Penyesalan Ratu Siluman 2
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman Bagian 2
rang Wanara memutar tubuh seraya mengedar-
kan pandangan. Namun hingga beberapa lama,
mereka tetap tak tahu dari mana asal suara aneh
yang terdengar.
Selagi kedua saudara seperguruan itu di-
landa kebingungan, melesat seberkas cahaya me-
rah dari langit. Hanya dalam satu kejap mata, ca-
haya yang amat menyilaukan mata itu lenyap.
Dan, lenyap pula suara aneh yang didengar oleh
Gajah Angon dan Garang Wanara. Sebagai gan-
tinya, di pelataran pondok bambu itu muncul seo-
rang wanita cantik. Tubuhnya yang sintal ter-
bungkus pakaian merah gemerlap seperti layak-
nya seorang ratu. Rambutnya hitam mengkilat,
digelung ke atas berhiaskan tiga tusuk konde
emas bermata intan. Anehnya, wanita cantik ber-
sorot mata tajam menusuk ini mempunyai tangan
empat! "Si... siapa kau"!" tuding Gajah Angon dalam keterkejutannya.
Garang Wanara pun tak kalah terkejut.
Wajahnya terlihat pucat pasi. Bola matanya melo-
tot besar. Dan, tanpa disadarinya, mulutnya tern-
ganga lebar. "Si... siapa kau?" ulah Gajah Angon.
Bibir wanita bertangan empat menyungging
senyum tipis. "Aku Nyai Catur Asta," kenalnya.
"Heh"!"
Dalam keterkejutannya, jalan napas Gajah
Angon terasa buntu. Membuat sesak dadanya.
Tanpa sadar, kakinya tersurut mundur dua tin-
dak. Nyai Catur Asta" Tokoh-tokoh rimba persila-
tan kelas atas memang pernah menyebut-nyebut
nama itu. Mereka mengatakan bila Nyai Catur As-
ta adalah penguasa Kerajaan Siluman. Pada mu-
lanya, Nyai Catur Asta seorang manusia biasa.
Tapi entah bagaimana, dia bisa menjadi ratu di
kerajaan yang hanya dihuni jin, peri perayangan,
dan makhluk halus lainnya itu.
Gajah Angon menganggap cerita yang di-
dengarnya hanyalah isapan jempol semata. Tapi
sekarang setelah melihat sendiri bagaimana wu-
jud Nyai Catur Asta, masihkah dia menganggap
cerita itu cuma isapan jempol"
"Benarkah kau ratu Kerajaan Siluman?"
tanya Gajah Angon, ingin mendapatkan ketega-
san. "Ya. Akulah penguasa Kerajaan Siluman,"
jawab Nyai Catur Asta. (Tentang tokoh ini, bisa
dibaca pada serial Pengemis Binal dalam episode:
"Petaka Kerajaan Air").
"Lalu, apa maksudmu datang kemari?" se-
lidik Garang Wanara, menyimpan rasa tak suka.
"Apa maksudku datang kemari" Mudah se-
kali menjawabnya. Tapi..., aku khawatir kalian
berdua akan tersinggung dan naik darah bila
mendengarnya."
"Cepat katakan apa maksudmu! Jangan
berbelit-belit!" sentak Garang Wanara yang punya sifat berangasan.
Kening Nyai Catur Asta berkerut, tapi bi-
birnya menyungging senyum manis. "Kau tahu
Prahesti?" ujarnya, lembut.
"Tentu saja aku tahu. Dia muridku. Murid
kami berdua!"
"Ssst...! Jangan terlalu kasar, Kakang," tegur Gajah Angon, lirih.
"Aku sendiri tak tahu kenapa aku jadi ingin
marah setelah melihat kehadiran wanita siluman
itu," sahut Garang Wanara.
"Tapi, cobalah kau tekan perasaanmu. Ba-
gaimanapun juga, kita belum tahu apa maksud
kedatangannya," ujar Gajah Angon, mengin-
gatkan. Kepala Garang Wanara mengangguk, per-
tanda dia dapat mengerti peringatan adik seper-
guruannya. Tapi, tatapannya pada Nyai Catur As-
ta tetap tajam penuh selidik.
"Apa yang kau inginkan dari Prahesti,
Nyai"! Harap kau tahu, bocah perempuan itu te-
lah menjadi murid kesayangan kami!"
Mendengar kata-kata keras Garang Wana-
ra, Nyai Catur Asta tersenyum tipis. Ditatapnya
wajah lelaki bersepatu jerami itu beberapa lama,
lalu katanya, "Jangan kau salah kira, Wanara.
Aku tidak bermaksud buruk. Hanya, maksud ke-
datanganku ini butuh keikhlasanmu. Aku hendak
meminjam Prahesti...."
"Ha ha ha...!" Garang Wanara tertawa bergelak. "Aneh! Tak masuk akal! Prahesti
hendak kau pinjam" Dia bukan uang atau barang berharga lainnya! Dia manusia!
Manusia yang punya ji-
wa dan perasaan! Begitu mudah kau mengu-
capkan kata meminjam, Nyai" Apakah kau salah
ucap atau kau memang sedang mengigau?"
"Kakang!" sentak Gajah Angon, mengin-
gatkan bahwa kata-kata kakak seperguruannya
bisa menyinggung perasaan.
Sementara wajah Gajah Angon menampak-
kan sinar takut dan rasa bersalah, wajah Garang
Wanara malah menegang dan penuh tantangan.
Namun, sekali lagi bibir Nyai Catur Asta me-
nyungging senyum tipis.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Wanara.
Siapa yang rela murid kesayangannya hendak di-
ambil orang. Tapi kau pun harus mengerti, Wana-
ra," ujar Nyai Catur Asta, lembut. "Aku bukan hendak mengambil atau merampas
Prahesti dari tanganmu. Oleh karenanya, kugunakan istilah
'meminjam' karena setelah kubawa, Prahesti akan
kukembalikan lagi kepadamu, dalam keadaan tak
kurang suatu apa."
"Ha ha ha...!" Garang Wanara tertawa pe-
nuh ejekan. "Siapa yang percaya pada bualanmu.
Aku tahu Prahesti hendak kau jadikan budak di
Kerajaan Siluman! Tak usah kau mungkir atau
bersilat lidah!"
"Hmmm.... Rupanya kau lelaki keras kepa-
la yang sulit diberi pengertian, Wanara. Aku me-
mang akan menugaskan Prahesti untuk menyele-
saikan suatu urusan, tapi tidak untuk memper-
budaknya."
"Ucapanmu semakin ngawur saja, Nyai!
Prahesti itu seorang bocah yang belum lewat lima
belas tahun. Bagaimana mungkin dia bisa menye-
lesaikan tugas yang kau berikan"! Apakah di du-
nia ini tidak ada orang yang kemampuannya me-
lebihi Prahesti?"
"Tidak!" sahut Nyai Catur Asta, tegas. "Prahesti memiliki campuran darah
siluman. Tidak ada orang yang dapat menyamai kemampuannya.
Apalagi melebihinya!"
Garang Wanara terdiam. Gajah Angon yang
berdiri di sebelah kirinya pun tak mampu berkata
apa-apa. Benarkah Prahesti memiliki campuran
darah siluman"
"Aku minta keikhlasan kalian berdua. Izin-
kan aku membawa Prahesti saat ini juga," pinta Nyai Catur Asta kemudian.
"Maaf, Nyai...," sahut Gajah Angon, merendah. "Kalaupun benar Prahesti memiliki
campu- ran darah siluman, apa yang dapat diperbuat
olehnya" Kemampuannya sangat terbatas. Belum
lama dia belajar ilmu silat..."
"Itu persoalan mudah. Aku bisa menyu-
supkan roh seseorang ke dalam tubuhnya."
Terkesiap Gajah Angon mendengar penjela-
san Nyai Catur Asta. Jika yang dikatakan ratu
Kerajaan Siluman itu benar, maka sifat kemanu-
siaan Prahesti akan hilang. Apalagi, bila roh yang menyusupinya punya tabiat
jahat dan kejam.
"Sungguh berat hati ini untuk meluluskan
permintaan Nyai. Bila badan kasar Prahesti telah
disusupi roh orang lain, dia pasti tak akan ingat
lagi kepada kami sebagai gurunya," tolak Gajah Angon, tetap lembut merendah.
"Kau tak perlu khawatir, Angon," bujuk
Nyai Catur Asta. "Aku akan menyusupkan roh
orang lain ke dalam badan kasar Prahesti hanya
selama dibutuhkan. Apabila tugasnya telah sele-
sai, roh itu akan kutarik kembali. Dan, Prahesti
akan kukembalikan ke puncak bukit ini dalam
keadaan tak kurang suatu apa."
Gajah Angon terdiam. Tampaknya, lelaki
ini bisa mengerti penjelasan Nyai Catur Asta. Tapi
berbeda dengan kakak seperguruannya. Garang
Wanara tampak mendengus gusar dengan sinar
mata berkilat-kilat
"Kami bukan anak kecil yang bisa kau bu-
juk sedemikian rupa, Nyai!" sentak Garang Wana-ra. "Aku sama sekali tak percaya
pada kata-kata manismu. Berkatalah sejujurnya! Bukankah kau
hendak merampas ketenteraman dan kebaha-
giaan kami"!"
Mendengar tuduhan itu, mendadak bola
mata Nyai Catur Asta membersitkan sinar merah.
Namun begitu kepalanya digelengkan sinar merah
itu lenyap. Dan, tatapannya kembali melembut.
"Dalam hatiku tak ada sedikit pun keingi-
nan seperti yang kau tuduhkan itu, Wanara. Tapi,
habis kesabaranku mendengar kata-kata kasar-
mu. Kau rela atau tidak, Prahesti tetap akan ku-
bawa." Di ujung kalimat Nyai Catur Asta, Garang Wanara menggembor keras. Hawa
amarah yang menyentak-nyentak sedari tadi, meledaklah su-
dah. Lalu.... Sing...! Garang Wanara menghunus pedang pen-
dek yang terselip di pinggangnya. Tertimpa sinar
matahari, bilah pedang itu membersitkan sinar
berkilat. "Jangan, Kakang!" cegah Gajah Angon.
Tapi, ucapan adik seperguruannya itu tak
dihiraukan sama sekali oleh Garang Wanara. Se-
cepat kilat, pedangnya berkelebat hendak mene-
bas leher Nyai Catur Asta. Tapi....
Bletakkk...! "Haya...!"
Garang Wanara terkejut bagai disambar pe-
tir. Sebelum ketajaman pedangnya menyentuh
sasaran, mendadak sekujur tubuh Nyai Catur As-
ta memancarkan cahaya merah. Dan, pedang Ga-
rang Wanara terpental lepas dari cekalan, seperti
membentur tembok baja yang amat kokoh.
"Iblis!" maki Garang Wanara sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan kanannya
yang te- rasa panas bagai dijalari api. "Jangan kau kira dengan kesaktianmu itu, kau bisa
memaksakan kehendak!"
"Sudahlah, Kakang Wanara," bujuk Gajah
Angon yang tak ingin melihat kakak sepergu-
ruannya celaka. "Kita bisa membicarakan masa-
lah ini dengan kepala dingin. Bukankah Nyai Ca-
tur Asta tak bermaksud mencelakakan Prahesti"
Kenapa Kakang Wanara menuruti hati panas,
yang hanya akan mengobarkan api permusuhan?"
"Aku sama sekali tak percaya pada ucapan
Ratu Gendeng itu, Angon!" sergah Garang Wana-
ra. "Dia mau meminjam murid kita, apakah ini
bukan merupakan penghinaan" Tak sadarkah
kau bila dia telah menginjak-injak kepala kita?"
"Tapi, ada baiknya bila Kakang Wanara
bersabar dulu...."
Usai berkata, Gajah Angon mengalihkan
pandangan. Ditatapnya Nyai Catur Asta seraya
menarik napas panjang.
"Aku percaya bila Nyai tak akan menipu
kami," ujarnya, lirih namun sungguh-sungguh.
"Terlebih dahulu kami ingin tahu, roh siapakah yang akan Nyai susupkan ke badan
kasar Prahesti?"
Bibir Nyai Catur Asta menyungging se-
nyum. "Pemilik roh itu adalah orang yang telah kau kenal. Dia telah begitu dekat
dengan kalian berdua." "Siapa?" buru Garang Wanara, mendesak.
"Dia adik seperguruanmu."
"Barata Sukma?"
"Ya."
"Nyai!" sentak Gajah Angon tiba-tiba. "Apakah Nyai salah ucap" Atau mungkin,
Nyai keliru menentukan pilihan?"
Kepala Nyai Catur Asta menggeleng. "Tidak,
Angon," tegasnya. "Aku tidak salah ucap ataupun keliru menentukan pilihan. Roh
itu memang Barata Sukma. Ilmu kesaktiannya sangat tinggi. Se-
hingga, tak ada keraguan dalam hatiku bila dia
akan gagal menjalankan tugas."
"Tapi, Nyai!" sergah Gajah Angon dengan
air muka keruh. "Barata Sukma adalah murid
murtad. Semasa hidup, semua perbuatannya bisa
disejajarkan dengan kekejaman iblis laknat yang
haus darah! Guru kami pun, Eyang Darma Sago-
tra, sampai meninggal karena menderita tekanan
batin. Tidakkah Nyai memperhitungkan ba-
hayanya bila roh orang jahat itu disusupkan ke
tubuh Prahesti?"
"Jangan khawatir, Angon, Aku sudah ber-
pikir masak-masak. Roh Barata Sukma akan se-
lamanya tunduk kepadaku."
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala Gajah Angon menggeleng-geleng.
"Tidak... tidak...," desisnya. "Aku sama sekali tak percaya. Roh Barata Sukma
terlalu berbahaya untuk disusupkan ke tubuh bocah lugu macam
Prahesti..."
"Kau tak percaya, boleh. Aku akan mem-
buktikannya, Angon."
Tampak kemudian, kedua telapak tangan
Nyai Catur Asta bagian bawah menyatu di depan
dada. Sementara, dua tangan lainnya dibentang-
kan. Perlahan-lahan bergerak ke atas, lalu mene-
puk di atas kepala. Mata ratu Kerajaan Siluman
ini terpejam rapat. Sementara, bibirnya bergetar
mengucap mantra-mantra.
Gajah Angon dan Garang Wanara terke-
siap. Bulu kuduk mereka sama-sama meremang.
Mendadak, udara di puncak Bukit Palastra terasa
dingin menusuk tulang. Sedikit demi sedikit
gumpalan awan bergerak menutupi matahari. Ke-
tika cuaca berubah remang-remang, dari kedua
telapak tangan Nyai Catur Asta yang menyatu di
atas kepala mengepul asap tipis berwarna putih.
Semakin lama, asap itu menggumpal semakin
tebal. Lalu....
"Barata Sukma...!" kejut Gajah Angon dan Garang Wanara, bersamaan.
Mata kedua saudara seperguruan itu sa-
ma-sama terbelalak lebar. Sekitar satu tombak
dari hadapan Nyai Catur Asta telah berdiri seo-
rang pemuda tiga puluh tahunan. Mengenakan
pakaian dan ikat kepala hitam. Raut wajahnya
yang sebenarnya tampan jadi tampak mengerikan
karena bola matanya hanya berupa bulatan putih
dengan titik hitam kecil. Pandangannya tajam
menusuk, penuh nafsu membunuh.
"Barata Sukma...," panggil Nyai Catur Asta.
"Hamba, Ratu...."
Pemuda berikat kepala hitam membalikkan
badan seraya membungkuk dalam. Gajah Angon
dan Garang Wanara menatap tanpa berkedip. Me-
reka tak bisa membayangkan ketinggian ilmu
Nyai Catur Asta yang dapat membangkitkan roh
Barata Sukma, yang kini terlihat dalam wujud
nyata. "Berilah salam kepada dua kakak seperguruanmu itu," perintah Nyai Catur
Asta. Barata Sukma membalikkan badan lagi.
Ditatapnya sejenak wajah Gajah Angon dan Ga-
rang Wanara. Lalu, dia membungkuk hormat se-
raya berkata, "Aku yang datang, Kakang Angon
dan Wanara...."
Gajah Angon dan Garang Wanara tak
mampu membuka mulut. Mereka berdiri terpaku.
Sepertinya, mereka belum percaya pada apa yang
terlihat. Bagaimana mungkin roh orang yang te-
lah mati bisa dibangkitkan dengan wujud sama
dengan badan kasarnya"
"Kini kalian telah melihat dengan mata ke-
pala sendiri. Roh Barata Sukma tunduk dan pa-
tuh kepadaku. Roh adik seperguruan kalian akan
tetap tunduk dan patuh setelah kususupkan ke
tubuh Prahesti," jelas Nyai Catur Asta. "Oleh karena itu, sudilah kalian
merelakan Prahesti ku-
bawa sekarang juga?"
"Tidak!" tolak Garang Wanara, tegas mem-
bentak. Nyai Catur Asta menatap heran. "Apa lagi
yang kau sangsikan, Wanara" Aku datang bukan
untuk membuat celaka muridmu. Aku hanya
membutuhkan sedikit bantuan Prahesti. Aku ti-
dak akan merampasnya. Dia akan kukembalikan
lagi di tempat ini. Harap kau bisa mengerti, Wa-
nara...." Bibir Garang Wanara mengulum senyum
ejekan. "Kau bisa membangkitkan roh Barata
Sukma. Itu berarti kau memiliki kepandaian yang
tiada taranya. Untuk apa lagi kau memerlukan
bantuan Prahesti" Kau bisa melakukan apa saja
tanpa bantuan muridku!"
"Hmmm.... Bagaimana aku harus memberi
pengertian kepadamu, Wanara. Ada banyak ke-
terbatasan pada diriku...."
"Persetan dengan itu! Lagi pula, Prahesti
hendak kau perintah mengerjakan apa"!"
Kepala Nyai Catur Asta menggeleng lemah.
Keningnya berkerut rapat, pertanda dia tengah
berpikir keras.
"Ayo katakan, apa yang hendak kau perin-
tahkan kepada Prahesti"!" desak Garang Wanara.
"Itu terlalu rahasia. Aku tak bisa mengata-
kannya, Wanara...," ujar Nyai Catur Asta lirih, seperti penuh penyesalan.
"Hmmm.... Jelas sudah sekarang...," cibir Garang Wanara. "Kau menyimpan maksud
tak baik! Sekarang, harap kau pergi, Nyai. Jangan
ganggu ketenteraman kami!"
Mengelam paras Nyai Catur Asta menden-
gar ucapan Garang Wanara. Namun sebelum
penguasa Kerajaan Siluman ini memberi penjela-
san, Garang Wanara membentak lebih keras.
"Pergilah!"
Terkesiap Nyai Catur Asta melihat selarik
sinar kuning yang meluncur dari telapak tangan
kanan Garang Wanara.
Wusss..! "Heaaa...!"
Entah dari mana asalnya, tahu-tahu di sa-
lah satu tangan Nyai Catur Asta telah tergenggam
sebuah senjata berupa cakra. Senjata bulat ber-
gerigi itu lalu dikibaskan, hingga melesat seber-
kas cahaya merah. Akibatnya....
Blarrr...! Sebuah ledakan dahsyat menggelegar di
angkasa. Bumi bergetar bagai dilanda gempa.
Sementara, selarik sinar kuning wujud pukulan
jarak jauh Garang Wanara lenyap tertelan sinar
merah yang melesat dari kibasan cakra di tangan
Nyai Catur Asta.
"Bedebah!"
Sambil mengumpat, Garang Wanara me-
nerjang. Hendak digedornya dada Nyai Catur As-
ta, tapi.... Bresss...! Wuaaa...! Tiba-tiba, tubuh Garang Wanara mencelat
balik, lalu jatuh berdebam di tanah. Bola matanya
melotot besar. Mulutnya ternganga lebar. Yang le-
bih mengerikan, perut lelaki bersepatu jerami itu
telah jebol, tembus sampai ke pinggang bagian
belakang! "Barata Sukma...!" kejut Gajah Angon, tak percaya.
Rupanya ketika Garang Wanara hendak
mendaratkan pukulan ke dada Nyai Catur Asta,
Barata Sukma mengirimkan pukulan jarak jauh.
Garang Wanara yang tengah melayang di udara
pun tak mampu menghindar, apalagi dia sama
sekali tak menyangka akan mendapat serangan
sedemikian mendadak. Hingga, perutnya terhan-
tam telak. Dan, melayanglah nyawanya ke alam
baka seketika itu juga!
"Barata Sukma...!" bentak Gajah Angon,
menyebut nama adik seperguruannya lagi. "Kau...
kau biadab!"
Selagi Gajah Angon menuding penuh ke-
bencian, seorang bocah terlihat meloncat meng-
hampiri. "Ada apa, Eyang?" tanya si bocah, yang tak lain Prahesti.
Gajah Angon menatap wajah muridnya
tanpa mampu berkata apa-apa. Dia hendak me-
nyuruh pergi, tapi mulutnya terasa bagai dikunci.
Kematian Garang Wanara yang mengenaskan ter-
lalu memukul jiwanya.
Sementara itu, Nyai Catur Asta terkejut ju-
ga melihat kekejaman Barata Sukma. Sungguh
tak dia sangka bila roh yang dibangkitkannya itu
bisa berbuat sedemikian biadab.
"Kenapa kau tega terhadap saudara seper-
guruanmu sendiri, Barata"!" tegur Nyai Catur As-
ta dengan muka merah padam.
"Maaf, Ratu...," sembah Barata Sukma.
"Hamba melihat Ratu dalam bahaya. Hamba ter-
paksa...."
