan bibirnya.
"Hamba, Ketua Pertama...," kata Sekar Mayang sambil mendongakkan kepala.
Ditatapnya rupa junjungannya yang pucat pasi.
"Bagaimana dengan tujuh perawan itu?"
"Hamba sudah mendapatkannya."
Tiba-tiba Ratnasari tertawa
terkekeh. Suara yang keluar dari mulutnya terasa mengandung hawa magis yang
sanggup mendirikan bulu roma.
"Cepat kau bawa kemari, Mayang!"
"Baik, Ketua Pertama."
Sekar Mayang beringsut ke
belakang. Lalu, tubuhnya melesat ke luar gua.
Tak lama kemudian, tujuh bayangan berkelebat masuk dengan membawa
sesuatu. Mereka meletakkan tubuh tujuh gadis yang tergolek pingsan di lantai.
Ratnasari kembali tertawa terkekeh.
Getaran suaranya menggema hingga debu tebal yang menempel pada dinding gua
beterbangan. "Bagus!" kata Ratnasari dengan suara lantang. "Kau memang patut menjadi ketua
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah!"
Sekar Mayang tak mengucapkan
sepatah kata pun. Hanya, kepalanya terangguk pelan.
"Segera kau siapkan upacara pemulihanku, Mayang!"
Kepala Sekar Mayang mendongak,
lalu menunduk dalam-dalam seraya menghaturkan sembah.
Tiba-tiba dia mengangkat telapak tangannya. Gerakannya mirip seseorang yang
sedang mengiba kepada Dewa
Langit. Pergelangan tangannya yang sedikit bengkok seperti siap menyambut
datangnya anugerah.
Dengan kedua mata terpejam, bibir gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun itu
bergetar mengucapkan
mantera-mantera. Lalu, tubuhnya
mengangkasa dan berputar menyamping,
menghadap dinding gua yang terdapat sebongkah batu besar menyerupai sebuah
pintu. Seeerrr...! Batu besar itu bergeser.
Tampaklah sebuah kolam indah yang berair sangat jernih. Pinggir kolam berhiaskan
patung-patung kecil wanita cantik berwarna merah.
Ruangan yang baru saja dibuka itu berdinding batu pualam halus
mengkilat. Lantai di sisi-sisi kolam dihampari bunga mawar yang beraroma harum
semerbak. Pada bagian ujung yang sedikit menjorok ke dalam, sebuah singgasana
emas berada. Obor-obor gas alam yang menempel di dinding berkerudung kain merah.
Cahaya yang terpendar pun jadi berwarna kemerah-merahan.
Tanpa membuka matanya, kedua
tangan Sekar Mayang bergerak menghadap ke tubuh tujuh gadis yang tergolek
pingsan di lantai. Perlahan tubuh-tubuh tak berdaya itu terangkat. Lalu,
meluncur ke permukaan kolam....
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Bahunya naik turun hingga menggetarkan tempurung kepala yar.j terletak di sisi
kiri dan kanannya. Lalu, ujung jari tangan kanannya bergerak cepat.
Tujuh sinar kemerahan meluncur menuju dahi ketujuh
gadis yang tubuhnya
tengah melayang di atas kolam.
Sraaattt! Tubuh-tubuh tak berdaya itu
tampak menggeliat lemah. Dari dahi mereka yang telah bocor mengucur darah segar.
Cucuran darah segera berbaur dengan air kolam.
Ratnasari kembali mengeluarkan
suara tawa. Dan ketika tetes-tetes darah tujuh gadis korban itu telah habis,
Ratnasari mengayunkan telapak tangannya!
Wuuusss! Serangkaian angin pukulan
menerpa. Ketujuh tubuh gadis manis itu melayang dan menghantam dinding gua.
Tubuh mereka terbanting tanpa mengeluarkan suara jeritan.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa penuh rasa
puas. Dalam keadaan terduduk, tubuh nenek berwajah mengerikan itu kemudian
melayang dari singgasana tulang-belulangnya. Dan...
Byuuurrr...! Air kolam yang telah memerah oleh darah menggelegak tertimpa tubuh Ratnasari.
Perlahan-lahan air kolam itu mengeluarkan gelembung-gelembung udara. Lalu, tubuh
Ratnasari tenggelam.... Bunyi gemuruh timbul dari
permukaan air kolam. Kemudian, muncul pusaran air. Berputar cepat laksana
digerakkan oleh kekuatan maha dahsyat!
Air kolam terus bergolak hingga
warna merah darah memudar dan air kembali jemih. Ketika permukaan air telah
kembali tenang, muncul riap-riap rambut hitam panjang. Lalu seraut wajah cantik
jelita. Dan tak lama kemudian, sesosok tubuh halus mulus berkulit kuning langsat
bergerak pelan mendaki tangga kolam.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa tergelak. Tapi segera terhenti. la mendengar suara tawanya
masih tetap ngorok seperti suara iblis penunggu kuburan. Dengan tubuh telanjang,
ditatapnya Sekar Mayang yang telah duduk kembali di tempatnya.
"Upacara pemulihan belum
sempurna, Mayang!" kata Ratnasari.
Sekar Mayang hanya mendongakkan
kepalanya sedikit. Diperhatikan tubuh junjungannya yang berubah wujud
menjadi sosok wanita cantik. Rambut Ratnasari hitam panjang. Tergerai basah di
punggungnya. Wajahnya kelihatan begitu sempurna. Sekar Mayang memandang dengan
penuh kekaguman. Dia merasa kalah bila dibandingkan
kecantikan Ratnasari.
Tapi, tiba-tiba Sekar Mayang
terperanjat menyaksikan jemari tangan junjungannya. Kulitnya meleleh seperti
terbeset. "Apa yang kau lihat, Mayang"!"
tegur Ratnasari.
Ratnasari mengangkat kedua


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. Dia menggeram gusar melihat jemari tangannya masih membiaskan
pemandangan mengerikan.
"Upacara pemulihanku belum
sempurna, Mayang...," kata Ratnasari lagi. "Pada malam purnama ketujuh nanti kau
harus menyediakan korban lagi. Jumlahnya bukan tujuh, Mayang.
