Pencarian

Cinta Bernoda Darah 2

Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Bagian 2


Gadis cantik itu mengguncang-guncangkan tu-
buh Pengemis Binal yang telah mengejang. Ia hendak
menyadarkan remaja tampan itu. Namun, cengkera-
man yang sangat kuat telah menariknya. Tubuh
Anggraini Sulistya terlontar membentur dinding ruangan hingga jebol!
Para dayang terkejut bukan main. Mereka ber-
loncatan untuk mengetahui apa yang terjadi. Sebagian memasuki ruangan besar, dan
sebagian lagi menghampiri tubuh Putri Cahaya Sakti yang tergeletak di atas
geladak. "Saka Purdianta masih hidup. Bunuh dia!" perintah Anggraini Sulistya sambil
meloncat bangkit.
Namun, sikap berdirinya tidak sempurna. Punggung-
nya yang membentur dinding ruangan membuat gadis
cantik itu sulit bernapas. Matanya terasa berkunang-kunang.
"Tuan Putri tidak apa-apa?" tanya salah seorang dayang.
Anggraini Sulistya menggeleng. "Bunuh Saka
Purdianta! Dia telah melukai Suropati dengan Jarum
Hitam," katanya kemudian.
Putri Cahaya Sakti lalu jatuh terduduk. Ia me-
muntahkan darah segar!
"Putri...!" jerit beberapa dayang, menyimpan ra-sa khawatir yang sangat.
Anggraini Sulistya mendelik. "Kenapa diam sa-
ja"! Cepat laksanakan perintahku!"
Walaupun masih mengkhawatirkan Putri Ca-
haya Sakti yang menderita luka dalam, para dayang
segera menghemposkan tubuh mereka menerjang Saka
Purdianta! Sementara, Anggraini Sulistya langsung
bersila dan menghimpun hawa murni. Luka dalam ga-
dis cantik itu bukan disebabkan oleh benturan pada
punggungnya, melainkan akibat totokan pada tengkuk
yang dilancarkan Saka Purdianta.
Dewa Guntur yang sudah tahu Putri Cahaya
Sakti mempunyai kepandaian untuk melepaskan toto-
kan, sengaja melancarkan totokan ke tengkuk. Aliran darah yang menuju ke otaknya
akan langsung terhenti. Bila dibarengi dengan benturan keras pada pung-
gung, akan mengakibatkan luka dalam yang cukup pa-
rah! Setelah berhasil menghimpun seluruh hawa
murninya, Anggraini Sulistya mengusap-usap tengkuk.
Kemudian dilanjutkan dengan sebuah totokan.
"Uoookkk...!"
Darah kental menyembur dari mulut gadis can-
tik itu. Aliran darah yang menuju ke otak telah lancar kembali.
Begitu dia hendak bangkit, keterkejutan segera
menghantam! Tubuh salah seorang dayangnya me-
layang dari dalam ruangan. Setelah menjebolkan dinding, tubuh itu jatuh
tergeletak di hadapan Putri Cahaya Sakti!
"Bangsat!" umpat gadis cantik itu seraya menghemposkan tubuh.
4 Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap tampak
berjalan menyusuri pantai. Pakaiannya sederhana,
berwarna putih-kuning dengan ikat pinggang kain me-
rah. Angin laut yang berhembus kencang memainkan
anak-anak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Wajah
si pemuda sangat tampan. Walaupun matanya berso-
rot tajam, namun bibirnya yang kemerahan selalu
mengisyaratkan keteduhan. Usianya ditaksir sekitar
dua puluh lima tahun. Dia adalah Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang.
Setelah mengorbankan diri bersama si Wajah
Merah, Raka Maruta mati suri atas usahanya untuk
menyelamatkan nyawa Suropati di dalam sebuah gua
di Bukit Rawangun. Karena dianggap telah berjasa dan sebagai tanda penghormatan,
seorang brahmana yang
bernama Tuhisa Brama berkenan menghadiahkan se-
botol kecil air sakti kepada Suropati. Dan, pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu mempergu-nakannya untuk mengembalikan roh Raka Maruta dan
si Wajah Merah yang lepas dari raga. (Untuk lebih je-lasnya, Raka Maruta alias
Pendekar Kipas Terbang silakan baca serial Pengemis Binal episode 'Tabir Air
Sakti') Raka Maruta yang kehilangan senjata andalannya setelah bertempur dengan
Sekar Mayang atau si
Penghimpun Angkara, kemudian memesan sebuah ki-
pas baja putih kepada seorang ahli pembuat senjata di suatu tempat tak jauh dari
Pantai Pasir Putih.
Terlihat Raka Maruta telah mengeluarkan kipas
dari balik bajunya. Kipas itu diamat-amatinya sebentar. "Ehm.... Empu
Danurabansa memang seorang ahli pembuat senjata yang handal. Dia bisa membuat
lem-pengan baja putih yang sangat tipis, sehingga kipas ini terasa sangat
ringan. Tak salah bila guruku yang bergelar si Kipas Sakti sangat mengagumi
kepandaian- nya." Pendekar Kipas Terbang terus berjalan menyusuri pantai sambil menimang-
nimang senjata andalan-
nya. Sesekali terlihat pemuda berwajah lembut itu
menghemposkan tubuhnya. Setelah bersalto beberapa
kali di udara, dia melontarkan kipas baja putihnya. Kipas itu melesat cepat,
hingga menjadi kilatan putih yang hampir kasatmata. Begitu kaki Raka Maruta
menjejak pasir, telapak tangan disorongkan. Menda-
dak, kipas baja putih yang sedang melesat cepat bertahan di udara. Dan ketika
Raka Maruta melompat-
lompat seraya menggerakkan tangan kanan, kipas itu
melayang-layang mengitari tubuh Raka Maruta.
"Haya...!"
Dibarengi teriakan demikian, tubuh Pendekar
Kipas Terbang meluncur kemudian menangkap senjata
andalannya. Luncuran tubuh pemuda berwajah lem-
but itu tegak lurus ke atas. Kemudian, dia bersalto tiga kali sebelum melesat ke
bawah dengan sangat cepat.
Srash...! Srash...!
Ketika kipas baja putih menyentuh permukaan
pasir, tubuh Raka Maruta berputar seperti gangsing.
Butiran pasir berhamburan mengaburkan pandangan!
Sebentar kemudian, pemuda tampan itu me-
nyunggingkan senyum lebar. Ditatapnya kubangan pa-
sir dihadapannya yang cukup dalam untuk mengu-
burkan bangkai seekor gajah.
"Atas petunjuk Eyang Guru, aku telah dapat
menyempurnakan tenaga dalamku," kata Pendekar Kipas Terbang. "Semula untuk
mengendalikan senjata andalanku, aku mesti menggunakan seutas tali baja.
Tapi sekarang tidak. Dengan tenaga isap, Kipas Sakti dapat kulontarkan ke mana
saja aku suka. Kemudian
menangkapnya kembali tanpa menggeser kedudukan
tubuh." Sekali lagi pemuda berwajah lembut itu melontarkan senjata andalannya.
Kipas baja putih melesat cepat. Ketika Raka Maruta menyorongkan telapak tangan,
kipas yang sedang melesat mendadak tertahan.
Lalu melesat kembali dan jatuh tepat pada genggaman Raka Maruta.
"Terima kasih, Eyang...," desis pemuda berwajah lembut itu.
Pendekar Kipas terbang kemudian berlari-lari
kecil sambil terus menyunggingkan senyum lebar. Se-
telah melewati julangan batu karang yang berjajar
tinggi, dia tercekat. Nun jauh di sana Raka Maruta melihat sebuah kapal
berbentuk burung rajawali tampak sedang berlabuh.
"Seperti kapal orang asing...," gumam Pendekar Kipas Terbang. "Aku akan melihat
lebih dekat."
Kaki pemuda berwajah lembut itu menjejak pa-
sir. Tubuhnya melesat cepat seringan kapas. Hanya
beberapa tarikan napas saja, dia telah berada di satu titik garis tegak lurus
yang menghubungkan garis pantai dengan letak kapal.
Kening Raka Maruta berkerut. Suara ledakan
ditangkap dengan jelas oleh telinga pemuda berwajah lembut itu. Terlihat ruangan
yang terletak di tengah kapal hancur berantakan. Samar-samar juga terdengar
jerit kesakitan yang menyayat hati.
"Sebuah pertempuran yang memakan kor-
ban...," gumam Pendekar Kipas Terbang. "Mungkinkah di atas kapal itu ada seorang
tokoh jahat yang sedang menyebar kematian" Ah, aku tak bisa membiarkan darah
orang tak berdosa tumpah."
Berpikir demikian, pemuda berwajah lembut itu
segera menghemposkan tubuh. Dia berlari cepat di
atas air pantai.
Sementara di atas kapal, dayang-dayang
Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti yang semu-la berjumlah belasan orang
kini tinggal empat saja.
Mereka adalah Andini, Purbawati, Saptini, dan Heksa-ni. Yang lain terkapar di
geladak kapal dalam keadaan tanpa nyawa. Walaupun Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur masih belum sembuh benar dari luka dalam-
nya, namun pemuda tampan berpakaian serba hijau
itu sama sekali tak terganggu.
Kibasan telapak tangannya selalu menimbul-
kan suara gemuruh keras. Juga gerakan kakinya yang
berputaran dan sesekali melejit, hingga membuat tu-
buh kapal terombang-ambing bagai diterpa ombak be-
sar. Pantas bila putra Tumenggung Sangga Percona itu dijuluki Dewa Guntur.
Putri Cahaya Sakti yang dibantu keempat
dayangnya berusaha mati-matian untuk segera me-
nyudahi riwayat Saka Purdianta. Anggraini Sulistya
sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yakni ilmu
'Cahaya Sakti' yang membuat sekujur tubuh gadis
cantik itu terselubungi cahaya perak menyilaukan ma-ta. Tapi karena dia sedang
menderita luka dalam, gerakan Putri Cahaya Sakti tidak seberapa gesit
"Jangan paksa aku menjatuhkan tangan maut,
Aini!" teriak Dewa Guntur seraya berkelit dari tendangan Andini yang mengarah ke
kepalanya. "Perintahkan
dayang-dayangmu untuk menyingkir, Aini!"
"Tidak, Tuan Putri!" sahut Purbawati. "Teman-teman kami telah banyak yang mati.
Kami akan me- nuntut balas!"
"Ha-ha-ha...." Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Ucapanmu sungguh lucu, Purbawati. Kau hendak
menuntut balas kepada siapa" Kalau kau tidak segera menyingkir, justru Malaikat
Kematian akan menjemput nyawamu!"
