Penyesalan Ratu Siluman 1
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman Bagian 1
PENYESALAN RATU SILUMAN Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Penyesalan Ratu Siluman
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Sang baskara memuntahkan sinar merah
di ufuk timur. Menguak halimun pagi. Menam-
pakkan pelangi warna tujuh rupa. Burung-
burung berkicau dan berdendang, menyanyikan
lagu pujaan kepada Sang Penguasa Tunggal. Alam
menggeliat membuka mata diiringi gemericik sua-
ra aliran sungai kecil. Fajar telah menyingsing.
Tatkala hawa sejuk mendesir memper-
mainkan segala tanaman yang sedang semi ber-
kembang, melesat cepat sesosok bayangan melin-
tasi lereng Bukit Palastra. Seiring dengan halimun yang terhalau sang bayu ke
sudut timur, bayangan itu terus melesat cepat. Terbang melayang di
atas lapisan pohon-pohon bunga berwarna sera-
gam merah jingga
Hebat tiada terkira kepandaian orang yang
sedang berlari dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh itu. Tangkai-tangkai bunga yang
terpijak kedua kakinya tak bergerak sedikit pun.
Tak rebah atau bergoyang.
Saat sampai di tanah datar yang dipagari
aneka jenis bunga warna-warni, orang itu meng-
hentikan kelebatan tubuhnya. Dan dapatlah dili-
hat dengan jelas bila dia seorang lelaki setengah
tua. Wajahnya tampak jenaka seperti menyi-
ratkan pikiran yang kurang waras. Dia tidak me-
melihara kumis atau jenggot. Hanya rambutnya
yang dibiarkan memanjang, ditutupi sehelai kain
kotor dekil. Di beberapa bagian terjuntai gimbal
berwarna putih meletak. Pakaiannya terdapat be-
berapa tambalan, seperti dijahit dengan sengaja.
Bagian leher dan lengan baju lelaki empat
puluh tahunan itu berkibar-kibar tatkala angin
berhembus lebih kencang. Sementara, sepasang
kakinya yang terbungkus sepatu jerami berdiri te-
gak mencengkeram tanah. Sedang di punggung-
nya bergayut seorang bocah perempuan lima be-
las tahunan. Setelah mengerahkan pandangan ke utara
beberapa lama, lelaki tegap itu melanjutkan kele-
batan tubuhnya lagi. Dimasukinya hutan kecil di
puncak bukit. Beberapa tarikan napas kemudian, dia
menemukan sebuah pondok bambu tua namun
masih tampak kokoh kuat. Dan baru saja kakinya
menginjak pelataran, dari pondok beratap sirap
itu muncul seorang lelaki yang umurnya dua ta-
hun lebih muda darinya.
"He, Kakang Garang Wanara! Terpuji benar
kau punya watak. Janji yang terucap bukan
hanya manis di bibir saja," seru pemilik pondok dengan mata berbinar-binar.
Lelaki bertubuh tinggi kurus itu mengena-
kan jubah hitam mirip tukang tenung. Rambut-
nya yang telah memutih tertutup topi bulat tinggi
berwarna hitam pula.
"Ha ha ha...! Waktu terus berlalu. Sejeng-
kal demi sejengkal, usia kita semakin dekat den-
gan liang lahat. Tapi, sifatmu tetap saja tak berubah, Gajah Angon. Suka memuji
orang walau da-
lam hatimu tersimpan rasa jengkel," sahut lelaki bersepatu jerami yang dipanggil
Garang Wanara. "Hmmm.... Dari dulu aku kagum akan ke-
cerdikan otakmu, Kakang Wanara. Kau pandai
menduga dan menerka. Namun, apa yang baru
saja kau katakan tidak sepenuhnya benar. Aku
memang senang dan sungguh amat bersuka ria
karena kau menepati janjimu. Tak sedikit pun
terbersit rasa jengkel dalam hatiku walau aku la-
ma menunggu. Bukankah apa yang kuharapkan
membuahkan hasil juga?"
Sambil berkata, lelaki bernama Gajah An-
gon menatap lekat wajah bocah perempuan yang
terkulai lemah di gendongan Garang Wanara.
Mendadak, mata Gajah Angon terbelalak.
Mulutnya mengeluarkan seruan tertahan. Garang
Wanara tampak tertawa bergelak seraya melepas
lengan bocah perempuan yang melingkar di le-
hernya. Dan seperti orang gila, tubuh bocah tak
sadarkan diri itu dilemparkan ke udara, hingga
melesat setinggi dua pohon kelapa!
"Ih...!"
Wuttt...! Melihat adegan yang mendebarkan hatinya
itu, cepat Gajah Angon menjejak tanah seraya
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
menolong si bocah. Tapi, agaknya Garang Wanara
tak bermaksud mencelakakan bocah perempuan
berwajah manis itu.
"Hea...!"
Sebelum tubuh si bocah jatuh ke tanah,
cepat sekali Garang Wanara berkelebat, menda-
hului kelebatan tubuh Gajah Angon. Dalam kea-
daan masih melayang di udara, tangan kiri Ga-
rang Wanara me-nyambar kain hitam penutup
mata si bocah. Sedangkan tangan kanannya
mendaratkan beberapa totokan.
Pada totokan ketujuh, tubuh si bocah
menggeliat seraya mengeluarkan jeritan panjang.
Tahu dirinya berada di udara dan tengah melun-
cur ke tanah, bocah perempuan itu mengem-
bangkan kedua tangannya, lalu berjumpalitan ti-
ga kali. "Hup...!"
"Ha ha ha...! Hebat! Hebat!" puji Gajah Angon yang telah mengurungkan niatnya
untuk me- nolong si bocah.
Garang Wanara yang lebih dulu menjejak-
kan kaki di tanah menampakkan senyum sekilas.
Lalu dengan suara berat memerintah, dia berkata
kepada bocah perempuan yang berhasil mendarat
tanpa kurang suatu apa.
"Hayo, cepat berlutut ke hadapan Paman
Gajah Angon!"
Bocah perempuan berpakaian sederhana
berwarna putih bergaris coklat menatap sejenak
wajah Gajah Angon. Lalu, dia membungkuk hor-
mat dengan kedua telapak tangan menyatu di de-
pan dada. "Berlutut!" sentak Garang Wanara, keras
menggelegar karena dialiri tenaga dalam.
Bocah perempuan bernama Prahesti men-
jatuhkan diri seraya membenturkan dahinya ke
tanah tiga kali. Sementara, Gajah Angon meman-
dang dengan kening berkerut.
"Jangan terlalu kasar terhadap murid sen-
diri, Kakang Wanara," tegur lelaki berjubah hitam itu. "Bila sang murid
menyimpan sakit hati, sang guru juga yang repot di kelak hari nanti."
Garang Wanara yang mendapat teguran
tertawa bergelak. "Ha ha ha...! Aku hanya mengajar peradatan. Yang muda mesti
menaruh hormat kepada yang tua. Murid mesti menjunjung tinggi
perintah guru. Kenapa harus ragu bila sang guru
tidak bermaksud buruk?"
"Ha ha ha...!" sambut Gajah Angon dengan tertawa pula. "Sudah sepantasnya bila
seorang murid patuh dan taat kepada gurunya. Tapi bila
patuh dan taatnya dilakukan dengan hati berat
karena tertindih rasa terpaksa, adakah sebuah
kebanggaan yang diperoleh sang guru?"
Mendengar sindiran lelaki berjubah hitam
itu, Garang Wanara tersenyum kecut. Ditariknya
napas panjang. Melihat Prahesti masih berlutut
dengan dahi menyentuh tanah, Garang Wanara
menjejak tanah. Memberi isyarat agar Prahesti
segera bang-kit.
"Sebelum datang ke puncak Bukit Palastra
ini apakah kau tidak menceritakan apa maksud
kedatanganmu kepada muridmu itu, Kakang Wa-
nara" Tidakkah kau juga menceritakan siapa di-
riku dan maksud baikku untuk mengangkat mu-
ridmu itu se-bagai muridku pula?" tanya Gajah Angon seperti merutuk.
Bibir Garang Wanara tersenyum kecut lagi.
Ditatapnya Prahesti yang telah bangkit berdiri.
"Prahesti...," sebut lelaki tegap berpakaian penuh tambalan itu.
"Ya, Eyang...," sambut Prahesti dengan kepala tertunduk.
"Sengaja aku menutup kedua matamu dan
membuatmu pingsan pula. Itu kulakukan karena
alasan menghemat waktu. Aku ingin kau segera
bertemu dengan adik seperguruan Eyang yang
bernama Gajah Angon. Paman Gajah Angon hen-
dak mengangkatmu sebagai murid juga. Soal ilmu
kesaktiannya, kau jangan menyangsikan. Bila
saat ini ilmu Eyang berada di langit sap lima, ma-
ka ilmu kesaktian Paman Gajah Angon berada di
sap keenam."
Mendengar penjelasan gurunya, Prahesti
bersorak girang dalam hati. Ditatapnya wajah Ga-
jah Angon lekat-lekat. Lalu, dia menjatuhkan di-
rinya lagi. Berlututlah bocah perempuan itu den-
gan sepenuh hati.
"Bila benar apa yang dikatakan Eyang Ga-
rang Wanara, Prahesti hanya bisa mengucap syu-
kur dan beribu-ribu terima kasih. Dan, terimalah
sembah sujud Prahesti yang bodoh serta perlu
banyak sekali bimbingan ini...."
"Anak baik.... Anak baik...," sambut Gajah Angon dengan kata-kata pujian.
Lelaki berjubah hitam itu lalu mengajak
Prahesti dan Garang Wanara masuk ke pondok-
nya. Di dalam pondok bambu beratap sirap itu
terdapat sebuah lukisan tua yang didirikan di
atas meja batu besar.
Gajah Angon dan Garang Wanara mem-
bungkuk hormat tiga kali di depan lukisan wajah
seorang kakek bersorban putih itu. Sewaktu Ga-
jah Angon menyalakan dua obor kecil yang terle-
tak di kanan kiri lukisan, Garang Wanara berkata
kepada Prahesti.
"Beliau adalah Eyang Darma Sagotra guru
kami berdua. Oleh karenanya, kau harus menga-
turkan sembah kepada beliau, Prahesti."
Bersamaan dengan menyalanya api obor,
Prahesti membungkuk hormat tiga kali. Di depan
lukisan wajah Darma Sagotra, bocah perempuan
itu lalu berlutut seraya membenturkan dahinya
ke permukaan lantai pondok.
Gajah Angon kemudian memberi isyarat
kepada kakak seperguruannya untuk mundur.
Beberapa kejap mata kemudian, Gajah Angon dan
Prahesti melakukan upacara pengangkatan mu-
rid. Hingga pada keesokan harinya, Prahesti mu-
lai digembleng berbagai ilmu kesaktian Partai An-
gin Timur yang pernah berjaya pada puluhan ta-
hun silam. Pendiri Partai Angin Timur adalah Darma
Sagotra, guru Garang Wanara dan Gajah Angon.
Di masa muda, Darma Sagotra sangat suka ber-
petualang dan berguru kepada siapa saja.
Selain cerdas, Darma Sagotra juga bercita-
cita tinggi. Ketika usianya menginjak kepala em-
pat, dia berhasil menggabungkan beberapa ca-
bang ilmu silat dan kesaktian tingkat tinggi yang
lihai luar biasa. Dia lalu mendirikan partai yang
diberi nama Angin Timur.
Saat usianya mencapai enam puluh lima
tahun, Darma Sagotra mengundurkan diri dari
tampuk pimpinan partainya. Namun sayang, ba-
nyak murid Darma Sagotra yang menginginkan
kedudukan ketua partai. Akibatnya, perpecahan
tak dapat dihindari lagi. Naasnya, perebutan ke-
kuasaan hanya mendatangkan kehancuran bagi
Partai Angin Timur. Dan, partai besar itu pun
hanya tinggal namanya saja. Sementara, Darma
Sagotra sang pendiri telah mcngasingkan diri dan
bertapa di puncak Bukit Palastra.
Mengetahui partai yang susah payah dia
dirikan telah hancur, Darma Sagotra hanya dapat
mengelus dada. Untuk menepis rasa kecewa, dia
lalu mengambil dua orang murid untuk dididik
bersama-sama. Mereka adalah Garang Wanara
dan Gajah Angon.
Selama bertahun-tahun menimba ilmu di
Bukit Palastra, Garang Wanara hanya berhasil
menyelami enam bagian dari ilmu kesaktian
Darma Sagotra. Sedang Gajah Angon berhasil
menyerap tujuh bagian.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu usia Darma Sagotra menginjak de-
lapan puluh tahun, dia mengangkat seorang mu-
rid lagi. Murid ketiganya itu memiliki bakat dan
kecerdasan luar biasa. Ketajaman otaknya berli-
pat kali bila di-banding dengan Garang Wanara
dan Gajah Angon. Dia bernama Barata Sukma.
Selama sepuluh tahun, Barata Sukma di-
gembleng oleh Darma Sagotra. Dan kadang-
kadang Garang Wanara dan Gajah Angon turut
membantu gurunya, terutama Garang Wanara.
Hingga ketika Barata Sukma berumur dua puluh
lima tahun, dia telah berhasil menyerap habis se-
luruh ilmu kesaktian Darma Sagotra. Dan karena
kecerdasan otaknya yang luar biasa, tiga tahun
sebelum keluar dari tempat penggemblengannya,
Barata Sukma berhasil menciptakan beberapa il-
mu kesaktian tanpa sepengetahuan guru dan ke-
dua kakak seperguruannya. Beberapa ilmu ke-
saktian itu amat lihai dan dahsyat, bahkan bera-
da satu tingkat di atas ilmu kesaktian ciptaan
Darma Sagotra. Akan tetapi, sungguh patut disayangkan.
Anak manusia yang dilahirkan ke dunia dengan
berbekal bakat dan kecerdasan luar biasa itu,
oleh Tuhan diturunkan sifat-sifat yang tidak se-
harusnya dimiliki oleh orang yang berbudi luhur.
Barata Sukma memiliki sifat-sifat yang rendah
sekali. Hingga setelah dua tahun berkecimpung di
rimba persilatan, nama Barata Sukma terkenal
sebagai seorang penjahat kejam yang suka mela-
kukan perbuatan-perbuatan tak senonoh. Hal
demikian membuat Darma Sagotra yang telah be-
rusia lanjut meninggal dunia karena tekanan ba-
tin. Namun sebelum Darma Sagotra menemui
ajal, dia sempat memberikan kekuasaan kepada
dua murid pertamanya untuk mencari Barata
Sukma untuk kemudian menjatuhkan hukuman
mati. Hingga bertahun-tahun lamanya Garang
Wanara dan Gajah Angon bersusah payah mengi-
tari seluruh negeri, memasuki pelosok desa, gu-
nung dan lembah. Tapi, Barata Sukma tak dapat
mereka temukan. Garang Wanara dan Gajah An-
gon pun merasa heran dan tak habis mengerti.
Bukankah nama Barata Sukma telah menjadi
amat kesohor sebagai seorang penjahat, namun
kenapa sukar sekali men-carinya"
Tatkala Garang Wanara dan Gajah Angon
putus asa karena segala daya upayanya tak ber-
hasil, mereka mendengar kabar yang menggembi-
rakan tapi sekaligus menyedihkan. Adik sepergu-
ruan mereka, Barata Sukma, telah binasa dalam
suatu per-tempuran di Negeri Turki melawan em-
pat puluh jago silat tingkat atas negeri itu.
Garang Wanara dan Gajah Angon merasa
gembira karena mereka tidak perlu bersusah
payah menyabung nyawa untuk menghukum ma-
ti Barata Sukma. Namun, dalam hati mereka me-
nyayangkan dan merasa sedih sekali. Bagaimana
tidak, walau Barata Sukma telah nyata-nyata
menyelewengkan ajaran sang guru dan menem-
puh jalan sesat, tapi dia tetap saudara sepergu-
ruan yang pernah tinggal bersama selama sepu-
luh tahun lebih.
Kemudian, Gajah Angon memutuskan un-
tuk tinggal di Bukit Palastra tempat Darma Sago-
tra menggembleng ketiga muridnya. Sementara,
Garang Wanara meneruskan pengembaraannya.
Namun sebelum kedua saudara seperguruan itu
berpisah, mereka membuat kesepakatan. Garang
Wanara diwajibkan mencari seorang murid untuk
dididik bersama-sama guna mewarisi ilmu kesak-
tian Darma Sagotra secara lengkap.
Dalam pengembaraannya, Garang Wanara
berhasil menemukan seorang bocah perempuan
yang mempunyai tulang bagus dan berbakat
mempelajari ilmu silat. Lain itu, si bocah juga
mempunyai kecerdasan yang cukup bisa dibang-
gakan. Dia bernama Prahesti, putri seorang sau-
dagar yang mati dibunuh para perampok.
Setelah mengajarkan dasar-dasar ilmu silat
selama satu tahun, Garang Wanara lalu mengajak
Prahesti ke Bukit Palastra untuk menemui Gajah
Angon. Dan tampaknya, Gajah Angon pun lang-
sung suka terhadap Prahesti. Sehingga, dia tak
ragu-ragu lagi untuk mengangkat Prahesti seba-
gai muridnya juga.
* * * "Bagus! Bagus! Ha ha ha...!"
Gajah Angon tertawa puas melihat kecepa-
tan gerak Prahesti yang tengah berlatih silat di
pagi itu. Hanya dalam waktu dua hari, Prahesti
dapat memahami latihan pernapasan yang diajar-
kan Gajah Angon. Juga, cara-cara meningkatkan
kemampuan ilmu meringankan tubuh. Seperti
yang dia tunjukkan dalam memainkan beberapa
jurus ilmu silat ajaran Garang Wanara. Memang,
gerakan tubuh Prahesti cukup cepat, dan sudah
bisa disejajarkan dengan tokoh silat kelas tingkat menengah.
Garang Wanara yang turut menyaksikan
kehebatan muridnya pun turut tertawa puas. Bila
Gajah Angon turut memberikan gemblengan, ma-
ka dapat dipastikan bila kelak di kemudian hari
Prahesti akan menjadi seorang pendekar wanita
yang benar-benar pilih tanding.
"Cukup! Cukup! Kemarilah kau, Prahesti!"
teriak Gajah Angon tiba-tiba.
Prahesti yang tengah memainkan sebuah
jurus ilmu pedang segera menghentikan gerakan-
nya. Ditatapnya sejenak wajah Gajah Angon yang
berdiri berdampingan dengan Garang Wanara.
Usai menyarungkan pedangnya, dia melangkah
pelan menghampiri.
"Saya belum selesai memainkan jurus
'Pedang Membelah Mega', Eyang," beri tahu Prahesti, menyimpan pertanyaan dalam
hati. Kenapa guru keduanya menatapnya dengan wajah te-
gang" "Prahesti...," sebut Gajah Angon dengan suara berat berwibawa. "Selama dua
hari tinggal di sini, aku telah mengajarkan seluruh dasar ilmu
kesaktian kepadamu. Namun tiba-tiba, aku jadi
ragu dan amat khawatir...."
Prahesti menatap wajah Gajah Angon den-
gan sinar mata tak mengerti. Ragu dan khawatir"
Siapa yang membuat ragu, dan siapa pula yang
dikhawatirkan oleh guru keduanya itu"
"Prahesti...," sebut Gajah Angon lagi. Suaranya terdengar lebih berat, dan
tampak penuh kesungguhan. "Ya, Eyang," sambut Prahesti, membung-
kukkan badan. "Kau tentu telah mendengar cerita tentang
murid ketiga Eyang Darma Sagotra yang bernama
Barata Sukma."
"Ya. Eyang Garang Wanara yang menceri-
takannya."
"Pelajaran apa yang dapat kau petik dari
cerita itu?"
Mendengar pertanyaan Gajah Angon, Pra-
hesti terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Pandan-
gan matanya tertuju ke Garang. Wanara, seperti
hendak meminta penjelasan.
Mendadak, Garang Wanara tertawa berge-
lak. "Ha ha ha...! Yang tua mestinya tahu diri.
Siapa yang diajak bicara" Bocah belasan atau ne-
nek-nenek uzur yang sudah bau tanah" Kenapa
tidak langsung saja mengutarakan maksudmu,
Gajah Angon?"
Mendengar sindiran kakak seperguruan-
nya, Gajah Angon mendehem lirih. Ditatapnya
wajah Prahesti lekat-lekat
"Prahesti...."
"Ya, Eyang."
"Sebelum aku menurunkan seluruh ilmu
kepandaianku yang kudapat dari Eyang Darma
Sagotra, aku ingin kau mengingat semua pesanku
walau kau telah mengangkat sumpah ketika me-
lakukan upacara di depan lukisan Eyang Darma
Sagotra dua hari yang lalu."
"Saya tak akan mengecewakan Eyang Ga-
jah Angon...."
"Bagus! Tapi, aku tak mau kata-katamu itu
hanya manis di mulut saja. Bila kau telah selesai
menimba ilmu di puncak Bukit Palastra ini, jan-
gan sekali-sekali kau takabur dan menganggap
dirimu sebagai orang terpandai di dunia. Karena,
di atas langit masih ada langit. Maka dari itu,
janganlah kau memiliki sifat sombong yang hanya
akan membuat dirimu terjerumus dan terjerat da-
lam kungkungan nafsu rendah. Berlakulah seba-
gai seorang pendekar yang berbudi luhur."
"Selama nyawa masih dikandung badan,
pesan Eyang Gajah Angon akan selalu menyatu
dalam diri saya."
"Hmmm.... Aku tak hanya ingin mendengar
kata kesanggupanmu saja, tapi aku ingin bukti
nyata. Kalau kelak kau menjadi anak durhaka
dan menjadi murid murtad, seperti Barata Sukma
murid ketiga Eyang Darma Sagotra, maka aku
dan Eyang Garang Wanara akan memutuskan
ikatan guru dan murid. Dan, hanya hukuman
mati yang pantas dijatuhkan kepada murid yang
telah berperilaku sesat, melenceng dari jalan ke-
benaran." Di ujung kalimat Gajah Angon, Garang
Wanara mencabut sebatang pedang yang melin-
tang di punggungnya. Sarung pedang itu berukir
dua ekor naga yang saling berhadapan. Warnanya
putih, dan berkilat-kilat tatkala sinar mentari
menerpanya. "Kau memahami pesan dan nasihat Eyang
Gajah Angon, Prahesti?" tanya lelaki bersepatu jerami itu sambil menimang pedang
di tangannya. "Saya paham sepenuhnya, Eyang...," jawab Prahesti, mantap.
