Pencarian

Pengkhianatan Dewa Maut 1

Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut Bagian 1


PENGKHIANATAN DEWA MAUT
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S,
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal
dalam episode: Pengkhianatan Dewa Maut
136 hal. 1 Alam baru saja bangun dari
tidurnya. Menggeliat lemah, terusap angin pagi yang lembut. Batang-batang pohon
masih kokoh berdiri dengan daun-daunnya yang rimbun. Butiran embun bergulir ke
pucuk daun untuk kemudian jatuh di atas rerumputan. Sang baskara malu-malu
menampakkan wujudnya. Sinarnya menerobos sela-sela rimbunan daun, kemudian
membentuk garis lurus memancarkan rona-rona indah di tanah.
Dari kejauhan, Bukit Argapala
tampak tersamar kabut. Seiring berlalunya waktu, sejengkal demi sejengkal, kabut
itu membubung tinggi melewati puncak bukit, hingga perlahan-lahan warna hijau
dedaunan pun tersembul. Kehidupan terus berlanjut, mengikuti alur yang telah
digariskan Sang Pencipta.
Di pagi yang cerah itu, sebuah
bayangan putih berkelebat menaiki Bukit Argapala membelah kabut yang rindu
terusik. Bayangan itu bergerak sangat cepat, menyelinap di sela-sela pohon besar
yang sebagian akarnya sudah menonjol tinggi melewati permukaan tanah.
Di belakang bayangan putih, juga berkelebat sebuah bayangan yang bergerak tak
kalah cepatnya. Kedua bayangan itu seperti berlomba memamerkan ilmu
meringankan tubuh. Apabila terhadang sebongkah batu besar atau sebuah parit,
mereka cepat melenting ke atas, kemudian kembali menjejakkan kaki di atas tanah
dengan gerakan sangat ringan.
Ketika sampai di sebuah pelataran yang agak lapang bayangan putih yang berada di
depan berhenti. Kini baru jelas wajah bayangan putih itu. Tampak seorang kakek
tengah berdiri dengan tegap.
Pakaiannya putih longgar, menyerupai jubah pendeta. Rambutnya yang putih panjang
dikuncir ke belakang. Raut mukanya kemerahan dengan garis-garis usia yang belum
begitu kentara. Padahal umurnya paling tidak sudah mendekati tujuh puluh tahun.
Dadanya bidang.
Dengusan napasnya sangat teratur, sama sekali tak menunjukkan bila habis berlari
sedemikian jauh.
Mata kakek ini menyorot tajam,
menatap ke kejauhan. Badannya yang tinggi tegap tampak menggendong seorang bocah
laki-laki berumur kira-kira dua belas tahun. Bocah itu tak bergerak sedikit pun
dengan tubuh lemas, seperti sudah tak bernyawa lagi.
Tak lama kemudian, bayangan lain menyusul, kemudian berhenti tepat dua tombak di
depan kakek yang tengah menggendong bocah laki-laki itu.
"He, Nenek Peot! Perempuan jelek!
Kenapa kau selalu mengikutiku,
Arumsari..."!" bentak kakek berjubah putih.
Yang ditanya tidak segera menjawab.
Bayangan terakhir yang ternyata seorang perempuan tua ini menarik napas panjang
untuk membenahi aliran darahnya yang sedikit kacau.
"Banjaranpati! Kau adalah kakek bengal yang tak tahu diuntung! Rupanya kau tak
pernah bosan mengejekku...,"
desis perempuan tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.
Sambil berkata demikian, nenek yang dipanggil Arumsari menghentakkan kakinya ke
tanah. Gerakannya ringan. Namun di luar dugaan, bumi kontan bergetar dibuatnya.
Kakek yang bernama Banjaranpati
yang menggendong bocah laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang dibarengi
pengerahan tenaga dalam itu bergema dahsyat, membuat nenek yang berada di
hadapannya mengerutkan kening.
Segera dikerahkannya hawa murni untuk melindungi gendang telinganya.
"Kakek Gendeng! Kalau mau main-main, tak perlu banyak ulah!"
Seketika Arumsari mengayunkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuusss...!"
Sebuah pukulan jarak jauh menimbulkan deru angin dahsyat, terlontar dari tangan nenek itu.
Sementara, yang dijadikan sasaran cuma tersenyum. Dengan gerakan ringan,
Banjaranpati menjentikkan ujung jari kakinya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya
melayang ke samping. Maka, pukulan jarak jauh itu pun luput. Namun, sebuah pohon
besar yang tinggi menjulang kontan terkena sasaran.
Breeessss...! Buuummm...!
Pohon itu tumbang dengan pangkal menghitam seperti terbakar.
Melihat serangannya yang gagal,
Arumsari naik pitam. Segera tubuhnya melenting ke arah kakek yang telah berdiri
kira-kira empat tombak dari hadapannya sambil tetap menggendong bocah itu.
Ketika tubuh nenek itu melayang di udara, rambutnya yang panjang dan tergerai di
punggung tiba-tiba menjadi kaku dan mengejang.
Rambut itu bergerak ke atas dan
meluncur deras laksana sebuah tombak.
Sementara Banjaranpati yang menjadi sasaran, kembali tersenyum. Dengan
menyalurkan tenaga dalam ke tangan kanan, disampoknya rambut itu.
Praat! Akibatnya rambut yang telah
mengejang itu membuyar dan kembali
tergerai. Tak ayal lagi, Arumsari pun
menggerendeng penuh kemarahan. Kembali diserangnya kakek itu dengan bertubi-tubi
tanpa mau memberi kesempatan bernapas kepada lawannya.
Pertempuran dahsyat kembali
terjadi. Suasana pagi di Bukit Argapala menjadi kacau. Hewan-hewan hutan berlari
ketakutan. Burung-burung mencicit ngeri.
Satu demi satu pohon-pohon tumbang tersambar pukulan tenaga dalam dahsyat.
Bila melihat pertempuran yang
sedemikian hebatnya, sesungguhnya bukan merupakan suatu hal luar biasa. Karena,
yang sedang bertempur memang bukan tokoh sembarangan. Keduanya adalah tokoh yang
sudah sangat termasyhur di rimba persilatan.
Banjaranpati dikenal berjuluk
Bayangan Putih Dari Selatan. Sedang Arumsari dikenal berjuluk Dewi Tangan Api.
Perempuan tua ini cepat terkenal karena pukulan jarak jauhnya yang menimbulkan
hawa panas. Walau sudah tua, tapi di wajahnya masih menampakkan garis-garis
kecantikan. Tubuhnya yang langsing terbungkus baju berwarna hijau, masih sedap
dipandang mata. Rambutnya hitam panjang tergerai indah.
Hingga lewat sepuluh jurus,
pertempuran antara dua tokoh sakti itu
terus berlangsung seru. Dewi Tangan Api sangat bernafsu untuk segera menyudahi
perlawanan Bayangan Putih Dari Selatan.
Namun, Banjaranpati adalah tokoh persilatan
kelas wahid. Rasanya, tak
mudah bagi Dewi Tangan Api untuk merobohkannya. Walaupun di punggungnya bergayut
seorang bocah, Bayangan Putih Dari Selatan sanggup meladeni serangan-serangan.
Ketika dua puluh lima jurus telah lewat, tiba-tiba Dewi Tangan Api menghemposkan
tubuhnya ke atas melayang menjauhi arena pertempuran.
"He, Nenek Peot! Kenapa mau lari"!
Baru melakukan pemanasan beberapa jurus saja, napasmu sudah ngos-ngosan. Tak
pantas kau berjuluk Dewi Tangan Api!
Ganti saja dengan Nenek Peot Bertangan Keriput...!" ejek Bayangan Putih Dari
Selatan. Mendengar ejekan itu, Dewi Tangan Api menggeram gusar. Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Maka saat itu juga Arumsari
menyalurkan seluruh tenaga dalam ke kedua belah tangannya. Dengan cepat kedua
belah tangan itu menjadi merah membara. Hawa panas segera menjalar, hingga
terasa menerpa kulit Bayangan Putih Dari Selatan.
Banjaranpati menyeringai gusar
melihat kesungguhan Dewi Tangan Api. Sama
sekali tak diduga kalau nenek itu sedemikian bernafsu untuk menghabisi nyawanya.
"Kakek bengal tak tahu diuntung!
Aku tak punya waktu lagi untuk main-main.
Cepat serahkan bocah laki-laki itu kepadaku...!" ujar Arumsari, membentak Senyum
yang selalu menghiasi bibir Bayangan Putih Dari Selatan mendadak lenyap.
Diliriknya bocah laki-laki yang berada dalam gendongannya. Kepala bocah itu
terkulai lemas, di atas pundaknya.
"Nenek Peot! Bocah ini terlalu berharga untuk kuberikan kepadamu. Lagi pula
untuk apa kau menginginkannya..."!"
tukas Banjaranpati.
"Goblok! Tentu saja hendak
kujadikan murid...!" bentak Dewi Tangan Api.
Banjaranpati tertawa keras.
