Pencarian

Pengkhianatan Dewa Maut 2

Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut Bagian 2


para murid Perguruan Harimau Terbang segera menghambur ke arah Reksapati.
Sebagian segera berhamburan, mengeroyok si Dewa Maut
Namun Brajadenta melayani sambil tertawa-tawa. Sekali kedua tangan dan kakinya
bergerak satu persatu murid Perguruan Harimau Terbang itu segera berjatuhan ke
tanah. Namun, tak satu pun dari mereka yang menjadi ciut nyalinya.
Bahkan dengan melihat kematian teman-temannya, semangat mereka menjadi
bertambah. Tiap kali Brajadenta mengayunkan tangan, empat-lima pengeroyoknya segera
meregang nyawa. Dan, sebelum gelap benar-benar menyelimuti Perguruan Harimau
Terbang, seluruh murid telah melayang tak tersisa.
Sementara itu seorang bocah
perempuan berumur dua belas tahun berjalan mendekati si Dewa Maut. Matanya
menatap tajam tanpa sedikit pun merasa takut. Bocah perempuan anak Reksapati
yang bernama Ingkanputri ini mengepalkan kedua telapak tangannya. Giginya
bertaut kuat, menyimpan hawa dendam hebat.
Sedangkan Brajadenta memandang,
penuh nafsu membunuh. Namun, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, tiba-
tiba berkelebat satu bayangan menyambar tubuh Ingkanputri, dan menghilang dengan
cepat Si Dewa Maut hanya memandang dengan sinar mata penuh kemarahan. Dengan langkah
perlahan, dia mendekati tubuh Reksapati yang telah terbujur kaku. Dan tangannya
pun segera merogoh ke balik baju Reksapati.
Setelah berhasil mendapatkan benda yang dicarinya, Brajadenta tertawa terbahak-
bahak. Di tangan kanannya kini tergenggam Batu Kumala Hitam. Tertimpa gelap,
batu itu memancarkan sinar merah.
Hingga, membuat baju Brajadenta yang berwarna ungu menjadi bersemu merah.
Dengan perasaan puas, si Dewa Maut segera berkelebat, berlalu dari tempat itu.
Suara tawanya yang panjang masih terdengar hingga beberapa lama.
5 Puluhan pengemis dan gelandangan di Kadipaten Bumiraksa berhamburan keluar dari
sebuah kuil bobrok yang dikenal dengan nama Kuil Saloka. Lelaki-perempuan, tua-
muda, besar-kecil,
berjalan dari rumah ke rumah, dari kedai ke kedai, dari tempat satu ke tempat
lainnya. Mereka berusaha mengais, mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai
penyambung hidup.
Tubuh mereka kotor terbungkus
pakaian compang-camping. Tulang-tulang tubuh mereka menonjol, menandakan suatu
penderitaan yang akrab dengan keseharian mereka. Tak hanya umpatan dan cacian
yang diterima. Bahkan seringkali mendapat siksaan dari orang-orang yang merasa
terganggu karena kehadiran mereka.
Tempat-tempat sampah dikais. Tapi, tak jarang mereka menyorotkan sinar mata
kekecewaan karena tak menemukan apa yang sedang dicari. Namun, kadangkala ada
orang yang begitu baik hati dengan memberi makanan sekadarnya atau pun sekeping
uang logam. Para pengemis dan gelandangan
Kadipaten Bumiraksa itu memang telah begitu akrab dengan penderitaan. Dan,
karena keakraban itulah yang membuat mereka sadar akan pentingnya bertawakal.
Hidup mereka penuh kesulitan. Karena mereka berani hidup, mereka pun harus
berani menghadapi kesulitan.
Sebelum manusia dilahirkan, tak
pernah merasakan sakitnya dicubit orang, sakitnya menerima ejekan dan hinaan,
sakitnya badan ketika harus berusaha
keras untuk dapat terus hidup, sakitnya batin ketika harus menerima cobaan yang
datang bertubi-tubi. Tapi, setelah terlahir dan menghirup udara dunia, mereka
pun segera merasakan apa yang belum pernah dirasakan. Rasa sakit berbagai wujud
penderitaan segera menimpa. Penderitaan datang tak kunjung berhenti selama hayat
masih dikandung badan.
*** Seorang pengemis memasuki sebuah kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa.
Usianya masih muda, berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kurus kering
dengan tulang-tulang menonjol terbungkus hias kulit kotor tak terurus. Matanya
cekung. Tulang rahangnya tampak kokoh seperti menandakan kekerasan hatinya untuk
mengarungi samudera kehidupan.
Baru melangkah beberapa tindak dari ambang pintu kedai, seorang pelayan
mengusirnya. "Aku bukan hendak mengemis, Pak.
Aku hendak makan. Dan, aku pun akan membayar," sergah pengemis muda itu.
"Kedai ini tidak melayani pembeli semacammu!" kata pelayan kedai, menghina.
Pengemis muda yang terhina ini
menarik napas panjang.
"Aku membayar dengan uang, Pak.
Dan, apakah pemilik kedai ini tak butuh uang...?"
"Sudah kubilang, kedai ini tidak melayani pembeli semacammu! Segera enyah dari
tempat ini!" bentak pelayan kedai itu sambil mengayunkan tangannya ke wajah
pengemis muda yang berdiri tak jauh darinya.
Tapi, pelayan itu menjadi terkejut ketika merasakan ayunan tangannya berhenti di
udara. "Biarkan dia masuk!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada memerintah. Dengan serta-merta semua orang
yang berada di dalam kedai menolehkan kepala.
Tampak di jajaran meja pojok
ruangan, terlihat dua orang wanita tengah duduk santai. Agaknya, suara tadi
berasal dari salah satu dari dua wanita ini.
Mereka sama-sama cantik dan berbaju hitam. Yang satu berumur kira-kira dua puluh
tiga tahun. Dan, seorang lagi masih sangat belia, berumur tujuh belas tahun.
"Biarkan dia masuk, Pak!" ujar wanita yang berumur dua puluh tiga tahun.
Melihat penampilan kedua wanita
ini, pelayan kedai ini segera berbalik.
Dan dia segera berlalu dari tempat itu untuk melakukan tugasnya kembali.
Pengemis muda yang merasa mendapat
angin itu segera melangkah masuk.
"Terima kasih, Nona," ucap pemuda pengemis ini sambil mengerlingkan mata,
mencari tempat duduk kosong.
"Kau duduk di sini saja," ujar wanita yang berumur dua puluh tiga tahun itu
sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Mendengar kalimat itu, semua orang yang berada di dalam kedai kembali menolehkan
kepala. Dan tiba-tiba seorang laki-laki
berewokan tiba-tiba tertawa keras.
"Dunia sudah gila! Tidak adakah lelaki yang lebih berharga daripada seorang
pengemis..."!" kata lelaki brewokan itu, mengejek.
Yang diejek cuma melirik mata tanpa perubahan air muka.
"Pengemis hina, jangan mengotori tempat ini...!"
Braakk...! Mendadak lelaki berewokan itu
menggebrak meja. Seketika cangkir yang berada di hadapannya meluncur deras ke
arah pengemis yang baru datang itu.
Sejengkal sebelum cangkir menyentuh tubuh pengemis itu, tiba-tiba gadis berbaju
hitam yang lebih tua mengibaskan tangan kanannya. Seketika, cangkir itu berhenti
di udara, kemudian jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping!
Lelaki berewokan itu terkejut.
Matanya memandang tajam pada kedua wanita yang duduk tak jauh darinya.
"Kenapa kau melindungi pengemis jelek itu, Anak Manis"! Hm.... Aku Wilkampana.
He... he... he.... Tidakkah kau lihat diriku lebih pantas untuk duduk
bersamamu"!" kata lelaki brewok bernama Wilkampana dengan nada sombong.
Siapakah dua wanita cantik yang
baru saja memperlihatkan ilmu
kepandaiannya itu" Melihat raut wajah, jelas mereka adalah Anjarweni dan
Ingkanputri. Waktu yang berjalan lima tahun,
membawa langkah kaki mereka ke kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa. Apa
sesungguhnya yang telah terjadi ketika Anjarweni mendapat perlakuan biadab dari
Brajadenta, si Dewa Maut di Lembah Sungai Balirang"
Setelah berhasil membunuh empat
orang murid Perguruan Harimau Terbang, kemudian merenggut kesucian Anjarweni,
Brajadenta meninggalkan gadis itu dalam keadaan sangat mengenaskan.
Ketika pagi telah tiba, Arumsari yang lebih dikenal sebagai Dewi Tangan Api
menemukan Anjarweni sedang menangis, meratapi nasibnya.
Setelah memberi nasihat dan petuah, nenek sakti yang tengah mencari seorang
murid itu akhirnya bersedia mendidik
Anjarweni dengan ilmu silat tingkat tinggi. Dan, gadis itu pun menyambutnya
dengan gembira. Dia berharap, akan dapat membalas kebiadaban Brajadenta, si Dewa
Maut. Sore hari menjelang malam, ketika Dewi Tangan Api mengantarkan Anjarweni untuk
berpamitan kepada Reksapati.
gurunya, dia melihat Ingkanputri yang masih berumur dua belas tahun tengah
berhadapan dengan Brajadenta yang kejam.
