Pencarian

Dewa Guntur 2

Pengemis Binal 11 Dewa Guntur Bagian 2


nya, namun sanggup melontarkan tubuh Ki Ageng
Manik Rei. Kakek itu jatuh bergulingan di atas tanah.
"Kuremukkan tulang belulang mu!" teriak tokoh tua itu seraya bangkit berdiri dan
menerjang dengan
kalap. Melihat tendangan lurus yang mengarah ke ulu hati, si remaja tampan sama
sekali tak berkelit. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketika telapak kaki
Ki Ageng Manik Rei tinggal sejengkal lagi dari sasaran, tangan kanan si remaja
tampan berkelebat menangkap
pergelangan kaki lawan!
Wuuusss...! Hanya dengan sentakan pelan tubuh Ki Ageng
Manik Rei dilontarkan, lalu jatuh berdebam di atas tanah. Saat dia hendak
bangkit sebuah totokan jarak
jauh menghentikan gerakannya. Akibatnya, tubuh to-
koh tua itu terpuruk lemas seperti selembar karung
basah. Makian yang hendak keluar dari mulut Ki
Ageng Manik Rei langsung terhenti ketika sebuah totokan kembali menghujam telak
mengenai pangkal le-
hernya. "Eyang...!"
Seorang gadis menghambur datang dan meme-
luk tubuh Ki Ageng Manik Rei. Dia menangis tersedu-
sedu menyangka tokoh tua itu telah mati.
"Ha ha ha...!" si remaja tampan tertawa bergelak. "Ki Ageng Manik Rei yang gagah
perkasa belum mati, Manis. Kau tak perlu menangisinya."
Gadis yang tak lain Pertiwi itu menatap wajah
si remaja tampan dengan sinar mata berapi-api. Yang
ditatap balas memandang dengan tatapan mata yang
begitu kurang ajar. Apalagi tubuh Pertiwi hanya ter-
bungkus pakaian koyak-koyak. Gadis itu baru saja
dapat melepaskan diri dari reruntuhan bangunan yang
menghimpit tubuhnya.
"Mendekatlah kemari, Manis...," kata si remaja tampan.
Pertiwi mendengus keras. Cepat dia menerjang.
Tapi, totokan jarak jauh menghentikan gerakannya.
Tubuh gadis itu jatuh berdebam ke tanah dan tak
mampu bergerak lagi.
Si remaja tampan tertawa penuh kemenangan.
Dia melangkah mendekati Ki Ageng Manik Rei. Tubuh
tokoh tua itu diseret, kemudian disandarkan ke seba-
tang pohon. Ki Ageng Manik Rei mendelik tanpa mam-
pu berbuat apa-apa. Dia tak tahu apa yang akan di-
perbuat si remaja tampan.
"Kau ingin melihat sebuah pertunjukan bagus,
Manik Rei?" tanya si remaja tampan sambil mengusap-usap rambut putih Ki Ageng
Manik Rei. Karena kakek itu hanya diam saja, si remaja
tampan menggerakkan kaki kanannya. Hendak diten-
dangnya kepala Ki Ageng Manik Rei. Melihat itu, mata Ki Ageng Manik Rei langsung
terpejam rapat. Ia pasrah menerima kematian!
"Eyang...!"
Jerit Pertiwi memecah keheningan. Gadis itu
menarik napas lega ketika tendangan si remaja tampan terhenti di udara.
"Ha ha ha....!"
Sambil tertawa-tawa, si remaja tampan men-
jambak rambut Pertiwi. Diseretnya tubuh gadis itu ke hadapan Ki Ageng Manik Rei.
"Sebuah pertunjukan bagus akan segera kau
saksikan, Manik Rei...," kata si remaja tampan. Dia la-lu duduk berjongkok di
sisi tubuh Pertiwi. Ditatapnya wajah gadis yang sudah tak berdaya itu. Sesaat
kemudian.... "Ouuuwww...!"
Pertiwi menjerit keras. Dia merasa buah da-
danya laksana dijepit batang baja panas. Amarah dari rasa takut bercampur aduk
dalam dadanya. Ingin rasanya dia memenggal kepala si remaja tampan. Namun
apa daya, bergerak saja dia tak mampu.
"Ayo, menjeritlah yang lebih keras, Manis.... Bi-ar dedengkot tokoh tua itu tahu
kalau di hadapannya
sedang berlangsung pertunjukan yang barangkali bisa
membangkitkan gairah mudanya!",
Usai berkata demikian, si remaja tampan
menggerakkan tangan. Kebaya yang dikenakan Pertiwi
langsung robek lebar di bagian depan. Akibatnya, buah dada gadis itu menyembul
keluar. Si remaja tampan tertawa terbahak-bahak. Se-
mentara kelopak mata Ki Ageng Manik Rei terpejam
rapat. Dia tak sanggup melihat adegan yang berlang-
sung di hadapannya. Isi dada Ketua Perguruan Pedang
Kencana itu terasa mau meledak karena menahan
amarah. Plaaakkk...! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kanan
Ki Ageng Manik Rei. Tubuh tokoh tua itu langsung terpelanting. Namun, si remaja
tampan segera menyeret-
nya kembali. Disandarkannya tubuh tua itu di tempat
semula. "Kenapa kau enak-enakan tidur, Manik Rei"!"
bentak si remaja tampan. "Sudah kubilang, kau harus menyaksikan pertunjukan yang
akan segera berlangsung di hadapanmu!"
Si remaja tampan membalikkan badan, lalu di-
jambretnya kain yang dikenakan Pertiwi. Jerit ngeri
gadis itu mengiringi jatuhnya air mata Ki Ageng Manik Rei.
Melalui cahaya rembulan yang temaram, si re-
maja tampan menggerayangi tubuh mulus Pertiwi den-
gan pandangan matanya. Kemudian dia berjongkok.
Dengus napas si remaja tampan yang memburu
segera lenyap ditelan jerit kesakitan Pertiwi. Ki Ageng Manik Rei memejamkan
mata rapat-rapat. Namun, hatinya terasa perih bagai disayat seribu mata pedang.
Jeritan Pertiwi serasa mencabik-cabik seluruh isi dada Ki Ageng Manik Rei....
Malam semakin larut. Sang Dewi Malam masih
setia menghiasi langit kelam. Bintang-bintang menge-
dipkan matanya, seakan turut berduka atas peristiwa
berdarah yang menimpa Perguruan Pedang Kencana.
Usai melampiaskan nafsu bejatnya, si remaja
tampan mendekati Ki Ageng Manik Rei. Dielus-elusnya
rambut putih tokoh tua itu. Senyum mengejek terlihat menghiasi bibirnya.
"Manik Rei, maaf atas kejadian yang menimpa
perguruan silatmu. Kau tentu menyesali perbuatanku,
bukan" Kau ingin membalaskan sakit hati muridmu
dan dirimu sendiri. Kau ingin mencabik-cabik tubuh-
ku?" Si remaja tampan lalu tertawa bergelak. Ki Ageng Manik Rei menatapnya
dengan pandangan penuh hawa dendam. Pemuda itu dengan tenangnya ma-
lah menepuk-nepuk bahu Ki Ageng Manik Rei.
"Untuk membalas dendam, kau tak mungkin
dapat mengalahkan aku, Manik Rei, Tapi jangan kha-
watir...," si remaja tampan menarik napas panjang.
Diusapnya dahi Ki Ageng Manik Rei. "Kau punya otak, Manik Rei! Walau sudah
usang, tapi mungkin masih
bisa diajak berpikir. Untuk membalaskan sakit hatimu mudah saja. Rimba
persilatan banyak memiliki tokoh
sakti. Kau bisa minta bantuan mereka. Aku menung-
gumu di atas geladak Kapal Rajawali yang tertambat di Pantai Pasir Putih. Besok
tengah malam, kau gunakan
pedangmu untuk memenggal kepalaku. Ingat! Besok
malam di Kapal Rajawali!"
Usai mengucapkan kalimatnya, si remaja tam-
pan membebaskan totokan di tubuh Ki Ageng Manik
Rei. Tokoh tua itu langsung menggeram keras dan me-
lompat tinggi. Namun sayang, sosok si remaja tampan
telah menghilang di kegelapan malam.
Ki Ageng Manik Rei berdiri terpaku menatap
tubuh telanjang Pertiwi yang tergeletak pingsan. Kea-
daan gadis itu sangat mengenaskan. Rambutnya yang
semula dikepang dua telah terburai tak karuan. Kelo-
pak mata dan bibirnya membiru. Sekujur tubuhnya
menampakkan luka memar. Namun yang membuat
hati Ki Ageng Manik Rei sangat terpukul adalah
adanya darah segar mengalir dari selangkangan Perti-
wi! "Suropati keparat...!" umpat Ki Ageng Manik Rei. Suaranya terdengar menggelegar
di angkasa. Mendadak, tokoh tua itu melompat dan menghantamkan
kepalan tangannya ke sebatang pohon besar.
Dum...! Pohon itu tumbang. Ki Ageng Manik Rei masih
belum puas. Kaki kanannya digedrukkan ke tanah
sampai amblas sebatas lutut.
"Suropati keparat...! Tuhan mengutuk perbua-
tanmu yang kejam! Neraka jahanam akan merejam tu-
buhmu! Tunggu pembalasanku, Pengemis Binal...!"
4 Sengaja Wirogundi tak lewat pintu gerbang is-
tana. Dia tahu di bagian depan pengawalan tentu san-
gat ketat. Namun ketika telah melompat tembok ben-
teng setinggi dua tombak, Wirogundi terkejut. Sebuah teriakan menghentikan
langkahnya. "Siapa"!"
Teriakan itu segera disusul dengan kelebatan
dua sosok bayangan. Cepat-cepat Wirogundi bersem-
bunyi di balik rimbunan pohon-pohon taman. Ternyata
pengawalan di bagian belakang istana tak kalah ketatnya. "Aku tadi melihat
sesosok bayangan melompati
tembok benteng. Apakah kau juga melihatnya, Di?"
tanya salah satu dari kedua penjaga.
"Ya. Karena itulah, aku mengikuti langkahmu,"
jawab temannya.
"Sebaiknya kita melapor pada kepala penjaga."
"Jangan! Kita pastikan dulu yang masuk ke sini
adalah manusia. Bagaimana kalau setan?" temannya berkeberatan.
"Bodoh! Kau masih saja terlalu percaya pada
tahayul!" bentak penjaga yang lebih tua.
"Tidak! Ugh...!"
Mendadak saja, tubuh penjaga yang lebih muda
terpuruk ke tanah dan tak mampu bergerak lagi. Bebe-
rapa totokan jarak jauh ternyata tepat mengenai sasaran. "Kau kenapa, Di?"