"Kau tak pantas menjadi gurunya, Nenek Peot!"
"Bedhes Jelek! Masih saja kau mengejekku dengan sebutan itu. Kau pikir dirimu
pun pantas menjadi gurunya"!"
"Daripada kau, kukira diriku lebih pantas. Sudah jelek, kau pun jarang
mandi...!"
Mendengar penghinaan ini, bahu Dewi Tangan Api menjadi naik-turun menahan hawa
kemarahan. Tanpa terasa, dua belah tangannya yang sudah berwarna merah
membara semakin menunjukkan kehebatannya.
Rumput dan dedaunan yang berada di dekatnya perlahan-lahan terkulai layu!
Bayangan Putih Dari Selatan segera waspada. Dia tak mau menganggap remeh.
Segera dilepaskannya bocah laki-laki itu dari gendongannya. Dengan ayunan kecil,
bocah itu dilemparkannya ke tempat aman.
Tubuh bocah berumur sepuluh tahunan itu pun melayang di udara. Dan dengan ringan
dia jatuh tepat di bawah pohon rindang. Tubuhnya yang lemah karena ditotok jalan
darahnya terkulai di tanah seperti selembar kain tak berharga.
Dengan sigap Bayangan Putih Dari Selatan segera mengumpulkan seluruh hawa
murninya, untuk menyalurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Namun, sama
sekali tak tampak perubahan yang terjadi pada kedua belah tangannya. Itulah
kehebatan dari ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan' yang dimiliki Bayangan Putih Dari
Selatan! "He, Kakek Bengal! Bedhes Jelek!
Rupanya kau sudah siap untuk menyambut seranganku...," tegur Arumsari.
Habis berkata demikian, Dewi Tangan Api segera mengambil kuda-kuda untuk memulai
serangan. Tak lama kemudian, kedua belah tangannya ditarik ke belakang sejajar
pinggang. Dan secepat kilat diayunkannya dengan kekuatan penuh ke depan.
Pada saat yang sama, Banjaranpati juga menghentakkan tangannya ke depan.
Wuuussss...! Blaaarrr...!
Dua kekuatan dahsyat bertemu di
udara. Tampak tubuh Dewi Tangan Api terdorong ke belakang, melayang ke atas.
Dengan bersalto beberapa kali di udara, dia berusaha mendaratkan kakinya ke
tanah. Namun karena dihempaskan tenaga dorong yang luar biasa, tubuh Arumsari
jatuh berguling-guling di tanah sejauh lima tombak.
Apa yang dialami Bayangan Putih
Dari Selatan pun tak jauh berbeda.
Tubuhnya juga terlempar ke atas, kemudian bergulingan di tanah. Dan gulingannya
baru berhenti setelah membentur sebuah pohon besar. Tak ayal lagi, daun-daun
dari pohon itu pun berguguran.
Dewi Tangan Api dan Bayangan Putih Dari Selatan sama-sama merasakan kehebatan
tenaga dalam satu sama lain.
Dada mereka menjadi sesak. Perlahan-lahan dari hidung dan mulut mereka mengalir
darah segar. Dengan cepat mereka segera duduk bersila mengambil sikap bersemadi, untuk
mengurangi rasa sakit sebagai akibat dari benturan tenaga dalam yang dahsyat
barusan. Tubuh mereka diam tak bergeming dengan kedua mata terpejam. Mereka
mengatur pernapasan dan seluruh aliran
darah, berusaha mengumpulkan hawa murni yang berguna mengatasi luka dalam
*** Suasana Bukit Argapala yang
menjelang siang pun menjadi sunyi.
Burung-burung kembali beterbangan, hinggap dari satu pohon ke pohon lain dengan
sesuka hati. Namun, pepohonan di sekitar arena pertempuran tak lagi menampakkan
warna hijau daunnya. Daun-daun itu telah menguning. Bahkan sebagian telah
terbakar hangus akibat hawa panas yang ditimbulkan kekuatan tenaga dalam Dewi
Tangan Api yang bentrok dengan tenaga dalam Bayangan Putih Dari Selatan!
Sekitar delapan tombak dari arena pertempuran, keadaan bocah laki-laki yang
diperebutkan tampak menjadi sangat mengenaskan. Pakaiannya yang compang-camping
sudah tak terlihat lagi wujudnya, karena sebagian besar telah terbakar hangus.
Dan yang lebih mengenaskan adalah keadaan rambutnya yang terbakar habis tak
tersisa. Karena hawa panas yang dirasakan, perlahan-lahan mata bocah itu terbuka.
Dia menggigit bibirnya sendiri berusaha mengusir rasa panas yang menjalar di
sekujur tubuhnya. Tapi, rasa panas yang membakar itu tak mau hilang. Maka,
dengan serta-merta matanya dipejamkan.
Setelah segenap kekuatan batinnya terpusat, akhirnya bocah laki-laki itu dapat
mengatasi rasa sakitnya.
Apa yang dilakukan bocah berumur sepuluh tahun itu memang luar biasa, karena di
dalam tubuhnya sudah terdapat hawa murni yang sedemikian kuat. Hal itulah yang
membuat tubuhnya sama sekali tak terbakar hawa panas yang ditimbulkan bentrokan
tenaga dalam Dewi Tangan Api dengan tenaga dalam Bayangan Putih Dari Selatan.
Memang keajaiban yang dimiliki
bocah itulah yang membuat para tokoh sakti di rimba persilatan berusaha
memperebutkannya untuk dijadikan murid.
Kini, bocah laki-laki yang bernama Suropati itu berusaha menggerakkan tubuhnya.
Namun, berulang kali usahanya menemui kegagalan. Hal itu menandakan bahwa yang
menotoknya bukanlah tokoh sembarangan. Dan kalau yang menotok hanya seorang
pesilat biasa, dengan sendirinya tubuhnya akan memberikan perlawanan.
Bayangan Putih Dari Selatan yang mempunyai ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan'
dapat melakukan totokan
sedemikian hebatnya. Sejak menculik Suropati, bocah laki-laki itu terus digendongnya dari
Kota Kadipaten Bumiraksa, menuju Bukit Argapala yang memakan waktu hampir
seharian penuh. Selama ini, Banjaranpati tak sekali pun memperbaharui
totokannya. Tiba-tiba mata Suropati menjadi
nyalang. Entah dari mana, di hadapannya telah melingkar seekor ular sebesar
lengannya. Ekornya bergerak lemah, dan sesekali menjulurkan lidahnya. Untuk
beberapa lama, ular itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan menyerang.
Melihat ular yang tampak jinak,
hati Suropati menjadi tenang. Perlahan-lahan matanya dipejamkan kembali. Seluruh
kekuatannya coba dikerahkan untuk mengusir pengaruh totokan di tubuhnya.
Tapi, tiap kali hawa mumi mengalir melewati punggungnya, dia merasakan seperti
ada tembok yang menghalangi.
Sehingga, hawa murninya berbalik.
Tahulah Suropati kalau pusat dari pengaruh totokannya terletak di
punggungnya. Maka dengan mata terpejam, segenap kekuatan batinnya segera
dikumpulkan. Seperti terkena sihir, tiba-tiba ular yang melingkar di hadapan Suropati
bergerak perlahan, kemudian merayap mendekati. Dan dengan kecepatan laksana
kilat, ular itu mematuk punggung Suropati.
Tukkk...! Suropati menggeliat. Sementara ular itu pun merayap ke semak-semak.
Bocah itu segera bangkit, namun kembali jatuh terduduk karena tenaganya belum
pulih benar. Ketika matanya menatap pemandangan di hadapannya, keningnya
berkerut. Dia heran, mengapa begitu banyak pohon di sekitarnya tumbang.
Tapi ketika melihat dua orang yang tengah duduk bersila dan tampak terluka
dalam, Suropati pun jadi mengerti bila di situ baru saja terjadi sebuah


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran dahsyat
Suropati segera bangkit kembali, berusaha berlari secepatnya setelah tahu kalau
salah seorang yang tengah duduk bersila adalah Bayangan Putih Dari Selatan yang
telah menculiknya.
Bocah gundul yang hampir telanjang itu berlari dengan langkah terseok-seok.
Namun belum genap dua puluh langkah, mendadak tubuhnya terjungkal, dan jatuh
berguling-guling ke bawah bukit
Suropati merasakan kalau
punggungnya terasa sangat panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tanpa disadari,
tubuhnya telah terserang racun hebat.
Ular yang membantu melepaskan pengaruh totokan di tubuhnya, sesungguhnya adalah
seekor ular yang sangat berbisa!
2 Suropati terus bergulingan melewati semak-semak. Dan gulingan tubuhnya baru
berhenti setelah sampai di tempat datar.
Bocah itu menggigit bibirnya kuat-kuat, merasakan sekujur tubuhnya yang kembali
menjadi sangat panas. Dadanya sesak, dan perutnya mual bagai diaduk-aduk.
