Pencarian

Petualangan Roh Iblis 2

Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis Bagian 2


harus bertempur dengan iblis itu sebelum mem-
bawamu ke tempat ini."
"Dia murid saya, Datuk," tukas Gajah Angon yang dapat menebak siapa yang
dimaksud oleh Datuk Risanwari.
"Muridmu?" kesiap Datuk Risanwari.
"Ya. Dia bernama Prahesti. Baru dua hari
dia kuangkat sebagai murid. Prahesti dibawa ka-
kak seperguruan saya, Garang Wanara, ke pun-
cak Bukit Palastra untuk kami didik bersama.
Tapi sayang, peristiwa berdarah itu mesti terja-di...." Paras Gajah Angon tampak
mengelam. Tatapan matanya menebarkan penyesalan dan ke-
dukaan. "Nyai Catur Asta datang untuk membawa
Prahesti," lanjut Gajah Angon. "Ratu Kerajaan Siluman itu mengatakan bahwa
Prahesti memiliki
campuran darah siluman. Dia hendak menu-
gaskan Prahesti untuk mencapai sebuah maksud,
yang tak saya ketahui. Sebelumnya, Nyai Catur
Asta akan menyusupkan roh Barata Sukma ke
tubuh Prahesti...."
Gajah Angon terus bercerita tanpa diminta.
Agaknya lelaki berjubah hitam ini hendak me-
numpahkan seluruh kedukaannya di hadapan
Datuk Risanwari.
"Barata Sukma adalah adik seperguruan
saya, Datuk. Semasa hidupnya, Barata Sukma
banyak sekali melakukan tindak kejahatan. Dia
murid murtad. Oleh karena itulah kakak sepergu-
ruan saya, Garang Wanara, tak merelakan Pra-
hesti dibawa Nyai Catur Asta. Akhirnya, Kakang
Garang Wanara meninggal dibunuh roh Barata
Sukma yang telah dibangkitkan oleh Nyai Catur
Asta...." "Aku turut berduka atas kematian saudara
seperguruanmu itu, Angon," ujar Datuk Risanwari. "Lalu, bagaimana ceritanya kau
dan Suropati sampai terluka?"
"Roh Barata Sukma-lah yang melukai saya
Datuk," sahut Gajah Angon, masih bernada sedih
"Lalu, Suropati datang menolongku setelah aku tergeletak di tanah selama dua
hari dua malam."
"Dan, kenapa kau sampai terluka dalam,
Suro?" tanya Datuk Risanwari.
"Aku dilukai oleh Prahesti," jawab Pengemis Binal. "Di puncak Bukit Palastra?"
"Bukan di situ. Di Kerajaan Siluman-lah
bocah setengah siluman itu berhasil melukaiku."
"Kerajaan Siluman?"
"Ya, Datuk. Dengan mengetrapkan ilmu
'Menembus Alam Gaib', aku datang ke Kerajaan
Siluman untuk menemui Nyai Catur Asta. Ketika
aku berhasil menemuinya, ratu bertangan empat
itu tengah terluka parah. Dia dilukai Prahesti,
Dan, ratu Kerajaan Siluman menyatakan penye-
salannya kepadaku. Nyai Catur Asta tergoda se-
tan untuk memiliki Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong. Karena keterbatasannya, dia tak da-
pat mewujudkan keinginannya itu. Lalu, dia me-
nyusupkan roh Barata Sukma ke tubuh Prahesti.
Dan setelah Prahesti berhasil mendapatkan Arca
Budha dan Pedang Burung Hong, bocah setengah
siluman itu malah ingin merampas takhta Kera-
jaan Siluman...."
"Arca Budha dan Pedang Burung Hong...,"
desis Datuk Risanwari, seperti menyatakan se-
buah kekaguman.
"Kedua benda pusaka itu ciptaan seorang
tetua Bangsa Cina. Aku tahu dari Kwe Kok Jiang."
"Kwe Kok Jiang" Siapa itu?"
"Dia seorang tokoh aliran putih bergelar
Pendekar Sesat. Dia diutus gurunya, Tan Hwe
Liok, untuk mencari Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong. Katanya, kedua benda pusaka itu ti-
dak boleh jatuh ke tangan orang jahat. Daripada
jatuh ke tangan orang jahat, kata Kwe Kok Jiang, Arca Budha dan Pedang Burung
Hong lebih baik
dimusnahkan."
"Pedang Burung Hong...," desis Datuk Risanwari. Dari balik riap-riap rambutnya,
kakek ini menatap wajah Pengemis Binal lekat-lekat.
"Apakah pedang itu bilahnya bengkok dan dipenuhi ukiran indah?" tanyanya,
teringat pedang yang dibawa Prahesti waktu bertempur di puncak
Bukit Palastra.
"Tepat sekali. Kata Kwe Kok Jiang, pedang
itu mempunyai tuah dan kesaktian hebat. Jika
dialiri tenaga dalam, bilahnya akan memancarkan
sinar kebiruan yang amat menggidikkan."
"Ya. Ya..., yang dibawa bocah perempuan
itu pasti Pedang Burung Hong. Sebuah pedang
pusaka yang hebat tiada taranya...," puji Datuk Risanwari. "Ketika aku bertempur
melawan Prahesti, aku telah menginjak punggung pedang itu.
Dan sungguh tak kuduga, tiba-tiba kakiku mem-
biru dan terasa panas bagai dibakar api. Untung
aku bisa mengatasinya."
Mendengar penuturan Datuk Risanwari,
secara bersamaan Suropati dan Gajah Angon me-
natap pergelangan kaki kakek tua renta itu. Ke-
dua pergelangan kaki Datuk Risanwari memang
sudah tak terdapat tanda-tanda luka ataupun
terserang racun.
Kemudian, Pengemis Binal bercerita lebih
banyak tentang Arca Budha dan Pedang Burung
Hong, yang kata Kwe Kok Jiang memiliki sebuah
rahasia besar. Cerita Suropati baru berhenti ma-
nakala hawa dingin telah menyelimuti ruangan
gua. Sementara, cahaya yang masuk pun mulai
berkurang. Agaknya hari siang akan segera berla-
lu. "Aku harus pergi dari tempat ini, Datuk,"
pinta Pengemis Binal kemudian.
"Bagaimana dengan luka dalammu?" tanya Datuk Risanwari untuk memastikan
kesehatan Pengemis Binal.
"Berkat bantuan Datuk, rasa lemas yang
menyerang tubuhku sudah lenyap."
"Bagaimana dengan kau, Angon?"
"Sama seperti Suropati. Kesehatan saya
sudah pulih walau dada saya masih agak sesak,"
jawab Gajah Angon.
"Kalian boleh pergi. Tapi ingat pesanku. Bi-la kau ingin menghentikan kekejaman
Prahesti, temui dulu Nyai Catur Asta. Prahesti jangan di-
bunuh. Dia bocah tak berdosa. Semua kekeja-
mannya tak lain dari perbuatan roh Barata Suk-
ma. Prahesti hanya dijadikan alat."
Mendengar pesan Datuk Risanwari yang di-
tujukan kepadanya, Pengemis Binal mengang-
gukkan kepala. Bersama Gajah Angon, pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti lalu me-
ninggalkan Bukit Hantu. Karena sisa sinar men-
tari masih mampu menerangi, mereka tidak men-
dapat kesulitan hingga sampai ke kaki bukit.
"Kau hendak ke mana, Suro?" tanya Gajah Angon. Dari tadi lelaki berjubah hitam
ini cuma mengekor langkah Pengemis Binal.
"Ikutlah...," ajak Suropati, tak menjelaskan ke mana tujuannya."
"Aku kembali ke Bukit Palastra saja," tolak Gajah Angon.
"Kau jangan ke sana dulu, Pak Tua," larang Suropati.
"Kenapa?"
"Bila kau kembali ke Bukit Palastra, aku
khawatir kau akan selalu teringat peristiwa me-
nyedihkan itu. Lagi pula, aku hendak mencari
Prahesti. Kalau Yang Maha Kuasa memberi keku-
atan kepadaku hingga dapat melepas roh Barata
Sukma dari tubuh Prahesti, kau bisa mengajak
muridmu itu. Mungkin juga, tenagamu dibutuh-
kan, Pak Tua."
Gajah Angon tampak berpikir. "Sebenarnya
aku memang masih sayang pada Prahesti. Aku
tak rela bila terjadi apa-apa padanya. Aku harap kau selalu ingat pesan Datuk
Risanwari, Suro.
Jangan bunuh Prahesti."
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. "Tentu... tentu, Pak Tua. Bila Nyai Catur Asta membantuku, mudah-mudahan
semuanya berjalan seperti yang kita inginkan."
Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal men-
garahkan pandangan ke barat. Namun sebelum
remaja tampan ini melanjutkan langkah kakinya,
Gajah Angon mencegah. "Tunggu, Suro!"
"Ada apa?"
"Kau hendak mencari Prahesti sekarang?"
"Tidak. Aku ke Kota Kadipaten Bumiraksa
dulu. Di sana aku akan mencoba menemui Nyai
Catur Asta. Dia masih terluka dalam saat aku di-
lemparkan Prahesti kembali ke alam nyata. Aku
akan meminta petunjuk, dan kalau aku mampu,
aku akan menolongnya dulu."
"Menolong Nyai Catur Asta"!" sentak Gajah Angon. Wajahnya berubah merah padam.
"Kenapa kau menolong ratu keparat itu, Suro"! Bukankah
dia penyebab malapetaka ini"!"
"Uts! Jangan keburu naik pitam, Pak Tua!"
sergah Pengemis Binal. "Tidak baik dan sama sekali tak ada manfaatnya menyimpan
dendam itu, Pak Tua. Di hadapanku Nyai Catur Asta telah
menyatakan penyesalannya. Dia mengakui bila
dirinya memang salah. Nyai Catur Asta telah me-
nerima akibat dari perbuatannya sendiri. Selain
dirinya terluka dalam yang amat parah, takhta
Kerajaan Siluman pun terancam. Tidakkah terbu-
ka mata hatimu untuk memberi maaf kepadanya,
Pak tua?" "Maaf" Urusan ini tidak semudah yang kau
bayangkan, Suro. Bila aku memberi maaf kepada
ratu siluman itu, apakah kakak seperguruanku
akan hidup kembali" Huh! Kalau Nyai Catur Asta
dapat mengembalikan nyawa Kakang Garang Wa-
nara, bolehlah aku memberinya maaf!"
