Pencarian

Misteri Pusaka Pedang Gaib 1

Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Bagian 1


MISTERI PUSAKA PEDANG GAIB Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Misteri Pusaka Pedang Gaib
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Seorang gadis cantik berkebaya hijau ber-
diri mematung di perempatan jalan utama Desa
Lebaksiu. Sikapnya seperti orang bingung. Pan-
dangannya menebar ke seluruh penjuru seperti
ada yang dicarinya. Rambutnya yang panjang di-
biarkan tergerai, membuat hembusan angin lelu-
asa memainkannya.
Merasa tidak ada yang menarik perhatian-
nya, gadis bertubuh sintal ini melanjutkan langkahnya kembali. Diambilnya jalan
yang menuju ke pintu gerbang kota.
Saat pandangannya tertumbuk pada empat
lelaki yang berdiri di depan kios pakaian, si gadis memperlambat jalannya. Ada
pikiran yang ber-gayut di benaknya.
"Melihat bentuk pakaian dan pedang yang
terselip di punggung, orang berbaju merah itu
tentu mengerti ilmu silat. Ketiga temannya walau berpakaian kedodoran, agaknya
juga mengerti il-mu silat. Hmmm.....Aku harus berbuat seperti
yang telah kurencanakan...," gumam gadis berkebaya hijau dengan tarikan senyum
tipis. Cara berjalan si gadis kini tampak dibuat-
buat. Langkahnya pendek-pendek. Sementara
dua bukit indahnya terlihat bergoyang-goyang.
Ketika berada di hadapan empat lelaki yang se-
perti sedang menantikan sesuatu, kepalanya me-
noleh seraya melempar kerlingan. Tangan kirinya melambai, bermakna ajakan.
"Kau kenal gadis itu, Randu?" tanya lelaki berbaju merah yang punggungnya
tersampir sebilah pedang pada lelaki berbaju kuning.
"Tidak," jawab lelaki berbaju kuning yang dipanggil Randu.
"Kau?" lelaki berbaju merah memandang kepada dua temannya yang memakai baju
putih dan hitam secara bergantian.
Melihat dua temannya menggelengkan ke-
pala, kening lelaki berbaju merah berkerut.
"Kita tidak mengenal gadis itu. Tapi kenapa dia melambaikan tangannya ke arah
kita?" katanya setengah menggumam. Tapi, teman-
temannya masih dapat mendengarnya.
"Persetan dengan-gadis itu, Garundi! Lu-
pakan dia! Urusan kita di sini belum selesai!" desis Randu.
"Bodoh! Kita tak boleh melewatkan kesem-
patan ini. Tampaknya gadis tadi ada minat kepa-
da salah seorang di antara kita," ujar lelaki berbaju merah yang ternyata
bernama Garundi. "Kita ikuti dia. Urusan di kota Kadipaten Bumiraksa ini kita
tunda dulu. Ada urusan yang lebih menyenangkan. Bukan begitu, Baskara"
Walengka?"
Lelaki berbaju putih yang bernama Baska-
ra dan lelaki berbaju hitam yang dipanggil Wa-
lengka mengangguk. Tampaknya mereka ini me-
nyetujui usul Garundi.
Sementara, Randu bersungut-sungut keti-
ka tiga temannya tergopoh-gopoh membuntuti
gadis berkebaya hijau. Hati lelaki berbaju kuning akhirnya lumer juga. Segera
dia berlari, mengikuti
langkah ketiga temannya.
Sementara itu, langkah si gadis berkebaya
hijau telah sampai di pintu gerbang kota. Senyum manisnya diumbar ke arah empat
orang prajurit penjaga. Prajurit-prajurit kadipaten ini pun saling
berpandangan. Dan mata mereka jadi terbeliak
penuh minat melihat tubuh bagian atas si gadis
yang sengaja digoyang-goyangkan. Namun minat
mereka pupus, dan langsung berubah jadi cibiran ketika muncul empat lelaki
mengikuti langkah si gadis. "Nona...! Nona...!" panggil Garundi, setelah agak
jauh meninggalkan pintu gerbang kota.
Gadis berkebaya hijau menghentikan lang-
kah. Dengan gerakan gemulai badannya berbalik.
"Tuan memanggil Swani?" tanya si gadis bernama Swani sambil melempar senyum
manis pada empat lelaki yang telah berdiri di hadapannya. Suaranya terdengar manja.
"O, jadi namamu Swani?" Garundi balik bertanya dengan kepala sedikit terangkat.
Si gadis menunduk. Kali ini sikapnya ma-
lu-malu, seperti salah tingkah.
"Benar namamu Swani?" ulang lelaki berbaju merah yang wajahnya lebar dihiasi
kumis tipis ini. "Ya, Tuan," sahut Swani, menggemaskan sekali nada suaranya.
"Jangan panggil 'Tuan'. Namaku Garundi,"
ujar lelaki berbaju merah.
"Aku Walengka," timpal lelaki berbaju hi-
tam. "Aku Baskara," unjuk lelaki berbaju putih.
"Aku Randu," lelaki berbaju kuning turut memperkenalkan diri.
Swani tampak bertambah malu-malu. Ke-
palanya menunduk. Jemari tangannya sibuk me-
milin-milin ujung kebayanya membuat gemas
empat lelaki yang makin menikmati kecantikan si gadis. Apalagi ketika mulutnya
mendesah-desah.
Suaranya seperti hendak meminta pertolongan,
tapi malu mengatakannya.
"Sebenarnya kau hendak ke mana, Wu-
lan?" tanya Garundi.
Swani tak menjawab. Kini jemari tangan-
nya sibuk memainkan kancing kebayanya.
"Kalau kau hendak minta bantuan, kata-
kan saja. Tak usah malu-malu," desak Garundi, penuh semangat. Seolah dia hendak
menjadikan dirinya. "Tapi...."
Swani hendak mengatakan sesuatu, tapi
suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
"Sudah kubilang, tak usah malu-malu."
Swani mengangkat wajahnya.
"Aku memang butuh bantuan. Tapi, yang
bisa membantuku hanya orang pandai berkela-
hi...," tuturnya dengan raut wajah sungguh-sungguh.
Garundi tertawa bergelak. Sigap sekali pe-
dang yang terselip di pinggangnya dihunuskan.
"Kau perhatikan baik-baik!" ujar lelaki berumur sekitar tiga puluh tahun ini
kepada Swani. Swani tersenyum senang ketika Garundi
memperlihatkan satu jurus permainan pedang-
nya. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari den-
gan gerakan kaki yang lincah. Tangannya mengi-
bas secara menyilang ke kiri dan kanan. Kadang
pula menusuk, seolah di depannya ada sasaran
yang ditujunya. Garundi lantas menutup gera-
kannya dengan pedang tegak di depan wajah.
Karena tak mau kalah, ketiga teman Ga-
rundi meloloskan ikat pinggang yang ternyata berupa cambuk. Bersamaan mereka
memainkan sa- tu jurus ilmu cambuk. Tiga lidah cambuk tampak
menggeliat kesana kemari, memperdengarkan su-
ara ledakan keras.
"Ya..., ya! Ternyata Tuan-tuan adalah orang pandai," puji Swani.
Ketiga teman Garundi menghentikan gera-
kan disertai tawa senang. Mereka mengusap pe-
luh di wajah masing-masing. Dan mata mereka
tak urung pula mata Garundi, jadi melotot ketika melihat Swani membusungkan
dada. Salah satu
kancing kebayanya terbuka, menampakkan ke-
mulusan kulit dua bukit indah di balik kain hijau itu. Jakun mereka kontan naik-
turun, berusaha
menelan ludah berkali-kali untuk membasahi
tenggorokan yang mendadak kering.
"Tuan-tuan bersedia menolong Swani, bu-
kan?" pinta Swani dengan suara manja.
"Ya..., ya..., ya!" empat lelaki ini kontan me-nyanggupi. Pandangan mereka tak
lepas dari da- da kenyal si gadis.
"Sekarang ikuti Swani...."
Gadis berkebaya hijau melempar senyum
memikat. Tubuhnya berbalik, lalu melangkah ge-
mulai. Segera Garundi dan ketiga temannya men-
gikuti langkah si gadis.
Beberapa lama kemudian, langkah keem-
pat lelaki itu jauh tertinggal. Segera mereka berlari, tapi tetap saja tak dapat
menyusul langkah si gadis. Ketika menambah kecepatan lari, Swani tetap tak dapat
tersusul. Padahal, gadis itu cuma berjalan biasa!
"Aneh...," desah Garundi. "Kita sudah berlari-lari sekuat tenaga, tapi gadis itu
tetap saja berada jauh di depan...."
"Silumankah dia?" cetus Walengka, mendadak berpikir tak enak.
"Cepatlah...!" Sebelum ada yang menyahuti ucapan Walengka, telah terdengar
teriakan. Nun jauh di sana, Swani tampak melambaikan tan-
gannya. Garundi dan teman-temannya saling ber-
pandangan. Ketika melihat Swani menarik kain
yang dikenakan, mata keempat lelaki ini melotot lagi. Walau tak seberapa jelas,
tapi masih dapat melihat paha mulus Swani. Saat itu pula semangat mereka bangkit
kembali. "Tunggulah di situ!" teriak Garundi seraya berlari cepat. Ketiga temannya segera
mengikuti dari belakang.
Seperti tak sabar, Swani melangkah lagi.
Hanya berjalan biasa, tapi Garundi dan teman-
temannya yang berlari tetap tak dapat menyusul-
nya. Agaknya nafsu kotor yang telah menutupi
akal sehat, membuat mereka tak menyadari kea-
daan. Hingga tanpa terasa, Garundi dan ketiga
temannya telah berada di kaki Bukit Ranuglagah
yang terletak di utara kota Kadipaten Bumiraksa.
Walau belum seberapa jauh meninggalkan
kota, tapi napas mereka terengah-engah kini.
Dan, mereka pun celingukan, karena tiba-tiba sosok Swani menghilang entah ke
mana. "Setan...!" desis Randu, menyimpan rasa takut. "Bukan! Dia bukan setan!" sergah
Garundi. "Tidak ada setan pada hari siang seperti ini!"
Garundi tampak celingukan terus. Dia ber-
jalan ke sana kemari mencari Swani. Mau tak
mau, ketiga temannya turut pula mencari. Tiba-
tiba.... "Heh"!"
Mereka berteriak kaget ketika berkelebat
sesosok bayangan hitam yang langsung mendarat
di depan mereka.
"Kalian mencari siapa"!" bentak Sosok bayangan hitam yang ternyata seorang
pemuda berpakaian serba hitam. Wajahnya halus tampan
dihiasi kumis dan jenggot tipis.
"Kami sedang mencari seorang gadis ber-
kebaya hijau," sahut Garundi, memberanikan diri.
Siapa tahu si pemuda dapat menunjukkan di ma-
na Swani berada. Begitu pikirnya
Pemuda berpakaian serba hitam tersenyum
tipis. "Aku tak melihat seorang pun manusia di tempat ini. Kecuali, kalian...."
"Tapi..., dia benar-benar lewat sini tadi...."
"Seperti Paman ini tak mempercayai uca-
pan ku. Sejak pagi aku berada di tempat ini. Tak ada manusia yang lewat, kecuali
kalian!" "Tapi..., tapi...."
"Sudahlah....," selak si pemuda dengan suara lebih lembut. "Lupakan saja gadis
itu. Aku akan menunjukkan sesuatu yang lebih menarik."
"Apa?" tanya Garundi dan ketiga temannya, hampir bersamaan.
"Sesuatu yang amat menarik. Pasti kalian
tercengang dan terkagum-kagum!"
"Coba katakan apa itu?" desak Baskara.
"Apakah seorang gadis yang lebih cantik daripada Swani?"