Pemuda tampan itu kemudian membuat ten-
dangan melingkar yang dibarengi sorongan telapak
tangan. Purbawati yang berada paling dekat cepat-
cepat meloncat ke belakang. Tendangan Saka Purdian-
ta pun luput. Namun, malang bagi Saptini. Serang-
kaian angin pukulan yang muncul dari telapak tangan kanan Dewa Guntur bersarang
tepat di dadanya. Akibatnya, tubuh wanita naas itu terloncat lalu tercebur ke
laut dalam keadaan hancur!
"Bangsat!" pekik Anggraini Sulistya.
Tubuh gadis cantik yang terselubung cahaya
perak itu berkelebat cepat. Di atas Kapal Rajawali itu timbul lesatan-lesatan
cahaya yang menyilaukan mata.
Tubuh Putri Cahaya Sakti mendadak lenyap, tertelan
lesatan-lesatan cahaya itu.
Dewa Guntur yang tak mengetahui di mana
Anggraini Sulistya berada segera menghemposkan tu-
buhnya ke atas.
"Heaaa...!"
Sembari berteriak demikian, Saka Purdianta
mengibaskan kedua telapak tangannya secara bersa-
maan. Timbul pendaran cahaya hitam. Dalam keadaan
masih melayang di udara, mata pemuda tampan itu
dapat melihat sosok Anggraini Sulistya sedang mengejar lesatan tubuhnya. Dewa
Guntur segera menepuk-
kan telapak tangan.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat membahana. Kilatan cahaya
kuning kemerahan menyambar tubuh Anggraini Sulis-
tya. Wanita cantik itu jatuh berdebam di atas geladak.
"Tuan Putri...!" jerit ketiga dayang Anggraini Sulistya yang masih tersisa.
Tiga wanita cantik itu menubruk tubuh junjun-
gannya yang tergeletak lemah dengan baju penuh noda darah. Pertempuran langsung
terhenti. Namun, suasa-na yang sunyi segera dipecahkan oleh tawa kemenan-
gan Saka Purdianta.
"Kalau aku mau, aku bisa membunuhmu, Aini!
Tapi itu tidak akan kulakukan. Aku mencintaimu.
Sungguh aku mencintaimu, Aini!"
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Putri
Cahaya Sakti. Matanya yang berkilat tajam menggam-
barkan isi hati gadis cantik itu. Betapa marah dan ge-ramnya dia. Dengan
mengumpulkan sisa-sisa tenaga
Anggriani Sulistya menyorongkan telapak tangan.
Maksudnya hendak melancarkan pukulan jarak jauh.
Namun, tangan gadis cantik itu segera jatuh terkulai.
Dia tak mempunyai kekuatan lagi!
Jerit keras tiga dayang membarengi Putri Ca-
haya Sakti yang jatuh pingsan. Cukup lama wanita-
wanita cantik itu memeluk tubuh junjungannya. Keti-
ka mereka sadar Saka Purdianta masih berada di atas kapal, Andini dan kedua
temannya segera bangkit menerjang.
"Perempuan Edan! Rupanya kalian benar-benar
merindukan Malaikat Kematian!" hardik Dewa Guntur.
Pemuda tampan itu tak mau membuang-buang
tenaga. Dilontarkannya tiga Jarum Hitam ke tubuh
dayang-dayang Putri Cahaya Sakti yang masih me-
layang di udara.
"Argh...!"
Purbawati dan Heksani tersentak. Tubuh mere-
ka jatuh berdebam di atas geladak dalam keadaan ka-
ku kejang. Mata kedua wanita cantik itu mendelik
dengan mulut ternganga. Pangkal leher mereka ter-
tembus Jarum Hitam yang dilontarkan Saka Purdian-
ta. Andini terlihat bersalto beberapa kali di udara.
Setelah berhasil menjejakkan kakinya ke geladak, wanita cantik itu terkejut
setengah mati melihat tubuh Putri Cahaya Sakti tersentak, kemudian mengejang
dengan mata mendelik dan mulut menganga lebar.
Apa yang terjadi" Ketika Jarum Hitam yang di-
arahkan ke pangkal leher Andini meluncur cepat, wa-
nita cantik itu menyampok dengan telapak tangan
yang dialiri seluruh tenaga dalam. Luncuran Jarum Hitam jadi melenceng. Malang
bagi Anggraini Sulistya.
Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang se-
dang pingsan itu menjadi sasaran senjata rahasia Saka Purdianta. Jarum Hitam
yang mengandung racun sangat ganas menancap di bahu kiri Anggraini Sulistya!
"Tuan Putri.... Tuan Putri...."
Andini memeluk erat tubuh Putri Cahaya Sakti.
Air mata dayang yang sangat setia itu tumpah deras.
Tangisnya terisak keras, penuh rasa sesal.
Saka Purdianta berdiri terpaku di tempatnya.
Gadis yang sangat dicintainya telah menjadi korban


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata rahasianya sendiri. Pemuda tampan itu tiba-
tiba menjadi linglung. Tak tahu apa yang mesti diperbuat. Namun, tiba-tiba dia
menjerit keras seraya melancarkan pukulan jarak jauh pada ruangan yang be-
rada di tengah kapal.
Suropati atau si Pengemis Binal tergeletak kaku
di ujung buritan setelah dilontarkan tenaga ledakan pukulan jarak jauh Saka
Purdianta. Tubuh Suropati
terbujur kaku. Sama sekali tak menunjukkan gerak
kehidupan. Matanya mendelik. Mulutnya menganga
lebar. Seluruh kulitnya yang bersimbah darah mem-
buat ngeri siapa saja yang memadangnya.
"Iblis Laknat!" teriak Dewa Guntur begitu keras.
"Semua ini gara-gara kau, Andini!"
Satu-satunya dayang Anggraini Sulistya yang
masih tersisa itu meloncat bangkit. Ditatapnya wajah Saka Purdianta dengan sinar
mata berapi-api. Gejolak amarah menguasai seluruh urat syarafnya. Saka Purdianta
pun balas menatap. Tak kalah garangnya. Da-
rah pemuda itu menggelegak naik sampai ke ubun-
ubun. Matanya memerah menyimpan amarah yang
sangat. "Aku akan mencincang tubuhmu, Andini!" geram Dewa Guntur.
"Aku pun akan mecongkel matamu, Lelaki Ja-
hanam!" sambut Andini lebih seram. "Walaupun aku tak dapat membunuhmu, tapi
Baginda Prabu akan
murka setelah mengetahui putri tunggalnya mendapat
celaka. Ini berarti kematian bagimu!"
Saka Purdianta mendengus keras. Kemudian
diterjangnya Andini. "Terimalah kematianmu terlebih dahulu!"
Andini yang mempunyai kepandaian lebih ting-
gi dari dayang-dayang lain segera menghemposkan tu-
buh. Lewat sodokan kaki kanan ke dada, dia memapak
terjangan Saka Purdianta.
Dhes...! Kaki kanan wanita cantik itu membentur tela-
pak tangan Dewa Guntur yang dialiri tenaga dalam penuh. Tubuh Andini langsung
terpelanting ke kanan
dan membentur pagar sisi kapal hingga patah!
Sebelum kecebur ke laut, Andini melentingkan
tubuhnya. Ia berusaha menyarangkan pukulan ke da-
da lawan. Tapi, Saka Purdianta telah menyiapkan se-
rangan mendadak. Tubuh pemuda tampan itu melun-
cur cepat. Kepalan tangannya akan segera meremuk-
kan kepala Andini.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya perak meng-
hentikan gerak tubuh Dewa Guntur!
Siiing...! Terkejutlah pemuda tampan itu. Tahu-tahu da-
da kirinya telah robek dan mengucurkan darah segar.
Matanya yang sudah melotot semakin melotot lebar
seperti hendak keluar dari rongganya. Di hadapan Sa-ka Purdianta telah berdiri
seorang pemuda berpakaian putih-kuning dengan ikat pinggang sehelai kain merah.
Tangan kanannya memegang sebuah kipas dari baja
putih. Dialah Raka Maruta atau Pendekar Kipas Ter-
bang. Andini yang telah terluka menubruk pergelan-
gan kaki Raka Maruta. "Tuan Pendekar, tolonglah Tuan Putri. Beliau putri tunggal
Baginda Prabu Singgalang Manjunjung Langit. Beliau telah terkena Jarum
Hitam...," ratap gadis cantik itu.
Pendekar Kipas Terbang mengarahkan pandan-
gannya ke tempat yang ditunjukkan Andini. Terlihat
oleh pemuda berwajah lembut itu tubuh Anggraini Su-
listya tergeletak kaku di atas geladak,
"Cepatlah, Tuan Pendekar. Racun Jarum Hitam
mempunyai daya bunuh yang sangat ganas," ratap Andini lagi.
Raka Maruta mengambil napas panjang. Ketika
pandangannya bersirobok dengan sesosok tubuh ber-
lumuran darah yang tergeletak di ujung buritan, terke-
jutlah dia. "Suropati...!" desis pemuda berwajah lembut itu.
Walaupun sekujur tubuh Pengemis Binal begitu
babak belur, Raka Maruta masih dapat mengenali.
Dan bagi Raka Maruta, Suropati bukan hanya sekadar
sahabat. Dia telah menganggapnya sebagai adik sendi-ri. Maka, bimbanglah hati
pemuda berwajah lembut
itu. Menolong junjungan dayang yang sedang meratap-
ratap itu, atau Suropati"
Namun, tak ada waktu banyak bagi Pendekar
Kipas Terbang untuk berpikir. Saka Purdianta telah
melancarkan pukulan jarak jauhnya.
Blaaammm...! Setelah mendorong tubuh Andini yang meme-
luk kakinya, Raka Maruta meloncat. Pukulan jarak
jauh Dewa Guntur hanya mengenai air laut, hingga
menimbulkan gelombang besar yang membuat tubuh
kapal oleng. Sesosok bayangan tiba-tiba muncul melesat
sangat cepat. Sosok itu menyambar tubuh Suropati
yang tergeletak di ujung buritan. Dibawanya tubuh
Pengemis Binal melesat ke tengah samudera.
"Cepatlah tolong Tuan Putri, Tuan Pendekar!"
teriak Andini. "Aku akan menghalangi manusia iblis itu!" Pendekar Kipas Terbang
sendiri sedang bingung karena melihat Suropati telah disambar seseorang
yang tidak diketahui maksudnya. Mau tidak mau ia
pun segera menyambar tubuh Anggraini Sulistya yang
tergeletak di geladak.
Sepeninggal Raka Maruta, dengan tak mempe-
dulikan keselamatan diri Andini menyerang Saka Pur-
dianta. Tangan dan kakinya yang berkelebatan tak ten-
tu arah. Andini yang sudah kalap menyerang Saka
Purdianta secara membabi buta. Saat ketika pemuda
tampan itu berusaha menyarangkan tendangan ke da-
da, Andini mendengus keras, lalu membalas dengan
tendangan. Dewa Guntur yang tak mau kaki lawan
menyentuh tubuhnya segera menarik kembali seran-
gannya. Kemudian, dengan menjatuhkan diri diceng-
keramnya pinggang Andini.
