Malaikat Bangau Sakti 2
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti Bagian 2
hat telah mempengaruhi syarafnya...," desis kakek itu seraya bergerak mendekati
si gadis. Kemudian, tangan kanan kakek itu men-
dekap kepala gadis berpakaian merah. Menda-
dak.... Slash...!
Tujuh batang jarum hitam melesat dan
menembus telapak tangan sang Resi. Tubuh si
gadis tersentak bersama keluhan kecil yang dikeluarkan sang Resi. Ketika kakek
itu menarik tangannya, darah merembes keluar. Tapi, dia tak begitu mempedulikan.
Langsung tangannya bersedekap dengan
kedua mata terpejam.
Melalui pengerahan seluruh kekuatan ba-
tinnya, sang Resi berusaha menghalau sisa keku-
atan sihir yang mencengkeram jiwa gadis berpa-
kaian merah. Sebentar kemudian, tubuh kedua
orang itu bergetar. Dengan perlahan sekali getaran itu akhirnya mereda.
Khrog...! Dari mulut si gadis keluar suara seperti
ayam disembelih. Lalu, tubuhnya mengejang dan
menghentak. Sesaat kemudian asap hitam men-
gepul dari kedua lubang telinganya. Bersamaan
dengan itu tubuh gadis berpakaian merah melorot ke tanah dan jatuh pingsan!
"Puji syukur ke hadirat Hyang Widhi...," bisik sang Resi.
Dibebaskannya totokan di tubuh si gadis,
lalu mengusap wajahnya. Gadis berpakaian me-
rah menggeliat lemah. Dia membuka matanya
dan bergerak bangkit.
"Apa yang terjadi?" tanya gadis itu mirip gumaman.
"Tenanglah...," ucap sang Resi. "Tetap du-duklah di tempatmu. Kau baru saja
terbebas dari pengaruh sihir jahat."
Bersamaan dengan usainya kalimat sang
Resi, gadis berpakaian merah merasakan aliran
darahnya terasa kacau bagai diaduk-aduk. Hal
itu membuat kepalanya pening dan pandangan
matanya mengabur.
"Bersemadilah!" perintah sang Resi.
Si gadis mengikuti petunjuk Kakek Resi.
Ternyata petunjuknya cukup berhasil. Rasa sakit yang mendera tubuhnya berhasil
dihilangkan. "Siapa namamu, Gadis Manis?" tanya sang Resi kemudian.
"Ingkanputri...," jawab si gadis. "Sebenarnya apa yang terjadi" Kenapa
perasaanku seperti sedang mengalami suatu kelahiran kembali?" Gadis bernama
Ingkanputri itu tampak kebingun-
gan. Sang Resi lalu menceritakan apa yang telah menimpa diri gadis itu. Setelah
mendengar kisah tersebut, Ingkanputri segera berlutut di hadapan sang Resi.
Dinyatakannya rasa terima kasih sambil menangis terharu.
Ingkanputri baru teringat kembali apa yang
menyebabkan dia sampai bisa berada di kedai
dan bertemu sang Resi.
Dia bersama Suropati terjerumus dalam lo-
rong jebakan di Lembah Tengkorak. Ingkanputri
hendak menjatuhkan tangan maut kepada Suro-
pati yang bermaksud menolongnya. Karena tak
melihat cara lain untuk menyelamatkan diri, dengan terpaksa Suropati melepas
dekapannya pada
tubuh Ingkanputri. Gadis itu pun meluncur jatuh ke dasar lorong.
Dalam keadaan gawat Ingkanputri masih
sempat menghunjamkan ujung selendangnya ke
dinding lorong. Tubuh Ingkanputri tertahan hing-ga tak terhempas ke dalam
lorong. Apa yang dilakukan gadis itu adalah hasil
ajaran Sekar Mayang, selama Perkumpulan Bida-
dari Lentera Merah masih berjaya. Sebagai anak
buah yang sangat diandalkan, Sekar Mayang me-
rasa perlu untuk mengajarkan pada Ingkanputri
mengenai ilmu memainkan selendang.
Dengan menghunjam-hunjamkan ujung se-
lendang ke dinding lorong, Ingkanputri merayap
naik. Gadis itu berhasil keluar dengan selamat.
Ketika dia berjalan hendak keluar dari Lembah
Tengkorak, Ingkanputri melihat sinar kehijauan
memancar dari sebuah benda bergulung terbuat
dari kulit harimau.
Ingkanputri memungut benda yang tergele-
tak tanah itu. Dibawanya ke mana pun dia pergi.
Tanpa disadarinya, benda itulah yang menyela-
matkannya dari pengaruh sihir jahat Sekar
Mayang hingga tak menjadikannya benar-benar
hilang ingatan.
"Sudahlah...," kata sang Resi. "Kau tak perlu larut dalam kesedihan. Seharusnya
kau ber- gembira. Dirimu telah kembali seperti sediakala."
"Bagaimana aku harus membalas budi
Eyang?" ujar Ingkanputri dengan kepala tertunduk. "Manusia diwajibkan untuk
saling tolong-menolong. Balas budi memang baik, tapi tidak di-
haruskan Hyang Widhi mengetahui kebaikan se-
seorang. Dia-lah yang akan membalas sega-
lanya...."
"Terima kasih, Eyang...," desis Ingkanputri.
Sang Resi menepuk bahu gadis itu. Lalu di-
tariknya pelan agar Ingkanputri berdiri.
"Kau ikutlah ke mana aku pergi. Jiwamu
perlu di sirami kasih Sang Penguasa Jagat," ajak Kakek Resi.
Ingkanputri tidak membantah. Dia me-
mang tidak memiliki siapa pun untuk tempatnya
bergantung. Gurunya, Dewi Tangan Api, tidak di-
ketahui di mana rimba.
Ketika Ingkanputri baru berjalan beberapa
tindak, gadis itu merasakan sesuatu mengganjal
di balik pakaian. Buru-buru Ingkanputri mera-
banya. "Apa ini?" desis Ingkanputri setelah mengeluarkan benda yang tidak pernah
diambilnya se- belum meninggalkan Lembah Tengkorak. Ru-
panya dia sudah lupa pada benda itu.
Dahi sang Resi yang memang sudah penuh
kerutan semakin berkerut menatap gulungan ku-
lit harimau yang dipegang Ingkanputri.
"Ada getaran aneh muncul dari dalam ben-
da itu...," gumam kakek tersebut. "Seperti sebuah benda wasiat dari seorang
tokoh sakti yang telah menyucikan diri."
Sang Resi lalu meminta gulungan kulit ha-
rimau, dan mengamatinya. Dia tidak tahu kalau
benda itu adalah wasiat Datuk Risanwari yang
harus disampaikan Suropati kepada Gede Panja-
lu. "Apakah kau bisa mengingat-ingat dari
mana benda ini berasal, Putri?" tanya sang Resi.
Ingkanputri berusaha memenuhi permin-
taan penolongnya. Tapi hanya kegelapanlah yang
dia temui. Selama enam candra lebih gadis itu telah lupa segala-galanya
Melihat Ingkanputri hanya berdiam diri,
sang Resi lalu mendongakkan kepalanya.
"Semoga Hyang Widhi memberi petunjuk
untuk mengetahui isi gulungan kulit harimau
ini," gumam kakek itu memanjatkan doa.
Perlahan-lahan tangannya membuka ika-
tan tali penjalin. Gulungan kulit harimau itu pun terkuak. Peluh segera
membasahi kening sang
Resi. Kedua tangannya gemetar ketika membaca
barisan huruf-huruf yang tertera....
Seiring bertambahnya usia jagat yang se-
makin tua, manusia semakin lupa akan kodratnya.
Nafsu jahat merajalela. Sifat-sifat tak terpuji semakin tertanam dalam jiwa.
Manusia terus mengikuti hasrat hati tanpa dapat membedakan salah dan benarnya.
Keluhuran budi yang hakiki menjadi bayangan semu yang akan memudar. Terlindas
oleh cerminan perilaku angkara.
Ketika rimba persilatan dikuasai oleh tokoh-tokoh beraliran sesat, bumi
berguncang laksana kiamat. Manusia saling membunuh. Darah dijadi-kan pelepas
dahaga. Tiada arti sanak kerabat.
Semua adalah musuh yang harus dienyahkan.
Langit seakan-akan telah runtuh. Jerit kematian berubah jadi irama merdu yang
mengelus gendang telinga. Manusia semakin terpuruk ke dalam lem-bah dosa.
Adalah Dewata Agung Yang Maha Adil. Dia
telah menurunkan seorang anak ajaib yang sanggup menyibak kegelapan. Dalam
tubuhnya tersimpan kebangkitan dari kebenaran dan keadilan.
Usai membaca untaian kalimat itu, sang
Resi menarik napas panjang. Jiwanya seakan ter-
bang melayang. Alam pikiran pun mendadak ko-
song. Beberapa lama kakek itu diam terpaku di
tempatnya. Namun, dengan menyebut Asma Sang
Tunggal akhirnya dia menyadari keadaan dirinya.
Perlahan-lahan tangan sang Resi menutup kem-
bali gulungan kulit harimau.
Saat itulah dua bayangan berkelebat, dan
mendarat tepat tiga tombak di hadapan sang Resi.
Kakek itu menatap dengan penuh keterkejutan!
"Keparat kau, Agaswara...!" hardik sosok nenek yang baru datang. "Kebetulan aku
berjumpa denganmu di sini. Sakit hatiku hanya dapat
diobati dengan nyawamu!"
Sang Resi yang dipanggil Agaswara mun-
dur beberapa tindak. Tiba- tiba sinar matanya
meredup. Tubuhnya menggigil seperti orang ke-
dinginan. "Sekar Arum....," gumam Agaswara dengan
suara gemetar. "Ha-ha-ha...!" Sekar Arum alias si Perangai Gila tertawa keras. "Ketika nyawa
sudah di ambang pintu neraka, kau masih mau menyebut
nama kecilku. Tapi, jangan harap peristiwa puluhan tahun lalu akan terulang
lagi!" "Maafkan aku, Arum...."
"Cih! Perbuatanmu melebihi kebiadaban
binatang! Apakah hanya dengan kata maaf semua
dapat pulih kembali"!" ujar Perangai Gila dengan berapi-api "Telah sekian lama
aku hidup dalam penderitaan akibat rasa malu yang mendera.
Hanya kematianlah tebusannya!"
Wanita kurang waras itu merenggut ram-
but palsunya. Kemudian dilemparkan ke arah Re-
si Agaswara! Lemparan yang disertai pengerahan
tenaga dalam itu membuat tubuh sang Resi ter-
lempar, dan jatuh bergulingan di atas tanah.
Melihat itu, Ingkanputri buru-buru melon-
cat untuk membantu sang Resi bangkit berdiri.
"Kau menjauhlah, Putri...," perintah Agaswa sambil mendekap dadanya.
"Aku memang manusia biadab. Aku akan
menebus dosa...."
Resi Agaswara menyodorkan gulungan ku-
lit harimau yang digenggamnya kepada Ingkanpu-
tri. Dia kemudian berdiam diri, siap menghadapi segala tindakan Perangai Gila.
Ketika matanya menatap kepala Perangai Gila yang gundul tanpa
kulit, dia menunduk tak sanggup menatap lebih
lama. Perangai Gila melirik ke arah Dewi Ikata
yang berdiri di sampingnya.
"Dialah manusia licik yang telah memper-
dayaiku, Ika...," beritahu wanita kurang waras itu dengan suara bergetar. "Dia
memang pandai ber-tipu muslihat. Kau lihat pakaiannya yang mirip
seorang pertapa, semua itu hanya untuk me-
nyembunyikan kebobrokan moralnya!"
"Jangan sebut itu, Arum...," sergah Resi Agaswara. "Jauh hari setelah aku
melakukan perbuatan terkutuk itu, timbul keinginanku untuk menebusnya dengan
mendekatkan diri kepa-
da Yang di Atas. Aku belajar tentang kebenaran
dan kesesatan. Dan, semua itu menimbulkan ra-
sa sesal yang tak pernah ada habis-habisnya...."
Perangai Gila tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan Agaswara. Lalu, kepalanya di-
palingkan menatap wajah muridnya. "Kau lihat sendiri, Ika. Manusia keparat itu
masih berusaha untuk memperdayai. Tapi, siapa yang tak tahu
kedok manusia penutup jiwa busuk!" kata wanita kurang waras itu setengah
berteriak "Hei, Agaswara! Hubungan di antara kita telah lama putus.
Kata-kata merdu tak layak untuk mengiringi ke-
matianmu! Bersiap-siaplah kau!"
Perangai Gila menggeram keras. Kedua
tangannya ditarik ke belakang dengan hembusan
napas berat. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya
telah tersalurkan!
Resi Agaswara cuma menatap sebentar. La-
lu, kakek itu berdiri tegak seraya memejamkan
mata. "Tak ada kekuatan yang melebihi kekuatan yang Widhi. Tak ada kekuasaan
yang melebihi kekuasaan Sang Penguasa Alam. Dengan kasih-
Nya, semoga dosa-dosaku kepada Sekar Arum te-
rampuni...."
Resi Agaswara tampak pasrah menyambut
datangnya Malaikat Kematian.
Melihat kedua tangan Perangai Gila berge-
tar oleh kuatnya aliran tenaga dalam, Ingkanputri melompat ke hadapan Resi
Agaswara. "Pergi kau!" bentak Perangai Gila.
Ingkanputri diam di tempatnya. Matanya
memandang wanita tak berambut itu tanpa ber-
kedip. "Kau jangan mencari kesulitan, Putri...,"
ujar Resi Agaswara. Dia tahu gadis itu berkeinginan hendak menolongnya.
"Biarkanlah aku menyambut kematian tanpa seorang pun ikut men-
jadi korban."
"Tidak!" teriak Ingkanputri seraya memba-likkan badan. "Eyang telah
menyelamatkan diriku dari tempat kelam yang menyakitkan dari segala
siksaan. Haruskah aku berdiam diri melihat
Eyang terancam bahaya?"
Gadis itu lalu menghambur dan memeluk
tubuh Resi Agaswara. Ingkanputri menangis da-
lam keharuan. Walaupun dia tak tahu siapa se-
benarnya Resi Agaswara dan apa yang telah dila-
kukannya terhadap Perangai Gila, tapi Ingkanpu-
tri dapat menilai kalau kebaikan sang Resi tidak
dibuat-buat. Kepasrahan kakek itu untuk mene-
rima kematian sanggup meluluhkan hati Ingkan-
putri. Gadis itu tenggelam dalam rasa haru yang sangat. "Kau tak perlu
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalirkan air mata untuk manusia kotor sepertiku, Putri. Segeralah pergi.
Dunia luas menanti uluran tanganmu!" ujar Resi Agaswara mantap.
Usai mengucapkan kalimatnya, kakek itu
menyentakkan lengannya dengan berlambarkan
tenaga dalam. Akibatnya tubuh Ingkanputri ter-
dorong jatuh Bersamaan dengan itu Perangai Gila me-
lancarkan pukulan jarak jauhnya!
Sinar perak meluncur deras ke arah Resi
Agaswara. Tapi, kakek itu tetap diam di tempat-
nya tanpa sedikit pun bergerak menghindar.
Deeesss...! Resi Agaswara terlempar beberapa tombak,
dan jatuh bergulingan di atas tanah dalam kea-
daan pingsan. Perangai Gila segera berpaling menatap ta-
jam wajah muridnya. "Kenapa kau menghalangi-ku untuk melenyapkan manusia busuk
itu"!"
bentaknya dengan penuh geram.
Dewi Ikata yang baru saja melancarkan
pukulan jarak jauh untuk mencegah gurunya
menjatuhkan tangan maut, hanya tertunduk di-
am. Serangan Perangai Gila meleset karena puku-
lan jarak jauh Dewi Ikata telah menjatuhkan tu-
buh Resi Agaswara.
Perangai Gila menggeram semakin keras.