Tapi empat puluh! Kau dengar" Empat puluh!"
"Hamba akan mengusahakannya, Ketua Pertama," kata Sekar Mayang dengan suara
berat. Tiba-tiba mata Ratnasari
mendelik. "Kau tidak boleh hanya
mengusahakannya! Empat puluh perawan itu harus benar-benar ada!"
Sekar Mayang menganggukkan
kepala. "Nyawamu sebagai taruhannya,
Mayang!" ancam Ratnasari.
Sekar Mayang kembali
menganggukkan kepala. "Sekarang hamba mohon diri...," katanya seraya bangkit
berdiri. Lalu, bergerak meninggalkan gua bersama keenam kawannya.
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Pantulan suaranya menggema tiada henti. Dinding gua sampai bergetar hebat. Batu-
batu kecil yang menempel di atap gua rontok bertebaran memenuhi
lantai. Wanita cantik itu lalu berkelebat memasuki sebuah lorong sempit. Sesaat dia
telah kembali dengan tubuh
terbungkus pakaian indah berwarna merah. Pakaian ketat itu memperlihatkan lekuk-
lekuk tubuhnya yang indah. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan yang berhias pernik-pernik
gemerlap. Rambutnya disanggul tinggi. Bunga mawar diselipkan di antara lekuk
sanggul. "Hei, Risanwari...!" Ratnasari memanggil kakek tua renta yang duduk diam di atas
batu besar. "Tidakkah kau mau membuka sedikit matamu untuk menyaksikan
kesempurnaan yang telah kudapat"!"
Datuk Risanwari tak memberikan
tanggapan. Rambutnya yang putih riap-riapan tetap menutupi seluruh
wajahnya. "Monyet Busuk! Orang Tua Bodoh!"
Ratnasari mengumpat. "Bila kau hanya duduk terpuruk menunggu saat
kebangkitanmu, mustahil pemulihan usia akan kau dapatkan!"
Datuk Risanwari tetap tak
memberikan tanggapan.
Ratnasari mendengus gusar.
"Untuk apa kau duduk di situ"
Hanya akan menyakiti dirimu sendiri!"
katanya dengan suara lantang. "Bila kau sedang menunggu datangnya Dewa
Kematian, tak perlu berlama-lama lagi.
Akuakan segera mengirimmu ke neraka!"
Kedua tangan Ratnasari dipen-
tangkan lebar-lebar. Kemudian dengan sebuah gerakan indah, telapak tangannya
bergerak ke depan. Serangkaian angin pukulan meluruk deras menghantam tubuh
Datuk Risanwari.
Wuuusss! Blaaarrr...! Debu tebal mengepul. Kerikil dan batu berham-buran. Dinding gua pun bergetar
hebat! Ratnasari menyeringai dingin
menyaksikan tubuh
Datuk Risanwari
masih diam di tempatnya.
"Bangsat!" umpat Ratnasari
"Rupanya kau masih menyimpan kepandaian, Orang Tua Jelek!"
Usai mengucapkan kalimatnya, kembali kedua tangan Ratnasari terpentang lebar.
Kini seluruh kekuatan tenaga dalamnya disalurkan. Lalu...
Blaaarrr...! Suara menggelegar kembali
membahana. Seluruh ruang gua bergetar hebat. Batu-batu runcing yang menempel
pada atap gua berjatuhan bagai puluhan batang tombak!
Ratnasari meloncat untuk mencari tempat bernaung. Tapi, serangan
dahsyat yang dilancarkan wanita cantik itu tetap tak berpengaruh apa-apa
terhadap Datuk Risanwari.
Mata Ratnasari melotot lebar.
Secepat kilat diterjangnya kakek itu.
Dhesss...! Bruuukkk...! Tendangan wanita cantik itu
membentur kekuatan
gaib yang melindungi tubuh Datuk Risanwari.
Akibatnya, tenaga yang tersalur pada kaki kanannya berbalik hingga membuat
tubuhnya jatuh bergulingan. Wanita cantik bekas ketua Perkumpulan
Bidadari Bunga Mawar itu bangkit dengan napas terengah-engah.
"Kau jangan menggangguku...,"
terdengar suara lirih dari mulut Datuk Risanwari.
"Keparat!" umpat Ratnasari.
"Aku tahu kau telah mengalami penyempurnaan. Tapi, hal itu tak perlu kau
pamerkan di hadapanku," kata Datuk Risanwari.
"Tubuhmu sudah mau hancur, Orang Tua Bodoh!" kata Ratnasari dengan mata berkilat
tajam. "Bila kau tidak segera melakukan penyempurnaan, tubuhmu itu akan lumat
dimakan cacing tanah!"
"Aku sudah merasa bahagia dengan keadaanku seperti sekarang ini. Dan, aku tak
tak perlu mengorbankan nyawa manusia tak berdosa untuk kepentingan diriku."
"Lalu, untuk apa kau duduk
terpuruk di tempat itu"! Menunggu keajaiban" Wujudmu tak akan pulih
dengan sendirinya, Orang Tua Bodoh!"
"Justru aku sedang menunggu kuasa Sang Pencipta untuk memanggil
nyawaku." "Ha ha ha...!" Ratnasari tertawa tergelak. "Bila kau memang ingin mati, kenapa
kau melindungi tubuhmu dari gempuranku?"
"Aku tidak mau mati di tangan manusia tak beradab sepertimu, Wanita Picik!"
Ratnasari menggeram marah
mendengar ucapan Datuk Risanwari.
Namun, tiba-tiba tubuhnya bergerak limbung.
"Oh.... Penyempurnaanku benar-benar belum sempurna. Tubuhku masih terasa sangat
lemah," rintih wanita cantik itu.
Tubuhnya segera dlgerakkan
melayang dan jatuh tepat di singgasana emas. Kemudian, tubuh wanita cantik itu
duduk diam dengan mata terpejam rapat...