"Siapa mereka, Eyang?" tanya Prahesti,
bergidik ngeri melihat wujud Nyai Catur Asta dan
Barata Sukma. "Pergilah cepat, Prahesti!" perintah Gajah Angon, tanpa menjawab pertanyaan
muridnya. Namun, Prahesti tak bergeming dari tem-
patnya berdiri. Apalagi setelah melihat mayat Ga-
rang Wanara yang terbaring telentang dalam kea-
daan kaku mengejang.
"Pergilah cepat, Prahesti!" perintah Gajah Angon, lebih keras.
"Tidak!" tolak Prahesti. "Mereka pasti telah membunuh Eyang Wanara. Aku harus
membalas kematiannya!"
Usai berkata, Prahesti menghunus Pedang
Naga Kembar yang terselip di punggungnya. Den-
gan pedang warisan itu, Prahesti meluruk ke arah
Nyai Catur Asta yang berdiri lebih dekat dengan-
nya! "Mati kau, Iblis Jahat!"
Ujung Pedang Naga Kembar meluncur lu-
rus, hendak menusuk ulu hati Nyai Catur Asta.
Sementara, yang diserang tenang-tenang saja.
Dengan ilmu kesaktiannya, dia hendak menadahi
tusukan pedang itu. Tapi....
"Yang menyerang Ratu harus mati!"
Barata Sukma berteriak lantang. Selarik
sinar kehijauan melesat dari telapak tangan ka-
nannya. Namun sebelum tubuh Prahesti tertimpa
pukulan jarak jauh itu, cepat Gajah Angon ber-
tindak. Wusss...!
Blarrr...! Gajah Angon memapaki pukulan jarak
jauh Barata Sukma dengan pukulan jarak jauh
pula. Suara menggelegar dahsyat menggema di
angkasa. Bumi yang terguncang keras membuat
gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan. Pa-
da saat pandangan jadi gelap, tiba-tiba Barata
Sukma melesat! Bukkk...! "Argh...!"
Dada Gajah Angon berhasil digedor oleh
Barata Sukma. Akibatnya, tubuh lelaki berjubah
hitam itu melayang deras bagai dilontarkan tan-
gan raksasa. Begitu jatuh berdebam ke tanah,
Barata Sukma melancarkan pukulan jarak jauh!
Untunglah, kesadaran Gajah Angon belum
hilang. Dia masih mampu melentingkan tubuh-
nya untuk menghindar. Dan, pukulan jarak jauh
Barata Sukma membentur pondok bambu, hingga
roboh dan hangus terbakar!
5 "Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
Sekujur tubuhku terasa panas bagai digodok di
tungku pembakaran. Karena tak kuasa menahan
sakit yang luar biasa itu, aku jatuh pingsan," tu-
tur Gajah Angon, menutup ceritanya.
"Jadi, kau tak tahu bagaimana nasib Pra-
hesti, Pak Tua?" tanya Suropati, ingin mene-
gaskan. Dengan air muka keruh, Gajah Angon
mendesah panjang. "Bocah tak berdosa itu pasti dibawa Nyai Catur Asta ke
Kerajaan Siluman. Ji-ka roh Barata Sukma disusupkan ke tubuhnya,
aku menyangsikan kepatuhan dan kesetiaannya
pada Nyai Catur Asta. Aku tahu benar sifat dan
tabiat Barata Sukma ketika masih hidup. Dia iblis
seribu wajah yang sangat pandai berpura-pura."
Pengemis Binal memungut ranting kering,
lalu dimasukkannya ke perapian yang hampir pa-
dam. Lalu, ditatapnya sang candra yang men-
gambang di langit. Dirasakannya hembusan angin
yang mengelus kulitnya. Hari sudah lewat tengah
malam. "Bila benar yang kau katakan itu, Kerajaan
Siluman berada dalam bahaya. Walau aku tak ta-
hu apa maksud Nyai Catur Asta yang hendak
menyusupkan roh Barata Sukma ke tubuh Pra-
hesti, tapi aku harus menolong ratu Kerajaan Si-
luman itu. Aku pernah berhutang nyawa kepa-
danya...," ujar Pengemis Binal kemudian.
"Boleh saja kau menolong Nyai Catur Asta
sebagai tindakan balas budi. Tapi, yang paling
penting kau lakukan adalah mencegah Barata
Sukma membuat pertumpahan darah lagi, walau
dia telah berwujud seorang bocah perempuan li-
ma belas tahunan," sahut Gajah Angon.
Kepala Suropati mengangguk. Ditatapnya
lagi wajah sang candra yang terhibur oleh kedi-
pan bintang-bintang. Lalu, dialihkannya pandan-
gan ke wajah Gajah Angon yang membersitkan
duka. "Pak Tua...," sebut Pengemis Binal dengan suara berat dan penuh
kesungguhan. Gajah Angon menatap dengan sorot mata
pengharapan.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan datang ke Kerajaan Siluman...,"
ujar Suropati lirih, seperti ditujukan kepada di-
rinya sendiri. Gajah Angon bersorak girang dalam hati.
Namun, kegembiraan yang tergambar di wajahnya
segera lenyap lagi. Suropati hendak datang ke Ke-
rajaan Siluman" Mampukah dia"
"Bagaimana kau bisa datang ke kerajaan
yang berada di alam gaib itu, Suro?" tanya Gajah Angon, seperti menyangsikan
kemampuan Pengemis Binal.
"Aku pernah mempelajari sebuah kitab
sakti pemberian seorang tabib pandai yang tinggal
di Bukit Rawangun. Dia bergelar si Wajah Merah.
Dan dari kitab yang kupelajari itu, aku bisa men-
guasai ilmu 'Menembus Alam Gaib'," beri tahu
Suropati, meyakinkan. (Baca serial Pengemis Bi-
nal dalam episode: "Dendam Para Pengemis").
"Benarkah itu?" tanya Gajah Angon, me-
nyimpan rasa girang dalam hati.
Pengemis Binal mengangguk.
"Kapan kau akan pergi ke Kerajaan Silu-
man?" "Sekarang."
"Sekarang?"
"Ya."
"Lalu, bisakah aku membantumu, Suro?"
Sekali lagi, Suropati menatap sang candra,
lalu katanya, "Jika aku telah mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib', jagalah badan kasarku
dengan seluruh kemampuanmu. Jangan sampai
ada binatang buas atau orang jahat yang meng-
ganggu. Kalau badan kasarku sampai terluka pa-
rah, rohku tak akan bisa kembali. Dan, aku akan
menjadi orang yang paling sengsara. Aku akan
terbuang ke alam gaib untuk selama-lamanya.
Dikatakan hidup tidak, mati pun tidak...."
Kening Gajah Angon berkerut rapat men-
dengar penuturan Pengemis Binal. Rasa ngeri
timbul dalam hatinya. Bagaimana kalau dia tidak
bisa menjalankan amanat Suropati" Di puncak
Bukit Palastra memang tidak ada binatang buas.
Tapi, bagaimana kalau datang orang-orang jahat
yang mempunyai keinginan buruk terhadap pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu" "Luka dalamku masih belum sembuh be-
nar. Bagaimana aku bisa menjalankan tugas yang
kau berikan, Suro?" keluh Gajah Angon kemu-
dian. Pengemis Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Desah panjang keluar dari mulutnya.
Remaja tampan ini tampak berpikir keras. Na-
mun, tercetus juga keputusan di benaknya.
"Memang berat apa yang harus kulakukan
ini. Tapi kalau memang Tuhan tetap melindungi-
ku, apa lagi yang kutakutkan?" tegasnya dalam hati. "Bagaimana, Suro?" tanya
Gajah Angon. "Aku akan segera mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib'. Berdoalah, Pak Tua...,"
sahut Pengemis Binal, mantap.
"Tapi...."
"Tak perlu khawatir. Kau bisa membantu-
ku dengan doa."
Usai berkata, Pengemis Binal beringsut, la-
lu duduk bersedekap dengan mata terpejam ra-
pat. Gajah Angon menatapnya tanpa berkedip.
Sementara, lamat-lamat terdengar kokok ayam
alas di kejauhan. Agaknya, pagi akan segera re-
bah di Bukit Palastra....
* * * Semburat cahaya jingga di langit timur
mengusir kelam malam. Gelap memudar seiring
fajar yang telah menyingsing. Angin yang semilir
sejuk mengelus tubuh seorang bocah perempuan
yang tengah duduk bersila di tepi sungai kecil ini.
Raut wajahnya terlihat menegang dengan mata
terpejam rapat.
Manakala burung-burung berdendang
riang menyambut pagi, bocah lima belas tahunan
berpakaian putih bergaris coklat ini bergetar. La-
mat-lamat terdengar gemerincing lonceng kereta
kuda yang saling sahut dengan suara dengungan.
Seiring dengan getaran tubuh si bocah yang ma-
kin keras, suara aneh itu terdengar makin keras.
Lalu.... Wusss...!
Seberkas cahaya merah melesat dari langit.
Begitu menyentuh permukaan tanah, cahaya
yang amat menyilaukan mata itu lenyap. Sebagai
gantinya, sekitar tiga tombak dari hadapan si bo-
cah, telah berdiri seorang wanita cantik berpa-
kaian merah gemerlap. Menilik dari tangannya
yang berjumlah empat, siapa lagi dia kalau bukan
Nyai Catur Asta!
"Prahesti...," panggil ratu Kerajaan Siluman ini. Bocah berpakaian putih
bergaris coklat
membuka kelopak matanya. Begitu melihat Nyai
Catur Asta telah berdiri di hadapannya, senyum
manis mengembang di bibirnya. Namun, Nyai Ca-
tur Asta membalas dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa kau tidak datang ke keraton, Pra-
hesti" Apa maksudmu memanggilku untuk da-
tang ke tempat ini?" tanya Nyai Catur Asta dengan kening berkerut.
"Hi hi hi...!" Prahesti mengeluarkan tawa menyeramkan. "Apa maksudku" Hi hi
hi...!" Terkesiap Nyai Catur Asta melihat sikap
Prahesti yang sangat tak menghormat. "Prahes-
ti...!" bentaknya ketika bocah yang telah disusupi roh Barata Sukma itu tak
menghentikan tawanya.
"Ada apa" Ada apa, Ratu" Kenapa kau
mengganggu kesenangan orang" Hi hi hi...!"
"Prahesti...!" bentak Nyai Catur Asta, keras menggelegar karena dialiri tenaga
dalam. "Ya. Ya, Ratu...."
Begitu Prahesti menghentikan tawanya,
Nyai Catur Asta mendengus gusar. Ditatapnya le-
kat-lekat wajah Prahesti.
"Untuk apa kau memanggilku kemari?"
"Tentu saja untuk memberitahukan bahwa
hamba telah berhasil membawa Arca Budha dan
Pedang Burung Hong."
"Kenapa kau tidak membawanya ke kera-
ton?" "Karena aku punya urusan pribadi denganmu, Ratu. Tak satu pun penghuni
Kerajaan Siluman boleh tahu. Hi hi hi...!"
Terkejut Nyai Catur Asta mendengar tawa
Prahesti yang penuh ejekan. Terbawa kegusaran-
nya, wanita bertangan empat ini menggedrukkan
kaki kanannya! Bummm...! Seiring dengan timbulnya ledakan keras,
bumi berguncang seperti tengah terjadi letusan
gunung berapi. Akibatnya, air sungai bergolak.
Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan ke
angkasa. Dan, beberapa batang pohon yang bera-
da di dekat tempat itu akarnya tercabut dari ta-
nah, lalu terhempas laksana terbawa tiupan an-
gin topan! Hebatnya, Prahesti tetap dapat duduk ber-
sila tanpa bergeming sedikit pun. Sikapnya te-
nang tak menunjukkan rasa bersalah, padahal
sudah jelas bila Nyai Catur Asta sangat marah
kepadanya. "Prahesti!" dengus Nyai Catur Asta kemu-
dian. "Ya. Ya, Ratu...," sambut Prahesti, kalem.
"Serahkan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong kepadaku!"
"Hi hi hi...! Arca Budha" Pedang Burung
Hong" Hi hi hi...! Aku yang bersusah payah men-
dapatkannya, kenapa orang lain yang memili-
kinya" Tidak adil! Tidak adil!"
Merah padam muka Nyai Catur Asta men-
dengar ucapan itu. Timbul penyesalan dalam di-
rinya, kenapa menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh Prahesti" Keberanian Prahesti yang di-
tujukan kepadanya sungguh tak pernah dia duga.
Namun, apalah arti penyesalan bila semuanya
sudah terjadi"
Dengan kening berkerut rapat, Nyai Catur
Asta menatap tusuk konde emas berhias intan
permata yang menancap di kepala Prahesti.
"Hmmm.... Sebelum bocah setengah siluman itu
berbuat yang lebih berani, aku harus menarik roh
Barata Sukma dari badan kasarnya."
Berpikir demikian, mendadak tangan ka-
nan Nyai Catur Asta yang sebelah atas disorong-
kan ke depan. Dan, sebuah kekuatan kasat mata
yang berdaya hisap dahsyat melesat ke arah Pra-
hesti. Tepatnya menuju ke tusuk konde emas
yang menancap di kepala bocah perempuan itu!
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa mengejek.
"Rupanya kau hendak main-main, Ratu Jelek!"
Sambil tertawa, Prahesti meletakkan kedua
ujung jari telunjuk dan tengahnya ke pelipis. Ke-
tika merasakan sentakan keras dari kekuatan ka-
sat mata yang hendak mencabut tusuk konde di
kepalanya, dia alirkan tenaga dalam untuk me-
nahan kekuatan itu.
"Heh"!"
Terperangah Nyai Catur Asta melihat Pra-
hesti mampu menahan tusuk kondenya agar tak
tercabut dari kepala. Terbawa rasa gusar bercam-
pur amarah, Nyai Catur Asta menambah kekua-
tannya sampai ke puncak!
"Heaaa...!"
Slaps...! Satu kejap mata kemudian, wajah Prahesti
tampak menegang. Kepalanya bergetar keras. Se-
mentara, dari kedua ujung jari telunjuk dan ten-
gahnya mengepul asap tipis. Debu menebar dari
permukaan tanah tempatnya duduk bersila. Se-
makin lama, tubuh Prahesti turut bergetar. Tak
ayal lagi, keringat panas bermuncratan!
"Menyerahlah, Prahesti!" teriak Nyai Catur Asta, mengingatkan. Ratu Kerajaan
Siluman itu sadar betul bila Prahesti nekat, maka tubuhnya
akan meledak. Dan, kematianlah akibatnya.
Namun, tampaknya Prahesti tak mau me-
nyerah begitu saja. Sambil memekik nyaring, dia
tegakkan tubuhnya. Lalu, dalam keadaan masih
duduk bersila, perlahan-lahan dia turunkan
ujung jari telunjuk dan tengahnya. Kemudian,
empat jari tangan itu dia satukan di depan dada!
"Hiah...!"
Wusss...! Terbelalak mata Nyai Catur Asta melihat
selarik sinar kuning meluncur dari jari-jari tan-
gan Prahesti. Sinar amat menggidikkan itu melesat ce-
pat. Yang dituju adalah batok kepala Nyai Catur
Asta! "Haram jadah!"
Bergegas Nyai Catur Asta meloncat tinggi.
Selarik sinar kuning wujud serangan Prahesti me-
luncur terus, hingga menerpa sebatang pohon
cukup besar. Ssshhh...! Terdengar suara seperti bara api tersiram
air. Batang pohon yang tertimpa sinar kuning tak
menunjukkan perubahan apa-apa, tetap utuh se-
perti semula. Tapi dua kejap mata kemudian, ke-
tika angin bertiup lebih kencang, batang pohon
sepelukan manusia dewasa itu hancur luluh men-
jadi abu! "Luar biasa...," gumam Nyai Catur Asta,
tanpa sadar memuji kehebatan Prahesti yang ter-
susupi roh Barata Sukma.
"Hi hi hi...! Masihkah kau ingin main-main
lagi, Nyai"!" ejek Prahesti. "Bila sudah puas, sudah saatnya aku mengutarakan
maksudku."
Nyai Catur Asta tak menyahuti. Sorot ma-
tanya tajam menusuk, berdiri dalam kewaspa-
daan penuh. "Hi hi hi...! Tak perlu kau bersikap seperti
itu, Ratu! Aku tak akan menyerangmu dengan
sembunyi-sembunyi!" ejek Prahesti sekali lagi.
"Mendekatlah kemari, Prahesti...," sahut Nyai Catur Asta, lembut. "Roh orang
sesat yang bersemayam di tubuhmu telah membuatmu ter-
sesat jalan. Biarkan aku menarik roh itu. Agar si-
fat dan tabiat aslimu kembali seperti semula...."
Prahesti menyahuti ucapan Nyai Catur As-
ta dengan tawa panjang. "Hi hi hi...! Aku senang dengan keadaanku yang seperti
ini. Bukankah aku telah menjadi maha raja yang punya kesak-
tian setinggi langit" Oleh karena itu kukatakan
terus terang kepadamu, Ratu, aku memintamu
datang ke tempat ini agar kau dengan suka rela
menyerahkan takhta Kerajaan Siluman!"
"Heh"!"
Terkejut tiada terkira Nyai Catur Asta.
"Hi hi hi...! Apakah keterkejutan yang ter-
gambar di wajahmu suatu pertanda bahwa kau
tak rela menyerahkan takhta Kerajaan Siluman"
Kalau begitu, terpaksa.... Sungguh terpaksa seka-
li. Aku akan melemparkan rohmu ke tempat gelap
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang penuh siksa! Hi hi hi...!"
Mengetahui bila Prahesti tak dapat dikua-
sai lagi, Nyai Catur Asta menggeram marah. En-
tah dari mana asalnya, di salah satu tangan ratu
Kerajaan Siluman ini telah tergenggam senjata
andalannya yang berupa cakra!
"Hi hi hi...!" Prahesti malah tertawa makin keras. "Apa yang hendak kau perbuat
kepadaku, Ratu" Menghukum mati" Atau barangkali, hendak menyerahkan cakra itu
sebagai tanda bahwa
kau telah takluk kepadaku?"
"Bedebah!"
Mulut Nyai Catur Asta mengeluarkan leng-
kingan tinggi. Dia kibaskan senjata cakranya. Se-
berkas cahaya merah meluruk deras. Sementara,
Prahesti sama sekali tak beranjak dari tempat
duduknya. Hingga....
Wusss...! Blarrr...! Sebuah ledakan keras mengusik kehenin-
gan pagi. Ledakan keras yang menggelegar mele-
bihi letusan gunung berapi itu membuat permu-
kaan tanah berguncang-guncang. Air sungai yang
berada di dekat pusat ledakan bergolak naik bagai
ditepuk tangan raksasa. Gelap menyelimuti pan-
dangan karena gumpalan tanah dan bebatuan
berhamburan. Terlihat beberapa ekor burung
yang tengah terbang di angkasa memekik parau,
lalu jatuh dengan tubuh hancur berantakan!
Manakala gelap tak lagi menyelimuti pan-
dangan mata, Nyai Catur Asta terhantam keterke-
jutan yang tiada taranya. Dengan air muka keruh,
mata wanita cantik bertangan empat ini terbela-
lak lebar. Mulutnya ternganga hingga beberapa
lama, seakan napas dan denyut jantungnya telah
terhenti! "Tak mungkin! Tak mungkin!" desis Nyai
Catur Asta, tak mempercayai penglihatannya
sendiri. Sekitar lima tombak dari tempat ratu Kera-
jaan Siluman ini berdiri, terlihat sebuah kuban-
gan besar dan dalam yang cukup untuk mengu-
burkan tiga ekor gajah sekaligus! Sementara, tu-
buh Prahesti tampak melayang dalam keadaan
duduk bersila tanpa kurang suatu apa!
"Arca Budha! Pedang Burung Hong!" gu-
mam Nyai Catur Asta, melihat dua benda yang
dipegang Prahesti di depan dada.
Tangan kiri Prahesti tampak memegang se-
buah arca sebesar anak kucing yang terbuat dari
emas murni. Dan, tangan kanannya mencengke-
ram erat gagang pedang bengkok yang badannya
dipenuhi ukiran indah. Arca Budha dan Pedang
Burung Hong! Dua benda bertuah yang berasal dari Nege-
ri Cina itu saling melekat di depan dada Prahesti.
Dan, dari badan Arca Budha memancar cahaya
kuning keemasan yang menyelubungi sekujur tu-
buh Prahesti. Sinar itulah yang menyangga tubuh
Prahesti hingga tidak sampai jatuh ke kubangan.
"Wajahmu pucat, Ratu. Apakah timbul rasa
ngeri di hatimu?" cibir Prahesti seraya melentingkan tubuhnya. Begitu menginjak
tanah, dia lang-
sung menyambung ucapannya. "Dengan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong di tanganku,
mestinya kau tahu diri, Ratu. Akuilah aku seba-
gai ratu penggantimu. Dan, berlututlah segera.
Setelah itu pergilah sejauh mungkin! Jangan tun-
jukkan batang hidungmu ke hadapanku lagi! Ka-
lau tidak, kau akan menyesal sampai langit run-
tuh terbawa kiamat!"
"Sombong sekali kau!" balas Nyai Catur As-ta. "Kesaktian yang kau miliki berasal
dari roh Barata Sukma. Tidak tahukah kau bila aku yang
telah membangkitkan roh murid Darma Sagotra
itu. Oleh karenanya, buka akal pikiranmu lebar-
lebar. Sampai di mana pun ketinggian ilmu Bara-
ta Sukma, dia tetap roh yang mempunyai banyak
keterbatasan. Aku akan mengembalikannya ke
tempat asalnya!"