Bret...! Tubuh Andini yang meluncur mengikuti gerak
kaki kanannya membuat cengkeraman Saka Purdianta
melenceng. Kain bawah pakaian wanita cantik itu
koyak lebar. "Ha-ha-ha...."
Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak. Matanya
melotot menyaksikan paha mulus Andini. Darah pe-
muda tampan itu jadi berdesir aneh. Ada kekuatan
menghentak-hentak yang membangkitkan kelelakian-
nya. Saka Purdianta pun lupa pada kemarahannya.
Bayangan Anggraini Sulistya yang terluka akibat Ja-
rum Hitamnya langsung lenyap, berganti dengan sosok Andini yang sangat cantik
dan begitu menarik.
Menyaksikan lawan memelototi tubuh bagian
bawahnya yang terbuka, Andini hanya mendengus. La-
lu, diterjangnya Saka Purdianta dengan tendangan tertuju ke arah kepala!
Gerakan wanita cantik itu justru membuat De-
wa Guntur tersenyum senang. Kaki kanan Andini yang
terangkat naik memaksa kain bawah pakaiannya se-
makin tersingkap. Paha mulus Andini terpampang je-
las. Saka Purdianta terpana, hingga tanpa dia sadari....
Dhes...! Walau tak bersarang tepat pada sasaran, bahu
kiri Dewa Guntur terserempet tendangan yang cukup
telak itu. Saka Purdianta jatuh terjerembab ke geladak.
"Bangsat!" umpat pemuda tampan itu.
"Matilah kau!" balas Andini.
Wanita cantik itu melentingkan tubuhnya.
Dengan kaki kiri sedikit diangkat, kaki kanannya berusaha menginjak dada lawan!
Tapi, Saka Purdianta yang sudah menyadari
keadaan segera menggulingkan tubuhnya ke samping.
Kemudian dengan cepat tangannya bergerak.
Wek...! Terkejutlah Andini. Kain bawah pakaiannya ti-
ba-tiba lepas terenggut tangan Saka Purdianta. Tubuh bagian bawah wanita cantik
itu kini benar-benar telanjang. "Keparat!" umpat Andini. "Kubeset wajahmu yang
kotor itu!"
"Ho-ho-ho...! Lakukanlah bila kau mampu! Tapi
yang pasti, aku akan senang seandainya kau mau
mendekat kemari....."
Andini langsung duduk bersimpuh di lantai. Ia
tak mau menampakkan bagian tubuhnya yang terla-
rang. Kalau mau mengawali serangannya, tentu dia
harus bangkit terlebih dahulu. Sedangkan kalau berdi-ri itu sama saja memamerkan
sesuatu yang orang lain tak boleh tahu.
"Ayo, mendekatlah ke mari...," kata Dewa Guntur seraya mengulum senyum lebar.
"Segeralah kau laksanakan kehendakmu, agar secepatnya aku bisa
merasakan kehalusan jemari tanganmu."
Mata Andini melotot lebar menimpali perkataan
Saka Purdianta. Saat pemuda tampan yang sudah di-
rasuki nafsu itu berjalan mendekati, sinar mata Andini berubah nyalang. Dengan
nekat dia memegang kepalanya dengan kedua tangan. Gadis cantik itu menda-
dak bunuh diri dengan mematahkan batang lehernya!
Namun, Dewa Guntur lebih cepat. Ujung jari
tangan kanan dan kirinya berkelebat laksana kilat,
menotok aliran darah di pangkal lengan Andini. Wanita cantik itu tak dapat lagi
menggerakkan kedua tangannya. Dengan sentakan pelan tubuh Andini telah ter-
baring telentang di geladak. Beberapa lama Saka Purdianta menatap pemandangan
indah di hadapannya.
"Bunuh Aku!" hardik Andini dengan gigi gemeletuk menahan kemarahan. Hatinya jadi
tak karuan. Dia tak bisa membayangkan dirinya akan menjadi kor-
ban kebiadaban Saka Purdianta. Rasa takut wanita
cantik itu membayang jelas di matanya. Sosok Saka
Purdianta telah berubah menjadi makhluk jahat yang
sangat mengerikan. Lebih menakutkan dari sosok Ma-
laikat Kematian.
"Ho-ho-ho...," tawa Dewa Guntur yang sedang dalam kegembiraan meluap. "Kenapa
kau mesti takut kepadaku, Andini" Tidakkah kau lihat aku sangat ga-gah dan
tampan" Aku adalah putra Tumenggung
Sangga Percona" Bila aku menginginkan dirimu, bu-
kankah itu merupakan suatu kehormatan bagimu?"
Sinar mata Andini semakin nyalang. Ingin seka-
li rasanya dia merobek-robek mulut Saka Purdianta.
Lalu mencincang tubuh pemuda itu hingga menjadi
serpihan-sepihan daging tak berguna. Namun, semua
itu tak akan mungkin dia lakukan. Totokan Saka Pur-
dianta pada beberapa aliran darah di tubuhnya mem-
buat kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan.
Perlahan-lahan air mata Andini menetes.
"Bunuh aku...," desis wanita cantik itu penuh rasa iba.
Mendengar itu, Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Baiklah, kalau memang itu kemauanmu!"
Kaki kanan Saka Purdianta bergerak cepat. An-
dini pun memejamkan mata. Dia berharap kaki putra
Tumenggung Sangga Percona itu menginjak kepalanya
hingga pecah. Kematian memang rasanya lebih baik
daripada mendapat perlakuan biadab Saka Purdianta.
Namun, apa yang diharapkan Andini tak menjadi ke-
nyataan. Saat dia membuka mata, terkejutlah wanita
cantik itu melihat bajunya telah tanggal!
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Dewa Guntur membahana ke setiap pelo-
sok Pantai Pasir Putih. Begitu terhenti tawa pemuda tampan berpakaian serba
hijau itu, jakunnya terlihat naik-turun. Hembusan nafasnya terdengar memburu.
Mata pemuda itu tak berkedip menatap buah dada
Andini yang membusung tanpa tertutup selembar kain
pun. "Jangan pandang aku seperti itu, Jahanam!"
pekik Andini. Saka Purdianta malah tersenyum senang. Per-
lahan-lahan dia merundukkan tubuhnya, lalu menjilati pergelangan kaki Andini.
Lidah pemuda yang sudah dirasuki nafsu setan itu terus merayap naik. Jeritan-
jeritan Andini tak dipedulikan lagi.
"Andini...," bisik Saka Purdianta. "Aku akan membebaskan totokanmu. Namun
berjanjilah kau bersedia melayani kehendakku...."
"Cih! Siapa sudi! Bunuh saja aku, Keparat!"
"Sayang bila wanita secantik kau harus mati.
Cobalah pejamkan matamu, dan nikmatilah ciumanku
ini...." Dewa Guntur menelungkupkan tubuhnya. Lidahnya menelusuri leher jenjang
Andini. "Uh! Lepaskan totokanmu!" teriak wanita cantik
itu dengan perasaan jengah.
"Apa" Kau berjanji mau menuruti permintaan-
ku?" "Lekaslah!"
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak. Jemari tan-
gannya bergerak cepat membebaskan totokan di tubuh
Andini. Begitu selesai, pemuda tampan itu langsung
memeluk dengan erat seraya melumat bibir Andini.
Mendadak, sinar mata Andini berkilat tajam.
Tanpa disangka Dewa Guntur, wanita cantik itu men-
cengkeram tengkuknya. Tubuh Saka Purdianta digu-
lingkannya ke samping seraya melancarkan pukulan
yang dilambari tenaga dalam penuh.
Dhes...! "Argh...!"
Tubuh Dewa Guntur bergulingan di atas gela-
dak. Dadanya terasa sangat sesak, terkena pukulan
Andini yang beratnya laksana palu godam lima kati.
Darah segar mengalir dari sudut bibir pemuda tampan itu.
Saat dia bangkit berdiri dilihatnya Andini se-
dang berusaha mematahkan batang lehernya sendiri.
Untuk mencegah pemuda tampan itu tak mempunyai
kesempatan lagi. Namun, tiba-tiba dia melemparkan
sesuatu. Asap berwarna kemerahan menyerbu ke arah
Andini. "Oh...!" keluh wanita cantik itu. Perlahan-lahan tubuhnya terkulai jatuh
ke geladak. "Ha-ha-ha...!" untuk kesekian kalinya tawa Sa-ka Purdianta membahana di atas
Kapal Rajawali. "Kau telah menghirup puyer perangsang, Andini. Kau akan
menjadi wanita binal yang kelewat binal. Nafsu birahi mu akan menghentak-hentak
melebihi nafsu kuda
liar." "Ha-ha-ha...."
Begitu usai tawa Dewa Guntur, mendadak An-
dini bangkit berdiri. Ditatapnya Saka Purdianta dengan sinar mata aneh.
"Saka...," desis wanita cantik itu.


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih terasa sesak, di-
terkamnya tubuh polos Andini. Kedua anak manusia
berlainan jenis itu bergulingan di atas geladak. Mereka saling peluk. Bibir
mereka saling pagut. Suara rintihan terdengar silih berganti.
Di atas langit telah menyemburkan warna jing-
ga. Mentari mencapai bentangan garis cakrawala. Om-
bak laut mulai membesar seiring jatuhnya malam.
Kapal Rajawali terombang-ambing.
Saka Purdianta melepaskan pelukannya. Andini
berusaha mendekap tubuh pemuda tampan itu lebih
erat. Bibirnya terus mendesah-desah. Mulutnya terpejam dengan hembusan napas
memburu. Puyer perang-
sang yang ditebarkan Saka Purdianta benar-benar
mempengaruhi jiwa wanita cantik itu. Andini seper-
tinya belum puas dengan apa yang baru saja mereka
lakukan. Tapi, dengan sentakan pelan tangan wanita
cantik itu terlepas.
"Saka...," desis Andini.
"Kau mau apa lagi, Andini?"
"Kau sangat tampan dan perkasa, Saka. Peluk
aku...." Kedua tangan Andini menggapai-gapai. Dewa Guntur hanya menatapnya
dengan mata berkilat.
"Kau ingin meneruskan permainan tadi, Andi-
ni?" tanya pemuda tampan itu kemudian.
Mata Andini terpejam rapat. Bibirnya terbuka.
Perlahan-lahan dia menjilati bibirnya sendiri.
"Ayolah, Saka. Kita reguk sekali lagi kenikma-
tan ini...."