*** 3 Siang itu panas mentari terasa
begitu menyengat. Permukaan tanah mengeluarkan asap tipis dan menguapkan air
tanah. Rerumputan mengering layu.
Daun-daun kuning rontok berguguran
menutupi akar pohon yang bertonjolan.
Burung-burung enggan memamerkan
suaranya. Satwa lainnya pun berteduh di tempat terlindung.
Seorang remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan tampak berjalan bersungut-
sungut seraya menyusuri tepian sungai. Tongkat di tangan kanannya berkali-kali
menghantam batu yang menghalangi langkah kakinya.
"Uh.... Kenapa bayangan Dewi Ikata tak pernah lepas dari
ingatanku?" Terdengar gerutuan pemuda itu. "Tentu saja karena dia sangat cantik.
Tatapan matanya tak dapat aku lupakan. Ehm, seandainya..."
Remaja tampan yang tak lain Suropati itu tersenyum-senyum seorang diri. Sesekali dia memutar bola
matanya. Sambil mengerutkan kening, tangannya tak pernah bosan menggaruk-garuk
kepala. Rambut panjangnya yang tergerai ke punggung jadi awut-awutan.
"Huh...!" Suropati mendengus seraya menyibak rambut yang menutupi wajahnya.
"Rambut sialan! Sebaiknya kugelung saja. Tapi... Ah, tak pantas.
Seperti banci. He he he...."
Pengemis Binal lalu tertawa
terkekeh. Bahunya sampai bergerak naik turun. Tapi, sebentar kemudian dia
mengeluh kepanasan.
"Uh...! Kenapa udara panas
begini" Duh, betapa bodohnya aku.
Bukankah sedari tadi aku berjalan menyusuri sungai?"
Suropati tak kuasa membendung
hasrat hatinya. Seluruh pakaiannya segera ditanggalkan. Kemudian,
tubuhnya meluncur masuk ke dalam sungai. Sekejap kepalanya sudah menyem-bul
muncul di permukaan air.
Didekapnya keningnya yang benjol terbentur batu di dasar sungai.
Suropati mencak-mencak. Tinggi
air sungai ternyata hanya sebatas paha. Namun, perhatiannya segera tersita pada
sepasang rusa yang tengah berada di tepi sungai tidak jauh dari tempatnya
berada. Sepasang rusa itu tampak asyik
masyuk. Mulut si jantan memagut leher pasangannya. Si betina terlihat
menggeliat manja.
"Keparat!" umpat Suropati.
"Rupanya kau sedang mengejekku, Rusa Jelek!"
Perlahan-lahan Suropati berjalan mendekat. Suara kecipak air yang ditimbulkan
membuat sepasang rusa itu menolehkan kepala.
"Nguuukkk...!"
Mulut si betina mengeluarkan
suara. "Heh, apa katamu, Rusa Jelek"!"
tanya Suropati, jengkel.
"Nguuukkk...!"
Ganti si jantan yang mengeluarkan
suara. "Goblok! Kenapa kau mengulang kata itu" Aku tak mengerti, Rusa Jelek!"
"Nguuukkk...!"
Mulut sepasang rusa itu
mengeluarkan suara bersamaan.
Suropati yang jengkel lalu
menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Nguuukkk...!"
Suara keras dikeluarkan si
betina. Lalu, kakinya dihentakkan ke tanah dan lari cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Si jantan menatap Suropati sejenak. Mata rusa itu
menyempit. Ia segera membalikkan badan dan mengejar pasangannya.
"He he he...!"
Suropati tertawa terkekeh. Senang juga dia berhasil menakut-nakuti sepasang rusa
itu. Pemuda itu lalu kembali menerjunkan dirinya ke dalam sungai dan mandi
sepuas-puasnya.
"Wuih! Segar...!"
Setelah puas dan merasa tubuhnya telah segar, Suropati naik ke darat dan memakai
celananya. Tapi, kepala remaja konyol itu tampak celingukan.
Dia berjalan ke sana kemari mencari bajunya.
"Mungkinkah digondol oleh rusa jelek itu" Atau, terbawa tiupan angin"
Ah, rasanya tak mungkin...."
Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. Bola matanya bergerak ke
kiri dan ke kanan.
"Koaaakkk...!"
Seekor burung gagak besar tiba-
tiba mengeluarkan jeritan. Burung itu bertengger di dahan pohon dekat
Suropati. Cakar-cakarnya tampak
menjepit sehelai baju putih penuh tambalan. Suropati menatapnya dengan sinar
mata nyalang. "Hei! Kembalikan bajuku!"
"Koaaakkk...!"
Burung gagak besar itu melebarkan sayapnya. Lalu, yang sebelah kanan bergerak-
gerak seperti memanggil Suropati supaya mendekat.
"Gagak Jelek! Kenapa mencuri bajuku" Tak laku dijual, Goblok!"
teriak Suropati.
"Koaaakkk...!"
Tiba-tiba burung gagak itu
terbang sambil membawa baju Suropati.
"Hei Pencuri Goblok! Bajuku itu tak berharga! Kenapa kau bawa lari"!"
"Koaaakkk...! Koaaakkk...!"
Burung gagak besar terus terbang mengangkasa. Suropati pun menggeram gusar.
Tiba-tiba burung gagak itu menjatuhkan baju yang dibawanya.
Tapi.... Weeesss...! Suropati mendelik. Bajunya telah disambar kembali oleh burung gagak itu sebelum
dia sempat menangkapnya.
"Burung keparat!" umpat Suropati.
Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Gerutuan panjang pendek berulang kali dikeluarkannya. Namun, beberapa saat
kemudian Suropati kehilangan jejak.
"Lho, di mana gagak jelek itu?"
"Koaaakkk...!"
Di ujung dahan sebuah pohon yang menjulang tinggi tampak burung gagak besar
mengkepak-kepakkan sayapnya.
Baju Suropati berkibar-kibar di
cengkeramannya.
"Gagak Jelek, rupanya kau pantas untuk dipanggang!" kata Suropati seraya
memungut sebuah kerikil.
Wuuuttt...! Kerikil itu dilontarkan kuat-kuat dengan mengerahkan tenaga dalam.