Di ujung kalimatnya, Nyai Catur Asta me-
lemparkan senjata cakranya ke angkasa.
Sing...! Wuuung...! Diiringi suara mendengung yang meme-
kakkan gendang telinga, senjata bundar bergerigi
itu berputar cepat membentuk lingkaran luas di
atas kepala Prahesti. Lalu....
Glarrr...! Glarrr...! Dari lingkaran luas bergaris tengah tiga
tombak itu berlesatan garis-garis sinar merah
yang amat menggidikkan. Semuanya menuju ke
tubuh Prahesti, laksana hujan petir!
Sejenak Prahesti mendelikkan mata karena
terkesiap. Namun, cepat dia mengambil tindakan.
Badan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong ditempelkannya lagi!
Slash...! Di lain kejap, sekujur tubuh Prahesti ter-
bungkus cahaya kuning keemasan yang meman-
car dari badan Arca Budha. Dan..., lesatan garis-
garis cahaya merah yang berasal dari senjata ca-
kra Nyai Catur Asta tak mampu menembusnya!
Garis-garis cahaya merah itu berpentalan ke uda-
ra. Sebagian mental ke tanah, dan mengeluarkan
ledakan keras. Membuat kubangan di sana-sini!
"Celaka!" pekik Nyai Catur Asta dalam keterkejutannya.
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa pongah, penuh luapan rasa gembira. "Bila kau
tidak rela menyerahkan takhta Kerajaan Siluman, sebaik-
nya kau perhatikan apa yang akan kuperbuat
ini!" Sambil tertawa keras, Prahesti mengempos tubuh ke atas. Lalu....
Sing...! Sing...!
Prang...! Prang...!
Pedang Burung Hong di tangan Prahesti
berkelebat dua kali. Terdengar benturan senjata
logam yang dibarengi berhentinya putaran senjata
cakra. Dan..., hujan garis sinar merah lenyap se-
ketika! "Heh"!"
Nyai Catur Asta tersurut mundur dua
langkah terhantam keterkejutan. Senjata cakra
jatuh ke tanah, dua depa dari tempatnya berdiri,
dalam keadaan terpotong menjadi empat bagian!
"Hi hi hi...!" tertawa Prahesti dalam keme-nangannya. "Berlututlah sebelum
kucincang tu- buhmu!" Beberapa lama Nyai Catur Asta tak mampu
berkata. Bibirnya bergetar dengan wajah pucat
pasi. Kehebatan yang ditunjukkan Prahesti benar-
benar membuatnya terpaku keheranan. Rasa ses-
al dalam diri penguasa Kerajaan Siluman ini se-
makin merebak. Kenapa dia susupkan roh Barata
Sukma ke tubuh Prahesti" Kenapa pula dia mesti
memerintahkan bocah setengah siluman itu un-
tuk merampas Arca Budha dan Pedang Burung
Hong" Akibatnya, dengan kesaktian dua benda
pusaka itu, Prahesti malah ingin menguasai Kera-
jaan Siluman! Selagi Nyai Catur Asta mendesah, Prahesti
tertawa mengejek. Dia angkat Pedang Burung
Hong tinggi-tinggi, laksana algojo hendak me-
menggal kepala seorang pesakitan.
"Berlututlah!" perintah Prahesti dengan
mata berkilat tajam. "Aku hanya akan meminta
dua buah tanganmu. Lalu, hiduplah kau di dunia
nyata sebagai manusia biasa. Dan, biarkan aku
menjadi ratu di Kerajaan Siluman!"
Prahesti menyambung ucapannya dengan
tawa panjang. Sementara, dua tangan Nyai Catur
Asta bagian atas tampak bersedekap. Dan, dua
tangan yang lainnya menepuk di depan dada!
Mendadak, terdengar suara gemerincing
lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan
suara dengungan. Semakin lama semakin keras,
menghampiri Nyai Catur Asta.
"Hmmm.... Hendak pergi ke mana kau, Ra-
tu Pecundang"!" sentak Prahesti yang tahu bila Nyai Catur Asta hendak
meninggalkan tempat
dengan tenaga gaib.
Prahesti menyertai ucapannya dengan me-
nyabetkan Pedang Burung Hong di tangannya.
Dari ujung pedang bertuah itu melesat cahaya
kebiruan! Wusss...! Blarrr...! Lesatan cahaya biru membentur tubuh
Nyai Catur Asta yang telah berbentuk bayang-
bayang. "Akhhh...!"
Lenyapnya tubuh Nyai Catur Asta mening-
galkan jerit kesakitan. Sementara, gemerincing
lonceng yang saling sahut dengan suara dengun-
gan, pertanda datang dan perginya Nyai Catur As-
ta, hilang tertelan tawa panjang Prahesti!
"Hi hi hi...! Ratu Pecundang Catur Asta!
Begitu mudah aku mengalahkanmu. Kau memang
tak pantas menjadi ratu di Kerajaan Siluman!
Akulah sekarang yang menjadi ratu! Akulah ratu
Kerajaan Siluman! Hi hi hi...!"
6 Hingga beberapa lama, hanya kegelapan
yang dapat dilihat Suropati. Semuanya hitam ke-
lam. Roh pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti ini terus melayang-layang di suatu tem-
pat luas tiada bertepi. Seiring pengetrapan ilmu
'Menembus Alam Gaib' yang telah sampai pada
puncaknya, yakni tahap 'Ngrogoh Sukma'!
Melonjak girang Suropati dalam hati tatka-
la melihat setitik sinar kuning di kejauhan. Cepat dia kerahkan seluruh kekuatan
batinnya untuk dapat menuju ke sana. Semakin lama, sinar itu
terlihat makin besar. Lalu...
Blab...! Wusss...! Pengemis Binal merasa dirinya dilontarkan
tangan raksasa. Kepalanya pening dan mengabur
pula pandangannya.
Kini, yang dapat dilihat remaja tampan ini
cuma cahaya putih berserat-serat. Lamat-lamat
didengarnya gemerincing lonceng yang saling sa-
hut dengan suara dengungan. Kontan tersenyum
senang Pengemis Binal. Dia tahu benar suara itu
menandakan bila Nyai Catur Asta berada tak jauh
darinya. Suropati menarik napas panjang seraya
mengempos seluruh kekuatan batinnya lagi. Saat
perhatiannya hanya tertuju pada satu titik, dia
kerahkan ilmu 'Mata Awas'-nya. Dan dengan ilmu
hasil ajaran Periang Bertangan Lembut ini, dapat-
lah dia menembus serat-serat cahaya putih yang
membutakan mata.
"Nyai...!"
Pengemis Binal berteriak lantang tatkala
melihat sesosok tubuh wanita di kejauhan. Wani-
ta itu berpakaian merah gemerlap, cantik namun
bertangan empat!
"Nyai...!" teriak Suropati lagi, lebih keras.
Wanita bertangan empat yang tengah me-
nunggang kereta kuda menoleh. Melihat sosok
Suropati, kontan matanya berbinar. Segera wani-
ta yang tiada lain dari Nyai Catur Asta ini meng-
hentikan laju kereta kudanya.
"Sur.... Oh...!"
Nyai Catur Asta hendak menyebut nama
Pengemis Binal, namun suaranya tercekat di
tenggorokan. Cairan darah segar keburu me-
nyembur dari mulutnya.
"Nyai...!"
Pengemis Binal memekik kaget melihat tu-
buh Nyai Catur Asta yang jatuh terkulai seperti
sekuntum bunga layu tertimpa hawa panas.
Badan halus Pengemis Binal melesat cepat
menuju kereta Nyai Catur Asta yang ditarik empat
kuda berbulu putih. Tanpa pikir panjang lagi, di-
periksanya keadaan penguasa Kerajaan Siluman
itu. "Astaga!" kejut Suropati.
Walau tidak ada luka sedikit pun di tubuh
Nyai Catur Asta, tapi tak terdapat tanda-tanda
kehidupan. Napas dan detak jantung wanita ber-
tangan empat itu telah berhenti!
Seperti orang kesetanan, Pengemis Binal
mengguncang-guncangkan tubuh Nyai Catur As-
ta. Dirabanya dada wanita cantik itu. Napas dan
detak jantungnya tetap berhenti. Pengemis Binal
ganti meraba kening dan sekujur tubuh Nyai Ca-
tur Asta. Hangat!
"Dia belum mati! Dia belum mati!" seru
Pengemis Binal.
Cepat remaja tampan ini mengumpulkan
seluruh daya ingatnya. Wejangan dan latihan
yang pernah diberikan si Wajah Merah bermuncu-
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lan di benaknya. Kemudian....
"Maaf, Nyai...," ujar Suropati seraya men-dudukkan tubuh Nyai Catur Asta.
Buk...! Buk...! Pengemis Binal menghantam punggung
Nyai Catur Asta beberapa kali. Lalu, dia tekan ja-
lan darah besar di pangkal lengan wanita itu. Di-
alirkannya hawa sakti, namun tubuh Nyai Catur
Asta tetap tak menunjukkan tanda-tanda kehidu-
pan. "Ya, Tuhan. Berilah aku kekuatan untuk
menolong wanita ini, agar aku dapat membalas
segala budi baiknya," doa Pengemis Binal.
Jalan darah besar di pangkal lengan Nyai
Catur Asta ditekannya makin keras. Dia salurkan
hawa sakti lebih banyak. Akibatnya, hanya dalam
waktu lima tarikan napas, Pengemis Binal telah
mandi keringat. Dan pada tarikan napas ketujuh,
remaja tampan ini terkulai pingsan!
Namun, tidak sia-sia usaha Suropati. Per-
lahan-lahan dua tangan Nyai Catur Asta bagian
atas, yang semula jalan darah besarnya ditekan
Suropati, bergerak perlahan. Menyusul dua tan-
gan yang lainnya.
"Uh...!" keluh Nyai Catur Asta, membuka
kelopak mata. Begitu melihat tubuh Pengemis Binal ter-
baring telungkup di atas kakinya, ratu Kerajaan
Siluman ini berseru, "Suro!"
Cepat dia balikkan tubuh Pengemis Binal.
Legalah hati Nyai Catur Asta setelah mengetahui
Pengemis Binal hanya jatuh pingsan karena kele-
lahan. Diiringi ringkikan empat kuda putih, Nyai
Catur Asta meletakkan salah satu telapak tan-
gannya ke dahi Pengemis Binal. Lalu, ditelusu-
rinya tubuh remaja tampan ini sampai ke ujung
kaki. Tuk...! Tuk...! Setelah diberi beberapa totokan di tubuh-
nya, Pengemis Binal mengerang.
"Ukh...!"
"Kau tak apa-apa, Suro?" tanya Nyai Catur Asta begitu melihat Pengemis Binal
siuman. "Nyai...!" seru Suropati. "Kau... kau tidak mati, Nyai"!"
Pengemis Binal tak menjawab pertanyaan-
nya. Tapi, Nyai Catur Asta tahu bila pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini tidak
menderita luka apa-apa.
"Nyai...!" seru Pengemis Binal lagi. Pandangannya mengharap agar Nyai Catur Asta
menu- turkan peristiwa yang baru dialaminya.
"Aku tidak apa-apa Suro. Terima kasih atas
pertolonganmu," ujar Nyai Catur Asta.
"Apa yang terjadi denganmu, Nyai?" tanya Pengemis Binal, menegaskan
keingintahuannya.
"Aku baru saja bertempur dengan bocah
setengah siluman yang mempunyai kesaktian he-
bat, Suro," tutur Nyai Catur Asta.
"Bocah setengah siluman" Siapa dia?" de-
sak Pengemis Binal. .
"Prahesti."
"Prahesti?"
"Ya. Kau mengenalnya, Suro?"
"Tidak. Tapi..., yang menyusupkan roh Ba-
rata Sukma adalah kau, Nyai" Seharusnya dia
dapat kau kuasai...."
Kening Nyai Catur Asta berkerut. Ratu Ke-
rajaan Siluman ini hendak bertanya, tapi batuk
keburu menyerangnya.
"Kau... kau tidak apa-apa, Nyai?" tanya
Pengemis Binal, khawatir.
Nyai Catur Asta memaksakan diri untuk
tersenyum seraya bertanya, "Bagaimana kau da-
pat tahu perihal Prahesti?"
"Guru bocah itu yang bercerita kepadaku.
Gajah Angon."
"Jadi, kau telah pergi ke puncak Bukit Pa-
lastra?" Pengemis Binal mengangguk. "Kenapa,
Nyai" Apakah aku salah karena menolong orang
itu?" "Tidak! Kau tidak salah, Suro," sahut Nyai Catur Asta, mantap. "Akulah
yang bersalah. Akulah yang harus memikul seluruh akibatnya."
Sinar mata Nyai Catur Asta meredup. Wa-
jahnya muram dan kuyu karena menyimpan piki-
ran berat. Sementara, Pengemis Binal menatap-
nya dengan pandangan iba dan penuh belas kasi-
han. Bagaimanapun juga, Nyai Catur Asta pernah
menyelamatkan jiwanya tatkala Kapal Rajawali
pecah ter-hantam ombak ganas di Laut Selatan.
Nyai Catur Asta juga yang telah menurunkan il-
mu 'Pukulan Salju Merah' kepadanya. (Baca serial
Pengemis Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan Air" dan "Dendam Ratu Air").
"Ceritakan apa yang telah terjadi, Nyai.
Mungkin aku bisa menolongmu," desak Suropati.
"Untuk apa kau menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh Prahesti" Padahal, kau tahu bila Barata
Sukma adalah tokoh jahat yang amat kejam."
Nyai Catur Asta menarik napas panjang
beberapa kali. Ditatapnya wajah Pengemis Binal.
Rasa bersalah dan berdosa merebak di hatinya,
membuat penyesalan itu tiada berujung. Pedih
menyakitkan, terasa sampai ke relung-relung ji-
wa. "Suro...," sebut Nyai Catur Asta. "Aku memang layak untuk mati. Tapi karena
aku merasa punya kewajiban di Kerajaan Siluman, aku berta-
han untuk hidup...."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Didengarnya ucapan Nyai Catur Asta
dengan alis bertaut.
"Aku yang hina ini telah terbujuk setan un-
tuk merampas Arca Budha dan Pedang Burung
Hong.' "Nyai...!" desis Pengemis Binal, tak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Karena ada kekuatan gaib yang melindun-
gi kedua benda bertuah itu, aku tak dapat mewu-
judkan keinginanku seorang diri," lanjut Nyai Catur Asta. "Lalu, kubangkitkan
roh Barata Sukma, dan kususupkan ke dalam tubuh Prahesti setelah
melalui sebuah peristiwa berdarah di puncak Bu-
kit Palastra."
"Lalu, kenapa Prahesti menentang Nyai?"
"Pada mulanya aku sangat yakin bila roh
yang akan kususupkan ke tubuh Prahesti akan
tetap dapat kukuasai. Tapi.,. sungguh di luar du-
gaanku. Ketika roh Barata Sukma telah kusu-
supkan, sifat lahir Prahesti tetap ada pada di-
rinya. Suara dan semua gerak-gerik bocah seten-
gah siluman itu seharusnya berubah menjadi Ba-
rata Sukma. Aku belum menyadarinya sampai
Arca Budha dan Pedang Burung Hong dia da-
patkan. Hingga... Huk! Huk...!"
Nyai Catur Asta tak dapat melanjutkan
ucapannya. Batuk keburu menyerang. Dan..., da-
rah segar menetes dari lubang hidung dan sudut
bibirnya. "Nyai...!" jerit Pengemis Binal.
Melihat kekhawatiran remaja tampan ini,
Nyai Catur Asta menggelengkan kepala. Dengan
sapu tangan merah, dihapusnya cairan darah
yang menodai wajahnya.
"Katakan! Katakan apa yang harus kuper-
buat, Nyai!" desak Pengemis Binal.
Nyai Catur Asta mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum hambar yang dapat dia perli-
hatkan. "Sungguhkah kau ingin menolongku, Su-
ro?" tanyanya, mengharap.
"Kenapa tidak, Nyai" Kalau itu di jalan ke-
benaran, aku pasti melakukannya!" tegas Pengemis Binal.
"Tapi, aku telah salah jalan, Suro..."
"Orang salah memang patut dihukum. Bu-
kankah Nyai sudah merasakan hukuman itu"
Nyai telah terluka parah! Katakan apa yang harus
kuperbuat, Nyai!"
"Dengan kesaktiannya, Prahesti hendak
merebut takhta Kerajaan Siluman. Itu sangat
berbahaya karena dirinya telah dikuasai nafsu se-
tan. Kalau dia menuruti nafsu jahat itu, rimba
persilatan pun ter-ancam bahaya. Dia akan terus
mengumbar keinginan buruknya...."
"Katakan dengan cara apa aku dapat
menghentikan keinginan buruk Prahesti, sekali-
gus menolongmu, Nyai!" desak Pengemis Binal la-gi, penuh kesungguhan.
Nyai Catur Asta menatap wajah Suropati
lekat-lekat. Darah segar kembali menetes dari lu-
bang hidung dan sudut bibirnya.
"Kau terluka parah, Nyai. Izinkan aku me-
nolongmu..."
Sebelum Nyai Catur Asta memberikan ja-
waban, mendadak....
"Hi hi hi...! Sebelum ajal menjemput, ru-
panya Ratu Pecundang Catur Asta sempat berme-
sra-mesraan dengan kekasihnya. Hi hi hi...!"
Terkesiap Nyai Catur Asta dan Pengemis
Binal. Mereka mengarahkan pandangan ke tem-
pat yang sama. Seorang bocah perempuan lima
belas tahunan tampak berdiri berkacak pinggang.
Tatapannya tajam menusuk penuh nafsu mem-
bunuh. Dia Prahesti!
Pengemis Binal memperhatikan dengan
seksama, lalu bertanya, "Diakah yang bernama
Prahesti, Nyai?"
"Ya," jawab Nyai Catur Asta dengan wajah pucat pasi. "Kembalilah ke alam nyata,
Suro!" "Kenapa" Kenapa, Nyai" Bukankah ini sua-
tu kesempatan baik untuk melenyapkan keangka-
ra-murkaan bocah setengah siluman itu!" tolak Pengemis Binal.
"Berbahaya! Berbahaya, Suro! Kau belum
siap!" Di ujung kalimatnya, Nyai Catur Asta ba-
tuk-batuk. Tubuhnya terkulai jatuh, dan pingsan
lagi di atas kereta kudanya!
"Hi hi hi...! Rupanya, ajal Ratu Pecundang
Catur Asta tinggal beberapa tarikan napas saja.
Hi hi hi...!" ejek Prahesti.
"Diam kau, Perempuan Laknat!" hardik Su-
ropati. "Jiwamu terlalu kotor dan busuk untuk menjadi ratu di Kerajaan Siluman!"
Mengelam paras Prahesti mendengar uca-
pan kasar Pengemis Binal. Kontan napasnya te-
rengah-engah karena desakan amarah yang me-
nyesakkan dadanya.
"Jahanam!" umpat Prahesti. "Berani benar kau berkata seperti itu! Tidakkah kau
tahu sedang berhadapan dengan siapa"!"
"Huh! Aku tahu benar siapa dirimu! Kau
hanyalah perempuan liar yang tak lebih berharga
dari tahi kuda!"
Mendengar ucapan yang lebih kasar itu,
amarah Prahesti tak tertahankan lagi. Wajahnya
merah padam. Darahnya bergolak naik sampai ke
ubun-ubun. Sambil menggembor keras, bocah se-
tengah siluman ini menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan!
Wusss...! Seberkas cahaya kuning menggidikkan me-
lesat ke arah Pengemis Binal. Bergegas remaja
tampan ini mendorong kereta kuda tempat Nyai
Catur Asta terkulai pingsan. Diiringi ringkikan
panjang empat kuda putih, kereta itu melesat ce-
pat bagai anak panah lepas dari busur. Sementa-
ra, Pengemis Binal lalu meloncat tinggi. Dan, se-
berkas cahaya kuning yang melesat dari kedua te-
lapak tangan Prahesti hanya mengenai tempat
kosong. "Bedebah! Punya kepandaian juga kau ru-
panya, Monyet Bau!" umpat Prahesti, kesal.
"Bangsat! Kau katakan aku Monyet Bau"
Tidak sadarkah kau bila kaulah mbahnya Monyet
Bau!" balas Pengemis Binal, konyol.
"Keparat!"
"Kaulah yang keparat!"
"Setan Alas!"
"Kaulah yang Setan Alas!"
Melihat kekonyolan Suropati, tak dapat
Prahesti menahan hawa amarahnya. Kepalanya
menggeleng keras seraya mengeluarkan lengkin-
gan tinggi. "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
"Mampukah itu" Mampukah itu?"
Tiba-tiba saja sifat gendeng Pengemis Binal
muncul. Dengan konyolnya remaja tampan ini
meleletkan lidah. Sementara, Prahesti menggeram
keras laksana harimau pada puncak kemarahan-
nya. Mendadak, mata Pengemis Binal terbelalak
lebar. Tanpa sadar dia tersurut mundur beberapa
tindak. Tangan kanan Prahesti tampak menceng-
keram erat gagang pedang bengkok yang badan-
nya dipenuhi ukiran indah.
"Pedang Burung Hong...!" kejut Suropati.
Lebih terkejut lagi pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini ketika melihat tangan
kiri Prahesti yang mencekal arca sebesar anak
kucing terbuat dari emas murni, yang tiada lain
dari Arca Budha!
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan buruk segera berkelebatan di
benak Suropati. Arca Budha dan Pedang Burung
Hong bagaimana bisa berada di tangan Prahesti.