Kepala Garang Wanara mengangguk-
angguk. Dipandanginya sejenak pedang putih di
tangannya. Lalu, pedang itu disodorkannya kepa-
da Prahesti. "Prahesti, kau berjodoh untuk memiliki Pe-
dang Naga Kembar. Senjata ini memang bukan
senjata mustika, tapi pedang ini adalah warisan
Eyang Darma Sagotra, yang pernah digunakan
beliau semasa muda. Karena Pedang Naga Kem-
bar memiliki wasiat dan petuah, maka untuk da-
pat memilikinya kau harus bersumpah dulu...."
Prahesti hanya menatap pedang putih yang
disodorkan kepadanya. Tapi melihat kesungguhan
guru pertamanya, dia segera mengangsurkan ke-
dua tangannya untuk menerima pedang bernama
Naga Kembar itu seraya berkata, "Saya akan menjunjung tinggi segala peri
kebenaran di atas pun-
dak dan kepala. Dan, pedang warisan ini di kelak
hari nanti akan saya gunakan hanya untuk mem-
bela yang lemah dan menindas yang jahat. Apabi-
la kelak ternyata saya menggunakan pedang ini
untuk maksud-maksud tak baik atau hanya un-
tuk kepentingan pribadi, biarlah saya mati ter-
tembus pedang ini sendiri."
Usai Prahesti mengangkat sumpah, langit
yang semula cerah tiba-tiba dipenuhi awan kela-
bu yang muncul tertiup angin dari arah selatan.
Disusul kemudian, petir menyalak tiga kali.
Anehnya, begitu suara salakan petir lenyap, le-
nyap pula awan kelabu yang menutupi sinar men-
tari. Prahesti dan kedua gurunya berdiri terpa-
ku di tempatnya. Mereka merasakan keanehan
yang tengah terjadi.
Sementara Prahesti dan Garang Wanara
masih tetap diam di tempatnya, Gajah Angon me-
nengadahkan wajahnya. Kerut di keningnya se-
makin terlihat jelas. Dan, ditariknya napas dalam
beberapa kali. "Lanjutkan lagi latihanmu, Prahesti. Guna-
kan Pedang Naga Kembar agar tuah yang ada di
dalam pedang itu menyatu perlahan-lahan den-
gan dirimu," ujar lelaki berjubah hitam itu kemudian. "Baik, Eyang"
Usai membungkuk hormat kepada kedua
gurunya bergantian, Prahesti melangkah sepuluh
tindak. Lalu, mengawali lagi latihannya. Sementa-
ra dengan kening berkerut, Gajah Angon memberi
isyarat kepada Garang Wanara untuk mengikuti
langkah kakinya.
"Ada apa, Gajah Angon?" tanya Garang
Wanara sesampai di pelataran pondok bambu.
Gajah Angon tak segera menjawab. Dita-
tapnya lekat wajah Garang Wanara, seperti hen-
dak membaca jalan pikiran kakak seperguruan-
nya itu. "Apakah kau tidak merasakan sesuatu,
Kakang?" Gajah Angon balik bertanya,
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau melihat keanehan yang baru
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja terjadi?"
"Apakah langit yang tiba-tiba tertutup
awan kelabu dan petir yang menyalak tiga kali"
Bukankah itu pertanda bila Sang Penguasa Jagat
mendengar sumpah Prahesti?"
"Tapi, aku mempunyai firasat buruk," ujar Gajah Angon dengan suara berat.
Wajahnya men- gelam seperti sedang merasakan kesedihan hebat.
"Firasat buruk" Firasat buruk yang bagai-
mana?" tanya Garang Wanara, meminta penjela-
san. "Naluriku mengatakan, bahwa di tempat ini akan segera terjadi peristiwa...
peristiwa yang...
yang...." "Peristiwa apa?" buru Garang Wanara ka-
rena Gajah Angon seperti ragu untuk melan-
jutkan kalimatnya.
Namun sebelum Gajah Angon memberikan
jawaban, mendadak terdengar suara gemerincing
lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan
suara dengungan seperti ada ribuan lebah sedang
terbang ke tempat itu.
Garang Wanara dan Gajah Angon memutar
tubuh seraya mengedarkan pandangan. Mereka
berusaha mencari dari mana asal suara aneh
yang terdengar.
"Si... siapa kau?" tuding Gajah Angon kemudian dengan wajah pucat pasi dan bola
mata melotot besar. 2 Elok rupawan wajah sang candra seakan
tersenyum dalam kerlingan bintang yang berteba-
ran di langit hitam. Angin dari tenggara berhem-
bus kencang, mempercepat laju kapal dagang ber-
layar kuning itu. Putaran waktu yang menyambut
larutnya malam menjadikan suasana hening
sunyi. Hanya juru mudi yang masih setia menja-
lankan tugas walau udara dingin terasa membe-
bani pelupuk mata.
Di sebuah kamar paling ujung dekat buri-
tan, seorang lelaki lima puluh tahunan tampak
duduk terpekur dengan tatapan kosong tak berar-
ti. Kunciran rambutnya terselempang di bahu ki-
rinya. Dilihat dari raut wajah dan bentuk pa-
kaiannya menandakan bahwa dia berkebangsaan
Cina. "Ayah...," sebut seorang gadis cantik yang duduk di sisi kanan si lelaki.
Mendengar panggilan yang disertai tepukan
lembut di bahunya, lelaki berkuncir menoleh. Di-
tatapnya seraut wajah putih halus milik si gadis.
Namun, lelaki itu tiada berkata apa-apa. Dia pa-
lingkan kepalanya lagi.
"Ayah...," si gadis mengulang panggilannya.
"Ada apa. Sin Mei?" desis lelaki berkuncir, pelan sekali.
Gadis cantik berpakaian kuning bergaris-
garis putih mengerutkan kening. Dielusnya pung-
gung lelaki berkuncir. Lalu dia jatuhkan kepa-
lanya ke bahu lelaki berkuncir yang air mukanya
tampak keruh. "Kau kenapa. Sin Mei?" tanya si lelaki, kali ini terdengar penuh perhatian.
Si gadis mengangkat kepalanya. Lelaki ber-
kuncir menatap dengan sinar mata penuh kasih.
Perlahan tangannya membelai rambut si gadis
yang tergerai indah.
Karena yang ditanya tak segera menjawab,
lelaki berkuncir menyambung ucapannya, "Hari
sudah larut malam. Tidurlah, Sin Mei...."
Lelaki berkuncir bangkit dari pembaringan
yang didudukinya.
"Ayah...," cegah si gadis.
Mata lelaki berkuncir menatap sekilas. La-
lu, dia jatuhkan pantatnya di kursi yang terletak
di dekat meja kecil.
"Tidurlah, Sin Mei...," pintanya, setengah memerintah.
"Kalau Ayah tidak tidur, aku juga tak akan
tidur," tolak si gadis.
"Kau harus tidur, Sin Mei. Besok kau ha-
rus bangun pagi-pagi. Tak baik anak gadis ban-
gun kesiangan."
"Tapi, bagaimana mungkin aku dapat tidur
kalau Ayah terus memicingkan mata dengan wa-
jah yang begitu kusut?"
Mulut lelaki berkuncir terkunci. Diam da-
lam keheningan. Hatinya tak enak, terbawa kega-
lauan pikiran. "Arca Budha dan Pedang Burung Hong su-
dah Ayah dapatkan. Apa lagi yang Ayah pikirkan"
Kita sedang dalam perjalanan menuju tanah ke-
lahiran kita, Ayah. Tak akan lama lagi kita akan
menginjakkan kaki di tanah Tionggoan. Itu berar-
ti, Ayah akan segera bisa menyampaikan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong kepada guru
Ayah, Sing Eng Tan Hwe Liok," ujar si gadis, seperti dapat menebak isi hati
lelaki berkuncir.
"Tidurlah, Sin Mei. Jangan pedulikan aku."
Mendengar ucapan dingin lelaki berkuncir,
wajah si gadis kontan mengelam. Dengan alis ber-
taut, ditatapnya lelaki berpakaian merah hijau
itu. "Wajah Ayah tampak kusut sekali. Dan, sinar mata Ayah pun kelihatan redup.
Sepertinya Ayah tengah memikirkan sesuatu yang berat,"
ujar si gadis, lembut. "Soal tugas dari Kaisar Hiang Tjong sudah terselesaikan.
Bukankah pen-gacau istana yang bergelar Hantu Merah itu telah
mati di tangan Suropati" Arca Budha dan Pedang
Burung Hong telah Ayah dapatkan pula. Jadi,
sama sekali tak ada alasan bagi Ayah untuk ber-
muram durja."
Lelaki berkuncir mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum hambar yang menyungging di bi-
birnya. Tatapannya tetap kosong tiada arti apa-
apa. "Maaf, Ayah...," lanjut si gadis, lirih. "Apakah lengan kiri Ayah yang
cacat... membuat Ayah
begitu berduka?"
Kepala lelaki berkuncir menggeleng.
"Lalu, apa yang Ayah pikirkan?"
"Ah, sudahlah. Tidurlah kau. Sin Mei...."
Usai berkata, lelaki berkuncir bangkit dari
duduknya. Kakinya melangkah tiga tindak. Ter-
dengar suara berderit tatkala pintu kamar dibu-
ka. Hawa dingin malam menyerbu masuk.
Suasana di luar tetap sunyi sepi. Hanya
debur ombak yang menyapa gendang telinga. Ta-
hu tak ada orang yang berada di dekat kamarnya,
lelaki berkuncir menutup kembali daun pintu.
Kakinya melangkah tiga tindak lagi. Setelah
menghela napas panjang, diambilnya buntalan
kain hitam yang tergeletak di bawah meja.
"Apa yang akan Ayah lakukan?" tanya ga-
dis cantik yang masih duduk di tepi pembaringan.
Lelaki berkuncir tak menjawab. Tangannya
sibuk membuka buntalan yang baru saja diam-
bilnya. Cahaya kuning gemerlapan memancar ke-
tika kain buntalan telah terbuka.
Dengan mata menyipit, lelaki berkuncir
menatap arca sang Budha sebesar anak kucing
yang diletakkan di meja. Arca itu memancarkan
sinar kuning keemasan karena terbuat dari emas
murni. Dan, sebatang pedang bengkok bersarung
hitam tergeletak di dekatnya.
"Arca Budha.... Pedang Burung Hong...,"
desis lelaki berkuncir.
Usai menatap beberapa lama, lelaki yang
tangan kirinya menggantung lemah itu melipat
lagi bungkusan kain hitam. Lalu, kedua benda
pusaka itu dia letakkan kembali ke tempatnya
semula. "Tidurlah, Sin Mei. Kau sudah menjadi seo-
rang gadis yang menginjak dewasa. Tak pada
tempatnya bila aku tidur sekamar denganmu, wa-
lau aku ini ayahmu."
Lelaki berkuncir hendak keluar kamar.
Namun baru saja tangannya menyentuh pegan-
gan pintu, si gadis mencegahnya.
"Kalau Ayah tak berada di kamar ini, siapa
yang akan menjaga Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong?"
"Tak perlu khawatir. Tidurlah dengan te-
nang. Aku ke buritan. Kalau ada orang masuk ke
kamar ini, aku pasti tahu."
Di ujung kalimatnya, lelaki berkuncir
membuka daun pintu. Cepat ditutupnya lagi daun
pintu itu agar angin dingin tak sempat menyerbu
masuk ke kamar. Lalu, kakinya melangkah pelan
menuju ke buritan. Ditatapnya langit hitam ke-
lam. Bintang berkerlip, masih setia menemani
rembulan mengikuti irama putaran sang waktu.
Siapakah lelaki berkebangsaan Cina itu"
Dia tak lain si Pendekar Sesat, Shia Hiap Kwe Kok
Jiang. Sedang gadis yang baru saja bercakap-
cakap dengannya adalah Kwe Sin Mei, putri kan-
dungnya. Dengan menumpang sebuah kapal dagang
milik seorang saudagar dari Kota Ngadiluwih, Kwe
Kok Jiang dan Kwe Sin Mei hendak kembali ke
negeri leluhurnya. Kedua anak manusia itu telah
menyelesaikan urusan masing-masing di tanah
Jawa. Berkat bantuan Suropati beserta Ingkan-
putri dan Gisa Mintarsa, Kwe Kok Jiang berhasil
mendapatkan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong atau Hong Po Kiam. Selain memiliki tuah
dan kesaktian luar biasa, kedua benda itu juga
memiliki sebuah rahasia besar. Namun sampai
saat ini, Kwe Kok Djiang tiada tahu rahasia apa
itu. Sementara, urusan Kwe Sin Mei di tanah
Jawa pun dapat terselesaikan pula berkat ban-
tuan si Pengemis Binal Suropati. Dengan mem-
bawa Houw Tauw Kimpay atau Lencana berkepala
Harimau pemberian Kaisar Hian Tjong, Kwe Sin
Mei mendapat kuasa untuk menangkap dan
menghukum Ang Mokko atau Hantu Merah, seo-
rang tokoh jahat dan kejam yang melarikan diri
dari penjara istana.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca Serial
Pengemis Binal dalam episode: "Hantu Merah").
* * * Ketika Kwe Kok Jiang berdiri tercenung di
buritan, Kwe Sin Mei membanting tubuhnya di
pembaringan. Ditatapnya seekor cicak yang me-
rayap di langit-langit kamar. Ditatapnya seekor
laba-laba yang bersarang di pojok kamar. Pan-
dangan Kwe Sin Mei berubah nanar tatkala meli-
hat seekor nyamuk terbang ketakutan ketika mu-
lut cicak di langit-langit terbuka lebar dan siap
mencaploknya. Naasnya, sang nyamuk justru ter-
perangkap di sarang laba-laba. Sia-sialah dia me-
ronta untuk melepaskan diri karena sang laba-
laba telah memangsanya!
Kwe Sin Mei mendesah. Apakah nasib
nyamuk naas itu juga akan dialami oleh orang-
orang yang berkecimpung di rimba persilatan" Lo-
los dari bahaya yang satu, lalu masuk ke perang-
kap berbahaya yang lainnya"
"Suro Toako...," desis Kwe Sin Mei.
Mendadak, benaknya dipenuhi bayangan
Suropati. Di manakah pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu kini" Apa yang sedang
dia lakukan" Apakah sedang menolong orang,
dan tak segan-segan untuk mempertaruhkan
nyawanya" Sadarkah dia bila semakin banyak to-
koh jahat yang ditaklukkannya, semakin banyak
pula tokoh jahat yang mendendam kepadanya"
Bukankah itu berarti mara bahaya selalu mengin-
tai jiwanya"
"Ah...," desah Kwe Sin Mei. "Kenapa aku harus memikirkan pemuda konyol itu"
Membela kaum lemah dan menindas yang jahat adalah ke-
wajiban seorang pendekar. Mati di jalan kebena-
ran adalah impian pendekar sejati. Tak seharus-
nya bila aku mengkhawatirkan keselamatan Su-
ropati. Walau masih muda, bukankah dia memili-
ki kesaktian luar biasa" Tapi, kenapa hatiku jadi
tak enak" Apakah hatiku telah tercuri olehnya?"
Terbawa pikiran di benaknya, udara dalam
kamar terasa panas. Butir-butir peluh mulai
menghiasi kening Kwe Sin Mei. Perlahan dia
bangkit, lalu duduk di tepi pembaringan. Dige-
leng-gelengkan kepalanya, berusaha menghalau
pikiran yang tak mengenakkan hati.
"Karena aku tak mungkin tinggal di tanah
Jawa, aku harus melupakan Suropati. Budi baik-
nya akan kubawa sampai mati. Semoga Tuhan se-
lalu melindunginya," kata hati Kwe Sin Mei, mengucap doa. "Setelah Arca Budha
dan Pedang Bu- rung Hong diserahkan kepada Sin Eng Tan Hwe
Liok, aku akan mengajak Ayah kembali ke Pulau
Tho Lioe Tho. Aku akan bujuk Ayah untuk me-
ninggalkan urusan rimba persilatan. Aku ingin
hidup tenang. Aku benar-benar telah merasa nge-
ri melihat manusia saling bunuh, darah tumpah
dan nyawa melayang tiada arti. Bukankah yang
dicari orang dalam hidup ini adalah kebahagiaan"
Dengan hidup tenang dan damai, jauh dari perti-
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaian manusia yang saling mengumbar nafsu,
kebahagiaan pasti akan datang menghampiri...."
Selagi Kwe Sin Mei menyusun rencana da-
lam hidupnya, tiba-tiba terdengar benda jatuh
membentur geladak kapal. Walau pelan tapi telin-
ga Kwe Sin Mei masih dapat mendengarnya. Te-
ringat akan dua benda pusaka yang disimpan
ayahnya, gadis itu jadi curiga. Jangan-jangan ada
orang jahat yang sedang mengintai.
"Ayah...," sebut Kwe Sin Mei.
Tak ada sahutan. Kecurigaan di hati Kwe
Sin Mei semakin membesar. Dengan kening ber-
kerut rapat, dia pertajam pendengarannya.
"Bila Ayah yang menimbulkan suara itu,
dia pasti menjawab panggilanku...," pikir gadis cantik itu.
Bola matanya kontan membesar, keterkeju-
tan menghantam. Suara berderak lebih keras ter-
dengar di luar. Serta merta Kwe Sin Mei meloncat,
dan secepat kilat dibukanya daun pintu!
Angin dingin malam kontan menampar wa-
jahnya. Namun, dia tak peduli. Diedarkannya
pandangan di antara keremangan cahaya rembu-
lan. "Hanya orang jahat yang biasa bertindak dengan sembunyi-sembunyi...,"
sindir Kwe Sin Mei. Ditunggunya beberapa tarikan napas, tapi
tak ada orang yang menampakkan diri. Bahkan,
suara sahutan pun tiada terdengar. Namun tiba-
tiba.... Brak...!
"Hoing...!"
Bagai disambar petir, Kwe Sin Mei terkejut
luar biasa. Tanpa sadar dia meloncat jauh ke
luar. Jalan napasnya terasa buntu beberapa saat.
"Bedebah!" umpat Kwe Sin Mei kemudian.
Gerutuan yang tak berujung pangkal pun
turut keluar dari mulut gadis bertubuh ramping
itu. Tumpukan balok kayu yang berada di sisi ka-
nan pintu kamarnya menggelinding sebatang.
Dan, terlihat seekor kucing dekil tengah berlari
ketakutan dikejar anjing geladak bertubuh kurus
kering. Kwe Sin Mei menghela napas panjang be-
berapa kali. Kecurigaannya sama sekali tak bera-
lasan. Tak seorang pun manusia yang tampak,
kecuali ayahnya yang menatapnya dari buritan.
Bergegas Kwe Sin Mei menutup daun pin-
tu. Lalu, dia lesatkan tubuhnya mendekat Kwe
Kok Djiang yang berdiri tegak sekitar enam tom-
bak dari kamarnya.
"Ada apa, Sin Mei?" tanya Kwe Kok Jiang
dengan alis bertaut.
Kwe Sin Mei tak menjawab. Dibalasnya ta-
tapan Kwe Kok Jiang.
"Kau terkejut mendengar balok kayu ja-
tuh?" tanya Kwe Kok Jiang lagi. Agaknya lelaki ini juga mendengar suara yang
dicurigai putrinya.
Kepala Kwe Sin Mei mengangguk lemah.
"Itu hanya ulah anjing dati kucing yang ba-
ru saja kau lihat tadi," jelas Kwe Kok Jiang. "Sekarang, kembalilah ke kamarmu.
Tidurlah...."
"Lalu, Ayah tidur di mana?" tanya Kwe Sin Mei. "Ayah seorang lelaki. Tidur di
mana pun tidak ada jeleknya."
Kwe Sin Mei tidak menyahuti ucapan
ayahnya. Matanya menatap lekat wajah lelaki
yang tampak keruh itu.
"Ayah memikirkan apa?"
"Ayah tidak memikirkan apa-apa."
"Lalu, apa yang Ayah lakukan di sini?" ce-car Kwe Sin Mei.
"Ayah ingin menyendiri, Sin Mei. Udara
malam ini cukup segar. Rembulan pun elok kuli-
hat. Aku ingin menikmatinya...," kilah Kwe Kok Jiang. "Tahukah Ayah bila udara
malam tidak baik bagi kesehatan. Ayah sudah tua. Sebaiknya
tidur di kamar saja...."
"Sin Mei...!" bentak Kwe Kok Jiang tiba-
tiba. Mengelam paras Kwe Sin Mei seketika.
Seumur hidup ayahnya tidak pernah membentak
sekeras itu. Tapi, bagaimana mungkin sekarang
dia melakukannya"
"Aku bukan anak kecil, Sin Mei. Akulah
yang mengukir jiwa ragamu. Kau tak perlu mem-
beri nasihat! Aku tahu apa yang harus kulaku-
kan!" Mendengar kata-kata keras ayahnya, se-
makin mengelam paras Kwe Sin Mei. Hatinya te-
rasa perih. "Bukan sekali-sekali aku hendak berani
terhadapmu. Ayah. Bukan maksudku pula untuk
menasihati Ayah. Aku tahu Ayah lebih pandai dan
lebih matang pengalaman. Tapi, aku mengkhawa-
tirkan keadaan Ayah. Aku tak ingin terjadi apa-
apa pada diri Ayah...," ujar Kwe Sin Mei, berkaca-kaca. "Sin Mei...," desis Kwe
Kok Jiang penuh ha-ru.
Perlahan lelaki bergelar Pendekar Sesat itu
merengkuh bahu Kwe Sin Mei, lalu dipeluknya
erat. Dan, Kwe Sin Mei menumpahkan tangisnya.
"Sudahlah, Sin Mei. Ayah memang salah.
Tapi, kau jangan menangis...," hibur Kwe Kok
Jiang. "Aku tak mengerti, kenapa Ayah tampak
begitu berduka. Bukankah Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong telah Ayah dapatkan?" ujar
Kwe Sin Mei di antara isakan tangis.
"Aku tidak apa-apa, Sin Mei...," sahut Kwe Kok Jiang, seperti menyembunyikan isi
hatinya. Kwe Sin Mei menatap haru. Lalu, dia be-
namkan wajahnya di dada orang yang sangat di-
cintainya itu. Entah kenapa, walau telinganya da-
pat menangkap detak jantung ayahnya, tapi jiwa
lelaki berkuncir itu terasa begitu jauh. Shia Hiap Kwe Kok Jiang seakan bukan
lagi orang yang paling dekat dengannya.