Burung gagak menggerakkan
kepalanya. Baju Suropati yang berada di cengkeraman diperguna-kan untuk
menyambut lontaran kerikil. Suropati ter-perangah. Bajunya jadi bolong tertembus
oleh kerikil yang
dilontarkannya sendiri.
"Huh! Aku tak perlu memanggang gagak! Tubuhnya akan kulumat menjadi serpihan
daging sate!" ancam Suropati dengan marah.
Remaja konyol itu meraup segeng-
gam kerikil. Lalu, dilontarkannya kembali ke arah gagak dengan keras!
Si burung usil melebarkan
sayapnya. Tubuhnya melayang di tempat.
Kakinya bergerak-gerak mengibaskan baju Suropati yang terjepit di cakar.
Sraaattt...! Hujan kerikil membuat baju
Suropati semakin bolong-bolong.
Melihat itu, si empunya baju mengumpat tak karuan. Sementara si burung usil
telah melesat pergi.
"Hei, kembalikan bajuku!"
Suropati segera berlari mengejar.
Tubuh remaja telanjang dada itu
melesat cepat. Tapi, si burung usil terbang tak kalah pesat. Terbangnya rendah
seperti sengaja mengajak
berlomba Suropati. Ketika sampai di sebuah bukit kecil, burung gagak besar itu
mengeluarkan suara lantang.
Kemudian, melesat laksana batu meteor dan kedua kakinya hinggap di bahu seorang


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berpakaian biru yang duduk tenang di atas sebatang pohon besar yang telah
roboh. "He he he...!" Pemuda berbaju biru itu tertawa. "Jangan heran, Suro.
Aku memang menyuruh Gagak Saktiku untuk mencuri bajumu," katanya dengan
memperlihatkan jajaran giginya yang putih rapi.
Wajah pemuda itu sangat tampan.
Berkulit kuning halus seperti kulit wanita. Rambutnya berwarna pirang dan
dijepit gelang emas. Alisnya tebal dengan sinar mata menyorot tajam.
Hidungnya mancung. Dan, bibirnya yang
kemerah-merahan selalu menyunggingkan senyum manis.
"Siapa kau?" tanya Suropati.
"Kapi Anggara. Tapi, orang-orang biasa menyebutku si Pendekar Asmara.
He he he...."
"Uh! Dasar hidung belang!" gerutu Suropati. "Namun kali ini kau salah pilih,
Pendekar Mata Maling! Aku laki-laki. Tak perlu kau mencuri bajuku!"
Kapi Anggara kembali tertawa.
"Aku tidak salah pilih, Suro! Sengaja aku mengundangmu kemari...."
"Kau tahu namaku dari siapa"!"
tanya Suropati heran.
"O, rupanya Pengemis Binal
berotak udang! Namamu sudah ramai dibicarakan orang-orang. Masa' kau tidak
merasa?" Suropati menggaruk-garuk kepala-
nya. "Benarkah apa yang dikatakannya?"
gumam Suropati di dalam hati. "Kalau memang benar, wuih..., alangkah
senangnya. Gadis-gadis tentu akan memperebutkanku. He he he...."
Suropati tersenyum-senyum
sendiri. "Eh, apa yang sedang kau
pikirkan?" tanya Kapi Anggara.
"Kau belum mengembalikan bajuku,"
ucap Suropati untuk menutupi
kegembiraan hatinya.
"Oh ya, aku lupa...."
Kapi Anggara menggerakkan bahu
kirinya. Si Gagak Sakti melesat ke arah Suropati. Remaja konyol itu segera
menyambut bajunya yang
dijatuhkan burung gagak hitam.
"Waduh... waduh...!" Suropati
mencak-mencak melihat bajunya banyak yang berlubang. "Berapa tambalan lagi yang
mesti aku buat" Bedebah! Burung tak tahu diuntung! Kau harus
bertanggung jawab, Gagak Jelek...!"
"Tak perlu kau bertingkah macam orang gila seperti itu, Suropati!"
kata Kapi Anggara. "Aku akan mengganti bajumu."
"Heh, benarkah?" Kedua alis Suropati terlihat naik. "Tapi.... Ah, aku lebih
senang baju yang penuh tambalan. Semakin banyak tambalan, semakin sip! He he
he...." Remaja konyol itu tersenyum
simpul sambil mengenakan bajunya.
Kemudian, kakinya melangkah dengan menyeret tongkat pemberian Gede
Panjalu. "Eh, tunggu dulu!" Kapi Anggara buru-buru mencegah. Dia meloncat untuk
menghadang langkah Suropati.
"Aku tak punya urusan denganmu, Pendekar Mata Maling."
"Tapi aku punya urusan denganmu, Pendekar Konyol!"
Suropati menghentikan langkahnya.
Ditatapnya Kapi Anggara tajam-tajam.
"Siapa yang kau sebut dengan
'Pendekar Konyol'?"
"Kau."
"Aku bukan Pendekar Konyol!"
"Aku juga bukan Pendekar Mata Maling!"
"He he he...!" Suropati tertawa.
"Kau senang mencuri barang milik orang. Kenapa tidak mau disebut
Pendekar Mata Maling"!"
"Siapa yang senang mencuri" Kalau Gagak Saktiku menyambar bajumu, itu karena aku
bermaksud mengundangmu."
"Untuk apa?"
"Aku menantangmu!"
"Aku tidak mau berkelahi!"
"Siapa yang menantangmu berkelahi"!"
Kening Suropati berkerut. Heran
dia mendengar ucapan lawan bicaranya.
"Kau bicara tak tentu arahnya, Kapi Anggara!" omel Suropati.
"Kau hanya butuh sedikit
penjelasan, Suro."
Suropati mengayunkan tongkatnya.
Batu sebesar kepalan tangan segera melayang jauh ketika terantam tongkat.
"Cepat katakan!" katanya setengah membentak.
Kapi Anggara tersenyum simpul.
"Rupanya kau cepat naik darah, Suro,"
ujarnya pelan. "Kau tahu Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Kenapa"!"