Melihat keadaan yang tak menguntungkan, nenek sakti itu segera memberikan
pertolongan. Dan sejak saat itu, Anjarweni dan Ingkanputri menjadi murid Dewi Tangan Api.
Kedua gadis itu sama-sama mempunyai dendam kesumat terhadap Brajadenta. Maka
selama lima tahun, mereka belajar ilmu silat tanpa mengenal lelah!
*** "Hei, Brewok! Cobalah berkaca! Bulu yang tumbuh di wajahmu itu tak lebih bagus
dari bulu kera kudisan!" ejek Ingkanputri kepada Wilkampana yang telah berlaku
sombong. Wilkampana pun menggeram gusar.
Ucapan gadis berumur tujuh betas tahun itu benar-benar menyinggung perasaannya.
"Kucing Busuk! Beraninya kau
menghinaku...!"
"Kera Kudisan! Kau memang pantas untuk dihina...!" balas Ingkanputri lebih
keras. Wilkampana yang merasa dirinya
seorang jagoan menggerendeng penuh kemarahan. Seumur hidupnya, belum pernah dia
dihina orang seperti itu. Apalagi dari seorang gadis yang kecil yang tampak
lemah. Dengan gerakan perlahan, Wilkampana menjentikkan sebutir kacang dalam
genggamannya. Kacang itu pun meluncur cepat ke arah Ingkanputri.
Tapi sebelum mencapai sasaran,
Ingkanputri mengebutkan tangannya.
Seketika kacang itu berhenti di udara, lalu jatuh ke lantai
Wilkampana kembali menggeram gusar.
Tiba-tiba telapak tangannya diputar-putar, menimbulkan gulungan angin menderu-
deru yang melontarkan benda-benda di dekatnya. Akibatnya, semua pengunjung kedai
berusaha menghindar dari sambaran cangkir dan mangkuk yang beterbangan.
Ketika Wilkampana menggerakkan
telapak tangannya ke depan, gulungan angin itu meluncur ke arah Ingkanputri!
Wuss...! Tapi, gadis itu hanya tersenyum
kecil. Dengan perlahan telapak tangannya dikibaskan. Saat itu juga, gulungan
angin yang dibuat Wilkampana tiba-tiba berbalik arah, dan meluncur ke arah tuannya!
Lelaki brewokan itu terkejut
setengah mati. Dan, dia segera beranjak dari tempat duduknya. Tapi, terlambat.
Dan.... Braaakkk...! Tubuh Wilkampana kontan terdorong menghantam meja. Begitu bangkit matanya
menatap Ingkanputri dengan sinar menyala-nyala.
Tiba-tiba lelaki tua pemilik kedai berlari mendekati Wilkampana yang sudah
berdiri penuh kemarahan.
"Sudahlah, Tuan.... Jangan berke-lahi di sini...," ujar lelaki tua itu, memohon.
"Heh! Tak perlu kau mencampuri urusanku, Pak Tua...!" dengus Wilkampana.
Dengan serta-merta lelaki brewokan itu mendorong tubuh pemilik kedai. Dan orang
yang telah lanjut usia itu pun jatuh tersungkur menabrak meja dan kursi.
"Siapakah kau sebenarnya, Gadis Kecil?" tanya Wilkampana kemudian.
Ingkanputri kembali tersenyum, lalu mengerling kepada Anjarweni yang tampak
tenang-tenang saja.
"Apa perlunya kau menanyakan itu, Kera Kudisan!" kata Ingkanputri mengejek,
"Apakah kau punya anak laki-laki yang tak laku kawin" Oh! Aku tak sudi diambil
menantu...!"
Wajah Wilkampana pun merah padam.
"Rupanya kau belum pernah diajar sopan-santun ayahmu, Gadis Kecil! Karena itu,
atas nama ayahmu, aku akan memberi pelajaran kepadamu...!"
Selesai mengucapkan kalimatnya,
lelaki brewokan itu segera memasang kuda-kuda
Sementara melihat keadaan yang tak menguntungkan, pengemis muda yang dari tadi
hanya diam di hadapan Anjarweni segera beringsut menjauh.
"Lihat serangan...!" teriak Wilkampana sambil menerjang Ingkanputri tanpa
sungkan. Namun gadis itu hanya memiringkan tubuhnya, ketika kepalan tangan
Wilkampana hampir mendarat di wajah. Dan sebelum lelaki brewokan itu melanjutkan
serangan, tiba-tiba Ingkanputri mengibaskan telapak tangannya.
Blass...! "Aaah...!"
Akibatnya sungguh di luar dugaan.
Bulu lebat yang tumbuh di wajah
Wilkampana menjadi terbakar mengepulkan asap! Dan lelaki brewokan itu kontan
menjerit ngeri. Saat itu juga tubuhnya yang terlontar bangkit berdiri, lalu
berkelebat terpontang-panting pergi dari kedai ini.
Plok! Plok! Plok...!
Mendadak terdengar suara
tepuk tangan seseorang. Begitu semua orang menoleh ke arah suara tepukan, tampak
seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun melangkah memasuki kedai.
"Sungguh menakjubkan pertunjukan yang baru saja kulihat. Bapak dihajar oleh
anak.... Sungguh lucu. He-he-he...,"
puji pemuda ini.
Pemuda yang baru saja muncul memang hanya seorang remaja berpakaian putih penuh
tambalan. Tapi, kulitnya bersih.
Wajahnya sangat tampan. Rambutnya hitam dibiarkan tergerai di punggung. Matanya
bening menyorot tajam dengan alis menjulang laksana sayap burung rajawali.
Hidungnya mancung. Dengan bibir berwarna kemerahan, membuat keadaannya sedap
untuk dipandang. Tubuhnya tegap berisi dengan dada bidang.
Walaupun pakaian pemuda remaja ini penuh tambalan, tapi tak mampu menyembunyikan ketampanannya. Sehingga untuk sesaat,
sifat kewanitaan Ingkanputri yang sedang mekar-mekarnya menjadi tergoda.
Demikian juga halnya Anjarweni.
"Hei"! Kenapa kalian diam saja dan berlama-lama menatapku" Apakah ada yang aneh
dari penampilanku" Atau...."
Sebelum menuntaskan kata-katanya, pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya
ke belakang. "Kukira aku nggak punya ekor....
Kok, kalian memandangku seperti itu...,"
lanjut pemuda ini.
Ucapan konyol itu memaksa
Ingkanputri dan Anjarweni harus menahan wajahnya yang bersemu merah dadu. Tapi,
mereka segera berpura-pura tak menggubris tingkah laku remaja konyol itu
Sementara itu, pengemis muda yang tidak jadi makan karena ulah Wilkampana
memperhatikan dengan seksama remaja yang baru muncul.
Merasa diperhatikan, pemuda yang baru datang membalas membalas tatapan.
"Eh! Bukankah kau Wirogundi..."!"
kata remaja tampan itu sambil berjalan mendekati.
Setelah jaraknya dekat, pengemis muda yang dipanggil Wirogundi itu membelalakkan
mata. "Kau... kau Suropati?" kata Wirogundi, hampir tak percaya.
Yang ditanya tertawa, kemudian
langsung memeluk tubuh Wirogundi.
"Aku memang Suropati,
Wirogundi...." kata remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan.


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ucapan Suropati,
Wirogundi melepas pelukannya. Kemudian matanya kembali menatap wajah Suropati
dengan lekat "Kukira kau sudah mati, Suropati.
Lima tahun yang lalu, kau kutemukan dalam keadaan sekarat. Tubuhmu telanjang
berkepala gundul seperti habis dibakar.
Tapi, sekarang...."
Wirogundi tak melanjutkan bicaranya, kemudian balas memeluk tubuh Suropati. Dan
tak lama kemudian, terdengar suara tawa terbahak-bahak dari mulut mereka berdua.
6 Tawa Suropati dan Wirogundi belum terhenti, ketika di luar terjadi sedikit
keributan. Ketika mereka melihat ke luar, tampak para pengemis dan gelandangan
yang kebetulan berada di dekat kedai berlari ketakutan. Ternyata, belasan
prajurit Kadipaten Bumiraksa sedang berjalan dengan wajah tegang seperti tengah
siap bertempur.
Sebentar saja, salah seorang yang berpangkat kepala prajurit memasuki kedai. Di
belakangnya, tampak Wilkampana yang telah membebat sebagian wajahnya akibat
serangan Ingkanputri.
"Itulah kucing kecil yang telah berani mempermainkan aku, Anggaraksa...!"
kata Wilkampana, menunjuk Ingkanputri yang tengah duduk tenang di tempatnya.
Kepala prajurit yang dipanggil
Anggaraksa memandang sekilas. Kemudian matanya menatap wajah Wilkampana dalam-
dalam. Lelaki tegap berpangkat punggawa itu menaikkan alisnya.
"Benar kau yang telah melukai tamu kehormatan Gusti Adipati?" tanya Anggaraksa,
penuh kesungguhan.
"O, jadi kera kudisan yang sok jago itu tamu kehormatan Gusti Adipati....
