Pencarian

Pendekar Tangan Baja 2

Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja Bagian 2


membuatnya jadi gugup.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap sang Patih mem-beranikan diri.
"Katakan apa yang salah dalam perintah itu, Patih?"
desak Prabu Jayalaksana tanpa mempedulikan permintaan maaf Patih Juminta.
"Anu..., Gusti Prabu.... Mengenai pemuda berambut putih keperakan itu.
Gusti...."
"Hm...! Lalu...?"
"Kalau hamba tidak salah..., pemuda itu pasti Dewa Arak!"
Raja Kamujang itu tersenyum mengejek.
"Lalu mengapa kalau benar pemuda itu Dewa Arak" Kau takut"!" sindir Prabu
Jayalaksana tajam.
Merah wajah Patih Juminta seketika.
"Bukannya hamba takut. Tapi...."
"Diam!" bentak Prabu Jayalaksana keras. "Kalau kau membuka mulut lagi, kau akan
kupenjarakan, Juminta!"
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba mengaku salah...," ucap Patih Juminta sambil memberi
hormat. "Panglima Ramkin," ucap Prabu Jayalaksana pada seorang bertubuh tinggi besar dan
bercambang lebat di hadapannya.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut Panglima Ramkin seraya memberi hormat.
"Kau sudah tahu tugasmu?"
"Sudah, Gusti Prabu," jawab panglima itu lagi.
"Bagus! Laksanakan segera!" perintah Raja Kamujang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut laki-laki bercambang lebat itu.
"Hamba mohon diri."
Prabu Jayalaksana hanya menganggukkan kepalanya
saja. Dan Panglima Ramkin pun berlalu setelah terlebih dulu kembali memberi
hormat. Sementara itu Patih
Juminta hanya diam tertunduk. Suasana balariung istana kembali menjadi hening.
*** Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak melangkah
memasuki mulut sebuah desa. Dan seperti juga Desa
Bakung, keadaan desa ini juga sangat menyedihkan. Anak-anak yang kurus kering
dan tanpa pakaian, selalu mereka temui di pinggir jalan.
Pendekar Tangan Baja yang memang berwatak
berangasan menggertakkan gigi saking geram.
"Raja lalim itu memang harus dibinasakan!" desis pemuda berbaju kuning tajam.
Dewa Arak diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya ucapan Pendekar Tangan
Baja. Sepasang matanya
menerawang jauh memandang ke depan. Sementara
sepasang kakinya terus dilangkahkan.
"Kalau boteh kutahu, ke mana tujuanmu, Pendekar Tangan Baja?" tanya Dewa Arak
mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" pemuda berpakaian kuning itu menghela napas panjang sebelum menjawab
pertanyaan Arya. "Sebenarnya, aku tengah mencari paman guruku."
"Paman gurumu?"
"Ya," jawab Pendekar Tangan Baja singkat.
"Boleh kutahu.... Maaf, bukannya aku ingin mencampuri urusanmu," ucap Dewa Arak
bemada ingin tahu.
Pendekar Tangan Baja tercenung sejenak.
"Paman guruku kabur dari tempat penyepiannya."
"Maksudmu...?" tanya Dewa Arak masih kurang jelas.
Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih
belum jelas akan cerita pemuda berpakaian kuning itu.
"Begini, Arya. Di sebuah tempat... maaf aku tidak boleh menyebutkan namanya,
tinggal guruku dan adik seperguruannya. Guruku tahu kalau adik seperguruannya
berwatak jelek, maka beliau sengaja mengurungnya di tempat itu. Tapi sungguh
tidak disangka kalau paman guruku itu bisa meloloskan diri dari situ. Guruku
lalu menyuruhku turun gunung untuk mencegah paman guruku itu
mengacau dunia persilatan," jelas Pendekar Tangan Baja panjang lebar.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
sudah dimengertinya semua cerita Pendekar Tangan Baja.
Tapi mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut ketika sepasang
matanya melihat debu mengepul tinggi di kejauhan. Di sela-sela kepulan debu
terlihat panji-panji kebesarah Kerajaan Kamujang berkibaran dengan megah.
Rupanya orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Kamujang.
"Ada rintangan pertama di depan, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak pelahan
seraya menolehkan kepala menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di
sebelahnya. "Kebetulan sekali! Sudah sejak tadi tanganku gatal-gatal!" sambut Pendekar
Tangan Baja. Mulutnya menyunggingkan sebuah senyum kegembiraan.
"Kita tunggu saja dulu, apa keinginan mereka," ujar Arya memberi nasihat.
Setelah kepulan debu itu semakin dekat, jelas terlihat kalau yang datang adalah
serombongan prajurit berkuda.
"Kurasa tidak perlu, Arya!" bantah Pendekar Tangan Baja. "Menghadapi orang-orang
kejam seperti mereka, tidak pedu lagi sikap bijaksana "
Dewa Arak menggelengkan kepalanya.
"Kau lupa, Pendekar Tangan Baja! Mereka itu hanya prajurit! Bukan tidak mungkin
mereka melakukan semua perintah itu karena terpaksa," jelas Arya.
"Aku tidak peduli!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Dewa Arak menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di sebelahnya tajam-tajam.
Tapi yang ditatap malah mem-balasnya tak kalah tajam.
"Selama jalan kekerasan bisa dihindari, untuk apa kita memaksakan diri
melakukannya?" sambung Dewa Arak lagi.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang "Sayang sekali kita
mempunyai pemikiran yang berbeda, Arya."
"Hhh...!" Dewa Arak pun menghela napas panjang.
Tapi kedua pemuda perkasa ini tidak bisa berlama-lama terlibat pertentangan
pendapat karena pasukan prajurit berkuda telah semakin dekat.
"Hooop...!"
Seorang pasukan kerajaan berpangkat panglima
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, seraya menarik tali kekang kudanya.
Seketika itu juga, rombongan prajurit serentak menghentikan lari kudanya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah dan manis, Panglima
Ramkin melompat dari punggung kudanya. Berturut-turut para prajurit dan punggawa
yang berada di belakang sang Panglima melompat dari punggung kuda masing-masing.
Panglima Ramkin memperhatikan Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Benar kalian berdua yang berjuluk Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja"!" tanya laki-laki bercambang lebat ini setengah menuduh.
"Benar! Lalu, kalian mau apa"!" jawab Pendekar Tangan Baja cepat sebelum Dewa
Arak sempat menjawab.
"Kuanjurkan lebih baik kalian menyerah. Aku tidak segan-segan menggunakan
kekerasan bila kalian mem-bangkang!" ucap laki-laki bercambang lebat. Bibirnya
menyunggingkan senyuman sinis.
"Ha ha ha...! Boleh kau coba!" tantang Pendekar Tangan Baja sambil tertawa
bergelak. "Ingin kulihat siapa di antara kalian yang bisa menangkap Pendekar
Tangan Baja!"
Merah wajah Panglima Ramkin mendengar tantangan
itu. "Tangkap mereka!" perintah panglima itu keras. Tanpa menunggu diperintah
dua kali, lima puluh prajurit dan punggawa bergerak berbarengan, mengepung Dewa
Arak dan Pendekar Tangan Baja.
Diam-diam Dewa Arak menyesali kecerobohan Pendekar Tangan Baja. Tapi, kini dia
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berjuang untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Tapi meskipun begitu, Dewa Arak merasa berat hati melawan pasukan
kerajaan. Berbeda dengan Pendekar Tangan Baja, pemuda
berbaju kuning ini malah tertawa bergelak begitu melihat hujan senjata pasukan
kerajaan itu. Dengan mengandalkan keistimewaan kedua tangannya, Pendekar
Tangan Baja tanpa ragu-ragu memapak setiap serangan senjata lawan.