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak. Mendadak,
kaki kanannya berkelebat cepat.
Praaakkk...! Tubuh Andini yang tanpa selembar benang pun
terlontar tinggi. Lalu melayang jatuh ke laut dengan berkepala pecah bersimbah
darah! "Reguklah kenikmatan bersama hiu-hiu jantan,
Andini...," gumam Dewa Guntur.
Saat rembulan dan bintang muncul di langit hi-
tam, Saka Purdianta bangkit dari duduk bersilanya.
Pandangannya tertuju lurus ke utara.
"Ehm... ilmu 'Pelacak Jejak'-ku tak dapat men-
gikuti ke mana pemuda yang melarikan Anggraini Su-
listya...," gumam Dewa Guntur. "Aku tak dapat mendengar getaran tubuh gadis
jelita yang sangat kucintai itu. Seperti ada kekuatan maha hebat yang menutupi.
Rupanya, pemuda bersenjata kipas itu bukan orang
sembarangan. Ehm.... Kau telah melukai dada kiriku, Keparat! Suatu saat nanti
kau akan merasakan bala-san dariku. Akan kucincang tubuhmu seperti mencin-
cang buah labu!"
Dengan geram Saka Purdianta berlari-lari di
atas geladak kapal. Ditendanginya bangkai-bangkai
dayang Anggraini Sulistya yang mati di tangannya.
Bangkai-bangkai itu tercebur ke laut untuk segera
menjadi santapan hiu.
"Di mana bangkai remaja yang semula berpelu-
kan dengan Anggraini Sulistya?" tanya Dewa Guntur dalam hati. Dia tak menemukan
tubuh Suropati atau
si Pengemis Binal. "Ehm.... Aku ingat sekarang. Rema-
ja itu dibawa pergi sesosok bayangan. Mungkinkah dia masih hidup" Akan ku lacak
dia dengan ilmu 'Pelacak Jejak'-ku...."
Dewa Guntur duduk bersila. Tangannya berse-
dekap dengan mata terpejam. Perlahan-lahan dia men-
capai keheningan mayapada. Dengan kekuatan batin-
nya, pemuda tampan itu berusaha menyibak getaran-
getaran yang berbaur tak karuan di atas bumi. Tak berapa lama kemudian dia telah
membuka mata. Tertim-
pa cahaya rembulan, mata Saka Purdianta berkilat
aneh. "Rupanya dia belum mati!" bisik pemuda tampan itu kepada dirinya sendiri.
"Tapi selama masih ada Saka Purdianta yang bergelar Dewa Guntur, jangan
coba-coba memiliki Anggraini Sulistya! Aku akan men-gisap darahmu, Gembel
Busuk!" 5 Dalam sebuah gua di Bukit Hantu....
Seorang kakek duduk diam dalam semedinya.
Kakek itu sudah sangat renta. Rambutnya putih pan-
jang terjuntai sampai ke lantai. Sebagian terselampir di punggungnyya. Sebagian
lagi terurai menutupi wajah.
Pakaian yang dikenakan sangat mengenaskan, berupa
untaian kain compang-camping yang tak kentara lagi
warna aslinya. Tubuh kurus si kakek tak mampu menyembu-
nyikan tulang-belulang bertonjolan dengan berhias serabut-serabut otot. Kulit
keriput di sekujur tubuhnya di sana-sini ditumbuhi jamur. Di hadapan si kakek
tampak seorang remaja duduk diam dalam semadi.
Remaja itu bertelanjang dada. Tubuh Bagian
atasnya kotor oleh lumuran darah kering. Rambutnya
riap-riapan. Wajahnya yang tampan juga ternoda oleh cairan darah mengering.
"Datuk Risanwari...," gumam si remaja tampan setelah menyelesaikan semadinya.
Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti itu duduk terpekur sejenak. Lalu ditatapnya dalam-dalam kakek yang duduk di
hadapannya Sesaat kemudian terlihat Suropati menggaruk-
garuk kepala. Disisirnya rambut dengan menggunakan
jari. Mendadak, pemuda itu tampak kebingungan.
"Aduh!" pekiknya. "Kenapa tubuhku terasa aneh seperti ini" Separoh terasa
ringan, dan separuh lagi terasa berat. Perutku mual. Dan kepalaku...."
Suropati memijit-mijit pelipisnya. Saat itulah
dia merasakan pelipis kanannya begitu lunak seperti tak bertulang lagi!
"Apa yang terjadi?" tanya Pengemis Binal dalam hati. Pikirannya langsung
melayang pada kejadian di Kapal Rajawali. "Ah, gadis cantik yang bernama
Anggraini Sulistya itu telah menyerangku dengan petikan Kecapi Maut-nya, membuat
siksaan yang luar bi-
asa sakit hingga aku jatuh pingsan. Namun ketika aku siuman, kenapa dia
memelukku" Dan ucapannya
sungguh membuatku tak percaya! Mana mungkin aku
ini adiknya" Katanya aku ini putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit, Raja
Kerajaan Pasir Luhur."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Otaknya mendadak jadi bebal.
"Anggraini Sulistya.... Putri Cahaya Sakti...,"
gumam Suropati pelan. "Sebelum malam petaka ini terjadi, kenapa aku merasa gadis
cantik itu orang yang
sangat dekat denganku" Bahkan ketika ia melantun-
kan petikan Kecapi Maut-nya, aku sama sekali tak
mempunyai kemauan untuk melawan. Sepertinya aku
memasrahkan hidup dan matiku kepadanya. Mung-
kinkah apa yang dikatakannya itu benar" Aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung Langit" Ah.... Lalu, sia-pa Pak Tua Penjual Obat
yang memelihara aku sejak
bayi" Sayang, dia meninggal ketika umurku baru men-
ginjak sembilan tahun...."
Tanpa sepengetahuan Suropati, kakek renta
yang duduk di hadapannya telah menyelesaikan sema-
di. Kakek yang tak lain Datuk Risanwari itu menatap wajah kusut Suropati dari
balik riap-riapan rambutnya yang menutupi wajah.
"Suro...," panggil Datuk Risanwari dengan suara mirip rintihan orang sakit.
Pengemis Binal sedikit terkejut. Setelah mena-
tap sosok Datuk Risanwari, pemuda itu lalu berlutut.
"Terima kasih, Kek. Kau telah menyelamatkan
jiwaku," ucap Suropati.
"Duduklah seperti semula, Suro...," ujar Datuk Risanwari. "Apa yang kau lakukan
itu terlalu berlebi-han. Kau belum tahu apa yang telah terjadi pada diri-mu."
Perlahan-lahan Pengemis Binal bangkit dari sikap berlututnya, kemudian duduk
bersila. Diperhati-
kannya wajah Datuk Risanwari yang tersembunyi di
balik riap-riapan rambut putih.
"Apa maksud Kakek?"
"Kau pijit pelipis kananmu Suro...," Datuk Risanwari tidak langsung menjawab.
"Sudah, Kek. Tulang pelipis kanan aku tiba-tiba jadi sangat lunak."
"Itu karena pengaruh racun Jarum Hitam."
"Jarum Hitam?" Suropati mengerutkan keningnya. "Ya. Jarum Hitam mempunyai
kandungan ra- cun yang sangat ganas. Benda itu mempunyai daya
bunuh yang sangat tinggi. Racunnya berasal dari campuran racun kalajengking
kutub, kura-kura api, dan
sejenis pohon kaktus yang hanya tumbuh di Gurun
Angkara. Masing-masing racun itu sudah mempunyai
daya bunuh yang sangat tinggi, apalagi bila dicampurkan. Di dunia ini tidak
mungkin ditemukan obat pe-
nawarnya, kecuali keajaiban...."
Mendengar penuturan Datuk Risanwari, Suro-
pati terperangah kaget. Tanpa sadar dia menggaruk-
garuk kepala. "Aneh...," pikir Suropati. "Kenapa tiba-tiba Jarum Hitam bisa menancap di
pelipis kananku" Mung-
kinkah itu perbuatan Anggraini Sulistya" Ah, aku kira tidak mungkin! Ketika dia
memelukku, aku mendengar
ucapannya yang mengatakan aku adalah adiknya. Hal
itu diucapkan dengan berlinang air mata. Tampaknya
ia menyesal telah melukaiku dengan petikan Kecapi
Maut-nya. Pasti ada orang ketiga. Yah! Tapi siapa?"
"Suro...," panggil Datuk Risanwari.
"Ya, Kek...."
"Dalam dirimu terkandung sebuah keajaiban.
Hal itulah yang membuatmu semasa kecil selalu jadi
rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan untuk dijadikan murid. Kau memiliki sesuatu
yang tidak semua orang
memilikinya. Hawa murnimu dapat bekerja dengan
sendirinya di bawah alam kesadaran. Karena itulah
Jarum Hitam tidak sampai menembus otakmu. Hawa
murnimu telah menahan jarum beracun itu hingga
hanya menancap di tulang tempurung. Tapi...."
Datuk Risanwari menghentikan bicaranya. Se-
pertinya ada sesuatu yang sangat mengganjal pera-
saannya. Suropati cepat tanggap.
"Apakah Kakek keberatan mengatakan kenya-
taan sesungguhnya?" tanya remaja itu.
Datuk Risanwari mendesah. "Maafkan aku, Su-
ro...." "Maaf" Justru aku yang harus menghaturkan beribu-ribu terima kasih.
Kakek telah menyelamatkan jiwaku."
"Tapi, Suro...."
"Apa, Kek?"
"Apakah kau tidak merasakan perubahan da-
lam tubuhmu?"
"Yah! Aku merasa tubuhku sangat lemas dan
tak bertenaga," desah Suropati. Dia baru benar-benar merasakan keanehan keadaan
tubuhnya. "Itu akibat pengaruh racun yang terkandung
dalam Jarum Hitam, Suro. Walaupun racun itu tidak
sampai merenggut jiwamu, namun sesungguhnya aki-
bat yang lebih mengerikan telah terjadi padamu...."
Pengemis Binal terpana mendengar penuturan
Datuk Risanwari.
"Tapi kau mesti tahu, Suro. Semua ini terjadi
atas kehendak Sang Penguasa Tunggal juga. Setiap kejadian di dunia fana ini
tentu ada hikmahnya. Tergantung bagaimana manusia menilai setiap kejadian yang
menimpanya."
"Maksud Kakek?"
"Sebelum Jarum Hitam menancap di pelipis
kananmu, kau telah terluka dalam yang sangat parah.
Itu mempengaruhi hawa murni yang bekerja dalam tu-
buhmu. Kekuatannya jadi lemah. Ketika aku mengelu-
arkan Jarum Hitam itu, tahulah aku kalau racunnya
telah menyatu dalam aliran darahmu. Bahkan telah
mempengaruhi kerja jantung!"
