Malaikat Bangau Sakti 3
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti Bagian 3
Blaaarrr...! Gabungan ketiga pukulan jarak jauh itu
membentur cahaya hitam. Tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti langsung berhenti berputar. Namun, dia tertawa terbahak-bahak
mengiringi tubuhnya
yang mendadak melesat di udara.
Dees... dees... dees...!
Tubuh Setan Betina, Dewa Laknat, dan
Pencabik Sukma terbanting ke tanah terkena ten-
dangan Margana Kalpa. Tawa Lelaki berwajah pu-
cat itu terdengar makin keras, membuat jantung
orang-orang yang berada di tempat itu berdegup
kencang. Ketiga tokoh sesat yang tergeletak di tanah
bergegas bangkit berdiri. Mereka membentuk ba-
risan berjajar dan saling merangkul. Kemudian, berloncatan hingga membentuk
barisan di mana
Setan Betina berada di depan. Di belakangnya
Dewa Laknat menempelkan telapak tangan di
punggung wanita cantik itu. Di belakang sekali
Pencabik Sukma berbuat serupa. Kekuatan tena-
ga dalam tiga tokoh sesat itu kini telah disatukan!
Malaikat Bangau Sakti hanya menatap
dengan sinis. Kedua telapak tangannya lalu di gerakkan seperti sedang mengusap
suatu benda. Slaps...! Muncul cahaya kelabu di depan tubuh le-
laki berwajah pucat itu.
"Tunggu apa lagi" Segera kirim Malaikat
Kematian kepadaku!" teriak Margana Kalpa.
Setan Betina menggeram. Kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan untuk mengi-
rimkan pukulan jarak jauh.
Blaaammm...! Ledakan yang sangat dahsyat terdengar.
Pukulan jarak jauh Setan Betina yang disaluri
kekuatan tenaga dalam kedua temannya mem-
bentur cahaya kelabu di depan tubuh Malaikat
Bangau Sakti. Suatu pemandangan yang menggiriskan
terjadi. Dinding bangunan megah berguncang ke-
ras bagai terlanda gempa. Genteng-genteng ter-
lontar dari tempatnya. Yang lebih mengerikan
adalah teriakan kematian dari lima puluhan ang-
gota Perkumpulan Bangau Sakti. Tubuh mereka
yang sedang saling serang mendadak jatuh berge-
letakan dengan lubang hidung dan telinga menga-
lirkan darah segar.
Sedangkan Setan Betina, Dewa Laknat,
dan Pencabik Sukma terlontar jauh hingga men-
jebolkan benteng setebal satu depa. Ketiga tokoh sesat itu masih sempat
menggeliat. Lalu, mengejang dan diam tak berkutik untuk selama-
lamanya. Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. "Tak ada seorang manusia pun yang boleh menghalangi cita-citaku untuk
merajai rimba persilatan!"
Margana Kalpa mengakhiri ucapannya
dengan suitan nyaring.
"Kaaakkk...!
Muncul bangau hitam raksasa yang ter-
bang rendah. Margana Kalpa meloncat, dan hing-
gap tepat di punggung bangau raksasa itu.
"Kaaakkk..!"
Sayap bangau sakti mengepak. Burung itu
melesat cepat menuju lereng bukit di mana per-
tempuran antara anak buah Margana Kalpa me-
lawan para pengikut Narakasura sedang berlang-
sung. Orang-orang yang membelot dari Perkum-
pulan Bangau Sakti terdesak oleh tangan maut
yang dilancarkan Penyedot Arwah dan Bayangan
Hitam. Dengan kedatangan Malaikat Bangau Sak-
ti, mereka jadi semakin terdesak. Sebentar saja nyawa mereka melayang tiada
tersisa. Bangau hitam berdiri tegak di atas tanah.
Di punggungnya Margana Kalpa menatap gusar
pada jumlah anak buahnya yang tinggal dua ra-
tus orang. "Apakah kita akan meneruskan perjalanan
ke Bukit Pangalasan?" tanya Galang Gepak atau Bayangan Hitam.
"Untuk kembali ke markas kita sudah ke-
palang-tanggung," jawab Malaikat Bangau Sakti.
"Jadi, niat untuk menggempur Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti tetap diteruskan?"
"Benar!" Margana Kalpa mengangguk mantap, "Kau bersama Galungking Saba harus
dapat memimpin para anggota perkumpulan kita. Sece-patnya menuju Bukit
Pangalasan!"
"Hamba akan menjalankan perintah se-
baik-baiknya," sahut Galang Gepak.
Lelaki berjanggut panjang itu segera men-
gatur para anggota Perkumpulan Bangau Sakti
untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Malai-
kat Bangau Sakti langsung terbang bersama ban-
gau raksasanya.
5 Di sebuah gua yang terletak di Bukit Ra-
wangun sesosok tubuh terbujur kaku. Napas dan
detak jantungnya sudah berhenti. Tapi, suhu ba-
dannya masih normal. Hal itulah yang membuat
daging sosok tubuh itu tidak membusuk, walau
telah enam candra lebih terbaring di sana.
Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Pemuda itu mati suri akibat terkena kehebatan
ilmu 'Cahaya Sesat' saat bertempur melawan Se-
kar Mayang di Lembah Tengkorak.
Seorang pemuda berwajah lembut berjalan
perlahan membawa tongkat yang diketuk-
ketukkan di atas tanah. Dihampirinya tubuh Su-
ropati. "Suro...," panggil pemuda itu yang tak lain Raka Maruta atau Pendekar
Kipas Terbang. Kedua matanya buta oleh serangan racun abdi Se-
kar Mayang yang berjuluk Setan Racun.
Pemuda berwajah lembut itu meraba-raba
Suropati. Tak lama kemudian keluar rintihan dari mulutnya. Raka Maruta menangis
dalam haru. Seorang pemuda tampan berambut pirang mun-
cul dan menepuk bahunya.
"Pendekar Cengeng..." kata pemuda tampan itu yang tak lain Kapi Anggara atau si
Pendekar Asmara. Raka Maruta hanya meraba tangan
sahabatnya. Lalu, menundukkan kepala dalam-
dalam. "Bagi seorang pendekar, nilai pengorbanan untuk menegakkan kebenaran tak
perlu disesali,"
ucap Kapi Anggara menasihati.
"Siapa yang menyesali?" kata Raka Maruta bernada protes.
"Lalu, kenapa kau menangis?"
"Aku hanya merasa kasihan kepada diriku
sendiri. Mataku buta, Anggara. Aku juga tidak bi-sa berbuat apa-apa untuk
menolong Suropati
yang telah kuanggap sebagai adik kandungku!"
"Kalaupun matamu bisa melihat, apakah
kau akan dapat menolong Suropati" Tidak, Maru-
ta! Banyak tokoh sakti yang dapat melihat tapi
tak mampu mengembalikan jiwa Suropati."
Mendengar ucapan Kapi Anggara, Raka
Maruta diam termenung. Memang benar apa yang
dikatakan Kapi Anggara.
"Ke mana Wajah Merah?" tanya pemuda
berwajah lembut itu kemudian.
"Sebentar lagi dia akan datang." Bersamaan dengan usainya kalimat Kapi Anggara,
seo- rang lelaki tua berjalan terbungkuk menghampiri mereka.
Rambut Lelaki tua itu sudah berwarna pu-
tih semua. Dibiarkannya tergerai sampai di punggung. Kulit tubuhnya putih
bersih. Terbungkus
pakaian berwarna kuning. Tapi, yang membuat
penampilan lelaki tua itu tampak aneh adalah kulit wajahnya yang bersemu merah
seperti tomat matang. Karena itulah dia dijuluki si Wajah Me-
rah. Lelaki tua itu dikenal di rimba persilatan sebagai seorang tabib terkenal.
"Kalian minggirlah," perintah Wajah Merah seraya memberi isyarat dengan tangan.
Raka Maruta beringsut menjauhi tubuh
Suropati. Kapi Anggara berjalan mendekati Wajah Merah yang duduk bersila.
"Kau juga minggir!" bentak tabib pandai itu. Kapi Anggara bergegas menjauh.
Diperha- tikannya wajah lelaki tua yang telah menyembuh-
kan luka dalamnya akibat gempuran Iblis Darah
di Lembah Tengkorak.
Wajah Merah menyedekapkan kedua tan-
gan. Matanya terpejam rapat. Alam pikiran tabib pandai itu segera mencapai
keheningan. Sebentar kemudian, mata batinnya melihat
cahaya terang. Jiwa Wajah Merah melesat lepas
dari raganya. Dalam wujud tubuh gaib tabib pandai itu
berjalan mendekati pusat cahaya. Tampaklah
olehnya jiwa Suropati sedang meronta-ronta dari kepungan cahaya kuning kemerahan
yang me-menjarakannya,
"Kau diamlah di tempatmu, Suro...," kata Wajah Merah dalam kekuatan batin. "Aku
akan mencoba membebaskanmu."
"Cepatlah, Kek! Sebentar lagi makhluk me-
nyeramkan itu akan membakarku!" teriak Suropati. "Tenanglah! Cahaya yang
memenjarakan-mu akan kuhancurkan!"
Wajah Merah menarik napas panjang. Lalu,
tangan kanannya menyampok. Tapi, sinar putih
yang meluncur dari telapak tangan tabib pandai
itu terpental balik!
Wajah Merah menjerit kecil. Tubuh gaibnya
bergetar keras bagai digedor tangan raksasa.
"Cahaya itu sangat kuat menjerat jiwa Su-
ropati. Akan kucoba menghancurkannya sekali
lagi...." Tangannya direntangkan ke atas untuk
menyedot tenaga gaib sebanyak-banyaknya. Ke-
mudian, Wajah Merah mendengus seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangan ke depan.
Slaps...! Hempasan tenaga gaib tabib pandai itu
berbalik. Tubuh gaib Wajah Merah terlontar jauh.
Tapi, dia segera bangkit berdiri dan kembali berjalan mendekati pusat cahaya
yang memenjarakan
tubuh Pengemis Binal.
"Kau gagal, Kek?" tanya remaja konyol itu.
"Waduh! Makhluk mengerikan itu akan segera datang untuk membakarku. Tamatlah
riwayatku..."
"Tenanglah, Suro!" bentak Wajah Merah.
"Aku akan mencari kelemahan dari cahaya yang memenjarakanmu."
Mata tabib pandai itu terlihat menyorotkan
sinar aneh. "Aku butuh bantuan, Suro...," katanya kemudian.
Weeesss....! Tubuh gaib Wajah Merah menghilang. Ji-
wanya kembali ke alam nyata. Badan kasar tabib
pandai itu yang tengah duduk bersila di sisi tubuh Suropati bergoyang sebentar.
Kemudian, ke- dua matanya terbuka.
"Jiwa Suropati terpenjara...," beritahu Wajah Merah pada Raka Maruta dan Kapi
Anggara. "Aku butuh bantuan untuk membebaskannya."
"Aku bersedia, Kek!" sambut Raka Maruta penuh semangat. Dia berjalan dengan
bantuan tongkatnya mendekati Wajah Merah.
"Tapi, nyawa taruhannya...," kata Wajah Merah memperingatkan.
"Aku tidak takut. Dalam keadaan buta se-
perti ini, apa gunanya hidup lama. Lebih baik
mengorbankan nyawaku untuk keselamatan sa-
habat yang kucintai."
"Baiklah. Kalau begitu mendekatlah ke ma-
ri...." Wajah Merah dan Raka Maruta duduk bersila berhadapan. Kedua tangan Wajah
Merah me- nempel di bahu Raka Maruta. Demikian pula se-
baliknya. Dengan mata terpejam, badan halus Raka
Maruta dibimbing oleh Wajah Merah untuk me-
nembus alam gaib di mana jiwa Suropati terpen-
jara. "Kau lihat pusat cahaya itu, Maruta...,"
tanya Wajah Merah kemudian setelah mencapai
tempat yang dituju.
"Ya. Aku melihat tubuh Suropati dilapisi
cahaya kuning-kemerahan."
"Apa yang kau lihat itu bukan tubuh Suro-
pati, melainkan rohnya...," beritahu Wajah Merah.
"Sekarang kau bersiap-siaplah, Maruta. Badan halusmu akan kukirim masuk ke dalam
pendaran cahaya itu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Raka Maruta kebingungan.
"Kumpulkan seluruh kekuatan batinmu
dengan berlambarkan ilmu 'Hati Suci' yang kau
miliki. Setelah aku memberi aba-aba, gempurlah
cahaya kuning-kemerahan itu," Wajah Merah
memberi petunjuk.
Usai mengucapkan kalimatnya, Wajah Me-
rah lalu berdiri di belakang Raka Maruta. Kedua telapak tangannya mengusap
punggung pemuda
berwajah lembut itu. Sesaat kemudian... badan
halus Raka Maruta terlontar, dan membentur roh
Suropati. "Eh! Kau, Maruta...?" kata Pengemis Binal kaget. "Apakah kau mau bunuh diri" Aku
di sini sedang berkutat melawan maut. Kenapa kau malah menyusul?"
"Hush! Aku hendak menolongmu!" tukas
Raka Maruta. "Bagaimana caranya?"
"Aku datang bersama Wajah Merah."
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu Wajah Merah menggeram.
Jengkel dia melihat dua orang sahabatnya itu malah bercakap-cakap.
"Jangan bertindak bodoh, Maruta!" teriak tabib pandai itu. "Kekuatan kita untuk
menembus alam nirwana ada batasnya. Kita tidak bisa
berlama-lama tinggal di tempat ini!"
"Maafkan aku, Kek...," kata Raka Maruta.
"Segera kita gempur cahaya yang memenjarakan ini." Pemuda berwajah lembut itu
kemudian mengumpulkan kekuatan batinnya yang dilamba-ri ilmu 'Hati Suci'. Lalu,
kedua tangannya menghentak ke depan.
Bersamaan dengan itu Wajah Merah
menghantamkan tenaga gaibnya.
Srash...! Cahaya kuning-kemerahan mengitari tu-
buh gaib Raka Maruta dan Suropati tiba-tiba le-
nyap, meninggalkan suara seperti desisan ular.
"Kau telah bebas, Suro...!" teriak Raka Maruta girang.
Pengemis Binal menatap wajah sahabatnya
sejenak, lalu menghambur untuk memeluknya.
Tanpa mereka sadari di tempat itu telah muncul
sesosok makhluk berwujud mengerikan. Telapak
tangannya yang sebesar tubuh gajah langsung
menyambar tubuh gaib Raka Maruta dan Suropa-
ti! "Awas...!" teriak Wajah Merah.