Menyesal dia karena tak menanyakan sebelumnya
kepada Nyai Catur Asta. Lalu, bagaimana nasib
Kwe Kok Jiang dan Kwe Sin Mei yang semula
membawa kedua benda bertuah itu untuk dibawa
ke Negeri Cina"
Pengemis Binal tak mampu berpikir pan-
jang karena Prahesti keburu menerjangnya. Keta-
jaman Pedang Burung Hong menyambar hendak
memenggal lehernya!
Wuttt...! "Hiah...!"
Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh
ke belakang. Namun, dari ujung Pedang Burung
Hong melesat seberkas cahaya kebiruan!
"Kuntilanak Bunting!"
Sambil memaki, Pengemis Binal menghen-
takkan kedua tangannya ke depan. Seberkas ca-
haya merah wujud dari ilmu 'Pukulan Salju Me-
rah' melesat! Blarrr...! 7 Hampir dua penanakan nasi lamanya Ga-
jah Angon menunggui badan kasar Suropati yang
tengah duduk bersila dengan mata terpejam ra-
pat. Selama itu, hatinya terus diliputi perasaan
tak enak. Daun yang gugur dan burung yang
hinggap di tanah telah membuatnya terkejut be-
berapa kali. Dia khawatir dan waswas, jangan-
jangan ada orang jahat datang ke puncak Bukit
Palastra ini. Dalam keadaan terluka dalam, da-
patkah dirinya melaksanakan amanat Suropati"
Gajah Angon menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah Pengemis Binal yang teduh penuh
kehalusan budi. Dia tak berani mengeluarkan su-
ara. Takut mengusik Pengemis Binal yang tengah
mengetrapkan ilmu 'Menembus Alam Gaib'.
Sementara itu, dari kaki bukit melesat se-
sosok bayangan. Berkelebat cepat, laksana dapat
menghilang. Ketika sampai di tengah punggung
bukit, bayangan ini menghentikan kelebatan tu-
buhnya. Ter-nyata, dia seorang lelaki setengah
baya. Berpakaian kuning merah mencolok mata.
Kulitnya putih. Rambutnya diikat dengan sehelai
kain sutera merah.
Lelaki bertubuh ramping ini mengedarkan
pandangan sebentar, lalu mengusap peluh di wa-
jahnya dengan sapu tangan sutera berwarna kun-
ing. "Hmmm.... Menurut keterangan yang ku
peroleh, ada seorang remaja tampan berpakaian
penuh tambalan menaiki bukit ini. Aku menduga,
dia pasti Suropati. Hmmm.... Sudah lama aku
menyimpan sakit hati kepada bocah gendeng itu.
Setelah aku menguasai aji 'Pelebur Raga', dapat-
lah aku melampiaskan dendam kesumat ini!" gu-
mamnya. Dia mengedarkan pandangan sekali lagi.
Ditatapnya kuntum-kuntum bunga merah jingga
yang menebar di puncak bukit. Mendadak, tan-
gan lelaki ini melambai genit. Bibirnya tersenyum
dan matanya melemparkan kerlingan.
"Suropati...," desisnya. "Sebelum dia kubunuh, dapatkah aku bermesra-mesraan
dulu den- gannya" Kenapa tidak" Akan kubuat dia kelim-
pungan dan terpuruk dalam cengkeraman nafsu
birahi. 'Puyer Perangsang' akan membuatnya lupa
diri! Ha ha ha...!"
Lelaki yang tingkah lakunya seperti wanita
ini tertawa bergelak. Dia adalah Lelaki Genit Mata Banci! (Tentang tokoh ini
bisa dibaca pada serial
Pengemis Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan Air" dan "Tengkorak Kaki Satu").
Lelaki yang menyimpan permusuhan ter-
hadap Pengemis Binal ini menatap puncak bukit
dengan pandangan nanar. Lalu, dia jejakkan kaki
kanannya ke tanah. Dan..., tubuhnya melesat ce-
pat! "Ha ha ha...!" tawa Lelaki Genit Mata Banci setelah sampai di puncak bukit.
"Tak percuma
aku bertanya-tanya. Tak sia-sia kakiku melang-
kah. Kiranya, bocah gendeng itu memang berada
di tempat ini! Ha ha ha...!"
Gajah Angon yang tengah menunggui ba-
dan kasar Pengemis Binal terkejut bagai disambar
petir di siang bolong. Bola matanya melotot besar
ketika tahu ada seorang lelaki setengah baya te-
lah berdiri tak seberapa jauh darinya.
"Siapa kau"!" tanya Gajah Angon, keras
membentak. "Hmmm.... Kasar benar ucapanmu!" Lelaki
Genit Mata Banci balas membentak. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau
berada di tempat
ini"! Dan, bocah gendeng itu sedang melakukan
apa"!" Di ujung kalimatnya, Lelaki Genit Mata Banci melempar kerlingan ke arah
Suropati yang masih duduk bersila dalam sikap semadi.
Terbawa perasaan tak enak, Gajah Angon
bangkit berdiri. Ditatapnya wajah Lelaki Genit
Mata Banci penuh selidik.
"Aku Gajah Angon penguasa Bukit Palastra
ini!" kenalnya dengan nada tinggi. "Kau datang tanpa memberi salam, malah
memperlihatkan sikap tak baik. Bila kau tahu diri, angkat kakimu!
Tempat ini tak layak menerima kehadiranmu!"
"Hmmm.... Kata-katamu membuat gatal te-
lingaku. Siapa pun kau, aku tak ada urusan den-
ganmu. Tapi... hmmm.... Walau kau sudah beru-
mur, namun bolehlah...." Lelaki Genit Mata Banci tersenyum penuh arti. "Setelah
aku menyelesaikan urusanku dengan bocah gendeng itu, kau bo-
leh main-main denganku. Aku jamin. Kau pasti
puas, dan ketagihan. Ha ha ha...!"
Melihat gerak-gerak lelaki yang berdiri tiga
tombak dari hadapannya, Gajah Angon menge-
rutkan kening. "Aku tak tahu siapa lelaki itu. Menilik ting-
kah lakunya yang seperti wanita, apakah dia
orang yang berjuluk Lelaki Genit Mata Banci" Ka-
lau benar, untuk apa dia jauh-jauh datang dari
Negeri Saloka Medang ke Bukit Palastra ini?" kata Gajah Angon dalam hati.
"Hei! Apa yang kau pikirkan, Angon"! Aku
memang Lelaki Genit Mata Banci. Bila kau pernah
mendengar kebesaran namaku, menyingkirlah
kau sebentar. Akan kuselesaikan dulu urusanku
dengan bocah gendeng itu. Selanjutnya... selan-
jutnya.... Ha ha ha...!"
"Gila!" umpat Gajah Angon. "Siapa pun tidak boleh mengganggu Suropati! Tidak
juga kau, Lelaki Banci!"
"Hmmm.... Tidak tahukah kau betapa sakit
hati orang yang menyimpan dendam kesumat"
Suropati telah membunuh sahabat baikku yang
bernama Wiranti. Itu berakibat Partai Iblis Ungu
yang dipimpinnya hancur berantakan. Suropati
pun telah mempermalukan aku beberapa kali. Ti-
dak bolehkah aku membalas perlakuan buruk
bocah gendeng itu?"
Bibir Gajah Angon menyungging senyum
sinis. "Partai Iblis Ungu.... Menilik namanya, partai itu jelas tempat bernaung
orang-orang sesat.
Sudah pantas bila Suropati menghancurkannya,
berikut membunuh pemimpinnya. Kalaupun kau
pernah dipermalukan oleh Suropati, bukankah
itu sudah selayaknya" Lihatlah perilakumu sendi-
ri! Nafsu tak wajarmu itulah yang...."
"Keparat!" potong Lelaki Genit Mata Banci.
"Tak perlu banyak bacot! Jika kau tidak segera menyingkir, kau akan menyesal
seumur hidup!"
Mendengar ancaman itu, Gajah Angon ter-
kesiap. Bagaimana dia dapat mempertahankan
diri bila Lelaki Genit Mata Banci menyerangnya"
Kalau dia mati, siapa lagi yang akan menjaga ba-
dan kasar Suropati"
"Cobalah kau menahan amarahmu...," me-
rendah Gajah Angon. "Ada baiknya bila kau gu-
nakan pikiran jernih untuk berunding."
"Berunding" Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa yang hendak kau rundingkan" Apakah kau tak rela bila
Suropati mendapat bagian pertama" Mestinya
kau tahu diri, Angon! Kau sudah tua. Tenagamu
tentu sudah loyo! Mana dapat dibandingkan den-
gan Suropati yang gagah perkasa. Ha ha ha...!"
Mengelam paras Gajah Angon mendengar
ucapan Lelaki Genit Mata Banci. Cepat dia usir
rasa risih dan jengah di hatinya. Bagaimanapun
juga, dia harus menjaga agar Lelaki Genit Mata
Banci tak melakukan tindakan keras yang me-
maksa dirinya berbaku hantam.
"Bukan... bukan itu maksudku, Lelaki
Banci," ujar Gajah Angon kemudian. "Aku tahu kau sudah tak sabar untuk segera
menyelesaikan urusanmu dengan Suropati. Tapi, tunggulah be-
berapa saat sampai Suropati menyelesaikan se-
madinya..."
Lelaki Genit Mata Banci mendengus. Dita-
tapnya wajah Suropati yang masih duduk bersila.
Ditatapnya dengan seksama, sampai akhirnya dia
menarik sebuah kesimpulan.
"Tubuh bocah gendeng itu tak menunjuk-
kan tanda-tanda kehidupan. Kalau dia sedang
bersemadi, aku pasti bisa mendengar hembusan
napas dan detak jantungnya. Tapi, ini tidak.
Mungkinkah dia telah mati" Aku harus membuk-
tikannya!"
Terbawa pikiran di benaknya, Lelaki Genit
Mata Banci berjalan mendekati tubuh Pengemis
Binal. Tentu saja Gajah Angon tak membiarkan-
nya. Bergegas dia meloncat untuk menghalangi
langkah Lelaki Genit Mata Banci.
"Hei! Mau apa kau"!" bentak Gajah Angon.
Mendadak, Lelaki Genit Mata Banci meng-
geram marah. Ditatapnya wajah Gajah Angon
dengan pandangan berapi-api.
"Minggir kau!"
Sambil membentak, Lelaki Genit Mata
Banci menggerakkan kaki kanannya. Tak mau
dadanya menjadi sasaran tendangan, cepat Gajah
Angon menggeser tubuh ke kiri. Namun...
"Huk...! Uokkk...!"
Tubuh Gajah Angon tak mampu berdiri te-
gak. Kedua kakinya bergerak maju mundur. Ta-
nah yang dipijaknya seakan dilanda gempa.
Dan..., dari mulutnya menyembur darah segar!
"Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa bergelak. "Rupanya kau menderita
luka dalam, Kerbau Dungu! Menyingkirlah! Agar kau tak
menyesal bila nanti kupecahkan batok kepala-
mu!" Dengan mulut masih belepotan darah, Ga-
jah Angon menuding seraya berkata, "Apa... apa yang akan kau perbuat terhadap
Suropati...?"
"Kau ingin tahu" Baiklah aku jelaskan,"
sahut Lelaki Genit Mata Banci. "Akan kuperiksa
apakah bocah gendeng itu telah mati atau masih
hidup. Bila masih hidup akan kucekoki dia den-
gan 'Puyer Perangsang'. Setelah aku puas berme-
sraan dengannya, dia akan kubunuh! Tubuhnya
akan kuhancurkan dengan aji 'Pelebur Raga'! Ha
ha ha...!"
Mendengus gusar Gajah Angon mengetahui
maksud buruk Lelaki Genit Mata Banci. Selagi le-
laki ini tertawa bergelak, cepat Gajah Angon
menghunus pedang yang terselip di pinggangnya,
lalu.... Wuttt...!
Bilah pedang Gajah Angon berkelebat ce-
pat. Ujungnya mengarah ulu hati Lelaki Genit Ma-
ta Banci! "Hiah...!"
Lelaki Genit Mata Banci menggembor ke-
ras. Mudah saja lelaki ini menghindari tusukan
pedang Gajah Angon. Dan, sekali tangannya ber-
gerak, tubuh Gajah Angon mencelat karena da-
danya terhantam bogem mentah!
Sejenak Lelaki Genit Mata Banci menatap
tubuh Gajah Angon yang jatuh bergulingan. Sam-
bil mengulum senyum, lelaki ini melangkah,
mendekati badan kasar Suropati!
"Matilah kau!"
Nekat sekali Gajah Angon bangkit. Pedang-
nya berkelebat lagi, hendak memenggal leher Le-
laki Genit Mata Banci!
Wuttt...! Sengaja Lelaki Genit Mata Banci menung-
gu. Setelah pedang Gajah Angon mendekati le-
hernya, dia rundukkan tubuhnya. Lalu....
Blekkk...! "Hukkk...!"
Telapak tangan Lelaki Genit Mata Banci
menepuk kepala Gajah Angon dari atas. Dalam
keadaan masih berdiri, kedua kaki Gajah Angon
menancap di tanah sampai sebatas siku!
"Melihat kenekatanmu, rupanya kau cukup
berharga untuk dijadikan korban aji 'Pelebur Ra-
ga'-ku, Kerbau Dungu!"
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di ujung kalimatnya, Lelaki Genit Mata
Band menarik napas panjang. Dengan tangan
bersedekap, dirapalnya sebuah mantra. Tapi tu-
buh Gajah Angon keburu ambruk memeluk bumi!
"Bodoh! Bodoh!" umpat Lelaki Genit Mata
Banci. "Mestinya kau rasakan dulu kehebatan aji
'Pelebur Raga'-ku! Kenapa nyawamu begitu mu-
dah melayang"!"
Dengan perasaan kesal, Lelaki Genit Mata
Banci menggedrukkan kakinya ke tanah. Namun
ketika melihat sosok Pengemis Binal yang masih
duduk bersila di tempatnya, rasa kesal di hati le-
laki berpakaian kuning merah ini lenyap seketika.
Lalu sambil tersenyum-senyum, dia berjalan
mendekati... * * * Sementara itu, badan halus Pengemis Binal
tengah terkurung cahaya kebiruan yang meman-
car dari bilah Pedang Burung Hong di tangan
Prahesti. Dengan melakukan gerakan 'Pengemis
Meminta Sedekah', dia meloncat ke sana-sini un-
tuk dapat keluar dari kurungan cahaya panas itu.
"Hmmm.... Kehebatan Pedang Burung
Hong memang tiada taranya. Tak dapat aku ber-
laku terus seperti ini. Aku harus membalas se-
rangan Prahesti!"
Menuruti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal mengempos tenaga. Setelah berjumpalitan
beberapa kali, dia salurkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya ke kedua pergelangan tangannya.
Begitu mendapat kesempatan, cepat dia merun-
duk. Lalu, secepat kilat dia melenting ke atas
dengan gerakan 'Pengemis Mengiba Rembulan'!
Wusss...! Blarrr...! Cahaya merah yang melesat dari kedua
tangan Suropati membentur cahaya kebiruan
yang semula mengurungnya. Namun, akibatnya
sungguh di luar dugaan. Badan halus pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini terhem-
pas. Melesat cepat diiringi jeritan panjang me-
nyayat hati! "Aaa...!"
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa penuh keme-nangan. "Pertempuran ini harus
dilanjutkan. Kukembalikan kau ke alam nyata. Tunggulah bebe-
rapa saat sebelum tubuhmu kucincang menjadi
serpihan daging!"
Mendadak, tubuh bocah setengah siluman
ini melesat. Tangan kirinya terjulur lurus ke de-
pan. Dan..., serangkum angin pukulan berhawa
panas luar biasa menerpa Pengemis Binal!
Wesss...! "Wuahhh...!"
Badan halus Pengemis Binal terlempar ke
tempat gelap nan luas tiada bertepi. Untuk bebe-
rapa lama dirinya terbawa melayang-layang tiada
menentu. Kemudian, telinga murid Periang Ber-
tangan Lembut ini menangkap suara desir angin
yang menerpa ranting pohon. Dapat dia dengar
pula kicau burung yang merdu bernyanyi.
Suropati tahu bila roh dan badan kasarnya
telah menyatu kembali. Namun, keterkejutan
menghantam telak. Ketika membuka kelopak ma-
ta, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tengah berjalan menghampirinya.
"Lelaki Genit Mata Banci!"
Mendengar seruan Pengemis Binal yang
begitu keras, Lelaki Genit Mata Banci melonjak
kaget. Tubuhnya terlihat limbung karena pijakan
kakinya berada di tanah yang tak rata.
"Slompret!" rutuknya.
Mengetahui bila Lelaki Genit Mata Banci
menyimpan bibit permusuhan kepadanya, berge-
gas Pengemis Binal bangkit. Namun, dia terkesiap
merasakan tubuhnya yang lemah.
"Oh! Apa yang telah terjadi?" keluh Suropati, menajamkan ingatan. "Pasti angin
pukulan Prahesti yang telah membuatku seperti ini..."
Mata Suropati terbelalak lebar tatkala me-
lihat tubuh Gajah Angon yang menancap di ta-
nah. Remaja tampan ini hendak meloncat mende-
kati, tapi tulang-belulangnya terasa bagai dilolosi.
Tenaganya terkuras tiada tersisa. Hingga, dia tia-
da dapat me-lakukan apa-apa, kecuali menatap
tubuh Gajah Angon dari kejauhan.
"Keparat kau, Lelaki Banci!" umpat Pengemis Binal. "Kau pasti yang telah
mencelakai sahabatku itu!"
"Kalau ya, kau mau apa" Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa pongah.
Dia tahu benar bila Pengemis Binal tengah menderita luka
dalam. Mendadak....
"Hi hi hi...! Tak percuma aku melancarkan
'Pukulan Badai Gurun'. Selain melemparkan di-
rimu ke alam nyata, ternyata kau pun tak luput
dari luka dalam, Pemuda Gemblung! Hi hi hi...!"
Mendengar tawa menyeramkan itu, Suro-
pati terkesiap. Cepat dia arahkan pandangan ke
asal suara. Terlihat oleh pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini sosok Prahesti yang
tengah berdiri tegak menatap penuh ejekan ke
arahnya. Kalut dan bingung segera menyelimuti be-
nak Suropati. Bila Prahesti bermaksud membu-
nuhnya, dengan apa lagi dia dapat bertahan"
Namun, segera tercetus sebuah akal bagus.
Ditatapnya Lelaki Genit Mata Banci yang berdiri
sekitar dua tombak dari hadapannya. Lalu, diam-
diam dia pusatkan kekuatan batinnya.
"Hei, Lelaki Banci!" seru Pengemis Binal, disertai kekuatan ilmu sihir ajaran
Periang Bertangan Lembut. "Lihatlah ke sana! Perempuan kejam yang sangat haus
darah itu sudah sepatutnya
untuk dibunuh. Keluarkan ilmu kesaktianmu
yang terhebat Lenyapkan dia secepatnya!"
Begitu usai ucapan Pengemis Binal, kepala
Lelaki Genit Mata Banci menggeleng-geleng. Ma-
tanya mengerjap beberapa kali.
"Ya. Ya, kau memang pantas untuk dile-
nyapkan!" seru Lelaki Genit Mata Banci, menuding Prahesti.
Di lain kejap, Lelaki Genit Mata Banci tam-
pak bersedekap. Dengan mata terpejam, dirapal-
nya sebuah mantra. Agaknya, lelaki bertingkah
laku wanita ini hendak mengetrapkan aji 'Pelebur
Raga'-nya. "Heh"!"
Prahesti terkesiap manakala merasakan
tubuhnya bergetar. Dirasakannya sentakan-
sentakan keras yang menarik kepala, kedua tan-
gan dan kakinya agar terbetot lepas dari tempat-
nya. Bocah setengah siluman ini kontan menden-
gus gusar. "Hmmm.... Aku dapat memastikan bila le-
laki genit itulah yang tengah menyerangku den-
gan kekuatan kasat mata," kata hati Prahesti.
Disertai sebuah jeritan panjang, Prahesti
menghunus pedang yang sarungnya terdapat uki-
ran dua ekor naga. Lalu, pedang warisan bernama
Naga Kembar itu dilemparkan ke arah Lelaki Ge-
nit Mata Banci!
Bersamaan dengan itu, Lelaki Genit Mata
Banci menepukkan kedua telapak tangannya di
atas kepala! Wuttt...! Blammm...! Sebuah ledakan keras mengiringi kekuatan
kasat mata yang keluar dari telapak tangan Lelaki
Genit Mata Banci. Tampak kemudian, tubuh Pra-
hesti melayang jauh, dan jatuh bergulingan ke le-
reng bukit. Sementara, tubuh Lelaki Genit Mata
Banci jatuh berdebam dalam keadaan tanpa nya-
wa. Darah segar merembes dari dadanya yang ter-
tembus ketajaman Pedang Naga Kembar!
Pengemis Binal menarik napas lega. Den-
gan langkah tertatih-tatih, dihampirinya tubuh
Gajah Angon yang sudah tak menunjukkan tan-
da-tanda kehidupan. Sementara, panas sinar
mentari menyiram kuntum-kuntum bunga merah
jingga. Semilir angin mengelus aneka burung
yang berkicau mendendangkan lagu duka.
SELESAI Segera ikuti saja kisahnya!!
PETUALANGAN ROH IBLIS
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SELESAI PETUALANGAN ROH IBLIS
Misteri Lukisan Tengkorak 6 Joko Sableng 12 Warisan Laknat Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17
rang Wanara memutar tubuh seraya mengedar-
kan pandangan. Namun hingga beberapa lama,
mereka tetap tak tahu dari mana asal suara aneh
yang terdengar.