Suropati sekuat
tenaga berusaha
melawan rasa sakit yang diderita. Tapi, usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya
laksana digodok di tungku pembakaran. Dia menggigil seperti terserang demam yang
hebat Sebelum kegelapan menyelimuti,
Suropati sempat melihat seekor keledai yang sedang merumput tak seberapa jauh
dari tempatnya tergeletak. Dengan sisa-sisa kesadarannya, pikirannya segera
dipusatkan. Perlahan-lahan keledai yang sedang merumput itu berjalan mende-
katinya. Kemudian, binatang itu merunduk di hadapan Suropati. Rupanya, kemampuan
Suropati memusatkan pikiran sangat hebat.
Dirinya mampu memerintah benda hidup lainnya hanya dengan memusatkan perhatian
ke satu titik. Bocah itu segera beringsut,
berusaha segera naik ke punggung keledai yang sudah tak jauh darinya. Dengan
susah payah, usahanya akhirnya berhasil.
"Bawa aku ke Kota Kadipaten Bumiraksa...!" ujar Suropati.
Keledai itu pun meringkik, kemudian segera melangkahkan kakinya menuruni Bukit
Argapala. *** Seharian penuh keledai yang membawa tubuh Suropati berlari tanpa henti.
Matahari sudah hampir terbenam, ketika sampai di pintu gerbang Kota Kadipaten
Bumiraksa. Tubuh Suropati yang lemah terkulai di atas punggung keledai segera menarik
perhatian orang-orang. Kepalanya yang gundul, dan nyaris telanjang benar-benar
menjadikan sebuah pemandangan ganjil.
"Hei, bukankah itu Suropati..."!"
teriak seorang bocah tanggung berpakaian penuh tambalan.
Beberapa bocah tanggung lain yang sedang berkerumun memperhatikan lebih seksama.
Ketika tahu bahwa yang terkulai di atas punggung keledai itu tak lain Suropati,
mereka segera berhamburan mendekati.
Beramai-ramai mereka menggiring
keledai yang menggendong Suropati itu ke tepi jalan. Mereka berebut untuk
menurunkan tubuh bocah yang malang ini.
Tapi, mereka berteriak ngeri ketika
tangan mereka menyentuh tubuh Suropati yang panas bagai habis dipanggang api.
"Masih hidupkah dia...?" tanya salah seorang bocah berusia lima belas tahun.
Tak ada yang dapat memberi jawaban.
Mereka hanya saling berpandangan dan mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Kita bawa ke tabib," usul seseorang yang disambut anggukan kepala dari teman-
temannya. Tak lama kemudian, mereka pun
beramai-ramai menggiring keledai yang menggendong tubuh Suropati masuk ke dalam
kota. Para bocah yang berusaha menolong Suropati adalah para pengemis dan gelandangan
Kota Kadipaten Bumiraksa yang merupakan teman senasib Suropati sendiri.
Usia mereka rata-rata masih belasan tahun. Bahkan ada yang berusia di bawah
sepuluh tahun. Tubuh mereka hitam kotor tak terurus. Pakaiannya pun penuh
tambalan, nyaris tak layak dipakai.
Ketika sampai di tempat yang
dituju, bocah yang berusia lima belas tahun dan bernama Wirogundi segera
mengetuk pintu rumah tabib yang dikenal bernama Pulanggeni. Karena daun pintu
tak segera dibuka, maka beramai-ramai mereka menggedor-gedor.
"Heh"! Mau apa kalian..."!"
Tabib Pulanggeni yang sudah uzur menyambut mereka dengan muka ditekuk.
"Temanku sakit, Kek. Perlu segera ditolong," pinta Wirogundi setengah berteriak.
Tabib Pulanggeni memandang sejenak kepada Wirogundi. Lalu kepalanya berpaling
kepada teman-temannya. Setelah menyaksikan keadaan Suropati yang mengenaskan,
kepalanya malah menggeleng-geleng.
"Bawa saja ke tabib yang lain,"
ujar Tabib Pulanggeni kemudian sambil menutup daun pintu.
"Eit! Tunggu dulu, Kek...! Temanku itu benar-benar membutuhkan pertolongan,"
kata Wirogundi sambil menahan gerakan pintu yang bergerak hendak menutup.
"Sudah kubilang, bawa saja ke tabib yang lain...."
"Kau tidak mau menolong, Kek...?"
Tabib Pulanggeni tidak menjawab.
Matanya menatap tajam ke tubuh Wirogundi dan teman-temannya.
"Dengan apa kalian akan membayar?"
tanya laki-laki tua ini meremehkan.
Wirogundi saling berpandangan
dengan teman-temannya. Kemudian dengan sigap tangannya merogoh kantong baju,
mengeluarkan dua keping uang logam,
"Itu belum
cukup," tukas Tabib
Pulanggeni dengan raut muka dibuat-buat.
Mendengar kalimat tabib tua itu, teman-teman Wirogundi segera merogoh kantong
baju masing-masing.
Kini Tabib Pulanggeni tersenyum
menerima uang dari para pengemis dan gelandangan yang lugu itu,
*** Dengan langkah sedikit gemetar
karena termakan usia, Tabib Pulanggeni segera mendekati Suropati. Diusapnya
kening bocah itu pelan-pelan. Merasakan tingginya suhu badan Suropati, dia
segera tahu kalau bocah itu menderita demam yang hebat akibat keracunan. Segera
dibopongnya tubuh Suropati yang hampir telanjang itu ke bilik pengobatannya.
Setelah meletakkan tubuh bocah
malang itu ke dipan yang terbuat dari kayu jati, tabib tua itu segera memeriksa
seluruh aliran darahnya.
Tabib Pulanggeni mengernyitkan
dahinya ketika merasakan ada suatu kekuatan yang berputar-putar di perut
Suropati. Tepatnya, kekuatan itu mengitari pusar. Dan dia makin terkejut setelah
mengetahui bahwa darah Suropati telah bercampur racun. Segera di periksanya
bagian-bagian di tubuh bocah itu untuk mengetahui dari mana racun itu berasal.
Berkali-kali kepalanya meng-
geleng karena sama sekali tak mengerti, bagaimana Suropati bisa bertahan hidup
dengan darah yang telah bercampur racun.
Dengan hati-hati sekali Tabib
Pulanggeni memperlebar luka
kecil di punggung Suropati. Ingin diketahuinya sebagaimana kuatnya racun itu bercampur
darah di tubuh bocah yang malang ini.
Kembali tabib itu menggelengkan
kepalanya. Sama sekali tak diketahui, keajaiban apa yang dimiliki Suropati
sehingga dapat bertahan dari serangan racun yang berasal dari bisa ular yang
belum diketahui jenisnya
Keringat segera membasahi tubuh
tabib tua itu. Butiran peluh sebesar jagung menetes dari dahinya yang keriput.
Jalan satu-satunya untuk menolong Suropati adalah dengan mengeluarkan racun di
tubuhnya. Dan itu berarti harus mengeluarkan seluruh cairan darahnya.
Namun tidak mungkin dilakukan, karena sama saja dengan mempercepat kematiannya.
Lama Tabib Pulanggeni memeras otak.
Ilmu ketabibannya sama sekali tak mampu memecahkan
persoalan yang sedang
dihadapi. Keringat di tubuhnya semakin membanjir. Wajahnya yang sudah tua
semakin tampak tua, karena berpikir keras.
Di luar, malam sudah tiba. Obor
penerangan rumah sudah mulai dinyalakan.
Sementara teman-teman Suropati masih setia menunggu di halaman rumah Tabib
Pulanggeni untuk menantikan hasilnya.
Brakkk...! Daun pintu dibuka dengan keras.
Sebentar saja, Tabib Pulanggeni muncul dengan wajah kusut.
"Bawa saja teman kalian itu ke tabib lain...," ujar laki-laki tua ini.
"Lho, kenapa, Kek?" tanya Wirogundi gusar
"Aku tidak sanggup," aku Tabib Pulanggeni pelan.
Baru saja kata-kata tabib itu
lenyap, tangan Wirogundi yang terkepal menghantam deras. Dan....
Buuukkk...! "Aughhh...!"
Pukulan Wirogundi yang tiba-tiba, membuat tubuh tua yang tampak pusing itu
terlipat dengan mulut meringis kesakitan.
"Bukankah kami sudah membayar biaya pengobatannya! Kenapa kau tidak
sanggup..."!" bentak Wirogundi.
"Aduh, maaf,... Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus mengobati-nya...,"
ucap Tabib Pulanggeni, terbata-bata
Mendengar ucapan tabib tua yang tampak bodoh itu, seketika teman-teman Wirogundi
maju mendekati. Dan mereka langsung menghujani tubuh Tabib
Pulanggeni dengan pukulan.
Tabib malang itu pun langsung jadi bulan-bulanan. Dia pun meraung-raung minta
ampun. Tubuh tua itu segera lumat dihajar remaja belasan tahun yang berjumlah
tak kurang dari sepuluh orang!
Pada saat keributan terjadi, tanpa diketahui seorang pun tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat memasuki rumah Tabib Pulanggeni. Bayangan itu bergerak
sangat cepat, sulit diikuti pandangan mata.