"Waduh! Sulit bicara dengan manusia konyol semacam kau!"
"Jelas! Karena kau senang
mencuri!" Kapi Anggara menggeram. Kepalanya menggeleng lemah. "Kau
tahu Perkumpulan Bidadari Lentera Merah atau
tidak?" katanya mengulangi
pertanyaannya. "Kalau tahu, kenapa?"
"Ketua perkumpulan itu bernama Sekar Mayang."
"Aku sudah tahu!" sergah Suropati seraya melangkahkan kakinya kembali.
"Eit...! Tunggu dulu! Kau belum mendengar penjelasanku!" cegah Kapi Anggara.
Suropati menatap wajah si
Pendekar Asmara lekat-lekat.
"Wuih! Dia sangat tampan," kata Suropati dalam hati. Sayang, dia berhidung
belang. Aku jadi merasa tersaingi. He he he...."
Senyum Pengemis Binal segera
mengembang. "Sekar Mayang itu sangat cantik, Suro," beri-tahu Kapi Anggara kemudian.
"Lalu...?"
"Tidakkah kau ingin memilikinya?"
"Kau sendiri?"
"Tentu saja aku ingin. Tapi, aku sudah bosan menggaet gadis cantik tanpa
taruhan." "Kalau begitu, kau menantangku bertaruh"!"
"Ya. Kita berlomba untuk
mendapatkan Sekar Mayang."
Suropati menggaruk kepalanya.
"Sebuah tantangan yang menyenangkan,"
bisiknya dalam hati. "Tak pantas untuk ditolak."
"Eh, rupanya kau butuh obat pembasmi kutu, Suro," goda Kapi Anggara yang melihat
kebiasaan buruk Suropati.
"Aku tidak punya kutu!"
"Lalu kenapa kau selalu
menggaruk-garuk kepalamu?"
Suropati membisu. Dia tak mampu
menjawab pertanyaan si Pendekar
Asmara. Itu memang kebiasaannya.
"Ah, sudahlah.
Tak perlu kau ributkan kebiasaanku itu!" kata Suropati dengan tegas. "Aku menerima
tantanganmu. Tapi, apa taruhannya?"
Kapi Anggara tersenyum lebar.
Tangan kanannya bergerak mengeluarkan cepuk kecil dari saku bajunya.
"Aku punya Air Mata Duyung, Suro.
Kalau kau bisa mengalahkan aku, cairan ajaib ini akan menjadi milikmu."
"Ah, hanya Air Mata Duyung, bukan Air Mata Dewa!"
"Eit, jangan
memandang rendah dulu! Bagi laki-laki, Air Mata Duyung ini sangatlah berguna. Selain sebagai obat
awet muda, juga sebagai penambah
keperkasaan...."
"Aku tidak tertarik!"
"Uh! Sombong! Kau sendiri, apa taruhanmu"!"
Suropati kembali menggaruk
kepalanya. "Aku tidak punya apa-apa...."
Kapi Anggara tertawa terbahak-
bahak. "Kau gentong tak berisi, Suro.
Sombong hanya untuk menjaga gengsi!"
ujar pemuda itu menyindir. "Kita tak usah bertaruh saja. Aku tahu, kau tak
mungkin mempertaruhkan kepalamu!"
"Tapi perlombaan tetap jalan terus, bukan?"
"Tentu, Suro."
"Kapan dimulai?"
"Sekarang juga."
"Baik."
Mendengar perkataan Suropati,
Pendekar Asmara membalikkan badan dan bergegas berlalu dari tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!" Suropati mencegah. "Di mana tempat tinggal Sekar Mayang?"
"Ha ha ha...!" Kapi Anggara tertawa keras. "Kalau kuberitahu, namanya bukan
perlombaan," katanya seraya melanjutkan langkah kakinya.
"Uh! Selain senang mencuri
rupanya kau juga pelit, Kapi Anggara!"
gerutu Suropati.
Si Pendekar Asmara tak mempe-
dulikan. Dengan langkah tegap, dia berjalan di bawah ganasnya hawa siang yang
panas. Sesekali ujung lengan bajunya dikebutkan untuk mengusir gerah. Perlahan-
lahan dari mulutnya terdengar senandung lagu.
Wanita, oh wanita.... Cantik,
elok nan rupawan Menggoda hati,
risaukan sukma Menyusup ke semak kalbu, ciptakan rindu Pilu menggelut, ingin
bertemu Cinta, oh cinta....
Cinta wanita melebihi segalanya
Korban harta belum apa-apa Nyawa melayang pun tak kan terasa Demi rindu untuk
menyatu Sendu luruh, hasrat menggebu
Hampir seharian penuh Anjarweni dan Wirogundi berputar-putar mengelilingi Kota
Kadipaten Tanah Loh.
Orang-orang yang ditanya sepanjang perjalanan mereka tak satu pun yang dapat
memberikan keterangan. Mereka jadi putus asa ketika tak menemukan satu petunjuk
pun. "Kira-kira di manakah dia, Wiro?"
tanya Anjarweni.
"Entahlah," jawab Wirogundi.
"Mungkinkah dia menyendiri di suatu tempat?"
"Kau yang lebih tahu sifat dan tabiat adik seperguruanmu itu, Weni."
"Ah, firasatku mengatakan Ingkanputri sedang menghadapi masalah,"
suara Anjarweni terdengar begitu
cemas. "Kenapa kau berkata begitu?"
"Tidakkah kau tahu kalau banyak warga kota kadipaten ini yang juga bingung
mencari anak gadisnya. Jangan-jangan...."
Anjarweni tak melanjutkan
bicaranya. Wajahnya tampak diliputi rasa khawatir.
"Kau jangan berpikiran yang bukan-bukan, Weni," hibur Wirogundi.
"Mungkinkah
Ingkanputri diculik
orang?" Akhirnya tercetus juga kekhawatiran Anjarweni.
Wirogundi menggelengkan
kepalanya. "Adik seperguruanmu itu bukan anak kecil lagi. Kukira dia sanggup menjaga diri."