Selagi kedua saudara seperguruan itu di-
landa kebingungan, melesat seberkas cahaya me-
rah dari langit. Hanya dalam satu kejap mata, ca-
haya yang amat menyilaukan mata itu lenyap.
Dan, lenyap pula suara aneh yang didengar oleh
Gajah Angon dan Garang Wanara. Sebagai gan-
tinya, di pelataran pondok bambu itu muncul seo-
rang wanita cantik. Tubuhnya yang sintal ter-
bungkus pakaian merah gemerlap seperti layak-
nya seorang ratu. Rambutnya hitam mengkilat,
digelung ke atas berhiaskan tiga tusuk konde
emas bermata intan. Anehnya, wanita cantik ber-
sorot mata tajam menusuk ini mempunyai tangan
empat! "Si... siapa kau"!" tuding Gajah Angon dalam keterkejutannya.
Garang Wanara pun tak kalah terkejut.
Wajahnya terlihat pucat pasi. Bola matanya melo-
tot besar. Dan, tanpa disadarinya, mulutnya tern-
ganga lebar. "Si... siapa kau?" ulah Gajah Angon.
Bibir wanita bertangan empat menyungging
senyum tipis. "Aku Nyai Catur Asta," kenalnya.
"Heh"!"
Dalam keterkejutannya, jalan napas Gajah
Angon terasa buntu. Membuat sesak dadanya.
Tanpa sadar, kakinya tersurut mundur dua tin-
dak. Nyai Catur Asta" Tokoh-tokoh rimba persila-
tan kelas atas memang pernah menyebut-nyebut
nama itu. Mereka mengatakan bila Nyai Catur As-
ta adalah penguasa Kerajaan Siluman. Pada mu-
lanya, Nyai Catur Asta seorang manusia biasa.
Tapi entah bagaimana, dia bisa menjadi ratu di
kerajaan yang hanya dihuni jin, peri perayangan,
dan makhluk halus lainnya itu.
Gajah Angon menganggap cerita yang di-
dengarnya hanyalah isapan jempol semata. Tapi
sekarang setelah melihat sendiri bagaimana wu-
jud Nyai Catur Asta, masihkah dia menganggap
cerita itu cuma isapan jempol"
"Benarkah kau ratu Kerajaan Siluman?"
tanya Gajah Angon, ingin mendapatkan ketega-
san. "Ya. Akulah penguasa Kerajaan Siluman,"
jawab Nyai Catur Asta. (Tentang tokoh ini, bisa
dibaca pada serial Pengemis Binal dalam episode:
"Petaka Kerajaan Air").
"Lalu, apa maksudmu datang kemari?" se-
lidik Garang Wanara, menyimpan rasa tak suka.
"Apa maksudku datang kemari" Mudah se-
kali menjawabnya. Tapi..., aku khawatir kalian
berdua akan tersinggung dan naik darah bila
mendengarnya."
"Cepat katakan apa maksudmu! Jangan
berbelit-belit!" sentak Garang Wanara yang punya sifat berangasan.
Kening Nyai Catur Asta berkerut, tapi bi-
birnya menyungging senyum manis. "Kau tahu
Prahesti?" ujarnya, lembut.
"Tentu saja aku tahu. Dia muridku. Murid
kami berdua!"
"Ssst...! Jangan terlalu kasar, Kakang," tegur Gajah Angon, lirih.
"Aku sendiri tak tahu kenapa aku jadi ingin
marah setelah melihat kehadiran wanita siluman
itu," sahut Garang Wanara.
"Tapi, cobalah kau tekan perasaanmu. Ba-
gaimanapun juga, kita belum tahu apa maksud
kedatangannya," ujar Gajah Angon, mengin-
gatkan. Kepala Garang Wanara mengangguk, per-
tanda dia dapat mengerti peringatan adik seper-
guruannya. Tapi, tatapannya pada Nyai Catur As-
ta tetap tajam penuh selidik.
"Apa yang kau inginkan dari Prahesti,
Nyai"! Harap kau tahu, bocah perempuan itu te-
lah menjadi murid kesayangan kami!"
Mendengar kata-kata keras Garang Wana-
ra, Nyai Catur Asta tersenyum tipis. Ditatapnya
wajah lelaki bersepatu jerami itu beberapa lama,
lalu katanya, "Jangan kau salah kira, Wanara.
Aku tidak bermaksud buruk. Hanya, maksud ke-
datanganku ini butuh keikhlasanmu. Aku hendak
meminjam Prahesti...."
"Ha ha ha...!" Garang Wanara tertawa bergelak. "Aneh! Tak masuk akal! Prahesti
hendak kau pinjam" Dia bukan uang atau barang berharga lainnya! Dia manusia!
Manusia yang punya ji-
wa dan perasaan! Begitu mudah kau mengu-
capkan kata meminjam, Nyai" Apakah kau salah
ucap atau kau memang sedang mengigau?"
"Kakang!" sentak Gajah Angon, mengin-
gatkan bahwa kata-kata kakak seperguruannya
bisa menyinggung perasaan.
Sementara wajah Gajah Angon menampak-
kan sinar takut dan rasa bersalah, wajah Garang
Wanara malah menegang dan penuh tantangan.
Namun, sekali lagi bibir Nyai Catur Asta me-
nyungging senyum tipis.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Wanara.
Siapa yang rela murid kesayangannya hendak di-
ambil orang. Tapi kau pun harus mengerti, Wana-
ra," ujar Nyai Catur Asta, lembut. "Aku bukan hendak mengambil atau merampas
Prahesti dari tanganmu. Oleh karenanya, kugunakan istilah
'meminjam' karena setelah kubawa, Prahesti akan
kukembalikan lagi kepadamu, dalam keadaan tak
kurang suatu apa."
"Ha ha ha...!" Garang Wanara tertawa pe-
nuh ejekan. "Siapa yang percaya pada bualanmu.
Aku tahu Prahesti hendak kau jadikan budak di
Kerajaan Siluman! Tak usah kau mungkir atau
bersilat lidah!"
"Hmmm.... Rupanya kau lelaki keras kepa-
la yang sulit diberi pengertian, Wanara. Aku me-
mang akan menugaskan Prahesti untuk menyele-
saikan suatu urusan, tapi tidak untuk memper-
budaknya."
"Ucapanmu semakin ngawur saja, Nyai!
Prahesti itu seorang bocah yang belum lewat lima
belas tahun. Bagaimana mungkin dia bisa menye-
lesaikan tugas yang kau berikan"! Apakah di du-
nia ini tidak ada orang yang kemampuannya me-
lebihi Prahesti?"
"Tidak!" sahut Nyai Catur Asta, tegas. "Prahesti memiliki campuran darah
siluman. Tidak ada orang yang dapat menyamai kemampuannya.
Apalagi melebihinya!"
Garang Wanara terdiam. Gajah Angon yang
berdiri di sebelah kirinya pun tak mampu berkata
apa-apa. Benarkah Prahesti memiliki campuran
darah siluman"
"Aku minta keikhlasan kalian berdua. Izin-
kan aku membawa Prahesti saat ini juga," pinta Nyai Catur Asta kemudian.
"Maaf, Nyai...," sahut Gajah Angon, merendah. "Kalaupun benar Prahesti memiliki
campu- ran darah siluman, apa yang dapat diperbuat
olehnya" Kemampuannya sangat terbatas. Belum
lama dia belajar ilmu silat..."
"Itu persoalan mudah. Aku bisa menyu-
supkan roh seseorang ke dalam tubuhnya."
Terkesiap Gajah Angon mendengar penjela-
san Nyai Catur Asta. Jika yang dikatakan ratu
Kerajaan Siluman itu benar, maka sifat kemanu-
siaan Prahesti akan hilang. Apalagi, bila roh yang menyusupinya punya tabiat
jahat dan kejam.
"Sungguh berat hati ini untuk meluluskan
permintaan Nyai. Bila badan kasar Prahesti telah
disusupi roh orang lain, dia pasti tak akan ingat
lagi kepada kami sebagai gurunya," tolak Gajah Angon, tetap lembut merendah.
"Kau tak perlu khawatir, Angon," bujuk
Nyai Catur Asta. "Aku akan menyusupkan roh
orang lain ke dalam badan kasar Prahesti hanya
selama dibutuhkan. Apabila tugasnya telah sele-
sai, roh itu akan kutarik kembali. Dan, Prahesti
akan kukembalikan ke puncak bukit ini dalam
keadaan tak kurang suatu apa."
Gajah Angon terdiam. Tampaknya, lelaki
ini bisa mengerti penjelasan Nyai Catur Asta. Tapi
berbeda dengan kakak seperguruannya. Garang
Wanara tampak mendengus gusar dengan sinar
mata berkilat-kilat
"Kami bukan anak kecil yang bisa kau bu-
juk sedemikian rupa, Nyai!" sentak Garang Wana-ra. "Aku sama sekali tak percaya
pada kata-kata manismu. Berkatalah sejujurnya! Bukankah kau
hendak merampas ketenteraman dan kebaha-
giaan kami"!"
Mendengar tuduhan itu, mendadak bola
mata Nyai Catur Asta membersitkan sinar merah.
Namun begitu kepalanya digelengkan sinar merah
itu lenyap. Dan, tatapannya kembali melembut.
"Dalam hatiku tak ada sedikit pun keingi-
nan seperti yang kau tuduhkan itu, Wanara. Tapi,
habis kesabaranku mendengar kata-kata kasar-
mu. Kau rela atau tidak, Prahesti tetap akan ku-
bawa." Di ujung kalimat Nyai Catur Asta, Garang Wanara menggembor keras. Hawa
amarah yang menyentak-nyentak sedari tadi, meledaklah su-
dah. Lalu.... Sing...! Garang Wanara menghunus pedang pen-
dek yang terselip di pinggangnya. Tertimpa sinar
matahari, bilah pedang itu membersitkan sinar
berkilat. "Jangan, Kakang!" cegah Gajah Angon.
Tapi, ucapan adik seperguruannya itu tak
dihiraukan sama sekali oleh Garang Wanara. Se-
cepat kilat, pedangnya berkelebat hendak mene-
bas leher Nyai Catur Asta. Tapi....
Bletakkk...! "Haya...!"
Garang Wanara terkejut bagai disambar pe-
tir. Sebelum ketajaman pedangnya menyentuh
sasaran, mendadak sekujur tubuh Nyai Catur As-
ta memancarkan cahaya merah. Dan, pedang Ga-
rang Wanara terpental lepas dari cekalan, seperti
membentur tembok baja yang amat kokoh.
"Iblis!" maki Garang Wanara sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan kanannya
yang te- rasa panas bagai dijalari api. "Jangan kau kira dengan kesaktianmu itu, kau bisa
memaksakan kehendak!"
"Sudahlah, Kakang Wanara," bujuk Gajah
Angon yang tak ingin melihat kakak sepergu-
ruannya celaka. "Kita bisa membicarakan masa-
lah ini dengan kepala dingin. Bukankah Nyai Ca-
tur Asta tak bermaksud mencelakakan Prahesti"
Kenapa Kakang Wanara menuruti hati panas,
yang hanya akan mengobarkan api permusuhan?"
"Aku sama sekali tak percaya pada ucapan
Ratu Gendeng itu, Angon!" sergah Garang Wana-
ra. "Dia mau meminjam murid kita, apakah ini
bukan merupakan penghinaan" Tak sadarkah
kau bila dia telah menginjak-injak kepala kita?"
"Tapi, ada baiknya bila Kakang Wanara
bersabar dulu...."
Usai berkata, Gajah Angon mengalihkan
pandangan. Ditatapnya Nyai Catur Asta seraya
menarik napas panjang.
"Aku percaya bila Nyai tak akan menipu
kami," ujarnya, lirih namun sungguh-sungguh.
"Terlebih dahulu kami ingin tahu, roh siapakah yang akan Nyai susupkan ke badan
kasar Prahesti?"
Bibir Nyai Catur Asta menyungging se-
nyum. "Pemilik roh itu adalah orang yang telah kau kenal. Dia telah begitu dekat
dengan kalian berdua." "Siapa?" buru Garang Wanara, mendesak.
"Dia adik seperguruanmu."
"Barata Sukma?"
"Ya."
"Nyai!" sentak Gajah Angon tiba-tiba. "Apakah Nyai salah ucap" Atau mungkin,
Nyai keliru menentukan pilihan?"
Kepala Nyai Catur Asta menggeleng. "Tidak,
Angon," tegasnya. "Aku tidak salah ucap ataupun keliru menentukan pilihan. Roh
itu memang Barata Sukma. Ilmu kesaktiannya sangat tinggi. Se-
hingga, tak ada keraguan dalam hatiku bila dia
akan gagal menjalankan tugas."
"Tapi, Nyai!" sergah Gajah Angon dengan
air muka keruh. "Barata Sukma adalah murid
murtad. Semasa hidup, semua perbuatannya bisa
disejajarkan dengan kekejaman iblis laknat yang
haus darah! Guru kami pun, Eyang Darma Sago-
tra, sampai meninggal karena menderita tekanan
batin. Tidakkah Nyai memperhitungkan ba-
hayanya bila roh orang jahat itu disusupkan ke
tubuh Prahesti?"
"Jangan khawatir, Angon, Aku sudah ber-
pikir masak-masak. Roh Barata Sukma akan se-
lamanya tunduk kepadaku."
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala Gajah Angon menggeleng-geleng.
"Tidak... tidak...," desisnya. "Aku sama sekali tak percaya. Roh Barata Sukma
terlalu berbahaya untuk disusupkan ke tubuh bocah lugu macam
Prahesti..."
"Kau tak percaya, boleh. Aku akan mem-
buktikannya, Angon."
Tampak kemudian, kedua telapak tangan
Nyai Catur Asta bagian bawah menyatu di depan
dada. Sementara, dua tangan lainnya dibentang-
kan. Perlahan-lahan bergerak ke atas, lalu mene-
puk di atas kepala. Mata ratu Kerajaan Siluman
ini terpejam rapat. Sementara, bibirnya bergetar
mengucap mantra-mantra.
Gajah Angon dan Garang Wanara terke-
siap. Bulu kuduk mereka sama-sama meremang.
Mendadak, udara di puncak Bukit Palastra terasa
dingin menusuk tulang. Sedikit demi sedikit
gumpalan awan bergerak menutupi matahari. Ke-
tika cuaca berubah remang-remang, dari kedua
telapak tangan Nyai Catur Asta yang menyatu di
atas kepala mengepul asap tipis berwarna putih.
Semakin lama, asap itu menggumpal semakin
tebal. Lalu....
"Barata Sukma...!" kejut Gajah Angon dan Garang Wanara, bersamaan.
Mata kedua saudara seperguruan itu sa-
ma-sama terbelalak lebar. Sekitar satu tombak
dari hadapan Nyai Catur Asta telah berdiri seo-
rang pemuda tiga puluh tahunan. Mengenakan
pakaian dan ikat kepala hitam. Raut wajahnya
yang sebenarnya tampan jadi tampak mengerikan
karena bola matanya hanya berupa bulatan putih
dengan titik hitam kecil. Pandangannya tajam
menusuk, penuh nafsu membunuh.
"Barata Sukma...," panggil Nyai Catur Asta.
"Hamba, Ratu...."
Pemuda berikat kepala hitam membalikkan
badan seraya membungkuk dalam. Gajah Angon
dan Garang Wanara menatap tanpa berkedip. Me-
reka tak bisa membayangkan ketinggian ilmu
Nyai Catur Asta yang dapat membangkitkan roh
Barata Sukma, yang kini terlihat dalam wujud
nyata. "Berilah salam kepada dua kakak seperguruanmu itu," perintah Nyai Catur
Asta. Barata Sukma membalikkan badan lagi.
Ditatapnya sejenak wajah Gajah Angon dan Ga-
rang Wanara. Lalu, dia membungkuk hormat se-
raya berkata, "Aku yang datang, Kakang Angon
dan Wanara...."
Gajah Angon dan Garang Wanara tak
mampu membuka mulut. Mereka berdiri terpaku.
Sepertinya, mereka belum percaya pada apa yang
terlihat. Bagaimana mungkin roh orang yang te-
lah mati bisa dibangkitkan dengan wujud sama
dengan badan kasarnya"
"Kini kalian telah melihat dengan mata ke-
pala sendiri. Roh Barata Sukma tunduk dan pa-
tuh kepadaku. Roh adik seperguruan kalian akan
tetap tunduk dan patuh setelah kususupkan ke
tubuh Prahesti," jelas Nyai Catur Asta. "Oleh karena itu, sudilah kalian
merelakan Prahesti ku-
bawa sekarang juga?"
"Tidak!" tolak Garang Wanara, tegas mem-
bentak. Nyai Catur Asta menatap heran. "Apa lagi
yang kau sangsikan, Wanara" Aku datang bukan
untuk membuat celaka muridmu. Aku hanya
membutuhkan sedikit bantuan Prahesti. Aku ti-
dak akan merampasnya. Dia akan kukembalikan
lagi di tempat ini. Harap kau bisa mengerti, Wa-
nara...." Bibir Garang Wanara mengulum senyum
ejekan. "Kau bisa membangkitkan roh Barata
Sukma. Itu berarti kau memiliki kepandaian yang
tiada taranya. Untuk apa lagi kau memerlukan
bantuan Prahesti" Kau bisa melakukan apa saja
tanpa bantuan muridku!"
"Hmmm.... Bagaimana aku harus memberi
pengertian kepadamu, Wanara. Ada banyak ke-
terbatasan pada diriku...."
"Persetan dengan itu! Lagi pula, Prahesti
hendak kau perintah mengerjakan apa"!"
Kepala Nyai Catur Asta menggeleng lemah.
Keningnya berkerut rapat, pertanda dia tengah
berpikir keras.
"Ayo katakan, apa yang hendak kau perin-
tahkan kepada Prahesti"!" desak Garang Wanara.
"Itu terlalu rahasia. Aku tak bisa mengata-
kannya, Wanara...," ujar Nyai Catur Asta lirih, seperti penuh penyesalan.
"Hmmm.... Jelas sudah sekarang...," cibir Garang Wanara. "Kau menyimpan maksud
tak baik! Sekarang, harap kau pergi, Nyai. Jangan
ganggu ketenteraman kami!"
Mengelam paras Nyai Catur Asta menden-
gar ucapan Garang Wanara. Namun sebelum
penguasa Kerajaan Siluman ini memberi penjela-
san, Garang Wanara membentak lebih keras.
"Pergilah!"
Terkesiap Nyai Catur Asta melihat selarik
sinar kuning yang meluncur dari telapak tangan
kanan Garang Wanara.
Wusss..! "Heaaa...!"
Entah dari mana asalnya, tahu-tahu di sa-
lah satu tangan Nyai Catur Asta telah tergenggam
sebuah senjata berupa cakra. Senjata bulat ber-
gerigi itu lalu dikibaskan, hingga melesat seber-
kas cahaya merah. Akibatnya....
Blarrr...! Sebuah ledakan dahsyat menggelegar di
angkasa. Bumi bergetar bagai dilanda gempa.
Sementara, selarik sinar kuning wujud pukulan
jarak jauh Garang Wanara lenyap tertelan sinar
merah yang melesat dari kibasan cakra di tangan
Nyai Catur Asta.
"Bedebah!"
Sambil mengumpat, Garang Wanara me-
nerjang. Hendak digedornya dada Nyai Catur As-
ta, tapi.... Bresss...! Wuaaa...! Tiba-tiba, tubuh Garang Wanara mencelat
balik, lalu jatuh berdebam di tanah. Bola matanya
melotot besar. Mulutnya ternganga lebar. Yang le-
bih mengerikan, perut lelaki bersepatu jerami itu
telah jebol, tembus sampai ke pinggang bagian
belakang! "Barata Sukma...!" kejut Gajah Angon, tak percaya.
Rupanya ketika Garang Wanara hendak
mendaratkan pukulan ke dada Nyai Catur Asta,
Barata Sukma mengirimkan pukulan jarak jauh.
Garang Wanara yang tengah melayang di udara
pun tak mampu menghindar, apalagi dia sama
sekali tak menyangka akan mendapat serangan
sedemikian mendadak. Hingga, perutnya terhan-
tam telak. Dan, melayanglah nyawanya ke alam
baka seketika itu juga!
"Barata Sukma...!" bentak Gajah Angon,
menyebut nama adik seperguruannya lagi. "Kau...
kau biadab!"
Selagi Gajah Angon menuding penuh ke-
bencian, seorang bocah terlihat meloncat meng-
hampiri. "Ada apa, Eyang?" tanya si bocah, yang tak lain Prahesti.
Gajah Angon menatap wajah muridnya
tanpa mampu berkata apa-apa. Dia hendak me-
nyuruh pergi, tapi mulutnya terasa bagai dikunci.
Kematian Garang Wanara yang mengenaskan ter-
lalu memukul jiwanya.
Sementara itu, Nyai Catur Asta terkejut ju-
ga melihat kekejaman Barata Sukma. Sungguh
tak dia sangka bila roh yang dibangkitkannya itu
bisa berbuat sedemikian biadab.
"Kenapa kau tega terhadap saudara seper-
guruanmu sendiri, Barata"!" tegur Nyai Catur As-
ta dengan muka merah padam.
"Maaf, Ratu...," sembah Barata Sukma.
"Hamba melihat Ratu dalam bahaya. Hamba ter-
paksa...."