"Siapa Swani?" pemuda berkumis tipis balik bertanya.
"Gadis yang sedang kami cari."
"Ah! Lupakan saja itu. Ikuti aku sekarang.
Aku akan menunjukkan sesuatu yang lebih hebat
daripada kecantikan seorang gadis," ujar si pemuda. "Katakan dulu apa itu!" ujar
Baskara, setengah membentak.
Bibir si pemuda tersenyum tipis.
"Sebuah senjata pusaka," katanya pelan.
"Aku tidak tertarik!" sergah Baskara, cepat.
"Bodoh! Kalau kau mendapatkan senjata
pusaka itu, akan menjadi manusia sakti yang tak tertandingi. Kau bisa berbuat
apa saja tanpa seorang pun dapat menghalangi. Kau bisa mencari
gadis-gadis cantik sebanyak-banyaknya!"
"Benarkah itu?" Baskara melongo.
Tiga teman lelaki lain yang berdiri di ka-
nan-kirinya pun juga membulatkan mulut.
"Bukan hanya itu," lanjut si pemuda. "Dengan senjata pusaka itu, kalian dapat
menjadi raja di raja rimba persilatan. Dan tentu saja, kalian dapat mewujudkan
semua keinginan. Yah.... Ba-rangkali kalian berjodoh dengan senjata pusaka
itu." Bujukan si pemuda berhasil. Garundi dan teman-temannya segera mengekor
tanpa curiga sedikit pun, ketika pemuda berpakaian serba hi-
tam, yang baru dikenal melangkah ringan. Ru-
panya empat lelaki ini gampang sekali percaya
pada perkataan orang. Tapi apakah si pemuda tak hendak membohongi mereka"
*** Garundi dan teman-temannya benar-benar


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat tercengang dan terkagum-kagum. Di da-
lam sebuah gua, masih di kaki Bukit Ranuglagah, pemuda berpakaian serba hitam
yang mengajak mereka memperlihatkan sebilah pedang pusaka
yang ujungnya menancap di sebongkah batu. Bi-
lah pedang yang penuh ukiran memancarkan ca-
haya merah gemerlapan. Sehingga, dinding gua
turut berwarna merah. Sedangkan sarung pedang
tergeletak tak jauh dari bilah pedang yang berdiri tegak lurus
"Itulah Pusaka Pedang Gaib," jelas si pemuda. "Pusaka Pedang Gaib?" kejut
Garundi dan teman-temannya.
"Uts! Kalian tetap berdiri di sini!" cegah si pemuda saat melihat empat lelaki
yang berdiri di sisinya hendak mendekati pedang pusaka yang
memancarkan cahaya merah.
"Aku ingin melihat pedang itu lebih dekat!"
ujar Garundi. "Tidak cuma melihat. Tapi, aku ingin me-
milikinya" tandas Baskara.
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Si pemuda mendengus ketika Garundi dan
ketiga temannya nekat hendak menyentuh Pusa-
ka Pedang Gaib.
"Jangan mendekat!" teriaknya.
Tapi, empat lelaki ini tak mau peduli. Me-
reka terus berjalan mendekati pintu besar di tempat Pusaka Pedang Gaib
tertancap. Disertai dengusan, si pemuda menggenjot
tubuhnya. Tubuhnya berputaran dua kali, lalu
mendarat ringan di hadapan empat lelaki itu.
"Heh"!"
Terkejutlah Garundi dan teman-temannya
ketika tahu-tahu si pemuda telah berada di hadapan mereka.
Namun karena terbawa keinginan meluap-
luap, keempat lelaki ini jadi gelap mata. Garundi langsung mencabut pedangnya
yang tersampir di
punggung. Sementara Walengka, Baskara, dan
Randu meloloskan cambuk masing-masing. Na-
mun sebelum mereka berbuat lebih jauh....
"Hih...!"
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Disertai geraman pemuda berpakaian serba
hitam mengibaskan kedua tangannya. Maka se-
kejap mata kemudian, Garundi dan teman-
temannya jatuh terpelanting ke lantai gua. Mere-ka mendekap bagian wajah masing-
masing yang tertampar. "Pusaka Pedang Gaib adalah milik Resi Ra-
ga Pamungkas," desis si pemuda. "Dia akan mewariskan pedang pusaka itu kepada
siapa saja yang berhak. Orang yang berhak adalah yang ter-
cerdik di antara yang tercerdik."
Garundi dan teman-temannya yang telah
merasakan tamparan si pemuda terdiam dengan
hati penasaran.
"Saat Pusaka Pedang Gaib diwariskan ada-
lah tiga pekan besok, terhitung mulai hari ini,"
lanjut si pemuda. "Sekarang tugas kalian adalah menyebarkan berita ini kepada
kaum rimba persilatan." Garundi dan ketiga temannya tetap diam.
"Kalian dengar tidak"!" bentak si pemuda.
Keempat lelaki yang berdiri di hadapan si
pemuda kontan mengangguk-angguk. Tapi, agak-
nya Garundi hendak berbuat curang. Perlahan-
lahan tubuhnya membungkuk dalam. Diam-diam
diambilnya sebilah pisau kecil dari balik bajunya.
Lalu, mendadak tangannya mengibas ke arah si
pemuda! Sing...! "Heaaah...!"
Pemuda berpakaian serba hitam tak beran-
jak dari tempatnya berdiri. Namun dengan tela-
pak tangan kanan telanjang, disampoknya pisau
yang melesat ke dada.
Tak! Crap! "Aaa...!"
Garundi memekik tinggi. Lesatan pisau
yang berbalik arah tahu-tahu menancap di leher-
nya. Tubuhnya kontan jatuh terjengkang sambil
memegangi lehernya. Sejenak dia meregang nya-
wa, lalu diam untuk selama-lamanya.
Walengka, Baskara, dan Randu terkejut
bukan main. Mereka berdiri takut-takut meman-
dang si pemuda.
"Jangan bunuh kami...," ratap mereka, dengan nyali ciut.
Seperti tak mau peduli, si pemuda berbalik.
Dicabutnya Pusaka Pedang Gaib yang menancap
di bongkahan batu. Dipandangnya pamor pedang
itu sebentar. Walengka, Baskara, dan Randu kontan ter-
kencing-kencing, menduga hendak dibunuh si
pemuda. Wuutt...! "Ohh..."!"
Dan mereka mendesah pasrah dengan ma-
ta terpejam ketika si pemuda membabatkan pe-
dang. Blarrr...!
Timbul ledakan amat keras yang dibarengi
jebolnya dinding gua di belakang Walengka dan
kedua temannya.
"Aku tidak bermaksud membunuh ka-
lian...," gumam si pemuda enteng, sambil menyarungkan pedang. "Teman kalian yang
mati itu karena ulahnya sendiri."
"Ya..., ya, kami mengerti...," desah Walengka dengan badan gemetar dan suara
tercekat di tenggorokan. "Masih ingat apa yang kukatakan baru-
san?" tanya si pemuda, tanpa membutuhkan jawaban. "Pusaka Pedang Gaib ini milik
Resi Raga Pamungkas. Dia akan mewariskan kepada orang
yang tercerdik, di antara yang tercerdik pada tiga pekan besok. Terhitung, mulai
hari ini.... Ingat itu! Sebarkan berita ini kepada kaum rimba persilatan. Awas
kalau kalian tak melakukannya. Ku-
cincang tubuh kalian menjadi serpihan daging
untuk makanan anjing!"
"Ya..., ya! Kami akan melakukannya,
Tuan...," gegas Walengka dan kedug temannya.
Si pemuda tertawa bergelak. Lalu dis-
orongkannya kedua telapak tangan ke depan.
Wusss! "Aaahh...!"
Timbul gelombang angin keras. Disertai
pekikan kaget tubuh Walengka, Baskara, dan
Randu terlontar dan jatuh berdebam di luar gua.
Begitu bangun, mereka langsung lari terbirit-birit menuju kota Kadipaten
Bumiraksa *** 2 "Apakah kabar yang kau dengar dapat di-
pastikan kebenarannya, Somagatra?" tanya seorang pemuda kurus kecil terbungkus
pakaian pe- nuh tambalan. "Kenapa" Kau ragu, Gadawesi?" tukas pemuda yang dipanggil Somagatra balik
bertanya. Seperti temannya yang dipanggil Gadawesi pemu-
da ini juga berpakaian penuh tambalan. Hanya
saja, tubuhnya tampak lebih tegap berisi.
"Aku tidak ragu, Somagatra. Aku hanya
menanyakan, apakah kabar yang kau dengar bu-
kan kabar burung semata," tegas Gadawesi seraya menghentikan langkah.
"Tapi, nada bicaramu menandakan kalau
kau masih menyangsikan keteranganku," rungut Somagatra, seraya menghentikan
langkah pula. Gadawesi menatap wajah temannya lekat-
lekat. "Aku merasa perlu menanyakan itu. Karena bagaimanapun juga, aku tak mau
kedatangan kita di Bukit Ranuglagah hanya mendapat keke-
cewaan. Lagi pula, aku takut seandainya Kakek
Gede mengetahui perbuatan kita. Bukankah be-
liau telah berpesan selama kita masih memegang
tongkat, pantang mempergunakan senjata tajam.
Apalagi dengan sengaja mencari-carinya?" jelas Gadawesi.
"Pesan tinggal pesan. Siapa yang tak ingin mendapatkan Pusaka Pedang Gaib"
Yakinlah...! Setelah kita mendapatkan pedang maha hebat
itu, sepuluh Kakek Gede pun tak akan mampu
mengalahkan kita," kata Somagatra, bernada membujuk.
"Jadi, kau hendak mengkhianati perkum-
pulan?" "Tidak. Aku hanya ingin memberi ketega-
san padamu bahwa dengan Pusaka Pedang Gaib,
kita akan menjadi tokoh terpandang yang pilih
tanding." Gadawesi tak menyambung pembicaraan.
Setelah menghela napas panjang, kakinya me-
langkah kembali. Sementara, bibir Somagatra
tampak menyungging senyum. Segera disusulnya
langkah kaki temannya yang setengah berlari.
Di atas sana, awan berwarna perak menga-
buti bentangan langit biru. Hangat sinar mentari menyapa pucuk-pucuk cemara yang
meliuk-liuk lemah di punggung Bukit Ranuglagah. Kabut
membubung ke angkasa bersama geliatan alam
yang baru bangun dari tidurnya.
"Menurut desas-desus yang terdengar, Pu-
saka Pedang Gaib mampu membunuh orang tan-
pa melukainya terlebih dahulu," kata Gadawesi setelah sampai di puncak bukit.
"Benarkah itu, Somagatra?"
Yang ditanya tak memberi jawaban. Malah
pandangan matanya tertuju pada jajaran pohon
cemara yang tadi dilalui. Sikapnya seperti tengah mengagumi panorama lereng
bukit. Tapi di balik
itu, ketegangan meliputi hatinya.
"Kau tidak mendengar pertanyaanku?" usik
Gadawesi, menepuk bahu Somagatra.
"Aku mendengar. Tapi ada sesuatu yang
lebih menarik perhatianku...," sahut Somagatra, setengah berbisik.
Melihat Somagatra bicara tanpa mengalih-
kan pandangan, kening Gadawesi berkerut. Tan-
pa sadar diikutinya pandangan Somagatra.
"Apa yang kau lihat?" tanya Gadawesi, penasaran.
"Kau perhatikan dengan seksama jajaran
pohon cemara di lereng bukit itu...," ujar Somagatra sambil mengacungkan
telunjuk jari tangan
kanannya. Gadawesi kontan menggeram. Dari arah
yang ditunjukkan Somagatra, terlihat sosok-sosok manusia berpakaian serba merah
tengah berlari cepat menuju puncak bukit.
