Pencarian

Bidadari Lentera Merah 2

Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Bagian 2


membentur gelombang tenaga kasat mata.
Buuummm! Tubuh Suropati terpental ke
belakang setelah membentur dinding gua dengan kerasnya. Remaja konyol itu
mengusap bibirnya yang berdarah. Matanya nanar mencari bayangan merah yang tiba-
tiba lenyap. "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar gema tawa
mirip suara iblis yang baru bangun dari Hang lahat.
"Siapa kau"!" bentak Suropati.
Tapi, suara tawa itu tak kunjung berhenH Suropati terkejut merasakan jantungnya
berdebar kencang. Mendadak gendang telinganya jadi pekak!
"Kunyuk Busuk! Bisanya hanya membokong orang!" umpat Suropati seraya mengerahkan
hawa murninya untuk melindungi jantung dan gendang
telinga. Tubuh Suropati yang telah duduk
bersila bergetar hebat. Sekejap
kemudian, dia merasakan suatu kekuatan kasat mata yang merejam tubuhnya.
Ribuan jarum bagai menusuk-nusuk kulitnya. Titik-titik darah segera meleleh
keluar dari lubang pori-pori.
Tubuh Pengemis Binai semakin bergetar hebat. Kedua kakinya yang terlipat
menggeser-geser tanah hingga
menimbulkan asap yang bercampur debu tebal.
"Auuummm...!"
Suropati mengeluarkan jeritan
panjang laksana raungan harimau
terluka. Suara yang keluar dilambari seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Dinding gua retak-retak. Permukaan tanah pun terguncang bagai dilanda gempa!
"Argh...!"
Terdengar jerit kesakitan di
antara kegaduhan itu. Suara tawa yang menggerna pun lenyap.
"He he he...!" Suropati tertawa terkekeh. "Kau rasakan itu, Dedemit Culas!"
Kemudian, remaja konyol itu
bangkit dari duduknya. Kakinya
melangkah memasuki lorong sebelah kiri. Mulut Suropati berdecak kagum
menyaksikan dinding gua yang halus mengkilat berlapiskan batu pualam.
Suropati hampir terpeleset karena lantainya yang sangat licin.
Suropati segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dengan telapak kaki
dijinjitkan, dia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya tidak terjatuh.
Tak terduga duga, entah dari mana datangnya, sebuah benda bulat
bercahaya merah berputar
mengelilinginya. Benda bercahaya merah yang sesungguhnya sebuah lentera itu
kemudian berkelebat hendak menggempur dada Suropati!
Remaja konyol itu bergegas
mengebutkan tangannya. Serangkaian angin pukulan yang timbul dari telapak tangan
Suropati membuat lentera
terpelanting. Tapi, sekejap kemudian berbalik arah dan meluncur menuju kepala!
Deeesss...!Benda bercahaya itu tak hancur
terkena sam-baran tongkat Pengemis Binal. Bahkan, melenting dan berputar semakin
cepat! Membuat pandangan Suropati menjadi kabur.
Mendadak, sebuah lentera merah
lainnya meluncur dari belakang tubuh Suropati. Dan, menghantam telak tubuh
pemuda itu. Remaja konyol itu pun terlempar dan jatuh bergulingan di lantai.
Sambil meraba punggungnya yang
terhantam, gerutuan tak berujung pangkal keluar dari mulut Pengemis Binal. Tapi,
mulutnya mendadak
terkunci ketika menyaksikan belasan lentera berputar cepat mengelilinginya.
Tanpa pikir panjang lagi Suropati segera memutar tongkatnya. Dimain-kannya jurus
'Tongkat Memukul Anjing'.
Namun, gerakannya tak begitu sempurna karena berulang kali kakinya hampir
terpeleset. Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Deru putaran tongkat Suropati
berbaur dengan suara lesatan lentera-
lentera merah. Diawali teriakan
melengking nyaring, Pengemis Binal meloncat tinggi seraya menggempur benda-benda
bercahaya itu. Namun, sambaran tongkat hanya mengenai angin kosong. Lentera-
lentera itu bergerak menghindar bagai mempunyai pikiran.
Bola mata Suropati berputar
mengikuti gerak belasan lentera merah.
Dan tanpa diduga-duga pemuda itu, benda-benda bercahaya tersebut meluruk ke arah
Pengemis Binal secara bersamaan! Bergegas remaja konyol itu melentingkan
tubuhnya ke udara. Tapi ketika tubuhnya masih melayang, lentera-lentera merah
terlihat saling berbenturan satu sama lain. Dengan diiringi suara menggelegar,
asap berwarna kemerahan pun mengepul
memenuhi ruangan.
"Asap beracun!"
Pengemis Binal segera menahan
napas. Tapi hal itu membuat
kesigapannya berkurang. Ketika kakinya mendarat di lantai dia terpeleset.
Sementara belasan lentera merah telah berserabutan menuju ke arahnya!
Blaaarrr...! Suropati tak sempat menghindar.
Tubuhnya terlempar ke belakang
membentur dinding gua.
Dada remaja konyol itu terasa
hendak remuk. Kepalanya pening dan pandangannya berkunang-kunang. Dia
telah menghirup asap beracun!
Dan ketika belasan lentera merah kembali meluruk ke arahnya, Pengemis Binal
sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi. Matanya terpejam rapat.
Ditunggunya kedatangan Malaikat
Pencabut Ny-wa!
Sraaattt...! Tiba-tiba, sehelai selendang
berwarna merah meluncur cepat laksana kilat yang langsung membelit tubuh
Suropati. Lalu, dengan gerakan
seringan napas tubuh remaja konyol itu melayang.
Buuummm...! Belasan lentera merah akhirnya
membentur dinding gua.
*** 5 Di sebuah ruangan berdinding
tebal tubuh Suropati terkulai lemah di lantai. Walaupun dalam keadaan tak
sadarkan diri, tapi tangan kanan Pengemis Binal itu tetap menggenggam erat
tongkatnya. Obor-obor yang menempel di
dinding memberikan penerangan
seperlunya Obor-obor berbahan bakar gas alam itu menyala kecil.
"Uh...!"
Suropati tersadar dari pingsan-
nya. Kelopak matanya membuka perlahan-lahan.
"Di mana aku?" gumam Suropati.
"Apakah aku sudah mati" Dan, inikah kerajaan Tuhan itu?"
Remaja konyol itu tetap berbaring beberapa lama. Matanya mengerjap-ngerjap
memperhatikan sekitarnya.
Lalu, bergegas dia melompat bangkit berdiri.
"Oh, tidak! Aku masih hidup!"
teriak Suropati penuh luapan rasa senang. "Tapi, siapa yang menolongku dari
gempuran lentera-lentera itu?"
Setelah gagal menemukan
jawabannya, Suropati berputar
mengelilingi ruangan.
Namun, belum seluruh ruangan
dikelilingi mendadak pemuda itu
mendekap dadanya yang terasa sesak.
Pandangannya terasa berputar-putar.
Tubuh Suropati jatuh terjengkang di lantai.
"Uh...! Tubuhku menyimpan
racun...," rintih pemuda itu.
Susah payah Suropati berusaha
menegakkan punggungnya untuk duduk bersila. Setelah itu hanya keheningan yang
dia rasakan. Melalui pengerahan segenap hawa murninya, perlahan-lahan dari
lubang hidung Pengemis Binal mengalir darah kental berwarna
kehitam-hitaman.
Mata Suropati terbuka ketika
beberapa saat kemudian jalan pernapasannya dirasakan sudah lancar.
Tapi, dia masih merasakan sakit di bagian dadanya. "Ah, tak apa. Nanti juga
sembuh dengan sendirinya," ujar pemuda itu seperti tak peduli.
Mata remaja konyol itu kemudian
jelalatan mengitari dinding ruangan.
Dia mencari pintu atau jendela yang da pat digunakan untuk keluar dari sana.
Dhung...! dhung...!
Suropati membentur-benturkan
kepalan tangannya ke dinding.
"Di balik dinding ini sepertinya ada ruangan lain," gumam remaja konyol itu.
Dhung...! dhung...!
Tiba-tiba, terdengar suara
benturan dari balik dinding.
"Di balik dinding ini tentu ada orang," ujar Suropati. "Mungkin dia disekap
seperti diriku. Akan kucoba melihatnya dengan menggunakan ilmu
'Mata Awas' yang diajarkan Kakek Periang Bertangan Lembut..."
Tubuh Pengemis Binal duduk diam
tak bergeming. Kedua matanya terpejam rapat. Kekuatan batinnya segera
dipusatkan. Tak lama kemudian, kegelapan dari kelopak matanya yang terpejam samar-samar
dihiasi cahaya keputihan. Lalu, mata hati Suropati melihat sebentuk ruangan
berdinding tebal tiada
berpintu. Perlahan-lahan sesosok tubuh manusia muncul di hadapannya....
"Dia seorang gadis," bisik Suropati. "Siapa dia" Oh, aku seperti pernah
mengenalnya."
Pengemis Binal segera mengakhiri semadinya. Kemudian, dengan pengerahan tenaga
dalam tongkatnya dihunjamkan ke dinding.
Bluuusss...! Tongkat itu menembus dinding.
Setelah dicabutnya, dia menjulurkan kepala dan berusaha mengintip dari lubang
yang tercipta. "Hah..."!"
Suropati meloncat ke belakang
karena saking kagetnya. Ketika dia mengintip tadi, matanya melihat benda putih
yang ditengahnya terdapat sebuah bulatan berwarna hitam. Suropati terkejut
karena benda bulat hitam itu bergerak-gerak.
"Uh, rupanya gadis itu ikut mengintip," keluh Suropati setelah sadar dari
keterkejutannya.
"Siapa kau?"
Terdengar pertanyaan yang
ditujukan kepada Pengemis Binal.
"Kau sudah mengenalku," jawab Suropati.
"Siapa?"
"Kalau tidak salah, kita pernah berjumpa tiga kali. Pertama, di sebuah kedai di
Kota Kadipaten Bumiraksa.
Kedua, di hutan kecil tak jauh dari Kota Kadipaten Bumiraksa juga. Ketiga, di
kaki Bukit Parahyangan. He he he...," Suropati memperdengarkan tawa.
"Di situ kau menghadiahkan ciuman padaku."