"Tidurlah, Sin Mei...," bisik Kwe Kok Jiang.
"Tidak, Ayah. Malam ini aku ingin berdeka-
tan dengan Ayah...," tolak Kwe Sin Mei.
Kwe Kok Jiang terdiam. Ditatapnya gugu-
san bintang di langit Mendadak, rasa tak enak di
hatinya semakin menyeruak, hingga terasa ada
sesuatu yang menghalangi jalan napasnya.
"Sin Mei...," sebut Kwe Kok Jiang kemu-
dian. Tangan kanannya membelai rambut putri
tunggalnya itu.
Perlahan Kwe Sin Mei mengangkat wajah.
"Ayah...," desisnya.
Untuk beberapa lama, ayah dan anak itu
saling tatap. Sewaktu Kwe Sin Mei hendak mem-
benamkan lagi wajahnya ke dada Kwe Kok Jiang,
mendadak angin laut yang berhembus terhenti.
Lalu, beberapa tarikan napas kemudian angin
dingin mendesir. Terasa aneh dan mendirikan bu-
lu roma.... "Ayah...," sebut Kwe Sin Mei, takut-takut
"Tenanglah, Sin Mei..," ujar Kwe Kok Jiang seraya menajamkan pendengaran. Namun,
tidak ada sesuatu yang patut dicurigai.
"Angin ini berhembus sangat aneh,
Ayah...." "Aku juga merasakannya."
Di ujung kalimatnya, Kwe Kok Jiang men-
gedarkan pandangan. Tidak ada orang lain di ge-
ladak kapal, kecuali dirinya dan Kwe Sin Mei.
Hanya suara juru mudi terdengar lamat-lamat
mendendangkan tembang, tapi nadanya mencera-
cau tak karuan seperti orang mabuk.
"Kembalilah ke kamarmu, Sin Mei," perin-
tah Kwe Kok Jiang kemudian. "Jaga Arca Budha
dan Pedang Burung Hong!"
Kwe Sin Mei menatap wajah ayahnya seje-
nak. Dia melihat ketegangan yang tergambar di
wajah ayahnya itu; Namun teringat akan jerih
payah ayahnya untuk mendapatkan Arca Budha
dan Pedang Burung Hong, bergegas Kwe Sin Mei
mengangkat langkah. Tak satu pun orang boleh
mengusik kedua benda pusaka itu. Apalagi hen-
dak mencuri atau merampasnya. Tapi baru dapat
tiga tindak, langkah Kwe Sin Mei berhenti men-
dadak. Bulu kuduknya meremang. Suasana ma-
lam berubah sangat menakutkan.
Di antara debur ombak yang memecah di
kanan kiri lambung kapal, lamat-lamat terdengar
suara gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan seperti ada ri-
buan lebah tengah terbang mendekat.
Kwe Kok Jiang dan putrinya memutar tu-
buh. Dicarinya asal suara yang terdengar. Namun
tak ada yang dapat mereka lihat kecuali bilah-
bilah papan dan tonggak-tonggak tiang layar. Se-
mentara, langit tetap hitam kelam dan bintang-
bintang masih pula mengedipi sang candra.
Gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan itu terdengar
makin keras. Dari mana suara itu berasal, Kwe
Kok Jiang dan Kwe Sin Mei tiada tahu.
"Aku curiga ada kekuatan gaib hendak me-
nyerbu kemari...," duga Kwe Kok Jiang dalam ha-ti. "Apa pun yang terjadi, aku
harus menyela- matkan Arca Budha dan Pedang Burung Hong.
Kedua benda pusaka itu tak boleh jatuh ke tan-
gan orang jahat!"
Mengikuti jalan pikirannya, Kwe Kok Jiang
melompat, menuju kamar tempat Arca Budha dan
Pedang Burung Hong tersimpan. Namun tiba ti-
ba.... Slash...!
Wusss...! Dari batas pandang nan gelap, melesat se-
berkas cahaya hijau gemerlap yang berbaur den-
gan percikan-percikan lidah cahaya berwarna me-
rah darah. Lesatan cahaya menggidikkan itu me-
nuju geladak kapal!
Sekejap mata kemudian, di geladak kapal
muncul bulatan cahaya yang membentuk garis
lurus dengan langit. Bulatan cahaya itu berpen-
dar amat kuat, dan menyilaukan pandangan ma-
ta! "Ya, Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang yang mengurungkan niatnya memasuki kamar.
"Ayah...!" pekik Kwe Sin Mei seraya meloncat ke sisi kanan Kwe Kok Jiang.
Wajahnya mem- perlihatkan rasa takut.
Slaps...! Psss...! Diiringi suara seperti bara api tersiram air,
mendadak garis cahaya bulat di geladak kapal le-
nyap. Sebagai gantinya, di tempat itu muncul se-
sosok bocah perempuan berambut awut-awutan.
Sekujur tubuhnya, termasuk wajah dan kepa-
lanya diselubungi asap putih!
"Ya, Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang dan
putrinya, bersamaan. Mata kedua anak manusia
ini kontan terbelalak lebar karena dihantam ke-
terkejutan yang luar biasa hebat. Hingga sampai
beberapa lama mereka tiada dapat berbuat apa-
apa, kecuali berdiri terpaku dengan mulut tern-
ganga. "Hi hi hi...!"
Bocah perempuan yang tiba-tiba muncul
memperdengarkan suara tawa menyeramkan. Se-
dikit demi sedikit, asap putih yang menyelubungi
tubuhnya membubung terbawa hembusan angin.
Saat asap putih itu telah lenyap, dapat dilihat
bahwa si bocah mengenakan pakaian sederhana
berwarna putih bergaris coklat. Di kepalanya me-
nancap sebuah tusuk konde emas berhiaskan
permata. Sorot matanya tajam menusuk. Bila di-
taksir, umurnya sekitar lima belas tahun. Semen-
tara bila dilihat dari garis-garis wajahnya, dia tak lain Prahesti! Murid Garang
Wanara dan Gajah
Angon yang berdiam di puncak Bukit Palastra!
"Siapa kau"!" bentak Kwe Kok Jiang, men-
guatkan hatinya.
"Hi hi hi...! Siapa aku" Hi hi hi....?" si bocah mengeluarkan tawa lebih
menyeramkan. Pandangan matanya yang tajam menakutkan
seakan mampu merontokkan jantung orang ber-
nyali kecil. Sementara, Kwe Sin Mei tampak memegang
erat lengan ayahnya. Rasa ngeri di hatinya sema-
kin bertambah. Namun, matanya tak pernah le-
pas menatap tusuk konde emas yang menancap
di kepala si bocah. Kwe Sin Mei pun tak habis
mengerti, bagaimana mungkin ada manusia tak
mati bila kepalanya ditusuk sebuah benda yang
bisa tembus sampai ke otaknya"
"Siapa kau?" bentak Kwe Kok Jiang. Ben-
takan dari Kwe Kok Jiang yang kedua itu disertai
dengan sinar mata penuh selidik. Rasa takut di
hatinya kontan lenyap, berganti kecurigaan. Ke-
mungkinan besar si bocah yang datang secara
gaib berkeinginan merebut Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong. Berpikir demikian, segera
Kwe Kok Jiang menepis jemari tangan Kwe Sin
Mei yang memegangi lengan kanannya. Lalu, ce-
pat dia hunus pedang yang terselip di punggung-
nya. "Hi hi hi...!" si bocah tertawa lagi. "Kau menghunus pedang, berarti kau
ingin melihat darah. Hi hi hi...! Bagaimana kalau darah yang ingin kau lihat itu
adalah darahmu sendiri?"
Kwe Kok Jiang mengacungkan pedangnya.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara, tangan kirinya terlihat menggantung
lemah. Tangan kirinya itu memang sudah tak da-
pat digerakkan lagi karena pernah terbabat putus
oleh ketajaman Pedang Burung Hong. (Baca serial
Pengemis Binal dalam episode: "Rahasia Arca
Budha"). "Katakan siapa kau"! Dan, apa maksudmu
datang kemari"!" bentak Kwe Kok Jiang, menahan geram kemarahan.
"Hi hi hi...! Siapa aku" Hi hi hi...! Tua
bangka tak berguna, buka telingamu baik-baik,
aku Prahesti. Aku datang untuk mengambil Arca
Budha dan Pedang Burung Hong!"
Kwe Kok Jiang mendengus gusar. "Tak ada
orang lain yang bisa memiliki kedua benda pusa-
ka itu. Termasuk, iblis laknat macam kau!" ser-gapnya, menyimpan keterkejutan.
"Hmmm.... Rupanya kau benar-benar ingin
mati, Pak Tua. Apakah kau tega meninggalkan
putrimu menjadi anak yatim piatu?"
"Tak usah banyak bacot! Pergi kau!"
"Hi hi hi...! Aku memang akan pergi, tapi
setelah kau menyerahkan Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong!"
"Kalau begitu terimalah ini!"
Dibarengi bentakan keras, tubuh Kwe Kok
Jiang melesat eepat. Pedang di tangannya berke-
lebat, membersitkan sinar putih berkeredepan.
Namun, si bocah yang memang Prahesti adanya
sama sekali tak menggerakkan tubuhnya. Hingga
akibatnya.... Prang...! "Hah"!"
Bilah pedang Kwe Kok Jiang tepat menge-
nai leher Prahesti. Namun, tiada darah yang me-
mercik. Leher Prahesti tetap utuh tanpa tergores
sedikit pun, padahal Kwe Kok Jiang telah mene-
basnya dengan mengerahkan seluruh tenaga!
Kwe Kok Jiang terkejut bukan saja karena
Prahesti tak mempan senjata tajam, tapi juga ka-
rena bilah pedangnya yang tiba-tiba patah menja-
di dua bagian! "Hi hi hi...! Kukatakan sekali lagi, serahkan Arca Budha dan Pedang Burung Hong!
Kalau tidak, kau benar-benar akan melihat darahmu
sendiri!" Kwe Kok Jiang menggeram marah menden-
gar ancaman itu. Dia kepal jemari tangan kanan-
nya kuat-kuat walau masih terasa kesemutan.
"Kita hadapi dia bersama-sama, Ayah," cetus Kwe Sin Mei seraya melompat ke dekat
ayah- nya. Namun, penyesalan timbul dalam diri Kwe
Sin Mei. Pedangnya dia tinggal di dalam kamar.
Mau mengambilnya dulu" Jelas tak mungkin. Ta-
pi, mampukah dia bersama ayahnya menghadapi
si bocah aneh dengan tangan kosong"
"Masuklah ke kamarmu. Sin Mei," bisik
Kwe Kok Jiang dengan ilmu memindahkan suara.
"Aku akan menghadapi iblis itu seorang diri. Bila terjadi apa-apa denganku,
terserah apa yang akan
kau lakukan, asal Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong dapat diselamatkan."
"Tidak, Ayah!" tolak Kwe Sin Mei, tegas.
"Kita hadapi dia bersama-sama. Ayah tidak boleh lagi meninggalkan aku seorang
diri! Kalau mati,
kita akan mati bersama!"
"Bodoh!" sentak Kwe Kok Jiang, menahan
marah. "Nyawaku tidak jadi soal. Yang penting Arca Budha dan Pedang Burung Hong
tidak jatuh ke tangan orang jahat. Oleh karena itu, kau harus
tetap hidup!"
"Tidak! Kita akan hadapi iblis itu bersama-
sama. Ayah!"
Mendengus gusar Kwe Kok Jiang melihat
kenekatan putrinya. Namun sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, terdengar tawa menyeramkan
dari mulut Prahesti.
"Hi hi hi...! Sudah habis waktumu untuk
berunding, Pak Tua! Sekarang, kau harus menye-
rahkan kedua benda yang kuinginkan. Kalau kau
tidak rela, aku bisa mengambilnya sendiri!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti memaling-
kan mukanya, menghadap kamar Kwe Sin Mei
tempat Arca Budha dan Pedang Burung Hong ter-
simpan. Sambil mendengus pendek, Prahesti lalu
mengangkat kedua tangannya!
Slaps...! Wusss...! Mendadak, dari kedua telapak tangan Pra-
hesti muncul dua larik sinar kuning tipis. Sinar yang hampir tak terlihat itu
menerpa dinding kamar Kwe Sin Mei. Lalu disertai suara mendesis,
dinding kamar yang terbuat dari bilah-bilah pa-
pan jati itu jebol. Kemudian, sebuah bungkusan
kain hitam ter-sedot keluar!
"Keparat!" geram Kwe Kok Jiang. Darah lelaki itu kontan mendidih naik sampai ke
ubun- ubun, karena dia tahu bila bungkusan hitam
yang tersedot sinar kuning tipis adalah Arca Bud-
ha dan Pedang Burung Hong.
Maka sebelum kedua benda pusaka itu
terpegang oleh Prahesti, cepat Kwe Kok Jiang
mengibaskan telapak tangan kanannya yang ber-
warna kuning. Gelombang angin pukulan berha-
wa panas menyerbu ke arah Prahesti. Jangan di-
kira angin pukulan itu tidak berbahaya. Jangan-
kan tubuh manusia, batu sebesar gajah pun akan
hancur luluh menjadi serbuk halus berwarna
kuning bila tertimpa. Namun anehnya, seperti ti-
dak tahu dirinya dalam bahaya, Prahesti tertawa
cekikikan dengan mata berbinar-binar menatap
bungkusan hitam yang tersedot oleh kedua tela-
pak tangannya. Hingga....
Slaps...! Psss...! Begitu gelombang angin panas menerpa,
tubuh Prahesti kontan terbungkus sinar kuning.
Namun betapa terkejutnya Kwe Kok Jiang. Sinar
kuning yang berasal dari ilmu pukulannya yang
terdahsyat terhisap masuk ke tubuh Prahesti.
Sementara, mulut Prahesti terus mengeluarkan
tawa cekikikan. Apalagi setelah bungkusan hitam
telah tercengkeram jari-jari tangannya.
"Hi hi hi...! Kini Arca Budha dan Pedang
Burung Hong telah kudapatkan. Terima kasih,
Pak Tua. Aku harus segera pergi..."
Ucapan Prahesti disahuti gemerincing lon-
ceng kereta kuda yang saling sahut dengan suara
dengungan. Kwe Kok Jiang dan Kwe Sin Mei ter-
kesiap. Suara aneh itu persis seperti yang terden-
gar sebelum melihat kehadiran bocah perempuan
yang telah merebut Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong. Otak Kwe Kok Jiang bekerja cepat ketika
melihat dari batas pandang nan gelap di langit
melesat bulatan cahaya hijau, yang kemudian
membungkus tubuh Prahesti. Maka tanpa pikir
panjang lagi, Kwe Kok Jiang mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya untuk melancar-
kan pukulan jarak jauh!
"Hendak pergi ke mana kau, Jahanam!"
hardik Kwe Kok Jiang, membarengi selarik sinar
putih berkilat yang meluncur dari telapak tangan
kanannya! Wusss...! Blarrr...! Timbul ledakan dahsyat tatkala selarik si-
nar putih berkilat membentur sinar hijau yang
menyelubungi tubuh Prahesti. Dan tanpa disadari
oleh Kwe Kok Jiang, dari pusat ledakan itu mele-
sat setitik sinar kecil berwarna merah darah!
Set...! "Argh...!"
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Pra-
hesti dari pandangan, Kwe Kok Jiang menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya terbanting ke geladak dengan
luka berlubang di dada!
"Ayah...!" jerit Kwe Sin Mei.
Seperti kehilangan ingatan, gadis cantik itu
mengguncang-guncangkan tubuh Kwe Kok Djiang
yang terkulai lemah tiada daya. Tangisnya keras
menggerung mengiringi air matanya yang menga-
nak sungai. Anehnya, walau akibat pertempuran tadi,
menimbulkan ledakan keras yang menggelegar di
angkasa, tapi tak satu pun awak kapal yang
muncul dari dalam kamarnya. Sementara, tubuh
juru mudi pun tergolek pingsan! Mereka memang
telah ter-kena ilmu gaib yang diterapkan oleh
Prahesti! Perlahan namun pasti, laju kapal berbelok
arah. Bukan tanah Tiongkok yang dituju, melain-
kan kembali ke tanah Jawa.....
3 Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan ini mengarahkan pandangan ke Bukit Pala-
stra. Di antara warna hijau daun yang menyeli-
muti, terlihat titik-titik merah jingga yang menyebar rata. Indah menyejukkan
pandangan mata.
"Bunga.... Titik-titik merah jingga itu pasti bunga...," gumam si remaja. "Kalau
aku tahu Bukit Palastra banyak ditumbuhi bunga indah, pasti
dari dulu-dulu aku sudah mendatanginya."
Setelah menggaruk kepalanya yang tak
gatal, remaja tampan ini membetulkan letak
tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya.
Tak bosan dia pandangi terus keindahan Bukit
Palastra. "Bunga...," gumamnya lagi. "Kalau melihat bunga, aku selalu ingat gadis-gadis
cantik yang menjadi sahabatku. Dewi Ikata..., Ingkanputri...,
Puspita..., Yaniswara..., Intan Melati..., Anggraini Sulistya..., Kusuma..., Kwe
Sin Mei...."
Remaja tampan yang rambutnya dibiarkan
tergerai panjang di punggung ini menggaruk ke-
palanya lagi. Mendadak, dia nyengir kuda seraya
tertawa terkekeh.
"He he he..., Dewi Ikata.... He he he.... Ma-
sihkah putri Adipati Danubraja itu mencintaiku
setelah mengetahui bila diriku punya sifat mata
bongsang" He he he...."
Setelah puas tertawa, remaja yang tam-
paknya suka berperilaku konyol ini melanjutkan
gumamannya. "Ingkanputri.... Huh! Kenapa mu-
rid Dewi Tangan Api itu memilih pergi bersama
Gisa Mintarsa" Padahal, Gisa Mintarsa hanyalah
bocah kecil yang tak bisa diajak bermesra-
mesraan! He he he...."
Walau mulutnya tertawa, rasa kesal me-
nyembul di hatinya. Sambil mendengus, dia me-
nendang sekepal batu yang berada di hadapan-
nya. Batu itu kontan melesat dan hilang entah ke
mana. Lalu sambil garuk-garuk kepala, dia meng-
gumam lagi. "Puspita.... Hmmm.... Aku tahu gadis ber-
gelar si Pedang Perak itu jatuh hati kepadaku.
Tapi entah kenapa, aku tak bisa menerimanya.
Mudah-mudahan dia bisa menerima Kapi Anggara
yang mencintainya dengan tulus. Mereka sama-
sama orang kepercayaan Prabu Arya Dewantara.
Kukira, mereka akan menjadi pasangan yang se-
rasi...." Remaja yang tak lain si Pengemis Binal Suropati ini mengarahkan
pandangan ke atas. Lan-
git biru berhias awan perak yang bergerak pelan
bagai gumpalan kapas diterbangkan angin. Ke-
mudian, pandangannya beralih kembali ke Bukit
Palastra. Melihat tebaran bunga nun jauh di sana,
tanpa sadar kakinya melangkah.
"Yaniswara.... Putri Lodra Sawala itu telah
berada di Kotapraja Saloka Medang. Mudah-
mudahan perusahaan jasa pengiriman barang
Kencana Mega dapat dia dirikan lagi, walau ayah-
nya telah berpulang ke haribaan Tuhan...."
Sambil menggumam dan berkata-kata da-
lam hati, kaki Suropati terus melangkah menuju
Bukit Palastra. Sementara, hembusan angin tera-
sa segar dan menyejukkan di udara panas siang
hari. "Intan Melati tentu berbahagia karena telah berjumpa ayahnya. Semoga Tuhan
selalu melindungi penghuni Pulau Karang itu," gumam Suro-
pati untuk kesekian kalinya. "Anggraini Sutistya.... Tak salah bila dia
menambatkan hatinya
kepada Raka Maruta sebagai pendamping hidup-
nya. Aku tahu betul sifat-sifat pemuda bergelar
Pendekar Kipas Terbang itu. Semoga mereka ba-
hagia sampai hayat menutup mata."
Terbawa keinginannya untuk segera sam-
pai di Bukit Palastra, Suropati mengempos tena-
ga. Dikerahkannya ilmu berlari cepat. Namun, da-
lam hatinya masih saja berkata-kata.
"Kusuma.... Gadis bergelar Putri Racun itu
tentu tengah membuat rencana pernikahannya
dengan Saka Purdianta. Hmmm.... Kekuatan cin-
ta terlalu sulit untuk dijangkau akal pikiran ma-
nusia. Kekuatan cinta mampu membuat orang
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahat menemukan kesadarannya. Dan, itu terjadi
pada Saka Purdianta. Pertama kukenal, pemuda
bergelar si Dewa Guntur itu punya perilaku jahat
dan licik. Tapi sekarang setelah dia kenal dengan
Kusuma, cinta yang tumbuh di hatinya bisa me-
rubah tabiat tak terpujinya...."
Tanpa terasa, jarak ratusan tombak telah
dilalui. Keringat yang membasahi tubuhnya sama
sekali tak dipedulikan oleh pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti ini. Pengemis Binal
terus berlari dan berlari. Hingga, tubuhnya berke-
lebat amat cepat laksana dapat menghilang. Ka-
rena, dia mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya.
Kelebatan tubuh Pengemis Binal baru ter-
henti ketika sampai di kaki bukit yang dituju. Di-
tatapnya permukaan Bukit Palastra dengan mata
berbinar-binar. Bibirnya menyungging senyum
senang. Tapi mendadak, keningnya berkerut.
Tangan kirinya terayun naik, lalu menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kwe Sin Mei...," desis remaja berpakaian putih bersih walau penuh tambalan ini.
"Gadis dari tanah Tionggoan itu tentu suka bunga.
Sayang, dia tiada lagi bersamaku. Bersama ayah-
nya, Kwe Kok Jiang, dia tengah mengarungi lau-
tan untuk kembali ke negeri leluhurnya. Itu lebih
baik, daripada bersamaku yang gemblung dan
urakan ini. He he he...."
Sambil tertawa terkekeh, kaki Pengemis
Binal melangkah, menaiki punggung Bukit Pala-
stra. Walau pandangannya lurus ke depan, na-
mun beberapa kali remaja konyol ini hampir me-
nabrak pohon. Karena alam pikirannya tengah
melayang, membayangkan beberapa kejadian
yang baru saja dia jalani bersama Kwe Sin Mei.