"Hmmm.... Sepertinya orang-orang Partai
Beruang Merah juga menginginkan Pusaka Pe-
dang Gaib. Kalau mereka datang bersama Kuda
Ayodra, mati kutu-lah kita...," desah Gadawesi, seolah menyesali mengapa
menuruti kemauan
Somagatra ke tempat ini.
"Kau lihat itu!" ujar Somagatra lagi menunjuk ke bagian lain.
Tidak seberapa jauh di belakang orang-
orang Partai Beruang Merah, melesat sebuah tan-
du tertutup rapat yang terbuat dari bilah papan berwarna kuning.
"Setan Muka Kuning!" pekik Gadawesi. Na-da suaranya agak tercekat, terbawa
keterkejutannya.
Pemuda yang rambutnya dibiarkan tergerai
ini mencengkeram erat tongkat berkepala na-
ganya. "Tenanglah...," ujar Somagatra.
Walau diliputi ketegangan, tapi pemuda
yang merupakan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini masih bisa mengendalikan pe-
rasaannya. Sementara pandangannya tetap terpa-
tri ke arah tandu berwarna kuning yang diusung
empat lelaki bertubuh tegap.
"Cepat kita pergi dari tempat ini...," usul Gadawesi tiba-tiba. Pandangan
matanya nanar menuju ke lereng bukit.
"Jangan jadi pecundang, Gadawesi!" bentak Somagatra. "Tak pantas anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bersikap seperti dirimu!"
"Tapi..., Partai Beruang Merah adalah par-
tai sesat yang semua anggotanya sudah terbiasa
berbuat kejam. Apalagi, ketuanya yang bernama
Kuda Ayodra. Dan bila ditambah Setan Muka
Kuning dan keempat anak buahnya, kita ini
hanya dua ekor nyamuk yang hendak melawan
puluhan elang!"
"Bodoh!" maki Somagatra. "Kau tahu, Kuda Ayodra dan Lembu Akirah bermusuhan! Dan
kita dapat memanfaatkan keadaan ini."
Usai berkata, Somagatra menjejak tanah.
Ringan sekali tubuhnya berkelebat. Gadawesi
menggaruk rambutnya sebentar, lalu mengikuti
Somagatra yang berkelebat mengandalkan selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya.
Setelah sampai di puncak bukit lelaki ke-
kar berpakaian serba merah yang dikenal berna-
ma Kuda Ayodra berkacak pinggang. Dengan ba-
hasa isyarat, anak buahnya diperintahkan untuk
menyebar. "Hamba melihat tandu Setan Muka Kuning
sedang menuju kemari...," lapor salah seorang anak buah lelaki kekar yang
rambutnya dikuncir
itu. Mendapat laporan, Kuda Ayodra menden-
gus. "Bentuk 'Barisan Beruang Menghalau Ba-dai'!" perintahnya.
Sejurus kemudian, sekitar tiga puluh lelaki


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian serba merah berloncatan, membentuk
barisan berbanjar tiga di belakang lelaki berkuncir. "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, terdengar suara gelak tawa keras
yang dibarengi datangnya sebuah tandu kuning
yang dipikul empat lelaki berpakaian serba putih.
Kuda Ayodra menatap tajam tandu kuning
yang telah turunkan ke tanah.
"Lembu Akirah...! Apakah gelar Setan Mu-
ka Kuning akan kau tanggalkan di puncak Bukit
Ranuglagah ini" Penyebabnya tentu nafsumu
sendiri yang ingin memiliki Pusaka Pedang Gaib.
Tahukah kau, riwayatmu akan berakhir di tangan
Kuda Ayodra Ketua Partai Beruang Merah?" leceh Kuda Ayodra penuh jumawa.
"Ha ha ha...!" suara gelak tawa menggema dari dalam tandu kuning yang tertutup
rapat.. "Ucapanmu seperti Dewa Peramal saja, Kuda
Ayodra! Tengoklah tengkukmu sendiri. Apakah
kau cukup pantas memiliki Pusaka Pedang Gaib"
Kedatanganmu ke puncak bukit ini saja harus
disertai puluhan anak buahmu?"
Lelaki kekar Ketua Partai Beruang Merah
itu menggeram. Kunciran rambutnya yang pan-
jang dilemparkan ke kiri. Bersamaan dengan itu, sikap berdirinya dirubah dengan
bertumpu pada tumit "Heaaah...!"
Ketika lelaki setengah baya ini membentak
keras, mendadak tubuhnya berputar sangat ce-
pat. Maka saat itu juga, beberapa anggota Partai Beruang Merah meloncat tinggi.
Sementara, tubuh Kuda Ayodra sendiri sudah amblas ke dalam
tanah! "Awas!" teriak Setan Muka Kuning alias Lembu Akirah yang berada di dalam
tandu kuning. Secepat kilat empat lelaki berpakaian serba putih menyambar kayu
penyangga tandu. Dan
sambil memanggul tandu itu, mereka melesat ce-
pat! Blaaarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar dari da-
lam tanah yang semula ditempati tandu kuning.
Begitu gumpalan tanah menyebar, sosok Kuda
Ayodra muncul dengan kedua telapak tangan
menghadap ke atas.
Sementara tandu kuning terus melesat.
Namun mendadak beberapa anggota Partai Be-
ruang Merah segera meloncat menghadang. Na-
mun pada saat yang bersamaan dari dalam tandu
melesat beberapa sinar kuning.
Jder! Jder...! "Aaa...!"
Empat jerit kematian berkumandang saling
susul di angkasa, diiringi jatuhnya empat lelaki berpakaian serba merah ke
tanah. Empat lelaki
berpakaian serba merah lainnya mampu meng-
hindar. Namun begitu bangkit, beberapa sinar
kuning kembali melesat. Dan.....
Jderr! Jderrr! "Aaa...!"
Tanpa dapat dihindari, tubuh mereka jatuh
terjengkang terhantam sinar-sinar kuning. Seje-
nak mereka meregang nyawa, lalu diam tak ber-
kutik lagi. "Bangsat!" geram Kuda Ayodra. "Hancur-kan kandang babi itu!"
Sebuah pemandangan indah terlihat ketika
sekitar dua puluh lelaki berpakaian serba merah meloncat ke angkasa saling
susul. Namun.....
Wusss...! Jder! Jderrr! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Jerit kematian pun terdengar saling susul.
Loncatan anggota-anggota Partai Beruang Merah
itu telah disambut oleh sinar kuning yang muncul dari dalam tandu tempat Lembu
Akirah alias Setan Muka Kuning berada.
Maka tak dapat dibendung lagi kemarahan
Kuda Ayodra melihat anak buahnya tinggal empat
orang saja. Rahang lelaki setengah baya ini berge-melutuk. Bola matanya melotot,
Seperti hendak keluar dari rongganya.
"Ha ha ha...!" tawa Setan Muka Kuning terdengar dari dalam tandu. "Bila kau
sedang marah, wajahmu lebih buruk daripada kadal terin-
jak, Ayodra!"
"Keparat!" maki Kuda Ayodra. "Jangan terlalu bangga dengan ilmu kesaktian yang
baru saja kau tunjukkan! Sebelum mendapatkan Pusaka
Pedang Gaib, Kuda Ayodra akan meremukkan tu-
lang-belulangmu!"
"Ha ha ha...! Semakin marah, wajahmu
semakin buruk saja, Ayodra. Rupanya nama Ku-
da Ayodra sangat cocok untukmu. Tampangmu
memang mirip kuda. Ha ha ha...!"
"Haram jadah!" maki Kuda Ayodra, merasa terhina. "Kurobek mulutmu, Setan!"
Di ujung kalimatnya, Ketua Partai Beruang
Merah ini hentakkan kakinya yang dilambari ke-
kuatan tenaga dalam. Saat permukaan tanah ber-
guncang, tubuh Kuda Ayodra amblas ke dalam
tanah. Brolll! Begitu Kuda Ayodra muncul di permukaan
tanah dengan kedua tangan menyentak ke atas,
empat lelaki berpakaian serba putih telah memindahkan tandu kuning. Namun pada
saat yang sama berhembus angin dingin ke arah empat le-
laki berpakaian serba putih yang telah menurun-
kan tandu kembali.
"Ha ha ha...!" kali ini suara tawa keluar da-
ri mulut Kuda Ayodra. "Mampuslah kalian!"
Empat lelaki berpakaian serba putih terke-
jut luar biasa ketika mendadak kedudukan kaki
mereka goyah. "Aaakh...!"
Dan sebelum menyadari apa yang terjadi,
tubuh mereka telah jatuh terduduk dengan mulut
menyemburkan darah segar. Hingga beberapa la-
ma, tubuh anak buah Setan Muka Kuning tak
bergeming sedikit pun. Saat angin berhembus le-
bih kencang, empat tubuh tanpa nyawa itu jatuh
bersujud ke tanah!
"Ha ha ha...!" Kuda Ayodra tertawa lebih keras. "Monyet-monyet bodoh! Begitu
mudahnya aku mengecoh kalian dengan ilmu 'Racun Angin'-
ku!" "Jangan keburu gembira, Ayodra!" sahut Lembu Akirah dari dalam tandu
kuning. "Kau lihat keadaan anak buahmu!"
Kuda Ayodra segera mengalihkan pandan-
gan. Dan mengkelaplah hati lelaki setengah baya ini. Sekitar sepuluh tombak di
hadapannya, empat orang anggota Partai Beruang Merah yang tersisa telah
terbaring di tanah tanpa nyawa.
Kematian mereka memang datang sama
cepatnya dengan kematian empat anak buah
Lembu Akirah. Ketika tandu kuning telah ditu-
runkan ke tanah, Lembu Akirah mengeluarkan
salah satu ilmunya bernama 'Cahaya Kuning Pe-
cahkan Jantung', yang keganasannya tak mampu
dihindari anak buah Kuda Ayodra. Seberkas ca-
haya kuning yang meluruk dari dalam tandu, te-
pat menghantam mereka dengan telak. Dan bila
isi dada empat orang anggota Partai Beruang Me-
rah itu dibongkar, jantung mereka telah dalam
keadaan lumat! Kuda Ayodra menatap tandu kuning den-
gan darah menggelegak naik sampai ke ubun-
ubun. Tanpa sadar, mulutnya menceracau tak
karuan. Panas sinar mentari yang telah beranjak naik, seakan membuat amarahnya
semakin ber-golak. "Keluar kau dari kandang babi itu, Akirah!"
teriak Ketua Partai Beruang Merah.
Perlahan-lahan tirai bambu kuning terbu-
ka. Dan, muncullah sesosok tubuh kecil mirip bocah berumur tujuh tahun. Anehnya,
rambut so- sok itu telah memutih semua. Wajahnya yang ke-
riputan berwarna kuning kasar seperti buah na-
nas. Melihat Lembu Akirah alias Setan Muka
Kuning telah menampakkan diri. Kuda Ayodra
mendengus. Segera pergelangan kakinya dibuka
setengah ditekuk. Kedua pergelangan tangannya
bergetar ketika ditarik ke belakang, sejajar pinggang. "Terimalah 'Pukulan
Beruang Merah' ini, Akirah!" pekik Kuda Ayodra seraya menyorongkan kedua telapak
tangan ke depan.