"Cepat katakan! Apakah kau hendak mela-
wanku"!"
Dewi Ikata langsung menjatuhkan diri,
kemudian memeluk kaki Perangai Gila. Dia ingin
meredakan kemarahan gurunya.
"Aku mencintaimu, Eyang. Aku menyayan-
gimu. Tapi aku tak ingin melihat Eyang membu-
nuh orang yang telah mengakui kesalahannya,"
ucap Dewi Ikata. Air matanya membanjir.
Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.
Sambil menengadahkan wajah menanggapi uca-
pan muridnya. Kakinya menepis pelukan Dewi Ikata. Wa-
nita kurang waras itu lalu berlari pergi sambil terus tertawa.
"Eyang...!" Dewi Ikata berlari mengejar.
*** Langit tampak bersih. Sinar mentari mem-
biaskan warna perak. Angin berhembus pelan be-
rusaha mengusir gerah. Ranting pepohonan me-
liuk-liuk bagai tarian bidadari. Kicau burung yang tak pernah bosan menghibur
siang. Ingkanputri duduk bersimpuh di hadapan
Resi Agaswara yang sedang bersemadi untuk
mengobati luka dalamnya. Baju yang dikenakan
kakek tua itu sebagian telah hancur memperli-
hatkan bahu kirinya yang hangus.
Ketika mentari telah condong ke barat, Resi
Agaswara membuka matanya.
"Kau tidak apa-apa, Eyang?" tanya Ingkanputri cemas.
"Hyang Widhi masih berkenan melindungi
nyawaku," kata sang Resi. "Tapi, sebagian uratku telah hancur. Tangan kiriku tak
mungkin dapat digerakkan lagi."
Ingkanputri menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah Resi Agaswara dengan penuh belas
kasihan. Tiba-tiba air mata gadis itu meleleh. Dia teringat ayahnya yang telah
tiada. "Orang yang terjun dalam rimba persilatan
harus mempunyai hati baja. Kenapa hanya meli-
hat peristiwa kecil saja, air mata mesti diperlihatkan...," kata Resi Agaswara
dengan penuh kelembutan. Kakek itu mengira Ingkanputri menan-
gisi dirinya yang terluka.
Resi Agaswara lalu bangkit berdiri. Ada se-
dikit keluhan keluar dari mulutnya. Ingkanputri mendekat. Dibimbingnya kakek
itu. Mereka berjalan menyusuri siang tanpa tujuan yang pasti.
Ketika malam hampir menjelang, beberapa
dusun telah terlewati. Ingkanputri pun sadar pakaiannya yang serba merah selalu
mengundang perhatian orang. Maka, dengan uang pemberian
Resi Agaswara, dia membeli sepotong baju ber-
warna kuning. "Kau sangat cantik, Putri...." puji sang Resi sambil menatap baju baru
Ingkanputri. "Ah, Eyang...;" pipi gadis itu merona merah.
"Kita harus mencari tempat untuk berma-
lam. Mudah-mudahan ada orang baik yang mau
menyediakan rumahnya untuk kita."
"Aku sudah terbiasa tidur di alam bebas,"
sahut Ingkanputri.
"Maksudmu?"
"Di atas pohon, di hamparan tanah luas,
atau di tempat lainnya. Bagiku sama saja...."
"Kau tidak takut?" tanya Resi Agaswara sedikit heran. Bagaimana pun Ingkanputri
adalah seorang gadis muda yang cantik. Rasanya kurang
aman jika dia pergi ke mana-mana seorang diri.
Ingkanputri tersenyum tipis. "Eyang lupa
kalau aku adalah seorang petualang," katanya.
"Tapi, kau tetap seorang wanita yang tidak bisa lepas dari kodrat. Ada banyak
aturan yang membuat seorang wanita tidak bisa berbuat se-
maunya." "Ah, Eyang terlalu berlebihan," sungut Ingkan putri,
"Hus!"
Ingkanputri tertawa, Resi Agaswara pun
tersenyum. Mereka berjalan kembali sambil terus bercakap-cakap dengan akrabnya.
Walaupun ba-ru saling mengenal, tapi keakraban mereka sudah seperti ayah dan
putrinya. Di tepi sebuah hutan akhirnya Resi Agas-
wara menuruti ajakan Ingkanputri untuk berma-
lam di atas pohon besar. Kakek itu merasa lelah juga terus berjalan karena tidak
mendapat tempat penginapan atau rumah penduduk untuk berma-lam. Padahal malam
telah menjelang.
Ketika pagi baru saja tiba, mereka dike-
jutkan oleh teriakan dua orang lelaki tua bertampang angker.
"Agaswara! Malaikat Bangau Sakti telah
menyusun kekuatan. Ribuan pendekar telah men-
jadi bangkai. Yang mempunyai akal sehat memilih jalan sebagai pengikut. Hari ini
Sang Ketua berkenan mengundangmu ke Bukit Bangau!"
"Katakan kepada ketuamu, aku belum
mempunyai waktu untuk memenuhi undangan-
nya...," sahut Resi Agaswara dengan tenang.
Dua lelaki tua yang dikenal dengan sebu-
tan Bayangan Hitam dan Penyedot Arwah itu
menggeram. "Menojak undangan Sang Ketua berarti
menantang maut!" kata Bayangan Hitam yang
bertubuh jangkung.
"Aku mencium maksud buruk. Kenapa aku
mesti pergi ke Bukit Bangau"!"
"Ha-ha-ha...," tawa Bayangan Hitam membuat janggutnya yang putih panjang
bergerak ba- gai kibasan ekor sapi. "Katakan saja kalau kau takut, Agaswara!" ejeknya
kemudian. Sang Resi tersenyum tipis. Ingkanputri ber-
jalan mendekat.
"Siapa dia?" tanya gadis itu dengan berbisik. "Yang berpakaian serba hitam
adalah tokoh sesat yang merajai wilayah barat. Sedangkan yang berdiri di
belakangnya penguasa wilayah timur,"
beritahu Resi Agaswara.
"Hei, Agaswara!" hardik Penyedot Arwah.
"Tak perlu kau berbisik-bisik macam perempuan kurang kerjaan! Segera kau penuhi
perintah Sang Ketua. Atau aku akan menyeretmu!"
Tak ada kata yang keluar dari mulut Resi
Agaswara. Kakek itu malah membenarkan letak
selempang di bahu kirinya untuk menutupi kain
jubah yang robek. Gerakan kakek itu sangat te-
nang tanpa sedikit pun menunjukkan kegentaran,
padahal dua orang tokoh hitam yang berdiri dihadapannya bukanlah manusia
sembarangan. Se-
pak terjang mereka sangat ganas. Tak pernah
memberi ampunan terhadap lawan.
Duuuk... Tiba-tiba, Penyedot Arwah menggedrukkan
kaki kanannya ke tanah. Bumi seketika bergun-
cang. Beberapa buah batu besar bergeser dari
tempatnya. Tubuh Ingkanputri pun tampak lim-
bung. Tapi, Resi Agaswara malah tersenyum tipis, heran kakek itu tak merasakan
apa-apa. Tubuhnya tetap berdiri tegak.
Melihat itu, Penyedot Arwah menggeram,
telapak kakinya lalu kembali menghentak.
Swooosss...! Permukaan tanah di depannya berkubang.
Gumpalan padas bercampur bebatuan berpinda-
han menghujani tubuh sang Resi! Kakek itu bu-
ru-buru mengibaskan ujung lengan jubahnya. Se-
rangkum angin pukulan berputar membuat se-
rangan Penyedot Arwah tiada berarti.
"Kau memang hebat, Agaswara...," puji lelaki bertubuh kekar itu. "Tapi, aku
ingin tahu da- patkah kau bertahan dari ilmu 'Penghisap Darah'-
ku!" Penyedot Arwah langsung membuka kedua kakinya dengan badan sedikit
terbungkuk. Kedua
tangan ditekuk menghadap ke depan. Bersamaan
dengan itu, wajah Penyedot Arwah berubah te-
gang. Matanya melotot merah
Hhhh...! Tak ada angin pukulan yang muncul. Tapi,
Resi Agaswara terperangah merasakan aliran da-
rahnya mendadak jadi kacau. Detak jantung
menghentak-hentak bagai dipukuli palu godam!
Tokoh tua yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan itu segera menge-
rahkan hawa murni. Tubuhnya tampak bergetar
hebat. Penyedot Arwah menarik kaki kirinya ke
belakang bersamaan dengan kedua tangannya
yang menyentak.
Kworshhh.... Suatu pemandangan mengerikan pun ter-
jadi. Mulut Resi Agaswara menyemburkan darah
segar. Tersedot oleh telapak tangan Penyedot Arwah! Wajah sang Resi langsung
memucat, tata- pan matanya terlihat nyalang. Agaknya dia tahu
maut telah mengancam.
Tentu saja Ingkanputri tidak tinggal diam.
Gadis itu segera melancarkan pukulan jarak jauh dengan berlambarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema. Tubuh gadis
itu terlempar beberapa tombak. Rupanya, Bayan-
gan Hitam telah memapaki serangan Ingkanputri.
Resi Agaswara yang sedang berkutat mela-
wan maut menyorongkan telapak tangan kanan-
nya. Darah segar yang menyembur dari mulutnya
terhenti. Tapi, mendadak tubuh tokoh tua itu jatuh terjengkang.
"Ha-ha-ha...."
Tawa Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam
membahana bersamaan. Mereka menatap tubuh
Resi Agaswara dan Ingkanputri yang tergeletak di tanah. "Sang Ketua menunggumu
di Bukit Bangau, Agaswara!" teriak Bayangan Hitam.
Sang Resi bangkit seraya mendekap dada
kirinya. Saat itulah, Bayangan Hitam melihat tangan kiri Resi Agaswara
menggantung lemah.
"Huh! Rupanya kau telah cacat, Agaswara!
Semoga saja Sang Ketua masih mau memberimu
muka," kata lelaki berjanggut panjang itu.
"Kau kira ketuamu seorang malaikat, se-
hingga semua orang dipaksa bertekuk-lutut!"
hardik Ingkanputri yang telah berdiri di samping Resi Agaswara "Hanya kalianlah
yang patut dija-dikan budak. Wajah kalian berdua sangat mirip
kerbau congek yang tak mampu berpikir pan-
jang!" ejek gadis itu.
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam seraya menerjang.
Ingkanputri telah mempersiapkan diri. Tu-
buhnya melayang lalu mengirimkan tendangan.
Sayang, tendangan itu tak mengenai sasaran. Ju-
stru punggung Ingkanputri berhasil digedor la-
wan. Gadis itu jatuh terjerembab. Kalau saja dia tidak melindungi tubuhnya
dengan tenaga dalam,
punggungnya pasti sudah hancur.
"Gadis ingusan mau coba-coba melawan-
ku!" dengus Bayangan Hitam.
Ketika Ingkanputri bangkit berdiri, ada se-
suatu yang jatuh dari balik bajunya. Bayangan
Hitam menatap benda itu dengan mata terbelalak.
"Wasiat datuk Risanwari," desisnya. Secepat kilat disambarnya gulungan kulit
harimau yang tergeletak di tanah tak jauh darinya.
"Pencuri busuk!" hardik Ingkanputri.
Serta-merta gadis itu mengibaskan telapak
tangannya! Angin pukulan berhawa panas me-
nerpa. Bayangan Hitam pun menarik tangannya.
Tapi, dia segera melancarkan tendangan ke arah
Ingkanputri. Dengan berkelit ke samping, gadis itu ber-
hasil menghindari serangan. Kemudian disam-
barnya gulungan kulit harimau yang tergeletak di sisi kanan tubuhnya.
Blab...! Tiba-tiba, gadis itu menjerit tertahan. Tan-
gannya membentur kekuatan kasat mata yang di-
ciptakan Bayangan Hitam.
"Kau tak berhak memiliki benda wasiat itu, Gadis kecil!" kata Bayangan Hitam
sambil meng- gerakkan telapak tangannya ke depan. Dan, gu-
lungan kulit harimau melayang ke arahnya.
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan sentuh!" cegah Resi Agaswara. Dilancarkannya pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Bayangan Hitam yang berdiri di samping
Penyedot Arwah memapaki serangan itu. Akibat-
nya, tubuh sang Resi terlontar. Sadarlah dia kalau lawan mempunyai tenaga dalam
yang lebih tinggi di atasnya.
Pukulan jarak jauhnya seperti membentur
tembok baja setebal satu depa.
Penyedot Arwah tertawa terbahak-bahak
"Jayalah Sang Ketua dengan Perkumpulan Bangau Sakti-nya!" teriak tokoh sesat itu
dengan suara lantang.
Tanpa ada yang mengusik, lelaki bertubuh
kekar itu memungut gulungan kulit harimau.
Namun, keterkejutan menghantam dadanya.
Benda yang hampir tersentuh tangan itu tiba-tiba memancarkan sinar kehijauan.
Tubuh Penyedot Arwah terasa bagai dijalari hawa panas api nera-ka.
"Hih! Dengan kehendak Penguasa Gelap,
tak ada kekuatan yang mampu menghalangi naf-
su angkara!" Dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya, lelaki bertubuh kekar itu pun berhasil
menyambar gulungan kulit harimau. Kemudian,
dibawanya lari sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sang ketua menunggu kedatanganmu,
Agaswara!" Bayangan Hitam seraya menghem-
paskan tubuhnya, menyusul kepergian Penyedot
Arwah. 4 Puluhan bangau terbang rendah. Sayapnya
mengepak perlahan, kemudian terpentang dengan
gagahnya. Ketika hinggap di hamparan tanah
luas, paruhnya bergerak menotok mencari ma-
kan. Dilihat dari kejauhan bangau-bangau itu bagai biasan warna putih yang
bergerak mengikuti
irama. Selagi mereka asyik mencari makanan di
kubangan-kubangan air, seekor bangau besar
berbulu hitam datang melesat dan membuat ke-
terkejutan dengan suaranya yang serak. Bangau-
bangau putih pun buyar. Cepat mereka terbang
dikejar oleh rasa takut. Sebentar kemudian, tempat itu telah dikuasai oleh
puluhan bangau hi-
tam. Mereka menotol-notol tanah dengan suara
riuh-rendah. Di puncak bukit yang bertanah datar suatu
benteng setebal satu depa tampak melingkar.
Benteng itu, berkesan angker karena di pintu gerbang terdapat puluhan lelaki
berdiri dengan sinar mata bengis. Sementara di dalam benteng, di sebuah bangunan
megah, seorang lelaki berwajah
pucat duduk di singgasana perak bertaburkan
emas permata. Rambut lelaki itu telah memutih
semua. Dikuncir menjadi satu dalam jalinan pan-
jang. Tubuhnya yang kurus berkulit putih bersih
dibungkus pakaian sutera serba hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah darah.
Dia adalah Malaikat Bangau Sakti, pemim-
pin Perkumpulan Bangau Sakti yang telah berha-
sil menaklukkan empat tokoh hitam penguasa
penjuru mata angin.
Di hadapannya duduk dua orang lelaki tua
yang juga berpakaian serba hitam. Mereka bersila di lantai marmer. Yang berambut
riap-riapan adalah Dewa Laknat, penguasa wilayah selatan. Se-
dangkan yang bermata sipit adalah Pencabik
Sukma, penguasa wilayah utara.
Mereka mendongakkan kepala ketika Ma-
laikat Bangau Sakti mendengus, lalu berdiri dari singgasananya.
"Bukit Bangau telah menjulang dengan ga-
gah bertumbalkan ribuan nyawa...," kata lelaki berwajah pucat itu. "Namun,
sebagian besar adalah kaum kita sendiri yang tak mau bertekuk-
lutut di hadapanku. Tokoh-tokoh jajaran atas beraliran putih masih banyak yang
berkeliaran dengan bebas. Kalian harus membuatku puas."
Kepala Dewa Laknat dan Pencabik Sukma
kembali tertunduk. Suara Malaikat Bangau Sakti
bergetar seperti menyimpan kemarahan.