"Siapa mereka, Eyang?" tanya Prahesti,
bergidik ngeri melihat wujud Nyai Catur Asta dan
Barata Sukma. "Pergilah cepat, Prahesti!" perintah Gajah Angon, tanpa menjawab pertanyaan
muridnya. Namun, Prahesti tak bergeming dari tem-
patnya berdiri. Apalagi setelah melihat mayat Ga-
rang Wanara yang terbaring telentang dalam kea-
daan kaku mengejang.
"Pergilah cepat, Prahesti!" perintah Gajah Angon, lebih keras.
"Tidak!" tolak Prahesti. "Mereka pasti telah membunuh Eyang Wanara. Aku harus
membalas kematiannya!"
Usai berkata, Prahesti menghunus Pedang
Naga Kembar yang terselip di punggungnya. Den-
gan pedang warisan itu, Prahesti meluruk ke arah
Nyai Catur Asta yang berdiri lebih dekat dengan-
nya! "Mati kau, Iblis Jahat!"
Ujung Pedang Naga Kembar meluncur lu-
rus, hendak menusuk ulu hati Nyai Catur Asta.
Sementara, yang diserang tenang-tenang saja.
Dengan ilmu kesaktiannya, dia hendak menadahi
tusukan pedang itu. Tapi....
"Yang menyerang Ratu harus mati!"
Barata Sukma berteriak lantang. Selarik
sinar kehijauan melesat dari telapak tangan ka-
nannya. Namun sebelum tubuh Prahesti tertimpa
pukulan jarak jauh itu, cepat Gajah Angon ber-
tindak. Wusss...!
Blarrr...! Gajah Angon memapaki pukulan jarak
jauh Barata Sukma dengan pukulan jarak jauh
pula. Suara menggelegar dahsyat menggema di
angkasa. Bumi yang terguncang keras membuat
gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan. Pa-
da saat pandangan jadi gelap, tiba-tiba Barata
Sukma melesat! Bukkk...! "Argh...!"
Dada Gajah Angon berhasil digedor oleh
Barata Sukma. Akibatnya, tubuh lelaki berjubah
hitam itu melayang deras bagai dilontarkan tan-
gan raksasa. Begitu jatuh berdebam ke tanah,
Barata Sukma melancarkan pukulan jarak jauh!
Untunglah, kesadaran Gajah Angon belum
hilang. Dia masih mampu melentingkan tubuh-
nya untuk menghindar. Dan, pukulan jarak jauh
Barata Sukma membentur pondok bambu, hingga
roboh dan hangus terbakar!
5 "Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
Sekujur tubuhku terasa panas bagai digodok di
tungku pembakaran. Karena tak kuasa menahan
sakit yang luar biasa itu, aku jatuh pingsan," tu-
tur Gajah Angon, menutup ceritanya.
"Jadi, kau tak tahu bagaimana nasib Pra-
hesti, Pak Tua?" tanya Suropati, ingin mene-
gaskan. Dengan air muka keruh, Gajah Angon
mendesah panjang. "Bocah tak berdosa itu pasti dibawa Nyai Catur Asta ke
Kerajaan Siluman. Ji-ka roh Barata Sukma disusupkan ke tubuhnya,
aku menyangsikan kepatuhan dan kesetiaannya
pada Nyai Catur Asta. Aku tahu benar sifat dan
tabiat Barata Sukma ketika masih hidup. Dia iblis
seribu wajah yang sangat pandai berpura-pura."
Pengemis Binal memungut ranting kering,
lalu dimasukkannya ke perapian yang hampir pa-
dam. Lalu, ditatapnya sang candra yang men-
gambang di langit. Dirasakannya hembusan angin
yang mengelus kulitnya. Hari sudah lewat tengah
malam. "Bila benar yang kau katakan itu, Kerajaan
Siluman berada dalam bahaya. Walau aku tak ta-
hu apa maksud Nyai Catur Asta yang hendak
menyusupkan roh Barata Sukma ke tubuh Pra-
hesti, tapi aku harus menolong ratu Kerajaan Si-
luman itu. Aku pernah berhutang nyawa kepa-
danya...," ujar Pengemis Binal kemudian.
"Boleh saja kau menolong Nyai Catur Asta
sebagai tindakan balas budi. Tapi, yang paling
penting kau lakukan adalah mencegah Barata
Sukma membuat pertumpahan darah lagi, walau
dia telah berwujud seorang bocah perempuan li-
ma belas tahunan," sahut Gajah Angon.
Kepala Suropati mengangguk. Ditatapnya
lagi wajah sang candra yang terhibur oleh kedi-
pan bintang-bintang. Lalu, dialihkannya pandan-
gan ke wajah Gajah Angon yang membersitkan
duka. "Pak Tua...," sebut Pengemis Binal dengan suara berat dan penuh
kesungguhan. Gajah Angon menatap dengan sorot mata
pengharapan.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan datang ke Kerajaan Siluman...,"
ujar Suropati lirih, seperti ditujukan kepada di-
rinya sendiri. Gajah Angon bersorak girang dalam hati.
Namun, kegembiraan yang tergambar di wajahnya
segera lenyap lagi. Suropati hendak datang ke Ke-
rajaan Siluman" Mampukah dia"
"Bagaimana kau bisa datang ke kerajaan
yang berada di alam gaib itu, Suro?" tanya Gajah Angon, seperti menyangsikan
kemampuan Pengemis Binal.
"Aku pernah mempelajari sebuah kitab
sakti pemberian seorang tabib pandai yang tinggal
di Bukit Rawangun. Dia bergelar si Wajah Merah.
Dan dari kitab yang kupelajari itu, aku bisa men-
guasai ilmu 'Menembus Alam Gaib'," beri tahu
Suropati, meyakinkan. (Baca serial Pengemis Bi-
nal dalam episode: "Dendam Para Pengemis").
"Benarkah itu?" tanya Gajah Angon, me-
nyimpan rasa girang dalam hati.
Pengemis Binal mengangguk.
"Kapan kau akan pergi ke Kerajaan Silu-
man?" "Sekarang."
"Sekarang?"
"Ya."
"Lalu, bisakah aku membantumu, Suro?"
Sekali lagi, Suropati menatap sang candra,
lalu katanya, "Jika aku telah mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib', jagalah badan kasarku
dengan seluruh kemampuanmu. Jangan sampai
ada binatang buas atau orang jahat yang meng-
ganggu. Kalau badan kasarku sampai terluka pa-
rah, rohku tak akan bisa kembali. Dan, aku akan
menjadi orang yang paling sengsara. Aku akan
terbuang ke alam gaib untuk selama-lamanya.
Dikatakan hidup tidak, mati pun tidak...."
Kening Gajah Angon berkerut rapat men-
dengar penuturan Pengemis Binal. Rasa ngeri
timbul dalam hatinya. Bagaimana kalau dia tidak
bisa menjalankan amanat Suropati" Di puncak
Bukit Palastra memang tidak ada binatang buas.
Tapi, bagaimana kalau datang orang-orang jahat
yang mempunyai keinginan buruk terhadap pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu" "Luka dalamku masih belum sembuh be-
nar. Bagaimana aku bisa menjalankan tugas yang
kau berikan, Suro?" keluh Gajah Angon kemu-
dian. Pengemis Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Desah panjang keluar dari mulutnya.
Remaja tampan ini tampak berpikir keras. Na-
mun, tercetus juga keputusan di benaknya.
"Memang berat apa yang harus kulakukan
ini. Tapi kalau memang Tuhan tetap melindungi-
ku, apa lagi yang kutakutkan?" tegasnya dalam hati. "Bagaimana, Suro?" tanya
Gajah Angon. "Aku akan segera mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib'. Berdoalah, Pak Tua...,"
sahut Pengemis Binal, mantap.
"Tapi...."
"Tak perlu khawatir. Kau bisa membantu-
ku dengan doa."
Usai berkata, Pengemis Binal beringsut, la-
lu duduk bersedekap dengan mata terpejam ra-
pat. Gajah Angon menatapnya tanpa berkedip.
Sementara, lamat-lamat terdengar kokok ayam
alas di kejauhan. Agaknya, pagi akan segera re-
bah di Bukit Palastra....
* * * Semburat cahaya jingga di langit timur
mengusir kelam malam. Gelap memudar seiring
fajar yang telah menyingsing. Angin yang semilir
sejuk mengelus tubuh seorang bocah perempuan
yang tengah duduk bersila di tepi sungai kecil ini.
Raut wajahnya terlihat menegang dengan mata
terpejam rapat.
Manakala burung-burung berdendang
riang menyambut pagi, bocah lima belas tahunan
berpakaian putih bergaris coklat ini bergetar. La-
mat-lamat terdengar gemerincing lonceng kereta
kuda yang saling sahut dengan suara dengungan.
Seiring dengan getaran tubuh si bocah yang ma-
kin keras, suara aneh itu terdengar makin keras.
Lalu.... Wusss...!
Seberkas cahaya merah melesat dari langit.
Begitu menyentuh permukaan tanah, cahaya
yang amat menyilaukan mata itu lenyap. Sebagai
gantinya, sekitar tiga tombak dari hadapan si bo-
cah, telah berdiri seorang wanita cantik berpa-
kaian merah gemerlap. Menilik dari tangannya
yang berjumlah empat, siapa lagi dia kalau bukan
Nyai Catur Asta!
"Prahesti...," panggil ratu Kerajaan Siluman ini. Bocah berpakaian putih
bergaris coklat
membuka kelopak matanya. Begitu melihat Nyai
Catur Asta telah berdiri di hadapannya, senyum
manis mengembang di bibirnya. Namun, Nyai Ca-
tur Asta membalas dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa kau tidak datang ke keraton, Pra-
hesti" Apa maksudmu memanggilku untuk da-
tang ke tempat ini?" tanya Nyai Catur Asta dengan kening berkerut.
"Hi hi hi...!" Prahesti mengeluarkan tawa menyeramkan. "Apa maksudku" Hi hi
hi...!" Terkesiap Nyai Catur Asta melihat sikap
Prahesti yang sangat tak menghormat. "Prahes-
ti...!" bentaknya ketika bocah yang telah disusupi roh Barata Sukma itu tak
menghentikan tawanya.
"Ada apa" Ada apa, Ratu" Kenapa kau
mengganggu kesenangan orang" Hi hi hi...!"
"Prahesti...!" bentak Nyai Catur Asta, keras menggelegar karena dialiri tenaga
dalam. "Ya. Ya, Ratu...."
Begitu Prahesti menghentikan tawanya,
Nyai Catur Asta mendengus gusar. Ditatapnya le-
kat-lekat wajah Prahesti.
"Untuk apa kau memanggilku kemari?"
"Tentu saja untuk memberitahukan bahwa
hamba telah berhasil membawa Arca Budha dan
Pedang Burung Hong."
"Kenapa kau tidak membawanya ke kera-
ton?" "Karena aku punya urusan pribadi denganmu, Ratu. Tak satu pun penghuni
Kerajaan Siluman boleh tahu. Hi hi hi...!"
Terkejut Nyai Catur Asta mendengar tawa
Prahesti yang penuh ejekan. Terbawa kegusaran-
nya, wanita bertangan empat ini menggedrukkan
kaki kanannya! Bummm...! Seiring dengan timbulnya ledakan keras,
bumi berguncang seperti tengah terjadi letusan
gunung berapi. Akibatnya, air sungai bergolak.
Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan ke
angkasa. Dan, beberapa batang pohon yang bera-
da di dekat tempat itu akarnya tercabut dari ta-
nah, lalu terhempas laksana terbawa tiupan an-
gin topan! Hebatnya, Prahesti tetap dapat duduk ber-
sila tanpa bergeming sedikit pun. Sikapnya te-
nang tak menunjukkan rasa bersalah, padahal
sudah jelas bila Nyai Catur Asta sangat marah
kepadanya. "Prahesti!" dengus Nyai Catur Asta kemu-
dian. "Ya. Ya, Ratu...," sambut Prahesti, kalem.
"Serahkan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong kepadaku!"
"Hi hi hi...! Arca Budha" Pedang Burung
Hong" Hi hi hi...! Aku yang bersusah payah men-
dapatkannya, kenapa orang lain yang memili-
kinya" Tidak adil! Tidak adil!"
Merah padam muka Nyai Catur Asta men-
dengar ucapan itu. Timbul penyesalan dalam di-
rinya, kenapa menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh Prahesti" Keberanian Prahesti yang di-
tujukan kepadanya sungguh tak pernah dia duga.
Namun, apalah arti penyesalan bila semuanya
sudah terjadi"
Dengan kening berkerut rapat, Nyai Catur
Asta menatap tusuk konde emas berhias intan
permata yang menancap di kepala Prahesti.
"Hmmm.... Sebelum bocah setengah siluman itu
berbuat yang lebih berani, aku harus menarik roh
Barata Sukma dari badan kasarnya."
Berpikir demikian, mendadak tangan ka-
nan Nyai Catur Asta yang sebelah atas disorong-
kan ke depan. Dan, sebuah kekuatan kasat mata
yang berdaya hisap dahsyat melesat ke arah Pra-
hesti. Tepatnya menuju ke tusuk konde emas
yang menancap di kepala bocah perempuan itu!
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa mengejek.
"Rupanya kau hendak main-main, Ratu Jelek!"
Sambil tertawa, Prahesti meletakkan kedua
ujung jari telunjuk dan tengahnya ke pelipis. Ke-
tika merasakan sentakan keras dari kekuatan ka-
sat mata yang hendak mencabut tusuk konde di
kepalanya, dia alirkan tenaga dalam untuk me-
nahan kekuatan itu.
"Heh"!"
Terperangah Nyai Catur Asta melihat Pra-
hesti mampu menahan tusuk kondenya agar tak
tercabut dari kepala. Terbawa rasa gusar bercam-
pur amarah, Nyai Catur Asta menambah kekua-
tannya sampai ke puncak!
"Heaaa...!"
Slaps...! Satu kejap mata kemudian, wajah Prahesti
tampak menegang. Kepalanya bergetar keras. Se-
mentara, dari kedua ujung jari telunjuk dan ten-
gahnya mengepul asap tipis. Debu menebar dari
permukaan tanah tempatnya duduk bersila. Se-
makin lama, tubuh Prahesti turut bergetar. Tak
ayal lagi, keringat panas bermuncratan!
"Menyerahlah, Prahesti!" teriak Nyai Catur Asta, mengingatkan. Ratu Kerajaan
Siluman itu sadar betul bila Prahesti nekat, maka tubuhnya
akan meledak. Dan, kematianlah akibatnya.
Namun, tampaknya Prahesti tak mau me-
nyerah begitu saja. Sambil memekik nyaring, dia
tegakkan tubuhnya. Lalu, dalam keadaan masih
duduk bersila, perlahan-lahan dia turunkan
ujung jari telunjuk dan tengahnya. Kemudian,
empat jari tangan itu dia satukan di depan dada!
"Hiah...!"
Wusss...! Terbelalak mata Nyai Catur Asta melihat
selarik sinar kuning meluncur dari jari-jari tan-
gan Prahesti. Sinar amat menggidikkan itu melesat ce-
pat. Yang dituju adalah batok kepala Nyai Catur
Asta! "Haram jadah!"
Bergegas Nyai Catur Asta meloncat tinggi.
Selarik sinar kuning wujud serangan Prahesti me-
luncur terus, hingga menerpa sebatang pohon
cukup besar. Ssshhh...! Terdengar suara seperti bara api tersiram
air. Batang pohon yang tertimpa sinar kuning tak
menunjukkan perubahan apa-apa, tetap utuh se-
perti semula. Tapi dua kejap mata kemudian, ke-
tika angin bertiup lebih kencang, batang pohon
sepelukan manusia dewasa itu hancur luluh men-
jadi abu! "Luar biasa...," gumam Nyai Catur Asta,
tanpa sadar memuji kehebatan Prahesti yang ter-
susupi roh Barata Sukma.
"Hi hi hi...! Masihkah kau ingin main-main
lagi, Nyai"!" ejek Prahesti. "Bila sudah puas, sudah saatnya aku mengutarakan
maksudku."
Nyai Catur Asta tak menyahuti. Sorot ma-
tanya tajam menusuk, berdiri dalam kewaspa-
daan penuh. "Hi hi hi...! Tak perlu kau bersikap seperti
itu, Ratu! Aku tak akan menyerangmu dengan
sembunyi-sembunyi!" ejek Prahesti sekali lagi.
"Mendekatlah kemari, Prahesti...," sahut Nyai Catur Asta, lembut. "Roh orang
sesat yang bersemayam di tubuhmu telah membuatmu ter-
sesat jalan. Biarkan aku menarik roh itu. Agar si-
fat dan tabiat aslimu kembali seperti semula...."
Prahesti menyahuti ucapan Nyai Catur As-
ta dengan tawa panjang. "Hi hi hi...! Aku senang dengan keadaanku yang seperti
ini. Bukankah aku telah menjadi maha raja yang punya kesak-
tian setinggi langit" Oleh karena itu kukatakan
terus terang kepadamu, Ratu, aku memintamu
datang ke tempat ini agar kau dengan suka rela
menyerahkan takhta Kerajaan Siluman!"
"Heh"!"
Terkejut tiada terkira Nyai Catur Asta.
"Hi hi hi...! Apakah keterkejutan yang ter-
gambar di wajahmu suatu pertanda bahwa kau
tak rela menyerahkan takhta Kerajaan Siluman"
Kalau begitu, terpaksa.... Sungguh terpaksa seka-
li. Aku akan melemparkan rohmu ke tempat gelap
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang penuh siksa! Hi hi hi...!"
Mengetahui bila Prahesti tak dapat dikua-
sai lagi, Nyai Catur Asta menggeram marah. En-
tah dari mana asalnya, di salah satu tangan ratu
Kerajaan Siluman ini telah tergenggam senjata
andalannya yang berupa cakra!
"Hi hi hi...!" Prahesti malah tertawa makin keras. "Apa yang hendak kau perbuat
kepadaku, Ratu" Menghukum mati" Atau barangkali, hendak menyerahkan cakra itu
sebagai tanda bahwa
kau telah takluk kepadaku?"
"Bedebah!"
Mulut Nyai Catur Asta mengeluarkan leng-
kingan tinggi. Dia kibaskan senjata cakranya. Se-
berkas cahaya merah meluruk deras. Sementara,
Prahesti sama sekali tak beranjak dari tempat
duduknya. Hingga....
Wusss...! Blarrr...! Sebuah ledakan keras mengusik kehenin-
gan pagi. Ledakan keras yang menggelegar mele-
bihi letusan gunung berapi itu membuat permu-
kaan tanah berguncang-guncang. Air sungai yang
berada di dekat pusat ledakan bergolak naik bagai
ditepuk tangan raksasa. Gelap menyelimuti pan-
dangan karena gumpalan tanah dan bebatuan
berhamburan. Terlihat beberapa ekor burung
yang tengah terbang di angkasa memekik parau,
lalu jatuh dengan tubuh hancur berantakan!
Manakala gelap tak lagi menyelimuti pan-
dangan mata, Nyai Catur Asta terhantam keterke-
jutan yang tiada taranya. Dengan air muka keruh,
mata wanita cantik bertangan empat ini terbela-
lak lebar. Mulutnya ternganga hingga beberapa
lama, seakan napas dan denyut jantungnya telah
terhenti! "Tak mungkin! Tak mungkin!" desis Nyai
Catur Asta, tak mempercayai penglihatannya
sendiri. Sekitar lima tombak dari tempat ratu Kera-
jaan Siluman ini berdiri, terlihat sebuah kuban-
gan besar dan dalam yang cukup untuk mengu-
burkan tiga ekor gajah sekaligus! Sementara, tu-
buh Prahesti tampak melayang dalam keadaan
duduk bersila tanpa kurang suatu apa!
"Arca Budha! Pedang Burung Hong!" gu-
mam Nyai Catur Asta, melihat dua benda yang
dipegang Prahesti di depan dada.
Tangan kiri Prahesti tampak memegang se-
buah arca sebesar anak kucing yang terbuat dari
emas murni. Dan, tangan kanannya mencengke-
ram erat gagang pedang bengkok yang badannya
dipenuhi ukiran indah. Arca Budha dan Pedang
Burung Hong! Dua benda bertuah yang berasal dari Nege-
ri Cina itu saling melekat di depan dada Prahesti.
Dan, dari badan Arca Budha memancar cahaya
kuning keemasan yang menyelubungi sekujur tu-
buh Prahesti. Sinar itulah yang menyangga tubuh
Prahesti hingga tidak sampai jatuh ke kubangan.
"Wajahmu pucat, Ratu. Apakah timbul rasa
ngeri di hatimu?" cibir Prahesti seraya melentingkan tubuhnya. Begitu menginjak
tanah, dia lang-
sung menyambung ucapannya. "Dengan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong di tanganku,
mestinya kau tahu diri, Ratu. Akuilah aku seba-
gai ratu penggantimu. Dan, berlututlah segera.
Setelah itu pergilah sejauh mungkin! Jangan tun-
jukkan batang hidungmu ke hadapanku lagi! Ka-
lau tidak, kau akan menyesal sampai langit run-
tuh terbawa kiamat!"
"Sombong sekali kau!" balas Nyai Catur As-ta. "Kesaktian yang kau miliki berasal
dari roh Barata Sukma. Tidak tahukah kau bila aku yang
telah membangkitkan roh murid Darma Sagotra
itu. Oleh karenanya, buka akal pikiranmu lebar-
lebar. Sampai di mana pun ketinggian ilmu Bara-
ta Sukma, dia tetap roh yang mempunyai banyak
keterbatasan. Aku akan mengembalikannya ke
tempat asalnya!"
