Misteri Pusaka Pedang Gaib 2
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Bagian 2
menggigil dan keringat deras mengucur, langkah-
nya berhenti. "Agaknya, Pedang Hijau yang melukaiku
mengandung racun...," desah pertapa bertubuh kurus kecil ini, "Aku harus
bertindak cepat sebelum kerja jantungku terganggu."
Segera Resi Raga Pamungkas mengambil
obat pulung dari lipatan kain jubahnya. Sebutir ditelannya. Sebutir lagi diremas
untuk kemudian diborehkan pada luka di bahu kiri. Lalu dengan
kain sobekan lengan jubahnya, luka akibat ber-
tempur dengan Somagatra itu dibalutnya.
"Aku yakin, pemuda yang bernama Soma-
gatra itu terus mengejarku. Aku harus menghin-
darinya sampai dapat memastikan siapa yang te-
lah menyebar kabar bohong itu...," kata batin Resi Raga Pamungkas kemudian.
"Kurasa tempat yang penting aman untuk bersembunyi adalah kota
yang ramai. Walau nanti aku kepergok, Somaga-
tra tak akan berani berbuat macam-macam. Ka-
rena, dia tentu takut perbuatannya akan diketa-
hui anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya." Merasa mendapat gagasan bagus, Resi Ra-
ga Pamungkas melanjutkan langkahnya dengan
berlari menuju kota Kadipaten Bumiraksa, yang
memang tak seberapa jauh dari Bukit Ranuglagah
tempat pertapaannya.
Baru saja melewati pintu gerbang, Resi Ra-
ga Pamungkas bersorak girang dalam hati. Di de-
pan sana dari arah berlawanan, dia melihat seo-
rang pemuda tampan membawa sebatang tongkat
butut tengah berjalan bersama seorang gadis cantik berkebaya hijau.
"Hmm.... Kalau tidak salah aku melihat,
remaja tampan itu tentu Suropati alias Pengemis Binal. Kebetulan! Aku bisa
meminta perlindun-gannya...," gumam Resi Raga Pamungkas, seraya mempercepat
langkahnya. Sementara itu, Suropati yang sedang berja-
lan bersama Swani jadi terkejut melihat lelaki tua
berjubah itu berhenti melangkah. Lebih terkejut lagi Swani. Gadis yang tampak
lemah itu sampai
berlari ketakutan. Ketika Suropati hendak mengejar.
"Tolong aku, Suro...!"
Terpaksa Pengemis Binal mengurungkan
niatnya. Dibiarkannya gadis itu, karena lebih
mementingkan orang yang minta pertolongan.
Saat mengalihkan pandangan, remaja tampan ini
berseru kaget. Lelaki berjubah yang baru datang tampak jatuh tersungkur di tanah
sambil menge-rang kesakitan.
"Kau kenapa, Pak Tua?" tanya Suropati seraya berjongkok di dekat lelaki tua
berjubah yang memang Resi Raga Pamungkas.
"Aduh! Tolong aku, Suro! Aku terserang ra-
cun!" keluh sang resi sambil mendekap balutan luka di bahu kirinya. Rupanya,
obat pulung yang digunakan untuk mencegah menjalarnya racun
tak manjur. Ketika meraba, Suropati merasakan suhu
tubuh lelaki tua ini meninggi. Cepat dibopongnya tubuh Resi Raga Pamungkas lalu
dibawanya berlari ke Kuil Saloka yang menjadi tempat tinggal para pengemis kota
Kadipaten Bumiraksa.
*** Tanpa berkata apa-apa Suropati membuka
balutan luka sang resi. Walau tidak seberapa lebar, tapi jelas menunjukkan
pengaruh racun. Ku-
lit di sekitar luka tampak melepuh, berwarna biru
kehitaman. Sigap sekali Pengemis Binal menotok bebe-
rapa jalan darah di tubuh Resi Raga Pamungkas.
Lalu, digedornya punggung pertapa itu.
"Hoekkh...!" Resi Raga Pamungkas langsung muntah darah berwarna kehitaman.
"Kendorkan seluruh urat-urat sarafmu,
Kek. Aku akan menyalurkan hawa mumi...," pinta Pengemis Binal seraya menempelkan
dua telapak tangannya ke dada Resi Raga Pamungkas yang
duduk bersandar di dinding.
Sepeminum teh kemudian, wajah pucat
Resi Raga Pamungkas berangsur-angsur berubah
merah sehat. Sementara luka di bahu kirinya
tampak melelehkan cairan kental berwarna hijau.
"Cukup, Suro! Kukira, racun di tubuhku
telah berhasil keluar...," ujar sang resi.
Suropati menarik telapak tangannya dari
dada pertapa itu.
"Untung racunnya belum menyerang jan-
tungmu, Kek...," desah si remaja. "Kau siapa, Kek" Dan, kenapa bisa sampai
terluka seperti
ini?" Resi Raga Pamungkas geleng-geleng kepala.
"Kalau kau belum mengenalku, kenapa
menolongku?" tanyanya. Lelaki tua ini agaknya ingin tahu isi hati Pengemis
Binal. "Kau datang ke hadapanku dalam keadaan
terluka, dan minta tolong. Lalu apa aku harus di-am saja?"
Resi Raga Pamungkas tersenyum.
"Semoga Hyang Widhi membalas kebai-
kanmu, Suro...," doanya. Pertapa ini lalu memba-lut kembali luka di bahu
kirinya. "Kau belum bercerita siapa dirimu" Dan,
bagaimana bisa terluka...?" pinta Pengemis Binal.
"Aku seorang pertapa yang tinggal di Bukit Ranuglagah. Namaku Raga
Pamungkas...."
"Raga Pamungkas?" potong Suropati. "Kalau kau tinggal di Bukit Ranuglagah yang
tidak seberapa jauh dari kota Kadipaten, Bumiraksa
ini, kenapa aku belum pernah mendengar nama-
mu?" "Di Bukit Ranuglagah, aku memang baru tinggal beberapa pekan. Sebenarnya,
aku berasal dari Kerajaan Saloka Medang. Aku sama sekali
tak menyangka bila kehadiranku ada yang tak
menyukai. Tapi siapa orangnya, aku tak tahu."
"Maksud Kakek?"
"Ada orang jahat yang menyebarkan kabar
bahwa aku akan mewariskan sebuah senjata pu-
saka yang bernama Pusaka Pedang Gaib. Padahal
aku sendiri tak tahu-menahu perihal senjata pu-
saka itu. Jangankan memiliki, mendengar na-
manya saja baru kali itu."
"Lalu, kenapa Kakek bisa terluka?" kejar Pengemis Binal, mulai tertarik pada
cerita Resi Raga Pamungkas.
"Tadi siang, di puncak Bukit Ranuglagah
menjadi ajang pertumpahan darah. Ada seorang
pemuda yang memenangkan pertarungan. Dia
kemudian memintaku untuk menyerahkan Pusa-
ka Pedang Gaib. Tentu saja aku tidak bisa menu-
ruti keinginannya. Dia lalu memaksaku sampai
terjadi pertempuran. Aku kalah dan terluka.
Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu," papar sang resi.
"Siapa pemuda itu?"
"Dia salah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Mungkin kau mengenal-
nya. Dia memperkenalkan diri bernama Somaga-
tra." "Gatra?" kejut Pengemis Binal. Kontan in-gatannya tertuju pada peristiwa
di kedai nasi yang mengawali perjumpaannya dengan Senopati
Guntur Selaksa. "Apakah orangnya berkumis tebal dan umurnya sekitar empat puluh
tahun?" Resi Raga Pamungkas menggeleng. "Tadi
sudah kubilang, dia seorang pemuda. Dia tidak
berkumis dan umurnya sekitar dua puluh lima
tahun. Namanya bukan cuma Gatra, tapi Soma-
gatra." "Somagatra...," gumam Pengemis Binal, mencoba mengingat-ingat.
"Bagaimana kau bisa memastikan kalau dia anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti! Sedangkan Kakek terluka
oleh senjata tajam" Seluruh anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti pantang mengguna-
kan senjata tajam kalau tidak dalam keadaan terpaksa."
"Aku juga tahu. Tapi pemuda yang berna-
ma Somagatra juga membawa tongkat berkepala
naga. Sedangkan pedangnya, aku dapat memasti-
kan kalau itu milik Pendekar Pedang Hijau.
Mungkin sekali Somagatra berhasil merampas-
nya." "Somagatra...," gumam Pengemis Binal lagi.
"Anggota Perkumpulan Tongkat Sakti berjumlah ribuan. Aku tidak bisa mengenal
mereka satu persatu." "Kau harus membantu memecahkan per-soalan ini, Suro.
Sekaligus, untuk memulihkan
nama baik perkumpulanmu.''
Suropati mengangguk lemah. Keningnya
berkerut. Tanpa sadar remaja tampan berambut
panjang tergerai ini menggaruk kepalanya yang
tak gatal. "Eh, bagaimana kau tadi bisa tahu kalau
aku Suropati. Sedangkan, kita belum pernah ber-
temu?" tanya si pemuda agak menyimpang dari arah pembicaraan.
"Nama Suropati alias Pengemis Binal sudah
terkenal di rimba persilatan. Hanya orang dungu atau kurang pergaulan saja yang
belum mendengar namamu," jawab Resi Raga Pamungkas, terselip sebuah pujian.
"Jadi, kau mengenal ciri-ciriku dari pembicaraan orang?"
Resi Raga Pamungkas mengangguk.
"Hmmm.... Rupanya aku sudah menjadi orang
termasyhur...," gumam Pengemis Binal. "Pantas gadis bernama Swani yang kujumpai
tadi sangat senang bertemu denganku. Aku memang orang
terkenal...."
Bibir remaja konyol ini menyungging se-
nyum. Tapi, wajahnya mendadak berubah kelam.
"Aku tidak tahu kenapa Swani tiba-tiba
berlari ketika bertemu Resi Raga Pamungkas" Dia tentu mempunyai sebuah urusan
dengan pertapa ini, sehingga membuatnya sangat terkejut, dan
menghindar, " gumamnya lagi sambil merunduk dan manggut-manggut kepada Resi Raga
Pamungkas. "Kenalkah kau pada seorang gadis yang
bernama Swani, Kek?"
"Swani" Swani siapa?" kening sang resi berkerut.
"Gadis yang berjalan bersamaku ketika kau
datang meminta pertolongan."
Resi Raga Pamungkas tampak berpikir.
"Tidak..., tidak! Aku tidak mengenal gadis itu.
Memangnya ada apa, Suro?" jawabnya kemudian, seraya bertanya.
"Tidakkah kau melihat keanehan pada diri
gadis yang kukatakan tadi" Dia berlari ketika kau datang. Sepertinya dia sengaja
menghindar."
"Ah! Kita kesampingkan dulu perihal gadis
itu, Suro. Yang penting sekarang adalah, bagai-
mana kita bisa mengetahui siapa orang yang telah menyebar kabar bohong perihal
Pusaka Pedang Gaib. Dan, apa tujuan orang itu."
"Ya..., ya! Aku pasti membantumu, Kek.
Akan kucari pula Somagatra yang telah melukai-
mu." *** Cahaya bulan sepenggal tak kuasa me-
nembus tebalnya awan. Kerlip bintang hanya be-
rupa titik-titik kecil yang timbul-tenggelam. Warna hitam memenuhi langit.
Gelap-pekat. Walau malam sangat kelam dan dingin
menusuk tulang, keramaian kota Kadipaten Bu-
miraksa terus berlangsung. Di jalan, masih ba-
nyak orang berlalu-lalang dengan urusan masing-
masing. Lampu-lampu kios yang bersinar terang,
membuat gelap tak lagi berkuasa.
Sementara, di sebuah rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota, belasan lelaki tengah bersuka ria menenggak
arak. Tiada henti
mereka membuka suara kasar. Tawa genit pada
wanita nakal pun membuat suasana semakin ma-
rak. Namun, suara-suara yang terdengar lang-
sung terhenti ketika....
Brakkk! Seorang pemuda berpakaian serba hitam
tiba-tiba menggebrak meja.
"Aku ingin kalian semua memasang telinga
baik-baik!" ujarnya seraya bangkit berdiri. "Aku mempunyai sebuah kabar rahasia.
Tapi, aku mau berbaik hati untuk menyampaikannya kepada ka-
lian." Semua mata tertuju pada sosok pemuda yang sedang bicara. Wajah pemuda
berumur sekitar dua puluh tahun itu dihiasi kumis dan jenggot halus terawat
rapi. Kulitnya putih. Dan di punggungnya terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau.
"Kalian tentu sudah mendengar berita ke-
hebatan Pusaka Pedang Gaib milik Resi Raga Pa-
mungkas yang tinggal di Bukit Ranuglagah," lanjut si pemuda. "Tadi siang,
pertapa itu tidak jadi mewariskan senjata pusakanya. Karena, tidak
ada orang yang dianggap cocok. Tapi, tahukah kalian bila Resi Raga Pamungkas
sesungguhnya adalah manusia culas yang hendak mengadu-
domba kaum rimba persilatan" Setelah terjadi
pertumpahan darah di puncak Bukit Ranuglagah,
dia malah melarikan diri dengan membawa senja-
ta pusakanya. Aku yang mengetahui kebusukan
pertapa itu lalu mengejarnya. Karena kecerdikannya, dia bisa meloloskan diri.
Tapi, aku berhasil merampas Pusaka Pedang Gaib miliknya...."
"Bocah gemblung! Kau jangan bicara nga-
wur di tempat ini!" potong seorang lelaki brewokan bertubuh tambun.
"Siapa yang mau percaya pada bocah ingu-
san macam kau"!" sambung lelaki lain.
Brakk...! Mendadak, pemuda berpakaian serba hi-
tam menggebrak lagi meja di hadapannya. Kali ini daun meja sampai pecah dan
keempat kakinya
patah. Perbuatannya seperti sengaja memamer-
kan kekuatan tenaga dalamnya.
"Bodoh! Aku tidak akan menipu kalian se-
mua!" ujar si pemuda dengan suara lebih lantang.
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kalian tak percaya kalau aku telah berhasil merampas Pusaka Pedang Gaib
dari tangan Resi
Raga Pamungkas"!"
"Apa buktinya" Dan, untuk apa kau pa-
mer-pamer segala?" tanya seorang pemuda bermuka bopeng yang duduk di sudut
ruangan. Pemuda berpakaian serba hitam menebar
pandangan sebentar. Lalu, dilepasnya ikatan
benda panjang terbungkus kain hijau di pung-
gungnya. Ternyata, benda itu sebatang pedang.
Ketika pedang dihunuskan, terbelalaklah semua
mata yang memandang. Maka pedang penuh uki-
ran dan memancarkan cahaya merah. Gagangnya
berbentuk kepala naga.
"Inilah Pusaka Pedang Gaib...," kata pemuda berpakaian serba hitam itu sambil
menggerak- kan sedikit pedang di tangan kanannya.
Wuusss...! Crass! "Heh..."!"
Ruangan jadi gaduh bernada terkejut keti-
ka seberkas cahaya merah yang berasal dari bilah pedang melesat menghantam
dinding, hingga
mengepulkan asap seperti tersiram air panas.
"Masihkah kalian semua tidak percaya pa-
da perkataanku?" tanya si pemuda.
Sekali lagi pemuda tampan berkulit putih
ini menggerakkan pedangnya. Sinar merah kem-
bali melesat, menimbulkan suara menderu.
Wusss...! Blarrr...! Kali ini timbul suara ledakan ketika seber-
kas cahaya merah yang lebih besar menghantam
dinding di sisi kiri si pemuda.
Suasana jadi bertambah gaduh saat dind-
ing yang terkena luncuran cahaya merah berlu-
bang sebesar gentong!
"Pusaka Pedang Gaib...," desis beberapa
orang yang berada di ruangan.
"Benar-benar sebuah senjata pusaka yang
hebat..," desis yang lain.
Semua orang membelalakkan mata dengan
mulut ternganga.
"Pusaka Pedang Gaib ini akan menjadi mi-
lik salah seorang dari kalian," lanjut si pemuda.
"Benarkah itu?" tanya beberapa lelaki, bersamaan.
"Benar!" jawab si pemuda sambil menyarungkan bilah pedangnya kembali. "Tapi,
dengan satu syarat."
"Apa?" tanya beberapa lelaki lagi.
"Tadi sudah kuceritakan tentang kebusu-
kan Resi Raga Pamungkas. Cari dia sampai dapat.
kepalanya akan kutukar dengan Pusaka Pedang
Gaib yang kubawa!"
"Bagaimana kami bisa yakin kalau kau ti-
dak akan mengingkari janji?" tanya pemuda bermuka bopeng yang duduk di sudut
ruangan. "Dua hari lagi pada saat yang sama seperti ini, aku akan kemari."
"Benar begitu?" cecar pemuda bermuka
bopeng. "Aku tidak memintamu untuk menuruti
kemauanku. Tapi, aku akan menepati apa yang
telah kukatakan!"
Usai berkata, pemuda berpakaian serba hi-
tam mengeluarkan beberapa keping uang emas
dari saku bajunya. Begitu tangannya mengibas,
sinar-sinar keemasan melesat ke dinding!
Slap...! Lima keping uang emas menancap di ba-
wah lubang di dinding, membentuk garis tegak
lurus. Untuk ke sekian kalinya, orang-orang yang berada di ruangan dibuat
terperangah. "Uang itu sebagai ganti kerusakan di si-
ni...," ujar pemuda berpakaian serba hitam, seraya ngeloyor pergi.
Sepeninggal si pemuda suara gaduh me-
landa ruangan. Beberapa lelaki sibuk menyusun
rencana bersama teman-temannya. Mereka lupa
pada arak yang masih tersedia di atas meja. Sementara yang sudah telanjur masuk
seperti men- dapat kekuatan baru. Otak mereka menjadi jernih kembali. Belasan wanita nakal
jadi merengut karena tak dipedulikan.
*** "Tunggu dulu, Orang Asing!"
Seorang pemuda berpakaian serba hitam
menghentikan langkahnya. Ketika mendengar te-
riakan yang dituju untuk dirinya. Di balik keremangan, matanya menatap tajam
seorang lelaki berumur sekitar tiga puluh tahun berpakaian
ringkas hijau-kuning. Rambutnya yang hitam
panjang diikat sehelai sutera merah.
"Ada urusan apa kau memanggilku?" selidik pemuda berpakaian serba hitam.
"Namaku Danar Pangeran dan bergelar
Pendekar Pedang Hijau. Tapi, aku tak mungkin
memakai gelarku lagi karena ada orang culas
yang telah merampas senjata andalanku...," tutur
lelaki yang bahunya dibalut. Suaranya lembut
dan sopan. Dia tak lain memang Danar Pangeran
yang bergelar Pendekar Pedang Hijau. Balutan di bahunya diakibatkan luka oleh
sambaran pedangnya sendiri, yang dirampas Somagatra di
puncak Bukit Ranuglagah.
"Lalu, apa urusannya denganku?" tanya si pemuda berpakaian serba hitam, dengan
kening berkerut. "Aku baru datang dari rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota ini. Di sana, orang masih ramai membicarakan
seorang pemuda berpakaian serba hitam yang membawa se-
buah senjata pusaka yang bernama Pusaka Pe-
dang Gaib. Menurut pembicaraan yang kudengar,
pemuda itu bersedia menukarkan pedang yang
dibawanya kepada orang yang dapat menyerah-
kan kepala Resi Raga Pamungkas....," tutur Danar Pangeran, lebih panjang. "Aku
menduga, pemuda yang membawa Pusaka Pedang Gaib adalah kau,
bila menilik pakaianmu yang serba hitam. Keda-
tanganku hanya ingin menanyakan, apakah kau
benar-benar akan menyerahkan Pusaka Pedang
Gaib kepada orang yang berhasil menyerahkan
kepala Resi Raga Pamungkas?"
"Aku tak perlu menjawabnya. Tanyalah pa-
da dirimu sendiri, apakah orang seperti aku ini bisa dipercaya atau tidak."
"Ha ha ha...!"
Mendengar nada ketus bicara pemuda ber-
pakaian serba hitam, Danar Pangeran tertawa
bergelak. "Kau sepertinya menyimpan kesumat pada
Resi Raga Pamungkas, Orang Asing! Tapi, terus
terang aku tak percaya kau bersedia menukar
Pusaka Pedang Gaib dengan kepala pertapa kurus
kecil itu!" lanjut Pendekar Pedang Hijau.
"Percaya atau tidak, terserah kau. Aku tak punya waktu untuk melayani orang usil
seperti-mu!" Pemuda berpakaian serba hitam berbalik untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi, Danar Pangeran meloncat tinggi dan mendarat di hadapan-
nya. "Kepandaian murahan tak perlu dipamer-kan di hadapanku!" ejek pemuda
berpakaian serba hitam.
"Ha ha ha...!" Danar Pangeran tertawa bergelak. "Aku bukan bermaksud pamer
kepandaian. Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal lagi
kepadamu. Karena semakin lama kulihat, dirimu
mempunyai daya tarik aneh.... Katakan siapa
kau"! Dan, bagaimana bisa mempunyai dendam
kesumat pada Resi Raga Pamungkas?"
"Kau tidak perlu tahu!" bentak pemuda berpakaian serba hitam.
Danar Pangeran tertawa bergelak lagi. "Kau tak mau memperkenalkan diri tak jadi
apa. Asal, tinggalkan pedang yang kau sandang di pung-gungmu."
"Bangsat!" maki pemuda berpakaian serba hitam seraya menghujamkan kepalan tangan
ke muka Danar Pangeran.