Temannya segera memeriksa. Namun sebelum
dia menyadari keadaan, beberapa aliran darahnya te-
lah terhenti. Dia pun jatuh menggelosor di atas tubuh temannya.
Wirogundi hendak beranjak dari tempat per-
sembunyian. Tapi dia mendengar suara memanggil-
manggil, disusul dengan suara derap langkah kaki.
Sekurang-kurangnya sepuluh orang sedang berlari ke
arahnya. "Celaka!" pilar Wirogundi. "Aku telah ketahuan.
Tapi, aku tak boleh gagal...."
Wirogundi menghemposkan tubuhnya. Dia me-
lesat ke atas atap istana. Teriakan-teriakan penjaga tak dipedulikan lagi.
Karena tak mau wajahnya dikena-li, Wirogundi segera menyobek kain lengan ba-
junya. Digunakannya kain itu untuk menutupi sebagian wa-
jahnya. "Siapa kau"!"
Petir laksana menyambar tubuh Wirogundi. Dia
terkejut setengah mati. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri seorang pemuda
tampan berambut pirang. Pakaian yang dikenakannya indah gemerlap. Lewat ca-
haya rembulan Wirogundi bisa mengenali pemuda itu.
Dia adalah Kapi Anggara atau Pendekar Asmara.
"Ehm.... Rupanya ada maling hendak masuk ke
istana. Buka kain di wajahmu dan menyerahlah!"
Tak ada perkataan yang menimpali ucapan Ka-
pi Anggara. Tubuh Wirogundi telah berkelebat mema-
suki keputren. "Berhenti, Keparat...!" teriak Kapi Anggara.
Pemuda tampan berambut pirang itu segera
mengejar. Namun, tak disangka selarik sinar kebiru-
biruan meluncur ke arahnya.
"Ih...!"
Pendekar Asmara masih sempat menghindar.
Totokan jarak jauh Wirogundi mengenai angin kosong.
Pendekar Asmara bergegas meneruskan pengejaran-
nya. Sayang, sosok Wirogundi telah hilang.
"Siapa dia?" pikir Kapi Anggara. "Pakaiannya penuh tambalan. Mungkinkah dia
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti?"
Pemuda tampan berambut pirang itu segera
berlari mengelilingi keputren. Beberapa orang prajurit bersenjata pedang
terhunus mengikuti langkah kakinya. "Minta bala bantuan...!" perintah Kapi
Angara. "Amankan Baginda Prabu beserta Permaisuri!."
Sementara itu, Wirogundi tengah berjingkat-
jingkat di sebuah lorong di mana pada sisi kiri dan kanannya terdapat jajaran
kamar yang saling berhada-
pan. "Kamar-kamar ini bentuknya biasa-biasa saja.
Tentu milik dayang-dayang...," pikir Wirogundi. "Seorang putri raja pasti
menempati sebuah kamar yang
lebih bagus."
Ketika pemuda kurus itu melihat sebuah kamar
besar yang letaknya agak terpisah dari kamar-kamar
lain, dia menarik napas lega. Tapi, dari arah depan tak kurang dua puluh orang
prajurit berlari ke arahnya.
"Celaka!" desis Wirogundi. Cepat tubuhnya di-balikkan. Pandangan matanya menjadi
nanar ketika mengetahui dirinya telah terkepung. Tanpa pikir pan-
jang, pemuda kurus itu menerjang. Tapi, kelebatan sinar perak memapak!
Wuuuttt..! Tubuh Wirogundi melenting. Kelebatan sinar
perak yang hendak memenggal lehernya lewat di ba-
wah kaki. Belum sampai kaki Wirogundi menginjak
lantai, kelebatan sinar perak itu telah mengurung. Bu-ru-buru Wirogundi
menjatuhkan diri. Lalu kakinya
bergerak menyerampang!
Trang...! Untunglah Wirogundi segera menarik kakinya
kembali. Kalau tidak, kakinya tentu telah putus. Sinar perak yang terus
mengejarnya adalah sebilah pedang.
Pemiliknya seorang gadis cantik berpakaian ringkas
dan berwarna merah.
Menyerahlah! Kau sudah terkepung!" ancam si
gadis. Wirogundi menyebar pandangan. Di sisi kiri
dan kanannya telah berjajar enam puluh prajurit ber-
senjata tombak dan pedang terhunus. Wirogundi pun
mengenali gadis berpakaian merah ringkas yang se-
dang mengacungkan pedang perak ke arahnya. Dia
adalah Puspita atau si Pedang Perak.


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesosok bayangan mendadak berkelebat dan
mendarat di sisi kanan Puspita. Dia adalah Kapi Ang-
gara. Pemuda tampan berambut pirang itu tersenyum
ke arah Wirogundi.
"Aku tahu kau tentu anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti!"
"Bukan!" Wirogundi berusaha menutupi jati dirinya. Beberapa prajurit yang sudah
tak sabar segera menerjang Wirogundi. Namun, buru-buru dihentikan
oleh teriakan Kapi Anggara.
"Tahan! Jangan membuang nyawa sia-sia! Mal-
ing ini bukan maling sembarangan. Kalian tak akan
mampu merobohkannya!"
Kapi Anggara kemudian menerjang Wirogundi
dengan sebuah tendangan ke arah dada. Wirogundi
menggeser kedudukannya. Tapi, kelebatan pedang
Puspita memaksanya untuk meloncat. Sebentar kemu-
dian telah terjadi pertempuran seru. Para prajurit yang berada di tempat itu
hanya menjadi penonton.
Tidak terlalu lama, Pendekar Asmara tiba-tiba
meloncat menghentikan serangan. Gerakannya itu di-
ikuti oleh Puspita. Dua pendekar muda ini saling berpandangan sejenak. Lalu,
ditatapnya tajam-tajam wa-
jah Wirogundi yang tertutup selembar kain sobekan
lengan bajunya. Wirogundi tampak terkesiap melihat
senyum yang mengembang di bibir kedua muda-mudi
di hadapannya. "Aku sudah tahu siapa kau...," kata Kapi Anggara dengan suara datar. "Baru saja
kau mengeluarkan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'. Jangan
menyangkal kalau kau anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti!"
"Bukan! Aku adalah Pendekar Patah Hati," sahut Wirogundi asal-asalan, teringat
panggilan si rema-
ja tampan terhadap dirinya di Danau Ular.
"Pendekar Patah Hati"!" ucap Kapi Anggara dan Puspita hampir bersamaan.
"Ya. Aku Pendekar Patah Hati. Perbuatanku tak
ada sangkut pautnya dengan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Aku berbuat atas nama pribadi...."
Selagi Wirogundi berkata demikian, pintu-pintu
kamar terkuak. Belasan dayang-dayang lari berserabutan. Ke-
sempatan itu tak disia-siakan Wirogundi. Disambarnya salah seorang dayang.
Maksudnya, untuk dijadikan
sandera. Tapi kelebatan pedang Puspita menggagal-
kannya. "Jahanam! Katakan apa maumu"! Tak perlu
mungkir, kau pasti anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Rupanya kau binatang yang hendak
mencemarkan nama baik perkumpulanmu sendiri!"
"Bukan! Kau salah ucap! Aku Pendekar Patah
Hati!" Kapi Anggara tersenyum mengejek. "Huh! Kau menyebut dirimu sebagai
pendekar. Mana ada seorang
pendekar malam-malam begini masuk ke dalam istana
dengan tanpa izin!"
Empat sosok bayangan berkelebat datang. Ke-
dudukan Wirogundi semakin terkurung rapat. Dua
orang tokoh silat istana menatapnya dengan penuh ke-
siap-siagaan. Salah seorang yang mengenakan jubah
pendeta memegang kebutan di tangan kanan. Tasbih
kuning melingkari lehernya. Tokoh tua itu mempunyai
rambut dan janggut panjang berwarna putih. Seorang
lagi berperawakan tinggi besar. Hanya mengenakan
rompi kuning dan celana pendek sebatas lutut. Otot-
otot tubuhnya tampak bertonjolan keluar.
Sorot mata mereka sangat tajam. Wirogundi sa-
dar kepandaian kedua tokoh silat istana itu tentulah tinggi. Terbukti dari
kelebatan tubuh mereka yang begitu ringan, hingga tak memperdengarkan suara
ketika menginjak lantai.
Dua orang lagi yang baru hadir sepasang mu-
da-mudi tampan dan cantik. Pakaian yang dikenakan-
nya hanya berupa piyama. Tapi, Wirogundi dapat men-
genalinya. Yang laki-laki Arya Wirapaksi, sang Putra Mahkota. Sedang yang wanita
Rani Paramita, adik lain ibu dari Arya Wirapaksi.
Melihat kehadiran Rani Paramita, semangat da-
lam hati Wirogundi menyala-nyala kembali. Dia men-
dengus pendek. Lalu, tubuhnya berkelebat sangat ce-
pat menyambar Rani Paramita!
"Heaaa...!"
Pedang di tangan gadis cantik itu memapak
luncuran tubuh Wirogundi. Cahaya keemasan melun-
cur datang. Terpaksa Wirogundi menghentikan gera-
kannya. "Tangkap dia hidup-hidup!"
Pendekar Asmara memberi perintah. Ketika pa-
ra prajurit hendak ikut merangsek, dia mencegah.
"Tenaga kalian belum dibutuhkan. Tetaplah
bersiap siaga di tempat masing-masing!"
Usai berkata demikian, pemuda tampan be-
rambut pirang itu segera membantu teman-temannya
yang telah menyerang Wirogundi. Di antara gempu-
rannya dia masih sempat memberi perintah kepada
Rani Paramita. "Tuan Putri, menyingkirlah. Kami sudah cukup
untuk menangkap penjahat ini."
"Terima kasih, Anggara. Aku ingin menjajal il-
mu pedangku."
Rani Paramita menolak permintaan Pendekar
Asmara. Dengan jurus 'Desingan pedang Membelah
Gunung', gadis cantik itu mencecar tubuh Wirogundi.
Sementara itu kakek berjubah telah meloloskan
tasbihnya. Benda itu berkelebatan sangat cepat me-
nimbulkan desau angin dahsyat. Kebutannya pun ber-
gerak tak kalah cepat. Walau bulu-bulu kebutan san-
gat lembut, tapi kehebatannya sungguh luar biasa. Ketika membentur dinding
kamar, susunan batu bata
tebal itu langsung jebol!
Lelaki tinggi besar yang berotot gempal menye-
rang Wirogundi sambil menggeram-geram. Beberapa
kali cengkeramannya hampir meremukkan tulang be-
lulang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu. Karena gerak tubuh Wirogundi yang gesitlah, pe-
muda itu dapat terhindar dari maut.