Tapi, sikapnya sama sekali tak pantas untuk diberi hormat..!" sahut Ingkanputri.
Anggaraksa terkejut, mendengar
ucapan Ingkanputri yang begitu berani.
Sedang dada Wilkampana pun menjadi bergolak kembali.
"Setiap tamu di Kadipaten Bumiraksa akan selalu mendapat perlindungan, Gadis
Kecil. Dan karena telah berbuat semena-mena, maka kau akan kubawa menghadap
Gusti Adipati untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu...!" kata Anggaraksa,
mantap. "Enak saja kau berkata, Prajurit!"
dengus Ingkanputri menjadi beringas.
"Tidakkah kau tahu bahwa yang memancing perkara adalah temanmu itu..."!"
"Aku tidak mau tahu! Yang pasti, kau telah melukai tamu Kadipaten Bumiraksa. Dan
berarti, kau telah melecehkan aturan Gusti Adipati....!"
Selesai berkata, Anggaraksa
berjalan mendekati Ingkanputri, diikuti empat orang prajurit tamtama. Sedangkan
gadis itu segera mempersiapkan diri.
"Jangan memaksaku, Prajurit!" tegas Ingkanputri.
"Terpaksa aku
menggunakan kekerasan, Gadis Kecil..!"
"Kalau mau menangkap gadis kecil itu segera lakukan, Prajurit! Jangan banyak
cingcong. Lalu cepat tinggalkan tempat ini...!" teriak Suropati sambil menunjuk
kursi kosong. Dia telah menangkap isyarat kalau sikap Anggaraksa sungguh-
sungguh. Semua orang yang mendengar ucapan Suropati menjadi terkejut. Karena, mereka
menganggap ucapan remaja tampan ini terlalu berani.
Namun, keterkejutan mereka menjadi bertambah, tatkala melihat Anggaraksa
membopong sebuah kursi dan membawanya ke luar kedai diikuti Wilkampana dan
prajurit-prajurit lainnya. Apa-apaan ini"
"Sebaiknya kau dan temanmu itu segera pergi dari tempat ini...," ujar Suropati,
kepada Ingkanputri dan Anjarweni.
Kedua gadis itu menatap tajam ke arah Suropati. Mereka tidak menyangka sama
sekali bila remaja konyol itu ternyata mahir ilmu sihir. Buktinya, Anggaraksa
beserta rombongannya seketika
terpengaruh oleh perkataan yang diucapkan Suropati.
Braaakkk...! Tiba-tiba dinding depan kedai itu jebol tertimpa kursi yang dilontarkan
Anggaraksa. "Siapa yang telah mempermainkan diriku, hah..."!" bentak kepala prajurit ini
begitu tersadar.
Anggaraksa pun meloncat masuk ke kedai kembali.
Suropati tertawa.
"He, Prajurit Gemblung! Sudah kubilang kalau mau menangkap gadis kecil itu,
segera saja lakukan! Setelah dapat, eh, malah dibanting.... Tidakkah kau merasa
kasihan. Lihat! Kini, gadis kecil yang manis itu sedang menangis kesakitan!
Ayo, segera bimbing dia. Rawat lukanya baik-baik! Kalau dia belum sembuh benar,
jangan kemari lagi...!" kata Suropati disertai tatapan mata aneh.
Untuk kedua kalinya, Anggaraksa
menjadi linglung. Dengan serta-merta dipungutnya kursi yang telah dilemparkan.
Kepala prajurit itu segera berlalu dari tempat itu, bersama anak buahnya.
Wilkampana pun tak menampakkan batang hidungnya lagi.
Suropati menatap Ingkanputri dan Anjarweni.
"Hmmm.... Kalian sungguh
cantik,..," puji Suropati
Pipi Ingkanputri dan Anjarweni
menjadi merah. "Sayang, kalian tidak bisa tinggal berlama-lama di tempat ini.... Segeralah
berkemas-kemas, dan tinggalkan Kota Kadipaten Bumiraksa sebelum orang-orang itu
kembali ke sini dengan membawa lebih banyak lagi prajurit..."
"Kami tidak takut!" bentak Anjarweni tiba-tiba.
"Jangan berlaku bodoh, Saudari.
Urusan sepele itu bisa menjadi lebih gawat. Apakah kalian berdua ingin selalu
dikejar-kejar prajurit Kadipaten Bumiraksa selama hidup..."!" tukas Suropati.
Merasakan kebenaran ucapan dari
Suropati, Anjarweni segera menarik lengan Ingkanputri. Dan mereka segera
berkelebat menghilang dari tempat itu.
"Bocah Gendheng! Kenapa kau menyuruh mereka pergi"! Mereka sama sekali belum
bayar...!"
Tiba-tiba pemilik kedai mencak-
mencak di hadapan Suropati.
Suropati pun jadi diam terlongong-longong macam monyet kehilangan ekornya.
"Aduh, kenapa aku lupa...?"
Suropati menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Biarlah aku yang bayar...," kata
Wirogundi yang berada di sebelah Suropati
dengan suara berat
Segera pemilik kedai itu
menyebutkan jumlah uang yang harus dibayarkan. Dia kembali mencak-mencak ketika
menerima sejumlah uang dari Wirogundi.
"Ini belum cukup...! Ini belum cukup...! Tidakkah kau lihat dinding kedaiku yang
telah jebol akibat ulah prajurit itu..."!" bentak lelaki tua ini.
Suropati mendengus.
"Kalau mau minta ganti rugi, datang saja ke kadipaten! Kami tidak punya
uang...!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Suropati segera menggandeng lengan Wirogundi
untuk diajak pergi.
Melihat kepergian mereka berdua, pemilik kedai hanya bisa menggerutu panjang-
pendek. *** Di sepanjang perjalanan, Suropati dan Wirogundi tiada henti bercakap-cakap.
Wirogundi yang baru saja melihat kehebatan Suropati segera mengajak teman-
temannya untuk menyambut kedatangan remaja tampan yang telah menghilang selama
lima tahun itu.
Dan Suropati pun diarak menuju ke sebuah kuil Saloka di pinggir kota
kadipaten. Tak bosan-bosannya Wirogundi bercerita kepada teman-temannya tentang
kehebatan Suropati yang telah berhasil mengusir kepala prajurit kadipaten
bersama bawahannya hanya dengan
perkataannya. Para pengemis dan gelandangan yang rata-rata tidak mengerti ilmu kanuragan itu
pun menjadi terkagum-kagum. Sehingga mereka menaruh rasa hormat kepada remaja
tampan tapi konyol itu.
Maka, tak heran apabila Suropati kemudian dijamu seperti layaknya seorang raja.
Remaja konyol itu pun menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hingga dua hari
penuh dia tak melakukan pekerjaan apa pun kecuali makan dan tidur.
*** Pagi ini terlihat cerah. Sinar
mentari mengusap lembut. Dedaunan meliuk, bergerak gemulai. Burung-burung pun
tersenyum, berkicau riang hinggap di atas dahan.
Empat laki-laki bertampang bengis tampak berjalan dengan langkah tegap menuju
kuil Saloka tempat para pengemis dan gelandangan Kota Kadipaten Bumiraksa
bertempat tinggal.
Warna pakaian mereka sama merah
dengan ikat kepala hitam. Mereka semua
bercambang bauk lebat, dan tampak sangat beringas. Badan mereka yang tinggi
besar dihiasi urat-urat menonjol, menandakan keperkasaan.
"Heh, orang-orang jelek yang tak tahu diatur! Kenapa masih saja suka bermalas-
malasan"! Empat Begundal Sakti telah datang untuk menagih upeti...!"
kata salah seorang dari mereka sambil memukul daun pintu kuil yang terbuat dari
kayu lapuk. Braaakkk...! Pintu itu kontan terbuka dengan
paksa. Seketika para pengemis dan gelandangan yang masih tertidur melonjak.
Begitu mengenali siapa yang hadir, mereka menjadi ketakutan.
Mereka tahu, empat lelaki bernama Gitapati, Sarmapati, Bureksa, dan Tambuksa
yang tergabung dalam Empat Begundal Sakti adalah orang-orang kejam yang mau
enaknya sendiri. Mereka memeras para pengemis dan gelandangan dengan menarik
upeti. "Heh"! Masih juga belum keluar..."!
Apakah kalian perlu kutendang satu persatu..."!" bentak Gitapati yang menjadi
pemimpin dari Empat Begundal Sakti.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan berserabutan ke luar menuju halaman kuil. Mereka segera duduk
bersimpuh di tanah dengan kepala tertunduk. Jumlah mereka yang hampir seratus
orang, sama sekali tak mempunyai keberanian untuk menatap wajah Empat Begundal
Sakti. Sinar mata mereka kuyu, seperti ayam sedang menunggu giliran untuk
disembelih. Melihat para pengemis dan
gelandangan sudah berkumpul semua, Gitapati menggedrukkan kakinya
Brukk...! Bumi pun bergetar, membuat nyali orang-orang yang berada di hadapannya makin
ciut. "Dua hari kalian tidak membayar upeti. Kenapa..."!" bentak Gitapati.