Mudah saja Danar Pangeran berkelit. Dan
sebelum pemuda yang sudah naik pitam itu men-
gawali lagi serangannya, Pendekar Pedang Hijau
meloncat dua tombak ke belakang.
"Sebenarnya aku tak hendak membuat
permusuhan denganmu, Orang Asing. Tapi bila
kau memaksa, aku pun bisa bersikap keras!"
dengus Danar Pangeran.
"Kau memakai gelar pendekar. Namun ke-
lakuanmu sungguh sangat memuakkan!" timpal pemuda berpakaian serba hitam. "Kau
terlalu mencampuri urusan orang lain. Sifat busukmu
nampak jelas. Dan aku tak bisa menuruti keingi-
nanmu, untuk menyerahkan Pusaka Pedang Gaib
kecuali bila kau pergunakan untuk bunuh diri!"
Danar Pangeran mendengus marah men-
dengar kata-kata pemuda di hadapannya. Segera
pedangnya yang terselip di pinggangnya dilo-
loskan. "Walau pedang ini pedang biasa yang tak mempunyai kesaktian apa-apa,
tapi cukup mampu untuk merobek mulutmu!" ancam Danar Pangeran sambil
menyorongkan pedang ke muka pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Ucapanmu terbalik. Justru aku yang akan
merobek mulutmu, Pendekar Gadungan!"
Cepat sekali pemuda berpakaian hitam itu
menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tersandang
di punggung. "Heh"!"
Danar Pangeran terperangah. Tanpa sadar
pemuda bersifat jumawa ini melangkah mundur
setindak, ketika melihat bilah Pusaka Pedang
Gaib di tangan pemuda berpakaian serba hitam
yang memancarkan cahaya merah menggidikkan
dan sangat menyilaukan mata. Walau Danar Pan-
geran memiliki senjata mustika yang bernama Pe-
dang Hijau, tapi pamornya tidak sehebat itu.
"Aku akan menjadi raja pedang yang tak
tertandingi bila memiliki Pusaka Pedang Hijau...,"
gumam Danar Pangeran dalam hati. "Tapi, mam-pukah aku merebutnya dari tangan
pemuda asing itu?" Danar Pangeran tercenung di tempatnya.
Sementara pemuda berpakaian serba hitam tak
mau membuang-buang waktu lagi. Segera bilah
pedangnya digerakkan ke samping kanan.
Blarrr! Wuss...! Dibarengi sebuah ledakan, selarik sinar
merah meluncur deras ke arah Danar Pangeran!
Betapa terkejutnya Pendekar Pedang Hijau.
Segera pedangnya diputar untuk membentengi di-
ri. Tras! "Heh..."!"
Danar Pangeran kembali terkejut. Ternyata
pedangnya terpotong menjadi tiga bagian. Dan
sebelum dia menyadari keadaan, tiga larik sinar merah meluncur lagi!
"Uts...!"
Susah-payah Danar Pangeran membuang
diri, menghindari tiga larik sinar merah yang datang beruntun. Tak mau mendapat
kesulitan le- bih banyak, begitu bangkit segera diterjangnya
pemuda berpakaian serba hitam walau hanya
bersenjata sisa potongan pedangnya.
Pertempuran seru segera berlangsung. Un-
tunglah tempatnya sudah di pinggir kota, sehing-ga tak mengundang perhatian
orang, yang ke-
mungkinan bisa menjadi korban kedahsyatan Pu-
saka Pedang Gaib.
"Aku benar-benar tak punya waktu untuk
main-main denganmu, Pendekar Gadungan!" desis pemuda berpakaian serba hitam
seraya men- gempos tubuh, menjauhi ajang pertempuran.
Menyangka lawan hendak melarikan diri,
Danar Pangeran segera mengejar. Namun, du-
gaannya keliru. Pemuda berpakaian hitam ternya-
ta malah menunggu luncuran tubuhnya. Ketika
sudah dekat, dia berbalik langsung ditiupnya bilah senjata pusaka di tangannya!
Wuusss.,.! Seberkas cahaya merah yang amat meng-
gidikkan berpendar. Danar Pangeran yang belum
bisa mengendalikan gerak tubuhnya terkejut se-
tengah mati. Akibatnya....
"Aaa...!"
Jeritan panjang Danar Pangeran membelah
kesunyian malam. Tubuhnya jatuh berdebam ke
tanah dalam keadaan terbakar!
"Itulah akibatnya bila terlalu mencampuri
urusan orang!" desis pemuda berpakaian serba hitam ini. Setelah menyarungkan
pedangnya kembali, ditinggalkannya Danar Pangeran yang
masih menjerit-jerit melawan api yang menjilati tubuhnya....
6 Wuuusss...! Hembusan angin berhawa dingin menyen-
gat tiba-tiba menerpa tubuh Danar Pangeran. Api yang menjalar di tubuh pemuda
naas ini padam seketika. Tapi, dia sudah tak kuasa lagi berdiri.
Dalam keadaan telentang, Pendekar Pedang Hijau
masih dapat melihat kehadiran seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan ber-
sama seorang kakek berjubah putih.
"Suropati...," desis Danar Pangeran seraya mengucek matanya yang hampir lengket
terma-kan api. "Ya. Aku memang Suropati. Aku datang
bersama Resi Raga Pamungkas," kata remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan yang
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti inilah yang telah memadamkan api yang
membakar tubuh Danar Pangeran. Disertai ilmu
'Pukulan Salju Merah' Suropati mengibaskan te-
lapak tangannya untuk membuat hembusan an-
gin berhawa dingin.
"Aku..., aku Danar Pangeran...," kata Pendekar Pedang Hijau, terbata-bata.
"Ya. Aku masih dapat mengenalimu," sahut Pengemis Binal seraya memeriksa keadaan
Danar Pangeran. Mengenaskan sekali keadaan pemuda yang
terkena kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib itu. Pa-
kaian yang dikenakannya musnah terbakar. Kulit
di sekujur tubuhnya melepuh. Kepalanya yang
tanpa rambut tampak mengelupas sebagian ku-
litnya. Wajahnya pun rusak, nyaris tak dapat dikenali. Resi Raga Pamungkas
berjongkok di sisi ki-ri Danar Pangeran. Berkali-kali dia menyebut as-ma Sang
Penguasa Tunggal.
"Apa yang terjadi, Danar" Bagaimana kau
bisa seperti ini?" tanya Pengemis Binal.
Sorot mata remaja tampan ini menggam-
barkan kekhawatiran. Walau Danar Pangeran di-
kenal sebagai pendekar berangasan tapi tetap be-raliran putih. Suropati pun
mengenalnya. Walau-
pun tak begitu akrab. Dan Pengemis Binal me-
nyayangkan apabila Danar Pangeran keburu me-
ninggal. "Aku tahu umurku tidak lagi panjang...,"
tutur Danar Pangeran. "Maukah kau menuruti permintaanku, Suro...?"
"Ya. Kalau bisa, aku pasti akan melu-
luskannya...," sahut Suropati. Keharuan menyelimuti hatinya. Dia tahu benar,
nyawa Danar Pangeran tak mungkin ditolong lagi.
"Aku minta kau merebut kembali Pedang
Hijau di tangan Somagatra...," pinta Danar Pangeran, menguatkan diri. "Daripada
jatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab, musnahkan saja
pedang itu...."
"Ya. Aku akan merebut kembali Pedang Hi-
jau milikmu. Aku pun telah tahu kejahatan So-
magatra." Dengan susah-payah Danar Pangeran me-
malingkan wajahnya untuk dapat menatap Resi
Raga Pamungkas.
"Aku tadi bertempur dengan seorang pe-
muda berpakaian serba hitam. Dia membawa Pu-
saka Pedang Gaib. Hati-hatilah kau, Resi Raga
Pamungkas.... Pemuda itu menginginkan kema-
tianmu. Siapa yang dapat memenggal kepalamu,
akan diberi senjata pusaka yang dibawanya....
Maafkan aku. Res.... Res...."
Sampai di situ ucapan Danar Pangeran
terhenti. Kepalanya terkulai ke samping kanan.
Suropati segera mengatupkan mulutnya yang
ternganga. "Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas.
*** Pengemis Binal dan Resi Raga Pamungkas
telah mengubur jenazah Danar Pangeran di tepi
sungai yang cukup jauh dari pusat keramaian ko-
ta Kadipaten Bumiraksa.
"Untunglah kita tadi masih sempat men-
dengar penuturan Danar Pangeran...," ujar Resi Raga Pamungkas ketika mereka
kembali memasuki keramaian kota.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Ternyata, Pusaka Pedang Gaib itu ada...,"
katanya, pelan sekali.
"Aku tidak mendengar bicaramu, Suro," be-
ritahu Resi Raga Pamungkas.
"Benar katamu, Kek. Kita beruntung masih
sempat mendengar penuturan Danar Pangeran.
Kita jadi tahu kalau Pusaka Pedang Gaib ternyata memang ada. Entah, siapa
pemiliknya. Tapi yang
jelas, senjata mustika itu sekarang dibawa pemu-da yang telah membunuh Danar
Pangeran. Menu-
rutnya, pemuda itu berpakaian serba hitam. Na-
mun, kita tak bisa menentukan, siapa dia. Kare-
na, ada banyak pemuda yang juga suka memakai
pakaian serba hitam...," jelas Suropati.
"Menurut Danar Pangeran, pemuda itu
hendak menukar Pusaka Pedang Gaib yang diba-
wa dengan kepalaku. Aneh...," desah Resi Raga Pamungkas mengerutkan kening.
"Sepertinya pemuda itu menyimpan dendam kesumat kepada-
ku. Padahal, aku merasa tidak punya musuh"
Sudah hampir dua puluh tahun aku mengasing-
kan diri dengan menjadi seorang pertapa...."
Suropati menggaruk-garuk kepala. Agak-
nya kalau sedang bingung remaja konyol ini suka berbuat demikian.
"Benar katamu, Kek...," kata si pemuda kemudian. "Peristiwa ini memang aneh.
Kalau pemuda itu benar-benar ingin membunuhmu, kenapa dia tidak langsung saja
mencarimu. Bukan-
kah dia membawa Pusaka Pedang Gaib yang ko-
non memiliki kesaktian luar biasa?"
"Ya. Itulah anehnya," sambut Resi Raga Pamungkas. "Aku menduga, orang yang
menyebarkan kabar bohong bahwa aku akan mewa-
riskan Pusaka Pedang Gaib adalah pemuda yang
telah membunuh Danar Pangeran."
"Aku juga menduga demikian," tegas Pengemis Binal. "Setelah tahu kau selamat
dari kejaran orang yang menginginkan Pusaka Pedang
Gaib, pemuda itu membuat ulah baru. Jelasnya,
dia ingin membunuhmu dengan meminjam tan-
gan orang lain. Atau paling tidak, ingin mem-
buatmu menjadi repot karena dikejar-kejar
orang." Resi Raga Pamungkas mengangguk-
angguk. "Sudah mulai terkuak sekarang tabir tentang Pusaka Pedang Gaib...,"
lanjut Pengemis Binal. "Untuk membuat keadaan menjadi jernih, ki-ta harus segera
menemukan pemuda yang mem-
bawa senjata pusaka itu. Termasuk, mencari So-
magatra yang telah menyimpang."
Suropati dan Resi Raga Pamungkas terus
berjalan memasuki kota Kadipaten Bumiraksa.
Karena hari sudah lewat tengah malam, suasana
jadi sunyi. Suropati lantas mengajak Resi Raga Pa-
mungkas untuk beristirahat di Kuil Saloka. Perjalanannya yang semula untuk
mencari Somagatra
akan dilanjutkan keesokan harinya. Namun be-
lum sampai di tempat tujuan.
Serrr...! "Heh..."!"
Suropati dikejutkan oleh suara desir halus
yang meluncur dari arah belakang! Sejenak ma-
tanya mencari, lalu....
"Awas...!" teriak Pengemis Binal seraya menyambar tubuh Resi Raga Pamungkas
untuk di- bawa meloncat tinggi.
Tadi ketika melirik, Suropati sempat meli-
hat beberapa sinar keperakan yang meluncur de-
ras. Untunglah dia cepat bertindak, sehingga sinar-sinar keperakan yang tak lain
jarum-jarum beracun hanya menyambar angin.
Begitu kaki mereka menginjak tanah kem-
bali, di tempat itu telah berdiri sepuluh orang lelaki bersenjata trisula yang
langsung mengepung.
"Membokong orang bukan perbuatan ksa-
tria!" sindir Pengemis Binal.
"Kami dari Partai Trisula Sakti bukan un-
tuk berurusan denganmu, Suropati...," kata pemuda bermuka bopeng di antara
pengepung. "Kami hanya hendak berurusan dengan Resi Raga Pamungkas...."
Bersama sembilan temannya, pemuda bo-
peng itu memang sengaja mencari Raga Pamung-
kas setelah tahu kalau kepala pertapa itu dapat ditukar dengan Pusaka Pedang
Gaib. "Hmm.... Tak pernah kusangka bila dalam
tubuh Partai Trisula Sakti bercokol manusia yang tak bisa dipegang kata-katanya.
Tidak hendak berurusan denganku, tapi kenyataannya aku dis-
erang jarum beracun...," sindir Pengemis Binal la-gi.
"Aku Bagus Kembara. Karena masih me-
mandang mukamu, maka kuminta kau menying-
kir dari tempat ini, Suropati...," ujar pemuda bopeng dengan sikap jumawa.
"Ketahuilah, Bagus Kembara.... Resi Raga
Pamungkas telah menjadi sahabat baikku. Saking
baiknya, sampai-sampai Resi Raga Pamungkas
menganggap urusannya adalah urusanku juga.
Maka dari itu, aku tak bisa meninggalkan pertapa di sampingku ini. Apalagi
sedang berhadapan
dengan kalian yang sengaja datang membawa
senjata. Dan tentunya, kalian mempunyai mak-
sud tak baik."
Sebelum Bagus Kembara menyahuti uca-
pan Pengemis Binal, Resi Raga Pamungkas unjuk
diri. "Anak muda! Agaknya kau terkena hasutan orang...," katanya kepada Bagus
Kembara. "Aku tidak kena hasut, Pak Tua! Aku sadar
apa yang sedang kulakukan! Aku tahu, kau ada-
lah penjahat culas yang bersembunyi di balik jubah putihmu."
"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Resi Raga Pamungkas, tersinggung.
"Kabar yang santer terdengar mengatakan
kalau kau hendak mewariskan Pusaka Pedang
Gaib siang tadi di puncak Bukit Ranuglagah. Ternyata, kau bukan hanya ingkar
janji. Kau pun punya maksud buruk hendak membuat kericu-
han di rimba persilatan."
Terkejut Resi Raga Pamungkas mendengar
penuturan Bagus Kembara.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebutnya. "Siapa yang mengatakan hal itu, Anak
Mu-da?" Bagus Kembara tersenyum penuh ejekan.
"Orang yang berhasil merampas Pusaka
Pedang Gaib dari tanganmu," jawabnya.
Resi Raga Pamungkas dan Suropati saling
pandang. "Rupanya, orang yang memusuhimu itu
sangat pandai membuat kabar bohong, Kek...,"
Kata Pengemis Binal. Lalu, pandangannya beralih pada orang-orang Partai Trisula
Sakti, "Kalian semua sudah kena hasutan. Resi Raga Pamungkas sama sekali tidak
tahu-menahu tentang Pu-
saka Pedang Gaib. Ada orang yang memusuhinya.
Dia ingin meminjam tangan kalian untuk mem-
bunuh pertapa yang tak bersalah ini."
"Ha ha ha...!" Bagus Kembara tertawa bergelak. "Tangan kami dipinjam pun tak
mengapa. Bukankah Pusaka Pedang Gaib imbalannya?"
Usai berkata, Bagus Kembara memberi
aba-aba kepada kesembilan temannya untuk me-
nyerang Resi Raga Pamungkas. Ujung-ujung tri-
sula tajam pun meluruk dari berbagai penjuru.
Tentu saja Suropati tak mau berpangku
tangan. Cepat tongkat bututnya diputar sambil
berkelebat melingkar!
Trang! Trang! Trang!
Serangan orang-orang Partai Trisula Sakti
menemui kegagalan. Tiga orang di antaranya ter-
kejut karena senjata yang dipegang telah jatuh ke tanah terbentur tongkat
Pengemis Binal. Namun,
mereka kemudian berteriak keras seraya merang-
sek ganas walau hanya dengan tangan kosong.
Sementara Bagus Kembara pun segera membantu
teman-temannya.
Pertempuran sengit tak bisa lagi dihindari.
Walau dalam keremangan malam, tapi gerakan
orang-orang Partai Trisula Sakti amat cepat dan penuh tipuan mematikan. Terutama
serangan Bagus Kembara yang menjadi pemimpin.
Resi Raga Pamungkas mengeluarkan selu-
ruh daya kemampuan untuk dapat memperta-
hankan diri. Sementara, Pengemis Binal yang
membantunya terus memutar tongkat dengan pe-
rasaan heran. Setahunya, Partai Trisula Sakti
adalah partai lurus tempat bernaungnya para
pendekar muda. Tapi kenapa mereka bisa berbuat
ganas seperti ini" Apakah keinginan untuk memi-
liki Pusaka Pedang Gaib benar-benar telah mem-
butakan mata hati mereka"
Suropati tak punya waktu banyak untuk
berpikir, karena pengeroyoknya melakukan se-
rangan-serangan gencar. Segera remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan ini memben-
tengi diri dengan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Lalu disusul jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Tak! Tak! Tak! "Aaah...!"
Tak lebih sepeminum teh kemudian tiga
orang anggota Partai Trisula Sakti terpukul jatuh oleh gebukan tongkat Pengemis
Binal. Mereka menjerit kesakitan saling sahut, sambil meme-
gangi bagian tubuh yang memar.
"Jangan gentar! Bunuh pertapa itu lebih
cepat!" ujar Bagus Kembara, memberi semangat teman-temannya.
Tapi, maksud mereka tak juga terwujud
karena perlindungan yang diberikan Suropati be-
gitu rapat. Gusarlah hati Bagus Kembara seketika dikeluarkannya jurus-jurus
trisula yang lebih hebat. Sewaktu Pengemis Binal sibuk melayani
serangan Bagus Kembaran, mendadak sesosok
bayangan berkelebat cepat ke arah Resi Raga Pa-
mungkas. Begitu dekat langsung dilancarkan to-
tokan ke punggung lelaki tua yang tengah meng-
hadapi tiga orang lawan.
Tuk! Tuk!
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uh...!" keluh Resi Raga Pamungkas dengan tubuh lemas bagai tak bertenaga.
Sebelum tubuh pertapa ini benar-benar ja-
tuh ke tanah, sesosok bayangan yang telah me-
lancarkan totokan segera menyambarnya.
"Hei! Lepaskan dia!" teriak Pengemis Binal.
Suropati sempat melihat kejadian itu. Tapi,
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tak mampu mengejar, karena lima trisula telah
menghadang secara bersamaan.
Trang! Suropati menangkis dengan tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh. Akibatnya, lima trisula mencelat dan hilang tertelan
kegelapan malam.
"Tinggalkan Suropati! Kejar penculik Resi
Raga Pamungkas!" perintah Bagus Kembara.
Pengemis Binal tak mau melewatkan ke-
sempatan. Segera tubuhnya digenjot. Dikejarnya
sosok bayangan yang telah melarikan Resi Raga
Pamungkas. Sementara, orang-orang Partai Trisu-
la Sakti mengikuti jauh di belakang. Tapi mereka segera kehilangan jejak, tak
tahu ke mana Suro-
pati berlari. Tak tahu pula ke mana Resi Raga
Pamungkas dilarikan.
*** Berkali-kali Resi Raga Pamungkas menye-
but asma Sang Penguasa Tunggal. Tubuhnya te-
rasa sangat lemas seperti tiada bertulang. Sementara, orang yang melarikan
pertapa itu memper-
cepat kelebatan tubuhnya. Setelah cukup jauh
meninggalkan kota Kadipaten Bumiraksa, dia
berhenti di tepi sebuah aliran sungai. Langsung dilemparkannya tubuh lelaki tua
dalam pondon-gannya.
Mata Resi Raga Pamungkas kontan bersi-
nar nyalang ketika tahu siapa yang telah melarikan dirinya.
"Somagatra...," desahnya. Lalu, pertapa ini menyebut lagi asma Sang Penguasa
Tunggal. "Ha ha ha...!" sosok yang tak lain Somagatra tertawa bergelak. "Ternyata matamu
belum lamur, Pak Tua. Aku memang Somagatra!"
"Apa maksudmu menculikku"!" tanya Resi Raga Pamungkas, setengah membentak.
Dikua-tkan hatinya untuk melawan debar-debar dalam
dadanya. Somagatra tertawa bergelak lagi.
"Rupanya kau berhasil membujuk Suropa-
ti, Pak Tua! Tapi, manusia culas macam kau ku-
kira tak akan panjang umur. Kecuali, bila kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib padaku. Maka,
umurmu akan ku perpanjang...."
"Bagaimana aku bisa meyakinkan bahwa
aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang senja-
ta pusaka yang kau inginkan itu, Somagatra...?"
keluh Resi Raga Pamungkas.
"Aku tak butuh keyakinan! Aku butuh kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas. "Sadarlah kau,
Somagatra. Bujukan setan telah merasuki jiwamu."
Mendengar ucapan sang resi, Somagatra
malah menendang punggung Resi Raga Pamung-
kas. Lelaki tua itu pun terpental, bergulingan di tanah. "Aku tak butuh
perkataan macam-macam, Pak Tua!" hardik Somagatra seraya berjongkok di sisi
tubuh sang resi yang telentang tak berdaya.