Di ujung kalimatnya, Nyai Catur Asta me-
lemparkan senjata cakranya ke angkasa.
Sing...! Wuuung...! Diiringi suara mendengung yang meme-
kakkan gendang telinga, senjata bundar bergerigi
itu berputar cepat membentuk lingkaran luas di
atas kepala Prahesti. Lalu....
Glarrr...! Glarrr...! Dari lingkaran luas bergaris tengah tiga
tombak itu berlesatan garis-garis sinar merah
yang amat menggidikkan. Semuanya menuju ke
tubuh Prahesti, laksana hujan petir!
Sejenak Prahesti mendelikkan mata karena
terkesiap. Namun, cepat dia mengambil tindakan.
Badan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong ditempelkannya lagi!
Slash...! Di lain kejap, sekujur tubuh Prahesti ter-
bungkus cahaya kuning keemasan yang meman-
car dari badan Arca Budha. Dan..., lesatan garis-
garis cahaya merah yang berasal dari senjata ca-
kra Nyai Catur Asta tak mampu menembusnya!
Garis-garis cahaya merah itu berpentalan ke uda-
ra. Sebagian mental ke tanah, dan mengeluarkan
ledakan keras. Membuat kubangan di sana-sini!
"Celaka!" pekik Nyai Catur Asta dalam keterkejutannya.
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa pongah, penuh luapan rasa gembira. "Bila kau
tidak rela menyerahkan takhta Kerajaan Siluman, sebaik-
nya kau perhatikan apa yang akan kuperbuat
ini!" Sambil tertawa keras, Prahesti mengempos tubuh ke atas. Lalu....
Sing...! Sing...!
Prang...! Prang...!
Pedang Burung Hong di tangan Prahesti
berkelebat dua kali. Terdengar benturan senjata
logam yang dibarengi berhentinya putaran senjata
cakra. Dan..., hujan garis sinar merah lenyap se-
ketika! "Heh"!"
Nyai Catur Asta tersurut mundur dua
langkah terhantam keterkejutan. Senjata cakra
jatuh ke tanah, dua depa dari tempatnya berdiri,
dalam keadaan terpotong menjadi empat bagian!
"Hi hi hi...!" tertawa Prahesti dalam keme-nangannya. "Berlututlah sebelum
kucincang tu- buhmu!" Beberapa lama Nyai Catur Asta tak mampu
berkata. Bibirnya bergetar dengan wajah pucat
pasi. Kehebatan yang ditunjukkan Prahesti benar-
benar membuatnya terpaku keheranan. Rasa ses-
al dalam diri penguasa Kerajaan Siluman ini se-
makin merebak. Kenapa dia susupkan roh Barata
Sukma ke tubuh Prahesti" Kenapa pula dia mesti
memerintahkan bocah setengah siluman itu un-
tuk merampas Arca Budha dan Pedang Burung
Hong" Akibatnya, dengan kesaktian dua benda
pusaka itu, Prahesti malah ingin menguasai Kera-
jaan Siluman! Selagi Nyai Catur Asta mendesah, Prahesti
tertawa mengejek. Dia angkat Pedang Burung
Hong tinggi-tinggi, laksana algojo hendak me-
menggal kepala seorang pesakitan.
"Berlututlah!" perintah Prahesti dengan
mata berkilat tajam. "Aku hanya akan meminta
dua buah tanganmu. Lalu, hiduplah kau di dunia
nyata sebagai manusia biasa. Dan, biarkan aku
menjadi ratu di Kerajaan Siluman!"
Prahesti menyambung ucapannya dengan
tawa panjang. Sementara, dua tangan Nyai Catur
Asta bagian atas tampak bersedekap. Dan, dua
tangan yang lainnya menepuk di depan dada!
Mendadak, terdengar suara gemerincing
lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan
suara dengungan. Semakin lama semakin keras,
menghampiri Nyai Catur Asta.
"Hmmm.... Hendak pergi ke mana kau, Ra-
tu Pecundang"!" sentak Prahesti yang tahu bila Nyai Catur Asta hendak
meninggalkan tempat
dengan tenaga gaib.
Prahesti menyertai ucapannya dengan me-
nyabetkan Pedang Burung Hong di tangannya.
Dari ujung pedang bertuah itu melesat cahaya
kebiruan! Wusss...! Blarrr...! Lesatan cahaya biru membentur tubuh
Nyai Catur Asta yang telah berbentuk bayang-
bayang. "Akhhh...!"
Lenyapnya tubuh Nyai Catur Asta mening-
galkan jerit kesakitan. Sementara, gemerincing
lonceng yang saling sahut dengan suara dengun-
gan, pertanda datang dan perginya Nyai Catur As-
ta, hilang tertelan tawa panjang Prahesti!
"Hi hi hi...! Ratu Pecundang Catur Asta!
Begitu mudah aku mengalahkanmu. Kau memang
tak pantas menjadi ratu di Kerajaan Siluman!
Akulah sekarang yang menjadi ratu! Akulah ratu
Kerajaan Siluman! Hi hi hi...!"
6 Hingga beberapa lama, hanya kegelapan
yang dapat dilihat Suropati. Semuanya hitam ke-
lam. Roh pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti ini terus melayang-layang di suatu tem-
pat luas tiada bertepi. Seiring pengetrapan ilmu
'Menembus Alam Gaib' yang telah sampai pada
puncaknya, yakni tahap 'Ngrogoh Sukma'!
Melonjak girang Suropati dalam hati tatka-
la melihat setitik sinar kuning di kejauhan. Cepat dia kerahkan seluruh kekuatan
batinnya untuk dapat menuju ke sana. Semakin lama, sinar itu
terlihat makin besar. Lalu...
Blab...! Wusss...! Pengemis Binal merasa dirinya dilontarkan
tangan raksasa. Kepalanya pening dan mengabur
pula pandangannya.
Kini, yang dapat dilihat remaja tampan ini
cuma cahaya putih berserat-serat. Lamat-lamat
didengarnya gemerincing lonceng yang saling sa-
hut dengan suara dengungan. Kontan tersenyum
senang Pengemis Binal. Dia tahu benar suara itu
menandakan bila Nyai Catur Asta berada tak jauh
darinya. Suropati menarik napas panjang seraya
mengempos seluruh kekuatan batinnya lagi. Saat
perhatiannya hanya tertuju pada satu titik, dia
kerahkan ilmu 'Mata Awas'-nya. Dan dengan ilmu
hasil ajaran Periang Bertangan Lembut ini, dapat-
lah dia menembus serat-serat cahaya putih yang
membutakan mata.
"Nyai...!"
Pengemis Binal berteriak lantang tatkala
melihat sesosok tubuh wanita di kejauhan. Wani-
ta itu berpakaian merah gemerlap, cantik namun
bertangan empat!
"Nyai...!" teriak Suropati lagi, lebih keras.
Wanita bertangan empat yang tengah me-
nunggang kereta kuda menoleh. Melihat sosok
Suropati, kontan matanya berbinar. Segera wani-
ta yang tiada lain dari Nyai Catur Asta ini meng-
hentikan laju kereta kudanya.
"Sur.... Oh...!"
Nyai Catur Asta hendak menyebut nama
Pengemis Binal, namun suaranya tercekat di
tenggorokan. Cairan darah segar keburu me-
nyembur dari mulutnya.
"Nyai...!"
Pengemis Binal memekik kaget melihat tu-
buh Nyai Catur Asta yang jatuh terkulai seperti
sekuntum bunga layu tertimpa hawa panas.
Badan halus Pengemis Binal melesat cepat
menuju kereta Nyai Catur Asta yang ditarik empat
kuda berbulu putih. Tanpa pikir panjang lagi, di-
periksanya keadaan penguasa Kerajaan Siluman
itu. "Astaga!" kejut Suropati.
Walau tidak ada luka sedikit pun di tubuh
Nyai Catur Asta, tapi tak terdapat tanda-tanda
kehidupan. Napas dan detak jantung wanita ber-
tangan empat itu telah berhenti!
Seperti orang kesetanan, Pengemis Binal
mengguncang-guncangkan tubuh Nyai Catur As-
ta. Dirabanya dada wanita cantik itu. Napas dan
detak jantungnya tetap berhenti. Pengemis Binal
ganti meraba kening dan sekujur tubuh Nyai Ca-
tur Asta. Hangat!
"Dia belum mati! Dia belum mati!" seru
Pengemis Binal.
Cepat remaja tampan ini mengumpulkan
seluruh daya ingatnya. Wejangan dan latihan
yang pernah diberikan si Wajah Merah bermuncu-
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lan di benaknya. Kemudian....
"Maaf, Nyai...," ujar Suropati seraya men-dudukkan tubuh Nyai Catur Asta.
Buk...! Buk...! Pengemis Binal menghantam punggung
Nyai Catur Asta beberapa kali. Lalu, dia tekan ja-
lan darah besar di pangkal lengan wanita itu. Di-
alirkannya hawa sakti, namun tubuh Nyai Catur
Asta tetap tak menunjukkan tanda-tanda kehidu-
pan. "Ya, Tuhan. Berilah aku kekuatan untuk
menolong wanita ini, agar aku dapat membalas
segala budi baiknya," doa Pengemis Binal.
Jalan darah besar di pangkal lengan Nyai
Catur Asta ditekannya makin keras. Dia salurkan
hawa sakti lebih banyak. Akibatnya, hanya dalam
waktu lima tarikan napas, Pengemis Binal telah
mandi keringat. Dan pada tarikan napas ketujuh,
remaja tampan ini terkulai pingsan!
Namun, tidak sia-sia usaha Suropati. Per-
lahan-lahan dua tangan Nyai Catur Asta bagian
atas, yang semula jalan darah besarnya ditekan
Suropati, bergerak perlahan. Menyusul dua tan-
gan yang lainnya.
"Uh...!" keluh Nyai Catur Asta, membuka
kelopak mata. Begitu melihat tubuh Pengemis Binal ter-
baring telungkup di atas kakinya, ratu Kerajaan
Siluman ini berseru, "Suro!"
Cepat dia balikkan tubuh Pengemis Binal.
Legalah hati Nyai Catur Asta setelah mengetahui
Pengemis Binal hanya jatuh pingsan karena kele-
lahan. Diiringi ringkikan empat kuda putih, Nyai
Catur Asta meletakkan salah satu telapak tan-
gannya ke dahi Pengemis Binal. Lalu, ditelusu-
rinya tubuh remaja tampan ini sampai ke ujung
kaki. Tuk...! Tuk...! Setelah diberi beberapa totokan di tubuh-
nya, Pengemis Binal mengerang.
"Ukh...!"
"Kau tak apa-apa, Suro?" tanya Nyai Catur Asta begitu melihat Pengemis Binal
siuman. "Nyai...!" seru Suropati. "Kau... kau tidak mati, Nyai"!"
Pengemis Binal tak menjawab pertanyaan-
nya. Tapi, Nyai Catur Asta tahu bila pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini tidak
menderita luka apa-apa.
"Nyai...!" seru Pengemis Binal lagi. Pandangannya mengharap agar Nyai Catur Asta
menu- turkan peristiwa yang baru dialaminya.
"Aku tidak apa-apa Suro. Terima kasih atas
pertolonganmu," ujar Nyai Catur Asta.
"Apa yang terjadi denganmu, Nyai?" tanya Pengemis Binal, menegaskan
keingintahuannya.
"Aku baru saja bertempur dengan bocah
setengah siluman yang mempunyai kesaktian he-
bat, Suro," tutur Nyai Catur Asta.
"Bocah setengah siluman" Siapa dia?" de-
sak Pengemis Binal. .
"Prahesti."
"Prahesti?"
"Ya. Kau mengenalnya, Suro?"
"Tidak. Tapi..., yang menyusupkan roh Ba-
rata Sukma adalah kau, Nyai" Seharusnya dia
dapat kau kuasai...."
Kening Nyai Catur Asta berkerut. Ratu Ke-
rajaan Siluman ini hendak bertanya, tapi batuk
keburu menyerangnya.
"Kau... kau tidak apa-apa, Nyai?" tanya
Pengemis Binal, khawatir.
Nyai Catur Asta memaksakan diri untuk
tersenyum seraya bertanya, "Bagaimana kau da-
pat tahu perihal Prahesti?"
"Guru bocah itu yang bercerita kepadaku.
Gajah Angon."
"Jadi, kau telah pergi ke puncak Bukit Pa-
lastra?" Pengemis Binal mengangguk. "Kenapa,
Nyai" Apakah aku salah karena menolong orang
itu?" "Tidak! Kau tidak salah, Suro," sahut Nyai Catur Asta, mantap. "Akulah
yang bersalah. Akulah yang harus memikul seluruh akibatnya."
Sinar mata Nyai Catur Asta meredup. Wa-
jahnya muram dan kuyu karena menyimpan piki-
ran berat. Sementara, Pengemis Binal menatap-
nya dengan pandangan iba dan penuh belas kasi-
han. Bagaimanapun juga, Nyai Catur Asta pernah
menyelamatkan jiwanya tatkala Kapal Rajawali
pecah ter-hantam ombak ganas di Laut Selatan.
Nyai Catur Asta juga yang telah menurunkan il-
mu 'Pukulan Salju Merah' kepadanya. (Baca serial
Pengemis Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan Air" dan "Dendam Ratu Air").
"Ceritakan apa yang telah terjadi, Nyai.
Mungkin aku bisa menolongmu," desak Suropati.
"Untuk apa kau menyusupkan roh Barata Sukma
ke tubuh Prahesti" Padahal, kau tahu bila Barata
Sukma adalah tokoh jahat yang amat kejam."
Nyai Catur Asta menarik napas panjang
beberapa kali. Ditatapnya wajah Pengemis Binal.
Rasa bersalah dan berdosa merebak di hatinya,
membuat penyesalan itu tiada berujung. Pedih
menyakitkan, terasa sampai ke relung-relung ji-
wa. "Suro...," sebut Nyai Catur Asta. "Aku memang layak untuk mati. Tapi karena
aku merasa punya kewajiban di Kerajaan Siluman, aku berta-
han untuk hidup...."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Didengarnya ucapan Nyai Catur Asta
dengan alis bertaut.
"Aku yang hina ini telah terbujuk setan un-
tuk merampas Arca Budha dan Pedang Burung
Hong.' "Nyai...!" desis Pengemis Binal, tak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Karena ada kekuatan gaib yang melindun-
gi kedua benda bertuah itu, aku tak dapat mewu-
judkan keinginanku seorang diri," lanjut Nyai Catur Asta. "Lalu, kubangkitkan
roh Barata Sukma, dan kususupkan ke dalam tubuh Prahesti setelah
melalui sebuah peristiwa berdarah di puncak Bu-
kit Palastra."
"Lalu, kenapa Prahesti menentang Nyai?"
"Pada mulanya aku sangat yakin bila roh
yang akan kususupkan ke tubuh Prahesti akan
tetap dapat kukuasai. Tapi.,. sungguh di luar du-
gaanku. Ketika roh Barata Sukma telah kusu-
supkan, sifat lahir Prahesti tetap ada pada di-
rinya. Suara dan semua gerak-gerik bocah seten-
gah siluman itu seharusnya berubah menjadi Ba-
rata Sukma. Aku belum menyadarinya sampai
Arca Budha dan Pedang Burung Hong dia da-
patkan. Hingga... Huk! Huk...!"
Nyai Catur Asta tak dapat melanjutkan
ucapannya. Batuk keburu menyerang. Dan..., da-
rah segar menetes dari lubang hidung dan sudut
bibirnya. "Nyai...!" jerit Pengemis Binal.
Melihat kekhawatiran remaja tampan ini,
Nyai Catur Asta menggelengkan kepala. Dengan
sapu tangan merah, dihapusnya cairan darah
yang menodai wajahnya.
"Katakan! Katakan apa yang harus kuper-
buat, Nyai!" desak Pengemis Binal.
Nyai Catur Asta mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum hambar yang dapat dia perli-
hatkan. "Sungguhkah kau ingin menolongku, Su-
ro?" tanyanya, mengharap.
"Kenapa tidak, Nyai" Kalau itu di jalan ke-
benaran, aku pasti melakukannya!" tegas Pengemis Binal.
"Tapi, aku telah salah jalan, Suro..."
"Orang salah memang patut dihukum. Bu-
kankah Nyai sudah merasakan hukuman itu"
Nyai telah terluka parah! Katakan apa yang harus
kuperbuat, Nyai!"
"Dengan kesaktiannya, Prahesti hendak
merebut takhta Kerajaan Siluman. Itu sangat
berbahaya karena dirinya telah dikuasai nafsu se-
tan. Kalau dia menuruti nafsu jahat itu, rimba
persilatan pun ter-ancam bahaya. Dia akan terus
mengumbar keinginan buruknya...."
"Katakan dengan cara apa aku dapat
menghentikan keinginan buruk Prahesti, sekali-
gus menolongmu, Nyai!" desak Pengemis Binal la-gi, penuh kesungguhan.
Nyai Catur Asta menatap wajah Suropati
lekat-lekat. Darah segar kembali menetes dari lu-
bang hidung dan sudut bibirnya.
"Kau terluka parah, Nyai. Izinkan aku me-
nolongmu..."
Sebelum Nyai Catur Asta memberikan ja-
waban, mendadak....
"Hi hi hi...! Sebelum ajal menjemput, ru-
panya Ratu Pecundang Catur Asta sempat berme-
sra-mesraan dengan kekasihnya. Hi hi hi...!"
Terkesiap Nyai Catur Asta dan Pengemis
Binal. Mereka mengarahkan pandangan ke tem-
pat yang sama. Seorang bocah perempuan lima
belas tahunan tampak berdiri berkacak pinggang.
Tatapannya tajam menusuk penuh nafsu mem-
bunuh. Dia Prahesti!
Pengemis Binal memperhatikan dengan
seksama, lalu bertanya, "Diakah yang bernama
Prahesti, Nyai?"
"Ya," jawab Nyai Catur Asta dengan wajah pucat pasi. "Kembalilah ke alam nyata,
Suro!" "Kenapa" Kenapa, Nyai" Bukankah ini sua-
tu kesempatan baik untuk melenyapkan keangka-
ra-murkaan bocah setengah siluman itu!" tolak Pengemis Binal.
"Berbahaya! Berbahaya, Suro! Kau belum
siap!" Di ujung kalimatnya, Nyai Catur Asta ba-
tuk-batuk. Tubuhnya terkulai jatuh, dan pingsan
lagi di atas kereta kudanya!
"Hi hi hi...! Rupanya, ajal Ratu Pecundang
Catur Asta tinggal beberapa tarikan napas saja.
Hi hi hi...!" ejek Prahesti.
"Diam kau, Perempuan Laknat!" hardik Su-
ropati. "Jiwamu terlalu kotor dan busuk untuk menjadi ratu di Kerajaan Siluman!"
Mengelam paras Prahesti mendengar uca-
pan kasar Pengemis Binal. Kontan napasnya te-
rengah-engah karena desakan amarah yang me-
nyesakkan dadanya.
"Jahanam!" umpat Prahesti. "Berani benar kau berkata seperti itu! Tidakkah kau
tahu sedang berhadapan dengan siapa"!"
"Huh! Aku tahu benar siapa dirimu! Kau
hanyalah perempuan liar yang tak lebih berharga
dari tahi kuda!"
Mendengar ucapan yang lebih kasar itu,
amarah Prahesti tak tertahankan lagi. Wajahnya
merah padam. Darahnya bergolak naik sampai ke
ubun-ubun. Sambil menggembor keras, bocah se-
tengah siluman ini menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan!
Wusss...! Seberkas cahaya kuning menggidikkan me-
lesat ke arah Pengemis Binal. Bergegas remaja
tampan ini mendorong kereta kuda tempat Nyai
Catur Asta terkulai pingsan. Diiringi ringkikan
panjang empat kuda putih, kereta itu melesat ce-
pat bagai anak panah lepas dari busur. Sementa-
ra, Pengemis Binal lalu meloncat tinggi. Dan, se-
berkas cahaya kuning yang melesat dari kedua te-
lapak tangan Prahesti hanya mengenai tempat
kosong. "Bedebah! Punya kepandaian juga kau ru-
panya, Monyet Bau!" umpat Prahesti, kesal.
"Bangsat! Kau katakan aku Monyet Bau"
Tidak sadarkah kau bila kaulah mbahnya Monyet
Bau!" balas Pengemis Binal, konyol.
"Keparat!"
"Kaulah yang keparat!"
"Setan Alas!"
"Kaulah yang Setan Alas!"
Melihat kekonyolan Suropati, tak dapat
Prahesti menahan hawa amarahnya. Kepalanya
menggeleng keras seraya mengeluarkan lengkin-
gan tinggi. "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
"Mampukah itu" Mampukah itu?"
Tiba-tiba saja sifat gendeng Pengemis Binal
muncul. Dengan konyolnya remaja tampan ini
meleletkan lidah. Sementara, Prahesti menggeram
keras laksana harimau pada puncak kemarahan-
nya. Mendadak, mata Pengemis Binal terbelalak
lebar. Tanpa sadar dia tersurut mundur beberapa
tindak. Tangan kanan Prahesti tampak menceng-
keram erat gagang pedang bengkok yang badan-
nya dipenuhi ukiran indah.
"Pedang Burung Hong...!" kejut Suropati.
Lebih terkejut lagi pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini ketika melihat tangan
kiri Prahesti yang mencekal arca sebesar anak
kucing terbuat dari emas murni, yang tiada lain
dari Arca Budha!
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan buruk segera berkelebatan di
benak Suropati. Arca Budha dan Pedang Burung
Hong bagaimana bisa berada di tangan Prahesti.