"Ya, Tuhan...," sebut Suropati dengan kepala tertunduk.
"Hanya keajaibanlah yang membuat kau tetap
hidup dengan darah telah bercampur racun...."
Pengemis Binal segera teringat pada kejadian di
Bukit Argapala semasa dia masih berusia sepuluh ta-
hun. Kala itu Suropati dalam pengaruh totokan Banja-ranpati yang bergelar
Bayangan Putih Dari Selatan.
Karena ingin membebaskan diri, Suropati mempergu-
nakan kekuatan batinnya untuk memerintahkan see-
kor ular guna membantunya melepas totokan di pung-
gung. Tanpa dia sadari, dalam tubuhnya telah tersimpan racun ganas yang berasal
dari patukan ular. Ular yang tampak jinak itu ternyata sejenis ular langka
yang mempunyai bisa sangat ampuh. Hanya keajai-
banlah yang membuat Suropati dapat bertahan hidup,
sampai kemudian Pragolawulung atau si Periang Ber-
tangan Lembut datang menolongnya.
"Darahku pernah tercampuri racun. Dan men-
diang guruku yang bergelar Periang Bertangan Lembut mengeluarkan racun itu
dengan mempergunakan tenaga dalam," beritahu Suropati pada Datuk Risanwari.
"Kalau sekarang itu dapat dilakukan, tentu aku sudah mengeluarkan racun yang
menyatu dalam cairan darahmu, Suro...."
"Jadi, aku akan hidup dengan racun ganas ber-
sarang dalam tubuhku?"
"Ya. Itu mempunyai dua akibat yang tentunya
sangat tidak kau inginkan."
"Akibat apa, Kek," tanya Suropati dengan penuh rasa ingin tahu.
"Pertama, bila kau melakukan hubungan sua-
mi-istri, maka racun yang menyatu dalam darahmu
akan mengalir ke tubuh pasanganmu...."
"Ya, Tuhan...."
"Tapi, setiap kematian yang diterima wanita
yang menjadi pasanganmu itu akan membawa manfaat
bagimu. Sedikit demi sedikit racun dalam tubuhmu
akan musnah...."
"Jadi, racun itu dapat hilang dengan cara de-
mikian?" "Ya."
"Ah! Mana mungkin aku melakukan cara seper-
ti itu. Biarlah aku hidup dengan darah bercampur racun. Toh, aku tidak akan mati
secepatnya hanya kare-na pengaruh racun itu," kilah Suropati mencoba me-
nenangkan diri.
"Kau salah mengira, Suro...," ujar Datuk Risanwari dengan suara berat. "Seperti
yang kukatakan tadi, akibat yang lebih mengerikan telah kau rasakan."
"Akibat apa?" tanya Pengemis Binal tak mengerti.


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selain kau tidak boleh melakukan hubungan
suami-istri, kau juga harus merelakan seluruh ilmu
kepandaianmu musnah..."
"Hah?"
Saking terkejutnya Suropati sampai melompat
bangkit. Tapi, gerakannya terlihat kaku. Pemuda itu lalu jatuh terduduk kembali.
"Oh.... Aku benar-benar telah menjadi orang
yang lemah...," gumam Pengemis Binal. Ditatapnya Datuk Risanwari dalam-dalam.
"Apakah aku bisa mengembalikan ilmu kepandaianku lagi, Kek?" tanyanya kemudian.
"Bisa. Dengan buah pala ajaib...."
"Ah!"
Suropati menunduk.
"Suro...," panggil Datuk Risanwari. "Sudah kukatakan tadi kalau semua kejadian
di dunia fana ini tentu ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kau
memetik manfaat atas kejadian yang menimpamu ini."
"Kek, ketika bertempur melawan Margana Kal-
pa atau si Malaikat Bangau Sakti, aku juga pernah
mengalami hal serupa. Seluruh ilmu kepandaianku
musnah. Beruntunglah aku karena Kakek Gede Panja-
lu memberikan buah pala ajaib. Tapi, mungkinkah
benda yang sangat langka itu bisa ditemukan lagi?"
"Suro, sebenarnya semua yang kau alami ini
bersumber pada racun yang bersarang di tubuhmu.
Kalau racun itu hilang, seluruh ilmu kepandaianmu
akan kembali."
"Bagaimana bisa demikian, Kek?"
"Kekuatan racun Jarum Hitam telah mempen-
garuhi urat-urat syaraf di tubuhmu. Kau masih bisa
melakukan apa-apa yang biasa dilakukan orang pada
umumnya. Kecuali, mengeluarkan tenaga terlalu ba-
nyak, apalagi mencoba menyalurkan tenaga dalam. Bi-
la kau mengeluarkan tenaga terlalu banyak, jantung-
mu akan bekerja lebih keras. Bagian tubuhmu yang
penting itu telah tak normal lagi."
"Ya, Tuhan...," keluh Suropati seperti putus asa. "Sebagai seorang tokoh yang
selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tentu saja kau tidak boleh
melakukan hubungan suami-istri hanya demi
terbebas dari cobaan ini..."
"Apakah aku harus pasrah terhadap semua ini,
Kek?" "Tentu saja tidak, Suro. Setiap manusia diwajibkan untuk berusaha. Aku
mendengar ada seorang
ahli racun yang sangat pandai. Tapi, aku tak tahu
apakah dia masih hidup atau telah mati. Orang biasa menyebutnya Putri Racun."
"Putri Racun" Di mana aku bisa menemuinya,
Kek?" Suropati tampak begitu bersemangat.
"Aku tak tahu, Suro. Namun, tak ada buruknya
bila kau berusaha mencari. Kau bisa mencari keterangan di mana dia tinggal
kepada Putri Air. Hanya dialah yang tahu. Putri Racun dan Putri Air adalah
saudara seperguruan yang mendapat kepandaian berbeda dari
guru mereka. Kalau sekarang mereka masih hidup,
tentu sudah sangat tua. Hampir sama tua denganku."
"Di mana aku mesti mencari Putri Air itu, Kek?"
tanya Suropati.
"Dia tinggal di sekitar Laut Selatan. Putri Air mendirikan sebuah kerajaan yang
diberi nama Kerajaan Air. Letaknya yang pasti, aku tak tahu. Bukan
mustahil Kerajaan air terletak di dasar Laut Selatan...."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Untuk mencari Putri Air dalam keadaan begini, tidak tertutup kemungkinan aku
akan menemui ajal
sebelum menjumpai tokoh pandai itu. Aku tak mem-
punyai ilmu kepandaian sedikit pun. Mungkinkah
usahaku akan berhasil" Bagaimana kalau aku ber-
jumpa dengan tokoh jahat yang ingin membunuhku"
Rimba persilatan menyimpan banyak tokoh sakti. Di
antara mereka tentu ada yang menaruh iri dengki. Bagaimana aku dapat melepaskan
diri bila mereka men-
jatuhkan tangan maut kepadaku?"
"Apa yang kau pikirkan, Suro?"
Pertanyaan Datuk Risanwari menyadarkan
Pengemis Binal dari lamunannya. Namun, dia tak
mampu menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Suro, sekali lagi kukatakan kepadamu, setiap
manusia diwajibkan untuk berusaha."
"Aku tahu, Kek...."
"Lalu, apa yang membuatmu ragu?"
"Ah, tidak...," jawab Suropati asal saja.
"Syukurlah, kalau begitu. Selekasnya kau be-
rangkat. Satu pesanku, berhati-hatilah. Jangan men-
geluarkan banyak tenaga..."
"Ya, Kek."
"Aku tidak bisa membantumu lagi, Suro. Selu-
ruh ilmu kepandaianku telah hilang dalam jangka
waktu tiga puluh tiga hari."
"Ah! Bagaimana bisa demikian?"
"Semula aku menyangka akan dapat mengelua-
rkan racun dalam darahmu. Tapi, kenyataannya tidak.
Tenaga dalam yang kusalurkan ke tubuhmu telah ber-
balik dan menghantamku dengan telak..."
Pengemis Binal terkejut. Tubuh Datuk Risan-
wari tiba-tiba bergetar keras seperti terserang demam hebat. "Kek...."
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Datuk
Risanwari. Suropati pun menjadi cemas. Rambut putih Datuk Risanwari yang terurai
menutupi wajahnya
mendadak merah bersimbah darah. Tokoh sakti yang
pernah berjaya dengan Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Naga itu benar-benar mengalami luka dalam yang
cukup parah! 6 Di bentangan kaki langit sebelah timur sang
baskara menampakkan wujudnya. Sinar perak mene-
robos sela-sela daun. Embun yang menempel di re-
rumputan perlahan lenyap. Dingin berlalu dengan da-
tangnya kehangatan.
Suropati berjalan terseok menuruni Bukit Han-
tu. Sinar matanya menggambarkan kesedihan yang
sangat. Dengan rambut riap-riapan dan bertelanjang
dada, gambaran kesedihan itu semakin terlihat jelas.
"Baru kali ini aku mengalami perasaan cemas
yang begitu mendera...," kata Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
dalam hati. "Ada tiga per-soalan berat yang harus kuselesaikan. Pertama, aku
harus mencari Putri Air yang tinggal di sekitar Laut Selatan. Aku tak yakin akan
bisa menemuinya. Kedua,
seandainya aku berhasil menemui Putri Air, aku mesti melanjutkan perjuanganku
untuk mencari Putri Racun
yang entah di mana tempat tinggalnya. Aku pun tak
yakin akan bisa menemukan tokoh pandai itu. Namun,
mudah-mudahan Tuhan senantiasa melindungiku. Ke-
tiga, aku harus dapat menyibak tabir tentang diriku sendiri. Benarkah aku ini
Putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit" Untuk mencari jawabannya, aku
harus mencari Anggraini Sulistya yang bergelar Putri Cahaya Sakti. Tapi, aku tak
tahu di mana sekarang dia berada. Menurut Datuk Risanwari ketika dia memba-waku
pergi dari geladak Kapal Rajawali, kakek itu tak melihat sosok Anggraini
Sulistya. Ia hanya melihat seorang dayangnya sedang meratap kepada Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang. Sementara, seorang pe-
muda berpakaian serba hijau tampak memandang
dengan geram. Ah, mudah-mudahan Raka Maruta da-
tang ke geladak Kapal Rajawali untuk menyelamatkan
Anggraini Sulistya. Tapi...."
Belum tuntas pikiran di benak Pengemis Binal,
sesosok bayangan menghadang langkahnya.
"Biarkan aku lewat..," kata Suropati.
Sosok yang baru datang cuma tersenyum sinis.
Pengemis Binal menatap dengan alis bertaut. Setelah diperhatikan orang yang
berdiri di hadapan Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu ternyata
pemuda tampan berpakaian serba hijau. Sorot matanya
tajam seperti menggambarkan kebencian yang sangat.