"Mumpung aku masih bisa berbaik hati, cepat katakan mana Pusaka Pedang Gaib
tersimpan"!"
Mendadak, terlintas gagasan bagus di be-
nak sang resi. "Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Di sana tersebar kabar baru. Kau akan tahu sen-
diri, di mana Pusaka Pedang Gaib berada," ungkap sang resi.
"Jangan menipuku, Pak Tua!" bentak Somagatra.
"Sebenarnya berat untuk mengatakan. Ta-
pi, apa boleh buat" Aku masih ingin hidup...," ka-ta sang resi, memasang wajah
takut. "Kau hendak berkata apa, Pak Tua".'" kejar Somagatra, mulai memuncak amarahnya.
"Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pe-
muda berpakaian serba hitam."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak lagi. "Hanya bocah ingusan yang mau
percaya pa-da tipuan macam ini, Pak Tua! Hih...!"
Diegkh...! "Agkh...!"
Di ujung kalimatnya, Somagatra menya-
rangkan kepalan tangan ke wajah Resi Raga Pa-
mungkas. Keluh kesakitan terdengar memilukan
ketika darah segar mengalir dari bibir sang resi yang robek. Belum cukup sampai
di situ, Somagatra menendang lagi tubuh pertapa itu.
Dess! "Aaakh...!"
Resi Raga Pamungkas terpental tiga tom-
bak. "Aku beri kesempatan sekali lagi, Pak Tua.
Di mana kau simpan Pusaka Pedang Gaib"!"
tanya Somagatra. Suaranya penuh kegeraman.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas. "Sudah kukatakan
padamu, Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pemuda
berpakaian serba hitam."
Plak...! Somagatra menampar wajah sang resi.
"Kau bunuh pun, hanya itu yang dapat ku-
katakan...," kata Resi Raga Pamungkas sambil menahan rasa sakit yang mendera
sekujur tubuhnya.
"Ada banyak pemuda berpakaian serba hi-
tam. Lantas, apa ciri lainnya, Pak Tua" Siapa pula namanya"!" tanya Somagatra,
keras. Agaknya dia
mulai percaya pada ucapan sang resi.
"Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Tanyalah pada orang yang tahu...."
"Itu sama juga bohong, Pak Tua! Mungkin
kalau sudah kucungkil biji matamu, baru kau
mau mengatakannya!"
Somagatra menghunus bilah Pedang Hijau
yang tersandang di punggungnya. Sementara Resi
Raga Pamungkas kontan menutup mata. Bukan
karena takut, melainkan silau akibat pancaran
sinar Pedang Hijau.
"Kau lihat dulu pamor Pedang Hijau ini,
Pak Tua!" ujar Somagatra. "Biar kau tak menyesal setelah matamu benar-benar
kubuat buta!"
"Bunuh saja aku, Somagatra...," pinta Resi Raga Pamungkas, lirih.
"Hmm.... Agaknya pertapa ini mengatakan
hal sebenarnya...," pikir Somagatra kemudian.
"Mungkin sekali bila aku ke kota Kadipaten Bumiraksa akan kudapatkan kabar
tentang Pusaka Pedang Gaib."
Mendapat gagasan demikian, Somagatra
segera mengangkat Pedang Hijau tinggi-tinggi,
siap membelah tubuh Resi Raga Pamungkas yang
sama sekali tidak berdaya karena pengaruh toto-
kan. "Berdoalah sebentar, Pak Tua. Karena, aku meluluskan permintaanmu yang
ingin mati."
Tangan Somagatra bergetar. Sementara,
Pedang Hijau siap mencabut nyawa sang resi. Ta-
pi.... "Tahan...!"
Sebuah teriakan membuat Somagatra
mengurungkan niatnya. Terkejutlah pemuda ini,
karena tak jauh darinya telah berdiri seorang remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan yang tak lain Suropati.
"Jangan mendekat, Suro!" hardik Somagatra, menyembunyikan keterkejutannya. "Bila
kau mendekat kemari, tubuh pertapa ini akan kube-lah jadi dua!"
"Hmm.... Kaukah yang bernama Somaga-
tra?" tanya Pengemis Binal, tenang. Pengemis Binal memang tak mungkin mengenali
nama anggo- tanya satu persatu.
"Ya! Menyingkirlah jauh-jauh dari tempat
ini kalau tak ingin melihat Resi Raga Pamungkas mandi darah!"
"Kau tak pantas menjadi anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti, Somagatra. Letak-
kan senjatamu! Mungkin Kakek Gede masih bisa
mengampuni kesalahanmu...."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak.
"Sejak kedatanganku di Bukit Ranuglagah, aku keluar dari perkumpulan. Dan, aku
pun tak lagi mengenal siapa itu Kakek Gede!"
"Murid murtad!" geram Pengemis Binal.
Tapi, remaja tampan ini tak bisa berbuat
apa-apa, karena takut Somagatra benar-benar
akan melaksanakan ancamannya. Namun, men-
dadak bibir remaja yang sering berperilaku konyol ini menyungging senyum. Dia
teringat ilmu sihir ajaran guru pertamanya yang bergelar Periang
Bertangan Lembut.
"Mendekatlah kemari, Somagatra!" perintah Pengemis Binal. Tatapannya tajam
menusuk dilambari kekuatan ilmu sihir.
Somagatra tampak bingung sejenak. Men-
dadak pikiran warasnya lenyap. Lalu, bagai ker-
bau dicocok hidungnya dia berjalan perlahan
menghampiri Pengemis Binal.
"Berikan pedangmu!" perintah Pengemis Binal lagi.
Ketika Somagatra telah menyerahkan Pe-
dang Hijau, Pengemis Binal melepas pengaruh il-
mu sihirnya. Somagatra kontan terkejut. Begitu tahu
Pedang Hijau tak lagi berada di tangannya, dia
segera berlutut.
"Ampun.... Ampun, Suro...," pinta Somagatra, mengiba.
"Kau minta ampun" Agar tak kubunuh, be-
gitu?" tanya Pengemis Binal seraya membetot sarung Pedang Hijau di punggung
Somagatra. "Ya..., ya. Aku minta ampun...," hiba Somagatra disertai tetesan air mata.
Suropati menggeram. Lalu kakinya berge-
rak ke depan. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Terpentallah tubuh Somagatra, begitu re-
maja tampan itu melepaskan tendangan.
7 Begitu bangkit, Somagatra menatap penuh
kebencian pada Pengemis Binal. Hilang sudah air matanya yang tadi sempat
menetes. Sekarang justru sifat angkuhnya yang terlihat. Pemuda ini-
berdiri berkacak pinggang walau sebenarnya tahu bila tak akan menang melawan
Pengemis Binal.
"Aku masih mau bermurah hati padamu,
Somagatra...," ujar Pengemis Binal, mencoba ber-sabar. "Datanglah ke puncak
Bukit Pangalasan.
Di hadapan Kakek Gede, akui semua kesalahaa-
mu...." "Baiklah, Suro...," sahut Somagatra cepat
"Aku akan datang ke hadapan Kakek Gede."
Usai berkata, Somagatra berbalik. Lalu tu-
buhnya berkelebat menembus kegelapan malam.
"Kenapa kau malah menyuruh dia pergi,
Suro?" tanya Resi Raga Pamungkas, heran. Matanya terus menatapi kepergian
Somagatra. Suropati menatap sejenak wajah sang resi
yang lebam-lebam.
"Kalau Somagatra tidak menyadari kesala-
hannya, dan tidak pula menghadap Kakek Gede
untuk menerima hukuman, sampai ke ujung lan-
git pun dia akan kukejar...."
Sang resi mengangguk-angguk. Pengemis
Binal memungut Pedang Hijau yang tergeletak di
tanah. "Inikah yang bernama Pedang Hijau milik Danar Pangeran, Kek?" tanya
Pengemis Binal sambil menimang pedang di tangannya.
"Ya," jawab sang resi, pendek.
"Seperti pesan terakhir Danar Pangeran,
aku harus memusnahkan pedang ini."
"Jangan dulu, Suro!" cegah Resi Raga Pamungkas.
Sambil menatap wajah sang resi, Suropati
garuk-garuk kepala.
"Sebaiknya pedang itu kau bawa dulu. Sia-
pa tahu, nanti ada gunanya...," lanjut sang resi.
"Tapi, aku tidak bisa bersenjata pedang,
Kek." "Sudahlah... Turuti saja permintaanku...."
"Baiklah...," ucap Pengemis Binal kemudian. Suropati lalu mengajak Resi Raga
Pamung- kas kembali ke Kuil Saloka. Sengaja mereka me-
lewati pinggiran kota walau gelapnya malam
hampir membutakan mata. Karena, Suropati
khawatir Resi Raga Pamungkas akan berjumpa
orang-orang yang menginginkan kematiannya.
Penghadangan orang-orang Partai Trisula Sakti
bisa dijadikan pelajaran.
"Kasihan sekali kau, Kek...," kata Pengemis Binal di tengah jalan. "Setelah
sampai di Kuil Saloka nanti, aku akan meminta anak buahku un-
tuk merawat luka-lukamu."
"Kau terlalu baik, Suro...," sahut Pengemis Binal. "Tapi, tak pada tempatnya di
tengah malam seperti ini kau membuat repot anak buahmu yang
sedang beristirahat"
"Kalau begitu, aku sendiri yang akan me-
rawat luka-lukamu, Kek. Seperti yang kulakukan
sore tadi. Aku ada sedikit ilmu pengobatan hasil
ajaran seorang tabib pandai bergelar si Wajah Merah." "Terima kasih, Suro.
Lukaku hanya luka luar yang tidak seberapa parah. Kau tak perlu
khawatir...."
Pada kokok ayam pertama, barulah Pen-
gemis Binal dan Resi Raga Pamungkas sampai di
Kuil Saloka yang terletak di sebelah selatan kota Kadipaten Bumiraksa.
*** Semburat cahaya mentari berpendar di
ufuk timur. Pagi datang menghantar terang. Cua-
ca cerah. Tapi, tidak demikian isi hati Somagatra.
Pemuda ini diliputi rasa kesal bukan main. Se-
bab, selain gagal mendapatkan Pusaka Pedang
Gaib, Pedang Hijau di tangannya pun berhasil dirampas Pengemis Binal. Tak heran
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apabila wa- jahnya terlihat sangat muram. Langkah kakinya
terseok, bagai orang tak punya semangat hidup.
"Aku tak habis mengerti, kenapa Suropati
membiarkan aku pergi" Padahal, dia telah tahu
perbuatan jahatku. Apakah dia mempunyai se-
buah rencana" Atau, dia memang berotak
udang?" kata batin Somagatra sambil melangkah menyusuri sungai yang membujur di
pinggir kota Kadipaten Bumiraksa. "Suropati menyuruhku datang menghadap Kakek Gede Panjalu di
puncak Bukit Pangalasan. Huh! Siapa sudi"!"
Somagatra terus melangkah memasuki ke-
sibukan kota yang baru mulai. Kini, jalannya tak
lagi terseok karena mendadak mendapat harapan
baru. "Mudah-mudahan apa yang dikatakan Resi Raga Pamungkas benar. Pusaka Pedang
Gaib memang dibawa seorang pemuda berpakaian ser-
ba hitam. Menurut pertapa itu, aku bisa mencari keterangan di kota ini."
Somagatra melangkah lebih cepat. Namun,
baru saja melewati pintu gerbang, pemuda ini terhenyak. Di kejauhan, matanya
melihat beberapa
pemuda tengah berjalan cepat seperti sedang
mencari sesuatu.
"Bukankah itu para pemuda yang tadi ma-
lam mengeroyok Suropati dan Resi Raga Pamung-
kas?" pikir Somagatra. "Aku tahu, mereka tentu sedang mencari Resi Raga
Pamungkas. Karena,
mereka juga menginginkan Pusaka Pedang Gaib.
Hm.... Aku akan mengorek keterangan dari mere-
ka...." Merasa mendapat gagasan bagus, Somagatra lalu berlari-lari mengejar
rombongan pemuda yang menghilang di tikungan jalan.
"Tunggu dulu!, Teman!" teriak Somagatra setelah beberapa tombak di belakang para
pemuda yang tak lain para anggota Partai Trisula Sakti.
Para pemuda itu menghentikan langkah
dan berbalik. Tapi setelah melihat sosok Somagatra yang berpakaian penuh
tambalan mereka
mendengus penuh hinaan. Lalu mereka melan-
jutkan perjalanan.
"Hei! Tunggu dulu, Sahabat-sahabat Baik!"
Sembari berkata demikian, Somagatra me-
ngemposkan tubuhnya, langsung menghadang di
hadapan para pemuda itu.
"Pengemis Hina! Kau hendak mencari per-
kara rupanya"!" hardik pemuda yang berwajah bopeng yang tak lain Bagus Kembara.
"Aku tahu jika para sahabat ini adalah
anggota Partai Trisula Sakti...," ujar Somagatra, tenang. "Aku pun tahu, para
sahabat ini tengah mencari seseorang."
"Kau memanggil kami 'para sahabat'. Ka-
pan kami mengikat tali persahabatan denganmu,
Pengemis Hina"!" hardik Bagus Kembara lagi, lebih menyakitkan.
"Hem.... Tidak patutkah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti menjadi
sahabat kalian" Apakah Partai Trisula Sakti telah menjadi sebuah partai yang
begitu congkak" Padahal, aku tahu pasti kalau kalian membutuhkan
keterangan dariku...."
"Kau jangan bicara ngawur, Pengemis
Edan! Kita belum pernah mengenal. Kenapa kau
bisa mengatakan kalau kami membutuhkan kete-
rangan darimu?"
"Seperti yang kukatakan di depan, aku ta-
hu bila kalian tengah mencari seseorang. Aku pun tahu, di mana orang yang sedang
kalian cari sekarang."
"Jangan hiraukan pemuda kurang waras
itu, Kembara!" ujar salah seorang teman Bagus Kembara.
Tapi, agaknya Bagus Kembara tertarik pa-
da bicara Somagatra.
"Kalau kau memang bisa membantu kami,
katakan dulu siapa yang sedang kami cari?" tanya pemuda berwajah bopeng.
Somagatra kontan tersenyum. "Agaknya
para pemuda ini tidak tahu bila akulah yang telah melarikan Resi Raga Pamungkas
semalam...," katanya dalam hati.
Somagatra lantas memasang wajah sung-
guh-sungguh. "Bukankah orang yang kalian cari itu ada-
lah Resi Raga Pamungkas?"
"Hei! Bagaimana kau tahu itu?" kejut Bagus Kembara.
Bibir Somagatra menyungging senyum lagi.
"Hal itu aku tak bisa mengatakannya. Tapi
yang jelas, aku bersedia membantu kalian."
"Ikut mencari Resi Raga Pamungkas?"
tanya teman Bagus Kembara yang lainnya.
"Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan, di
mana pertapa itu sekarang bersembunyi," jawab Somagatra.
"Jangan mendustai kami, Pengemis Jelek!"
hardik Bagus Kembara. "Semalam Resi Raga Pamungkas dilarikan orang. Bagaimana
kau bisa mengatakan bila pertapa itu sedang bersem-
bunyi?" "Resi Raga Pamungkas tidak dilarikan
orang. Melainkan, diselamatkan! Dan kini pertapa itu memang sedang bersembunyi."
"Bagaimana kau tahu itu?" selidik Bagus Kembara.
"Maaf. Aku tak bisa mengatakannya. Tapi,
aku bisa memberitahu tempat persembunyian Re-
si Raga Pamungkas."
"Di mana?" kejar Bagus Kembara, mulai percaya
"Katakan dulu, kenapa kalian mencari per-
tapa itu"! Apakah ada hubungannya dengan Pu-
saka Pedang Gaib?"
"Hmm.... Kelihatan belangmu sekarang,
Pengemis Hina!" ejek Bagus Kembara tiba-tiba.
"Jangan berprasangka buruk dulu! Aku
sama sekali tidak ingin memiliki Pusaka Pedang
Gaib. Bukankah kalian tahu, aku adalah anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti" Pantang
bagiku mempergunakan senjata tajam. Apalagi,
mencari-carinya."
"Lalu, apa maksud pertanyaanmu tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja. Terus terang,
aku penasaran karena beberapa pekan ini nama
Resi Raga Pamungkas tiba-tiba menjadi sangat
termasyhur."
"Hmm.... Baiklah kalau begitu, kujawab
pertanyaanmu. Tapi, bila kau ternyata menipu,
kami tak segan mencincang tubuhmu!"
"Sebenarnya kau tak perlu mengancam,
Sahabat...," ujar Somagatra dengan tenang. "Jawab saja pertanyaanku, kenapa
kalian mencari Resi Raga Pamungkas?"
Bagus Kembara mengambil napas panjang.
"Ada orang yang mau menukar kepala pertapa itu dengan Pusaka Pedang Gaib."
"Hmm.... Menyesal aku kenapa tadi malam
aku tidak cepat-cepat saja memenggal kepala Resi
Raga Pamungkas...," kata batin Somagatra. "Sekarang itu sudah tidak mungkin
dilakukan, kare-
na pertapa itu dalam perlindungan Suropati."
"Hei! Kenapa kau diam, Pengemis Hina"!
Sekarang katakan di mana Resi Raga Pamungkas
bersembunyi"!" sentak Bagus Kembara.
"Dia disembunyikan Suropati alias Penge-
mis Binal. Kalau mau mencari Resi Raga Pa-
mungkas, cari saja Suropati. Paksa dia untuk
mengatakannya!"
Usai berkata, Somagatra berlari mening-
galkan Bagus Kembara dan teman-temannya. Ge-
rakannya cepat sekali karena mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
"Bangsat! Pengemis Edan Keparat!" umpat Bagus Kembara.
"Kita sudah kena tipu mentah-mentah,
Kembara!" sahut salah seorang teman pemuda bermuka bopeng itu.
"Tidak! Dia tidak menipu!" sanggah Bagus Kembara.
"Maksudmu?"
"Keterangannya yang membuatku naik pi-
tam. Kalau Resi Raga Pamungkas disembunyikan
Suropati, bagaimana mungkin kita bisa memeng-
gal kepala pertapa itu" Sedang memaksa Suropati bicara saja kita tak akan
mampu!" "Aku ada gagasan...," teman Bagus Kembara yang lain menyela.
"Gagasan apa?"
"Kita tak perlu susah-susah mencari Resi
Raga Pamungkas. Kita langsung saja merebut Pu-
saka Pedang Gaib dari pemuda berpakaian serba
hitam itu pada hari yang dijanjikannya. Besok
malam!" "Ya..., ya! Sebuah gagasan bagus!"
Bagus Kembara lalu mengajak teman-
temannya pergi dari tempat itu. Namun sama se-
kali tak terduga, karena ternyata ada seseorang yang telah menguping bicara
mereka barusan.
Orang itu bersembunyi di atas atap kios kelon-
tong di dekat mereka berdiri. Begitu hilang sosok para anggota Partai Trisula
Sakti itu, si pencuri dengar meloncat turun, dan berjalan lenggang-kangkung.
Ternyata, dia adalah Somagatra!
*** Suropati berjalan sambil menyeret tongkat
bututnya. Tatapan matanya menerawang jauh.
Beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang menyapanya hanya dijawab ang-
gukan kepala. Bingung memang Suropati memi-
kirkan masalah yang sedang dihadapi. Walau ti-
dak langsung menyangkut dirinya, tapi jiwa ke-
pendekarannya terpanggil. Dan hal itu membuat-
nya tak bisa berpangku tangan untuk membiar-
kan Resi Raga Pamungkas menghadapi masalah
sulit seorang diri.
Langkah kaki Suropati terhenyak ketika
melewati sebuah penginapan bertingkat tiga.
Pandangan matanya menangkap sosok gadis can-
tik berkebaya hijau yang tengah berjalan setengah berlari seperti ada sesuatu
yang ditakutinya. Ter-
bawa rasa ingin tahu, cepat Pengemis Binal men-
gejar. Namun tiba-tiba sosok si gadis lenyap di sebuah kelokan jalan.
"Hmm.... Kalau tak salah penglihatanku,
gadis itu tentu Swani...," gumam Pengemis Binal teringat pada gadis yang pernah
ditolongnya dari kejaran seekor harimau beberapa hari yang lalu.
"Aneh sekali gadis itu. Ketika berjumpa Resi Raga Pamungkas, dia melarikan diri.
Sepertinya dia di-hantam oleh keterkejutan yang sangat. Aku men-
duga bila dia sengaja menghindar. Hmmm..., Ta-
bir apakah yang menyelimuti diri gadis itu?"
Mengikuti perasaan hatinya, Suropati ber-
putar-putar untuk mencari Swani yang tadi sem-
pat dilihatnya, Tapi hingga keringat mengucur deras, sosok gadis itu tetap tak
dijumpainya. Swani seperti lenyap ditelan bumi.
"Ketika berjumpa denganku, sepertinya ga-
dis itu sengaja menyembunyikan kepandaian. Ta-
pi, kenapa dia berlari ketika ada seekor harimau mengejar" Apakah dia sengaja
hendak mengelabui aku" Lalu, apa maksudnya?"
Selagi Pengemis Binal diliputi berbagai
tanda tanya, seorang pemuda bertubuh jangkung
berlari menghampirinya.
"Ada apa, Ganda?" tanya Pengemis Binal, ketika matanya menatap sosok pemuda
berpakaian penuh tambalan yang berdiri di hadapan-
nya itu. "Kabar yang kau inginkan telah kuda-
patkan, Suro!" ujar pemuda yang dipanggil Ganda.