Sayang peringatan itu terlambat datang-
nya. Tubuh halus dua pendekar muda itu berha-
sil disambar. Dan, tangan raksasa si makhluk
mengerikan langsung meremas. Wajah Merah bu-
ru-buru menghantamkan tenaga gaibnya
Splash...! Tubuh makhluk mengerikan itu mengge-
liat. Remasan tangannya mengendor. Kesempatan
itu tak disia-siakan Raka Maruta dan Suropati.
Mereka segera meloncat. Tapi, tiba-tiba makhluk mengerikan itu menyemburkan api!
"Awas, Suro...!" teriak Raka Maruta seraya mendorong tubuh halus Pengemis Binal.
Malang bagi dirinya. Semburan api berhasil mengepung
tubuh halus Raka Maruta. Diiringi jeritan pan-
jang, tubuh halus pemuda berwajah lembut itu
terbakar, lalu lenyap.
Suropati dan Wajah Merah memandang
dengan perasaan ngeri. Tapi sebelum sesuatu
yang tak diinginkan terjadi, Wajah Merah telah
menyambar tubuh halus Suropati untuk memba-
wanya kembali ke alam nyata.
Badan kasar Pengemis Binal yang tergele-
tak di atas batu besar menggeliat. Bersamaan
dengan itu Wajah Merah membuka kedua ma-
tanya. Kedua tangannya yang menempel di bahu
Raka Maruta dilepaskan. Dan badan kasar pemu-
da berwajah lembut itu jatuh terjengkang.
"Pendekar budiman...," gumam Wajah Merah. "Semoga Tuhan mengampuni segala do-
sanya." Wajah Merah terpekur sejenak mengenang
kebaikan Raka Maruta yang rela mengorbankan
dirinya untuk menolong sahabatnya.
"Uh...! A...!"
Tiba-tiba terdengar suara keluhan. Wajah
Merah menoleh. Dilihatnya tubuh Suropati berge-
rak-gerak mengejang bagai ayam habis disembe-
lih. "Kenapa dia, Kek...?" tanya Kapi Anggara yang berada di sisi batu besar. Matanya
memandang dengan penuh kekhawatiran.
Wajah Merah tak memberi jawaban. Mata
batinnya sedang bekerja.
"Roh Suropati masih ditahan oleh kekua-
tan gaib...," gumam tabib pandai itu kemudian.
Wajah Merah segera duduk bersemadi. Tu-
buh halusnya kembali melayang menembus alam
nirwana. Tabib pandai itu terkejut bukan main keti-
ka mata batinnya melihat tubuh halus Suropati
meronta-ronta di tengah garis cahaya kuning-
kemerahan. Dan, makhluk mengerikan yang baru
saja memangsa tubuh halus Raka Maruta tampak
mengeluarkan sinar putih dari kedua tangan rak-
sasanya. Dia berusaha menyeret tubuh halus Su-
ropati yang sudah berada di tengah-tengah alam
gaib dan alam nyata.
"Hei! Makhluk Gaib...!" teriak Wajah Merah.
"Manusia tidak pernah mengusik kaummu. Tapi kenapa kau ingin menyiksa seorang
anak manusia?" "Ha-ha-ha...!" makhluk mengerikan itu tertawa. "Siapa bilang
manusia tidak pernah mengusik kaumku" Manusia-manusia picik yang haus
nafsu keduniawian biasa memuja kaumku. Tapi,
mereka kemudian memperbudak untuk mewu-
judkan segala keinginannya!"
"Setelah mereka menemui ajal, bukankah
roh mereka ganti diperbudak oleh kaummu?" balas Wajah Merah.
"Huh! Itu masih belum cukup!"
"Terserah apa katamu! Tapi, lepaskan roh
anak manusia yang tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu itu!"
"Siapa sudi! Justru aku pun akan memen-
jara roh-mu, Manusia Usil! Kau terlalu lancang!"
teriak makhluk mengerikan. Mulutnya kemudian
menyemburkan api yang segera menghujani tu-
buh halus Wajah Merah.
Karena di tempat itu telah dipenuhi lautan
api yang menerpa dari atas, tak ada cara lain bagi Wajah Merah untuk meloloskan
diri, kecuali menghantamkan tenaga gaibnya
Srash...! Lautan api itu buyar. Tapi, kaki makhluk
mengerikan berusaha menginjak tubuh halus Wa-
jah Merah. Kembali tabib pandai itu menghan-
tamkan tenaga gaibnya. Si makhluk mengerikan
menggeliat kesakitan. Telapak kakinya terasa panas. Kesempatan yang hanya
sekejap itu tak
disia-siakan Wajah Merah. Dia segera menyo-
rongkan kedua telapak tangannya. Sinar putih
yang membelenggu tubuh halus Suropati lang-
sung lenyap. Wajah Merah segera menyambarnya.
Tapi, kibasan sinar putih menghantam!
"Argh...!"
Tubuh halus Wajah Merah terlontar. Suro-
pati yang sudah lepas dari biasan cahaya yang
membelenggunya menatap dengan perasaan nge-
ri. Beruntung pemuda itu segera menyadari kea-
daan yang ada. Tubuh halusnya melayang sece-
pat kilat mendahului luncuran sinar putih yang
akan menghempaskan tubuh halus Wajah Merah.
Si makhluk mengerikan menggeram. Men-
dadak, sinar putih yang meluncur dari telapak
tangannya melesat semakin cepat membentur
punggung Pengemis Binal!
Blab...! Sinar Putih itu buyar dan terlontar balik.
Jerit ngeri yang menyayat hati keluar dari mak-
hluk gaib berwujud menyeramkan.
Rupanya, dalam keadaan genting Suropati
masih sempat mengeluarkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'-nya. Sehingga, tubuh gaib
remaja konyol itu terlindungi cahaya kebiru-
biruan. "Selekasnya kita kembali ke alam nyata, Kek...!" kata Pengemis Binal
sambil memeluk tubuh halus Wajah Merah.
"Awas, Suro...!" teriak tabib pandai itu ketika melihat sinar putih kembali
meluncur deras.
"Heaaa...!"
Pengemis Binal meloncat sambil membo-
pong tubuh halus Wajah Merah.
"Makhluk mengerikan itu bergerak sema-
kin ganas. Kita harus segera berlalu dari tempat ini," kata remaja konyol itu.
"Kau siapkan kekuatan batinmu," ucap
Wajah Merah seraya menatap makhluk mengeri-
kan. Slaps...! Sinar putih yang keluar dari telapak tan-
gan makhluk mengerikan itu hanya mengenai an-
gin kosong, karena tubuh halus Suropati dan Wa-
jah Merah telah lenyap.
Badan kasar Wajah Merah tergeletak di
samping jasad Raka Maruta. Kapi Anggara meno-
pang kepala tabib pandai itu dengan tangan ka-
nannya. Sedangkan Suropati menatap dengan pe-
rasaan penuh haru.
"Aku berhutang budi kepadamu, Kek...,"
ucap Suropati. "Kau... kau tak perlu memikirkan itu, Su-
ro...," desak Wajah Merah yang terluka dalam sangat parah.
"Kau seorang pendekar yang sanggup me-
nyinari gelap rimba persilatan.... Aku senang berhasil menyelamatkanmu, meski
nyawaku taru- hannya..."
"Kek, aku akan menyalurkan hawa murni
ke tubuhmu"
Mata Wajah Merah mengerjap lemah. "Te-
rima kasih, Suro," ujarnya dengan suara seakan melemah.
"Kau... kau ambillah kitab yang berada di
balik bajuku. Aku mewariskannya kepada...
mu...." Usai mengucapkan kalimatnya, kepala tabib pandai itu terkulai. Suropati
mengeluarkan jerit tertahan. Kapi Anggara menatap haru seraya
menarik napas panjang. Diletakkannya kepala
Wajah Merah di lantai gua.
"Usahanya selama enam candra lebih un-
tuk menyelamatkan nyawamu tidak sia-sia, Su-
ro...," kata Kapi Anggara kemudian.
"Enam candra"!" Pengemis Binal keheranan "Ya."
"Jadi... jadi tubuhku terbaring di atas batu
besar itu selama waktu yang sedemikian panjang"
Tapi, kenapa badan kasarku bisa bertahan untuk
tidak membusuk?"
"Setiap hari Wajah Merah menyalurkan
hawa murni ke tubuhmu. Dan selama itu dia juga
memperdalam ilmu kesaktian, untuk membe-
baskan rohmu yang katanya ditahan makhluk ha-
lus." "Lalu, kenapa Raka Maruta juga rela mengorbankan nyawanya?"
"Ketika bertempur melawan Setan Racun di
Lembah Tengkorak, Raka Maruta terluka parah.
Wajah Merah berhasil menyelamatkan jiwanya.
Tapi, kedua mata pemuda berwajah lembut itu te-
lah terkena racun ganas yang tak dapat disem-
buhkan. Hingga membuat matanya buta."
Kepala Suropati tertunduk mendengar pe-
nuturan Kapi Anggara.
"Raka Maruta memang seorang sahabat se-
jati, Suro...," kata pemuda itu kemudian. "Hampir setiap hari dia menangisi
keadaannya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Ketika
Wajah Merah memerlukan seseorang yang sang-
gup menolong dirimu, dia bersedia...."
"Oh...."
Pengemis Binal mendekap wajahnya. Hati
remaja tampan itu diliputi perasaan haru yang
sangat. "Dua orang yang baik budi telah pergi karena usahanya untuk
menyelamatkan diriku...,
gumam Suropati. "Semoga arwah mereka ditem-
patkan di sisi Tuhan sebaik-baiknya."
"Kau ingat pesan terakhir Wajah Merah,
Suro?" tanya Kapi Anggara.
"Apa?"
"Bodoh! Kerbau pelupa!" ujar Kapi Anggara jengkel.
"Eh...."
Pengemis Binal mengerenyitkan dahi se-
raya menggaruk-garuk kepalanya.
"Sebal melihat kebiasaanmu itu!" umpat Kapi Anggara lagi.
"Kalau sebal jangan kau lihat!"
"Uh! Dasar kerbau!"
"Aku bukan kerbau!" bantah Suropati.
"Kalau bukan kerbau, coba kau ingat pe-
san terakhir Wajah Merah."
Suropati menggaruk-garuk kepala lagi.
"Ha-ha-ha...!" tawa Kapi Anggara meledak.
"Seekor kerbau memang berotak bebal!"
Pemuda tampan yang bergelar Pendekar
Asmara itu kemudian berjalan menghampiri jasad
Wajah Merah. Dikeluarkannya sebuah kitab dari
balik bajunya. "Hei! Aku ingat sekarang!" teriak Suropati.
"Wajah Merah mewariskan kitab itu kepadaku."
"Kau keliru. Kitab yang kupegang ini diwa-
riskan kepadaku."
"Tidak! Kau jangan ngawur, Anggara!" bantah Suropati.
"Siapa yang ngawur" Kaulah yang menga-
da-ada," sergah Kapi Anggara.
"Tidak! Kau harus menyerahkan kitab itu
kepadaku!" bentak Pengemis Binal bernada marah. "Ha-ha-ha...!"
Kapi Anggara tertawa terbahak-bahak.
"Bangsat!" umpat Suropati. "Kau rupanya seorang sahabat yang tidak bisa
dipercaya."
Pengemis Binal lalu menghemposkan tu-
buhnya berusaha menyambar kitab yang dipe-
gang Kapi Anggara. Sayang sambaran itu hanya
mengenai angin kosong.
"Bila kau menginginkan kitab ini, langkahi dulu mayatku!" tantang si Pendekar
Asmara. "Baik! Aku akan segera menginjak-injak
mayatmu." Suropati kembali menyerang dengan ganas.
Tapi, Kapi Anggara cuma tertawa-tawa sambil te-
rus menghindar. Lewat dua jurus kemudian, Pen-
gemis Binal meloncat dua tombak dari hadapan si Pendekar Asmara.
"Aku tidak peduli siapa kau. Wasiat orang
yang telah mati harus dipegang teguh...," ucap remaja konyol itu. "Dengan ilmu
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa,' aku akan mengantarkan nyawamu ke neraka,
Manusia Culas!"
Suropati segera mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke ujung jari telunjuknya
yang menyatu di depan dada. Sesaat kemudian,
asap tipis mengepul dari kepalanya yang bergetar.
"Tahan...!" teriak Kapi Anggara.
"Huh! Kau mau berkata apa lagi" Segera
kau serahkan kitab itu."
"Justru aku akan menghancurkannya,"
ujar Kapi Anggara dengan kalem.
Mata Pengemis Binal mendelik! Ditatapnya
kitab warisan Wajah Merah yang diremas oleh
Kapi Anggara. Suropati menjadi gusar terbawa
oleh rasa penasaran. Dia pun tercenung di tem-
patnya. Tak mampu berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, si Pendekar Asmara tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau memang kerbau dungu yang mudah diperdayai orang, Suro!"
katanya seraya melemparkan kitab yang dipegangnya.
Pengemis Binal buru-buru menyambut Di-
lihatnya kitab warisan Wajah Merah itu masih
utuh. Tak kurang suatu apa.
"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Suro...?"
ujar Kapi Anggara seraya tersenyum penuh ke-
menangan. Suropati menggaruk-garuk kepalanya. La-
lu, mengumpat sejadi-jadinya.
"Siapa yang mau merebut hak seorang sa-
habat, Suro...?" ucap si Pendekar Asmara sambil menepuk bahu Pengemis Binal.
Tapi, tiba-tiba remaja konyol itu men-
gayunkan kepalan tangannya.
Buuukkk...! Kapi Anggara meringis kesakitan. Perutnya
terasa mulas bagai kebanyakan makan sambal.
Dia pun segera memasang kuda-kuda untuk
mengawali serangan.
"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Angga-
ra... ?" elak Suropati sambil tersenyum.
"Bangsat!" umpat si Pendekar Asmara
jengkel. Kena juga dia diperdayai sahabatnya itu.
Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk kepalanya. Melihat itu, Kapi
Anggara ikut tertawa.
"Kita harus segera menguburkan jenazah
Raka Maruta dan Wajah Merah...," kata Suropati kemudian dengan ucapan berubah
sendu. Bagai-manapun dia telah kehilangan sahabat-sahabat
yang selama ini telah membantunya.
Ketika remaja konyol itu hendak mengang-
kat jasad Wajah Merah, Suropati terkejut. Jasad tabib pandai itu masih hangat.
Dia pun segera memeriksa jasad Raka Maruta.