Pertanyaan Pemimpin Empat Begundal Sakti itu tak mendapat jawaban. Dengan penuh
kemarahan, Gitapati segera menggedrukkan kakinya kembali. "Ayo, jawab
pertanyaanku...!"
Tiba-tiba Wirogundi yang duduk di tengah-tengah para pengemis dan
gelandangan bangkit, segera mendekati Gitapati.
"Kami merasa keberatan atas upeti yang harus kami bayar," jelas Wirogundi sambil
menyembunyikan rasa takut Gitapati mendelik. Matanya bersinar nyalang. "Rupanya
kau sudah bosan hidup, Gembel Busuk!"
Pemimpin Empat Begundal Sakti itu
seketika mengayunkan telapak tangannya.
Dan.... "Plaaakkk...!"
Wirogundi terpelanting jatuh ke
tanah sejauh beberapa tombak. Pipi kanannya merah, bergambar lima jari.
"Apakah perkataanku salah, Perampok Hina!" kata Wirogundi keras-keras, seraya
menatap Gitapati penuh kebencian. "Kami mencari makan bukan di tanah nenek
moyangmu! Kenapa kami harus tiap hari bayar upeti...!"
Melihat keberanian Wirogundi, bola mata Gitapati melotot hampir keluar dari
rongganya. Siiing...! Tiba-tiba Gitapati mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
"Kau memang layak untuk disembelih, Gembel Busuk!" desis Gitapati seraya
melangkah mendekati Wirogundi.
Sebelum terjadi sesuatu atas
pengemis muda itu, tahu-tahu seorang remaja yang juga berpakaian penuh tambalan
berjalan mendekati Gitapati.
"Tak balk marah-marah begitu, Orang Tua...," kata remaja itu, tenang.
Gitapati pun berpaling.
"Apakah kau juga ingin mati, Bocah Gendeng"!" bentak Gitapati.
Remaja yang tak lain Suropati itu hanya tersenyum mendengar bentakan
Gitapati. "Sudah kubilang, tak baik marah-marah begitu, Orang Tua...," ujar Suropati.
"Coba berkaca. Kalau sedang marah, wajahmu yang jelek itu semakin bertambah
jelek....!"
"Bocah Gemblung tak tahu diuntung!
Kucincang tubuhmu seperti dendeng ragi...!" desis Gitapati.
Sembari berkata demikian, Gitapati membabatkan goloknya ke leher Suropati.
Pada saat yang sama, tiba-tiba
Suropati menguap panjang.
"Oaaahhh...!"
Bruuukkk...! Tubuh Suropati jatuh ke tanah
dengan mata terpejam. Tapi, Gitapati menjadi terkejut, melihat sambaran goloknya
tak mengenai sasaran.
Pimpinan Empat Begundal Sakti itu menggerendeng gusar, melihat remaja yang
tampak bodoh ini tiba-tiba telah tertidur pulas di hadapannya. Matanya terpejam
erat, seperti terserang kantuk hebat.
Tak mau membuang waktu, Gitapati segera menusukkan ujung goloknya ke dada
Suropati. Semua yang melihat peristiwa ini segera menahan napas dan bergidik ngeri.
Sementara, Suropati tak bergerak sedikit pun. Maka, tak ayal lagi ujung golok
Gitapati segera meluncur deras
tanpa terbendung lagi!
"Aaiihh...!"
Jeritan ngeri dari anak-anak dan perempuan segera terdengar.
"Oaaahhh...!"
Tiba-tiba Suropati menguap lagi.
Tubuhnya dimiringkan tanpa membuka mata. Maka, ujung golok yang hampir menyentuh
dadanya menancap di tanah.
Gitapati menjadi terkejut setengah mati menyaksikan ulah Suropati yang tampak
aneh. Maka dengan seketika dibabatnya perut remaja yang sedang tidur itu.
"Oaaahhh...!"
Untuk ketiga kalinya Suropati
menguap. Tubuhnya digeser ke samping tanpa sedikit pun membuka matanya
yang terpejam. Namun bersamaan dengan itu, dia membuat gerakan seperti orang sedang
menggeliat. Dan....
Buuukkk...! Tiba-tiba Gitapati menyeringai
kesakitan karena perutnya terkena tendangan.
"Kunyuk Jelek! Rupanya kau sedang mempermainkan aku...!" dengus Gitapati, penuh
luapan kemarahan.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Pemimpin Empat Begundal Sakti itu menebas-nebaskan goloknya ke tubuh
Suropati. Namun, serangan itu selalu luput.
Melihat pemimpinnya tampak
kesulitan untuk segera menyudahi riwayat remaja konyol itu, tiga anggota Empat
Begundal Sakti segera menerjang.
Wuuuttt...! Wuuuttt...!
Sambaran golok mereka yang bertubi-tubi menghunjam ke tubuh Suropati. Namun,
remaja konyol itu sama sekali tak membuka matanya. Hanya tubuhnya yang bergerak-
gerak perlahan.


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan ganggu tidurku! Segera enyah kalian dari tempat ini....'" ujar Suropati
sambil mengibaskan telapak tangannya.
Wuuussss....! Seketika bertiup putaran angin dari telapak tangan Suropati. Dan Empat Begundal
Sakti yang tak menyadari keadaan menjadi terpental mundur beberapa tindak.
Gerakan Suropati yang tampak main-main benar-benar membuat Empat Begundal Sakti
terperangah. Mereka sama sekali tak tahu, ilmu apa yang dimiliki remaja konyol
itu. Namun, karena terbawa amarah yang meluap, mereka segera memulai serangan
kembali. Suropati yang terbaring di tanah, sama sekali tak membuka matanya. Gerakan
tubuhnya yang seperti orang menggeliat
walau tampak asal-asalan, ternyata mampu menepis semua serangan Empat Begundal
Sakti. Sebenarnya remaja konyol yang baru berumur tujuh belas tahun itu sedang
menerapkan ilmu 'Arhat Tidur' yang diajarkan gurunya yang bergelar si Periang
Bertangan Lembut. Walau ilmu itu belum dikuasai sepenuhnya, tapi sudah cukup
tangguh untuk menghadapi Empat Begundal Sakti. Bahkan ketika Suropati bergerak
seperti menggeliat...
Buuukkk...! Buuukkk...! Buuukkk...!
Buuukkk...! Tiba-tiba Empat Begundal Sakti
merasa sesak, ketika dada mereka menjadi sasaran tendangan dan pukulan Suropati.
Gitapati menyeringai dingin.
Sarmapati, Buraksa, dan Tambuksa pun menggeram gusar. Namun sebelum mereka
berbuat sesuatu, mendadak Suropati bangkit dari tidur sambil memicingkan mata.
"Kalian masih juga belum mau pergi"! Ku putus kepala kalian, baru tahu rasa...!"
kata Suropati, dingin.
Tiba-tiba Suropati berkelebat
cepat. Dan seketika napas Empat Begundal Sakti terasa berhenti. Mata mereka pun
mendelik! Mereka tak menyadari, apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Ketika
meraba leher, mereka baru tahu kalau di leher masing-masing telah terjerat ikat
kepala mereka sendiri. Tanpa membuang waktu lagi, mereka pun segera berlari
ketakutan. "Eh! Kalian belum mendapat hadiah dariku...!" teriak Suropati sambil mengibaskan
tangannya. Breeettt..! Breeettt..! Breeettt..!
Breeettt...! Mendadak celana yang dikenakan
Empat Begundal Sakti putus talinya!
Empat lelaki bercambang bauk lebat itu sudah tak mempedulikan lagi celananya
yang melorot. Mereka lari pontang-panting seperti melihat hantu di siang bolong.
Para pengemis dan gelandangan yang tadinya diliputi rasa ketakutan, kini tertawa
terbahak-bahak menyaksikan Empat Begundal Sakti yang melarikan diri dengan tubuh
hampir telanjang.
Suropati pun tersenyum puas,
kemudian mengibas-ngibaskan bajunya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Tiba-tiba para pengemis dan
gelandangan yang berada di tempat itu melampiaskan kegembiraan dengan membopong
tubuh Suropati beramai-ramai. Remaja konyol itu pun tertawa lepas, merasa
keenakan. "Suropati pemimpin kami...!
Suropati pemimpin kami...!" teriak
Wirogundi seperti orang kesurupan.
Tiba-tiba Suropati meloncat, dan segera berjalan mendekati Wirogundi.
Kemudian, ditatapnya pemuda pengemis itu dengan sinar mata tajam.
"Eh! Ap..., apa aku salah Suro...?"
kata Wirogundi, gelagapan karena rasa takut yang tiba-tiba menderanya.
"Kalau aku jadi pemimpin, siapa pendampingku..."!" tanya Suropati, setengah
membentak. Mendengar itu, Wirogundi dan teman-temannya jadi bengong.
"Apa maksudmu, Suro?" tanya Wirogundi kemudian.
"Bodoh! Masa' tidak tahu apa yang kumaksud"!"
Usai mengucapkan kalimatnya,
Suropati celingukan.
Ditatapnya para
pengemis dan gelandangan yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba terbersit sinar
aneh di matanya. Sambil mengulum senyum, kakinya melangkah menghampiri seorang
pengemis wanita yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk.
