Pencarian

Cinta Bernoda Darah 1

Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Bagian 1


CINTA BERNODA DARAH Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Cinta Bernoda Darah
128 hal. 1 Digerakkan oleh tenaga angin, sebuah kapal
bergerak pelan. Layar-layarnya terbuat dari bentangan kain merah dan kuning.
Kapal itu tampaknya milik
seorang bangsawan. Pada bagian anjungan terdapat
pahatan kayu besar berupa kepala rajawali, sedang
pada lambung kiri dan kanan diberi bentukan sayap
menangkup. Ukiran pada badan kapal masih dite-
ruskan sampai buritan, yakni bergambar ekor rajawali mengembang. Kapal yang
dicat dengan bauran warna
merah dan kuning itu terlihat sangat indah dan men-
colok mata. Di buritan seorang gadis cantik berusia dua pu-
luh tahun tengah terbaring telentang. Mata gadis itu ditutup selembar kain
hitam. Dalam telentangnya, si gadis tampak begitu memikat. Tubuhnya yang sintal
dan padat berisi hanya tertutup sehelai kain berenda yang sangat tipis, sehingga
kulitnya yang begitu halus terlihat dengan jelas.
Si gadis menggeliat. Perlahan dia mengusap
rambutnya yang hitam pekat dan dipotong pendek. La-
lu, kedua telapak tangannya digunakan sebagai alas
kepala. Bibirnya yang merah basah mengeluarkan si-
ulan pendek. Bersamaan dengan itu, dia menekuk kaki kirinya. Belasan orang gadis
berpakaian kuning-merah yang berdiri di tepi pagar sisi kapal tampak
membungkukkan tubuh, kemudian berlalu dari tempatnya.
Si gadis yang sedang terbaring telentang meraih
sebuah kecapi. Alat musik itu didekapnya sebentar.
Setelah menarik napas panjang, barulah dia memetik
dawai-dawainya.
Bersama deburan ombak berhias riak gelom-
bang sebuah irama mengalun syahdu, menyusup ke
dalam kalbu. Getarannya begitu lembut terbawa hem-
busan angin. Seorang perawan menari di atas panggung cinta
Saat semua mata berbinar menyatakan suka-
cita Dia menangis dalam dekapan asmara
Hati tersayat sembilu neraka
Sukma terpenjara dalam kutukan Dewata.
Sang perawan turun dari panggung cinta
Saat semua mata mengolok penuh cela
Dia berjalan di atas permadani derita
Nestapa tak lewatkan waktu cengkerama
Terus mencabik dan mengoyak, ciptakan duka
Perawan luka berlari pejamkan mata
Tak mampu lihat dunianya yang teraniaya
Dalam gelap justru ada bahagia
Tak ada dinding pisahkan keinginan dari goda
Segala direguk, jiwa pun lena
Duka-lara perawan terkubur dalam tebaran
mega Hidup larut dalam hitam nafsu dunia
Angkara dikejar demi cita-cita
Akan hadirnya seorang jejaka empu cinta meng-
gelora Jadikan kekasih setia sampai hayat menutup mata Begitu usai tembang
dilantunkan, si gadis mendesah. Terdengar langkah-langkah kaki mendekati. Gadis
cantik itu mendekap erat kecapinya.
"Kekasihku...," panggil seorang pemuda tampan. Tubuhnya dibaringkan di samping
si gadis. "Tem-
bang mu sungguh merdu, membuat aku hanyut dan
terbuai." Si gadis cantik tak berucap. Pemuda yang baru
datang berusaha meraih kecapi yang didekapnya. Na-
mun, si gadis tak rela melepaskannya. Dengan lembut dia menepis jemari si
pemuda. "Tak layak seorang gadis cantik sepertimu larut dalam kesedihan...," kata pemuda
tampan. "Aku tahu,
'sang perawan' yang kau maksud dalam tembang mu
adalah kau sendiri."
"Menjelang kapal menepi, aku ingin sendiri," si gadis cantik tampaknya tak ingin
membicarakan hal
itu. Ia segera mengalihkan pembicaraan.
"Ah, kenapa, kekasihku" Aku datang justru un-
tuk menghiburmu."
"Menghibur ku?" si gadis menaikkan sudut bibir kirinya. "Kau tak akan pernah
dapat menghibur ku," ujarnya agak sinis.
"Apakah dengan cinta yang menggebu dan se-
gala pengorbanan ku, aku tak akan dapat menghibur-
mu?" tanya pemuda tampan dengan bersungguh-
sungguh. "Omong kosong!"
Pemuda tampan menatap wajah si gadis dalam-
dalam. Diraihnya jemarinya untuk didekap di dada.
"Sungguh aku mencintaimu, Aini. Untuk membuatmu bahagia apa pun akan
kulakukan...."
"Aku bisa memegang kata-katamu?" ujar si gadis tak percaya.
"Kenapa tidak?"
Bibir gadis cantik menyunggingkan senyum ti-
pis. "Aku mencintaimu, Aini...."
Si gadis tak berucap, Pemuda tampan menu-
runkan kecapi dari dada gadis cantik yang bernama
Anggraini Sulistya.
"Sebentar lagi kapal menepi. Tinggalkan aku,
Saka," tolak si gadis.
"Tidak, Aini. Saat kapal menepi, aku ingin me-
lihatmu bahagia...."
Usai mengucapkan kalimatnya, pemuda tam-
pan yang bernama Saka Purdianta itu menatap tajam
pada si gadis. "Semenjak berangkat dari Kerajaan Pasir Lu-
hur, kau selalu menutupi matamu dengan kain hitam
itu. Kenapa Aini?"
"Aku telah bersumpah."
"Bersumpah?"
"Ya. Aku berlayar ke Kerajaan Anggarapura
demi mendapatkan cinta suci seorang jejaka yang ku
idam-idamkan. Sebelum bertemu dengannya, aku ti-
dak akan melepas penutup mataku," jawab Anggraini Sulistya penuh keyakinan.
"Jadi... kau tidak mencintai ku, Aini?" desak Saka Purdianta.
"Terima kasih atas segala perhatianmu, Saka.
Terima kasih pula atas kesediaanmu mengantarku."
Saka Purdianta mendesah panjang. Ditatapnya
langit biru yang dipenuhi gumpalan awan berserakan.
Ada kesedihan terbayang di matanya. Ucapan Anggrai-
ni Sulistya bak sayatan sembilu. Pedih terasa sampai ke lubuk hati.
"Tidak, Aini! Kau tidak boleh menjadi milik
orang lain. Kau harus menjadi milikku! Aku mencin-
taimu, Aini...," tiba-tiba Saka Purdianta jadi begitu pa-nik.
"Apakah kau ingin memaksakan kehendakmu,
Saka" Walaupun aku tak pernah membeda-bedakan
pangkat dan derajat seseorang, tapi kau mesti tahu, Saka.... Kau tak dapat
memaksakan kehendakmu kepadaku," sahut Anggraini Sulistya mencoba tenang.
"Aku tahu maksud ucapanmu. Aku hanyalah
putra seorang tumenggung, sedang kau putri seorang
raja. Tapi, apakah cinta membeda-bedakan kedudukan
seseorang?"
"Sudahlah, Saka. Aku tak mau berdebat ten-
tang itu. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu...."
Sinar mata Saka Purdianta berkilat tajam. Den-
gan dengus napas menderu, ditotoknya beberapa jalan darah di tubuh Angraini
Sulistya. Gadis cantik itu hendak menjerit. Namun, suaranya tersekat di
tenggorokan. Pangkal lehernya juga menjadi sasaran totokan.
Beberapa lama Saka Purdianta menatap kein-
dahan tubuh Anggraini Sulistya. Kemudian, kain yang menempel di tubuh gadis
cantik itu perlahan ditanggalkan. Juga kain hitam penutup mata.
"Mulai hari ini kau resmi menjadi milikku, Ai-
ni...," bisik Saka Purdianta dengan bibir menyentuh daun telinga Anggraini
Sulistya. Mata gadis cantik itu mendelik. Darahnya men-
didih. Jantungnya pun berdegup lebih kencang oleh
hantaman rasa marah. Dia tak mampu berbuat apa-
apa ketika Saka Purdianta meraba-raba tubuhnya.
"Aku mencintaimu, Aini...," bisik Saka Purdianta lagi seraya memagut bibir
Anggraini Sulistya.
Pemuda tampan itu terus melumat bibir si ga-
dis sampai nafasnya terengah-engah. Karena dorongan nafsu setan yang menghentak-
hentak, Saka Purdianta
lupa segala-galanya. Bibir pemuda tampan itu terus
bergerak menelusuri leher Anggraini Sulistya yang jenjang. Dayang-dayang
Anggraini Sulistya yang berada
di dalam sebuah kamar besar, terletak di tengah kapal, melihat adegan itu dari
balik tirai. Namun mereka tak berbuat apa-apa. Mereka menyangka tindakan Saka
Purdianta memang dikehendaki oleh Anggraini Sulis-
tya. Saat Saka Purdianta berbuat yang lebih berani, mereka jadi jengah dan
memalingkan wajah, tak berani melihat lebih lama.
Di atas burung-burung laut mengepakkan
sayapnya, kemudian hinggap pada tiang-tiang layar.
Mereka menjadi saksi perbuatan Saka Purdianta yang
bejat. Satu persatu pemuda tampan itu menanggalkan
pakaiannya sendiri. Lalu ditatapnya sejenak wajah
Anggraini Sulistya.
"Aku akan menjadi suami yang baik bagimu,
Aini...," bisik Saka Purdianta seraya menjatuhkan tubuhnya.
Namun, sebelum pemuda yang telah dirasuki
nafsu setan itu berbuat lebih jauh, mendadak dari sekujur tubuh Anggraini
Sulistya memancar cahaya ke-
biru-biruan. Dibarengi suara desisan tubuh Saka Purdianta
terlontar, dan membentur pagar pembatas sisi kapal.
Anggraini Sulistya meloncat bangkit seraya mengusap-usap pangkal lehernya. Gadis
cantik itu lalu memberi sebuah isyarat tangan. Belasan dayangnya segera
berhamburan keluar. Salah seorang dari mereka langsung mengenakan piyama pada
tubuh telanjang Anggraini
Sulistya. Saka Purdianta yang dihantam keterkejutan
berdiri terhuyung-huyung. Anggraini Sulistya mena-
tapnya dengan sinar mata penuh kemarahan. Tapi se-
nyum tipis mengembang di bibirnya.
"Kau..., kau...," kata Saka Purdianta tergagap.
"Kenapa kau bisa lepas dari totokanku?"
"Ha-ha-ha...!" Anggraini Sulistya tertawa bergelak. "Kau lupa aku adalah Putri
Cahaya Sakti, Saka!
Selama bumi masih tersiram cahaya, kekuatan alam
akan terhisap ke dalam tubuhku. Bila hanya totokan lemah seperti yang kau
miliki, tak akan lama mempengaruhi ku!"
Saka Purdianta mendengus. Dia melangkah sa-
tu tindak. "Kau pun lupa, kalau aku Dewa Guntur, Ai-ni!"
"Dewa Guntur" Ha-ha-ha.... Gelarmu itu hanya
bualan anak kecil saja, Monyet Busuk!" maki Anggraini Sulistya dengan lantang.