Setelah mengambil Suropati yang
tergeletak lemah, bayangan itu kembali berkelebat menuju ke luar Kota Kadipaten
Bumiraksa. *** Bayangan yang membawa tubuh
Suropati terus berkelebat. Dan ketika sampai di sebuah kuil tua, dia segera
melepas gendongannya. Diletakkannya tubuh Suropati di lantai. Dengan cekatan
segera dibuat perapian. Dan kuil tua yang sudah tak dipakai itu kini menjadi
terang-benderang.
Dalam kilatan cahaya perapian,
terlihat kalau orang yang membawa tubuh Suropati adalah seorang kakek kurus
dengan rambut dan janggutnya putih panjang tampak terawatt. Pakaiannya penuh
tambalan walaupun tampak bersih. Warna
aslinya sudah hampir tak kentara, karena kelewat banyak tambalan. Sorot matanya
tajam dengan alis menjulang ke atas. Juga telah memutih.
Tanpa mau membuang banyak waktu, kakek itu segera menyandarkan tubuh Suropati di
dinding. Tangan kirinya menyangga agar tubuh bocah yang lemah itu tak terkulai
jatuh. Sedang tangan kanannya sibuk membuat totokan di beberapa aliran darah
Suropati yang telah terserang racun yang hebat.
Dengan sebuah tarikan napas
panjang, kakek kurus itu segera membuat gerakan-gerakan untuk mengalirkan tenaga
dalam ke pergelangan tangan kanannya.
Kemudian dengan sigap, telapak tangan kanannya ditempelkan ke pusar Suropati.
Sepeminum teh kemudian, wajah kakek kurus itu sudah berhias peluh. Perlahan-
lahan suhu badan Suropati menurun.
Bersamaan dengan itu, dari luka di punggung bocah laki-laki itu keluar cairan
kebiru-biruan. Menjelang kayu di perapian habis, kakek kurus itu melepaskan telapak tangan
kanannya dari pusar Suropati. Kemudian dibaringkannya tubuh bocah itu ke lantai
kembali. Setelah mengusap peluh di wajahnya, kakek itu memperbesar perapiannya yang
hampir padam. "Air...."
Tiba-tiba terdengar suara Suropati yang tengah menggeliat
"Aku haus...," kata bocah itu dengan memelas.
Kakek kurus itu segera memberikan apa yang diminta Suropati. Kemudian disuapinya
bocah itu dengan sepotong roti yang menjadi bekalnya.
Suropati menatap tajam kakek kurus yang duduk bersila di hadapannya.
"Kau sangat baik, Kek...," puji bocah ini, Kakek kurus itu tersenyum.
Sedangkan Suropati memandangnya dengan tatapan mata tak mengerti. Kemudian
kepalanya yang tak gatal digaruk. Tiba-tiba Suropati menjadi terkejut setengah
mati, setelah mengetahui bila rambutnya sudah tiada lagi barang sehelai.
Bocah laki-laki itu mengernyitkan keningnya. Bola matanya bergerak ke kiri dan
ke kanan, tampak jenaka. Wajahnya yang polos menjadi merah, ketika melihat
keadaan dirinya yang nyaris telanjang.
Dengan cepat kemaluannya yang menyembul ditutupi.
Kakek kurus yang tengah duduk
bersila itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan ulah Suropati. Tawanya tiada
henti, membuat bahunya naik turun dan janggutnya yang panjang bergerak-gerak.
Tiba-tiba Suropati ikut tertawa
keras. Mendengar tawa Suropati, kakek kurus itu menghentikan tawanya, terdiam.
"Eh, apa yang kau tertawakan?"
tanya kakek ini.
Suropati belum mau menghentikan
tawanya. Kakek kurus itu pun menjadi sangat gusar.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya kakek ini lagi.
"Kau ini lucu, Kek... Janggutmu itu...."
Suropati tak meneruskan bicaranya.
Malah, tawanya terdengar makin keras.
"Ada apa dengan janggutku?" desak kakek kurus itu dengan raut muka kebodoh-
bodohan. "Jangggutmu itu lucu. Seperti..., seperti...."
"Seperti apa?"
"Seperti ekor sapi!"
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar ucapan polos Suropati
kakek kurus itu pun tertawa kembali.
Mendadak Suropati beringsut
menjauh. "Kau menculikku, Kek"!" tanya bocah ini setengah takut.
Kakek kurus itu menggelengkan
kepalanya. "Justru aku telah menolongmu,"
kilah kakek itu dengan suara lembut.
"Menolongku?"
Suropati menggaruk kepalanya
kembali. Kemudian dia mengingat-ingat kejadian yang telah menimpa. Tak lama
kemudian, tubuhnya pun beringsut mendekati kakek yang tengah duduk bersila
dengan tenang. "Aku berhutang budi padamu, Kek...," ucap Suropati, tulus.
Kakek kurus itu tersenyum. Lalu, dielusnya kepala Suropati yang gundul.
Mata bocah laki-laki berumur sepuluh tahun itu tampak merem-melek, merasakan
kenikmatan. Tapi, tiba-tiba kepalanya didongakkan.
"Aku mau belajar ilmu silat, Kek...," cetus bocah ini dengan kesungguhan hati.
"Belajar ilmu silat" Pada siapa?"
"Padamu."
"Ha ha ha..."
Kakek kurus yang duduk bersila di hadapan Suropati tertawa lebar.
"Dengan belajar ilmu silat, kau akan banyak musuh...," elak orang tua ini sambil
menatap wajah Suropati dalam-dalam. "Kau tidak takut?"


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alis Suropati bertaut.
"Siapa bilang belajar ilmu silat membuat banyak musuh?" tukas bocah laki-laki
itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sudah tak berambut. "Justru dengan
belajar ilmu silat, banyak yang dapat kuperbuat. Aku ingin menolong kaum lemah
yang selalu tertindas, Kek. Aku benci melihat kebengisan para penjahat yang
selalu membuat keresahan. Atau paling tidak, dengan belajar ilmu silat, aku bisa
melindungi diriku sendiri dari ancaman bahaya...."
Plok... plok... plok...!
Kakek kurus penolong Suropati itu bertepuk tangan mendengar kalimat bocah laki-
laki berumur sepuluh tahun itu.
"Wah! Bicaramu seperti seorang pendeta. Pendeta pikun! He he he...,"
ledek kakek ini.
Kening Suropati berkerut.
"Kau mau kan, Kek, mengangkat ku sebagai murid?"
"Kalau aku tidak mau?"
"Akan kupaksa!"
"He he he...," kakek kurus itu tertawa geli. "Dengan cara apa kau akan
memaksaku?"
Tiba-tiba mata Suropati bersinar tajam. "Kau harus mau, Kek...!" bentak bocah
ini, berani. Kakek kurus itu terkejut. Saat itu juga terasa suatu dorongan kekuatan yang
mempengaruhi jalan pikirannya.
"Hm.... Bocah ini mempunyai bakat ilmu sihir juga...," gumam kakek ini dalam
hati seraya menggelengkan
kepalanya, berusaha mengusir kekuatan batin yang sedang menyerangnya.
Mendadak wajah kakek kurus itu
menjadi tegang.
"Hei, Bocah! Hati-hati! Di
belakangmu ada ular!"
Wajah Suropati kontan berpaling ke belakang. Dia bergidik ngeri karena tiba-tiba
di belakangnya telah melingkar seekor ular sebesar paha manusia dewasa, siap
menelannya! "Tolong aku, Kek...!" teriak Suropati sekuat tenaga seraya melompat ke depan.
Kakek kurus itu pun tertawa gelak.
"Mana ada ular, Bocah Geblek..."!"
sergah kakek Suropati menjadi heran. Dan dia
kontan diam terlongong-longong macam monyet kena sumpit. Ular yang baru saja
dilihatnya tiba-tiba lenyap tanpa bekas!
"Kau mempermainkan aku, Kek...,"
cibir Suropati dengan bibir cemberut.
"Sungguhkah kau ingin menjadi muridku, Bocah Geblek?" tanya kakek itu.
"Ya," jawab Suropati, penuh keyakinan.
Kakek kurus itu kembali tertawa
terbahak-bahak. Dan Suropati yang melihat janggut kakek yang sedang tertawa itu
bergerak-gerak seperti ekor sapi, jadi ikut tertawa.
Maka, kuil tua yang terletak di
pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa itu
segera berhias suara tawa sahut-menyahut.
Sesungguhnya Suropati sangat berun-tung bertemu kakek kurus yang tampak lemah
dan sangat miskin itu. Karena, kakek itu tak lain adalah penasihat kerajaan yang
telah mengundurkan diri dan berpetualang dengan menyamar sebagai seorang
pengemis. Namanya, Pragolawulung yang bergelar si Periang Bertangan Lembut.
Karena kakek itu memang jarang sekali menampakkan wajah muram atau sedih. Dia
selalu tampak riang gembira.
Sifatnya pun sangat lembut, penuh welas asih. Baik kepada lawan maupun kawan.