Mendengar ucapan Gajah Angon yang ber-
nada tinggi, Pengemis Binal tak mampu menahan
keinginannya untuk tak menggaruk kepala. Bebe-
rapa saat remaja konyol ini tampak cengar-cengir mirip monyet mencium kotoran
kuda, "Begini, Pak Tua," ujar Suropati kemudian,
"Bukannya aku bersikap sok pandai dengan
memberi nasihat kepadamu. Bukan... bukan itu
maksudku. Relakan kematian kakak sepergu-
ruanmu, Pak Tua. Toh, itu terjadi bukan atas ke-
mauan Nyai Catur Asta. Dan kalaupun kau men-
ganggap Nyai Catur Asta yang menjadi penyebab
kematiannya, ingatlah Pak Tua, dunia dan segala
isinya adalah milik Tuhan. Mati hidup manusia
ada di tangan-Nya.... Tanpa kehadiran Nyai Catur Asta di Bukit Palastra, kalau
Tuhan berkehendak
memanggil kakak seperguruanmu itu, maka tak
ada satu pun kekuatan yang mampu menghalan-
ginya. Kau, aku, Nyai Catur Asta, dan semua
makhluk di bumi ini hanyalah wayang yang tak
akan pernah bisa melepaskan diri dari takdir Tu-
han. Semua peristiwa di bumi ini memang tak
akan pernah lepas dari takdir-Nya. Begitu pula
dengan kematian saudara seperguruan mu, Pak
Tua." Berkerut kening Gajah Angon mendengar rentetan kata Suropati yang cukup
panjang. Gajah Angon tak menyangka bila Suropati mampu
mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu. Namun, air muka Gajah Angon tetap
keruh. Agaknya dia
belum bisa merelakan kematian Garang Wanara.
Sementara itu, wajah sang baskara telah
tenggelam di garis cakrawala barat. Namun, bi-
asan sinarnya masih mampu memberi terang wa-
lau cuma remang-remang. Tekur burung hantu
mulai terdengar lamat-lamat, menyambut sang
candra yang akan segera tiba.
"Sudahlah, Pak Tua...," Pengemis Binal menepuk bahu Gajah Angon. "Hari hampir
gelap. Kita ke Kota Kadipaten Bumiraksa sekarang."
Gajah Angon tak memberi jawaban. Mulut-
nya terkunci rapat. Kakinya pun terasa berat un-
tuk diajak melangkah.
Suropati mendesah. Remaja tampan ini bi-
sa merasakan kesedihan Gajah Angon. Siapa yang
rela dan tak sedih hatinya melihat kakak sepergu-
ruan yang sangat dicintainya mati dibunuh orang
di depan mata" Tapi, haruskah rasa sedih itu di-
biarkan berlarut-larut, yang hanya akan menda-
tangkan dendam kesumat"
Sementara Gajah Angon dan Suropati ber-
diri tercenung dengan pikiran masing-masing, da-
ri kejauhan terdengar suara gemerincing lonceng
yang saling sahut dengan suara dengungan mirip
ribuan lebah sedang terbang. Suara itu semakin
terdengar keras, menyisihkan tekur burung hantu
yang terdengar lamat-lamat.
"Nyai Catur Asta akan segera tiba di tempat ini...," gumam Pengemis Binal.
Ditepuknya bahu Gajah Angon. "Kau dengar suara itu, Pak Tua?"
"Ya. Suara itu pernah kudengar di puncak
Bukit Palastra. Nyai Catur Asta akan datang," sahut Gajah Angon.
"Benar dugaanmu. Tapi, kuharap kau tidak
bertindak gegabah, Pak Tua. Biarkan aku bicara
dengan ratu siluman itu."


Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bertepatan dengan selesainya ucapan Pen-
gemis Binal, dari angkasa melesat seberkas ca-
haya merah, tampak jelas sekali karena hari me-
mang hampir gelap.
Wusss...! Begitu menyentuh tanah, sinar merah itu
lenyap tanpa bekas. Sebagai gantinya, sekitar dua tombak dari hadapan Suropati
dan Gajah Angon
telah berdiri seorang wanita cantik. Rambutnya
digelung ke atas dengan hiasan tusuk konde
emas. Tubuhnya yang sintal terbungkus pakaian
merah gemerlap seperti layaknya seorang ratu.
Anehnya, dia bertangan empat. Nyai Catur Asta!
"Ratu keparat!" umpat Gajah Angon tiba-tiba. Namun sebelum lelaki berjubah hitam
ini berbuat sesuatu, Pengemis Binal telah mencekal
lengannya. "Tenanglah, Pak Tua!"
"Tidak! Aku harus membalas kematian Ka-
kang Garang Wanara!"
Suropati berusaha menelikung tangan Ga-
jah Angon. Sementara, Gajah Angon memberon-
tak. Dengan mengerahkan tenaga dalam, lelaki
kurus tinggi ini hendak melemparkan tubuh Su-
ropati. Namun dengan sebuah sentakan lembut
tapi disertai aliran tenaga dalam tingkat tinggi, Suropati berhasil mematahkan
keinginan Gajah
Angon. "Lepaskan dia, Suro!" bentak Nyai Catur Asta tiba-tiba.
Pengemis Binal yang telah berhasil meneli-
kung lengan Gajah Angon menatap heran.
"Lepaskan dia!" bentak Nyai Catur Asta la-gi.
Melihat kesungguhan ratu Kerajaan Silu-
man itu, akhirnya Pengemis Binal melepas kedua
pergelangan tangan Gajah Angon. Dan begitu be-
bas, Gajah Angon langsung menggembor keras
seraya melancarkan pukulan jarak jauh!
Wusss...! 5 Secepat kilat Pengemis Binal mengibaskan
telapak tangan kanannya yang telah dialiri selu-
ruh kekuatan tenaga dalam. Maksudnya untuk
membelokkan dua larik sinar jingga wujud puku-
lan jarak jauh Gajah Angon. Tapi...
Blarrr...! "Oughhh...!"
Timbul ledakan cukup keras manakala dua
larik sinar jingga terbentur gelombang angin ciptaan Pengemis Binal. Namun
karena kalah kedu-
dukan dan gelombang angin itu datangnya sedikit
terlambat, dua larik sinar jingga terus melesat walau telah agak melenceng
arahnya. Nyai Catur
Asta yang tak mau membela diri merelakan bahu
kirinya menjadi sasaran. Akibatnya, sebagian
kain baju Nyai Catur Asta terbakar jadi abu. Dan, kulitnya yang halus mulus
berubah biru menghitam. "Uh...!"
Nyai Catur Asta mengeluh kesakitan. Ber-
diri terhuyung-huyung sambil mendekap bahu ki-
rinya yang terasa panas luar biasa. Untung keku-
atan pukulan jarak jauh Gajah Angon sudah ber-
kurang banyak akibat berbenturan dengan ge-
lombang angin ciptaan Pengemis Binal. Sehingga
tulang bahu Nyai Catur Asta tetap utuh dan tidak sampai mengguncangkan isi
dadanya. Sebenarnya Nyai Catur Asta memiliki ilmu
aji 'Pengusir Bebaya'. Bila ajian itu dikeluarkan,
sekujur tubuh Nyai Catur Asta akan diselubungi
cahaya merah. Pukulan jarak jauh macam apa
pun bila menerpa cahaya merah itu akan terhisap
lenyap. Sengaja Nyai Catur Asta tidak mengguna-
kan ajian itu karena rela menerima pukulan jarak jauh Gajah, Angon untuk menebus
kesalahannya. "Nyai...!" pekik Pengemis Binal seraya meloncat mendekati Nyai Catur Asta.
"Diam di tempatmu, Suro!" Mendadak, Nyai Catur Asta membentak marah. Salah satu
tangannya mengibas. Pelan saja, tapi sudah mampu
membuat tubuh Pengemis Binal terpental.
"Gajah Angon!" sebut Nyai Catur Asta tanpa memperhatikan Pengemis Binal yang
meringis kesakitan karena pantatnya membentur tanah
keras. "Bila kau ingin membalas kematian Garang Wanara, lakukan sekarang juga.
Aku tak akan membela diri. Aku memang salah, dan patut
mendapat hukuman darimu."
Wajah Gajah Angon masih terlihat mene-
gang garang. Hembusan napasnya memburu. Bo-
la matanya tetap berkilat tajam.
"Pak Tua!" seru Pengemis Binal. "Jangan berbuat gegabah! Semua orang akan
mengutuk-mu bila kau membunuh orang yang tidak mela-
wan!" Gajah Angon mendengus. Ucapan Penge-
mis Binal sama sekali tak diperhatikannya. Se-
mentara, urat-urat di kedua pergelangan tangan-
nya tampak bertonjolan. Gajah Angon telah
menghimpun seluruh kekuatan tenaga dalamnya!
"Nyai...!" seru Pengemis Binal, mengkhawa-
tirkan keadaan Nyai Catur Asta. "Kau sudah cukup menebus kesalahanmu, Nyai. Kau
tidak bo- leh bersikap seperti itu! Bila kau mati, siapa yang akan membantuku melepas roh
Barata Sukma dari tubuh Prahesti?"
Nyai Catur Asta juga tak memperhatikan
ucapan Pengemis Binal. Matanya terpejam rapat,
tampak pasrah untuk menyambut malaikat ke-
matian! Pengemis Binal bingung menyaksikan ade-
gan yang sangat mendebarkan itu. Gajah Angon
terus menatap Nyai Catur Asta penuh kebencian.
Sementara, Nyai Catur Asta semakin terlihat pa-
srah. "Pak Tua!" seru Pengemis Binal, keras sekali. "Bila kau bunuh Nyai Catur
Asta, kau akan menyesal seumur hidup!"
Seperti orang gila, Pengemis Binal lalu me-
loncat ke depan Nyai Catur Asta. Kedua tangan-
nya disilangkan di depan dada. Siap melindungi
Nyai Catur Asta.
"Minggir kau, Suro!" usir Nyai Catur Asta tanpa membuka kelopak mata. "Kau tak
perlu mencampuri urusan ini!"
"Tidak, Nyai!" tolak Pengemis Binal. "Kau sudah cukup menerima hukuman atas
kesalahanmu. Aku tahu batinmu tersiksa, Nyai. Tapi,
kau tidak boleh bersikap seperti ini!"
Mendadak, Gajah Angon berdiri limbung.