Wuusss...! Dua larik sinar merah seketika meluncur
ke arah Setan Muka Kuning. Tapi, bibir kakek
kerdil itu malah menyungging senyum tipis. Pada jarak setengah tombak dipapaknya
pukulan jarak jauh Kuda Ayodra dengan pukulan jarak jauh pu-
la. Lembu Akirah bukannya tidak tahu kalau
'Pukulan Beruang Merah' yang dilancarkan Kuda
Ayodra disertai ilmu 'Racun Angin' yang membuat udara di sekitar tempat itu
diliputi racun ganas itu amat mematikan. Tapi karena dia sangat yakin akan
kemampuan dirinya yang kebal terha-
dap segala jenis racun, maka dipapakinya puku-
lan jarak jauh Kuda Ayodra seperti tanpa perhi-
tungan. Blarrr...! Dan inilah salah satu keunggulan Lembu
Akirah yang cerdik. Ketika dua kekuatan tenaga
dalam bertemu diudara, tubuh Lembu Akirah ma-
lah mencelat ke depan membarengi ledakan dah-
syat yang terdengar.
Kuda Ayodra sangat terkejut. Semakin de-
kat dengan tubuhnya, pengaruh racun makin ga-
nas. Tapi, kenapa Lembu Akirah malah berusaha
mendekatinya"
Segera Kuda Ayodra mengeluarkan ilmu
'Beruang Memantek Tanah'. Saat dua telapak
tangan Lembu Akirah yang dilambari ilmu
'Cahaya Kuning Pecahkan Jantung' hampir me-
nyentuh dadanya, tubuhnya berputar cepat lak-
sana gangsingan.
Wusss...! Saat itu pula timbul gelombang angin be-
sar. Saat itu juga tubuh Lembu Akirah terlontar deras ke belakang.
"Kentut busuk! Setan alas keparat!" umpat
Setan Muka Kuning begitu bangkit dari jatuh te-
lentangnya. Rupanya, kakek kerdil ini salah perhitun-
gan. Kesaktian Kuda Ayodra lebih hebat dari apa yang dikiranya.
Terlihat kemudian, Setan Muka Kuning
membanting-bantingkan kakinya ke tanah. Sosok
Kuda Ayodra telah lenyap, setelah berhasil melon-tarkan tubuh Lembu Akirah.
Tubuhnya telah am-
blas ke dalam tanah.
"He, Kuda Ayodra! Jangan kira kau dapat
mengecoh Setan Muka Kuning!" teriak Lembu
Akirah, lantang. "Bila hanya mengandalkan ilmu
'Beruang Memantek Tanah', mana dapat menga-
lahkan aku"! Kau hanya cecunguk yang cuma
pandai bersembunyi, Ayodra!"
Mendadak, permukaan tanah di belakang
Lembu Akirah menggunduk. Kemudian....
Blarrr! Terdengar suara ledakan yang dibarengi
melesatnya sosok tubuh berpakaian serba merah!
Lalu dengan kecepatan kilat, sosok merah itu melepas hantaman telak.
Desss...! "Argh...!"
Telak sekali punggung Setan Muka Kuning
tergedor. Akibatnya, tubuh kakek kerdil berwajah mirip nanas itu jatuh
menggelinding di tanah se-jauh sepuluh tombak. Ketika bangkit, darah segar
meleleh dari sudut bibirnya.
"Ha ha ha...!"
Kuda Ayodra yang baru saja menyarangkan
pukulan, tertawa penuh kemenangan.
"Walau tubuhmu kebal racun, jangan ha-
rap dapat lolos dari kematian. 'Pukulan Beruang Merah' telah merusak seluruh isi
dadamu! Ha ha ha...!" Waktu Kuda Ayodra tertawa bergelak, Lembu Akirah merasakan keanehan pada
dirinya. Mendadak saja dia tak dapat menarik napas. Ce-
pat dada kirinya diraba. Sinar matanya kontan
berubah nyalang. Jantungnya ternyata sudah tak
berdetak lagi! "Kita akan mati bersama-sama, Ayodra!"
pekik Setan Muka Kuning seraya mengempos tu-
buh dengan telapak tangan lurus ke depan.
Kuda Ayodra tertawa makin keras. Tanpa
perhitungan sama sekali, dia malah berkacak
pinggang seolah siap menerima pukulan Setan
Muka Kuning. Sementara, Setan Muka Kuning sendiri
yang sudah tak dapat mengalirkan tenaga dalam
bersorak girang dalam hati. Lalu.....
Crash...! "Wuah...!"
Dua jari tangan kanan Lembu Akirah ber-
gerak cepat, dan tepat menusuk Kuda Ayodra. Ke-
tua Partai Beruang Merah itu jatuh ke tanah dan menggelepar kesakitan. Pada saat
yang sama, tubuh kecil Setan Muka Kuning jatuh telungkup ke
tanah sambil mendekap dadanya.
Untuk beberapa lama, lolong kesakitan
Kuda Ayodra membahana ke seluruh penjuru
Bukit Ranuglagah.
Dan entah kapan datangnya, di atas lem-
pengan batu besar tak jauh dari tempat Kuda
Ayodra, telah berdiri tegak seorang lelaki berumur tiga puluh tahun. Pakaiannya
ringkas berwarna
hijau-kuning. Di punggungnya, terselip sarung
pedang besar terbuat dari kayu berukir. Rambut-


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang hitam panjang diikat sehelai kain sutera merah. Wajahnya halus, bahkan
bisa dibilang tampan. Sedangkan sorot matanya yang tajam tak
pernah lepas dari sosok Kuda Ayodra yang masih
saja menggelepar-gelepar di tanah.
"Kasihan sekali kau, Kuda Ayodra...," kata lelaki berpedang seperti mendesah.
"Aku Danar Pangeran atau Pendekar Pedang Hijau ingin me-nolongmu. Tapi apalah
gunanya" Kedua matamu
telah telanjur buta...."
Mendengar kata-kata ditujukan kepada di-
rinya, Kuda Ayodra menguatkan hatinya untuk
dapat menahan sakit. Dengan berdiri sempoyon-
gan, kepalanya menggeleng-geleng untuk mem-
pertajam pendengaran. Dia berusaha mencari di
mana si pemilik suara yang didengarnya berada.
Mengenaskan sekali keadaan Ketua Partai Be-
ruang Merah ini. Hampir seluruh wajahnya ter-
lumuri cairan darah. Demikian pula kedua tela-
pak tangannya. Lelaki yang mengaku bernama Danar Pan-
geran bergelar Pendekar Pedang Hijau mendehem.
"Aku di sini, Ayodra...," katanya. "Dalam keadaan seperti itu apakah kau masih
ingin me-neruskan keinginanmu untuk memiliki Pusaka
Pedang Gaib?"
"Pantang Kuda Ayodra mengurungkan
niat!" tandas Ketua Partai Beruang Merah mantap. "Kedua mataku yang buta justru
memper-kuat keinginanku untuk memiliki Pusaka Pedang
Gaib!" Bibir Danar Pangeran menyungging senyum tipis.
"Kalau begitu, kau harus mampu menga-
lahkan aku, Ayodra...."
Kuda Ayodra yang sudah mengetahui tem-
pat Pendekar Pedang Hijau lewat pendengaran-
nya, segera mengalirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke kedua telapak
tangannya. Dan ketika
telapak tangannya dihentakkan ke depan...
Wuuuttt...! Dua larik sinar merah seketika menghujam
deras ke arah Danar Pangeran!
Blaarrr...! Terhantam pukulan jarak jauh Kuda Ayo-
dra, lempengan batu besar hancur-luluh menjadi
bongkahan-bongkahan kecil yang menebar ke
berbagai penjuru. Sedangkan tubuh Pendekar Pe-
dang Hijau sudah melenting ke atas. Begitu meluruk menyarangkan tendangan ke
dada Kuda Ayo- dra yang sama sekali tidak menyangka. Akibat-
nya..... Desss...!
"Argh...!"
Tendangan Danar Pangeran yang telak
mengenai sasaran membuat tubuh Kuda Ayodra
terpental dan jatuh bergulingan ke bawah bukit.
Puncak Bukit Ranuglagah jadi sunyi.
Hanya desau angin yang terdengar ditimpali kicau burung. Pendekar Pedang Hijau
menarik napas panjang. Ditatapnya langit biru. Sang Baskara telah memayung di atas kepala.
"Resi Raga Pamungkas!" sebut Pendekar Pedang Hijau dengan suara lantang.
"Keluarlah kau dari pertapaanmu! Di puncak Bukit Ranuglagah ini hanya ada aku
seorang. Berarti, aku yang akan mewarisi Pusaka Pedang Gaib!"
Danar Pangeran menunggu sampai sepu-
luh tarikan napas. Tapi orang yang disebutnya
sebagai Resi Raga Pamungkas tak juga muncul.
Namun sesaat kemudian terdengar suara derap
langkah yang berasal dari munculnya orang-
orang tak dikenal.
"Serang...!"
Puncak Bukit Ranuglagah tak lagi sunyi
ketika sekitar dua puluh orang yang baru datang langsung menerjang Pendekar
Pedang Hijau. Mereka semua bersenjata golok, yang ketika diba-
batkan menimbulkan suara menderu-deru.
"Manusia-manusia mencari mati!" Danar Pangeran menggembor keras. Tubuhnya
seketika melesat ke udara. Sebelum mendarat ke tanah,
pedang di punggungnya diloloskan. Saat itu juga pendaran cahaya hijau memenuhi
puncak bukit. Saat senjata dikibaskan, empat orang ber-
senjata golok jatuh memeluk bumi dengan tubuh
terpotong jadi dua!
3 Danar Pangeran berdiri tegak dengan pan-
dangan lurus ke depan. Tangan kanannya men-
cengkeram erat gagang pedang berukir kepala bu-
rung rajawali. Terjilat sinar mentari, mata pedang tokoh muda ini memancarkan
cahaya hijau gemerlap. Tak heran kalau gelarnya Pendekar Pe-
dang Hijau. Sementara, para lelaki yang baru muncul
memandang dengan perasaan ngeri. Apalagi telah
ada korban di pihak mereka. Wajah Danar Pange-
ran yang tersapu biasan sinar pedang jadi ber-
warna hijau. "Pendekar Pedang Hijau tak akan menja-
tuhkan tangan maut bila orang tak membuat per-
kara lebih dulu...," desis Danar Pangeran dengan suara berat berwibawa. "Maka
dari itu, enyahlah kalian semua dari tempat ini. Jangan bermimpi
untuk memiliki Pusaka Pedang Gaib!"
"Danar Pangeran! Kau memang seorang
pendekar pedang yang hebat. Kau pun memiliki
sebilah pedang pusaka yang tak kalah hebat. Lantas, kenapa masih ingin memiliki
Pusaka Pedang Gaib?" sindir seorang lelaki berikat kepala warna hitam. Wajahnya kasar
ditumbuhi brewok.
"Ha ha ha...!" Pendekar Pedang Hijau tertawa bergelak. "Rupanya kau telah hadir
di tempat ini, Wanengpati! Apakah Gerombolan Golok
Terbangmu sudah bosan tinggal di tengah hutan,
sehingga kau mengajak mereka datang ke puncak
bukit ini" Untuk mendapatkan Pusaka Pedang
Gaib, atau hanya sekadar mencari tempat ber-
naung baru?"
Lelaki brewokan yang disebut sebagai Wa-
nengpati mendengus.
"Kau ini memang dungu atau pura-pura
dungu?" ejeknya. "Kaum rimba persilatan kukira telah tahu bila Resi Raga
Pamungkas hendak
mewariskan Pusaka Pedang Gaibnya kepada
orang yang berhak. Tentu saja aku datang untuk
keperluan itu!"
Pendekar Pedang Hijau tertawa bergelak la-
gi. "Kalau memang itu maumu, tak menyesal
aku membunuh empat orang anak buahmu tadi.
Tapi bila kau mau menuruti nasihatku, segeralah enyah dari tempat ini. Pedang
Hijau yang kupe-gang ini sepertinya hendak minta korban!"
Ancaman Danar Pangeran dijawab Wa-
nengpati dengan geram kemarahan. Langsung di-
terjangnya tokoh berpakaian hijau-kuning itu, diikuti anak buahnya.