"Jangan memandang rendah kepadaku, Aini!
Akan kutunjukkan sesuatu padamu...."
Saka Purdianta membuka kaki lebar-lebar se-
raya membentangkan tangan. Sejenak kemudian, ke-
dua pergelangan tangan pemuda tampan itu bergetar.
Saat dia menghembuskan napas kuat-kuat, langit
yang semula berwarna biru bersih mendadak jadi gelap pekat. Bersamaan dengan itu
gumpalan awan bergerak-gerak bagai dipermainkan tangan raksasa. Lalu
bertumpuk-tumpuk menjadi satu.
"Amarah Dewa Guntur!" pekik Saka Purdianta seraya menepukkan telapak tangannya
di atas kepala.
Blaaarrr...! Petir menyambar permukaan laut, membuat
ombak besar setinggi bukit. Kapal yang datang dari Kerajaan Pasir Luhur itu
terlontar ke atas. Anggraini Sulistya segera menjejak geladak. Tubuh kapal pun
kembali meluncur ke permukaan air laut.
Salah seorang dayang Anggraini Sulistya tam-
pak tercekat. Kepalanya mendongak melihat benda
panjang berwarna kuning keemasan yang melesat
jauh. "Kecapi Tuan Putri!" teriak dayang itu seraya menghemposkan tubuhnya, menyambar
kecapi Anggraini Sulistya. Saat tubuh si dayang meluncur turun, kakinya menginjak
geladak. "Terima kasih, Andini...," kata Anggraini Sulistya seraya menerima kecapinya.
Gadis cantik yang bergelar Putri Cahaya Sakti
itu lalu menatap wajah Saka Purdianta. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang
merah merekah. "Permainanmu tak cukup pantas untuk mem-
bangunkan Raja Penidur, Monyet Busuk!" ejek
Anggraini Sulistya. "Tapi, ehm.... wajahmu cukup tampan untuk menerima anugerah
cinta dariku."
"Benarkah itu, Aini" Aku mencintaimu setulus
hati," sambar Saka Purdianta cepat seraya menebarkan senyum lebar.
Anggraini Sulistya tertawa bergelak.
"Calon suamiku haruslah jejaka yang pintar
dan berkepandaian tinggi, Saka. Bila kau berhasrat
untuk meminang ku, coba kau resapi laguku ini...."
Putri Cahaya Sakti menatap kecapinya seben-
tar. Lalu, melemparkan senyum ke arah Saka Purdian-
ta. Perlahan-lahan dawai kecapi dipetiknya. Irama
lembut mengalun syahdu, mengelus gendang telinga.
Sambil memainkan alat musiknya, Anggraini Sulistya
meliuk-liukkan tubuh. Gerakannya indah sekali mirip bidadari sedang menari.
"Kau sangat cantik, Aini...," desis Saka Purdianta. Matanya menatap lekat-lekat


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis pujaan hatinya.
Anggraini Sulistya membalas dengan senyu-
man. Jiwa Saka Purdianta pun seperti terbang me-
layang ke angkasa. Namun, dia terperangah ketika
gendang telinganya bergetar keras. Saat jantung Saka Purdianta berdegup lebih
kencang, sadarlah pemuda
tampan itu. Dirinya tengah menjadi sasaran kekuatan serangan kasat mata. Segera
dia mengerahkan tenaga
dalam untuk membentengi diri.
Sementara jemari tangan Anggraini Sulistya te-
rus bergerak lincah memetik dawai kecapi. Dia meli-
ukkan tubuhnya lebih cepat untuk mengikuti lantu-
nan irama musik. Tubuh gadis cantik itu berloncatan di atas geladak. Bahkan
beberapa kali bersalto di udara. Irama musiknya pun semakin melengking-lengking.
Mata Saka Purdianta atau Dewa Guntur men-
delik. Suara petikan kecapi Putri Cahaya Sakti tidak lagi lembut dan membuai,
melainkan menghujam-hujam. Sekujur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk pulu-
han jarum. Serta-merta dia duduk bersila seraya bersedekap. Matanya terpejam
rapat, berusaha menghim-
pun tenaga murni untuk menghalau kekuatan. kasat-
mata yang mendera tubuhnya.
Saat Anggraini Sulistya membuat irama musik
lebih tinggi, air laut bergolak dan bergelombang besar.
Timbul suara menderu-deru yang disertai ledakan
dahsyat. Langit yang kelam bertambah lebih kelam.
Gumpalan awan bergerak tak menentu bagai dihem-
pas-hempaskan seribu kekuatan angin topan. Kilat
dan petir menyambar-nyambar bulu kuduk.
Perlahan-lahan dari sudut bibir Saka Purdianta
mengalir darah segar. Menyusul dari lubang hidung
dan telinga. Ketika petikan kecapi Putri Cahaya Sakti membuat irama yang lebih
tinggi lagi, jantung Saka
Purdianta terasa bagai diremas-remas. Tubuh pemuda
tampan itu bergetar keras bagai terserang demam hebat
"Argh...!"
Saka Purdianta mengeluarkan keluhan pendek.
Bersamaan dengan itu darah segar menyembur keluar
dengan derasnya. Tubuh pemuda tampan itu terhem-
pas di geladak.
"Ha-ha-ha...! Lelaki Durjana! Tanpa seizin ku
kau telah menjamah tubuhku. Pintu neraka terkuak
lebar untukmu!"
Dengan satu sentakan pelan, dawai kecapi
Anggraini Sulistya bergetar kencang. Sebuah kekuatan kasat mata yang maha
dahsyat menghantam tubuh
Soka Purdianta. Pemuda itu terlontar jauh dan jatuh tercebur ke laut!
"Tuan Putri...!" desis dayang Putri Cahaya Sakti yang bernama Andini.
Saat Anggraini Sulistya menurunkan keca-
pinya, air laut yang semula bergolak menjadi tenang kembali. Langit pun menjadi
cerah. Gumpalan awan
tak lagi menutupi cahaya mentari. Putri Cahaya Sakti menatap wajah Andini lekat-
lekat. "Kau seperti mengisyaratkan kekhawatiran,
Andini...," cetus gadis cantik itu.
"Bagaimana bila Tumenggung Sangga Percona
menanyakan putranya?" Andini mengajukan perta-
nyaan. "Kita katakan yang sebenarnya. Saka Purdianta hendak berbuat gila
terhadapku, tapi Dewata keburu
menjatuhkan kutukan. Tubuhnya terlempar ke dalam
laut lalu menjadi santapan hiu," jawab Anggraini Sulistya dengan begitu
ringannya. "Tumenggung Sangga Percona terkenal berke-
pandaian tinggi dan sangat keras kepala. Bagaimana bila beliau menyangka Tuan
Putri sengaja membunuh
Saka Purdianta?"
"Terima kasih atas kekhawatiranmu, Andini.
Tapi, apakah kau lupa aku adalah putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit,
penguasa Kerajaan Pasir Lu-
hur?" Andini terdiam. Teman-temannya pun tak berani berucap. Mendadak, Anggraini
Sulistya tercekat.
Ia teringat sesuatu yang sangat penting.
"Celaka...!" desisnya. "Monyet busuk itu telah melepas kain hitam penutup
mataku. Dan, aku lupa
untuk memakainya kembali."
Tubuh Putri Cahaya Sakti bergetar. Lalu, per-
lahan-lahan melorot jatuh. Musnah sudah seluruh ke-
kuatannya. "Tuan Putri...!" Panggil belasan dayang-dayang serempak.
"Cepat! Ambilkan kain hitam ku!"
Belasan dayang-dayang langsung berloncatan
ke kamar besar yang terletak di tengah kapal. Gerakan mereka sangat cepat. Dalam
sekejapan kemudian mereka telah kembali ke tempatnya dengan membawa
kain berwarna-warni
"Celaka,..!" desis Putri Cahaya Sakti lagi ketika melihat kain yang dibawa para
dayang-dayangnya. Tidak ada kain yang berwarna hitam.
Gadis cantik itu membentur-benturkan dahinya
ke geladak. Butiran mutiara bening bergulir tanpa
mampu dibendung lagi. Wajahnya pucat seperti me-
nyimpan ketakutan.
"Oh, Dewata Yang Agung...," rintih Anggraini Sulistya. Kedua tangannya diangkat
ke atas seperti sedang mengiba. "Ampuni dosa Anggraini Sulistya. Apa yang
terjadi bukan kehendak hamba...."
Putri Cahaya Sakti kembali membenturkan da-
hinya ke geladak. Sesaat kemudian tak bergerak-gerak lagi. Para dayang tak ada
yang bersuara. Mereka berdiri terpaku tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
Saat itulah, dari kejauhan sesosok bayangan
meluncur cepat di atas permukaan laut dengan ber-
landaskan sepotong papan. Bayangan yang ternyata
sosok gadis bertubuh ramping itu bergerak sangat gesit. Saat luncuran tubuhnya
terhalang oleh julangan ombak tinggi, dia meloncat. Dan kembali mendaratkan
kakinya di atas permukaan papan seraya meluncur lebih cepat
Sebentar kemudian dia telah berada di sisi
kapal. Kaki kirinya disilangkan. Ketika kaki kanannya menyentak di papan,
tubuhnya berputar dan melesat
ke atas. Ia hinggap di pentangan kayu tiang layar yang paling tinggi.
Para dayang terperangah melihat kehadiran ga-
dis itu. Mereka langsung bergerak menyebar, takut kalau-kalau si gadis bertujuan
jahat "Ha-ha-ha...!"
Gadis yang duduk di pentangan kayu tiang
layar mengeluarkan tawa keras. Lalu tubuhnya melun-
cur turun ke atas geladak. Terlihatlah kini rupa si gadis. Rambutnya digelung ke
atas. Ada hiasan kain su-tera hitam dililitkan pada gelungan. Wajahnya sangat
cantik. Matanya berbinar bak bintang kejora. Berhidung mancung dan pipi merona
merah. Bibirnya basah
laksana delima merekah. Gadis itu berpakaian kuning.
Agaknya terbuat dari bahan mahal. Usianya sekitar tujuh belas tahun.
Si gadis tersenyum-senyum melihat para
dayang telah mengepungnya. Matanya yang indah ke-
mudian mengerjap. Dengan suara lembut bibirnya me-
lantunkan sebuah tembang.
Burung datang tanpa diundang
Kerap kali orang salah memandang
Bukan maksud hati menjadi perintang
Hanyalah sekadar untuk menumpang
Andini memberi isyarat kepada teman-
temannya untuk mengepung lebih rapat. Namun gadis
yang baru datang tak menghiraukan. Lantunan tem-
bangnya terus berlanjut.
Tak hendak burung membuat pertentangan
Apalah guna permusuhan bagi jiwa yang luhur
Mengikuti bujuk nafsu setan
Jadikan bangkai berkaparan
"Siapa kau?"! bentak Andini.
Si gadis tersenyum manis. Kemudian, mengge-
leng-gelengkan kepalanya seperti merasa heran. Tiba-tiba terdengar suara sahutan
tembang si gadis.