"Pusaka Pedang Gaib benar-benar ada?"
"Ya! Seperti yang kau katakan semula, sen-
jata pusaka itu dibawa oleh seorang pemuda ber-
pakaian serba hitam," tutur Ganda penuh kesungguhan.
"Dari mana kau mendapat kabar itu?"
tanya Pengemis Binal untuk lebih memastikan.
"Hampir semua tokoh persilatan yang kebe-
tulan berada di kota Kadipaten Bumiraksa tahu
kalau pemuda berpakaian serba hitam itu muncul
kemarin malam di rumah pelacuran milik Mak
Gatri. Dia bersedia menukar senjata mustika yang dibawanya kepada siapa pun yang
dapat menyerahkan kepala Resi Raga Pamungkas."
"Lalu, kenapa pemuda itu akan muncul la-
gi?" "Besok malam di tempat yang sama!"
"Kau yakin?"
"Itulah kabar yang kudengar. Aku tidak bi-
sa memastikan kebenarannya. Tapi, tampaknya
semua orang percaya."
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Terima kasih, Ganda...," ucap Suropati kemudian.
Setelah Ganda meninggalkan tempat, Su-
ropati bersorak girang. Apa yang dikatakan Ganda membuat kegelapan yang
menyelimuti pikirannya
pudar. Tapi, teringat pada Resi Raga Pamungkas, kening Pengemis Binal langsung
berkerut. "Bila benar kabar yang disampaikan Gan-
da, nyawa Resi Raga Pamungkas semakin teran-
cam...," pikir Pengemis Binal. "Aku tak bisa mem-
biarkan pertapa itu seorang diri di Kuil Saloka.
Aku harus menyembunyikannya di tempat yang
lebih aman."
Bergegas Pengemis Binal melangkah. Nya-
wa Resi Raga Pamungkas seperti menjadi tang-
gungannya kini. Dia tak akan membiarkan ada
orang mengganggu pertapa itu. Apalagi, mengin-
ginkan kematiannya!
8 Cuaca malam ini tidak seperti kemarin.
Langit bersih, tak segumpal awan terlihat. Hingga, bulan sepotong masih mampu
membuat terang mayapada. Kedip bintang bagai tebaran intan di
layar hitam. Sementara, udara sejuk terasa men-
gelus kulit. Dengan langkah pasti, seorang pemuda
berpakaian serba hitam memasuki pelataran ru-
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mah pelacuran milik Mak Gatri yang terletak di
ujung utara kota Kadipaten Bumiraksa. Di pung-
gungnya, terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau. Namun, pemuda ini terke-
siap ketika....
"Serahkan Pusaka Pedang Gaib yang kau
bawa, Orang Asing!"
Mendadak terdengar bentakan yang dis-
usul munculnya belasan pemuda bersenjata tri-
sula dari samping kiri bangunan. Jelas, para pemuda itu anggota dari Partai
Trisula Sakti. Bagus Kembara yang berwajah bopeng tampak di antara
mereka. "Orang-orang edan!" bentak pemuda berpakaian serba hitam. "Adakah kalian membawa
kepala Resi Raga Pamungkas"!"
"Untuk mendapatkan Pusaka Pedang Gaib,
kami tak perlu membawa kepala resi itu!" sahut Bagus Kembara, pongah.
"Hmm.... Berarti kalian ingin merampas
Pusaka Pedang Gaib secara paksa...."
"Tepat! Kami merasa tak perlu berbasa-basi lagi. Serahkan buntalan kain hijau di
punggung-mu!" "Ambillah sendiri!"
Sambil berkata, pemuda berpakaian serba
hitam mengedarkan pandangan. Orang yang
mengepungnya ternyata bukan belasan orang la-
gi. Lebih dari tiga puluh! Selain para anggota Partai Trisula Sakti, di tempat
itu telah muncul tokoh-tokoh silat lainnya.
Sebentar kemudian, tiga orang lelaki seten-
gah baya maju dua langkah. Mereka sama-sama
memegang tombak pendek.
"Kami adalah Tiga Saudara Tombak
Maut...," kata lelaki di tengah memperkenalkan diri. "Seperti yang kau katakan,
kami akan mencoba mengambil Pusaka Pedang Gaib di pung-
gungmu, Orang Asing!"
Pemuda berpakaian serba hitam menden-
gus pendek ketika tiga lelaki yang berdiri di hadapannya menerjang secara
bersamaan. Wuuttt...! Tiga ujung tombak pendek meluncur deras
mencari jalan kematian di tubuh si pemuda. Na-
mun hanya dengan menggeser kakinya sedikit se-
rangan itu berhasil dihindari. Lalu, cepat sekali tubuhnya berkelebat memutar!
Prak! Prak! Prak!
"Aaa...!"
Terdengar suara berderak tiga kali, seperti
benda keras yang terpukul pecah. Diiringi jerit menyayat hati, tubuh tiga lelaki
bersenjata tombak pendek jatuh ke tanah. Mereka menggeliat
sebentar, lalu diam untuk selama-lamanya den-
gan kepala pecah berlumur darah!
Melihat kejadian itu, semua mata menun-
jukkan pandangan kaget. Sementara, pemuda
berpakaian serba hitam mengedarkan pandangan
sekali lagi. "Berpikirlah masak-masak untuk meram-
pas Pusaka Pedang Gaib. Aku sudah menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan kepala Resi
Raga Pamungkas. Kenapa malah nekat?" kata
pemuda ini dingin.
"Memenggal kepala Resi Raga Pamungkas
atau memenggal kepalamu, kukira sama saja!"
sahut seorang lelaki bertubuh gempal. "Ayo, kita kerubuti pemuda itu!"
"Heaaa...!"
Lima orang lelaki segera menerjang ketika
lelaki bertubuh gempal yang bersenjata pedang
meluruk maju. Pemuda berpakaian serba hitam mengge-
ram marah. Cepat dihunusnya Pusaka Pedang
Gaib yang menimbulkan suara berdesing dibaren-
gi berpendarnya cahaya merah menggidikkan. La-
lu.... Cras! Cras!
"Aaa...!"
Jerit kematian amat keras langsung mem-
bahana di angkasa ketika si pemuda menge-
butkan pedangnya. Enam tubuh manusia jatuh
berdebuk di tanah. Mereka mati dengan dada
mengepulkan asap seperti habis terbakar.
Selagi orang membelalakkan mata melihat
kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib, pemuda ber-
pakaian serba hitam sudah meloncat meninggal-
kan tempat. "Kejar...!" teriak Bagus Kembara kepada teman-temannya.
Namun, pemuda bermuka bopeng ini jadi
kecewa, karena tak satu pun anggota Partai Tri-
sula Sakti yang menjalankan perintahnya. Agak-
nya, nyali mereka telah hilang melihat sembilan orang mati dalam keadaan
mengerikan. "Manusia-manusia bodoh! Kalian memang
tak pantas memiliki Pusaka Pedang Gaib!" geram Bagus Kembara, seraya meloncat
untuk mengejar pemuda berpakaian serba hitam yang telah pergi.
Sementara itu, pemuda berpakaian serba
hitam terus berlari mengandalkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Tanpa disadari, seorang
remaja bersenjata tongkat berlari cepat di belakangnya.
"Bangsat!" umpat pemuda berpakaian ser-ba hitam begitu sadar kalau ada yang
mengiku- tinya. Larinya segera dihentikan. "Kenapa kau
mengikutiku, heh"! Apakah kau merasa punya
nyawa rangkap, sehingga berani berbuat nekat"!"
Usai berkata, si pemuda berbalik. Dan dia
kontan tersurut mundur karena terkejut. Ma-
tanya melihat sosok remaja tampan yang berdiri
di belakang Bagus Kembara.
"Suropati...," desisnya.
Karena keterkejutan yang luar biasa, tanpa
sadar pemuda berpakaian serba hitam tersurut
mundur lagi. Dan sebelum si remaja tampan me-
langkah menghampirinya, cepat dia kembali ber-
balik seraya berlari cepat bagai habis melihat setan. "Hai! Tunggu dulu!" cegah
remaja tampan berpakaian penuh tambalan yang memang Suropati. Pemuda berpakaian
serba hitam tak mau
ambil peduli. Dia terus menggenjot tubuh untuk
segera dapat meninggalkan Suropati yang berlari di belakangnya.
Sepuluh tarikan napas kemudian, Penge-
mis Binal menghempos tubuh ke atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara, kakinya mendarat di depan pemuda berpakaian serba
hitam yang masih berlari cepat.
Karena bingung, pemuda berpakaian serba
hitam menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tadi
telah disarungkan. Lalu dalam keadaan masih
meluncur ke depan, senjata pusaka di tangannya
ditebaskan. Wut...! Sigap sekali Pengemis Binal mengegoskan
tubuhnya. Tapi Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kontan terkejut karena sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa sangat
panas bagai dijala-ri api. Lebih terkejut lagi ketika melihat sebagian lengan
bajunya mengepulkan asap, lalu muncul
lidah api! Buru-buru Pengemis Binal menepis-nepis
kain bajunya yang terbakar disertai pengerahan
ilmu 'Pukulan Salju Merah' yang berhawa dingin.
Lidah api langsung lenyap, meninggalkan lubang
bergaris hitam di lengan bajunya.
"Hmm.... Pusaka Pedang Gaib ternyata be-
nar-benar senjata pusaka yang amat mengeri-
kan...," kata batin Suropati. "Walau pendaran si-narnya tak mengenaiku, tapi
sanggup membuat
bajuku terbakar. Aku harus berhati-hati."
Sewaktu Suropati berdiri terpaku di tem-
patnya, pemuda berpakaian serba hitam mencoba
mengambil langkah seribu lagi. Tapi, mendadak
sesosok bayangan memapaki luncuran tubuhnya
yang masih menghunus pedang.
"Wuaah...!"
Jerit kematian merobek kesunyian malam.
Pengemis Binal terkejut melihat tubuh Bagus
Kembara telah terbaring di tanah dalam keadaan
terpotong dua dan tahu-tahu mengepulkan asap
hitam. "Aku tahu benar bila pemuda berpakaian serba hitam itu hanya sedikit
menggerakkan pedang yang dibawanya. Kenapa tubuh Bagus Kem-
bara yang menerjangnya tiba-tiba terbelah dua"
Pusaka Pedang Gaib benar-benar senjata yang
mengandung kesaktian luar biasa...," kata batin Pengemis Binal.
Sementara, pemuda berpakaian serba hi-
tam telah menggenjot tubuh untuk dapat mening-
galkan Suropati. Namun....
"Serahkan pedang yang kau bawa, Orang
Asing!" Sebuah teriakan yang dibarengi kelebatan empat benda kecil putih
mengkilat membuat pemuda berpakaian serba hitam itu terhenyak den-
gan langkah terhenti. Namun secepat kilat pe-
dangnya diputar.
Trang...! Saat itu juga, rontohlah benda-benda kecil
berupa pisau kecil yang mengancam jiwanya.
Menggeramlah Suropati melihat siapa yang
telah melemparkan senjata rahasia itu. Dia tak
lain Somagatra!
"Kau kuperintahkan untuk pergi mengha-
dap Kakek Gede. Lantas kenapa masih berada di
sini, Somagatra"!" bentak Pengemis Binal.
"Aku akan menghadap Kakek Gede, setelah
mendapatkan Pusaka Pedang Gaib, Suro!" sahut Somagatra berani.
"Kau tahu bila seluruh anggota perkumpu-
lan kita pantang memiliki senjata tajam"!"
"Ya. Aku tahu benar hal itu. Tapi bila kau pun menginginkan Pusaka Pedang Gaib,
kenapa aku tidak?" ujar Somagatra semakin berani.
Dituduh demikian, Pengemis Binal men-
dengus gusar. "Aku akan menjatuhkan hukuman sendiri
bila kau tak segera pergi dari tempat ini untuk menghadap Kakek Gede!"
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak. Matanya meli-
rik ke kiri. Tahu pemuda berpakaian serba hitam lengah, cepat tongkatnya
disodokkan mengarah
ke ulu hati. Gerakannya tidak main-main karena
disertai seluruh kekuatan tenaga dalam tinggi.
Tampaknya pemuda berpakaian serba hi-
tam pun tak akan mampu menghindar lagi. Ta-
pi... "Hauuum...!"
Mendadak berkelebat sesosok bayangan lo-
reng menerkam tubuh Somagatra! Ketika jatuh
berdebam ke tanah, pemuda itu sudah bergelut
dengan seekor harimau besar.
Pergulatan tidak berlangsung lama. Hari-
mau loreng tiba-tiba meraung keras, lalu tubuh-
nya menggelepar dijemput Malaikat Kematian.
Sementara tubuh Somagatra sendiri pun tampak
terbujur kaku dengan luka lebar di leher bekas
gigitan harimau yang telah menyelamatkan pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Rimang...!" pekik si pemuda seraya ber-hambur memeluk tubuh harimau loreng yang
te- lah diam tak bergerak lagi. Dicabutnya sebilah pisau kecil hasil tikaman
Somagatra yang menan-
cap di jantung harimau itu.
Suropati hanya dapat memandang si pe-
muda yang tengah menangis tersedu-sedu. Rema-
ja tampan ini terperangah karena tangis yang ter-
dengar adalah tangis seorang wanita!
Mata Suropati terbelalak ketika melihat
Wajah si pemuda yang telah terangkat. Agaknya
kumis dan jenggotnya lepas ketika menciumi
bangkai macan loreng.
"Rimang...! Rimang...!" panggil si pemuda.
"Kenapa kau meninggalkan aku, Rimang" Tidakkah kau ingin melihat aku bahagia,
karena ber- hasil membalaskan sakit hati Ibunda Sawitri?"
Suropati mempertajam penglihatannya.
Beberapa kali matanya mengerjap. Tapi sosok
yang terlihat tetap tak berubah. Sosok pemuda
yang dikenali Pengemis Binal sebagai seorang gadis. "Swani...," desis Pengemis
Binal seperti tak yakin pada penglihatannya sendiri.
Sosok gadis yang menyamar sebagai pe-
muda memang tak lain dari Swani. Gadis itu me-
natap Pengemis Binal. Air mata masih berlelehan.
Pipinya memerah. Dan, bahunya terguncang-
guncang karena menahan isakan tangis.
"Maafkan aku, Suro...," ucap Swani. "Tem-po hari aku telah mengelabuimu. Semula,
aku in- gin menghasutmu untuk turut memusuhi Resi
Raga Pamungkas. Tapi, orang jahat itu keburu
menampakkan diri. Sehingga aku berlari meng-
hindarinya...."
"Jadi, harimau yang mengejarmu itu sebe-
narnya binatang peliharaanmu?" tanya Pengemis Binal, sambil melangkah mendekati
Swani. Si gadis mengangguk lemah. Isakan tan-
gisnya terdengar lagi.
"Kau katakan tadi hendak menghasutku
untuk turut memusuhi Resi Raga Pamungkas.
Berarti, kau menyimpan api permusuhan pada
pertapa itu. Bagaimana asal mulanya?"
Swani menyeka air matanya. "Dua puluh
tahun yang lalu, Raga Pamungkas bertemu seo-
rang gadis bernama Sawitri. Mereka lalu terlibat jalinan asmara. Sawitri
mengandung. Tapi..., tapi kemudian Raga Pamungkas mengkhianatinya.
Dia pergi meninggalkan tanggung jawab...," tutur gadis ini sambil mengucurkan
air mata. "Sawitri pun merana. Timbul rasa bencinya terhadap
orang yang semula sangat dicintainya. Setelah
bayinya lahir, dia memberi nama Swani. Dan
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swani itu adalah aku, Suro..,."
Swani tak kuasa melanjutkan ceritanya.
Gadis ini menangis menggerung-gerung. Didekap-
dekap-nya mayat harimau loreng yang telah ter-
bujur kaku. "Oleh sebab itu kau lalu memusuhi Resi
Raga Pamungkas?" tanya Pengemis Binal, diliputi rasa haru.
"Ya," jawab Swani, cepat. "Ibuku kemudian meninggal karena kesedihannya.
Sebelumnya, be-liau mewariskan Pusaka Pedang Gaib kepadaku.
Aku pun berjanji dalam hati, untuk membalaskan
sakit hati ibuku. Aku harus membunuh Resi Raga
Pamungkas. Tapi, aku tak kuasa melakukannya
sendiri. Karena, bagaimanapun juga dia ayah-
ku...." Pengemis Binal menghela napas panjang berulang kali. Tanpa sadar,
kepalanya yang tak
gatal digaruk-garuk. Cerita Swani begitu menyentuh perasaannya.
"Tapi..., tapi aku akan tetap membunuh-
nya!" tandas Swani tiba-tiba.
Suropati terkejut ketika mendadak di tem-
pat itu muncul lelaki tua berjubah dan bersorban putih yang tak lain Resi Raga
Pamungkas. Agaknya, pertapa itu telah menguping cerita Swani....
"Anakku...," desis sang resi. "Aku menyadari kesalahanku, Nak. Makanya kemudian
aku menjadi seorang pertapa...."
"Pertapa palsu!" sahut Swani seraya memungut Pusaka Pedang Gaib yang tergeletak
di sisinya. "Jangan...!" teriak Pengemis Binal melihat Swani tiba-tiba menerjang Resi Raga
Pamungkas. Rupanya, sang resi masih belum ingin mati
cepat. Tahu bahaya mengancam jiwanya, segera
dia meloncat seraya menyambar Pedang Hijau
yang terikat di punggung Pengemis Binal. Saat itu juga pedang di tangannya
dikebutkan. Trang! Trang! Trang!
Terdengar benturan keras yang memekak-
kan gendang telinga. Percikan api membuat gelap tersibak.
Resi Raga Pamungkas terkejut luar biasa
ketika tahu Pedang Hijau di tangannya telah terpotong menjadi tiga bagian yang
berjatuhan di bawah kakinya. Dan sebelum dia menyadari kea-
daan, Pusaka Pedang Gaib di tangan Swani berke-
lebat amat cepat!
Suropati terkesiap. Walau dalam kegelapan
malam, tapi matanya cukup tajam untuk dapat
melihat apa yang akan diperbuat Swani. Sebelum
Pusaka Pedang Gaib memenggal kepala Resi Raga
Pamungkas, cepat sekali tubuhnya melesat!
Pengemis Binal berhasil menyambar tubuh
sang resi. Tubuh mereka bergulingan di tanah.
Namun, Suropati dapat bernapas lagi, karena
usahanya tak sia-sia. Kelebatan Pusaka Pedang
Gaib di tangan Swani hanya mengenai angin ko-
song. "Kau sadar terhadap apa yang telah kau perbuat, Swani...?" ujar Suropati seraya bangkit berdiri, melindungi Resi Raga Pamungkas yang
masih merangkak bangun di belakangnya.
"Kau tak perlu ikut campur, Suro!" sentak Swani sambil mengacungkan pedang
pusaka di tangannya. "Ini urusan keluarga! Tak ada sang-kut-pautnya denganmu!"
"Resi Raga Pamungkas adalah ayahmu,
Swani. Dialah pengukir jiwa-ragamu. Kenapa kau
masih ingin membunuhnya, padahal dia telah
menyadari kesalahannya?" bujuk Suropati.
"Tidak...!" jerit Swani keras. "Dia bukan ayahku! Dia mesti kubunuh...!"
"Swani...!" desis Suropati, ikut terbawa keadaan. Sebelum remaja tampan ini
berbuat sesuatu untuk menenangkan kekalutan Swani,
mendadak Resi Raga Pamungkas mencekal ba-
hunya. "Aku memang manusia banyak dosa, Su-ro...," desah sang resi, lirih.
"Mungkin sudah menjadi takdirku untuk mati di tangan putriku sendi-
ri...." Mulut Suropati seperti terbungkam. Dia tak mampu mengucapkan kata-kata
lagi. Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini pun
tak dapat mencegah, ketika Resi Raga Pamungkas
maju tiga tindak.
"Anakku...," desah sang resi dengan mata berkaca-kaca. "Dosaku pada Sawitri
ibumu, memang terlalu besar untuk dapat dimaafkan. Aku
rela mati sekarang, Swani. Mungkin dengan ke-
matianku ini, dadamu akan lapang untuk mem-
beri kata maaf...."
Dengan sinar mata nanar, Swani menatap
Resi Raga Pamungkas yang berdiri menunduk di
hadapannya. Agaknya sang resi benar-benar telah siap menyambut datangnya
Malaikat Kematian.
Namun pedang pusaka di tangan Swani
terlihat bergetar.
"Ohh...!"
Bersamaan suara keluhan pendek, pedang
itu jatuh ke tanah. Dan, Swani sendiri lalu ber-hambur memeluk sang resi....
"Maafkan Swani, Ayah.... Maafkan Swani,
Ayah...," ucap Swani dengan air mata menganak sungai. Agaknya melihat kepasrahan
Resi Raga Pamungkas, gadis ini jadi tak tega untuk menja-
tuhkan tangan maut.
"Anakku...," desis sang resi. Dibalasnya pelukan Swani erat-erat. Air mata yang
coba ditahannya pun jebol sudah.
Melihat ayah dan Anak saling berpelukan
dengan cucuran air mata, Pengemis Binal mende-
sah panjang. Hatinya kontan tersentuh haru. Se-
belum air matanya ikut menetes, cepat kepalanya berpaling. Lalu dia berjalan
perlahan meninggalkan Resi Raga Pamungkas dan Swani yang sama-
sama menangis dalam kebahagiaan....