"Jasat pendekar budiman ini juga masih
hangat. Padahal waktu telah berlalu sekian lama.
Mungkinkah dia masih hidup?" tanya Suropati dalam hati.
Melihat Pengemis Binal tertegun, Kapi Ang-
gara segera menghampiri. Pemuda itu turut me-
meriksa jasad Wajah Merah dan Raka Maruta.
"Mereka dalam keadaan mati suri seperti
dirimu, Suro...," beritahu Kapi Anggara.
Kening Suropati berkerut. "Lalu, siapa lagi yang bisa menolong mereka?"
"Dengan Air Sakti roh Wajah Merah dan
Raka Maruta akan dapat kembali ke badan ka-
sarnya," beritahu Kapi Anggara.
"Di mana kita bisa memperoleh Air Sakti
itu?" "Air Sakti adalah air ajaib. Untuk menda-patkannya juga memerlukan
keajaiban."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku harus mendapatkan Air Sakti. Bagai-
manapun caranya. Aku akan mencarinya...," janji remaja konyol itu.
Setelah membaringkan jasat Wajah Merah
dan Raka Maruta di atas batu besar secara ber-
dampingan, Pengemis Binal melangkahkan ka-
kinya ke istana Kerajaan Anggarapura. Mereka
bersepakat untuk sementara akan berpisah.
6 Bukit Pangalasan terselimuti kabut. Sem-
burat cahaya mentari menyinari dalam kereman-
gan. Terang belum sempurna benar karena pagi
baru saja datang. Hawa dingin masih setia me-
nemani. Satwa-satwa pun malas beranjak.
Tanpa mempedulikan hawa dingin yang
menusuk tulang, ratusan manusia merayap naik
menuju puncak bukit dari arah utara dan sela-
tan. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam me-
mimpin di depan. Sementara di angkasa berputa-
ran seekor bangau raksasa berbulu hitam. Di
punggungnya bertengger Malaikat Bangau Sakti.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu melesat cepat menuju
sisi bukit sebelah utara. Kemudian mendarat di
atas tanah. Satwa yang tampak perkasa itu mengepak-
ngepakkan sayapnya, membuat angin berhembus
kencang dan hawa dingin terasa semakin menu-
suk tulang. "Galungking Saba...!" teriak Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti.
Sesosok bayangan hitam berkelebat. Lalu
berdiri tegak tiga tombak dari hadapan bangau
raksasa. "Hamba, Sang Ketua...," lapor bayangan hitam itu yang tak lain Penyedot Arwah.
"Kau bersama anak buahmu bergeraklah
menyerong ke arah barat. Dari arahmu berjalan
sekarang, banyak tebing terjal yang akan mem-
perlambat langkah kelompokmu."
"Hamba, Sang Ketua...," Galungking Saba membungkukkan badan.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Setelah lehernya ditepuk Margana Kalpa,
bangau raksasa terlihat mengepakkan sayapnya.
Burung itu kembali melesat ke angkasa membawa
tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Sementara itu di puncak bukit yang berta-
nah datar suasana sepi masih setia menamani.
Perkampungan di mana para anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti bermukim belum me-
nunjukkan tanda-tanda gerak kehidupan. Seba-
gian besar masih terlelap dibuai mimpi.
Di dalam sebuah rumah berdinding papan,
Gede Panjalu sedang bersemadi. Wajah kakek
bongkok yang penuh keriput itu membiaskan ca-
haya teduh. Rambut dan alisnya telah memutih
semua. Bersama hembusan napasnya yang teratur,
sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
mencapai puncak keheningan alam semesta. Tapi,
tiba-tiba dia membuka kelopak matanya seraya
menajamkan pendengaran.
"Aku mendengar suara yang tidak biasanya
di angkasa...," kata hati Gede Panjalu. "Seperti suara bangau raksasa yang
terbang cepat..."
Perlahan-lahan kakek bongkok itu bangkit
dari duduknya. Disambarnya sebatang tongkat
yang tersandar di dinding papan. Diambang pintu rumah Gede Panjalu menatap
suasana pagi yang
masih remang-remang. Dia segera mempertajam
pendengarannya kembali. Tapi, hanya kokok
ayam alaslah yang terdengar bersahutan.
"Aneh...," desis Gede Panjalu. "Apakah bangau raksasa itu hanya sekadar lewat.
Tapi, fi-rasatku mengatakan lain. Mungkinkah darah
manusia akan menyiram puncak Bukit Pangala-
san?" Mendadak, sesosok bayangan berkelebat.
Sosok itu berhenti di sisi Gede Panjalu yang sedang tercenung.
"Kau mendengar sesuatu yang mencuriga-
kan, Kek?" tanya sosok bayangan yang tak lain Wirogundi. Dia salah seorang tokoh
penting da- lam Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau juga mendengarnya, Wiro?" Gede Panjalu ganti bertanya.
"Ya. Dan, perasaanku tiba-tiba jadi merasa tidak enak."
"Aku pun demikian."
Gede Panjalu kemudian kembali terme-
nung. Bayangan Suropati berkelebat di depan ma-
tanya. "Selama enam candra lebih remaja konyol itu tidak menampakkan batang
hidungnya. Ke mana dia?" gumam Gede Panjalu dengan tarikan napas panjang-panjang.
"Kau berkata apa, Kek?" tanya Wirogundi tak jelas.
"Aku ingat Suropati,"
"Mungkinkah dia sedang mengalami sesua-
tu yang tak diinginkan?"
"Kau jangan berpikir yang macam-macam,
Wiro. Sebaiknya kita...."
Gede Panjalu tak sempat melanjutkan uca-
pannya. Tiba-tiba terdengar suara keras disertai lesatan burung bangau raksasa
berbulu hitam di
angkasa. "Bangau perkasa!" teriak Anjarweni yang tahu-tahu saja sudah muncul di samping
Wirogundi. Pemuda bertubuh kurus itu menolehkan
kepalanya sebentar menatap Anjarweni lalu,
kembali memperhatikan bangau raksasa yang
terbang rendah. Kibasan sayap bangau perkasa
itu membuat angin berhembus kencang yang
membawa hawa dingin.
"Suruh keluar Suropati!" teriak Malaikat Bangau Sakti yang bertengger di
punggung bangau raksasa.
"Siapa kau" Dan apa maksud kedatan-
ganmu"!" teriak Gede Panjalu yang disertai pengerahan tenaga dalam. Hingga
suaranya terdengar
sekeras halilintar.
"Ha-ha-ha...!"
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
tertawa. Dia meloncat dari bangau raksasa tung-
gangannya. Walaupun ketinggian yang dilaluinya
melebihi tinggi sebatang pohon kelapa, tapi telapak kaki lelaki berwajah pucat
itu sama sekali tak mengeluarkan suara ketika mendarat di atas tanah. Kenyataan
itu menandakan ilmu meringan-
kan tubuh Malaikat Bangau Sakti telah mencapai
taraf sempurna.
"Bila kalian belum tahu siapa raja di raja kaum sesat, akulah orangnya! Kalian
bisa memanggilku dengan sebutan Malaikat Bangau Sak-
ti, ketua Perkumpulan Bangau Sakti!" kata Margana Kalpa dengan suara lantang.
"Apa maksudmu datang kemari?" tanya
Gede Panjalu lagi penuh selidik.
"Aku ingin Suropati menampakkan batang
hidungnya!"
"Dia tidak ada!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. "Kalian sengaja menyembunyikannya.
Atau, dia sendiri yang bersembunyi karena ta-
kut"!" "Kau jangan menghina, Kisanak! Suropati memang tidak ada di sini. Kalau
Kisanak mempunyai kepentingan, datanglah lain waktu...,"
ucap Gede Panjalu tak senang mendengar Suro-
pati diremehkan.
"Rupanya kau berusaha menyembunyikan
Suropati di balik kata manismu, Orang Tua
Bongkok!" Margana Kalpa terus menyudutkan.
"Keparat!" umpat Wirogundi. "Kau kira siapa dirimu berani berkata seperti itu"!"
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa kembali tertawa terbahak-bahak.
"Seorang gembel busuk yang sedang marah
ternyata wajahnya berubah mirip monyet kebaka-
ran ekor!"
"Bangsat!"
Kemarahan Wirogundi tak dapat ditahan
lagi. Pemuda itu langsung menerjang. Tapi, Ma-
laikat Bangau Sakti telah meloncat kembali ke
punggung bangau raksasa.
"Bila Suropati tidak segera menampakkan
diri, aku akan mengobrak-abrik tempat ini!" ancam lelaki berwajah pucat itu
dengan tidak main-main. Tiba-tiba, bangau raksasa melesat cepat
seraya menyorongkan kedua cakarnya.
Braaakkk...! Rumah papan yang ditempati Gede Panjalu
hancur berantakan. Tiang penyangga roboh dan
genteng-genteng melayang dalam keadaan hancur
berkeping-keping, terhantam cakar bangau rak-
sasa. "Kaaakkk...! Kaaakkk...!".
Satwa perkasa itu terbang tinggi. Lalu
kembali menukik cepat bagai lesatan batu meteor, dan mendarat di atas tanah
dengan gagahnya.
"Segera panggil Suropati!" teriak Margana Kalpa marah.
"Suropati terlalu terhormat untuk men-
jumpai manusia busuk sepertimu!" sahut Wirogundi seraya menerjang dengan tongkat
di tan- gan. Mendadak, bangau raksasa mengibaskan
sayapnya hingga menimbulkan tiupan angin to-
pan. Wirogundi yang tak menyangka hal itu akan
terjadi tiada sempat mengendalikan gerak tubuh-
nya. Tubuh anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu terhempas ke tanah.
Bermunculanlah puluhan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya. Mere-
ka langsung mengepung Malaikat Bangau Sakti
dengan senjata tongkat.
"Kroco-kroco dungu! Kalian hanya mencari
mati!" teriak Margana Kalpa seraya menepuk bangau tunggangannya. Si bangau
raksasa kembali mengepakkan sayap.
"Weeesss...!"
Hembusan angin topan menerpa. Puluhan
tubuh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti terpental dengan diiringi jerit yang me-
nyayat hati.
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, puluhan lelaki bersenjata tongkat
lainnya muncul datang. Margana Kalpa menatap
sinis. Kemudian laki-laki itu bersuit nyaring.
Bermunculanlah para anggota Perkumpulan Ban-
gau Sakti dari arah utara dan barat bukit.
Pertempuran seru segera terjadi. Anak
buah Malaikat Bangau Sakti yang bersenjata go-
lok menerjang ganas bagai iblis haus darah. Di-
bantu oleh Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam,
mereka menyebar kematian!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat menerjang Gede
Panjalu. Tapi, kakek bongkok itu telah memper-
siapkan serangan mendadak.
Dada bangau raksasa terhantam pukulan
jarak jauh Gede Panjalu. Satwa perkasa itu
menggeliat ganas. Tubuh Malaikat Bangau Sakti
yang bertengger di punggungnya terlontar!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat cepat dan berlalu
dari tempat itu. Tinggallah Margana Kalpa men-
dengus penuh kemarahan.
"Aku akan mengirim nyawamu ke neraka,
Orang Tua Bongkok!" teriak lelaki berwajah pucat itu seraya menerjang.
"Kau lawan aku dulu, Manusia Busuk!" sahut Anjarweni balas menerjang.
"Weni! Jangan...!" Wirogundi memperingatkan, "Ingat bayi yang kau kandung!"
Tapi, Anjarweni tak mempedulikannya. Dia
menyerang Malaikat Bangau Sakti dengan jurus-
jurus maut. Margana Kalpa segera balas menye-
rang tak kalah hebatnya.
Anjarweni yang sebenarnya sedang men-
gandung tiga bulan tampak kerepotan menghada-
pi jurus-jurus aneh Malaikat Bangau Sakti. Melihat itu, Wirogundi langsung
memutar tongkat di
tangannya dengan kecepatan luar biasa. Bebera-
pa anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang se-
dang mengeroyoknya roboh tanpa mampu bangkit
lagi. "Kau menyingkirlah, Weni...!" teriak pemuda bertubuh kurus itu seraya
menerjang Malaikat Bangau Sakti.
"Kita hadapi manusia busuk itu bersama-
sama, Wiro!"
"Tidak! Ingat calon anak kita, Weni!"
Peringatan Wirogundi tak dipedulikan An-
jarweni. Dia segera mengerahkan ilmu 'Pukulan
Api Neraka'-nya. Angin pukulan berhawa panas
mencecar tubuh Margana Kalpa. Wirogundi beru-
saha menghunjamkan tongkatnya dengan ber-
lambarkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dis-
usul dengan jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'. Tapi, Malaikat
Bangau Sakti bukanlah lawan yang enteng. Tu-
buh lelaki berwajah pucat itu berubah jadi
bayangan. Di lancarkannya serangan yang lebih
hebat. Sementara itu Penyedot Arwah tampak
mengganas, menyebar kematian bagi para anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
Gede Panjalu segera meninggalkan para
pengeroyoknya setelah menjatuhkan tangan
maut. Diterjangnya Penyedot Arwah. Tapi Bayan-
gan Hitam telah memapaki.
"Hadapilah aku, Orang Tua Bongkok!" bentak lelaki berjanggut panjang itu seraya
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan dalam
jurus ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung.'
Wuuusss...! Sinar kuning meluncur deras ke arah Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu segera menghem-
poskan tubuhnya ke atas. Dia terperangah. Tu-
buhnya yang limbung di udara terkena sambaran
angin pukulan jarak jauh Bayangan Hitam. Gede
Panjalu segera menyadari kehebatan lawan.
"Heaaa...!"
Sesepuh Perkumpulan Tongkat Sakti itu
kemudian memutar tongkatnya. Dihantamkannya
ke arah kepala Bayangan Hitam! Serangan itu
hanya mengenai angin kosong. Tubuh Bayangan
Hitam telah berkelebat sangat cepat.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Sapi
Tua!" ejek lelaki berjanggut panjang itu.
Gede Panjalu mendengus gusar. Dia segera
mengeluarkan rangkaian Jurus Tongkat Saktinya
yang digabungkan dengan jurus 'Pengemis Me-
minta Sedekah'!
"Heaaa...!"
Kakek bongkok itu menerjang ganas. Na-
mun, tubuh Bayangan Hitam berkelebatan seraya
melancarkan serangan balik, berusaha menghan-
tam lawan dengan ilmu 'Pukulan Penghempas
Gunung.' *** Sang baskara telah bergerak memayungi
kepala. Sinarnya menerpa tubuh ratusan manu-
sia yang tergeletak di atas tanah tiada bernyawa.