"Tapi bila yang menculik orang-orang dari Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah, bukankah itu tidak mustahil?"
Kedua alis Wirogundi terangkat.
Dia merasakan kebenaran dalam ucapan Anjarweni.
"Untuk apa mereka menculik
Ingkanputri?" tanya Wirogundi.
Anjarweni terdiam. Dia sendiri
tak mampu menjawab.
Melihat itu, Wirogundi segera
memeluk tubuh gadis itu dari belakang.
"Kau tak perlu resah, Weni," bisiknya.
"Kesedihanmu adalah kesedihanku."
Anjarweni melepas pelukan itu.
Ditatapnya wajah Wirogundi lekat-lekat. Lalu, dia menghambur ke dalam pelukan
tubuh Wirogundi.
*** Malam melingkupi bumi. Cahaya
rembulan dan gemerlap bintang tertutup oleh tirai awan. Angin berhembus cukup
keras. Desaunya sanggup mendirikan bulu roma. Suara binatang malam pun seperti
disusupi iblis penunggu
neraka. Mengundang rasa ngeri di hati.
Di sebuah pekuburan sepi terasa
begitu memagut. Gelap lebih pekat.
Hitam kelam, membutakan mata. Ranting pohon kamboja meliuk lemah bagai targan-
tangan setan. Mendadak, sesosok
bayangan berkelebat cepat di atas alang-alang.
Gerakannya ringan bagai menyatu dengan tiupan angin.
"Berhenti!"
Sosok bayangan lain berusaha
menghadang. Tapi, sehelai benda pipih panjang menyerangnya.
"Eit...!"
Sosok kedua berusaha menghindar.
Dengan kecepatan laksana kilat tangannya menangkap ujung benda itu. Sosok
bayangan pertama segera mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot.
"He he he...!" Sosok kedua yang
tak lain Suropati itu tertawa. "Ayo, kerahkan seluruh kemampuanmu,
Penculik!"
Dua kekuatan saling tarik-
menarik. Benda pipih panjang yang berupa selendang itu bergetar pelan.
Lalu, mengejang!
Bret! Wanita cantik pemilik selendang
itu terperangah menyaksikan senjatanya putus. Dengan sigap dia melontarkan
sesosok tubuh yang berada di bahunya.
Suropati bergegas menyambut. Kemud-an, tubuhnya meluncur cepat!
Tuk! Bruk! Totokan Suropati tepat mengenai
sasaran. Tubuh wanita cantik


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berselendang merah jatuh terkulai di tanah. Suropati memandangnya sejenak.
Lalu, tangannya bergerak cepat
membebaskan totokan gadis yang berada dalam pondongannya.
"Aku akan mengantarmu pulang,"
kata Suropati. Sosok Pengemis Binal melesat
cepat meninggalkan tubuh wanita cantik yang terkulai lemah di tanah. Sebentar
kemudian Suropati telah kembali ke tempat itu.
"Kau rasakan sekarang, Penculik.
Ganti aku yang akan menculikmu!"
"Siapa kau"!" tanya wanita cantik anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah itu. "Kau tidak
berhak bertanya.
Sebutkan namamu sebelum aku
mengantarkan nyawamu ke neraka!" ancam Suropati.
"Cih! Siapa takut mati"!" balas wanita cantik berbaju merah dengan beraninya.
"He he he...!" Suara tawa keluar dari mulut Suropati. "Baik. Aku akan menguji
keberanianmu....
Suropati berjalan mendekat. Lalu, dipeluknya tubuh wanita cantik anggota
Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah itu. "Ehmmm...."
Wanita cantik itu menggelinjang
ketika merasakan bibirnya dipagut.
"Uh! Rupanya kau merasakan
keenakan," sungut Suropati.
"Kau sangat nakal, Bocah
Gendeng!" "Siapa yang kau sebut, 'Bocah Gendeng'?"
"Kau!"
"Aku bukan bocah lagi," sembur Suropati. Tiba-tiba remaja konyol itu membuat
gerakan seperti hendak
mencopot celananya.
"Eh, jangan!"
"Jangan apa?"
"Jangan mencopot celanamu!"
"Siapa yang mau mencopot celana"!
Aku hanya menggaruk pahaku yang gatal,
Goblok!" bentak Suropati seperti ingin menunjukkan kemarahan.
"Namamu siapa?" tanyanya kemudian.
"Puspita."
"He he he.... Nah, begitu baru pintar. Kenapa mesti jual mahal pada Pengemis
Binal. Untuk apa kau menculik gadis itu?"
Puspita tak menjawab. Matanya
membelalak lebar untuk melihat wajah Suropati.
"Heh, kenapa diam saja"! Kau tidak mendengar pertanyaanku?"
"Aku dengar."
"Kenapa diam?"
"Karena aku tak mau menjawab!"
"Goblok! Apakah kau tak takut kubunuh"!"
"Tidak!"
"Baik. Aku akan menguji
keberanianmu...."
Suropati kembali memeluk tubuh
Puspita. Dilumatnya bibir wanita cantik itu.
"Ehmmm...." Napas Puspita terengah. "Uts! Sudah... sudah...."
"Kau sekarang mau mengatakannya?"
tanya Suropati seraya melepas pelukan.
Puspita mengatur jalan napasnya.
Matanya berkedip mesra. Lidahnya terlihat dijulurkan keluar untuk menjilat
bibirnya yang basah.
"Oh, rupanya kau ketagihan!" kata
Suropati seraya menampakkan
kekonyolannya. Tapi, tiba-tiba
wajahnya menjadi tegang. "Cepat kau katakan apa maksudmu menculik gadis tadi"!"
"Gadis itu untuk korban."
"Korban"!" Suropati terkejut.
"Untuk apa?"
"Untuk upacara pemulihan Ketua Pertama."
"O, jadi ketuamu ada dua. Yang pertama siapa namanya?" tanya Suropati ingin
tahu. "Ratnasari."
"Umurnya?"
"Seratus lima puluh tahun lebih."
Suropati mengerutkan keningnya.