SELESAI Segera terbit!!! episode:
TENGKORAK KAKI SATU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Patung Emas Kaki Tunggal 6 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Setan Pantai Timur 2
menggigil dan keringat deras mengucur, langkah-
nya berhenti. "Agaknya, Pedang Hijau yang melukaiku
mengandung racun...," desah pertapa bertubuh kurus kecil ini, "Aku harus
bertindak cepat sebelum kerja jantungku terganggu."
Segera Resi Raga Pamungkas mengambil
obat pulung dari lipatan kain jubahnya. Sebutir ditelannya. Sebutir lagi diremas
untuk kemudian diborehkan pada luka di bahu kiri. Lalu dengan
kain sobekan lengan jubahnya, luka akibat ber-
tempur dengan Somagatra itu dibalutnya.
"Aku yakin, pemuda yang bernama Soma-
gatra itu terus mengejarku. Aku harus menghin-
darinya sampai dapat memastikan siapa yang te-
lah menyebar kabar bohong itu...," kata batin Resi Raga Pamungkas kemudian.
"Kurasa tempat yang penting aman untuk bersembunyi adalah kota
yang ramai. Walau nanti aku kepergok, Somaga-
tra tak akan berani berbuat macam-macam. Ka-
rena, dia tentu takut perbuatannya akan diketa-
hui anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya." Merasa mendapat gagasan bagus, Resi Ra-
ga Pamungkas melanjutkan langkahnya dengan
berlari menuju kota Kadipaten Bumiraksa, yang
memang tak seberapa jauh dari Bukit Ranuglagah
tempat pertapaannya.
Baru saja melewati pintu gerbang, Resi Ra-
ga Pamungkas bersorak girang dalam hati. Di de-
pan sana dari arah berlawanan, dia melihat seo-
rang pemuda tampan membawa sebatang tongkat
butut tengah berjalan bersama seorang gadis cantik berkebaya hijau.
"Hmm.... Kalau tidak salah aku melihat,
remaja tampan itu tentu Suropati alias Pengemis Binal. Kebetulan! Aku bisa
meminta perlindun-gannya...," gumam Resi Raga Pamungkas, seraya mempercepat
langkahnya. Sementara itu, Suropati yang sedang berja-
lan bersama Swani jadi terkejut melihat lelaki tua
berjubah itu berhenti melangkah. Lebih terkejut lagi Swani. Gadis yang tampak
lemah itu sampai
berlari ketakutan. Ketika Suropati hendak mengejar.
"Tolong aku, Suro...!"
Terpaksa Pengemis Binal mengurungkan
niatnya. Dibiarkannya gadis itu, karena lebih
mementingkan orang yang minta pertolongan.
Saat mengalihkan pandangan, remaja tampan ini
berseru kaget. Lelaki berjubah yang baru datang tampak jatuh tersungkur di tanah
sambil menge-rang kesakitan.
"Kau kenapa, Pak Tua?" tanya Suropati seraya berjongkok di dekat lelaki tua
berjubah yang memang Resi Raga Pamungkas.
"Aduh! Tolong aku, Suro! Aku terserang ra-
cun!" keluh sang resi sambil mendekap balutan luka di bahu kirinya. Rupanya,
obat pulung yang digunakan untuk mencegah menjalarnya racun
tak manjur. Ketika meraba, Suropati merasakan suhu
tubuh lelaki tua ini meninggi. Cepat dibopongnya tubuh Resi Raga Pamungkas lalu
dibawanya berlari ke Kuil Saloka yang menjadi tempat tinggal para pengemis kota
Kadipaten Bumiraksa.
*** Tanpa berkata apa-apa Suropati membuka
balutan luka sang resi. Walau tidak seberapa lebar, tapi jelas menunjukkan
pengaruh racun. Ku-
lit di sekitar luka tampak melepuh, berwarna biru
kehitaman. Sigap sekali Pengemis Binal menotok bebe-
rapa jalan darah di tubuh Resi Raga Pamungkas.
Lalu, digedornya punggung pertapa itu.
"Hoekkh...!" Resi Raga Pamungkas langsung muntah darah berwarna kehitaman.
"Kendorkan seluruh urat-urat sarafmu,
Kek. Aku akan menyalurkan hawa mumi...," pinta Pengemis Binal seraya menempelkan
dua telapak tangannya ke dada Resi Raga Pamungkas yang
duduk bersandar di dinding.
Sepeminum teh kemudian, wajah pucat
Resi Raga Pamungkas berangsur-angsur berubah
merah sehat. Sementara luka di bahu kirinya
tampak melelehkan cairan kental berwarna hijau.
"Cukup, Suro! Kukira, racun di tubuhku
telah berhasil keluar...," ujar sang resi.
Suropati menarik telapak tangannya dari
dada pertapa itu.
"Untung racunnya belum menyerang jan-
tungmu, Kek...," desah si remaja. "Kau siapa, Kek" Dan, kenapa bisa sampai
terluka seperti
ini?" Resi Raga Pamungkas geleng-geleng kepala.
"Kalau kau belum mengenalku, kenapa
menolongku?" tanyanya. Lelaki tua ini agaknya ingin tahu isi hati Pengemis
Binal. "Kau datang ke hadapanku dalam keadaan
terluka, dan minta tolong. Lalu apa aku harus di-am saja?"
Resi Raga Pamungkas tersenyum.
"Semoga Hyang Widhi membalas kebai-
kanmu, Suro...," doanya. Pertapa ini lalu memba-lut kembali luka di bahu
kirinya. "Kau belum bercerita siapa dirimu" Dan,
bagaimana bisa terluka...?" pinta Pengemis Binal.
"Aku seorang pertapa yang tinggal di Bukit Ranuglagah. Namaku Raga
Pamungkas...."
"Raga Pamungkas?" potong Suropati. "Kalau kau tinggal di Bukit Ranuglagah yang
tidak seberapa jauh dari kota Kadipaten, Bumiraksa
ini, kenapa aku belum pernah mendengar nama-
mu?" "Di Bukit Ranuglagah, aku memang baru tinggal beberapa pekan. Sebenarnya,
aku berasal dari Kerajaan Saloka Medang. Aku sama sekali
tak menyangka bila kehadiranku ada yang tak
menyukai. Tapi siapa orangnya, aku tak tahu."
"Maksud Kakek?"
"Ada orang jahat yang menyebarkan kabar
bahwa aku akan mewariskan sebuah senjata pu-
saka yang bernama Pusaka Pedang Gaib. Padahal
aku sendiri tak tahu-menahu perihal senjata pu-
saka itu. Jangankan memiliki, mendengar na-
manya saja baru kali itu."
"Lalu, kenapa Kakek bisa terluka?" kejar Pengemis Binal, mulai tertarik pada
cerita Resi Raga Pamungkas.
"Tadi siang, di puncak Bukit Ranuglagah
menjadi ajang pertumpahan darah. Ada seorang
pemuda yang memenangkan pertarungan. Dia
kemudian memintaku untuk menyerahkan Pusa-
ka Pedang Gaib. Tentu saja aku tidak bisa menu-
ruti keinginannya. Dia lalu memaksaku sampai
terjadi pertempuran. Aku kalah dan terluka.
Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu," papar sang resi.
"Siapa pemuda itu?"
"Dia salah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Mungkin kau mengenal-
nya. Dia memperkenalkan diri bernama Somaga-
tra." "Gatra?" kejut Pengemis Binal. Kontan in-gatannya tertuju pada peristiwa
di kedai nasi yang mengawali perjumpaannya dengan Senopati
Guntur Selaksa. "Apakah orangnya berkumis tebal dan umurnya sekitar empat puluh
tahun?" Resi Raga Pamungkas menggeleng. "Tadi
sudah kubilang, dia seorang pemuda. Dia tidak
berkumis dan umurnya sekitar dua puluh lima
tahun. Namanya bukan cuma Gatra, tapi Soma-
gatra." "Somagatra...," gumam Pengemis Binal, mencoba mengingat-ingat.
"Bagaimana kau bisa memastikan kalau dia anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti! Sedangkan Kakek terluka
oleh senjata tajam" Seluruh anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti pantang mengguna-
kan senjata tajam kalau tidak dalam keadaan terpaksa."
"Aku juga tahu. Tapi pemuda yang berna-
ma Somagatra juga membawa tongkat berkepala
naga. Sedangkan pedangnya, aku dapat memasti-
kan kalau itu milik Pendekar Pedang Hijau.
Mungkin sekali Somagatra berhasil merampas-
nya." "Somagatra...," gumam Pengemis Binal lagi.
"Anggota Perkumpulan Tongkat Sakti berjumlah ribuan. Aku tidak bisa mengenal
mereka satu persatu." "Kau harus membantu memecahkan per-soalan ini, Suro.
Sekaligus, untuk memulihkan
nama baik perkumpulanmu.''
Suropati mengangguk lemah. Keningnya
berkerut. Tanpa sadar remaja tampan berambut
panjang tergerai ini menggaruk kepalanya yang
tak gatal. "Eh, bagaimana kau tadi bisa tahu kalau
aku Suropati. Sedangkan, kita belum pernah ber-
temu?" tanya si pemuda agak menyimpang dari arah pembicaraan.
"Nama Suropati alias Pengemis Binal sudah
terkenal di rimba persilatan. Hanya orang dungu atau kurang pergaulan saja yang
belum mendengar namamu," jawab Resi Raga Pamungkas, terselip sebuah pujian.
"Jadi, kau mengenal ciri-ciriku dari pembicaraan orang?"
Resi Raga Pamungkas mengangguk.
"Hmmm.... Rupanya aku sudah menjadi orang
termasyhur...," gumam Pengemis Binal. "Pantas gadis bernama Swani yang kujumpai
tadi sangat senang bertemu denganku. Aku memang orang
terkenal...."
Bibir remaja konyol ini menyungging se-
nyum. Tapi, wajahnya mendadak berubah kelam.
"Aku tidak tahu kenapa Swani tiba-tiba
berlari ketika bertemu Resi Raga Pamungkas" Dia tentu mempunyai sebuah urusan
dengan pertapa ini, sehingga membuatnya sangat terkejut, dan
menghindar, " gumamnya lagi sambil merunduk dan manggut-manggut kepada Resi Raga
Pamungkas. "Kenalkah kau pada seorang gadis yang
bernama Swani, Kek?"
"Swani" Swani siapa?" kening sang resi berkerut.
"Gadis yang berjalan bersamaku ketika kau
datang meminta pertolongan."
Resi Raga Pamungkas tampak berpikir.
"Tidak..., tidak! Aku tidak mengenal gadis itu.
Memangnya ada apa, Suro?" jawabnya kemudian, seraya bertanya.
"Tidakkah kau melihat keanehan pada diri
gadis yang kukatakan tadi" Dia berlari ketika kau datang. Sepertinya dia sengaja
menghindar."
"Ah! Kita kesampingkan dulu perihal gadis
itu, Suro. Yang penting sekarang adalah, bagai-
mana kita bisa mengetahui siapa orang yang telah menyebar kabar bohong perihal
Pusaka Pedang Gaib. Dan, apa tujuan orang itu."
"Ya..., ya! Aku pasti membantumu, Kek.
Akan kucari pula Somagatra yang telah melukai-
mu." *** Cahaya bulan sepenggal tak kuasa me-
nembus tebalnya awan. Kerlip bintang hanya be-
rupa titik-titik kecil yang timbul-tenggelam. Warna hitam memenuhi langit.
Gelap-pekat. Walau malam sangat kelam dan dingin
menusuk tulang, keramaian kota Kadipaten Bu-
miraksa terus berlangsung. Di jalan, masih ba-
nyak orang berlalu-lalang dengan urusan masing-
masing. Lampu-lampu kios yang bersinar terang,
membuat gelap tak lagi berkuasa.
Sementara, di sebuah rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota, belasan lelaki tengah bersuka ria menenggak
arak. Tiada henti
mereka membuka suara kasar. Tawa genit pada
wanita nakal pun membuat suasana semakin ma-
rak. Namun, suara-suara yang terdengar lang-
sung terhenti ketika....
Brakkk! Seorang pemuda berpakaian serba hitam
tiba-tiba menggebrak meja.
"Aku ingin kalian semua memasang telinga
baik-baik!" ujarnya seraya bangkit berdiri. "Aku mempunyai sebuah kabar rahasia.
Tapi, aku mau berbaik hati untuk menyampaikannya kepada ka-
lian." Semua mata tertuju pada sosok pemuda yang sedang bicara. Wajah pemuda
berumur sekitar dua puluh tahun itu dihiasi kumis dan jenggot halus terawat
rapi. Kulitnya putih. Dan di punggungnya terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau.
"Kalian tentu sudah mendengar berita ke-
hebatan Pusaka Pedang Gaib milik Resi Raga Pa-
mungkas yang tinggal di Bukit Ranuglagah," lanjut si pemuda. "Tadi siang,
pertapa itu tidak jadi mewariskan senjata pusakanya. Karena, tidak
ada orang yang dianggap cocok. Tapi, tahukah kalian bila Resi Raga Pamungkas
sesungguhnya adalah manusia culas yang hendak mengadu-
domba kaum rimba persilatan" Setelah terjadi
pertumpahan darah di puncak Bukit Ranuglagah,
dia malah melarikan diri dengan membawa senja-
ta pusakanya. Aku yang mengetahui kebusukan
pertapa itu lalu mengejarnya. Karena kecerdikannya, dia bisa meloloskan diri.
Tapi, aku berhasil merampas Pusaka Pedang Gaib miliknya...."
"Bocah gemblung! Kau jangan bicara nga-
wur di tempat ini!" potong seorang lelaki brewokan bertubuh tambun.
"Siapa yang mau percaya pada bocah ingu-
san macam kau"!" sambung lelaki lain.
Brakk...! Mendadak, pemuda berpakaian serba hi-
tam menggebrak lagi meja di hadapannya. Kali ini daun meja sampai pecah dan
keempat kakinya
patah. Perbuatannya seperti sengaja memamer-
kan kekuatan tenaga dalamnya.
"Bodoh! Aku tidak akan menipu kalian se-
mua!" ujar si pemuda dengan suara lebih lantang.
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kalian tak percaya kalau aku telah berhasil merampas Pusaka Pedang Gaib
dari tangan Resi
Raga Pamungkas"!"
"Apa buktinya" Dan, untuk apa kau pa-
mer-pamer segala?" tanya seorang pemuda bermuka bopeng yang duduk di sudut
ruangan. Pemuda berpakaian serba hitam menebar
pandangan sebentar. Lalu, dilepasnya ikatan
benda panjang terbungkus kain hijau di pung-
gungnya. Ternyata, benda itu sebatang pedang.
Ketika pedang dihunuskan, terbelalaklah semua
mata yang memandang. Maka pedang penuh uki-
ran dan memancarkan cahaya merah. Gagangnya
berbentuk kepala naga.
"Inilah Pusaka Pedang Gaib...," kata pemuda berpakaian serba hitam itu sambil
menggerak- kan sedikit pedang di tangan kanannya.
Wuusss...! Crass! "Heh..."!"
Ruangan jadi gaduh bernada terkejut keti-
ka seberkas cahaya merah yang berasal dari bilah pedang melesat menghantam
dinding, hingga
mengepulkan asap seperti tersiram air panas.
"Masihkah kalian semua tidak percaya pa-
da perkataanku?" tanya si pemuda.
Sekali lagi pemuda tampan berkulit putih
ini menggerakkan pedangnya. Sinar merah kem-
bali melesat, menimbulkan suara menderu.
Wusss...! Blarrr...! Kali ini timbul suara ledakan ketika seber-
kas cahaya merah yang lebih besar menghantam
dinding di sisi kiri si pemuda.
Suasana jadi bertambah gaduh saat dind-
ing yang terkena luncuran cahaya merah berlu-
bang sebesar gentong!
"Pusaka Pedang Gaib...," desis beberapa
orang yang berada di ruangan.
"Benar-benar sebuah senjata pusaka yang
hebat..," desis yang lain.
Semua orang membelalakkan mata dengan
mulut ternganga.
"Pusaka Pedang Gaib ini akan menjadi mi-
lik salah seorang dari kalian," lanjut si pemuda.
"Benarkah itu?" tanya beberapa lelaki, bersamaan.
"Benar!" jawab si pemuda sambil menyarungkan bilah pedangnya kembali. "Tapi,
dengan satu syarat."
"Apa?" tanya beberapa lelaki lagi.
"Tadi sudah kuceritakan tentang kebusu-
kan Resi Raga Pamungkas. Cari dia sampai dapat.
kepalanya akan kutukar dengan Pusaka Pedang
Gaib yang kubawa!"
"Bagaimana kami bisa yakin kalau kau ti-
dak akan mengingkari janji?" tanya pemuda bermuka bopeng yang duduk di sudut
ruangan. "Dua hari lagi pada saat yang sama seperti ini, aku akan kemari."
"Benar begitu?" cecar pemuda bermuka
bopeng. "Aku tidak memintamu untuk menuruti
kemauanku. Tapi, aku akan menepati apa yang
telah kukatakan!"
Usai berkata, pemuda berpakaian serba hi-
tam mengeluarkan beberapa keping uang emas
dari saku bajunya. Begitu tangannya mengibas,
sinar-sinar keemasan melesat ke dinding!
Slap...! Lima keping uang emas menancap di ba-
wah lubang di dinding, membentuk garis tegak
lurus. Untuk ke sekian kalinya, orang-orang yang berada di ruangan dibuat
terperangah. "Uang itu sebagai ganti kerusakan di si-
ni...," ujar pemuda berpakaian serba hitam, seraya ngeloyor pergi.
Sepeninggal si pemuda suara gaduh me-
landa ruangan. Beberapa lelaki sibuk menyusun
rencana bersama teman-temannya. Mereka lupa
pada arak yang masih tersedia di atas meja. Sementara yang sudah telanjur masuk
seperti men- dapat kekuatan baru. Otak mereka menjadi jernih kembali. Belasan wanita nakal
jadi merengut karena tak dipedulikan.
*** "Tunggu dulu, Orang Asing!"
Seorang pemuda berpakaian serba hitam
menghentikan langkahnya. Ketika mendengar te-
riakan yang dituju untuk dirinya. Di balik keremangan, matanya menatap tajam
seorang lelaki berumur sekitar tiga puluh tahun berpakaian
ringkas hijau-kuning. Rambutnya yang hitam
panjang diikat sehelai sutera merah.
"Ada urusan apa kau memanggilku?" selidik pemuda berpakaian serba hitam.
"Namaku Danar Pangeran dan bergelar
Pendekar Pedang Hijau. Tapi, aku tak mungkin
memakai gelarku lagi karena ada orang culas
yang telah merampas senjata andalanku...," tutur
lelaki yang bahunya dibalut. Suaranya lembut
dan sopan. Dia tak lain memang Danar Pangeran
yang bergelar Pendekar Pedang Hijau. Balutan di bahunya diakibatkan luka oleh
sambaran pedangnya sendiri, yang dirampas Somagatra di
puncak Bukit Ranuglagah.
"Lalu, apa urusannya denganku?" tanya si pemuda berpakaian serba hitam, dengan
kening berkerut. "Aku baru datang dari rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota ini. Di sana, orang masih ramai membicarakan
seorang pemuda berpakaian serba hitam yang membawa se-
buah senjata pusaka yang bernama Pusaka Pe-
dang Gaib. Menurut pembicaraan yang kudengar,
pemuda itu bersedia menukarkan pedang yang
dibawanya kepada orang yang dapat menyerah-
kan kepala Resi Raga Pamungkas....," tutur Danar Pangeran, lebih panjang. "Aku
menduga, pemuda yang membawa Pusaka Pedang Gaib adalah kau,
bila menilik pakaianmu yang serba hitam. Keda-
tanganku hanya ingin menanyakan, apakah kau
benar-benar akan menyerahkan Pusaka Pedang
Gaib kepada orang yang berhasil menyerahkan
kepala Resi Raga Pamungkas?"
"Aku tak perlu menjawabnya. Tanyalah pa-
da dirimu sendiri, apakah orang seperti aku ini bisa dipercaya atau tidak."
"Ha ha ha...!"
Mendengar nada ketus bicara pemuda ber-
pakaian serba hitam, Danar Pangeran tertawa
bergelak. "Kau sepertinya menyimpan kesumat pada
Resi Raga Pamungkas, Orang Asing! Tapi, terus
terang aku tak percaya kau bersedia menukar
Pusaka Pedang Gaib dengan kepala pertapa kurus
kecil itu!" lanjut Pendekar Pedang Hijau.
"Percaya atau tidak, terserah kau. Aku tak punya waktu untuk melayani orang usil
seperti-mu!" Pemuda berpakaian serba hitam berbalik untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi, Danar Pangeran meloncat tinggi dan mendarat di hadapan-
nya. "Kepandaian murahan tak perlu dipamer-kan di hadapanku!" ejek pemuda
berpakaian serba hitam.
"Ha ha ha...!" Danar Pangeran tertawa bergelak. "Aku bukan bermaksud pamer
kepandaian. Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal lagi
kepadamu. Karena semakin lama kulihat, dirimu
mempunyai daya tarik aneh.... Katakan siapa
kau"! Dan, bagaimana bisa mempunyai dendam
kesumat pada Resi Raga Pamungkas?"
"Kau tidak perlu tahu!" bentak pemuda berpakaian serba hitam.
Danar Pangeran tertawa bergelak lagi. "Kau tak mau memperkenalkan diri tak jadi
apa. Asal, tinggalkan pedang yang kau sandang di pung-gungmu."
"Bangsat!" maki pemuda berpakaian serba hitam seraya menghujamkan kepalan tangan
ke muka Danar Pangeran.