"Cantik sekali putri Kwe Kok Jiang itu...,"
kata hati Suropati sambil tersenyum-senyum.
"Kedua pipiku pernah diciumnya. Bibirnya yang lembut dan hangat masih terasa.
Jantungku pun masih terus berdegup-degup tak karuan.
Sayang..., sayang sekali dia harus pergi. Mudah-
mudahan dia selamat sampai ke tempat tujuan.
Dan, Kwe Kok Jiang pun dapat menyerahkan Ar-
ca Budha dan Pedang Burung Hong kepada gu-
runya. Sin Eng Tan Hwe Liok, tanpa kurang suatu
apa." Karena permukaan Bukit Palastra miring rata, tak terdapat jurang ataupun
lembah yang menghalangi langkah, tanpa terasa Suropati telah
sampai di puncaknya.
"Bunga...! Bunga...!" seru Pengemis Binal, kegirangan.
Seperti orang gila, remaja konyol yang san-
gat suka pada bunga ini berjingkrak-jingkrak.
Mendadak, dia kibaskan telapak tangannya. Ter-
dengar suara bersiut keras, yang disusul dengan
patahnya tangkai-tangkai bunga merah jingga.
Bunga-bunga beraroma harum segar itu lalu be-
terbangan ke angkasa, dan menghujani tubuh
Pengemis Binal yang tengah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...!" Bunga! Bunga! Aku mandi
bunga! Ha ha ha...!"
Selagi melonjak kegirangan, mendadak ma-
ta Pengemis Binal melotot besar. Keterkejutan
menghantam telak. Sekitar empat tombak dari
tempatnya berdiri, terlihat sesosok tubuh terbar-
ing telentang dalam keadaan kaku mengejang!
"Mayat..."!" kejut Suropati.
Bergegas remaja tampan ini meloncat
menghampiri. Sambil menutup lubang hidung,
dia lihat dengan seksama mayat yang hampir
membusuk itu. "Siapa dia?" tanya Suropati kepada diri
sendiri. Matanya menatap tiada berkedip.
Mayat lelaki empat puluh tahunan itu ter-
bungkus pakaian penuh tambalan. Mengenakan
sepatu jerami. Wajahnya halus, tanpa kumis atau
jenggot. Namun tampak mengerikan karena bola
matanya melotot besar seperti hendak keluar dari
rongganya. Sementara, mulutnya ternganga lebar,
menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Rambutnya yang panjang terjuntai tak karuan di
permukaan tanah.
Suropati bergidik ngeri. Tanpa sadar dia
tersurut mundur. Perut mayat lelaki yang dilihat-
nya telah jebol, dan mulai digerayangi ulat dan
serangga tanah lainnya!
"Aku tak kenal siapa lelaki itu, tapi aku
dapat memastikan bila dia menjadi korban pem-
bunuhan," gumam Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini berjalan setindak setelah mengusir rasa
ngeri di hatinya. Maksudnya untuk memeriksa
lebih teliti. Tapi sebelum dia berbuat sesuatu, telinganya menangkap suara
rintihan orang yang
tengah menderita kesakitan hebat.
"Hmmm.... Siapa pula orang itu" Mungkin-
kah dia pembunuhnya, dan menderita luka parah
setelah menghabisi lawannya?"
Mengikuti suara hatinya, Pengemis Binal
meloncat cepat, mencari asal suara rintihan yang
didengarnya. Tak sampai lima tarikan napas, di-
dapatinya sesosok tubuh lelaki berjubah hitam
tengah tergeletak lemah di pelataran pondok
bambu yang sudah hangus termakan api
"Uh...! To... tolong aku...!" pinta lelaki berjubah hitam, memelas.
Lelaki tinggi kurus itu terus merintih kesa-
kitan. Kain jubahnya berlubang besar, menam-
pakkan kulit dadanya yang hitam gosong seperti
habis tertimpa pukulan berhawa panas.
"Kau siapa, Pak Tua?" tanya Pengemis Bi-
nal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aku... aku Gajah Angon.... Ban... bantu
aku untuk dapat duduk, Anak Muda...," sahut lelaki berjubah hitam yang memang
Gajah Angon, penghuni puncak Bukit Palastra.
Pengemis Binal tidak segera menuruti per-
mintaan lelaki itu. Matanya memandang penuh
selidik. "Aku tadi melihat mayat lelaki berpakaian penuh tambalan. Apakah kau
yang telah membu-nuhnya?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal,
mata Gajah Angon mendelik. Kepalanya hendak
digelengkan, tapi tak dapat.
"Bukan! Mayat itu kakak seperguruanku.
Dia... dia Garang Wanara...."
Di ujung kalimatnya yang terpatah-patah,
mata Gajah Angon tampak berkaca-kaca. Lalu se-
butir air bening menitik, membasahi pipinya yang
mulai berkeriput.
"Jadi, kau bukan pembunuhnya?" tanya
Pengemis Binal lagi, ingin menegaskan.
"Bagaimana mungkin aku membunuh
orang yang sangat kucintai dan kuhormati...?"
Usai berkata, butiran air bening menitik le-
bih banyak dari sudut mata Gajah Angon. Mau
tak mau, Suropati merasa iba. Tanpa pikir pan-
jang lagi, diperiksanya keadaan Gajah Angon.
Sementara, Gajah Angon sendiri cuma diam pa-
srah. "Ya, Tuhan...," sebut Pengemis Binal, lirih.
Remaja tampan yang sudah cukup matang penga-
laman ini memandang wajah Gajah Angon penuh
rasa kasihan. Sementara, air mata Gajah Angon
terus menitik. Agaknya, dia tengah mengalami
guncangan jiwa yang hebat.
"Sungguh malang nasibmu, Pak Tua...," ka-ta Suropati dalam hati. "Kau menderita
siksaan yang hebat. Kau telah terkena pukulan yang
membuat tangan dan kakimu lumpuh. Dan bekas
pukulan di dadamu pun tentu terasa panas,
hingga sekujur tubuhmu bagai terbakar api...."
Suropati memeriksa keadaan Gajah Angon
sekali lagi. Rasa kasihan semakin membayang di
sorot matanya. Karena terik matahari mulai me-
nyengat, remaja tampan ini lalu membopong tu-
buh Gajah Angon untuk dibawa berteduh.
Hati-hati sekali Pengemis Binal menyan-
darkan tubuh Gajah Angon ke batang pohon be-
sar. Agar tak terkulai jatuh, tangan kiri Pengemis Binal memegang bahu murid
Darma Sagotra itu.
"Akan kucoba mengusir hawa panas yang
kau rasakan, Pak Tua. Bertahanlah...," ujar Suropati. Gajah Angon tak memberi
jawaban. Wa- jahnya yang pucat menampakkan kepasrahan.
Suropati segera menarik napas panjang. Bersa-
maan dengan udara yang terhembus dari paru-
parunya, dia salurkan kekuatan tenaga dalam ke
pergelangan tangan kanan. Sekejap mata kemu-
dian, tangan kanan remaja tampan ini merah
membara. Anehnya, udara di sekitarnya berubah
dingin. Lalu....
Bukkk...! "Hukkk...!"
Telapak tangan kanan Pengemis Binal
menghantam dada Gajah Angon. Di lain kejap,
hawa dingin yang timbul dari penerapan ilmu
'Pukulan Salju Merah' mengalir ke tubuh lelaki
yang terluka dalam parah itu.
Tak sampai lima tarikan napas, gigi Gajah
Angon bertaut rapat, memperdengarkan suara
gemeletuk. Sekujur tubuhnya terbungkus salju
tipis berwarna merah. Dia menggigil kedinginan.
"Cukup...! Cukup...!" desis Gajah Angon
kemudian. Bergegas Pengemis Binal menarik telapak
tangan kanannya yang menempel di dada Gajah
Angon. Namun tiba-tiba, kepala lelaki setengah
baya itu terkulai ke kanan, lalu jatuh pingsan!
Perlahan-lahan Pengemis Binal memba-
ringkan tubuh Gajah Angon ke tanah. Setelah ga-
ruk-garuk kepala sebentar, diperiksanya lagi kea-
daan lelaki itu.
"Syukurlah. Hawa panas yang mendera tu-
buhmu telah lenyap, Pak Tua...," gumam Suropa-ti.
Kemudian, sigap sekali Pengemis Binal
mendaratkan beberapa totokan ke tubuh Gajah
Angon. Dua di leher, dua di dada, dan masing-
masing tiga totokan di pergelangan tangan dan
kaki. Itulah ilmu totokan untuk pengobatan yang
pernah dipelajarinya dari si Wajah Merah, seorang
tabib pandai yang berdiam di Bukit Rawangun.
"Uh...!" keluh Gajah Angon kemudian, si-
uman. "Tenanglah, Pak Tua. Akan kubantu kau
untuk menormalkan hawa murnimu yang berpu-
tar-putar tak karuan."
Usai berkata, Pengemis Binal menyandar-
kan lagi tubuh Gajah Angon ke batang pohon,
Dengan kedua telapak tangan menempel di dada
lelaki itu, dia salurkan hawa sakti bersifat lembut.
Namun Pengemis Binal terkesiap. Dia rasakan
sentakan-sentakan keras yang menolak penyalu-
ran hawa saktinya. Sentakan-sentakan itu beras-
al dari perut Gajah Angon. Agaknya, hawa murni
dalam tubuh Gajah Angon benar-benar kacau dan
tak dapat dikendalikan oleh pemiliknya sendiri.
"Hmmm.... Mudah-mudahan ilmu pengoba-
tan yang kudapat dari Kakek Wajah Merah dapat
membuahkan hasil...," doa Pengemis Binal dalam hati. Bukkk...!
"Hukkk...!"
Tersentak Gajah Angon ketika telapak tan-
gan kiri Pengemis Binal menghantam perutnya,
tepat di pusarnya. Dengan telapak tangan kanan
tetap menempel di dada Gajah Angon, Pengemis
Binal menyalurkan hawa sakti dari dua tempat.
Namun, dia lebih memusatkan pada bagian perut
karena to-lakan hawa murni Gajah Angon lebih
terasa di tempat itu.
Tanpa terasa sang baskara bergeser ke ba-
rat. Panas tak lagi menyengat. Semilir angin pun
terasa mengelus, seakan mampu menyejukkan
sukma. Kicau burung semakin terdengar nyaring,
tiada henti memuji keagungan Sang Pencipta.
Kumbang dan kupu-kupu beterbangan menyam-
but mekarnya kelopak bunga yang menebar da-
lam warna senada merah jingga. Terlenalah jiwa
dalam keindahan Bukit Palasbra.
Perlahan Suropati menarik kedua tangan-
nya.. Tolakan hawa murni dari tubuh Gajah An-
gon tak terasa lagi. Dan begitu merasa dapat
mengerahkan tenaga, Gajah Angon langsung me-
loncat bangun seraya berteriak.
"Kakang Wanara...!"
Brukkk...! "Heh"!"
Suropati yang terserang rasa lelah tak da-
pat berbuat sesuatu ketika tiba-tiba Gajah Angon
jatuh tertelungkup. Lelaki berjubah hitam itu be-
rusaha bangun lagi, tapi ingatannya keburu hi-
lang, "Bodoh sekali kau, Pak Tua!" rungut Pengemis Binal. "Tenagamu belum pulih
benar, ke- napa kau memaksakan diri"!"
Usai menggaruk kepalanya yang tak gatal,
Suropati mengusap peluh di wajahnya. Lalu, di-
balikkannya tubuh Gajah Angon yang terbaring
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertelungkup. Sesaat dia menatap haru. Raut wa-
jah Gajah Angon jelas menyiratkan kedukaan he-
bat. "Kasihan sekali kau, Pak Tua...," desah Pengemis Binal.
Murid Periang Bertangan Lembut ini lalu
menyadarkan Gajah Angon dengan beberapa to-
tokan. Keharuan semakin membayang di matanya
tatkala Gajah Angon menggeliat lemah.
"Kakang Wanara...," sebut Gajah Angon,
memelas. "Kau jangan bergerak dulu, Pak Tua. Tena-
gamu belum pulih benar," nasihat Pengemis Bi-
nal. "Tidak! Aku harus menolong kakak seper-
guruanku itu! Di mana dia?"
"Tenanglah, Pak Tua. Beristirahatlah dulu.
Akan kucarikan air untukmu. Aku tahu kau ke-
hausan..."
Pengemis Binal beranjak dari tempatnya,
namun niatnya jadi urung karena Gajah Angon
hendak meloncat berdiri. Cepat dia cekal lengan
lelaki itu agar tak jatuh lagi.
"Kau hendak ke mana, Pak Tua?"
"Aku harus menolong kakak sepergurua-
nku!" Kepala Pengemis Binal menggeleng. "Di sini tidak ada orang yang perlu
ditolong, kecuali dirimu sendiri, Pak Tua. Kakak seperguruanmu telah
meninggal. "
Mengelam paras Gajah Angon seketika. Se-
butir demi sebutir, air mata mulai bergulir ke pi-
pinya. "Aku tak percaya kau telah meninggal, Kakang Wanara...," ujar Gajah
Angon, seperti ditujukan kepada dirinya sendiri. "Malapetaka yang terjadi di
Bukit Palastra ini terlalu dahsyat. Guru kita, Eyang Darma Sagotra, mati oleh
ulah Barata Sukma. Kenapa kau pun mati di tangan murid
murtad itu, Kakang Wanara?"
Melihat Gajah Angon menangis mengge-
rung-gerung, Pengemis Binal mendesah. Memang
tidak biasa seorang lelaki menangis. Namun Pen-
gemis Binal bisa memastikan bila batin Gajah An-
gon telah terpukul hebat.
"Di mana jenazah kakak seperguruanku
itu?" tanya Gajah Angon tiba-tiba.
"Apa yang akan kau lakukan, Pak Tua?"
Pengemis Binal balik bertanya.
"Aku hendak menguburkannya. Aku akan
melakukan penghormatan terakhir..."
"Biar aku yang melakukannya, Pak Tua.
Kau beristirahatlah di sini."
"Tidak, Anak Muda. Aku tahu kau pemuda
yang baik hati, namun aku sendiri yang harus
menguburkan jenazah Kakang Garang Wanara."
Di ujung kalimatnya, Gajah Angon bangkit.
Cepat Suropati membantu. Dipapahnya le-
laki itu menuju ke tempat jenazah Garang Wana-
ra terbaring. Melihat sesosok mayat yang sudah kaku
mengejang, tatapan mata Gajah Angon jadi nya-
lang. "Kakang Wanara...!" jerit Gajah Angon se-
raya menubruk mayat Garang Wanara. Tanpa pe-
duli bau busuk yang menebar, lelaki ini menangis
mengguguk, menguras air mata.
"Sudahlah, Pak Tua. Dia sudah meninggal,"
ujar Pengemis Binal, menepuk bahu Gajah An-
gon. "Akan kubantu kau untuk menguburkannya.
Lihatlah matahari yang hampir tenggelam."
Suropati mengedarkan pandangan. Dica-
rinya sebuah benda yang bisa dipergunakan un-
tuk menggali. Kebetulan dia temukan sebatang
pedang yang menancap di tanah, tak seberapa
jauh dari mayat Garang Wanara tergeletak.
Dengan mempergunakan pedang itu, mu-
lailah Pengemis Binal menggali. Tapi....
"Letakkan pedang itu, Anak Muda!" bentak Gajah Angon dengan mata mendelik.
Pengemis Binal menatap heran. "Aku
membuat lubang untuk menguburkan jenazah
kakak seperguruanmu itu, Pak Tua...," ujarnya.
"Terima kasih, Anak Muda. Bukan aku tak
menghargai bantuanmu, tapi jenazah kakak se-
perguruanku biarlah kuurus sendiri. Ini suatu
penghormatan baginya."
Melihat kesungguhan Gajah Angon, mau
tak mau Pengemis Binal harus mengerti. Segera
dia sodorkan pedang yang dibawanya ke hadapan
Gajah Angon, Beberapa kali Pengemis Binal menarik na-
pas panjang. Tak tega dia melihat Gajah Angon
yang bersusah payah menggali sebuah lubang.
Pedang yang dibawanya beberapa kali terlepas da-
ri cekalan. Tenaganya memang belum pulih be-
nar. Tak heran, karena selama dua hari dua ma-
lam dia hanya terbaring telentang tanpa dapat
makan dan minum. Berkat kuasa Tuhan-lah
nyawanya tak melayang sampai Suropati datang
memberi pertolongan.
"Kau jangan memaksakan diri, Pak Tua...,"
ujar Pengemis Binal, iba.
"Tidak! Aku harus menguburkan jenazah
kakak seperguruanku sendiri. Inilah wujud peng-
hormatanku," tolak Gajah Angon, pedangnya te-
rus dihujamkan ke tanah.
Pendengaran Pengemis Binal yang tajam
dapat menangkap suara napas Gajah Angon yang
ngorok seperti ayam disembelih. Perutnya pun
terdengar berkeruyukan. Agaknya, Gajah Angon
memang menderita haus dan lapar hebat.
"Kalau kau mau menuruti kata-kataku, is-
tirahatlah dulu, Pak Tua. Akan kucarikan air dan
makanan untukmu."
Usai berkata, Pengemis Binal berkelebat
menuruni bukit. Sementara, Gajah Angon sama
sekali tak mempedulikannya. Dia terus menggali
lubang dengan semangat menggebu-gebu. Hingga
sepeminuman teh kemudian, tcrkejutlah Penge-
mis Binal ketika kembali ke tempat ini.
"Tak mungkin...," desis Suropati, seperti tak percaya pada penglihatannya
sendiri. Jenazah Garang Wanara tidak berada di
tempatnya lagi. Dan, Gajah Angon tampak tergo-
lek pingsan memeluk gundukan tanah kuburan
yang baru dibuatnya.
"Apakah jenazah itu sudah dikubur?" tanya
Pengemis Binal dalam hati.
Dengan kening berkerut rapat, Pengemis
Binal meletakkan air dalam tempurung kelapa
dan buah kedondong yang dibawanya. Lalu, dia
periksa keadaan Gajah Angon.
"Air...," keluh Gajah Angon saat siuman.
Bergegas Suropati memberi minum. Dan,
betapa rakusnya Gajah Angon menghabiskan air
yang didapat Suropati dari mata air di bawah bu-
kit itu. "Kau telah selesai menguburkan jenazah saudara seperguruanmu, Pak Tua?"
tanya Pengemis Binal kemudian.
Kepala Gajah Angon mengangguk lemah.
Bibirnya menyungging senyum tipis.
Suropati geleng-geleng kepala. Tahulah dia
bila semangat besar dalam diri seseorang bisa
mendatangkan kekuatan di luar kemampuan ber-
pikir manusia. Jika Tuhan berkehendak, orang
sakit dan lemah pun mampu berbuat melebihi
kemampuan orang sehat dan bertenaga besar.
"Kau begitu baik, Anak Muda...," puji Gajah Angon kemudian.
"Apa yang kulakukan tak lebih dari melak-
sanakan kewajiban sebagai sesama manusia," sahut Pengemis Binal.
Bibir Gajah Angon menyungging senyum.
"Menilik pakaian dan ciri-ciri tubuhmu, apakah kau yang bernama Suropati alias
Pengemis Binal?" tanyanya.
Suropati mengangguk pelan.
Mata Gajah Angon kontan berbinar-binar.
"Kebetulan! Kebetulan! Sebelum rimba persilatan jadi ajang pengumbaran nafsu
sesat, kau harus
berbuat sesuatu, Suro!"
Pengemis Binal menanggapi ucapan Gajah
Angon dengan kening berkerut. Dia tak tahu apa
yang dimaksud oleh lelaki berjubah hitam itu.
4 Senja merangkak bangkit, menyambut da-
tangnya sang dewi malam. Jangkrik mengerik ter-
sahuti tekur burung hantu, lemah terdengar ba-
gai mengalunkan lagu duka. Malam pun jatuh da-
lam dekapan sunyi.
Sementara Suropati sibuk membuat pera-
pian, Gajah Angon duduk terpekur merenungi
nasibnya. Peristiwa berdarah di puncak Bukit Pa-
lastra membayang di pelupuk matanya.
"Apa yang kau pikirkan, Pak Tua?" tanya
Pengemis Binal, duduk mendekati.
Gajah Angon mendesah panjang. "Kau ha-
rus menolongku, Suro," pintanya, penuh pengharapan. "Kalau itu di jalan
kebaikan, aku pasti menolongmu, Pak Tua," sambut Pengemis Binal. "Katakan apa
yang menjadi beban pikiranmu. Ada
hubungannya dengan kematian kakak sepergu-
ruanmu, bukan?"
Mengangguk Gajah Angon. "Tapi, urusan-
nya tidak sesederhana itu. Bukan sekadar mem-
balas kematian Kakang Garang Wanara, bukan
sekadar membalas dendam...."
Alis Suropati bertaut. "Aku tak mengerti
arah pembicaraanmu, Pak Tua."
"Di rimba persilatan telah hadir seorang
pembunuh jahat! Kekejamannya melebihi iblis
yang paling jahat sekalipun!" ujar Gajah Angon, keras seperti membentak.
"Siapa dia" Apakah dia yang telah membu-
nuh kakak seperguruanmu?" tanya Pengemis Bi-
nal, penuh perhatian.
Gajah Angon menarik napas panjang bebe-
rapa kali. Ditatapnya wajah Pengemis Binal lekat-
lekat, seakan ingin melongok isi hati pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini.
"Jangan buat aku penasaran, Pak Tua!"
bentak Suropati, tak sabar.
Gajah Angon mendesah panjang untuk ke-
sekian kalinya. Ditatapnya lagi wajah Pengemis
Binal. Dan, mulailah dia menceritakan peristiwa
berdarah yang terjadi di puncak Bukit Palastra....
Dua hari yang lalu, setelah Prahesti men-
gangkat sumpah, Gajah Angon mengajak Garang
Wanara masuk ke pondok bambunya. Namun ba-
ru menginjak pelataran, mendadak terdengar ge-
merincing lonceng kereta kuda yang saling sahut
dengan dengungan seperti ada ribuan lebah se-
dang terbang mendekati. Gajah Angon dan Ga-
Pendekar Aneh Naga Langit 26 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Pendekar Muka Buruk 13
PENYESALAN RATU SILUMAN Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Penyesalan Ratu Siluman
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Sang baskara memuntahkan sinar merah
di ufuk timur. Menguak halimun pagi. Menam-
pakkan pelangi warna tujuh rupa. Burung-
burung berkicau dan berdendang, menyanyikan
lagu pujaan kepada Sang Penguasa Tunggal. Alam
menggeliat membuka mata diiringi gemericik sua-
ra aliran sungai kecil. Fajar telah menyingsing.