Kalau memang burung datang tak hendak ber-
musuhan Menyingkirlah dayang-dayang penuh kesetiaan
Sang empu kapal sedang membutuhkan uluran
tangan Serahkan kain hitam pada gelungan
Si gadis berpakaian kuning menatap Anggraini
Sulistya yang masih bersujud di atas geladak. "Kepandaian gadis itu sangat
hebat...," pikirnya. "Dari mana dia tahu aku melilitkan kain hitam pada gelungan
ku?" Benarlah apa yang dikatakan Tuan
Membuat permusuhan sama halnya mengabdi
pada setan Sang burung akan mengulurkan tangan
Terimalah kain hitam sebagai tanda persahaba-
tan Usai melantunkan tembang, gadis berpakaian
kuning melepas kain hitam yang melilit gelungannya.
Dilontarkannya kain itu ke hadapan Anggraini Sulis-
tya. Gadis cantik yang bergelar Putri Cahaya Sakti itu segera mengambil kain
hitam tersebut untuk menutupi matanya.
Kemudian, Anggraini Sulistya bergerak bangkit
dan menjura kepada gadis yang baru saja mengulur-
kan tangan baik. Walau matanya tertutup, dia tahu
pasti di mana gadis itu berdiri.
"Sudilah sahabat mengenalkan nama dan ge-
lar," kata Anggraini Sulistya dengan penuh kerendahan. Gadis berpakaian kuning
mengerjap- ngerjapkan mata, lalu, bola matanya digerakkan ke kiri dan ke kanan dengan
gerakan lucu. Ditariknya napas
panjang sebelum melantunkan sebuah tembang.
Sebenarnya benak sudah tak hendak mengingat
nama Tapi bila Sang Putri menginginkannya
Ayah-bunda memberi nama Dewi Ikata
Senanglah hati disebut Pendekar Wanita Gila
"Dewi Ikata...," gumam Anggraini Sulistya. "Kenapa gadis secantik ini bergelar
Pendekar Wanita Gila"
Apakah otaknya memang tak waras?"
Anggraini Sulistya terkejut ketika mendengar
tawa keras Dewi Ikata.
"Sang burung sudah menyebutkan jati diri. Gi-
liran Sang Putri berucap ganti," ucap gadis berpakaian kuning kemudian.
"Namaku Anggraini Sulistya. Aku bergelar Putri
Cahaya Sakti."
"Ehm.... Nama dan gelar yang bagus. Dewi Ika-
ta harus memanggil apa?"
"Aini."
Mendadak, salah seorang dayang Anggraini Su-
listya berteriak, "Kapal telah mencapai pantai!"
"Turunkan layar, dan lemparkan sauh!" Sahut Anggraini Sulistya.
Belasan dayang berloncatan melepas tali pengi-
kat layar. Beberapa kejapan mata kemudian kain layar telah digulung. Sauh pun
diceburkan ke laut.
"Terima kasih atas tumpangan ini, Aini. Semoga Tuhan masih mempertemukan kita,"
kata Dewi Ikata kemudian meloncat turun dari geladak.
Putri Cahaya Sakti hendak mencegah. Namun
tubuh Pendekar Wanita Gila telah meluncur cepat me-
nuju pantai. Beberapa lama tawa gadis cantik berpa-
kaian kuning itu masih terdengar di atas kapal.
"Dewi Ikata...," desis Anggraini Sulistya. "Gadis aneh berkepandaian hebat. Aku
sangat suka tembang-tembangnya. Mudah-mudahan Yang Kuasa memper-
temuan kami kembali."
Gadis cantik itu berpikir-pikir sebentar. Lalu
diberinya isyarat tangan. Belasan dayang segera berkumpul di hadapannya.
"Andini, Purbawati, Saptini, dan Heksani...," ka-ta Putri Cahaya Sakti. "Seperti
rencanaku untuk pergi ke Kerajaan Anggarapura ini, pergilah kalian ke puncak
Bukit Pangalasan. Temui pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang bernama Suropati. Sam-
paikan undanganku!"
Gadis cantik itu memberi isyarat lagi. Salah
seorang dayangnya berlari memasuki kamar besar di
tengah kapal, dan kembali dengan membawa gulungan
kulit rusa yang diikat pita merah. Gulungan kulit rusa itu menebarkan aroma
harum. Anggraini Sulistya menerimanya lalu menyerahkan benda itu kepada Andini.
"Hamba menjalankan perintah...," kata Andini bersama ketiga temannya.
Setelah membungkukkan tubuhnya dalam-
dalam, mereka meloncat turun dari kapal dan berlari-lari di atas pasir pantai.
Senyum manis tersungging di bibir Putri Cahaya Sakti, melepas kepergian empat
dayangnya. Anggraini Sulistya berjalan memasuki kamar.
Walau mata gadis cantik itu tertutup kain hitam, tapi cara berjalannya seperti
mempunyai mata ketiga. Begitu tegap dan pasti.
Sesaat kemudian dari dalam kamar sayup-
sayup terdengar petikan dawai kecapi. Iramanya men-
galun syahdu mengelus kalbu. Menyanyikan lagu rin-
du.... 2 Langit kelam terbawa malam. Dalam kepekatan
malam kemerlip bintang memberikan rona indah. Pan-
caran cahaya Sang Dewi Malam menerpa kapal. Om-
bak kecil Pantai Pasir Putih membuat tubuh kapal bergerak pelan.
Dalam kamar berlentera terang benderang
Anggraini Sulistya bersandar pada sisi pembaringan.
Jemari tangannya bergerak lembut memetik dawai ke-
capi. Terbawa irama pilu, wajah gadis cantik itu tampak murung.
Seorang wanita setengah baya memasuki ka-
mar tanpa mengetuk daun pintu. Setelah meletakkan
nampan yang berisi segelas minuman di atas meja pa-
da sisi pembaringan, ditatapnya wajah Anggraini Sulistya dalam-dalam.
"Kita sudah sampai di wilayah Kerajaan Angga-
rapura, Aini. Apa yang kau risaukan lagi?" tanya wanita setengah baya itu. Dia
adalah inang pengasuh
Anggraini Sulistya.
Putri Cahaya Sakti meletakkan kecapinya. Na-
mun, dia tak hendak berkata-kata. Hembusan napas
berat terdengar dari mulutnya.
"Minumanmu sudah berada di atas meja, Ai-
ni...." Hembusan napas berat kembali menimpali kalimat wanita setengah baya.
Wanita itu lalu duduk di sisi Anggraini Sulistya. Perlahan-lahan dipijitnya kaki
gadis cantik itu.
"Apa yang kau risaukan, Aini?"
Putri Cahaya Sakti menatap wajah inang pen-
gasuhnya sejenak. "Aku takut, Mbok...," katanya kemudian dengan suara pelan.
"Pada kejadian tadi siang?"


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Saka Purdianta telah melepas kain penu-
tup mataku. Apakah itu pertanda Dewata tak merestui keinginanku?"
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aini. Se-
mua yang terjadi atas kehendak Dewata," inang pengasuh mencoba menghibur.
"Itu berarti...."
"Jangan salah menafsir. Manusia hanyalah se-
kadar wayang yang digerakkan sang dalang. Di dunia
ini tak ada satu manusia pun yang mau berbuat salah.
Tapi, Dewata telah membuat garis-garis nasib yang harus dijalani. Dan manusia
wajib berdoa serta berusa-ha, agar garis nasib yang dijatuhkan kepadanya adalah
garis lurus yang berisi kebaikan."
Anggraini Sulistya hanya membisu. Wanita se-
tengah baya menatapnya dengan penuh haru dan pe-
rasaan kasih. "Tak baik banyak merenung, Aini. Terlalu ba-
nyak merenung akan membuat pikiran kusut, hingga
perbuatan kita jadi tak terkendali."
"Mbok...," panggil Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini..."
"Aku ingin Simbok melanjutkan cerita kemarin
malam." "Cerita apa, Aini?"
"Tentang Ayahanda Prabu yang membuang pu-
tranya." Mendengar permintaan Anggraini Sulistya, raut wajah wanita setengah
baya berubah kelam. Ditariknya napas dalam-dalam. Lalu, dihembuskan dengan
deras seperti hendak membuang jauh kenangan masa
silam yang penuh kepahitan.
"Lekaslah, Mbok...," pinta Anggraini Sulistya la-gi.
Wanita setengah baya mengusap butiran mu-
tiara bening yang bergulir dari sudut matanya. "Seandainya bayi laki-laki yang
dibuang Ayahanda mu itu masih hidup, dia tentu telah menjadi remaja tampan
yang berusia sekitar delapan belas tahun. Dia lahir terpaut tiga tahun denganmu,
Aini." "Kenapa Ayahanda Prabu tega membuang da-
rah dagingnya sendiri?" Anggraini Sulistya tak bisa mengerti dengan tindakan
Ayahandanya. "Itu bukan atas kehendak Ayahanda mu sendi-
ri, Aini. Ayahanda mu termakan hasutan mendiang Pa-
tih Jaya Wongateleng. Patih jahat itu mengatakan kalau Ndara Putri Sekar Tunjung
Biru telah berbuat se-
rong dengan punggawa kerajaan yang bernama I Halu
Rakryan Subandira...."
"Sebentar, Mbok...," sela Putri Cahaya Sakti.
"Apakah yang kau maksud Ndara Putri Sekar Tunjung Biru itu adalah ibunda ku?"
"Ya, Aini. Waktu itu usiamu masih tiga tahun.
Setelah Ayahanda mu membuang si jabang bayi yang
tak lain adikmu, beliau memenjarakan Ndara Putri Sekar Tunjung Biru dalam ruang
bawah tanah. Setahun
setelah peristiwa itu, Patih Jaya Wongateleng melakukan pemberontakan. Sesaat
sebelum patih jahat itu
dapat ditumpas oleh Ayahanda mu, dia membuka ke-
doknya. Patih Jaya Wongateleng mengakui kalau dia
telah menghasut Ayahanda mu untuk membuang pu-
tra kandungnya sendiri. Setelah tahu demikian, Aya-
handa mu menyebar orang-orang untuk mencari
adikmu, Aini...."
"Berhasilkah usaha Ayahanda Prabu, Mbok?"
Wanita setengah baya menarik napas berat. Ke-
sedihan terbayang jelas di matanya. "Aku ikut berdosa, Aini...," desahnya lirih.
"Kenapa, Mbok?"
"Akulah yang telah mendapat perintah Ayahan-
da mu untuk membuang putra kandungnya."
"Di mana kau buang bayi itu?" desak Anggraini Sulistya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak ku buang. Tapi, kutitipkan kepada seo-
rang nelayan. Sayang...."
"Kenapa?" sergah Anggraini Sulistya.
"Sehari setelah menerima bayi dariku, nelayan
itu pergi entah ke mana..."
Sampai di situ percakapan terhenti. Anggraini
Sulistya dan inang pengasuhnya larut dalam pikiran
masing-masing. Di luar Sang Dewi Malam ditemani
bintang-bintang masih setia memancarkan cahayanya.
Awan tipis bergerak perlahan membentuk tirai-tirai indah bagai sekat kamar
bidadari. "Sebaiknya kau tidur, Aini...," kata wanita setengah baya kemudian.
"Ya, Mbok. Tapi, aku ingin mendengar dulu sa-
tu jawaban atas pertanyaanku ini."
"Apa, Aini?"