Di dada kirinya ada sebuah luka sepanjang satu jengkal, mirip luka akibat
sayatan benda tajam.
Dia adalah Saka Purdianta atau si Dewa Gun-
tur. Dengan ilmu 'Pelacak Jejak'-nya, dia dapat mendengar getaran tubuh
Suropati. Hingga, dapat mene-
mukan remaja tampan yang telah kehilangan seluruh
ilmu kepandaiannya itu.
"Rupanya kau benar-benar masih hidup, Gem-
bel Busuk!" bentak Saka Purdianta. Rahang pemuda tampan itu mengeras.
"Biarkan aku lewat, Orang Baik."
"Katakan dulu siapa kau"!" bentak Saka Purdianta lagi.
"Mestinya aku yang bertanya, kau datang se-
pertinya sengaja mencariku."
"Aku adalah kekasih Anggraini Sulistya!"
"Kekasih" He-he-he...," Suropati tertawa terkekeh. "Kau keliru, Orang Baik. Aku
ini laki-laki. Aku bukan kekasihmu! Oleh sebab itu, biarkan aku lewat!"
"Ehm...."
"Ehm..., apa?" tanya Suropati dengan konyolnya. "Aku mau membunuhmu, Bangsat!"
"Hik-hik-hik... Membunuh itu dosa, Orang
Baik. Sayang bila kau nanti masuk neraka."
"Ha-ha-ha...!" ganti Saka Purdianta yang tertawa. "Gembel Busuk! Kau saja yang
masuk ke neraka!
Namun sebelum aku memecahkan kepalamu, katakan
siapa kau" Biar aku bisa menuliskan sesuatu pada ni-
sanmu!" Melihat kesungguhan pemuda yang berdiri di
hadapanya, alis Pengemis Binal bertaut.
"Apakah pemuda berpakaian serba hijau ini
yang dilihat Datuk Risanwari" Bila memang demikian, sangat besar kemungkinan
pemuda ini yang telah melontarkan Jarum Hitam ke pelipis kananku...."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Kemu-
dian, sambil cengar-cengir dia melangkah mundur.
"Ya..., ya, Orang Baik...," kata remaja tampan itu. "Aku memang pantas masuk ke
neraka. Tapi, alangkah terpujinya bila aku berpamitan dulu pada
ibuku. Maklum, dia sudah tua, berpenyakitan lagi.
Akan kukatakan kepadanya kalau aku akan pergi
jauh. Tunggu aku di sini, Orang Baik."
Pengemis Binal lalu membalikkan badan. Dia
berlari sekencang-kencangnya. Tapi, malang bagi re-
maja konyol itu. Akibat kurang hati-hati kakinya te-rantuk batu.
Bruuukkk...! "Aduh...!"
Suropati menjerit keras. Tubuhnya jatuh terte-
lungkup. Dan jidatnya membentur batu. Ketika remaja konyol itu bangkit berdiri
seraya meraba-raba, jidatnya telah benjol!
"Eh, sabar dulu, Orang Baik...," kata Pengemis Binal sambil mengacungkan telapak
tangannya, menahan langkah Saka Purdianta yang berjalan mende-
katinya. "Sabarlah sebentar. Aku akan segera kembali.
Aku benar-benar mau berpamitan pada ibuku. Tung-
gulah di sini, Orang Baik."
Suropati terus melangkah mundur. Setelah ja-
rak antara dirinya dengan Dewa Guntur sudah cukup
jauh, remaja konyol itu membalikkan badan untuk
berlari sekencang-kencangnya kembali. Namun, nasib
malang datang untuk kedua kali. Waktu membalikkan
badan, dia membarenginya dengan langkah cepat. Pa-
dahal sebatang pohon besar menghalangi jalannya.
Akibatnya, sungguh sama sekali tak diinginkan
Suropati. Jidatnya membentur batang pohon hingga
remaja konyol itu jatuh terjengkang. Pekik kesakitan kembali terdengar. Pengemis
Binal meraba-raba bagian yang sakit. Benjolan di jidatnya bertambah besar, men-
jadikan wajah remaja konyol itu tak sedap dipandang!
"Ha-ha-ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak.
"Rupanya kau remaja gemblung yang kelewat gem-
blung! Remaja edan yang kelewat edan! Cepatlah se-
butkan nama atau gelarmu, biar aku bisa pamitkan
kepada ibumu!"
"Kalau aku sudah menyebutkan nama atau ge-
lar, aku khawatir kau akan berdiri terkencing-kencing.
Kemudian jatuh pingsan karena kaget," sahut Suropati dengan ringannya.
"Huh! Tampangmu tak lebih baik dari tikus ke-
cebur lumpur. Mana aku akan kaget mendengar na-
mamu"!" ejek Saka Purdianta meremehkan.
"Baiklah, kalau kau tak percaya. Bersiap-
siaplah. Aku akan membisikkan namaku di telinga-
mu...." Sambil menggaruk-garuk kepala, Pengemis Binal melangkah mendekati dan
seperti terkena sihir, Dewa Guntur merundukkan kepalanya untuk mendengar bisikan
remaja konyol itu. Tapi, tanpa diduga Suropati membalikkan badan, hingga
pantatnya menghadang wajah Saka Purdianta! Lalu....
"Bruooottt...!"
Udara perut Pengemis Binal keluar dengan me-
nimbulkan bau busuk yang melebihi bau bangkai seri-
bu ekor tikus! Kontan Dewa Guntur meloncat ke belakang.
Dia berdiri dengan tubuh limbung. Pemuda tampan itu mengibas-ngibaskan telapak
tangannya. Udara beracun yang keluar dari perut Suropati telah masuk ke
paru-paru! "Bangsat!" umpat Saka Purdianta.
Saat pemuda tampan itu menatap ke depan,
dia tak melihat sosok Suropati lagi. Dengan kesal Saka Purdianta menggedruk-
gedrukkan kakinya ke tanah.
Bumi berguncang laksana terserang gempa. Satwa-
satwa yang kebetulan berada di sekitar tempat itu
langsung berlari kencang dengan meninggalkan leng-
kingan tinggi. Suropati terus berlari tanpa sekali pun menoleh
ke belakang. Perasaan cemas begitu menghantui piki-
rannya. Remaja konyol itu tak bisa membayangkan
apabila dia dibunuh dengan disiksa terlebih dahulu.
"Hiii...!"
Pengemis Binal bergidik ngeri. Bulu kuduknya
sampai berdiri membayangkan siksaan yang akan di-
alaminya. Dia segera menambah kecepatan larinya.
Tapi.... "Argh...!" remaja konyol itu mengaduh sambil mendekap dada kirinya.
"Jantungku terasa diremas-remas. Mungkinkah ini akibat yang dikatakan Datuk
Risanwari. Jantungku tak kuat bila aku terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
Celaka! Bagaimana aku bisa
melepaskan diri dari cengkeraman maut" Uh! Jangan-
jangan pemuda berpakaian serba hijau itu dapat me-
nyusulku. Aduh! Mati aku!"
Pandangan Suropati berubah nyalang. Dia
menggaruk kepalanya dengan keras. Lalu, menjatuh-


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan tubuhnya ke tanah seraya mengangkat tangan
tinggi-tinggi. "Ya, Tuhan...," iba remaja yang biasanya konyol itu. "Lindungilah aku. Aku masih
belum ingin mati.
Aku masih perjaka ting-ting. Aku belum punya ketu-
runan. Kalau aku mati, alangkah sengsaranya aku. Tidak ada yang akan menangisi
kematianku. Dan, siapa
yang akan mendoakanku agar aku masuk sorga" Ya,
Tuhan.... Lindungilah aku. Dengarkan permohonanku.
Aku masih belum ingin mati...."
Pengemis Binal memejamkan matanya sung-
guh-sungguh. Ketika dia menggaruk-garuk kepala
sambil melihat ke depan, keterkejutan menghantam
remaja konyol itu.
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta atau si Dewa Guntur telah ber-
diri di depannya dengan berkacak pinggang. Suara tawanya membuat gendang telinga
Suropati bergetar ke-
ras. Jantungnya pun berdegup lebih kencang. Remaja
konyol itu meringis kesakitan sambil mendekap kedua daun telinganya. Untunglah
Saka Purdinata segera
menghentikan tawanya yang dilambari tenaga dalam.
"Gembel Busuk! Gara-gara kau keadaanku jadi
terjepit...," kata Dewa Guntur kemudian. "Secara tak sengaja aku telah melukai
Anggraini Sulistya dengan Jarum Hitam. Kemungkinan besar putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu telah mati. Semua ini gara-gara kau, Gembel Busuk! Aku pun
telah membunuh semua dayang gadis yang sangat kucintai itu. Namun sebelum tokoh-tokoh Kerajaan
Pasir Luhur mencariku, aku akan mencincang tubuhmu, Keparat!"
Mendengar ucapan Saka Purdianta yang penuh
kemarahan, Pengemis Binal tertunduk dalam sambil
mendekap wajahnya. Lubang kematian telah mem-
bayang di pelupuk matanya. Kalau semula dia sangat
takut menghadapi maut, mendadak saja perasaannya
jadi ringan tanpa beban. Dia telah pasrah untuk menerima takdir Sang Penguasa
Tunggal. "Hei! Gembel Busuk!" hardik Saka Purdianta.
"Jangan menekuk lutut macam trenggiling melingkar!
Berdirilah! Aku memberi kesempatan kepadamu untuk
mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!"
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Su-
ropati. Karena kepasrahan yang dalam, dia merasakan jiwanya sedang melayang di
angkasa luar. Jiwa remaja konyol itu lalu masuk ke ruang gelap yang sangat
kelam. Namun, dalam kegelapan itu jiwanya menemukan
kesejukan yang membuat damai. Kesejukan itu begitu
nikmat, hingga....
"Oaaahhh...!"
Pengemis Binal menguap. Dia terserang kantuk
yang sangat. Perlahan-lahan tubuhnya menggeliat, lalu rebah di atas tanah sambil
memeluk lutut. Tidur!
Semakin lama hembusan napas Suropati se-
makin teratur. Bersamaan dengan itu, dengkurannya
pun terdengar. Tentu saja ini membuat amarah Saka
Purdianta semakin meledak-ledak.
"Setan Alas!" umpat pemuda itu. "Diberi kesempatan untuk mengeluarkan ilmu
kepandaian, ma-
lah ngorok! Jangan kira aku akan mengurungkan
niatku untuk membunuhmu, Keparat!"