"Kau Suropati?"
"Tepat!"
"Oh, Suro, aku Ingkanputri..."
"Aku sudah tahu."
Ingkanputri tak menyahuti ucapan Suropati. Dia teringat bagaimana dirinya bisa
sampai di tempat itu.
Malam hari ketika Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah usai
mempertontonkan kebolehannya di Kota Kadipaten Tanah Loh, Ingkanputri dan
Anjarweni beristirahat di sebuah penginapan. Selagi kakak seperguruannya itu
keluar kamar untuk mengejar sebuah bayangan misterius, Ingkanputri terbangun
dari tidurnya. Tiba-tiba dia merasakan jalan napasnya terganggu.
Gadis itu melihat kepulan asap
berwarna kemerahan memenuhi kamarnya.
Setelah itu, dia tak tahu apa yang terjadi karena kesadarannya telah hilang. Dan
ketika siuman, dia berha-dapan dengan seorang wanita cantik berpakaian serba
merah. "Siapa kau?" tanya Ingkanputri.
"Sekar Mayang atau
Bidadari Lentera Merah."
"Kau menculikku?"
Sekar Mayang tersenyum.
"Aku mcmbutuhkan orang-orang semacammu, Putri. Seorang gadis yang berilmu
tinggi," sahut wanita itu dengan suara lembut.
"Apa maksudmu?"
"Perkumpulan Bidadari Lentera Merah membutuhkan lebih banyak anggota lagi. Kau
adalah salah seorang
pilihanku.".
"Siapa sudi menjadi anggota perkumpulan mu"!" sentak Ingkanputri.
"Aku bisa memaksamu!"
"Lakukan kalau kau mampu!"
tantang Ingkanputri. Gadis itu
meloncat dari pembaringan. Tapi, tubuhnya limbung dan langsung jatuh menggelosor
ke lantai. "Ha ha ha...!" Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak. "Kau telah terkena Racun
Pelemah Raga. Tanpa obat penawar, kau hanyalah seonggok sampah tiada berguna."
"Bangsat!" umpat Ingkanputri.
"O, kau hendak menantangku
bertempur"!" ejek Sekar Mayang.
"Segera tunjukkanlah kemampuanmu!
"Serahkan obat penawar racun itu padaku!" sambut Ingkanputri.
"Baik. Aku akan meluluskan
keinginanmu itu. Tapi, kau harus bersedia menjadi anggota Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah."
"Apa untungnya menjadi anggota
perkumpulanmu"!" Mata Ingkanputri tampak berkilat-kilat.
"Banyak. Banyak, Putri. Semua orang akan memandangmu terkagum-kagum.
Dan tak lama lagi, kedudukan dan harta melimpah akan dapat kau rengkuh...."
"Apa maksudmu?"
"Perkumpulan Bidadari Lentera Merah adalah sebuah gerakan bawah tanah. Tampuk
kepemimpinan Kerajaan Anggarapura merupakan tujuan kami.
Prabu Arya Dewantara hanyalah seorang lelaki loyo. Dia tak pantas memegang
kendali pemerintahan."
"Jadi, kau ingin memberontak"!"
Sekar Mayang tersenyum simpul.
"Kata itu kurang tepat, Putri.
Kerajaan Anggarapura haruslah dipimpin oleh seorang tokoh yang berkemampuan luar
biasa. Untuk mewujudkan cita-cita itulah Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
dibentuk."
"Itu tak ada bedanya. Namanya tetap memberontak! "
"Terserah apa katamu. Tapi, kau harus bersedia menjadi anggota


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkumpulanku."
"Aku tak sudi!"
"Berpikirlah dengan masak
terlebih dahulu!" Sekar Mayang masih berusaha menahan dirt
"Sudah kubilang, aku tak sudi!"
"Ha ha ha...!"
Sekar Mayang terdengar tertawa bergelak. "Rupanya
kau ingin menjadi gadis loyo!"
Ingkanputri menggeram gusar.
"Kuberi kau waktu untuk berpikir," kata Sekar Mayang seraya mengibaskan ujung
lengan bajunya. Asap berwarna kemerahan pun seketika
menyebar. "Uh...!"
Keluhan pendek keluar dari mulut Ingkanputri. Gadis itu segera jatuh pingsan.
Itulah yang dialami Ingkanputri.
Sekarang Ingkanputri merasa
senang mengetahui kehadiran Suropati.
Timbul setitik harapan dalam hatinya untuk dapat membebaskan diri dari
cengkeraman Bidadari Lentera Merah.
"Kenapa kau berada di tempat ini, Suro?" tanya Ingkanputri' dari balik dinding.
"Mestinya yang menanyakan hal itu adalah aku," sambut Suropati.
"Aku ditawan."
"Aku juga," sambung Pengemis Binal, cepat.
Ingkanputri menarik
napas panjang. Tiba-tiba hatinya diliputi kegalauan. "Kenapa kau bisa sampai ditawan,
Suro," tanyanya kemudian.
"Ssst.,.!" Suropati memberi isyarat. "Jangan berkata-kata lagi.
Aku mendengar suara yang
mencurigakan...."
Tiba-tiba, seluruh ruangan terasa
berderak. Tubuh Suropati sampai
terhuyung-huyung.
Seeerrr...! Permukaan lantai bergeser
membentuk sebuah lubang. Tubuh
Pengemis Binal terjeblos ke dalamnya!
Dia terperangah kaget ketika melihat Puspita telah berdiri di hadapannya.
"Kau"!"
"Ssst...!" Puspita menegakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Bila kau ingin
menemui Sekar Mayang, aku akan menunjukkan jalannya...," bisik wanita itu.
"Kau yang menolongku beberapa waktu lalu?"
"Tak perlu banyak bicara. Ikuti lorong sempit ini. Setelah bercabang dua, ambil
yang sebelah kanan."
"Bukan tipuan?"
"Untuk apa menipumu?" kata Puspita meyakinkan. "Cepat kau ikuti lorong sempit
ini! Aku tidak punya banyak waktu."
Suropati segera melangkahkan
kaki. "Sebentar, Suro...," cegah Puspita.
"Katanya kau tidak punya banyak waktu."
"Aku hanya ingin menyampaikan pesan."
"Apa?"
"Setelah bertemu Sekar Mayang.
usahakan jangan sampai terjadi bentrok dengannya."
"Kenapa?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kau harus bermanis rupa di hadapannya."
"Tentu, karena itu...," Suropati tak melanjutkan bicaranya. Dia malu mengatakan
tujuannya untuk menemui Sekar Mayang.
"Ingat baik-baik pesanku itu, Suro."
"Aneh...," pikir Suropati setelah Puspita pergi. "Sepertinya wanita cantik itu
bukan anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Mungkinkah dia sedang
melakukan penyamaran?"
Pengemis Binal berdiri di
tempatnya seperti kera kehilangan ekor. Tapi tak lama kemudian, dia segera
mengikuti petunjuk Puspita.
Lorong sempit yang dilaluinya
berkelok panjang. Namun, Suropati tak menemukan kesulitan. Setiap sepuluh tombak
di dinding lorong terdapat sebuah obor yang memberi penerangan cukup.
Tak ada seperminum teh kemudian, Suropati telah menemukan cabang lorong yang
dimaksudkan oleh Puspita. Dia pun mengambil yang sebelah kanan. Sebuah ruangan
luas terbentang. Lantai dan dindingnya terbuat dari batu pualam licin mengkilat.
Suropati merundukkan tubuhnya
ketika tiba-tiba mendengar hembusan napas memburu. Saat itu dia berada di sisi
sebuah meja besar yang juga terbuat dari batu pualam.
"Uh, kau sangat
nakal, Mayang...," terdengar suara laki-laki.
"Kau juga," sahut si perempuan.
"Kau yang mengawali."
"Uh! Tanganmu jangan begini!"
"Kenapa?"
"Geli."
"Ah, kukira kau merasa senang.
Kalau begitu, begini saja...." "Uh....
Uh...." "Baru kau merasa senang
sekarang," ujar si laki-laki kembali.
Suara sahut-menyahut itu
terhenti. Berganti dengan hembusan napas yang semakin memburu.
Suropati melebarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Dia
terkesiap ketika menyaksikan sebuah adegan yang mendebarkan. Dua tubuh hampir
telanjang tampak bergumul dan bergulingan di lantai.
Pengemis Binal menggeram gusar
ketika tahu kalau si lelaki adalah Si Pendekar Asmara.
"Keparat!" umpat Suropati dalam hati. "Ternyata kau sudah berada di sini, Kapi
Anggara. Rupanya kau
sengaja membodohiku."
Sambil bersungut-sungut, remaja
konyol itu meninggalkan tempat persem-
bunyiannya. Tapi..., sesosok tubuh menghadangnya.
"Kau mau ke mana, Suro"!"
Suropati menatap sejanak wajah
penghadangnya itu. "Aku menerima kalah, Kapi Anggara," katanya.
"Biarkan aku pergi..."
"Tak semudah itu!" bentak Si Pendekar Asmara sambil membenahi bajunya yang
berantakan. "Aku sudah tidak lagi mempunyai urusan denganmu!"
"Tapi, kau sudah kepalang basah masuk ke sini!"
Tanpa diduga-duga Si Pendekar
Asmara tiba-tiba melayangkan pukulan kepatan tangan kanannya meluncur deras.
"Aku tidak mau berkelahi!" kata Suropati sambil berkelit.
Kapi Anggara menyusuli sera-
ngannya dengan tendangan. Namun, kali ini pun tetap tak mengenai sasaran.
"Kau jangan memaksaku, Kapi Anggara!" bentak Suropati.
"Berpura-puralah melayani gempuranku, Suro.."
Suropati terkejut mendengar suara bisikan di dekat telinganya itu.
"Kenapa bengong"! Ikuti
perintahku!"
Suara itu muncul lagi. Pengemis
Binal menatap wajah Kapi Anggara yang sedang melancarkan pukulan. Dia
menangkap isyarat mata dari pemuda tampan itu.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Suropati bergegas menuruti
perintah Kapi Anggara. Tongkat di tangannya diputar cepat. Tapi ketika hendak
melakukan gempuran,
mendadak.... "Hentikan!"