Luar biasa memang kekuatan kedua tangan Pendekar
Tangan Baja. Setiap senjata yang tertangkis tangannya, langsung patah! Suara
berderak keras terdengar setiap kali pedang, golok, atau tombak bertemu
tangannya. Suara-suara jeritan kaget seketika terdengar dari mulut lawan-lawannya. Tapi
sesaat kemudian, berubah menjadi jeritan-jeritan kesakitan, ketika pemuda
berbaju kuning mulai melancarkan serangan balasan.
"Aaakh...!"
Seorang prajurit berpangkat punggawa, memekik
nyaring ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan Baja mendarat telak di
dadanya. Seketika itu juga
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sekujur tulang-tulang dada remuk. Darah pun
menyembur keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Punggawa yang sial itu pun
tewas seketika!
Memang tindakan pemuda berbaju kuning ini benar-
benar menggiriskan. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat
dipastikan akan ada lawan yang jatuh tanpa nyawa. Sehingga dalam waktu sekejap
saja, tak kurang delapan orang telah tewas di tangan pemuda
berbaju kuning ini.
Panglima Ramkin menggeram murka melihat anak
buahnya dibuat porak-poranda. Sambil mengeluarkan
seruan nyaring, tubuhnya melesat ke arah Pendekar
Tangan Baja yang tengah mengamuk hebat.
Wuttt..! Selagi tubuhnya berada di udara, Panglima Ramkin
membabatkan golok besamya ke leher pemuda berbaju
kuning! Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak menjadi gugup, walaupun di saat
yang bersamaan, seorang prajurit di belakangnya membabatkan golok ke arah leher.
Sementara dari arah depan, seorang punggawa
menusukkan tombak ke arah dadanya. Dan dari samping kanan dan kiri, dua orang
prajurit juga menusukkan pedang ke arah pinggangnya.
Luar biasa! Dengan sebuah perhitungan matang dari
seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Pendekar
Tangan Baja segera menundukkan tubuhnya serendah mungkin. Dan dengan sendirinya
serangan dari atas, belakang dan depan berhasil dielak-kannya. Semua lewat di
atas kepalanya. Sementara
serangan dari samping kiri dan kanan, dihadapinya dengan cara yang lebih
mengagumkan. Serangan dua bilah pedang itu dipunahkan oleh pemuda berbaju kuning dengan
mencengkeram mata pedang itu.
Dan begitu kedua bilah pedang telah berhasil dicengkeram, Pendekar Tangan Baja
segera membetotnya dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Kedua prajurit yang memiliki tenaga dalam jauh di
bawah Pendekar Tangan Baja, mana mampu menahan-
nya" Seketika itu juga tubuh mereka terhuyung deras ke depan. Dan di saat
itulah, pemuda berbaju kuning
melancarkan serangan dengan jari-jari mengembang membentuk cakar ke arah kepala.
Crokkk, crokkk...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua teriakan menyayat terdengar saling susul diiringi robohnya dua prajurit naas
itu. Cairan merah kental kontan bermuncratan begitu jari-jari tangan pemuda
berbaju kuning amblas ke dalam batok kepala. Sesaat keduanya menggelepar-gelepar
di tanah, sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!
Panglima Ramkin menggeram keras melihat kematian
dua orang anak buahnya lagi. Memang kejadian itu
berlangsung begitu cepat, sehingga dia dan anak buahnya tidak mampu berbuat apa-
apa untuk menolongnya.
Pendekar Tangan Baja kembali mengamuk. Begitu dua
orang lawannya tewas, segera saja tubuhnya melesat ke prajurit yang lainnya..
Dan kembali pemuda berbaju kuning itu memulai pembantaian.
Sementara itu di arena lainnya, Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat sepak
terjang Pendekar Tangan Baja.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kuning ini tega bertindak seganas
itu. Dan diam-diam timbul perasaan tidak senang dalam hati Dewa Arak. Memang
tindakan Arya berbeda dengan tindakan Pendekar Tangan Baja. Tak satu pun lawan
pemuda berambut putih keperakan ini yang tewas. Semua dirobohkan tanpa mengalami
luka-luka yang cukup parah.
Baik pertarungan antara Dewa Arak, maupun Pendekar Tangan Baja dengan lawan-
lawannya tidak berlangsung imbang. Tingkat kepandaian dua orang pemuda perkasa
itu memang berada jauh di atas lawannya. Maka tidak aneh jika pasukan Kerajaan
Kamujang itu terdesak hebat.
Dan semakin lama keadaan mereka pun semakin terjepit.
Satu demi satu pasukan kerajaan itu berjatuhan. Baik dirobohkan oleh Dewa Arak
maupun Pendekar Tangan
Baja. Hanya bedanya, pasukan kerajaan yang dirobohkan Pendekar Tangan Baja,
roboh untuk selama-lamanya.
Sedangkan lawan yang dirobohkan oleh Dewa Arak, hanya mengalami luka-luka. Dan
itu pun tidak parah. Walaupun begitu, cukup untuk membuat mereka tidak mampu
lagi melanjutkan pertarungan.
Dewa Arak menggertakkan gig! Kesabarannya pun habis melihat Pendekar Tangan Baja
masih terus menyebar
maut. Sudah puluhan prajurit dan punggawa yang tewas di tangan pemuda berbaju
kuning itu. Dan bila perbuatannya dibiarkan terus, semua pasukan kerajaan akan
tewas semua. "Ha... ha... ha...! Bukankah sudah kukatakan, Panglima!
Tidak mudah menangkap Pendekar Tangan Baja! Kini
bersiap-siaplah kau mati di tanganku! Ha... ha... ha...!" ejek Pendekar Tangan
Baja. Panghma Ramkin menggertakkan gigi. Kemarahan yang
amat sangat bergolak dalam hatinya, melihat anak
buahnya hampir musnah dibantai pemuda berbaju kuning ini. Ingin sekali laki-laki
bercambang bauk lebat ini menghancurkan kepala Pendekar Tangan Baja. Tapi
sayang, dia tidak mampu melakukannya. Panglima ini yakin, tak lama lagi dirinya
pun akan tewas menyusul anak buahnya.
"Hih...!"
Seorang prajurit bertombak menusukkan senjatanya ke perut Pendekar Tangan Baja.
Tapi pemuda berbaju kuning itu hanya mendengus. Seperti biasa, ditangkisnya mata
tombak itu dengan tangan kanannya. kemudian di-cengkeramnya, lalu ditariknya.
Prajurit ini tidak mampu menahan tarikan Pendekar
Tangan Baja. Seketika itu juga tubuhnya terbetot ke depan.
"Lepaskan tombak itu...!" teriak Panglima Ramkin keras.
Tapi sebelum prajurit itu melaksanakan perintah
panglimanya, Pendekar Tangan Baja telah bertindak cepat Begitu tubuh lawannya
tertarik ke depan, segera
disodokkan tombak yang digenggamnya.
Blesss! "Aaakh...!"
Prajurit itu menjerit melengking. Gagang tombak itu menghunjam perutnya hingga
tembus ke punggung.
Seketika itu juga, darah bermuncratan. Dan ketika
Pendekar Tangan Baja melepaskan pegangan pada
tombak, tubuh prajurit itu pun ambruk tak berkutik.