Pendekar Pedang Hijau tak kalah sigap.
Pedangnya, segera bergerak cepat memapak se-
rangan yang datang bertubi-tubi.
Trang! Trang! Trang!
Suara benturan senjata tajam terdengar
memekakkan gendang telinga. Dan suara itu ma-
sih ditingkahi suara keterkejutan orang-orang Gerombolan Golok Terbang. Senjata
andalan mereka ternyata telah terbabat putus oleh ketajaman Pedang Hijau milik Danar Pangeran.
Pertempuran berlangsung tidak lebih dari
satu jurus. Pendekar Pedang Hijau telah berada di
atas angin. Pedang di tangannya berkelebatan
menimbulkan suara menderu yang disusul den-
gan jerit kematian para anggota Gerombolan Go-
lok Terbang. Wanengpati kontan menggembor keras. Di-
keluarkannya seluruh daya kemampuannya. Tapi,
Pendekar Pedang Hijau terlalu kuat untuk dapat
ditundukkan. Sampai anak buahnya habis tak
tersisa, lelaki brewok ini masih belum dapat menunjukkan perlawanan berarti.
"Aku memberi kesempatan padamu, Wa-
nengpati!" kata Danar Pangeran. "Segera enyah dari tempat ini sebelum habis
kesabaranku!"
Wanengpati menyebar pandangan. Kini se-
luruh anak buahnya telah bergelimpangan di ta-
nah tanpa nyawa. Dan ini membuat nyalinya kian
ciut. Tapi, hawa amarah agaknya menguasai akal
sehatnya. Dengan nekat diterjangnya Pendekar
Pedang Hijau! "Manusia tak tahu diuntung! Diberi hidup
malah ingin mati!"
Di ujung kalimatnya, Danar Pangeran
menggenjot tubuh ke atas. Lalu sambil menukik
turun, pedangnya dibabatkan dari atas ke bawah.
Crash...! "Aaah...!"
Tanpa dapat dicegah, tubuh Wanengpati
yang masih melayang di udara terbelah jadi dua, dari kepala membujur sampai ke
selangkangan. Ketika jatuh ke tanah, barulah belahan tubuh lelaki naas itu terpisah dengan
darah menggenangi bumi.
Tenang sekali Danar Pangeran menyarung-
kan pedangnya. Bau anyir darah tak dihiraukan
lagi. "Resi Raga Pamungkas...! Kau tahu kini, siapa yang berhak mewarisi Pusaka
Pedang Gaib!"
teriak Pendekar Pedang Hijau disertai tenaga dalam. Teriakan Danar Pangeran
membahana un- tuk beberapa lama. Namun, teriakan ini segera
disahuti desau angin dan kicau burung belaka.
Sosok Resi Raga Pamungkas tak juga menampak-
kan diri. Kening Pendekar Pedang Hijau berkerut.
"Apakah kabar tentang Resi Raga Pamungkas
yang hendak mewariskan Pusaka Pedang Gaib
hanya kabar bohong semata?" tanyanya dalam hati. "Atau, semua ini merupakan ulah
Resi Raga Pamungkas yang ingin membuat onar rimba persilatan" Hmmm.... Kalau
memang pertapa itu
hendak berbuat yang tidak-tidak, Pendekar Pe-
dang Hijau yang akan menghukumnya!"
Belum juga pertanyaan Danar Pangeran
terjawab, seorang pemuda berpakaian penuh
tambalan tiba-tiba muncul dan melangkah tenang
menghampiri. "Menilik dari tongkatmu, kau tentu salah
seorang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti," tebak Danar Pangeran. "Hmm.....Sejak kapan perkumpulan pengemis
bersenjata tongkat
itu berubah pikiran untuk menggunakan senjata
pedang?" Pemuda yang baru datang menjura hormat.
"Benar tebakanmu, Pendekar Pedang Hi-
jau. Aku memang salah seorang anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti. Namaku Somaga-
tra. Namun bila kau menyangka kedatanganku ke
puncak bukit ini untuk turut berebut Pusaka Pe-
dang Gaib, itu tidaklah benar...," sahut pemuda yang tak lain Somagatra, setelah
menegakkan tubuhnya.
Mendengar nada bicara Somagatra yang
sangat menghormatinya, Pendekar Pedang Hijau
malah mendengus.
"Kalau bukan untuk berebut Pusaka Pe-
dang Gaib, lalu untuk apa kau datang kemari?"
selidiknya setengah mencibir.
"Seperti yang kau ketahui, seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
pantang menggunakan senjata pedang kalau tidak dalam
keadaan terpaksa. Aku tidak perlu menegaskan
lagi bahwa kedatanganku kemari memang bukan
untuk berebut Pusaka Pedang Gaib. Kedatangan-
ku karena mempunyai sedikit urusan dengan Resi
Raga Pamungkas. Dan hanya suatu kebetulan sa-
ja bila kedatanganku ini menjumpai sisa pertem-
puran yang sedemikian ganas. Dan kau keluar
sebagai pemenangnya."
"Siapa yang mau percaya pada omongan
mu"! Kabar tentang Pusaka Pedang Gaib begitu
santer terdengar. Aku sama sekali tak percaya bi-la kau tak ingin memilikinya!"
"Terserah apa katamu. Dan aku tidak perlu
mengulang-ulang apa yang telah kukatakan. Yang
jelas pula, aku tidak bermaksud membuat perten-
tangan denganmu...."
"Ha ha ha...!" tawa Pendekar Pedang Hijau menyahuti ucapan Somagatra,
memperlihatkan sifat congkaknya. "Aku tahu di balik nada bicaramu yang begitu sopan, tersimpan
maksud ter- sembunyi. Tak perlu bermanis kata, Somagatra!
Sinar matamu telah menunjukkan isi hatimu!"
Mendengar tuduhan Danar Pangeran, So-
magatra tersenyum tipis.
"Benar atau tidaknya apa yang telah kuka-
takan, sebentar lagi akan kita buktikan bersama."
Begitu selesai ucapan Somagatra, dari arah
utara bukit berkelebat sesosok bayangan putih.
Setelah bersalto beberapa kali di udara, bayangan itu mendarat di tanah,
membelakangi Danar Pangeran dan Somagatra.
Ternyata, sosok yang baru muncul adalah
seorang lelaki bertubuh kurus kecil mengenakan
jubah putih. Rambutnya digelung ke atas, tertu-
tup sorban putih.
Danar Pangeran bersorak girang dalam ha-
ti. Walau tak dapat melihat wajah orang itu, tapi dapat dipastikan kalau yang
hadir adalah Resi
Raga Pamungkas.
"Terima kasih atas kehadiranmu, Somaga-
tra...," ucap lelaki berjubah putih tanpa memperlihatkan wajahnya. "Namun, hari
ini aku mempunyai urusan yang lebih penting. Semoga Hyang
Widhi memberimu kesabaran beberapa jenak,


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai urusanku dengan Danar Pangeran alias
Pendekar Pedang Hijau selesai...."
"Ha ha ha...!"
Danar Pangeran tertawa bergelak. Semakin
lama semakin terlihat kecongkakan tokoh ini.
"Rupanya aku telah salah menilai orang.
Maafkan aku, Somagatra...," ucap Pendekar Pedang Hijau.
Walau Danar Pangeran mengucapkan kata
penyesalan, tapi pandangannya sedikit pun tak
terarah pada Somagatra. Sedangkan Somagatra
sendiri tak merasa tersinggung. Bibirnya malah
menyungging senyum lebar.
"Danar Pangeran...," panggil lelaki berjubah putih, "Kau memang seorang pendekar
pedang yang sangat hebat. Dengan Pedang Hijau-mu saja, kau dapat menjadi seorang
raja pedang. Apalagi
bila telah memiliki Pusaka Pedang Gaib. Seperti kabar yang kau dengar, hari ini
aku memang hendak mewariskan Pusaka Pedang Gaib kepada
orang yang kuanggap berhak. Dan orang itu ter-
nyata kau, Danar Pangeran...."
Pendekar Pedang Hijau kontan tertawa
bergelak. Sementara, Somagatra yang berdiri tak seberapa jauh terlihat
mengetukkan ujung tongkatnya ke tanah.
"Danar Pangeran...," lanjut lelaki berjubah putih. "Sebelum aku menunjukkan
tempat Pusaka Pedang Gaib tersimpan, kau harus mengang-
kat sumpah terlebih dahulu...."
"Sebentar...," sela Pendekar Pedang Hijau tiba-tiba, "Apa yang Resi Raga
Pamungkas katakan, memberi makna bahwa Pusaka Pedang Gaib
tidak berada di tempat ini. Aku ingin...."
"Aku tahu apa yang ada dalam benakmu,
Danar Pangeran...," potong lelaki berjubah putih
yang melihat Pendekar Pedang Hijau tak segera
melanjutkan kalimatnya. "Kau tak perlu khawatir.
Walau Somagatra berada di tempat ini, dia tak
akan berbuat apa-apa. Pusaka Pedang Gaib akan
menjadi milikmu. Somagatra tak akan membuka
rahasia tentang keberadaan pedang pusaka maha
hebat itu."
"Hmm.... siapa yang mau percaya pada
pemuda berpakaian penuh tambalan itu?" kata hati Danar Pangeran. "Tapi, tak jadi
apa. Setelah Resi Raga Pamungkas pergi dari tempat ini, aku
akan membunuhnya...."
Berpikir demikian, Danar Pangeran mena-
tap berbinar-binar ke arah lelaki tua berjubah putih itu. "Baiklah, Resi Raga
Pamungkas. Aku bersedia mengangkat sumpah."
"Bagus!" puji lelaki berjubah putih, tetap membelakangi Danar Pangeran.
"Bersumpahlah bahwa kau akan tetap memegang teguh kebenaran dan keadilan,
setelah mendapatkan Pusaka
Pedang Gaib."
"Aku bersumpah demi langit dan bumi!" tegas Pendekar Pedang Hijau, mantap.
"Serahkan pedangmu kepada Somagatra!"
ujar Resi Raga Pamungkas.
"Untuk apa?" tanya Danar Pangeran, sedikit curiga.
"Kau akan mendapatkan sebuah pedang
pusaka yang lebih hebat daripada Pedang Hijau
yang kau miliki sekarang. Jadi, kau harus me-
nanggalkan pedang yang terselip di punggung-
mu." Danar Pangeran diam. Hatinya diliputi ke-raguan.
"Agaknya kau menyangsikan kehebatan
Pusaka Pedang Gaib. Kalau begitu, segera enyah-
lah dari tempat ini...," ujar lelaki berjubah putih, berat memerintah.
"Yah, baiklah...," desah Pendekar Pedang Hijau. Walau masih diliputi rasa ragu,
Danar Pangeran akhirnya melepas ikatan pedangnya.
Lalu dilemparkannya Pedang Hijau ke arah So-
magatra. "Sekarang, mendekatlah kemari...."
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Pende-
kar Pedang Hijau melangkah lima tindak, mende-
kati lelaki berjubah putih.
"Ha ha ha...!" mendadak Somagatra tertawa bergelak seraya meloloskan bilah
Pedang Hijau dari sarungnya. "Bodoh sekali kau, Danar Pangeran!" Mendengar ucapan Somagatra
itu, tentu saja Danar Pangeran terkejut. Sadarlah dia kalau telah terkena tipu
muslihat. Ketika tatapannya
kembali ke sosok lelaki berjubah putih, dia semakin terkejut saja. Ternyata
orang yang disangka Resi Raga Pamungkas telah melepas jubahnya.
Dan begitu berbalik, sosok itu tak lebih dari seorang pemuda berwajah tirus yang
tak lain Gada- wesi, teman Somagatra.