Menyesal dia karena tak menanyakan sebelumnya
kepada Nyai Catur Asta. Lalu, bagaimana nasib
Kwe Kok Jiang dan Kwe Sin Mei yang semula
membawa kedua benda bertuah itu untuk dibawa
ke Negeri Cina"
Pengemis Binal tak mampu berpikir pan-
jang karena Prahesti keburu menerjangnya. Keta-
jaman Pedang Burung Hong menyambar hendak
memenggal lehernya!
Wuttt...! "Hiah...!"
Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh
ke belakang. Namun, dari ujung Pedang Burung
Hong melesat seberkas cahaya kebiruan!
"Kuntilanak Bunting!"
Sambil memaki, Pengemis Binal menghen-
takkan kedua tangannya ke depan. Seberkas ca-
haya merah wujud dari ilmu 'Pukulan Salju Me-
rah' melesat! Blarrr...! 7 Hampir dua penanakan nasi lamanya Ga-
jah Angon menunggui badan kasar Suropati yang
tengah duduk bersila dengan mata terpejam ra-
pat. Selama itu, hatinya terus diliputi perasaan
tak enak. Daun yang gugur dan burung yang
hinggap di tanah telah membuatnya terkejut be-
berapa kali. Dia khawatir dan waswas, jangan-
jangan ada orang jahat datang ke puncak Bukit
Palastra ini. Dalam keadaan terluka dalam, da-
patkah dirinya melaksanakan amanat Suropati"
Gajah Angon menarik napas panjang. Dita-
tapnya wajah Pengemis Binal yang teduh penuh
kehalusan budi. Dia tak berani mengeluarkan su-
ara. Takut mengusik Pengemis Binal yang tengah
mengetrapkan ilmu 'Menembus Alam Gaib'.
Sementara itu, dari kaki bukit melesat se-
sosok bayangan. Berkelebat cepat, laksana dapat
menghilang. Ketika sampai di tengah punggung
bukit, bayangan ini menghentikan kelebatan tu-
buhnya. Ter-nyata, dia seorang lelaki setengah
baya. Berpakaian kuning merah mencolok mata.
Kulitnya putih. Rambutnya diikat dengan sehelai
kain sutera merah.
Lelaki bertubuh ramping ini mengedarkan
pandangan sebentar, lalu mengusap peluh di wa-
jahnya dengan sapu tangan sutera berwarna kun-
ing. "Hmmm.... Menurut keterangan yang ku
peroleh, ada seorang remaja tampan berpakaian
penuh tambalan menaiki bukit ini. Aku menduga,
dia pasti Suropati. Hmmm.... Sudah lama aku
menyimpan sakit hati kepada bocah gendeng itu.
Setelah aku menguasai aji 'Pelebur Raga', dapat-
lah aku melampiaskan dendam kesumat ini!" gu-
mamnya. Dia mengedarkan pandangan sekali lagi.
Ditatapnya kuntum-kuntum bunga merah jingga
yang menebar di puncak bukit. Mendadak, tan-
gan lelaki ini melambai genit. Bibirnya tersenyum
dan matanya melemparkan kerlingan.
"Suropati...," desisnya. "Sebelum dia kubunuh, dapatkah aku bermesra-mesraan
dulu den- gannya" Kenapa tidak" Akan kubuat dia kelim-
pungan dan terpuruk dalam cengkeraman nafsu
birahi. 'Puyer Perangsang' akan membuatnya lupa
diri! Ha ha ha...!"
Lelaki yang tingkah lakunya seperti wanita
ini tertawa bergelak. Dia adalah Lelaki Genit Mata Banci! (Tentang tokoh ini
bisa dibaca pada serial
Pengemis Binal dalam episode: "Petaka Kerajaan Air" dan "Tengkorak Kaki Satu").
Lelaki yang menyimpan permusuhan ter-
hadap Pengemis Binal ini menatap puncak bukit
dengan pandangan nanar. Lalu, dia jejakkan kaki
kanannya ke tanah. Dan..., tubuhnya melesat ce-
pat! "Ha ha ha...!" tawa Lelaki Genit Mata Banci setelah sampai di puncak bukit.
"Tak percuma
aku bertanya-tanya. Tak sia-sia kakiku melang-
kah. Kiranya, bocah gendeng itu memang berada
di tempat ini! Ha ha ha...!"
Gajah Angon yang tengah menunggui ba-
dan kasar Pengemis Binal terkejut bagai disambar
petir di siang bolong. Bola matanya melotot besar
ketika tahu ada seorang lelaki setengah baya te-
lah berdiri tak seberapa jauh darinya.
"Siapa kau"!" tanya Gajah Angon, keras
membentak. "Hmmm.... Kasar benar ucapanmu!" Lelaki
Genit Mata Banci balas membentak. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau
berada di tempat
ini"! Dan, bocah gendeng itu sedang melakukan
apa"!" Di ujung kalimatnya, Lelaki Genit Mata Banci melempar kerlingan ke arah
Suropati yang masih duduk bersila dalam sikap semadi.
Terbawa perasaan tak enak, Gajah Angon
bangkit berdiri. Ditatapnya wajah Lelaki Genit
Mata Banci penuh selidik.
"Aku Gajah Angon penguasa Bukit Palastra
ini!" kenalnya dengan nada tinggi. "Kau datang tanpa memberi salam, malah
memperlihatkan sikap tak baik. Bila kau tahu diri, angkat kakimu!
Tempat ini tak layak menerima kehadiranmu!"
"Hmmm.... Kata-katamu membuat gatal te-
lingaku. Siapa pun kau, aku tak ada urusan den-
ganmu. Tapi... hmmm.... Walau kau sudah beru-
mur, namun bolehlah...." Lelaki Genit Mata Banci tersenyum penuh arti. "Setelah
aku menyelesaikan urusanku dengan bocah gendeng itu, kau bo-
leh main-main denganku. Aku jamin. Kau pasti
puas, dan ketagihan. Ha ha ha...!"
Melihat gerak-gerak lelaki yang berdiri tiga
tombak dari hadapannya, Gajah Angon menge-
rutkan kening. "Aku tak tahu siapa lelaki itu. Menilik ting-
kah lakunya yang seperti wanita, apakah dia
orang yang berjuluk Lelaki Genit Mata Banci" Ka-
lau benar, untuk apa dia jauh-jauh datang dari
Negeri Saloka Medang ke Bukit Palastra ini?" kata Gajah Angon dalam hati.
"Hei! Apa yang kau pikirkan, Angon"! Aku
memang Lelaki Genit Mata Banci. Bila kau pernah
mendengar kebesaran namaku, menyingkirlah
kau sebentar. Akan kuselesaikan dulu urusanku
dengan bocah gendeng itu. Selanjutnya... selan-
jutnya.... Ha ha ha...!"
"Gila!" umpat Gajah Angon. "Siapa pun tidak boleh mengganggu Suropati! Tidak
juga kau, Lelaki Banci!"
"Hmmm.... Tidak tahukah kau betapa sakit
hati orang yang menyimpan dendam kesumat"
Suropati telah membunuh sahabat baikku yang
bernama Wiranti. Itu berakibat Partai Iblis Ungu
yang dipimpinnya hancur berantakan. Suropati
pun telah mempermalukan aku beberapa kali. Ti-
dak bolehkah aku membalas perlakuan buruk
bocah gendeng itu?"
Bibir Gajah Angon menyungging senyum
sinis. "Partai Iblis Ungu.... Menilik namanya, partai itu jelas tempat bernaung
orang-orang sesat.
Sudah pantas bila Suropati menghancurkannya,
berikut membunuh pemimpinnya. Kalaupun kau
pernah dipermalukan oleh Suropati, bukankah
itu sudah selayaknya" Lihatlah perilakumu sendi-
ri! Nafsu tak wajarmu itulah yang...."
"Keparat!" potong Lelaki Genit Mata Banci.
"Tak perlu banyak bacot! Jika kau tidak segera menyingkir, kau akan menyesal
seumur hidup!"
Mendengar ancaman itu, Gajah Angon ter-
kesiap. Bagaimana dia dapat mempertahankan
diri bila Lelaki Genit Mata Banci menyerangnya"
Kalau dia mati, siapa lagi yang akan menjaga ba-
dan kasar Suropati"
"Cobalah kau menahan amarahmu...," me-
rendah Gajah Angon. "Ada baiknya bila kau gu-
nakan pikiran jernih untuk berunding."
"Berunding" Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa yang hendak kau rundingkan" Apakah kau tak rela bila
Suropati mendapat bagian pertama" Mestinya
kau tahu diri, Angon! Kau sudah tua. Tenagamu
tentu sudah loyo! Mana dapat dibandingkan den-
gan Suropati yang gagah perkasa. Ha ha ha...!"
Mengelam paras Gajah Angon mendengar
ucapan Lelaki Genit Mata Banci. Cepat dia usir
rasa risih dan jengah di hatinya. Bagaimanapun
juga, dia harus menjaga agar Lelaki Genit Mata
Banci tak melakukan tindakan keras yang me-
maksa dirinya berbaku hantam.
"Bukan... bukan itu maksudku, Lelaki
Banci," ujar Gajah Angon kemudian. "Aku tahu kau sudah tak sabar untuk segera
menyelesaikan urusanmu dengan Suropati. Tapi, tunggulah be-
berapa saat sampai Suropati menyelesaikan se-
madinya..."
Lelaki Genit Mata Banci mendengus. Dita-
tapnya wajah Suropati yang masih duduk bersila.
Ditatapnya dengan seksama, sampai akhirnya dia
menarik sebuah kesimpulan.
"Tubuh bocah gendeng itu tak menunjuk-
kan tanda-tanda kehidupan. Kalau dia sedang
bersemadi, aku pasti bisa mendengar hembusan
napas dan detak jantungnya. Tapi, ini tidak.
Mungkinkah dia telah mati" Aku harus membuk-
tikannya!"
Terbawa pikiran di benaknya, Lelaki Genit
Mata Banci berjalan mendekati tubuh Pengemis
Binal. Tentu saja Gajah Angon tak membiarkan-
nya. Bergegas dia meloncat untuk menghalangi
langkah Lelaki Genit Mata Banci.
"Hei! Mau apa kau"!" bentak Gajah Angon.
Mendadak, Lelaki Genit Mata Banci meng-
geram marah. Ditatapnya wajah Gajah Angon
dengan pandangan berapi-api.
"Minggir kau!"
Sambil membentak, Lelaki Genit Mata
Banci menggerakkan kaki kanannya. Tak mau
dadanya menjadi sasaran tendangan, cepat Gajah
Angon menggeser tubuh ke kiri. Namun...
"Huk...! Uokkk...!"
Tubuh Gajah Angon tak mampu berdiri te-
gak. Kedua kakinya bergerak maju mundur. Ta-
nah yang dipijaknya seakan dilanda gempa.
Dan..., dari mulutnya menyembur darah segar!
"Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa bergelak. "Rupanya kau menderita
luka dalam, Kerbau Dungu! Menyingkirlah! Agar kau tak
menyesal bila nanti kupecahkan batok kepala-
mu!" Dengan mulut masih belepotan darah, Ga-
jah Angon menuding seraya berkata, "Apa... apa yang akan kau perbuat terhadap
Suropati...?"
"Kau ingin tahu" Baiklah aku jelaskan,"
sahut Lelaki Genit Mata Banci. "Akan kuperiksa
apakah bocah gendeng itu telah mati atau masih
hidup. Bila masih hidup akan kucekoki dia den-
gan 'Puyer Perangsang'. Setelah aku puas berme-
sraan dengannya, dia akan kubunuh! Tubuhnya
akan kuhancurkan dengan aji 'Pelebur Raga'! Ha
ha ha...!"
Mendengus gusar Gajah Angon mengetahui
maksud buruk Lelaki Genit Mata Banci. Selagi le-
laki ini tertawa bergelak, cepat Gajah Angon
menghunus pedang yang terselip di pinggangnya,
lalu.... Wuttt...!
Bilah pedang Gajah Angon berkelebat ce-
pat. Ujungnya mengarah ulu hati Lelaki Genit Ma-
ta Banci! "Hiah...!"
Lelaki Genit Mata Banci menggembor ke-
ras. Mudah saja lelaki ini menghindari tusukan
pedang Gajah Angon. Dan, sekali tangannya ber-
gerak, tubuh Gajah Angon mencelat karena da-
danya terhantam bogem mentah!
Sejenak Lelaki Genit Mata Banci menatap
tubuh Gajah Angon yang jatuh bergulingan. Sam-
bil mengulum senyum, lelaki ini melangkah,
mendekati badan kasar Suropati!
"Matilah kau!"
Nekat sekali Gajah Angon bangkit. Pedang-
nya berkelebat lagi, hendak memenggal leher Le-
laki Genit Mata Banci!
Wuttt...! Sengaja Lelaki Genit Mata Banci menung-
gu. Setelah pedang Gajah Angon mendekati le-
hernya, dia rundukkan tubuhnya. Lalu....
Blekkk...! "Hukkk...!"
Telapak tangan Lelaki Genit Mata Banci
menepuk kepala Gajah Angon dari atas. Dalam
keadaan masih berdiri, kedua kaki Gajah Angon
menancap di tanah sampai sebatas siku!
"Melihat kenekatanmu, rupanya kau cukup
berharga untuk dijadikan korban aji 'Pelebur Ra-
ga'-ku, Kerbau Dungu!"
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di ujung kalimatnya, Lelaki Genit Mata
Band menarik napas panjang. Dengan tangan
bersedekap, dirapalnya sebuah mantra. Tapi tu-
buh Gajah Angon keburu ambruk memeluk bumi!
"Bodoh! Bodoh!" umpat Lelaki Genit Mata
Banci. "Mestinya kau rasakan dulu kehebatan aji
'Pelebur Raga'-ku! Kenapa nyawamu begitu mu-
dah melayang"!"
Dengan perasaan kesal, Lelaki Genit Mata
Banci menggedrukkan kakinya ke tanah. Namun
ketika melihat sosok Pengemis Binal yang masih
duduk bersila di tempatnya, rasa kesal di hati le-
laki berpakaian kuning merah ini lenyap seketika.
Lalu sambil tersenyum-senyum, dia berjalan
mendekati... * * * Sementara itu, badan halus Pengemis Binal
tengah terkurung cahaya kebiruan yang meman-
car dari bilah Pedang Burung Hong di tangan
Prahesti. Dengan melakukan gerakan 'Pengemis
Meminta Sedekah', dia meloncat ke sana-sini un-
tuk dapat keluar dari kurungan cahaya panas itu.
"Hmmm.... Kehebatan Pedang Burung
Hong memang tiada taranya. Tak dapat aku ber-
laku terus seperti ini. Aku harus membalas se-
rangan Prahesti!"
Menuruti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal mengempos tenaga. Setelah berjumpalitan
beberapa kali, dia salurkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya ke kedua pergelangan tangannya.
Begitu mendapat kesempatan, cepat dia merun-
duk. Lalu, secepat kilat dia melenting ke atas
dengan gerakan 'Pengemis Mengiba Rembulan'!
Wusss...! Blarrr...! Cahaya merah yang melesat dari kedua
tangan Suropati membentur cahaya kebiruan
yang semula mengurungnya. Namun, akibatnya
sungguh di luar dugaan. Badan halus pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini terhem-
pas. Melesat cepat diiringi jeritan panjang me-
nyayat hati! "Aaa...!"
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa penuh keme-nangan. "Pertempuran ini harus
dilanjutkan. Kukembalikan kau ke alam nyata. Tunggulah bebe-
rapa saat sebelum tubuhmu kucincang menjadi
serpihan daging!"
Mendadak, tubuh bocah setengah siluman
ini melesat. Tangan kirinya terjulur lurus ke de-
pan. Dan..., serangkum angin pukulan berhawa
panas luar biasa menerpa Pengemis Binal!
Wesss...! "Wuahhh...!"
Badan halus Pengemis Binal terlempar ke
tempat gelap nan luas tiada bertepi. Untuk bebe-
rapa lama dirinya terbawa melayang-layang tiada
menentu. Kemudian, telinga murid Periang Ber-
tangan Lembut ini menangkap suara desir angin
yang menerpa ranting pohon. Dapat dia dengar
pula kicau burung yang merdu bernyanyi.
Suropati tahu bila roh dan badan kasarnya
telah menyatu kembali. Namun, keterkejutan
menghantam telak. Ketika membuka kelopak ma-
ta, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tengah berjalan menghampirinya.
"Lelaki Genit Mata Banci!"
Mendengar seruan Pengemis Binal yang
begitu keras, Lelaki Genit Mata Banci melonjak
kaget. Tubuhnya terlihat limbung karena pijakan
kakinya berada di tanah yang tak rata.
"Slompret!" rutuknya.
Mengetahui bila Lelaki Genit Mata Banci
menyimpan bibit permusuhan kepadanya, berge-
gas Pengemis Binal bangkit. Namun, dia terkesiap
merasakan tubuhnya yang lemah.
"Oh! Apa yang telah terjadi?" keluh Suropati, menajamkan ingatan. "Pasti angin
pukulan Prahesti yang telah membuatku seperti ini..."
Mata Suropati terbelalak lebar tatkala me-
lihat tubuh Gajah Angon yang menancap di ta-
nah. Remaja tampan ini hendak meloncat mende-
kati, tapi tulang-belulangnya terasa bagai dilolosi.
Tenaganya terkuras tiada tersisa. Hingga, dia tia-
da dapat me-lakukan apa-apa, kecuali menatap
tubuh Gajah Angon dari kejauhan.
"Keparat kau, Lelaki Banci!" umpat Pengemis Binal. "Kau pasti yang telah
mencelakai sahabatku itu!"
"Kalau ya, kau mau apa" Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa pongah.
Dia tahu benar bila Pengemis Binal tengah menderita luka
dalam. Mendadak....
"Hi hi hi...! Tak percuma aku melancarkan
'Pukulan Badai Gurun'. Selain melemparkan di-
rimu ke alam nyata, ternyata kau pun tak luput
dari luka dalam, Pemuda Gemblung! Hi hi hi...!"
Mendengar tawa menyeramkan itu, Suro-
pati terkesiap. Cepat dia arahkan pandangan ke
asal suara. Terlihat oleh pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini sosok Prahesti yang
tengah berdiri tegak menatap penuh ejekan ke
arahnya. Kalut dan bingung segera menyelimuti be-
nak Suropati. Bila Prahesti bermaksud membu-
nuhnya, dengan apa lagi dia dapat bertahan"
Namun, segera tercetus sebuah akal bagus.
Ditatapnya Lelaki Genit Mata Banci yang berdiri
sekitar dua tombak dari hadapannya. Lalu, diam-
diam dia pusatkan kekuatan batinnya.
"Hei, Lelaki Banci!" seru Pengemis Binal, disertai kekuatan ilmu sihir ajaran
Periang Bertangan Lembut. "Lihatlah ke sana! Perempuan kejam yang sangat haus
darah itu sudah sepatutnya
untuk dibunuh. Keluarkan ilmu kesaktianmu
yang terhebat Lenyapkan dia secepatnya!"
Begitu usai ucapan Pengemis Binal, kepala
Lelaki Genit Mata Banci menggeleng-geleng. Ma-
tanya mengerjap beberapa kali.
"Ya. Ya, kau memang pantas untuk dile-
nyapkan!" seru Lelaki Genit Mata Banci, menuding Prahesti.
Di lain kejap, Lelaki Genit Mata Banci tam-
pak bersedekap. Dengan mata terpejam, dirapal-
nya sebuah mantra. Agaknya, lelaki bertingkah
laku wanita ini hendak mengetrapkan aji 'Pelebur
Raga'-nya. "Heh"!"
Prahesti terkesiap manakala merasakan
tubuhnya bergetar. Dirasakannya sentakan-
sentakan keras yang menarik kepala, kedua tan-
gan dan kakinya agar terbetot lepas dari tempat-
nya. Bocah setengah siluman ini kontan menden-
gus gusar. "Hmmm.... Aku dapat memastikan bila le-
laki genit itulah yang tengah menyerangku den-
gan kekuatan kasat mata," kata hati Prahesti.
Disertai sebuah jeritan panjang, Prahesti
menghunus pedang yang sarungnya terdapat uki-
ran dua ekor naga. Lalu, pedang warisan bernama
Naga Kembar itu dilemparkan ke arah Lelaki Ge-
nit Mata Banci!
Bersamaan dengan itu, Lelaki Genit Mata
Banci menepukkan kedua telapak tangannya di
atas kepala! Wuttt...! Blammm...! Sebuah ledakan keras mengiringi kekuatan
kasat mata yang keluar dari telapak tangan Lelaki
Genit Mata Banci. Tampak kemudian, tubuh Pra-
hesti melayang jauh, dan jatuh bergulingan ke le-
reng bukit. Sementara, tubuh Lelaki Genit Mata
Banci jatuh berdebam dalam keadaan tanpa nya-
wa. Darah segar merembes dari dadanya yang ter-
tembus ketajaman Pedang Naga Kembar!
Pengemis Binal menarik napas lega. Den-
gan langkah tertatih-tatih, dihampirinya tubuh
Gajah Angon yang sudah tak menunjukkan tan-
da-tanda kehidupan. Sementara, panas sinar
mentari menyiram kuntum-kuntum bunga merah
jingga. Semilir angin mengelus aneka burung
yang berkicau mendendangkan lagu duka.
SELESAI Segera ikuti saja kisahnya!!
PETUALANGAN ROH IBLIS
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SELESAI PETUALANGAN ROH IBLIS
Misteri Lukisan Tengkorak 6 Joko Sableng 12 Warisan Laknat Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17