Darah yang berceceran telah mengering. Tapi, cai-ran darah baru muncrat dari
tubuh-tubuh yang
terluka. Bukit Pangalasan benar-benar jadi ajang pertempuran yang menggiriskan.
Para anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terdesak hebat Manusia-manusia
haus darah yang bernaung dalam Perkumpulan
Bangau Sakti terus mencecar lawan dengan teba-
san goloknya. Apalagi dibantu oleh Penyedot Ar-
wah. Anak buah Malaikat Bangau Sakti itu dapat
dengan mudah menjatuhkan tangan mautnya.
Sementara itu pertempuran antara Marga-
na Kalpa melawan Wirogundi dan Anjarweni ber-
jalan tak seimbang. Gerak tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti yang berlambarkan jurus 'Bangau Men-
gejar Mangsa' sangat sulit diikuti pandangan ma-ta. Wirogundi dan Anjarweni jadi
kewalahan menghadapinya. Namun, semangat tempur sepasang keka-
sih itu tak pernah kendor. Mereka terus mencecar lawan dengan jurus-jurus
andalan. "Jaga kepalamu, Manusia Busuk!" kata Anjarweni seraya melancarkan tendangan
melingkar. "Jaga kepalamu sendiri, Babi Bunting!"
ucap Margana Kalpa menepis serangan. Kemu-
dian, dia menghantamkan kepalan tangannya ke
kepala Anjarweni.
Wuuuttt..! Gebukan tongkat Wirogundi telah menda-
hului. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke samp-
ing. Tapi, tongkat di tangan Wirogundi terus mengejar! Trak...!
Pemuda bertubuh kurus itu terkejut seten-
gah mati. Tangkisan lawan dapat mematahkan
senjata andalannya. Belum sempat dia menyadari
keadaan, Margana Kalpa telah melancarkan se-
buah tendangan!
Tubuh Wirogundi terlontar. Bahu kanan-
nya terkena sasaran serangan lawan. Dia berusa-
ha bangkit. Tapi pemuda itu hanya sanggup ber-
diri terhuyung-huyung untuk beberapa lama. Da-
ri sudut bibirnya meleleh darah segar.
Melihat orang yang dicintainya terluka, An-
jarweni menggeram marah. Tubuhnya digenjot ke
belakang. "Segera kau sambut kedatangan Malaikat
Kematian, Manusia Busuk...!" teriak murid Dewi Tangan Api itu.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya yang melambari ilmu 'Pukulan
Api Neraka', kedua pergelangan tangan Anjarweni
semakin marah membara. Dia meloncat ke depan
dengan telapak tangan disorongkan!
Melihat sinar merah yang meluncur deras
ke arahnya, Margana Kalpa segera mengibaskan
telapak tangannya. Muncullah cahaya kebiru-
biruan yang membentengi tubuh lelaki berwajah
pucat itu. Blaaarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membahana di
angkasa ketika dua kekuatan tenaga dalam ber-
temu. Tubuh Malaikat Bangau Sakti tetap berdiri tegak di tempatnya. Sedangkan
tubuh Anjarweni
mencelat jauh bagai dilemparkan tangan raksasa.
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa tertawa puas.
"Makan kesombohganmu, Babi Bunting!"
Wirogundi yang melihat adegan menggi-
riskan itu segera berlari. Dihampirinya tubuh kekasihnya yang tergeletak di atas
tanah. "Anjarweni...," panggil pemuda bertubuh kurus itu sambil mendekap kepala orang
yang dicintainya.
"Ma... maafkan aku, Wiro...," ujar Anjarweni lirih. Baju yang dikenakannya telah
basah oleh darah yang menyembur dari mulut.
"Kuatkan dirimu, Weni...."
"Ak... aku mengecewakanmu, Wiro.... aku
tidak bisa men... menjaga bayi dalam kandun-
ganku.... Ma... maafkan aku...."
"Ya. Aku memaafkanmu, Weni."
"Ak... aku ingin mendengar ucapan cinta-mu untuk yang terakhir kalinya...."
Mendengar ucapan kekasihnya, mata Wiro-
gundi menjadi sembab oleh genangan air mata.
"Aku mencintaimu dengan tulus suci, We-
ni...," kata pemuda bertubuh kurus itu kemudian.
Diciumnya kening Anjarweni dengan mesra.
Bibir murid Dewi Tangan Api itu mencoba
mengulum senyum. Tapi, rasa sakit menghentak
dalam dadanya. Dia pun meringis kesakitan.
"Weni!" teriak Wirogundi seraya mempererat dekapannya.
"Kau... kau jangan menangis, Wiro...," Anjarweni berusaha menguatkan diri. "Aku
sekarang merasa sangat bahagia. Cintamu kubawa ke alam
nirwana, Wiro. Aku menunggumu di... sa... na...."
"Weni,..!"
Wirogundi mengguncang-guncangkan tu-
buh Anjarweni. Hatinya diliputi kekalutan yang
sangat. Dia pun menangis menggerung-gerung
menyesali kepergian kekasihnya menghadap Sang
Penguasa Tunggal.
Saat itulah Margana Kalpa berhasil menja-
tuhkan tangan maut terhadap belasan orang ang-
gota perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
sedang mengeroyoknya. Kemudian, lelaki berwa-
jah pucat itu menghemposkan tubuhnya ke atas.
Melenting dengan cepat dan menerjang Wirogundi
yang masih terbelenggu rasa sedih.
Gede Panjalu yang melihat bahaya men-
gancam jiwa salah seorang muridnya segera me-
loncat seraya mengayunkan tongkat. Dia memba-
talkan serangannya terhadap Bayangan Hitam
demi menyelamatkan nyawa Wirogundi!
Thak....! "Argh...!"
Kakek bongkok itu berhasil menyerampang
tulang kering kaki Margana Kalpa. Tubuh lelaki
berwajah pucat itu jatuh terjerembab ke tanah.
Serangannya terhadap Wirogundi pun menemui
kegagalan. Bayangan Hitam buru-buru melancarkan
pukulan jarak jauh ke arah Gede Panjalu yang
belum sempurna benar mendaratkan kakinya di
atas tanah. Tapi, kakek bongkok itu telah mendu-ga akan datangnya serangan
tersebut. Dia meng-
gedrukkan ujung tongkatnya ke tanah. Tubuh se-
sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
pun melayang ke samping, membuat pukulan ja-
rak jauh Bayangan Hitam menerpa tubuh para
anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang sedang
bertempur tak seberapa jauh dari tempatnya.
Galang Gepak atau Bayangan Hitam meng-
geram penuh amarah. Tubuh beberapa temannya
sendiri yang terlontar tiada bernyawa akibat serangannya.
Lelaki berjanggut panjang itu segera me-
nerjang Gede Panjalu dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat. Kedua tangan
dan kakinya berkelebatan, mencari jalan kema-
tian di tubuh sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Bersamaan dengan itu Malaikat Bangau
Sakti melancarkan pukulan maut ke arah dada
Gede Panjalu. Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Cepat kakek bongkok itu memutar tong-
katnya. Serangan beruntun dari dua lawannya
menemui jalan buntu. Tapi, Galang Gepak dan
Margana Kalpa adalah dua orang tokoh sesat
yang sulit dicari tandingannya. Mereka mencecar tubuh Gede Panjalu dengan
kecepatan gerak yang
sulit diikuti pandangan mata. Sesepuh Perkum-
pulan Tongkat Sakti itu tampak kewalahan.
"Keparat...! Kuhancurkan tubuhmu, Manu-
sia Busuk...!" teriak Wirogundi tiba-tiba. Diterjangnya Malaikat Bangau Sakti
dengan tongkat di tangan.
"Justru aku yang akan meremukkan tu-
lang-tulangmu, Gembel Kudisan...!" maki Margana Kalpa sambil menepis serangan.
Lelaki berwajah pucat itu segera memain-
kan jurus-jurus bangau andalannya. Tapi, Wiro-
gundi berusaha mendahului serangan. Dia me-
mutar tongkat tanpa pernah mempedulikan luka
di bahu kanannya.
"Kau harus membayar hutang nyawa keka-
sihku, Keparat!"
Teriakan penuh amarah Wirogundi mem-
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahana di angkasa. Tapi, segera tersapu oleh ta-wa Margana Kalpa yang
berkepanjangan.
Walaupun Wirogundi telah mengerahkan
segala kemampuannya, tapi Margana Kalpa sang-
gup menepis semua serangan pemuda bertubuh
kurus itu. Bahkan, Malaikat Bangau Sakti berha-
sil mematahkan tongkat Wirogundi untuk kedua
kalinya. Lelaki berwajah pucat itu kemudian meng-
hemposkan tubuhnya. Dia melancarkan tendan-
gan melingkar ke arah kepala Wirogundi!
"Argh...!"
Wirogundi berhasil meloncat. Tapi pung-
gungnya sebagai ganti sasaran. Tubuh kurus pe-
muda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mencelat, lalu bergulingan di atas tanah.
Tanpa mau memberi kesempatan untuk
bangkit, Margana Kalpa melancarkan pukulan ja-
rak jauhnya! Gede Panjalu segera menyambar tu-
buh Wirogundi yang bergulingan ke arahnya.
Blaaammm... Pukulan jarak jauh Malaikat Bangau Sakti
menerpa tanah, membuat kubangan dalam yang
cukup untuk mengubur seekor gajah. Bumi pun
berguncang bagai dilanda gempa. Bongkahan ta-
nah bercampur debu beterbangan, mengaburkan
pandangan. Akibat buruk diterima oleh Gede Panjalu.
Dia yang baru saja menyelamatkan jiwa Wirogun-
di, merasakan gedoran dahsyat di bahu kiri. Jerit tertahan keluar dari mulut
kakek bongkok itu.
Darah segar menyembur akibat pukulan Bayan-
gan Hitam. Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi terus
bergulingan di atas tanah, hingga jatuh ke jurang yang berada di sisi belakang
pemukiman para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Margana Kalpa dan Galang Gepak segera
meloncat ke bibir jurang. Ketika mereka mengetahui kedalaman jurang yang tak
terlihat dasarnya, dua tokoh sesat itu tertawa terbahak-bahak.
"Tunjukkan batang hidungmu, Suropati!"
teriak Malaikat Bangau Sakti kemudian. Sua-
ranya menggema ke seantero Bukit Pangalasan.
Saat itulah seberkas cahaya kebiru-biruan
meluncur deras ke arah Margana Kalpa! Lelaki
berwajah pucat itu langsung meloncat.
"Dedemit Busuk! Kenapa kau membokong-
ku"!" teriak Margana Kalpa.
"Itu adalah salam perkenalan dari Penge-
mis Binal!" ucap Suropati yang rupanya telah hadir di tempat itu.
"Ha-ha-ha...." Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak untuk kesekian
kalinya. "Rupanya kedatanganku tidak sia-sia. Aku akan melumatkan tubuhmu, Bocah
Gemblung...!"
Selesai berkata demikian, lelaki berwajah
pucat itu menerjang Suropati. Galang Gepak pun
ikut mengeroyok. Tapi sebuah kibasan angin pu-
kulan melontarkan tubuhnya.
"Aku tak butuh bantuanmu, Kroco...!" hardik Margana Kalpa.
Galang Gepak terkejut. Dia menumpahkan
kekesalannya kepada para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang masih bertempur
dengan gigih. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut
Pengemis Binal waktu dia membalas terjangan
Malaikat Bangau Sakti. Rupanya, hawa amarah
telah melumuri jiwa remaja konyol itu. Tempat
perkumpulannya telah menjadi lautan darah.
Tanpa mau membuang waktu, Suropati se-
gera mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya. Dia
mencecar tubuh Margana Kalpa bagai hujan de-
ras yang tiada henti. Tentu saja Margana Kalpa
tak mau kalah. Dengan jurus-jurus bangau anda-
lannya, dia membuat serangan balik yang tak ka-
lah hebat. Hingga lewat sepuluh jurus kemudian, ti-
ba-tiba Malaikat Bangau Sakti meloncat ke bela-
kang menjauhi arena pertempuran.
"Apa yang kau takutkan, Bangsat"!" umpat Pengemis Binal.
"Cih! Siapa yang takut"!" balas Margana Kalpa, "Aku tak mau bermain-main dengan
mengandalkan ilmu silat penjual obat! Aku ingin segera menyudahi pertempuran ini
dengan ilmu pa-
mungkas!" "Baik! Kuturuti kemauanmu!"
Mendengar ucapan itu, Malaikat Bangau
Sakti melangkah mundur satu tindak. Ditariknya
udara sebanyak-banyaknya. Mendadak tubuh la-
ki-laki itu memancar cahaya kelabu. Lalu dia melangkah perlahan mendekati
Suropati. "Dengan ilmu 'Kabut Kelabu' aku ingin me-
lihatmu mati perlahan-lahan, Bocah Gemblung!"
"Segera kau buktikan ucapanmu itu!" tantang Suropati dengan berani.
Dengan menempelkan kedua telapak tan-
gan di depan dada, Pengemis Binal menghimpun
kekuatan semesta. Lalu, dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan.
Sambil tertawa lebar, Margana Kalpa beru-
saha menempelkan kedua telapak tangannya
yang menyorong ke kepala Suropati.
Tapi.... Blaaarrr...! Sebuah ledakan membahana di angkasa.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti terlontar ke udara, kemudian meluncur masuk ke dalam
jurang! Rupanya ilmu 'Kabut Kelabu' tak mampu
menandingi ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
milik Pengemis Binal.
Melihat Margana Kalpa berhasil dikalahkan
Suropati, semua anggota Perkumpulan Bangau
Sakti lari terbirit-birit. Mereka tidak punya nyali lagi untuk melanjutkan
pertempuran. Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam menggeram keras ke
arah Suropati. Tapi mereka segera menyusul ke-
pergian teman-temannya.
Puncak Bukit Pangalasan benar-benar jadi
tempat tebaran mayat manusia. Tubuh-tubuh
tanpa nyawa mengonggok bagai sampah. Para
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang tinggal di situ kini tinggal belasan orang.
Melihat demikian, Suropati memerintahkan para
anggotanya untuk menguburkan mayat-mayat
yang berserakan. Dia sendiri berjalan perlahan
menuju padepokan.
SELESAI Lalu, bagaimana nasib Gede Panjalu dan Wiro-
gundi yang jatuh ke dalam jurang"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
DENDAM PARA PENGEMIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Peristiwa Merah Salju 12 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Pendekar Aneh Naga Langit 34
Blaaarrr...! Gabungan ketiga pukulan jarak jauh itu
membentur cahaya hitam. Tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti langsung berhenti berputar. Namun, dia tertawa terbahak-bahak
mengiringi tubuhnya
yang mendadak melesat di udara.