Sekar Mayang meloncat ke sisi Si PendekarbAsmara. Suropati pun
menghentikan putaran tongkatnya.
"Bukankah kau Pengemis Binal"!"
ujar Sekar Mayang.
"Ya," jawab Suropati pendek.
"Ha ha ha...!" Sekar Mayang tertawa bergelak. "Hari ini aku sungguh beruntung.
Kudapatkan dua ekor kelinci sekaligus...."
Suropati mendengus gusar.
Demikian pula dengan Si Pendekar Asmara. Mereka tersinggung dikatakan sebagai
dua ekor kelinci.
"Suro...,"
suara Sekar Mayang
berubah lembut. "Apakah kau juga ingin menjadi kekasihku?"
Suropati gelagapan
mendengar pertanyaan itu. Belum pernah dia menjumpai seorang wanita cantik yang semikian
berani menebak isi hatinya.
Tapi ketika melihat kecantikan
Sekar Mayang yang sangat mempesona, remaja konyol itu tak sungkan-sungkan lagi.
Cepat kepalanya dianggukkan.
Tawa Sekar Mayang seketika
menggema. Suaranya memantul tak henti-henti. "Sekarang juga kau menjadi kekasih
keduaku setelah Kapi Anggara, Suro...."
"Aku keberatan!" Si Pendekar Asmara meloncat ke hadapan Sekar Mayang. "Kau harus
memilih salah satu di antara kami, Mayang...," katanya dengan suara berat.
"Tidak. Kalian berdua sama tampan dan sama gagahnya. Sayang, bila salah satu
harus dibuang."
Kapi Anggara mendengus keras.
Lalu, tubuhnya meluncur ke arah
Suropati. "Bangsat kau, Suro!"
teriaknya seraya melancarkan sebuah tendangan.
Wuuusss...! Tendangan itu hanya mengenai
angin kosong. "Tampakkan kebencianmu kepadaku, Suro...."
Suropati mendengar suara bisikan itu. Setelah berpikir sejenak, dia memutar
tongkatnya kembali.
Tubuh Si Pendekar Asmara meliuk-
liuk, meng-hindari serangan. Lalu, digempurnya Suropati dengan kecepatan kilat!
Des...! Tangan kiri Suropati menangkis
sebuah tendangan. Namun, tubuh Kapi Anggara berputar cepat laksana
digerakkan oleh angin puting beliung.
Suropati terpaksa memutar tongkatnya untuk melindungi tubuhnya dari cecaran
angin yang ditimbulkan oleh putaran tubuh si Pendekar Asmara.
Sraaattt...! Selembar kain lebar berwarna
merah terlihat mengembang. Angin pukulan Kapi Anggara ber-balik arah.
Tubuh Si Pendekar Asmara itu mundur beberapa tindak,
terkena sambaran
angin yang ditimbulkan oleh kekuatan tenaga dalamnya sendiri.
"Kenapa kau nekat, Kapi
Anggara"!" sentak Sekar Mayang. Tangan kanannya memegang selembar kain lebar
berwarna merah.
Si Pendekar Asmara menatap tajam wajah wanita cantik itu.
"Aku mencintaimu, Sekar Mayang.
Tak seorang pun boleh menodai cintaku yang tulus ini...."
Mendengar perkataan Kapi Anggara, Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak.
"Aku menghargai kejujuranmu, Kapi Anggara. Tapi, kau tak berhak melarang
keinginanku untuk menerima hasrat Suropati."
Usai berkata, Sekar Mayang
mengeluarkan suitan nyaring. Lalu, sebuah bayangan merah berkelebat datang.
Seorang wanita cantik anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Dia segera membungkukkan tubuh ke arah
junjungannya. "Bawa tamu kehormatanku ini menuju Ruang Penanti Sorga!" perintah Sekar Mayang
seraya melirik Suropati.
"Hamba, Ketua...."
Anak buah Sekar Mayang itu
kemudian mem-balikkan badan. Kakinya melangkah perlahan-lahan meninggalkan
ruangan. "Kau ikuti dia, Suro...," ujar Sekar Mayang. Bagai kerbau dicocok hidungnya,
Suropati menuruti perintah wanita itu.
"Kau tak perlu marah,
Kekasihku...," kata Sekar Mayang kemudian dengan manjanya pada Kapi Anggara.
"Permainan kita tadi belum usai. Ayolah, kita lanjutkan!"
Wanita cantik itu memejamkan
matanya. Lalu,tubuhnya bergoyanggoyang. Mendadak baju Sekar Mayang melorot
jatuh, memperlihatkan bagian tubuh yang indah dan mengundang hasrat kelelakian.
Kapi Anggara terkesiap. Matanya
terbuka lebar. Dengan dengusan keras, diterkamnya tubuh Sekar Mayang.
*** 6 Tatanan ruangan itu begitu indah menyejukkan pandangan mata. Lantai dan
dindingnya licin mengkilat. Karangan bunga terdapat di sudut-sudut ruangan.
Aroma harum bunga mawar memenuhi ruangan indah ini.
Suropati duduk terpaku di kursi
empuk berkain beludru. Matanya menatap pembaringan berkelambu sutera tipis.
Lalu, perlahan dia bergerak bangkit seraya meraih tongkatnya yang
tergeletak di lantai.
"Aku harus menyelamatkan Ingkanputri...," gumam pemuda itu. "Tak sepantasnya aku
duduk tercenung di sini. Kasihan Ingkanputri."
Suropati berusaha membuka pintu.
Tapi, ternyata terkunci rapat. Dike-rahkannya ilmu 'Mata Awas' untuk melihat
keluar. Setelah mengetahui tak ada seorang penjaga pun di sana, Suropati
menjebol daun pintu!
Braaakkk...! Daun pintu hancur berkeping-
keping terhantam kepalan tangan
Pengemis Binal. Tapi belum sempat dia melangkahkan kakinya keluar, Sekar Mayang
telah berdiri di hadapannya.
"Kau mau ke mana, Suro?" tanya Sekar Mayang.
Suropati menggaruk kepalanya.
"Ah... ehm.... Aku ingin buang air," jawab remaja konyol itu sekenanya.
"Buang air di situ saja. Aku ingin melihatnya.... He he he...,"
Sekar Mayang tertawa menggoda.
"Tidak jadi."
"Kenapa?"
"Aku sendiri tak tahu," kata Suropati sambil menggaruk kepalanya.
Sekar Mayang segera meraih tangan remaja konyol itu. Dituntunnya
Suropati kembali memasuki ruangan.
"Aku ingin mendengar kata-kata indahmu, Suro...."
"Aku tidak bisa," elak Suropati.
"Bodoh! Sebagai seorang lelaki, kau harus pandai merangkai kata-kata."
"Tentang apa?"
"Pujaan kepada seorang wanita."
Kepala Suropati menggeleng-geleng lemah. "Kau sangat cantik, Mayang...,"
katanya kemudian dengan kelopak mata menyipit. "Kecantikanmu melebihi nenek
buyutku." "Secantik apakah nenek buyutmu itu?" sahut Sekar Mayang.


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu."
"Bodoh! Mestinya, kau katakan kalau kecantikanku melebihi Dewi Ratih."
"Aku tidak tahu siapa Dewi Ratih itu."
"Bodoh! Dewi Ratih adalah
bidadari kekasih Kamajaya."
"Siapa Kamajaya?"
"Ah, ternyata kau sangat dungu, Suro...." Sekar Mayang menjadi jengkel
mendengarnya. "Memang!" Suropati lalu menggaruk kepalanya.
"Tapi aku suka. Karena, kau tampan."
"Setampan apakah aku ini?" tanya Suropati ingin tahu.
"Kunyuk Buduk!" sahut Sekar Mayang sambil menahan tawa.
"Bodoh! Mestinya kau katakan kalau ketampananku melebih Kapi
Anggara." "Tidak. Kau dan dia sama tampan."
"Bodoh! Aku merasa lebih tampan dari dia!"
"Baiklah, kau memang lebih tampan dari Kapi Anggara."
"He he he...!" Suropati tertawa senang.
"Kita adalah sepasang kekasih, Suro. Tidakkah kau ingin...," Sekar Mayang
menggantung kalimatnya. Matanya tampak mengerjap-ngerjap mesra.
"Tidak!" sahut Suropati yang segera dapat menangkap maksud isyarat itu.
"Aku mencintaimu, Suro...."
"Bohong!"
"Uh...!"
Tubuh Sekar Mayang menggeliat
dengan mesra. Kepala wanita cantik itu menengadah. Matanya dipejamkan.
Melihat sikap menggoda Sekar
Mayang, Suropati merasa jijik. Dia segera membalikkan badannya.
"Kenapa kau tidak melayani
keinginanku, Suro?" tanya Sekar Mayang penuh rasa kecewa.
"Aku ingin keluar dari tempat ini!"
"Apa"! Kau ingin keluar" He he he..,!" Sekar Mayang mengalunkan suara tawa.
"Silakan, kalau kau mampu..."
"Baik. Aku pergi sekarang!" sahut Pengemis Binal seraya melangkahkan kakinya.
Sekar Mayang cuma menatap dengan sinar mata penuh ejekan.
Kaki Suropati terus melangkah
melewati ambang pintu lalu menyusuri lorong-lorong sempit.
"Kenapa Sekar Mayang begitu mudah melepaskan aku pergi?" tanya Suropati dalam
hati. "Ah, apa pedulinya dengan sikap aneh wanita cantik itu! Yang penting,
sekarang aku punya kesempatan untuk menolong Ingkanputri."
Dengan langkah lebar, Suropati
terus menyusuri lorong-lorong
di hadapannya. Tapi lewat seperminum teh kemudian langkah pemuda itu terhenti.
"Ah, rupanya aku hanya berputar-putar di tempat ini!" Suropati menggaruk
kepalanya. "Aku tidak tahu di mana Ingkanputri disekap. Dan, di mana jalan
keluar aku juga tak
tahu...." Tiba-tiba remaja konyol itu
melihat sebuah bayangan merah berkelebat. Cepat Suropati menghempos tenaganya dan berlari mengejar
bayangan yang baru dilihatnya. Karena mengerahkan hampir seluruh ilmu
meringankan tubuh, akhirnya dia dapat menyusul.
"Tunggu dulu, Nona...!"