Namun sehebat-hebatnya Wirogundi, bila dike-
royok enam orang berilmu tinggi, tentu akhirnya dia
terdesak juga. Kelebatan pedang Rani Paramita dan
Puspita sudah cukup merepotkan. Terlebih ketika Arya Wirapaksi berteriak
nyaring, Wirogundi mendapati tubuhnya diselimuti hawa panas.
"Menyerahlah, Pendekar Patah Hati!" teriak Ka-pi Anggara. "Kami tak ingin
membunuhmu. Tapi bila kau nekat, jangan salahkan kami!"
Wirogundi mendengus keras. Tentu saja dia tak
mau menyerah. Kalau tadi dia tidak mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya, karena takut jati dirinya ketahuan, maka setelah tak ada
pilihan lain dia segera
mengeluarkan gabungan jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan', 'Pengemis Menebah Dada', dan 'Pengemis
Meminta Sedekah'!
Kelebatan tubuh Wirogundi sudah sangat sulit
diikuti pandangan mata. Tangan dan kakinya bergerak
cepat. Si kakek berjubah kelihatan terkejut melihat
pameran kepandaian itu. Hingga, tanpa disadari dia
bergerak lamban. Akibatnya....
Des...! Dada tokoh tua itu terkena hantaman Wiro-
gundi. Walau hanya mempergunakan sepertiga tenaga
dalam, tapi sudah cukup untuk membuat si kakek
berjubah mengeluarkan jerit nyaring. Tubuhnya terlontar lalu membentur dinding
kamar hingga jebol!
Para prajurit yang semula hanya menjadi pe-
nonton langsung bergerak menggempur. Mereka tak
lagi mempedulikan teriakan Kapi Anggara yang me-
nyuruhnya untuk tetap diam di tempat.
Pertempuran berlangsung semakin sengit.
Ruangan yang tidak seberapa lebar membuat gerakan
mereka kacau. Jerit kesakitan mengiringi para prajurit yang roboh terkena
pukulan dan tendangan Wirogundi.
Keadaan yang kacau membuat Pendekar Asma-
ra kebingungan. Dia berteriak menyuruh para prajurit untuk menyingkir. Namun,
teriakannya sia-sia belaka.
Para prajurit itu tetap nekat. Mereka tak mau menuru-ti perintah Kapi Anggara
yang bukan komandan pasu-
kan. Pendekar Asmara mengumpat-umpat dalam ha-
ti. Disambarnya seorang prajurit, lalu dibawa ke luar arena pertempuran.
"Kau tahu tempat tinggal Senopati Risang Alit?"
tanya Pendekar Asmara, yang dibalas dengan anggu-
kan si prajurit. "Cepat kau ke sana! Katakan di istana sedang terjadi
kekacauan!"
Buru-buru si prajurit berlalu dari tempatnya.
Namun saat Kapi Anggara membalikkan badan, terke-
jutlah dia. Sosok Wirogundi telah lenyap.
"Rani Paramita diculik!" teriak Arya Wirapaksi.
Seluruh prajurit langsung berhamburan men-
cari Wirogundi yang telah menculik Rani Paramita. Suara hiruk-pikuk kembali
terdengar. Sebentar kemudian semua orang telah meninggalkan tempat itu, kecuali
Kapi Anggara. Pemuda tampan berambut pirang ini melihat
sebilah bambu menancap di dinding salah satu kamar.
Didekatinya bilah bambu itu lalu dicabut. Kapi Angga-ra membuka gulungan kulit
kambing yang melilit bilah bambu. Maaf bila utusanku mengejutkan Tuan-tuan. Aku
sangat mencintai Rani Paramita. Terpaksa aku menggunakan cara kasar ini. Karena,
aku tak mau Baginda Prabu Arya Dewantara menolak pinangan ku
Akan tetapi bila Baginda Prabu menjadi murka,
Tuan-tuan tak perlu khawatir. Ambillah Rani Paramita di atas geladak Kapal
Rajawali yang tertambat di Pantai Pasir Putih besok tengah malam. Namun, Tuan-
tuan jangan datang lebih awal, karena Rani Paramita hanya akan tinggal nama.
Suropati alias Pengemis Binal
Kapi Anggara membaca berulang kali tulisan
pada lembaran kulit kambing. Keningnya berkerut dan
alisnya bergerak naik. Dia heran bukan main. Kalau
saja yang dipegangnya bukan benda nyata, dia tentu
menyangka yang baru dihadapinya adalah mimpi.
"Suropati...," desis pemuda tampan berambut pirang itu. "Apakah durjana yang
baru saja menculik Tuan Putri Rani Paramita adalah utusannya, seperti
yang dikatakan dalam lembaran kulit kambing ini"
Ehm... Durjana yang mengaku sebagai Pendekar Patah
Hati itu tentu anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku sangat yakin! Tapi, siapa dia?"
Selagi Pendekar Asmara berpikir demikian, se-
sosok bayangan berkelebat datang. Berdirilah Puspita atau si Pedang Perak di
sisi pemuda tampan berambut
pirang itu. "Durjana itu lenyap, Anggara. Kita harus segera melaporkan kejadian ini kepada
Baginda Prabu," beri-tahu gadis cantik itu.
"Tunggu, Puspita. Kau baca ini...." Kapi Anggara menyodorkan lembaran kulit
kambing. Puspita
membaca tulisan yang tertera itu dengan rasa tak percaya. "Tidak mungkin!" kata
gadis cantik itu setelah selesai membaca.
"Apanya yang tidak mungkin?"
"Suropati tak mungkin berbuat seperti ini. Aku
mengenal Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Dia seorang pendekar sejati. Tak mungkin Suropati berbuat hal yang dapat
mencemarkan nama baik
perkumpulan dan dirinya sendiri...."
"Kau tahu, aku pun sahabat baik Suropati,
Puspita. Waktu kita bekerja sama menumpas pembe-
rontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah, cukup
banyak waktu bagi kita untuk mengenal siapa Suropa-
ti. Dia memang seorang pendekar sejati. Aku kira Ba-
ginda Prabu pun mengakui hal ini. Tapi.... Kau juga
harus tahu, Puspita. Setiap saat pribadi manusia bisa berubah. Orang yang paling
baik bisa menjadi orang
yang paling jahat," sergah Kapi Anggara.
"Hal itu tak akan terjadi pada Suropati!" Puspita bertahan pada pendapatnya.
"Apa alasanmu?"
Puspita terdiam. Dia tak mampu menjawab per-
tanyaan Kapi Anggara. Pipi Pendekar Pedang Perak itu
tampak merona merah. Buru-buru dia menundukkan
kepala. Sayang, Kapi Anggara telah melihatnya.
"Kau membela Suropati, bukan?"
"Tidak!" sahut Pedang Perak segera.
Pendekar Asmara tersenyum tipis.
"Kau tidak menggunakan otakmu, Puspita. Kau
hanya menggunakan perasaanmu. Karena otakmu te-
lah tertutup oleh rasa cinta terhadap Suropati...."
"Anggara...!" pekik Puspita. Wajah gadis cantik itu merah membara. Ucapan Kapi
Anggara dirasakan-nya bagai mata pedang yang menusuk lubuk hati.
"Kenapa kau menipu dirimu sendiri, Puspita?"
Plak...! Tanpa disangka-sangka, Pedang Perak menda-
ratkan tamparan di pipi Pendekar Asmara. Pemuda
tampan berambut pirang itu terpelanting. Saat dia
bangkit terlihat bibirnya telah pecah dan melelehkan darah segar.
"Kau katakan sekali lagi, aku akan membu-
nuhmu, Anggara!" ancam Pedang Perak.
Kapi Anggara mendengus. Dia melangkah tiga
tindak. Tampaknya pemuda itu hendak membalas
tamparan Puspita.
"Hei! Apa yang kalian lakukan"!" teriak seorang lelaki gagah berpakaian prajurit
Dia adalah Senopati Risang Alit. Belasan praju-
rit berlari-lari di belakangnya. Tak lama muncul Arya Wirapaksi dan dua tokoh
silat istana. Melihat kedatangan Senopati Risang Alit, Puspi-
ta segera menyodorkan lembaran kulit kambing yang
dibawanya. Lalu, dia berkelebat dari tempat itu dengan membawa perasaan kesal.
Senopati Risang Alit, Arya Wirapaksi, dan dua
tokoh silat istana bergantian membaca tulisan pada
lembaran kulit kambing. Mereka tampak terkejut dan
tak percaya. Terutama Senopati Risang Alit. Dia men-
genal benar siapa Pengemis Binal.
"Pada mulanya aku juga tak percaya, Alit...,"
ujar Kapi Anggara, menyebut langsung nama Senopati
Risang Alit. Dua orang tokoh muda itu memang bersa-


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

habat karib. "Tapi setelah kupikir kalau si durjana yang menculik Tuan Putri
Rani Paramita adalah anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, aku sampai
pada kesimpulan bahwa Suropati telah berubah."
"Tapi kita tak boleh berbuat gegabah, Anggara.
Bentrok dengan Suropati sama halnya bermusuhan
dengan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti. Kau tahu mereka berjumlah ribuan orang
dan sangat setia kepada pemimpinnya."
"Tapi bila pemimpinnya telah menyeleweng dari
jalan kebenaran, apakah mereka masih akan setia?"
tanya Kapi Anggara, sangsi.
"Kita serahkan saja keputusannya pada Bagin-
da Prabu."
"Tepat!" sahut Arya Wirapaksi. "Malam ini juga kita melapor kepada Ayahanda."
*** Rani Paramita berpasrah diri kepada Tuhan.
Dia tak mampu lagi menggerakkan anggota badannya.
Mengeluarkan sepatah kata pun juga tak dapat. Yang
masih bisa dilakukannya hanyalah memejamkan mata
rapat-rapat. Dinginnya malam terasa menusuk tulang.
Rani Paramita seperti dibawa melayang tinggi melawan hembusan angin kencang.
Sambil membopong tubuh putri Prabu Arya
Dewantara itu, Wirogundi melesat cepat. Dalam gelap
sosok tubuhnya tampak seperti kelebatan setan.
Hanya sesekali dia menginjak tanah, selebihnya adalah melayang!
Tiba di tepi hutan kecil yang berada dalam ka-
wasan Danau Ular, gelegar petir tiba-tiba menyambar
di angkasa, mengejutkan Wirogundi. Namun dia tak
menghentikan kelebatan tubuhnya.
Wuuussss...! Tiupan angin kencang laksana topan menghan-
tam tubuh Wirogundi dari depan. Akibatnya, tubuh
kurus anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu terpental. Namun dengan bersalto tiga kali di uda-ra, dia dapat mendaratkan
kakinya di permukaan ta-
nah. Tubuh Rani Paramita masih berada dalam bopon-
gannya. "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa membahana di angkasa.