Dees... dees... dees...!
Tubuh Setan Betina, Dewa Laknat, dan
Pencabik Sukma terbanting ke tanah terkena ten-
dangan Margana Kalpa. Tawa Lelaki berwajah pu-
cat itu terdengar makin keras, membuat jantung
orang-orang yang berada di tempat itu berdegup
kencang. Ketiga tokoh sesat yang tergeletak di tanah
bergegas bangkit berdiri. Mereka membentuk ba-
risan berjajar dan saling merangkul. Kemudian, berloncatan hingga membentuk
barisan di mana
Setan Betina berada di depan. Di belakangnya
Dewa Laknat menempelkan telapak tangan di
punggung wanita cantik itu. Di belakang sekali
Pencabik Sukma berbuat serupa. Kekuatan tena-
ga dalam tiga tokoh sesat itu kini telah disatukan!
Malaikat Bangau Sakti hanya menatap
dengan sinis. Kedua telapak tangannya lalu di gerakkan seperti sedang mengusap
suatu benda. Slaps...! Muncul cahaya kelabu di depan tubuh le-
laki berwajah pucat itu.
"Tunggu apa lagi" Segera kirim Malaikat
Kematian kepadaku!" teriak Margana Kalpa.
Setan Betina menggeram. Kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan untuk mengi-
rimkan pukulan jarak jauh.
Blaaammm...! Ledakan yang sangat dahsyat terdengar.
Pukulan jarak jauh Setan Betina yang disaluri
kekuatan tenaga dalam kedua temannya mem-
bentur cahaya kelabu di depan tubuh Malaikat
Bangau Sakti. Suatu pemandangan yang menggiriskan
terjadi. Dinding bangunan megah berguncang ke-
ras bagai terlanda gempa. Genteng-genteng ter-
lontar dari tempatnya. Yang lebih mengerikan
adalah teriakan kematian dari lima puluhan ang-
gota Perkumpulan Bangau Sakti. Tubuh mereka
yang sedang saling serang mendadak jatuh berge-
letakan dengan lubang hidung dan telinga menga-
lirkan darah segar.
Sedangkan Setan Betina, Dewa Laknat,
dan Pencabik Sukma terlontar jauh hingga men-
jebolkan benteng setebal satu depa. Ketiga tokoh sesat itu masih sempat
menggeliat. Lalu, mengejang dan diam tak berkutik untuk selama-
lamanya. Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. "Tak ada seorang manusia pun yang boleh menghalangi cita-citaku untuk
merajai rimba persilatan!"
Margana Kalpa mengakhiri ucapannya
dengan suitan nyaring.
"Kaaakkk...!
Muncul bangau hitam raksasa yang ter-
bang rendah. Margana Kalpa meloncat, dan hing-
gap tepat di punggung bangau raksasa itu.
"Kaaakkk..!"
Sayap bangau sakti mengepak. Burung itu
melesat cepat menuju lereng bukit di mana per-
tempuran antara anak buah Margana Kalpa me-
lawan para pengikut Narakasura sedang berlang-
sung. Orang-orang yang membelot dari Perkum-
pulan Bangau Sakti terdesak oleh tangan maut
yang dilancarkan Penyedot Arwah dan Bayangan
Hitam. Dengan kedatangan Malaikat Bangau Sak-
ti, mereka jadi semakin terdesak. Sebentar saja nyawa mereka melayang tiada
tersisa. Bangau hitam berdiri tegak di atas tanah.
Di punggungnya Margana Kalpa menatap gusar
pada jumlah anak buahnya yang tinggal dua ra-
tus orang. "Apakah kita akan meneruskan perjalanan
ke Bukit Pangalasan?" tanya Galang Gepak atau Bayangan Hitam.
"Untuk kembali ke markas kita sudah ke-
palang-tanggung," jawab Malaikat Bangau Sakti.
"Jadi, niat untuk menggempur Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti tetap diteruskan?"
"Benar!" Margana Kalpa mengangguk mantap, "Kau bersama Galungking Saba harus
dapat memimpin para anggota perkumpulan kita. Sece-patnya menuju Bukit
Pangalasan!"
"Hamba akan menjalankan perintah se-
baik-baiknya," sahut Galang Gepak.
Lelaki berjanggut panjang itu segera men-
gatur para anggota Perkumpulan Bangau Sakti
untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Malai-
kat Bangau Sakti langsung terbang bersama ban-
gau raksasanya.
5 Di sebuah gua yang terletak di Bukit Ra-
wangun sesosok tubuh terbujur kaku. Napas dan
detak jantungnya sudah berhenti. Tapi, suhu ba-
dannya masih normal. Hal itulah yang membuat
daging sosok tubuh itu tidak membusuk, walau
telah enam candra lebih terbaring di sana.
Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Pemuda itu mati suri akibat terkena kehebatan
ilmu 'Cahaya Sesat' saat bertempur melawan Se-
kar Mayang di Lembah Tengkorak.
Seorang pemuda berwajah lembut berjalan
perlahan membawa tongkat yang diketuk-
ketukkan di atas tanah. Dihampirinya tubuh Su-
ropati. "Suro...," panggil pemuda itu yang tak lain Raka Maruta atau Pendekar
Kipas Terbang. Kedua matanya buta oleh serangan racun abdi Se-
kar Mayang yang berjuluk Setan Racun.
Pemuda berwajah lembut itu meraba-raba
Suropati. Tak lama kemudian keluar rintihan dari mulutnya. Raka Maruta menangis
dalam haru. Seorang pemuda tampan berambut pirang mun-
cul dan menepuk bahunya.
"Pendekar Cengeng..." kata pemuda tampan itu yang tak lain Kapi Anggara atau si
Pendekar Asmara. Raka Maruta hanya meraba tangan
sahabatnya. Lalu, menundukkan kepala dalam-
dalam. "Bagi seorang pendekar, nilai pengorbanan untuk menegakkan kebenaran tak
perlu disesali,"
ucap Kapi Anggara menasihati.
"Siapa yang menyesali?" kata Raka Maruta bernada protes.
"Lalu, kenapa kau menangis?"
"Aku hanya merasa kasihan kepada diriku
sendiri. Mataku buta, Anggara. Aku juga tidak bi-sa berbuat apa-apa untuk
menolong Suropati
yang telah kuanggap sebagai adik kandungku!"
"Kalaupun matamu bisa melihat, apakah
kau akan dapat menolong Suropati" Tidak, Maru-
ta! Banyak tokoh sakti yang dapat melihat tapi
tak mampu mengembalikan jiwa Suropati."
Mendengar ucapan Kapi Anggara, Raka
Maruta diam termenung. Memang benar apa yang
dikatakan Kapi Anggara.
"Ke mana Wajah Merah?" tanya pemuda
berwajah lembut itu kemudian.
"Sebentar lagi dia akan datang." Bersamaan dengan usainya kalimat Kapi Anggara,
seo- rang lelaki tua berjalan terbungkuk menghampiri mereka.
Rambut Lelaki tua itu sudah berwarna pu-
tih semua. Dibiarkannya tergerai sampai di punggung. Kulit tubuhnya putih
bersih. Terbungkus
pakaian berwarna kuning. Tapi, yang membuat
penampilan lelaki tua itu tampak aneh adalah kulit wajahnya yang bersemu merah
seperti tomat matang. Karena itulah dia dijuluki si Wajah Me-
rah. Lelaki tua itu dikenal di rimba persilatan sebagai seorang tabib terkenal.
"Kalian minggirlah," perintah Wajah Merah seraya memberi isyarat dengan tangan.
Raka Maruta beringsut menjauhi tubuh
Suropati. Kapi Anggara berjalan mendekati Wajah Merah yang duduk bersila.
"Kau juga minggir!" bentak tabib pandai itu. Kapi Anggara bergegas menjauh.
Diperha- tikannya wajah lelaki tua yang telah menyembuh-
kan luka dalamnya akibat gempuran Iblis Darah
di Lembah Tengkorak.
Wajah Merah menyedekapkan kedua tan-
gan. Matanya terpejam rapat. Alam pikiran tabib pandai itu segera mencapai
keheningan. Sebentar kemudian, mata batinnya melihat
cahaya terang. Jiwa Wajah Merah melesat lepas
dari raganya. Dalam wujud tubuh gaib tabib pandai itu
berjalan mendekati pusat cahaya. Tampaklah
olehnya jiwa Suropati sedang meronta-ronta dari kepungan cahaya kuning kemerahan
yang me-menjarakannya,
"Kau diamlah di tempatmu, Suro...," kata Wajah Merah dalam kekuatan batin. "Aku
akan mencoba membebaskanmu."
"Cepatlah, Kek! Sebentar lagi makhluk me-
nyeramkan itu akan membakarku!" teriak Suropati. "Tenanglah! Cahaya yang
memenjarakan-mu akan kuhancurkan!"
Wajah Merah menarik napas panjang. Lalu,
tangan kanannya menyampok. Tapi, sinar putih
yang meluncur dari telapak tangan tabib pandai
itu terpental balik!
Wajah Merah menjerit kecil. Tubuh gaibnya
bergetar keras bagai digedor tangan raksasa.
"Cahaya itu sangat kuat menjerat jiwa Su-
ropati. Akan kucoba menghancurkannya sekali
lagi...." Tangannya direntangkan ke atas untuk
menyedot tenaga gaib sebanyak-banyaknya. Ke-
mudian, Wajah Merah mendengus seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangan ke depan.
Slaps...! Hempasan tenaga gaib tabib pandai itu
berbalik. Tubuh gaib Wajah Merah terlontar jauh.
Tapi, dia segera bangkit berdiri dan kembali berjalan mendekati pusat cahaya
yang memenjarakan
tubuh Pengemis Binal.
"Kau gagal, Kek?" tanya remaja konyol itu.
"Waduh! Makhluk mengerikan itu akan segera datang untuk membakarku. Tamatlah
riwayatku..."
"Tenanglah, Suro!" bentak Wajah Merah.
"Aku akan mencari kelemahan dari cahaya yang memenjarakanmu."
Mata tabib pandai itu terlihat menyorotkan
sinar aneh. "Aku butuh bantuan, Suro...," katanya kemudian.
Weeesss....! Tubuh gaib Wajah Merah menghilang. Ji-
wanya kembali ke alam nyata. Badan kasar tabib
pandai itu yang tengah duduk bersila di sisi tubuh Suropati bergoyang sebentar.
Kemudian, ke- dua matanya terbuka.
"Jiwa Suropati terpenjara...," beritahu Wajah Merah pada Raka Maruta dan Kapi
Anggara. "Aku butuh bantuan untuk membebaskannya."
"Aku bersedia, Kek!" sambut Raka Maruta penuh semangat. Dia berjalan dengan
bantuan tongkatnya mendekati Wajah Merah.
"Tapi, nyawa taruhannya...," kata Wajah Merah memperingatkan.
"Aku tidak takut. Dalam keadaan buta se-
perti ini, apa gunanya hidup lama. Lebih baik
mengorbankan nyawaku untuk keselamatan sa-
habat yang kucintai."
"Baiklah. Kalau begitu mendekatlah ke ma-
ri...." Wajah Merah dan Raka Maruta duduk bersila berhadapan. Kedua tangan Wajah
Merah me- nempel di bahu Raka Maruta. Demikian pula se-
baliknya. Dengan mata terpejam, badan halus Raka
Maruta dibimbing oleh Wajah Merah untuk me-
nembus alam gaib di mana jiwa Suropati terpen-
jara. "Kau lihat pusat cahaya itu, Maruta...,"
tanya Wajah Merah kemudian setelah mencapai
tempat yang dituju.
"Ya. Aku melihat tubuh Suropati dilapisi
cahaya kuning-kemerahan."
"Apa yang kau lihat itu bukan tubuh Suro-
pati, melainkan rohnya...," beritahu Wajah Merah.
"Sekarang kau bersiap-siaplah, Maruta. Badan halusmu akan kukirim masuk ke dalam
pendaran cahaya itu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Raka Maruta kebingungan.
"Kumpulkan seluruh kekuatan batinmu
dengan berlambarkan ilmu 'Hati Suci' yang kau
miliki. Setelah aku memberi aba-aba, gempurlah
cahaya kuning-kemerahan itu," Wajah Merah
memberi petunjuk.
Usai mengucapkan kalimatnya, Wajah Me-
rah lalu berdiri di belakang Raka Maruta. Kedua telapak tangannya mengusap
punggung pemuda
berwajah lembut itu. Sesaat kemudian... badan
halus Raka Maruta terlontar, dan membentur roh
Suropati. "Eh! Kau, Maruta...?" kata Pengemis Binal kaget. "Apakah kau mau bunuh diri" Aku
di sini sedang berkutat melawan maut. Kenapa kau malah menyusul?"
"Hush! Aku hendak menolongmu!" tukas
Raka Maruta. "Bagaimana caranya?"
"Aku datang bersama Wajah Merah."
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu Wajah Merah menggeram.
Jengkel dia melihat dua orang sahabatnya itu malah bercakap-cakap.
"Jangan bertindak bodoh, Maruta!" teriak tabib pandai itu. "Kekuatan kita untuk
menembus alam nirwana ada batasnya. Kita tidak bisa
berlama-lama tinggal di tempat ini!"
"Maafkan aku, Kek...," kata Raka Maruta.
"Segera kita gempur cahaya yang memenjarakan ini." Pemuda berwajah lembut itu
kemudian mengumpulkan kekuatan batinnya yang dilamba-ri ilmu 'Hati Suci'. Lalu,
kedua tangannya menghentak ke depan.
Bersamaan dengan itu Wajah Merah
menghantamkan tenaga gaibnya.
Srash...! Cahaya kuning-kemerahan mengitari tu-
buh gaib Raka Maruta dan Suropati tiba-tiba le-
nyap, meninggalkan suara seperti desisan ular.
"Kau telah bebas, Suro...!" teriak Raka Maruta girang.
Pengemis Binal menatap wajah sahabatnya
sejenak, lalu menghambur untuk memeluknya.
Tanpa mereka sadari di tempat itu telah muncul
sesosok makhluk berwujud mengerikan. Telapak
tangannya yang sebesar tubuh gajah langsung
menyambar tubuh gaib Raka Maruta dan Suropa-
ti! "Awas...!" teriak Wajah Merah.