Kini hanya tinggal Panglima Ramkin. Pemuda berbaju kuning ini tertawa terkekeh-
kekeh. Dengan langkah satu-satu, dihampirinya laki-laki bercambang lebat itu.
Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja menyerang
Panglima Ramkin, sesosok bayangan ungu berkelebat.
Sesaat kemudian di depan pemuda berbaju kuning berdiri Dewa Arak. Rupanya, Arya
tidak ingin kalau panglima itu juga akan menemui ajal di tangan Pendekar Tangan
Baja yang sudah bagaikan iblis haus darah. Maka sebelum hal itu terjadi, cepat-
cepat Dewa Arak merobohkan semua lawannya. Lalu melesat untuk mencegah tindakan
pemuda berbaju kuning.
"Cukup, Pendekar Tangan Baja! Sudah terlalu banyak korbanmu!" ucap Dewa Arak.
Nada suaranya keras dan tegas.
Pendekar Tangan Baja menatap wajah Dewa Arak tajam.
Seulas senyuman sinis tersungging di bibimya.
"Menyingkirlah, Arya. Dia ini lawanku! Jangan coba-coba menghalangiku!" sahut


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berbaju kuning itu. Datar dan dingin suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau terlalu mengumbar amarah,
Pendekar Tangan Baja. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Ingat, kita
belum tahu persis permasalahannya dan...."
"Tutup mulutmu, Arya!" sergah Pendekar Tangan Baja keras. Wajah pemuda berbaju
kuning ini nampak merah padam. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-
apa! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Menyingkirlah cepat, sebelum kesabaranku
hilang!" Dewa Arak tersenyum pahit. Sungguh tidak disangkanya pemuda berbaju kuning ini
begitu keras kepala, di samping emosinya yang besar.
"Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja...," ucap Arya.
Nada suaranya seakan akan penuh penyesalan.
"Kalau begitu, terpaksa kau harus kusingkirkan dulu, Arya. Baru setelah itu
kubereskan panglima keparat itu!"
ancam Pendekar Tangan Baja lagi.
Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja segera melesat menerjang Dewa
Arak. Sepasang tangannya yang mengepal, bertubi-tubi dipukulkan ke dada, perut,
dan ulu hati pemuda berambut putih keperakan.
Wuuut..! Serangkum angin keras mendahului menyambar
sebelum serangan itu sendiri tiba. Dewa Arak tidak mau bertindak gegabah. Pemuda
berambut putih keperakan memang selalu bertindak hati-hati dan tidak pernah
memandang rendah lawannya. Maka begitu melihat
serangan yang menyambar ke arahnya, Arya tidak langsung menangkisnya. Buru-buru
didoyongkan tubuhnya ke kanan, sehingga semua serangan itu lewat setengah
jengkal di samping tubuhnya.
Kemudian secepat kilat, kaki kanannya dilontarkan ke perut Pendekar Tangan Baja.
Cepat bukan main gerakannya. Tapi meskipun begitu, pemuda berpakaian kuning
tidak menjadi gugup. Dengan gerakan yang tidak kalah cepat, segera ditarik
pulang tangan kanannya. Sekaligus langsung melakukan bacokan pada kaki Arya yang
mengancam perutnya.
Takkk! Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.
"Heh!?" Pendekar Tangan Baja memekik kaget. Sekujur tangannya tergetar hebat.
Bahkan tangan yang menangkis kaki pemuda berambut putih keperakan itu terpental
balik. Bukan hanya Pendekar Tangan Baja saja yang dilanda keterkejutan itu. Hal yang
serupa juga dialami Dewa Arak.
Kaki yang berbenturan dengan tangan Pendekar Tangan Baja terasa ngilu. Arya tahu
hal ini bukan disebabkan oleh keunggulan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning
yang berada di atasnya, tapi akibat dari keistimewaan tangan lawannya. Pantaslah
kalau pemuda berpakaian kuning ini berjuluk Pendekar Tangan Baja, pikirnya mulai
memahami. Pendekar Tangan Baja penasaran bukan main. Memang
disadari kalau kepandaian pemuda berambut putih
keperakan itu tinggi. Tapi, sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang
dimiliki Arya sampai sekuat ini. Dan hal iniah yang membuatnya jadi penasaran.
Sebagai seorang ahli silat Dewa Arak pun dilanda
perasaan serupa. Tapi Dewa Arak tahu, kalau dia menurut-kan perasaan hatinya,
pertentangan antara dia dan
pemuda berpakaian kuning ini akan semakin meruncing.
Dan itu tidak dikehendakinya. Maka begitu dilihatnya Panglima Ramkin dan anak
buahnya yang tersisa telah menaiki kuda dan cukup jauh meninggalkan tempat itu,
pemuda berambut putih keperakan ini pun melesat kabur dari situ.
"Arya! Jangan lari kau, Pemuda Sombong!" teriak Pendekar Tangan Baja keras
seraya berlari mengejar.
Tapi Dewa Arak yang telah mengetahui ketangguhan
pemuda berpakaian kuning tidak bersikap main-main lagi.
Segera saja dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Pendekar Tangan Baja
menggertakkan gigi. Pemuda berpakaian kuning ini pun mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya mengejar Dewa Arak.
Kembali Pendekar Tangan Baja harus menerima
kenyataan pahit Arya ternyata tidak bisa dikejar. Bahkan semakin lama jarak di
antara mereka bertambah jauh. Dan akhimya pemuda berambut putih keperakan itu
mulai lenyap dari pandangan.
Pemuda berpakaian kuning ini sadar, tidak ada gunanya lagi meneruskan
pengejaran. Maka dihentikan larinya.
Dipandangi tubuh Dewa Arak yang semakin lama semakin mengecil di kejauhan, dan
akhirnya lenyap.
"Kali ini kau boleh menang, Arya. Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung
ini..," ancam Pendekar Tangan Baja. Kemudian pelahan dibalikkan tubuhnya, lalu
berlari kembali, meneruskan perjalanan menuju Kotaraja
Kerajaan Kamujang.
*** 4 Dewa Arak baru memperlambat larinya, begitu dilihatnya Pendekar Tangan Baja
tidak mengejar lagi. Karena sudah telanjur, terpaksa dia harus mengambil jalan
memutar, menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang. Pendekar Tangan Baja pasti akan
lebih dulu tiba di sana. Dan sudah dapat diperkirakan oleh Arya apa yang akan
dilakukan pemuda pemarah itu di sana. Apalagi kalau bukan mengamuk, mengumbar
emosinya" "Hhh...!" tanpa sadar Arya menghela napas panjang. Kini dia sudah tidak berlari
lagi, melainkan berjalan biasa saja.
Arya ingin menikmati perjalanan santai yang nikmat.
Apalagi hutan ini mempunyai barisan pepohonan yang lebat. Sehingga meskipun matahari siang
hari cukup terik, tidak membuatnya kepanasan.
Arya mengerutkan alisnya begitu melihat seorang kakek berpakaian lusuh melangkah
tertatih-tatih tidak jauh di hadapannya. Dan karena arah yang dituju pemuda
berambut putih keperakan dan kakek itu berlawanan, semakin lama, jarak di antara
mereka pun semakin dekat.
Mendadak saja, begitu jarak antara Arya dengan kakek berpakaian lusuh itu
tinggal dua tombak lagi, kakek yang sejak tadi memang sudah melangkah terhuyung-
huyung, jatuh tersungkur.