Dewa Guntur melangkah mendekati Pengemis
Binal yang sudah tertidur pulas. Pemuda tampan itu
mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi. Dan siap di-turunkannya dengan cepat
untuk menginjak kepala
Suropati! Dhuk...! Keanehan terjadi. Ketika nyawa Pengemis Binal
tinggal melayang saja untuk lepas dari raganya, dia
menggeliat dalam keadaan masih tertidur pulas. Kaki Saka Purdianta yang
dilambari tenaga dalam hanya
menginjak tanah kosong, hingga melesak sampai ke
betis. Dewa Guntur terperangah. Dia menarik perge-
langan kaki kanannya yang melesak ke dalam tanah.
Lalu, dihantamkan ke punggung Suropati yang tergeletak membelakangi.
Wuuuttt...! Deru angin menyambar, menimbulkan suara
berdesing seperti babatan pedang. Sekali lagi Suropati menggeliat. Tendangan
Saka Purdianta pun luput.
Menggeramlah pemuda tampan itu, laksana harimau
lapar pada puncak kemarahannya.
"Gembel Busuk! Matilah kau!"
Dengan menyalurkan seluruh tenaga dalamnya
ke kedua pergelangan tangan, Dewa Guntur membuat
pukulan jarak jauh. Dua larik sinar hitam meluncur
deras ke arah Suropati!
Blaaammm...! Terdengar ledakan dahsyat mirip letusan gu-
nung berapi. Gumpalan tanah bercampur batu dan ke-
rikil berhamburan membuat cahaya mentari pagi ter-
tutup. Saat terang merebak kembali, di tempat itu
muncul lubang sangat besar. Pohon-pohon di sekitar-
nya terlihat hangus. Sebagian tumbang dengan batang patah dan akar-akarnya
tercabut dari tanah!
Saka Purdianta mengedarkan pandangan.
"Ehm.. Aku tak melihat bangkai Gembel Busuk
itu. Mungkinkah tubuhnya telah hancur bercampur
dengan gumpalan tanah" Tapi, aku tak seberapa yakin dia dapat demikian mudah
kubunuh...."
Dewa Guntur celingukan mencari sosok Suro-
pati. Hingga beberapa lama, apa yang diharapkannya
tak membuahkan hasil. Dengan geram kakinya lalu di-
gedrukkan ke tanah. Bumi berguncang seperti terse-
rang gempa. Sambil menggerutu panjang pendek Saka
Purdianta pun berlalu dari tempat itu.
"Ah, Gembel Busuk itu mungkin benar-benar
telah mati," pikir Saka Purdianta.
Belum genap dua puluh langkah pemuda tam-
pan itu berjalan, sejurus pandangan di depan terlihat olehnya sosok Suropati
sedang tidur menggelantung di atas dahan pohon!
"Keparat! Kuremukkan batok kepalamu!"
Saka Purdianta menerjang dengan kemarahan
meluap. Dia merasa sedang dipermainkan. Maka, sege-
ra dikeluarkannya seluruh kemampuan untuk menyu-
dahi riwayat Pengemis Binal. Namun, walau yang men-
jadi sasaran serangan dalam keadaan tertidur pulas, tak satu pun pukulan atau
tendangan Saka Purdianta
yang berhasil. Dewa Guntur dihantam keterkejutan yang san-
gat. Namun, benaknya sudah tertutup oleh nafsu
membunuh. Tak henti-hentinya dia terus menyerang.
Timbul suara hiruk-pikuk seperti raksasa mengamuk.
Permukaan tanah berkubang-kubang, puluhan batang
pohon tumbang tertimpa pukulan jarak jauh yang
nyasar. Sesungguhnya, apa yang dilakukan Suropati
untuk menghindari setiap serangan Saka Purdianta
adalah akibat penerapan ilmu 'Arhat Tidur'. Datuk Risanwari yang mengatakan
kalau seluruh ilmu kepan-
daian Suropati telah musnah, ternyata keliru. Suropati mempunyai ilmu bawah
sadar yang berasal dari pe-nyucian kalbu hasil ajaran mendiang gurunya yang
bergelar Periang Bertangan Lembut.
Walaupun darah Suropati telah bercampur
dengan racun ganas, tapi ilmu 'Arhat Tidur' dapat bekerja dengan sendirinya.
Dengan kata lain, ilmu itu bekerja tanpa dikehendaki terlebih dahulu. Jadi cara
kerjanya mengikuti alur naluri dalam keadaan bawah
sadar. Kehebatan ilmu 'Arhat Tidur' yang telah dikua-sai dengan sempurna oleh
Suropati terlihat sangat luar biasa. Walau sedang tertidur pulas, seluruh
serangan lawan bisa dipatahkan. Padahal gerak tubuh Suropati hanya berupa
geliatan-geliatan. Sesekali disertai dengan lentingan. Itu pun dilakukan dengan
mata terpe- jam rapat, dan terlihat asal-asalan!
Keringat dingin membanjir di sekujur tubuh
Saka Purdianta. Sudah lewat dua puluh jurus dia be-
rusaha menghabisi riwayat Suropati. Sayang, harapan di hatinya tak juga datang!
"Aneh...," gumam pemuda tampan itu. "Apakah Gembel Busuk itu mempunyai ilmu
setan" Ehm.... Walaupun seluruh setan neraka melindungimu, Dewa
Guntur pantang putus asa!"
7 Saka Purdianta membuka pergelangan kakinya
dengan sedikit ditekuk. Kedua tangannya dipentang-
kan ke samping. Bersamaan dengan tubuhnya yang
bergetar keras, kedua tangan pemuda sadis itu ditarik ke atas secara perlahan-
lahan. Mendadak, muncul
gumpalan awan hitam di langit. Cahaya mentari pun
lenyap. Digantikan oleh kegelapan. Saat angin ber-
hembus kencang, lidah petir menyambar-nyambar di-
barengi ledakan menggiriskan.
"'Amarah Dewa Guntur'...!" pekik Saka Purdianta seraya mempertemukan kedua
telapak tangannya di
atas kepala. Lidah petir yang semula hanya menyambar-
nyambar di angkasa, kini menyerbu tubuh Suropati
yang terbujur lemas. Suara gemuruh mirip letusan gu-nung berapi terdengar.
Suasana di lereng Bukit Hantu itu bagai tertimpa hari kiamat!
Tubuh Suropati melenting ke sana kemari
menghindari hujan lidah-lidah petir. Udara berubah panas. Permukaan tanah
mengepulkan asap. Pepoho-nan tumbang dalam keadaan hangus terbakar.
Bagaimanapun kehebatan ilmu 'Arhat Tidur'
milik Pengemis Binal, bila udara di sekitarnya menjadi sangat panas, sedikit
demi sedikit hawa panas itu
menjalar ke tubuh Suropati. Dengan demikian, pusat
kekuatan batinnya akan buyar. Gerakan bawah sadar
yang dilakukannya jadi lambat.
"Ha-ha-ha...!"
Tawa kemenangan Saka Purdianta menggemu-
ruh. "Mampus kau, Gembel Busuk!"
Tanpa diduga oleh pemuda tampan itu, tiba-
tiba saja tubuh Pengemis Binal mencelat bagai dilontarkan tangan raksasa. Dalam
gerak kilat itu kaki kanan Suropati terselonjor lurus ke depan.
Dheeesss...! "Argh...!"
Tendangan bawah sadar Suropati tepat bersa-
rang di dada Saka Purdianta. Namun, keluh kesakitan bukan keluar dari mulut
pemuda tampan itu, melainkan dari mulut Suropati sendiri!
Dada Saka Purdianta terlindungi tenaga dalam.
Hingga, tendangan Suropati seperti membentur tem-
bok baja. Tubuh Suropati mencelat lagi, dan jatuh berdebam ke permukaan tanah.
Tulang persendian lutut
kanannya terlepas!
Saka Purdianta terlihat menyeringai dingin. Ka-
lau saja tendangan Suropati dilambari kekuatan tena-ga dalam, jangan harap
pemuda tampan itu masih bisa menghirup udara segar. Tapi, apa yang dilakukan
Suropati sudah cukup untuk memecahkan pusat kekua-
tan batin Saka Purdianta. Ilmu 'Selaksa Guntur' yang sedang diterapkannya pun
lepas. Gemuruh di lereng
Bukit Hantu langsung hilang. Cahaya mentari kembali menerobos, menyinari bumi.
Gumpalan awan tersibak
menampakkan wajah perak sang baskara.
Pengemis Binal mengerang kesakitan. Tubuh-
nya berguling ke sana kemari sambil mendekap lutut
kanannya. Karena tak tahan akan deraan rasa sakit,
remaja konyol itu berteriak sekencang-kencangnya.
"Ha-ha-ha...!" Tawa kemenangan Saka Purdianta kembali memecah keheningan.
"Teruskan teriakan mu, Gembel Busuk! Tapi, di sela-sela teriakan mu itu cobalah
untuk berdoa sedikit. Agar kematian yang
akan kau terima tak begitu menyakitkan!"
"Uh! Mati adalah takdir Tuhan, Orang Jelek!
Siapa takut mati"!" Suropati masih juga bisa menimpali ucapan Saka Purdianta.
Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Pernahkah kau membayangkan betapa sakit-
nya orang yang giginya ditanggalkan satu persatu, lalu kuku jarinya dicabuti,
kemudian wajahnya dibeset"
Kalau belum pernah, semua itu akan segera kau rasa-
kan, Gembel Busuk!"
Suropati bergidik ngeri. Walaupun dia sudah
pasrah menghadapi kematian, namun bila terlebih da-
hulu disiksa dengan kejam, mau tak mau nyali remaja
konyol itu jadi mengkeret. Tubuhnya yang terbaring di atas tanah diseret-seret
untuk menjauhi Saka Purdianta. Tapi, sungguh malang nasib Suropati. Tubuhnya
jatuh terperosok ke dalam lubang besar yang tercipta akibat pukulan jarak jauh
Saka Purdianta. Tulang persendian lutut Suropati yang telah lepas membentur
dasar kubangan. Tak ayal lagi, lolong kesakitan keluar dari mulut Suropati!
Dewa Guntur menyaksikannya sambil tertawa-
tawa. "Rupanya kau telah masuk ke dalam lubang kuburmu sendiri, Gembel Busuk!"
Suropati terus mengerang kesakitan. Dia men-
coba untuk bangkit. Ditatapnya tajam-tajam wajah
Saka Purdianta yang berada di pinggir kubangan.
"Kau bisa menyiksaku, Orang Jelek!" kata Suropati dengan sinar mata berkilat.
"Tapi, seumur hi-dupmu kau akan dikejar-kejar orang-orang Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti!"
"Huh! Apa hubunganmu dengan perkumpulan
orang-orang malas itu?"
"Aku adalah pemimpinnya!"
"Ha-ha-ha...! Kau pemimpinnya" Jangan men-
gigau, Gembel Busuk! Mana mungkin perkumpulan itu
dipimpin seorang remaja bodoh sepertimu"!" sahut Sa-ka Purdianta dengan pedas.