Bayangan merah itu menghentikan
langkahnya. Ditatapnya wajah Suropati dalam-dalam. "Kenapa kau berada di sini?"
tanyanya. "Aku membutuhkan seorang penunjuk jalan."
"Rupanya kau mencoba melarikan diri..."
Suropati tidak menyahut.
Tangannya bergerak cepat melancarkan sebuah totokan. Anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah ternyata cukup lincah. Dengan mudah dia menghindar.
"Di sini segala keinginanmu tidak mudah terwujud!" ujar wanita itu.
"Siapa bilang"!" sungut Suropati tak senang.
Dilancarkannya sebuah tendangan
yang meluncur deras. Tendangan itu membentur pergelangan tangan anak buah Sekar
Mayang. Tapi, sehelai selendang merah datang mengancam leher Suropati.
"Permainan anak kecil!" kata Suropati seraya melayangkan telapak tangannya.
Ujung selendang berhasil ditang-
kap. Lalu, tangan Suropati membetot
keras. Tubuh anak buah Sekar Mayang pun meluncur ke arahnya.
Tuk! Totokan Pengemis Binal dapat
mengenai sasaran. Tubuh anak buah Sekar Mayang menjadi lemas.
"Kau sangat cantik. Sayang untuk dibunuh," kata Suropati. "Siapa namamu?"
"Apa perlunya menyebutkan nama"!"
sentak wanita itu ketus sekali.
"Karena kau cantik, dan aku membutuhkan bantuanmu."
"Aku tak mau!"
Tiba-tiba tangan Suropati
bergerak cepat. Ditotoknya jalan darah di pinggang wanita yang sudah tak berdaya
itu. Jerit kesakitan langsung terdengar.
"He he he...!" Suropati tertawa.
"Sebelum aku melepaskan totokanku, rasa sakit itu akan terus melanda."
"Ah... aduh...! Ba.. baiklah...."
"Baiklah apa?" goda Suropati.
"Uh.... Ba... baiklah... aku...
aku mau..."
"Mau apa" Kucium?"
"Mem... membantumu."
Suropati tertawa senang. "Itu namanya kau benar-benar seorang gadis cantik yang
baik hati."
Tangan Suropati bergerak melepaskan totokan. Rasa sakit yang melanda pun hilang.
"Uh..,! Tubuhku bagian atas tetap belum bisa digerakkan," keluh wanita cantik
itu. "Biar kau tidak menipuku."
"Tapi tubuhku jadi lemah."
"Biar! Kakimu masih bisa melangkah. Mulutmu pun masih bisa bicara.
Itu sudah cukup!" Suropati kemudian mendorong tubuh anak buah Sekar Mayang.
"Bawa aku ke ruang tahanan!"
perintahnya. "Siapa yang kau cari?"
"Seorang gadis."
"Tahanan di sini banyak. Semuanya gadis-gadis."
Suropati menggaruk kepalanya.
"Ehm, anu... seorang gadis
cantik." "Semuanya juga cantik."
Suropati kembali menggaruk
kepalanya. "Ah, sudahlah. Bawa saja aku ke ruang tahanan. Aku akan pilih sendiri gadis yang
kucari." Anak buah Sekar Mayang segera
melangkahkan kakinya.
"Eh, siapa namamu?" tanya Suropati yang mulai timbul sifat isengnya.
"Apa perlunya?"
"Karena kau cantik."
Mendengar perkataan
Suropati, wanita berpa kaian merah tersenyum kecil.
"Ayumi," katanya pendek.
"Ehm, nama yang bagus. Mudah-mudahan setelah ini kita bisa berjumpa lagi..."
Kaki Ayumi terus melangkah.
Sesekali dia membalikkan badannya dan mengerling ke arah Suropati.
"Rupanya gadis ini naksir
padaku," gumam Suropati senang di dalam hatinya.
Ketika mereka melewati sebuah
lorong sempit selebar badan, tiba-tiba Ayumi meloncat ke depan. Tangannya meraih
seutas benang yang hampir kasat mata.
Seeerrr...! Lantai lorong sempit itu bergeser cepat sepanjang dua tombak.
Suropati sedikit pun tidak
menyangka adanya jebakan itu. Dia berusaha meloncat, tapi terlambat.
Tubuh remaja konyol itu meluncur masuk ke dalam lubang. Dan Suropati terkejut
setengah mati menyaksikan dasar lubang dihampari tombak-tombak bermata
runcing! Bergegas Pengemis Binal berusaha menjejakkan kakinya ke dinding. Tubuh remaja
itu melenting ke atas. Tapi, lubang yang menganga di atasnya
mendadak tertutup kembali. Tubuh Suropati membentur pintu jebakan, lalu meluncur
turun ke bawah dengan lebih cepat!
Pengemis Binal bergidik ngeri.
Tak ada yang bisa dilakukannya lagi.
Dibayangkannya Dewa Kematian yang sebentar lagi akan datang menjemput.
Mendadak... Seeerrr...! Dinding lubang jebakan terbuka!
Sehelai selendang merah menjulur cepat, kemudian membelit tubuh
Suropati. Tubuh remaja itu tertarik ke samping dan jatuh berdebam di lantai
dingin. "Aduh!" keluh Suropati sambil memegang pantatnya yang mendarat lebih dahulu
"Kau memang sangat bodoh,
Suro...," kata seorang wanita berpakaian serba merah, yang tak lain Puspita.
"Eh, lagi-lagi kau menolongku,"
sambut Suropati dengan
tersenyum senang. "Ayumi itu suruhan Sekar Mayang yang ditugaskan untuk membunuhmu,"
beritahu Puspita
"Apa"!"
"Ayumi sengaja mengalah agar kau mudah terkecoh."
"Keparat!" umpat Suropati.
"Sebaiknya kau segera keluar dari sini, Suro. Sebentar lagi seluruh anak buah
Sekar Mayang akan mencarimu."
"Aku harus menyelamatkan seorang temanku."
"Seorang gadis?"
"Ya."
"Cantik?"
"Ya."
Tiba-tiba Puspita melengos.
"Eh, kau cemburu?" tanya Suropati.
"Tidak!" jawab Puspita sedikit ketus.
"Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa "
"Bohong!"
"Tidak!"
Puspita mengembangkan senyum
manis. "Sekarang juga kau harus keluar dari sini, Suro," katanya kemudian.
"Aku harus menolong temanku itu dulu."
"Aku yang akan mengurusnya."
"Aku bisa mempercayai ucapanmu?"
"Kenapa tidak" Siapa nama temanmu itu?" Walaupun masih agak cemburu, Puspita
bertanya juga. "Ingkanputri."
"Aku sudah tidak punya waktu lagi. Segera kau ikuti lorong sempit ini. Can
seuntai benang yang menjulur ke atas. Hitung sampai tiga, lalu tarik. Ingat
Suro, benang ketiga!
Jangan salah!"
"Baiklah. Aku akan menuruti petunjukmu. Tapi, kau sebenarnya siapa?"
"Pada saatnya nanti kau akan tahu
sendiri," sahut Puspita.
"Kau kenal Kapi Anggara?"
"Dia temanku."
"Kekasih?"
"Bukan. Ah, sudahlah. Segeralah kau langkahkan kakimu!"
Suropati menatap wajah Puspita
sejenak. "Wanita cantik yang sangat misterius," gumam pemuda itu dalam hati.
"Aku berdoa untuk keselamatanmu, Suro...," ujar Puspita sebelum berkelebat
pergi. "Setelah menolongku, selalu saja dia bilang tidak punya waktu.
Sebenarnya aku ingin sekali bisa berlama-lama dengannya."
Bibir Suropati mengembangkan
senyum. "Melihat kecepatan gerak Puspita, aku bisa mengukur ketinggian ilmunya.
Namun, kenapa di pekuburan itu aku dapat dengan mudah merobohkannya"
Apakah dia sengaja mengalah" Siapa sebenarnya gadis itu?"
Suropati bertanya-tanya sendiri.
Tapi segera dihentikannya tindakan itu. Remaja konyol itu kemudian
melangkahkan kakinya menyusuri lorong-lorong yang berliku. Sambil berjalan,
kepalanya ditengadahkan untuk mencari untaian benang yang dimaksud Puspita.
"Satu... dua...," Suropati menghitung dalam hati. Mendadak, sinar
matanya berkilat tajam. "Nah, ini dia.
benang ketiga!"
Suropati terpaku sejenak. Tangannya mengelus untaian benang yang menjulur di
atas kepalanya.
"Seperti terbuat dari baja,"
gumam Suropati. Sambil menahan napas, pemuda itu menarik benang yang
dipegangnya. Tiba-tiba lantai yang diinjak bergeser cepat dan membentuk sebuah
kubangan. Dibiarkannya tubuhnya terjeblos. Akibatnya, tubuh Suropati meluncur
menuruni sebuah lorong gelap.
Lubang di mana Suropati lewat tertutup kembali.
Sebentar kemudian, pemuda itu
mendarat dengan ringan di dasar
lubang. Di depannya tampak sorot cahaya rembulan yang temaram. Suropati bergegas
melangkah lebar-lebar.
Sampailah dia di mulut sebuah gua.
"Bukankah aku dulu masuk juga lewat sini?" ujar pemuda itu. "Aku masuk lewat
sini, keluar pun lewat sini. Benar-benar tamu terhormat."
Sambil tersenyum-senyum, Suropati berjalan keluar gua. Tapi ketika melihat
bentuk rembulan yang hampir bulat penuh, dia terperangah.
"Hari keempat belas bulan purnama ketujuh!" Remaja konyol itu teringat pada Aki
Barondeng. Dia mempunyai janji akan menemuinya besok malam.
Usai bertempur melawan Pendekar Murtad
dan Empu Barangas di Pendapa Kadipaten Bumiraksa, tiba-tiba muncul Aki
Barondeng. Kakek tua renta itu
menuliskan sebuah pesan tantangan pada dirinya.
"Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan juga menuliskan pesan," gumam Suropati lagi.
Kepala Suropati mendongak.
Ditatapnya bulatan rembulan yang sedikit tersaput awan.
"Ah, sekaranglah saatnya aku harus menuruti pesan Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan...."
Sekejap kemudian, tubuh Suropati berkelebat cepat menuruni bukit.