Tatkala hawa sejuk mendesir memper-
mainkan segala tanaman yang sedang semi ber-
kembang, melesat cepat sesosok bayangan melin-
tasi lereng Bukit Palastra. Seiring dengan halimun yang terhalau sang bayu ke
sudut timur, bayangan itu terus melesat cepat. Terbang melayang di
atas lapisan pohon-pohon bunga berwarna sera-
gam merah jingga
Hebat tiada terkira kepandaian orang yang
sedang berlari dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh itu. Tangkai-tangkai bunga yang
terpijak kedua kakinya tak bergerak sedikit pun.
Tak rebah atau bergoyang.
Saat sampai di tanah datar yang dipagari
aneka jenis bunga warna-warni, orang itu meng-
hentikan kelebatan tubuhnya. Dan dapatlah dili-
hat dengan jelas bila dia seorang lelaki setengah
tua. Wajahnya tampak jenaka seperti menyi-
ratkan pikiran yang kurang waras. Dia tidak me-
melihara kumis atau jenggot. Hanya rambutnya
yang dibiarkan memanjang, ditutupi sehelai kain
kotor dekil. Di beberapa bagian terjuntai gimbal
berwarna putih meletak. Pakaiannya terdapat be-
berapa tambalan, seperti dijahit dengan sengaja.
Bagian leher dan lengan baju lelaki empat
puluh tahunan itu berkibar-kibar tatkala angin
berhembus lebih kencang. Sementara, sepasang
kakinya yang terbungkus sepatu jerami berdiri te-
gak mencengkeram tanah. Sedang di punggung-
nya bergayut seorang bocah perempuan lima be-
las tahunan. Setelah mengerahkan pandangan ke utara
beberapa lama, lelaki tegap itu melanjutkan kele-
batan tubuhnya lagi. Dimasukinya hutan kecil di
puncak bukit. Beberapa tarikan napas kemudian, dia
menemukan sebuah pondok bambu tua namun
masih tampak kokoh kuat. Dan baru saja kakinya
menginjak pelataran, dari pondok beratap sirap
itu muncul seorang lelaki yang umurnya dua ta-
hun lebih muda darinya.
"He, Kakang Garang Wanara! Terpuji benar
kau punya watak. Janji yang terucap bukan
hanya manis di bibir saja," seru pemilik pondok dengan mata berbinar-binar.
Lelaki bertubuh tinggi kurus itu mengena-
kan jubah hitam mirip tukang tenung. Rambut-
nya yang telah memutih tertutup topi bulat tinggi
berwarna hitam pula.
"Ha ha ha...! Waktu terus berlalu. Sejeng-
kal demi sejengkal, usia kita semakin dekat den-
gan liang lahat. Tapi, sifatmu tetap saja tak berubah, Gajah Angon. Suka memuji
orang walau da-
lam hatimu tersimpan rasa jengkel," sahut lelaki bersepatu jerami yang dipanggil
Garang Wanara. "Hmmm.... Dari dulu aku kagum akan ke-
cerdikan otakmu, Kakang Wanara. Kau pandai
menduga dan menerka. Namun, apa yang baru
saja kau katakan tidak sepenuhnya benar. Aku
memang senang dan sungguh amat bersuka ria
karena kau menepati janjimu. Tak sedikit pun
terbersit rasa jengkel dalam hatiku walau aku la-
ma menunggu. Bukankah apa yang kuharapkan
membuahkan hasil juga?"
Sambil berkata, lelaki bernama Gajah An-
gon menatap lekat wajah bocah perempuan yang
terkulai lemah di gendongan Garang Wanara.
Mendadak, mata Gajah Angon terbelalak.
Mulutnya mengeluarkan seruan tertahan. Garang
Wanara tampak tertawa bergelak seraya melepas
lengan bocah perempuan yang melingkar di le-
hernya. Dan seperti orang gila, tubuh bocah tak
sadarkan diri itu dilemparkan ke udara, hingga
melesat setinggi dua pohon kelapa!
"Ih...!"
Wuttt...! Melihat adegan yang mendebarkan hatinya
itu, cepat Gajah Angon menjejak tanah seraya
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
menolong si bocah. Tapi, agaknya Garang Wanara
tak bermaksud mencelakakan bocah perempuan
berwajah manis itu.
"Hea...!"
Sebelum tubuh si bocah jatuh ke tanah,
cepat sekali Garang Wanara berkelebat, menda-
hului kelebatan tubuh Gajah Angon. Dalam kea-
daan masih melayang di udara, tangan kiri Ga-
rang Wanara me-nyambar kain hitam penutup
mata si bocah. Sedangkan tangan kanannya
mendaratkan beberapa totokan.
Pada totokan ketujuh, tubuh si bocah
menggeliat seraya mengeluarkan jeritan panjang.
Tahu dirinya berada di udara dan tengah melun-
cur ke tanah, bocah perempuan itu mengem-
bangkan kedua tangannya, lalu berjumpalitan ti-
ga kali. "Hup...!"
"Ha ha ha...! Hebat! Hebat!" puji Gajah Angon yang telah mengurungkan niatnya
untuk me- nolong si bocah.
Garang Wanara yang lebih dulu menjejak-
kan kaki di tanah menampakkan senyum sekilas.
Lalu dengan suara berat memerintah, dia berkata
kepada bocah perempuan yang berhasil mendarat
tanpa kurang suatu apa.
"Hayo, cepat berlutut ke hadapan Paman
Gajah Angon!"
Bocah perempuan berpakaian sederhana
berwarna putih bergaris coklat menatap sejenak
wajah Gajah Angon. Lalu, dia membungkuk hor-
mat dengan kedua telapak tangan menyatu di de-
pan dada. "Berlutut!" sentak Garang Wanara, keras
menggelegar karena dialiri tenaga dalam.
Bocah perempuan bernama Prahesti men-
jatuhkan diri seraya membenturkan dahinya ke
tanah tiga kali. Sementara, Gajah Angon meman-
dang dengan kening berkerut.
"Jangan terlalu kasar terhadap murid sen-
diri, Kakang Wanara," tegur lelaki berjubah hitam itu. "Bila sang murid
menyimpan sakit hati, sang guru juga yang repot di kelak hari nanti."
Garang Wanara yang mendapat teguran
tertawa bergelak. "Ha ha ha...! Aku hanya mengajar peradatan. Yang muda mesti
menaruh hormat kepada yang tua. Murid mesti menjunjung tinggi
perintah guru. Kenapa harus ragu bila sang guru
tidak bermaksud buruk?"
"Ha ha ha...!" sambut Gajah Angon dengan tertawa pula. "Sudah sepantasnya bila
seorang murid patuh dan taat kepada gurunya. Tapi bila
patuh dan taatnya dilakukan dengan hati berat
karena tertindih rasa terpaksa, adakah sebuah
kebanggaan yang diperoleh sang guru?"
Mendengar sindiran lelaki berjubah hitam
itu, Garang Wanara tersenyum kecut. Ditariknya
napas panjang. Melihat Prahesti masih berlutut
dengan dahi menyentuh tanah, Garang Wanara
menjejak tanah. Memberi isyarat agar Prahesti
segera bang-kit.
"Sebelum datang ke puncak Bukit Palastra
ini apakah kau tidak menceritakan apa maksud
kedatanganmu kepada muridmu itu, Kakang Wa-
nara" Tidakkah kau juga menceritakan siapa di-
riku dan maksud baikku untuk mengangkat mu-
ridmu itu se-bagai muridku pula?" tanya Gajah Angon seperti merutuk.
Bibir Garang Wanara tersenyum kecut lagi.
Ditatapnya Prahesti yang telah bangkit berdiri.
"Prahesti...," sebut lelaki tegap berpakaian penuh tambalan itu.
"Ya, Eyang...," sambut Prahesti dengan kepala tertunduk.
"Sengaja aku menutup kedua matamu dan
membuatmu pingsan pula. Itu kulakukan karena
alasan menghemat waktu. Aku ingin kau segera
bertemu dengan adik seperguruan Eyang yang
bernama Gajah Angon. Paman Gajah Angon hen-
dak mengangkatmu sebagai murid juga. Soal ilmu
kesaktiannya, kau jangan menyangsikan. Bila
saat ini ilmu Eyang berada di langit sap lima, ma-
ka ilmu kesaktian Paman Gajah Angon berada di
sap keenam."
Mendengar penjelasan gurunya, Prahesti
bersorak girang dalam hati. Ditatapnya wajah Ga-
jah Angon lekat-lekat. Lalu, dia menjatuhkan di-
rinya lagi. Berlututlah bocah perempuan itu den-
gan sepenuh hati.
"Bila benar apa yang dikatakan Eyang Ga-
rang Wanara, Prahesti hanya bisa mengucap syu-
kur dan beribu-ribu terima kasih. Dan, terimalah
sembah sujud Prahesti yang bodoh serta perlu
banyak sekali bimbingan ini...."
"Anak baik.... Anak baik...," sambut Gajah Angon dengan kata-kata pujian.
Lelaki berjubah hitam itu lalu mengajak
Prahesti dan Garang Wanara masuk ke pondok-
nya. Di dalam pondok bambu beratap sirap itu
terdapat sebuah lukisan tua yang didirikan di
atas meja batu besar.
Gajah Angon dan Garang Wanara mem-
bungkuk hormat tiga kali di depan lukisan wajah
seorang kakek bersorban putih itu. Sewaktu Ga-
jah Angon menyalakan dua obor kecil yang terle-
tak di kanan kiri lukisan, Garang Wanara berkata
kepada Prahesti.
"Beliau adalah Eyang Darma Sagotra guru
kami berdua. Oleh karenanya, kau harus menga-
turkan sembah kepada beliau, Prahesti."
Bersamaan dengan menyalanya api obor,
Prahesti membungkuk hormat tiga kali. Di depan
lukisan wajah Darma Sagotra, bocah perempuan
itu lalu berlutut seraya membenturkan dahinya
ke permukaan lantai pondok.
Gajah Angon kemudian memberi isyarat
kepada kakak seperguruannya untuk mundur.
Beberapa kejap mata kemudian, Gajah Angon dan
Prahesti melakukan upacara pengangkatan mu-
rid. Hingga pada keesokan harinya, Prahesti mu-
lai digembleng berbagai ilmu kesaktian Partai An-
gin Timur yang pernah berjaya pada puluhan ta-
hun silam. Pendiri Partai Angin Timur adalah Darma
Sagotra, guru Garang Wanara dan Gajah Angon.
Di masa muda, Darma Sagotra sangat suka ber-
petualang dan berguru kepada siapa saja.
Selain cerdas, Darma Sagotra juga bercita-
cita tinggi. Ketika usianya menginjak kepala em-
pat, dia berhasil menggabungkan beberapa ca-
bang ilmu silat dan kesaktian tingkat tinggi yang
lihai luar biasa. Dia lalu mendirikan partai yang
diberi nama Angin Timur.
Saat usianya mencapai enam puluh lima
tahun, Darma Sagotra mengundurkan diri dari
tampuk pimpinan partainya. Namun sayang, ba-
nyak murid Darma Sagotra yang menginginkan
kedudukan ketua partai. Akibatnya, perpecahan
tak dapat dihindari lagi. Naasnya, perebutan ke-
kuasaan hanya mendatangkan kehancuran bagi
Partai Angin Timur. Dan, partai besar itu pun
hanya tinggal namanya saja. Sementara, Darma
Sagotra sang pendiri telah mcngasingkan diri dan
bertapa di puncak Bukit Palastra.
Mengetahui partai yang susah payah dia
dirikan telah hancur, Darma Sagotra hanya dapat
mengelus dada. Untuk menepis rasa kecewa, dia
lalu mengambil dua orang murid untuk dididik
bersama-sama. Mereka adalah Garang Wanara
dan Gajah Angon.
Selama bertahun-tahun menimba ilmu di
Bukit Palastra, Garang Wanara hanya berhasil
menyelami enam bagian dari ilmu kesaktian
Darma Sagotra. Sedang Gajah Angon berhasil
menyerap tujuh bagian.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu usia Darma Sagotra menginjak de-
lapan puluh tahun, dia mengangkat seorang mu-
rid lagi. Murid ketiganya itu memiliki bakat dan
kecerdasan luar biasa. Ketajaman otaknya berli-
pat kali bila di-banding dengan Garang Wanara
dan Gajah Angon. Dia bernama Barata Sukma.
Selama sepuluh tahun, Barata Sukma di-
gembleng oleh Darma Sagotra. Dan kadang-
kadang Garang Wanara dan Gajah Angon turut
membantu gurunya, terutama Garang Wanara.
Hingga ketika Barata Sukma berumur dua puluh
lima tahun, dia telah berhasil menyerap habis se-
luruh ilmu kesaktian Darma Sagotra. Dan karena
kecerdasan otaknya yang luar biasa, tiga tahun
sebelum keluar dari tempat penggemblengannya,
Barata Sukma berhasil menciptakan beberapa il-
mu kesaktian tanpa sepengetahuan guru dan ke-
dua kakak seperguruannya. Beberapa ilmu ke-
saktian itu amat lihai dan dahsyat, bahkan bera-
da satu tingkat di atas ilmu kesaktian ciptaan
Darma Sagotra. Akan tetapi, sungguh patut disayangkan.
Anak manusia yang dilahirkan ke dunia dengan
berbekal bakat dan kecerdasan luar biasa itu,
oleh Tuhan diturunkan sifat-sifat yang tidak se-
harusnya dimiliki oleh orang yang berbudi luhur.
Barata Sukma memiliki sifat-sifat yang rendah
sekali. Hingga setelah dua tahun berkecimpung di
rimba persilatan, nama Barata Sukma terkenal
sebagai seorang penjahat kejam yang suka mela-
kukan perbuatan-perbuatan tak senonoh. Hal
demikian membuat Darma Sagotra yang telah be-
rusia lanjut meninggal dunia karena tekanan ba-
tin. Namun sebelum Darma Sagotra menemui
ajal, dia sempat memberikan kekuasaan kepada
dua murid pertamanya untuk mencari Barata
Sukma untuk kemudian menjatuhkan hukuman
mati. Hingga bertahun-tahun lamanya Garang
Wanara dan Gajah Angon bersusah payah mengi-
tari seluruh negeri, memasuki pelosok desa, gu-
nung dan lembah. Tapi, Barata Sukma tak dapat
mereka temukan. Garang Wanara dan Gajah An-
gon pun merasa heran dan tak habis mengerti.
Bukankah nama Barata Sukma telah menjadi
amat kesohor sebagai seorang penjahat, namun
kenapa sukar sekali men-carinya"
Tatkala Garang Wanara dan Gajah Angon
putus asa karena segala daya upayanya tak ber-
hasil, mereka mendengar kabar yang menggembi-
rakan tapi sekaligus menyedihkan. Adik sepergu-
ruan mereka, Barata Sukma, telah binasa dalam
suatu per-tempuran di Negeri Turki melawan em-
pat puluh jago silat tingkat atas negeri itu.
Garang Wanara dan Gajah Angon merasa
gembira karena mereka tidak perlu bersusah
payah menyabung nyawa untuk menghukum ma-
ti Barata Sukma. Namun, dalam hati mereka me-
nyayangkan dan merasa sedih sekali. Bagaimana
tidak, walau Barata Sukma telah nyata-nyata
menyelewengkan ajaran sang guru dan menem-
puh jalan sesat, tapi dia tetap saudara sepergu-
ruan yang pernah tinggal bersama selama sepu-
luh tahun lebih.
Kemudian, Gajah Angon memutuskan un-
tuk tinggal di Bukit Palastra tempat Darma Sago-
tra menggembleng ketiga muridnya. Sementara,
Garang Wanara meneruskan pengembaraannya.
Namun sebelum kedua saudara seperguruan itu
berpisah, mereka membuat kesepakatan. Garang
Wanara diwajibkan mencari seorang murid untuk
dididik bersama-sama guna mewarisi ilmu kesak-
tian Darma Sagotra secara lengkap.
Dalam pengembaraannya, Garang Wanara
berhasil menemukan seorang bocah perempuan
yang mempunyai tulang bagus dan berbakat
mempelajari ilmu silat. Lain itu, si bocah juga
mempunyai kecerdasan yang cukup bisa dibang-
gakan. Dia bernama Prahesti, putri seorang sau-
dagar yang mati dibunuh para perampok.
Setelah mengajarkan dasar-dasar ilmu silat
selama satu tahun, Garang Wanara lalu mengajak
Prahesti ke Bukit Palastra untuk menemui Gajah
Angon. Dan tampaknya, Gajah Angon pun lang-
sung suka terhadap Prahesti. Sehingga, dia tak
ragu-ragu lagi untuk mengangkat Prahesti seba-
gai muridnya juga.
* * * "Bagus! Bagus! Ha ha ha...!"
Gajah Angon tertawa puas melihat kecepa-
tan gerak Prahesti yang tengah berlatih silat di
pagi itu. Hanya dalam waktu dua hari, Prahesti
dapat memahami latihan pernapasan yang diajar-
kan Gajah Angon. Juga, cara-cara meningkatkan
kemampuan ilmu meringankan tubuh. Seperti
yang dia tunjukkan dalam memainkan beberapa
jurus ilmu silat ajaran Garang Wanara. Memang,
gerakan tubuh Prahesti cukup cepat, dan sudah
bisa disejajarkan dengan tokoh silat kelas tingkat menengah.
Garang Wanara yang turut menyaksikan
kehebatan muridnya pun turut tertawa puas. Bila
Gajah Angon turut memberikan gemblengan, ma-
ka dapat dipastikan bila kelak di kemudian hari
Prahesti akan menjadi seorang pendekar wanita
yang benar-benar pilih tanding.
"Cukup! Cukup! Kemarilah kau, Prahesti!"
teriak Gajah Angon tiba-tiba.
Prahesti yang tengah memainkan sebuah
jurus ilmu pedang segera menghentikan gerakan-
nya. Ditatapnya sejenak wajah Gajah Angon yang
berdiri berdampingan dengan Garang Wanara.
Usai menyarungkan pedangnya, dia melangkah
pelan menghampiri.
"Saya belum selesai memainkan jurus
'Pedang Membelah Mega', Eyang," beri tahu Prahesti, menyimpan pertanyaan dalam
hati. Kenapa guru keduanya menatapnya dengan wajah te-
gang" "Prahesti...," sebut Gajah Angon dengan suara berat berwibawa. "Selama dua
hari tinggal di sini, aku telah mengajarkan seluruh dasar ilmu
kesaktian kepadamu. Namun tiba-tiba, aku jadi
ragu dan amat khawatir...."
Prahesti menatap wajah Gajah Angon den-
gan sinar mata tak mengerti. Ragu dan khawatir"
Siapa yang membuat ragu, dan siapa pula yang
dikhawatirkan oleh guru keduanya itu"
"Prahesti...," sebut Gajah Angon lagi. Suaranya terdengar lebih berat, dan
tampak penuh kesungguhan. "Ya, Eyang," sambut Prahesti, membung-
kukkan badan. "Kau tentu telah mendengar cerita tentang
murid ketiga Eyang Darma Sagotra yang bernama
Barata Sukma."
"Ya. Eyang Garang Wanara yang menceri-
takannya."
"Pelajaran apa yang dapat kau petik dari
cerita itu?"
Mendengar pertanyaan Gajah Angon, Pra-
hesti terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Pandan-
gan matanya tertuju ke Garang. Wanara, seperti
hendak meminta penjelasan.
Mendadak, Garang Wanara tertawa berge-
lak. "Ha ha ha...! Yang tua mestinya tahu diri.
Siapa yang diajak bicara" Bocah belasan atau ne-
nek-nenek uzur yang sudah bau tanah" Kenapa
tidak langsung saja mengutarakan maksudmu,
Gajah Angon?"
Mendengar sindiran kakak seperguruan-
nya, Gajah Angon mendehem lirih. Ditatapnya
wajah Prahesti lekat-lekat
"Prahesti...."
"Ya, Eyang."
"Sebelum aku menurunkan seluruh ilmu
kepandaianku yang kudapat dari Eyang Darma
Sagotra, aku ingin kau mengingat semua pesanku
walau kau telah mengangkat sumpah ketika me-
lakukan upacara di depan lukisan Eyang Darma
Sagotra dua hari yang lalu."
"Saya tak akan mengecewakan Eyang Ga-
jah Angon...."
"Bagus! Tapi, aku tak mau kata-katamu itu
hanya manis di mulut saja. Bila kau telah selesai
menimba ilmu di puncak Bukit Palastra ini, jan-
gan sekali-sekali kau takabur dan menganggap
dirimu sebagai orang terpandai di dunia. Karena,
di atas langit masih ada langit. Maka dari itu,
janganlah kau memiliki sifat sombong yang hanya
akan membuat dirimu terjerumus dan terjerat da-
lam kungkungan nafsu rendah. Berlakulah seba-
gai seorang pendekar yang berbudi luhur."
"Selama nyawa masih dikandung badan,
pesan Eyang Gajah Angon akan selalu menyatu
dalam diri saya."
"Hmmm.... Aku tak hanya ingin mendengar
kata kesanggupanmu saja, tapi aku ingin bukti
nyata. Kalau kelak kau menjadi anak durhaka
dan menjadi murid murtad, seperti Barata Sukma
murid ketiga Eyang Darma Sagotra, maka aku
dan Eyang Garang Wanara akan memutuskan
ikatan guru dan murid. Dan, hanya hukuman
mati yang pantas dijatuhkan kepada murid yang
telah berperilaku sesat, melenceng dari jalan ke-
benaran." Di ujung kalimat Gajah Angon, Garang
Wanara mencabut sebatang pedang yang melin-
tang di punggungnya. Sarung pedang itu berukir
dua ekor naga yang saling berhadapan. Warnanya
putih, dan berkilat-kilat tatkala sinar mentari
menerpanya. "Kau memahami pesan dan nasihat Eyang
Gajah Angon, Prahesti?" tanya lelaki bersepatu jerami itu sambil menimang pedang
di tangannya. "Saya paham sepenuhnya, Eyang...," jawab Prahesti, mantap.