Darah Wirogundi berdesir. Dia segera bersiap-siap
dengan mempertajam seluruh inderanya.
"Bagus, Pendekar Patah Hati! Kau telah melak-
sanakan tugasmu dengan baik!"
Melalui cahaya rembulan temaram, Wirogundi
menyebar pandangan. Namun, tak didapatkannya si
empunya suara. "Siapa kau"!" bentak pemuda kurus itu kemudian. "Aku Suropati. Letakkan Rani
Paramita di tem-patmu berdiri. Dan segeralah kau kembali pada tapa-
mu, Pendekar Patah Hati!"
Wirogundi mendengus. Timbul kecurigaan da-
lam hatinya. Dia berdiam diri di tempatnya tanpa berbuat apa-apa. Tubuh Rani
Paramita masih tetap dalam
bopongannya. "Hei! Pendekar Patah Hati! Apakah kau tidak
mendengar perintahku"!"
"Bagaimana aku tahu kalau kau Suropati. Kau
tak mau menampakkan diri!" sahut Wirogundi keberatan. "Ha ha ha...!"
Suara tawa itu kembali membuat darah Wiro-
gundi berdesir. Tubuh Rani Paramita yang berada da-
lam pondongannya terasa bergetar. Walau tidak dialiri tenaga dalam, suara tawa
itu menimbulkan pengaruh
magis. "Jangan mempermainkan aku!" hardik Wirogundi. "Bila kau tak segera
menampakkan diri, aku akan mengembalikan Rani Paramita ke istana!"
Deru angin keras mendadak saja menyambar.
Wirogundi yang sudah siap siaga buru-buru menge-
rahkan ilmu memperberat tubuh. Saat hembusan an-
gin bertambah kencang, Wirogundi terkejut bukan
main. Di hadapannya tahu-tahu berdiri seorang remaja tampan berambut panjang
tergerai dan mengenakan
pakaian penuh tambalan.
"Suropati...!" desis Wirogundi.
Si remaja tampan tersenyum penuh kemenan-
gan. "Kau terkejut, Wiro?"
"Aneh-aneh saja kau, Suro. Apa maksudmu se-
benarnya" Setelah kudapatkan Rani Paramita, hendak
kau apakan putri Baginda Prabu Arya Dewantara ini?"
Wirogundi tak dapat menahan rasa ingin tahu
dan penasarannya.
"He he he.... Kau tak perlu khawatir, Saudara-
ku. Aku ada sedikit urusan dengannya. Gadis itu nanti akan dijemput orang-orang
istana." "Kau harus memberi jaminan kepadaku kalau
Rani Paramita kembali ke istana dalam keadaan tak
kurang suatu apa."
"Jangan khawatir..."
"Aku tak mau kau hanya bermanis mulut, Su-
ro! Untuk mendapatkan Rani Paramita, aku telah
mempertaruhkan segalanya. Bukan hanya nyawa, juga
nama baikku dan Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti," Wirogundi agaknya tidak rela begitu saja melepaskan Rani Paramita.
Si remaja tampan tersenyum. Ditepuk-
tepuknya bahu Wirogundi. "Kau bisa memegang kata-kataku...."
"Baik! Aku percaya. Tapi bila di kemudian hari
aku mendengar tentang keculasan mu, semoga Tuhan
menjatuhkan kutukan kepadamu, Suro."
Saat mengatakan itu, suara Wirogundi bergetar.
Dia berusaha sekuat tenaga menahan rasa harunya.
Bagaimanapun juga dia merasa sayang bila Suropati
benar-benar mendapat kutukan Tuhan. Wirogundi
menggeleng-gelengkan kepalanya. Terbayang masa ke-
cilnya yang indah bersama Suropati.
"Kau menangis?" tanya si remaja tampan. "Kau memang pantas dijuluki Pendekar
Patah Hati, Wiro.
Jiwamu lemah. Mudah terbawa perasaan. Mudah-
mudahan dengan kembali bertapa di Danau Ular ji-
wamu akan lebih kuat. Tak mudah menangis seperti
ini...." Si remaja tampan kemudian meraih tubuh Rani Paramita. Wirogundi
menyerahkannya walau dengan
hati berat. "Sampai jumpa, Pendekar Patah Hati!"
Kalimat itu terus mengiang di telinga Wirogun-
di. Beberapa lama dia berdiri tak bergeming di tempatnya. Ketika kokok ayam
terdengar samar-samar, baru-
lah Wirogundi sadar. Dia berada di tepi hutan kecil itu seorang diri.
"Ah, mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi
umatnya yang benar. Dan semoga apa yang diperbuat
Suropati adalah dalam usahanya menegakkan kebena-
ran serta keadilan...," ucap pemuda kurus itu penuh harap Wirogundi kemudian
berkelebat menuju Danau
Ular. Ia hendak memulai kembali tapanya selama em-
pat puluh hari empat puluh malam.
*** Sang Raja Siang baru menampakkan diri di
ufuk timur. Hangatnya terasa menerpa bumi. Ranting-
ranting pohon menggeliat. Butiran embun bertetesan
ke hamparan rumput. Kicau burung bersahutan riang
mengawali kehidupannya hari ini.
Berulangkali Ki Ageng Manik Rei menasihati
Pertiwi yang sudah kehilangan semangat hidup. Ke-
hormatannya yang terenggut dengan paksa membuat
gadis itu patah hati. Semangat hidupnya pun ikut
hancur. Dalam perjalanan dari padepokan Perguruan
Pedang Kencana ke lereng Bukit Pangalasan saat ini
hampir tiada henti Pertiwi meneteskan air mata.
"Tangis memang bisa meringankan beban, tapi
tak menyelesaikan masalah...!" bujuk Ki Ageng Manik Rei kembali dengan suara
lembut. "Kau tahu, Pertiwi.
Sesuatu yang berlebihan itu tak baik."
Pertiwi tak membuka suara. Tangisnya menim-
pali perkataan Ki Ageng Manik Rei.
"Cobaan bagi Perguruan Pedang Kencana me-
mang berat. Tapi, yakinlah semua ini pasti ada hik-
mahnya." "Eyang...," sela Pertiwi seraya menatap wajah Ki Ageng Manik Rei. Namun, gadis
itu segera tertunduk
kembali. Tak kuasa ia mengeluarkan isi hatinya.
"Apakah kau merasa dirimu tak lagi berguna,
Pertiwi?" ucap Ki Ageng Manik Rei sambil mengelus rambut muridnya itu. "Aku ikut
menanggung beban-mu. Kau tidak sendirian. Hanya orang picik yang mau
mati sia-sia. Kalaupun kau ingin mati, matilah sebagai seorang pendekar. Jasa-
jasamu akan selalu dikenang
orang...."
Sambil terus menasihati muridnya, Ki Ageng
Manik Rei mendaki Bukit Pangalasan. Pertiwi mengi-
kuti langkah gurunya dengan menahan isak tangis.
Lama-lama timbul perasaan malu dalam diri gadis itu.
Dulu dia datang ke Perguruan Pedang Kencana untuk
belajar ilmu olah kanuragan. Pertiwi ingin menjadi seorang wanita yang kuat.
Aku harus tegar! Aku harus bisa membalas sa-
kit hatiku ini Begitu kini hati kecilnya berkata. Lama-kelamaan tangis Pertiwi
pun berhenti dengan sendi-
rinya. Sesampainya di puncak Bukit Pangalasan, Ki
Ageng Manik Rei langsung menemui Gede Panjalu. Di-
ceritakannya panjang lebar perihal peristiwa berdarah yang menimpa Perguruan
Pedang Kencana.
Gede Panjalu mendengarkan dengan kening
berkerut. Begitu selesai cerita Ki Ageng Manik Rei, wajah Gede Panjalu tampak
begitu muram. "Bila Gede tak mempercayai cerita ku, salah sa-
tu korban kebiadaban Suropati sekarang berada di si-
ni." "Aku percaya.... Aku percaya kau tak akan ber-bohong kepadaku, Manik Rei."
"Lalu apa tindakanmu, Gede?"
"Tentu saja yang salah harus dihukum...," kata Gede Panjalu dengan suara berat.
"Bila benar Suropati
melakukan perbuatan biadab itu, hukuman yang layak
dijatuhkan kepadanya hanyalah hukuman mati."
"Suropati mengatakan, dia menungguku di atas
geladak Kapal Rajawali yang tertambat di Pantai Pasir Putih nanti tengah
malam...."
"Baik. Tepat tengah malam kita berada di sana.
Tapi kuminta kau tidak boleh gegabah. Terus terang,
hati kecilku sulit mempercayai peristiwa ini."
"Jadi...."
"Kau tak perlu khawatir, Manik Rei. Siapa yang
salah tetap akan mendapat hukuman."
5 Cahaya rembulan yang ditingkahi kedip bintang
menyirami geladak Kapal Rajawali. Ombak kecil mem-
bentur lambung kapal. Putaran waktu hampir menca-
pai titik tengah malam. Angin dingin berhembus pelan.
Duduk berhadapan meja, Suropati dan Rani
Paramita. Wajah mereka tampak pucat. Suropati tidak
tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah dia jatuh pingsan akibat serangan
gelombang tawa yang dilan-carkan Saka Purdianta di lereng Bukit Hantu.
Ketika dia sadar, didapati dirinya telah duduk
di kursi kayu berukir berbantalan empuk. Di hada-
pannya duduk seorang gadis cantik mengenakan
piyama kuning. Suropati mengenalinya sebagai putri
Prabu Arya Dewantara yang bernama Rani Paramita.
"Kenapa aku di sini?" gumam Suropati pada dirinya sendiri.
Rani Paramita menatap sejenak wajah remaja
tampan di hadapannya. Lalu pandangannya menyebar
berkeliling. Tindakan itu segera diikuti Suropati.
"Kenapa aku berada di sini?" desis Rani Paramita, mengulang kalimat Suropati.
Pemuda itu sendiri
menggaruk-garuk kepalanya sambil menatap bangu-
nan papan di tengah kapal yang tinggal puing-puing.
"Ehm.... Angin pukulan yang sangat dahsyat te-
lah menghancurkannya," gumam Pengemis Binal.
Remaja konyol itu lalu beranjak dari tempat
duduknya, tapi kedua kakinya terasa sangat lemas.
Dia jatuh terduduk kembali.
"Kenapa Tuan Putri berada di sini?" tanya Suropati kemudian kepada Rani
Paramita. Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya.
"Seseorang telah menculik ku...."
"Apa?"
"Aku diculik salah seorang anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti. Penculik itu tentu orang suruhanmu!"
Tatap mata Rani Paramita berubah nyalang. Te-
lapak tangannya mengepal. Dipandangnya Pengemis
Binal dengan kebencian yang menggelegak.