Pemuda itu mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk mengejar waktu. Tubuhnya hanya tarnpak bagai bayangan.
Memasuki Kota Kadipaten
Bumiraksa, malam telah larut. Sunyi senyap terbalut sepi. Kabut dingin bergerak
mencengkeram tulang.
Suropati berdiri tegak di depan
Kuil Saloka. Pakaiannya yang penuh tambalan berkibar-kibar dimainkan angin.
Dengan

Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

elusan lembut, dia
mengusap peluh yang bergulir di
keningnya. Perlahan kakinya dilangkahkan memasuki kuil yang sudah tiada berdaun
pintu. "Uh, gelap benar...," bisik Suropati sambil menggapai-gapaikan
tangannya seperti hendak mengusir
kelam. Sejenak dia terpaku di tempatnya.
Setelah kekuatan batinnya terpusat dalam pengerahan ilmu 'Mata Awas', cahaya
berwarna putih seperti mem-bayangi pandangan Pengemis Binal.
Kakinya pun melangkah pasti mengitari ruangan di dalam kuil.
Tak perlu kau berputar-putar,
Suro...," sebuah suara lembut terdengar menyapa Suropati. "Kakek Bayangan Putih
Dari Selatan!" Suropati mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tapi,
sosok Bayangan Putih Dari Selatan tak nampak.
"Di mana kau Kek..."!" tanya Suropati kemudian.
"Aku berada di suatu tempat,
Suro." "Di mana?"
"Tak perlu kau tahu. Kalau kau datang ke sini untuk memenuhi pesanku, berarti
kau masih memikirkan
keselamatan nyawamu. Aki Barondeng adalah tokoh rimba persilatan yang tiada
tandingan. Kepandaian yang sekarang kau miliki belum sanggup untuk
menghadapinya, Suro..."
"Lalu, untuk apa kau menyuruhku datang ketempat ini?"
"Aki Barondeng adalah kakak seperguruanku.
Dia memiliki ilmu mujizat yang
bernama ilmu 'Penghisap Sukma'."
"Aku tidak takut," kata Suropati konyol. "Aku punya ilmu 'Penghisap Kencing
Sapi'. He he he!"
"Ini bukan saatnya untuk
bergurau! Segeralah kau duduk
bersila," tegur Bayangan Putih Dari Selatan.
"Untuk apa?"
"Untuk menghadapi ilmu 'Penghisap Sukma' kau harus mencapai tahap
penyucian kalbu."
"Ah, seberapa hebatkah ilmu
'Penghisap Sukma' itu?" Suropati menggerutu. "Kenapa Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan begitu mengkhawatirkan keselamatanku?"
"Segera kau turuti perintahku, Suro!" bentak Bayangan Putih Dari Selatan
kembali. Rupanya dia agak jengkel juga menyaksikan kekonyolan Suropati.
"Baiklah, Kek. Tapi, kau jangan mengencingiku dari atas...."
Usai mengucapkan kalimatnya,
Suropati menyilakan kedua kakinya di lantai. Dengan tangan bersedekap di depan
dada pemuda itu lalu memejamkan matanya. Sekejap berlalu, jiwa
Suropati seperti melayang-layang di atas hamparan tanah luas tiada
bertepi. Kabut memendar dalam keheningan. Lalu, sebuah sinar keputihan menyibak.
Sinar itu memancar bagai kilatan cahaya yang membentur cermin.
Sesosok tubuh tampak duduk bersila di atas lempengan batu besar.
"Kakek Bayangan Putih Dari
Selatan," bisik Suropati.
"Mendekatlah kemari, Suro...."
Suropati menuruti perintah kakek berpakaian serba putih itu. Dia naik ke
lempengan batu dan duduk bersila di dekat si kakek.
"Tak ada satu pun kekuatan yang sanggup menghentikan gerak jiwa
manusia...," kata Bayangan Putih Dari Selatan. "Jiwa manusia sanggup menembus
kegelapan dan melewati segala rintangan yang menjadi penghalang.
Tapi, hanya jiwa suci penuh kepasrahan kepada Tuhanlah yang dapat melakukan
semua itu. Kau harus mencapainya, Suro..."
"Bagaimana caranya, Kek?" "Kau harus melalui tahap penyucian kalbu.
Untuk itu, dia harus mengekang hawa nafsu yang mengotori hatinya. Harus
menghindari segala pikiran buruk yang mengajaknya bertindak di luar garis
kebenaran Tuhan. Karena kebenaran Tuhan bersifat abadi, kau harus
menelusuri dan menyatukan kehendak dalam kebesaran-Nya...."
Lama Bayangan Putih Dari Selatan memberikan petunjuk kepada Suropati.
Wejangan itu baru kali pertama ini, didengar Pengemis Binal. Pemuda itu berusaha
menerimanya dengan segenap
kelapangan jiwa dan pikiran....
Tak terasa, malam telah berganti pagi. Sinar mentari menerobos masuk menerangi
bagian dalam kuil. Suropati membuka matanya.
"Uh! Rupanya hari telah
berganti...."
Pemuda itu bangkit berdiri.
Diluruskannya pinggangnya yang terasa kaku. Kemudian, dia melangkah keluar.
Seorang kakek bongkok berpakaian penuh tambalan tampak berjalan menghampiri.
"Kakek Gede," sapa Suropati.
"Semalam aku terus menunggumu, Suro. Aku khawatir kau tidak memenuhi pesan
Bayangan Putih Dari Selatan."
"Jadi, ketika aku memasuki kuil Kakek melihat?"
"Ya," jawab Gede Panjalu. "Kenapa Kakek tidak menegurku?"
"Waktumu sangat sempit. Kau sudah menemui kakek budiman itu, Suro?"
"Sudah. Aku mendapat bekal ilmu yang bernama ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'."
"Syukurlah. Eh, Suro..."
"Apa, Kek?"
"Di Kota Kadipaten Bumiraksa ini muncul Perkumpulan Pengemis Baju Hitam."
Suropati kelihatan terkejut.
"Siapa yang mendirikannya" Dan, bagaimana sepak terjangnya?" pertanyaan Suropati
keluar beruntun.
"Aku tidak tahu siapa yang
mendirikannya. Tapi kalau kau ingin tahu sepak terjangnya, man aku
tunjukkan..."
Gede Panjalu menghentakkan
kakinya dan melesat pergi dari tempat itu. Suropati segera menyusul. Setelah
sampai di depan sebuah pasar kecil, mereka baru berhenti.
"Kau lihat orang itu, Suro..."
Gede Panjalu menunjuk seorang
lelaki berbadan tinggi besar yang berpakaian penuh tambalan. Tangan kanan lelaki
itu memegang sebatang tongkat. Ujungnya bengkok menyerupai gagang payung.
"Dia anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam," beritahu Gede Panjalu.
"Perhatikan gerak-geriknya...."
Kakek bongkok itu menggandeng
lengan Suropati. Mereka kemudian duduk di samping seorang penjualsayur.
Dalam pengawasan Gede Panjalu dan Suropati, lelaki berbadan tinggi besar yang
merupakan anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu tampak
menghampiri seorang penjuai ikan.
"Uang!" bentak pengemis baju hitam itu.
Si penjual ikan mendongakkan
kepalanya. "Daganganku belum laku,"
katanya. "Aku tak peduli! Berikan uang yang kuminta!"
"Kau ini mengemis atau
merampok"!"
"Terserah apa katamu! Aku butuh uang sekarang. Cepat berikan!"
Si penjual ikan menatap wajah
pengemis baju hitam. "Enyah kau!"
bentaknya. "Bangsat!" pengemis baju hitam mengumpat.
"Kau belum tahu siapa aku...."
Tiba-tiba, lelaki berbadan tinggi besar itu mengayunkan telapak
tangannya. Plak! Si penjual ikan mendekap pipinya yang terkena tamparan.
Suropati yang menyaksikan adegan itu jadi terperangah kaget. Dia hendak bangkit
berdiri. Tapi, Gede Panjalu mencegahnya.
"Belum waktunya bertindak," kata kakek bongkok itu.
Suropati meletakkan kembali
pantatnya di tanah.
"Kalau kau tidak segera memberiku uang, aku bisa membunuhmu sekarang!"
ancam pengemis berbaju hitam kepada penjual ikan.
Yang diancam menatap dengan sinar mata penuh kebencian. Cepat diambilnya sebilah
pisau di balik bajunya. Lalu, ditusukkan ke arah lelaki tinggi besar. Tapi
dengan sigap pengemis berbaju hitam itu berkelit. Kemudian
telapak tangannya menyampok.
Siku penjual ikan terbentur.
Pisau yang digenggamnya jatuh ke tanah. "Ha ha ha.,.!"
Pengemis berbaju hitam tertawa
terbahak-bahak. Suara tawanya yang keras segera mengundang perhatian orang.
Namun mereka hanya bisa menatap tanpa bertindak apa-apa. Ketika tawa pengemis
berbaju hitam berhenti,
jempol kakinya menginjak gagang pisau yang tergeletak di tanah.
Pisau itu melayang tinggi. Lelaki berbadan tinggi besar segera menyambut
kemudian ditimang-timangnya. "Kau tidak takut mati, Monyet Busuk"!"
katanya dengan mata berkilat menatap penjual ikan.
Si penjual ikan bergidik ngeri.
Tubuhnya menggigil seperti orang terserang demam.
Tiba-tiba kaki pengemis berbaju
hitam melayang. Dihantamnya meja tempat penjual ikan menjajakan barang
dagangannya. Ikan-ikan berhamburan.
Semua orang yang berada di pasar menyaksikan dengan mulut terkunci rapat.
Suropati mengumpat diam-diam
dalam hati. Ketika hendak bangkit, kembali Gede Panjalu mencegah.
"Kau lihat, seorang anggota perkumpulan kita berjalan mendekati,"
kata kakek bongkok itu.
"Carang Gati!" desis Suropati.
"Coba kita perhatikan apa yang akan dilakukan pemuda kurus itu."
Carang Gati menghampiri pengemis berbaju hitam.
"Tindakanmu terlalu biadab," ujar anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu. "Huh! Anak buah Suropati!" ejek pengemis berbaju hitam.
Suropati terkejut mendengar
namanya disebut-sebut. Tapi, dia tetap diam di tempatnya.
"Siapa kau?" tanya Carang Gati.