"Seluruh tokoh rimba persilatan harus
bernaung di bawah bendera perkumpulan Bangau
Sakti. Tugas kalian adalah membuat mereka tak-
luk!" "Hamba akan melaksanakan perintah...,"
kata Dewa Laknat dan Pencabik Sukma hampir
bersamaan. Ketika Malaikat Bangau Sakti menggerak-
kan kepalanya, dua orang tokoh sesat itu pun segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik
berumur tiga puluh tahun hadir dengan gerak tu-
buhnya yang lemah gemulai. Tangan kanannya
membawa nampan berisi segelas arak. Malaikat
Bangau Sakti segera menyambut. Lalu ditenggak-
nya arak sampai tandas. Setelah itu dia menatap berlama-lama wajah wanita cantik
yang berdiri di hadapannya.
"Hari ini kau kelihatan sangat cantik, In-
darwa...," puji lelaki berwajah pucat itu sambil mengulum senyum.
Wanita yang dipanggil Indarwa membalas
senyum itu. Pergelangan tangannya dilingkarkan
ke pinggang Malaikat Bangau Sakti. "Kau juga sangat tampan, Margana Kalpa...,"
bisiknya pelan.
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. Di dekapnya tubuh Indarwa dengan erat.
Dia pun menghadiahkan kecupan mesra di bibir
wanita cantik itu.
"Aku senang kau menyebut nama kecilku,"
ucap Margana Kalpa seraya mentowel dagu In-
darwa. "Mengapa kau perintahkan Empat Penguasa Penjuru Angin dalam waktu yang
hampir ber- samaan, Kekasihku?" tanya Indarwa sambil men-gerjapkan matanya menggoda.
"Supaya cita-citaku untuk menguasai rim-
ba persilatan segera terwujud," Malaikat Bangau Sakti memberi alasan.
"Tapi, apakah kau telah mendapatkan Wa-
siat Datuk Risanwari yang katamu akan menjadi
penghalang?"
Mendadak Malaikat Bangau Sakti menden-
gus keras. Matanya nyalang menatap dinding
ruangan. Melihat perubahan sikap yang demikian
mendadak, Indarwa yang sebenarnya seorang to-
koh sesat jajaran atas yang berjuluk Setan Betina itu segera memeluk tubuh
Margana Kalpa. Di-elusnya dada lelaki berwajah pucat itu dengan
lembut "Kenapa mesti gusar" Bukankah anak
buahmu sangat banyak" Aku percaya mereka
akan dapat mewujudkan segala keinginanmu," bisik Indarwa lembut sekali dengan
bibir menyen- tuh telinga. "Kau memang pandai menghibur hatiku,
Indarwa...," kata Malaikat Bangau Sakti. Kemudian dia mengecup dahi kekasihnya.
"Aku bukan pandai menghibur. Hanya, aku
tidak suka melihatmu terbawa luapan amarah,"
ucap Indarwa. Hembusan napasnya yang harum
menerpa wajah Margana Kalpa.
Lelaki berwajah pucat itu lalu mencium bi-
bir Indarwa. Setan Betina pun mempererat pelu-
kannya. Margana Kalpa sejenak menatap wajah
cantik yang terpampang dekat di hadapannya,
sebelum mendaratkan ciuman ganas.
Indarwa menggelinjang membalas ciuman
itu hingga untuk beberapa lama bibir mereka
berpagutan. "Kau sangat cantik, Indarwa...," bisik Margana Kalpa kemudian.
"Dan kau sangat perkasa, Kekasihku...."
Setelah berkata-kata sebentar, dua anak
manusia itu berjalan sambil terus berpelukan.
Mereka menuju ke sebuah kamar yang beraroma
harum semerbak.
Margana Kalpa menjatuhkan tubuh Indar-
wa ke pembaringan. Sedangkan dia sendiri duduk
di sisi wanita cantik itu.
"Kenapa kau tidak melanjutkan?" tanya Setan Betina.
Malaikat Bangau Sakti tak memberi jawa-
ban. Tangan kanannya menopang dagu. Sinar
matanya pun terlihat suram.
Indarwa bangkit lalu mengelus dada lelaki
berwajah pucat itu seraya mencium lehernya.
"Untuk menyenangkan hatimu, besok aku
akan pergi mencari Wasiat Datuk Risanwari," bisik Indarwa.
"Ah, kau tak perlu melakukannya. Tugas-
mu adalah menemaniku bila aku berkeinginan
untuk berjalan-jalan ke nirwana," ucap Margana Kalpa seraya meraih bahu Indarwa,
lalu memba-ringkannya kembali.
Di lumatnya bibir wanita cantik itu. Tan-
gannya bergerak bebas menelusuri setiap jengkal tubuh Indarwa. Setan Betina
menggelinjang. Sua-
ra desahan berulang kali keluar dari mulutnya.
Satu persatu pakaian yang menutupi tubuh In-
darwa jatuh ke lantai.
"Tunjukkanlah keperkasaanmu, Kekasih-
ku...," bisik wanita cantik itu.
Tak ada kata yang diucapkan Margana
Kalpa. Mata lelaki berwajah pucat itu tiada bosan memandang lukisan keindahan
tubuh Indarwa. "Kau memang sangat cantik, Indarwa...," ucapnya kemudian seraya menundukkan
kepala Wajah Margana Kalpa terbenam di dada
Setan Betina. Dengan gerak perlahan, bibir lelaki berwajah pucat itu lalu
menelusuri ke bawah.
Indarwa merintih. Kedua tangannya mere-
mas rambut Margana Kalpa.
Sementara di luar sinar mentari masih se-
tia menerangi mayapada. Langit bersih tiada se-
gumpal awan. Hembusan angin mengelus puncak
Bukit Bangau. Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah berjalan melewati pintu gerbang. Puluhan lelaki yang menenteng golok di
pinggang tampak
menundukkan kepala memberi hormat
Ketika telah sampai di ruang utama ban-
gunan megah, Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah saling berpandangan.
"Panggil lah Sang Ketua, Sapi Dungu...!"
Perintah Penyedot Arwah pada teman di samping-
nya. "Huh! Terhadapku kau berkuasa apa"!"
Bayangan Hitam berkata sinis. "Kerbau Bau! Kaulah yang harus mengerjakannya!"
"Kau takut?"
"Aku masih sayang nyawaku!"
Penyedot Arwah tertawa mengejek. "Tak di-
nyana penguasa wilayah barat ternyata mempu-
nyai nyali tikus!"
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam. Telapak tangannya disabetkan ke wajah Penyedot
Arwah. Beberapa lukisan yang menempel di dind-
ing ruangan bergerak ke kiri-kanan terkena angin pukulan. Tapi hanya dengan
melangkah mundur
satu tindak serangan Bayangan Hitam tak men-
genai sasaran. "Huh! Ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung'-
mu memang hebat. Namun tak akan sanggup
menandingi ilmu 'Penghisap Darah'ku!" dengus Penyedot Arwah dengan mata berkilat
"Baik. Kita buktikan!" tantang Bayangan Hitam. Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Bayangan Hitam melayang di udara. Setelah ber-
salto beberapa kali, dia mendarat dua tombak da-ri tempatnya semula.
"Jangan menyesal bila riwayatmu putus
sampai di sini!" kata lelaki berjanggut panjang itu memperingatkan calon
lawannya. "Justru akulah yang akan mencabut nya-
wamu!" timpal Penyedot Arwah seraya membuka kakinya. Dengan badan sedikit
merunduk, telapak tangan lelaki bertubuh kekar itu menyorong
ke depan. Bayangan Hitam pun siap sedia untuk me-
nyambut ilmu pamungkas Penyedot Arwah
"Heaaa...!"
Dua teriakan menggema bersamaan. Sinar
kuning yang meluncur dari telapak tangan
Bayangan Hitam tertahan oleh kekuatan kasat
mata. Hingga, menimbulkan percikan bunga api
yang menyebar memenuhi ruangan.
Selama lima tarikan napas tubuh kedua
tokoh sesat itu berdiri kokoh di tempatnya. Tapi, Bayangan Hitam segera dapat
merasakan kehebatan ilmu pamungkas Penyedot Arwah. Detak jan-
tung lelaki berjanggut panjang itu menjadi tak teratur. Aliran darahnya kacau.
Di dalam dada se-
perti ada kekuatan yang menghentak-hentak. Tak
lama kemudian, dari hidung dan sudut bibir
Bayangan Hitam meleleh darah segar!
Apa yang dirasakan Penyedot Arwah pun
tak beda jauh. Tubuhnya yang kekar bergetar he-
bat. Pandangan matanya mengabur. Dadanya ba-
gai dipukul-pukuli palu godam, hingga terasa
mau jebol! Sadarlah mereka berdua kalau ilmu pa-
mungkas masing-masing mencapai taraf seim-
bang. Mereka tak dapat menarik kembali kekua-
tan tenaga dalam yang telah terlontar. Apabila salah seorang melakukannya,
kekuatan lawan akan
langsung menghantam dirinya tanpa dapat dihin-
dari lagi. Jalan satu-satunya untuk melenyapkan dua kekuatan dahsyat itu adalah
dengan menarik kembali tenaga dalam masing-masing secara ber-
samaan. Tapi, siapa yang mau percaya lawan ti-
dak akan berbuat curang"
Menyadari hal itu, wajah Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam memucat. Malaikat Kema-
tian tampaknya akan menjemput ajal mereka se-
cara bersamaan!
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang genting tersebut, tiba-tiba
seberkas cahaya kehitaman meluruk datang!
Blaaammm...! Sebuah ledakan dahsyat menggema hingga
menggetarkan lantai ruangan. Tubuh Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam terlempar memben-
tur dinding. "Manusia-manusia yang telah hilang akal-
nyalah yang patut melakukan tindakan seperti
itu!" Malaikat Bangau Sakti tahu-tahu telah berdiri tegak di sisi pintu ruangan.
Kedua tangan lelaki berwajah pucat itu masih mengepulkan
asap hitam. Dengan memusnahkan kekuatan te-
naga dalam Penyedot Arwah dan Bayangan Hi-
tam, dia telah menunjukkan kehebatannya. Apa
yang dilakukan Malaikat Bangau Sakti sama saja
dengan melawan dua kekuatan tenaga dalam ke-
dua anak buahnya. Jadi, dapat dibayangkan ting-
ginya ilmu yang dimiliki pemimpin Perkumpulan
Bangau Sakti itu.
"Manusia-manusia busuk! Apakah kalian
sengaja ingin memperlihatkan kepandaian di ha-
dapanku" Ampunan yang telah kuberikan apakah
tidak memuaskan kalian"!" kata Malaikat Bangau Sakti dengan penuh kemarahan.
Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam sege-
ra berlutut di hadapan lelaki berwajah pucat itu.
"Hamba bersalah...," kata Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam bersamaan.
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
mendengus. Kaki kanannya digedrukkan ke lan-
tai. Tubuh dua tokoh sesat itu pun terlontar dan membentur langit-langit
ruangan, kemudian jatuh berdebam. Tapi mereka sedikit pun tak me-
nunjukkan rasa sakit. Hanya desahan panjang
yang terdengar.
"Galungking Saba...," panggil Malaikat Bangau Sakti dengan suara berat.
"Sudahkah kau bertemu dengan Resi Agaswara?"
Penyedot Arwah menganggukkan kepa-
lanya. "Jawab pertanyaanku, Galungking Saba!"
teriak Margana Kalpa. Lelaki bertubuh kekar yang disebut nama kecilnya itu
segera berjalan mendekat. "Hamba telah melaksanakan tugas Sang Ketua dengan
sebaik-baiknya," lapor Penyedot Arwah. Suaranya terdengar bergetar.
"Ha-ha-ha...," tawa Margana Kalpa menggema berkepanjangan. "Berarti sebentar
lagi anj-ing tua itu akan datang ke sini."
"Tapi...," sela Galungking Saba dengan badan menggigil ketakutan.
"Tapi apa, heh"!" bentak Margana Kalpa tak senang.
"Hamba... hamba...."
"Keparat! Apa yang hendak kau katakan"!"
"Hamba sudah menyampaikan undangan
Sang Ketua, tapi kehadiran Resi Agaswara belum
bisa ditentukan," akhirnya keluar juga kata-kata itu. "Goblok! Mestinya kau
seret dia!"
Mendengar kata-kata keras Malaikat Ban-
gau Sakti, Galungking Saba semakin terjerat rasa takut. "Menurut ilmu 'Jangka
Depan'ku, hanya Resi itulah yang sanggup membangkitkan arwah
guruku Dewa Tapak Hitam," lanjut Margana kal-pa.
"Tapi Sang Ketua tidak perlu kecewa. Ham-
ba membawa wasiat Datuk Risanwari...."
"Hah"!"
Mata Margana Kalpa terbelalak ketika Pe-
nyedot Arwah mengeluarkan gulungan kulit ha-
rimau dari balik bajunya.
Tawa Malaikat Bangau Sakti menggema
berkepanjangan. Benda-benda yang berada di da-
lam ruangan sampai berjatuhan. Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam merasakan jantung mereka
berdegup cepat bersama aliran darah yang tiba-
tiba menjadi kacau. Gendang telinga pun bergetar keras bagai ditampar berulang
kali. Sungguh hebat kekuatan tenaga dalam Margana Kalpa.
"Bagus! Bagus, Galungking Saba. Kau telah
menebus kesalahanmu...," kata Margana Kalpa kemudian. Disambarnya gulungan kulit
harimau dari tangan Penyedot Arwah.
Tapi, lelaki berwajah pucat itu jadi terkejut.
Telapak tangannya terasa panas bagai teraliri api neraka.
"Benda wasiat yang hebat," desis laki-laki itu seraya mengerahkan tenaga dalam.
Perlahan-lahan gulungan kulit harimau di
buka. Malaikat Bangau Sakti pun membaca bari-
san huruf-huruf yang tertulis di atas kulit
"Ha-ha-ha...!"
Tawa lelaki berwajah pucat itu menggema
lagi. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi
diri. "Anak ajaib...," gumam Margana Kalpa.
"Sebelum orang yang disebut si Pelindung Tua berbuat sesuatu, aku akan
melenyapkan nyawa
anak ajaib itu. Tapi, siapakah dia?"
Dahi lelaki berwajah pucat itu berkerut.
Otaknya dipaksa untuk bekerja keras. Beberapa
lama dia berdiri terpaku di tempatnya. Tiba-tiba dia mengulas senyum kemenangan.
"Kenapa aku mesti susah-susah memikir-
kannya?" kata hati lelaki berwajah pucat itu. "Kalau aku memusnahkan gulungan
kulit harimau ini, tak akan ada masalah!"
Malaikat Bangau Sakti menatap sejenak
Wasiat Datuk Risanwari dalam genggamannya.
Lalu, sinar matanya berkilat. Margana Kalpa
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Ssss...! Muncul suara desisan mirip bara api yang
tersiram air. Gulungan kulit harimau mengelua-
rkan asap. Margana Kalpa terkejut bukan main
melihat benda itu tak terbakar. Dia segera me-
nambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke
puncak. Suara desisan semakin terdengar jelas.
Margana Kalpa bertambah terkejut. Gulungan ku-
lit harimau yang sedang diremasnya tak juga terbakar. Padahal, kekuatan tenaga
dalam yang dis-
alurkan ke tangannya sudah sanggup untuk me-
lelehkan sebatang baja.
Tiba-tiba, Malaikat Bangau Sakti merasa
seperti terhantam kekuatan kasat mata. Dia pun
meregangkan cengkeramannya pada gulungan
kulit harimau. Splass...! Gulungan kulit harimau melayang, dan
melesat cepat keluar dari ruangan.
Margana Kalpa terkejut bukan main bagai
disambar petir. Demikian pula halnya dengan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam yang duduk
bersimpuh tak jauh darinya.
Malaikat Bangau Sakti menghemposkan
tubuhnya untuk mengejar. Namun, gulungan ku-
lit harimau telah lenyap dari pandangan. Lelaki berwajah pucat itu kembali
sambil menggerutu
panjang-pendek.