Tentu saja Arya yang memang sejak tadi memperhatikan kakek itu, segera melesat.
Cepat sekali gerakan pemuda berambut putih keperakan ini. Sehingga sebelum tubuh
kakek berpakaian lusuh itu menyentuh tanah, Arya telah lebih dulu menangkap
tubuhnya. "Bantu aku berdiri, Anak Muda," ucap kakek berpakaian lusuh itu seraya
mengulurkan tangan hendak menggenggam tangan Arya. Dewa Arak yang memang
berwatak welas asih ini tidak menolak. Tapi sesaat kemudian dahi pemuda berambut
putih keperakan ini berkemyit. Ada sesuatu dalam genggaman kakek berpakaian
lusuh itu. Kakek berpakaian lusuh itu rupanya menyadari
kebingungan Arya. Maka sebelum pemuda berambut putih keperakan ini sempat
berkata sesuatu, kakek ini segera mendahuluinya.
"Ambillah surat itu, Dewa Arak! Baca. Nanti kita bertemu lagi. Aku khawatir ada
yang mengawasi kita," bisik kakek berpakaian lusuh itu pelahan.
Arya yang cerdik ini segera saja paham. Pemuda
berambut putih keperakan ini tahu kalau kakek berpakaian lusuh ini hendak
menyampaikan sesuatu, tapi secara diam-diam. Maka setelah kakek itu telah
kembali berdiri, benda yang ada dalam genggamannya secepat kilat diselipkan pada
lipatan ikat pinggangnya. Tak lupa sebelum itu sekilas sepasang matanya
mengawasi sekelilingnya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Aku
Patih Juminta." ucap kakek berpakaian lusuh itu lagi.
"Tanpa bantuanmu mungkin encokku sudah kambuh
kembali." Setelah berkata demikian, kakek berpakaian lusuh itu kembali melangkah tertatih-
tatih meninggalkan Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini memandangi
kepergiannya dengan hati bertanya-tanya. Arya terus memandanginya hingga
punggung tubuh kakek itu lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Rasa penasaran mendorong Arya untuk segera
mengetahui pemberian kakek berpakaian lusuh itu. Sesaat kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri. Dan setelah yakin tidak ada orang yang melihatnya, segera
diambilnya benda yang tadi diselipkan di pinggangnya. Pelahan dibukanya lipatan
kain itu. Ternyata di balik lipatan kain itu ada tulisannya. Jadi lipatan kain itu berisi
pesan. Cukup singkat isinya.
Dewa Arak... Aku telah melihat semua tindakanmu terhadap
pasukan Kerajaan Kamujang. Dan aku
mengagumi tindakanmu yang bijaksana. Perlu
kau ketahui, Prabu Jayahksona bukan seorang
raja yang lalim. Gusti Prabu melakukan semua itu karena terpaksa. Harap temui
aku nanti malam
di tempat ini Patih Juminta "Hhh...!" Arya menghela napas panjang, setelah selesai membaca tulisan yang
terdapat dalam lipatan kain itu.
Sungguh sama sekali tidak diduga kalau semua
kecurigaannya tepat. Tidak percuma selama ini dia
bersikap hati-hati, dan tidak sembarangan membunuh orang.
Pelahan pemuda berambut putih keperakan ini melipat kembali kain itu, dan
kembali diselipkan di balik lipatan ikat pinggangnya.
"Sungguh tidak kusangka kalau kakek berpakaian lusuh itu ternyata seorang patih
kerajaan besar seperti Kerajaan Kamujang," gumam Arya pelan
*** Matahari pelahan-lahan mulai tenggelam di ufuk Barat.
Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena
rembulan sudah muncul di langit, menyinari bumi dengan sinamya yang lembut.
Meng-gantikan tugas mentari yang sudah seharian menyinari bumi.
Dalam keremangan malam itu terlihat sesosok
bayangan ungu berkelebatan cepat, dari balik sebatang pohon ke batang pohon
lainnya. Cepat bukan main
gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu saja.
Tak lama kemudian bayangan ungu itu menghentikan
gerakannya di dekat sebatang pohon kamboja. Dan
secepat sosok itu tiba di situ, secepat itu pula bersembunyi di balik sebatang
pohon. Dalam keremangan sinar bulan, tampak jelas sosok ungu itu.
Sosok itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah
jantan, berambut putih keperakan. Pakaiannya berwama ungu. Dan di punggungnya
tersampir sebuah guci arak dari perak. Sosok bayangan ungu itu adalah Dewa Arak!
Pemuda ini datang ke tempat ini untuk memenuhi
permintaan orang yang mengaku bernama Patih Juminta.
Dari balik sebatang pohon itu, sepasang mata Arya
menatap nyalang ke sekeliling. Mencari-cari barangkali orang yang bernama Patih
Juminta itu datang.
Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya
sepasang matanya melihat sesosok bayangan berkelebatan cepat menghampiri
tempatnya. Dan begitu tiba di dekat tempatnya berdiri, sosok bayangan yang baru
datang itu, menolehkan
kepalanya berkeliling
"Dewa Arak...," panggil sosok bayangan itu. Pelahan sekali suaranya. Lebih mirip
bisikan. Mendengar panggilan itu, Arya pun yakin kalau
bayangan yang baru tiba ini adalah kakek berpakaian lusuh yang siang tadi
memberinya pesan. Maka tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini
keluar dari tempat persembunyiannya.
"Aku di sini, Patih...," sahut Arya tak kalah pelan.
Patih Juminta yang sejak tadi berdiri membelakangi Arya, segera membalikkan
tubuhnya begitu mendengar suara sapaan dari belakangnya.
"Sudah lama menunggu, Dewa Arak?" tanya laki-laki setengah baya berambut jarang
ini. "Lumayan," sahut Arya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu lama menunggu.
Dewa Arak."
"Lupakanlah, Patih." jawab Arya bijaksana.
"Terima kasih, Dewa Arak"
Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.
"Apa yang hendak kau bicarakan Patih?" tanya Arya.
Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
Dalam keremangan sinar bulan, Patih Juminta menatap Dewa Arak tajam.
"Kau sudah baca pesan yang kuberikan, Dewa Arak?"
tanya laki-laki berambut jarang ini memastikan.
Arya menganggukkan kepalanya.
"Kau bilang, Gusti Prabu Jayalaksana tertekan. Kalau boleh kutahu siapa yang
telah menekannya Paman Patih?"
Patih Juminta menggelengkan kepalanya.
"Siapa orang yang menekan Gusti Prabu, aku juga tidak tahu, Dewa Arak. Tapi yang
jelas, tanpa setahu siapa pun, Gusti Permaisuri lenyap dari istana. Semula kami
tidak tahu ke mana perginya. Tapi, akhimya kami mengetahuinya juga. Gusti
Permaisuri diculik!"
"Diculik"!" tanya Arya. Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan ini
berkerut. "Benar," sahut Patih Juminta membenarkan. "Gusti Permaisuri diculik."
"Dari mana kau tahu kalau Gusti Permaisuri diculik, Patih?" tanya Arya
penasaran. "Dari surat yang ditinggalkan penculik itu," jawab Patih Juminta kalem.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Sejak saat itu, melalui seorang urusan, penculik itu mulai mengajukan
permintaan yang aneh-aneh. Harta, penangkapan-penangkapan terhadap ketua-ketua
perguruan silat beraliran putih, dan penghancuran terhadap perguruannya.
Memungut upeti yang biasanya dilakukan prajurit kerajaan."