"Eh.... Kau kenapa?" kata Suropati gugup.
"Jangan pura-pura! Kau tentu mempunyai
maksud busuk. Aku tak peduli nama besarmu. Kure-
mukkan kepalamu sekarang juga!"
Rani Paramita bangkit berdiri untuk menerjang
Suropati. Namun, dia pun merasakan kedua kakinya
lemas. Gadis cantik itu jatuh terduduk di kursinya
kembali. "Sabarlah, Tuan Putri...," bujuk Pengemis Binal.
"Saya tak tahu apa yang Tuan Putri maksudkan...."
"Keparat! Kau masih saja berpura-pura! Kau
sengaja menotok aliran darah di kakiku."
"Tidak! Sungguh mati saya tidak melakukan hal
itu. Saya tidak akan berani...."
Rani Paramita tak mendengarkan ucapan Su-
ropati. Dia sedang mengalirkan hawa murni ke perge-
langan kakinya. Perlahan-lahan suatu hawa hangat tu-
run dari pusar, mengalir lancar hingga ke telapak kaki.
Tapi, ketika dia hendak bangkit kedua pergelangan
kakinya masih terasa lemas.
"Bangsat! Bebaskan totokanmu!" hardik Rani Paramita.
"Saya tidak menotok Tuan Putri..."
"Lalu, apa yang kau lakukan terhadapku"!"
"Saya tidak tahu. Kedua kaki saya juga terasa
lemas," Suropati menggaruk-garuk kepalanya. "Mungkin ada orang jahat yang
telah...."
"Kaulah orang jahat itu!" potong Rani Paramita.
"Aduh! Saya benar-benar tidak tahu. Saya be-
rada di sini pun karena diculik!"


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat raut wajah Pengemis Binal yang tam-
pak sungguh-sungguh, Rani Paramita mengerutkan
kening. Jadi, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang telah menculik dirinya bukan suruhan Su-
ropati. Lalu, siapa orang itu" Pikir Rani Paramita.
Dalam keheningan itu tiba-tiba muncul seorang
wanita setengah baya. Dia mengenakan kebaya dan
berkain dengan corak lembut. Wajah wanita itu tam-
pak murung. Garis-garis ketuaan tampak jelas di wa-
jahnya. Dia membawa nampan berisi guci arak dan ti-
ga buah gelas perak. Hidung Suropati kembang kempis
mencium aroma arak yang harum. Remaja konyol itu
seperti baru disadarkan kalau perutnya melilit-lilit oleh deraan rasa lapar.
Namun, Suropati tercekat setelah mengenali
wanita setengah baya yang memberi suguhan itu. Dia
adalah inang pengasuh Anggraini Sulistya. Rupanya,
dia tidak ikut jadi korban keganasan Saka Purdianta
saat terjadi peristiwa berdarah di atas kapal ini.
Buru-buru Suropati mencegah ketika wanita
setengah baya itu hendak berlalu.
"Sebentar, Mbok! Aku ingin menanyakan sesua-
tu kepadamu...."
Lewat cahaya rembulan yang temaram wanita
setengah baya menatap wajah Suropati. Tiba-tiba saja dia menggelengkan kepala,
lalu berlari menuju sebuah lubang yang terdapat di buritan. Dituruninya anak
tangga dengan tergesa-gesa, seperti dikejar rasa takut yang sangat.
Rani Paramita dan Suropati mengikuti keper-
gian wanita setengah baya itu dengan pandangan ma-
ta. Sesosok bayangan berkelebat. Berdirilah di ha-
dapan Rani Paramita dan Suropati seorang pemuda
tampan berpakaian kuning coklat dengan garis-garis
hitam. Dia melempar senyum seraya membungkukkan
badan dalam-dalam.
"Saka Purdianta...!" desis Rani Paramita
"Benar, apa yang Adi Rani lihat. Saya memang
Saka Purdianta...."
Hidung Pengemis Binal berkernyit. Ingatannya
melayang ke lereng Bukit Hantu di mana Saka Pur-
dianta telah menculiknya.
"Hei, Orang Jelek! Apa maksudmu membawaku
kemari"!" tukas remaja konyol itu.
Saka Purdianta menyunggingkan senyum tipis,
"Kau bisa memanggilku 'Saka', Suro. Dan, to-
long jangan terlalu berprasangka buruk. Aku tahu sia-pa kau. Seorang Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kesohor. Mana berani aku bermak-
sud buruk kepadamu?"
"Tapi...."
"Sudah kubilang, jangan berprasangka buruk.
Suatu kehormatan bagiku dapat menjamu seorang
pendekar muda yang gagah perkasa. Juga suatu ke-
hormatan pula aku dapat mendatangkan Tuan Putri
Rani Paramita di atas geladak Kapal Rajawali ini...."
"Jadi, orang yang telah menculik ku itu utusan
mu, Saka!" bentak Rani Paramita.
"Uts! Jangan marah-marah dulu, Adi Rani. Bu-
kankah kau ingin menjajal ilmu kepandaianmu dengan
salah seorang tokoh Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti" Justru saya telah mempertemukan Adi Rani
dengan pemimpin perkumpulan itu."
Mendengar perkataan Rani Paramita dan Saka
Purdianta, hati Pengemis Binal bertanya-tanya. Bila
Saka Purdianta bermaksud mempertemukan Rani Pa-
ramita dengan Suropati untuk menjajal kepandaian,
bukankah Saka Purdianta telah tahu ilmu kepandaian
Suropati telah musnah" Saka Purdianta tentu mem-
punyai maksud tersembunyi. Apalagi tadi dia menden-
gar tuduhan Rani Paramita kepada pemuda itu. Du-
gaan Suropati jadi semakin kuat. Saka Purdianta telah menculik Rani Paramita
dengan memperalat seorang
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Tiba-tiba Saka Purdianta menepukkan telapak
tangannya. Wanita setengah baya yang tadi menyu-
guhkan arak tampak keluar dari ruang bawah geladak.
Tangannya menyangga nampan besar. Aneka masakan
lezat mengundang selera terdapat di atasnya. Sejenak Suropati lupa pada masalah
yang dihadapi. Perutnya
yang keroncongan kembali menghentak-hentak.
"Silakan... silakan..." kata Saka Purdianta setelah wanita setengah baya
berlalu. "Untuk menghilangkan prasangka buruk dari Tuan-tuan Pendekar yang
budiman, saya menjamu dengan sebaik-baiknya."
"Jangan bermulut manis!" sela Rani Paramita.
"Kau telah membuat kedua pergelangan kakiku lumpuh! Siapa yang mau
mempercayaimu"!"
Saka Purdianta tersenyum tipis. Dia mengi-
baskan telapak tangan kanan dan kirinya. Pada setiap persendian kaki Suropati
dan Rani Paramita tiba-tiba terasa seperti digigit semut. Kedua kaki mereka
dapat digerakkan lagi!
Sesungguhnya Saka Purdianta telah menan-
capkan beberapa batang jarum di persendian kaki Su-
ropati dan Rani Paramita, sehingga syaraf gerak mere-ka yang menuju ke kaki
terganggu. Karena itulah, ke-
dua pergelangan kaki mereka lumpuh. Ketika Saka
Purdianta mengibaskan kedua telapak tangannya, ja-
rum-jarum itu tercabut.
Saka Purdianta menuang arak ke dalam gelas
perak. Lalu disodorkannya ke hadapan Suropati dan
Rani Paramita. Mencium aroma wangi arak, Suropati tanpa
sungkan-sungkan lagi menenggaknya sampai tandas.
Saka Purdianta tersenyum puas. Rani Paramita sama
sekali tak menyentuh arak yang disuguhkan, Suropati
lalu menggaruk-garuk kepala sambil menatap aneka
masakan lezat di hadapannya.
"Apakah... apakah aku boleh menikmati"
Ehm...." "Tentu! Tentu saja boleh. Semua ini jamuan un-
tuk Tuan Pendekar...," kata Saka Purdianta sambil menyunggingkan senyum lebar.
Deraan rasa lapar yang hebat membuat otak
Suropati tak mampu berpikir jernih lagi. Tanpa mena-
ruh sak wasangka dilahapnya hampir semua hidan-
gan. Rani Paramita yang menatapnya dengan kening
berkerut tak dipedulikan.
"Dasar pengemis edan!" umpat Rani Paramita dalam hati.
Setelah selesai, sambil menggumam puas Suro-
pati mengelus perutnya yang membuncit. Saka Pur-
dianta menatapnya dengan sinar mata penuh keme-
nangan. Lalu, pemuda tampan itu tertawa terbahak-
bahak. "Eh, apa yang kau tertawakan, Saka?" tanya Suropati.
Saka Purdianta tak menjawab. Suara tawanya
malah terdengar semakin keras. Rani Paramita merasa
curiga. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Tapi, kelebatan jemari tangan
Saka Purdianta menghentikan
gerakan gadis cantik itu. Tubuh Rani Paramita kaku
mendadak! "Ap... apa yang kau lakukan?" tanya Rani Paramita tergagap.
Gadis itu memandang Saka Purdianta dengan
penuh kebencian. Benar dugaan Rani Paramita, Saka
Purdianta mempunyai maksud tak baik. Sayang, kesa-
daran itu datangnya terlambat. Saka Purdianta telah
berkelebat lenyap meninggalkan geladak Kapal Rajawa-
li. Sementara itu, Suropati tersedak-sedak dengan
pandangan nyalang.
Suropati berusaha menghalau gejolak aneh
yang menghantui benaknya. Hasrat kelelakiannya
mendadak melonjak-lonjak. Suropati menggelengkan
kepala berulang kali. Namun, bayang-bayang keinda-
han tubuh seorang gadis di pelupuk matanya tak da-
pat hilang. Remaja konyol itu kemudian menjambak-
jambak rambutnya sendiri. Wajahnya tampak merah
merona dan sekujur tubuhnya dibanjiri keringat!
"Oh.... Apa yang terjadi?" gumam Suropati. Ditatapnya wajah Rani Paramita yang
duduk kaku di ha-
dapannya. Sekejap kemudian, dia berteriak dengan
suara serak. "Pergilah cepat!"
Mendengar perintah Suropati, Rani Paramita
menatap tak mengerti.
"Pergi cepat!" ulang Suropati.
"Kau kenapa?" tanya Rani Paramita kebingungan. "Aku terkena pengaruh Puyer
Perangsang!"
Rani Paramita terkejut bukan main. Bayangan
buruk segera hadir dalam benaknya. Dia yang tak bisa menggerakkan anggota
badannya jadi sangat gelisah.
Apalagi setelah melihat raut wajah Suropati berubah
tegang. Dengus nafasnya menderu-deru bagai banteng
marah. "Saka Purdianta keparat!" umpat Suropati sambil menggebrak meja. Piring
dan gelas yang berada di atasnya langsung berpentalan.