"Siapa namamu?" tanya Suropati.
Yang ditanya mengangkat wajahnya.
Senyum Suropati semakin mengembang. Tiba-tiba remaja konyol itu mencolek dagu
wanita di hadapannya, yang ternyata seorang gadis berumur sekitar tujuh belas
tahun. Wajahnya manis, walau tampak
kotor. "Apa-apaan, Kau..."!" bentak gadis itu.
"Uh! Gitu saja marah"! Kau manis!
He-he-he...."
Suropati tertawa terkekeh, kemudian kembali menowel dagu gadis itu.
Tentu saja gadis itu marah-marah.
Tapi, Suropati malah tertawa keras. Dan dia semakin berani menggoda.
Melihat ulah remaja yang berpakaian putih penuh tambalan itu, para pengemis dan
gelandangan teman Wirogundi saling berbisik.
"Pengemis Binal...."
"Ya! Dia memang Pengemis Binal!"
"Sikapnya konyol dan gila-gilaan.
Tapi, menyenangkan."
"Sangat pantas dijuluki Pengemis Binal...." Mendadak Suropati berjalan
menghampiri sekumpulan pengemis dan gelandangan yang sedang berbisik-bisik
membicarakan dirinya.
"Apa yang kalian katakan..."!"
bentak remaja konyol itu sambil menatap tajam salah seorang pengemis muda yang
berambut riap-riapan.
"Ah, tidak.... Aku tidak berkata apa-apa ..."
"Hei" Kau mau mungkir! Aku tadi mendengar kamu membicarakan aku!"
"Ehm... Aku tadi hanya bilang,
bahwa kau sangat pantas dijuluki Pengemis Binal...."
"Apa" Pengemis Binal?"
"I..., eh! Maaf...."
"Pengemis Binal...," gumam Suropati. "Ha-ha-ha...."
Tiba-tiba remaja konyol ini tertawa terbahak-bahak sambil meloncat-loncat
kegirangan. Dan semua yang berada di tempat itu pun segera ikut tertawa.
"Eh! Kalian jangan ikut
tertawa...!" bentak Suropati. "Bagaimana kalau empat begundal jelek itu tadi
kembali memeras kalian ketika aku tidak ada...?" Para pengemis dan gelandangan
itu pun jadi diam. "Bagaimana kalau aku mengajari kalian beberapa jurus ilmu
silat..?" tanya Suropati lagi.
Ucapan Suropati itu segera disambut suara gemuruh tanda setuju.
"Nah! Sekarang cepat ambil sebatang kayu,..!"
Dengan serta-merta, Wirogundi dan teman-temannya berhamburan. Mereka segera
mematahkan ranting-ranting pohon untuk dipergunakan sebagai tongkat.
*** Setelah mengajarkan gerakan-gerakan dasar ilmu silat, Suropati segera
memperlihatkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Remaja konyol itu bergerak lincah.
Tangannya yang memegang sebuah ranting pohon berputar-putar, membentuk sebuah
perisai. Setelah melompat ke atas, ranting pohon
yang berada dalam
genggamannya diayunkan ke tanah.
Duuummm...! Tanah tempat sasaran kontan
berlubang beberapa jengkal. Dan
pertunjukan Suropati segera disambut sorak-sorai berkepanjangan.
"Ayo, jangan menonton saja! Cepat tirukan gerakanku!" teriak Suropati,
memerintah. Dan di pagi yang cerah itu, para pengemis dan gelandangan Kota Kadipaten
Bumiraksa berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.
Suropati benar-benar telah menjadi pemimpin bagi mereka!
7 Ketika seorang bocah merasa sudah sangat tinggi
Seharusnya malu pada diri sendiri Karena sesungguhnya belum banyak yang
dimengerti Alam pun menertawakan
perbuatan yang merugi Si bocah berlari ketika diuji Sang guru mengeluh bingung, ke mana hendak
mencari" Ketika sudah menemui
Pelajaran apa yang harus diberi"
Tak lain adalah hukuman, untuk lebih mengerti pada diri sendiri Sebuah tembang
mengalun syahdu.
Getaran suaranya merayap, menuju halaman Kuil Seloka di pinggir Kota Kadipaten
Bumiraksa. Diiringi hembusan angin dan ayunan ranting-ranting pohon, makna
tembang itu menyusup mengelus sanubari.
Seorang remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan yang tengah duduk di bawah
pohon tersentak, langsung
menajamkan telinga.
"Guru...," bisik pemuda itu pada diri sendiri.
Sebelum pemuda yang tak lain
Suropati itu bangkit berdiri, sebuah bayangan berkelebat mendekati.
"Bocah Gendheng tak tahu diuntung!
Ke mana saja kau selama ini..."!" maki bayangan yang baru datang.
"Maafkan Suropati, Guru...," ucap Suropati kepada seorang kakek kurus yang telah
berdiri di hadapannya.
"Kau telah berpaling dari tanggung jawabmu, Suro...," gumam kakek kurus yang tak
lain si Periang Bertangan Lembut
Suropati menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Tiba-tiba kakek kurus yang juga
berpakaian penuh tambalan itu tertawa keras.
"Ha-ha-ha.... Rupanya kau bisa juga merasa bersalah, Bocah Gendheng...!"
Si Periang Bertangan Lembut
menepuk-nepuk bahu muridnya.
"Suro! Aku menyuruhmu bersemadi selama empat puluh hari empat puluh malam. Kau
tahu itu, Suro! Di bawah bimbinganku, kau sedang berlatih menyempurnakan ilmu
'Arhat Tidur'! Kenapa kau malah lari..."!" omel kakek kurus berpakaian tambalan
itu Suropati mendongakkan kepalanya.
Mendadak, kekonyolannya muncul.
"Aku bosan tinggal di gunung. Sepi!
Tiap hari monyet-monyet mengejekku.
Bahkan jangkerik suka menggelitik masuk ke dalam celanaku.... Siapa yang tahan,
Kek..."!" kilah remaja tampan ini, polos.
Bahkan mengubah panggilan kepada gurunya.
Si Periang Bertangan Lembut kembali tertawa.
"Itu tandanya kau tidak tahan uji, Bocah Gendheng! Kewajibanmu sebagai murid
adalah belajar, dan selalu menuruti perintah guru! Tapi, kenapa kau malah
berpaling dari kewajibanmu..."!" tegur Periang Bertangan Lembut
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Kau harus segera menjalani hukumanku, Suro...!" bentak Periang Bertangan Lembut
Tiba-tiba Suropati melonjak seraya tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku baru saja diangkat menjadi seorang pemimpin! Walaupun hanya seorang
pemimpin bagi pengemis-pengemis, mau kuletakkan di mana wibawaku kalau kau
menghukumku, Kek..."!" sergah Suropati.
Si Periang Bertangan Lembut ikut tertawa terkekeh-kekeh.
"Berbuat baik akan mendapat ganjaran. Berbuat jahat akan mendapat pembalasan.
Siapa melakukan perbuatan benar, dia akan mendapatkan
manfaat. Sebaliknya, siapa yang melakukan perbuatan salah, akan mendapat hukuman,"
kata si Periang Bertangan Lembut
"Suro! Karena kau telah melakukan perbuatan salah, kau pun harus mendapat
hukuman...!"
Selesai berkata demikian, kakek
kurus itu cepat menggerakkan kedua tangannya. Langsung dilancarkannya ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Tuk! Tuk! Suropati tak sempat berkata-kata lagi. Walaupun totokan yang dilancarkan si
Periang Bertangan Lembut hanya sepertiga bagian, namun seluruh
kekuatannya menjadi hilang.
Karena keterkejutannya, remaja
tampan itu meloncat
Bruuukkk...! Tubuh Suropati jatuh ke tanah,
seperti sudah kehilangan semua
keseimbangannya.
"Apa yang telah kau lakukan, Kek...?" tanya Suropati gusar.
"Aku telah menotok enam pusat aliran darahmu. Bagaimana rasanya Suro...?" kakek
kurus itu malah balik bertanya.
Suropati bangkit. Segera kedua
tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Dan, dia pun terkejut setengah mati....
"Kau telah memusnahkan ilmu silatku, Kek...?" tanya Suropati, tak percaya.
Si Periang Bertangan Lembut tertawa terbahak-bahak.
"Itu hukuman untukmu, Suro...,"
kata kakek itu, enteng.
Melihat Suropati yang bengong,
Periang Bertangan Lembut itu memperkeras tawanya.
"Ha-ha-ha.... Katanya kau telah menjadi pemimpin pengemis, Suro..."! Nah!
Untuk menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, kau harus dapat merasakan
penderitaan kawulamu," ujar si Periang Bertangan Lembut sambil menatap Suropati
dalam-dalam. "Untuk menyambung nyawamu,
kau harus mengemis! Tak seorang pun dari teman-temanmu yang boleh membantumu.
Jika mereka membantumu, tahu sendiri
akibatnya. Dan kau harus makan dari hasil keringatmu sendiri...!"
Mata Suropati mendelik.
"Kau kejam, Kek...!"
