Pencarian

Sepasang Racun Api 1

Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api Bagian 1


SEPASANG RACUN API Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Sepasang Racun Api
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Di bawah siraman sinar mentari pagi, remaja tampan ini keluar dari keramaian
Pelabuhan Loceret. Terbawa luapan rasa gembira, dia membuat langkah meloncat-loncat.
Sesekali menatap
langit perak nan cerah. Pakaiannya yang putih
penuh tambalan tampak berkibaran manakala
angin laut berhembus lebih kencang.
"Usai sudah sebuah perjalanan yang cukup
melelahkan...," gumam si remaja, menyatakan kegembiraannya. "Dengan menumpang
kapal milik Adipati Barasangga, dapatlah aku menginjakkan
kaki di Negeri Pasir Luhur ini. Aku akan ke Katumenggungan Lemah Abang. Kusuma
dan Saka Purdianta akan menikah. Namun, aku tak perlu
tergesa-gesa untuk menghadiri pesta pernikahan
mereka. Aku masih punya banyak waktu untuk
menuruti ke mana kakiku melangkah. Barangkali
ada gadis cantik yang bersedia menemaniku. He
he he...."
Remaja tampan yang tak lain si Pengemis
Binal Suropati ini tertawa terkekeh. Kakinya terus
terayun. Pelabuhan Loceret semakin jauh ditinggalkan. Tanpa terasa dan tanpa
disadari pula, dia
telah sampai di kaki sebuah gunung. Untuk beberapa lama, dia nikmati hawa
pegunungan yang
sejuk segar. Angin bertiup dari tenggara menggerakkan ranting pepohonan, hingga
meliuk gemulai laksana lambaian tangan bidadari yang mengajak Suropati guna
melanjutkan langkah kemba-
li. Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, mendadak Suropati mengernyitkan
hidung. Di antara kicauan burung parkit aneka warna, telinga Suropati yang tajam menangkap
suara teriakan gusar yang kerap ditimpali suara ledakan.
"Hmmm.... Aku mendengar suara orang sedang bertempur. Bentrokan tenaga dalam
mereka menimbulkan ledakan keras, pertanda mereka
bukan orang sembarangan. Bodoh sekali aku bila
melewatkan tontonan yang mengasyikkan itu."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas
Suropati menjejak tanah. Angin berhembus kencang saat tubuh pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini melesat cepat, hingga berubah menjadi bayangan putih
yang hampir tak dapat diikuti pandangan mata.
Jarak dua ratus tombak terlampaui hanya
dalam beberapa kejap mata. Setelah melewati lereng berbatu yang dijalari semak
belukar, Suropati telah berada di bibir tebing yang sangat curam.
Di balik bongkahan batu cadas, Suropati
mengarahkan pandangan ke bawah. Di atas tanah datar yang cukup luas, terlihat
dua sosok bayangan tengah berkelebat saling mengirim serangan. Dua bayangan itu berputar-
putar, melenting tinggi ke atas, dan timbul ledakan keras
bila keduanya meluncur lurus ke depan dengan
arah berlawanan. Sudah dapat dipastikan bila
mereka adalah dua tokoh rimba persilatan jajaran
atas. Suropati tak dapat mengenali karena me-
reka berkelebat terus tiada henti. Wujud mereka
tampak seperti dua gumpal asap yang melayang
di udara. Yang satu berwarna coklat, satunya lagi
berwarna kuning.
"Kelebatan tubuh dua orang yang tengah
baku hantam itu menimbulkan tiupan angin kencang. Ranting-ranting pohon di
sekitar ajang pertempuran sampai berpatahan. Aku yang berada
dua puluh tombak dari tempat pertempuran mereka pun dapat merasakan tiupan angin
kencang itu. Wajahku terasa bagai ditampar-tampar...,"
kata hati Suropati. "Semakin gencar mereka menyerang, semakin hebat mereka
menunjukkan ilmu kepandaian, bertambah besar keinginanku
untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya.