"Kurang ajar!" maki Pendekar Pedang Hijau.
Namun sebelum tokoh muda ini berbuat
sesuatu, Somagatra telah menerjang dengan Pe-
dang Hijau. Gadawesi yang telah menanggalkan sor-
bannya pun segera mengeroyok. Sedang jubah
putih yang digunakan untuk menyamar sebagai
Resi Raga Pamungkas dibuang begitu saja.
Pertempuran seru segera berlangsung
kembali. Tanpa memegang senjata andalannya,
Danar Pangeran tak mampu berbuat banyak.
Apalagi dua orang pengeroyoknya memiliki ke-
pandaian tinggi. Mereka adalah murid langsung
Kakek Gede Panjalu, sesepuh Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti.
Lewat dua jurus kemudian, bahu kiri Da-
nar Pangeran terkoyak ketajaman Pedang Hijau di tangan Somagatra. Merasa tak
mampu memberi perlawanan, segera tubuhnya dikempos untuk
melarikan diri.
"Tunggu pembalasanku, Cecurut-cecurut
Busuk!" teriak Pendekar Pedang Hijau seraya berkelebat.
Ancaman Danar Pangeran hanya ditimpali
suara tawa Somagatra. Dibiarkannya bayangan
Danar Pangeran yang menghilang di antara jaja-
ran pohon cemara.
"Kita akan menjadi pewaris Pusaka Pedang
Gaib, Somagatra!" teriak Gadawesi, kegirangan.
"Bukan kita, Gadawesi!" tukas Somagatra.
"Bukan kita" Lalu siapa?" tanya Gadawesi, heran. "Kau memang telah menjalankan
siasat yang kubuat dengan baik. Tapi, aku masih mem-
punyai satu siasat lagi...," jelas Somagatra.
"Apa?" Gadawesi jadi tak sabaran.
"Kau ingin tahu?"
"Tentu saja!"
"Baiklah.... Kau lihat itu!"
Somagatra menunjuk sebuah tempat di le-
reng bukit dengan ujung Pedang Hijau.
Saat Gadawesi membalikkan badannya,
mata Somagatra berkilat aneh. Lalu, Pedang Hijau di tangannya berkelebat!
Dan.... Crash...! Tak ada jeritan yang terdengar, tatkala ke-
pala Gadawesi jatuh menggelinding di tanah. Un-
tuk beberapa lama, tubuh pemuda naas itu masih
berdiri tegak di tempatnya.
"Ha ha ha...!" Somagatra-tertawa bergelak ketika melihat tubuh temannya
perlahan-lahan jatuh ke tanah. "Akulah yang akan menjadi pewaris Pusaka Pedang Gaib! Ha ha
ha...!" Tawa puas Somagatra menyelubungi Bukit
Ranuglagah. Sementara, Sang Baskara telah ber-
gulir ke barat. Perlahan namun pasti, hawa dingin mulai datang.
Tawa Somagatra baru berhenti ketika meli-
hat kehadiran lelaki berjubah putih yang berjalan menghampirinya. Lelaki itu
berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya yang telah memutih ter-juntai dari
balik sorban yang dikenakan. Wajah-
nya halus. Sinar matanya teduh, menyiratkan si-
fat welas asih.
"Resi Raga Pamungkas...," sebut Somaga-
tra. Kakek berjubah putih yang tak lain dari
Resi Raga Pamungkas tampak memandang kea-
daan sekelilingnya.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut tokoh tua itu sambil menunduk dalam. "Apa
yang telah terjadi di tempat ini?"
Mendengar pertanyaan Resi Raga Pamung-
kas, Somagatra mendengus.
"Mayat-mayat yang kau lihat adalah kor-
ban dari nafsunya sendiri, Resi Raga Pamungkas,"
katanya, enteng.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," ucap kakek berjubah putih itu lagi. "Kau bilang
mereka menjadi korban nafsunya sendiri" Nafsu yang bagaimana?"
"Tentu saja nafsu untuk memiliki Pusaka
Pedang Gaib!" jawab Somagatra, sedikit jengkel melihat sikap Resi Raga Pamungkas
yang tampak kebodoh-bodohan.
"Untuk mendapatkan sebuah benda yang
belum jelas bagaimana wujudnya, mereka sampai
berkorban nyawa. Alangkah bodohnya manusia....
Alangkah kejamnya nafsu yang memperbudak
manusia...," keluh Resi Raga Pamungkas.
"Tak perlu berkata macam-macam, Pak
Tua!" sentak Somagatra, mulai ketus. "Di tempat ini hanya ada aku dan kau.
Segera serahkan Pusaka Pedang Gaib seperti yang kau janjikan!"
"Sebentar, Anak Muda!" sergah Resi Raga Pamungkas. "Aku tidak mengenal siapa
dirimu. Kapan, dan di mana aku mengucap janji kepada-
mu?" Mendengar kalimat Resi Raga Pamungkas, mata Somagatra kontan mendelik.
"Lalu, siapa yang telah membuat kabar ka-
lau kau akan mewariskan Pusaka Pedang Gaib di
puncak Bukit Ranuglagah ini"!" bentak Somagatra mulai kalap.
Resi Raga Pamungkas tampak terkejut.
"Pusaka Pedang Gaib" Kapankah aku ber-
keinginan mewariskan pedang itu kepada orang
lain" Aku sama sekali tak mengerti, Anak Mu-
da...?" "Jangan bersilat lidah, Pak Tua!" hardik Somagatra. "Setelah jatuh
korban sedemikian banyak, tak pantas kau menjilat ludahmu sendiri!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas untuk kesekian
kalinya. "Aku benar-benar tak tahu, apa yang kau maksud, Anak Muda. Ceritakanlah.... Biar
hati ini tak jadi penasaran. "
Somagatra tampak berpikir sejenak.
"Beberapa pekan ini, di tengah rimba persilatan tersebar kabar kau hendak
mewariskan Pu- saka Pedang Gaib kepada orang yang kalau di-
anggap berhak. Menurut kabar yang kudengar
pula, orang yang berhak mewarisi Pusaka Pedang
Gaib adalah orang tercerdik di antara yang ter-
cerdik adalah aku. Maka, sekarang juga aku me-
minta kau menyerahkan Pusaka Pedang Gaib ke-
padaku!" ungkap Somagatra.
Mendengar penuturan Somagatra, kerut di
kening Resi Raga Pamungkas semakin kentara.
"Ada-ada saja ulah manusia di dunia ini...,"
desahnya. "Untuk apa orang menyebar kabar
yang tak benar bila hanya akan meminta banyak
korban?" "Rupanya kau hendak mungkir, Pak Tua!"
tuduh Somagatra.
"Jangan turuti hawa amarahmu, Anak Mu-
da. Aku memang tak tahu-menahu tentang kabar
yang tersebar di dunia luar...," kilah Resi Raga Pamungkas penuh kesabaran.
"Menilik tongkat berkepala naga yang berada di tangan kirimu,
kau tentu anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti. Untuk apa kau menginginkan sebuah
senjata tajam" Bukankah hal itu akan melanggar
pantanganmu" Dan lagi, kenapa tangan kananmu
memegang sebilah pedang berlumuran darah" Ka-
lau tak salah duga, pedang itu tentu milik Pendekar Pedang Hijau. Apakah kau
telah membunuh-
nya?" "Jangan banyak bacot, Pak Tua! Aku Somagatra tak ingin membunuh orang.
Tapi bila kau masih terus saja mungkir, kepalamu akan
kubuat menggelinding di tanah!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun..."
Ketika menyebut asma Sang Penguasa
Tunggal, paras Resi Raga Pamungkas berubah
sangat keruh. "Heaaah...!"
Sementara, Somagatra yang sudah tak da-
pat menahan hawa amarahnya berteriak keras.
Lalu, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mengirim totokan dengan menggunakan
ujung tongkat di tangan kiri.
"Kau telah terkena tipu muslihat orang,
Somagatra!" ujar Resi Raga Pamungkas seraya mengegos tubuhnya ke kiri.
"Rupanya kau layak diberi pelajaran dulu,
Pak Tua!" Sambil berucap, Somagatra menusukkan
tongkat di tangan kiri ke dada Resi Raga Pa-
mungkas. Sedangkan Pedang Hijau di tangan ka-
nan, ditebaskan ke pinggang!
Melihat serangan beruntun itu, Resi Raga
Pamungkas melempar tubuhnya jauh ke kiri. Ta-
pi, tongkat dan pedang di tangan Somagatra terus mengejar. Saat pemuda ini
memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing', Resi Raga Pamungkas
dibuat kelabakan. Hingga...,
Duk...! "Argh...!"
Dada kiri Resi Raga Pamungkas tahu-tahu
tersodok ujung tongkat Somagatra. Selagi dia
menghela napas yang terhenti, Pedang Hijau di
tangan kanan Somagatra bergerak cepat, hendak
memenggal pergelangan tangan kirinya!
Wuutt! "Uts...!"
Cras! Terpaksa Resi Raga Pamungkas menjatuh-


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan diri ke tanah. Tapi, tak urung bahu kirinya terbabat ketajaman Pedang Hijau.
Cairan darah segar pun menodai jubah Resi Raga Pamungkas.
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak.
"Masihkah kau berkeras kepala untuk tak menye-
rahkan Pusaka Pedang Gaib, Pak Tua"!"
"Aku heran melihat seorang anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti bisa berbuat
nekat semacam ini...," desah Resi Raga Pamungkas, sambil mendekap luka di bahu
kirinya. "Aku tidak nekat! Aku sedang menuntut
hak!" kilah Somagatra. "Aku meminta kau menyerahkan Pusaka Pedang Gaib, Pak Tua!
Atau, tu- buhmu akan kucincang!"
Melihat sikap Somagatra yang semakin ne-
kat, Resi Raga Pamungkas mengeluh dalam hati.
Pertapa ini sebenarnya memang tidak tahu-
menahu perihal kabar Pusaka Pedang Gaib yang
hendak diwariskan. Lagi pula, dia merasa tak
memiliki pedang yang didesas-desuskan maha
hebat itu. "Kenapa kau diam saja, Pak Tua"!" bentak Somagatra, sambil mengacungkan Pedang
Hijau di tangannya. Hati Resi Raga Pamungkas semakin tak ka-
ruan. Bagaimana kenekatan Somagatra bisa di-
hentikan" Dalam keadaan biasa saja dia tak
mampu memberi perlawanan. Apalagi dalam kea-
daan terluka! "Sebaiknya aku menghindar dulu dari pe-
muda yang mengaku bernama Somagatra ini...,"
pikir Resi Raga Pamungkas. Lalu.....
Wusss...! Somagatra terkejut ketika Resi Raga Pa-
mungkas tiba-tiba melancarkan pukulan jarak
jauh. Segera pemuda berpakaian penuh tambalan
ini meloncat ke atas. Setelah mendarat di tanah,
dia menggeram marah. Ternyata sosok Resi Raga
Pamungkas telah menghilang dari pandangan.
"Hmm.... Sampai ke kolong langit pun, kau
akan kukejar, Resi Raga Pamungkas...," batin Somagatra. "Kau harus menyerahkan
Pusaka Pedang Gaib!"
4 Pagi merayap menjelang siang. Sebuah ke-
dai nasi yang berada di pinggir kota Kadipaten
Bumiraksa masih saja terlihat ramai oleh pengunjung yang hendak sarapan. Daya
tariknya mung- kin berasal dari si pemilik kedai, seorang janda muda berparas lumayan dan
bertubuh sintal-montok. Maka tak heran apabila yang datang se-
bagian besar adalah para lelaki hidung belang
yang ingin cuci mata dan berbuat iseng. Nada bicara mereka sungguh tak enak
didengar. Selain
keras, juga penuh kata-kata tak sopan. Namun, si pemilik kedai agaknya sudah
terbiasa menghadapi orang-orang macam mereka. Sikapnya tenang-
tenang saja. Namun bila ada yang masih berbuat
jahil, dia berusaha menangkisnya dengan kata-
kata sopan tanpa menyinggung perasaan.