Sayang peringatan itu terlambat datang-
nya. Tubuh halus dua pendekar muda itu berha-
sil disambar. Dan, tangan raksasa si makhluk
mengerikan langsung meremas. Wajah Merah bu-
ru-buru menghantamkan tenaga gaibnya
Splash...! Tubuh makhluk mengerikan itu mengge-
liat. Remasan tangannya mengendor. Kesempatan
itu tak disia-siakan Raka Maruta dan Suropati.
Mereka segera meloncat. Tapi, tiba-tiba makhluk mengerikan itu menyemburkan api!
"Awas, Suro...!" teriak Raka Maruta seraya mendorong tubuh halus Pengemis Binal.
Malang bagi dirinya. Semburan api berhasil mengepung
tubuh halus Raka Maruta. Diiringi jeritan pan-
jang, tubuh halus pemuda berwajah lembut itu
terbakar, lalu lenyap.
Suropati dan Wajah Merah memandang
dengan perasaan ngeri. Tapi sebelum sesuatu
yang tak diinginkan terjadi, Wajah Merah telah
menyambar tubuh halus Suropati untuk memba-
wanya kembali ke alam nyata.
Badan kasar Pengemis Binal yang tergele-
tak di atas batu besar menggeliat. Bersamaan
dengan itu Wajah Merah membuka kedua ma-
tanya. Kedua tangannya yang menempel di bahu
Raka Maruta dilepaskan. Dan badan kasar pemu-
da berwajah lembut itu jatuh terjengkang.
"Pendekar budiman...," gumam Wajah Merah. "Semoga Tuhan mengampuni segala do-
sanya." Wajah Merah terpekur sejenak mengenang
kebaikan Raka Maruta yang rela mengorbankan
dirinya untuk menolong sahabatnya.
"Uh...! A...!"
Tiba-tiba terdengar suara keluhan. Wajah
Merah menoleh. Dilihatnya tubuh Suropati berge-
rak-gerak mengejang bagai ayam habis disembe-
lih. "Kenapa dia, Kek...?" tanya Kapi Anggara yang berada di sisi batu besar. Matanya
memandang dengan penuh kekhawatiran.
Wajah Merah tak memberi jawaban. Mata
batinnya sedang bekerja.
"Roh Suropati masih ditahan oleh kekua-
tan gaib...," gumam tabib pandai itu kemudian.
Wajah Merah segera duduk bersemadi. Tu-
buh halusnya kembali melayang menembus alam
nirwana. Tabib pandai itu terkejut bukan main keti-
ka mata batinnya melihat tubuh halus Suropati
meronta-ronta di tengah garis cahaya kuning-
kemerahan. Dan, makhluk mengerikan yang baru
saja memangsa tubuh halus Raka Maruta tampak
mengeluarkan sinar putih dari kedua tangan rak-
sasanya. Dia berusaha menyeret tubuh halus Su-
ropati yang sudah berada di tengah-tengah alam
gaib dan alam nyata.
"Hei! Makhluk Gaib...!" teriak Wajah Merah.
"Manusia tidak pernah mengusik kaummu. Tapi kenapa kau ingin menyiksa seorang
anak manusia?" "Ha-ha-ha...!" makhluk mengerikan itu tertawa. "Siapa bilang
manusia tidak pernah mengusik kaumku" Manusia-manusia picik yang haus
nafsu keduniawian biasa memuja kaumku. Tapi,
mereka kemudian memperbudak untuk mewu-
judkan segala keinginannya!"
"Setelah mereka menemui ajal, bukankah
roh mereka ganti diperbudak oleh kaummu?" balas Wajah Merah.
"Huh! Itu masih belum cukup!"
"Terserah apa katamu! Tapi, lepaskan roh
anak manusia yang tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu itu!"
"Siapa sudi! Justru aku pun akan memen-
jara roh-mu, Manusia Usil! Kau terlalu lancang!"
teriak makhluk mengerikan. Mulutnya kemudian
menyemburkan api yang segera menghujani tu-
buh halus Wajah Merah.
Karena di tempat itu telah dipenuhi lautan
api yang menerpa dari atas, tak ada cara lain bagi Wajah Merah untuk meloloskan
diri, kecuali menghantamkan tenaga gaibnya
Srash...! Lautan api itu buyar. Tapi, kaki makhluk
mengerikan berusaha menginjak tubuh halus Wa-
jah Merah. Kembali tabib pandai itu menghan-
tamkan tenaga gaibnya. Si makhluk mengerikan
menggeliat kesakitan. Telapak kakinya terasa panas. Kesempatan yang hanya
sekejap itu tak
disia-siakan Wajah Merah. Dia segera menyo-
rongkan kedua telapak tangannya. Sinar putih
yang membelenggu tubuh halus Suropati lang-
sung lenyap. Wajah Merah segera menyambarnya.
Tapi, kibasan sinar putih menghantam!
"Argh...!"
Tubuh halus Wajah Merah terlontar. Suro-
pati yang sudah lepas dari biasan cahaya yang
membelenggunya menatap dengan perasaan nge-
ri. Beruntung pemuda itu segera menyadari kea-
daan yang ada. Tubuh halusnya melayang sece-
pat kilat mendahului luncuran sinar putih yang
akan menghempaskan tubuh halus Wajah Merah.
Si makhluk mengerikan menggeram. Men-
dadak, sinar putih yang meluncur dari telapak
tangannya melesat semakin cepat membentur
punggung Pengemis Binal!
Blab...! Sinar Putih itu buyar dan terlontar balik.
Jerit ngeri yang menyayat hati keluar dari mak-
hluk gaib berwujud menyeramkan.
Rupanya, dalam keadaan genting Suropati
masih sempat mengeluarkan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma'-nya. Sehingga, tubuh gaib
remaja konyol itu terlindungi cahaya kebiru-
biruan. "Selekasnya kita kembali ke alam nyata, Kek...!" kata Pengemis Binal
sambil memeluk tubuh halus Wajah Merah.
"Awas, Suro...!" teriak tabib pandai itu ketika melihat sinar putih kembali
meluncur deras.
"Heaaa...!"
Pengemis Binal meloncat sambil membo-
pong tubuh halus Wajah Merah.
"Makhluk mengerikan itu bergerak sema-
kin ganas. Kita harus segera berlalu dari tempat ini," kata remaja konyol itu.
"Kau siapkan kekuatan batinmu," ucap
Wajah Merah seraya menatap makhluk mengeri-
kan. Slaps...! Sinar putih yang keluar dari telapak tan-
gan makhluk mengerikan itu hanya mengenai an-
gin kosong, karena tubuh halus Suropati dan Wa-
jah Merah telah lenyap.
Badan kasar Wajah Merah tergeletak di
samping jasad Raka Maruta. Kapi Anggara meno-
pang kepala tabib pandai itu dengan tangan ka-
nannya. Sedangkan Suropati menatap dengan pe-
rasaan penuh haru.
"Aku berhutang budi kepadamu, Kek...,"
ucap Suropati. "Kau... kau tak perlu memikirkan itu, Su-
ro...," desak Wajah Merah yang terluka dalam sangat parah.
"Kau seorang pendekar yang sanggup me-
nyinari gelap rimba persilatan.... Aku senang berhasil menyelamatkanmu, meski
nyawaku taru- hannya..."
"Kek, aku akan menyalurkan hawa murni
ke tubuhmu"
Mata Wajah Merah mengerjap lemah. "Te-
rima kasih, Suro," ujarnya dengan suara seakan melemah.
"Kau... kau ambillah kitab yang berada di
balik bajuku. Aku mewariskannya kepada...
mu...." Usai mengucapkan kalimatnya, kepala tabib pandai itu terkulai. Suropati
mengeluarkan jerit tertahan. Kapi Anggara menatap haru seraya
menarik napas panjang. Diletakkannya kepala
Wajah Merah di lantai gua.
"Usahanya selama enam candra lebih un-
tuk menyelamatkan nyawamu tidak sia-sia, Su-
ro...," kata Kapi Anggara kemudian.
"Enam candra"!" Pengemis Binal keheranan "Ya."
"Jadi... jadi tubuhku terbaring di atas batu
besar itu selama waktu yang sedemikian panjang"
Tapi, kenapa badan kasarku bisa bertahan untuk
tidak membusuk?"
"Setiap hari Wajah Merah menyalurkan
hawa murni ke tubuhmu. Dan selama itu dia juga
memperdalam ilmu kesaktian, untuk membe-
baskan rohmu yang katanya ditahan makhluk ha-
lus." "Lalu, kenapa Raka Maruta juga rela mengorbankan nyawanya?"
"Ketika bertempur melawan Setan Racun di
Lembah Tengkorak, Raka Maruta terluka parah.
Wajah Merah berhasil menyelamatkan jiwanya.
Tapi, kedua mata pemuda berwajah lembut itu te-
lah terkena racun ganas yang tak dapat disem-
buhkan. Hingga membuat matanya buta."
Kepala Suropati tertunduk mendengar pe-
nuturan Kapi Anggara.
"Raka Maruta memang seorang sahabat se-
jati, Suro...," kata pemuda itu kemudian. "Hampir setiap hari dia menangisi
keadaannya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Ketika
Wajah Merah memerlukan seseorang yang sang-
gup menolong dirimu, dia bersedia...."
"Oh...."
Pengemis Binal mendekap wajahnya. Hati
remaja tampan itu diliputi perasaan haru yang
sangat. "Dua orang yang baik budi telah pergi karena usahanya untuk
menyelamatkan diriku...,
gumam Suropati. "Semoga arwah mereka ditem-
patkan di sisi Tuhan sebaik-baiknya."
"Kau ingat pesan terakhir Wajah Merah,
Suro?" tanya Kapi Anggara.
"Apa?"
"Bodoh! Kerbau pelupa!" ujar Kapi Anggara jengkel.
"Eh...."
Pengemis Binal mengerenyitkan dahi se-
raya menggaruk-garuk kepalanya.
"Sebal melihat kebiasaanmu itu!" umpat Kapi Anggara lagi.
"Kalau sebal jangan kau lihat!"
"Uh! Dasar kerbau!"
"Aku bukan kerbau!" bantah Suropati.
"Kalau bukan kerbau, coba kau ingat pe-
san terakhir Wajah Merah."
Suropati menggaruk-garuk kepala lagi.
"Ha-ha-ha...!" tawa Kapi Anggara meledak.
"Seekor kerbau memang berotak bebal!"
Pemuda tampan yang bergelar Pendekar
Asmara itu kemudian berjalan menghampiri jasad
Wajah Merah. Dikeluarkannya sebuah kitab dari
balik bajunya. "Hei! Aku ingat sekarang!" teriak Suropati.
"Wajah Merah mewariskan kitab itu kepadaku."
"Kau keliru. Kitab yang kupegang ini diwa-
riskan kepadaku."
"Tidak! Kau jangan ngawur, Anggara!" bantah Suropati.
"Siapa yang ngawur" Kaulah yang menga-
da-ada," sergah Kapi Anggara.
"Tidak! Kau harus menyerahkan kitab itu
kepadaku!" bentak Pengemis Binal bernada marah. "Ha-ha-ha...!"
Kapi Anggara tertawa terbahak-bahak.
"Bangsat!" umpat Suropati. "Kau rupanya seorang sahabat yang tidak bisa
dipercaya."
Pengemis Binal lalu menghemposkan tu-
buhnya berusaha menyambar kitab yang dipe-
gang Kapi Anggara. Sayang sambaran itu hanya
mengenai angin kosong.
"Bila kau menginginkan kitab ini, langkahi dulu mayatku!" tantang si Pendekar
Asmara. "Baik! Aku akan segera menginjak-injak
mayatmu." Suropati kembali menyerang dengan ganas.
Tapi, Kapi Anggara cuma tertawa-tawa sambil te-
rus menghindar. Lewat dua jurus kemudian, Pen-
gemis Binal meloncat dua tombak dari hadapan si Pendekar Asmara.
"Aku tidak peduli siapa kau. Wasiat orang
yang telah mati harus dipegang teguh...," ucap remaja konyol itu. "Dengan ilmu
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa,' aku akan mengantarkan nyawamu ke neraka,
Manusia Culas!"
Suropati segera mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke ujung jari telunjuknya
yang menyatu di depan dada. Sesaat kemudian,
asap tipis mengepul dari kepalanya yang bergetar.
"Tahan...!" teriak Kapi Anggara.
"Huh! Kau mau berkata apa lagi" Segera
kau serahkan kitab itu."
"Justru aku akan menghancurkannya,"
ujar Kapi Anggara dengan kalem.
Mata Pengemis Binal mendelik! Ditatapnya
kitab warisan Wajah Merah yang diremas oleh
Kapi Anggara. Suropati menjadi gusar terbawa
oleh rasa penasaran. Dia pun tercenung di tem-
patnya. Tak mampu berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, si Pendekar Asmara tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau memang kerbau dungu yang mudah diperdayai orang, Suro!"
katanya seraya melemparkan kitab yang dipegangnya.
Pengemis Binal buru-buru menyambut Di-
lihatnya kitab warisan Wajah Merah itu masih
utuh. Tak kurang suatu apa.
"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Suro...?"
ujar Kapi Anggara seraya tersenyum penuh ke-
menangan. Suropati menggaruk-garuk kepalanya. La-
lu, mengumpat sejadi-jadinya.
"Siapa yang mau merebut hak seorang sa-
habat, Suro...?" ucap si Pendekar Asmara sambil menepuk bahu Pengemis Binal.
Tapi, tiba-tiba remaja konyol itu men-
gayunkan kepalan tangannya.
Buuukkk...! Kapi Anggara meringis kesakitan. Perutnya
terasa mulas bagai kebanyakan makan sambal.
Dia pun segera memasang kuda-kuda untuk
mengawali serangan.
"Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-
nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Angga-
ra... ?" elak Suropati sambil tersenyum.
"Bangsat!" umpat si Pendekar Asmara
jengkel. Kena juga dia diperdayai sahabatnya itu.
Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk kepalanya. Melihat itu, Kapi
Anggara ikut tertawa.
"Kita harus segera menguburkan jenazah
Raka Maruta dan Wajah Merah...," kata Suropati kemudian dengan ucapan berubah
sendu. Bagai-manapun dia telah kehilangan sahabat-sahabat
yang selama ini telah membantunya.
Ketika remaja konyol itu hendak mengang-
kat jasad Wajah Merah, Suropati terkejut. Jasad tabib pandai itu masih hangat.
Dia pun segera memeriksa jasad Raka Maruta.
"Jasat pendekar budiman ini juga masih
hangat. Padahal waktu telah berlalu sekian lama.
Mungkinkah dia masih hidup?" tanya Suropati dalam hati.