Hmmm.... Selama beberapa hari di atas kapal,
aku hanya dapat melihat langit dan air laut yang
sangat membosankan. Sekaranglah saatnya aku
menghibur diri dengan melihat pertempuran dahsyat yang sangat menarik itu."
Tanpa sadar, Suropati menggerakgerakkan kedua tangannya mengikuti kelebatan
dua sosok bayangan yang tengah mengukur kekuatan di bawah tebing. Tanpa sadar
pula, Suropati telah memusatkan pikirannya untuk memecahkan serangan-serangan
yang dilancarkan oleh
kedua bayangan itu. Hingga, sebentar saja Suropati sudah merasa dirinya ikut
turun ke dalam medan pertempuran.
Tatkala mentari telah bergerak memanggang tegak lurus dengan permukaan tanah,
kepala Suropati mengeluarkan asap tipis. Mengikuti
gerak serangan dua sosok bayangan yang tengah
bertempur seru, Suropati terbawa dalam rasa tegang luar biasa. Dua sosok
bayangan itu seakan
telah menggabungkan kekuatan untuk menyerang dirinya secara bersamaan. Lewat
akal pikiran, Suropati mengeluarkan seluruh ilmu kepandaian yang dipelajarinya
dari Periang Bertangan
Lembut maupun Pengemis Tongkat Sakti.
Asap yang mengepul dari kepala Suropati
terlihat makin tebal. Walau akal pikiran remaja
tampan ini telah mengeluarkan rangkaian jurus
'Tangan Sakti' dan 'Tongkat Sakti', namun dia tak
mampu memecahkan serangan-serangan dua
bayangan yang terus bertempur di bawah tebing.
Bahkan, Suropati merasa terdesak hebat!
Tubuh Suropati bergetar seperti terserang
demam. Asap yang mengepul dari kepalanya
membubung dan makin terlihat nyata. Keringat
bercucuran membasahi pakaiannya. Sementara,
udara yang semula terasa sejuk berubah panas
membakar. Setelah memutar otak berkali-kali, barulah
Suropati merasa tenang. Asap yang mengepul dari
kepalanya menipis sedikit demi sedikit. Getaran
tubuhnya turut terhenti. Hanya kedua tangannya
yang terus bergerak-gerak mengikuti jurus-jurus
yang diciptakannya tanpa sengaja.
Blarrr...! Tiba-tiba, terdengar sebuah ledakan dahsyat yang membahana beberapa lama. Di
antara gumpalan tanah dan bebatuan yang berhamburan ke berbagai penjuru, dua bayangan
yang ten- gah bertempur tampak terlontar tinggi. Setelah
berjumpalitan beberapa kali di udara, mereka
sama-sama mendarat di tanah dengan sigap.
Kini, dapat dilihat dengan jelas sosok mereka yang sebenarnya. Yang menghadap ke
timur seorang kakek tujuh puluh tahunan. Kepalanya
diikat dengan besetan kulit pohon kasar berduri.
Wajahnya yang sudah keriputan dihiasi kumis
dan jenggot putih panjang yang terjuntai sampai
ke perut. Tubuh bagian atasnya terbungkus rompi kuning. Hingga, dapat terlihat
bila dia tak punya tangan! Kedua bahunya rata dan tak tampak bekas luka, pertanda cacat yang
dimilikinya dibawa sejak lahir.
Orang kedua yang menghadap ke barat,
berdiri lima tombak dari hadapan kakek tanpa
lengan, tampak menggoyang-goyangkan kepala.
Dari sikapnya itu dapat diartikan bila dia tengah
mempertajam pendengaran. Seperti lawannya, dia
juga mempunyai cacat bawaan. Dia tidak mempunyai mata! Tempat di bawah kedua
alisnya tampak rata. Dapat dipastikan bila tak pernah
melihat keindahan dunia sejak lahir. Sementara,
tubuhnya yang kurus kering terbungkus pakaian
kumal dan compang-camping. Anehnya, kakek
yang juga berumur tujuh puluh tahunan itu berdiri di atas dua tempurung kelapa
hitam mengkilat.