Tak dapat dibayangkannya rupa wanita itu di usia setua tersebut. "Kira-kira
bagaimana wujud ketua pertamamu itu?"
tanyanya kemudian.
"Kau tahu Sekar Mayang?" wanita berbaju merah balik bertanya.
"Ya. Kenapa?"
"Ratnasari lebih cantik dari dia."
"Apa"!" Suropati terkejut. "Kau tidak salah bicara" Umur seratus lima puluh
tahun mestinya lebih mirip wewe gombel!"
"Dia sudah menjalani upacara pemulihan."
"Dengan mengorbankan gadis-gadis itu?"
"Ya. Uh...!" Puspita menggeliat mencoba bangkit berdiri.
"Bebaskan totokanmu," pintanya.
"Nanti kau lari."
"Tidak."
"Tapi ada syaratnya. Kau harus membawaku untuk menemui Sekar Mayang."
"Aku tidak mau!"
"Kau akan kubunuh!"
"Aku tidak takut!"
"Baik. Aku akan menguji
keberanianmu..."
Untuk ketiga katinya Suropati
memeluk tubuh Puspita. Bibirnya lincah bergerak menelusuri wajah wanita cantik
itu. "Katanya kau hendak menguji keberanianku, tapi... Uh.... Kenapa men... uh...,"
Puspita tak dapat melanjutkan bicaranya.
"Beginilah caraku menguji
keberanian."
"Uh... Suro..., aku senang..."
Mendadak Suropati menghempaskan
tubuh Puspita. "Kau tahu namaku?"
tanyanya. "Kau tadi mengatakan dirimu adalah Pengemis Binal. Kenapa" Apakah kau takut bila
aku melaporkan perbuatanmu ini kepada ibumu?"
"Tidak. Aku sudah tidak punya ibu."
"Syukurlah kalau begitu."
"Heh, apa katamu" Kau senang bila
aku sudah tidak punya ibu?"
"Ya. Karena, bila ibumu masih ada dia akan menghajarmu habis-habisan.
Kau sangat nakal!"
"Tapi, walaupun begitu kau suka padaku, kan?"
"Ehm...."
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh. "Kalau kau memang suka padaku, kau
harus membawaku untuk menemui Sekar Mayang."
"Kau suka padanya?"
"Itu urusan pribadi!"
"Uh...!" Puspita merajuk.
Suropati tersenyum. Didaratkannya sebuah ciuman di kening Puspita yang tampak
sewot. "Kalau kau ingin menjadi
kekasihku, bawalah aku menemui Sekar Mayang, Sayang...," kata Pengemis Binal
dengan suara lembut menggoda.
"Baiklah...," kata Puspita kemudian. "Aku akan meluluskan permintaanmu. Tapi,
bebaskan dulu totokanmu."
Tangan Suropati bergerak cepat.
Suasana malam yang kelam sama sekali tak menjadi penghalang. Puspita
menggeliat merasakan tubuhnya telah tarbebas dari totokan.
"Sekarang juga bawa aku menemui Sekar Mayang!"
Puspita hanya diam di tempatnya.
Mata wanita cantik itu mengerling
penuh arti. Kemudian, terpejam sambil mengeluarkan desahan panjang. Kepalanya
didongakkan ke atas. Tampaklah leher Puspita yang halus mulus.
Pengemis Binal pun tersenyum
senang. "Kau sangat cantik, Puspita...," katanya seraya mendekap tubuh Puspita
yang terbaring di atas tanah.
Remaja konyol itu lalu menyibak
anak rambut yang menutupi wajah
Puspita. Kemudian, bibirnya ditempelkan pada bibir gadis itu.
"Kau masih perawan?" tanya Suropati dengan konyolnya.
"Buktikan sendiri," sahut Puspita.
"Ehm.... Lain kali saja!"
Suropati lalu bangkit berdiri,
Puspita mengeluarkan desahan panjang.
Matanya membersitkan sinar kekecewaan.
Perlahan-lahan dia bangkit sambil menggerutu.
"Uh! Dasar masih anak-anak...!"
Suropati segera menggandeng
lengan wanita cantik itu. Mereka berlalu meninggalkan daerah pemakaman.
Saat itu malam hampir menjelang fajar.
Malam berlalu. Pagi pun datang
menghantarkan terang. Di mulut sebuah gua yang hampir tertutup batu-batu cadas,
Suropati menyibak rumput
ilalang yang tumbuh subur setinggi pinggangnya. Sambil menimang-nimang
tongkatnya, remaja konyol itu menatap kedalaman gua yang gelap gulita.
"Bagaimana mungkin Sekar Mayang tinggal di tempat seperti ini?" gumam Suropati.
"Kenapa kau ragu, Suro?" tanya Puspita.
"Ini bukan jebakan?"
"Apa untungnya menjebakmu?"
Dahi Pengemis Binal jadi ber-
kerut. Dia belum yakin akan perkataan wanita cantik yang berdiri di
sampingnya itu.
"Aku tidak bisa berlama-Iama di tempat ini. Kalau di antara teman-temanku
ada yang tahu, tamatlah
riwayatku," bisik Puspita di dekat telinga Suropati.
"Kalau hal itu berbahaya, kenapa kau bersedia menunjukkan tempat ini?"
"Pada saatnya nanti kau akan tahu sendiri."
"Bukan karena kau menyukaiku?"
"Itu hanya sebagian dari alasan."
"Alasan lain?"
"Ah, sudahlah. Cepat kau masuk!"
perintah wanita cantik berpakaian serba merah itu.
"Aku bisa memegang kata-katamu?"
"Kenapa tidak?" kata Puspita meyakinkan. "Ayolah, Suro. Aku sudah tak punya
waktu lagi...."
"Kau tidak ikut?"
"Itu sama saja dengan bunuh
diri." "Baiklah, aku akan masuk. Tapi kalau kau menipuku, awas, hidungmu akan kupotong
dan kubikin sate!"
Puspita hanya tersenyum kecil.
Suropati segera mencongkel sebongkah batu cadas dengan tongkatnya. Batu sebesar
anak bayi itu ditendangnya masuk ke dalam gua.