Mudah saja Danar Pangeran berkelit. Dan
sebelum pemuda yang sudah naik pitam itu men-
gawali lagi serangannya, Pendekar Pedang Hijau
meloncat dua tombak ke belakang.
"Sebenarnya aku tak hendak membuat
permusuhan denganmu, Orang Asing. Tapi bila
kau memaksa, aku pun bisa bersikap keras!"
dengus Danar Pangeran.
"Kau memakai gelar pendekar. Namun ke-
lakuanmu sungguh sangat memuakkan!" timpal pemuda berpakaian serba hitam. "Kau
terlalu mencampuri urusan orang lain. Sifat busukmu
nampak jelas. Dan aku tak bisa menuruti keingi-
nanmu, untuk menyerahkan Pusaka Pedang Gaib
kecuali bila kau pergunakan untuk bunuh diri!"
Danar Pangeran mendengus marah men-
dengar kata-kata pemuda di hadapannya. Segera
pedangnya yang terselip di pinggangnya dilo-
loskan. "Walau pedang ini pedang biasa yang tak mempunyai kesaktian apa-apa,
tapi cukup mampu untuk merobek mulutmu!" ancam Danar Pangeran sambil
menyorongkan pedang ke muka pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Ucapanmu terbalik. Justru aku yang akan
merobek mulutmu, Pendekar Gadungan!"
Cepat sekali pemuda berpakaian hitam itu
menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tersandang
di punggung. "Heh"!"
Danar Pangeran terperangah. Tanpa sadar
pemuda bersifat jumawa ini melangkah mundur
setindak, ketika melihat bilah Pusaka Pedang
Gaib di tangan pemuda berpakaian serba hitam
yang memancarkan cahaya merah menggidikkan
dan sangat menyilaukan mata. Walau Danar Pan-
geran memiliki senjata mustika yang bernama Pe-
dang Hijau, tapi pamornya tidak sehebat itu.
"Aku akan menjadi raja pedang yang tak
tertandingi bila memiliki Pusaka Pedang Hijau...,"
gumam Danar Pangeran dalam hati. "Tapi, mam-pukah aku merebutnya dari tangan
pemuda asing itu?" Danar Pangeran tercenung di tempatnya.
Sementara pemuda berpakaian serba hitam tak
mau membuang-buang waktu lagi. Segera bilah
pedangnya digerakkan ke samping kanan.
Blarrr! Wuss...! Dibarengi sebuah ledakan, selarik sinar
merah meluncur deras ke arah Danar Pangeran!
Betapa terkejutnya Pendekar Pedang Hijau.
Segera pedangnya diputar untuk membentengi di-
ri. Tras! "Heh..."!"
Danar Pangeran kembali terkejut. Ternyata
pedangnya terpotong menjadi tiga bagian. Dan
sebelum dia menyadari keadaan, tiga larik sinar merah meluncur lagi!
"Uts...!"
Susah-payah Danar Pangeran membuang
diri, menghindari tiga larik sinar merah yang datang beruntun. Tak mau mendapat
kesulitan le- bih banyak, begitu bangkit segera diterjangnya
pemuda berpakaian serba hitam walau hanya
bersenjata sisa potongan pedangnya.
Pertempuran seru segera berlangsung. Un-
tunglah tempatnya sudah di pinggir kota, sehing-ga tak mengundang perhatian
orang, yang ke-
mungkinan bisa menjadi korban kedahsyatan Pu-
saka Pedang Gaib.
"Aku benar-benar tak punya waktu untuk
main-main denganmu, Pendekar Gadungan!" desis pemuda berpakaian serba hitam
seraya men- gempos tubuh, menjauhi ajang pertempuran.
Menyangka lawan hendak melarikan diri,
Danar Pangeran segera mengejar. Namun, du-
gaannya keliru. Pemuda berpakaian hitam ternya-
ta malah menunggu luncuran tubuhnya. Ketika
sudah dekat, dia berbalik langsung ditiupnya bilah senjata pusaka di tangannya!
Wuusss.,.! Seberkas cahaya merah yang amat meng-
gidikkan berpendar. Danar Pangeran yang belum
bisa mengendalikan gerak tubuhnya terkejut se-
tengah mati. Akibatnya....
"Aaa...!"
Jeritan panjang Danar Pangeran membelah
kesunyian malam. Tubuhnya jatuh berdebam ke
tanah dalam keadaan terbakar!
"Itulah akibatnya bila terlalu mencampuri
urusan orang!" desis pemuda berpakaian serba hitam ini. Setelah menyarungkan
pedangnya kembali, ditinggalkannya Danar Pangeran yang
masih menjerit-jerit melawan api yang menjilati tubuhnya....
6 Wuuusss...! Hembusan angin berhawa dingin menyen-
gat tiba-tiba menerpa tubuh Danar Pangeran. Api yang menjalar di tubuh pemuda
naas ini padam seketika. Tapi, dia sudah tak kuasa lagi berdiri.
Dalam keadaan telentang, Pendekar Pedang Hijau
masih dapat melihat kehadiran seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan ber-
sama seorang kakek berjubah putih.
"Suropati...," desis Danar Pangeran seraya mengucek matanya yang hampir lengket
terma-kan api. "Ya. Aku memang Suropati. Aku datang
bersama Resi Raga Pamungkas," kata remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan yang
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti inilah yang telah memadamkan api yang
membakar tubuh Danar Pangeran. Disertai ilmu
'Pukulan Salju Merah' Suropati mengibaskan te-
lapak tangannya untuk membuat hembusan an-
gin berhawa dingin.
"Aku..., aku Danar Pangeran...," kata Pendekar Pedang Hijau, terbata-bata.
"Ya. Aku masih dapat mengenalimu," sahut Pengemis Binal seraya memeriksa keadaan
Danar Pangeran. Mengenaskan sekali keadaan pemuda yang
terkena kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib itu. Pa-
kaian yang dikenakannya musnah terbakar. Kulit
di sekujur tubuhnya melepuh. Kepalanya yang
tanpa rambut tampak mengelupas sebagian ku-
litnya. Wajahnya pun rusak, nyaris tak dapat dikenali. Resi Raga Pamungkas
berjongkok di sisi ki-ri Danar Pangeran. Berkali-kali dia menyebut as-ma Sang
Penguasa Tunggal.
"Apa yang terjadi, Danar" Bagaimana kau
bisa seperti ini?" tanya Pengemis Binal.
Sorot mata remaja tampan ini menggam-
barkan kekhawatiran. Walau Danar Pangeran di-
kenal sebagai pendekar berangasan tapi tetap be-raliran putih. Suropati pun
mengenalnya. Walau-
pun tak begitu akrab. Dan Pengemis Binal me-
nyayangkan apabila Danar Pangeran keburu me-
ninggal. "Aku tahu umurku tidak lagi panjang...,"
tutur Danar Pangeran. "Maukah kau menuruti permintaanku, Suro...?"
"Ya. Kalau bisa, aku pasti akan melu-
luskannya...," sahut Suropati. Keharuan menyelimuti hatinya. Dia tahu benar,
nyawa Danar Pangeran tak mungkin ditolong lagi.
"Aku minta kau merebut kembali Pedang
Hijau di tangan Somagatra...," pinta Danar Pangeran, menguatkan diri. "Daripada
jatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab, musnahkan saja
pedang itu...."
"Ya. Aku akan merebut kembali Pedang Hi-
jau milikmu. Aku pun telah tahu kejahatan So-
magatra." Dengan susah-payah Danar Pangeran me-
malingkan wajahnya untuk dapat menatap Resi
Raga Pamungkas.
"Aku tadi bertempur dengan seorang pe-
muda berpakaian serba hitam. Dia membawa Pu-
saka Pedang Gaib. Hati-hatilah kau, Resi Raga
Pamungkas.... Pemuda itu menginginkan kema-
tianmu. Siapa yang dapat memenggal kepalamu,
akan diberi senjata pusaka yang dibawanya....
Maafkan aku. Res.... Res...."
Sampai di situ ucapan Danar Pangeran
terhenti. Kepalanya terkulai ke samping kanan.
Suropati segera mengatupkan mulutnya yang
ternganga. "Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas.
*** Pengemis Binal dan Resi Raga Pamungkas
telah mengubur jenazah Danar Pangeran di tepi
sungai yang cukup jauh dari pusat keramaian ko-
ta Kadipaten Bumiraksa.
"Untunglah kita tadi masih sempat men-
dengar penuturan Danar Pangeran...," ujar Resi Raga Pamungkas ketika mereka
kembali memasuki keramaian kota.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Ternyata, Pusaka Pedang Gaib itu ada...,"
katanya, pelan sekali.
"Aku tidak mendengar bicaramu, Suro," be-
ritahu Resi Raga Pamungkas.
"Benar katamu, Kek. Kita beruntung masih
sempat mendengar penuturan Danar Pangeran.
Kita jadi tahu kalau Pusaka Pedang Gaib ternyata memang ada. Entah, siapa
pemiliknya. Tapi yang
jelas, senjata mustika itu sekarang dibawa pemu-da yang telah membunuh Danar
Pangeran. Menu-
rutnya, pemuda itu berpakaian serba hitam. Na-
mun, kita tak bisa menentukan, siapa dia. Kare-
na, ada banyak pemuda yang juga suka memakai
pakaian serba hitam...," jelas Suropati.
"Menurut Danar Pangeran, pemuda itu
hendak menukar Pusaka Pedang Gaib yang diba-
wa dengan kepalaku. Aneh...," desah Resi Raga Pamungkas mengerutkan kening.
"Sepertinya pemuda itu menyimpan dendam kesumat kepada-
ku. Padahal, aku merasa tidak punya musuh"
Sudah hampir dua puluh tahun aku mengasing-
kan diri dengan menjadi seorang pertapa...."
Suropati menggaruk-garuk kepala. Agak-
nya kalau sedang bingung remaja konyol ini suka berbuat demikian.
"Benar katamu, Kek...," kata si pemuda kemudian. "Peristiwa ini memang aneh.
Kalau pemuda itu benar-benar ingin membunuhmu, kenapa dia tidak langsung saja
mencarimu. Bukan-
kah dia membawa Pusaka Pedang Gaib yang ko-
non memiliki kesaktian luar biasa?"
"Ya. Itulah anehnya," sambut Resi Raga Pamungkas. "Aku menduga, orang yang
menyebarkan kabar bohong bahwa aku akan mewa-
riskan Pusaka Pedang Gaib adalah pemuda yang
telah membunuh Danar Pangeran."
"Aku juga menduga demikian," tegas Pengemis Binal. "Setelah tahu kau selamat
dari kejaran orang yang menginginkan Pusaka Pedang
Gaib, pemuda itu membuat ulah baru. Jelasnya,
dia ingin membunuhmu dengan meminjam tan-
gan orang lain. Atau paling tidak, ingin mem-
buatmu menjadi repot karena dikejar-kejar
orang." Resi Raga Pamungkas mengangguk-
angguk. "Sudah mulai terkuak sekarang tabir tentang Pusaka Pedang Gaib...,"
lanjut Pengemis Binal. "Untuk membuat keadaan menjadi jernih, ki-ta harus segera
menemukan pemuda yang mem-
bawa senjata pusaka itu. Termasuk, mencari So-
magatra yang telah menyimpang."
Suropati dan Resi Raga Pamungkas terus
berjalan memasuki kota Kadipaten Bumiraksa.
Karena hari sudah lewat tengah malam, suasana
jadi sunyi. Suropati lantas mengajak Resi Raga Pa-
mungkas untuk beristirahat di Kuil Saloka. Perjalanannya yang semula untuk
mencari Somagatra
akan dilanjutkan keesokan harinya. Namun be-
lum sampai di tempat tujuan.
Serrr...! "Heh..."!"
Suropati dikejutkan oleh suara desir halus
yang meluncur dari arah belakang! Sejenak ma-
tanya mencari, lalu....
"Awas...!" teriak Pengemis Binal seraya menyambar tubuh Resi Raga Pamungkas
untuk di- bawa meloncat tinggi.
Tadi ketika melirik, Suropati sempat meli-
hat beberapa sinar keperakan yang meluncur de-
ras. Untunglah dia cepat bertindak, sehingga sinar-sinar keperakan yang tak lain
jarum-jarum beracun hanya menyambar angin.
Begitu kaki mereka menginjak tanah kem-
bali, di tempat itu telah berdiri sepuluh orang lelaki bersenjata trisula yang
langsung mengepung.
"Membokong orang bukan perbuatan ksa-
tria!" sindir Pengemis Binal.
"Kami dari Partai Trisula Sakti bukan un-
tuk berurusan denganmu, Suropati...," kata pemuda bermuka bopeng di antara
pengepung. "Kami hanya hendak berurusan dengan Resi Raga Pamungkas...."
Bersama sembilan temannya, pemuda bo-
peng itu memang sengaja mencari Raga Pamung-
kas setelah tahu kalau kepala pertapa itu dapat ditukar dengan Pusaka Pedang
Gaib. "Hmm.... Tak pernah kusangka bila dalam
tubuh Partai Trisula Sakti bercokol manusia yang tak bisa dipegang kata-katanya.
Tidak hendak berurusan denganku, tapi kenyataannya aku dis-
erang jarum beracun...," sindir Pengemis Binal la-gi.
"Aku Bagus Kembara. Karena masih me-
mandang mukamu, maka kuminta kau menying-
kir dari tempat ini, Suropati...," ujar pemuda bopeng dengan sikap jumawa.
"Ketahuilah, Bagus Kembara.... Resi Raga
Pamungkas telah menjadi sahabat baikku. Saking
baiknya, sampai-sampai Resi Raga Pamungkas
menganggap urusannya adalah urusanku juga.
Maka dari itu, aku tak bisa meninggalkan pertapa di sampingku ini. Apalagi
sedang berhadapan
dengan kalian yang sengaja datang membawa
senjata. Dan tentunya, kalian mempunyai mak-
sud tak baik."
Sebelum Bagus Kembara menyahuti uca-
pan Pengemis Binal, Resi Raga Pamungkas unjuk
diri. "Anak muda! Agaknya kau terkena hasutan orang...," katanya kepada Bagus
Kembara. "Aku tidak kena hasut, Pak Tua! Aku sadar
apa yang sedang kulakukan! Aku tahu, kau ada-
lah penjahat culas yang bersembunyi di balik jubah putihmu."
"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Resi Raga Pamungkas, tersinggung.
"Kabar yang santer terdengar mengatakan
kalau kau hendak mewariskan Pusaka Pedang
Gaib siang tadi di puncak Bukit Ranuglagah. Ternyata, kau bukan hanya ingkar
janji. Kau pun punya maksud buruk hendak membuat kericu-
han di rimba persilatan."
Terkejut Resi Raga Pamungkas mendengar
penuturan Bagus Kembara.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebutnya. "Siapa yang mengatakan hal itu, Anak
Mu-da?" Bagus Kembara tersenyum penuh ejekan.
"Orang yang berhasil merampas Pusaka
Pedang Gaib dari tanganmu," jawabnya.
Resi Raga Pamungkas dan Suropati saling
pandang. "Rupanya, orang yang memusuhimu itu
sangat pandai membuat kabar bohong, Kek...,"
Kata Pengemis Binal. Lalu, pandangannya beralih pada orang-orang Partai Trisula
Sakti, "Kalian semua sudah kena hasutan. Resi Raga Pamungkas sama sekali tidak
tahu-menahu tentang Pu-
saka Pedang Gaib. Ada orang yang memusuhinya.
Dia ingin meminjam tangan kalian untuk mem-
bunuh pertapa yang tak bersalah ini."
"Ha ha ha...!" Bagus Kembara tertawa bergelak. "Tangan kami dipinjam pun tak
mengapa. Bukankah Pusaka Pedang Gaib imbalannya?"
Usai berkata, Bagus Kembara memberi
aba-aba kepada kesembilan temannya untuk me-
nyerang Resi Raga Pamungkas. Ujung-ujung tri-
sula tajam pun meluruk dari berbagai penjuru.
Tentu saja Suropati tak mau berpangku
tangan. Cepat tongkat bututnya diputar sambil
berkelebat melingkar!
Trang! Trang! Trang!
Serangan orang-orang Partai Trisula Sakti
menemui kegagalan. Tiga orang di antaranya ter-
kejut karena senjata yang dipegang telah jatuh ke tanah terbentur tongkat
Pengemis Binal. Namun,
mereka kemudian berteriak keras seraya merang-
sek ganas walau hanya dengan tangan kosong.
Sementara Bagus Kembara pun segera membantu
teman-temannya.
Pertempuran sengit tak bisa lagi dihindari.
Walau dalam keremangan malam, tapi gerakan
orang-orang Partai Trisula Sakti amat cepat dan penuh tipuan mematikan. Terutama
serangan Bagus Kembara yang menjadi pemimpin.
Resi Raga Pamungkas mengeluarkan selu-
ruh daya kemampuan untuk dapat memperta-
hankan diri. Sementara, Pengemis Binal yang
membantunya terus memutar tongkat dengan pe-
rasaan heran. Setahunya, Partai Trisula Sakti
adalah partai lurus tempat bernaungnya para
pendekar muda. Tapi kenapa mereka bisa berbuat
ganas seperti ini" Apakah keinginan untuk memi-
liki Pusaka Pedang Gaib benar-benar telah mem-
butakan mata hati mereka"
Suropati tak punya waktu banyak untuk
berpikir, karena pengeroyoknya melakukan se-
rangan-serangan gencar. Segera remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan ini memben-
tengi diri dengan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Lalu disusul jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Tak! Tak! Tak! "Aaah...!"
Tak lebih sepeminum teh kemudian tiga
orang anggota Partai Trisula Sakti terpukul jatuh oleh gebukan tongkat Pengemis
Binal. Mereka menjerit kesakitan saling sahut, sambil meme-
gangi bagian tubuh yang memar.
"Jangan gentar! Bunuh pertapa itu lebih
cepat!" ujar Bagus Kembara, memberi semangat teman-temannya.
Tapi, maksud mereka tak juga terwujud
karena perlindungan yang diberikan Suropati be-
gitu rapat. Gusarlah hati Bagus Kembara seketika dikeluarkannya jurus-jurus
trisula yang lebih hebat. Sewaktu Pengemis Binal sibuk melayani
serangan Bagus Kembaran, mendadak sesosok
bayangan berkelebat cepat ke arah Resi Raga Pa-
mungkas. Begitu dekat langsung dilancarkan to-
tokan ke punggung lelaki tua yang tengah meng-
hadapi tiga orang lawan.
Tuk! Tuk!
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uh...!" keluh Resi Raga Pamungkas dengan tubuh lemas bagai tak bertenaga.
Sebelum tubuh pertapa ini benar-benar ja-
tuh ke tanah, sesosok bayangan yang telah me-
lancarkan totokan segera menyambarnya.
"Hei! Lepaskan dia!" teriak Pengemis Binal.
Suropati sempat melihat kejadian itu. Tapi,
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tak mampu mengejar, karena lima trisula telah
menghadang secara bersamaan.
Trang! Suropati menangkis dengan tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh. Akibatnya, lima trisula mencelat dan hilang tertelan
kegelapan malam.
"Tinggalkan Suropati! Kejar penculik Resi
Raga Pamungkas!" perintah Bagus Kembara.
Pengemis Binal tak mau melewatkan ke-
sempatan. Segera tubuhnya digenjot. Dikejarnya
sosok bayangan yang telah melarikan Resi Raga
Pamungkas. Sementara, orang-orang Partai Trisu-
la Sakti mengikuti jauh di belakang. Tapi mereka segera kehilangan jejak, tak
tahu ke mana Suro-
pati berlari. Tak tahu pula ke mana Resi Raga
Pamungkas dilarikan.
*** Berkali-kali Resi Raga Pamungkas menye-
but asma Sang Penguasa Tunggal. Tubuhnya te-
rasa sangat lemas seperti tiada bertulang. Sementara, orang yang melarikan
pertapa itu memper-
cepat kelebatan tubuhnya. Setelah cukup jauh
meninggalkan kota Kadipaten Bumiraksa, dia
berhenti di tepi sebuah aliran sungai. Langsung dilemparkannya tubuh lelaki tua
dalam pondon-gannya.
Mata Resi Raga Pamungkas kontan bersi-
nar nyalang ketika tahu siapa yang telah melarikan dirinya.
"Somagatra...," desahnya. Lalu, pertapa ini menyebut lagi asma Sang Penguasa
Tunggal. "Ha ha ha...!" sosok yang tak lain Somagatra tertawa bergelak. "Ternyata matamu
belum lamur, Pak Tua. Aku memang Somagatra!"
"Apa maksudmu menculikku"!" tanya Resi Raga Pamungkas, setengah membentak.
Dikua-tkan hatinya untuk melawan debar-debar dalam
dadanya. Somagatra tertawa bergelak lagi.
"Rupanya kau berhasil membujuk Suropa-
ti, Pak Tua! Tapi, manusia culas macam kau ku-
kira tak akan panjang umur. Kecuali, bila kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib padaku. Maka,
umurmu akan ku perpanjang...."
"Bagaimana aku bisa meyakinkan bahwa
aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang senja-
ta pusaka yang kau inginkan itu, Somagatra...?"
keluh Resi Raga Pamungkas.
"Aku tak butuh keyakinan! Aku butuh kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas. "Sadarlah kau,
Somagatra. Bujukan setan telah merasuki jiwamu."
Mendengar ucapan sang resi, Somagatra
malah menendang punggung Resi Raga Pamung-
kas. Lelaki tua itu pun terpental, bergulingan di tanah. "Aku tak butuh
perkataan macam-macam, Pak Tua!" hardik Somagatra seraya berjongkok di sisi
tubuh sang resi yang telentang tak berdaya.