"Kekuatan kaum hitam terancam...," gumam Margana Kalpa penuh kecemasan. "Aku
harus mencari tahu siapa sebenarnya anak ajaib
yang dimaksud Datuk Risanwari."
Tanpa mempedulikan Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam, lelaki berwajah pucat itu segera berjalan menuju ke sebuah
ruangan berdinding
hitam. Dengan duduk bersila sambil memejam-
kan mata, Margana Kalpa mengerahkan kekuatan
indera keenamnya. Alam pikiran lelaki berwajah
pucat itu segera melayang-layang mengitari
mayapada. Tiga hari lamanya Malaikat Bangau Sakti
melakukan semadi. Selama itu tubuhnya tak ber-
gerak sedikit pun dari kedudukannya. Alam piki-
ran lelaki berwajah pucat itu terus melayang-
layang mencari jawaban mengenai anak ajaib.
Memasuki hari keempat, mendadak bibir
Margana Kalpa mengembangkan senyum.
"Suropati...!" desis Malaikat Bangau Sakti seraya membuka mata.
Lelaki berwajah pucat itu lalu bangkit, dan
tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya sangat gembira hari ini,"
kata Indarwa atau Setan Betina yang tiba-tiba
muncul di tempat itu.
"Aku memang sangat gembira, Kekasihku.
Sebentar lagi satu penghalang bagi terwujudnya
cita-citaku akan dapat kulenyapkan!" kata Malaikat Bangau Sakti seraya berjalan
keluar ruangan.
Indarwa mengikutinya dari belakang.
Margana Kalpa mengumpulkan seluruh
anak buahnya yang berjumlah empat ratus orang.
Dibaginya mereka menjadi delapan kelompok
yang masing-masing dipimpin oleh seseorang pe-
mimpin. "Hari ini juga kita akan menggempur Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti di Bukit Pan-
galasan!" kata Malaikat Bangau Sakti sambil berdiri di sebuah undak-undakan.
"Tapi ingat, tiap kelompok yang telah kususun harus bergerak
sendiri-sendiri. Jangan sampai ketahuan lawan
atau pun tercium oleh pihak kerajaan."
Setelah lelaki berwajah pucat itu memberi-
kan petunjuk-petunjuk, seluruh anak buahnya
segera menuruni bukit. Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam diperintah untuk bergerak paling depan sambil mencari Dewa Laknat
dan Pencabik Sukma untuk bergabung.
Sepeninggal para anggota Perkumpulan
Bangau Sakti, Setan Betina menghadap Margana
Kalpa. "Kau yakin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti akan dapat dibumihanguskan
dalam per-siapan yang demikian singkat?" tanya wanita cantik itu. "Kenapa
tidak"!" jawab Margana Kalpa.
"Tokoh sakti yang bercokol di dalam perkumpulan itu hanya beberapa gelintir. Aku
kira, hanya Gede Panjalu dan Suropati sendirilah yang patut diper-hitungkan."
Lelaki berwajah pucat itu mendapat semua
petunjuk mengenai Perkumpulan Pengemis yang
dipimpin Suropati melalui semadinya selama tiga hari. Termasuk tentang pentolan-
pentotan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Tapi, bagaimana kalau pihak kerajaan
mengetahui gerakan kita" Bukankah Suropati
atau Pengemis Binal itu mempunyai hubungan
dekat dengan Baginda Prabu Arya Dewantara?"
"Maka dari itu aku akan berangkat menda-
hului." Malaikat Bangau Sakti lalu bersuit nyaring.
Sebentar kemudian, di angkasa tampak seekor
bangau hitam raksasa terbang cepat dan menukik
turun di hadapan Margana Kalpa.
"Kaaakkk..! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu merundukkan tubuh-
nya. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke pung-
gung hewan tersebut
"Bawa aku ke Bukit Pangalasan, Hitam...!"
perintah lelaki berwajah pucat seraya menepuk
leher bangau raksasa.
"Tunggu!" teriak Setan Betina. "Apakah aku tidak boleh ikut serta?"
"Tidak! jawab Margana Kalpa. "Kau berjaga-jagalah di sini bersama lima puluh
orang anggota perkumpulan kita yang kutinggalkan."
Lelaki berwajah pucat kemudian menghen-
takkan kedua kakinya.
"Kaaakkk..!" Bangau raksasa mengepakkan sayap. Tubuhnya lalu melesat di angkasa
dengan membawa tubuh Malaikat Bangau Sakti. Setan
Betina menatap kepergiannya tanpa berkedip. Dia lalu memberi perintah kepada
lima puluh orang
yang berdiri di halaman istana untuk berjaga-jaga di pintu gerbang.
Di ruang utama bangunan megah wanita
cantik itu tertawa terbahak-bahak waktu melihat dua orang lelaki berdiri dengan
gagahnya. Mereka adalah Dewa Laknat dan Pencabik Sukma.
"Kalamambang dan kau, Narakasura...,"
kata Setan Betina menyebut nama kecil kedua to-
koh sesat itu. "Bukankah kesempatan seperti ini yang telah lama kita tunggu" Ha-
ha-ha...!"
Setan Betina kembali tertawa terbahak-
bahak. Kalamambang dan Narakasura mengikuti.
Ruangan yang mereka tempati bergetar oleh gelak tawa ketiga orang itu.
"Keinginan kita akan segera terwujud, In-
darwa...," kata Kalamambang atau si Dewa Laknat "Jalan untuk memusnahkan
kekuatan Mar- gana Kalpa sudah terpampang di depan mata."
"Benar!" ucap Setan Betina. "Orang-orang kita yang menyusup ke dalam tubuh
Perkumpulan Bangau Sakti akan menggempur anak buah
Margana Kalpa di tengah jalan. Dan untuk meng-
hadapi Penyedot Arwah serta Bayangan Hitam,
aku kira kalian berdua cukup mempunyai ke-
mampuan." 'Tapi, yang paling berat adalah menghadapi
Mangana Kalpa," kata Narakasura atau si Pencabik Sukma.
"Kau meremehkan kemampuanku, Naraka-
sura!" rungut Indarwa tak senang.
"Kau sanggup menghadapinya?" tanya Narakasura meragukan kemampuan temannya.
Setan Betina tertawa lunak. "Apa gunanya
aku setiap saat selalu bersama lelaki busuk itu, bila tidak untuk mencari
rahasia kelemahan ilmunya?"
"Kau sudah menemukannya?"
"Tentu saja sudah. Aku hanya menunggu
kesempatan...," kata Indarwa sambil mengulas senyum. "Kini kesempatan itu telah
tiba. Sekarang juga kita akan memanfaatkannya!"
Kalamambang dan Narakasura tertawa ke-
senangan. "Dendam kesumatku akan terlampiaskan.
Dan, kita bertiga akan menjadi raja di raja rimba persilatan!" kata Kalamambang
dengan mata berkilat. Indarwa lalu pergi ke sebuah lorong yang terletak di
bagian belakang bangunan Perkumpulan Bangau Sakti. Kalamambang dan Narakasura
mengikuti wanita itu, yang kini dianggapnya se-
bagai pemimpin.
"Kesaktian Margana Kalpa yang sedemikian
hebat adalah berkat bantuan arwah gurunya yang
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergelar Dewa Tapak Hitam...," beritahu Setan Betina. Langkah kakinya berhenti
di depan sebuah dinding yang terbuat dari batu kasar. "Namun, kita akan segera
menciptakan malapetaka
bagi arwah orang tua bangkotan itu!"
Indarwa menekan tonjolan batu kecil ber-
warna hitam yang menempel di pojok ruangan.
Tapi, Indarwa terperangah karena maksud ha-
tinya tak terpenuhi.
"Kenapa batu besar yang menutup ruang
penyimpan jasad Dewa Tapak Hitam tak berges-
er?" tanya wanita cantik itu kebingungan.
Dicobanya menekan kembali batu kecil
berwarna hitam dengan kakinya yang berlambar-
kan kekuatan tenaga dalam.
Kresh...! Batu kecil hancur menjadi serbuk halus.
Tapi, batu besar yang berada di samping Setan
Betina sama sekali tak bergerak.
"Kau sedang melakukan apa?" tanya Narakasura tak mengerti melihat tindakan
Indarwa. "Jasad Dewa Tapak Hitam berada di balik
batu besar itu. Aku sedang mencoba untuk mem-
bukanya." "Apakah Margana Kalpa juga melakukan
hal serupa bila hendak menemui jasad gurunya?"
"Ya. Tapi, kenapa aku tak dapat melaku-
kannya?" Indarwa semakin kebingungan.
"Margana Kalpa tentu telah melakukan se-
suatu untuk melindungi jasad Dewa Tapak Hi-
tam," duga Kalamambang.
"Kalau begitu, kita harus menghancurkan
batu penghalang itu!"
Setan Betina melangkah mundur tiga tin-
dak. Diambilnya ancang-ancang. Kemudian ke-
dua telapak tangannya menghentak ke depan!
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema. Ruangan ba-
gai diguncangkan tangan raksasa. Tapi, batu be-
sar yang terhantam kekuatan tenaga dalam In-
darwa tetap berdiri kokoh di tempatnya.
"Kalian berdua harus membantuku!" teriak Setan Betina menyimpan kegusaran.
Dewa Laknat dan Pencabik Sukma segera
melompat di sisi wanita cantik itu. Mereka bertiga menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya.
Dan, dalam waktu yang bersamaan ketiganya
mendorong telapak tangan.
Wooosss...! Blaaammm...! Bunga api berpijaran. Guncangan hebat
terjadi. Langit-langit ruangan runtuh. Debu dan bebatuan beterbangan mengaburkan
pandangan. Batu besar yang merupakan pintu ruang penyim-
pan jasad Dewa Tapak Hitam tak bergeming sedi-
kit pun. Padahal dinding marmer di sisi kiri-
kanan batu telah hancur berkeping-keping.
Tentu saja kenyataan itu membuat Setan
Betina dan kedua temannya terkejut setengah
mati. Belum sempat mereka menyadari keadaan
itu, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan. "Malaikat Bangau Sakti!"
desis ketiga tokoh sesat itu bersamaan.
"Kita sudah kepalang tanggung. Kita hada-
pi manusia busuk itu!" perintah Indarwa.
"Aku tak sanggup," jawab Kalamambang
dan Narakasura.
"Pengecut! Bukankah kalian penguasa wi-
layah selatan dan utara" Untuk apa kesaktian
yang kalian miliki bila seseorang telah merendahkan derajat kalian sebagai raja
golongan sesat?"
"Tapi, aku telah merasakan kehebatan
Margana Kalpa," ucap Kalamambang menyimpan rasa takut
"Bodoh!" umpat Indarwa. "Sekarang kau tidak sendirian!"
Mendengar ucapan itu, nyali Kalamambang
muncul kembali. Dia berdiri tegak menunjukkan
kegagahannya. "Keluar kau, Margana Kalpa.'" teriak Setan Betina yang disertai pengerahan
tenaga dalam. Suaranya terdengar mendengung-dengung di
gendang telinga.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat.
Lima tombak dari hadapan Indarwa dan kedua
temannya, sosok itu mendarat.
"Aku memang telah mencium siasat licik
kalian...," kata Margana Kalpa mendengus. "Rupanya kau musuh dalam selimut,
Indarwa!" "Cih! Siapa yang sudi jadi budak lelaki busuk sepertimu!" sahut Indarwa kertus.
Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana.
"Di balik kecantikanmu ternyata tersimpan iri dengki yang demikian besar!"
ucapnya sinis. "Kau lupa aku adalah tokoh hitam yang se-
lalu memuja nafsu sesat!" sahut Indarwa.
"Bagus! Kalau begitu, kejarlah nafsu se-
satmu sampai ke neraka!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Margana
Kalpa menghemposkan tubuh untuk melancarkan
sebuah pukulan maut. Tapi, Setan Betina yang
sudah siap siaga berusaha mendahului serangan
itu dengan tendangan tertuju ke kepala.
Gebrakan pertama mereka sama-sama tak
mengenai sasaran.
Margana Kalpa mendengus keras. Lelaki
itu bergerak ke samping seraya mengirimkan to-
tokan maut ke punggung Indarwa. Namun Dewa
Laknat dan Pencabik Sukma telah mengawali se-
rangannya. "Monyet-monyet busuk! Kalian akan segera
menyusul nyawa para cecunguk anak buahmu!"
kata Malaikat Bangau Sakti sambil menepis pu-
kulan dan tendangan yang datang beruntun.
"Orang-orangku tidak akan semudah itu
dapat dikalahkan," ucap Narakasura.
Margana Kalpa tertawa sinis. "Para pengi-
kutmu sudah masuk ke lubang jebakan. Kini aku
akan melemparkanmu ke lubang neraka!"
Lelaki berwajah pucat itu menghemposkan
tubuhnya ke atas. Kemudian, meluncur deras un-
tuk melancarkan tendangan ke rusuk kiri Penca-
bik Sukma. Tapi, lelaki sipit berkuku panjang itu segera bergerak mencakar wajah
Malaikat Bangau
Sakti. "Uts...!"
Margana Kalpa berkelit. Sementara ten-
dangan kakinya terhenti akibat tangkisan tangan kiri Narakasura.
Setan Betina dan Kalamambang berteriak
bersamaan. Mereka melancarkan pukulan dengan
berlambarkan kekuatan tenaga dalam penuh.
Deeesss...! Dada dan punggung Malaikat Bangau Sakti
terkena pukulan dengan telak. Dia hanya men-
dengus seperti tak merasakan apa-apa. Setan Be-
tina dan Kalamambang tampak terkejut sekali.
"Kalian hanyalah tikus-tikus yang tak tahu diuntung!" maki Margana Kalpa. Cepat
tubuhnya diputar hingga menyerupai gangsingan.
Slash...! Cahaya hitam mendadak berpendar dari
putaran tubuh Margana Kalpa. Sinar itu menye-
bar memenuhi ruangan.
"Awas...!" teriak Setan Betina sambil menghemposkan tubuhnya.
Tindakan itu segera diikuti oleh Dewa Lak-
nat dan Pencabik Sukma. Tubuh ke tiga tokoh se-
sat itu meluncur ke atas, dan menjebol langit-
langit ruangan. Bersamaan dengan hancurnya
dinding ruangan yang terhempas cahaya hitam
dari putaran tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Pertempuran seru beralih ke halaman ban-
gunan megah. Bahu-membahu. Setan Betina ber-
sama kedua temannya berusaha mendesak Mar-
gana Kalpa. Sementara itu lima-puluh orang lelaki yang
sedang berjaga di pintu gerbang, ketika melihat pertempuran itu, seketika mereka
saling gempur. Lima puluh lelaki itu memang anggota Perkumpu-
lan Bangau Sakti, separuhnya adalah para pengi-
kut Narakasura yang bermaksud meruntuhkan
kekuasaan Margana Kalpa dari tampuk pimpinan.
"Aku akan segera melumat tubuh kalian!"
teriak Malaikat Bangau Sakti seraya menghem-
boskan tubuhnya menjauhi arena pertempuran.
Rupanya dia hendak mencari keleluasaan dalam
mengetrapkan ajian saktinya.
Namun, ketiga lawannya sedikit pun tak
memberi kesempatan. Mereka terus menerjang
ganas berusaha menjatuhkan tangan maut.
"Keparat!" umpat Margana Kalpa. "Kalian benar-benar ingin mampus!"
Lelaki berwajah pucat itu memutar tubuh-
nya dengan cepat. Cahaya hitam kembali berpen-
dar dari putaran tubuhnya. Tapi, ketiga lawannya telah meloncat tinggi seraya
melontarkan pukulan jarak jauh secara bersamaan!
Para Ksatria Penjaga Majapahit 20 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 13
hat telah mempengaruhi syarafnya...," desis kakek itu seraya bergerak mendekati
si gadis. Kemudian, tangan kanan kakek itu men-
dekap kepala gadis berpakaian merah. Menda-
dak.... Slash...!