"Bila aku masih mungkin berjumpa dengan
adikku itu, adakah ciri-ciri lahir yang terdapat padanya?" "Ketika masih bayi,
adikmu itu mempunyai toh sebesar biji jagung di punggung kirinya. Apabila Dewata
berkenan memberi umur panjang, sekarang toh itu
tentu lebih besar sedikit"
*** Puncak Bukit Pangalasan berselimut kabut.
Sang Raja Siang masih enggan menampakkan diri.
Hanya sinar keperakannya yang memancar dari ufuk
barat. Butiran embun jatuh membasahi rumput. Hem-
busan angin lembut memaksa ranting pohon menanti.
Di lereng bukit itu gemericik air sungai mengi-
ringi satwa-satwa mengawali kehidupannya hari ini.
Sungai kecil berair jernih. Di tepinya seorang
remaja tampan duduk bersandar pada sebatang po-
hon. Rambutnya hitam-panjang tergerai ke punggung.
Alisnya yang tebal laksana sayap burung rajawali ter-pentang. Berhidung mancung
dan bibirnya kemera-
han. Kulitnya putih-bersih dibungkus pakaian penuh
tambalan. Pakaian yang hanya layak dikenakan seorang
pengemis atau gelandangan itu tak mampu menutupi
ketampanan si pemakai. Dengan tubuh tegap berdada
bidang serta sorot mata tajam, cukuplah dijadikan
gambaran kalau dia bukanlah seorang pengemis biasa.
Remaja tampan itu tengah asyik memancing.
Anehnya, ujung tali yang tercebur ke dalam air bukan kail yang diberi umpan,
melainkan batu sebesar buah kedondong!
Air sungai yang jernih membuat pandangan si
remaja tampan dapat melihat batu pada ujung talinya sedang dikerumuni ikan. Mata
si remaja tampan tampak berbinar. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
Dengan satu sentakan pelan pada joran pancing, see-
kor ikan sebesar telapak tangan orang dewasa me-
layang ke atas. Lalu, dengan sigap remaja itu menjulurkan sebatang bambu yang
ujungnya terdapat jaring.
Ikan jatuh tepat pada jaring itu.
Ketika ikan diletakkan ke tanah, sama sekali
tak menunjukkan gerak kehidupan. Rupanya sentakan
si remaja tampan pada joran pancing membuat batu
yang diikat pada tali membentur kepala si ikan naas hingga remuk!
"Ha-ha-ha...!" Si remaja tampan tertawa seorang diri. "Ehm.... Ikan ini dibuntal
lempung terus di-bakar, tentu sip buat sarapan! Wuah! Ehm...."
Senyum di bibir remaja tampan itu semakin
mengembang. Setelah menggaruk-garuk kepala seben-
tar, dilemparkannya kembali batu pancing ke dalam
sungai. Namun, hingga menunggu beberapa lama tidak
ada ikan yang mendekat
"Uh! Bodohnya aku!" rungut si remaja tampan.
"Belum tua sudah pikun!"
Buru-buru dia menarik batu pancingnya kem-
bali. Batu itu diolesinya dengan sejenis getah pohon yang berbau amis. Ketika
dilemparkan kembali ke da-
lam sungai, ikan-ikan berenang mendekati.
"Nah, begitu baru ikan yang baik. Ayo, lebih
dekat lagi! Ayolah, cepat! Nah, rasakan sekarang!"
Habis berkata-kata seorang diri, si remaja tam-
pan menyentak joran pancingnya. Dua ekor ikan me-
layang bersamaan. Jaring si remaja tampan kembali
menerimanya. Tanpa disadari remaja tampan itu, batu pancingnya melayang tinggi
lalu membelit ranting pohon tempat sandaran punggungnya.
Thak...! "Wadouw...!"
Si remaja tampan menjerit kesakitan. Batu
pancing yang membelit ranting pohon berputar, dan
membentur kepalanya hingga terasa cukup sakit!
"Kambing Congek! Kadal Bunting! Monyet Bu-
duk! Tikus Rembes!" umpat si remaja tampan sambil mengusap-usap bagian kepalanya
yang sakit. Mendadak, dia terkejut ketika melihat empat
bayangan berkelebatan di pucuk-pucuk pohon. Terdo-
rong rasa ingin tahu, si remaja tampan itu berlari
mengejar. Ditinggalkannya begitu saja ikan hasil tang-kapannya.
"Hei! Tunggu...!" teriak remaja tampan. Empat sosok bayangan menghentikan
kelebatan tubuhnya.
Kaki mereka menginjak sebatang ranting pohon yang
paling tinggi. Hingga, dilihat dari bawah mereka seperti burung besar yang
sedang hinggap. Pakaian mereka
berwarna kuning merah. Tampak berkibaran ditiup
angin. Si remaja tampan menatap dengan penuh pera-
saan kagum. Kakinya menginjak ranting pohon. Empat
tombak dari keempat sosok bayangan yang ternyata
wanita-wanita cantik.
"Wuih...! Hari ini aku telah berjumpa empat bi-
dadari cantik yang baru turun dari kahyangan,". desis remaja tampan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mata remaja tampan itu berbinar-binar sebagai
pernyataan rasa kagum yang sangat Namun....
Krosaaakkk...! "Wadouw...!"
Akibat kurang hati-hati, tubuh si remaja tam-
pan meluncur jatuh. Cepat-cepat dia bangkit berdiri.
Dengan tubuh limbung si remaja tampan menatap
keempat wanita cantik yang masih bertengger di atas pohon. "Turunlah, Bidadari-
Bidadari Cantik!" teriak remaja itu sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.
Salah seorang dari keempat wanita cantik
memberi isyarat. Lalu tubuhnya dihemposkan dan
mendarat di hadapan si remaja tampan. Gerakan wani-
ta cantik itu segera diikuti teman-temannya.
Si remaja tampan tertawa terkekeh.
"Rupanya kalian bukan bidadari. Hanya, wajah
kalian yang mirip bidadari. He-he-he...."
Empat wanita cantik yang tak lain dayang-
dayang Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti
memperhatikan dengan seksama penampilan si remaja
tampan. "Apakah kau anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti?" tanya Andini.
"Apakah kau ada perlu dengan perkumpulan
pengemis itu?" si remaja tampan ganti bertanya.
"Jawab pertanyaanku, Bocah!" bentak Andini tak senang.
"Jawab pertanyaanku dulu, Eyang!"
Kening Andini langsung berkerut. "Aku bukan
nenekmu. Kenapa kau panggil 'Eyang'"!"
"Aku bukan cucumu, kenapa kau panggil
'Bocah'"!" balas Suropati.
"Bocah Gemblung!" maki Andini keras.
"Sudahlah, Andini...," teman Andini yang bernama Purbawati berusaha menengahi.
"Kita tak perlu melayani remaja konyol itu. Secepatnya kita segera ke puncak
bukit." Para dayang Anggraini Sulistya membalikkan
badan, tapi si remaja tampan yang berkelakuan konyol mencegah.
"Eit! Tunggu dulu! Ke puncak bukit" Kalian ada perlu apa" Mungkin aku bisa
membantu...."
"Tanpa bantuanmu kami bisa menyelesaikan
urusan ini," kata Andini setengah membentak.
"Apakah urusan itu ada sangkut pautnya den-
gan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti?"
tanya si remaja tampan.
"Bukan anggotanya, tapi pemimpinnya!"
"Kau tahu siapa pemimpinnya?" kejar remaja tampan.
"Suropati."
"Gelarnya?"
"Pengemis Binal."
"Orangnya?"
"Kenapa dengan orangnya?" dengus Andini.
"Pernah berjumpa?"
"Belum," Andini menggelengkan kepalanya perlahan. "Ha-ha-ha...!" Si remaja
tampan tertawa bergelak. "Orangnya yang ada di depanmu sekarang....!"
"Siapa yang percaya bualanmu, Bocah Gem-
blung"!" bentak Andini. Diberinya isyarat kepada teman-temannya untuk segera
berlalu. Namun, si remaja tampan menghalangi jalan mereka.
"Kenapa kalian tidak percaya kalau aku Suro-
pati?" tanya si remaja tampan.
"Kita tak perlu meladeni bocah edan ini, Andi-
ni...," ujar Saptini.
"Sebaiknya memang begitu." Empat dayang
Anggraini Sulistya kembali menghemposkan tubuh. Si
remaja tampan hendak mencegah, namun serangkaian
angin pukulan menahan gerakannya.
"Keparat! Bedebah!" umpat si remaja tampan sejadi-jadinya.
Sementara keempat dayang yang cantik-cantik
itu telah melesat jauh menuju puncak Bukit Pangala-
san. Sesampainya di sana kedatangan mereka disam-
but dengan tatapan aneh dari para anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti. Pakaian mereka yang terbuat dari bahan mahal dengan
perhiasan emas mem-
buat takjub orang yang memandangnya. Apalagi wajah
mereka cantik-cantik. Para pemuda tak bosan membe-
lalakkan mata dengan mulut terbuka.
"Kita jadi bahan perhatian, Andini," kata Heksani. "Aku sudah tahu," sahut
Andini. "Wajah mereka kotor-kotor. Jangan-jangan pe-
mimpin mereka berpenampilan sama. Aku tak bisa
membayangkan Tuan Putri Anggraini Sulistya yang
cantik jelita mendapat jodoh lelaki dekil seperti itu...."
"Hush! Jangan ngawur!" sergah Saptini menyela. "Kau lihat penampilan remaja
konyol yang baru kita jumpai tadi?"
"Kenapa?" tanya Heksani.
"Jangan menutupi perasaan sendiri. Kau terta-
rik padanya, bukan?"
"Ngaco!"
"Hik-hik-hik...." Saptini tertawa terkikik. "Keti-


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ka Andini sedang berkata-kata dengannya, bukankah
matamu tak pernah berkedip memandang wajah rema-
ja konyol itu" Ehm.... Dia memang tampan, Heksani.
Akui saja kalau kau naksir!"
"Kau juga, bukan?" sahut Purbawati.
"Apakah kau tidak?" ucap Saptini.
Ganti Purbawati yang tertawa terkikik.
"Yah, kita memang harus mengakui remaja ko-
nyol yang baru kita jumpai di lereng bukit sana berwajah sangat tampan.
Tapi...." "Tapi apa, Purbawati?" Potong Andini.
"Walau remaja konyol itu berpakaian penuh
tambalan, apakah dia anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti?"
"Aku yakin dia anggota perkumpulan pengemis
di sini. Namun kalau melihat penampilannya, dia tentu punya jabatan yang lumayan
penting," sahut Saptini.
"Maksudmu, bisa jadi pemimpinnya lebih tam-
pan dari dia?"
"Bisa begitu. Bisa juga tidak."
"Maksudmu?" desak Andini.
"Ah, sudahlah! Yang penting, kita tahu kalau
ternyata tidak semua anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kotor-kotor."
"Kalau begitu, Tuan Putri Anggraini Sulistya tidak salah menaksir pemimpinnya,"
jelas Andini. "Yah, begitulah...."
Keempat wanita cantik itu melangkahkan kaki
menuju sebuah rumah yang berdinding batu. Andini
yang tertua di antara mereka, menduga rumah itu
tempat tinggal pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Bangunannya terlihat lebih kokoh dan rapi dibanding yang lain.