"Ah...! Sampai begitu jauhnya"!" tanya Arya. Nada suaranya jelas memancarkan
keterkejutan yang amat
sangat. Patih Juminta menganggukkan kepalanya.
"Mengapa Gusti Prabu memenuhi permintaan-
permintaan itu?"
"Terpaksa. Penculik itu mengancam akan membunuh
Gusti Permaisuri, bila permintaannya tidak dipenuhi," jelas laki-laki berambut
jarang ini lebih jauh.
"Oh...!" pekik Arya terkejut. "Apakah Patih tidak mempunyai dugaan sama sekali
mengenai pelakunya.
"Aku curiga ada orang di dalam lingkungan istana yang menjadi mata-mata
komplotan penculik. Rasanya mustahil kalau orang luar tahu seluk beluk istana,
sehingga sampai bisa menculik permaisuri."
"Aku sependapat denganmu, Paman Patih," sahut Arya mendukung.
"Gusti Prabu pun berpendapat begitu. Bahkan beliau pernah merencanakan untuk
mengirimkan jago-jago silat istana untuk membuntuti urusan penculik. Tapi
penculik itu mengancam akan membunuh Gusti Permaisuri apa bila
Gusti Prabu berani mengirimkan orang-orangnya untuk mengikuti utusannya."
Arya tercenung mendengar cerita ini. Sekarang baru diketahuinya mengapa semua
kekacauan ini terjadi.
"Di hadapan orang banyak, Gusti Prabu Jayalaksana bersikap keras padaku. Tapi
bila kami hanya berdua. Gusti Prabu kembali menunjukkan sikap aslinya. Bahkan
tugas menemuimu ini, adalah berdasarkan perintahnya. Dewa Arak," sambung Patih
Juminta lagi. "Hm...," Arya hanya menggumam tidak jelas.
"Beberapa hari yang lalu, Gusti Prabu baru menerima surat dari penculik itu. Kau
ingin melihat isinya, Dewa Arak" Ini menyangkut dirimu dan Pendekar Tangan
Baja." Setelah berkata demikian, laki-laki berambut jarang itu mengangsurkan segulungan
kala Arya mengulurkan tangan menerima, lalu dibukanya gulungan kain itu.
Prabu Jayalaksana....
Harap Gusti Prabu perintahkan pasukan untuk
menangkap seorang pemuda berbaju ungu,


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berambut putih keperakan, yang berjuluk Dewa
Arak. Dan seorang pemuda berpakaian kuning,
bercambang lebat, yang berjuluk Pendekar Tangan Baja. Aku berjanji akan
membebaskan permaisuri-mu, bila permintaanku ini Gusti Prabu laksanakan.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di-
makluminya mengapa kemarin ada pasukan kerajaan
hendak menangkapnya bersama Pendekar Tangan Baja.
"Jadi, satu-sarunya cara untuk mengetahui sarang penculik, hanya dari utusan
itu?" tanya Arya lagi meminta kepastian.
"Ya," sahut Patih Juminta singkat.
"Kalau begitu, lain kali aku yang akan mengikutinya,"
usul pemuda berambut putih keperakan tiba-tiba.
Patih Juminta menatap Dewa Arak lekat-lekat.
"Jangan khawatir, Paman. Aku jamin mereka tidak akan mengetahuinya," sambung
Arya memberi jaminan.
"Yahhh....! Memang itulah yang kuharapkan, Dewa
Arak!" ucap laki-laki berambut jarang bernada keluhan.
"Kapan utusan itu akan datang lagi ke Istana Kerajaan Kamujang, Paman?" tanya
Arya lagi. "Besok pagi. Utusan itu akan datang untuk meminta upeti."
"Baiklah! Besok aku akan mulai bertugas," janji Arya.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak. Sekarang aku pergi dulu," ucap laki-
laki berambut jarang itu.
"Silakan, Paman," sahut Arya mempersilakan.
Belum juga habis gema suara Arya, Patih Juminta sudah melesat dari situ. Cepat
juga gerakannya. Dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kegelapan malam.
Beberapa saat lamanya Arya terpaku menatap
kepergian Patih Juminta. Baru sesaat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu. *** "Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sepasang matanya kembali menatap liar ke
sekelilingnya dari balik
kerimbunan daun-daun pepohonan. Memang pemuda ini
tengah berada di cabang pohon di dalam hutan.
Semalam, setelah mendengar cerita panjang lebar dari Patih Juminta, Arya
memutuskan untuk mulai menyelidiki misteri ini. Sejak pagi-pagi sekali, pemuda
berambut putih keperakan ini sudah berada di cabang pohon, di tempat yang biasa
dilalui urusan si penculik.
Cukup lama juga Arya menunggu, sebelum akhirnya
pendengarannya yang tajam, samar-samar menangkap
derap kaki kuda yang mendekat ke arahnya. Buru-buru, Dewa Arak lebih
menyembunyikan diri di balik kerimbunan dedaunan.
Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas.
Tak lama kemudian di bawah pohon tempat pemuda
berambut putih keperakan ini bertengger, lewat seekor kuda yang ditunggangi oleh
seorang laki-laki berusia tiga puluhan, berkulit gelap dan berbibir tebal.
Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi laki-laki berbibir tebal itu pun mulai
menjauh. Kian lama kian jauh. Dan akhirnya lenyap di kejauhan. Yang tinggal
hanyalah debu yang mengepul tinggi ke udara.
Hati Arya lega karena penantiannya tidak sia-sia.
Kini dia menanti laki-laki berbibir tebal itu kembali.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini telah
memutuskan untuk mengikuti urusan penculik ini sampai di sarangnya.
Kini Dewa Arak baru mengetahui kalau menunggu
adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan.
Entah untuk yang keberapa kalinya, Arya kembali
menyalangkan sepasang matanya ke arah perginya laki-laki berbibir tebal tadi.
Tapi akhimya wajah pemuda itu berseri ketika melihat debu mengepul tinggi di
kejauhan. Perasaan harap-harap cemas pun melanda hati Arya.
Harapan agar debu mengepul tinggi ke udara ini berasal dari derap langkah kuda
yang ditunggangi oleh urusan penculik permaisuri.
Tak lama kemudian, kuda itu semakin dekat. Dan
betapa lega hati Arya ketika melihat kalau penunggang kuda itu adalah orang yang
ditunggu-tunggunya sejak tadi.
Laki-laki berbibir tebal, utusan si penculik.
Sesaat kemudian kuda yang ditunggangi laki-laki berbibir tebal itu pun telah
mendekati tempat pengintaian Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera
menyembunyikan tubuhnya ke balik rerimbunan dedaunan, khawatir terlihat.
Sekejap kemudian kuda itu pun telah melaju cepat
melewati pohon di mana Dewa Arak bersembunyi. Pemuda berambut putih keperakan
itu menunggu beberapa saat hingga buruannya berada cukup jauh. Baru setelah itu
tubuhnya melesat dari satu pohon, ke pohon lainnya.
Laki-laki berbibir tebal itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya dikuti.
Terus saja dipacu kudanya secepat mungkin. Sementara Dewa Arak terus
membayanginya. Tapi mendadak....
Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar, disusul melesatnya sebuah benda berkilat ke
arah laki-laki berbibir tebal itu.
Tentu saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu terkejut bukan main.
Buru-buru, dia melompat dari punggung kuda.
"Hih...!"