"Maaf kan aku, Kakang Wanara. Maafkan aku...,"
desahnya dengan mata berkaca-kaca. Ditatapnya
sebentar wajah polos Suropati, lalu berkelebat
meninggalkan tempat.
"Pak Tua...!" panggil Suropati.
Gajah Angon tak memperhatikan. Malah
mempercepat kelebatan tubuhnya, lalu menghi-
lang di balik batang-batang pohon.
"Kasihan sekali kau, Pak Tua...," ujar Suropati. Teringat pada Nyai Catur Asta,
remaja tampan ini bergegas membalikkan badan. Wajah
Nyai Catur Asta jelas menyiratkan kesedihan. Dia mendesah panjang beberapa kali.
"Bagaimana lukamu, Nyai?" tanya Penge-
mis Binal, khawatir.
"Tak apa-apa, Suro," jawab Nyai Catur As-ta.
Suropati memperhatikan kulit bahu kiri
Nyai Catur Asta yang biru menghitam. Sekilas sa-
ja Suropati tahu bila luka akibat pukulan jarak jauh Gajah Angon itu hanya luka
luar yang tidak
begitu berbahaya. Namun, Suropati segera ingat
akan luka dalam Nyai Catur Asta yang didapat
dari Prahesti. "Bagaimana dengan luka dalammu, Nyai?"
tanya Suropati, ketolol-tololan.
"Kau tak perlu mengkhawatirkanku, Suro.
Putri Racun telah menolongku."
"Putri Racun?"
Pengemis Binal segera ingat seorang gadis
cantik berilmu tinggi yang sangat ahli dalam bi-
dang racun. Dia bernama Kusuma, tapi lebih di-
kenal sebagai Putri Racun. Usia Putri Racun se-
benarnya lebih dari seratus tahun, namun tubuh
dan wajahnya mirip gadis dua puluh tahunan.
Dia pernah tinggal di Kerajaan Siluman selama
satu abad. Hal itulah yang membuatnya awet
muda. Di Kerajaan Siluman, dia tidak ikut dalam
putaran waktu. Tapi, kenapa Nyai Catur Asta
mengatakan bila dirinya telah ditolong gadis itu"
Apakah Putri Racun telah diminta Nyai Catur As-
ta untuk kembali ke Kerajaan Siluman" Lalu, ba-
gaimana dengan rencana pernikahan Putri Racun
dengan Saka Purdianta atau si Dewa Guntur"
"Kau heran, Suro?" tanya Nyai Catur Asta yang melihat Pengemis Binal terlongong
bengong. "Apakah Nyai meminta Putri Racun kemba-
li ke Kerajaan Siluman?" Suropati balik bertanya.
"Tidak. Aku mendatanginya."
"Di Katumenggungan Lemah Abang?" Su-
ropati menyebut sebuah katumenggungan di wi-
layah Kerajaan Pasir Luhur. Di sanalah kekasih
Putri Racun, Saka Purdianta, tinggal dan me-
mangku jabatan sebagai tumenggung mengganti-
kan ayahnya yang mati dibunuh Karma Salodra.
(Baca serial Pengemis Binal dalam episode: "Pemberontakan Subandira").
"Ya. Dan kedatanganku ini sebenarnya un-
tuk menyampaikan surat gadis itu, Suro."
"Surat" Surat apa" Ditujukan kepada sia-
pa?" Salah satu tangan Nyai Catur Asta mengambil sampul merah jambu dari balik
pakaian- nya, lalu diserahkannya kepada Pengemis Binal.
Suropati sahabatku,
Adalah satu kehormatan besar bagiku dan
bagi Saka Purdianta bila kau bersedia datang pa-da pesta pernikahan kami. Kami
yang berbahagia akan duduk di pelaminan pada hari kesepuluh
purnama ketujuh.
Kusuma/Putri Racun
Surat undangan itu dibuat dengan sula-
man benang emas. Tulisannya bagus sekali, terte-
ra pada sehelai kain sutera biru laut yang pinggi-rannya dihiasi renda-renda
dari benang emas pu-
la. Usai membaca, Pengemis Binal memasukkan-
nya lagi ke sampul merah jambu, terbuat dari
kertas tebal namun halus dan lemas.
"Putri Racun dan Saka Purdianta sangat
mengharapkan kedatanganmu, Suro," beri tahu Nyai Catur Asta.
"Kalau tidak ada halangan, aku pasti da-
tang, Nyai," sambut Pengemis Binal. "Tapi bagaimana dengan Prahesti?"
"Kedatanganku ini juga untuk membicara-
kan itu." Nyai Catur Asta lalu mengatakan renca-nanya untuk melepas roh Barata
Sukma yang bersemayam dalam tubuh Prahesti. Gelap telah
menyelimuti manakala ratu Kerajaan Siluman ini
menutup bicaranya.
"Aku akan menjalankan rencana Nyai den-
gan sebaik-baiknya," ujar Pengemis Binal kemudian. Nyai Catur Asta tersenyum.
Terdengar gemerincing lonceng kereta kuda
yang saling sahut dengan suara dengungan. Pen-
gemis Binal merangkapkan kedua telapak tan-
gannya di depan dada.
"Selamat jalan, Nyai...."
"Terima kasih, Suro...."
Seberkas cahaya merah melesat dari ang-
kasa, tepat menerpa tubuh Nyai Catur Asta. Di
lain kejap, sosok Nyai Catur Asta telah menghi-
lang dari pandangan.
* * * Suropati menarik napas panjang beberapa
kali. Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, remaja tampan ini mengarahkan
pandangan ke atas. Langit telah kelam yang terbawa malam ba-
gai selembar layar hitam terbentang luas tiada
bertepi. Titik-titik bintang menebar di antara wajah bulat sang candra, memberi
cahaya temaram ke permukaan bumi.
"Hmmm.... Aku tetap akan ke Kota Kadipa-
ten Bumiraksa," gumam Pengemis Binal. "Cukup lama aku meninggalkan Kuil Saloka.
Teman-teman di sana tentu merindukan kedatanganku.
Mereka bisa membantuku untuk mencari kete-
rangan tentang Prahesti."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas
Suropati menjejak tanah. Tubuhnya berkelebat
cepat menyatu dengan hembusan angin. Namun
belum seberapa jauh jarak yang dia tempuh, tiba-
tiba.... Set...!
"Eit..!"
Sebuah benda panjang berwarna putih
berkilat melesat dari depan. Suropati yang jeli dapat memastikan bila benda yang
dilempar dengan
pengerahan tenaga dalam itu tak lain dari seba-
tang pedang. Cepat Suropati miringkan tubuhnya.
Lalu, tangan kanan remaja tampan ini bergerak
cepat. Tep...! Pengemis Binal berhasil menangkap benda
panjang yang sengaja dilemparkan ke arahnya.
Ternyata, benda itu memang sebatang pedang.
Dengan kening berkerut rapat, Pengemis
Binal memperhatikan pedang yang hulunya ter-
cekal di tangan kanannya. Bilah pedang itu tidak dihunus. Dilemparkan lengkap
dengan sarungnya
yang berwarna putih berukir dua ekor naga.
"Pelempar pedang ini tidak bermaksud


Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhku. Sepertinya dia sengaja melempar-
kan pedangnya agar dapat kutangkap," duga Pengemis Binal. "Tapi, siapa dia dan
apa maksudnya?" Selagi Suropati bertanya-tanya seorang di-ri, mendadak terdengar
sebuah suara menyebut
namanya. "Suropati...."
Mendengar suara yang mirip rintihan orang
sakit, Pengemis Binal tahu bila itu adalah ucapan Datuk Risanwari. Bergegas
Pengemis Binal mengedarkan pandangan, tapi hanya batang-batang
pohon yang dapat dia lihat. Agaknya Datuk Ri-
sanwari berbicara dengan ilmu mengirim suara
dari jarak jauh.
"Suropati...," sebut suara itu lagi.
"Ya, Datuk," sahut Pengemis Binal.
"Pedang yang kau bawa itu kurampas dari
tangan Prahesti. Pedang itu menyimpan kekuatan
gaib yang bersumber dari sumpah seseorang. Aku
menduga Prahestilah yang mengangkat sumpah
itu." Suropati menatap lebih seksama pedang putih di tangannya. Tapi, remaja
tampan ini tidak melihat kelebihan apa-apa di balik keindahannya.
"Dengan membuka mata batin, kau akan
dapat merasakan getaran-getaran gaib di bilah
pedang itu," beri tahu suara Datuk Risanwari, seakan dapat membaca pikiran
Pengemis Binal.
"Datuk memberikan pedang ini kepadaku?"
tanya Suropati.
"Pedang itu bukan milikku. Jadi, aku tak
berhak memberikannya kepadamu. Untuk semen-
tara, bawalah. Mungkin suatu saat nanti kau
membutuhkannya. "
"Ya, Datuk."
Pengemis Binal menunggu kelanjutan pe-
san yang disampaikan Datuk Risanwari. Tapi
hingga tiga tarikan napas, dia tak mendengar su-
ara apa-apa lagi, kecuali desau angin dan tekur
burung hantu. "Datuk Risanwari telah pergi," duga Pengemis Binal.
Remaja yang menyelipkan sebatang tong-
kat butut di ikat pinggangnya ini menimang-
nimang pedang berukir dua ekor naga sebentar.
Dia ingat kata-kata Gede Panjalu bahwa setiap
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti di-
larang menggunakan senjata tajam. Untuk mem-
bela diri dan membela kaum lemah, cukuplah
dengan bersenjata tongkat. Tapi mengingat pesan
Datuk Risanwari yang tak lain ayah kandung
Gede Panjalu sendiri, Suropati memutuskan un-
tuk membawa pedang yang sarungnya berukir
dua ekor naga itu. Pedang Naga Kembar, nama
pedang itu. Sebenarnya Pedang Naga Kembar mi-
lik Garang Wanara, kakak seperguruan Gajah
Angon. Sebelum meninggal, Garang Wanara me-
wariskan pedang itu kepada Prahesti. Sementara,
Garang Wanara sendiri memperolehnya dari Dar-
ma Sagotra, gurunya.
Beberapa saat sebelum Nyai Catur Asta da-
tang ke puncak Bukit Palastra, Prahesti memang
mengangkat sumpah. Kalau dia menggunakan
pedang warisan itu untuk maksud-maksud tak
baik atau hanya untuk kepentingan diri pribadi,
dia rela mati tertembus pedang itu sendiri. (Baca dalam episode: "Penyesalan
Ratu Siluman").