Mata Suropati melotot semakin lebar. Jantung-
nya terasa sangat sakit. Ketika menggebrak meja tadi dia lupa kalau
kepandaiannya telah musnah. Akibatnya, racun Jarum Hitam yang mencampuri cairan
da- rahnya langsung menerjang jantung!
"Cepat! Tuan Putri, pergilah!" teriak remaja konyol itu.
Puyer Perangsang yang dicampurkan Saka Pur-
dianta ke dalam arak dan makanan hampir menghan-
curkan akal sehat Suropati. Mulutnya mendesis-desis
tak karuan. Dia menggeleng-gelengkan kepala semakin
keras. Tapi, keinginan buruk dalam hatinya terus
menghentak-hentak. Sementara Rani Paramita tak ka-
lah kalutnya. "Aku... aku tak bisa pergi dari sini, Suro...," ka-ta putri Prabu Arya Dewantara
itu. Kengerian ter-
bayang jelas di matanya.
"Tuan Putri harus pergi! Aku tak ingin berbuat
dosa terhadap Tuan Putri. Pengaruh Puyer Perangsang
hanya dapat dipunahkan dengan melakukan hubun-
gan suami-istri. Dan aku tidak ingin melakukan per-
buatan keji itu. Pergilah Tuan Putri, sebelum pengaruh Puyer Perangsang sampai
pada puncaknya...."
"Aku ditotok Saka Purdianta."
"Apa?"
Remaja konyol itu bangkit dari duduknya. Den-
gus nafasnya terdengar panjang-panjang. Sorot mata Suropati yang semula berapi-
api berubah redup. Semua bayangan ngeri yang menghantui pikirannya
mendadak lenyap, berganti dengan keindahan yang
mempesonakan. "Kau cantik sekali...," desis Suropati seraya membelai anak-anak rambut Rani
Paramita, "Biadab! Saka Purdianta biadab!" jerit Rani Paramita. Suaranya menerobos debur
ombak yang sese-
kali terdengar keras memecah keheningan.
"Ah! Aku...," Pengemis Binal seperti baru tersadar akan sesuatu.
Sorot mata remaja konyol itu kembali nyalang.
Ditekannya kedua pelipisnya. Bagian pelipis kanannya serasa lunak seperti tiada
bertulang. "Ya, Tuhan...," gumam Suropati sambil menundukkan kepala dalam-dalam. "Pengaruh
racun Jarum Hitam dalam darahku belum lenyap. Kini Puyer Perangsang akan
menggelapkan mataku. Tidak! Ini tidak
boleh terjadi!"
Remaja konyol itu berteriak lantang, lalu berla-
ri-lari mengelilingi geladak Kapal Rajawali. Suropati terlihat bagai orang yang
kehilangan akal sehat "Tidak!
Ini tidak boleh terjadi! Aku harus bisa mengalahkan
pengaruh racun dalam tubuhku!"
Suropati berlari semakin kencang. Tapi akhir-
nya dia jatuh terduduk sambil mendekap dada kirinya.
Setelah mengeluarkan umpatan tak karuan, dia duduk
bersila dengan mata terpejam rapat.
Dicobanya menghimpun kekuatan batin untuk
menghalau keinginan birahi yang mengabuti benak-
nya. Namun, sebentar kemudian.... Jerit keras
membarengi terbukanya kelopak mata Suropati. Rema-
ja konyol itu berjalan tiga tindak. Diterkamnya tubuh Rani Paramita yang masih
duduk di kursi!
"Jangan...!" teriak Rani Paramita.
Tapi, teriakan itu hanya dianggap angin lalu
oleh Pengemis Binal. Dengan ganas dia menciumi bibir Rani Paramita. Kemudian
direnggutnya piyama gadis
cantik itu hingga koyak....
6 Lima bayangan berkelebat cepat menyusuri
Pantai Pasir Putih. Dalam gelap malam yang hanya di-
terangi cahaya rembulan gerak tubuh mereka laksana
kelebatan setan. Hampir tak dapat diikuti oleh pan-
dangan mata. Ketika sampai di sisi julangan batu karang
tinggi, mereka menghentikan langkah. Didakinya ju-
langan batu karang itu. Seorang di antara mereka adalah wanita muda yang
berparas cantik. Di punggung-
nya terselip sebilah pedang. Gagangnya melintang di
bahu kanan. Sorot mata gadis itu sangat tajam. Pa-
kaian merah ringkas yang dikenakannya memperli-
hatkan lekuk liku tubuhnya. Dialah Puspita atau yang lebih dikenal dengan
julukan Si Pedang Perak.
Di sisi kanan Pendekar Pedang Perak itu seo-
rang pemuda tampan berambut pirang menatap ke ke-
jauhan. Bibirnya yang merah seperti bibir wanita tampak bergetar. Dia mengangkat
telunjuk jari kanannya, menunjuk Kapal Rajawali yang tertambat agak ke tengah
laut. "Itu kapal yang kita cari...."
Tak ada sahutan yang menimpali perkataan
Kapi Anggara atau Pendekar Asmara.
Seorang pemuda yang juga tak kalah tampan
namun berpakaian lebih sederhana, menatap wajah-
nya sebentar. "Kita ke sana sekarang...."
"Jangan, Gusti. Belum waktunya. Tindakan
yang tak mengikuti perhitungan hanya akan mencela-
kakan Tuan Putri Rani Paramita...," cegah seorang kakek yang mengenakan jubah.
Ikat kepala putih yang


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikenakannya tampak lepas bagian ujungnya. Namun,
dengan cekatan dia membenarkan. Setelah itu, dia
menatap kakek tinggi besar yang berdiri di sebelahnya.
"Sebaiknya kita memang menunggu beberapa
saat lagi...," kata si kakek tinggi besar.
Dia hanya mengenakan rompi dan celana pen-
dek sebatas lutut. Udara dingin malam sama sekali tak membuat tubuhnya
menggigil. Padahal bentuk pakaian yang dikenakannya membuat hembusan angin
bebas menyentuh kulitnya. Dia Bima Glondor. Semasa
muda dijuluki si Pegulat Maut. Selain memiliki ilmu silat tinggi, dia juga ahli
memainkan ilmu bela diri gulat.
Dia pernah berguru kepada seorang petualang dari da-
ratan Mongolia.
"Bagaimana, Anggara?" tanya si pemuda tam-
pan yang berpakaian lebih sederhana kepada Pendekar
Asmara. "Benar perkataan kakek berdua ini, Wirapak-
si...," jawab pemuda tampan berambut pirang itu.
Arya Wirapaksi merupakan Putra Mahkota Ke-
rajaan Anggarapura. Kedua pemuda itu memang ber-
sahabat karib. Mereka sering berlatih silat bersama.
Sebenarnya Arya Wirapaksi dilarang oleh ayahan-
danya, tapi dia tetap ngotot untuk ikut membebaskan
Rani Paramita dari tangan penculik.
Mendadak, sesosok bayangan berkelebat. Ber-
dirilah di tempat itu seorang pemuda gagah berkumis
yang menyandang sebilah pedang di punggung.
"Aku telah memeriksa keadaan di sekitar Pantai
Pasir Putih ini. Tidak ada sesuatu pun yang mencuri-
gakan. Kita tidak akan terjebak," kata pemuda yang baru muncul. Dia adalah
Senopati Risang Alit.
"Kalau begitu kita serbu Kapal Rajawali seka-
rang!" sahut Arya Wirapaksi, yang segera dibalas dengan anggukan kepala Senopati
Risang Alit. Ketiga orang yang lainnya pun menampakkan
persetujuan. Tapi, tidak demikian dengan Puspita. Wajah gadis itu tampak semakin
kusut. Tokoh-tokoh is-
tana yang berada di tempat itu tak memperhatikannya.
Mereka segera menghemposkan tubuh mengikuti gera-
kan Senopati Risang Alit.
"Hei, tunggu!" teriak Puspita.
Senopati Risang Alit menoleh. Dia menghenti-
kan langkah kakinya. "Ada apa, Puspita?"
"Dengan menyerbu bersama-sama, apakah hal
ini bukan suatu tindakan gegabah?"
"Percayalah kepadaku. Tidak akan terjadi apa-
apa." "Bagaimana kau bisa yakin seperti itu, Alit?"
"Aku telah menyelidikinya. Di Kapal Rajawali
aku mendapatkan Tuan Putri Rani Paramita sedang
duduk tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Aku juga
melihat Suropati...."
"Suropati" Jadi, benar Tuan Putri diculik orang suruhannya...," kata Puspita
menyimpan keterkejutan.
"Sedang apa dia" Apakah dia sedang menunggu kedatangan kita?"
"Tampaknya tidak. Ketika aku mengintai, Pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu se-
dang berlari-lari di atas geladak kapal. Sepertinya dia telah hilang ingatan."
"Ah, kita tak bisa membuang-buang waktu...,"
sela Kapi Anggara.
"Kita segera menyelamatkan Tuan Putri. Buang
pikiran buruk dari benakmu, Puspita,"
Senopati Risang Alit menghemposkan tubuhnya
kembali. Semua tokoh istana langsung mengikuti, ter-
masuk Puspita. Namun, hati pendekar pedang itu tak
lepas dari kungkungan tanda tanya.
*** Suropati sudah kehilangan akhlak kemanu-
siaannya lagi. Dengan penuh nafsu dia menghem-
paskan tubuh Rani Paramita ke geladak. Piyama yang
dikenakan gadis cantik itu sudah tak karuan lagi wu-
judnya. Di sana-sini telah koyak lebar, memperli-
hatkan kemulusan kulitnya. Ketika Suropati menden-
gus keras sambil berusaha menanggalkan sisa-sisa
kain yang menempel di tubuh, Rani Paramita hanya
dapat memejamkan mata. Dalam hati dia menyebut
kebesaran nama Tuhan. Dia sudah tak mampu lagi
untuk berteriak keras. Tenggorokannya telah kering.
"Kau cantik sekali...," desis Suropati sambil mencium leher Rani Paramita yang
jenjang. Kemudian,
remaja konyol yang telah terpengaruh Puyer Perang-
sang itu menindih tubuh Rani Paramita. Dan, tampak-
nya gadis itu hanya dapat mengeluh panjang. Totokan
yang dilakukan Saka Purdianta telah menghilangkan
seluruh tenaganya.
Pada saat genting di mana kehormatan Rani
Paramita hampir terenggut, dua sosok bayangan ber-
kelebat sangat cepat. Yang satu melancarkan tendan-
gan ke arah kepala Suropati. Sedang yang lain melun-
cur dengan kedua tangan terbuka seperti hendak me-
remukkan tubuh Suropati.