Tujuh batang jarum hitam melesat dan
menembus telapak tangan sang Resi. Tubuh si
gadis tersentak bersama keluhan kecil yang dikeluarkan sang Resi. Ketika kakek
itu menarik tangannya, darah merembes keluar. Tapi, dia tak begitu mempedulikan.
Langsung tangannya bersedekap dengan
kedua mata terpejam.
Melalui pengerahan seluruh kekuatan ba-
tinnya, sang Resi berusaha menghalau sisa keku-
atan sihir yang mencengkeram jiwa gadis berpa-
kaian merah. Sebentar kemudian, tubuh kedua
orang itu bergetar. Dengan perlahan sekali getaran itu akhirnya mereda.
Khrog...! Dari mulut si gadis keluar suara seperti
ayam disembelih. Lalu, tubuhnya mengejang dan
menghentak. Sesaat kemudian asap hitam men-
gepul dari kedua lubang telinganya. Bersamaan
dengan itu tubuh gadis berpakaian merah melorot ke tanah dan jatuh pingsan!
"Puji syukur ke hadirat Hyang Widhi...," bisik sang Resi.
Dibebaskannya totokan di tubuh si gadis,
lalu mengusap wajahnya. Gadis berpakaian me-
rah menggeliat lemah. Dia membuka matanya
dan bergerak bangkit.
"Apa yang terjadi?" tanya gadis itu mirip gumaman.
"Tenanglah...," ucap sang Resi. "Tetap du-duklah di tempatmu. Kau baru saja
terbebas dari pengaruh sihir jahat."
Bersamaan dengan usainya kalimat sang
Resi, gadis berpakaian merah merasakan aliran
darahnya terasa kacau bagai diaduk-aduk. Hal
itu membuat kepalanya pening dan pandangan
matanya mengabur.
"Bersemadilah!" perintah sang Resi.
Si gadis mengikuti petunjuk Kakek Resi.
Ternyata petunjuknya cukup berhasil. Rasa sakit yang mendera tubuhnya berhasil
dihilangkan. "Siapa namamu, Gadis Manis?" tanya sang Resi kemudian.
"Ingkanputri...," jawab si gadis. "Sebenarnya apa yang terjadi" Kenapa
perasaanku seperti sedang mengalami suatu kelahiran kembali?" Gadis bernama
Ingkanputri itu tampak kebingun-
gan. Sang Resi lalu menceritakan apa yang telah menimpa diri gadis itu. Setelah
mendengar kisah tersebut, Ingkanputri segera berlutut di hadapan sang Resi.
Dinyatakannya rasa terima kasih sambil menangis terharu.
Ingkanputri baru teringat kembali apa yang
menyebabkan dia sampai bisa berada di kedai
dan bertemu sang Resi.
Dia bersama Suropati terjerumus dalam lo-
rong jebakan di Lembah Tengkorak. Ingkanputri
hendak menjatuhkan tangan maut kepada Suro-
pati yang bermaksud menolongnya. Karena tak
melihat cara lain untuk menyelamatkan diri, dengan terpaksa Suropati melepas
dekapannya pada
tubuh Ingkanputri. Gadis itu pun meluncur jatuh ke dasar lorong.
Dalam keadaan gawat Ingkanputri masih
sempat menghunjamkan ujung selendangnya ke
dinding lorong. Tubuh Ingkanputri tertahan hing-ga tak terhempas ke dalam
lorong. Apa yang dilakukan gadis itu adalah hasil
ajaran Sekar Mayang, selama Perkumpulan Bida-
dari Lentera Merah masih berjaya. Sebagai anak
buah yang sangat diandalkan, Sekar Mayang me-
rasa perlu untuk mengajarkan pada Ingkanputri
mengenai ilmu memainkan selendang.
Dengan menghunjam-hunjamkan ujung se-
lendang ke dinding lorong, Ingkanputri merayap
naik. Gadis itu berhasil keluar dengan selamat.
Ketika dia berjalan hendak keluar dari Lembah
Tengkorak, Ingkanputri melihat sinar kehijauan
memancar dari sebuah benda bergulung terbuat
dari kulit harimau.
Ingkanputri memungut benda yang tergele-
tak tanah itu. Dibawanya ke mana pun dia pergi.
Tanpa disadarinya, benda itulah yang menyela-
matkannya dari pengaruh sihir jahat Sekar
Mayang hingga tak menjadikannya benar-benar
hilang ingatan.
"Sudahlah...," kata sang Resi. "Kau tak perlu larut dalam kesedihan. Seharusnya
kau ber- gembira. Dirimu telah kembali seperti sediakala."
"Bagaimana aku harus membalas budi
Eyang?" ujar Ingkanputri dengan kepala tertunduk. "Manusia diwajibkan untuk
saling tolong-menolong. Balas budi memang baik, tapi tidak di-
haruskan Hyang Widhi mengetahui kebaikan se-
seorang. Dia-lah yang akan membalas sega-
lanya...."
"Terima kasih, Eyang...," desis Ingkanputri.
Sang Resi menepuk bahu gadis itu. Lalu di-
tariknya pelan agar Ingkanputri berdiri.
"Kau ikutlah ke mana aku pergi. Jiwamu
perlu di sirami kasih Sang Penguasa Jagat," ajak Kakek Resi.
Ingkanputri tidak membantah. Dia me-
mang tidak memiliki siapa pun untuk tempatnya
bergantung. Gurunya, Dewi Tangan Api, tidak di-
ketahui di mana rimba.
Ketika Ingkanputri baru berjalan beberapa
tindak, gadis itu merasakan sesuatu mengganjal
di balik pakaian. Buru-buru Ingkanputri mera-
banya. "Apa ini?" desis Ingkanputri setelah mengeluarkan benda yang tidak pernah
diambilnya se- belum meninggalkan Lembah Tengkorak. Ru-
panya dia sudah lupa pada benda itu.
Dahi sang Resi yang memang sudah penuh
kerutan semakin berkerut menatap gulungan ku-
lit harimau yang dipegang Ingkanputri.
"Ada getaran aneh muncul dari dalam ben-
da itu...," gumam kakek tersebut. "Seperti sebuah benda wasiat dari seorang
tokoh sakti yang telah menyucikan diri."
Sang Resi lalu meminta gulungan kulit ha-
rimau, dan mengamatinya. Dia tidak tahu kalau
benda itu adalah wasiat Datuk Risanwari yang
harus disampaikan Suropati kepada Gede Panja-
lu. "Apakah kau bisa mengingat-ingat dari
mana benda ini berasal, Putri?" tanya sang Resi.
Ingkanputri berusaha memenuhi permin-
taan penolongnya. Tapi hanya kegelapanlah yang
dia temui. Selama enam candra lebih gadis itu telah lupa segala-galanya
Melihat Ingkanputri hanya berdiam diri,
sang Resi lalu mendongakkan kepalanya.
"Semoga Hyang Widhi memberi petunjuk
untuk mengetahui isi gulungan kulit harimau
ini," gumam kakek itu memanjatkan doa.
Perlahan-lahan tangannya membuka ika-
tan tali penjalin. Gulungan kulit harimau itu pun terkuak. Peluh segera
membasahi kening sang
Resi. Kedua tangannya gemetar ketika membaca
barisan huruf-huruf yang tertera....
Seiring bertambahnya usia jagat yang se-
makin tua, manusia semakin lupa akan kodratnya.
Nafsu jahat merajalela. Sifat-sifat tak terpuji semakin tertanam dalam jiwa.
Manusia terus mengikuti hasrat hati tanpa dapat membedakan salah dan benarnya.
Keluhuran budi yang hakiki menjadi bayangan semu yang akan memudar. Terlindas
oleh cerminan perilaku angkara.
Ketika rimba persilatan dikuasai oleh tokoh-tokoh beraliran sesat, bumi
berguncang laksana kiamat. Manusia saling membunuh. Darah dijadi-kan pelepas
dahaga. Tiada arti sanak kerabat.
Semua adalah musuh yang harus dienyahkan.
Langit seakan-akan telah runtuh. Jerit kematian berubah jadi irama merdu yang
mengelus gendang telinga. Manusia semakin terpuruk ke dalam lem-bah dosa.
Adalah Dewata Agung Yang Maha Adil. Dia
telah menurunkan seorang anak ajaib yang sanggup menyibak kegelapan. Dalam
tubuhnya tersimpan kebangkitan dari kebenaran dan keadilan.
Usai membaca untaian kalimat itu, sang
Resi menarik napas panjang. Jiwanya seakan ter-
bang melayang. Alam pikiran pun mendadak ko-
song. Beberapa lama kakek itu diam terpaku di
tempatnya. Namun, dengan menyebut Asma Sang
Tunggal akhirnya dia menyadari keadaan dirinya.
Perlahan-lahan tangan sang Resi menutup kem-
bali gulungan kulit harimau.
Saat itulah dua bayangan berkelebat, dan
mendarat tepat tiga tombak di hadapan sang Resi.
Kakek itu menatap dengan penuh keterkejutan!
"Keparat kau, Agaswara...!" hardik sosok nenek yang baru datang. "Kebetulan aku
berjumpa denganmu di sini. Sakit hatiku hanya dapat
diobati dengan nyawamu!"
Sang Resi yang dipanggil Agaswara mun-
dur beberapa tindak. Tiba- tiba sinar matanya
meredup. Tubuhnya menggigil seperti orang ke-
dinginan. "Sekar Arum....," gumam Agaswara dengan
suara gemetar. "Ha-ha-ha...!" Sekar Arum alias si Perangai Gila tertawa keras. "Ketika nyawa
sudah di ambang pintu neraka, kau masih mau menyebut
nama kecilku. Tapi, jangan harap peristiwa puluhan tahun lalu akan terulang
lagi!" "Maafkan aku, Arum...."
"Cih! Perbuatanmu melebihi kebiadaban
binatang! Apakah hanya dengan kata maaf semua
dapat pulih kembali"!" ujar Perangai Gila dengan berapi-api "Telah sekian lama
aku hidup dalam penderitaan akibat rasa malu yang mendera.
Hanya kematianlah tebusannya!"
Wanita kurang waras itu merenggut ram-
but palsunya. Kemudian dilemparkan ke arah Re-
si Agaswara! Lemparan yang disertai pengerahan
tenaga dalam itu membuat tubuh sang Resi ter-
lempar, dan jatuh bergulingan di atas tanah.
Melihat itu, Ingkanputri buru-buru melon-
cat untuk membantu sang Resi bangkit berdiri.
"Kau menjauhlah, Putri...," perintah Agaswa sambil mendekap dadanya.
"Aku memang manusia biadab. Aku akan
menebus dosa...."
Resi Agaswara menyodorkan gulungan ku-
lit harimau yang digenggamnya kepada Ingkanpu-
tri. Dia kemudian berdiam diri, siap menghadapi segala tindakan Perangai Gila.
Ketika matanya menatap kepala Perangai Gila yang gundul tanpa
kulit, dia menunduk tak sanggup menatap lebih
lama. Perangai Gila melirik ke arah Dewi Ikata
yang berdiri di sampingnya.
"Dialah manusia licik yang telah memper-
dayaiku, Ika...," beritahu wanita kurang waras itu dengan suara bergetar. "Dia
memang pandai ber-tipu muslihat. Kau lihat pakaiannya yang mirip
seorang pertapa, semua itu hanya untuk me-
nyembunyikan kebobrokan moralnya!"
"Jangan sebut itu, Arum...," sergah Resi Agaswara. "Jauh hari setelah aku
melakukan perbuatan terkutuk itu, timbul keinginanku untuk menebusnya dengan
mendekatkan diri kepa-
da Yang di Atas. Aku belajar tentang kebenaran
dan kesesatan. Dan, semua itu menimbulkan ra-
sa sesal yang tak pernah ada habis-habisnya...."
Perangai Gila tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan Agaswara. Lalu, kepalanya di-
palingkan menatap wajah muridnya. "Kau lihat sendiri, Ika. Manusia keparat itu
masih berusaha untuk memperdayai. Tapi, siapa yang tak tahu
kedok manusia penutup jiwa busuk!" kata wanita kurang waras itu setengah
berteriak "Hei, Agaswara! Hubungan di antara kita telah lama putus.
Kata-kata merdu tak layak untuk mengiringi ke-
matianmu! Bersiap-siaplah kau!"
Perangai Gila menggeram keras. Kedua
tangannya ditarik ke belakang dengan hembusan
napas berat. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya
telah tersalurkan!
Resi Agaswara cuma menatap sebentar. La-
lu, kakek itu berdiri tegak seraya memejamkan
mata. "Tak ada kekuatan yang melebihi kekuatan yang Widhi. Tak ada kekuasaan
yang melebihi kekuasaan Sang Penguasa Alam. Dengan kasih-
Nya, semoga dosa-dosaku kepada Sekar Arum te-
rampuni...."
Resi Agaswara tampak pasrah menyambut
datangnya Malaikat Kematian.
Melihat kedua tangan Perangai Gila berge-
tar oleh kuatnya aliran tenaga dalam, Ingkanputri melompat ke hadapan Resi
Agaswara. "Pergi kau!" bentak Perangai Gila.
Ingkanputri diam di tempatnya. Matanya
memandang wanita tak berambut itu tanpa ber-
kedip. "Kau jangan mencari kesulitan, Putri...,"
ujar Resi Agaswara. Dia tahu gadis itu berkeinginan hendak menolongnya.
"Biarkanlah aku menyambut kematian tanpa seorang pun ikut men-
jadi korban."
"Tidak!" teriak Ingkanputri seraya memba-likkan badan. "Eyang telah
menyelamatkan diriku dari tempat kelam yang menyakitkan dari segala
siksaan. Haruskah aku berdiam diri melihat
Eyang terancam bahaya?"
Gadis itu lalu menghambur dan memeluk
tubuh Resi Agaswara. Ingkanputri menangis da-
lam keharuan. Walaupun dia tak tahu siapa se-
benarnya Resi Agaswara dan apa yang telah dila-
kukannya terhadap Perangai Gila, tapi Ingkanpu-
tri dapat menilai kalau kebaikan sang Resi tidak
dibuat-buat. Kepasrahan kakek itu untuk mene-
rima kematian sanggup meluluhkan hati Ingkan-
putri. Gadis itu tenggelam dalam rasa haru yang sangat. "Kau tak perlu
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalirkan air mata untuk manusia kotor sepertiku, Putri. Segeralah pergi.
Dunia luas menanti uluran tanganmu!" ujar Resi Agaswara mantap.
Usai mengucapkan kalimatnya, kakek itu
menyentakkan lengannya dengan berlambarkan
tenaga dalam. Akibatnya tubuh Ingkanputri ter-
dorong jatuh Bersamaan dengan itu Perangai Gila me-
lancarkan pukulan jarak jauhnya!
Sinar perak meluncur deras ke arah Resi
Agaswara. Tapi, kakek itu tetap diam di tempat-
nya tanpa sedikit pun bergerak menghindar.
Deeesss...! Resi Agaswara terlempar beberapa tombak,
dan jatuh bergulingan di atas tanah dalam kea-
daan pingsan. Perangai Gila segera berpaling menatap ta-
jam wajah muridnya. "Kenapa kau menghalangi-ku untuk melenyapkan manusia busuk
itu"!"
bentaknya dengan penuh geram.
Dewi Ikata yang baru saja melancarkan
pukulan jarak jauh untuk mencegah gurunya
menjatuhkan tangan maut, hanya tertunduk di-
am. Serangan Perangai Gila meleset karena puku-
lan jarak jauh Dewi Ikata telah menjatuhkan tu-
buh Resi Agaswara.
Perangai Gila menggeram semakin keras.
"Cepat katakan! Apakah kau hendak mela-
wanku"!"
Dewi Ikata langsung menjatuhkan diri,
kemudian memeluk kaki Perangai Gila. Dia ingin
meredakan kemarahan gurunya.