Seorang kakek bongkok tampak berjalan den-
gan bantuan sebatang tongkat. Dia menghampiri para
dayang Anggraini Sulistya yang sudah sampai di halaman rumah berdinding batu.
"Ada perlu apakah Nona-nona Cantik ini datang
kemari?" tanya kakek bongkok yang tak lain Gede Panjalu. Para wanita cantik itu
segera menjura memberi hormat. Andini lalu melangkah setindak ke depan.
"Kami hendak bertemu dengan pemimpin perkumpu-
lan pengemis di sini," ujarnya mengatakan maksud ke-datangannya.
Perkataan Andini disampaikan dengan penuh
kerendahan. Ia melihat sosok Gede Panjalu yang ber-
sorot mata tajam menunjukkan kalau kakek bongkok
itu bukanlah tokoh sembarangan. Apalagi para pemu-
da maupun orang tua yang kebetulan lewat di sekitar tempat itu tampak
membungkukkan badan memberi
hormat kepada Gede Panjalu. Andini dan teman-
temannya menduga kakek bongkok yang berdiri di ha-
dapannya tentulah sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat sakti. "Ehm... Suropatikah yang kalian cari?" tanya Gede Panjalu.
"Kami datang dari Kerajaan Pasir Luhur. Jun-
jungan kami, Tuan Putri Anggraini Sulistya, putri ba-ginda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit, berkenan
menyampaikan sesuatu kepada pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti."
Gede Panjalu lalu mempersilakan para dayang
Anggraini Sulistya untuk memasuki rumah berdinding
batu. "Kalian bicaralah sendiri kepadanya...," kata Gede Panjalu setelah sampai
di ruangan tengah. Kakek bongkok itu kemudian melangkah ke luar ruangan.
Andini dan teman-temannya menatap sesosok
manusia berjubah hitam tengah duduk di atas kotak
kayu besar menghadap dinding. Si jubah hitam itu
sama sekali tak bergerak, seperti sedang bersemadi.
Andini yang tak bisa melihat wajah si jubah hi-
tam jadi ragu untuk berkata. Tapi mengingat tugas
yang diembannya, dia memberanikan diri.
"Tuan Pendekar...," panggil wanita cantik itu. Si jubah hitam tetap diam di
tempatnya. Sepertinya dia tak mendengar panggilan Andini. "Tuan Pendekar...,"
ulang wanita cantik itu.
"Ehm.... Aku tidak tuli. Kenapa kau memang-
gilku dua kali"!" kata si jubah hitam dengan suara berat dan penuh wibawa.
Para dayang Anggraini Sulistya saling berpan-
dangan. Kemudian, pandangan mereka kembali beralih
pada sosok manusia berjubah hitam.
"Kami datang dari Kerajaan Pasir Luhur," jelas Andini. "Tuan Putri kami yang
bernama Anggraini Sulistya dan bergelar Putri Cahaya Sakti, berkenan
menyampaikan sesuatu kepada Tuan Pendekar."
"Ehm.... Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya
Sakti. Siapa dia?"
"Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit"
"Cantikkah orangnya?"
Mendengar pertanyaan itu, Andini berbisik-
bisik kepada tiga temannya. Suasana di ruangan itu
jadi sedikit gaduh. Mendadak, terdengar suara bentakan dari si jubah hitam.
"Kalian sangat tidak sopan! Katakan pada jun-
jungan kalian itu kalau pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti menolak apa yang hendak disam-
paikan kepadanya!"
Andini terkejut bukan main. Teman-temannya
pun demikian. Rasa bersalah dan takut terbayang jelas di mata mereka. Keempatnya
serentak menjatuhkan
diri dan bersujud di lantai.
"Maafkan kami, Tuan Pendekar...."
"Ehm.... Enak saja kalian minta maaf! Kalian
telah menyinggung perasaan tokoh nomor wahid yang
sudah kesohor sampai ke kolong jagat. Tak hendak hatiku memberi maaf kepada
kalian. Segeralah minggat
dari tempat ini!"
Para dayang Anggraini Sulistya semakin terpu-
ruk dalam rasa bersalah. Karena takut tak dapat mengemban tugas dengan baik,
mereka segera mengiba-
iba. "Ampun kami, Tuan Pendekar...," kata Andini dengan suara bergetar. "Bila Tuan
Pendekar menolak undangan Tuan Putri Anggraini Sulistya, kami takut
akan mendapat hukuman berat."
"Hah"! Apa katamu" Menolak undangan"!" kata si jubah hitam bernada keras.
"Kalian telah bersikap tidak sopan. Junjungan kalian tentu demikian pula
halnya. Pergilah kalian! Aku menolak undangan jun-
jungan kalian itu!"
"Ampun... ampun, Tuan Pendekar...," iba Andini. "Kami mohon dengan sangat Tuan
Pendekar tidak menolak undangan Tuan Putri. Kami akan melakukan
apa saja untuk menebus kesalahan kami...."
"Benarkah itu?"
"Benar, Tuan Pendekar."
"Tiga temanmu tidak menjawab. Itu berarti aku
tetap menolak undangan junjungan kalian," si jubah hitam tetap bersikeras dengan
keinginannya. Teman-teman Andini tampak pucat. "Kami pun bersedia melakukan apa
saja untuk menebus kesalahan," kata tiga teman Andini kemudian dengan serentak.
"Ehm.... Baiklah, kalau begitu...," kata si jubah hitam dengan suara lebih
ringan. "Di lereng bukit ini ada sebuah sungai kecil. Kalau kalian benar-benar
ingin menebus kesalahan, menceburlah kalian di sana.
Jangan buka pakaian. Kedatangan kalian kembali ke
sini harus dalam keadaan basah kuyup. Kuberi waktu
kepada kalian sepuluh hitungan. Cepat! Satu...,
dua...." Mendengar itu, para dayang Anggraini Sulistya langsung melompat ke luar
ruangan. Tubuh mereka
berkelebat cepat laksana dapat menghilang. Keempat-
nya berlari menuju sungai kecil di lereng bukit. Tak lama kemudian, mereka telah
kembali dalam keadaan
basah kuyup. Air menetes-netes dari ujung-ujung pa-
kaian mereka. Si jubah hitam terdengar masih menghitung.
"Enam belas..., tujuh belas..., delapan belas...."
"Kami sudah datang, Tuan Pendekar...," lapor Andini. "Kalian terlambat. Jadi,
percuma saja usaha kalian itu. Pergilah kalian. Aku mau melanjutkan se-madiku!"
Kembali para dayang Anggraini Sulistya menja-
tuhkan diri ke lantai.
"Ampuni kami, Tuan Pendekar...," kata mereka serentak. "Beri kami kesempatan
sekali lagi."
"Baik. Tapi, kalian harus tahu, hanya orang-
orang yang berkepandaian tinggi yang dapat mengun-
dangku. Karena aku tidak tahu tingkat kepandaian
junjungan kalian, aku mengukur kepandaian kalian
saja. Bagaimana?"
"Kami bersedia, Tuan Pendekar...," kata Andini dan ketiga temannya bersamaan.
"Kuberi sepuluh hitungan lagi. Keringkan baju
kalian!" Sebelum si jubah hitam menyebut angka bilan-gan, para dayang Anggraini
Sulistya segera menang-
galkan pakaian mereka dengan terpaksa. Dalam kea-
daan telanjang dan penuh malu, mereka mengibas-
ngibaskan telapak tangan yang dialiri tenaga dalam ke permukaan pakaian yang
telah diletakkan di lantai.
Si jubah hitam yang sedang menghitung terke-
jut merasakan hawa panas menjalar ke seluruh ruan-
gan. Namun, dia berusaha menekan rasa terkejutnya.
Disalurkannya hawa murni ke sekujur tubuh untuk
melindungi dari hawa panas.
"Tujuh..., delapan..., sembilan..., sepuluh! Nah, waktu kalian sudah habis!"
kata si jubah hitam.
"Pakaian kami sudah kering, Tuan Pendekar.
Eh...." Andini dan ketiga temannya kaget bukan main.
Sosok manusia berjubah hitam sudah tak ada lagi di
tempatnya. Sambil membenarkan pakaian yang kedo-
doran, mereka celingukan mencari-cari si jubah hitam.
"He-he-he...!"
Terdengar suara tawa terkekeh. Para dayang
Anggraini Sulistya mendongak. Terlihatlah oleh mereka sosok si jubah hitam
sedang duduk di kayu penopang
atap ruangan. Mata Andini dan ketiga temannya mendelik.
Mereka baru menyadari kalau telah diintip ketika sedang mengeringkan pakaian.
Padahal ketika itu mere-
ka dalam keadaan telanjang! Namun, mereka tak be-
rani berkata apa-apa. Hanya menatap punggung si ju-
bah hitam yang duduk menghadap sekat atas ruan-
gan. "Turunlah, Tuan Pendekar...," kata Andini kemudian. "Kami sudah menebus
kesalahan."
"Baik. Aku turun...."
Usai mengucapkan kalimatnya, si jubah hitam
menanggalkan jubahnya. Dilemparkannya jubah itu ke
arah Andini dan ketiga temannya.
Wuuusss...! Empat wanita cantik itu terkejut melihat jubah
hitam berubah menjadi seekor naga! Walau tak sebe-
rapa besar, namun wujud naga itu cukup mengerikan.
Lidahnya yang bercabang dan berwarna merah terjulur keluar. Taringnya putih
mengkilat setajam mata tombak. Matanya melotot penuh kemarahan!
Belum hilang keterkejutan empat dayang
Anggraini Sulistya, si naga telah menyerang dengan
semburan api. Wanita-wanita cantik itu mempunyai
kepandaian yang cukup tinggi, maka dengan sigap me-
reka dapat menghindari serangan.
Si naga segera melentingkan tubuhnya. Ekor-
nya yang panjang berusaha menjerat Andini dan te-
man-temannya. Sekali lagi, keempat wanita cantik itu dapat menghindari serangan.
"'Cahaya Empat Penjuru Angin'...!" teriak Andini memberi aba-aba.
Wanita-wanita cantik itu melejit ke atas. Ketika
masih melayang di udara, mereka menyorongkan tela-
pak tangan. Empat sinar perak meluncur deras ke
arah si naga! Blaaash...! Empat sinar perak yang keluar dari telapak
tangan kanan dayang-dayang Anggraini Sulistya itu
tepat menghantam kepala ular naga. Tubuh satwa itu
langsung terhempas ke lantai dan tak bergerak-gerak lagi. Suatu keanehan
terjadi, perlahan-lahan wujud ular naga berubah menjadi jubah hitam yang koyak-
koyak dan hampir hancur.
"Sihir...!" gumam keempat dayang Anggraini Sulistya.
"Ha-ha-ha...!"
Terdengar suara tawa berkepanjangan. Andini
dan ketiga temannya mendongak. Terlihat oleh mereka seorang remaja tampan
berpakaian penuh tambalan
sedang duduk ongkang-ongkang kaki di kayu atap.
Wanita-wanita cantik itu terperangah. Remaja tampan yang sedang tertawa senang
itu tak lain yang mereka temui di lereng bukit.
"Jadi... jadi memang benar kau Suropati...," ka-ta Andini sedikit tergagap.