Sebenarnya kakek kurus yang bernama Pragolawulung itu sudah lama tinggal di Kota
Kadipaten Bumiraksa. Dia selalu memperhatikan gerak-gerik Suropati, bocah laki-
laki berumur sepuluh tahunan itu disukai karena kepolosan dan sifatnya yang rada
konyol. Dan tentu saja, bakat luar biasa yang dimilikinya, Suropati selain
memiliki bakat sebagai pesilat tangguh, juga berbakat menjadi seorang penyihir
karena memiliki kekuatan batin yang luar biasa di usia semuda itu Sejak
pertemuan di kuil tua itulah.
Suropati belajar ilmu oleh kanuragan pada si Periang Bertangan Lembut. Dengan
tekun bocah ini menimba ilmu tanpa mengenal waktu. Pragolawulung pun mencurahkan
segala kemampuannya untuk diwariskan
kepada muridnya yang memiliki bakat luar biasa!
3 Sore hari di Sungai Balirang. Sinar mentari mengusap permukaan air yang tenang.
Warna keemasannya memantul, menerpa pinggiran perahu para penambang.
Sebuah rakit tampak bergerak pelan, melewati semak-semak yang tumbuh di pinggir
sungai. Seorang lelaki setengah baya bercaping lebar berdiri dengan angkuh di
atasnya. Warna bajunya ungu.
Selembar kain merah tampak bergayut di pundak, terbuat dari bahan mahal. Kain
itu berkibar-kibar ditiup angin.
Para penambang yang rata-rata
berpenampilan sangat sederhana memandang dengan sinar mata takjub. Merasa
dirinya menjadi pusat perhatian, lelaki bercaping lebar itu mempercepat laju
rakitnya. Ketika matanya menangkap gerak seorang gadis berpakaian kuning yang hendak
memasuki keramaian pasar di tepi sungai, tongkat panjangnya segera diayunkan ke
dalam air. Seketika rakit yang menopang tubuhnya segera meluncur dengan
kecepatan tinggi. Jelas, dari tindakannya dia tengah mengerahkan tenaga
dalamnya. Setelah rakit itu mencapai jarak kurang dari satu tombak dengan tepi
sungai, lelaki bercaping lebar itu melompat ke udara. Beberapa kali tubuhnya
berputaran, lalu mendarat tepat di depan gadis yang menjadi perhatiannya.
"Antarkan aku menghadap
Reksapati...!" pinta lelaki bercaping ini.
Gadis yang diajak bicara itu
terkejut melihat lelaki bercaping lebar ini tiba-tiba telah berdiri di hadapan
nya. Demikian pula ketika menyebutkan nama Reksapati, sehingga membuat dahinya
berkerut. "Kenapa diam saja" Apakah kau tidak mendengar perkataanku, Anak Manis...?"
kata lelaki bercaping lebar itu, tersenyum menggoda.
"Siapa kau...?" tanya gadis ini, sinis. Dia begitu jengah melihat tatapan mata
lelaki di depannya.
Yang ditanya membuat senyum lebar.
"Aku Brajadenta, si Dewa Maut. Menilik dari baju yang kau kenakan, bukankah kau
murid Perguruan Harimau Terbang" Dan gurumu pasti si Reksapati..."
Gadis yang berpakaian kuning yang di dadanya terdapat gambar harimau bersayap
itu menjadi gusar mendengar nama gurunya disebut dua kali tanpa sedikit rasa
hormat. "Apa maumu, Brajadenta?" desis gadis ini memasang wajah ketus. Matanya
menatap lelaki setengah baya bernama Brajadenta dengan tajam.
Si Dewa Maut tidak segera menjawab.
Matanya bermain nakal, menyaksikan wajah cantik gadis yang berada di hadapannya.
Brajadenta yang sudah berumur lebih dari empat puluh tahun itu berulang kali
menelan ludah, melihat kesempurnaan wajah gadis di depannya.
"Aku tak punya waktu banyak. Segera katakan saja, apa maumu...!" ujar Anjarweni,
agak keras. "Aku utusan Baginda Prabu. Ada urusan yang harus diselesaikan dengan gurumu.
Tapi..." Brajadenta tak melanjutkan
bicaranya. Senyum di bibirnya semakin mengembang.
"Aku benar-benar tak punya waktu lagi...!" Usai mengucapkan kalimatnya, gadis
itu beranjak dari tempatnya berdiri.
"Eit! Tunggu dulu, Anak Manis...,"
cegah Brajadenta seraya menghalangi langkah Anjarweni. "Aku juga ada urusan
denganmu."
Gadis itu kembali mengerutkan
keningnya. "Bajumu bagus, Anak Manis," kata Brajadenta kemudian, "Gambar kepala harimau
bersayap di dada kirimu itu sangat indah. Bolehkah aku pinjam
sebentar...?"
"Jangan main-main. Aku, Anjarweni, paling tak sudi direndahkan!" sentak gadis
bernama Anjarweni. Brajadenta tertawa lebar.
"Kalau kau marah, hanya akan menambah kecantikanmu saja. He he he...."
Brajadenta mentowel dagu Anjarweni.
Gadis itu terkejut namun berusaha mengelak. Tubuhnya cepat dimiringkan ke
samping, sehingga maksud hati Brajadenta menjadi tak kesampaian.
Sebentar saja mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian orang-orang yang lalu-
lalang di tempat itu. Apalagi pakaian dan tingkah laku Brajadenta yang kurang
ajar, membuat orang-orang tak segan untuk menatapnya berlama-lama.
Merasa dirinya menjadi perhatian orang, Anjarweni segera menjejakkan kakinya ke
tanah. Saat itu juga, gadis ini melompat meninggalkan Brajadenta.
"Kau mau ke mana, Anak Manis..."!"
Dengan gerakan ringan, Brajadenta menyusul Dan Anjarweni jadi menghentikan
langkahnya kembali, karena terhalang tubuh Brajadenta yang tinggi besar.
"Aku tidak mau main-main,
Brajadenta!" dengus Anjarweni sambil mengayunkan tangannya ke wajah
Brajadenta. "Eiiittt...!"
Brajadenta mengelak.
Gadis itu menjadi gusar, menyak-
sikan serangannya luput. Dengan serta-merta tubuhnya berputar seraya melepas
tendangan di udara mengarah ke dada Brajadenta.
Lelaki berjuluk si Dewa Maut itu cuma tersenyum melihat serangan. Tangan kirinya
cepat bergerak menangkis.
Plak! Akibatnya Anjarweni. kontan terpelanting diiringi tawa Brajadenta yang terbahak-
bahak. Sebelum Anjarweni sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba lelaki itu
telah menggerakkan tubuhnya ke depan.
Dan dengan tangan kiri dijambretnya pundak Anjarweni.
Brettt...! Tak ayal lagi kain baju Anjarweni pada bagian pundak sobek selebar dua jengkal.
Brajadenta kembali tertawa. Matanya melotot, menyaksikan kulit mulus Anjarweni.
Gadis yang merasa dipermainkan itu menjadi sangat marah. Mukanya merah padam,
menahan rasa malu. Maka dengan mengaum laksana seekor harimau, di serangnya
Brajadenta tanpa sungkan-sungkan lagi.
Si Dewa Maut dengan tertawa-tawa
melayani serangan Anjarweni. Ketika gadis itu membuat gerakan mencakar bagian
wajah, Brajadenta menepis sambil melepaskan sodokan ke perut.
Plak! Desss....! Untuk kedua kalinya Anjarweni
terpelanting. Dan, kali ini kesempatan itu tak disia-siakan Brajadenta. Dengan
gerakan sulit diikuti pandangan mata, tubuhnya berkelebat sambil menotok
punggung gadis murid Perguruan Harimau Terbang itu.
Tuk! Tuk! "Aaah...!"
Tubuh Anjarweni menjadi lemas
seketika. Namun, sebelum terjerembab ke tanah, Brajadenta menyambar tubuh gadis
cantik itu dan berkelebat lenyap.
Orang-orang yang menyaksikan per-kelahian barusan menjadi kasak-kusuk.
Belum pernah mereka menyaksikan murid Perguruan Harimau Terbang dapat begitu
mudah dilumpuhkan. Maka sore itu, orang-orang begitu ramai membicarakan
kehadiran Brajadenta, si Dewa Maut yang telah melumpuhkan dan membawa lari
Anjarweni. *** Brajadenta membopong tubuh
Anjarweni menuju Lembah Sungai Balirang
yang sunyi. Berulang kali dia menelan air liurnya sendiri karena merasakan
tangan dan pundaknya yang menyentuh kulit mulus Anjarweni.
Sementara, gadis itu sama sekali tak berdaya. Dia menggelantung lemas di pundak
Brajadenta. Hanya matanya yang memancarkan sinar kemarahan.
Si Dewa Maut tertawa puas, seperti seorang anak yang baru saja memperoleh mainan
yang telah lama diidam-idamkannya.
Larinya pun dipercepat, berpacu dengan hasrat hatinya yang menggelora!