"Aku mencintaimu, Eyang. Aku menyayan-
gimu. Tapi aku tak ingin melihat Eyang membu-
nuh orang yang telah mengakui kesalahannya,"
ucap Dewi Ikata. Air matanya membanjir.
Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.
Sambil menengadahkan wajah menanggapi uca-
pan muridnya. Kakinya menepis pelukan Dewi Ikata. Wa-
nita kurang waras itu lalu berlari pergi sambil terus tertawa.
"Eyang...!" Dewi Ikata berlari mengejar.
*** Langit tampak bersih. Sinar mentari mem-
biaskan warna perak. Angin berhembus pelan be-
rusaha mengusir gerah. Ranting pepohonan me-
liuk-liuk bagai tarian bidadari. Kicau burung yang tak pernah bosan menghibur
siang. Ingkanputri duduk bersimpuh di hadapan
Resi Agaswara yang sedang bersemadi untuk
mengobati luka dalamnya. Baju yang dikenakan
kakek tua itu sebagian telah hancur memperli-
hatkan bahu kirinya yang hangus.
Ketika mentari telah condong ke barat, Resi
Agaswara membuka matanya.
"Kau tidak apa-apa, Eyang?" tanya Ingkanputri cemas.
"Hyang Widhi masih berkenan melindungi
nyawaku," kata sang Resi. "Tapi, sebagian uratku telah hancur. Tangan kiriku tak
mungkin dapat digerakkan lagi."
Ingkanputri menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah Resi Agaswara dengan penuh belas
kasihan. Tiba-tiba air mata gadis itu meleleh. Dia teringat ayahnya yang telah
tiada. "Orang yang terjun dalam rimba persilatan
harus mempunyai hati baja. Kenapa hanya meli-
hat peristiwa kecil saja, air mata mesti diperlihatkan...," kata Resi Agaswara
dengan penuh kelembutan. Kakek itu mengira Ingkanputri menan-
gisi dirinya yang terluka.
Resi Agaswara lalu bangkit berdiri. Ada se-
dikit keluhan keluar dari mulutnya. Ingkanputri mendekat. Dibimbingnya kakek
itu. Mereka berjalan menyusuri siang tanpa tujuan yang pasti.
Ketika malam hampir menjelang, beberapa
dusun telah terlewati. Ingkanputri pun sadar pakaiannya yang serba merah selalu
mengundang perhatian orang. Maka, dengan uang pemberian
Resi Agaswara, dia membeli sepotong baju ber-
warna kuning. "Kau sangat cantik, Putri...." puji sang Resi sambil menatap baju baru
Ingkanputri. "Ah, Eyang...;" pipi gadis itu merona merah.
"Kita harus mencari tempat untuk berma-
lam. Mudah-mudahan ada orang baik yang mau
menyediakan rumahnya untuk kita."
"Aku sudah terbiasa tidur di alam bebas,"
sahut Ingkanputri.
"Maksudmu?"
"Di atas pohon, di hamparan tanah luas,
atau di tempat lainnya. Bagiku sama saja...."
"Kau tidak takut?" tanya Resi Agaswara sedikit heran. Bagaimana pun Ingkanputri
adalah seorang gadis muda yang cantik. Rasanya kurang
aman jika dia pergi ke mana-mana seorang diri.
Ingkanputri tersenyum tipis. "Eyang lupa
kalau aku adalah seorang petualang," katanya.
"Tapi, kau tetap seorang wanita yang tidak bisa lepas dari kodrat. Ada banyak
aturan yang membuat seorang wanita tidak bisa berbuat se-
maunya." "Ah, Eyang terlalu berlebihan," sungut Ingkan putri,
"Hus!"
Ingkanputri tertawa, Resi Agaswara pun
tersenyum. Mereka berjalan kembali sambil terus bercakap-cakap dengan akrabnya.
Walaupun ba-ru saling mengenal, tapi keakraban mereka sudah seperti ayah dan
putrinya. Di tepi sebuah hutan akhirnya Resi Agas-
wara menuruti ajakan Ingkanputri untuk berma-
lam di atas pohon besar. Kakek itu merasa lelah juga terus berjalan karena tidak
mendapat tempat penginapan atau rumah penduduk untuk berma-lam. Padahal malam
telah menjelang.
Ketika pagi baru saja tiba, mereka dike-
jutkan oleh teriakan dua orang lelaki tua bertampang angker.
"Agaswara! Malaikat Bangau Sakti telah
menyusun kekuatan. Ribuan pendekar telah men-
jadi bangkai. Yang mempunyai akal sehat memilih jalan sebagai pengikut. Hari ini
Sang Ketua berkenan mengundangmu ke Bukit Bangau!"
"Katakan kepada ketuamu, aku belum
mempunyai waktu untuk memenuhi undangan-
nya...," sahut Resi Agaswara dengan tenang.
Dua lelaki tua yang dikenal dengan sebu-
tan Bayangan Hitam dan Penyedot Arwah itu
menggeram. "Menojak undangan Sang Ketua berarti
menantang maut!" kata Bayangan Hitam yang
bertubuh jangkung.
"Aku mencium maksud buruk. Kenapa aku
mesti pergi ke Bukit Bangau"!"
"Ha-ha-ha...," tawa Bayangan Hitam membuat janggutnya yang putih panjang
bergerak ba- gai kibasan ekor sapi. "Katakan saja kalau kau takut, Agaswara!" ejeknya
kemudian. Sang Resi tersenyum tipis. Ingkanputri ber-
jalan mendekat.
"Siapa dia?" tanya gadis itu dengan berbisik. "Yang berpakaian serba hitam
adalah tokoh sesat yang merajai wilayah barat. Sedangkan yang berdiri di
belakangnya penguasa wilayah timur,"
beritahu Resi Agaswara.
"Hei, Agaswara!" hardik Penyedot Arwah.
"Tak perlu kau berbisik-bisik macam perempuan kurang kerjaan! Segera kau penuhi
perintah Sang Ketua. Atau aku akan menyeretmu!"
Tak ada kata yang keluar dari mulut Resi
Agaswara. Kakek itu malah membenarkan letak
selempang di bahu kirinya untuk menutupi kain
jubah yang robek. Gerakan kakek itu sangat te-
nang tanpa sedikit pun menunjukkan kegentaran,
padahal dua orang tokoh hitam yang berdiri dihadapannya bukanlah manusia
sembarangan. Se-
pak terjang mereka sangat ganas. Tak pernah
memberi ampunan terhadap lawan.
Duuuk... Tiba-tiba, Penyedot Arwah menggedrukkan
kaki kanannya ke tanah. Bumi seketika bergun-
cang. Beberapa buah batu besar bergeser dari
tempatnya. Tubuh Ingkanputri pun tampak lim-
bung. Tapi, Resi Agaswara malah tersenyum tipis, heran kakek itu tak merasakan
apa-apa. Tubuhnya tetap berdiri tegak.
Melihat itu, Penyedot Arwah menggeram,
telapak kakinya lalu kembali menghentak.
Swooosss...! Permukaan tanah di depannya berkubang.
Gumpalan padas bercampur bebatuan berpinda-
han menghujani tubuh sang Resi! Kakek itu bu-
ru-buru mengibaskan ujung lengan jubahnya. Se-
rangkum angin pukulan berputar membuat se-
rangan Penyedot Arwah tiada berarti.
"Kau memang hebat, Agaswara...," puji lelaki bertubuh kekar itu. "Tapi, aku
ingin tahu da- patkah kau bertahan dari ilmu 'Penghisap Darah'-
ku!" Penyedot Arwah langsung membuka kedua kakinya dengan badan sedikit
terbungkuk. Kedua
tangan ditekuk menghadap ke depan. Bersamaan
dengan itu, wajah Penyedot Arwah berubah te-
gang. Matanya melotot merah
Hhhh...! Tak ada angin pukulan yang muncul. Tapi,
Resi Agaswara terperangah merasakan aliran da-
rahnya mendadak jadi kacau. Detak jantung
menghentak-hentak bagai dipukuli palu godam!
Tokoh tua yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan itu segera menge-
rahkan hawa murni. Tubuhnya tampak bergetar
hebat. Penyedot Arwah menarik kaki kirinya ke
belakang bersamaan dengan kedua tangannya
yang menyentak.
Kworshhh.... Suatu pemandangan mengerikan pun ter-
jadi. Mulut Resi Agaswara menyemburkan darah
segar. Tersedot oleh telapak tangan Penyedot Arwah! Wajah sang Resi langsung
memucat, tata- pan matanya terlihat nyalang. Agaknya dia tahu
maut telah mengancam.
Tentu saja Ingkanputri tidak tinggal diam.
Gadis itu segera melancarkan pukulan jarak jauh dengan berlambarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka'.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema. Tubuh gadis
itu terlempar beberapa tombak. Rupanya, Bayan-
gan Hitam telah memapaki serangan Ingkanputri.
Resi Agaswara yang sedang berkutat mela-
wan maut menyorongkan telapak tangan kanan-
nya. Darah segar yang menyembur dari mulutnya
terhenti. Tapi, mendadak tubuh tokoh tua itu jatuh terjengkang.
"Ha-ha-ha...."
Tawa Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam
membahana bersamaan. Mereka menatap tubuh
Resi Agaswara dan Ingkanputri yang tergeletak di tanah. "Sang Ketua menunggumu
di Bukit Bangau, Agaswara!" teriak Bayangan Hitam.
Sang Resi bangkit seraya mendekap dada
kirinya. Saat itulah, Bayangan Hitam melihat tangan kiri Resi Agaswara
menggantung lemah.
"Huh! Rupanya kau telah cacat, Agaswara!
Semoga saja Sang Ketua masih mau memberimu
muka," kata lelaki berjanggut panjang itu.
"Kau kira ketuamu seorang malaikat, se-
hingga semua orang dipaksa bertekuk-lutut!"
hardik Ingkanputri yang telah berdiri di samping Resi Agaswara "Hanya kalianlah
yang patut dija-dikan budak. Wajah kalian berdua sangat mirip
kerbau congek yang tak mampu berpikir pan-
jang!" ejek gadis itu.
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam seraya menerjang.
Ingkanputri telah mempersiapkan diri. Tu-
buhnya melayang lalu mengirimkan tendangan.
Sayang, tendangan itu tak mengenai sasaran. Ju-
stru punggung Ingkanputri berhasil digedor la-
wan. Gadis itu jatuh terjerembab. Kalau saja dia tidak melindungi tubuhnya
dengan tenaga dalam,
punggungnya pasti sudah hancur.
"Gadis ingusan mau coba-coba melawan-
ku!" dengus Bayangan Hitam.
Ketika Ingkanputri bangkit berdiri, ada se-
suatu yang jatuh dari balik bajunya. Bayangan
Hitam menatap benda itu dengan mata terbelalak.
"Wasiat datuk Risanwari," desisnya. Secepat kilat disambarnya gulungan kulit
harimau yang tergeletak di tanah tak jauh darinya.
"Pencuri busuk!" hardik Ingkanputri.
Serta-merta gadis itu mengibaskan telapak
tangannya! Angin pukulan berhawa panas me-
nerpa. Bayangan Hitam pun menarik tangannya.
Tapi, dia segera melancarkan tendangan ke arah
Ingkanputri. Dengan berkelit ke samping, gadis itu ber-
hasil menghindari serangan. Kemudian disam-
barnya gulungan kulit harimau yang tergeletak di sisi kanan tubuhnya.
Blab...! Tiba-tiba, gadis itu menjerit tertahan. Tan-
gannya membentur kekuatan kasat mata yang di-
ciptakan Bayangan Hitam.
"Kau tak berhak memiliki benda wasiat itu, Gadis kecil!" kata Bayangan Hitam
sambil meng- gerakkan telapak tangannya ke depan. Dan, gu-
lungan kulit harimau melayang ke arahnya.
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan sentuh!" cegah Resi Agaswara. Dilancarkannya pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Bayangan Hitam yang berdiri di samping
Penyedot Arwah memapaki serangan itu. Akibat-
nya, tubuh sang Resi terlontar. Sadarlah dia kalau lawan mempunyai tenaga dalam
yang lebih tinggi di atasnya.
Pukulan jarak jauhnya seperti membentur
tembok baja setebal satu depa.
Penyedot Arwah tertawa terbahak-bahak
"Jayalah Sang Ketua dengan Perkumpulan Bangau Sakti-nya!" teriak tokoh sesat itu
dengan suara lantang.
Tanpa ada yang mengusik, lelaki bertubuh
kekar itu memungut gulungan kulit harimau.
Namun, keterkejutan menghantam dadanya.
Benda yang hampir tersentuh tangan itu tiba-tiba memancarkan sinar kehijauan.
Tubuh Penyedot Arwah terasa bagai dijalari hawa panas api nera-ka.
"Hih! Dengan kehendak Penguasa Gelap,
tak ada kekuatan yang mampu menghalangi naf-
su angkara!" Dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya, lelaki bertubuh kekar itu pun berhasil
menyambar gulungan kulit harimau. Kemudian,
dibawanya lari sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sang ketua menunggu kedatanganmu,
Agaswara!" Bayangan Hitam seraya menghem-
paskan tubuhnya, menyusul kepergian Penyedot
Arwah. 4 Puluhan bangau terbang rendah. Sayapnya
mengepak perlahan, kemudian terpentang dengan
gagahnya. Ketika hinggap di hamparan tanah
luas, paruhnya bergerak menotok mencari ma-
kan. Dilihat dari kejauhan bangau-bangau itu bagai biasan warna putih yang
bergerak mengikuti
irama. Selagi mereka asyik mencari makanan di
kubangan-kubangan air, seekor bangau besar
berbulu hitam datang melesat dan membuat ke-
terkejutan dengan suaranya yang serak. Bangau-
bangau putih pun buyar. Cepat mereka terbang
dikejar oleh rasa takut. Sebentar kemudian, tempat itu telah dikuasai oleh
puluhan bangau hi-
tam. Mereka menotol-notol tanah dengan suara
riuh-rendah. Di puncak bukit yang bertanah datar suatu
benteng setebal satu depa tampak melingkar.
Benteng itu, berkesan angker karena di pintu gerbang terdapat puluhan lelaki
berdiri dengan sinar mata bengis. Sementara di dalam benteng, di sebuah bangunan
megah, seorang lelaki berwajah
pucat duduk di singgasana perak bertaburkan
emas permata. Rambut lelaki itu telah memutih
semua. Dikuncir menjadi satu dalam jalinan pan-
jang. Tubuhnya yang kurus berkulit putih bersih
dibungkus pakaian sutera serba hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah darah.
Dia adalah Malaikat Bangau Sakti, pemim-
pin Perkumpulan Bangau Sakti yang telah berha-
sil menaklukkan empat tokoh hitam penguasa
penjuru mata angin.
Di hadapannya duduk dua orang lelaki tua
yang juga berpakaian serba hitam. Mereka bersila di lantai marmer. Yang berambut
riap-riapan adalah Dewa Laknat, penguasa wilayah selatan. Se-
dangkan yang bermata sipit adalah Pencabik
Sukma, penguasa wilayah utara.
Mereka mendongakkan kepala ketika Ma-
laikat Bangau Sakti mendengus, lalu berdiri dari singgasananya.
"Bukit Bangau telah menjulang dengan ga-
gah bertumbalkan ribuan nyawa...," kata lelaki berwajah pucat itu. "Namun,
sebagian besar adalah kaum kita sendiri yang tak mau bertekuk-
lutut di hadapanku. Tokoh-tokoh jajaran atas beraliran putih masih banyak yang
berkeliaran dengan bebas. Kalian harus membuatku puas."
Kepala Dewa Laknat dan Pencabik Sukma
kembali tertunduk. Suara Malaikat Bangau Sakti
bergetar seperti menyimpan kemarahan.