"Itu hukuman yang setimpal untukmu, Suro...."
"Tapi, Kek! Kau harus tahu kalau para pengemis dan gelandangan di Kota Kadipaten
Bumireksa ini selalu ditindas orang yang merasa dirinya berkuasa..."
Aku baru saja melakukan tanggung jawabku untuk melatih mereka beberapa jurus
ilmu silat, sebagai perisai untuk menghadapi tindakan sewenang-wenang. Dan, kau
telah menghalangiku untuk melakukan kewajibanku itu,
Kek...," kata Suropati mencoba berkilah.
"Ck... ck... ck.... Pintar
berkhotbah juga kau rupanya, Bocah Gendheng! Kau tak perlu khawatir. Akulah yang
akan melaksanakan kewajibanmu...."
Mendengar ucapan gurunya, Suropati mengambil napas panjang, dan
menghembuskannya dengan deras.
*** Sejak saat itu, Suropati telah
benar-benar menjadi seorang pengemis.
Dari rumah ke rumah, dari kedai ke kedai, dari tempat yang satu ke tempat yang
lainnya, dia berjalan mencari sesuap nasi. Tak seorang pun teman-temannya yang
bersedia membantu, karena takut kepada si Periang Bertangan Lembut yang telah
menjadi guru mereka.
Hari ini, di pinggir alun-alun
Kadipaten Bumiraksa, Suropati berpapasan dengan Empat Begundal Sakti yang pernah
ditaklukkannya!


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, Empat Begundal Jelek! Rupanya kalian masih punya nyali menampakkan batang
hidung di hadapanku...!" tegur Suropati memasang wajah angker.
"Memang kami sengaja mencarimu, Tuan Muda...," kata Gitapati yang menjadi
pemimpin seraya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Suropati.
Ulah Gitapati itu segera diikuti teman-temannya.
"Aku tidak mau kalian sembah...!
Kalau minta uang, aku tidak punya...!"
cegah Suropati,
"Kami bukan minta uang, Tuan Muda.... Tapi, kami minta sudilah kiranya Tuan Muda
mengajari kami beberapa jurus ilmu silat...," ujar Gitapati, tanpa merasa malu.
"Aku tidak mau...!" jawab Suropati ketus.
Remaja tampan itu pun segera
melangkah. Tapi, hingga beberapa lama, Empat Begundal Sakti selalu mengikutinya.
"Bedhes Jelek! Kenapa kalian mengikutiku..."!" maki Suropati ketika menyadari
dirinya diikuti.
"Kami meminta beberapa jurus saja, Tuan Muda...," ratap Gitapati sambil
membungkukkan badan.
"Sudah kubilang, aku tidak
sudi...!" bentak Suropati
Mendadak remaja itu menggedrukkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Duuukkk...! "Aughhh...!"
Suropati menyeringai kesakitan
karena tulang kaki kanannya terkilir. Dia lupa kalau ilmu silatnya telah
dimusnahkan si Periang Bertangan Lembut Melihat Suropati yang kini berjalan
terpincang-pincang, kening Empat Begundal Sakti berkerut.
"Kakimu terkilir, Tuan Muda...,"
usik Gitapati berusaha melembutkan suaranya. "Aku mengerti sedikit, ilmu urut.
Barangkali bisa membantu...."
"Monyet Kudisan! Belum juga kalian pergi...!"
Tiba-tiba Suropati melayangkan kaki kirinya ke arah Gitapati!
Buuukkk...! "Aughhh...!"
Kembali remaja konyol itu
menyeringai kesakitan. Telapak kakinya seperti membentur tembok tebal. Tubuhnya
pun terpelanting, jatuh ke tanah
"Aduh! Kasihan kau, Tuan Muda...,"
desah Gitapati perlahan.
Tapi, tiba-tiba lelaki ini
melayangkan kaki kanannya, menyepak pantat Suropati yang masih terbaring di atas
tanah. Bukkk! "Aduhh...!"
Tentu saja remaja konyol itu
mengerang kesakitan. Melihat itu, Empat Begundal Sakti tertawa terbahak-bahak.
"Rupanya kau sama sekali tak berilmu, Bocah Geblek...!" ejek Gitapati seraya
menghadiahkan sebuah tendangan kembali.
Buuukkk...! "Aughhh...!"
Suropati mengaduh keras, merasakan tubuhnya terlempar jauh.
Menyaksikan keadaan remaja konyol itu yang sama sekali tak berdaya, Empat
Begundal Sakti segera menjadikannya sebagai bulan-bulanan.
Sementara itu, sepasang mata
menatap kejadian ini dari balik sebuah pohon beringin besar. Si pengintip
berulang kali mendesah, karena tak tega melihat keadaan Suropati yang tampak
mengenaskan. "Aku tak bisa membiarkan empat lelaki bercambang bauk lebat itu berbuat
kejam...," gumam si pengintip yang tak lain si Periang Bertangan Lembut, guru
Suropati. Kakek kurus itu mendengus, melihat kaki kanan Gitapati yang melayang cepat
hendak menginjak leher Suropati! Seketika dia menarik sebuah kerikil, dan
langsung dilemparkannya.
Seeettt...! Tak! "Auuuh...!"
Kerikil itu tepat mengenai telapak kaki kanan Gitapati, hingga merasa kesemutan.
Segera pergelangan kakinya diturunkan sambil celingukan. Tapi karena tak melihat
sesuatu yang mencurigakan, dia menatap ketiga anak buahnya.
"Eh! Pernahkah kalian merasakan daging manusia...?" tanya Gitapati penuh
kesungguhan. Yang ditanya menggelengkan
kepalanya serempak.
"Nah! Tubuh bocah gendheng ini tentu masih empuk karena umurnya masih belum
seberapa. Bagaimana kalau
dipanggang?"
Anak buah Gitapati saling
berpandangan. Tapi mereka segera tertawa terbahak-bahak.
Mendadak Suropati menatap Empat
Begundal Sakti dengan tajam.
"Monyet-monyet Kudisan, segera cium kakiku...!"
Empat lelaki bercambang bauk lebat itu tercengang beberapa saat. Tapi, mereka
pun kembali tertawa.
"Sudah mendekati liang kubur, masih mengajak bercanda, Bocah Geblek...!" ejek
Gitapati. Suropati terkejut. Disadari kalau kekuatan sihirnya kini juga telah musnah
bersama ilmu silatnya.
Mendadak Gitapati menendang
punggung remaja konyol itu, hingga terlontar satu tombak. Lalu orang yang
bernama Bureksa membopong tubuh Suropati, dan membawanya lari menuju hutan kecil
di pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa, diikuti tiga temannya.
Si Periang Bertangan Lembut keluar dari tempat persembunyiannya, dan segera
berlari menguntit. Hatinya khawatir akan keselamatan muridnya.
Matahari sudah condong ke barat
ketika Empat Begundal Sakti sampai di tanah datar berumput yang dikelilingi
pohon-pohon besar.
Setelah mengikat tangan dan kaki Suropati, mereka segera membuat perapian.
"Bocah Geblek itu kita sembelih dulu atau langsung dipanggang hidup-hidup...?"
tanya orang yang bernama
Sarmapati. "Ha-ha-ha...," Gitapati tertawa lebar. "Kita panggang saja hidup-hidup.
Biar dia merasakan terlebih dahulu sebuah siksaan yang sangat menyakitkan!"
Mata Suropati mendelik ketika
tubuhnya diangkat beramai-ramai. Dalam hati dia pun segera berdoa, untuk
mengiringi kematiannya.
Hilang sudah segala kekonyolan
remaja tampan itu waktu melihat lidah api yang menjilat-jilat. Sambil memejamkan
mata, dia berpasrah diri kepada Tuhan.
Tawa panjang mengiringi perbuatan Empat Begundal Sakti yang melontarkan tubuh
Suropati ke perapian!
Sementara itu si Periang Bertangan Lembut yang terus menguntit Empat Begundal
Sakti segera bangkit dari tempat persembunyiannya. Tapi, kakek kurus itu
mengurungkan niatnya, karena melihat sebuah bayangan berkelebat ke arah
Suropati. Wusss...! Dengan sebuah angin pukulan yang berlambarkan kekuatan tenaga dalam, tubuh
Suropati yang sudah melayang di atas lidah api tiba-tiba terlontar, dan jatuh di
samping perapian.
Empat Begundal Sakti terkesiap.
Mereka memicingkan mata sambil celingukan mencari seseorang yang telah menolong
calon korbannya.
"Kenapa susah-susah mencari" Aku di sini, Monyet-monyet Bau!"
Empat Begundal Sakti mendongakkan kepala. Mereka melihat seorang gadis sedang
duduk santai di atas dahan pohon besar.
"Turun kau, Perempuan Edan...!"
bentak Gitapati.
"Kau saja yang naik, Monyet Bau...!" balas gadis itu.
Mendengar ucapan itu, Gitapati jadi naik pitam. Segera dipungutnya sebutir batu
sebesar kepalan tangan, lalu dilontarkannya!
Wuuuttt...! Tap...! Dengan mudah gadis itu menangkap batu yang dilontarkan ke arahnya. Namun
mendadak gadis itu melemparkannya kembali. Dan....