Melihat Pengemis Binal tertegun, Kapi Ang-
gara segera menghampiri. Pemuda itu turut me-
meriksa jasad Wajah Merah dan Raka Maruta.
"Mereka dalam keadaan mati suri seperti
dirimu, Suro...," beritahu Kapi Anggara.
Kening Suropati berkerut. "Lalu, siapa lagi yang bisa menolong mereka?"
"Dengan Air Sakti roh Wajah Merah dan
Raka Maruta akan dapat kembali ke badan ka-
sarnya," beritahu Kapi Anggara.
"Di mana kita bisa memperoleh Air Sakti
itu?" "Air Sakti adalah air ajaib. Untuk menda-patkannya juga memerlukan
keajaiban."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku harus mendapatkan Air Sakti. Bagai-
manapun caranya. Aku akan mencarinya...," janji remaja konyol itu.
Setelah membaringkan jasat Wajah Merah
dan Raka Maruta di atas batu besar secara ber-
dampingan, Pengemis Binal melangkahkan ka-
kinya ke istana Kerajaan Anggarapura. Mereka
bersepakat untuk sementara akan berpisah.
6 Bukit Pangalasan terselimuti kabut. Sem-
burat cahaya mentari menyinari dalam kereman-
gan. Terang belum sempurna benar karena pagi
baru saja datang. Hawa dingin masih setia me-
nemani. Satwa-satwa pun malas beranjak.
Tanpa mempedulikan hawa dingin yang
menusuk tulang, ratusan manusia merayap naik
menuju puncak bukit dari arah utara dan sela-
tan. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam me-
mimpin di depan. Sementara di angkasa berputa-
ran seekor bangau raksasa berbulu hitam. Di
punggungnya bertengger Malaikat Bangau Sakti.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu melesat cepat menuju
sisi bukit sebelah utara. Kemudian mendarat di
atas tanah. Satwa yang tampak perkasa itu mengepak-
ngepakkan sayapnya, membuat angin berhembus
kencang dan hawa dingin terasa semakin menu-
suk tulang. "Galungking Saba...!" teriak Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti.
Sesosok bayangan hitam berkelebat. Lalu
berdiri tegak tiga tombak dari hadapan bangau
raksasa. "Hamba, Sang Ketua...," lapor bayangan hitam itu yang tak lain Penyedot Arwah.
"Kau bersama anak buahmu bergeraklah
menyerong ke arah barat. Dari arahmu berjalan
sekarang, banyak tebing terjal yang akan mem-
perlambat langkah kelompokmu."
"Hamba, Sang Ketua...," Galungking Saba membungkukkan badan.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Setelah lehernya ditepuk Margana Kalpa,
bangau raksasa terlihat mengepakkan sayapnya.
Burung itu kembali melesat ke angkasa membawa
tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Sementara itu di puncak bukit yang berta-
nah datar suasana sepi masih setia menamani.
Perkampungan di mana para anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti bermukim belum me-
nunjukkan tanda-tanda gerak kehidupan. Seba-
gian besar masih terlelap dibuai mimpi.
Di dalam sebuah rumah berdinding papan,
Gede Panjalu sedang bersemadi. Wajah kakek
bongkok yang penuh keriput itu membiaskan ca-
haya teduh. Rambut dan alisnya telah memutih
semua. Bersama hembusan napasnya yang teratur,
sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
mencapai puncak keheningan alam semesta. Tapi,
tiba-tiba dia membuka kelopak matanya seraya
menajamkan pendengaran.
"Aku mendengar suara yang tidak biasanya
di angkasa...," kata hati Gede Panjalu. "Seperti suara bangau raksasa yang
terbang cepat..."
Perlahan-lahan kakek bongkok itu bangkit
dari duduknya. Disambarnya sebatang tongkat
yang tersandar di dinding papan. Diambang pintu rumah Gede Panjalu menatap
suasana pagi yang
masih remang-remang. Dia segera mempertajam
pendengarannya kembali. Tapi, hanya kokok
ayam alaslah yang terdengar bersahutan.
"Aneh...," desis Gede Panjalu. "Apakah bangau raksasa itu hanya sekadar lewat.
Tapi, fi-rasatku mengatakan lain. Mungkinkah darah
manusia akan menyiram puncak Bukit Pangala-
san?" Mendadak, sesosok bayangan berkelebat.
Sosok itu berhenti di sisi Gede Panjalu yang sedang tercenung.
"Kau mendengar sesuatu yang mencuriga-
kan, Kek?" tanya sosok bayangan yang tak lain Wirogundi. Dia salah seorang tokoh
penting da- lam Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau juga mendengarnya, Wiro?" Gede Panjalu ganti bertanya.
"Ya. Dan, perasaanku tiba-tiba jadi merasa tidak enak."
"Aku pun demikian."
Gede Panjalu kemudian kembali terme-
nung. Bayangan Suropati berkelebat di depan ma-
tanya. "Selama enam candra lebih remaja konyol itu tidak menampakkan batang
hidungnya. Ke mana dia?" gumam Gede Panjalu dengan tarikan napas panjang-panjang.
"Kau berkata apa, Kek?" tanya Wirogundi tak jelas.
"Aku ingat Suropati,"
"Mungkinkah dia sedang mengalami sesua-
tu yang tak diinginkan?"
"Kau jangan berpikir yang macam-macam,
Wiro. Sebaiknya kita...."
Gede Panjalu tak sempat melanjutkan uca-
pannya. Tiba-tiba terdengar suara keras disertai lesatan burung bangau raksasa
berbulu hitam di
angkasa. "Bangau perkasa!" teriak Anjarweni yang tahu-tahu saja sudah muncul di samping
Wirogundi. Pemuda bertubuh kurus itu menolehkan
kepalanya sebentar menatap Anjarweni lalu,
kembali memperhatikan bangau raksasa yang
terbang rendah. Kibasan sayap bangau perkasa
itu membuat angin berhembus kencang yang
membawa hawa dingin.
"Suruh keluar Suropati!" teriak Malaikat Bangau Sakti yang bertengger di
punggung bangau raksasa.
"Siapa kau" Dan apa maksud kedatan-
ganmu"!" teriak Gede Panjalu yang disertai pengerahan tenaga dalam. Hingga
suaranya terdengar
sekeras halilintar.
"Ha-ha-ha...!"
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
tertawa. Dia meloncat dari bangau raksasa tung-
gangannya. Walaupun ketinggian yang dilaluinya
melebihi tinggi sebatang pohon kelapa, tapi telapak kaki lelaki berwajah pucat
itu sama sekali tak mengeluarkan suara ketika mendarat di atas tanah. Kenyataan
itu menandakan ilmu meringan-
kan tubuh Malaikat Bangau Sakti telah mencapai
taraf sempurna.
"Bila kalian belum tahu siapa raja di raja kaum sesat, akulah orangnya! Kalian
bisa memanggilku dengan sebutan Malaikat Bangau Sak-
ti, ketua Perkumpulan Bangau Sakti!" kata Margana Kalpa dengan suara lantang.
"Apa maksudmu datang kemari?" tanya
Gede Panjalu lagi penuh selidik.
"Aku ingin Suropati menampakkan batang
hidungnya!"
"Dia tidak ada!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. "Kalian sengaja menyembunyikannya.
Atau, dia sendiri yang bersembunyi karena ta-
kut"!" "Kau jangan menghina, Kisanak! Suropati memang tidak ada di sini. Kalau
Kisanak mempunyai kepentingan, datanglah lain waktu...,"
ucap Gede Panjalu tak senang mendengar Suro-
pati diremehkan.
"Rupanya kau berusaha menyembunyikan
Suropati di balik kata manismu, Orang Tua
Bongkok!" Margana Kalpa terus menyudutkan.
"Keparat!" umpat Wirogundi. "Kau kira siapa dirimu berani berkata seperti itu"!"
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa kembali tertawa terbahak-bahak.
"Seorang gembel busuk yang sedang marah
ternyata wajahnya berubah mirip monyet kebaka-
ran ekor!"
"Bangsat!"
Kemarahan Wirogundi tak dapat ditahan
lagi. Pemuda itu langsung menerjang. Tapi, Ma-
laikat Bangau Sakti telah meloncat kembali ke
punggung bangau raksasa.
"Bila Suropati tidak segera menampakkan
diri, aku akan mengobrak-abrik tempat ini!" ancam lelaki berwajah pucat itu
dengan tidak main-main. Tiba-tiba, bangau raksasa melesat cepat
seraya menyorongkan kedua cakarnya.
Braaakkk...! Rumah papan yang ditempati Gede Panjalu
hancur berantakan. Tiang penyangga roboh dan
genteng-genteng melayang dalam keadaan hancur
berkeping-keping, terhantam cakar bangau rak-
sasa. "Kaaakkk...! Kaaakkk...!".
Satwa perkasa itu terbang tinggi. Lalu
kembali menukik cepat bagai lesatan batu meteor, dan mendarat di atas tanah
dengan gagahnya.
"Segera panggil Suropati!" teriak Margana Kalpa marah.
"Suropati terlalu terhormat untuk men-
jumpai manusia busuk sepertimu!" sahut Wirogundi seraya menerjang dengan tongkat
di tan- gan. Mendadak, bangau raksasa mengibaskan
sayapnya hingga menimbulkan tiupan angin to-
pan. Wirogundi yang tak menyangka hal itu akan
terjadi tiada sempat mengendalikan gerak tubuh-
nya. Tubuh anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu terhempas ke tanah.
Bermunculanlah puluhan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya. Mere-
ka langsung mengepung Malaikat Bangau Sakti
dengan senjata tongkat.
"Kroco-kroco dungu! Kalian hanya mencari
mati!" teriak Margana Kalpa seraya menepuk bangau tunggangannya. Si bangau
raksasa kembali mengepakkan sayap.
"Weeesss...!"
Hembusan angin topan menerpa. Puluhan
tubuh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti terpental dengan diiringi jerit yang me-
nyayat hati.
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, puluhan lelaki bersenjata tongkat
lainnya muncul datang. Margana Kalpa menatap
sinis. Kemudian laki-laki itu bersuit nyaring.
Bermunculanlah para anggota Perkumpulan Ban-
gau Sakti dari arah utara dan barat bukit.
Pertempuran seru segera terjadi. Anak
buah Malaikat Bangau Sakti yang bersenjata go-
lok menerjang ganas bagai iblis haus darah. Di-
bantu oleh Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam,
mereka menyebar kematian!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat menerjang Gede
Panjalu. Tapi, kakek bongkok itu telah memper-
siapkan serangan mendadak.
Dada bangau raksasa terhantam pukulan
jarak jauh Gede Panjalu. Satwa perkasa itu
menggeliat ganas. Tubuh Malaikat Bangau Sakti
yang bertengger di punggungnya terlontar!
"Kaaakkk...!"
Bangau raksasa melesat cepat dan berlalu
dari tempat itu. Tinggallah Margana Kalpa men-
dengus penuh kemarahan.
"Aku akan mengirim nyawamu ke neraka,
Orang Tua Bongkok!" teriak lelaki berwajah pucat itu seraya menerjang.
"Kau lawan aku dulu, Manusia Busuk!" sahut Anjarweni balas menerjang.
"Weni! Jangan...!" Wirogundi memperingatkan, "Ingat bayi yang kau kandung!"
Tapi, Anjarweni tak mempedulikannya. Dia
menyerang Malaikat Bangau Sakti dengan jurus-
jurus maut. Margana Kalpa segera balas menye-
rang tak kalah hebatnya.
Anjarweni yang sebenarnya sedang men-
gandung tiga bulan tampak kerepotan menghada-
pi jurus-jurus aneh Malaikat Bangau Sakti. Melihat itu, Wirogundi langsung
memutar tongkat di
tangannya dengan kecepatan luar biasa. Bebera-
pa anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang se-
dang mengeroyoknya roboh tanpa mampu bangkit
lagi. "Kau menyingkirlah, Weni...!" teriak pemuda bertubuh kurus itu seraya
menerjang Malaikat Bangau Sakti.
"Kita hadapi manusia busuk itu bersama-
sama, Wiro!"
"Tidak! Ingat calon anak kita, Weni!"
Peringatan Wirogundi tak dipedulikan An-
jarweni. Dia segera mengerahkan ilmu 'Pukulan
Api Neraka'-nya. Angin pukulan berhawa panas
mencecar tubuh Margana Kalpa. Wirogundi beru-
saha menghunjamkan tongkatnya dengan ber-
lambarkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dis-
usul dengan jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'. Tapi, Malaikat
Bangau Sakti bukanlah lawan yang enteng. Tu-
buh lelaki berwajah pucat itu berubah jadi
bayangan. Di lancarkannya serangan yang lebih
hebat. Sementara itu Penyedot Arwah tampak
mengganas, menyebar kematian bagi para anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
Gede Panjalu segera meninggalkan para
pengeroyoknya setelah menjatuhkan tangan
maut. Diterjangnya Penyedot Arwah. Tapi Bayan-
gan Hitam telah memapaki.
"Hadapilah aku, Orang Tua Bongkok!" bentak lelaki berjanggut panjang itu seraya
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan dalam
jurus ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung.'
Wuuusss...! Sinar kuning meluncur deras ke arah Gede
Panjalu. Kakek bongkok itu segera menghem-
poskan tubuhnya ke atas. Dia terperangah. Tu-
buhnya yang limbung di udara terkena sambaran
angin pukulan jarak jauh Bayangan Hitam. Gede
Panjalu segera menyadari kehebatan lawan.
"Heaaa...!"
Sesepuh Perkumpulan Tongkat Sakti itu
kemudian memutar tongkatnya. Dihantamkannya
ke arah kepala Bayangan Hitam! Serangan itu
hanya mengenai angin kosong. Tubuh Bayangan
Hitam telah berkelebat sangat cepat.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Sapi
Tua!" ejek lelaki berjanggut panjang itu.
Gede Panjalu mendengus gusar. Dia segera
mengeluarkan rangkaian Jurus Tongkat Saktinya
yang digabungkan dengan jurus 'Pengemis Me-
minta Sedekah'!
"Heaaa...!"
Kakek bongkok itu menerjang ganas. Na-
mun, tubuh Bayangan Hitam berkelebatan seraya
melancarkan serangan balik, berusaha menghan-
tam lawan dengan ilmu 'Pukulan Penghempas
Gunung.' *** Sang baskara telah bergerak memayungi
kepala. Sinarnya menerpa tubuh ratusan manu-
sia yang tergeletak di atas tanah tiada bernyawa.