"Seluruh tokoh rimba persilatan harus
bernaung di bawah bendera perkumpulan Bangau
Sakti. Tugas kalian adalah membuat mereka tak-
luk!" "Hamba akan melaksanakan perintah...,"
kata Dewa Laknat dan Pencabik Sukma hampir
bersamaan. Ketika Malaikat Bangau Sakti menggerak-
kan kepalanya, dua orang tokoh sesat itu pun segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik
berumur tiga puluh tahun hadir dengan gerak tu-
buhnya yang lemah gemulai. Tangan kanannya
membawa nampan berisi segelas arak. Malaikat
Bangau Sakti segera menyambut. Lalu ditenggak-
nya arak sampai tandas. Setelah itu dia menatap berlama-lama wajah wanita cantik
yang berdiri di hadapannya.
"Hari ini kau kelihatan sangat cantik, In-
darwa...," puji lelaki berwajah pucat itu sambil mengulum senyum.
Wanita yang dipanggil Indarwa membalas
senyum itu. Pergelangan tangannya dilingkarkan
ke pinggang Malaikat Bangau Sakti. "Kau juga sangat tampan, Margana Kalpa...,"
bisiknya pelan.
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-
bahak. Di dekapnya tubuh Indarwa dengan erat.
Dia pun menghadiahkan kecupan mesra di bibir
wanita cantik itu.
"Aku senang kau menyebut nama kecilku,"
ucap Margana Kalpa seraya mentowel dagu In-
darwa. "Mengapa kau perintahkan Empat Penguasa Penjuru Angin dalam waktu yang
hampir ber- samaan, Kekasihku?" tanya Indarwa sambil men-gerjapkan matanya menggoda.
"Supaya cita-citaku untuk menguasai rim-
ba persilatan segera terwujud," Malaikat Bangau Sakti memberi alasan.
"Tapi, apakah kau telah mendapatkan Wa-
siat Datuk Risanwari yang katamu akan menjadi
penghalang?"
Mendadak Malaikat Bangau Sakti menden-
gus keras. Matanya nyalang menatap dinding
ruangan. Melihat perubahan sikap yang demikian
mendadak, Indarwa yang sebenarnya seorang to-
koh sesat jajaran atas yang berjuluk Setan Betina itu segera memeluk tubuh
Margana Kalpa. Di-elusnya dada lelaki berwajah pucat itu dengan
lembut "Kenapa mesti gusar" Bukankah anak
buahmu sangat banyak" Aku percaya mereka
akan dapat mewujudkan segala keinginanmu," bisik Indarwa lembut sekali dengan
bibir menyen- tuh telinga. "Kau memang pandai menghibur hatiku,
Indarwa...," kata Malaikat Bangau Sakti. Kemudian dia mengecup dahi kekasihnya.
"Aku bukan pandai menghibur. Hanya, aku
tidak suka melihatmu terbawa luapan amarah,"
ucap Indarwa. Hembusan napasnya yang harum
menerpa wajah Margana Kalpa.
Lelaki berwajah pucat itu lalu mencium bi-
bir Indarwa. Setan Betina pun mempererat pelu-
kannya. Margana Kalpa sejenak menatap wajah
cantik yang terpampang dekat di hadapannya,
sebelum mendaratkan ciuman ganas.
Indarwa menggelinjang membalas ciuman
itu hingga untuk beberapa lama bibir mereka
berpagutan. "Kau sangat cantik, Indarwa...," bisik Margana Kalpa kemudian.
"Dan kau sangat perkasa, Kekasihku...."
Setelah berkata-kata sebentar, dua anak
manusia itu berjalan sambil terus berpelukan.
Mereka menuju ke sebuah kamar yang beraroma
harum semerbak.
Margana Kalpa menjatuhkan tubuh Indar-
wa ke pembaringan. Sedangkan dia sendiri duduk
di sisi wanita cantik itu.
"Kenapa kau tidak melanjutkan?" tanya Setan Betina.
Malaikat Bangau Sakti tak memberi jawa-
ban. Tangan kanannya menopang dagu. Sinar
matanya pun terlihat suram.
Indarwa bangkit lalu mengelus dada lelaki
berwajah pucat itu seraya mencium lehernya.
"Untuk menyenangkan hatimu, besok aku
akan pergi mencari Wasiat Datuk Risanwari," bisik Indarwa.
"Ah, kau tak perlu melakukannya. Tugas-
mu adalah menemaniku bila aku berkeinginan
untuk berjalan-jalan ke nirwana," ucap Margana Kalpa seraya meraih bahu Indarwa,
lalu memba-ringkannya kembali.
Di lumatnya bibir wanita cantik itu. Tan-
gannya bergerak bebas menelusuri setiap jengkal tubuh Indarwa. Setan Betina
menggelinjang. Sua-
ra desahan berulang kali keluar dari mulutnya.
Satu persatu pakaian yang menutupi tubuh In-
darwa jatuh ke lantai.
"Tunjukkanlah keperkasaanmu, Kekasih-
ku...," bisik wanita cantik itu.
Tak ada kata yang diucapkan Margana
Kalpa. Mata lelaki berwajah pucat itu tiada bosan memandang lukisan keindahan
tubuh Indarwa. "Kau memang sangat cantik, Indarwa...," ucapnya kemudian seraya menundukkan
kepala Wajah Margana Kalpa terbenam di dada
Setan Betina. Dengan gerak perlahan, bibir lelaki berwajah pucat itu lalu
menelusuri ke bawah.
Indarwa merintih. Kedua tangannya mere-
mas rambut Margana Kalpa.
Sementara di luar sinar mentari masih se-
tia menerangi mayapada. Langit bersih tiada se-
gumpal awan. Hembusan angin mengelus puncak
Bukit Bangau. Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah berjalan melewati pintu gerbang. Puluhan lelaki yang menenteng golok di
pinggang tampak
menundukkan kepala memberi hormat
Ketika telah sampai di ruang utama ban-
gunan megah, Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-
wah saling berpandangan.
"Panggil lah Sang Ketua, Sapi Dungu...!"
Perintah Penyedot Arwah pada teman di samping-
nya. "Huh! Terhadapku kau berkuasa apa"!"
Bayangan Hitam berkata sinis. "Kerbau Bau! Kaulah yang harus mengerjakannya!"
"Kau takut?"
"Aku masih sayang nyawaku!"
Penyedot Arwah tertawa mengejek. "Tak di-
nyana penguasa wilayah barat ternyata mempu-
nyai nyali tikus!"
"Bangsat!" umpat Bayangan Hitam. Telapak tangannya disabetkan ke wajah Penyedot
Arwah. Beberapa lukisan yang menempel di dind-
ing ruangan bergerak ke kiri-kanan terkena angin pukulan. Tapi hanya dengan
melangkah mundur
satu tindak serangan Bayangan Hitam tak men-
genai sasaran. "Huh! Ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung'-
mu memang hebat. Namun tak akan sanggup
menandingi ilmu 'Penghisap Darah'ku!" dengus Penyedot Arwah dengan mata berkilat
"Baik. Kita buktikan!" tantang Bayangan Hitam. Usai mengucapkan kalimatnya,
tubuh Bayangan Hitam melayang di udara. Setelah ber-
salto beberapa kali, dia mendarat dua tombak da-ri tempatnya semula.
"Jangan menyesal bila riwayatmu putus
sampai di sini!" kata lelaki berjanggut panjang itu memperingatkan calon
lawannya. "Justru akulah yang akan mencabut nya-
wamu!" timpal Penyedot Arwah seraya membuka kakinya. Dengan badan sedikit
merunduk, telapak tangan lelaki bertubuh kekar itu menyorong
ke depan. Bayangan Hitam pun siap sedia untuk me-
nyambut ilmu pamungkas Penyedot Arwah
"Heaaa...!"
Dua teriakan menggema bersamaan. Sinar
kuning yang meluncur dari telapak tangan
Bayangan Hitam tertahan oleh kekuatan kasat
mata. Hingga, menimbulkan percikan bunga api
yang menyebar memenuhi ruangan.
Selama lima tarikan napas tubuh kedua
tokoh sesat itu berdiri kokoh di tempatnya. Tapi, Bayangan Hitam segera dapat
merasakan kehebatan ilmu pamungkas Penyedot Arwah. Detak jan-
tung lelaki berjanggut panjang itu menjadi tak teratur. Aliran darahnya kacau.
Di dalam dada se-
perti ada kekuatan yang menghentak-hentak. Tak
lama kemudian, dari hidung dan sudut bibir
Bayangan Hitam meleleh darah segar!
Apa yang dirasakan Penyedot Arwah pun
tak beda jauh. Tubuhnya yang kekar bergetar he-
bat. Pandangan matanya mengabur. Dadanya ba-
gai dipukul-pukuli palu godam, hingga terasa
mau jebol! Sadarlah mereka berdua kalau ilmu pa-
mungkas masing-masing mencapai taraf seim-
bang. Mereka tak dapat menarik kembali kekua-
tan tenaga dalam yang telah terlontar. Apabila salah seorang melakukannya,
kekuatan lawan akan
langsung menghantam dirinya tanpa dapat dihin-
dari lagi. Jalan satu-satunya untuk melenyapkan dua kekuatan dahsyat itu adalah
dengan menarik kembali tenaga dalam masing-masing secara ber-
samaan. Tapi, siapa yang mau percaya lawan ti-
dak akan berbuat curang"
Menyadari hal itu, wajah Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam memucat. Malaikat Kema-
tian tampaknya akan menjemput ajal mereka se-
cara bersamaan!
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang genting tersebut, tiba-tiba
seberkas cahaya kehitaman meluruk datang!
Blaaammm...! Sebuah ledakan dahsyat menggema hingga
menggetarkan lantai ruangan. Tubuh Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam terlempar memben-
tur dinding. "Manusia-manusia yang telah hilang akal-
nyalah yang patut melakukan tindakan seperti
itu!" Malaikat Bangau Sakti tahu-tahu telah berdiri tegak di sisi pintu ruangan.
Kedua tangan lelaki berwajah pucat itu masih mengepulkan
asap hitam. Dengan memusnahkan kekuatan te-
naga dalam Penyedot Arwah dan Bayangan Hi-
tam, dia telah menunjukkan kehebatannya. Apa
yang dilakukan Malaikat Bangau Sakti sama saja
dengan melawan dua kekuatan tenaga dalam ke-
dua anak buahnya. Jadi, dapat dibayangkan ting-
ginya ilmu yang dimiliki pemimpin Perkumpulan
Bangau Sakti itu.
"Manusia-manusia busuk! Apakah kalian
sengaja ingin memperlihatkan kepandaian di ha-
dapanku" Ampunan yang telah kuberikan apakah
tidak memuaskan kalian"!" kata Malaikat Bangau Sakti dengan penuh kemarahan.
Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam sege-
ra berlutut di hadapan lelaki berwajah pucat itu.
"Hamba bersalah...," kata Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam bersamaan.
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti
mendengus. Kaki kanannya digedrukkan ke lan-
tai. Tubuh dua tokoh sesat itu pun terlontar dan membentur langit-langit
ruangan, kemudian jatuh berdebam. Tapi mereka sedikit pun tak me-
nunjukkan rasa sakit. Hanya desahan panjang
yang terdengar.
"Galungking Saba...," panggil Malaikat Bangau Sakti dengan suara berat.
"Sudahkah kau bertemu dengan Resi Agaswara?"
Penyedot Arwah menganggukkan kepa-
lanya. "Jawab pertanyaanku, Galungking Saba!"
teriak Margana Kalpa. Lelaki bertubuh kekar yang disebut nama kecilnya itu
segera berjalan mendekat. "Hamba telah melaksanakan tugas Sang Ketua dengan
sebaik-baiknya," lapor Penyedot Arwah. Suaranya terdengar bergetar.
"Ha-ha-ha...," tawa Margana Kalpa menggema berkepanjangan. "Berarti sebentar
lagi anj-ing tua itu akan datang ke sini."
"Tapi...," sela Galungking Saba dengan badan menggigil ketakutan.
"Tapi apa, heh"!" bentak Margana Kalpa tak senang.
"Hamba... hamba...."
"Keparat! Apa yang hendak kau katakan"!"
"Hamba sudah menyampaikan undangan
Sang Ketua, tapi kehadiran Resi Agaswara belum
bisa ditentukan," akhirnya keluar juga kata-kata itu. "Goblok! Mestinya kau
seret dia!"
Mendengar kata-kata keras Malaikat Ban-
gau Sakti, Galungking Saba semakin terjerat rasa takut. "Menurut ilmu 'Jangka
Depan'ku, hanya Resi itulah yang sanggup membangkitkan arwah
guruku Dewa Tapak Hitam," lanjut Margana kal-pa.
"Tapi Sang Ketua tidak perlu kecewa. Ham-
ba membawa wasiat Datuk Risanwari...."
"Hah"!"
Mata Margana Kalpa terbelalak ketika Pe-
nyedot Arwah mengeluarkan gulungan kulit ha-
rimau dari balik bajunya.
Tawa Malaikat Bangau Sakti menggema
berkepanjangan. Benda-benda yang berada di da-
lam ruangan sampai berjatuhan. Penyedot Arwah
dan Bayangan Hitam merasakan jantung mereka
berdegup cepat bersama aliran darah yang tiba-
tiba menjadi kacau. Gendang telinga pun bergetar keras bagai ditampar berulang
kali. Sungguh hebat kekuatan tenaga dalam Margana Kalpa.
"Bagus! Bagus, Galungking Saba. Kau telah
menebus kesalahanmu...," kata Margana Kalpa kemudian. Disambarnya gulungan kulit
harimau dari tangan Penyedot Arwah.
Tapi, lelaki berwajah pucat itu jadi terkejut.
Telapak tangannya terasa panas bagai teraliri api neraka.
"Benda wasiat yang hebat," desis laki-laki itu seraya mengerahkan tenaga dalam.
Perlahan-lahan gulungan kulit harimau di
buka. Malaikat Bangau Sakti pun membaca bari-
san huruf-huruf yang tertulis di atas kulit
"Ha-ha-ha...!"
Tawa lelaki berwajah pucat itu menggema
lagi. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi
diri. "Anak ajaib...," gumam Margana Kalpa.
"Sebelum orang yang disebut si Pelindung Tua berbuat sesuatu, aku akan
melenyapkan nyawa
anak ajaib itu. Tapi, siapakah dia?"
Dahi lelaki berwajah pucat itu berkerut.
Otaknya dipaksa untuk bekerja keras. Beberapa
lama dia berdiri terpaku di tempatnya. Tiba-tiba dia mengulas senyum kemenangan.
"Kenapa aku mesti susah-susah memikir-
kannya?" kata hati lelaki berwajah pucat itu. "Kalau aku memusnahkan gulungan
kulit harimau ini, tak akan ada masalah!"
Malaikat Bangau Sakti menatap sejenak
Wasiat Datuk Risanwari dalam genggamannya.
Lalu, sinar matanya berkilat. Margana Kalpa
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Ssss...! Muncul suara desisan mirip bara api yang
tersiram air. Gulungan kulit harimau mengelua-
rkan asap. Margana Kalpa terkejut bukan main
melihat benda itu tak terbakar. Dia segera me-
nambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke
puncak. Suara desisan semakin terdengar jelas.
Margana Kalpa bertambah terkejut. Gulungan ku-
lit harimau yang sedang diremasnya tak juga terbakar. Padahal, kekuatan tenaga
dalam yang dis-
alurkan ke tangannya sudah sanggup untuk me-
lelehkan sebatang baja.
Tiba-tiba, Malaikat Bangau Sakti merasa
seperti terhantam kekuatan kasat mata. Dia pun
meregangkan cengkeramannya pada gulungan
kulit harimau. Splass...! Gulungan kulit harimau melayang, dan
melesat cepat keluar dari ruangan.
Margana Kalpa terkejut bukan main bagai
disambar petir. Demikian pula halnya dengan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam yang duduk
bersimpuh tak jauh darinya.
Malaikat Bangau Sakti menghemposkan
tubuhnya untuk mengejar. Namun, gulungan ku-
lit harimau telah lenyap dari pandangan. Lelaki berwajah pucat itu kembali
sambil menggerutu
panjang-pendek.