Matahari sudah hampir terbenam,
ketika Brajadenta menemukan tempat lapang berumput tebal. Saat itu juga, tubuh
Anjarweni segera dihempaskan ke tanah.
"He he he..... Kau akan segera dapat merasakan surga dunia, Anak Manis...,"
leceh Brajadenta sambil membuang capingnya.
Anjarweni bergidik ngeri melihat sinar mata Brajadenta yang seperti hendak
menelannya bulat-bulat. Bagaikan seekor serigala siap menerkam mangsanya.
"Bunuh saja aku....!" teriak Anjarweni ketakutan. Brajadenta tertawa terbahak-
bahak. "Tidak semudah itu, Anak Manis...." Perlahan-lahan si Dewa Maut mendekati
tubuh Anjarweni yang meringkuk tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Jangan sentuh diriku, Lelaki
Jahanam! Bunuh saja aku....!" teriak Anjarweni semakin ketakutan.
Tawa Brajadenta semakin keras.
"Kenapa takut, Anak Manis"! Dan, kenapa pula minta dibunuh" Bukankah aku mau
mengajakmu mencicipi nikmatnya surga dunia..."!"
Sambil berkata itu, Brajadenta
kembali menjambret baju Anjarweni. Gadis itu pun berteriak ngeri, ketika
menyaksikan tubuh bagian atasnya yang hampir telanjang.
Menyaksikan kulit kuning Anjarweni yang tanpa cacat, mata Brajadenta semakin
melotot. Jakunnya bergerak turun-naik.
Nafsu birahi si Dewa Maut sudah tak dapat dikendalikan lagi. Hasrat hatinya
begitu menggelora, sehingga tak sabaran diterkamnya tubuh Anjarweni.
Dengan kasar Brajadenta melumat
bibir gadis yang tak berdosa itu. Tubuh Anjarweni dipeluknya kuat-kuat. Tangan
kirinya berusaha melepas sisa pakaian yang dikenakan gadis yang hendak dijadikan
korban nafsu birahinya.
Pada saat yang gawat itulah, tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan serba
hitam yang tersamar suasana hampir gelap. Menyaksikan kebiadaban Brajadenta,
salah satu bayangan segera menerjang!
Si Dewa Maut terkesiap. Sebagai
seorang pesilat tangguh, indera keenamnya
segera tahu akan adanya serangan. Dengan gusar pelukannya dilepaskan. Dan
secepat kilat dia melompat ke samping. Maka serangan itu pun tak mengenai
sasaran. "Siapa kau"! Jangan mencampuri urusanku...!" bentak Brajadenta penuh kemarahan.
Tak ada jawaban. Empat bayangan
yang ternyata empat laki-laki berbaju hitam segera mengepung si Dewa Maut.
Ketika melihat gambar kepala
harimau di dada kiri dari orang-orang yang mengepungnya, Brajadenta mendengus
keras "Punya nyali juga kalian
rupanya...! Tidak tahukah kalian, sedang berhadapan dengan siapa..."!"
"Kami tidak perlu tahu siapa dirimu...!"sahut salah satu orang berbaju hitam.
"Melihat perbuatanmu yang melebihi binatang, kau layak untuk dienyahkan dari
muka bumi ini...!"
Brajadenta kembali mendengus,
"Kenapa hanya kalian yang datang ke sini"! Apakah murid Perguruan Harimau
Terbang lainnya masih enak-enakan tidur siang"! Dan, kenapa tak kalian ajak si
Reksapati, guru kalian itu"! Apakah dia sedang sibuk menggali lubang kuburnya
sendiri"! Atau, barangkali sedang menyembunyikan diri karena takut seperti
anjing buduk yang hendak dihajar
tuannya"!" kata Brajadenta, pedas.
Mendengar ucapan Brajadenta yang terasa panas di telinga, keempat murid
Perguruan Harimau Terbang menggerendeng penuh kemarahan.
"Hiaaattt...!"
Secara serempak keempat lelaki ini menerjang Ki Dewa Maut! Saat itu juga,
terjadilah pertempuran sengit. Anjarweni yang masih belum bisa menggerakkan
tubuhnya hanya memandang dengan sinar mata penuh harap bagi kemenangan saudara-
saudara seperguruannya.
Keempat murid Perguruan Harimau


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbang itu dapat mengikuti jejak Brajadenta, karena mendengar pembicaraan
orang-orang di sekitar Sungai Balirang.
Dan disebabkan rasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Anjarweni, mereka
segera mengejar si Dewa Maut yang telah menculik saudara seperguruannya.
Tapi, yang mereka hadapi bukanlah lawan enteng. Si Dewa Maut walaupun belum
begitu ternama di rimba persilatan, tetapi memiliki ilmu kepandaian sangat
tinggi. Apalagi, dia merupakan salah seorang pengawal istana kerajaan.
"Buuukkk...! Aughhh...!"
Tiba-tiba salah seorang murid
Perguruan Harimau Terbang terjungkal terkena hantaman si Dewa Maut. Dari
mulutnya langsung menyembur darah segar.
Dan, tak lama kemudian tubuhnya meregang melepas nyawa!
Menyaksikan kematian temannya,
murid-murid Perguruan Harimau Terbang lainnya mengaum keras laksana seekor
harimau. Mereka berhamburan menyerang Brajadenta dari berbagai penjuru.
Namun, si Dewa Maut bukanlah lawan yang seimbang bagi mereka. Ketika Brajadenta
berkelebat begitu cepat sambil melepaskan pukulan dan tendangan....
Desss.... Dess.... Dess....
"Aaah! Aaa.... Aaah...!"
Tiga jeritan panjang terdengar.
Tiga orang murid Perguruan Harimau Terbang kontan terjungkal tak bangun-bangun
lagi dengan dada amblong!
Si Dewa Maut menyeringai dingin
sambil menatap mayat lawan-lawannya.
Tangannya mengibaskan bajunya yang berdebu. Bau anyir darah segera menusuk
hidung. Tiba-tiba Brajadenta teringat
dengan tawanannya. Kepalanya kontan menoleh ke arah Anjarweni. Tampangnya jadi
beringas ketika mendapatkan tubuh Anjarweni masih tergolek lemas di atas
rerumputan. "Aku sudah tak tahan lagi, Anak Manis.... Kita segera menikmati surga dunia...."
Tubuh Brajadenta kemudian melayang.
Sebentar saja, dia sudah tiba di depan Anjarweni. Langsung diterkamnya tubuh
mulus Anjarweni.
Gadis itu hanya pasrah dengan mata basah. Dia hanya bisa memejamkan mata sambil
menggigit bibir kuat-kuat. Tak ada kemampuan lagi untuk mempertahankan
kehormatannya. 4 Sore ini, Perguruan Harimau Terbang diliputi suasana berkabung. Para murid
tingkat rendah yang biasa berlatih di halaman belakang hanya duduk-duduk tanpa
tahu harus berbuat apa. Tak seorang pun yang berani mengeluarkan suara keras.
Mereka hanya saling bisik, membicarakan malapetaka yang baru saja menimpa
saudara-saudara seperguruan mereka.
Si Reksapati atau Pendekar Harimau Terbang yang merupakan ketua sekaligus
pendiri Perguruan Harimau Terbang, tampak berjalan memasuki pelataran perguruan.
Wajahnya kusut, seperti menyimpan kemarahan menggelegak. Di belakang pendekar
berusia hampir lima puluh tahun itu, tujuh puluh orang murid utamanya berjalan
mengikuti dengan kepala tertunduk, membersitkan rasa duka.
Hampir seharian penuh mereka
menyisir Lembah Sungai Balirang untuk mencari si pembuat petaka yang telah
berani mengusik ketenteraman Perguruan Harimau Terbang.
"Kalian semua berjaga-jagalah di depan...," ujar Reksapati kepada ketujuh puluh
orang muridnya.
Kemudian, lelaki setengah baya itu berjalan memasuki ruang utama perguruan.
Lalu dia langsung berbelok memasuki ruang pribadinya.
Baru saja Reksapati menutup pintu, seorang bocah perempuan berumur dua belas
tahun mengetuk daun pintu.
"Siapa...?" tanya Reksapati dari dalam kamarnya.
"Ingkanputri, Ayah...," kata bocah perempuan sambil membuka daun pintu.
Reksapati memandang kehadiran bocah kecil bernama Ingkanputri dengan sorot mata
sayu. Rasa kecewa bercampur amarah karena tak berhasil mencari orang yang telah
menanamkan api permusuhan bagi perguruan silatnya, terbayang jelas di wajah
lelaki yang bertubuh agak kurus itu.
"Kenapa Ayah diam saja" Bukankah ini sudah waktunya Ayah mengajari Putri
berlatih ilmu silat?" tanya gadis kecil ini.
"Berlatih dengan Ibu saja, Putri.
Ayah sedang sibuk." tolak Reksapati, ayah
Ingkanputri ini.
"Sibuk" Ayah hanya duduk diam di situ, kenapa bilang sibuk?" kata Ingkanputri,
polos. Bersamaan dengan itu pintu kamar ini terbuka. Dari baliknya muncul seorang
wanita cantik berusia tiga puluh tahun.