"Buka matamu lebar-lebar, Pengemis Buruk! Namaku Juwing Balangan. Kau bisa
menyebutku Pengemis Gajah!"
"Tidak sepatutnya kau berbuat seperti ini."
"Aku tidak butuh nasihatmu!"
bentak Juwing Balangan.
Tangan Juwing Balangan lalu
bergerak cepat menyambitkan pisau.
Carang Gati menangkis dengan tongkatnya. Pisau itu langsung luruh ke tanah.
Juwing Balangan menggeram gusar. Tongkatnya berkelebat cepat menyodok dada
Carang Gati. Tongkat Pengemis Gajah bergetar
keras terkena benturan tongkat Carang Gati.
"Bangsat!" umpat Juwing Balangan.
Lelaki tinggi besar itu lalu
memutar tongkatnya. Dicecarnya tubuh
Carang Gati dengan bertubi-tubi.
Pemuda kurus anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu berkelit ke sana
kemari. Kemudian, tongkat di tangannya berkelebat tak kalah cepat.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Suara sambaran tongkat terdengar keras. Pertempuran sangit segera berlangsung.
Kegiatan di sekitar pasar langsung berhenti. Orang-orang lebih suka menonton
pertunjukan gratis itu.
Lewat sepuluh jurus kemudian,
tiba-tiba tongkat di tangan Juwing Balangan bergerak aneh.
Tongkat itu menyodok tanah. Lalu, si empunya melayang seraya melancarkan
tendangan. Bersamaan dengan itu
pangkal tongkat yang melengkung meluncur tertuju ke dahi Carang Gati!
Pemuda bertubuh kurus itu
menangkis tendangan. Cepat digerakkan kepalanya ke samping.
Wuuuttt...! Serangan Pengemis Gajah gagal.
Tapi, dia segera menarik tongkatnya hingga pangkal tongkat yang melengkung
mengait leher Carang Gati. Anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
terkejut. Buru-buru tubuhnya dirun-dukkan.
Melihat serangannya berhasil
dielakkan lawan, Juwing Balangan berputar lalu melancarkan tendangan beruntun!
Des...! Tubuh Carang Gati terpental, dan bergulingan di tanah. Tanpa mau
membuang waktu tongkat Juwing Balangan menghunjam ke tubuh Carang Gati yang
masih bergulingan.
Suropati terperangah. Pemuda itu segera bangkit berdiri. Tapi, gerakan Gede
Panjalu lebih cepat. Tubuh kakek bongkok itu meluncur bagai anak panah lepas
dari busurnya. Tak...! Tongkat Juwing Balangan terpapaki tongkat Gede Panjalu.
Anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu jadi terpaku di tempatnya.
Matanya menatap kehadiran Gede Panjalu dengan penuh kemarahan.
"Bangsat kau, Gede Panjalu!"
umpat Juwing Balangan. Lalu, lelaki bertubuh tinggi besar itu memutar tubuhnya.
Dia berkelebat cepat meninggalkan pasar.
Gede Panjalu cuma memandang
kepergian Juwing Balangan sebelum menghampiri Carang Gati. "Kau tidak apa-apa,
Gati?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, Kek," jawab Carang Gati sambil mengibas-ngibaskan bajunya yartg
berdebu. "Terima kasih, Kek. Kau telah menolongku."
Gede Panjalu menggamit lengan
Carang Gati. Diajaknya pemuda itu berjalan mendekati Suropati.
"Kini kau telah tahu sepak
terjang anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam, Suro," ujar Gede Panjalu pada
Suropati. "Pengemis jahat!" desis Suropati.
"Aku ingin meluruskan langkah mereka yang melenceng."
"Sekarang bukan saatnya kau melakukan hal itu. Kau mesti
mempersiapkan diri untuk menghadapi Aki Barondeng di Bukit Hantu besok malam."
"Ah, aku tak pernah habis pikir.
Kenapa kakek tua renta itu
menantangku?"
Suropati melangkahkan kakinya.
Gede Panjalu dan Carang Gati
mengikuti. Orang-orang memandang kepergian mereka dengan tatapan mata kagum.
*** 7 Rembulan bulat penuh menyorotkan cahaya kuning keperakan. Gumpalan awan putih
bergerak bersama hembusan angin.
Di hamparan tanah luas di puncak Bukit Hantu tampak sesosok tubuh berdiri
mematung. Kedua tangannya bersedekap di depan dada. Pakaiannya yang compang-
camping berkibar tertiup angin. Rambutnya riap-riapan, menambah
seram wajah sosok yang sudah
menyerupai mayat itu. Dia adalah Aki Barondeng atau si Mayat Hidup. Tokoh tua
golongan hitam yang tiada tanding.
Ketika angin berhembus lebih
kencang, sebuah bayangan berkelebat datang. Sosok itu kini berdiri tegak lima
tombak dari hadapan Aki
Barondeng. Sosok yang bam muncul itu masih belia. Berpakaian penuh


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tambalan. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat. Dia adalah Suropati atau
Pengemis Binal.
Beberapa lama dua manusia itu
saling bertatapan dengan mulut
terkunci dan tatapan menjorong tajam.
Sementara kaki mereka menjejak tanah dengan kokoh.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba, Aki Barondeng tertawa keras.
"Orang Gila!" umpat Suropati dalam hati.
"Kau benar-benar ksatria, Suro."
"Apa enaknya jadi ksatria"! Tak mendapat upah," sahut Suropati seenaknya.
"Bocah Gendeng! Aku menghargai keberanianmu."
"Kau hargai berapa" Sekeping" Dua keping" Atau, seraup uang emas?"
"Uh! Dasar sinting! Mata duitan!
Kau memang patut dijuluki Pengemis Binal. Tiap hari kerjamu hanya
menghitung uang hasil meminta-minta
anak buahmu," ejek Aki Barondeng.
"Aku tiap hari menghitung uang karena aku pandai. Tapi, kerjamu tiap hari hanya
menghitung bilangan karena otakmu bebal!" balas Suropati tak kalah galak.
Mendengar ucapan Suropati, Aki
Barondeng menggeram. Tangan kanannya cepat digerakkan ke depan. Sinar keputihan
segera meluruk deras ke arah Pengemis Binal.
Blaaarrr...! Permukaan tanah di mana Suropati berdiri tadi langsung berkubang dalam.
Suropati telah lebih dulu mengelak dengan melompat ke samping.
"Rupanya kau sedang membuat lubang kuburan. Untuk siapakah itu?"
ejek Suropati seraya tersenyum sinis.
Aki Barondeng mendengus gusar.
Tubuhnya lalu melayang seraya melancarkan pukulan dengan tangan
geledeknya. Suropati berkelit. Tapi, tiba-tia tangan Aki Barondeng mulur dan
terus menghunjamkan bogem mentah!
"Eit...!"
Pengemis Binal bergegas meloncat jauh menghindari serangan. Bersamaan dengan itu
mulutnya melontarkan
ejekan. "Karena terlalu sering mencuri, tanganmu sampai bisa molor panjang.
Untuk menggaet mangga tetangga tentu sip!"
Aki Barondeng mendengus marah.
"He he he...!" Pengemis Binal tertawa terkekeh. "Rupanya kau gampang naik darah,
Kek...." "Aku tidak main-main. Aku akan segera membunuhmu!" geram Aki Barondeng.
"Kau ini aneh, Kek. Kenapa begitu gampang mengatakan mau membunuh
orang?" "Aku mempunyai alasan yang
tepat!" "Apa?"
"Kau kenal Brajadenta atau si Dewa Maut?"
Mendengar pertanyaan Aki
Barondeng, ingatan Suropati segera melayang ke Bukit Parahyangan. Di sanalah ia
melenyapkan keangkaramurkaan tokoh sesat yang disebutkan kakek tua renta itu.
"Kau kenal dia, Suro?" ulang Aki Barondeng.
"Ya."
"Kau telah membunuhnya!"
"Ya."
"Aku akan menuntut balas!"
"Eh, bicaramu ngelantur, Kek.
Apakah Brajadenta itu anakmu?"
"Tepat!"
"He he he...!" Suropati segera mengeluarkan tawa mengejek. "Bapak dan anak sama
saja. Sukanya membunuh orang...."
"Tepat! Dan, kini orang yang akan kubunuh adalah kau!"
"Wuih! Kejam amat. Tidakkah kau kasihan kepadaku, Kek. Aku ini masih perjaka
tingting. He he he...."
"Bangsat! Segera kau kukirim ke neraka!" umpat Aki Barondeng.
"Heh"! Mengirimku ke neraka pakai apa" Ke sorga sajalah. Ongkosnya mungkin tak
beda jauh," goda Suropati dengan mimik wajah lucu.
"Baik. Aku akan mengirimmu ke sorga. Tapi, tubuhmu akan kulumatkan terlebih
dahulu!" "Dilumatkan seperti menumbuk sambal, begitu" Wah, jangan Kek. Aku khawatir
Malaikat Penanya nanti
kesulitan mengenaliku."
"Bocah Gendeng! Mulutmu terlalu ceriwis!"
"Oh! Rupanya kau sangat bernafsu untuk membunuhku, Kek. Tapi, sebaiknya kita
bertempur besok pagi saja. Aku sudah ngantuk, nih...."
Tiba-tiba, tubuh Suropati
menggelosor ke tanah.
Aki Barondeng terkesiap melihat
tubuh remaja konyol itu meringkuk dengan mata terpejam rapat.
Sebentar kemudian, terdengar
bunyi dengkurannya.
"Bocah Gendeng! Kau jangan
memandang rendah padaku!" maki Aki Barondeng kalang kabut.
Kaki si Mayat Hidup segera
diayunkan menendang kepala Suropati.
Remaja konyol itu menggeliat.
Tendangan Aki Barondeng luput dari sasaran. Kakek itu murka bukan main melihat
serangannya gagal.
"Keparat! Kubunuh kau sekarang!"
Kedua tangan si Mayat Hidup
terpentang lebar. Kemudian, secepat kilat dihempaskan ke depan. Sinar keputihan
meluncur deras ke tubuh Suropati.
"Oaaahhh...!"
Remaja konyol itu menguap. Lalu, tubuhnya digulingkan cepat sejauh dua tombak.