Si remaja tampan meloncat turun. "Di lereng
bukit sana sudah kukatakan kalau aku Suropati yang
bergelar Pengemis Binal. Kenapa kalian tidak percaya"
Sekarang baru tahu rasa!" ujar tenang.
Para dayang Anggraini Sulistya mendelik. Na-
mun, mereka tak berani berbuat macam-macam. Ta-
kut pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu akan menolak undangan junjungan mereka. Walau
dengan hati dongkol, karena merasa dipermainkan,
Andini dan ketiga temannya segera menjura. Si remaja tampan yang memang Suropati
itu tak membalas
penghormatan mereka. Bahkan suara tawa kembali
keluar dari mulutnya.
"Kenapa Tuan Pendekar tertawa-tawa" Apakah
ada yang lucu?" tanya Purbawati.
Suropati mengerling. "Ehm.... Kalian berempat
sungguh cantik. Aku tak bisa membayangkan bagai-
mana kecantikan junjungan kalian yang bergetar Putri Cahaya Sakti. Apakah benar-
benar secantik bidadari"
Atau, malah lebih cantik" Ah, belum tentu! Walau
dayang-dayangnya cantik, tidak menjamin junjungan-
nya lebih cantik. Bagaimana kalau lebih jelek" Tua, kurus kering, keriputan,
cerewet, penyakitan.... Wuih!
Bagaimana, ya" Kalau begitu, aku tak sudi."
Mendengar ucapan Suropati yang seperti orang
kehilangan ingatan, Andini dan ketiga temannya saling berpandangan. Mereka
pikir, mungkin pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini punya penyakit
rada gila! "Hei! Kenapa kalian cuma bengong"!" bentak Pengemis Binal tiba-tiba. "Sebelum
aku menerima undangan junjungan kalian, coba katakan bagaimana
wujud junjungan kalian itu!"
Andini maju selangkah. "Sudah kami katakan
kalau junjungan kami adalah putri Baginda Prabu


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singgalang Manjunjung Langit, Raja Kerajaan Pasir
Luhur. Tentu saja junjungan kami itu cantik jelita. Lebih cantik dari kami semua
ini." "Ha-ha-ha...!"
Suropati tertawa bergelak. Namun, suara ta-
wanya segera tersekat di tenggorokan. Dia mendengar Andini dan ketiga temannya
mengikuti tawanya.
"Kenapa kalian tertawa"!" bentak Pengemis Binal.
"Tuan Pendekar lucu," sahut Andini.
"Apanya yang lucu?"
"Itu...," Andini menuding.
Suropati melihat ke bawah. Dan, terkejutlah
dia. Celana yang dia pakai ternyata robek di bagian depan. Buru-buru Pengemis
Binal menarik celananya
lebih ke atas. "Diam...!" bentak remaja tampan tapi konyol itu.
Andini dan ketiga temannya yang masih terta-
wa cekikikan kontan terdiam, lalu menjura beberapa
kali. Sementara Suropati berkelebat cepat lenyap ke ruang dalam untuk mengganti
celananya. 3 Siraman cahaya mentari menerpa Kapal Raja-
wali yang berlabuh di Pantai Pasir Putih. Ombak kecil yang ditimbulkan oleh
hembusan angin laksana mengusap-usap. Tubuh kapal bergerak-gerak pelan mem-
buai para penumpangnya.
Dikelilingi para dayang, Anggraini Sulistya du-
duk di kursi pendek di atas geladak. Mata Anggraini Sulistya yang tertutup
sehelai kain hitam menerawang jauh. "Kenapa Tuan Putri sedari tadi diam saja?"
tanya salah seorang dayang memberanikan diri. Dico-
banya untuk mengalihkan pikiran Anggraini Sulistya.
"Pada hari siang secerah ini, alangkah indahnya bila melantunkan petikan kecapi.
Akan hamba ambilkan
alat musik Tuan Putri. Hamba bersama dayang-dayang
yang lain tentu akan senang mendengarkan tembang-
tembang yang Tuan Putri mainkan...."
Putri Cahaya Sakti mengangguk lemah. Si
dayang segera berlalu. Tak lama kemudian, dia kemba-li dengan menenteng sebuah
kecapi berwarna kuning
keemasan. Anggraini Sulistya menerima alat musik ke-sayangannya itu. Dielus-
elusnya sebentar, sebelum
memetik dawai-dawai kecapi dengan jemari tangannya
yang lentik. Sebuah irama mengalun syahdu laksana buluh
perindu. Getarannya menyusup ke sanubari. Diiringi
desau angin yang terdengar lamat-lamat, petikan ke-
capi Putri Cahaya Sakti terus berkumandang.
Pilu hati terlalu lama menunggu
Bila tak datang, sayatan sembilu perihkan kalbu Mohon Dewata Agung, turunkan
karsa-Mu Cepatlah datang wahai utusanku
Datang menghadap, sembuhkan rindu
Sendu luruh, penantian panjang pun berlalu
Begitu usai Anggraini Sulistya melantunkan
tembang, salah seorang dayangnya berkata, "Andini dan ketiga dayang lainnya
sedang menuju kemari,
Tuan Putri."
Putri Cahaya Sakti langsung berdiri dari tempat
duduknya. Matanya yang tertutup kain hitam berusa-
ha melihat bentangan garis pantai. Walau mata lahir gadis cantik itu hanya
mendapatkan kegelapan, namun mata batinnya dapat menangkap gerakan manu-
sia yang sedang menuju kapalnya.
Puluhan tombak dari kapal tampak empat
dayang Anggraini Sulistya berlari-lari. Keempat wanita cantik itu memegang
selembar kain lebar bergaris kuning dan merah. Kain yang dibentangkan di atas
bahu itu terlihat mengejang. Seorang remaja tampan berpakaian penuh tambalan duduk
bersila di atasnya. Dia
adalah Suropati atau si Pengemis Binal.
Dalam duduknya, mata remaja konyol itu tam-
pak terpejam. Tubuhnya sama sekali tak bergeming.
Keadaan demikian cukup dijadikan gambaran akan ke-
tinggian ilmunya. Karena, apabila yang duduk di atas tandu kain adalah orang
biasa, tubuhnya akan terlontar oleh terpaan angin yang timbul dari cepatnya
langkah kaki Andini dan ketiga temannya.
Jarak antara garis pantai dengan kapal pulu-
han tombak. Tapi, hanya beberapa kejapan mata telah dilalui empat dayang
Anggraini Sulistya. Melalui sentakan lembut pada permukaan pasir, tubuh wanita-
wanita cantik itu melayang lalu mendarat di atas geladak kapal.
"Lepas!"
Andini memberi aba-aba. Ketiga temannya
langsung melepas ujung kain yang dipegang. Perlahan-lahan tubuh Suropati turun
ke geladak, seperti ada
kekuatan kasatmata yang menopang dari bawah. Tidak
ada suara yang timbul ketika kakinya yang duduk bersila menyentuh geladak.
Melihat pertunjukan ilmu peringan tubuh yang
sedemikian hebat, para dayang Anggraini Sulistya ber-decak kagum, termasuk
Anggraini Sulistya sendiri.
Gadis cantik itu dapat mengetahui apa yang terjadi di atas geladak kapalnya
lewat mata batin.
"Hamba telah melaksanakan perintah," kata Andini yang berdiri berjajar dengan
ketiga temannya.
"Suropati...," desis Anggraini Sulistya.
"Benar, Tuan Putri. Remaja yang hamba hadir-
kan di sini adalah Suropati, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti."
Mendengar penuturan dayangnya, Putri Cahaya
Sakti mendongak seraya mengangkat kedua tangan-
nya. "Terima kasih Dewata Agung. Telah kau hadirkan jejaka pujaan hatiku. Kini,
sudah saatnya aku melepas sumpah...."
Perlahan-lahan gadis cantik itu membuka kain
hitam yang menutupi matanya. Dia mengerjap-ngerjap
sebentar untuk menghilangkan bayangan hitam yang
masih mengabuti pandangan. Anggraini Sulistya lalu
memberi isyarat kepada dayang-dayangnya. Para wani-
ta cantik itu segera melangkah ke pagar sisi kapal. Mereka berdiri di sana
menatap laut lepas.
Anggraini Sulistya memandang wajah Suropati
tanpa berkedip. Sedangkan remaja tampan itu masih
duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Kedua tangannya menekan lutut.
"Suropati...," desis Putri Cahaya Sakti.
Tak ada tanggapan yang ditunjukkan Pengemis
Binal. Anggraini Sulistya menatap wajah remaja konyol itu lebih dalam. Dia
sungguh tak menyangka jejaka
pujaan hatinya masih berusia begitu muda, sekitar delapan belas tahun.
"Pergi kau! Keparat...!"
Mendadak, Suropati mengumpat. Tentu saja
Anggraini Sulistya terkejut. Dengan penuh rasa heran, gadis cantik itu menatap
Pengemis Binal yang sedang menggaruk-garuk kepalanya.
"Siapa yang kau suruh pergi?" tanya Anggraini Sulistya.
"Nenek Bawel," jawab Suropati tanpa membuka mata. "Di sini tidak ada nenek
bawel." "Nenek yang agak bawel?"
"Juga tidak ada."
Pengemis Binal membuka matanya. Diperhati-
kannya Anggraini Sulistya sebentar. Lalu kepalanya
celingukan seperti mencari-cari sesuatu. Tak menda-
patkan apa yang dicari, dia menggaruk-garuk kepala.
"Uh! Rupanya aku sedang bermimpi," keluh Suropati kesal.
"Apa katamu?" tanya Putri Cahaya Sakti.
Suropati menatap wajah gadis cantik itu dalam-
dalam. "Ehm.... Alangkah cantiknya...," gumamnya pelan. "Apakah kau yang menulis
undangan di kulit rusa
yang beraroma harum?"
"Ya. Aku Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya
Sakti. Sebaiknya kita bicara di ruang dalam...."
Anggraini Sulistya melangkah ke ruangan besar
yang terletak di tengah kapal. Sambil menggaruk-
garuk kepalanya Suropati berjalan mengikuti. Tiba-tiba saja perasaan remaja
konyol itu tak enak. Tidak seperti biasanya kalau berjumpa dengan gadis cantik.
Perjumpaannya dengan Anggraini Sulistya
membuat hati Pengemis Binal berdebar-debar aneh.
Debaran itu begitu kuat. Dan, remaja konyol ini sungguh tak tahu mengapa hal
demikian terjadi. Yang jelas, debar-debar itu bukan disebabkan oleh dorongan
nafsu. "Aneh...," kata Suropati dalam hati. "Tidak seperti biasanya aku merasakan hal
ini. Sepertinya aku pernah berjumpa dengan gadis cantik yang bernama
Anggraini Sulistya itu. Namun, kenyataannya tidak.
Aku belum pernah berjumpa dengannya. Tapi, kenapa
aku merasa sudah pernah berjumpa" Apakah dalam
mimpi" Perasaanku mengatakan dia adalah seseorang
yang sangat dekat dalam hidupku. Apakah ini meru-
pakan firasat" Ah, aku tak tahu...."
"Masuklah! Kenapa bengong di depan pintu?"
Perkataan Anggraini Sulistya memutuskan la-
munan Suropati. Buru-buru dia melangkah masuk.