Wuuuttt..! Benda berkilat itu menyambar lewat di atas punggung kuda. Tubuh laki-laki
berbibir tebal itu kini telah kembali menjejak tanah, tak jauh dari tempat
kudanya berdiri. Tapi sebelum laki-laki kasar ttu berbuat sesuatu, sesosok
bayangan berkelebat cepat ke arahnya.
Cepat bukan main gerakan bayangan orang yang baru
tiba itu. Dan begitu bayangan itu telah berada dekat dengan laki-laki berbibir
tebal, tangan kanannya bergerak menyampok.
Wuttt..! Prattt..!
"Aaakh...!"
Laki-laki berbibir tebal itu menjerit melengking ketika sampokan bayangan itu
telak dan keras sekali menghantam dadanya. Seketika itu juga terdengar suara
berderak keras, disusul terjengkangnya laki-laki itu. Darah mengalir dari mulut
hidung, dan telinganya.
Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar, begitu tubuh laki-laki berbibir tebal itu jatuh
ke tanah. Arya terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Jaraknya yang cukup jauh dari
utusan penculik, dan juga kejadian-nya yang berlangsung tiba-tiba, membuat
pemuda berambut putih keperakan tidak sempat berbuat sesuatu.
"Hup...!"
Sosok yang menyerang laki-laki berbibir tebal itu mendarat ringan di tanah.
Walaupun hanya sekilas, Arya dapat mengetahui kalau pembunuh buruannya adalah
seorang laki-laki setengah baya yang berompi coklat. Tapi aneh, telinganya hanya
sebuah saja. Di bagian yang kanan.
Dewa Arak tentu saja tidak ingin kehilangan jejak. Harus dicegahnya laki-laki
berompi coklat ini melarikan diri. Buru-buru dilepaskan jurus 'Pukulan
Belalang'! Suatu jurus yang jarang dikeluarkannya.
Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat menyambar ke
arah pembunuh laki-laki berbibir tebal itu, yang baru saja hendak beranjak dari
tempat itu. "Akh...!" terdengar pekikan kaget dari mulut laki-laki berompi coklat. Dengan
agak gugup dilempar tubuhnya, kemudian bergulingan di tanah menjauh.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Bergegas tubuhnya melesat. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah, berbareng dengan bangkitnya
laki-laki berdaun telinga satu itu dari bergulingnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, laki-laki berompi coklat itu melesat
menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya dengan jari-jari membentuk paruh burung,
mematuk-matuk mencari sasaran. Laki-laki berdaun telinga satu itu mendahului
serangannya dengan sebuah patukan ke arah
ubun-ubun pemuda berambut putih keperakan. Angin
keras mencicit nyaring, mengawali tibanya serangan itu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau lawan
menggunakan jurus 'Bangau'. Posisi jari yang membentuk paruh itulah yang membuat
Arya langsung bisa menebak-nya.
Dewa Arak mengenal keganasan jurus itu. Apalagi jurus itu dimainkan oleh tokoh
seperti laki-laki berdaun telinga satu ini. Buru-buru kepala Arya ditarik seraya
mendoyong-kan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan lawan
mengenai tempat kosong. Namun ternyata serangan laki-laki berompi coklat tidak
hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya dapat dielakkan, segera disusuli
dengan tendangan lurus ke arah dada.
Dari gerakan lawan, Dewa Arak dapat mengukur kalau laki-laki berdaun telinga
satu ini berkepandaian tinggi.
Sehingga Arya tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera dilentingkan
tubuhnya ke belakang kemudian bersalto di udara beberapa kali. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Di tangan kanannya kini
tergenggam guci arak, yang lalu diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan
ke mulutnya. Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar begitu arak melewati
tenggorokan pemuda berambut putih keperakan ini.
Seketika itu juga ada hawa hangat merayap, mulai dari perutnya dan terus naik ke
kepala. *** Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berdaun telinga satu itu kembali
menerjang Dewa Arak begitu tendangannya berhasil dielakkan pemuda itu. Kedua
tangannya yang mematuk-matuk ganas mencari sasaran, mengeluarkan suara angin
keras bercicitan.
Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa
Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan
mengelak, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang lawan.
Semula laki-laki berompi coklat itu kaget bukan main, tatkala melihat lawan yang
tadi diserangnya tahu-tahu lenyap. Padahal jelas terlihat olehnya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu hanya melangkahkan kaki saja, itu pun dengan
gerakan terhuyung-huyung. Tapi aneh, mengapa tubuh lawannya tahu-tahu lenyap"
Namun kekagetan yang dialami laki-laki berompi coklat itu hanya berlangsung
sekejap saja. Sesaat kemudian, dia pun tahu di mana Dewa Arak berada, begitu
dirasakan adanya sambaran angin kuat di belakangnya. Rupanya pemuda berambut
putih keperakan tengah melancarkan serangan dengan gucinya.
Wuttt...! Sambaran guci Dewa Arak mengenal tempat kosong,
begitu laki-laki berompi coklat melempar tubuhnya ke depan seraya bergulingan
menjauh. Arya segera melompat mengejar, seraya menyampirkan gucinya kembali ke
punggung. Baru tiga tindak Dewa Arak melangkah, tiba-tiba saja laki-laki bertelinga satu
mengibaskan tangan kanannya.
Wusss...! "Akh...!"
Arya memekik kaget. Ada suara mendesir halus begitu laki-laki berompi coklat itu
mengibaskan tangannya.
Disusul dengan melesatnya puluhan jarum-jarum halus ke arahnya. Terpaksa Arya
mengurungkan serangannya.
Segera dilempar tubuhnya ke tanah, dan bergulingan menjauh.
Kesempatan yang sedikit itu tidak disia-siakan oleh laki-laki berompi coklat
itu. Selagi Dewa Arak bergulingan di tanah, cepat dia melesat kabur dari situ.
Sepertinya masih ada urusan yang lebih penting daripada bertarung dengan pemuda
berambut putih keperakan itu. Waktu masih
panjang untuk menantang Dewa Arak bertarung.
"Keparat....!" desis Arya geram begitu melihat lawannya sudah tidak kelihatan
lagi. Entah ke arah mana laki-laki berdaun telinga satu itu melarikan diri,
pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Pepohonan di dalam hutan ini sangat lebat. Sekali saja laki-laki berdaun telinga
satu itu melesat, saat itu juga tubuhnya lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Benar apa yang dikatakan Patih Juminta, desis Arya dalam hati. Penculik itu
bertindak sangat hati-hati. Terbukti dia lebih suka kehilangan anak buah
ketimbang sarangnya diketahui orang lain.
"Hhh...'"
Arya mendesah pelan. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk mengetahui sarang
penculik permaisuri itu" pikimya bingung. Tengah pemuda berambut putih keperakan
ini melangkah satu-satu dengan benak berpikir keras, terdengar rintihan lirih.
Kontan kepala Arya ditolehkan ke arah asal suara.
Ternyata rintihan lirih itu berasal dari mulut laki-laki berbibir tebal. Sungguh
Dewa Arak hampir tidak mem-percayai apa yang dilihatnya. Laki-laki berkulit
hitam itu ternyata masih hidup! Padahal tulang tulang dadanya telah remuk.
Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini menghampiri.
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berbibir tebal itu
terputus-putus. Arya yang tengah ber-jongkok di depan laki-laki kasar itu hanya
mengangguk pelan.
"Bu... bukankah, kau ingin tahu sarang penculik permaisuri...?" tanya laki-laki
berkulit hitam itu lagi.
Suaranya terputus-putus dan hampir tidak terdengar.
"Benar. Kau mau menunjukkannya?" sahut Arya cepat.