Pukulan jarak jauh Aki
Barondeng membentur tanah kosong.
Sebentuk kubangan segera menganga lebar.
Si Mayat Hidup menatap tajam
tubuh Suropati yang terbujur lemah sambil mengeluarkan bunyi dengkuran.
"Jangan terlalu bangga dengan ilmumu itu, Bocah Gendeng!"
Aki Barondeng berdiri terpaku di tempatnya. Sambil bersidekap kakek tua renta
itu memejamkan mata. Perlahan-lahan tubuhnya bergetar. Asap putih kehitaman
mengepul keluar dari pori-pori.
Asap itu terus mengepul semakin
tebal. Membumbung rendah di atas tanah. Kemudian, kaki kanan Aki
Barondeng menghentak. Asap itu pun
bergerak menyelubungi tubuh Suropati!
"Uh! Uh!"
Napas Pengemis Binal terasa sesak bukan main. Tubuh remaja konyol itu menggeliat
dan meronta-meronta. Asap tebal yang menyelubungi bagai belitan ular raksasa,
"Ha ha ha...!"
Tawa si Mayat Hidup berkumandang menyibak suasana malam yang hening.
"Rasakan hasil kesombonganmu itu, Bocah Gendeng!"
Suropati terus bergulat melawan
asap tebal yang menyelubungi tubuhnya.
Dalam keadaan hampir tak bernapas dia berusaha memusatkan kekuatan batinnya.
Sesaat kemudian, dengan dilampiri tenaga dalam tubuh Pengemis Binal mengejang.
Blaaarrr...! Suara menggelegar yang memekakkan telinga terdengar begitu keras. Angin tiba-
tiba berhembus sangat kencang.
Binatang-binatang malam berlari
menjauh. Asap tebal yang menyelubungi tubuh Suropati lenyap seketika.
Pengemis Binal bangkit berdiri
seraya menyedot udara sebanyak-
banyaknya. Diisinya dadanya yang terasa hampir meledak. Aki Barondeng hanya
mendengus laksana banteng marah.
Suropati tertawa terkekeh. "Asap buatanmu terasa hangat di tubuhku, Kek. Tapi,
kau membuatku terkejut. Aku
sampai terbangun dari tidur yang nyenyak."
"Bocah Gendeng! Kau tak perlu banyak bacot!"
Aki Barondeng kemudian menerjang.
Tangan dan kaki kakek tua renta itu mulur panjang seperti terbuat dari karet
saja. Merasakan sebuah gempuran yang
hebat, Pengemis Binal tak sempat lagi berkata-kata. Tongkat di tangannya
bergerak cepat memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'.
Wuuuttt...! Wuuusss...!
Bunyi gempuran terdengar susul
menyusul. Tongkat Suropati terus bergerak mencecar tubuh Aki Barondeng.
Tapi, kakek tua renta yang sudah kenyang makan asam garam rimba
persilatan itu bergerak lebih cepat.
Serangan Pengemis Binal tak satu pun yang mengenai sasaran. Bahkan, tangan dan
kaki si Mayat Hidup yang mulur panjang berkelebatan mendesak
Suropati. Deees...! Bahu kiri Suropati terserempet
pukulan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa tindak.
"Makan kesombonganmu, Bocah Gendeng!"
Suropati hanya menyeringai dingin mendengar perkataan Aki Barondeng.
Lalu, remaja konyol itu memutar
tongkatnya memainkan jurus 'Tongkat Menghajar Maling'.
Tongkat Pengemis Binal berke-
lebatan menghujani tubuh Aki Barondeng dengan serangan-serangan berbahaya!
Perubahan jurus yang dilakukan
Suropati membuat si si Mayat Hidup terkesiap. Kali ini dia merasakan kehebatan
lawannya. Tapi, sejurus kemudian kakek itu menggempur dengan tak kalah hebat!
Pertempuran berlangsung seru.
Suara yang dirjmbulkannya terdengar begitu jelas di antara sunyinya
suasana malam itu. Tubuh Suropati dan Aki Barondeng berubah menjadi dua bayangan
yang hampir tak terlihat.
Sementara itu, di balik semak
belukar tak jauh dari arena
pertempuran, Carang Gati berbisik-bisik pada Gede Panjalu. Mereka tengah
mengintip jalannya pertempuran.
"Sanggupkah Suropati menghadapi tokoh tua itu?" tanya Carang Gati.
"Kau berdoalah," sahut Gede Panjalu pelan.
"Tangan dan kaki tokoh tua itu, dapat mulur panjang. Apakah dia
menggunakan ilmu sihir, Kek?"
"Tidak. Kenyataannya memang begitu. Dengan latihan yang memakan waktu puluhan
tahun hal itu dapat dilakukan. Tapi, ilmu seperti itu biasanya hanya dimiliki
tokoh-tokoh beraliran sesat."
"Jadi, Aki Barondeng itu orang jahat?"
"Kurang tepat. Dia mempunyai sifat dan sikap yang aneh. Terkadang dia memihak
golongan putih, tapi tak jarang pula berpihak pada golongan hitam."
"Plin-plan, begitu?"
Gede Panjalu tak menanggapi
ucapan Carang Gati. Pembicaraannya segera dialihkan pada jalannya
pertempuran. "Eh, kau lihat pertempuran itu, Gati. Tampaknya akan memakan waktu lama,
kedudukan mereka seimbang.
Kecuali kalau keduanya mengubah jurus masing-masing...."
Sementara itu, di
arena pertempuran Suropati sambil memutar tongkatnya melesat menjauhi arena
pertempuran. Aki Barondeng tertawa keras. "Kau takut, Bocah Gendeng"!" tanyanya kemudian
dengan nada mengejek.
"Tidak. Aku memberi kesempatan kepadamu untuk mengambil napas. Aku khawatir
paru-parumu yang kosong akan membuat tubuhmu yang kurus kering itu bercopotan
tulang-tulangnya."
"Bangsat!" umpat si Mayat Hidup.
Didorong rasa amarah, kakek tua
renta itu menerjang Suropati dengan kecepatan kilat. Pengemis Binal segera
memutar tongkatnya seraya merubah
gerakan. Kali ini menggunakan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Di saat tubuh Aki Barondeng
melayang di udara, tongkat Suropati memburu dengan cecaran dahsyat dan
mematikan. Bergegas kakek ini menambah laju luncuran tubuhnya untuk
menghindari serangan. Tapi, ujung tongkat Pengemis Binal terus memburu.
Aki Barondeng terperangah. Dia
tidak mempunyai kesempatan untuk berkelit. Maka, dengan terpaksa tangan kanannya
menangkis. Tak...! Tongkat Suropati terpental bagai membentur balok baja. Sebaliknya, si Mayat
Hidup menggeram gusar.
Pergelangan tangan kanannya terasa kesemutan. Rasa itu kemudian menjalar ke
seluruh tubuh. "Kenapa bengong, Kek?" ejek Suropati melihat Aki Barondeng
termangu. "Kau berpikir untuk melarikan diri?"
"Benar. Namun, aku akan memotes kepalamu terlebih dahulu!"
Aki Barondeng membuktikan
ucapannya dengan memulurkan tangan kanan sepanjang tiga tombak ke arah kepala
Suropati. Gerakannya seperti hendak memotes kepala remaja konyol itu.
"Eit! Tangan maling!" sambut
Pengemis Binal seraya menghantamkan tongkatnya.
Bluuukkk...! Pada bagian tangan kanan Aki
Barondeng yang terkena hantaman tiba-tiba melengkung. Tapi, telapak
tangannya tetap meluncur mendekati kepala Suropati.
Remaja konyol itu terkejut.
Tubuhnya bergegas ditarik ke belakang.
"Uh! Hampir
saja...," umpat
Suropati dalam hati.
Si Mayat Hidup tersenyum penuh
ejekan. "Mukamu pucat, Bocah Gendeng!
Tapi, aku akan tetap membunuhmu!"
"Kentut Busuk! Berkali-kali kau mengucapkan kata itu, namun tak
terwujud juga. Padahal aku sudah rindu untuk
memeluk bidadari-bidadari
kahyangan yang cantik molek," Suropati menanggapi dengan kata-kata yang membuat
telinga Aki Barondeng memerah.
"Baik, kalau memang itu yang kau minta!"
Aki Barondeng menggeram panjang.
Suaranya melolong
bagai serigala kelaparan. Kemudian, kakek tua renta itu berjalan perlahan mendekati
Suropati. "Hah! Apa yang akan dilakukan orang tua jelek itu?" Pengemis Binal bertanya-
tanya dalam hati.
Langkah kaki si Mayat Hidup
semakin dekat. Diangkatnya kedua tangannya ke depan laksana setan sedang
mendekati korbannya. Dan ketika jarak1 di antara mereka berdua tinggal satu
depa, Pengemis Binal
menghunjamkan ujung tongkatnya ke perut Aki Barondeng.
Bluuusss...! Perut si Mayat Hidup tertembus


Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat Suropati. Tapi, kakek tua renta itu malah tertawa senang. Tiba-tiba
tangan kirinya bergerak melayang.
Pengemis Binal mendekap pipinya
yang terkena tamparan.
Ketika tangan Aki Barondeng
hendak melayangkan serangan susulan, Suropati melepas tongkatnya seraya melempar
tubuhnya ke belakang.
"Ha ha ha...!"
Tawa si Mayat Hidup menggema.
Perutnya yang masih tertancapi tongkat Pengemis Binal bergerak-gerak
menggoyangkan batang tongkat.
"Ilmu apa yang digunakan tokoh tua itu, Kek?" tanya Carang Gati di tempat
persembunyiannya.
"Ilmu 'Penghisap Sukma' tingkat pertama," jawab Gede Panjalu.
"Memangnya ilmu itu ada berapa tingkat?"
"Tiga."
Tepat seusai perkataan Gede
Panjalu, si Mayat Hidup mencabut tongkat yang menancap di perutnya.
Lalu... Wuuusss...! Tongkat dilontarkan ke arah
pemiliknya! Suropati berkelit, hingga tongkat menancap ke sebatang pohon besar.
Batang tombak terbenam hamper separoh lebih.
Si Mayat Hidup tertawa terbahak-
bahak. "Kau mendekatlah kemari, Bocah Gendeng. Aku akan segera mengirimmu untuk menemui
bidadari-bidadari
cantik!" "Sebuah tawaran yang bagus!"
sambut Suropati dengan bersemangat.