"Hmm.... Masakanmu sungguh enak. Pad-
mi...," puji seorang lelaki kekar berkumis tebal melintang sambil mengerling
penuh arti ke arah
pemilik kedai. Namun si janda yang bernama Padmi tak
ambil peduli. Wanita ini terus saja menyeduh ko-
pi. Suara denting beradunya gelas dan sendok
adukan terdengar jelas.
"Padmi sudah tidak perlu pujian semacam
itu, Gatra...," sahut lelaki kerempeng yang duduk di kiri lelaki berkumis tebal
bernama Gatra. "Mana ada perempuan tak butuh pujian?"
tukas Gatra. "Huh! Kau ini bodoh amat" ujar lelaki kerempeng, di dekat telinga Gatra. "Semua
orang sudah tahu kalau masakan Padmi enak. Jadi, tak
perlu mengatakannya lagi!"
Gatra menatap wajah temannya, lalu men-
gedipkan sebelah matanya.
"Kalau kau ingin memuji, katakan saja ka-
lau Padmi itu cantik, menarik, dan tak pantas
menjadi penjual nasi...," lanjut lelaki kerempeng.
"Lalu, pantasnya jadi apa, Sarpan?" tanya Gatra, pura-pura tak mengerti.
"Katakan bila Padmi itu lebih pantas jadi
istrimu!" sahut lelaki kerempeng bernama Sarpan.
"Ha ha ha...!"
Gatra tertawa bergelak. Empat lelaki lain-
nya langsung menyambuti dengan tawa tak kalah
keras. "Ya..., ya! Padmi memang lebih pantas jadi istriku...," angguk Gatra
sambil memelintir ku-misnya.
Sementara, si pemilik kedai yang menjadi
bahan pembicaraan tetap tak mau ambil peduli.
Kopi seduhnya segera diulurkan kepada seorang
remaja tampan berpakaian putih bersih tapi pe-
nuh tambalan yang duduk di kursi bambu paling
ujung. "Hei"! Bukankah aku tadi minta tambah kopi" Kenapa kau layani dia dulu,
Padmi"!" bentak Sarpan.
"Ini sedang kubuatkan, Kang...," sahut Padmi, kalem. Tangannya sibuk mencari
kopi lagi. "Aku mau yang itu!" Sarpan menunjuk secangkir kopi yang berada di hadapan remaja
tam- pan berpakaian penuh tambalan.
"Bersabarlah sedikit, Kang...," pinta Padmi.
Nada suaranya sopan sekali. "Ini juga hampir selesai. " Walau melihat si pemilik
kedai mempercepat seduhan kopinya, tapi Sarpan tetap ngotot.
"Sudah kubilang, aku mau kopi yang itu!"
katanya sambil menunjuk lagi secangkir kopi
yang diinginkannya.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan tersenyum tipis.
"Silakan, Orang Baik...," ucapnya sambil menggeser cangkir kopinya ke hadapan
Sarpan. "Nah, ini baru enak...!" sambut Sarpan seraya mengulurkan tangannya untuk
menuang kopi ke cawan. Tapi, alangkah kagetnya lelaki kerempeng
ini. Ketika tangannya hampir menyentuh cangkir, mendadak cangkir berisi kopi
panas itu bergeser.
Padahal tidak ada yang menyentuhnya.
"Kau kenapa, Sarpan?" tanya Gatra.
"Ah, tidak!" cepat lelaki kerempeng itu menyahut. Malu juga hatinya jadi pusat
perhatian. "Silakan.... Kenapa hanya dilihat saja?"
sindir si remaja tampan sambil menerima kopinya yang baru.
Sarpan mendengus. Segera disambarnya
cangkir kopi yang ada di hadapannya. Tapi....
Srettt! "Bedebah!"
Lagi-lagi cangkir kopi itu bergeser. Maka,
naik pitamlah Sarpan. Dia tahu kalau sedang di-
permainkan. "Hm.... Rupanya ada orang yang belum
kenal Raden Mas Sarpan Sastro Manggolo yang
bergelar Harimau Kerempeng Jagoan Minum...,"
gumam Sarpan seraya bangkit berdiri dan mende-
lik ke arah si remaja tampan.
"He he he...," remaja tampan berpakaian penuh tambalan malah tertawa terkekeh.
"Benarkah kau Harimau Kerempeng Jagoan Minum?"
"Ya! Maka dari itu, sebaiknya segera me-
nyingkir!" usir Sarpan, sombong sekali.
"Aduh, sayang sekali...," keluh si remaja tampan tiba-tiba. "Jauh-jauh aku
datang kemari memang hendak menemui orang yang bergelar
Harimau Kerempeng Jagoan Minum. Setelah ber-
temu, eh, dia malah mengusirku...."
"Benar kau bermaksud menemuiku?" tanya Sarpan penuh selidik.
"Ya. Aku ingin menantang minum." Men-
dengar jawaban si remaja tampan, Sarpan dan
teman-temannya tertawa terbahak-bahak.
"Kau layani saja dia, Sarpan. Sekaligus beri pelajaran!" usul lelaki berikat
kepala batik yang duduk di samping Gatra.
"Benar, Bawor. Aku memang harus mem-
berinya pelajaran!" sambut Sarpan, cepat.
Sementara, si remaja tampan malah terse-
nyum-senyum. "Jadi kau menerima tantanganku?" ujarnya, meminta kepastian.
"Di sini tidak jual arak!" sergah Padmi, yang mencuri dengar pembicaraan.
"Kami bukan mau minum arak, tapi mau
minum kopi. Bukankah begitu, Harimau Kerem-
peng Jagoan Minum yang baik hati?" tukas remaja tampan itu.
"Ha ha ha...!" Sarpan tertawa bergelak.
"Rupanya kau bocah edan yang berlaku sok waras! Mana ada orang bertanding minum,
tapi yang diminum kopi"!"
"Kau menolak tantanganku?"
"Tidak! Aku terima. Tapi, kau yang bayar!"
Bibir si remaja tampan menyungging se-
nyum. "Kita sama-sama mempunyai kopi panas.
Siapa yang paling cepat menghabiskannya, dialah yang menang."
Mendelik mata Sarpan mendengar ucapan
calon lawannya. Lebih mendelik lagi ketika melihat kopi di hadapannya masih
mengepulkan asap
panas. Bagaimana dia bisa minum kopi sepanas
itu" "Ayo, Sarpan! Tunggu apa lagi"!" lelaki yang bernama Bawor mengompori.
"Segera kau beri pelajaran bocah edan itu!"
timpal Gatra. "Ayo! Kenapa bengong, Sarpan?" tambah yang lain.
Sementara teman-temannya bersorak-
sorak memberi semangat, bibir Sarpan malah me-
rengut. Pandangan matanya sayu.
"Aduh! Bagaimana ini" Aku tidak mau ber-
buat konyol!" rungutnya dalam hati.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan seperti tak peduli pada sikap Sarpan.
"Sekarang akan kalian saksikan sebuah
pertandingan minum kopi panas...," kata si pemuda sambil menatap wajah teman-
teman Sar- pan bergantian. "Setelah hitungan ketiga, aku dan Sarpan akan segera mengangkat
cangkir. Satu..., dua..., tiga!"
Tenang saja si remaja tampan memegang
cangkir berisi kopi panas. Diliriknya Sarpan yang masih duduk termangu.
"Kau sudah kalah sebelum bertanding, Ha-
rimau Kerempeng Jagoan Minum yang baik ha-
ti...," ejeknya.
"Siapa bilang?" tukas Sarpan bergegas.
Lelaki berumur sekitar empat puluh tahun
ini akhirnya memberanikan diri juga. Cepat sekali cangkir di hadapannya
disambar. Lalu, isinya di-tenggak sampai tandas!
"Wuah...!" jerit Sarpan setelah cangkir kopinya diletakkan.
Selagi lelaki kerempeng itu berjingkrak-
jingkrak karena kepanasan, si remaja tampan tertawa terkekeh-kekeh.
"Rasakan itu! Kalau orang mau menang
sendiri, begitulah akibatnya!"
Usai berkata, si remaja tampan turut me-
nenggak kopi panasnya. Gerakannya perlahan
sekali. Bahkan, matanya terlihat merem-melek,
seperti tengah merasakan kenikmatan luar biasa.
"Bocah edan! Anak Gondoruwo! Tunggu
pembalasanku! Wuah...!" maki Sarpan seraya berlari terbirit-birit sambil
mendekap mulutnya yang terasa nyonyor. Teman-temannya turut keluar da-ri kedai,
mengejar Sarpan yang terus berlari sambil mendekap mulutnya.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan itu pun mendelik.
"Hei! Hei! Jangan pergi!" teriaknya tanpa ada yang menyahuti. "Aduh! Mati aku!
Siapa yang mesti membayar makanan bergajul-bergajul ta-di?" "Tentu saja kau yang
harus bayar! Karena ulahmu mereka semua lari!" sambar si pemilik kedai, ketika
remaja tampan itu kebingungan
sambil garuk-garuk kepala.
"Iya. Tapi..., tapi...."
"Ayo! Kau tidak mau bayar"!" tuding pemilik kedai, marah.
"Eh..., eh...," si remaja tampan gelagapan.
Kepalanya digaruk semakin keras.
Mendadak, muncul seorang lelaki tinggi te-
gap berpakaian kuning-coklat. Wajahnya tampan,
dihiasi kumis tipis. Rambutnya diikat sehelai kain putih. "Aku yang akan bayar
semuanya!"
Begitu duduk di kursi bambu, lelaki beru-
mur sekitar tiga puluh lima tahun ini langsung
membuka suara. Si janda pemilik kedai menatap wajah
orang yang baru datang. Melihat kesungguhan le-
laki berkumis tipis itu, padamlah api amarahnya.
"Eh! Kau begitu baik hati. Siapa...."
Si remaja tampan tak melanjutkan bica-
ranya. Matanya melotot melihat wajah lelaki berkumis tipis.
"Bukankah kau Senopati Guntur Selaksa?"
lanjutnya, setelah mengenali lelaki yang baru datang. "Ya. Aku diutus Baginda
Prabu Singgalang Manjunjung Langit untuk menyusulmu, Suro...,"
ujar lelaki berkumis tipis yang memang Senopati Guntur Selaksa, Panglima Perang
Kerajaan Pasir Luhur. Remaja tampan garuk-garuk kepala lagi.
Melihat kebiasaannya ini, siapa lagi dia kalau bukan Suropati yang dikenal
sebagai Pengemis Bi-
nal, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. "Kepergianmu yang tanpa pamit membuat resah Baginda Prabu. Apalagi, Tuan
Putri Sekar Tunjung Biru. Bahkan apabila kau tak juga kem-
bali ke istana, Anggraini Sulistya akan mencari-mu, Suro...," lanjut Senopati
Guntur Selaksa.
"Lho" Bukankah Anggraini Sulistya telah
berbahagia bersama Raka Maruta?" tukas Suropati dengan kening berkerut.
"Ya. Tapi dia sangat menyayangimu, Suro.
Sepertinya, dia tak mau berpisah denganmu ba-
rang sekejap...," ungkap Senopati Guntur Selaksa penuh kesungguhan. "Dan lagi,
kupikir kau sebenarnya tak perlu kembali ke Kerajaan Anggarapu-
ra. Kau putra mahkota Kerajaan Pasir Luhur, Su-


Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ro. Kau berhak menikmati semua kemewahan di
negeri yang dipimpin ayahandamu." (Cerita tentang asal-usul Suropati yang
ternyata putra Pra-bu Singgalang Manjunjung Langit, silakan baca
episode: "Pemberontakan Subandira").