"Dewa Peramal...," desis Suropati waktu
memperhatikan sosok kakek buta. "Dalam perjalananku berkunjung ke istana Pasir
Luhur, kakek itu pernah memberikan ramalannya kepadaku.
Ramalan yang diberikan beberapa purnama yang
lalu itu sangat tepat. Sungguh aku beruntung dapat bertemu lagi dengannya."
(Tentang pertemuan
Suropati dengan Dewa Peramal, silakan baca
serial Pengemis Binal dalam episode: "Sengketa
Orang-Orang Berkerudung").
"Hmmm.... Susah payah aku datang ke
tempat ini, jauh-jauh aku menempuh jarak ribuan tombak untuk memenuhi
undanganmu, kiranya kau sama sekali tak mengecewakan aku.
Kau memiliki kepandaian begitu hebat. Pantas
kau mengundang aku untuk mengadu tebalnya
kulit kerasnya tulang. Lengah sedikit saja, badan
tua ini pasti sudah hancur lebur terkena pukulanmu, sahabatku Peramal
Buntung...," ujar Dewa Peramal, memecah suasana yang berubah
sunyi. "Ha ha ha...!" kakek yang disebut Peramal
Buntung tertawa bergelak. "Aku tahu kau memuji
dengan tulus, sahabatku Dewa Peramal. Tapi,
sungguh aku tak membutuhkan pujianmu itu.
Bukan aku tak suka, hanya aku takut kepalaku
bengkak membesar. Kalau rasa congkak dan
sombong telanjur menggeluti diriku, aku takut
kepalaku akan meledak. Ha ha ha...! Tak perlu
kau merendah pula, sahabatku Dewa Peramal.
Seandainya kau mau, yang hancur lebur pastilah
tubuhku yang buruk rupa ini...."
"Ya..., ya, mungkin ada benarnya juga apa
yang kau katakan. Tapi, mungkin tak salah pula
apa yang kukatakan. Yang jelas, kau sudah dapat
mengukur ketinggian ilmuku, yang tentu saja
masih jauh dari kesempurnaan. Kuharap kau cukup puas. Sekarang, izinkan aku
pergi karena...."
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Peramal Buntung waktu melihat Dewa Peramal hendak
meninggalkan tempat. "Pertempuran tadi hanya pemanasan saja. Aku tahu kau
sengaja menyimpan
ilmu kesaktian. Jangan sungkan-sungkan lagi
untuk kau keluarkan di hadapanku. Karena, tak
akan puas hati ini bila belum melihat siapa di antara kita yang lebih unggul."
Mendengar ucapan Peramal Buntung yang
penuh makna tantangan, Dewa Peramal mendesah panjang, seperti menyesali sikap
yang ditunjukkan Peramal Buntung.
"Apa guna kepandaian bila hanya digunakan unggul-unggulan, yang pasti menyimpan
maksud menonjolkan nama" Apabila nama sudah
menonjol dan termasyhur, apakah hati tidak akan
terkotori oleh sifat sombong" Jika sifat sombong
telah membuat noda, tidakkah timbul penyakit iri
dengki dan selalu ingin menjatuhkan orang lain"
Apakah sifat buruk tidak selalu diikuti oleh sifat
buruk lainnya?"
Mendapat sindiran itu, Peramal Buntung
mendengus gusar. Namun, cepat dia tutupi hatinya yang tersinggung dengan tawa
panjang. "Ha
ha ha...! Sungguh aku kagum kepadamu, Sahabat. Selain rendah hati, kau pun
pandai menyusun kata-kata. Namun, tetap belum puas hatiku,
mati pun aku akan penasaran, bila belum melihat
siapa di antara kita yang lebih unggul...."
Di ujung kalimatnya, Peramal Buntung
mengangguk. Gerakannya pelan saja dan seperti
tak mempunyai maksud apa-apa. Namun mendadak....