Tubuh Pengemis Binal itu berdiri tegak di tempatnya. Dua telunjuk jarinya
disatukan lalu ditempelkan di dada. Perlahan-lahan, dari kepala remaja konyol
itu mengepul asap tipis.
Lalu, tubuhnya melayang ke arah
Aki Barondeng seraya melancarkan serangan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'. Bluuusss...! Kedua tangan Suropati menancap di perut si Mayat Hidup. Pengemis Binal meronta,
berusaha mencabutnya. Tapi, tak bisa...
Sementara di tempat persembunyian Gede Panjalu dan Carang Gati
terperangah menyaksikan adegan yang menggiriskan itu. Carang Gati hendak keluar
untuk membantu ketua
perkumpulannya, namun dicegah oleh Gede Panjalu.
"Jangan! Tubuhmu akan ikut
tersedot oleh kekuatan ilmu 'Penghisap Sukma' itu!"
"Bagaimana dengan Suropati, Kek?"
"Semoga Tuhan melindunginya,"
sahut Gede Panjalu penuh harap.
Pengemis Binal sendiri, masih
berkutat melawan maut. Kedua tangannya yang menancap di perut Aki Barondeng tak
sejengkal pun dapat ditarik
kembali. Suropati merasakan hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya. Asap
mengepul dari pori-pori.
"Lepas!"
Pada keadaan yang gawat itu
Pengemis Binal membentak dengan
menggunakan kekuatan ilmu sihirnya.
Tubuh Suropati terhempas, dan jatuh bergulingan di tanah. Dan ketika dia
bangkit... "Uoookkk...!"
Darah kental kehitam-hitaman
menyembur dari mulut pemuda itu. Darah itu melumuri bajunya yang penuh
tambalan. "Ha ha ha...!"
Tawa Aki Barondeng langsung
menggema. Seluruh bukit bergetar.
Pohon-pohon bergoyangan hingga
dedaunan rontok ke bumi.
Suropati jatuh terduduk. Kedua
tangannya bersedekap. Tubuh pemuda itu
menggigil seperti terserang demam hebat.
Terdengar si Mayat Hidup
menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
Duk...! Tubuh Suropati terangkat naik dan tersedot ke arah kakek itu!
Gede Panjalu dan Carang Gati
secepat kilat keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka berusaha memusnahkan
tenaga sedotan dari ilmu
'Penghisap Sukma' milik Aki Barondeng.
Tubuh kedua orang itu melayang,
menggempur si Mayat Hidup!
Tapi, luncuran tubuh Suropati
lebih cepat. Ketika jarak antara Pengemis Binal itu dengan Aki
Barondeng tinggal sejenak, tiba-tiba tubuh Suropati memancarkan sinar kebiruan.
Blaaammm...! Dua kekuatan maha dahsyat bertemu di udara. Malam yang ditaburi cahaya rembulan
sekejap berubah gelap-pekat.
Tubuh Pengemis Binal terpental jauh.
Tapi, akibat yang diterima si
Mayat Hidup sungguh mengerikan.
Tubuhnya jatuh terduduk. Kedua
pergelangan kakinya lepas sampai sebatas paha. Menyusul, kedua
lengannya rontok ke tanah Kemudian, kepala kakek tua renta itu terpisah dari le-
her dan menggelinding jauh.
Terakhir, tubuh seram si Mayat Hidup
jatuh rebah di tanah dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Dia telah terkena kehebatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang dilancarkan Suropati.
Secara tidak langsung, Gede
Panjalu dan Carang Gati pun merasakan kehebatan ilmu itu. Tubuh mereka yang
semula melayang ke arah Aki Barondeng terpental dan bergulingan di tanah.
Darah segar mengalir dari sudut
bibir Gede Panjalu. Keadaan Carang Gati yang berilmu rendah tampak lehih
mengenaskan. Sekujur tubuh pemuda bertubuh kurus itu mengalirkan darah segar.
Dia terkulai lemas tak sadarkan diri.
Suropati sendiri yang langsung
terkena ledakan dahsyat tampak duduk bersila. Seluruh hawa murninya
dipusatkan untuk mengatasi luka dalam yang telah diderita.
Angin bertiup lembut. Ranting-
ranting pohon bergoyang perlahan. Sepi sunyi kembali menyelimuti bukit itu.
*** Sementara itu di dalam gua di
bagian lain Bukit Hantu, Sekar Mayang atau Bidadari Lentera Merah tampak duduk
bersimpuh di hadapan Ratnasari, si Bidadari Bunga Mawar.
"Hari ini malam bulan purnama
ketujuh, Mayang. Sudah siapkah upacara pemulihan itu?" tanya Ratnasari.
"Sudah, Ketua Pertama."
"Ha ha ha...."
Tawa Ratnasari menggema. Suaranya memantul ke dinding gua.
"Cepat bawa kemari empat puluh perawan itu, Mayang!"
Suara Ratnasari yang ngorok
seperti iblis terdengar memberi
perintah. Setelah menundukkan kepala, tubuh Sekar Mayang berkelebat pergi.
Tak lama kemudian,
di hadapan Ratnasari telah membujur tubuh empat puluh orang gadis-gadis cantik. Tubuh
mereka melayang ke atas kolam. Lalu, tangan Ratnasari yang bersarung indah
dengan pernik-pernik gemerlap bergerak cepat.
Sraaattt...! Darah segar mengucur dari dahi
keempat puluh gadis korban itu. Air kolam langsung berubah merah.
Setelah menyingkirkan mayat-mayat korban, Ratnasari bangkit dari
singgasana emasnya. Perlahan-lahan dia membuka seluruh bajunya. Tapi ketika
wanita cantik itu membuka sarung tangannya, keningnya tampak berkerut.
"Tangan buruk, kau tak usah khawatir. Sebentar lagi kau akan mencapai
kesempurnaan," kata Ratnasari sambil menatap kedua belah tangannya yang keriput.
Byuuurrr...! Wanita cantik itu meloncat ke
dalam kolam. Lalu, tenggelam. Selang beberapa lama kemudian Ratnasari keluar
dari dalam kolam. Tubuhnya kini telah benar-benar sempurna. Suaranya yang tadi
seperti orang ngorok pun kini berubah halus dan merdu.
"Kini kesempurnaan telah kudapatkan!" kata Ratnasari penuh kegembiraan.
"Sebentar lagi aku akan merajai rimba persilatan. Ha ha
ha...!" Dari ruangan lain dekat dengan
tempat Ratnasari, sesosok tubuh yang sedang duduk bersila melesat keluar dari
mulut gua. Tubuh itu melayang-layang untuk beberapa lama.
Wujud orang yang sedang duduk
bersila itu adalah seorang kakek berambut riap-riapan yang menutupi seluruh
wajahnya. Pakaian yang
dikenakan sudah koyak-koyak dan tampak menyedihkan. Dia adalah Datuk
Risanwari. Tubuh yang pernah berjaya puluhan tahun silam itu meluncur ke suatu tempat.
Lalu, mendarat tanpa sedikit pun mengeluarkan suara di hadapan Suropati yang
sedang duduk bersila.
"Bukalah matamu, Bocah Bagus!"
perintah Datuk Risanwari. Suara yang keluar dari mulutnya mirip desisan ular.
Pengemis Binal tak juga membuka
matanya. Sementara itu, Gede Panjalu yang sedang menolong Carang Gati terkejut
melihat kehadiran Datuk Risanwari.
"Siapa, kau?" tanya kakek bongkok itu.
"Kau jangan mencampuri urusanku, Gede..." Kembali Gede Panjalu terkejut
mendengar namanya disebut.
"Siapa, kau?" tanyanya lagi.
"Datuk Risanwari ..."
"Ayah!"
Gede Panjalu mengeluarkan jeritan panjang. Dia menghambur ke arah Datuk
Risanwari. Kakek itu sungguh tak mengenali ayahnya lagi. Perpisahan yang sekian
lama dan keadaan Datuk Risanwari yang sangat mengenaskan telah membuatnya
pangling. Bruuukkk...! Tubuh Gede Panjalu membentur
kekuatan kasat mata. Tubuhnya jatuh terjengkang ke belakang.
"Jangan mencampuri urusanku!"
bentak Datuk Risanwari. "Sebentar lagi rimba persilatan akan diliputi kabut
gelap...."
Gede Panjalu menatap Datuk
Risanwari dengan penuh perasaan haru bercampur bahagia. Ayah yang dicari-carinya
selama ini kini telah
diketemukan. "Benarkah kau Datuk Risanwari?"
tanya kakek bongkok itu kemudian seperti tak percaya.
"Sudahlah, Gede. Kau segera menyingkirlah, Aku ada kepentingan dengan bocah
bagus ini."
Tanpa sadar Gede Panjalu
melangkah mundur menjauhi Datuk
Risanwari. "Bukalah matamu, Bocah Bagus...,"
kata Datuk Risanwari kepada Suropati.
Tapi, Pengemis Binal tak juga
membuka matanya.
Datuk Risanwari diam membisu.
Lalu, tokoh itu memasuki alam pikiran Suropati.
"Sebentar lagi rimba persilatan akan diliputi kabut gelap," kata Datuk Risanwari
kemudian. "Untuk
menyingkirkan kabut itu, dibutuhkan seorang pendekar yang berjiwa
bersih...."
"Apa maksudmu, Kek?" tanya Suropati dalam keheningan kalbunya.
"Seorang tokoh wanita jahat telah bangkit. Dia akan membuat kekacauan di rimba
persilatan. Kau harus
mencegahnya, Bocah Bagus."
"Aku?"
"Ya."
Perlahan-lahan Pengemis Binal
membuka matanya. Ketika di hadapannya duduk bersila seorang kakek berwujud
mengerikan, Suropati terkejut bukan main dan bergegas melompat ke
belakang. Siapakah tokoh wanita yang
dikatakan oleh Datuk Risanwari akan bangkit dan membuat kekacauan di rimba
persilatan"
SELESAI Ikuti serial Pengemis Binal
Dalam episode :
"ASMARA PENGGODA"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kelelawar Beracun 2 Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci Misteri Bayangan Setan 9
^