Kepala Garang Wanara mengangguk-
angguk. Dipandanginya sejenak pedang putih di
tangannya. Lalu, pedang itu disodorkannya kepa-
da Prahesti. "Prahesti, kau berjodoh untuk memiliki Pe-
dang Naga Kembar. Senjata ini memang bukan
senjata mustika, tapi pedang ini adalah warisan
Eyang Darma Sagotra, yang pernah digunakan
beliau semasa muda. Karena Pedang Naga Kem-
bar memiliki wasiat dan petuah, maka untuk da-
pat memilikinya kau harus bersumpah dulu...."
Prahesti hanya menatap pedang putih yang
disodorkan kepadanya. Tapi melihat kesungguhan
guru pertamanya, dia segera mengangsurkan ke-
dua tangannya untuk menerima pedang bernama
Naga Kembar itu seraya berkata, "Saya akan menjunjung tinggi segala peri
kebenaran di atas pun-
dak dan kepala. Dan, pedang warisan ini di kelak
hari nanti akan saya gunakan hanya untuk mem-
bela yang lemah dan menindas yang jahat. Apabi-
la kelak ternyata saya menggunakan pedang ini
untuk maksud-maksud tak baik atau hanya un-
tuk kepentingan pribadi, biarlah saya mati ter-
tembus pedang ini sendiri."
Usai Prahesti mengangkat sumpah, langit
yang semula cerah tiba-tiba dipenuhi awan kela-
bu yang muncul tertiup angin dari arah selatan.
Disusul kemudian, petir menyalak tiga kali.
Anehnya, begitu suara salakan petir lenyap, le-
nyap pula awan kelabu yang menutupi sinar men-
tari. Prahesti dan kedua gurunya berdiri terpa-
ku di tempatnya. Mereka merasakan keanehan
yang tengah terjadi.
Sementara Prahesti dan Garang Wanara
masih tetap diam di tempatnya, Gajah Angon me-
nengadahkan wajahnya. Kerut di keningnya se-
makin terlihat jelas. Dan, ditariknya napas dalam
beberapa kali. "Lanjutkan lagi latihanmu, Prahesti. Guna-
kan Pedang Naga Kembar agar tuah yang ada di
dalam pedang itu menyatu perlahan-lahan den-
gan dirimu," ujar lelaki berjubah hitam itu kemudian. "Baik, Eyang"
Usai membungkuk hormat kepada kedua
gurunya bergantian, Prahesti melangkah sepuluh
tindak. Lalu, mengawali lagi latihannya. Sementa-
ra dengan kening berkerut, Gajah Angon memberi
isyarat kepada Garang Wanara untuk mengikuti
langkah kakinya.
"Ada apa, Gajah Angon?" tanya Garang
Wanara sesampai di pelataran pondok bambu.
Gajah Angon tak segera menjawab. Dita-
tapnya lekat wajah Garang Wanara, seperti hen-
dak membaca jalan pikiran kakak seperguruan-
nya itu. "Apakah kau tidak merasakan sesuatu,
Kakang?" Gajah Angon balik bertanya,
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau melihat keanehan yang baru
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja terjadi?"
"Apakah langit yang tiba-tiba tertutup
awan kelabu dan petir yang menyalak tiga kali"
Bukankah itu pertanda bila Sang Penguasa Jagat
mendengar sumpah Prahesti?"
"Tapi, aku mempunyai firasat buruk," ujar Gajah Angon dengan suara berat.
Wajahnya men- gelam seperti sedang merasakan kesedihan hebat.
"Firasat buruk" Firasat buruk yang bagai-
mana?" tanya Garang Wanara, meminta penjela-
san. "Naluriku mengatakan, bahwa di tempat ini akan segera terjadi peristiwa...
peristiwa yang...
yang...." "Peristiwa apa?" buru Garang Wanara ka-
rena Gajah Angon seperti ragu untuk melan-
jutkan kalimatnya.
Namun sebelum Gajah Angon memberikan
jawaban, mendadak terdengar suara gemerincing
lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan
suara dengungan seperti ada ribuan lebah sedang
terbang ke tempat itu.
Garang Wanara dan Gajah Angon memutar
tubuh seraya mengedarkan pandangan. Mereka
berusaha mencari dari mana asal suara aneh
yang terdengar.
"Si... siapa kau?" tuding Gajah Angon kemudian dengan wajah pucat pasi dan bola
mata melotot besar. 2 Elok rupawan wajah sang candra seakan
tersenyum dalam kerlingan bintang yang berteba-
ran di langit hitam. Angin dari tenggara berhem-
bus kencang, mempercepat laju kapal dagang ber-
layar kuning itu. Putaran waktu yang menyambut
larutnya malam menjadikan suasana hening
sunyi. Hanya juru mudi yang masih setia menja-
lankan tugas walau udara dingin terasa membe-
bani pelupuk mata.
Di sebuah kamar paling ujung dekat buri-
tan, seorang lelaki lima puluh tahunan tampak
duduk terpekur dengan tatapan kosong tak berar-
ti. Kunciran rambutnya terselempang di bahu ki-
rinya. Dilihat dari raut wajah dan bentuk pa-
kaiannya menandakan bahwa dia berkebangsaan
Cina. "Ayah...," sebut seorang gadis cantik yang duduk di sisi kanan si lelaki.
Mendengar panggilan yang disertai tepukan
lembut di bahunya, lelaki berkuncir menoleh. Di-
tatapnya seraut wajah putih halus milik si gadis.
Namun, lelaki itu tiada berkata apa-apa. Dia pa-
lingkan kepalanya lagi.
"Ayah...," si gadis mengulang panggilannya.
"Ada apa. Sin Mei?" desis lelaki berkuncir, pelan sekali.
Gadis cantik berpakaian kuning bergaris-
garis putih mengerutkan kening. Dielusnya pung-
gung lelaki berkuncir. Lalu dia jatuhkan kepa-
lanya ke bahu lelaki berkuncir yang air mukanya
tampak keruh. "Kau kenapa. Sin Mei?" tanya si lelaki, kali ini terdengar penuh perhatian.
Si gadis mengangkat kepalanya. Lelaki ber-
kuncir menatap dengan sinar mata penuh kasih.
Perlahan tangannya membelai rambut si gadis
yang tergerai indah.
Karena yang ditanya tak segera menjawab,
lelaki berkuncir menyambung ucapannya, "Hari
sudah larut malam. Tidurlah, Sin Mei...."
Lelaki berkuncir bangkit dari pembaringan
yang didudukinya.
"Ayah...," cegah si gadis.
Mata lelaki berkuncir menatap sekilas. La-
lu, dia jatuhkan pantatnya di kursi yang terletak
di dekat meja kecil.
"Tidurlah, Sin Mei...," pintanya, setengah memerintah.
"Kalau Ayah tidak tidur, aku juga tak akan
tidur," tolak si gadis.
"Kau harus tidur, Sin Mei. Besok kau ha-
rus bangun pagi-pagi. Tak baik anak gadis ban-
gun kesiangan."
"Tapi, bagaimana mungkin aku dapat tidur
kalau Ayah terus memicingkan mata dengan wa-
jah yang begitu kusut?"
Mulut lelaki berkuncir terkunci. Diam da-
lam keheningan. Hatinya tak enak, terbawa kega-
lauan pikiran. "Arca Budha dan Pedang Burung Hong su-
dah Ayah dapatkan. Apa lagi yang Ayah pikirkan"
Kita sedang dalam perjalanan menuju tanah ke-
lahiran kita, Ayah. Tak akan lama lagi kita akan
menginjakkan kaki di tanah Tionggoan. Itu berar-
ti, Ayah akan segera bisa menyampaikan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong kepada guru
Ayah, Sing Eng Tan Hwe Liok," ujar si gadis, seperti dapat menebak isi hati
lelaki berkuncir.
"Tidurlah, Sin Mei. Jangan pedulikan aku."
Mendengar ucapan dingin lelaki berkuncir,
wajah si gadis kontan mengelam. Dengan alis ber-
taut, ditatapnya lelaki berpakaian merah hijau
itu. "Wajah Ayah tampak kusut sekali. Dan, sinar mata Ayah pun kelihatan redup.
Sepertinya Ayah tengah memikirkan sesuatu yang berat,"
ujar si gadis, lembut. "Soal tugas dari Kaisar Hiang Tjong sudah terselesaikan.
Bukankah pen-gacau istana yang bergelar Hantu Merah itu telah
mati di tangan Suropati" Arca Budha dan Pedang
Burung Hong telah Ayah dapatkan pula. Jadi,
sama sekali tak ada alasan bagi Ayah untuk ber-
muram durja."
Lelaki berkuncir mencoba tersenyum, tapi
hanya senyum hambar yang menyungging di bi-
birnya. Tatapannya tetap kosong tiada arti apa-
apa. "Maaf, Ayah...," lanjut si gadis, lirih. "Apakah lengan kiri Ayah yang
cacat... membuat Ayah
begitu berduka?"
Kepala lelaki berkuncir menggeleng.
"Lalu, apa yang Ayah pikirkan?"
"Ah, sudahlah. Tidurlah kau. Sin Mei...."
Usai berkata, lelaki berkuncir bangkit dari
duduknya. Kakinya melangkah tiga tindak. Ter-
dengar suara berderit tatkala pintu kamar dibu-
ka. Hawa dingin malam menyerbu masuk.
Suasana di luar tetap sunyi sepi. Hanya
debur ombak yang menyapa gendang telinga. Ta-
hu tak ada orang yang berada di dekat kamarnya,
lelaki berkuncir menutup kembali daun pintu.
Kakinya melangkah tiga tindak lagi. Setelah
menghela napas panjang, diambilnya buntalan
kain hitam yang tergeletak di bawah meja.
"Apa yang akan Ayah lakukan?" tanya ga-
dis cantik yang masih duduk di tepi pembaringan.
Lelaki berkuncir tak menjawab. Tangannya
sibuk membuka buntalan yang baru saja diam-
bilnya. Cahaya kuning gemerlapan memancar ke-
tika kain buntalan telah terbuka.
Dengan mata menyipit, lelaki berkuncir
menatap arca sang Budha sebesar anak kucing
yang diletakkan di meja. Arca itu memancarkan
sinar kuning keemasan karena terbuat dari emas
murni. Dan, sebatang pedang bengkok bersarung
hitam tergeletak di dekatnya.
"Arca Budha.... Pedang Burung Hong...,"
desis lelaki berkuncir.
Usai menatap beberapa lama, lelaki yang
tangan kirinya menggantung lemah itu melipat
lagi bungkusan kain hitam. Lalu, kedua benda
pusaka itu dia letakkan kembali ke tempatnya
semula. "Tidurlah, Sin Mei. Kau sudah menjadi seo-
rang gadis yang menginjak dewasa. Tak pada
tempatnya bila aku tidur sekamar denganmu, wa-
lau aku ini ayahmu."
Lelaki berkuncir hendak keluar kamar.
Namun baru saja tangannya menyentuh pegan-
gan pintu, si gadis mencegahnya.
"Kalau Ayah tak berada di kamar ini, siapa
yang akan menjaga Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong?"
"Tak perlu khawatir. Tidurlah dengan te-
nang. Aku ke buritan. Kalau ada orang masuk ke
kamar ini, aku pasti tahu."
Di ujung kalimatnya, lelaki berkuncir
membuka daun pintu. Cepat ditutupnya lagi daun
pintu itu agar angin dingin tak sempat menyerbu
masuk ke kamar. Lalu, kakinya melangkah pelan
menuju ke buritan. Ditatapnya langit hitam ke-
lam. Bintang berkerlip, masih setia menemani
rembulan mengikuti irama putaran sang waktu.
Siapakah lelaki berkebangsaan Cina itu"
Dia tak lain si Pendekar Sesat, Shia Hiap Kwe Kok
Jiang. Sedang gadis yang baru saja bercakap-
cakap dengannya adalah Kwe Sin Mei, putri kan-
dungnya. Dengan menumpang sebuah kapal dagang
milik seorang saudagar dari Kota Ngadiluwih, Kwe
Kok Jiang dan Kwe Sin Mei hendak kembali ke
negeri leluhurnya. Kedua anak manusia itu telah
menyelesaikan urusan masing-masing di tanah
Jawa. Berkat bantuan Suropati beserta Ingkan-
putri dan Gisa Mintarsa, Kwe Kok Jiang berhasil
mendapatkan Arca Budha dan Pedang Burung
Hong atau Hong Po Kiam. Selain memiliki tuah
dan kesaktian luar biasa, kedua benda itu juga
memiliki sebuah rahasia besar. Namun sampai
saat ini, Kwe Kok Djiang tiada tahu rahasia apa
itu. Sementara, urusan Kwe Sin Mei di tanah
Jawa pun dapat terselesaikan pula berkat ban-
tuan si Pengemis Binal Suropati. Dengan mem-
bawa Houw Tauw Kimpay atau Lencana berkepala
Harimau pemberian Kaisar Hian Tjong, Kwe Sin
Mei mendapat kuasa untuk menangkap dan
menghukum Ang Mokko atau Hantu Merah, seo-
rang tokoh jahat dan kejam yang melarikan diri
dari penjara istana.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca Serial
Pengemis Binal dalam episode: "Hantu Merah").
* * * Ketika Kwe Kok Jiang berdiri tercenung di
buritan, Kwe Sin Mei membanting tubuhnya di
pembaringan. Ditatapnya seekor cicak yang me-
rayap di langit-langit kamar. Ditatapnya seekor
laba-laba yang bersarang di pojok kamar. Pan-
dangan Kwe Sin Mei berubah nanar tatkala meli-
hat seekor nyamuk terbang ketakutan ketika mu-
lut cicak di langit-langit terbuka lebar dan siap
mencaploknya. Naasnya, sang nyamuk justru ter-
perangkap di sarang laba-laba. Sia-sialah dia me-
ronta untuk melepaskan diri karena sang laba-
laba telah memangsanya!
Kwe Sin Mei mendesah. Apakah nasib
nyamuk naas itu juga akan dialami oleh orang-
orang yang berkecimpung di rimba persilatan" Lo-
los dari bahaya yang satu, lalu masuk ke perang-
kap berbahaya yang lainnya"
"Suro Toako...," desis Kwe Sin Mei.
Mendadak, benaknya dipenuhi bayangan
Suropati. Di manakah pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu kini" Apa yang sedang
dia lakukan" Apakah sedang menolong orang,
dan tak segan-segan untuk mempertaruhkan
nyawanya" Sadarkah dia bila semakin banyak to-
koh jahat yang ditaklukkannya, semakin banyak
pula tokoh jahat yang mendendam kepadanya"
Bukankah itu berarti mara bahaya selalu mengin-
tai jiwanya"
"Ah...," desah Kwe Sin Mei. "Kenapa aku harus memikirkan pemuda konyol itu"
Membela kaum lemah dan menindas yang jahat adalah ke-
wajiban seorang pendekar. Mati di jalan kebena-
ran adalah impian pendekar sejati. Tak seharus-
nya bila aku mengkhawatirkan keselamatan Su-
ropati. Walau masih muda, bukankah dia memili-
ki kesaktian luar biasa" Tapi, kenapa hatiku jadi
tak enak" Apakah hatiku telah tercuri olehnya?"
Terbawa pikiran di benaknya, udara dalam
kamar terasa panas. Butir-butir peluh mulai
menghiasi kening Kwe Sin Mei. Perlahan dia
bangkit, lalu duduk di tepi pembaringan. Dige-
leng-gelengkan kepalanya, berusaha menghalau
pikiran yang tak mengenakkan hati.
"Karena aku tak mungkin tinggal di tanah
Jawa, aku harus melupakan Suropati. Budi baik-
nya akan kubawa sampai mati. Semoga Tuhan se-
lalu melindunginya," kata hati Kwe Sin Mei, mengucap doa. "Setelah Arca Budha
dan Pedang Bu- rung Hong diserahkan kepada Sin Eng Tan Hwe
Liok, aku akan mengajak Ayah kembali ke Pulau
Tho Lioe Tho. Aku akan bujuk Ayah untuk me-
ninggalkan urusan rimba persilatan. Aku ingin
hidup tenang. Aku benar-benar telah merasa nge-
ri melihat manusia saling bunuh, darah tumpah
dan nyawa melayang tiada arti. Bukankah yang
dicari orang dalam hidup ini adalah kebahagiaan"
Dengan hidup tenang dan damai, jauh dari perti-
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaian manusia yang saling mengumbar nafsu,
kebahagiaan pasti akan datang menghampiri...."
Selagi Kwe Sin Mei menyusun rencana da-
lam hidupnya, tiba-tiba terdengar benda jatuh
membentur geladak kapal. Walau pelan tapi telin-
ga Kwe Sin Mei masih dapat mendengarnya. Te-
ringat akan dua benda pusaka yang disimpan
ayahnya, gadis itu jadi curiga. Jangan-jangan ada
orang jahat yang sedang mengintai.
"Ayah...," sebut Kwe Sin Mei.
Tak ada sahutan. Kecurigaan di hati Kwe
Sin Mei semakin membesar. Dengan kening ber-
kerut rapat, dia pertajam pendengarannya.
"Bila Ayah yang menimbulkan suara itu,
dia pasti menjawab panggilanku...," pikir gadis cantik itu.
Bola matanya kontan membesar, keterkeju-
tan menghantam. Suara berderak lebih keras ter-
dengar di luar. Serta merta Kwe Sin Mei meloncat,
dan secepat kilat dibukanya daun pintu!
Angin dingin malam kontan menampar wa-
jahnya. Namun, dia tak peduli. Diedarkannya
pandangan di antara keremangan cahaya rembu-
lan. "Hanya orang jahat yang biasa bertindak dengan sembunyi-sembunyi...,"
sindir Kwe Sin Mei. Ditunggunya beberapa tarikan napas, tapi
tak ada orang yang menampakkan diri. Bahkan,
suara sahutan pun tiada terdengar. Namun tiba-
tiba.... Brak...!
"Hoing...!"
Bagai disambar petir, Kwe Sin Mei terkejut
luar biasa. Tanpa sadar dia meloncat jauh ke
luar. Jalan napasnya terasa buntu beberapa saat.
"Bedebah!" umpat Kwe Sin Mei kemudian.
Gerutuan yang tak berujung pangkal pun
turut keluar dari mulut gadis bertubuh ramping
itu. Tumpukan balok kayu yang berada di sisi ka-
nan pintu kamarnya menggelinding sebatang.
Dan, terlihat seekor kucing dekil tengah berlari
ketakutan dikejar anjing geladak bertubuh kurus
kering. Kwe Sin Mei menghela napas panjang be-
berapa kali. Kecurigaannya sama sekali tak bera-
lasan. Tak seorang pun manusia yang tampak,
kecuali ayahnya yang menatapnya dari buritan.
Bergegas Kwe Sin Mei menutup daun pin-
tu. Lalu, dia lesatkan tubuhnya mendekat Kwe
Kok Djiang yang berdiri tegak sekitar enam tom-
bak dari kamarnya.
"Ada apa, Sin Mei?" tanya Kwe Kok Jiang
dengan alis bertaut.
Kwe Sin Mei tak menjawab. Dibalasnya ta-
tapan Kwe Kok Jiang.
"Kau terkejut mendengar balok kayu ja-
tuh?" tanya Kwe Kok Jiang lagi. Agaknya lelaki ini juga mendengar suara yang
dicurigai putrinya.
Kepala Kwe Sin Mei mengangguk lemah.
"Itu hanya ulah anjing dati kucing yang ba-
ru saja kau lihat tadi," jelas Kwe Kok Jiang. "Sekarang, kembalilah ke kamarmu.
Tidurlah...."
"Lalu, Ayah tidur di mana?" tanya Kwe Sin Mei. "Ayah seorang lelaki. Tidur di
mana pun tidak ada jeleknya."
Kwe Sin Mei tidak menyahuti ucapan
ayahnya. Matanya menatap lekat wajah lelaki
yang tampak keruh itu.
"Ayah memikirkan apa?"
"Ayah tidak memikirkan apa-apa."
"Lalu, apa yang Ayah lakukan di sini?" ce-car Kwe Sin Mei.
"Ayah ingin menyendiri, Sin Mei. Udara
malam ini cukup segar. Rembulan pun elok kuli-
hat. Aku ingin menikmatinya...," kilah Kwe Kok Jiang. "Tahukah Ayah bila udara
malam tidak baik bagi kesehatan. Ayah sudah tua. Sebaiknya
tidur di kamar saja...."
"Sin Mei...!" bentak Kwe Kok Jiang tiba-
tiba. Mengelam paras Kwe Sin Mei seketika.
Seumur hidup ayahnya tidak pernah membentak
sekeras itu. Tapi, bagaimana mungkin sekarang
dia melakukannya"
"Aku bukan anak kecil, Sin Mei. Akulah
yang mengukir jiwa ragamu. Kau tak perlu mem-
beri nasihat! Aku tahu apa yang harus kulaku-
kan!" Mendengar kata-kata keras ayahnya, se-
makin mengelam paras Kwe Sin Mei. Hatinya te-
rasa perih. "Bukan sekali-sekali aku hendak berani
terhadapmu. Ayah. Bukan maksudku pula untuk
menasihati Ayah. Aku tahu Ayah lebih pandai dan
lebih matang pengalaman. Tapi, aku mengkhawa-
tirkan keadaan Ayah. Aku tak ingin terjadi apa-
apa pada diri Ayah...," ujar Kwe Sin Mei, berkaca-kaca. "Sin Mei...," desis Kwe
Kok Jiang penuh ha-ru.
Perlahan lelaki bergelar Pendekar Sesat itu
merengkuh bahu Kwe Sin Mei, lalu dipeluknya
erat. Dan, Kwe Sin Mei menumpahkan tangisnya.
"Sudahlah, Sin Mei. Ayah memang salah.
Tapi, kau jangan menangis...," hibur Kwe Kok
Jiang. "Aku tak mengerti, kenapa Ayah tampak
begitu berduka. Bukankah Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong telah Ayah dapatkan?" ujar
Kwe Sin Mei di antara isakan tangis.
"Aku tidak apa-apa, Sin Mei...," sahut Kwe Kok Jiang, seperti menyembunyikan isi
hatinya. Kwe Sin Mei menatap haru. Lalu, dia be-
namkan wajahnya di dada orang yang sangat di-
cintainya itu. Entah kenapa, walau telinganya da-
pat menangkap detak jantung ayahnya, tapi jiwa
lelaki berkuncir itu terasa begitu jauh. Shia Hiap Kwe Kok Jiang seakan bukan
lagi orang yang paling dekat dengannya.