"Mumpung aku masih bisa berbaik hati, cepat katakan mana Pusaka Pedang Gaib
tersimpan"!"
Mendadak, terlintas gagasan bagus di be-
nak sang resi. "Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Di sana tersebar kabar baru. Kau akan tahu sen-
diri, di mana Pusaka Pedang Gaib berada," ungkap sang resi.
"Jangan menipuku, Pak Tua!" bentak Somagatra.
"Sebenarnya berat untuk mengatakan. Ta-
pi, apa boleh buat" Aku masih ingin hidup...," ka-ta sang resi, memasang wajah
takut. "Kau hendak berkata apa, Pak Tua".'" kejar Somagatra, mulai memuncak amarahnya.
"Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pe-
muda berpakaian serba hitam."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak lagi. "Hanya bocah ingusan yang mau
percaya pa-da tipuan macam ini, Pak Tua! Hih...!"
Diegkh...! "Agkh...!"
Di ujung kalimatnya, Somagatra menya-
rangkan kepalan tangan ke wajah Resi Raga Pa-
mungkas. Keluh kesakitan terdengar memilukan
ketika darah segar mengalir dari bibir sang resi yang robek. Belum cukup sampai
di situ, Somagatra menendang lagi tubuh pertapa itu.
Dess! "Aaakh...!"
Resi Raga Pamungkas terpental tiga tom-
bak. "Aku beri kesempatan sekali lagi, Pak Tua.
Di mana kau simpan Pusaka Pedang Gaib"!"
tanya Somagatra. Suaranya penuh kegeraman.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut Resi Raga Pamungkas. "Sudah kukatakan
padamu, Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pemuda
berpakaian serba hitam."
Plak...! Somagatra menampar wajah sang resi.
"Kau bunuh pun, hanya itu yang dapat ku-
katakan...," kata Resi Raga Pamungkas sambil menahan rasa sakit yang mendera
sekujur tubuhnya.
"Ada banyak pemuda berpakaian serba hi-
tam. Lantas, apa ciri lainnya, Pak Tua" Siapa pula namanya"!" tanya Somagatra,
keras. Agaknya dia
mulai percaya pada ucapan sang resi.
"Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Tanyalah pada orang yang tahu...."
"Itu sama juga bohong, Pak Tua! Mungkin
kalau sudah kucungkil biji matamu, baru kau
mau mengatakannya!"
Somagatra menghunus bilah Pedang Hijau
yang tersandang di punggungnya. Sementara Resi
Raga Pamungkas kontan menutup mata. Bukan
karena takut, melainkan silau akibat pancaran
sinar Pedang Hijau.
"Kau lihat dulu pamor Pedang Hijau ini,
Pak Tua!" ujar Somagatra. "Biar kau tak menyesal setelah matamu benar-benar
kubuat buta!"
"Bunuh saja aku, Somagatra...," pinta Resi Raga Pamungkas, lirih.
"Hmm.... Agaknya pertapa ini mengatakan
hal sebenarnya...," pikir Somagatra kemudian.
"Mungkin sekali bila aku ke kota Kadipaten Bumiraksa akan kudapatkan kabar
tentang Pusaka Pedang Gaib."
Mendapat gagasan demikian, Somagatra
segera mengangkat Pedang Hijau tinggi-tinggi,
siap membelah tubuh Resi Raga Pamungkas yang
sama sekali tidak berdaya karena pengaruh toto-
kan. "Berdoalah sebentar, Pak Tua. Karena, aku meluluskan permintaanmu yang
ingin mati."
Tangan Somagatra bergetar. Sementara,
Pedang Hijau siap mencabut nyawa sang resi. Ta-
pi.... "Tahan...!"
Sebuah teriakan membuat Somagatra
mengurungkan niatnya. Terkejutlah pemuda ini,
karena tak jauh darinya telah berdiri seorang remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan yang tak lain Suropati.
"Jangan mendekat, Suro!" hardik Somagatra, menyembunyikan keterkejutannya. "Bila
kau mendekat kemari, tubuh pertapa ini akan kube-lah jadi dua!"
"Hmm.... Kaukah yang bernama Somaga-
tra?" tanya Pengemis Binal, tenang. Pengemis Binal memang tak mungkin mengenali
nama anggo- tanya satu persatu.
"Ya! Menyingkirlah jauh-jauh dari tempat
ini kalau tak ingin melihat Resi Raga Pamungkas mandi darah!"
"Kau tak pantas menjadi anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti, Somagatra. Letak-
kan senjatamu! Mungkin Kakek Gede masih bisa
mengampuni kesalahanmu...."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak.
"Sejak kedatanganku di Bukit Ranuglagah, aku keluar dari perkumpulan. Dan, aku
pun tak lagi mengenal siapa itu Kakek Gede!"
"Murid murtad!" geram Pengemis Binal.
Tapi, remaja tampan ini tak bisa berbuat
apa-apa, karena takut Somagatra benar-benar
akan melaksanakan ancamannya. Namun, men-
dadak bibir remaja yang sering berperilaku konyol ini menyungging senyum. Dia
teringat ilmu sihir ajaran guru pertamanya yang bergelar Periang
Bertangan Lembut.
"Mendekatlah kemari, Somagatra!" perintah Pengemis Binal. Tatapannya tajam
menusuk dilambari kekuatan ilmu sihir.
Somagatra tampak bingung sejenak. Men-
dadak pikiran warasnya lenyap. Lalu, bagai ker-
bau dicocok hidungnya dia berjalan perlahan
menghampiri Pengemis Binal.
"Berikan pedangmu!" perintah Pengemis Binal lagi.
Ketika Somagatra telah menyerahkan Pe-
dang Hijau, Pengemis Binal melepas pengaruh il-
mu sihirnya. Somagatra kontan terkejut. Begitu tahu
Pedang Hijau tak lagi berada di tangannya, dia
segera berlutut.
"Ampun.... Ampun, Suro...," pinta Somagatra, mengiba.
"Kau minta ampun" Agar tak kubunuh, be-
gitu?" tanya Pengemis Binal seraya membetot sarung Pedang Hijau di punggung
Somagatra. "Ya..., ya. Aku minta ampun...," hiba Somagatra disertai tetesan air mata.
Suropati menggeram. Lalu kakinya berge-
rak ke depan. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Terpentallah tubuh Somagatra, begitu re-
maja tampan itu melepaskan tendangan.
7 Begitu bangkit, Somagatra menatap penuh
kebencian pada Pengemis Binal. Hilang sudah air matanya yang tadi sempat
menetes. Sekarang justru sifat angkuhnya yang terlihat. Pemuda ini-
berdiri berkacak pinggang walau sebenarnya tahu bila tak akan menang melawan
Pengemis Binal.
"Aku masih mau bermurah hati padamu,
Somagatra...," ujar Pengemis Binal, mencoba ber-sabar. "Datanglah ke puncak
Bukit Pangalasan.
Di hadapan Kakek Gede, akui semua kesalahaa-
mu...." "Baiklah, Suro...," sahut Somagatra cepat
"Aku akan datang ke hadapan Kakek Gede."
Usai berkata, Somagatra berbalik. Lalu tu-
buhnya berkelebat menembus kegelapan malam.
"Kenapa kau malah menyuruh dia pergi,
Suro?" tanya Resi Raga Pamungkas, heran. Matanya terus menatapi kepergian
Somagatra. Suropati menatap sejenak wajah sang resi
yang lebam-lebam.
"Kalau Somagatra tidak menyadari kesala-
hannya, dan tidak pula menghadap Kakek Gede
untuk menerima hukuman, sampai ke ujung lan-
git pun dia akan kukejar...."
Sang resi mengangguk-angguk. Pengemis
Binal memungut Pedang Hijau yang tergeletak di
tanah. "Inikah yang bernama Pedang Hijau milik Danar Pangeran, Kek?" tanya
Pengemis Binal sambil menimang pedang di tangannya.
"Ya," jawab sang resi, pendek.
"Seperti pesan terakhir Danar Pangeran,
aku harus memusnahkan pedang ini."
"Jangan dulu, Suro!" cegah Resi Raga Pamungkas.
Sambil menatap wajah sang resi, Suropati
garuk-garuk kepala.
"Sebaiknya pedang itu kau bawa dulu. Sia-
pa tahu, nanti ada gunanya...," lanjut sang resi.
"Tapi, aku tidak bisa bersenjata pedang,
Kek." "Sudahlah... Turuti saja permintaanku...."
"Baiklah...," ucap Pengemis Binal kemudian. Suropati lalu mengajak Resi Raga
Pamung- kas kembali ke Kuil Saloka. Sengaja mereka me-
lewati pinggiran kota walau gelapnya malam
hampir membutakan mata. Karena, Suropati
khawatir Resi Raga Pamungkas akan berjumpa
orang-orang yang menginginkan kematiannya.
Penghadangan orang-orang Partai Trisula Sakti
bisa dijadikan pelajaran.
"Kasihan sekali kau, Kek...," kata Pengemis Binal di tengah jalan. "Setelah
sampai di Kuil Saloka nanti, aku akan meminta anak buahku un-
tuk merawat luka-lukamu."
"Kau terlalu baik, Suro...," sahut Pengemis Binal. "Tapi, tak pada tempatnya di
tengah malam seperti ini kau membuat repot anak buahmu yang
sedang beristirahat"
"Kalau begitu, aku sendiri yang akan me-
rawat luka-lukamu, Kek. Seperti yang kulakukan
sore tadi. Aku ada sedikit ilmu pengobatan hasil
ajaran seorang tabib pandai bergelar si Wajah Merah." "Terima kasih, Suro.
Lukaku hanya luka luar yang tidak seberapa parah. Kau tak perlu
khawatir...."
Pada kokok ayam pertama, barulah Pen-
gemis Binal dan Resi Raga Pamungkas sampai di
Kuil Saloka yang terletak di sebelah selatan kota Kadipaten Bumiraksa.
*** Semburat cahaya mentari berpendar di
ufuk timur. Pagi datang menghantar terang. Cua-
ca cerah. Tapi, tidak demikian isi hati Somagatra.
Pemuda ini diliputi rasa kesal bukan main. Se-
bab, selain gagal mendapatkan Pusaka Pedang
Gaib, Pedang Hijau di tangannya pun berhasil dirampas Pengemis Binal. Tak heran
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apabila wa- jahnya terlihat sangat muram. Langkah kakinya
terseok, bagai orang tak punya semangat hidup.
"Aku tak habis mengerti, kenapa Suropati
membiarkan aku pergi" Padahal, dia telah tahu
perbuatan jahatku. Apakah dia mempunyai se-
buah rencana" Atau, dia memang berotak
udang?" kata batin Somagatra sambil melangkah menyusuri sungai yang membujur di
pinggir kota Kadipaten Bumiraksa. "Suropati menyuruhku datang menghadap Kakek Gede Panjalu di
puncak Bukit Pangalasan. Huh! Siapa sudi"!"
Somagatra terus melangkah memasuki ke-
sibukan kota yang baru mulai. Kini, jalannya tak
lagi terseok karena mendadak mendapat harapan
baru. "Mudah-mudahan apa yang dikatakan Resi Raga Pamungkas benar. Pusaka Pedang
Gaib memang dibawa seorang pemuda berpakaian ser-
ba hitam. Menurut pertapa itu, aku bisa mencari keterangan di kota ini."
Somagatra melangkah lebih cepat. Namun,
baru saja melewati pintu gerbang, pemuda ini terhenyak. Di kejauhan, matanya
melihat beberapa
pemuda tengah berjalan cepat seperti sedang
mencari sesuatu.
"Bukankah itu para pemuda yang tadi ma-
lam mengeroyok Suropati dan Resi Raga Pamung-
kas?" pikir Somagatra. "Aku tahu, mereka tentu sedang mencari Resi Raga
Pamungkas. Karena,
mereka juga menginginkan Pusaka Pedang Gaib.
Hm.... Aku akan mengorek keterangan dari mere-
ka...." Merasa mendapat gagasan bagus, Somagatra lalu berlari-lari mengejar
rombongan pemuda yang menghilang di tikungan jalan.
"Tunggu dulu!, Teman!" teriak Somagatra setelah beberapa tombak di belakang para
pemuda yang tak lain para anggota Partai Trisula Sakti.
Para pemuda itu menghentikan langkah
dan berbalik. Tapi setelah melihat sosok Somagatra yang berpakaian penuh
tambalan mereka
mendengus penuh hinaan. Lalu mereka melan-
jutkan perjalanan.
"Hei! Tunggu dulu, Sahabat-sahabat Baik!"
Sembari berkata demikian, Somagatra me-
ngemposkan tubuhnya, langsung menghadang di
hadapan para pemuda itu.
"Pengemis Hina! Kau hendak mencari per-
kara rupanya"!" hardik pemuda yang berwajah bopeng yang tak lain Bagus Kembara.
"Aku tahu jika para sahabat ini adalah
anggota Partai Trisula Sakti...," ujar Somagatra, tenang. "Aku pun tahu, para
sahabat ini tengah mencari seseorang."
"Kau memanggil kami 'para sahabat'. Ka-
pan kami mengikat tali persahabatan denganmu,
Pengemis Hina"!" hardik Bagus Kembara lagi, lebih menyakitkan.
"Hem.... Tidak patutkah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti menjadi
sahabat kalian" Apakah Partai Trisula Sakti telah menjadi sebuah partai yang
begitu congkak" Padahal, aku tahu pasti kalau kalian membutuhkan
keterangan dariku...."
"Kau jangan bicara ngawur, Pengemis
Edan! Kita belum pernah mengenal. Kenapa kau
bisa mengatakan kalau kami membutuhkan kete-
rangan darimu?"
"Seperti yang kukatakan di depan, aku ta-
hu bila kalian tengah mencari seseorang. Aku pun tahu, di mana orang yang sedang
kalian cari sekarang."
"Jangan hiraukan pemuda kurang waras
itu, Kembara!" ujar salah seorang teman Bagus Kembara.
Tapi, agaknya Bagus Kembara tertarik pa-
da bicara Somagatra.
"Kalau kau memang bisa membantu kami,
katakan dulu siapa yang sedang kami cari?" tanya pemuda berwajah bopeng.
Somagatra kontan tersenyum. "Agaknya
para pemuda ini tidak tahu bila akulah yang telah melarikan Resi Raga Pamungkas
semalam...," katanya dalam hati.
Somagatra lantas memasang wajah sung-
guh-sungguh. "Bukankah orang yang kalian cari itu ada-
lah Resi Raga Pamungkas?"
"Hei! Bagaimana kau tahu itu?" kejut Bagus Kembara.
Bibir Somagatra menyungging senyum lagi.
"Hal itu aku tak bisa mengatakannya. Tapi
yang jelas, aku bersedia membantu kalian."
"Ikut mencari Resi Raga Pamungkas?"
tanya teman Bagus Kembara yang lainnya.
"Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan, di
mana pertapa itu sekarang bersembunyi," jawab Somagatra.
"Jangan mendustai kami, Pengemis Jelek!"
hardik Bagus Kembara. "Semalam Resi Raga Pamungkas dilarikan orang. Bagaimana
kau bisa mengatakan bila pertapa itu sedang bersem-
bunyi?" "Resi Raga Pamungkas tidak dilarikan
orang. Melainkan, diselamatkan! Dan kini pertapa itu memang sedang bersembunyi."
"Bagaimana kau tahu itu?" selidik Bagus Kembara.
"Maaf. Aku tak bisa mengatakannya. Tapi,
aku bisa memberitahu tempat persembunyian Re-
si Raga Pamungkas."
"Di mana?" kejar Bagus Kembara, mulai percaya
"Katakan dulu, kenapa kalian mencari per-
tapa itu"! Apakah ada hubungannya dengan Pu-
saka Pedang Gaib?"
"Hmm.... Kelihatan belangmu sekarang,
Pengemis Hina!" ejek Bagus Kembara tiba-tiba.
"Jangan berprasangka buruk dulu! Aku
sama sekali tidak ingin memiliki Pusaka Pedang
Gaib. Bukankah kalian tahu, aku adalah anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti" Pantang
bagiku mempergunakan senjata tajam. Apalagi,
mencari-carinya."
"Lalu, apa maksud pertanyaanmu tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja. Terus terang,
aku penasaran karena beberapa pekan ini nama
Resi Raga Pamungkas tiba-tiba menjadi sangat
termasyhur."
"Hmm.... Baiklah kalau begitu, kujawab
pertanyaanmu. Tapi, bila kau ternyata menipu,
kami tak segan mencincang tubuhmu!"
"Sebenarnya kau tak perlu mengancam,
Sahabat...," ujar Somagatra dengan tenang. "Jawab saja pertanyaanku, kenapa
kalian mencari Resi Raga Pamungkas?"
Bagus Kembara mengambil napas panjang.
"Ada orang yang mau menukar kepala pertapa itu dengan Pusaka Pedang Gaib."
"Hmm.... Menyesal aku kenapa tadi malam
aku tidak cepat-cepat saja memenggal kepala Resi
Raga Pamungkas...," kata batin Somagatra. "Sekarang itu sudah tidak mungkin
dilakukan, kare-
na pertapa itu dalam perlindungan Suropati."
"Hei! Kenapa kau diam, Pengemis Hina"!
Sekarang katakan di mana Resi Raga Pamungkas
bersembunyi"!" sentak Bagus Kembara.
"Dia disembunyikan Suropati alias Penge-
mis Binal. Kalau mau mencari Resi Raga Pa-
mungkas, cari saja Suropati. Paksa dia untuk
mengatakannya!"
Usai berkata, Somagatra berlari mening-
galkan Bagus Kembara dan teman-temannya. Ge-
rakannya cepat sekali karena mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
"Bangsat! Pengemis Edan Keparat!" umpat Bagus Kembara.
"Kita sudah kena tipu mentah-mentah,
Kembara!" sahut salah seorang teman pemuda bermuka bopeng itu.
"Tidak! Dia tidak menipu!" sanggah Bagus Kembara.
"Maksudmu?"
"Keterangannya yang membuatku naik pi-
tam. Kalau Resi Raga Pamungkas disembunyikan
Suropati, bagaimana mungkin kita bisa memeng-
gal kepala pertapa itu" Sedang memaksa Suropati bicara saja kita tak akan
mampu!" "Aku ada gagasan...," teman Bagus Kembara yang lain menyela.
"Gagasan apa?"
"Kita tak perlu susah-susah mencari Resi
Raga Pamungkas. Kita langsung saja merebut Pu-
saka Pedang Gaib dari pemuda berpakaian serba
hitam itu pada hari yang dijanjikannya. Besok
malam!" "Ya..., ya! Sebuah gagasan bagus!"
Bagus Kembara lalu mengajak teman-
temannya pergi dari tempat itu. Namun sama se-
kali tak terduga, karena ternyata ada seseorang yang telah menguping bicara
mereka barusan.
Orang itu bersembunyi di atas atap kios kelon-
tong di dekat mereka berdiri. Begitu hilang sosok para anggota Partai Trisula
Sakti itu, si pencuri dengar meloncat turun, dan berjalan lenggang-kangkung.
Ternyata, dia adalah Somagatra!
*** Suropati berjalan sambil menyeret tongkat
bututnya. Tatapan matanya menerawang jauh.
Beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang menyapanya hanya dijawab ang-
gukan kepala. Bingung memang Suropati memi-
kirkan masalah yang sedang dihadapi. Walau ti-
dak langsung menyangkut dirinya, tapi jiwa ke-
pendekarannya terpanggil. Dan hal itu membuat-
nya tak bisa berpangku tangan untuk membiar-
kan Resi Raga Pamungkas menghadapi masalah
sulit seorang diri.
Langkah kaki Suropati terhenyak ketika
melewati sebuah penginapan bertingkat tiga.
Pandangan matanya menangkap sosok gadis can-
tik berkebaya hijau yang tengah berjalan setengah berlari seperti ada sesuatu
yang ditakutinya. Ter-
bawa rasa ingin tahu, cepat Pengemis Binal men-
gejar. Namun tiba-tiba sosok si gadis lenyap di sebuah kelokan jalan.
"Hmm.... Kalau tak salah penglihatanku,
gadis itu tentu Swani...," gumam Pengemis Binal teringat pada gadis yang pernah
ditolongnya dari kejaran seekor harimau beberapa hari yang lalu.
"Aneh sekali gadis itu. Ketika berjumpa Resi Raga Pamungkas, dia melarikan diri.
Sepertinya dia di-hantam oleh keterkejutan yang sangat. Aku men-
duga bila dia sengaja menghindar. Hmmm..., Ta-
bir apakah yang menyelimuti diri gadis itu?"
Mengikuti perasaan hatinya, Suropati ber-
putar-putar untuk mencari Swani yang tadi sem-
pat dilihatnya, Tapi hingga keringat mengucur deras, sosok gadis itu tetap tak
dijumpainya. Swani seperti lenyap ditelan bumi.
"Ketika berjumpa denganku, sepertinya ga-
dis itu sengaja menyembunyikan kepandaian. Ta-
pi, kenapa dia berlari ketika ada seekor harimau mengejar" Apakah dia sengaja
hendak mengelabui aku" Lalu, apa maksudnya?"
Selagi Pengemis Binal diliputi berbagai
tanda tanya, seorang pemuda bertubuh jangkung
berlari menghampirinya.
"Ada apa, Ganda?" tanya Pengemis Binal, ketika matanya menatap sosok pemuda
berpakaian penuh tambalan yang berdiri di hadapan-
nya itu. "Kabar yang kau inginkan telah kuda-
patkan, Suro!" ujar pemuda yang dipanggil Ganda.