Disadari kalau nyawa laki-laki berbibir tebal ini tidak bisa diselamatkan lagi.
Kenyataan kalau dalam keadaan seperti Itu masih mampu bertahan hidup,
menunjukkan kalau laki-laki kasar itu memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.
Laki-laki berbibir tebal itu menganggukkan kepalanya.
Kemudian mulutnya bergerak seperti hendak meng-
ucapkan sesuatu. Tapi karena terlalu pelan, Dewa Arak mendekatkan telinganya ke
mulut orang kasar yang tengah menanti ajal itu. Pemuda berambut putih keperakan
ini dapat menduga mengapa laki-laki berbibir tebal ini bersedia memberi tahu
sarang penculik. Laki-laki kasar itu mendendam, karena merasa dikhianati.
Hanya sebentar saja laki-laki berbibir tebal itu menggerak-gerakkan mulutnya.
Sesaat kemudian kepalanya pun terkulai. Laki-laki kasar ini tewas dengan bibir
tersenyum puas. Puas telah berhasil membalas sakit hatinya.
"Hm.... Jadi orang itu pemimpin gerombolan penculik...,"
desis Arya pelan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia telah tahu sarang penculik permaisuri
itu. Tapi pemuda berambut putih keperakan tidak langsung menuju ke sana. Dia
ingin ke Kotaraja Kerajaan Kamujang dulu. Akan dicegahnya pertumpahan darah yang
terjadi akibat salah paham.
Pertumpahan darah yang akan diakibatkan oleh amukan Pendekar Tangan Baja.
*** 5 Sementara itu di dalam benteng Istana Kerajaan
Kamujang, Pendekar Tangan Baja tengah mengamuk. Ilmu
'Tangan Baja'nya dikerahkan sampai ke puncak
kemampuannya. Suara dentingan diikuti berpatahannya senjata-senjata pasukan
Kerajaan Kamujang, mengiringi setiap gerakan tangan pemuda berpakaian kuning
ini. Memang sudah sejak semula Pendekar Tangan Baja
mendendam pada pasukan Kerajaan Kamujang, yang
sering dilihatnya berbuat sewenang-wenang pada penduduk. Maka tindakannya pun
tidak tanggung-tanggung lagi. Setiap gerakan tangan atau kaki pemuda berpakaian
kuning ini selalu menimbulkan hawa maut.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, seorang prajurit melompat menerjang. Golok
di tangannya ditusukkan ke dada pemuda berpakaian kuning.
"Hiyaaa...!"
Dari arah belakang, prajurit lainnya pun menusukkan tombaknya ke punggung
Pendekar Tangan Baja. Tapi


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berpakaian kuning ini hanya mendengus. Sekali mengenjotkan kaki, tubuhnya
sudah melenting tinggi ke atas, melewati kepala prajurit yang menyerang dari
depan. Dan begitu telah berada di atas lawan, tubuhnya berputar setengah lingkaran.
Lalu kedua tangannya mendorong punggung prajurit yang tengah menusukkan golok
itu. Pelahan saja kelihatan tangan pemuda berpakaian
kuning itu menyentuh punggung prajurit itu. Tapi akibatnya luar biasa! Tubuh
prajurit itu terdorong ke depan, seperti diseruduk kerbau liar. Kejadian yang
sudah diperhitungkan matang oleh Pendekar Tangan Baja terjadi.
Cappp, blesss...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dan terjadi hampir berbarengan. Akibat
dorongan Pendekar Tangan Baja, prajurit itu tidak bisa mempertahankan
keseimbangannya lagi. Golok yang semula bertujuan ke arah perut pemuda
berpakaian kuning, menghunjam perut prajurit bertombak yang melancarkan serangan
dari belakang. Pada saat yang bersamaan, prajurit bertombak tadi juga menusukkan
senjatanya. Dan tak pelak lagi, perut prajurit bersenjata golok pun mengalami
nasib yang sama dengan rekannya. Perutnya terhunjam tombak hingga
tembus ke punggung!
Beberapa saat lamanya tubuh kedua prajurit itu
menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian diam tidak bergerak lagi untuk selama
lamanya. Tewas!
"Hup...!"
Kedua kaki Pendekar Tangan Baja mendarat ringan di tanah. Di wajah tampannya
tersungging senyum
kegembiraan. Tentu saja hal ini membuat pasukan Kerajaan
Kamujang yang mengepung menjadi semakin geram.
Korban yang jatuh di tangan pemuda berpakaian kuning ini sudah lebih dari
sepuluh orang. Padahal pertarungan belum berlangsung lama. Tapi sebelum para
prajurit itu kembali menyerbu, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Tahan..!"
Kontan semua pasukan kerajaan yang akan menyerang, menahan gerakannya dan
langsung melangkah mundur.
Mereka semua mengenal betul pemilik suara bentakan itu.
Siapa lagi kalau bukan Prabu Jayalaksana"
Agak jauh di belakang pasukan kerajaan itu, berdiri seorang laki-laki setengah
baya berkumis dan berjenggot rapi. Wajahnya menyiratkan keagungan dan
kewibawaan. Hanya sayangnya, pada saat ini wajah penuh wibawa itu terlihat muram.
Dan seperti biasanya Prabu Jayalaksana tidak pemah sendiri. Di kiri kanannya
berdiri dengan wajah angker delapan orang berseragam gemerlapan. Dan di bagian
dada sebelah kiri tersulam gambar cakar burung garuda dari benang emas. Inilah
pasukan pengawal khusus Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda. Pasukan yang
terdiri dari jago-jago istana nomor satu.
Pendekar Tangan Baja menatap sosok tubuh yang
berdiri di hadapannya satu persatu. Sekali lihat saja pemuda berpakaian kuning
ini mengetahui mana Prabu Jayalaksana. Pastilah orang yang berdiri di tengah-
tengah dan memandang dirinya dengan sinar mata muram,
pikirnya. Begitu pandangannya tertumbuk pada delapan orang
yang berdiri di kanan kiri Prabu Jayalaksana, diam-diam Pendekar Tangan Baja
terkejut. Dari sorot mata delapan orang itu, pemuda berpakaian kuning sudah
dapat memperkirakan ketinggian ilmu yang mereka miliki. Dan ini membuat pemuda pemarah
ini bersikap hati-hati.
Prabu Jayalaksana melangkah maju beberapa tindak.
Delapan orang Pasukan Kuku Garuda pun ikut melangkah maju. Kini jarak antara
Raja Kamujang dengan Pendekar Tangan Baja, tinggal lima tombak lagi.
Prabu Jayalaksana menatap Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Sinar matanya begitu dingin, sehingga sulit bagi pemuda berpakaian kuning
ini untuk mengetahui makna tatapan itu.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Tangan Baja, Anak Muda?" tanya Raja Kamujang itu.
Datar dan dingin suaranya.
"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning tanpa sikap menghormat sama
sekali. Tentu saja hal ini membuat para prajurit punggawa, dan delapan orang
Pasukan Kuku Garuda, menggeram murka. Tangan mereka yang
telah menggenggam senjata masing-masing, menegang.
Siap untuk menerjang.
Tapi Prabu Jayalaksana hanya tersenyum tipis. Tidak nampak tanda-tanda kalau
Raja Kamujang ini merasa ter-hina. Tangan kanannya diangkat untuk meredakan
kemarahan pasukannya. Dan seketika itu juga, tangantangan yang telah menegang
itu pelahan mengendur
kembali. "Apa maksud kedatanganmu kemari, Pendekar Tangan Baja?" tanya Raja Kamujang itu
masih bernada sabar.