"Hati-hati, Suro...," kata Puspita sebelum pergi menghilang dari tempat itu.
Suropati hanya mengangguk. Per-
lahan-lahan kakinya melangkah memasuki gua. Sinar mentari yang hanya satu tombak
dapat menerangi kedalaman gua.
"Kalau aku tidak menerima
tantangan Kapi Anggara, aku tidak akan mendapat susah seperti ini," gerutu
remaja konyol itu.
Hanya dengan mengandalkan
perasaannya Suropati terus
melangkahkan kaki. Tapi belum sampai sepuluh tindak dia melangkah, tiba-tiba....
Wuuusss...! Suropati meloncat ke samping
menghindari hunjaman tombak yang meluncur deras ke arahnya.
Dengan tetap berdiri di tempat
ditajamkannya indera pendengarannya.
Tapi, tidak terdengar suatu gerakan yang mencurigakan. Dia segera
melanjutkan langkahnya kembali.
Wuuusss...! Beberapa batang tombak kini
meluncur ke arahnya!
Traaakkk! Traaakkk!
Suropati menangkis dengan
tongkatnya. "Wuih, tempat ini penuh jebakan!"
desis Suropati. "Apakah Puspita ingin mencelakakanku" Tapi, aku bisa
merasakan kebenaran ucapannya. Sikap wanita cantik itu sangat aneh. Kenapa
dengan begitu mudahnya dia bersedia menunjukkan sarang Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah?"
Ketika kemudian dia bergerak
setindak, telinganya segera menangkap sambaran benda-benda halus di sekitar
tempatnya berdiri. Suropati memutar tongkatnya laksana baling-baling untuk
melindungi tubuh.
Sraaattt...! Puluhan batang jarum beracun
rontok ke tanah.
"Uh...! Hampir saja," keluh Suropati.
Brooolll...! Tiba-tiba, permukaan tanah tempat Suropati berdiri ambrol. Tanpa dapat dihindari
lagi tubuh remaja itu
meluncur masuk ke dalam sebuah lubang besar! Buru-buru Suropati bersalto
beberapa kali hingga dia dapat
mendarat dengan kedua kaki.
Suropati memperhatikan gua yang
diterangi jajaran obor gas alam.
Berbeda dengan gua yang tadi
dilewatinya, dinding gua yang baru di-masukinya ini berdinding halus.
Permukaan tanahnya pun datar tanpa diseraki bebatuan.
Suropati segera berjalan
mengikuti lorong yang ada. Semakin lama cahaya obor gas alam semakin terang.
Namun, langkahnya terhenti ketika di hadapannya terpampang tiga cabang jalan
dari lorong yang sedang ditelusurinya.
"Hm... Aku harus lewat yang sebelah mana?"
Setelah terdiam sejenak, Suropati memutuskan untuk memasuki lorong sebelah
kanan. Tiba-tiba, sebongkah batu sebesar gajah meluncur dari atas dan hampir
menimpa tubuh Pengemis Binal.
"Uh...! Hampir saja tubuhku lumat jadi rempeyek," sungut Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala. "Lorong yang sebelah kanan sudah tertutup, aku akan
memasuki yang tengah...."
Blaaarrr! Untuk kedua kalinya sebongkah
batu sebesar gajah meluncur jatuh dari atas dan menutup lorong tengah.


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wuih...! Kau senang membuatku terkejut, Batu Kasar!" umpat Suropati.
Tubuhnya miring-miring terbawa
oleh guncangan yang ditimbulkan oleh
luncuran batu. Ketika debu yang
mengepul sudah hampir hilang, Suropati mengayunkan tongkatnya.
Blaaarrr! Batu besar yang berada di
hadapannya hancur berkeping-keping.
Pecahannya menyebar ke berbagai
penjuru. Debu mengepul mengaburkan pandangan.
"Kau rasakan itu, Batu Kasar!"
maki Pengemis Binal seperti orang tak waras.
Tapi sebelum dia melangkahkan
kakinya, sesosok tubuh yang hanya berupa bayangan berkelebat keluar dari lubang
lorong sebelah kiri.
"Eit! Siapa kau"!" bentak Suropati.
Bayangan yang baru muncul itu
langsung menyerang Suropati. Tendangan dan pukulannya datang bertubi-tubi
mengancam bagian berbahaya di tubuh Suropati. Tapi, dengan mudah pemuda itu
menghindarinya. Lalu, tongkatnya diputar cepat dengan menggunakan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'!
Zeb! Ceeesss...! Bayangan merah itu tertembus
ujung tongkat Suropati. Tepat mengenai dadanya. Tapi, Suropati menjadi
terkejut melihat dada bayangan merah itu mengeluarkan asap tebal, sementara
sosoknya tetap berdiri tegak tanpa
sedikit pun menunjukkan rasa sakit.
Des! Suropati yang lengah segera
mendapat buah dari kecerobohannya.
Tubuhnya terjengkang ke belakang dan membentur dinding gua. Didekapnya erat-erat
dadanya yang terkena
tendangan. Jalan pernapasannya untuk beberapa lama terganggu.
Lalu, dengan lengkingan tinggi
diayunkan tongkatnya tertuju ke
pingang bayangan merah!
Ceeesss...! Bayangan merah itu tampak
terpotong dua. Dan, asap tebal
mengepul dari bekas sambaran tongkat Suropati.
"Sihir!" desis Pengemis Binal.
Suropati segera memejamkan
matanya. Seluruh kekuatan batinnya dipusatkan pada pikiran. Perlahan-lahan asap
tipis mengepul dari
kepalanya. "Hm.... Rupanya si empunya sihir itu berada di belakang bayangan
merah," gumam Pengemis Binal dalam hati.
Tongkatnya segera dijatuhkan ke
tanah. Kemudian, tanpa membuka mata tubuhnya meluncur ke depan secepat kilat!
Tubuh Pengemis Binal menembus bayangan merah. Telapak tangannya yang terkepal.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3 Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul Nona Berbunga Hijau 4
^