"Pusaka Pedang Gaib benar-benar ada?"
"Ya! Seperti yang kau katakan semula, sen-
jata pusaka itu dibawa oleh seorang pemuda ber-
pakaian serba hitam," tutur Ganda penuh kesungguhan.
"Dari mana kau mendapat kabar itu?"
tanya Pengemis Binal untuk lebih memastikan.
"Hampir semua tokoh persilatan yang kebe-
tulan berada di kota Kadipaten Bumiraksa tahu
kalau pemuda berpakaian serba hitam itu muncul
kemarin malam di rumah pelacuran milik Mak
Gatri. Dia bersedia menukar senjata mustika yang dibawanya kepada siapa pun yang
dapat menyerahkan kepala Resi Raga Pamungkas."
"Lalu, kenapa pemuda itu akan muncul la-
gi?" "Besok malam di tempat yang sama!"
"Kau yakin?"
"Itulah kabar yang kudengar. Aku tidak bi-
sa memastikan kebenarannya. Tapi, tampaknya
semua orang percaya."
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Terima kasih, Ganda...," ucap Suropati kemudian.
Setelah Ganda meninggalkan tempat, Su-
ropati bersorak girang. Apa yang dikatakan Ganda membuat kegelapan yang
menyelimuti pikirannya
pudar. Tapi, teringat pada Resi Raga Pamungkas, kening Pengemis Binal langsung
berkerut. "Bila benar kabar yang disampaikan Gan-
da, nyawa Resi Raga Pamungkas semakin teran-
cam...," pikir Pengemis Binal. "Aku tak bisa mem-
biarkan pertapa itu seorang diri di Kuil Saloka.
Aku harus menyembunyikannya di tempat yang
lebih aman."
Bergegas Pengemis Binal melangkah. Nya-
wa Resi Raga Pamungkas seperti menjadi tang-
gungannya kini. Dia tak akan membiarkan ada
orang mengganggu pertapa itu. Apalagi, mengin-
ginkan kematiannya!
8 Cuaca malam ini tidak seperti kemarin.
Langit bersih, tak segumpal awan terlihat. Hingga, bulan sepotong masih mampu
membuat terang mayapada. Kedip bintang bagai tebaran intan di
layar hitam. Sementara, udara sejuk terasa men-
gelus kulit. Dengan langkah pasti, seorang pemuda
berpakaian serba hitam memasuki pelataran ru-
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mah pelacuran milik Mak Gatri yang terletak di
ujung utara kota Kadipaten Bumiraksa. Di pung-
gungnya, terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau. Namun, pemuda ini terke-
siap ketika....
"Serahkan Pusaka Pedang Gaib yang kau
bawa, Orang Asing!"
Mendadak terdengar bentakan yang dis-
usul munculnya belasan pemuda bersenjata tri-
sula dari samping kiri bangunan. Jelas, para pemuda itu anggota dari Partai
Trisula Sakti. Bagus Kembara yang berwajah bopeng tampak di antara
mereka. "Orang-orang edan!" bentak pemuda berpakaian serba hitam. "Adakah kalian membawa
kepala Resi Raga Pamungkas"!"
"Untuk mendapatkan Pusaka Pedang Gaib,
kami tak perlu membawa kepala resi itu!" sahut Bagus Kembara, pongah.
"Hmm.... Berarti kalian ingin merampas
Pusaka Pedang Gaib secara paksa...."
"Tepat! Kami merasa tak perlu berbasa-basi lagi. Serahkan buntalan kain hijau di
punggung-mu!" "Ambillah sendiri!"
Sambil berkata, pemuda berpakaian serba
hitam mengedarkan pandangan. Orang yang
mengepungnya ternyata bukan belasan orang la-
gi. Lebih dari tiga puluh! Selain para anggota Partai Trisula Sakti, di tempat
itu telah muncul tokoh-tokoh silat lainnya.
Sebentar kemudian, tiga orang lelaki seten-
gah baya maju dua langkah. Mereka sama-sama
memegang tombak pendek.
"Kami adalah Tiga Saudara Tombak
Maut...," kata lelaki di tengah memperkenalkan diri. "Seperti yang kau katakan,
kami akan mencoba mengambil Pusaka Pedang Gaib di pung-
gungmu, Orang Asing!"
Pemuda berpakaian serba hitam menden-
gus pendek ketika tiga lelaki yang berdiri di hadapannya menerjang secara
bersamaan. Wuuttt...! Tiga ujung tombak pendek meluncur deras
mencari jalan kematian di tubuh si pemuda. Na-
mun hanya dengan menggeser kakinya sedikit se-
rangan itu berhasil dihindari. Lalu, cepat sekali tubuhnya berkelebat memutar!
Prak! Prak! Prak!
"Aaa...!"
Terdengar suara berderak tiga kali, seperti
benda keras yang terpukul pecah. Diiringi jerit menyayat hati, tubuh tiga lelaki
bersenjata tombak pendek jatuh ke tanah. Mereka menggeliat
sebentar, lalu diam untuk selama-lamanya den-
gan kepala pecah berlumur darah!
Melihat kejadian itu, semua mata menun-
jukkan pandangan kaget. Sementara, pemuda
berpakaian serba hitam mengedarkan pandangan
sekali lagi. "Berpikirlah masak-masak untuk meram-
pas Pusaka Pedang Gaib. Aku sudah menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan kepala Resi
Raga Pamungkas. Kenapa malah nekat?" kata
pemuda ini dingin.
"Memenggal kepala Resi Raga Pamungkas
atau memenggal kepalamu, kukira sama saja!"
sahut seorang lelaki bertubuh gempal. "Ayo, kita kerubuti pemuda itu!"
"Heaaa...!"
Lima orang lelaki segera menerjang ketika
lelaki bertubuh gempal yang bersenjata pedang
meluruk maju. Pemuda berpakaian serba hitam mengge-
ram marah. Cepat dihunusnya Pusaka Pedang
Gaib yang menimbulkan suara berdesing dibaren-
gi berpendarnya cahaya merah menggidikkan. La-
lu.... Cras! Cras!
"Aaa...!"
Jerit kematian amat keras langsung mem-
bahana di angkasa ketika si pemuda menge-
butkan pedangnya. Enam tubuh manusia jatuh
berdebuk di tanah. Mereka mati dengan dada
mengepulkan asap seperti habis terbakar.
Selagi orang membelalakkan mata melihat
kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib, pemuda ber-
pakaian serba hitam sudah meloncat meninggal-
kan tempat. "Kejar...!" teriak Bagus Kembara kepada teman-temannya.
Namun, pemuda bermuka bopeng ini jadi
kecewa, karena tak satu pun anggota Partai Tri-
sula Sakti yang menjalankan perintahnya. Agak-
nya, nyali mereka telah hilang melihat sembilan orang mati dalam keadaan
mengerikan. "Manusia-manusia bodoh! Kalian memang
tak pantas memiliki Pusaka Pedang Gaib!" geram Bagus Kembara, seraya meloncat
untuk mengejar pemuda berpakaian serba hitam yang telah pergi.
Sementara itu, pemuda berpakaian serba
hitam terus berlari mengandalkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Tanpa disadari, seorang
remaja bersenjata tongkat berlari cepat di belakangnya.
"Bangsat!" umpat pemuda berpakaian ser-ba hitam begitu sadar kalau ada yang
mengiku- tinya. Larinya segera dihentikan. "Kenapa kau
mengikutiku, heh"! Apakah kau merasa punya
nyawa rangkap, sehingga berani berbuat nekat"!"
Usai berkata, si pemuda berbalik. Dan dia
kontan tersurut mundur karena terkejut. Ma-
tanya melihat sosok remaja tampan yang berdiri
di belakang Bagus Kembara.
"Suropati...," desisnya.
Karena keterkejutan yang luar biasa, tanpa
sadar pemuda berpakaian serba hitam tersurut
mundur lagi. Dan sebelum si remaja tampan me-
langkah menghampirinya, cepat dia kembali ber-
balik seraya berlari cepat bagai habis melihat setan. "Hai! Tunggu dulu!" cegah
remaja tampan berpakaian penuh tambalan yang memang Suropati. Pemuda berpakaian
serba hitam tak mau
ambil peduli. Dia terus menggenjot tubuh untuk
segera dapat meninggalkan Suropati yang berlari di belakangnya.
Sepuluh tarikan napas kemudian, Penge-
mis Binal menghempos tubuh ke atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara, kakinya mendarat di depan pemuda berpakaian serba
hitam yang masih berlari cepat.
Karena bingung, pemuda berpakaian serba
hitam menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tadi
telah disarungkan. Lalu dalam keadaan masih
meluncur ke depan, senjata pusaka di tangannya
ditebaskan. Wut...! Sigap sekali Pengemis Binal mengegoskan
tubuhnya. Tapi Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kontan terkejut karena sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa sangat
panas bagai dijala-ri api. Lebih terkejut lagi ketika melihat sebagian lengan
bajunya mengepulkan asap, lalu muncul
lidah api! Buru-buru Pengemis Binal menepis-nepis
kain bajunya yang terbakar disertai pengerahan
ilmu 'Pukulan Salju Merah' yang berhawa dingin.
Lidah api langsung lenyap, meninggalkan lubang
bergaris hitam di lengan bajunya.
"Hmm.... Pusaka Pedang Gaib ternyata be-
nar-benar senjata pusaka yang amat mengeri-
kan...," kata batin Suropati. "Walau pendaran si-narnya tak mengenaiku, tapi
sanggup membuat
bajuku terbakar. Aku harus berhati-hati."
Sewaktu Suropati berdiri terpaku di tem-
patnya, pemuda berpakaian serba hitam mencoba
mengambil langkah seribu lagi. Tapi, mendadak
sesosok bayangan memapaki luncuran tubuhnya
yang masih menghunus pedang.
"Wuaah...!"
Jerit kematian merobek kesunyian malam.
Pengemis Binal terkejut melihat tubuh Bagus
Kembara telah terbaring di tanah dalam keadaan
terpotong dua dan tahu-tahu mengepulkan asap
hitam. "Aku tahu benar bila pemuda berpakaian serba hitam itu hanya sedikit
menggerakkan pedang yang dibawanya. Kenapa tubuh Bagus Kem-
bara yang menerjangnya tiba-tiba terbelah dua"
Pusaka Pedang Gaib benar-benar senjata yang
mengandung kesaktian luar biasa...," kata batin Pengemis Binal.
Sementara, pemuda berpakaian serba hi-
tam telah menggenjot tubuh untuk dapat mening-
galkan Suropati. Namun....
"Serahkan pedang yang kau bawa, Orang
Asing!" Sebuah teriakan yang dibarengi kelebatan empat benda kecil putih
mengkilat membuat pemuda berpakaian serba hitam itu terhenyak den-
gan langkah terhenti. Namun secepat kilat pe-
dangnya diputar.
Trang...! Saat itu juga, rontohlah benda-benda kecil
berupa pisau kecil yang mengancam jiwanya.
Menggeramlah Suropati melihat siapa yang
telah melemparkan senjata rahasia itu. Dia tak
lain Somagatra!
"Kau kuperintahkan untuk pergi mengha-
dap Kakek Gede. Lantas kenapa masih berada di
sini, Somagatra"!" bentak Pengemis Binal.
"Aku akan menghadap Kakek Gede, setelah
mendapatkan Pusaka Pedang Gaib, Suro!" sahut Somagatra berani.
"Kau tahu bila seluruh anggota perkumpu-
lan kita pantang memiliki senjata tajam"!"
"Ya. Aku tahu benar hal itu. Tapi bila kau pun menginginkan Pusaka Pedang Gaib,
kenapa aku tidak?" ujar Somagatra semakin berani.
Dituduh demikian, Pengemis Binal men-
dengus gusar. "Aku akan menjatuhkan hukuman sendiri
bila kau tak segera pergi dari tempat ini untuk menghadap Kakek Gede!"
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak. Matanya meli-
rik ke kiri. Tahu pemuda berpakaian serba hitam lengah, cepat tongkatnya
disodokkan mengarah
ke ulu hati. Gerakannya tidak main-main karena
disertai seluruh kekuatan tenaga dalam tinggi.
Tampaknya pemuda berpakaian serba hi-
tam pun tak akan mampu menghindar lagi. Ta-
pi... "Hauuum...!"
Mendadak berkelebat sesosok bayangan lo-
reng menerkam tubuh Somagatra! Ketika jatuh
berdebam ke tanah, pemuda itu sudah bergelut
dengan seekor harimau besar.
Pergulatan tidak berlangsung lama. Hari-
mau loreng tiba-tiba meraung keras, lalu tubuh-
nya menggelepar dijemput Malaikat Kematian.
Sementara tubuh Somagatra sendiri pun tampak
terbujur kaku dengan luka lebar di leher bekas
gigitan harimau yang telah menyelamatkan pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Rimang...!" pekik si pemuda seraya ber-hambur memeluk tubuh harimau loreng yang
te- lah diam tak bergerak lagi. Dicabutnya sebilah pisau kecil hasil tikaman
Somagatra yang menan-
cap di jantung harimau itu.
Suropati hanya dapat memandang si pe-
muda yang tengah menangis tersedu-sedu. Rema-
ja tampan ini terperangah karena tangis yang ter-
dengar adalah tangis seorang wanita!
Mata Suropati terbelalak ketika melihat
Wajah si pemuda yang telah terangkat. Agaknya
kumis dan jenggotnya lepas ketika menciumi
bangkai macan loreng.
"Rimang...! Rimang...!" panggil si pemuda.
"Kenapa kau meninggalkan aku, Rimang" Tidakkah kau ingin melihat aku bahagia,
karena ber- hasil membalaskan sakit hati Ibunda Sawitri?"
Suropati mempertajam penglihatannya.
Beberapa kali matanya mengerjap. Tapi sosok
yang terlihat tetap tak berubah. Sosok pemuda
yang dikenali Pengemis Binal sebagai seorang gadis. "Swani...," desis Pengemis
Binal seperti tak yakin pada penglihatannya sendiri.
Sosok gadis yang menyamar sebagai pe-
muda memang tak lain dari Swani. Gadis itu me-
natap Pengemis Binal. Air mata masih berlelehan.
Pipinya memerah. Dan, bahunya terguncang-
guncang karena menahan isakan tangis.
"Maafkan aku, Suro...," ucap Swani. "Tem-po hari aku telah mengelabuimu. Semula,
aku in- gin menghasutmu untuk turut memusuhi Resi
Raga Pamungkas. Tapi, orang jahat itu keburu
menampakkan diri. Sehingga aku berlari meng-
hindarinya...."
"Jadi, harimau yang mengejarmu itu sebe-
narnya binatang peliharaanmu?" tanya Pengemis Binal, sambil melangkah mendekati
Swani. Si gadis mengangguk lemah. Isakan tan-
gisnya terdengar lagi.
"Kau katakan tadi hendak menghasutku
untuk turut memusuhi Resi Raga Pamungkas.
Berarti, kau menyimpan api permusuhan pada
pertapa itu. Bagaimana asal mulanya?"
Swani menyeka air matanya. "Dua puluh
tahun yang lalu, Raga Pamungkas bertemu seo-
rang gadis bernama Sawitri. Mereka lalu terlibat jalinan asmara. Sawitri
mengandung. Tapi..., tapi kemudian Raga Pamungkas mengkhianatinya.
Dia pergi meninggalkan tanggung jawab...," tutur gadis ini sambil mengucurkan
air mata. "Sawitri pun merana. Timbul rasa bencinya terhadap
orang yang semula sangat dicintainya. Setelah
bayinya lahir, dia memberi nama Swani. Dan
Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swani itu adalah aku, Suro..,."
Swani tak kuasa melanjutkan ceritanya.
Gadis ini menangis menggerung-gerung. Didekap-
dekap-nya mayat harimau loreng yang telah ter-
bujur kaku. "Oleh sebab itu kau lalu memusuhi Resi
Raga Pamungkas?" tanya Pengemis Binal, diliputi rasa haru.
"Ya," jawab Swani, cepat. "Ibuku kemudian meninggal karena kesedihannya.
Sebelumnya, be-liau mewariskan Pusaka Pedang Gaib kepadaku.
Aku pun berjanji dalam hati, untuk membalaskan
sakit hati ibuku. Aku harus membunuh Resi Raga
Pamungkas. Tapi, aku tak kuasa melakukannya
sendiri. Karena, bagaimanapun juga dia ayah-
ku...." Pengemis Binal menghela napas panjang berulang kali. Tanpa sadar,
kepalanya yang tak
gatal digaruk-garuk. Cerita Swani begitu menyentuh perasaannya.
"Tapi..., tapi aku akan tetap membunuh-
nya!" tandas Swani tiba-tiba.
Suropati terkejut ketika mendadak di tem-
pat itu muncul lelaki tua berjubah dan bersorban putih yang tak lain Resi Raga
Pamungkas. Agaknya, pertapa itu telah menguping cerita Swani....
"Anakku...," desis sang resi. "Aku menyadari kesalahanku, Nak. Makanya kemudian
aku menjadi seorang pertapa...."
"Pertapa palsu!" sahut Swani seraya memungut Pusaka Pedang Gaib yang tergeletak
di sisinya. "Jangan...!" teriak Pengemis Binal melihat Swani tiba-tiba menerjang Resi Raga
Pamungkas. Rupanya, sang resi masih belum ingin mati
cepat. Tahu bahaya mengancam jiwanya, segera
dia meloncat seraya menyambar Pedang Hijau
yang terikat di punggung Pengemis Binal. Saat itu juga pedang di tangannya
dikebutkan. Trang! Trang! Trang!
Terdengar benturan keras yang memekak-
kan gendang telinga. Percikan api membuat gelap tersibak.
Resi Raga Pamungkas terkejut luar biasa
ketika tahu Pedang Hijau di tangannya telah terpotong menjadi tiga bagian yang
berjatuhan di bawah kakinya. Dan sebelum dia menyadari kea-
daan, Pusaka Pedang Gaib di tangan Swani berke-
lebat amat cepat!
Suropati terkesiap. Walau dalam kegelapan
malam, tapi matanya cukup tajam untuk dapat
melihat apa yang akan diperbuat Swani. Sebelum
Pusaka Pedang Gaib memenggal kepala Resi Raga
Pamungkas, cepat sekali tubuhnya melesat!
Pengemis Binal berhasil menyambar tubuh
sang resi. Tubuh mereka bergulingan di tanah.
Namun, Suropati dapat bernapas lagi, karena
usahanya tak sia-sia. Kelebatan Pusaka Pedang
Gaib di tangan Swani hanya mengenai angin ko-
song. "Kau sadar terhadap apa yang telah kau perbuat, Swani...?" ujar Suropati seraya bangkit berdiri, melindungi Resi Raga Pamungkas yang
masih merangkak bangun di belakangnya.
"Kau tak perlu ikut campur, Suro!" sentak Swani sambil mengacungkan pedang
pusaka di tangannya. "Ini urusan keluarga! Tak ada sang-kut-pautnya denganmu!"
"Resi Raga Pamungkas adalah ayahmu,
Swani. Dialah pengukir jiwa-ragamu. Kenapa kau
masih ingin membunuhnya, padahal dia telah
menyadari kesalahannya?" bujuk Suropati.
"Tidak...!" jerit Swani keras. "Dia bukan ayahku! Dia mesti kubunuh...!"
"Swani...!" desis Suropati, ikut terbawa keadaan. Sebelum remaja tampan ini
berbuat sesuatu untuk menenangkan kekalutan Swani,
mendadak Resi Raga Pamungkas mencekal ba-
hunya. "Aku memang manusia banyak dosa, Su-ro...," desah sang resi, lirih.
"Mungkin sudah menjadi takdirku untuk mati di tangan putriku sendi-
ri...." Mulut Suropati seperti terbungkam. Dia tak mampu mengucapkan kata-kata
lagi. Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini pun
tak dapat mencegah, ketika Resi Raga Pamungkas
maju tiga tindak.
"Anakku...," desah sang resi dengan mata berkaca-kaca. "Dosaku pada Sawitri
ibumu, memang terlalu besar untuk dapat dimaafkan. Aku
rela mati sekarang, Swani. Mungkin dengan ke-
matianku ini, dadamu akan lapang untuk mem-
beri kata maaf...."
Dengan sinar mata nanar, Swani menatap
Resi Raga Pamungkas yang berdiri menunduk di
hadapannya. Agaknya sang resi benar-benar telah siap menyambut datangnya
Malaikat Kematian.
Namun pedang pusaka di tangan Swani
terlihat bergetar.
"Ohh...!"
Bersamaan suara keluhan pendek, pedang
itu jatuh ke tanah. Dan, Swani sendiri lalu ber-hambur memeluk sang resi....
"Maafkan Swani, Ayah.... Maafkan Swani,
Ayah...," ucap Swani dengan air mata menganak sungai. Agaknya melihat kepasrahan
Resi Raga Pamungkas, gadis ini jadi tak tega untuk menja-
tuhkan tangan maut.
"Anakku...," desis sang resi. Dibalasnya pelukan Swani erat-erat. Air mata yang
coba ditahannya pun jebol sudah.
Melihat ayah dan Anak saling berpelukan
dengan cucuran air mata, Pengemis Binal mende-
sah panjang. Hatinya kontan tersentuh haru. Se-
belum air matanya ikut menetes, cepat kepalanya berpaling. Lalu dia berjalan
perlahan meninggalkan Resi Raga Pamungkas dan Swani yang sama-
sama menangis dalam kebahagiaan....
SELESAI Segera terbit!!! episode:
TENGKORAK KAKI SATU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Patung Emas Kaki Tunggal 6 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Setan Pantai Timur 2