"Tidurlah, Sin Mei...," bisik Kwe Kok Jiang.
"Tidak, Ayah. Malam ini aku ingin berdeka-
tan dengan Ayah...," tolak Kwe Sin Mei.
Kwe Kok Jiang terdiam. Ditatapnya gugu-
san bintang di langit Mendadak, rasa tak enak di
hatinya semakin menyeruak, hingga terasa ada
sesuatu yang menghalangi jalan napasnya.
"Sin Mei...," sebut Kwe Kok Jiang kemu-
dian. Tangan kanannya membelai rambut putri
tunggalnya itu.
Perlahan Kwe Sin Mei mengangkat wajah.
"Ayah...," desisnya.
Untuk beberapa lama, ayah dan anak itu
saling tatap. Sewaktu Kwe Sin Mei hendak mem-
benamkan lagi wajahnya ke dada Kwe Kok Jiang,
mendadak angin laut yang berhembus terhenti.
Lalu, beberapa tarikan napas kemudian angin
dingin mendesir. Terasa aneh dan mendirikan bu-
lu roma.... "Ayah...," sebut Kwe Sin Mei, takut-takut
"Tenanglah, Sin Mei..," ujar Kwe Kok Jiang seraya menajamkan pendengaran. Namun,
tidak ada sesuatu yang patut dicurigai.
"Angin ini berhembus sangat aneh,
Ayah...." "Aku juga merasakannya."
Di ujung kalimatnya, Kwe Kok Jiang men-
gedarkan pandangan. Tidak ada orang lain di ge-
ladak kapal, kecuali dirinya dan Kwe Sin Mei.
Hanya suara juru mudi terdengar lamat-lamat
mendendangkan tembang, tapi nadanya mencera-
cau tak karuan seperti orang mabuk.
"Kembalilah ke kamarmu, Sin Mei," perin-
tah Kwe Kok Jiang kemudian. "Jaga Arca Budha
dan Pedang Burung Hong!"
Kwe Sin Mei menatap wajah ayahnya seje-
nak. Dia melihat ketegangan yang tergambar di
wajah ayahnya itu; Namun teringat akan jerih
payah ayahnya untuk mendapatkan Arca Budha
dan Pedang Burung Hong, bergegas Kwe Sin Mei
mengangkat langkah. Tak satu pun orang boleh
mengusik kedua benda pusaka itu. Apalagi hen-
dak mencuri atau merampasnya. Tapi baru dapat
tiga tindak, langkah Kwe Sin Mei berhenti men-
dadak. Bulu kuduknya meremang. Suasana ma-
lam berubah sangat menakutkan.
Di antara debur ombak yang memecah di
kanan kiri lambung kapal, lamat-lamat terdengar
suara gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan seperti ada ri-
buan lebah tengah terbang mendekat.
Kwe Kok Jiang dan putrinya memutar tu-
buh. Dicarinya asal suara yang terdengar. Namun
tak ada yang dapat mereka lihat kecuali bilah-
bilah papan dan tonggak-tonggak tiang layar. Se-
mentara, langit tetap hitam kelam dan bintang-
bintang masih pula mengedipi sang candra.
Gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan itu terdengar
makin keras. Dari mana suara itu berasal, Kwe
Kok Jiang dan Kwe Sin Mei tiada tahu.
"Aku curiga ada kekuatan gaib hendak me-
nyerbu kemari...," duga Kwe Kok Jiang dalam ha-ti. "Apa pun yang terjadi, aku
harus menyela- matkan Arca Budha dan Pedang Burung Hong.
Kedua benda pusaka itu tak boleh jatuh ke tan-
gan orang jahat!"
Mengikuti jalan pikirannya, Kwe Kok Jiang
melompat, menuju kamar tempat Arca Budha dan
Pedang Burung Hong tersimpan. Namun tiba ti-
ba.... Slash...!
Wusss...! Dari batas pandang nan gelap, melesat se-
berkas cahaya hijau gemerlap yang berbaur den-
gan percikan-percikan lidah cahaya berwarna me-
rah darah. Lesatan cahaya menggidikkan itu me-
nuju geladak kapal!
Sekejap mata kemudian, di geladak kapal
muncul bulatan cahaya yang membentuk garis
lurus dengan langit. Bulatan cahaya itu berpen-
dar amat kuat, dan menyilaukan pandangan ma-
ta! "Ya, Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang yang mengurungkan niatnya memasuki kamar.
"Ayah...!" pekik Kwe Sin Mei seraya meloncat ke sisi kanan Kwe Kok Jiang.
Wajahnya mem- perlihatkan rasa takut.
Slaps...! Psss...! Diiringi suara seperti bara api tersiram air,
mendadak garis cahaya bulat di geladak kapal le-
nyap. Sebagai gantinya, di tempat itu muncul se-
sosok bocah perempuan berambut awut-awutan.
Sekujur tubuhnya, termasuk wajah dan kepa-
lanya diselubungi asap putih!
"Ya, Tuhan...," sebut Kwe Kok Jiang dan
putrinya, bersamaan. Mata kedua anak manusia
ini kontan terbelalak lebar karena dihantam ke-
terkejutan yang luar biasa hebat. Hingga sampai
beberapa lama mereka tiada dapat berbuat apa-
apa, kecuali berdiri terpaku dengan mulut tern-
ganga. "Hi hi hi...!"
Bocah perempuan yang tiba-tiba muncul
memperdengarkan suara tawa menyeramkan. Se-
dikit demi sedikit, asap putih yang menyelubungi
tubuhnya membubung terbawa hembusan angin.
Saat asap putih itu telah lenyap, dapat dilihat
bahwa si bocah mengenakan pakaian sederhana
berwarna putih bergaris coklat. Di kepalanya me-
nancap sebuah tusuk konde emas berhiaskan
permata. Sorot matanya tajam menusuk. Bila di-
taksir, umurnya sekitar lima belas tahun. Semen-
tara bila dilihat dari garis-garis wajahnya, dia tak lain Prahesti! Murid Garang
Wanara dan Gajah
Angon yang berdiam di puncak Bukit Palastra!
"Siapa kau"!" bentak Kwe Kok Jiang, men-
guatkan hatinya.
"Hi hi hi...! Siapa aku" Hi hi hi....?" si bocah mengeluarkan tawa lebih
menyeramkan. Pandangan matanya yang tajam menakutkan
seakan mampu merontokkan jantung orang ber-
nyali kecil. Sementara, Kwe Sin Mei tampak memegang
erat lengan ayahnya. Rasa ngeri di hatinya sema-
kin bertambah. Namun, matanya tak pernah le-
pas menatap tusuk konde emas yang menancap
di kepala si bocah. Kwe Sin Mei pun tak habis
mengerti, bagaimana mungkin ada manusia tak
mati bila kepalanya ditusuk sebuah benda yang
bisa tembus sampai ke otaknya"
"Siapa kau?" bentak Kwe Kok Jiang. Ben-
takan dari Kwe Kok Jiang yang kedua itu disertai
dengan sinar mata penuh selidik. Rasa takut di
hatinya kontan lenyap, berganti kecurigaan. Ke-
mungkinan besar si bocah yang datang secara
gaib berkeinginan merebut Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong. Berpikir demikian, segera
Kwe Kok Jiang menepis jemari tangan Kwe Sin
Mei yang memegangi lengan kanannya. Lalu, ce-
pat dia hunus pedang yang terselip di punggung-
nya. "Hi hi hi...!" si bocah tertawa lagi. "Kau menghunus pedang, berarti kau
ingin melihat darah. Hi hi hi...! Bagaimana kalau darah yang ingin kau lihat itu
adalah darahmu sendiri?"
Kwe Kok Jiang mengacungkan pedangnya.
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara, tangan kirinya terlihat menggantung
lemah. Tangan kirinya itu memang sudah tak da-
pat digerakkan lagi karena pernah terbabat putus
oleh ketajaman Pedang Burung Hong. (Baca serial
Pengemis Binal dalam episode: "Rahasia Arca
Budha"). "Katakan siapa kau"! Dan, apa maksudmu
datang kemari"!" bentak Kwe Kok Jiang, menahan geram kemarahan.
"Hi hi hi...! Siapa aku" Hi hi hi...! Tua
bangka tak berguna, buka telingamu baik-baik,
aku Prahesti. Aku datang untuk mengambil Arca
Budha dan Pedang Burung Hong!"
Kwe Kok Jiang mendengus gusar. "Tak ada
orang lain yang bisa memiliki kedua benda pusa-
ka itu. Termasuk, iblis laknat macam kau!" ser-gapnya, menyimpan keterkejutan.
"Hmmm.... Rupanya kau benar-benar ingin
mati, Pak Tua. Apakah kau tega meninggalkan
putrimu menjadi anak yatim piatu?"
"Tak usah banyak bacot! Pergi kau!"
"Hi hi hi...! Aku memang akan pergi, tapi
setelah kau menyerahkan Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong!"
"Kalau begitu terimalah ini!"
Dibarengi bentakan keras, tubuh Kwe Kok
Jiang melesat eepat. Pedang di tangannya berke-
lebat, membersitkan sinar putih berkeredepan.
Namun, si bocah yang memang Prahesti adanya
sama sekali tak menggerakkan tubuhnya. Hingga
akibatnya.... Prang...! "Hah"!"
Bilah pedang Kwe Kok Jiang tepat menge-
nai leher Prahesti. Namun, tiada darah yang me-
mercik. Leher Prahesti tetap utuh tanpa tergores
sedikit pun, padahal Kwe Kok Jiang telah mene-
basnya dengan mengerahkan seluruh tenaga!
Kwe Kok Jiang terkejut bukan saja karena
Prahesti tak mempan senjata tajam, tapi juga ka-
rena bilah pedangnya yang tiba-tiba patah menja-
di dua bagian! "Hi hi hi...! Kukatakan sekali lagi, serahkan Arca Budha dan Pedang Burung Hong!
Kalau tidak, kau benar-benar akan melihat darahmu
sendiri!" Kwe Kok Jiang menggeram marah menden-
gar ancaman itu. Dia kepal jemari tangan kanan-
nya kuat-kuat walau masih terasa kesemutan.
"Kita hadapi dia bersama-sama, Ayah," cetus Kwe Sin Mei seraya melompat ke dekat
ayah- nya. Namun, penyesalan timbul dalam diri Kwe
Sin Mei. Pedangnya dia tinggal di dalam kamar.
Mau mengambilnya dulu" Jelas tak mungkin. Ta-
pi, mampukah dia bersama ayahnya menghadapi
si bocah aneh dengan tangan kosong"
"Masuklah ke kamarmu. Sin Mei," bisik
Kwe Kok Jiang dengan ilmu memindahkan suara.
"Aku akan menghadapi iblis itu seorang diri. Bila terjadi apa-apa denganku,
terserah apa yang akan
kau lakukan, asal Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong dapat diselamatkan."
"Tidak, Ayah!" tolak Kwe Sin Mei, tegas.
"Kita hadapi dia bersama-sama. Ayah tidak boleh lagi meninggalkan aku seorang
diri! Kalau mati,
kita akan mati bersama!"
"Bodoh!" sentak Kwe Kok Jiang, menahan
marah. "Nyawaku tidak jadi soal. Yang penting Arca Budha dan Pedang Burung Hong
tidak jatuh ke tangan orang jahat. Oleh karena itu, kau harus
tetap hidup!"
"Tidak! Kita akan hadapi iblis itu bersama-
sama. Ayah!"
Mendengus gusar Kwe Kok Jiang melihat
kenekatan putrinya. Namun sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, terdengar tawa menyeramkan
dari mulut Prahesti.
"Hi hi hi...! Sudah habis waktumu untuk
berunding, Pak Tua! Sekarang, kau harus menye-
rahkan kedua benda yang kuinginkan. Kalau kau
tidak rela, aku bisa mengambilnya sendiri!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti memaling-
kan mukanya, menghadap kamar Kwe Sin Mei
tempat Arca Budha dan Pedang Burung Hong ter-
simpan. Sambil mendengus pendek, Prahesti lalu
mengangkat kedua tangannya!
Slaps...! Wusss...! Mendadak, dari kedua telapak tangan Pra-
hesti muncul dua larik sinar kuning tipis. Sinar yang hampir tak terlihat itu
menerpa dinding kamar Kwe Sin Mei. Lalu disertai suara mendesis,
dinding kamar yang terbuat dari bilah-bilah pa-
pan jati itu jebol. Kemudian, sebuah bungkusan
kain hitam ter-sedot keluar!
"Keparat!" geram Kwe Kok Jiang. Darah lelaki itu kontan mendidih naik sampai ke
ubun- ubun, karena dia tahu bila bungkusan hitam
yang tersedot sinar kuning tipis adalah Arca Bud-
ha dan Pedang Burung Hong.
Maka sebelum kedua benda pusaka itu
terpegang oleh Prahesti, cepat Kwe Kok Jiang
mengibaskan telapak tangan kanannya yang ber-
warna kuning. Gelombang angin pukulan berha-
wa panas menyerbu ke arah Prahesti. Jangan di-
kira angin pukulan itu tidak berbahaya. Jangan-
kan tubuh manusia, batu sebesar gajah pun akan
hancur luluh menjadi serbuk halus berwarna
kuning bila tertimpa. Namun anehnya, seperti ti-
dak tahu dirinya dalam bahaya, Prahesti tertawa
cekikikan dengan mata berbinar-binar menatap
bungkusan hitam yang tersedot oleh kedua tela-
pak tangannya. Hingga....
Slaps...! Psss...! Begitu gelombang angin panas menerpa,
tubuh Prahesti kontan terbungkus sinar kuning.
Namun betapa terkejutnya Kwe Kok Jiang. Sinar
kuning yang berasal dari ilmu pukulannya yang
terdahsyat terhisap masuk ke tubuh Prahesti.
Sementara, mulut Prahesti terus mengeluarkan
tawa cekikikan. Apalagi setelah bungkusan hitam
telah tercengkeram jari-jari tangannya.
"Hi hi hi...! Kini Arca Budha dan Pedang
Burung Hong telah kudapatkan. Terima kasih,
Pak Tua. Aku harus segera pergi..."
Ucapan Prahesti disahuti gemerincing lon-
ceng kereta kuda yang saling sahut dengan suara
dengungan. Kwe Kok Jiang dan Kwe Sin Mei ter-
kesiap. Suara aneh itu persis seperti yang terden-
gar sebelum melihat kehadiran bocah perempuan
yang telah merebut Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong. Otak Kwe Kok Jiang bekerja cepat ketika
melihat dari batas pandang nan gelap di langit
melesat bulatan cahaya hijau, yang kemudian
membungkus tubuh Prahesti. Maka tanpa pikir
panjang lagi, Kwe Kok Jiang mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya untuk melancar-
kan pukulan jarak jauh!
"Hendak pergi ke mana kau, Jahanam!"
hardik Kwe Kok Jiang, membarengi selarik sinar
putih berkilat yang meluncur dari telapak tangan
kanannya! Wusss...! Blarrr...! Timbul ledakan dahsyat tatkala selarik si-
nar putih berkilat membentur sinar hijau yang
menyelubungi tubuh Prahesti. Dan tanpa disadari
oleh Kwe Kok Jiang, dari pusat ledakan itu mele-
sat setitik sinar kecil berwarna merah darah!
Set...! "Argh...!"
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Pra-
hesti dari pandangan, Kwe Kok Jiang menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya terbanting ke geladak dengan
luka berlubang di dada!
"Ayah...!" jerit Kwe Sin Mei.
Seperti kehilangan ingatan, gadis cantik itu
mengguncang-guncangkan tubuh Kwe Kok Djiang
yang terkulai lemah tiada daya. Tangisnya keras
menggerung mengiringi air matanya yang menga-
nak sungai. Anehnya, walau akibat pertempuran tadi,
menimbulkan ledakan keras yang menggelegar di
angkasa, tapi tak satu pun awak kapal yang
muncul dari dalam kamarnya. Sementara, tubuh
juru mudi pun tergolek pingsan! Mereka memang
telah ter-kena ilmu gaib yang diterapkan oleh
Prahesti! Perlahan namun pasti, laju kapal berbelok
arah. Bukan tanah Tiongkok yang dituju, melain-
kan kembali ke tanah Jawa.....
3 Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan ini mengarahkan pandangan ke Bukit Pala-
stra. Di antara warna hijau daun yang menyeli-
muti, terlihat titik-titik merah jingga yang menyebar rata. Indah menyejukkan
pandangan mata.
"Bunga.... Titik-titik merah jingga itu pasti bunga...," gumam si remaja. "Kalau
aku tahu Bukit Palastra banyak ditumbuhi bunga indah, pasti
dari dulu-dulu aku sudah mendatanginya."
Setelah menggaruk kepalanya yang tak
gatal, remaja tampan ini membetulkan letak
tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya.
Tak bosan dia pandangi terus keindahan Bukit
Palastra. "Bunga...," gumamnya lagi. "Kalau melihat bunga, aku selalu ingat gadis-gadis
cantik yang menjadi sahabatku. Dewi Ikata..., Ingkanputri...,
Puspita..., Yaniswara..., Intan Melati..., Anggraini Sulistya..., Kusuma..., Kwe
Sin Mei...."
Remaja tampan yang rambutnya dibiarkan
tergerai panjang di punggung ini menggaruk ke-
palanya lagi. Mendadak, dia nyengir kuda seraya
tertawa terkekeh.
"He he he..., Dewi Ikata.... He he he.... Ma-
sihkah putri Adipati Danubraja itu mencintaiku
setelah mengetahui bila diriku punya sifat mata
bongsang" He he he...."
Setelah puas tertawa, remaja yang tam-
paknya suka berperilaku konyol ini melanjutkan
gumamannya. "Ingkanputri.... Huh! Kenapa mu-
rid Dewi Tangan Api itu memilih pergi bersama
Gisa Mintarsa" Padahal, Gisa Mintarsa hanyalah
bocah kecil yang tak bisa diajak bermesra-
mesraan! He he he...."
Walau mulutnya tertawa, rasa kesal me-
nyembul di hatinya. Sambil mendengus, dia me-
nendang sekepal batu yang berada di hadapan-
nya. Batu itu kontan melesat dan hilang entah ke
mana. Lalu sambil garuk-garuk kepala, dia meng-
gumam lagi. "Puspita.... Hmmm.... Aku tahu gadis ber-
gelar si Pedang Perak itu jatuh hati kepadaku.
Tapi entah kenapa, aku tak bisa menerimanya.
Mudah-mudahan dia bisa menerima Kapi Anggara
yang mencintainya dengan tulus. Mereka sama-
sama orang kepercayaan Prabu Arya Dewantara.
Kukira, mereka akan menjadi pasangan yang se-
rasi...." Remaja yang tak lain si Pengemis Binal Suropati ini mengarahkan
pandangan ke atas. Lan-
git biru berhias awan perak yang bergerak pelan
bagai gumpalan kapas diterbangkan angin. Ke-
mudian, pandangannya beralih kembali ke Bukit
Palastra. Melihat tebaran bunga nun jauh di sana,
tanpa sadar kakinya melangkah.
"Yaniswara.... Putri Lodra Sawala itu telah
berada di Kotapraja Saloka Medang. Mudah-
mudahan perusahaan jasa pengiriman barang
Kencana Mega dapat dia dirikan lagi, walau ayah-
nya telah berpulang ke haribaan Tuhan...."
Sambil menggumam dan berkata-kata da-
lam hati, kaki Suropati terus melangkah menuju
Bukit Palastra. Sementara, hembusan angin tera-
sa segar dan menyejukkan di udara panas siang
hari. "Intan Melati tentu berbahagia karena telah berjumpa ayahnya. Semoga Tuhan
selalu melindungi penghuni Pulau Karang itu," gumam Suro-
pati untuk kesekian kalinya. "Anggraini Sutistya.... Tak salah bila dia
menambatkan hatinya
kepada Raka Maruta sebagai pendamping hidup-
nya. Aku tahu betul sifat-sifat pemuda bergelar
Pendekar Kipas Terbang itu. Semoga mereka ba-
hagia sampai hayat menutup mata."
Terbawa keinginannya untuk segera sam-
pai di Bukit Palastra, Suropati mengempos tena-
ga. Dikerahkannya ilmu berlari cepat. Namun, da-
lam hatinya masih saja berkata-kata.
"Kusuma.... Gadis bergelar Putri Racun itu
tentu tengah membuat rencana pernikahannya
dengan Saka Purdianta. Hmmm.... Kekuatan cin-
ta terlalu sulit untuk dijangkau akal pikiran ma-
nusia. Kekuatan cinta mampu membuat orang
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahat menemukan kesadarannya. Dan, itu terjadi
pada Saka Purdianta. Pertama kukenal, pemuda
bergelar si Dewa Guntur itu punya perilaku jahat
dan licik. Tapi sekarang setelah dia kenal dengan
Kusuma, cinta yang tumbuh di hatinya bisa me-
rubah tabiat tak terpujinya...."
Tanpa terasa, jarak ratusan tombak telah
dilalui. Keringat yang membasahi tubuhnya sama
sekali tak dipedulikan oleh pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti ini. Pengemis Binal
terus berlari dan berlari. Hingga, tubuhnya berke-
lebat amat cepat laksana dapat menghilang. Ka-
rena, dia mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya.
Kelebatan tubuh Pengemis Binal baru ter-
henti ketika sampai di kaki bukit yang dituju. Di-
tatapnya permukaan Bukit Palastra dengan mata
berbinar-binar. Bibirnya menyungging senyum
senang. Tapi mendadak, keningnya berkerut.
Tangan kirinya terayun naik, lalu menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kwe Sin Mei...," desis remaja berpakaian putih bersih walau penuh tambalan ini.
"Gadis dari tanah Tionggoan itu tentu suka bunga.
Sayang, dia tiada lagi bersamaku. Bersama ayah-
nya, Kwe Kok Jiang, dia tengah mengarungi lau-
tan untuk kembali ke negeri leluhurnya. Itu lebih
baik, daripada bersamaku yang gemblung dan
urakan ini. He he he...."