6 Semalam penuh bocah perempuan lima be-
las tahunan ini bersemadi di tepi aliran sungai
dekat Kota Kadipaten Bumiraksa. Walau matanya
terpejam, tapi wajahnya jelas menggambarkan
kebengisan. Menegang garang, bagai banteng
aduan. Pakaiannya yang berwarna putih bergaris
coklat tampak berkibar-kibar diterpa hembusan
angin. Udara yang keluar dari lubang hidungnya
menjadi uap tipis, pertanda hawa yang kelewat
dingin. Namun, bocah yang tidak lain dari Prahes-ti ini tetap duduk di tempatnya
tanpa sedikit pun terusik oleh binatang malam maupun hawa dingin yang menusuk
tulang. Manakala semburat cahaya mentari me-
nyapa dari garis cakrawala timur, tubuh Prahesti terlihat bergetar. Hembusan
napasnya yang semula lembut teratur berubah mendengus-dengus,
seperti tengah menahan kemarahan. Sementara
hawa dingin berganti kesejukan pagi hari, kerin-
gat panas malah bertetesaan dari tubuh Prahesti.
Berhias butir-butir peluh, wajah bocah perem-
puan ini terlihat makin menegang garang. Kelo-
pak matanya masih tertutup rapat. Tapi, rahang-
nya menggembung hingga berbentuk balok perse-
gi empat. Barisan giginya bertautan, menimbul-
kan suara gemeletuk keras.
"Haram jadah! Catur Asta keparat!"
Mendadak, Prahesti menutup semadinya
dengan kata-kata umpatan. Bola matanya melo-
tot, membersitkan sinar kemarahan meluap-luap.
Tangannya terkepal dengan urat-urat menggem-
bung. "Hmmm.... Punya otak juga kau rupanya Ratu Pecundang Catur Asta!" geram
Prahesti. "Kau bentengi Kerajaan Siluman-mu dengan kekuatan gaib, hingga aku tak dapat
masuk. Tapi..., jangan terlalu gembira dulu. Akan kujebol kekuatan gaibmu walau
terpaksa aku menghancurkan
Istana Siluman!"
Prahesti menarik napas panjang tiga kali.
Sejenak diusirnya hawa amarah yang menyesak-
kan dadanya. Lalu, dia pentangkan kedua tan-
gannya lebar-lebar. Perlahan-lahan dinaikkan, la-lu bertemu di atas kepala.
Suara mendesis tim-
bul. Kedua telapak tangannya yang melekat erat
mengepulkan asap. Kemudian, dia turunkan ke-
dua telapak tangannya di depan dada. Prahesti
hendak mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang
terhebat! Tapi....
"Prahesti...!"
Sebuah suara memekik nyaring, membelah
halimun pagi. Seorang laki-laki berjubah hitam
muncul dari timur aliran sungai. Dia Gajah An-
gon! "Prahesti...!"
Gajah Angon memekik lebih keras. Keha-
ruan dan kerinduan merebak di hatinya. Lelaki
bertubuh tinggi kurus ini lupa bila Prahesti telah berubah jadi makhluk jahat
yang amat berbahaya. Rupanya rasa duka yang dalam telah
mengguncangkan jiwa Gajah Angon. Otaknya tak
mampu berpikir jernih lagi
Karena Prahesti tak juga menjawab panggi-
lannya, Gajah Angon berjalan mendekat sambil
menyebut-nyebut nama muridnya itu.
"Prahesti.... Prahesti...."
Ditatapnya wajah Prahesti tanpa berkedip.
Lalu, dibelainya rambut-rambut bocah perem-
puan itu penuh kasih.
"Prahesti..., ini Eyang Gajah Angon...."
Belaian tangan Gajah Angon tentu saja
mengganggu semadi Prahesti. Perlahan kelopak
mata Prahesti terbuka. Tahu ada orang di hada-
pannya, bahkan menyentuh anggota tubuhnya,
Prahesti terkesiap. Tanpa sadar dia meloncat
menjauhi. "Prahesti...!" seru Gajah Angon. "Ini Eyang Gajah Angon. Kita kembali ke Bukit
Palastra sekarang!"
Dari balik halimun yang samar-samar mu-
lai membubung, Prahesti menatap dengan pan-
dangan nanar. "Tua bangka keparat! Pergi kau!
Jangan ganggu semadiku!" hardiknya keras
menggelegar, memecah keheningan pagi.
"Prahesti! Aku gurumu! Aku Eyang Gajah
Angon!" seru Gajah Angon, menyimpan keterkejutan. "Kembalilah ke Bukit Palastra
bersamaku!' "Kembali ke Bukit Palastra" Hi hi hi...!"
Prahesti tertawa mengikik. "Kau telah mengganggu semadiku. Pergilah ke Bukit
Palastra seorang
diri!" Prahesti mendengus gusar. Kaki kanannya menggedruk tanah. Timbul suara
berdebum dahsyat. Bumi berguncang keras. Gajah Angon men-
jerit kaget karena merasakan tubuhnya terangkat
lalu melayang jauh!
Bruk...! "Akhhh...."
Gajah Angon jatuh telentang di tanah. Ma-
tanya mendelik kaget. Sadarlah lelaki berjubah
hitam ini bila Prahesti bukan seorang bocah lugu yang pernah menjadi muridnya.
Namun, kesadaran yang timbul dalam diri Gajah Angon terlam-
bat karena Prahesti bermaksud membunuhnya!
Belum sempat Gajah Angon bangkit berdi-
ri, Prahesti telah mengirim pukulan jarak jauh.
Dua larik sinar kuning menggidikkan melesat dari telapak tangan Prahesti!
Wusss...! Blarrrr...! Keheningan pagi terpecah oleh ledakan ke-
ras menggelegar. Bola mata Prahesti melotot be-
sar. Bahunya terlihat naik turun terbawa hem-
busan napasnya yang memburu. Darahnya
menggelegak naik sampai ke ubun-ubun. Pukulan
jarak jauhnya dipapaki dua larik sinar putih berkeredepan. Gajah Angon selamat!
"Wujudnya hanya bocah perempuan yang
tampak masih butuh belaian kasih sayang orang
tua..., tapi perbuatanmu sejajar dengan kekeja-
man iblis!" ujar seorang pemuda berpakaian penuh tambalan yang berdiri di
hadapan Gajah An-
gon. Pemuda kurus yang menyelipkan tongkat
berkepala naga di ikat pinggangnya inilah yang telah memapaki pukulan jarak jauh
Prahesti. "Jahanam!" umpat Prahesti. Bocah perempuan ini hendak berkata lebih banyak, tapi
sua- ranya tercekat di tenggorokan. Jalan napasnya terasa buntu akibat desakan amarah
yang meluap- luap. "Aku tidak bisa membiarkan sebuah kekejaman berlangsung di depan mataku!"
tambah pemuda kurus yang tak lain dari Wirogundi alias
Pendekar Patah Hati.
Gajah Angon menatap Prahesti dan Wiro-
gundi bergantian. Kesadaran lelaki berjubah hi-
tam ini sudah kembali penuh. Dia bersyukur ada
orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Na-
mun ketika melihat Wirogundi memasang kuda-
kuda untuk mengawali pertempuran, cepat Gajah
Angon menegur. "Jangan bunuh dia!"
Wirogundi menoleh.
"Dia muridku!" tambah Gajah Angon.
"Muridmu" Kenapa dia bermaksud mem-
bunuhmu?" Wirogundi heran.
"Ada roh jahat yang menyusup ke tubuh-
nya." Mendengar keterangan singkat itu, Wirogundi jadi paham. Dia alihkan
pandangan. Pra-
hesti tampak menghunus Pedang Burung Hong
yang terselip di punggungnya. Sejenak Wirogundi
dibuat terkagum-kagum. Seumur hidup baru kali
ini dia melihat pedang seindah itu. Ukiran pada
bilah Pedang Burung Hong yang bengkok meman-
carkan sinar gemerlapan ketika sinar mentari
menerpanya. Namun, kekaguman Wirogundi kon-
tan lenyap karena mengeluarkan tawa panjang
mengikik dengan sorot mata menyiratkan keben-
cian. "Hi hi hi...! Kulihat kau menyelipkan tongkat di pinggangmu. Cabutlah
segera, Monyet Bu-
duk! Hendak kulihat seberapa jauh kemampuan-
mu menahan gempuran Pedang Burung Hong!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti meluruk. Ti-
ba-tiba, bilah Pedang Burung Hong memancarkan
sinar kebiruan. Cepat Wirogundi meloloskan
tongkat berkepala naganya. Begitu Pedang Bu-
rung Hong membabat, dia buang tubuhnya ke ki-
ri. Lalu dengan menggunakan jurus Tongkat Me-
mukul Anjing', dia mengirim serangan bertubi-
tubi. "Jangan bunuh dia! Dia muridku!" teriak Gajah Angon memperingatkan.
Gajah Angon bingung, tak tahu apa yang
harus diperbuatnya. Membantu Wirogundi untuk
segera dapat melumpuhkan Prahesti, jelas dia tak mau melakukannya. Gajah Angon
tak ingin melihat Prahesti terluka. Sedang kalau membantu
Prahesti, hanya orang gila yang mau melakukan-
nya. Prahesti telah menjadi makhluk keji yang
haus darah, untuk apa dibela"
Mata Gajah Angon terbelalak lebar. Per-
tempuran yang berlangsung di hadapannya terli-
hat sangat seru. Tubuh Prahesti dan Wirogundi
berubah menjadi bayangan yang berkelebatan
saling mengirim serangan. Dan, beberapa kali
timbul ledakan keras di udara manakala bila Pe-
dang Burung Hong mengeluarkan sinar kebiruan
yang menyambar-nyambar ke berbagai penjuru.
Lewat sepuluh jurus kemudian, Wirogundi
tampak terdesak. Jelas Prahesti berada di atas
angin karena dia bertempur dengan penuh ke-
sungguhan untuk segera dapat merobohkan la-
wan sekaligus membunuhnya. Sementara, Wiro-
gundi hanya bermaksud melumpuhkan tanpa
mau melukai apalagi menjatuhkan tangan maut.
Lain itu Pedang Burung Hong di tangan Prahesti
pun benar-benar membuat Wirogundi kewalahan.