Darah yang berceceran telah mengering. Tapi, cai-ran darah baru muncrat dari
tubuh-tubuh yang
terluka. Bukit Pangalasan benar-benar jadi ajang pertempuran yang menggiriskan.
Para anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terdesak hebat Manusia-manusia
haus darah yang bernaung dalam Perkumpulan
Bangau Sakti terus mencecar lawan dengan teba-
san goloknya. Apalagi dibantu oleh Penyedot Ar-
wah. Anak buah Malaikat Bangau Sakti itu dapat
dengan mudah menjatuhkan tangan mautnya.
Sementara itu pertempuran antara Marga-
na Kalpa melawan Wirogundi dan Anjarweni ber-
jalan tak seimbang. Gerak tubuh Malaikat Ban-
gau Sakti yang berlambarkan jurus 'Bangau Men-
gejar Mangsa' sangat sulit diikuti pandangan ma-ta. Wirogundi dan Anjarweni jadi
kewalahan menghadapinya. Namun, semangat tempur sepasang keka-
sih itu tak pernah kendor. Mereka terus mencecar lawan dengan jurus-jurus
andalan. "Jaga kepalamu, Manusia Busuk!" kata Anjarweni seraya melancarkan tendangan
melingkar. "Jaga kepalamu sendiri, Babi Bunting!"
ucap Margana Kalpa menepis serangan. Kemu-
dian, dia menghantamkan kepalan tangannya ke
kepala Anjarweni.
Wuuuttt..! Gebukan tongkat Wirogundi telah menda-
hului. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke samp-
ing. Tapi, tongkat di tangan Wirogundi terus mengejar! Trak...!
Pemuda bertubuh kurus itu terkejut seten-
gah mati. Tangkisan lawan dapat mematahkan
senjata andalannya. Belum sempat dia menyadari
keadaan, Margana Kalpa telah melancarkan se-
buah tendangan!
Tubuh Wirogundi terlontar. Bahu kanan-
nya terkena sasaran serangan lawan. Dia berusa-
ha bangkit. Tapi pemuda itu hanya sanggup ber-
diri terhuyung-huyung untuk beberapa lama. Da-
ri sudut bibirnya meleleh darah segar.
Melihat orang yang dicintainya terluka, An-
jarweni menggeram marah. Tubuhnya digenjot ke
belakang. "Segera kau sambut kedatangan Malaikat
Kematian, Manusia Busuk...!" teriak murid Dewi Tangan Api itu.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya yang melambari ilmu 'Pukulan
Api Neraka', kedua pergelangan tangan Anjarweni
semakin marah membara. Dia meloncat ke depan
dengan telapak tangan disorongkan!
Melihat sinar merah yang meluncur deras
ke arahnya, Margana Kalpa segera mengibaskan
telapak tangannya. Muncullah cahaya kebiru-
biruan yang membentengi tubuh lelaki berwajah
pucat itu. Blaaarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membahana di
angkasa ketika dua kekuatan tenaga dalam ber-
temu. Tubuh Malaikat Bangau Sakti tetap berdiri tegak di tempatnya. Sedangkan
tubuh Anjarweni
mencelat jauh bagai dilemparkan tangan raksasa.
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa tertawa puas.
"Makan kesombohganmu, Babi Bunting!"
Wirogundi yang melihat adegan menggi-
riskan itu segera berlari. Dihampirinya tubuh kekasihnya yang tergeletak di atas
tanah. "Anjarweni...," panggil pemuda bertubuh kurus itu sambil mendekap kepala orang
yang dicintainya.
"Ma... maafkan aku, Wiro...," ujar Anjarweni lirih. Baju yang dikenakannya telah
basah oleh darah yang menyembur dari mulut.
"Kuatkan dirimu, Weni...."
"Ak... aku mengecewakanmu, Wiro.... aku
tidak bisa men... menjaga bayi dalam kandun-
ganku.... Ma... maafkan aku...."
"Ya. Aku memaafkanmu, Weni."
"Ak... aku ingin mendengar ucapan cinta-mu untuk yang terakhir kalinya...."
Mendengar ucapan kekasihnya, mata Wiro-
gundi menjadi sembab oleh genangan air mata.
"Aku mencintaimu dengan tulus suci, We-
ni...," kata pemuda bertubuh kurus itu kemudian.
Diciumnya kening Anjarweni dengan mesra.
Bibir murid Dewi Tangan Api itu mencoba
mengulum senyum. Tapi, rasa sakit menghentak
dalam dadanya. Dia pun meringis kesakitan.
"Weni!" teriak Wirogundi seraya mempererat dekapannya.
"Kau... kau jangan menangis, Wiro...," Anjarweni berusaha menguatkan diri. "Aku
sekarang merasa sangat bahagia. Cintamu kubawa ke alam
nirwana, Wiro. Aku menunggumu di... sa... na...."
"Weni,..!"
Wirogundi mengguncang-guncangkan tu-
buh Anjarweni. Hatinya diliputi kekalutan yang
sangat. Dia pun menangis menggerung-gerung
menyesali kepergian kekasihnya menghadap Sang
Penguasa Tunggal.
Saat itulah Margana Kalpa berhasil menja-
tuhkan tangan maut terhadap belasan orang ang-
gota perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
sedang mengeroyoknya. Kemudian, lelaki berwa-
jah pucat itu menghemposkan tubuhnya ke atas.
Melenting dengan cepat dan menerjang Wirogundi
yang masih terbelenggu rasa sedih.
Gede Panjalu yang melihat bahaya men-
gancam jiwa salah seorang muridnya segera me-
loncat seraya mengayunkan tongkat. Dia memba-
talkan serangannya terhadap Bayangan Hitam
demi menyelamatkan nyawa Wirogundi!
Thak....! "Argh...!"
Kakek bongkok itu berhasil menyerampang
tulang kering kaki Margana Kalpa. Tubuh lelaki
berwajah pucat itu jatuh terjerembab ke tanah.
Serangannya terhadap Wirogundi pun menemui
kegagalan. Bayangan Hitam buru-buru melancarkan
pukulan jarak jauh ke arah Gede Panjalu yang
belum sempurna benar mendaratkan kakinya di
atas tanah. Tapi, kakek bongkok itu telah mendu-ga akan datangnya serangan
tersebut. Dia meng-
gedrukkan ujung tongkatnya ke tanah. Tubuh se-
sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
pun melayang ke samping, membuat pukulan ja-
rak jauh Bayangan Hitam menerpa tubuh para
anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang sedang
bertempur tak seberapa jauh dari tempatnya.
Galang Gepak atau Bayangan Hitam meng-
geram penuh amarah. Tubuh beberapa temannya
sendiri yang terlontar tiada bernyawa akibat serangannya.
Lelaki berjanggut panjang itu segera me-
nerjang Gede Panjalu dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat. Kedua tangan
dan kakinya berkelebatan, mencari jalan kema-
tian di tubuh sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Bersamaan dengan itu Malaikat Bangau
Sakti melancarkan pukulan maut ke arah dada
Gede Panjalu. Wuuuttt...! Wuuuttt..!
Cepat kakek bongkok itu memutar tong-
katnya. Serangan beruntun dari dua lawannya
menemui jalan buntu. Tapi, Galang Gepak dan
Margana Kalpa adalah dua orang tokoh sesat
yang sulit dicari tandingannya. Mereka mencecar tubuh Gede Panjalu dengan
kecepatan gerak yang
sulit diikuti pandangan mata. Sesepuh Perkum-
pulan Tongkat Sakti itu tampak kewalahan.
"Keparat...! Kuhancurkan tubuhmu, Manu-
sia Busuk...!" teriak Wirogundi tiba-tiba. Diterjangnya Malaikat Bangau Sakti
dengan tongkat di tangan.
"Justru aku yang akan meremukkan tu-
lang-tulangmu, Gembel Kudisan...!" maki Margana Kalpa sambil menepis serangan.
Lelaki berwajah pucat itu segera memain-
kan jurus-jurus bangau andalannya. Tapi, Wiro-
gundi berusaha mendahului serangan. Dia me-
mutar tongkat tanpa pernah mempedulikan luka
di bahu kanannya.
"Kau harus membayar hutang nyawa keka-
sihku, Keparat!"
Teriakan penuh amarah Wirogundi mem-
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahana di angkasa. Tapi, segera tersapu oleh ta-wa Margana Kalpa yang
berkepanjangan.
Walaupun Wirogundi telah mengerahkan
segala kemampuannya, tapi Margana Kalpa sang-
gup menepis semua serangan pemuda bertubuh
kurus itu. Bahkan, Malaikat Bangau Sakti berha-
sil mematahkan tongkat Wirogundi untuk kedua
kalinya. Lelaki berwajah pucat itu kemudian meng-
hemposkan tubuhnya. Dia melancarkan tendan-
gan melingkar ke arah kepala Wirogundi!
"Argh...!"
Wirogundi berhasil meloncat. Tapi pung-
gungnya sebagai ganti sasaran. Tubuh kurus pe-
muda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mencelat, lalu bergulingan di atas tanah.
Tanpa mau memberi kesempatan untuk
bangkit, Margana Kalpa melancarkan pukulan ja-
rak jauhnya! Gede Panjalu segera menyambar tu-
buh Wirogundi yang bergulingan ke arahnya.
Blaaammm... Pukulan jarak jauh Malaikat Bangau Sakti
menerpa tanah, membuat kubangan dalam yang
cukup untuk mengubur seekor gajah. Bumi pun
berguncang bagai dilanda gempa. Bongkahan ta-
nah bercampur debu beterbangan, mengaburkan
pandangan. Akibat buruk diterima oleh Gede Panjalu.
Dia yang baru saja menyelamatkan jiwa Wirogun-
di, merasakan gedoran dahsyat di bahu kiri. Jerit tertahan keluar dari mulut
kakek bongkok itu.
Darah segar menyembur akibat pukulan Bayan-
gan Hitam. Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi terus
bergulingan di atas tanah, hingga jatuh ke jurang yang berada di sisi belakang
pemukiman para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Margana Kalpa dan Galang Gepak segera
meloncat ke bibir jurang. Ketika mereka mengetahui kedalaman jurang yang tak
terlihat dasarnya, dua tokoh sesat itu tertawa terbahak-bahak.
"Tunjukkan batang hidungmu, Suropati!"
teriak Malaikat Bangau Sakti kemudian. Sua-
ranya menggema ke seantero Bukit Pangalasan.
Saat itulah seberkas cahaya kebiru-biruan
meluncur deras ke arah Margana Kalpa! Lelaki
berwajah pucat itu langsung meloncat.
"Dedemit Busuk! Kenapa kau membokong-
ku"!" teriak Margana Kalpa.
"Itu adalah salam perkenalan dari Penge-
mis Binal!" ucap Suropati yang rupanya telah hadir di tempat itu.
"Ha-ha-ha...." Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak untuk kesekian
kalinya. "Rupanya kedatanganku tidak sia-sia. Aku akan melumatkan tubuhmu, Bocah
Gemblung...!"
Selesai berkata demikian, lelaki berwajah
pucat itu menerjang Suropati. Galang Gepak pun
ikut mengeroyok. Tapi sebuah kibasan angin pu-
kulan melontarkan tubuhnya.
"Aku tak butuh bantuanmu, Kroco...!" hardik Margana Kalpa.
Galang Gepak terkejut. Dia menumpahkan
kekesalannya kepada para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang masih bertempur
dengan gigih. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut
Pengemis Binal waktu dia membalas terjangan
Malaikat Bangau Sakti. Rupanya, hawa amarah
telah melumuri jiwa remaja konyol itu. Tempat
perkumpulannya telah menjadi lautan darah.
Tanpa mau membuang waktu, Suropati se-
gera mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya. Dia
mencecar tubuh Margana Kalpa bagai hujan de-
ras yang tiada henti. Tentu saja Margana Kalpa
tak mau kalah. Dengan jurus-jurus bangau anda-
lannya, dia membuat serangan balik yang tak ka-
lah hebat. Hingga lewat sepuluh jurus kemudian, ti-
ba-tiba Malaikat Bangau Sakti meloncat ke bela-
kang menjauhi arena pertempuran.
"Apa yang kau takutkan, Bangsat"!" umpat Pengemis Binal.
"Cih! Siapa yang takut"!" balas Margana Kalpa, "Aku tak mau bermain-main dengan
mengandalkan ilmu silat penjual obat! Aku ingin segera menyudahi pertempuran ini
dengan ilmu pa-
mungkas!" "Baik! Kuturuti kemauanmu!"
Mendengar ucapan itu, Malaikat Bangau
Sakti melangkah mundur satu tindak. Ditariknya
udara sebanyak-banyaknya. Mendadak tubuh la-
ki-laki itu memancar cahaya kelabu. Lalu dia melangkah perlahan mendekati
Suropati. "Dengan ilmu 'Kabut Kelabu' aku ingin me-
lihatmu mati perlahan-lahan, Bocah Gemblung!"
"Segera kau buktikan ucapanmu itu!" tantang Suropati dengan berani.
Dengan menempelkan kedua telapak tan-
gan di depan dada, Pengemis Binal menghimpun
kekuatan semesta. Lalu, dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan.
Sambil tertawa lebar, Margana Kalpa beru-
saha menempelkan kedua telapak tangannya
yang menyorong ke kepala Suropati.
Tapi.... Blaaarrr...! Sebuah ledakan membahana di angkasa.
Tubuh Malaikat Bangau Sakti terlontar ke udara, kemudian meluncur masuk ke dalam
jurang! Rupanya ilmu 'Kabut Kelabu' tak mampu
menandingi ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
milik Pengemis Binal.
Melihat Margana Kalpa berhasil dikalahkan
Suropati, semua anggota Perkumpulan Bangau
Sakti lari terbirit-birit. Mereka tidak punya nyali lagi untuk melanjutkan
pertempuran. Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam menggeram keras ke
arah Suropati. Tapi mereka segera menyusul ke-
pergian teman-temannya.
Puncak Bukit Pangalasan benar-benar jadi
tempat tebaran mayat manusia. Tubuh-tubuh
tanpa nyawa mengonggok bagai sampah. Para
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang tinggal di situ kini tinggal belasan orang.
Melihat demikian, Suropati memerintahkan para
anggotanya untuk menguburkan mayat-mayat
yang berserakan. Dia sendiri berjalan perlahan
menuju padepokan.
SELESAI Lalu, bagaimana nasib Gede Panjalu dan Wiro-
gundi yang jatuh ke dalam jurang"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
DENDAM PARA PENGEMIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Peristiwa Merah Salju 12 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Pendekar Aneh Naga Langit 34