Sambil tertawa terkekeh, kaki Pengemis
Binal melangkah, menaiki punggung Bukit Pala-
stra. Walau pandangannya lurus ke depan, na-
mun beberapa kali remaja konyol ini hampir me-
nabrak pohon. Karena alam pikirannya tengah
melayang, membayangkan beberapa kejadian
yang baru saja dia jalani bersama Kwe Sin Mei.
"Cantik sekali putri Kwe Kok Jiang itu...,"
kata hati Suropati sambil tersenyum-senyum.
"Kedua pipiku pernah diciumnya. Bibirnya yang lembut dan hangat masih terasa.
Jantungku pun masih terus berdegup-degup tak karuan.
Sayang..., sayang sekali dia harus pergi. Mudah-
mudahan dia selamat sampai ke tempat tujuan.
Dan, Kwe Kok Jiang pun dapat menyerahkan Ar-
ca Budha dan Pedang Burung Hong kepada gu-
runya. Sin Eng Tan Hwe Liok, tanpa kurang suatu
apa." Karena permukaan Bukit Palastra miring rata, tak terdapat jurang ataupun
lembah yang menghalangi langkah, tanpa terasa Suropati telah
sampai di puncaknya.
"Bunga...! Bunga...!" seru Pengemis Binal, kegirangan.
Seperti orang gila, remaja konyol yang san-
gat suka pada bunga ini berjingkrak-jingkrak.
Mendadak, dia kibaskan telapak tangannya. Ter-
dengar suara bersiut keras, yang disusul dengan
patahnya tangkai-tangkai bunga merah jingga.
Bunga-bunga beraroma harum segar itu lalu be-
terbangan ke angkasa, dan menghujani tubuh
Pengemis Binal yang tengah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...!" Bunga! Bunga! Aku mandi
bunga! Ha ha ha...!"
Selagi melonjak kegirangan, mendadak ma-
ta Pengemis Binal melotot besar. Keterkejutan
menghantam telak. Sekitar empat tombak dari
tempatnya berdiri, terlihat sesosok tubuh terbar-
ing telentang dalam keadaan kaku mengejang!
"Mayat..."!" kejut Suropati.
Bergegas remaja tampan ini meloncat
menghampiri. Sambil menutup lubang hidung,
dia lihat dengan seksama mayat yang hampir
membusuk itu. "Siapa dia?" tanya Suropati kepada diri
sendiri. Matanya menatap tiada berkedip.
Mayat lelaki empat puluh tahunan itu ter-
bungkus pakaian penuh tambalan. Mengenakan
sepatu jerami. Wajahnya halus, tanpa kumis atau
jenggot. Namun tampak mengerikan karena bola
matanya melotot besar seperti hendak keluar dari
rongganya. Sementara, mulutnya ternganga lebar,
menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Rambutnya yang panjang terjuntai tak karuan di
permukaan tanah.
Suropati bergidik ngeri. Tanpa sadar dia
tersurut mundur. Perut mayat lelaki yang dilihat-
nya telah jebol, dan mulai digerayangi ulat dan
serangga tanah lainnya!
"Aku tak kenal siapa lelaki itu, tapi aku
dapat memastikan bila dia menjadi korban pem-
bunuhan," gumam Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini berjalan setindak setelah mengusir rasa
ngeri di hatinya. Maksudnya untuk memeriksa
lebih teliti. Tapi sebelum dia berbuat sesuatu, telinganya menangkap suara
rintihan orang yang
tengah menderita kesakitan hebat.
"Hmmm.... Siapa pula orang itu" Mungkin-
kah dia pembunuhnya, dan menderita luka parah
setelah menghabisi lawannya?"
Mengikuti suara hatinya, Pengemis Binal
meloncat cepat, mencari asal suara rintihan yang
didengarnya. Tak sampai lima tarikan napas, di-
dapatinya sesosok tubuh lelaki berjubah hitam
tengah tergeletak lemah di pelataran pondok
bambu yang sudah hangus termakan api
"Uh...! To... tolong aku...!" pinta lelaki berjubah hitam, memelas.
Lelaki tinggi kurus itu terus merintih kesa-
kitan. Kain jubahnya berlubang besar, menam-
pakkan kulit dadanya yang hitam gosong seperti
habis tertimpa pukulan berhawa panas.
"Kau siapa, Pak Tua?" tanya Pengemis Bi-
nal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aku... aku Gajah Angon.... Ban... bantu
aku untuk dapat duduk, Anak Muda...," sahut lelaki berjubah hitam yang memang
Gajah Angon, penghuni puncak Bukit Palastra.
Pengemis Binal tidak segera menuruti per-
mintaan lelaki itu. Matanya memandang penuh
selidik. "Aku tadi melihat mayat lelaki berpakaian penuh tambalan. Apakah kau
yang telah membu-nuhnya?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal,
mata Gajah Angon mendelik. Kepalanya hendak
digelengkan, tapi tak dapat.
"Bukan! Mayat itu kakak seperguruanku.
Dia... dia Garang Wanara...."
Di ujung kalimatnya yang terpatah-patah,
mata Gajah Angon tampak berkaca-kaca. Lalu se-
butir air bening menitik, membasahi pipinya yang
mulai berkeriput.
"Jadi, kau bukan pembunuhnya?" tanya
Pengemis Binal lagi, ingin menegaskan.
"Bagaimana mungkin aku membunuh
orang yang sangat kucintai dan kuhormati...?"
Usai berkata, butiran air bening menitik le-
bih banyak dari sudut mata Gajah Angon. Mau
tak mau, Suropati merasa iba. Tanpa pikir pan-
jang lagi, diperiksanya keadaan Gajah Angon.
Sementara, Gajah Angon sendiri cuma diam pa-
srah. "Ya, Tuhan...," sebut Pengemis Binal, lirih.
Remaja tampan yang sudah cukup matang penga-
laman ini memandang wajah Gajah Angon penuh
rasa kasihan. Sementara, air mata Gajah Angon
terus menitik. Agaknya, dia tengah mengalami
guncangan jiwa yang hebat.
"Sungguh malang nasibmu, Pak Tua...," ka-ta Suropati dalam hati. "Kau menderita
siksaan yang hebat. Kau telah terkena pukulan yang
membuat tangan dan kakimu lumpuh. Dan bekas
pukulan di dadamu pun tentu terasa panas,
hingga sekujur tubuhmu bagai terbakar api...."
Suropati memeriksa keadaan Gajah Angon
sekali lagi. Rasa kasihan semakin membayang di
sorot matanya. Karena terik matahari mulai me-
nyengat, remaja tampan ini lalu membopong tu-
buh Gajah Angon untuk dibawa berteduh.
Hati-hati sekali Pengemis Binal menyan-
darkan tubuh Gajah Angon ke batang pohon be-
sar. Agar tak terkulai jatuh, tangan kiri Pengemis Binal memegang bahu murid
Darma Sagotra itu.
"Akan kucoba mengusir hawa panas yang
kau rasakan, Pak Tua. Bertahanlah...," ujar Suropati. Gajah Angon tak memberi
jawaban. Wa- jahnya yang pucat menampakkan kepasrahan.
Suropati segera menarik napas panjang. Bersa-
maan dengan udara yang terhembus dari paru-
parunya, dia salurkan kekuatan tenaga dalam ke
pergelangan tangan kanan. Sekejap mata kemu-
dian, tangan kanan remaja tampan ini merah
membara. Anehnya, udara di sekitarnya berubah
dingin. Lalu....
Bukkk...! "Hukkk...!"
Telapak tangan kanan Pengemis Binal
menghantam dada Gajah Angon. Di lain kejap,
hawa dingin yang timbul dari penerapan ilmu
'Pukulan Salju Merah' mengalir ke tubuh lelaki
yang terluka dalam parah itu.
Tak sampai lima tarikan napas, gigi Gajah
Angon bertaut rapat, memperdengarkan suara
gemeletuk. Sekujur tubuhnya terbungkus salju
tipis berwarna merah. Dia menggigil kedinginan.
"Cukup...! Cukup...!" desis Gajah Angon
kemudian. Bergegas Pengemis Binal menarik telapak
tangan kanannya yang menempel di dada Gajah
Angon. Namun tiba-tiba, kepala lelaki setengah
baya itu terkulai ke kanan, lalu jatuh pingsan!
Perlahan-lahan Pengemis Binal memba-
ringkan tubuh Gajah Angon ke tanah. Setelah ga-
ruk-garuk kepala sebentar, diperiksanya lagi kea-
daan lelaki itu.
"Syukurlah. Hawa panas yang mendera tu-
buhmu telah lenyap, Pak Tua...," gumam Suropa-ti.
Kemudian, sigap sekali Pengemis Binal
mendaratkan beberapa totokan ke tubuh Gajah
Angon. Dua di leher, dua di dada, dan masing-
masing tiga totokan di pergelangan tangan dan
kaki. Itulah ilmu totokan untuk pengobatan yang
pernah dipelajarinya dari si Wajah Merah, seorang
tabib pandai yang berdiam di Bukit Rawangun.
"Uh...!" keluh Gajah Angon kemudian, si-
uman. "Tenanglah, Pak Tua. Akan kubantu kau
untuk menormalkan hawa murnimu yang berpu-
tar-putar tak karuan."
Usai berkata, Pengemis Binal menyandar-
kan lagi tubuh Gajah Angon ke batang pohon,
Dengan kedua telapak tangan menempel di dada
lelaki itu, dia salurkan hawa sakti bersifat lembut.
Namun Pengemis Binal terkesiap. Dia rasakan
sentakan-sentakan keras yang menolak penyalu-
ran hawa saktinya. Sentakan-sentakan itu beras-
al dari perut Gajah Angon. Agaknya, hawa murni
dalam tubuh Gajah Angon benar-benar kacau dan
tak dapat dikendalikan oleh pemiliknya sendiri.
"Hmmm.... Mudah-mudahan ilmu pengoba-
tan yang kudapat dari Kakek Wajah Merah dapat
membuahkan hasil...," doa Pengemis Binal dalam hati. Bukkk...!
"Hukkk...!"
Tersentak Gajah Angon ketika telapak tan-
gan kiri Pengemis Binal menghantam perutnya,
tepat di pusarnya. Dengan telapak tangan kanan
tetap menempel di dada Gajah Angon, Pengemis
Binal menyalurkan hawa sakti dari dua tempat.
Namun, dia lebih memusatkan pada bagian perut
karena to-lakan hawa murni Gajah Angon lebih
terasa di tempat itu.
Tanpa terasa sang baskara bergeser ke ba-
rat. Panas tak lagi menyengat. Semilir angin pun
terasa mengelus, seakan mampu menyejukkan
sukma. Kicau burung semakin terdengar nyaring,
tiada henti memuji keagungan Sang Pencipta.
Kumbang dan kupu-kupu beterbangan menyam-
but mekarnya kelopak bunga yang menebar da-
lam warna senada merah jingga. Terlenalah jiwa
dalam keindahan Bukit Palasbra.
Perlahan Suropati menarik kedua tangan-
nya.. Tolakan hawa murni dari tubuh Gajah An-
gon tak terasa lagi. Dan begitu merasa dapat
mengerahkan tenaga, Gajah Angon langsung me-
loncat bangun seraya berteriak.
"Kakang Wanara...!"
Brukkk...! "Heh"!"
Suropati yang terserang rasa lelah tak da-
pat berbuat sesuatu ketika tiba-tiba Gajah Angon
jatuh tertelungkup. Lelaki berjubah hitam itu be-
rusaha bangun lagi, tapi ingatannya keburu hi-
lang, "Bodoh sekali kau, Pak Tua!" rungut Pengemis Binal. "Tenagamu belum pulih
benar, ke- napa kau memaksakan diri"!"
Usai menggaruk kepalanya yang tak gatal,
Suropati mengusap peluh di wajahnya. Lalu, di-
balikkannya tubuh Gajah Angon yang terbaring
Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertelungkup. Sesaat dia menatap haru. Raut wa-
jah Gajah Angon jelas menyiratkan kedukaan he-
bat. "Kasihan sekali kau, Pak Tua...," desah Pengemis Binal.
Murid Periang Bertangan Lembut ini lalu
menyadarkan Gajah Angon dengan beberapa to-
tokan. Keharuan semakin membayang di matanya
tatkala Gajah Angon menggeliat lemah.
"Kakang Wanara...," sebut Gajah Angon,
memelas. "Kau jangan bergerak dulu, Pak Tua. Tena-
gamu belum pulih benar," nasihat Pengemis Bi-
nal. "Tidak! Aku harus menolong kakak seper-
guruanku itu! Di mana dia?"
"Tenanglah, Pak Tua. Beristirahatlah dulu.
Akan kucarikan air untukmu. Aku tahu kau ke-
hausan..."
Pengemis Binal beranjak dari tempatnya,
namun niatnya jadi urung karena Gajah Angon
hendak meloncat berdiri. Cepat dia cekal lengan
lelaki itu agar tak jatuh lagi.
"Kau hendak ke mana, Pak Tua?"
"Aku harus menolong kakak sepergurua-
nku!" Kepala Pengemis Binal menggeleng. "Di sini tidak ada orang yang perlu
ditolong, kecuali dirimu sendiri, Pak Tua. Kakak seperguruanmu telah
meninggal. "
Mengelam paras Gajah Angon seketika. Se-
butir demi sebutir, air mata mulai bergulir ke pi-
pinya. "Aku tak percaya kau telah meninggal, Kakang Wanara...," ujar Gajah
Angon, seperti ditujukan kepada dirinya sendiri. "Malapetaka yang terjadi di
Bukit Palastra ini terlalu dahsyat. Guru kita, Eyang Darma Sagotra, mati oleh
ulah Barata Sukma. Kenapa kau pun mati di tangan murid
murtad itu, Kakang Wanara?"
Melihat Gajah Angon menangis mengge-
rung-gerung, Pengemis Binal mendesah. Memang
tidak biasa seorang lelaki menangis. Namun Pen-
gemis Binal bisa memastikan bila batin Gajah An-
gon telah terpukul hebat.
"Di mana jenazah kakak seperguruanku
itu?" tanya Gajah Angon tiba-tiba.
"Apa yang akan kau lakukan, Pak Tua?"
Pengemis Binal balik bertanya.
"Aku hendak menguburkannya. Aku akan
melakukan penghormatan terakhir..."
"Biar aku yang melakukannya, Pak Tua.
Kau beristirahatlah di sini."
"Tidak, Anak Muda. Aku tahu kau pemuda
yang baik hati, namun aku sendiri yang harus
menguburkan jenazah Kakang Garang Wanara."
Di ujung kalimatnya, Gajah Angon bangkit.
Cepat Suropati membantu. Dipapahnya le-
laki itu menuju ke tempat jenazah Garang Wana-
ra terbaring. Melihat sesosok mayat yang sudah kaku
mengejang, tatapan mata Gajah Angon jadi nya-
lang. "Kakang Wanara...!" jerit Gajah Angon se-
raya menubruk mayat Garang Wanara. Tanpa pe-
duli bau busuk yang menebar, lelaki ini menangis
mengguguk, menguras air mata.
"Sudahlah, Pak Tua. Dia sudah meninggal,"
ujar Pengemis Binal, menepuk bahu Gajah An-
gon. "Akan kubantu kau untuk menguburkannya.
Lihatlah matahari yang hampir tenggelam."
Suropati mengedarkan pandangan. Dica-
rinya sebuah benda yang bisa dipergunakan un-
tuk menggali. Kebetulan dia temukan sebatang
pedang yang menancap di tanah, tak seberapa
jauh dari mayat Garang Wanara tergeletak.
Dengan mempergunakan pedang itu, mu-
lailah Pengemis Binal menggali. Tapi....
"Letakkan pedang itu, Anak Muda!" bentak Gajah Angon dengan mata mendelik.
Pengemis Binal menatap heran. "Aku
membuat lubang untuk menguburkan jenazah
kakak seperguruanmu itu, Pak Tua...," ujarnya.
"Terima kasih, Anak Muda. Bukan aku tak
menghargai bantuanmu, tapi jenazah kakak se-
perguruanku biarlah kuurus sendiri. Ini suatu
penghormatan baginya."
Melihat kesungguhan Gajah Angon, mau
tak mau Pengemis Binal harus mengerti. Segera
dia sodorkan pedang yang dibawanya ke hadapan
Gajah Angon, Beberapa kali Pengemis Binal menarik na-
pas panjang. Tak tega dia melihat Gajah Angon
yang bersusah payah menggali sebuah lubang.
Pedang yang dibawanya beberapa kali terlepas da-
ri cekalan. Tenaganya memang belum pulih be-
nar. Tak heran, karena selama dua hari dua ma-
lam dia hanya terbaring telentang tanpa dapat
makan dan minum. Berkat kuasa Tuhan-lah
nyawanya tak melayang sampai Suropati datang
memberi pertolongan.
"Kau jangan memaksakan diri, Pak Tua...,"
ujar Pengemis Binal, iba.
"Tidak! Aku harus menguburkan jenazah
kakak seperguruanku sendiri. Inilah wujud peng-
hormatanku," tolak Gajah Angon, pedangnya te-
rus dihujamkan ke tanah.
Pendengaran Pengemis Binal yang tajam
dapat menangkap suara napas Gajah Angon yang
ngorok seperti ayam disembelih. Perutnya pun
terdengar berkeruyukan. Agaknya, Gajah Angon
memang menderita haus dan lapar hebat.
"Kalau kau mau menuruti kata-kataku, is-
tirahatlah dulu, Pak Tua. Akan kucarikan air dan
makanan untukmu."
Usai berkata, Pengemis Binal berkelebat
menuruni bukit. Sementara, Gajah Angon sama
sekali tak mempedulikannya. Dia terus menggali
lubang dengan semangat menggebu-gebu. Hingga
sepeminuman teh kemudian, tcrkejutlah Penge-
mis Binal ketika kembali ke tempat ini.
"Tak mungkin...," desis Suropati, seperti tak percaya pada penglihatannya
sendiri. Jenazah Garang Wanara tidak berada di
tempatnya lagi. Dan, Gajah Angon tampak tergo-
lek pingsan memeluk gundukan tanah kuburan
yang baru dibuatnya.
"Apakah jenazah itu sudah dikubur?" tanya
Pengemis Binal dalam hati.
Dengan kening berkerut rapat, Pengemis
Binal meletakkan air dalam tempurung kelapa
dan buah kedondong yang dibawanya. Lalu, dia
periksa keadaan Gajah Angon.
"Air...," keluh Gajah Angon saat siuman.
Bergegas Suropati memberi minum. Dan,
betapa rakusnya Gajah Angon menghabiskan air
yang didapat Suropati dari mata air di bawah bu-
kit itu. "Kau telah selesai menguburkan jenazah saudara seperguruanmu, Pak Tua?"
tanya Pengemis Binal kemudian.
Kepala Gajah Angon mengangguk lemah.
Bibirnya menyungging senyum tipis.
Suropati geleng-geleng kepala. Tahulah dia
bila semangat besar dalam diri seseorang bisa
mendatangkan kekuatan di luar kemampuan ber-
pikir manusia. Jika Tuhan berkehendak, orang
sakit dan lemah pun mampu berbuat melebihi
kemampuan orang sehat dan bertenaga besar.
"Kau begitu baik, Anak Muda...," puji Gajah Angon kemudian.
"Apa yang kulakukan tak lebih dari melak-
sanakan kewajiban sebagai sesama manusia," sahut Pengemis Binal.
Bibir Gajah Angon menyungging senyum.
"Menilik pakaian dan ciri-ciri tubuhmu, apakah kau yang bernama Suropati alias
Pengemis Binal?" tanyanya.
Suropati mengangguk pelan.
Mata Gajah Angon kontan berbinar-binar.
"Kebetulan! Kebetulan! Sebelum rimba persilatan jadi ajang pengumbaran nafsu
sesat, kau harus
berbuat sesuatu, Suro!"
Pengemis Binal menanggapi ucapan Gajah
Angon dengan kening berkerut. Dia tak tahu apa
yang dimaksud oleh lelaki berjubah hitam itu.
4 Senja merangkak bangkit, menyambut da-
tangnya sang dewi malam. Jangkrik mengerik ter-
sahuti tekur burung hantu, lemah terdengar ba-
gai mengalunkan lagu duka. Malam pun jatuh da-
lam dekapan sunyi.
Sementara Suropati sibuk membuat pera-
pian, Gajah Angon duduk terpekur merenungi
nasibnya. Peristiwa berdarah di puncak Bukit Pa-
lastra membayang di pelupuk matanya.
"Apa yang kau pikirkan, Pak Tua?" tanya
Pengemis Binal, duduk mendekati.
Gajah Angon mendesah panjang. "Kau ha-
rus menolongku, Suro," pintanya, penuh pengharapan. "Kalau itu di jalan
kebaikan, aku pasti menolongmu, Pak Tua," sambut Pengemis Binal. "Katakan apa
yang menjadi beban pikiranmu. Ada
hubungannya dengan kematian kakak sepergu-
ruanmu, bukan?"
Mengangguk Gajah Angon. "Tapi, urusan-
nya tidak sesederhana itu. Bukan sekadar mem-
balas kematian Kakang Garang Wanara, bukan
sekadar membalas dendam...."
Alis Suropati bertaut. "Aku tak mengerti
arah pembicaraanmu, Pak Tua."
"Di rimba persilatan telah hadir seorang
pembunuh jahat! Kekejamannya melebihi iblis
yang paling jahat sekalipun!" ujar Gajah Angon, keras seperti membentak.
"Siapa dia" Apakah dia yang telah membu-
nuh kakak seperguruanmu?" tanya Pengemis Bi-
nal, penuh perhatian.
Gajah Angon menarik napas panjang bebe-
rapa kali. Ditatapnya wajah Pengemis Binal lekat-
lekat, seakan ingin melongok isi hati pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini.
"Jangan buat aku penasaran, Pak Tua!"
bentak Suropati, tak sabar.
Gajah Angon mendesah panjang untuk ke-
sekian kalinya. Ditatapnya lagi wajah Pengemis
Binal. Dan, mulailah dia menceritakan peristiwa
berdarah yang terjadi di puncak Bukit Palastra....
Dua hari yang lalu, setelah Prahesti men-
gangkat sumpah, Gajah Angon mengajak Garang
Wanara masuk ke pondok bambunya. Namun ba-
ru menginjak pelataran, mendadak terdengar ge-
merincing lonceng kereta kuda yang saling sahut
dengan dengungan seperti ada ribuan lebah se-
dang terbang mendekati. Gajah Angon dan Ga-
Pendekar Aneh Naga Langit 26 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Pendekar Muka Buruk 13