"Tidak perlu banyak basa-basi Prabu Jayalaksana!
Kedatanganku kemari untuk melenyapkan keangkara-
murkaanmu!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Sesabar-sabamya seseorang, tentu akan marah juga
bila terus menerus dihina. Apalagi di hadapan banyak orang. Lebih-lebih lagi,
jika orang itu adalah seorang raja seperti Prabu Jayalaksana! Seorang raja yang
sudah terbiasa dihormati orang.
"Kau terlalu sombong, Pendekar Tangan Baja! Orang sepertimu harus diberi
pelajaran!"
Setelah berkata demikian, Raja Kamujang ini menjentik-kan jarinya. Seketika itu
juga, empat orang Pasukan Kuku Garuda menghampiri Pendekar Tangan Baja.
Sementara Prabu Jayalaksana segera melangkah mundur diikuti oleh sisa Pasukan
Kuku Garudanya!
Pendekar Tangan Baja bersikap waspada. Kali ini
pemuda berpakaian kuning ini tidak berani menganggap enteng lawannya. Menilik
sikap dan gerak-gerik empat orang lawannya, sudah bisa diperkirakan kalau
keempat anggota Pasukan Kuku Garuda ini memiliki kepandalan yang tidak rendah.
Maka seluruh otot-otot dan urat-urat syaraf pemuda ini menegang. Sepasang
matanya menatap liar ke arah lawan.
"Hih...!"
Seraya berteriak keras salah seorang anggota Pasukan Kuku Garuda yang berkulit
gelap, bertubuh agak tinggi melompat menyerang. Rambut orang ini panjang dan
dikepang. Dan pada ujung ramburnya terdapat sebuah benda berbentuk segi lima,
berwama hitam mengkilat.
Kepalanya digoyangkannya ke kiri. Seketika itu juga ujung ramburnya melayang
deras ke arah kepala Pendekar
Tangan Baja. Angin bercicitan tajam mengiringi tibanya serengan itu.
Pendekar Tangan Baja tidak berani bertindak ceroboh.
Sadar kalau dirinya belum mengetahui keistimewaan ilmu lawan, maka pemuda
berpakaian kuning tidak berani
menangkisnya. Ingin diketahuinya dulu perkembangan ilmu aneh lawannya ini.
Itulah sebabnya, pemuda berpakaian kuning ini cepat-cepat menarik kakinya ke
belakang. Wuuut..! Angin berhawa panas menerpa wajah Pendekar Tangan
Baja, begitu sabetan rambut itu lewat setengah jengkal di depan wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat bukan main gerakan pengawal berambut kepang
ini. Begitu sabetan ramburnya lolos, segera saja serangan selanjutnya datang
menyusul. Kedua tangannya dengan posisi telunjuk mengacung, sementara jari-jari
tangan lainnya terkepal, melakukan totokan-totokan beruntun ke tenggorokan dan
bawah hidung. Dua jalan darah memati-kan.
Cit, cit! Kali ini Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak mengelakkan serangan itu. Segera
kedua tangannya bergerak menangkis dengan satu jari pula.
Tak, tak! "Akh...!"
Pengawal berambut kepang itu memekik tertahan. Jari telunjuknya dirasakan
seperti hendak patah ketika berbenturan dengan telunjuk pemuda berpakaian kuning
di hadapannya. Walaupun begitu, tetap saja tidak
mengurangi niatnya untuk kembali melancarkan serangan balasan. Kepalanya
digoyangkan ke kiri. Seketika itu juga ujung rambutnya melayang ke pelipis
pemuda berpakaian kuning.
Serangan itu datang begitu cepat dan tidak terduga-duga. Tapi walaupun begitu,
tidak membuat Pendekar Tangan Baja gugup. Buru-buru tubuhnya dirundukkan
sehingga sambaran ujung rambut lewat sejengkal di atas kepalanya. Tepat saat
itu, dilancarkan serangan balasan berupa totokan satu jari bertubi-tubi ke arah
dada dan ulu hati pengawal khusus Prabu Jayalaksana.
"Ah...!"
Pengawal berambut kepang terpekik kaget. Sungguh
tidak disangkanya, dalam keadaan terjepit lawannya mampu balik menjepit dirinya.
Diam-diam dalam hati salah seorang Pasukan Kuku Garuda ini, timbul perasaan
kagum. Jarang ditemuinya orang semuda laki-laki berpakaian kuning ini yang memiliki
tingkat kepandaian setinggi itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi pengawal berambut kepang kecuali melentingkan tubuh ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Manis dan indah sekali
gerakannya. Dan...
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki laki-laki berambut
kepang ini menjejak bumi. Dari peragaan ini saja sudah bisa diketahui ketinggian
ilmu meringankan tubuh milik pengawal khusus Prabu Jayalaksana ini.
Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak mengejar.
Sepasang mata pemuda berpakaian kuning ini menatap lawannya lekat-lekat.
"Kau hebat, Anak Muda," puji laki-laki berambut kepang itu jujur. "Tidak percuma
kau berani menyandang nama besar. Jari-jari dan tanganmu keras seperti baja.
Itukah sebabnya kau berjuluk Pendekar Tangan Baja"!"
"Aku tidak perlu pujianmu, Kisanak," balas Pendekar Tangan Baja singkat. Dingin
dan datar suaranya.
Merah wajah laki-laki berkulit hitam itu. Pemuda di hadapannya ini benar-benar
sombong. Orang seperti ini harus diberi pelajaran, agar mau menghargai orang
lain. "Tapi itu bukan berarti aku gentar padamu, Pemuda
Sombong!" teriak pengawal berambut kepang itu.
Kemarahannya langsung bangkit seketika.
"Apa peduliku"!" sentak Pendekar Tangan Baja keras.
"Keparat! Orang seperti kau harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, pengawal berambut kepang itu kembali menerjang
Pendekar Tangan Baja. Rambut kepangnya dan juga totokan totokan telunjuknya,
berkelebatan cepat Bertubi-tubi mencari sasaran. Tapi lawan yang dihadapinya
adalah Pendekar Tangan Baja. Dan kini pemuda berpakaian kuning itu sudah dapat
membaca jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Tangan
Baja segera mengelak sambil mengirim serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Pertarungan sengit pun terjadi.
Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda, dan pasukan kerajaan lainnya menonton
pertarungan itu dari jarak agak jauh dengan penuh minat. Diam-diam semua memuji
kelihaian kedua orang yang tengah bertarung.
Memang cukup menggiriskan akibat yang ditimbulkan
oleh pertarungan kedua orang itu. Suara decit angin tajam, bersiutan dan menderu
menyemaraki jalannya pertarungan itu. Tanah-tanah terbongkar di sana sini.
Ranting-ranting berpatahan dari dahan pohon yang terserempet angin pukulan yang
nyasar. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara.
Selama beberapa jurus, pertarungan berjalan imbang.
Tapi setelah memasuki jurus kelima belas, mulai nampak keunggulan Pendekar
Tangan Baja. Memang tingkat
kepandaian pengawal berambut kepang berada jauh di bawah pemuda berpakaian
kuning itu. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam, anggota
Pasukan Kuku Garuda ini jauh di bawah lawannya. Apalagi di samping itu Pendekar
Tangan Baja memiliki
keistimewaan lainnya. Tangannya yang kokoh dan kebal.
Kisah Si Rase Terbang 5 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Pendekar Sakti Suling Pualam 5
^