Serrr...! Besetan kulit pohon besar berduri yang
melingkar di kepala Peramal Buntung melesat cepat mengarah jidat Dewa Peramal!
"Terpaksa aku melayani seranganmu, Sahabat!" ujar Dewa Peramal.
Perlahan kakek buta itu mengangkat kaki
kanannya. Tempurung kelapa yang melekat di telapak kakinya tiba-tiba meluncur,
memapaki ikat kepala Peramal Buntung!
Prang...! Terdengar suara berdentang seperti dua
senjata tajam beradu. Bunga api berpercikan ke
berbagai penjuru, namun hanya terlihat samarsamar karena tertelan cahaya terang
mentari. Besetan kulit pohon besar kasar berduri terpental
balik, dan kembali melingkar di kepala Peramal
Buntung. Sementara, tempurung kelapa hitam
mengkilat juga kembali melekat ke telapak kaki
kanan Dewa Peramal.
"Hebat...! Hebat...!" puji Peramal Buntung.
"Kaulah yang lebih hebat, Sahabatku...,"
sahut Dewa Peramal.
"Ha ha ha...! Kau memang pandai merangkai kata-kata. Ha ha ha...!"
Peramal Buntung tertawa panjang. Perutnya yang gendut tiba-tiba mengempis.
Suropati yang mengintip di atas tebing terperangah. Dari
mulut Peramal Buntung yang terbuka lebar, ber-
lesatan titik api biru bagai ribuan kunangkunang. Semuanya menuju ke arah Dewa
Peramal! Sementara, Dewa Peramal sendiri cuma memalingkan kepala ke kanan.


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepertinya dia tak tahu
bila bahaya tengah mengancam nyawanya. Titik
api biru mirip kunang-kunang yang keluar dari
mulut Peramal Buntung walau tidak menebarkan
hawa panas, bukan berarti tidak mengandung
ancaman kematian. Lesatan titik api biru itu
mampu menembus balok baja setebal satu jengkal! Bisa dibayangkan, betapa
mudahnya untuk menembus tubuh Dewa Peramal yang cuma terdiri dari tulang terbungkus kulit!
Apalagi, titik api
biru itu berjumlah ribuan!
Suropati tak kuasa membayangkan akibat
yang akan dialami oleh Dewa Peramal. Karena tak
ingin melihat pertumpahan darah, Suropati hendak memberikan pertolongan, atau
paling tidak memberi peringatan kepada Dewa Peramal yang
buta. Namun sebelum dia berbuat sesuatu....
"Ilmu 'Api Dingin Menyerbu Mangsa'!" seru
Dewa Peramal. "Saatnya aku mengeluarkan aji
'Inti Es Kobarkan Api'!"
Ketika ribuan titik api biru kurang dari satu jengkal untuk menghujam ke
sasaran, mendadak Dewa Peramal mengibaskan kedua telapak
tangannya dengan cara disilangkan di depan dada.
Terdengar letupan-letupan kecil yang disusul suara mendesis seperti bara api
tersiram air. Asap putih bening yang mengepul dari kedua telapak tangan Dewa Peramal memukul
balik titik- titik api biru yang keluar dari mulut Peramal
Buntung! "Haya...!"
"Heh..."!"
Peramal Buntung dan Dewa Peramal samasama terhantam keterkejutan. Suropati yang
menyaksikan adu ilmu kesaktian itu tampak meleletkan lidah karena terperangah
sekaligus kagum.
Titik-titik api biru tak semuanya dapat dihalau oleh Dewa Peramal. Pakaiannya
yang sudah compang-camping semakin banyak berlubang tertembus oleh titik-titik api biru.
Sementara, di beberapa bagian tubuhnya mengepulkan asap. Dewa Peramal tersurut
mundur dua langkah. Kalau
saja tubuhnya tidak terlindungi oleh tenaga dalam tingkat tinggi, dapat
dibayangkan bila nyawa
kakek buta ini akan segera melayang ke alam baka.