Wuuuttt...! Taaakkk...! "Adaaauwww...!"
Gitapati meraung kesakitan.
Kepalanya benjol sebesar telur ayam, tertimpa lontaran batu.
"Perempuan Edan! Beraninya kau mempermainkan aku...!" dengus lelaki bercambang
bauk lebat itu seraya meraup batu-batu yang berada di dekatnya.
Lalu... Weeesss...! Gadis yang menjadi sasaran hujan batu hanya menggerakkan tangan kanannya
perlahan. Wuuusss...! Taaakkk...! Taaakkk...! Taaakkk...!
Taaakkk...! Empat Begundal Sakti sama-sama
meraung kesakitan dengan kepala benjol-benjol tertimpa batu-batu yang melontar
balik akibat hempasan tenaga dalam gadis yang tengah duduk santai di dahan
pohon. Untuk beberapa lama, mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Tiba-tiba Gitapati menggerendeng gusar. Seketika goloknya dibabatkan!
Beeettt...! Buuummm...! Batang pohon itu tumbang. Dan gadis yang bertengger di atasnya meloncat ke
tanah. Tappp...! Manis sekali gadis ini mendarat
"Perempuan Edan! Kenapa kau mencampuri urusanku..."!" bentak Gitapati.
Gadis yang tak lain Anjarweni itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
"Perbuatanmu itu sangat biadab, Monyet Bau!"
"Bangsat! Masih saja kau menghinaku dengan sebutan itu...!"
Kembali Gitapati membabatkan
goloknya. Kali ini sasarannya pinggang Anjarweni.
Gadis itu hanya mundur beberapa tindak, seraya mengayunkan kakinya ke tanah.
Wuuuttt..! Taaakkk...! Seketika batu sebesar kepalan
tangan bersarang di kepala Gitapati.
Untuk ketiga kalinya lelaki ini mengaduh kesakitan.
Empat Begundal Sakti segera
mengeroyok Anjarweni Mereka yang sudah terbiasa berbuat jahat, tak sungkan-
sungkan lagi mengerubut gadis cantik murid Dewi Tangan api itu.
Wuuuttt..! Wuuuttt...!
Anjarweni menghemposkan tubuhnya ke atas, menghindar dari sambaran golok empat
lelaki bercambang bauk lebat itu.
Tiba-tiba gadis itu memutar
tubuhnya di udara. Seketika tubuhnya menukik, sambil mengebutkan tangannya.
Plak...! Plak...! Plak...! Plak...!
Empat Begundal Sakti mendekap pipi masing-masing yang telah kena tampar.
Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, Anjarweni mengayunkan tangan!
Wuuusss...! Brash...! Empat Begundal Sakti kontan
berjingkrak-jingkrak. Ternyata, celana yang mereka kenakan tiba-tiba mengepulkan
asap. Terbakar!
"Wadooowww...!"
Mereka kontan lari berserabutan
sambil mendekap anunya yang keselomot api!
Anjarweni memandangi kepergian
mereka sambil terbahak-bahak.
"Aduh...! Tolooong...!"
Mendadak terdengar jeritan Suropati yang masih tergeletak di tanah.
Anjarweni menolehkan kepala,
melihat Suropati sedang menggeliat-geliat kepanasan karena sebagian bajunya
terjilat lidah api yang berasal dari perapian.
"Aduh...! Gadis bloon! Kenapa bengong saja"!" teriak Suropati kepada Anjarweni.
Dengan bibir cemberut karena
dikatakan bloon, gadis itu segera mengibaskan tangannya, memberi
pertolongan. Wuuusss...! Api yang menjilat baju Suropati
langsung padam, terkena kibasan telapak tangan Anjarweni.
Sedangkan Suropati meronta-ronta, berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan
dan kakinya. Melihat ulah Suropati yang seperti
ulat dipatuk ayam itu, Anjarweni tertawa lebar.
"Kenapa kau tertawa, Gadis Bloon"!
Ayo, segera lepaskan tali yang mengikatku ini...!" tegur Suropati konyol.
"Enak saja kau menyebutku 'gadis bloon'! Menyesal aku menolongmu...,"
gerutu Anjarweni
Mendengar ucapan Anjarweni,
Suropati segera memasang wajah memelas.
"Pendekar wanita yang cantik dan budiman, tolonglah aku untuk melepaskan tali
terkutuk ini...," pinta Suropati.
"Aku mau menolong, tapi ada syaratnya...," ujar Anjarweni.
Kening Suropati berkerut. Setelah berpikir sejenak, dia mengembangkan senyum.
"Baiklah. Apa pun syaratnya, aku bersedia...."
Anjarweni mengerlingkan mata.
"Setelah kutolong, kau harus bersedia jadi pembantuku seumur hidup."
"Tidak mau!" jawab Suropati, langsung.
"Kenapa tidak mau?"
"Aku ini pemimpin pengemis. Gadis Bloon! Walaupun pemimpin para pengemis, tepi
tetap pemimpin! Tak lucu kalau dijadikan pembantumu. Apalagi seumur hidup. Bisa-
bisa aku nanti kau suruh menyuapimu...."
Anjarweni tertawa lebar.
"Kalau tidak mau, ya sudah.... Aku pun tak sudi menolong."
Sambil menggerutu panjang-pendek, Suropati meronta semakin keras. Tapi, ikatan
talinya tak juga terlepas. Hingga membuat kulit lengan dan kakinya lecet-lecet.
Melihat itu, rasa iba Anjarweni
timbul. Dan gadis itu segera membantu.
"Kalau kau tidak pernah menolongku, aku pun tidak akan menolongmu, Bocah Edan!"
cibir Anjarweni, ketus.
Suropati tertawa.
"Itu namanya pendekar budiman. Tak melupakan budi orang," kata Suropati sambil
mencoba berdiri.
"Aduh...!"
Tiba-tiba remaja konyol itu jatuh kembali. Dia lupa pada kaki kanannya yang
telah terkilir.
"Kasihan juga kau rupanya, Bocah Edan...."
Melihat Suropati yang meringis
kesakitan, Anjarweni segera memegang kaki kanannya.
"Aduh...!" jerit Suropati keras.
"Memangnya pelan-pelan saja. Dan, cepat kau urut. Aku mau pingsan, nih..."
Seperti terkena sihir, Anjarweni menuruti perintah Suropati.
"Aduh...!" jerit Suropati lagi.
"Gurunya jangan seperti itu! Pelan-pelan saja...!"
Kembali Anjarweni menuruti perintah remaja konyol itu.
Tiba-tiba.... Coup...!

Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suropati mencium pipi Anjarweni.
Gadis itu terkejut! Lalu....
Plak...! Suropati terpelanting kena tampar.
"Bocah Edan! Rupanya kau pintar mencari kesempatan dalam kesempitan!"
bentak Anjarweni, dengan wajah memerah menahan malu.
Melihat Anjarweni yang marah-marah, Suropati hanya tertawa. Dan gadis itu pun
berkelebat cepat, melepaskan serangan.
Buuukkk...! Buuukkk...!
Tubuh remaja konyol yang sudah
babak-belur itu kini jadi bulan-bulanan Anjarweni.
"Sudahlah, Kak Weni..."
Tiba-tiba terdengar suara teguran dari belakang. Anjarweni menolehkan kepalanya.
Ternyata Ingkanputri yang muncul.
"Bocah Edan ini memang layak untuk dihajar, Putri...!" dengus Anjarweni masih
diliputi kemarahan.
"Jangan membuang-buang waktu, Kak Weni. Segeralah tanya dia. Barangkali tahu, di
mana orang yang kita cari
berdiam diri," kata Ingkanputri, lembut.
Anjarweni menatap tajam Suropati.
"Bocah Edan! Pernahkah kau dengar seseorang yang bernama Brajadenta yang
bergelar si Dewa Maut?" tanya Anjarweni.
Suropati memicingkan matanya sambil memegang bagian tubuhnya yang terasa sakit
"He, Bocah Edan! Tuliskan kau"!"
bentak Anjarweni.
Suropati terperangah. "Ada apa?"
"Pernahkah kau dengar seseorang yang bernama Brajadenta yang bergelar si Dewa
Maut?" ulang Anjarweni.
"Apakah itu ayahmu?" Suropati ganti bertanya.
Buuukkk...! "Hugh...!"
Anjarweni menendang perut Suropati.
"Segera jawab pertanyaanku, Bocah Edan!"
"Aduh.... Kalau kau marah-marah begitu, mana aku sempat berpikir...."
Suropati mengerutkan kening, pura-pura berpikir,
"Oh, ya. Aku tahu...!" kata Suropati kemudian
Anjarweni dan Ingkanputri segera berjalan mendekati
"Aku tahu...," kata Suropati lagi tampak sungguh-sungguh. "Aku tahu. Tapi,
sekarang sudah lupa."
Buuukkk...! Tubuh Suropati menggelosor ke tanah terkena tendangan Anjarweni.
"Bocah Edan! Rupanya kau benar-benar sudah sinting!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Anjarweni berkelebat cepat menghilang dari
tempat itu, diikuti Ingkanputri.