"Mati kau, Gembel Busuk!" teriak bayangan
yang di sebelah kiri.
Sosok yang sedang melancarkan tendangan itu
tak mendapat kesulitan apa-apa untuk segera menca-
but nyawa Suropati. Namun tak pernah dia duga, satu
kelebatan sinar perak yang dibarengi suara mendesing menghentikan gerakannya.
Cepat pergelangan kakinya
ditarik ke kiri karena tak mau kaki kanannya terbabat putus. Tubuh orang itu
terjerembab ke geladak kapal lalu bergulingan.
Orang kedua bernasib sial. Dia terlalu bernafsu
untuk segera menyudahi riwayat Suropati. Ketika je-
mari tangannya hampir menyentuh tengkuk Suropati,
kilatan pedang berwarna perak menyambar. Dia masih
sempat menarik tangan kanannya. Tapi, tangan ki-
rinya terlambat. Kelingkingnya terbabat putus! Jerit kesakitan mengiringi
meluncurnya cairan darah.
"Bangsat...!" umpat Bima Glondor atau si Pegulat Maut Di hadapannya berdiri
Puspita dengan pedang terhunus. "Kenapa kau melukai ku"!"
"Tidak seorang pun boleh membunuh Suropa-
ti!" kata Puspita dengan suara ketus.
"Tapi... tidakkah kau melihat apa yang sedang
dilakukannya" Dia pantas untuk menerima hukuman
mati!" Puspita menoleh. Dilihatnya Suropati masih menggumuli tubuh Rani
Paramita. Puspita langsung
menjerit histeris. Dia jatuh terduduk. Tangan kirinya mendekap wajah. Tak mampu
melihat adegan yang
mengiris-iris hatinya itu.
Suropati seperti tak sadar kalau di tempat itu
tidak lagi sepi. Lima orang tokoh istana telah hadir.
Satu cengkeraman Kapi Anggara yang mendarat di
tengkuk Suropati menghentikan gerakan remaja ko-
nyol itu. "Mati kau!" pekik Kapi Anggara seraya melemparkan tubuh Pengemis Binal
Braaakkk...! Tak ayal lagi, tubuh remaja konyol itu melayang
tinggi lalu membentur geladak kapal dengan keras. Dia masih mencoba bangkit.
Tapi hanya sanggup mengangkat tangan kanannya. Darah menyembur deras
dari mulutnya. Dibarengi keluh pendek, tubuh Suropa-
ti jatuh terkulai. Pingsan!
Senopati Risang Alit dart Arya Wirapaksi saling
berpandangan. Mereka menghampiri tubuh Rani Pa-
ramita yang masih tergeletak di atas geladak kapal.
Begitu totokan di tubuhnya bebas, gadis cantik itu
memeluk Arya Wirapaksi dan menumpahkan tangis-
nya di dada putra mahkota itu.
"Sudahlah, Rani...," kata Arya Wirapaksi. "Ben-cana telah lewat. Kau selamat,
Adikku." Pemuda tampan itu melepaskan pelukan Rani
Paramita. Bajunya kemudian dilepas untuk dipakaikan
ke tubuh Rani Paramita yang hampir polos.
"Kita bawa Suropati ke istana," kata Arya Wirapaksi. "Biar Ayahanda Prabu
sendiri yang menentukan hukuman baginya."
Bima Glondor yang sudah bisa mengatasi rasa
sakit di sekeliling tangannya langsung memanggul tu-
buh Suropati. "Kita berangkat sekarang," katanya.
Tiga sosok bayangan menghentikan langkah
Bima Glondor. Di tempat itu muncul Gede Panjalu ber-
sama Ki Ageng Manik Rei dan Pertiwi.
"Turunkan tubuh muridku!" perintah Gede
Panjalu dengan suara berat
Bima Glondor menatap tajam wajah sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. "Aku harus membawanya ke istana."
"Tidak! Dia muridku. Aku yang akan menjatuh-
kan hukuman terhadapnya!"
"Dia hampir saja merenggut kehormatan Tuan
Putri Rani Paramita. Hukuman apa yang hendak kau
jatuhkan kepadanya?"
Kening Gede Panjalu berkerut. Wajahnya yang
sudah tua tampak semakin tua. "Ehm.... Suropati benar-benar telah menjadi
binatang jalang."
Gede Panjalu menyebar pandangan sebentar.
Begitu dilihatnya para tokoh istana hadir di tempat itu, Gede Panjalu mengangkat
tangan kanannya yang memegang tongkat. Dengan lantang lalu dia berkata, "Aku
telah mengangkat Suropati menjadi Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Kalau kini perbua-
tannya menyimpang dari jalan kebenaran, aku juga
yang akan mencopot kewenangannya. Dan melihat ke-
biadabannya aku sendiri yang akan menjatuhkan hu-
kuman terhadapnya!"
"Tidak..!" tiba-tiba Puspita memekik
Sinar mata gadis itu berubah nyalang. Pera-
saan cinta dalam hatinya terhadap Suropati telah
mengalahkan akal sehatnya. Dengan berani dia mena-
tap wajah Gede Panjalu.
"Seorang pendekar budiman seharusnya bisa
mengendalikan perasaan pribadinya," kata Gede Panjalu.
"Justru itu, seorang pendekar budiman tidak
boleh bertindak gegabah. Benarkah Suropati telah me-
lakukan perbuatan jahat" Apakah dia tidak sedang da-
lam pengaruh orang lain?"
"Bukti dan saksi sudah cukup untuk menja-
tuhkan hukuman bagi Suropati...," kata Ki Ageng Manik Rei. "Suropati telah
menghancurkan Perguruan Pedang Kencana. Bahkan, di depan mataku Suropati
menodai seorang muridku yang kini berdiri di sam-
pingku." "Tapi..."
"Sudahlah, Puspita...," sambung Kapi Anggara.
"Suropati telah berubah menjadi penjahat. Dia bukan sahabat kita seperti hari-
hari lalu. Tidakkah kau melihat dia hampir saja menodai Tuan Putri Rani
Paramita, Puspita?"
Tidak ada lagi yang berkata-kata. Rani Parami-
ta pun belum mampu membuka suara untuk menje-
laskan perkara yang sebenarnya. Gadis itu masih da-
lam keadaan gugup dan sangat terkejut akan kejadian
yang menimpa dirinya.
Gede Panjalu lalu segera memberi isyarat kepa-
da Bima Glondor untuk menurunkan tubuh Suropati.
Begitu tubuh Pengemis Binal menyentuh geladak,
Gede Panjalu melompat dengan tongkat tertuju lurus
ke depan. Tapi kakek berjubah yang bernama Prana-
sanca menghadang.
"Baginda Prabu Arya Dewantara yang berhak
menghukumnya," kata tokoh tua itu.
Gede Panjalu mendengus. Dia merasa tersing-
gung. Dengan teriakan serak, kakek bongkok itu mem-
bentak "Minggir kau! Suropati muridku. Bagi seorang murid yang murtad, yang
berhak menjatuhkan hukuman adalah gurunya!"
"Tapi, Suropati hampir saja membuat celaka
Tuan Putri Rani Paramita!"
Mendengar ucapan yang bernada menantang
itu, darah Gede Panjalu bergolak. Sebetulnya dia bu-
kanlah tokoh tua yang gampang naik pitam. Namun
karena hatinya terpukul mendapati kenyataan Suropa-
ti telah menyimpang dari kebenaran, Gede Panjalu jadi mudah tersinggung. Dan
tanpa diduga Pranasanca,
kakek bongkok itu menggerakkan ujung tongkatnya!
Tak...! Wajah Pranasanca pucat pasi. Ujung tongkat
Gede Panjalu melakukan totokan lihai ke dada kiri.
Tapi, kelebatan benda kecil berwarna kekuningan,
membuat tongkat Gede Panjalu bergetar. Bagian
ujungnya melenceng dari sasaran. Tak urung, lengan
kiri atas Pranasanca terserempet. Kakek berjubah itu mengeluh kesakitan. Sekujur
tubuhnya terasa panas
laksana dialiri api neraka!
"Saya menghormati Kakek Gede Panjalu seba-
gai sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...,"
kata Kapi Anggara seraya menjura. Dialah yang telah
menggagalkan serangan Gede Panjalu dengan melon-
tarkan sebuah senjata rahasia dari baja pipih berwar-na kuning.
"Apa maksudmu, Anggara" Apakah kau juga
akan menghalangiku untuk menghukum Suropati?"
tanya Gede Panjalu marah.
"Kami adalah pengemban titah Baginda Prabu
Arya Dewantara. Kami harus menyelamatkan Tuan Pu-
tri Rani Paramita dan menangkap penculiknya. Dia
akan kami hadapkan pada pengadilan istana. Baginda
Prabu yang akan menjatuhkan hukuman baginya...."
Gede Panjalu menggeram keras. Sebelum dia
melakukan sesuatu, Rani Paramita mengeluarkan sua-
ra lirih di antara isak tangisnya. "Suropati tidak menculik ku...."
Hampir-hampir kalimat itu tidak terdengar. Ta-
pi walau lemah, cukup mampu untuk mengejutkan
semua yang berada di atas geladak Kapal Rajawali
"Apa maksudmu, Rani?" tanya Arya Wirapaksi sambil menatap tajam wajah adiknya.
Cahaya rembulan memperlihatkan mata Rani Paramita masih berka-
ca-kaca. "Suropati tidak tahu apa-apa. Dia tidak mencu-
lik ku. Dia tadi terkena pengaruh Puyer Perangsang...."
Kembali keterkejutan melanda. Arya Wirapaksi


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang bahu adiknya. "Benar apa yang kau katakan itu, Rani?"
Rani Paramita mengangguk. Diceritakannya ke-
jadian yang baru saja dialaminya di atas geladak Kapal Rajawali. Dengan suara
terbata-bata, dia menutup ceritanya. "Saka Purdianta adalah biang keladinya...."
Semua orang menarik napas lega. Kiranya Su-
ropati telah menjadi korban sebuah rencana busuk.
Dan selagi semua orang menatap tubuh Suropati yang
masih terbujur pingsan di atas geladak, Ki Ageng Ma-
nik Rei melompat ke tengah arena.
"Apakah kalian semua telah menganggap Suro-
pati tidak bersalah" Lalu, siapa yang telah menghan-
curkan Perguruan Pedang Kencana dan membunuh
sekian banyak muridku" Dan, siapa pula yang telah
menodai Pertiwi" Apakah setan laknat yang menyamar
sebagai Suropati" Tapi, mataku belum lamur. Pertiwi
pun akan mengatakan kalau penjahat busuk itu Suro-
pati "Benar apa yang dikatakan Eyang Guru! Bajin-
gan culas itu sudah selayaknya mati!" teriak Pertiwi dengan penuh kemarahan.