Setelah duduk di atas permadani lembut, remaja ko-
nyol itu mengedarkan pandangan. Banyak hiasan-
hiasan indah tergantung di dinding ruangan. Pandan-
gan remaja konyol itu beralih pada sosok Anggraini Sulistya yang sedang menuang
anggur pada gelas emas.
"Seorang gadis yang sangat luar biasa cantik-
nya...,." desis Suropati. "Tapi, kenapa perasaan tak enak ini masih mengikutiku
terus" Apakah ini firasat
buruk?" *** Sementara itu, di tengah samudera sesosok
manusia tampak berkutat melawan maut. Belasan
ekor ikan hiu meluncur cepat mengejar sosok manusia yang sedang berenang. Ia
berpakaian serba hijau dan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Berwajah
tampan, namun sinar matanya menggambarkan kemara-
han yang meluap-luap. Dia adalah Saka Purdianta
atau Dewa Guntur. Rupanya, hantaman kekuatan ka-
satmata dari Kecapi Maut milik Anggraini Sulistya tak membuat pemuda tampan itu
mati. Hanya, tubuhnya
terpental dan tercebur ke dalam laut.
Sudah seharian penuh Saka Purdianta bere-
nang untuk mencapai pantai. Dan, puluhan ekor ikan
hiu yang hendak memangsanya telah mati di tangan
pemuda berkepandaian tinggi itu.
"Hiu-hiu keparat!" umpat Saka Purdianta. "Sejak kemarin kalian hanya
menggangguku saja!"
Mendadak, pemuda tampan itu menghentikan
gerakan tubuhnya yang sedang berenang. Dengan si-
nar mata berkilat tajam ditunggunya kedatangan belasan hiu yang sedang mengejar.
Bersamaan dengan da-
tangnya gulungan ombak besar, belasan ikan pemang-
sa daging itu meluncur cepat. Saka Purdianta menya-
lurkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan, lalu dipukulnya permukaan air.
Gulungan ombak setinggi pohon kelapa terdo-
rong ke belakang. Tubuh belasan ekor hiu terlontar ke atas. Sebelum jatuh ke
air, Dewa Guntur telah mengibaskan kedua telapak tangannya. Serangkaian angin
pukulan membuat tubuh belasan ekor hiu terlontar ke
atas kembali. Kali ini dalam keadaan hancur. Saat tercebur ke air, darah
menyebar cepat!
"Rasakan, Keparat!" hardik Saka Purdianta seraya menatap bangkai belasan hiu
yang berceceran.
Kemudian, dia meneruskan usahanya untuk mencapai
pantai. Pemuda tampan itu terus berenang tanpa ber-
henti. Tiba-tiba Dewa Guntur menjerit keras. Luapan rasa gembira meledak-ledak
dalam dadanya. Dari kejauhan terlihat olehnya Kapal Rajawali milik Anggraini
Sulistya. "Pantai!" teriak pemuda tampan itu. "Aku akan segera menemukan pantai.
Berakhirlah semua siksaan
ini!" Dengan semangat menggebu-gebu, Saka Pur-
dianta mempercepat gerakan tangan dan kakinya. Tu-
buhnya melesat cepat melebihi kecepatan renang ikan hiu.
*** "Suro...," panggil Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini."
"Bersediakah kau bila aku mengajak mu pergi
ke istana Kerajaan Pasir Luhur?"
"Untuk apa?" tanya Suropati tak mengerti.
"Menghadap Ayahanda Prabu Singgalang Man-
junjung Langit. Atas persetujuan beliau, kita menikah, Suro..." "Apa?"
Pengemis Binal terkejut bukan main mendengar
ucapan Putri Cahaya Sakti. Tak pernah terlintas di benak remaja konyol itu dia
akan menikah. Kemudian,
terikat dalam urusan rumah tangga.
"Kenapa kau terkejut, Suro?" tanya Anggraini Sulistya. "Apakah kau menolak
permintaanku?"
"Ah, tidak...."
"Kalau begitu, kau menerima?" wajah Anggraini Sulistya tampak berbinar.
"Juga tidak. Aku... aku...."
Melihat Suropati yang gelagapan, Putri Cahaya
Sakti tertunduk. Sedari tadi ucapannya hanya ditimpa-li Pengemis Binal dengan
jawaban-jawaban singkat. Bi-la tak ditanya, remaja tampan itu tak berucap.
Melihat jejaka pujaan hatinya bersikap seperti orang linglung, timbul pertanyaan
dalam hati Anggraini Sulistya.
"Tampaknya Suropati tidak menyukaiku. Ha-
ruskah aku paksakan kehendakku kepadanya" Ah,
untuk datang ke wilayah Kerajaan Anggarapura ini sa-ja aku telah menyimpan rasa
malu yang dalam. Seba-
gai putri raja, sebetulnya sangat memalukan mengeluarkan perasaan hati kepada
seorang jejaka miskin seperti Suropati. Tapi, kenapa aku sangat merindukan
kehadirannya" Apakah karena keharuman namanya"
Atau, barangkali karena sesuatu yang aku sendiri tak tahu?" Melihat Anggraini
Sulistya yang tertunduk di-am, Suropati ikut-ikut tertunduk. "Aneh...,"
pikirnya. "Debar-debar dalam hatiku semakin terasa. Aku jadi tak tahu apa yang harus
kulakukan. Mungkinkah gadis cantik ini mempunyai kekuatan batin yang bisa
membuat orang jadi linglung" Atau, aku saja yang
canggung karena tak pernah berjumpa dengan putri
seorang raja?"
Lama Anggraini Sulistya dan Suropati larut da-
lam pikiran masing-masing. Suropati yang biasanya
bersikap konyol dan urakan mendadak jadi sangat
alim. Dia sangat mengagumi kecantikan Anggraini Su-
listya, tapi kenapa dia menolak ketika gadis itu hendak mengajaknya ke istana
Kerajaan Pasir Luhur" Bukankah menikah dengan putri tunggal seorang raja akan


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa kemewahan yang melimpah ruah"
"Suro...," panggil Anggraini Sulistya.
"Ya, Aini."
"Kau menolak permintaanku, bukan?"
"Ah, bagaimana, ya?" Suropati kebingungan sendiri. "Katakan terus terang, Suro.
Itu lebih baik."
"Aku takut menyinggung perasaanmu, Aini.
Sungguh, aku ingin bersahabat denganmu. Tapi bukan
menikah...."
Putri Cahaya Sakti tersentak. Pipinya merona
merah. Sinar matanya mendadak jadi sayu. Perlahan-
lahan air mata bergulir turun. Gadis cantik itu lalu mendekap wajahnya. Dia
melepas kekecewaannya me-lalui tangis.
Suropati yang merasa kelepasan bicara ikut ter-
tunduk. Melihat Anggraini Sulistya terpuruk dalam ra-sa sedih, rasa sesal
menghantam dadanya.
"Maafkan aku, Aini...," kata Pengemis Binal.
"Bukan maksudku membuatmu sedih. Namun, kau
harus mengerti. Aku tak dapat meninggalkan Kerajaan Anggarapura. Aku juga
mempunyai sebuah perkumpulan yang masih membutuhkan tenagaku. Kau harus
mengerti, Aini...."
Putri Cahaya Sakti mengangkat wajah. Dis-
ekanya air mata dengan ujung lengan baju.
"Sebuah perkumpulan besar tentu dipimpin
oleh seorang tokoh pilih tanding. Keharuman nama
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti sudah sampai
ke Kerajaan Pasir Luhur. Hari ini aku ingin menjajal kepandaian pemimpinnya...."
Cepat gadis cantik itu membalikkan tubuh. Se-
buah tendangan dilancarkan. Suropati yang tak mau
kepalanya menjadi sasaran segera menggerakkan tan-
gan. Dhuk...! Tanpa disangka, benturan pergelangan tangan
kanannya dengan kaki Anggraini Sulistya membuat
tubuh Suropati terguling, lalu membentur dinding
ruangan. "Kenapa kau menyerangku, Aini?" tanya Suropati. "Sudah kubilang, aku ingin
menjajal kepandaian Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti!" *** Dalam waktu yang bersamaan Saka Purdianta
telah sampai di lambung kapal. Dengan mengerahkan
ilmu peringan tubuh, dia menjejak pasir pantai hingga tubuhnya melayang ke atas.
Kedua tangannya lalu
menangkap pagar sisi kapal. Perlahan-lahan kepala
pemuda tampan itu menyembul. Perkiraannya tepat,
para dayang Anggraini Sulistya berada di anjungan.
Jadi, tak satu pun awak kapal yang mengetahui keha-
dirannya. Beberapa lama Dewa Guntur menggelantung
diam dengan mata terpejam. Walaupun kedudukannya
sulit, dia berusaha sekuat tenaga menghimpun selu-
ruh kekuatan batinnya. Dan, saat pemuda tampan itu
membuka mata, dia menyunggingkan senyum lebar.
"Aku telah mengetrapkan ilmu 'Penghilang
Tanda Kehidupan'," kata Saka Purdianta dalam hati.
Anggraini Sulistya dan seluruh dayangnya tak akan
mendengar dengus napas dan detak jantungku. Jan-
gankan manusia, serigala yang mempunyai indera
penciuman sangat tajam pun tak akan tahu aku bera-
da di dekatnya."
Dewa Guntur lalu meloncat tinggi. Setelah ber-
salto beberapa kali di udara, dia mendarat di atas atap ruangan besar yang
terletak di tengah kapal. Tubuh
pemuda tampan itu terlihat limbung, lalu jatuh terduduk. Walaupun tubuh Dewa
Guntur telah hilang tanda
kehidupannya, tapi dia khawatir juga gerakannya me-
nimbulkan suara.
Buru-buru Saka Purdianta mendekap mulut-
nya yang hendak mengeluarkan keluhan. Terlihat dari sela-sela jari pemuda tampan
itu meleleh darah segar.
Tampaknya dia sedang menderita luka dalam.
"Keparat kau, Aini!" umpat Dewa Guntur dalam hati. "Rupanya kau ingin
membunuhku. Akan kuhan-curkan Kecapi Maut-mu, seperti aku menghancurkan
orang-orang yang berkeinginan memiliki mu!"
Di atas atap ruangan itu Saka Purdianta duduk
bersila dengan mata terpejam. Tangannya bersedekap
di dada. Dia sedang menghimpun hawa murni untuk
mengatasi luka dalamnya.
Saat pemuda tampan itu membuka mata, ter-
dengar olehnya suara pertempuran di bawah atap yang sedang ditempati. Kemudian,
Saka Purdianta membuat
lubang pada atap yang terbuat dari bilah papan den-
gan menggunakan jari telunjuk yang dialiri tenaga dalam. Para dayang Anggraini
Sulistya yang juga men-
dengar suara pertempuran langsung meloncat masuk
ke dalam ruangan besar.
"Kalian kembalilah ke tempat semula!" bentak Putri Cahaya Sakti. "Aku sedang
berlatih dengan Suro-
pati." Mendengar itu, wanita-wanita cantik yang sudah berada di ambang pintu
langsung berloncatan
kembali untuk berdiri di pagar anjungan.
"Kau jangan terus menghindar, Suro!" bentak Anggraini Sulistya. "Balaslah
seranganku bila kau tak ingin mati penasaran!"