Suropati yang ditinggalkan seorang diri, hanya bisa mengaduh berkali-kali.
Tubuhnya yang babak-belur terasa bagai dirajam!
Tiba-tiba remaja konyol itu tertawa keras.
"Ha ha.... Nikmat juga rasanya mencium pipi gadis cantik...."
Remaja itu pun ngeloyor pergi
dengan langkah sempoyongan.
8 Tiga puluh hari setelah Suropati menjalani hukuman, si Periang Bertangan Lembut
memanggilnya. Remaja konyol itu harus menghadap di dalam Kuil Saloka.
"Bagaimana rasanya menjadi
pengemis, Suro?" tanya kakek kurus ini.
Suropati tersenyum.
"Senang sekali, Kek...," sahut remaja konyol itu. "Sungguh nikmat merasakan
makanan sisa. Sungguh syahdu
suara orang yang mencariku. Dan kalau aku kena tendang pun, rasanya badan
seperti dipijit-pijit..."
Mendengar kalimat muridnya itu, si Periang Bertangan Lembut kontan tertawa.
"Kau benar-benar bocah gendheng, Suro. Tapi, aku sangat suka. Kau memang pantas
menjadi murid si Periang Bertangan Lembut...," puji Periang Bertangan Lembut
Suropati menggerakkan bola matanya ke kiri dan kanan.
"Suro! Hari ini adalah hari terakhir kau menjalani hukumanmu...."
Mata Suropati berbinar mendengar ucapan gurunya.
"Setelah genap tiga puluh hari kau mengalami penderitaan, hikmah apa yang dapat
kau petik, Suro?" tanya Periang Bertangan Lembut
"Hikmah" Hikmah apa, Kek?" Suropati malah balik bertanya.
"Sebenarnya kau sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu."
Suropati mengernyitkan hidungnya.
"Apa, Kek?"
"Penderitaan itu sakit, Suro. Tapi dari rasa sakit itulah, jiwamu ditempa untuk
menjadi orang yang bijaksana."
Suropati diam mendengarkan petuah gurunya.
"Orang yang bijaksana, selalu berpikir dari dua sudut yang saling
bertentangan. Namun, saling isi. Ketika seseorang merasakan kebahagiaan,
hendaknya ingat akan penderitaan. Agar dia tidak hanyut dalam kebahagiaan nya.
Karena kalau hanyut, sesungguhnya telah berada di ambang pintu penderitaan.
Sebab apa" Sebab apabila dia hanyut dalam kebahagiaan nya, dia sama sekali tak
mempunyai persiapan untuk menyambut datangnya penderitaan. Karena tidak
mempunyai persiapan itulah penderitaan yang menimpa akan terasa berlipat-lipat."
Suropati menundukkan kepala dalam-dalam, merasakan kebenaran ucapan si Periang
Bertangan Lembut.
"Sebaliknya, apabila seseorang telah seringkali merasakan penderitaan,
sesungguhnya telah punya modal berharga untuk menjadi seseorang bijaksana yang
mengerti kodratnya sebagai manusia. Dan, ketika dianugerahi kebahagiaan, dia pun
tak akan pernah lupa akan penderitaan yang telah dialami. Dia akan terhindar
dari sifat sombong dan congkak, karena sadar kalau kebahagiaan itu tak kekal.
Jadi, dia perlu hanyut pada kebahagiaan yang telah diperoleh"
Suropati membuka mata hatinya untuk melihat, merasakan, dan mencamkan pengertian
petuah gurunya.
"Kau mengerti, Suro?" tanya si Periang Bertangan Lembut kepada muridnya.
Suropati mengangguk.
"Jawab pertanyaanku, Suro!" sentak si Periang Bertangan Lembut
"Ya, Kek. Aku mengerti," sahut Suropati, mantap.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut menggerakkan tangannya, melepaskan totokan di tubuh Suropati.
"Ilmu silatmu telah kukembalikan, Suro. Untuk sementara, kau telah terbebas dari
penderitaan...."
Baru saja kata-kata Periang
Bertangan Lembut selesai, seorang pengemis memasuki ruangan Kuil Saloka.
Segera dihampirinya si Periang Bertangan Lembut yang tengah duduk bersila
bersama muridnya.
"Seseorang ingin bertemu, Guru...,"
lapor pengemis itu.
Si Periang Bertangan Lembut segera bangkit dari duduknya, lalu melangkah keluar.
Di depan halaman kuil telah berdiri menunggu seorang lelaki setengah baya
berpakaian prajurit
"Aku diutus Yang Mulia Baginda Prabu...," ucap prajurit itu ketika Periang
Bertangan Lembut telah berada di depannya.
"Ada perlu apa" Bukankah Baginda Prabu tahu kalau aku sudah tak mau lagi
mencampuri urusan kerajaan?" tanya si
Periang Bertangan Lembut.
"Tapi, ini sangat penting. Karena, menyangkut kewibawaan Yang Mulia Baginda
Prabu," tegas prajurit itu.
"Urusan apa?"
"Brajadenta alias si Dewa Maut telah berkhianat."
"Pengawal kerajaan itu berkhianat?"
tanya si Periang Bertangan Lembut seperti minta ketegasan, seraya mengerutkan
keningnya. "Ya," jawab utusan kerajaan.
"Brajadenta telah mencuri Kitab Batu Kumala Hitam."
Si Periang Bertangan Lembut
terkejut bagai disambar petir.
"Bukan hanya itu saja. Dia pun telah berani menodai seorang dayang-dayang,"
tambah utusan ini.
Mendengar hal ini, kakek kurus guru Suropati itu seperti dilolosi tulang-
tulangnya. Lemas sekali.
"Oh, Gusti Yang Maha Agung! Kenapa Brajadenta berani melakukan perbuatan biadab
seperti itu...?" desah si Periang Bertangan Lembut sambil mengelus dada.
"Hal itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu," lanjut utusan ini
"Apakah tokoh-tokoh kerajaan tidak ada yang sanggup menyeretnya kembali ke
hadapan Baginda Prabu?" tanya si Periang Bertangan Lembut
Utusan kerajaan itu menggelengkan kepalanya.
"Dia telah menguasai ilmu 'Batu Kumala Hitam' dari kitab yang telah dicurinya.
Oleh karenanya, tak satu tokoh kerajaan pun yang sanggup menghadapinya...."
"Dan, kedatanganmu ini tak lain untuk menyampaikan titah Baginda Prabu agar aku
menghukum Brajadenta yang telah berkhianat itu, begitu...?"
Utusan kerajaan itu mengangguk.
"Baik, aku menyanggupi. Segera kau sampaikan hal ini kepada Baginda Prabu...,"
tegas si Periang Bertangan Lembut
Setelah mendapat jawaban yang
diinginkan, utusan kerajaan itu menjura beberapa kali. Kemudian dia mohon diri
untuk pamit Dahi si Periang Bertangan Lembut berkerut-kerut memikirkan tugas yang harus
diembannya. Untuk beberapa lama, dia sama sekali tak menampakkan senyum yang
biasa menghiasi bibirnya.
Melihat gurunya yang tampak
berpikir keras, Suropati segera
mendekati. "Apakah Brajadenta yang bergelar si Dewa Maut itu sangat sakti, Kek?" tanya
Suropati polos.
Dan, remaja ini pun segera ingat
kepada dua orang gadis yang juga tengah mencari pengkhianat kerajaan itu.
"Kalau si Dewa Maut benar-benar telah menguasai ilmu 'Batu Kumala Hitam', rasa-
rasanya tak seorang pun yang sanggup mengatasinya...," gumam si Periang
Bertangan Lembut, masygul.
"Bagaimana kalau dikeroyok, Kek?"
cecar Suropati.
Mendengar ucapan muridnya, si
Periang Bertangan Lembut tersenyum.
"Tidak semudah yang kau kira, Suro."
"Jadi, dia benar-benar tak bisa dikalahkan?"
"Tentu bisa. Ilmu yang telah dikuasai Brajadenta berinti kepada Batu Kumala
Hitam. Apabila batu itu terpisah dari tubuh, kekuatannya pun akan hilang.
Tapi, mustahil bisa merampas baru itu tanpa terlebih dulu membunuh si
Brajadenta...," jelas si Periang Bertangan Lembut. "Dan satu lagi kelemahannya,
ilmu 'Batu Kumala Hitam'
akan tak berdaya apabila berhadapan dengan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa'. Tapi, aku tak yakin mampu menghadapinya. Karena aku sendiri hanya
menguasai ilmu totokan itu sampai tingkat ketujuh belas."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'" Kenapa Kakek tidak mengajarkannya
padaku?" "Bocah Gendheng! Bagaimana aku akan mengajarimu" Sedang, ilmu "Arhat Tidur'
saja belum kau kuasai"!"
Kening Suropati kontan berkerut.
Tiba-tiba timbul penyesalan dalam hatinya. Kalau saja waktu itu tidak melarikan
diri ketika disuruh bersemadi untuk memperdalam ilmu "Arhat Tidur', dia tentu
sudah diajari ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Pendekar Muka Buruk 18 Bara Naga Karya Yin Yong Pedang Darah Bunga Iblis 9
^