Sinar kebiruan yang memancar dari bilah Pedang
Burung Hong menebarkan hawa panas. Hingga,
cepat sekali Wirogundi bermandi peluh. Dan, ten-
tu saja hal ini membuat Wirogundi cepat kelela-
han. Saat Pedang Burung Hong berkelebat hen-
dak membabat pinggang, cepat Wirogundi melen-


Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingkan tubuhnya. Selagi melayang di udara, Wi-
rogundi bersalto dua kali. Lalu, secepat kilat
tongkatnya meluncur, hendak menotok jalan da-
rah di pangkal lengan Prahesti. Maksud Wirogun-
di adalah untuk menjatuhkan Pedang Burung
Hong yang tercekal di tangan kanan Prahesti. Ta-
pi.... "Hiah...!"
Bet...! Prahesti tak mau menghindar. Ketika
ujung tongkat Wirogundi hampir mengenai sasa-
ran, bilah Pedang Burung Hong membabat. Satu
babatan yang dikirim Prahesti mengandung dua
serangan beruntun. Pertama, menebas putus
tongkat Wirogundi. Dan kalau Wirogundi menarik
tongkatnya, bilah Pedang Burung Hong akan te-
rus meluncur. Bagian yang bengkok digunakan
untuk menggaet leher Wirogundi!
Namun, agaknya Wirogundi telah memper-
hitungkan serangan yang dilakukan Prahesti itu.
Pemuda ini sadar bila tongkatnya tak dapat
melawan ketajaman Pedang Burung Hong. Bila
sampai terjadi benturan, maka tongkatnya akan
terbabat kutung. Tapi tongkat Wirogundi masih
punya satu keunggulan, yakni lebih panjang. Wi-
rogundi hendak menggunakan satu-satunya
keunggulan tongkat itu dengan perhitungan ma-
tang. Saat bilah Pedang Burung Hong berkelebat, Wirogundi menyalurkan seluruh
kekuatan tenaga
dalamnya ke batang tongkat. Tongkat berkepala
naga tak ditariknya. Menurut perhitungan pemu-
da kurus ini, batang tongkatnya boleh terbabat
putus, tapi ujungnya akan lebih dulu menotok
pangkal lengan kanan Prahesti. Dan hasilnya....
Tuk...! Tes...! Ujung tongkat Wirogundi memang berhasil
menotok jalan darah Prahesti. Namun, dia pun
mesti merelakan senjata andalannya terbabat pu-
tus menjadi dua bagian.
"Ih...!"
Terkejut tiada terkira Wirogundi. Totokan
tongkatnya tepat mengenai sasaran, tapi bagai-
mana mungkin pedang di tangan kanan Prahesti
tidak terlepas dari cekalan" Mungkinkah bocah
perempuan itu kebal totokan"
Dalam waktu kurang dari satu kejapan ma-
ta, tak dapat Wirogundi berpikir panjang. Bilah
Pedang Burung Hong yang bengkok berkelebat
amat cepat untuk segera mengait lehernya hingga
putus! "Hiah...!"
Bet...! "Argh...!"
Dalam keterkejutannya, Wirogundi masih
sempat merundukkan tubuh. Tapi, gerakannya
sedikit kurang cepat. Sehingga ketajaman Pedang
Burung Hong sempat menyambar bahu kanan-
nya. Cairan darah segar memercik ke tanah di-
iringi jerit kesakitan Wirogundi.
"Kau... kau terluka, Anak Muda...," desis Gajah Angon seraya meloncat mendekati.
Wirogundi menatap Gajah Angon sekilas.
Luka di bahu kanannya terasa panas dan pedih.
Kain bajunya yang semula bersih walau penuh
tambalan, kini penuh noda darah.
"Benarkah dia muridmu, Pak Tua?" tanya Wirogundi sedikit menggeram.
"Ya. Ya, dia muridku. Jangan kau bunuh
dia...." "Kulihat dia sangat beringas dan kejam, Pak Tua! Bagaimana aku dapat
mempertahankan diri tanpa membunuhnya?"
"Tidak! Kau tidak boleh membunuhnya!"
Mendengar kata-kata tegas Gajah Angon,
Wirogundi mengerutkan kening. Sebenarnya bisa
saja Gajah Angon lepas tangan untuk tak men-
campuri urusan Gajah Angon dan Prahesti. Tapi,
entah kenapa hatinya terpanggil untuk berbuat
sesuatu guna memecahkan masalah guru dan
murid itu. "Hi hi hi..!" Prahesti tertawa mengikik melihat Wirogundi dan Gajah Angon saling
pandang. "Majulah kalian berdua! Akan kugunakan darah kalian untuk tumbal menggulingkan
takhta Kerajaan Siluman! Hi hi hi..!"
Sewaktu Wirogundi dan Gajah Angon di-
landa kebingungan, lamat-lamat terdengar geme-
rincing lonceng yang saling sahut dengan suara
dengungan. Semakin lama, terdengar makin ke-
ras. Prahesti mendengus gusar. Dengan menyi-
langkan Pedang Burung Hong di depan dada, dia
mengedarkan pandangan. Bocah setengah silu-
man ini tahu benar bila suara aneh yang diden-
garnya adalah isyarat kedatangan Nyai Catur As-
ta. Namun, hingga beberapa lama sosok Nyai
Catur Asta tak juga tampak. Sementara, suara
aneh itu terdengar terus. Semakin lama, terasa
memekakkan gendang telinga. Bahkan, mampu
membuat jantung terasa bagai diremas-remas!
"Haram jadah! Segera tampakkan dirimu,
Ratu Pecundang Catur Asta!" hardik Prahesti, terus mengedarkan pandangan dalam
kewaspadaan penuh. "Suara apa ini, Pak Tua?" tanya Wirogundi, tak mengerti.
"Nyai Catur Asta akan datang ke tempat
ini," jawab Gajah Angon dengan wajah tegang. Lelaki berjubah hitam ini teringat
kejadian sema- lam. Dia telah melukai Nyai Catur Asta. Bagaima-
na kalau sekarang ratu Kerajaan Siluman itu in-
gin membalasnya"
"Nyai Catur Asta...," desis Wirogundi, berkata kepada dirinya sendiri. Pemuda
berwajah muram ini tahu siapa Nyai Catur Asta. Dia per-
nah diberi tahu Suropati perihal wanita bertangan empat itu.
Wirogundi berharap Nyai Catur Asta agar
segera muncul. Dia ingin mengetahui kebenaran
cerita Suropati. Benarkah Nyai Catur Asta memi-
liki wajah cantik jelita walau bertangan empat"
"Keparat kau, Catur Asta!" umpat Prahesti yang semakin digeluti rasa penasaran
karena Nyai Catur Asta tak juga menampakkan diri.
"Tampakkan dirimu! Dan, hadapilah aku
untuk menentukan siapa yang lebih berhak men-
duduki takhta Kerajaan Siluman!" teriak Prahesti, keras menggelegar. Hingga
beberapa lama suaranya membahana di angkasa.
Sosok Nyai Catur Asta tetap tak tampak.
Sementara, gemerincing lonceng kereta kuda yang
saling sahut dengan suara dengungan terus ter-
dengar. "Hmmm.... Agaknya kau ingin aku menge-
luarkan ilmu kesaktian. Baiklah kalau itu yang
kau mau!" dengus Prahesti.
Namun sebelum Prahesti berbuat sesuatu,
mendadak berkelebat sesosok bayangan seraya
berteriak, "Kuntilanak bunting! Sungguh suatu keberuntungan aku menjumpaimu di
tempat ini...!" Kontan Prahesti menggeram penuh kemarahan saat tahu siapa yang hadir di
hadapannya. "Pemuda gendeng!" dengusnya, "Suatu keberuntungan pula kau datang ke tempat ini.
Aku tahu kau lelaki piaraan Catur Asta. Ada baiknya kau
kubunuh lebih dulu sebelum aku berhitungan
dengan ratu pecundang itu!"
Remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan yang disebut Prahesti sebagai 'pemuda
gendeng' tampak garuk-garuk kepala. Remaja
tampan yang tak lain dari si Pengemis Binal Su-
ropati ini lalu tertawa terkekeh sambil nyengir
kuda, "He he he.... Bodoh sekali kau, Bocah Geblek! Kau keliru bila mengatakan
aku lelaki pia-
raan Nyai Catur Asta! Yang benar, aku orang ke-
percayaan Nyai Catur Asta yang diutus untuk
memotes hidungmu atau menanggalkan kuping
mu! He he he...!"
"Keparat!" geram Prahesti seraya menghunus lagi Pedang Burung Hong.
"Hati-hati, Suro!" seru Wirogundi dari kejauhan.
Pengemis Binal membalikkan badan den-
gan sikap dibuat-buat. Dia bukan tidak tahu bila Prahesti telah siap
menyerangnya, tapi dia sengaja memancing terus kemarahan Prahesti. Dia ta-
hu benar bila orang yang dikuasai hawa amarah,
jika bertempur kewaspadaannya akan berkurang.
Dengan pantat digoyang-goyangkan, Pen-
gemis Binal menatap Wirogundi yang berdiri ber-
dampingan dengan Gajah Angon. Melihat luka di
bahu Wirogundi, Pengemis Binal kaget. Tapi ka-
rena Pengemis Binal pernah belajar ilmu pengoba-
tan, yang tentu saja juga belajar mengenali jenis-jenis luka, dia segera tahu
bila luka Wirogundi tidak berbahaya.
"Balut lukamu itu, Wno...," ujar Suropati.
"Jangan sampai ada lalat mengerumuninya. Apalagi kulihat ada ratu lalat di
belakangku!"
Pengemis Binal mengalihkan pandangan.
Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia
berkata, "Rupanya kau berada di tempat ini, Pak Tua. Tapi, kulihat air mukamu
amat keruh. Kau
boleh sedih, namun jangan biarkan mulutmu
ternganga. Kalau ratu lalat masuk, dia bisa ken-
tut di dalam perutmu!"
Prahesti yang dikatakan Suropati sebagai
'ratu lalat' tak mampu lagi menahan amarah. Dis-
ertai suara pekik nyaring dari mulutnya, dia me-
nerjang. Bilah Pedang Burung Hong berkelebat
hendak memenggal leher Pengemis Binal!
"Heaaa...!"
Bettt...! Dari pendengarannya yang tajam, Suropati
tahu ada bahaya mengancam jiwanya. Namun
sambil menggoyangkan pantat, dia merunduk.