"Tidak, Aini!" kata Pengemis Binal dengan sinar mata redup. Pemuda itu menyimpan
rasa khawatirnya.
"Kita baru berjumpa, kenapa menanam bibit permusuhan?"
"Aku tidak menanam bibit permusuhan den-
ganmu, Suro! Aku hanya ingin tahu, seberapa tinggi
kepandaianmu?"
"Aini...," desis Suropati. "Walaupun gadis itu menyerangku dengan penuh nafsu,
tapi aku dapat melihat suatu tabir gelap menutupi mata hatinya. Entah apa yang
berada di balik pikirannya...,"
Pengemis Binal tak mempunyai waktu untuk
berpikir lebih panjang. Anggraini Sulistya telah men-gayunkan kaki kanan yang
dibarengi totokan maut ke
arah ubun-ubun.
"Aini...!" pekik remaja konyol itu seraya berkelit.
"Jangan sebut namaku!"
Putri Cahaya Sakti melanjutkan serangannya
yang gagal. Mendadak, dari sekujur tubuh gadis cantik itu memancar cahaya perak
yang sangat menyilaukan
mata. Suropati terkejut. Cepat-cepat dia memalingkan muka seraya menutupi
matanya dengan telapak tangan karena merasakan pedih yang sangat.
Dhes...! "Argh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas ke lantai.
Tendangan Anggraini Sulistya bersarang tepat di da-
danya. Ketika remaja konyol itu hendak bangkit, ca-
haya perak yang memendar ke seluruh ruangan masih
menyakitkan pandangan. Kesempatan itu tak disia-
siakan Putri Cahaya Sakti. Seluruh kekuatan tenaga
dalamnya segera disalurkan ke tangan kanan. Lalu di-cengkeramnya tengkuk
Suropati! Namun, remaja konyol itu masih sempat meng-
hindar dengan menggulingkan tubuhnya ke kanan.
Punggung bajunya saja yang koyak terenggut jemari
Anggraini Sulistya.
"Rupanya kepandaian Pemimpin Perkumpulan
Pengemis tongkat Sakti hanya sampai di situ!" sindir Putri Cahaya Sakti. "Nah,
sekarang nikmati sebuah irama merdu dari kecapi ku!"
Dalam keadaan berdiri limbung dan mulut be-
lepotan darah, Pengemis Binal melihat cahaya perak
yang memancar dari sekujur tubuh Anggraini Sulistya mendadak sirna. Terlihat
kemudian gadis cantik itu telah memegang alat musik kecapi.
Selintas senyum manis tersungging di bibir Pu-
tri Cahaya Sakti. Matanya menatap tajam ke arah Su-
ropati. Dan, jemari tangannya siap melantunkan irama Kecapi Mautnya!
"Tunggu...!" pekik Pengemis Binal.
Anggraini Sulistya tersenyum tipis. "Karena kau tidak mau membalas seranganku,
dengan kecapi inilah aku akan memaksamu untuk memberikan perlawa-nan." "Tidak,
Aini! Aku tidak akan melawanmu!
Sungguh, aku rela mati di tanganmu. Tapi aku mohon
kau sudi menjawab beberapa pertanyaanku terlebih
dahulu." "Tidak! Aku tak sudi menuruti apa yang kau
minta, sebelum kau bersumpah akan bertempur mati-
matian denganku!"
"Aini...."
Mendadak, tubuh Suropati melorot ke lantai.
Dijambak-jambak rambutnya. Setelah menjerit keras
dia memukul-mukul lantai kapal hingga timbul suara
berderak-derak.
"Cih! Nama besar Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ternyata tak lebih baik dari seekor monyet kecil!"
"Aini.... Aku merasa seperti pernah berjumpa
denganmu. Hati kecilku pun mengatakan kau orang
yang sangat dekat dalam hidupku. Aku tak tahu men-
gapa mempunyai perasaan demikian" Apakah kau juga
merasakannya, Aini?"
Anggraini Sulistya mendengus. Seperti hendak
mengusir ketidakmengertiannya. Kepalanya digeleng-
gelengkan. "Jawablah, Aini! Apakah kau juga merasakan
hal yang aku rasakan?"
"Tidak!" jawab Putri Cahaya Sakti dengan suara keras. "Buka telingamu baik-baik,
Suro. Akan ku per-dengarkan kepadamu sebuah irama merdu yang akan
mengantarkan jiwamu ke surga!"
Usai mengucapkan kalimatnya, gadis cantik itu
menggerakkan jemari tangannya. Sebuah petikan ke-
capi berirama lembut segera terdengar.
"Aini...," desis Suropati. Tangannya menggapai, seperti menyuruh Anggraini
Sulistya untuk menghentikan petikan kecapinya. Tapi, gadis cantik itu hanya
mengerling. Jemari tangannya terus bergerak lincah.
Sebentar kemudian, lantunan irama kecapi
yang merdu dirasakan Suropati sebagai hujan petir.
Kekuatan dahsyat dari irama Kecapi Maut milik
Anggraini Sulistya dapat disalurkan sedemikian rupa.
Hanya orang yang dimaksudnya lah yang merasakan
siksaan. Sedangkan orang lain tetap mendengarnya
sebagai lantunan irama merdu mendayu-dayu.
Tubuh Pengemis Binal tergetar hebat. Keringat
bercampur darah berlelehan dari hampir sekujur tu-
buh. Tak terkecuali dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mencoba untuk tak mengeluarkan suara jeritan. Padahal siksaan yang
menderanya dirasakan se-
perti siksaan di neraka.
Tubuh remaja tampan itu terus bergetaran. Da-
lam keadaan demikian tak tampak sedikit pun sifat
konyolnya. Akibat getaran keras yang terjadi, baju
yang dikenakannya semakin koyak-koyak.
Nyawa Suropati bagai telur di ujung tanduk ke-
tika tiba-tiba muncul kekuatan bawah sadar yang me-
nyuruhnya untuk bangkit. Remaja tampan itu terlihat terhuyung-huyung. Tangan dan
kakinya digerak-gerakkan seperti sedang menari, mengikuti irama yang dilantunkan
kecapi Anggraini Sulistya.
Pengemis Binal dapat bertahan hingga bebera-
pa lama. Putri Cahaya Sakti mendengus, lalu menam-
bah kekuatan Kecapi Mautnya!
Terlihatlah kini tubuh Suropati berjumpalitan,
menjejak dinding ruangan secara bergantian, bersalto di udara, kemudian
berjumpalitan lagi di lantai ruangan. Karena gerakan-gerakan itulah, baju
Suropati tanggal hingga membuatnya bertelanjang dada. Tam-
paklah kulitnya yang semula putih-bersih memerah
bersimbah darah!
Pada suatu gerakan yang masih dilakukan da-
lam keadaan bawah sadar, punggung kiri Pengemis
Binal menggores dinding ruangan. Cairan darah yang
melekat jadi hilang.
"Dewata Agung...!" desis Putri Cahaya Sakti.
Ia melihat toh sebesar uang logam kecil di
punggung kiri Suropati. Ditubruknya tubuh Suropati
yang tergeletak pingsan.
"Suro...!" jerit Anggraini Sulistya. Dengan kalap dibalikkannya tubuh Suropati.
Lalu mengusap-usap
toh di punggung remaja tampan itu. "Kau... kau adikku, Suro...," ratap Putri
Cahaya Sakti. Suaranya mirip rintihan orang sakit. "Kau... kau putra Ayahanda
Prabu Singgalang Manjunjung Langit...."
Tentu saja Pengemis Binal yang pingsan tak
mendengar ucapan gadis cantik itu. Anggraini Sulistya segera menotok beberapa
aliran darah di tubuh Suropati. "Aduh...! Argh...!"
Suropati menggeliat. Ketika membuka mata,
terkejutlah dia mendapatkan dirinya sedang dipeluk
Putri Cahaya Sakti.
"Apa... apa yang yang kau.... Uoookkk...!" Pengemis Binal tak dapat melanjutkan
kalimatnya. Darah segar keburu menyembur dari mulutnya, mengotori
pakaian Anggraini Sulistya.
"Kau adikku, Suro. Kau putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung Langit!"
"Ak... aku tak tahu apa yang kau maksud." Darah segar kembali menyembur dari
mulut Suropati.
Putri Cahaya Sakti segera menotok beberapa aliran darah di sekitar dada remaja
tampan itu. "Suro!" panggil Anggraini Sulistya. "Kau mendengar apa yang kukatakan?"
Pengemis Binal mengangguk lemah. Tapi segera
kepalanya digelengkan. "Aku tak tahu apa yang kau maksud," ucapnya pelan.
"Kau adikku, Suro! Kau putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung Langit!"
Suropati menggeleng, lalu tubuhnya terkulai.
Pingsan! Anggraini Sulistya menjerit keras. Air matanya
sudah tak mungkin dibendung lagi. Seperti orang kehilangan ingatan, gadis cantik
itu menangis sambil mendekap erat tubuh Suropati yang belepotan darah.
Sementara itu, para dayang yang sedang berdiri
di pagar sisi kapal terkejut mendengar tangisan
Anggraini Sulistya.
"Apa yang terjadi, Andini?" tanya Purbawati.
Temannya itu cuma mengangkat bahu. "Sudahlah, kita tak perlu ikut campur urusan
Tuan Putri. Beliau sudah mengatakan kalau sedang berlatih dengan Suro-


Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pati. Tuan Putri tak akan apa-apa," ujar Andini berusaha bersikap bijaksana.
Mendengar ucapan Andini, semua dayang men-
jadi diam. Tapi tanpa sepengetahuan mereka bahaya
sedang mengancam jiwa Putri Cahaya Sakti....
Sinar mata Saka Purdianta atau Dewa Guntur
berkilat tajam. Giginya gemeletuk dengan rahang mengeras. Apa yang dilihatnya
dari atap ruangan membuat darah putra Tumenggung Sangga Percona itu mendi-dih.
Anggraini Sulistya yang menangis sambil memeluk tubuh seorang remaja tampan
mengundang rasa cem-buru Saka Purdianta. Cemburu yang berubah menjadi
hawa amarah. "Aini...," kata Dewa Guntur dalam hati. "Kau telah menyia-nyiakan cintaku yang
tulus. Sakit hatiku lebih pedih dari sayatan seribu pedang. Namun, aku tak ingin
melihatmu sengsara, Aini. Matilah kau, Gembel Busuk!"
Pemuda tampan itu meraba-raba ikat ping-
gangnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan,
dipukulnya atap ruangan dengan kekuatan penuh!
Braaakkk...! Atap yang terbuat dari bilah-bilah papan itu
ambrol. Tubuh Saka Purdianta meluncur turun seraya
menggerakkan tangan kanan.
Tak ada suara yang terdengar ketika Suropati
tersentak dari pingsannya. Mata remaja tampan itu
terbelalak lebar. Tubuhnya pun lepas dari pelukan
Anggraini Sulistya. Dan jatuh, tak bergerak-gerak lagi.
Di pelipis kanannya tertancap sebatang jarum hitam
yang mempunyai daya bunuh sangat ganas!
"Suro...!" jerit Putri Cahaya Sakti.
Patung Dewi Kwan Im 2 Pendekar Riang Karya Khu Lung Kisah Membunuh Naga 16
^