Murid Ki Ageng Manik Rei itu segera menghu-
nus pedangnya. Dengan sekuat tenaga, dia menghim-
pun seluruh kekuatannya ke tangan kanan yang me-
megang pedang. Lalu....
"Jangan...!"
Rani Paramita menjerit ngeri. Tak tahan dia
melihat kelebatan pedang Pertiwi yang menghujam se-
cepat kilat ke arah tubuh Suropati yang tak berdaya....
*** Cahaya temaram rembulan tersibak oleh kila-
tan warna keemasan yang memancar dari bilah pedang
Pertiwi. Tak ada yang menduga gadis itu akan melaku-
kan perbuatan demikian. Semua orang hanya berdiri
terpaku dengan mulut ternganga. Ki Ageng Manik Rei
sendiri tak kalah terkejutnya. Walau kakek itu sangat mengharapkan Suropati
dijatuhi hukuman mati, tapi
melihat keadaan Pertiwi, bergidik juga dia.
Ki Ageng Manik Rei tak dapat membayangkan
kemarahan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Padahal mereka masih belum yakin benar akan kesa-
lahan Suropati. Namun, untungnya sebelum ajal men-
jemput Suropati, sesosok bayangan berkelebat!
Trang...! "Argh...!"
Seruling merah di tangan sosok bayangan me-
nangkis sambaran pedang Pertiwi. Malang bagi Pertiwi.
Sorongan tongkat Gede Panjalu yang digerakkan den-
gan tenaga bawah sadar membentur punggungnya.
Tubuh Pertiwi langsung jatuh berdebam dan pedang-
nya mencelat tercebur ke laut
"Suropati harus ma... ti...!"
Kalimat itu keluar dari mulut Pertiwi bersa-
maan dengan menyemburnya darah segar. Sekejap
mata kemudian, tubuh gadis itu terkulai lemas dalam
keadaan pingsan.
Sementara itu, sosok yang telah menyela-
matkan nyawa Suropati berjongkok di sisi remaja ko-
nyol itu. Dengan cekatan dia membuat beberapa toto-
kan. Terdengar Suropati mengeluh pendek. Tapi begitu tersadar dari pingsannya,
dia memukul-mukul dada.
"Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini! Cepat bunuh aku! Cepat...!"
Pengemis Binal memukul-mukul dadanya se-
makin keras. Dari mulutnya keluar busa putih. Sosok
yang berjongkok di sisi Suropati segera menotok jalan darah di kedua pangkal
lengan remaja konyol itu.
"Kakek Wajah Merah!" desis Suropati menatap wajah orang yang telah melumpuhkan
kedua tangannya. "Tenanglah, Suro...," kata sosok yang baru muncul.
Dia memang si Wajah Merah. Seorang tabib
pandai yang berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kakek itu mengenakan pakaian
kuning ringkas. Rambutnya
yang putih dibiarkan riap-riapan. Sebagian menutupi
wajahnya yang berwarna merah seperti buah tomat
matang. "Bunuh saja aku, Kek...," pinta Pengemis Binal lagi. "Aku telah terkena Puyer
Perangsang. Aku tak bi-sa menyentuh seorang wanita, karena kelelakian ku
akan lumpuh. Aku tak mau hal itu terjadi. Ini lebih
mengerikan daripada kematian...."
Mulut Suropati semakin berbusa. Dengan lem-
but, si Wajah Merah menyekanya.
"Kau belum terlambat, Suro...," kata tabib pandai itu. Ditotoknya beberapa
aliran darah di bawah pusar Suropati. Jerit keras memecah keheningan malam.
Ketika mulut Suropati terbuka lebar, Wajah Merah
memasukkan beberapa buah pil. Kemudian, diurutnya
pangkal leher Suropati. Pil-pil itu langsung meluncur ke lambung.
Si Wajah Merah bangkit berdiri. Sedangkan Su-
ropati jatuh pingsan lagi. Semua mata menatap tubuh
remaja konyol itu yang terbujur lemah.
"Apa yang terjadi?" tanya si Wajah Merah. "Kenapa. kalian hanya diam saja ketika
seorang pendekar besar hendak menemui ajal?"
Tak ada yang mengeluarkan suara. Si Wajah
Merah mendehem. Ditatapnya Gede Panjalu. "Apa yang terjadi dengan muridmu,
Gede?" Dengan suara berat Gede Panjalu menceritakan
tindakan Suropati yang telah melakukan serangkaian
perbuatan biadab. Beberapa orang lainnya menyam-
bung cerita kakek bongkok itu.
"Tidak mungkin!" bantah Wajah Merah. "Seseorang tentu telah memfitnahnya.
Kehadiranku di sini
memang untuk mencari Suropati. Dia telah terkena ra-
cun Jarum Hitam. Orang-orang di wilayah Selatan me-
namakan jarum itu sebagai Jarum Mati Sekejap. Siapa
saja yang terkena akan mati dalam sekejap mata. Tapi, tidak dengan Suropati. Dia
memiliki sebuah keajaiban.
Namun, aku mempunyai dugaan seluruh ilmu kepan-
daiannya telah musnah seperti yang menimpa
Anggraini Sulistya, putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit, Penguasa Kerajaan
Pasir Luhur. Raka Maruta
membawa gadis itu ke Bukit Rawangun untuk menda-
pat pertolonganku. Karena meminum darah Raka Ma-
ruta yang telah bercampur Air Sakti, maka jiwa
Anggraini Sulistya masih dapat diselamatkan......."
Si Wajah Merah menghentikan bicaranya se-
bentar. Diperhatikannya perubahan raut muka orang-
orang yang berdiri di sekelilingnya
"Yang melukai Suropati dan Anggraini Sulistya
adalah orang yang sama. Menurut penuturan Anggrai-
ni Sulistya, orang itu bernama Saka Purdianta, putra Tumenggung Sangga Percona.
Saka Purdianta telah
memanfaatkan kelemahan Suropati untuk menjatuh-
kan fitnah kepadanya. Dia ingin menghabisi riwayat
Suropati yang sudah tak mempunyai ilmu kepandaian
apa-apa lagi...."
"Kalau begitu, Saka Purdiantalah yang telah
mempengaruhi salah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti untuk menculik Tuan Putri
Rani Paramita. Tapi, anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu sangat lihai. Bagaimana Saka Pur-
dianta bisa mempengaruhinya?" sahut Kapi Anggara.
"Apakah ada dua Suropati?" kata Ki Ageng Manik Rei. "Aku berani bersumpah orang
yang telah menghancurkan Perguruan Pedang Kencana adalah
Suropati! Dia pula yang telah menodai Pertiwi!"
Tiba-tiba terdengar keluhan panjang dari dalam
ruang bawah geladak muncul seorang wanita setengah
baya dengan langkah sempoyongan. Sekujur tubuhnya
bersimbah darah. Dialah inang pengasuh Anggraini
Sulistya. "Tuan-tuan..." kata wanita itu dengan suara bergetar oleh deraan rasa sakit.
Inang pengasuh Anggraini Sulistya yang sudah
di ambang maut jatuh terkulai ke geladak. Semua
orang langsung berlompatan mengerumuni.
"Tuan-tuan... Suropati tidak bersalah. Ja... jangan bunuh dia...! Sa... Saka
Purdianta... adalah..."
Bruk...! "Inang pengasuh Anggraini Sulistya tak mampu
meneruskan kalimatnya. Kedua matanya mendelik.
Tangan kanannya yang memegang sebuah benda lem-
but mengacung ke atas. Tapi segera terkulai karena
nyawanya telah dijemput Malaikat Kematian.
Sebenarnya, wanita itu baru saja mendapat
siksaan keji dari Saka Purdianta. Semula wanita itu
berada di bawah ancaman Saka Purdianta. Tapi sete-
lah mengetahui Saka Purdianta mempunyai rencana
yang sangat keji, dia memberanikan diri mencuri to-
peng pemuda itu untuk membuka kedoknya. Malang,
Saka Purdianta berniat membunuhnya. Inang penga-
suh Anggraini Sulistya disiksa. Tapi, Tuhan berkenan memperpanjang usianya
sampai dia dapat menjumpai
orang-orang yang berkumpul di atas geladak kapal.
*** "Topeng...!" desis Kapi Anggara setelah merenggut benda tipis lembut yang berada
dalam genggaman
inang pengasuh Anggraini Sulistya "Mungkin Saka Purdianta menggunakan topeng ini
untuk menyamar sebagai Suropati?"
"Kau kenakan topeng itu ke wajahmu, Angga-
ra!" kata Puspita dengan tak sabar. Hati pendekar pedang ini jadi senang. Tabir
kejahatan yang menimpa
Suropati telah terkuak.
Kapi Anggara menatap topeng di tangannya.
Topeng itu terbuat dari getah pohon karet yang sangat halus. Sepertinya dibuat
oleh seorang yang sangat ahli.
Ketika Kapi Anggara mengenakannya, semua orang
yang melihat langsung terperangah. Wajah Kapi Ang-
gara telah berubah. Persis wajah Suropati atau si Pengemis Binal!
"Saka Purdianta keparat...!" teriak Ki Ageng Manik Rei. Dia menyebar pandangan.
Tentu saja yang
dicari sudah tak ada. Saka Purdianta telah meninggalkan Kapal Rajawali sebelum
para tokoh istana tiba di tempat itu.
Ki Ageng Manik Rei pun berkelebat seraya me-
nyambar tubuh Pertiwi yang masih tergeletak pingsan.
Dia berlalu dengan membawa kemarahan yang me-
luap-luap. Orang-orang yang ditinggalkannya tampak
celingukan, mencari sosok Suropati yang juga telah lenyap! "Si Wajah Merah
membawanya ke Bukit Ra-
wangun," kata Gede Panjalu dengan suara lirih, namun membersitkan sebuah
kelegaan. "Aku percaya tabib pandai itu akan dapat mengeluarkan racun yang
bersemayam dalam tubuh Suropati."
Suasana hening. Satu persatu tokoh-tokoh
rimba persilatan itu meninggalkan kapal. Tampak dari kejauhan Kapal Rajawali
memantulkan warna kekuning-kuningan karena tertimpa cahaya rembulan. Debur
ombak Pantai Pasir Putih menderu-deru. Laut Selatan
mulai mengganas....
SELESAI Ke manakah perginya Saka Purdianta setelah dia
memfitnah Suropati dengan mempergunakan topeng
yang mirip dengan wajahnya" Dan siapa sesungguh-
nya yang berhasil menyembuhkan Suropati"
Ikuti serial Pengemis Binal selanjutnya :
PETAKA KERAJAAN AIR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pahlawan Harapan 3 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tangan Baja 2
^