"Kau tak percaya"! Tanya kepada kakek dan
nenek moyangmu! Akulah Suropati yang bergelar Pen-
gemis Binal! Akulah Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang sudah kondang sampai ke ujung
dunia!" "Ehm.... Benarkah apa yang dikatakan remaja edan itu?" tanya Dewa Guntur
dalam hati. Dia sungguh menyangsikan ucapan Suropati. "Kalau memang
benar, aku tidak boleh sembarangan membunuhnya.
Aku telah membuat celaka putri tunggal Prabu Singgalang Manjunjung Langit.
Orang-orang Istana Kerajaan Pasir Luhur tentu akan mengejarku untuk menjatuhkan
hukuman mati. Kalau aku membunuh remaja
yang mengaku sebagai Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu, urusannya pasti akan sema-
kin parah...."
"Hei! Kenapa kau berdiri terbengong-bengong
seperti kunyuk kena sumpit" Lebih baik kau tolong
aku keluar dari kubangan ini!" teriak Suropati.
Mendengar itu, Saka Purdianta tertawa berge-


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lak. "Biarpun kau benar Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, aku akan tetap membunuh-
mu! Sudah kepalang tanggung aku tercebur ke dalam
kancah kejahatan. Ha-ha-ha...!"
Usai tertawa bergelak, Dewa Guntur menyalur-
kan seluruh tenaga dalamnya ke pergelangan tangan.
Lalu, disorongkannya ke depan. Dua larik sinar hitam meluncur deras ke arah
Suropati. Remaja konyol itu
sudah tak mempunyai kemampuan lagi untuk meng-
hindar. Malaikat Kematian tampaknya akan segera
menjemput nyawanya!
Sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi,
sesosok bayangan berkelebat sangat cepat menyambar
tubuh Suropati. Pukulan jarak jauh Saka Purdianta
hanya mengenai tanah kosong, membuat kubangan
semakin bertambah dalam.
Dewa Guntur tampak berdiri terpaku di tem-
patnya. "Keparat...!" umpat Saka Purdianta. Lamat-lamat dia mendengar lantunan
tembang yang menggu-
nakan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh.
Setan tak pernah berhenti menggoda manusia
Manusia terpuruk ke dalam lembah dosa
Hidup hanya mengikuti nafsu angkara
Tak tahu bila semua mesti ditebus dengan kar-
ma Nyawa orang terkasih sangat berharga
Mesti dibela sepenuh jiwa
Siapa mengganggu Suropati tercinta
Hadapi Pendekar Wanita Gila
Setelah lantunan itu selesai terdengar, manusia
yang membawa tubuh Suropati pun sudah tidak keli-
hatan lagi bayangannya.
*** Sang baskara berada tegak lurus di atas kepa-
la. Sinarnya yang menyengat terasa membakar. Per-
mukaan tanah terlihat mengepulkan asap. Rumput ila-
lang layu merunduk.
Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang me-
nurunkan tubuh Anggraini Sulistya ke tempat yang
terlindung, di bawah naungan sebatang pohon besar.
"Tubuh gadis ini mulai memanas lagi. Aku ha-
rus melakukan sesuatu," kata Raka Maruta dalam ha-ti.
Pemuda berwajah lembut itu mengamati seben-
tar luka kecil di ujung jari telunjuk tangan kirinya. La-lu, dikeluarkannya
kipas baja putih dari balik baju.
Dengan menggunakan senjata andalannya itu Raka
Maruta memperlebar luka di ujung jari telunjuknya.
"Nona... Nona...."
Pendekar Kipas Terbang kemudian meng-
goyang-goyang bahu Putri Cahaya Sakti. Gadis cantik
itu pun membuka mata. Ditatapnya wajah Raka Maru-
ta dalam-dalam.
"Nona, kau isap darahku lagi.,.," kata Pendekar Kipas Terbang seraya menyodorkan
ujung jari telunjuk tangan kirinya yang mengucurkan darah segar.
Anggraini Sulistya memandang sejenak. Lalu
diraihnya pergelangan tangan Pendekar Kipas Terbang.
Darah yang mengucur dari ujung jari telunjuk diisapnya kuat-kuat.
Merasakan cairan darah di pergelangan tan-
gannya berdesir cepat, mata Raka Maruta mendelik.
Tapi, senyum manis segera mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap Putri Cahaya Sakti. Suara yang keluar
dari mulutnya mirip gumaman.
Senyum di bibir Raka Maruta semakin men-
gembang. Cepat ditekannya jalan darah yang menuju
ke jari telunjuk. Darah segar yang masih mengucur
langsung berhenti.
Apa yang sedang dilakukan Pendekar Kipas
Terbang dengan meminumkan cairan darahnya pada
Anggraini Sulistya, adalah sebagai usaha untuk me-
nyelamatkan jiwa gadis cantik putri tunggal Prabu
Singgalang Manjunjung Langit itu. Seperti diketahui, Jarum Hitam yang mengandung
racun ganas telah
menancap di bahu kiri Putri Cahaya Sakti.
Setelah berhasil mengeluarkan jarum beracun
itu, tahulah Raka Maruta kalau nyawa Putri Cahaya
Sakti tak mungkin diselamatkan lagi. Darahnya telah bercampur dengan racun.
Jantungnya pun terganggu
daya kerjanya. Raka Maruta kemudian teringat pada
kata-kata Wajah Merah di Bukit Rawangun kalau dia
pernah meminum air sakti. Air yang mempunyai kha-
siat luar biasa itu telah menyatu dengan darahnya.
Menurut penuturan Wajah Merah pula, darah
Raka Maruta sanggup menghilangkan racun atau
memperlemah daya bunuh racun. Teringat akan hal
itu, Raka Maruta mencoba mengikuti penuturan si Wa-
jah Merah. Hingga, dengan setiap kali meminum darah Raka Maruta, sedikit demi
sedikit racun dalam tubuh Anggraini Sulistya melemah daya kerjanya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap
Anggraini Sulistya sekali lagi.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Na-
maku Raka Maruta. Kau bisa memanggilku dengan
'Maruta'...."
"Terima kasih, Maruta...."
Senyum kembali mengembang di bibir Pende-
kar Kipas Terbang. "Keadaanmu sudah agak lumayan,"
katanya. "Kau sudah bisa berkata-kata sekarang. Racun Jarum Hitam tampaknya
sudah tidak memba-
hayakan jiwamu."
Anggraini Sulistya hanya membisu. Mendadak,
pikirannya melayang pada kejadian di atas Kapal Ra-
jawali. "Suropati...," desis wanita cantik itu. "Kau kenal dengan dia?" tanya
Raka Maruta. Anggraini Sulistya hanya menatap wajah pemuda itu.
"Kau kenal dengan Suropati, Nona?" ulang Pendekar Kipas Terbang.
"Panggil aku dengan 'Aini'. Namaku Anggraini
Sulistya. Kenal dengan Suropati secara pribadi belum.
Namun, kedatanganku dari Kerajaan Pasir Luhur ada-
lah untuk menemuinya."
"Ada urusan penting?"
Putri Cahaya Sakti menggeleng. Dia tak sang-
gup mengatakan tujuan semula untuk menjumpai Su-
ropati. Karena, tidak pada tempatnya seorang gadis
meminang seorang jejaka.
"Kau sendiri kenal dengan Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu?" tanya Anggraini Sulistya kemudian,
mengalihkan pertanyaan Raka Maruta. "Bukan hanya kenal. Suropati adalah saha-
batku yang paling baik. Dia sudah kuanggap sebagai
adik sendiri...."
Mata Anggraini Sulistya mengerjap. Raka Maru-
ta terpesona sesaat. Kecantikan gadis yang duduk di hadapannya itu memang begitu
sempurna. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Pertanyaan Anggraini Sulistya membuat Raka
Maruta jadi kelabakan. Seumur hidup, baru kali inilah dia merasakan debar-debar
aneh dalam hatinya.
"Kau belum menceritakan saat-saat terakhir di
geladak Kapal Rajawali, Maruta...," Anggraini Sulistya membebaskan Raka Maruta
dari sikap salah tingkah-nya. "Eh, ya.... Ketika aku datang, seorang wanita
cantik mengatakan kalau kau adalah putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Waktu itu kau telah
terluka akibat Jarum Hitam. Maka, aku segera me-
nyambar tubuhmu setelah melihat ada sesosok bayan-
gan menyelamatkan Suropati."
"Jadi, adikku masih ada kemungkinan hidup?"
"Adikmu?"
"Ya. Aku yakin Suropati adalah adikku. Di
punggung kirinya ada toh seperti ciri khusus adikku yang hilang semenjak bayi."
Pendekar Kipas Terbang tercenung. Pada saat
dia berpikir-pikir, Anggraini Sulistya tiba-tiba muntah darah. "Aini...!" pekik
Raka Maruta. Putri Cahaya Sakti jatuh tertelungkup di pang-
kuannya. Buru-buru Raka Maruta menopang bahu kiri
gadis cantik itu. Tangan kanannya digunakan untuk
menyalurkan hawa murni.
"Ehm.... Selain terserang racun ganas, rupanya gadis ini juga mengalami luka
dalam yang sangat parah...." Belum selesai Raka Maruta menyalurkan hawa murni,
mendadak saja suhu badan Anggraini Sulistya
menjadi sangat panas.
"Celaka...!" desis Pendekar Kipas Terbang. "Racun Jarum Hitam bekerja kembali.
Apa boleh buat,
aku harus mengesampingkan dulu luka dalamnya.
Akan. ku minumkan cairan darahku terlebih dahulu
kepadanya."
Tak pernah disangka oleh Pendekar Kipas Ter-
bang, sesungguhnya racun yang terkandung pada Ja-
rum Hitam lebih ganas daripada yang dia kira. Cairan darah Raka Maruta yang
mengandung khasiat air sakti hanya sanggup menghentikan daya kerja racun untuk
sementara. Dan, cairan darah Anggraini Sulistya tetap saja tercampuri racun
ganas itu. Raka Maruta berlari cepat sambil membopong
tubuh Anggraini Sulistya. Hati pemuda berwajah lem-
but ini sangat kalut memikirkan keselamatan wanita
cantik itu. Rupanya, bunga-bunga cinta mulai ber-
kembang di hati Raka Maruta.
"Aku harus menemui Kakek Wajah Merah...,"
desis Pendekar Kipas Terbang seraya mempercepat
langkah kakinya.
SELESAI Bagaimanakah usaha Raka Maruta untuk me-
nolong Anggraini Sulistya yang terkena Jarum Hitam
milik Dewa Guntur"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode
DEWA GUNTUR Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Patung Dewi Kwan Im 1 Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Geger Dunia Persilatan 3
^