Saat bilah Pedang Burung Hong lewat di atas ke-
pala, secepat kilat dia cabut tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya.
Lalu dengan tetap
merunduk, Suropati menusukkan tongkat itu le-
wat selangkangannya. Yang diincar adalah bagian
tengah tubuh Prahesti!
"Cilukba...!"
Wuttt...! Mata Prahesti melotot melihat serangan
Suropati yang konyol tapi cukup berbahaya. Ce-
pat Prahesti berkelit ke kanan. Dan, bagian tu-
buhnya yang 'terpenting' pun selamat dari tusu-
kan tongkat Pengemis Binal.
Namun..., mendadak Suropati meloncat
tinggi ke udara. Sambil bersalto, tongkatnya di-
hantamkan ke kepala Prahesti!
Cepat sekali kelebatan tongkat Pengemis
Binal. Mata Prahesti sampai tak dapat melihat-
nya. Tapi, dia masih dapat merasakan desir angin yang ditimbulkan kelebatan
tongkat itu. Cepat
Prahesti memapaki dengan sambaran Pedang Bu-
rung Hong! Tapi.... Bukkk..! "Argh...!"
Batang tongkat Pengemis Binal berhasil
menghajar punggung Prahesti. Rupanya remaja
konyol ini menyerang dengan menggunakan gerak
tipu 'Tongkat Menghajar Maling'. Ketika Pedang
Burung Hong menyambar hendak membabat pu-
tus batang tongkatnya, Pengemis Binal menekuk
siku kanannya, hingga batang tongkat terangkat.
Begitu sambaran Pedang Burung Hong lewat,
Pengemis Binal menjulurkan kaki kirinya untuk
menendang dada Prahesti. Dan sewaktu Prahesti
menghindar, tongkat Pengemis Binal bekerja lagi.
Tepat menghantam punggung lawan!
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh-kekeh melihat Prahesti yang jatuh
menggelosor ke tanah. "Ratu lalat kena gebuk! Ratu lalat kena gebuk!" teriaknya
sambil berjingkrak kegirangan.
Agaknya penyakit gendeng remaja konyol ini se-
dang kumat. Namun, keterkejutan segera menghantam
Suropati manakala Prahesti bangkit disertai suara menggembor keras. Tangan kiri
Prahesti tampak
mencekal sebuah arca emas sebesar anak kucing,
"Arca Budha...!" desis Pengemis Binal.
"Aku tak mau meladenimu terlalu lama.
Segera keluarkan ilmu andalanmu!"
Di ujung kalimatnya, Prahesti menempel-
kan bilah Pedang Burung Hong ke badan Arca
Budha. Sekejap mata kemudian, sekujur tubuh
Prahesti telah terselubungi cahaya kuning keema-
san yang memancar dari badan Arca Budha!
Sementara itu, gemerincing lonceng kereta
kuda yang saling sahut dengan suara dengungan
masih terdengar terus. Prahesti tahu bila Nyai Catur Asta berada di sekitarnya
dan tengah menga-
wasi semua gerak-geriknya. Walau tubuh Prahesti
telah dilindungi kekuatan gaib yang bersumber
dari Arca Budha, tapi dalam diri bocah setengah
siluman ini tetap tersimpan rasa khawatir. Pra-
hesti tidak tahu apa yang akan diperbuat Nyai
Catur Asta. Ketidak-tahuannya itulah yang mem-
buat Prahesti harus menjaga kewaspadaan pe-
nuh. Terbawa perasaan tak enak yang mengge-
luti hatinya, Prahesti mengumpat, "Catur Asta keparat! Segera tampakkan batang
hidungmu!

Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hadapi aku bersama lelaki piaraanmu itu!"
Sebenarnya bisa saja Prahesti mengelua-
rkan ilmu kesaktian yang bisa membuat matanya
dapat melihat sosok gaib Nyai Catur Asta. Tapi itu tidak dilakukannya, karena
dia khawatir Suropati akan menyerang selagi dia mengetrapkan il-munya, yang
tentu saja membutuhkan waktu un-
tuk memusatkan pikiran.
Pengemis Binal yang dibuat terkejut oleh
cahaya yang memancar dari badan Arca Budha
tampak menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Namun, dia tahu bila Prahesti tengah dilanda ke-
kalutan. Tak ayal lagi, sifat gendengnya semakin menjadi.
"He he he...," tawa kekeh Suropati, penuh ejekan. "Sudah kubilang, aku ini bukan
lelaki piaraan! Kenapa kau masih mengatakan itu"! Ru-
panya kau benar-benar geblek, Bocah Setan! Geb-
lek yang kelewat geblek!"
Setelah nyengir beberapa saat, Pengemis
Binal menengadahkan wajahnya. Sikapnya seperti
melihat sosok Nyai Catur Asta tengah melayang di angkasa. "Tetaplah di tempatmu,
Nyai! Jangan tampakkan dirimu! Kalau sudah tiba waktunya,
kau bisa menghajar pantat ratu lalat itu. Dan,
kubantu kau untuk menonjok bibirnya yang
memble!" "Jahanam!" geram Prahesti. Semakin panas hati bocah setengah siluman ini melihat
kekonyo-lan Pengemis Binal. Lalu dengan sinar mata ber-
kilat-kilat, dia sesumbar, "Tampaknya aku harus segera menguburmu hidup-hidup,
Pemuda Gendeng! Mulutmu yang kotor itu biar disumpal oleh
cacing tanah!"
Usai berkata, Prahesti menarik napas pan-
jang seraya menghimpun seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya. Cahaya kuning keemasan yang me-
nyelubungi tubuhnya terlihat memancar makin
kuat dan amat menyilaukan mata. Bocah seten-
gah siluman ini hendak mengeluarkan salah satu
ilmu kesaktian nya yang terdahsyat!
"Hati-hati, Suro!" teriak Wirogundi, men-
gingatkan Pengemis Binal. Luka di bahunya tam-
pak sudah dibalut dengan sobekan kain lengan
bajunya "Tak perlu khawatir, Wiro!" sahut Suropati.
"Tetaplah di tempatmu! Kalau ratu lalat itu sudah kubuat jatuh tengkurap, kau
boleh ikut menghajar pantatnya!"
Tiba-tiba, Prahesti menarik kaki kirinya ke
belakang. Bersamaan dengan itu, dia sorongkan
bilah Pedang Burung Hong ke depan. Lalu..., dari ujung pedang pusaka itu melesat
seberkas sinar kebiruan yang berbaur dengan sinar kuning kee-
masan yang berasal dari badan Arca Budha!
"Hiah...!"
Wesss...! Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh
ke kanan. Namun, pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ini terkesiap. Sinar panas
yang memancar dari ujung Pedang Burung Hong
terus memburunya!
"Uts...!"
Dengan berjumpalitan. Suropati berkelit.
Tapi sinar yang membawa hawa panas luar biasa
itu terus mengejarnya! Sementara, Prahesti tam-
pak menggerak-gerakkan tangan kanannya yang
memegang hulu Pedang Burung Hong. Ke mana
Suropati berkelit, ke situlah ujung Pedang Burung Hong diarahkan.
Maka, repotlah Suropati. Dengan mengan-
dalkan ilmu meringankan tubuh, dia berloncatan
ke segala penjuru angin. Sementara, sinar berha-
wa panas makin gencar memburu. Diserang se-
perti ini, daya tahan tubuh Suropati menjadi ce-
pat berkurang. Apalagi, dia sama sekali tak punya kesempatan untuk balas
menyerang. "Hi hi hi...!" Prahesti tertawa dingin mengikik. "Mulutmu yang bawel itu
sebentar lagi akan terbungkam. Makan 'Sinar Pemburu Jiwa' ini!"
Tangan kanan Prahesti yang memegang
hulu Pedang Burung Hong bergerak makin cepat.
Suropati pun harus mempercepat kelebatan tu-
buhnya. Dia meloncat ke sana sini sambil beru-
saha mendekati Prahesti guna melakukan seran-
gan balik. Tapi, agaknya Prahesti dapat membaca
pikiran remaja tampan itu. Setiap Suropati me-
loncat mendekat, dia memutar bilah Pedang Bu-
rung Hong. Dan, sinar berhawa panas yang dis-
ebutnya sebagai 'Sinar Pemburu Jiwa' makin me-
luas pancarannya. Sehingga Suropati terpaksa
harus meloncat menjauhi.
Wirogundi yang melihat pertempuran tak
seimbang itu jadi tegang. Matanya membelalak
tak berkedip. Dia hendak turun gelanggang untuk
membantu Suropati, tapi dia tak berani melaku-
kannya karena takut tindakannya malah akan
membuat Suropati marah. Sejak masih berumur
belasan tahun, Wirogundi telah tinggal bersama
Suropati sebagai gelandangan Kota Kadipaten
Bumiraksa. Jadi, Wirogundi tahu benar watak
dan tabiat Suropati. Selain ugal-ugalan, isi hati Suropati sangat sulit ditebak.
Bila punya urusan, jarang dan bahkan hampir tidak pernah dia menerima uluran
tangan orang lain, walau orang
yang menawarkan jasa baik itu sahabat dekatnya
sekalipun. Dengan menyimpan rasa waswas di hati,
Wirogundi terus mengikuti jalannya pertempuran
dengan pandangan mata. Sementara, Gajah An-
gon terdengar mendesah berulang kali. Air mu-
kanya tak pernah cerah. Bahkan, terlihat makin
keruh. "Lihat serangan!"
Wuttt...! Mendadak, Pengemis Binal melemparkan
tongkat bututnya. Karena dilemparkan dengan
tenaga dalam penuh, tongkat itu melesat sangat
cepat dan sulit diikuti pandangan mata. Tampak-
nya Prahesti pun tak punya waktu lagi untuk
menghindari lesatan batang tongkat yang menga-
rah ke ulu hatinya itu!
Blas...! Akan tetapi, hasilnya sungguh di luar du-
gaan. Batang tongkat Pengemis Binal hancur le-
bur menjadi abu tatkala membentur cahaya kun-
ing keemasan yang menyelubungi tubuh Prahesti!
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa mengikik penuh kemenangan. Pedang Burung Hong di
tan- gannya bergerak makin cepat.
Akibatnya, Suropati makin terjerat dalam
kesulitan. Dia masih mencoba untuk mengirim
pukulan jarak jauh, tapi 'Sinar Pemburu Jiwa' terus mengurungnya. Hingga,
Suropati tak punya
kesempatan sama sekali.