"Aku senang tinggal di istana. Tapi aku harus tahu diri, Paman. Aku mempunyai
sebuah perkumpulan yang anggotanya orang-orang
miskin dan telantar. Aku pemimpin mereka. Ten-
tu saja mereka membutuhkan aku...."
"Aku bisa mengerti. Tapi, entah Prabu
Singgalang Manjunjung Langit."
"Aku berjanji, suatu saat akan kembali ke
Istana Pasir Luhur. Tapi yang jelas, kedatanganku bukan untuk mencari kemewahan
ataupun kenikmatan duniawi. Aku datang karena mempu-
nyai orangtua yang patut mendapatkan darma-
baktiku." Senopati itu tampak merenung sejenak.
Ketika si janda pemilik kedai menawarkan mi-
num, lelaki gagah ini cuma menggeleng. Lalu, ditatapnya wajah Pengemis Binal
dalam-dalam. "Baiklah, Suro. Aku tidak akan memaksa-
mu untuk kembali ke istana. Mudah-mudahan
Baginda Prabu, Tuan Putri Sekar Tunjung Biru,
dan kakak-mu Anggraini Sulistya mau mengerti
keadaan-mu...," desah lelaki itu.
Bibir Suropati menyungging senyum. Ke-
mudian dia garuk-garuk kepala. Remaja tampan
yang rambutnya dibiarkan tergerai ini lantas balik menatap senopati itu.
"Kalau Paman Selaksa tak mau minum
apa-apa, sebaiknya kita pergi. Tentu saja Paman yang bayar. Aku hanya punya
ini." Pengemis Binal menunjukkan sekeping uang logam. "Uangku tak cukup untuk
membayar makanan yang diha-biskan bergajul-bergajul tadi."
Senopati Guntur Selaksa mengangguk.
*** "Aku tadi sempat melihat bagaimana kau
meminum kopi panas. Kau hebat sekali, Suro...,"
puji Senopati Guntur Selaksa di tengah jalan, ketika memasuki keramaian kota
Kadipaten Bumi-
raksa. "Ah, Paman terlalu memuji. Aku yang bodoh ini kebetulan memiliki ilmu
'Pukulan Salju Merah'. Sehingga, mudah saja bagiku untuk
membuat kopi panas jadi dingin," tukas Pengemis Binal, merendah. (Tentang ilmu
pemberian Nyai Catur Asta ini, dapat disimak pada episode :
"Dendam Ratu Air").
"Tenaga dalammu juga hebat sekali, Suro.
Aku pun sempat melihat kau memindahkan
cangkir kopi di hadapan orang kerempeng tadi
hanya dengan memegang pinggiran meja."
"Ah! Jangan terus memuji, Paman. Bisa be-
sar kepalaku nanti." Pengemis Binal garuk-garuk kepala untuk ke sekian kalinya.
"Eh, Paman kok
tahu apa yang terjadi barusan di kedai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku tadi duduk di
depan kedai. Hanya kau yang tak melihat."
"Kenapa Paman tak langsung menegurku?"
"Aku ingin tahu salah satu perbuatan ko-
nyol-mu. Ternyata.... He he he...."
Senopati Guntur Selaksa tertawa terkekeh-
kekeh. Dengan pakaian biasa yang sederhana,
orang tak akan tahu bila dia adalah seorang pejabat tinggi kerajaan. Walau baru
beberapa pekan mengenal Suropati, tapi sikapnya sudah sangat
akrab. Baginya, Suropati adalah seorang teman
menyenangkan. Tak heran apabila panglima pe-
rang ini kemudian minta diantar Suropati meli-
hat-lihat keramaian kota Kadipaten Bumiraksa.
Di sepanjang jalan, semakin tahulah Seno-
pati Guntur Selaksa kalau Suropati adalah seo-
rang pemimpin yang penuh perhatian kepada
anak buahnya. Hampir semua pengemis dan ge-
landangan yang dijumpai mengelu-elukan keda-
tangannya. Terlihat, bagaimana mereka sangat
membutuhkan sosok pemimpin seperti Suropati.
Walau sering berperilaku konyol, tapi bisa menja-di seorang Dewa Penolong yang
penuh welas asih.
"Kukira kau sudah cukup menghabiskan
waktumu untuk menemaniku, Suro...," cetus Senopati Guntur Selaksa ketika
matahari mulai ter-puruk dari titik tengahnya.
"Aku selalu punya waktu untuk orang se-
baik Paman Selaksa...," balas Suropati.
"Sebaiknya aku minta diri untuk kembali
ke istana. Akan kucoba untuk memberi penger-
tian kepada Baginda Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit tentang keberadaanmu di sini."
"Dalam waktu secepat ini, Paman" Tidak-
kah Paman ingin melihat-lihat wilayah Kerajaan
Anggarapura yang subur dan makmur, serta pen-
duduknya yang ramah-ramah" Aku akan mene-
mani-mu, Paman."
"Terima kasih, Suro. Apa kau lupa kalau
aku adalah seorang pejabat" Aku tidak bisa ber-
laku seenak perutku sendiri. Banyak tugas yang
membutuhkan uluran tanganku."
"Baiklah kalau begitu. Sampaikan sembah-
sujudku kepada Ayahanda Prabu dan Ibunda Se-
kar Tunjung Biru. Serta, sampaikan salam ma-
nisku kepada Anggraini Sulistya dan Raka Maru-
ta. Semoga mereka menjadi pasangan bahagia se-
panjang masa."
Tepat di pasar hewan, Suropati mengan-
tarkan Senopati Guntur Selaksa untuk membeli
seekor kuda yang kuat. Dan dengan menunggang
kuda itu, Senopati Guntur Selaksa hendak kem-
bali ke Istana Pasir Luhur lewat jalan barat. Sedangkan Suropati sendiri hendak
melanjutkan perjalanannya ke puncak Bukit Pangalasan untuk
menemui Kakek Gede Panjalu alias Pengemis
Tongkat Sakti, sesepuh perkumpulan pengemis
yang dipimpinnya.
*** "Tolong...! Tolong...!"
Baru saja keluar dari kota Kadipaten Bu-
miraksa, Suropati dikejutkan oleh suara minta tolong. Menyusul kemudian, tampak
seorang gadis tengah berlari-lari ketakutan.
Malang, langkah kaki si gadis terantuk ba-
tu. Tubuhnya tak terkendali lagi, lalu jatuh tersungkur.
Brukkk! Pengemis Binal segera meloncat mengham-
piri, kemudian membantu si gadis untuk berdiri.
"Ada apa" Kenapa kau berlari ketakutan?"
tanya Suropati.
"Tolong...! Tolong aku, Tuan!" pinta si gadis, gelagapan. Napasnya terdengar
memburu. Sementara keringatnya membanjir.
"Tenanglah.... Kau aman bersamaku," bujuk Pengemis Binal, menenangkan.
"Harimau...! Aku..., aku dikejar harimau,
Tuan!" Di ujung kalimat si gadis, Suropati melihat seekor harimau besar tengah
berlari cepat menuju ke arahnya. Segera pemuda ini meloncat,
menghadang lari harimau yang sudah melayang
menerkam. "Pergi ke hutan sana, Harimau Usil!" ujar Pengemis Binal seraya melancarkan
tendangan. Buk...! Tubuh harimau itu kontan terpental dan
jatuh bergulingan terkena tendangan Suropati.
Ketika raja hutan itu bangkit, Suropati sudah
berkelebat sambil mengebutkan tongkatnya.
Tak! "Graungr...!"
Hajaran Suropati cukup membuat harimau
besar lari pontang-panting, meninggalkan raun-
gan keras. "Terima kasih..., terima kasih, Tuan...,"
ucap gadis yang baru ditolong.
"Jangan panggil 'Tuan'. Namaku Suropati,"
tukas Pengemis Binal sambil menatap wajah si
gadis. Tersenyum senanglah remaja konyol ini.
Ternyata, gadis yang berdiri di hadapannya ber-
paras cantik. Walau memakai pakaian sederhana,
tapi kepadatan tubuhnya dapat dilihat. Rambut-
nya hitam-pekat sebahu. Bila ditaksir, umurnya
sekitar dua puluh tahun.
"Benarkah kau Suropati?" kejut si gadis ti-ba-tiba.
"Ya. Kenapa?" sahut Suropati, balik bertanya. "Kau..., kau Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti?"
"Ya. Tak senang berjumpa denganku?"
"Tentu saja aku senang, Tuan Suropati.
Aku...." "Sudah kubilang, jangan panggil 'Tuan'.
Cukup panggil aku Suro...."
"Ya..., ya, Suro. Aku sangat senang ber-
jumpa denganmu. Ternyata, orang yang bernama
Suropati sangat tampan dan berkepandaian ting-
gi." Pengemis Binal tersenyum-senyum men-
dengar pujian si gadis.
"Ah, kau juga cantik...," balasnya. "Siapa
namamu" Dan, bagaimana kau bisa dikejar-kejar
harimau?" Mendengar pertanyaan Suropati, menda-
dak wajah si gadis berubah murung.
"Eh, kau kenapa" Menyesal berjumpa den-
ganku?" tanya si remaja dengan konyol. Kumat sudah penyakit lamanya melihat
seraut wajah cantik. Si gadis belum juga membuka suara,
membuat Pengemis Binal berkerut keningnya.
"Kau kenapa" Kau malu untuk memintaku
mengantarkanmu pulang?" lanjut si pemuda.
"Tidak. Aku tidak akan pulang lagi. Aku
mau mencari ayahku yang telah pergi meninggal-
kanku...," tutur si gadis tanpa diminta.
"Katakan siapa namamu dulu, baru berce-
rita," ujar Suropati.
"Namaku Swani. Dalam perjalanan mencari
ayahku, aku tersesat di hutan. Lalu, aku dikejar-kejar seekor harimau. Untunglah
kau datang me- nolongku, Suro. Aku tidak tahu, bagaimana harus membalas budi baikmu ini...."
' Aah.... Kau tidak perlu membalas budi,''
tukas Suropati. "Asal kau mau jadi temanku, aku sudah senang."
"Benar?"
Pengemis Binal mengangguk. Diraihnya
tangan si gadis yang bernama Swani, lalu diciumnya. "Kau cantik sekali,
Swani...," puji Suropati.
Si pemuda menatap wajah Swani dalam-dalam.
Sementara, yang ditatap menunduk malu.
"Kau sekarang hendak mencari ayahmu ke
mana?" tanya Pengemis Binal kemudian.
"Aku tak tahu," jawab Swani, pelan sekali.
"Kalau begitu, ikut aku saja. Aku akan
meminta bantuan anak buahku untuk turut
mencari ayahmu."
"Ah! Kau baik sekali. Suro."
"Jangan terlalu memuji. Untuk gadis se-
cantik kau, apa pun akan kulakukan,"
Suropati menggandeng tangan Swani. Dan,
gadis itu pun menurut saja ketika Suropati men-
gajak memasuki keramaian kota Kadipaten Bumi-
raksa. Berjalan bersama gadis cantik, Suropati
lupa pada tujuannya semula yang hendak pergi
ke puncak Bukit Pangalasan.
5 Resi Raga Pamungkas berlari bagai dikejar
setan. Walau luka di bahu kirinya sudah tak
mengucurkan darah lagi, tapi pedihnya masih te-
rasa menyengat. Pertapa ini menggigit bibir, berusaha menahan sakit. Ketika
tubuhnya mulai Harpa Iblis Jari Sakti 2 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Pedang Tetesan Air Mata 1
^