"Kekuatan kaum hitam terancam...," gumam Margana Kalpa penuh kecemasan. "Aku
harus mencari tahu siapa sebenarnya anak ajaib
yang dimaksud Datuk Risanwari."
Tanpa mempedulikan Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam, lelaki berwajah pucat itu segera berjalan menuju ke sebuah
ruangan berdinding
hitam. Dengan duduk bersila sambil memejam-
kan mata, Margana Kalpa mengerahkan kekuatan
indera keenamnya. Alam pikiran lelaki berwajah
pucat itu segera melayang-layang mengitari
mayapada. Tiga hari lamanya Malaikat Bangau Sakti
melakukan semadi. Selama itu tubuhnya tak ber-
gerak sedikit pun dari kedudukannya. Alam piki-
ran lelaki berwajah pucat itu terus melayang-
layang mencari jawaban mengenai anak ajaib.
Memasuki hari keempat, mendadak bibir
Margana Kalpa mengembangkan senyum.
"Suropati...!" desis Malaikat Bangau Sakti seraya membuka mata.
Lelaki berwajah pucat itu lalu bangkit, dan
tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya sangat gembira hari ini,"
kata Indarwa atau Setan Betina yang tiba-tiba
muncul di tempat itu.
"Aku memang sangat gembira, Kekasihku.
Sebentar lagi satu penghalang bagi terwujudnya
cita-citaku akan dapat kulenyapkan!" kata Malaikat Bangau Sakti seraya berjalan
keluar ruangan.
Indarwa mengikutinya dari belakang.
Margana Kalpa mengumpulkan seluruh
anak buahnya yang berjumlah empat ratus orang.
Dibaginya mereka menjadi delapan kelompok
yang masing-masing dipimpin oleh seseorang pe-
mimpin. "Hari ini juga kita akan menggempur Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti di Bukit Pan-
galasan!" kata Malaikat Bangau Sakti sambil berdiri di sebuah undak-undakan.
"Tapi ingat, tiap kelompok yang telah kususun harus bergerak
sendiri-sendiri. Jangan sampai ketahuan lawan
atau pun tercium oleh pihak kerajaan."
Setelah lelaki berwajah pucat itu memberi-
kan petunjuk-petunjuk, seluruh anak buahnya
segera menuruni bukit. Penyedot Arwah dan
Bayangan Hitam diperintah untuk bergerak paling depan sambil mencari Dewa Laknat
dan Pencabik Sukma untuk bergabung.
Sepeninggal para anggota Perkumpulan
Bangau Sakti, Setan Betina menghadap Margana
Kalpa. "Kau yakin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti akan dapat dibumihanguskan
dalam per-siapan yang demikian singkat?" tanya wanita cantik itu. "Kenapa
tidak"!" jawab Margana Kalpa.
"Tokoh sakti yang bercokol di dalam perkumpulan itu hanya beberapa gelintir. Aku
kira, hanya Gede Panjalu dan Suropati sendirilah yang patut diper-hitungkan."
Lelaki berwajah pucat itu mendapat semua
petunjuk mengenai Perkumpulan Pengemis yang
dipimpin Suropati melalui semadinya selama tiga hari. Termasuk tentang pentolan-
pentotan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Tapi, bagaimana kalau pihak kerajaan
mengetahui gerakan kita" Bukankah Suropati
atau Pengemis Binal itu mempunyai hubungan
dekat dengan Baginda Prabu Arya Dewantara?"
"Maka dari itu aku akan berangkat menda-
hului." Malaikat Bangau Sakti lalu bersuit nyaring.
Sebentar kemudian, di angkasa tampak seekor
bangau hitam raksasa terbang cepat dan menukik
turun di hadapan Margana Kalpa.
"Kaaakkk..! Kaaakkk...!"
Bangau raksasa itu merundukkan tubuh-
nya. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke pung-
gung hewan tersebut
"Bawa aku ke Bukit Pangalasan, Hitam...!"
perintah lelaki berwajah pucat seraya menepuk
leher bangau raksasa.
"Tunggu!" teriak Setan Betina. "Apakah aku tidak boleh ikut serta?"
"Tidak! jawab Margana Kalpa. "Kau berjaga-jagalah di sini bersama lima puluh
orang anggota perkumpulan kita yang kutinggalkan."
Lelaki berwajah pucat kemudian menghen-
takkan kedua kakinya.
"Kaaakkk..!" Bangau raksasa mengepakkan sayap. Tubuhnya lalu melesat di angkasa
dengan membawa tubuh Malaikat Bangau Sakti. Setan
Betina menatap kepergiannya tanpa berkedip. Dia lalu memberi perintah kepada
lima puluh orang
yang berdiri di halaman istana untuk berjaga-jaga di pintu gerbang.
Di ruang utama bangunan megah wanita
cantik itu tertawa terbahak-bahak waktu melihat dua orang lelaki berdiri dengan
gagahnya. Mereka adalah Dewa Laknat dan Pencabik Sukma.
"Kalamambang dan kau, Narakasura...,"
kata Setan Betina menyebut nama kecil kedua to-
koh sesat itu. "Bukankah kesempatan seperti ini yang telah lama kita tunggu" Ha-
ha-ha...!"
Setan Betina kembali tertawa terbahak-
bahak. Kalamambang dan Narakasura mengikuti.
Ruangan yang mereka tempati bergetar oleh gelak tawa ketiga orang itu.
"Keinginan kita akan segera terwujud, In-
darwa...," kata Kalamambang atau si Dewa Laknat "Jalan untuk memusnahkan
kekuatan Mar- gana Kalpa sudah terpampang di depan mata."
"Benar!" ucap Setan Betina. "Orang-orang kita yang menyusup ke dalam tubuh
Perkumpulan Bangau Sakti akan menggempur anak buah
Margana Kalpa di tengah jalan. Dan untuk meng-
hadapi Penyedot Arwah serta Bayangan Hitam,
aku kira kalian berdua cukup mempunyai ke-
mampuan." 'Tapi, yang paling berat adalah menghadapi
Mangana Kalpa," kata Narakasura atau si Pencabik Sukma.
"Kau meremehkan kemampuanku, Naraka-
sura!" rungut Indarwa tak senang.
"Kau sanggup menghadapinya?" tanya Narakasura meragukan kemampuan temannya.
Setan Betina tertawa lunak. "Apa gunanya
aku setiap saat selalu bersama lelaki busuk itu, bila tidak untuk mencari
rahasia kelemahan ilmunya?"
"Kau sudah menemukannya?"
"Tentu saja sudah. Aku hanya menunggu
kesempatan...," kata Indarwa sambil mengulas senyum. "Kini kesempatan itu telah
tiba. Sekarang juga kita akan memanfaatkannya!"
Kalamambang dan Narakasura tertawa ke-
senangan. "Dendam kesumatku akan terlampiaskan.
Dan, kita bertiga akan menjadi raja di raja rimba persilatan!" kata Kalamambang
dengan mata berkilat. Indarwa lalu pergi ke sebuah lorong yang terletak di
bagian belakang bangunan Perkumpulan Bangau Sakti. Kalamambang dan Narakasura
mengikuti wanita itu, yang kini dianggapnya se-
bagai pemimpin.
"Kesaktian Margana Kalpa yang sedemikian
hebat adalah berkat bantuan arwah gurunya yang
Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergelar Dewa Tapak Hitam...," beritahu Setan Betina. Langkah kakinya berhenti
di depan sebuah dinding yang terbuat dari batu kasar. "Namun, kita akan segera
menciptakan malapetaka
bagi arwah orang tua bangkotan itu!"
Indarwa menekan tonjolan batu kecil ber-
warna hitam yang menempel di pojok ruangan.
Tapi, Indarwa terperangah karena maksud ha-
tinya tak terpenuhi.
"Kenapa batu besar yang menutup ruang
penyimpan jasad Dewa Tapak Hitam tak berges-
er?" tanya wanita cantik itu kebingungan.
Dicobanya menekan kembali batu kecil
berwarna hitam dengan kakinya yang berlambar-
kan kekuatan tenaga dalam.
Kresh...! Batu kecil hancur menjadi serbuk halus.
Tapi, batu besar yang berada di samping Setan
Betina sama sekali tak bergerak.
"Kau sedang melakukan apa?" tanya Narakasura tak mengerti melihat tindakan
Indarwa. "Jasad Dewa Tapak Hitam berada di balik
batu besar itu. Aku sedang mencoba untuk mem-
bukanya." "Apakah Margana Kalpa juga melakukan
hal serupa bila hendak menemui jasad gurunya?"
"Ya. Tapi, kenapa aku tak dapat melaku-
kannya?" Indarwa semakin kebingungan.
"Margana Kalpa tentu telah melakukan se-
suatu untuk melindungi jasad Dewa Tapak Hi-
tam," duga Kalamambang.
"Kalau begitu, kita harus menghancurkan
batu penghalang itu!"
Setan Betina melangkah mundur tiga tin-
dak. Diambilnya ancang-ancang. Kemudian ke-
dua telapak tangannya menghentak ke depan!
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema. Ruangan ba-
gai diguncangkan tangan raksasa. Tapi, batu be-
sar yang terhantam kekuatan tenaga dalam In-
darwa tetap berdiri kokoh di tempatnya.
"Kalian berdua harus membantuku!" teriak Setan Betina menyimpan kegusaran.
Dewa Laknat dan Pencabik Sukma segera
melompat di sisi wanita cantik itu. Mereka bertiga menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya.
Dan, dalam waktu yang bersamaan ketiganya
mendorong telapak tangan.
Wooosss...! Blaaammm...! Bunga api berpijaran. Guncangan hebat
terjadi. Langit-langit ruangan runtuh. Debu dan bebatuan beterbangan mengaburkan
pandangan. Batu besar yang merupakan pintu ruang penyim-
pan jasad Dewa Tapak Hitam tak bergeming sedi-
kit pun. Padahal dinding marmer di sisi kiri-
kanan batu telah hancur berkeping-keping.
Tentu saja kenyataan itu membuat Setan
Betina dan kedua temannya terkejut setengah
mati. Belum sempat mereka menyadari keadaan
itu, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan. "Malaikat Bangau Sakti!"
desis ketiga tokoh sesat itu bersamaan.
"Kita sudah kepalang tanggung. Kita hada-
pi manusia busuk itu!" perintah Indarwa.
"Aku tak sanggup," jawab Kalamambang
dan Narakasura.
"Pengecut! Bukankah kalian penguasa wi-
layah selatan dan utara" Untuk apa kesaktian
yang kalian miliki bila seseorang telah merendahkan derajat kalian sebagai raja
golongan sesat?"
"Tapi, aku telah merasakan kehebatan
Margana Kalpa," ucap Kalamambang menyimpan rasa takut
"Bodoh!" umpat Indarwa. "Sekarang kau tidak sendirian!"
Mendengar ucapan itu, nyali Kalamambang
muncul kembali. Dia berdiri tegak menunjukkan
kegagahannya. "Keluar kau, Margana Kalpa.'" teriak Setan Betina yang disertai pengerahan
tenaga dalam. Suaranya terdengar mendengung-dengung di
gendang telinga.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat.
Lima tombak dari hadapan Indarwa dan kedua
temannya, sosok itu mendarat.
"Aku memang telah mencium siasat licik
kalian...," kata Margana Kalpa mendengus. "Rupanya kau musuh dalam selimut,
Indarwa!" "Cih! Siapa yang sudi jadi budak lelaki busuk sepertimu!" sahut Indarwa kertus.
Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana.
"Di balik kecantikanmu ternyata tersimpan iri dengki yang demikian besar!"
ucapnya sinis. "Kau lupa aku adalah tokoh hitam yang se-
lalu memuja nafsu sesat!" sahut Indarwa.
"Bagus! Kalau begitu, kejarlah nafsu se-
satmu sampai ke neraka!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Margana
Kalpa menghemposkan tubuh untuk melancarkan
sebuah pukulan maut. Tapi, Setan Betina yang
sudah siap siaga berusaha mendahului serangan
itu dengan tendangan tertuju ke kepala.
Gebrakan pertama mereka sama-sama tak
mengenai sasaran.
Margana Kalpa mendengus keras. Lelaki
itu bergerak ke samping seraya mengirimkan to-
tokan maut ke punggung Indarwa. Namun Dewa
Laknat dan Pencabik Sukma telah mengawali se-
rangannya. "Monyet-monyet busuk! Kalian akan segera
menyusul nyawa para cecunguk anak buahmu!"
kata Malaikat Bangau Sakti sambil menepis pu-
kulan dan tendangan yang datang beruntun.
"Orang-orangku tidak akan semudah itu
dapat dikalahkan," ucap Narakasura.
Margana Kalpa tertawa sinis. "Para pengi-
kutmu sudah masuk ke lubang jebakan. Kini aku
akan melemparkanmu ke lubang neraka!"
Lelaki berwajah pucat itu menghemposkan
tubuhnya ke atas. Kemudian, meluncur deras un-
tuk melancarkan tendangan ke rusuk kiri Penca-
bik Sukma. Tapi, lelaki sipit berkuku panjang itu segera bergerak mencakar wajah
Malaikat Bangau
Sakti. "Uts...!"
Margana Kalpa berkelit. Sementara ten-
dangan kakinya terhenti akibat tangkisan tangan kiri Narakasura.
Setan Betina dan Kalamambang berteriak
bersamaan. Mereka melancarkan pukulan dengan
berlambarkan kekuatan tenaga dalam penuh.
Deeesss...! Dada dan punggung Malaikat Bangau Sakti
terkena pukulan dengan telak. Dia hanya men-
dengus seperti tak merasakan apa-apa. Setan Be-
tina dan Kalamambang tampak terkejut sekali.
"Kalian hanyalah tikus-tikus yang tak tahu diuntung!" maki Margana Kalpa. Cepat
tubuhnya diputar hingga menyerupai gangsingan.
Slash...! Cahaya hitam mendadak berpendar dari
putaran tubuh Margana Kalpa. Sinar itu menye-
bar memenuhi ruangan.
"Awas...!" teriak Setan Betina sambil menghemposkan tubuhnya.
Tindakan itu segera diikuti oleh Dewa Lak-
nat dan Pencabik Sukma. Tubuh ke tiga tokoh se-
sat itu meluncur ke atas, dan menjebol langit-
langit ruangan. Bersamaan dengan hancurnya
dinding ruangan yang terhempas cahaya hitam
dari putaran tubuh Malaikat Bangau Sakti.
Pertempuran seru beralih ke halaman ban-
gunan megah. Bahu-membahu. Setan Betina ber-
sama kedua temannya berusaha mendesak Mar-
gana Kalpa. Sementara itu lima-puluh orang lelaki yang
sedang berjaga di pintu gerbang, ketika melihat pertempuran itu, seketika mereka
saling gempur. Lima puluh lelaki itu memang anggota Perkumpu-
lan Bangau Sakti, separuhnya adalah para pengi-
kut Narakasura yang bermaksud meruntuhkan
kekuasaan Margana Kalpa dari tampuk pimpinan.
"Aku akan segera melumat tubuh kalian!"
teriak Malaikat Bangau Sakti seraya menghem-
boskan tubuhnya menjauhi arena pertempuran.
Rupanya dia hendak mencari keleluasaan dalam
mengetrapkan ajian saktinya.
Namun, ketiga lawannya sedikit pun tak
memberi kesempatan. Mereka terus menerjang
ganas berusaha menjatuhkan tangan maut.
"Keparat!" umpat Margana Kalpa. "Kalian benar-benar ingin mampus!"
Lelaki berwajah pucat itu memutar tubuh-
nya dengan cepat. Cahaya hitam kembali berpen-
dar dari putaran tubuhnya. Tapi, ketiga lawannya telah meloncat tinggi seraya
melontarkan pukulan jarak jauh secara bersamaan!
Para Ksatria Penjaga Majapahit 20 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 13