Kulit tubuhnya kuning bersih. Rambutnya disanggul ke atas dengan tusuk konde
terbuat dari gading. Bajunya berwarna biru, membungkus tubuhnya yang tampak
sintal. "Putri.... Kau berlatih silat dengan Kakang Singalodra saja," ujar wanita ini
kepada bocah perempuan yang sedang bergayut di lengan Reksapati.
"Tidak, Ibu! Putri ingin berlatih dengan Ayah!" tolak Ingkanputri, nakal.
"Putri, jangan bandel!" kata wanita cantik itu seraya memandang Ingkanputri
dengan sorot mata memerintah.
Bocah perempuan berumur dua belas tahun itu segera meninggalkan tempat sambil
mengeluarkan gerutuan kecil.
Sementara Reksapati kembali
mengeluarkan desah panjang. Lalu tubuhnya berbalik, membelakangi wanita cantik
yang baru saja muncul.
Wanita itu tak lain dari istri
Reksapati. Bila diperhatikan dengan seksama, umur Reksapati dan istrinya terpaut
agak jauh. Reksapati memang
terlambat berumah tangga. Sebagai seorang pesilat, dia lebih senang mengembara
tanpa mempunyai suatu ikatan. Tapi setelah
mendirikan Perguruan
Harimau Terbang barulah mulai dipikirkan pentingnya berumah tangga demi mengembangkan
keturunan sebagai penerus sejarah leluhur.
"Sudahlah, Kangmas.... Jangan terlalu dijadikan beban pikiran. Hanya akan
membuat buruk kesehatanmu...," ingat istri Reksapati itu.
Pendekar Harimau Terbang hanya
mendesah pelan. Dia tak bergeming dari tempat duduknya.
"Semua sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, Kangmas," kata wanita itu lagi.
"Inilah yang namanya takdir."
Reksapati memalingkan muka, menatap wajah istrinya dengan lekat.
"Mustikaweni.... Aku tak pernah bisa mengerti, kenapa orang itu bisa berbuat
begitu biadab terhadap anak murid kita. Sepertinya dia memang sengaja memancing
perkara," gumam Reksapati dengan suara berat
"Itulah yang disebut tokoh sesat.
Dia bisa berbuat seenaknya sendiri tanpa memikirkan akibat dari
perbuatannya...,"
hibur perempuan bernama Mustikaweni.
Reksapati menatap tajam mendengar perkataan istrinya.
"Kau jangan mengguruiku...!" ujar lelaki ini kemudian.
Mustikaweni menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Kangmas. Bukan maksudku untuk menggurui. Tapi, kalau melihat
Kangmas begitu terpengaruh memikirkan kejadian itu, aku jadi ikut sedih," ucap
perempuan cantik ini.
Mendengar ucapan Mustikaweni yang tulus, Reksapati beranjak dari tempat
duduknya. "Inilah cobaan bagi Perguruan Harimau Terbang," katanya pelan sambil meraih
tangan istrinya.
Pada saat itu pintu ruangan ini
kembali terbuka. Dari baliknya muncul seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh.
"Guru! Ada seseorang yang ingin bertemu Guru," lapor pemuda itu sedikit
gelagapan. "Siapa?" tanya Reksapati.
"Dia mengenalkan diri Brajadenta yang berjuluk si Dewa Maut"
Kening Reksapati berkerut. Dia
merasa belum pernah mendengar nama itu.
"Suruh Singalodra menemuinya!"
perintah Reksapati kepada pemuda yang baru muncul itu.
"Sudah. Tetapi, dia tetap nekat, Guru...."
Braaakkk...! Tiba-tiba terdengar bunyi benturan
benda keras. Reksapati segera melompat dan berkelebat ke luar.
*** Sampai di halaman depan, Pendekar Harimau Terbang menatap tajam seorang laki-
laki berbaju ungu sedang berjalan melewati pintu gerbang yang telah jebol.
Para murid yang sedang berjaga mencoba menghalangi. Namun dengan mengibaskan
ujung lengan bajunya, orang yang baru datang itu membuat para murid Perguruan
Harimau Terbang terjungkal.
Orang berbaju ungu yang tak lain si Dewa Maut itu segera melompat ke hadapan
Reksapati. "Reksapati, aku hendak bicara denganmu. Suruh murid-muridmu
menyingkir!"
Kening Pendekar Harimau Terbang
kembali berkerut. Melihat penampilan Brajadenta yang menampakkan kesungguhan,
dia segera memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk menjauh.
"Siapa kau" Dan, apa yang hendak kau bicara kan?" tanya Reksapati.
"Aku Brajadenta, alias si Dewa Maut Akulah yang membunuh keempat muridmu,
sebagai peringatan agar kau tahu kalau aku tidak main-main...!" kata Brajadenta,
pongah. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu berusaha mengatasi gejolak perasaannya
begitu mengetahui kalau yang telah membunuh empat muridnya di Lembah Sungai
Balirang, tak lain adalah orang yang tengah berdiri di hadapannya.
"Aku tak mengerti maksud
tindakanmu...," sahut Reksapati, kalem.
"Reksapati! Aku tidak perlu berbasa-basi lagi. Serahkan Batu Kumala Hitam
padaku...!" bentak si Dewa Maut.
Pendekar Harimau Terbang terkejut mendengar perkataan Brajadenta.
"Kau kira siapa dirimu,
Brajadenta"! Berani benar kau meminta lambang Perguruan Harimau Terbang..."!"
dengus Reksapati, gusar.
Ketua Perguruan Harimau Terbang ini makin marah saja, karena yang diminta adalah
lambang perguruan. Apalagi yang meminta adalah si pembunuh dari empat orang
muridnya. Namun sebagai tokoh berhati lurus, Reksapati tak mau bertindak
gegabah. Amarahnya berusaha ditekan semampunya.
Si Dewa Maut tersenyum dingin.
"Aku utusan Baginda Prabu. Bila kau bersedia menuruti permintaanku, mungkin aku
bisa bersikap bijaksana dengan mengampuni nyawamu...," sahut Brajadenta, dingin.
"Kau utusan Baginda Prabu"! Apa
buktinya?" cecar Reksapati.
Dengan senyum sinis yang mengembang di bibir, Brajadenta mengeluarkan sesuatu
dari balik bajunya.
Reksapati terkejut melihat benda yang dipegang Brajadenta. Benda itu berupa
lempengan emas sebesar telapak tangan orang dewasa, dengan ukiran burung
rajawali. Itulah tanda pelimpahan wewenang dari Baginda Prabu kepada orang yang
dianggap dapat dipercaya dan dapat menjalankan tugas.
"Brajadenta! Apa hubunganmu dengan Batu Kumala Hitam?" tanya Reksapati kemudian.
"Baginda Prabu menginginkannya...."
Reksapati menggelengkan kepalanya, tidak mempercayai ucapan Brajadenta.
"Harta benda di kerajaan berlimpah.
Kenapa Baginda Prabu menginginkan lambang Perguruan Harimau Terbang yang tak
berharga bagi orang lain?" tukas Reksapati,
"Baginda Prabu menghendaki
Perguruan Harimau Terbang dibubarkan...!"
desis si Dewa Maut.
"Heh"!"
Reksapati terkejut setengah mati mendengar ucapan Brajadenta.
"Ucapanmu semakin ngawur saja, Brajadenta...!"
Si Dewa Maut kembali memamerkan
tawanya. "Kau boleh tak mempercayai
ucapanku, Reksapati. Tapi, sesungguhnya itulah yang diinginkan Baginda Prabu."
"Menilik perbuatanmu yang kejam terhadap murid-muridku di Lembah Sungai
Balirang, aku memang tak menaruh sedikit pun kepercayaan padamu...!" sentak
Reksapati, sengit.
Brajadenta mengeluarkan dengusan keras. "Aku tak punya banyak waktu. Cepat
serahkan Batu Kumala Hitam. Dan segera kau bubarkan Perguruan Harimau
Terbang...!" kata Brajadenta, tak kalah sengit.
Tiba-tiba seorang pemuda berbadan tegap melompat ke hadapan Brajadenta.
"Mulutmu terlalu berani, Orang Asing! Kau pantas diberi pelajaran!"
bentak pemuda itu, lantang.
"Singalodra! Kau tak perlu campur tangan!" teriak Reksapati.
Pemuda yang dipanggil Singalodra segera berbalik. Dia menjura, memberi hormat
kepada gurunya.
"Izinkan aku yang bodoh ini untuk memberi sedikit pelajaran kepada orang asing
yang tidak tahu sopan santun itu, Guru...," ucap Singalodra.
Pendekar Harimau Terbang diam
sejenak. Dia merasakan kebenaran dari ucapan muridnya. Dan, kemampuan
Singalodra pun tak diragukan karena memang salah satu muridnya yang paling
utama. Dengan anggukan pelan, Reksapati
memberikan isyarat kepada muridnya. Maka Singalodra pun segera berbalik kembali,
berhadapan dengan si Dewa Maut
Brajadenta tersenyum penuh ejekan.