Sampai suatu ketika....
"Wuah...!"
Pengemis Binal memekik kesakitan. Ping-
gangnya terserempet 'Sinar Pemburu Jiwa'. Seba-
gian kain pakaiannya terbakar. Dan, hawa panas
menjalar dari pinggul kirinya.
Sambil terus berloncatan, Pengemis Binal
mengelus bagian tubuhnya yang terasa panas.
Dia alirkan hawa 'Pukulan Salju Merah' yang
mendatangkan rasa dingin.
Mendadak, Prahesti menggedrukkan kaki
kanannya. Terdengar suara ledakan keras. Bumi
terguncang sesaat. Tapi, itu sudah cukup untuk
melontarkan tubuh Pengemis Binal hingga jatuh
berguling-guling. Sementara, 'Sinar Pemburu Ji-
wa' terus mengejarnya.
Melihat bahaya maut yang mengancam ji-
wa sahabat karibnya, tentu saja Wirogundi tak
mau berpangku tangan.
"Iblis jahat!" seru Wirogundi seraya meng-hentakkan kedua telapak tangannya ke
depan. Wusss...! Dua larik sinar putih berkeredepan wujud
dari pukulan jarak jauh Wirogundi meluncur de-
ras ke arah Prahesti!
Blarrr...! Ledakan keras menggelegar ke angkasa ke-
tika dua larik sinar putih berkeredepan memben-
tur cahaya kuning keemasan yang menyelubungi
tubuh Prahesti. Hebatnya, dua larik sinar putih
itu melesat balik dengan kecepatan dua kali lipat!
Terkejut tiada terkira Wirogundi. Dia tadi
sudah merasa girang melihat Prahesti tak meng-
hindari pukulan jarak jauhnya. Tapi, sekarang"
Bukan saja Prahesti kebal, tapi juga mampu
membuat serangan balik tanpa menggerakkan
tubuh sedikit pun!
Dalam keterkejutannya, Wirogundi melon-
cat ke kiri. Namun, gerakannya kurang cepat. Sa-
tu larik sinar putih dapat dihindari. Tapi, yang sa-tu lagi tepat menerpa
dadanya! Blarrr...! "Argh...!"
Tubuh Wirogundi mencelat jauh bagai di-
lontarkan tangan raksasa, termakan pukulan ja-
rak jauhnya sendiri. Setelah bergulingan bebera-
pa lama, tubuh Wirogundi diam di tanah dalam
keadaan telentang. Dari kain bajunya yang telah
terbakar hangus, tampak dada Wirogundi yang
hitam gosong dan mengepulkan asap!
"Anak muda! Anak muda!"
Gajah Angon berseru dalam rasa khawatir.
Tanpa pikir panjang, lelaki berjubah hitam ini
memburu tubuh yang tergeletak lemah di tanah.
Sementara, Suropati yang juga tengah ter-
geletak di tanah menatap dengan sinar mata nya-
lang. Napasnya jadi sesak. Rasa khawatir berbaur dengan hawa amarah membuat
pikirannya kalut.
Saat Suropati meloncat bangkit, sebatang
pedang yang terikat di punggungnya jatuh. Na-
mun, remaja tampan ini tak menghiraukannya.
Secepat kilat dia himpun kekuatan tenaga dalam
untuk dialirkan ke kedua pergelangan tangannya.
Lalu, dia lancarkan 'Pukulan Salju Merah' yang
didapat dari Nyai Catur Asta!
Wusss...! Blarrr...! Sama seperti yang dialami Wirogundi. Dua
larik sinar merah yang keluar dari telapak tangan Suropati melesat balik saat
membentur cahaya
kuning keemasan yang menyelubungi tubuh Pra-
hesti! Wusss...!
Pengemis Binal yang bisa memetik pelaja-
ran dari apa yang dialami Wirogundi, berhasil
menghindar dari dua larik sinar merah wujud pu-
kulan jarak jauhnya sendiri.
"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa panjang me-nyeramkan. "Keluarkan seluruh
kesaktianmu, Pemuda Gendeng!"
Suropati mendengus gusar. Saat melihat
sebatang pedang yang tergeletak di tanah tak
jauh darinya, dia teringat kata-kata Datuk Risanwari di kaki Bukit Hantu.
Ketika itu, Datuk Risanwari mengatakan
bila pedang yang diberikan kepada Suropati men-
gandung tuah sumpah. Dan, Datuk Risanwari
menduga, Prahestilah yang mengangkat sumpah
itu. "Hmmm.... Jika aku menggunakan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'
ataupun ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma', aku khawatir
kedua ilmu itu akan mencelakakan diriku sendiri.
Kekuatan gaib Arca Budha memang tiada ta-
ranya...," kata hati Pengemis Binal. "Ada baiknya aku menggunakan pedang
pemberian Datuk Risanwari itu. Barangkali Prahesti termakan sum-
pahnya sendiri. "
Menuruti pikiran di benaknya, bergegas
Pengemis Binal menyambar pedang yang tergele-
tak di tanah. Langsung dihunusnya pedang ber-
sarung putih yang terdapat ukiran dua ekor naga
itu. "Pedang Naga Kembar...!" desis Gajah Angon yang berjongkok di sisi tubuh
Wirogundi. Tentu saja Gajah Angon dapat mengenali
pedang di tangan Pengemis Binal. Karena, pedang
itu adalah milik gurunya, Darma Sagotra, yang
diwariskan kepada kakak seperguruannya, Ga-
rang Wanara. Sementara, Prahesti terkesiap saat mena-
tap pedang putih di tangan Suropati. Bocah se-
tengah siluman ini tak melihat keistimewaan apa-
apa di balik keindahan Pedang Naga Kembar.
Namun, mendadak hatinya diliputi perasaan tak
enak. Rasa takut dan gentar muncul secara tiba-
tiba. Suara gemerincing lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan suara
dengungan semakin
menambah kekalutan Prahesti.
"Celaka...! Celaka...!" desis Prahesti berkali-kali. Mata Pengemis Binal yang
jeli dapat meli-
hat perubahan yang terjadi pada sikap Prahesti.
Dan, Pengemis Binal jadi yakin bila pedang di
tangannya memang mengandung tuah sumpah
yang mendatangkan kekuatan gaib.
Tapi, mampukah kekuatan gaib Pedang
Naga Kembar melawan Arca Budha yang memiliki
kekuatan gaib pula"
Selagi Prahesti panik, Suropati berkelebat
tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ujung Pe-
dang Naga Kembar mengarah bahu kanan Pra-


Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hesti. Sengaja Suropati tak memilih tempat yang
lebih berbahaya karena dia tak bermaksud mem-
bunuh bocah perempuan yang disusupi roh Bara-
ta Sukma itu! "Ciat..!"
"Heh"!"
Ujung Pedang Naga Kembar mampu me-
nembus cahaya kuning keemasan yang menyelu-
bungi tubuh Prahesti. Padahal segala jenis senja-ta, bahkan senjata pusaka, akan
hancur lebur bi-
la membentur sinar yang bersumber dari badan
Arca Budha itu.
"Hiah...!"
Wuttt...! Prahesti masih mampu menghindar dengan
membuang tubuh ke kanan. Suropati yang sudah
tahu keampuhan pedang di tangannya, cepat
mengejar. Kali ini Pedang Naga Kembar berkeleba-
tan untuk membabat pinggang Prahesti.
Karena panik dan bingung, Prahesti tak
mampu berpikir jernih. Serta-merta dia lepas bi-
lah Pedang Burung Hong yang menempel pada
badan Arca Budha yang tergenggam di tangan ki-
ri. Pedang Burung Hong disabetkan ke depan un-
tuk menangkis babatan Pedang Naga Kembar.
Sementara, sinar kuning keemasan yang menye-
lubungi tubuh Prahesti telah lenyap.
Pengemis Binal tahu benar kehebatan pe-
dang di tangan Prahesti. Dia pun tahu bila pe-
dang di tangannya sendiri hanya terbuat dari lo-
gam biasa yang tak memiliki kelebihan apa-apa.
Maka, karena tak mau melihat Pedang Naga
Kembar terbabat putus, Pengemis Binal menghin-
dari bentrokan. Dia tarik Pedang Naga Kembar
untuk kemudian dibabatkan ke bahu kanan Pra-
hesti. Serangan Suropati itu cepat luar biasa. Bilah Pedang Naga Kembar
berkelebat menuju sasa-
ran manakala Pedang Burung Hong masih dalam
gerakan menangkis. Jadi, bahu kanan Prahesti
benar-benar tak terlindungi lagi!
Prahesti yang tak punya waktu untuk ber-
kelit berbuat nekat. Tanpa perhitungan sama se-
kali, dia menaikkan pergelangan tangan kirinya
untuk menangkis. Dia menyangka bila babatan
Pedang Naga Kembar untuk memenggal leher.
"Haya...!"
Melihat perbuatan Prahesti yang sudah ke-
hilangan kemampuan berpikir, Suropati terke-
siap. Dia menyayangkan dan sungguh-sungguh
tak mau membabat putus lengan Prahesti. Cepat
belokkan sedikit arah babatan pedangnya.
Prang...! Terdengar suara mendentang keras. Perci-
kan api menyebar ke berbagai penjuru. Ketaja-
man Pedang Naga Kembar membentur badan Ar-
ca Budha di tangan kiri Prahesti.
Suropati terkejut luar biasa. Demikian pula
Prahesti. Bola mata dua anak manusia ini sama-
sama melotot besar seperti hendak keluar dari
rongganya! Mereka berdiri terpukau hingga bebe-
rapa lama. Tak percaya pada penglihatan sendiri!
Arca Budha terbelah jadi dua. Belahan per-
tama tetap berada di tangan Prahesti. Sedangkan
belahan yang kedua jatuh menggelinding ke ta-
nah. Pedang Burung Hong yang memiliki keam-
puhan yang tiada bandingnya pun tak mampu
menggores Arca Budha, tapi kenapa Pedang Naga
Kembar, yang jelas bukan senjata pusaka, mam-
pu membelahnya" Mungkinkah itu karena kekua-
tan tuah sumpah yang terkandung di dalamnya"
Sewaktu Prahesti masih berdiri terpukau di
tempatnya, gemerincing lonceng kereta kuda yang
saling sahut dengan suara dengungan terdengar
makin keras. Sekejap kemudian, Nyai Catur Asta
menampakkan diri. Langsung berkelebat ke arah
Prahesti! Blusss...! "Aaa...!"