"Kenapa bukan gurumu saja yang memberi pelajaran" Tanganku sudah gatal untuk
segera bermain-main dengannya...."
"Tak perlu banyak bacot! Lihat serangan!" bentak Singalodra, seraya meluruk ke
depan. Brajadenta yang memandang enteng, sama sekali tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Ketika tubuh Singalodra yang melayang hampir menyentuh tubuhnya, ujung
lengan bajunya cepat dikibaskan.
Wuuusss...! Breeesss...!
Singalodra terkesiap merasakan
tubuhnya berhenti di udara, lalu terbanting ke tanah.
Murid utama Perguruan Harimau
Terbang itu segera bangkit, dan kembali menyerang. Kedua tangan dibentangkannya
lebar-lebar. Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, dia hendak
mencengkeram dada Brajadenta.
Si Dewa Maut cuma tersenyum. Dan tiba-tiba telunjuk jarinya ditudingkan ke arah
Singalodra. Cuuusss...! "Aughhh...!"
Di luar dugaan, gerakan Singalodra terhenti. Dengan serta-merta dia mendekap
kepalanya. Brukkk...! Tubuh Singalodra kontan menggelosor ke tanah, langsung kelojotan. Dan, tak lama
kemudian, tubuhnya sudah mengejang tanpa nyawa. Tampak dahinya berlubang
menyemburkan darah segar.
Menyaksikan kejadian itu, semua
murid Perguruan Harimau Terbang menjadi terkejut bukan kepalang. Tak terkecuali,
Reksapati sendiri.
"Muridmu itu tak berguna sama sekali, Reksapati! Dia layak mati karena
kebodohannya...!" ujar Brajadenta, congkak.
Sebelum, Reksapati memberikan tanggapan, tiba-tiba para murid Perguruan Harimau
Terbang menerjang bersamaan ke arah si Dewa Maut.
"Heaaa...!"
Dengan mendengus panjang,
Brajadenta memutar tubuhnya laksana sebuah gangsingan.
Wuuussss...! "Aaa...!"


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hempasan angin dahsyat menerjang, disusul jerit kematian yang saling sahut
segera terdengar. Tampak belasan tubuh
murid Perguruan Harimau Terbang melayang di udara, lalu jatuh berdebum ke tanah.
Mereka mati dengan tubuh berlumuran darah tanpa sempat tahu apa yang telah
terjadi. Baru saja Brajadenta berpaling ke arah Reksapati....
"Heaaa...!"
Tiba-tiba sebuah bayangan biru
bergerak cepat, menerjang ke arah si Dewa Maut ini, sambil mengebutkan
senjatanya. Trang...! Pedang di tangan bayangan biru itu membentur ujung lengan baju si Dewa Maut.
Brajadenta menyeringai marah merasa telah dibokong.
"Mustikaweni! Jangan...!" teriak Reksapati keras.
Namun, terlambat. Istri ketua
Perguruan Harimau Terbang itu telah menerjang kembali ke arah si Dewa Maut
dengan kalap. Wuuuttt..! Sambaran pedang Mustikaweni yang mengarah leher tak mengenai sasaran, karena
mendadak si Dewa Maut
menghempaskan tubuhnya ke atas. Lalu dengan kecepatan kilat, Brajadenta menukik
tajam sambil mendaratkan pukulan ke arah Mustikaweni! Begitu cepat gerakannya.
Dan... Praaakkk! Wanita cantik itu tak sempat
menghindar. Kepalanya remuk tertimpa kepalan tangan Brajadenta. Tubuhnya kontan
limbung sambil memegangi kepala, lalu ambruk tak bergerak-gerak lagi.
"Ibbbuuu...!"
Tiba-tiba seorang bocah perempuan menghambur ke tubuh Mustikaweni yang telah tak
bernyawa. Menyaksikan kejadian itu, Reksapati segera berkelebat cepat. Tubuh anaknya yang
bernama Ingkanputri itu disambarnya.
Ingkanputri menangis meraung-raung di gendongan ayahnya. Segera bocah itu
diserahkan Reksapati pada salah seorang muridnya untuk dibawa ke tempat yang
lebih aman. "Sungguh keji perbuatanmu,
Brajadenta...!" desis Reksapati dengan dada bergolak. Si Dewa Maut tertawa
bergelak. "Jika kau serahkan Batu Kumala Hitam, dan segera perguruanmu ini
dibubarkan, semua ini tak akan
terjadi...," kilah Brajadenta.
"Untuk menebus kematian murid-murid dan istriku, aku akan menyabung nyawa
denganmu...!" tegas Reksapati, tak kuasa lagi menahan amarahnya. Tawa Brajadenta
semakin keras. "Jadi, wanita berbaju biru itu istrimu" Sungguh patut
disayangkan, Reksapati. Kini kau telah jadi duda. Ha ha ha...!" ejek si Dewa
Maut Mendengar ejekan Brajadenta yang
menyakitkan hat, Reksapati segera memasang kuda-kuda. Kedua kaki dipen-tangkan,
dan mencengkeram erat ke bumi.
Tangannya membentang berdampingan di depan dada. Lalu dengan kekuatan penuh
dibukanya sebuah serangan. Tak tanggung-tanggung lagi, Reksapati langsung
menggunakan jurus 'Harimau Menerjang Bulan' yang menjadi andalan ilmu silatnya.
"Hup...!"
Si Dewa Maut cepat berkelebat
menghindar ketika sambaran tangan Reksapati mengarah ke dada. Pada saat yang
sama, dengan cepat Pendekar Harimau Terbang mengayunkan kakinya untuk menyambung
serangannya yang gagal.
Brajadenta cepat menangkis dengan tangan kanannya.
Plakk...! Begitu terjadi benturan, tubuh
Reksapati kemudian melayang ke udara.
Setelah bersalto beberapa kali, tiba-tiba telapak tangannya menghentak.
Wuuusss...! Seberkas sinar berwarna putih
langsung melesat ke arah Brajadenta.
Namun si Dewa Maut itu telah cepat melenting ke atas. Dan....
Blarr...! Serangan itu tak mengenai sasaran.
Tapi tanah tempat pukulan jarak jauh
Reksapati mendarat amblong sedalam setengah badan manusia dewasa.
Begitu mendarat kembali, Brajadenta terkesiap menyaksikan kehebatan tenaga dalam
Reksapati. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya segera berkelebat mengawali
serangannya. Suasana sore di Perguruan Harimau Terbang segera berhias teriakan kemarahan dari
sebuah pertempuran hebat. Para murid Reksapati hanya bisa menyaksikan dari jarak
jauh. Mereka tentu saja tak mau tertimpa pukulan jarak jauh yang nyasar.
Lewat sepuluh jurus kemudian, gelap hampir menerpa. Tubuh Reksapati dan
Brajadenta yang sedang bertempur hampir tak terlihat lagi karena begitu cepat
mereka bergerak. Yang terlihat hanya bayangan-bayangan tubuh mereka saja.
Memasuki jurus kedua belas,
Brajadenta melepas kain merah yang bergayut di pundaknya yang langsung
dikibaskan ke wajah Reksapati.
Wuttt..! Bau harum segera tercium. Pendekar Harimau Terbang yang sudah kenyang makan asam
garam rimba persilatan melompat, menjauhi ajang pertempuran.
"Kau sangat licik, Brajadenta.,.!"
desis Reksapati beringas.
Pendekar Harimau Terbang menyadari adanya racun yang terkandung dari bau
harum yang berasal dari kibasan kain merah di tangan Brajadenta. Maka segera
ditelannya sebuah pil berwarna merah sebagai obat penawar racun.
Tak lama kemudian, tubuh Reksapati kembali melayang. Kedua tangan yang
terpentang lebar, segera ditangkupkan sambil menyalurkan seluruh kekuatan tenaga
dalam pada kedua tangannya. Lalu tiba-tiba kedua tangannya menghentak ke depan.
Wusss...! Brajadenta tak mau kalah. Kedua
tangannya pun dihentakkan memapak serangan Reksapati.
Blarrr...! Terdengar ledakan keras
menggelegar, disertai kepulan asap tebal-tebal akibat bertemunya dua pukulan
bertenaga dalam tinggi. Dari kepulan itu, tubuh Pendekar Harimau Terbang
melayang ke belakang, langsung membentur tembok gerbang.
Broooll...! "Aaah...!"
Tak ayal lagi, tembok setebal dua jengkal itu jebol. Dan, tubuh Pendekar Harimau
Terbang itu terbanting ke tanah tanpa dapat bangun lagi. Perlahan-lahan dari
hidungnya mengalir darah segar.
Si Dewa Maut sendiri terjajar
mundur beberapa tindak. Dari sini jelas
terbukti kalau tenaga dalamnya lebih unggul. Dan dia hanya menatap dingin pada
tubuh Reksapati yang tak bergerak lagi.
"Guru...!"
Menyaksikan gurunya telah mati,
Riwayat Lie Bouw Pek 6 Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Si Dungu 6
^