Prahesti menjerit panjang tatkala tusuk
konde yang menancap di kepalanya dicabut oleh
Nyai Catur Asta. Terlihat kemudian, Prahesti berdiri gontai. Tubuhnya bergetar
keras bagai terserang demam hebat. Dari lubang kepalanya men-
gepul asap tebal yang kemudian membentuk se-
sosok tubuh manusia yang terlihat samar-samar.
Tapi, asap itu segera lenyap terbawa tiupan an-
gin.... Hilang sudah seluruh kesaktian Prahesti yang berasal dari roh Barata
Sukma yang dis-usupkan ke tubuhnya. Terdengar suara berden-
tang ketika bilah Pedang Burung Hong jatuh ke
tanah. Namun sebelum tubuh Prahesti turut ja-
tuh, Nyai Catur Asta berkelebat lagi. Salah satu
tangannya menekap kepala bocah perempuan itu.
Untuk beberapa saat tubuh Prahesti berge-
tar lagi. Saat Nyai Catur Asta membuka tekapan
tangannya, lubang di kepala Prahesti telah lenyap tanpa bekas!
Perlahan Nyai Catur Asta membaringkan
tubuh Prahesti ke tanah. Prahesti menurut saja
karena kesadarannya telah hilang. Nyai Catur As-
ta lalu menatap Gajah Angon yang masih ber-
jongkok di sisi tubuh Wirogundi.
"Gajah Angon...," ujarnya dengan suara berat berwibawa, "Roh Barata Sukma telah
kulepas dari tubuh Prahesti. Tak perlu lagi ada kekhawatiran di hatimu. Prahesti
tidak apa-apa. Dia akan segera siuman. Kau bisa membawanya ke Bukit
Palastra sekarang juga."
Gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-
ing sahut dengan suara dengungan terdengar lagi.
Dari angkasa melesat seberkas sinar, tepat me-
nerpa tubuh Nyai Catur Asta. Di lain kejap, sosok Nyai Catur Asta telah hilang
dari pandangan.
"Prahesti...!"
Gajah Angon menjerit bahagia. Serta-merta
dia menghambur. Dibopongnya tubuh Prahesti
dengan mata berkaca-kaca. Tapi sebelum lelaki
berjubah hitam ini membawa pergi muridnya,
Pengemis Binal meloncat mendekati.
"Kukira pedang ini milikmu, Pak Tua...,"
ujar Pengemis Binal seraya menyodorkan Pedang
Naga Kembar yang telah dimasukkan ke sarung-
nya. Gajah Angon menerima dengan tatapan
ham. "Pedang Naga Kembar ini milik Prahesti. Terima kasih, Suro."
Pengemis Binal mengangguk.
Gajah Angon menjejak tanah, lalu berkele-
bat dengan membopong tubuh Prahesti, murid-
nya. Begitu sosok Gajah Angon lenyap dari pan-
dangan, Pengemis Binal memungut Pedang Bu-
rung Hong dan sarungnya yang tergeletak tanah.
Dipungutnya pula dua belahan Arca Budha.
Suropati terkesiap manakala melihat gu-
lungan kulit halus yang tersembunyi di dalam lu-
bang salah satu belahan Arca Budha. Dengan hati
berdebar-debar, Suropati mengeluarkan gulungan
kulit itu. Sesaat Pengemis Binal terlihat garuk-garuk
kepala. Dia tak dapat membaca tulisan yang ter-
tera di lembaran kulit. Karena, tulisan itu dibuat dengan huruf Cina.
Plok...! Tiba-tiba Suropati menggaplok kepalanya
sendiri. "Huh! Pelupa benar aku ini! Kenapa aku tak ingat pada Wirogundi"!"
Bergegas Pengemis Binal membalikkan ba-
dan seraya meloncat lebar untuk segera memberi
pertolongan pada Pendekar Patah Hati...
7 Kota Kadipaten Bumiraksa....
Di salah satu sudut ruangan Kuil Saloka
yang menjadi tempat tinggal para pengemis dan
gelandangan, Wirogundi tampak duduk bersila
dalam sikap semadi. Dia telah mendapat perto-
longan dari Pengemis Binal lewat penyaluran ha-
wa sakti. Luka dalam yang diderita pemuda ber-
gelar Pendekar Patah Hati ini memang parah, tapi belum sampai merenggut jiwanya.
Wirogundi bersemadi untuk mengusir rasa panas dan sesak di
dadanya, sekaligus memulihkan tenaganya yang
terkuras. Di bagian lain, Kwe Kok Jiang tampak ber-
sandar di dinding kuil. Tangan kanannya meme-
gang selembar kulit beruang salju. Lembaran ku-
lit halus itu berasal dari dalam Arca Budha yang telah terbelah jadi dua.
"Ayolah, Pak Tua!" desak Pengemis Binal yang duduk di kanan Kwe Kok Jiang.
"Cepat baca tulisan itu, dan terjemahkan dalam bahasa Jawa,
agar aku mengerti!"
"Cepatlah, Ayah!" desak Kwe Sin Mei pula.
Gadis cantik ini duduk di kiri Kwe Kok Jiang.
"Tampaknya Suro Toako sudah tak sabar lagi.
Jangan buat dia penasaran. Ayah!"
"Ya... ya," sahut Kwe Kok Jiang sambil menyungging senyum. Lelaki berkuncir ini
lalu me- menuhi permintaan Pengemis Binal. Tulisan yang
tertera di kulit beruang salju berbunyi....
Aku membuat Arca Budha ini untuk kuha-
diahkan kepada sang kaisar. Bila kaisar orang yang teliti dan jeli, beliau akan
mendapat sebuah petuah yang sangat berguna bagi dirinya sebagai seorang
pemimpin. Di bawah tulisan itu terdapat tulisan lagi,
namun jajaran hurufnya lebih kecil.
Sebagai seorang pemimpin, kaisar bertang-
gung jawab akan ketenteraman, keselamatan, ke-sejahteraan, dan kemakmuran
rakyat. Kepemim-
pinan bukan sarana untuk menyempurnakan diri pribadi. Kepemimpinan adalah
pelimpahan wewe-nang yang mengandung pengabdian. Pemimpin
mengabdi kepada yang dipimpin. Kaisar mengabdi kepada rakyat. Bukan sebaliknya.
Pemimpin memiliki kekuasaan. Tapi, kekua-
saan itu bukan alat untuk memuaskan keinginan pribadi. Kekuasaan pemimpin harus
diabdikan kepada orang-orang yang dipimpin. Kaisar mempunyai kekuasaan penuh
atas seluruh negeri yang dipimpin. Kaisar berhak melakukan apa saja...
asalkan untuk mewujudkan cita-cita rakyat. Hidup makmur sejahtera dengan aman
dan tenteram Dan pada saatnya nanti, Tuhan akan me-
minta pertanggungjawaban seorang pemimpin atas kepemimpinannya.
Bu Beng Shiansu Kwe Kok Jiang mendesah
panjang setelah membacakan terjemahan surat
wasiat itu. "Sudah jelas sekarang. Ratusan nyawa
telah melayang sia-sia...," ujarnya seperti penuh penyesalan. "Arca Budha tidak
mengandung rahasia besar apa-apa. Sama sekali tidak patut un-
tuk diperebutkan orang-orang rimba persilatan.
Wasiat yang terkandung di dalamnya hanya dipe-
runtukkan bagi sang kaisar...."
"Tapi, kukira juga berguna bagi pemimpin
lainnya," sahut Pengemis Binal. "Bukan kaisar sa-ja yang wajib menjalankan
petuah itu."
"Termasuk kau!" seru Kwe Sin Mei.
"Aku" Kenapa aku?"
"Bukankah kau pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, Suro Toako" Kau ber-
tanggung jawab atas kelangsungan hidup anak
buahmu." Pengemis Binal garuk-garuk kepala. "Me-
mang berat tugas seorang pemimpin...," ujarnya seperti mengeluh. Mendadak,
remaja konyol ini
menatap wajah Kwe Kok Jiang lekat-lekat.
"Ada apa, Suro?" tanya Kwe Kok Jiang, heran. "Surat wasiat Arca Budha ditulis
oleh Bu Beng Shiansu. Siapa dia?"
"Kau mengagetkan aku saja, Suro. Kukira
ada apa...," rungut Kwe Kok Jiang. Walau sedikit kesal, lelaki berkuncir ini
tetap memberi penjela-san kepada Pengemis Binal.
"Bu Beng Shiansu adalah seorang tokoh
tua yang mempunyai ilmu kesaktian luar biasa.
Bahkan, orang-orang di tanah Tionggoan menye-
butnya manusia setengah dewa. Tak satu pun
yang tahu persis berapa usia tokoh itu. Tapi yang
jelas, dia sudah berumur satu abad lebih."
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Kukira kau bersama Kwe Sin Mei dapat
pulang ke tanah Tionggoan dengan aman, Pak
Tua," kata remaja tampan itu kemudian. "Setelah luka di dadamu itu membaik, kau
bisa berangkat.
Aku juga akan pergi ke Kerajaan Pasir Luhur. Aku harus memenuhi undangan Putri
Racun yang akan menikah dengan Saka Purdianta. Mereka
dua orang sahabatku."
Kwe Sin Mei menatap Pengemis Binal pe-
nuh "Kau baik sekali, Suro Toako. Tanpa bantu-mu, aku dan ayahku tak mungkin
dapat berbuat banyak di tanah Jawa ini. Entah dengan apa aku
akan membalas kebaikan Suro Toako...."
Mendengar ucapan gadis cantik itu, mata
Pengemis Binal kontan berbinar. "Sungguhkah kau ingin membalas kebaikanku?"
tanya remaja konyol yang tiba-tiba kumat penyakit gendengnya
ini. Kwe Sin Mei mengangguk lemah. "Tapi, aku
tak tahu dengan apa...."
"Tak perlu bingung!" sergap Pengemis Binal. "Kau balas saja dengan sebuah ciuman
me-sra. He he he...."
Mata Kwe Sin Mei kontan terbelalak. "Heh"!
Minta cium" Enak saja!" tolaknya dengan garang.
Pengemis Binal cuma dapat nyengir kuda
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal....
SELESAI Serial Pengemis Binal dalam episode:
SEPASANG RACUN API
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel


Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SELESAI SEPASANG RACUN API
Tusuk Kondai Pusaka 9 Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong Pendekar Kembar 15
^