Di bagian lain, Peramal Buntung tampak
tersurut mundur dua langkah pula. Kedua pergelangan kakinya terbungkus gumpalan
es setinggi lutut. Hanya dalam satu kejap mata, gumpalan es
itu pecah. Anehnya, kain celana Peramal Buntung
lantas mengepulkan asap dan terbakar!
"Ha ha ha...! Hebat! Hebat!"
Sambil tertawa, Peramal Buntung mengibaskan telapak tangan kanannya ke bawah.
Timbul tiupan angin dingin. Api yang membakar kain
celananya kontan padam.
Untuk beberapa lama, Peramal Buntung
dan Dewa Peramal berdiri mematung di tempat
masing-masing. Mereka sama-sama tak mendapat
cedera yang berarti. Sementara, mentari telah
bergeser ke sudut barat. Senja akan segera tiba
untuk menyambut datangnya sang dewi malam.
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa
bergelak. "Sungguh hebat ajian 'Inti Es Kobarkan
Api' milikmu, Dewa Peramal. Aku kagum. Aku kagum.... Ha ha ha...!"
"Hmmm.... Aku tak tahu makna suara tawamu, Sahabatku Peramal Buntung," sahut
Dewa Peramal, bernada sedih. "Kau berkata kagum
akan ajian yang kumiliki. Namun, ada kemungkinan kata-katamu itu hanya bermaksud
melecehkan dan merendahkan aku yang sudah bau tanah
ini...." "Hus! Kau jangan keburu menaruh prasangka buruk. Mulutku mengucap kata pujian.
Hatiku demikian pula. Puluhan tahun aku mendalami ilmu 'Api Dingin Menyerbu
Mangsa', kiranya ilmu andalanku ini hanya dapat mengimbangi aji "Inti Es
Kobarkan Api' milikmu. Aku menyatakan kekagumanku setulus hatiku...."
"Kini, sudah kau lihat dan kau rasakan bila sudah tak ada gunanya lagi
melanjutkan pertempuran. Maka, izinkan aku untuk meninggalkan tempat..."
"Tunggu dulu!"
"Apa lagi yang kau inginkan, Sahabatku
Peramal Buntung" Bukankah telah terbukti bila
ilmu kita berimbang?"
"Belum! Belum ada bukti bila ilmu kita berimbang!" dengus Peramal Buntung dengan
nada keras penuh kesungguhan. "Di Negeri Pasir Luhur
ini, kaum rimba persilatan mengenal kita sebagai
dua orang peramal. Ilmu kesaktian kita boleh berimbang, tapi... kita belum
mengadu ketajaman
indera keenam...."
Bibir Dewa Peramal yang peot menyunggingkan senyum tipis. Kepalanya bergerak
pelan ke kanan. Sementara, kaki kanannya yang beralas tempurung kelapa menjejak tanah
tiga kali. Tok! Tok! Tok! "Bila cara itu dapat meredam rasa penasaran di hatimu, aku terima tantanganmu."
Mendengar kalimat tegas Dewa Peramal,
Peramal Buntung tertawa bergelak. "Ha ha ha...!
Seorang tokoh ternama macam dirimu memang
tak patut menolak tantangan. Bertambah lagi rasa kagumku kepadamu, sahabatku
Dewa Peramal yang berjiwa ksatria...."
Dewa Peramal diam. Kepalanya tetap berpaling ke kanan. Walau kakek ini tak punya
mata, Suropati yang bersembunyi di balik bongkahan batu cadas terkesiap. Hati
kecil Suropati mengatakan bila dirinya telah diketahui oleh Dewa Peramal. Lebih terkesiap lagi
Suropati manakala....
"Kau tentu tahu bila sedari tadi ada orang
yang mengintip kita, sahabatku Dewa Peramal...,"
ujar Peramal Buntung. Mata kakek berompi kuning ini menatap lurus ke atas tebing
tempat Suropati bersembunyi. "Hei, Bocah!" teriaknya. "Turunlah ke sini! Sudah
tiba waktumu untuk menampakkan batang hidung!"
Suropati menarik napas panjang untuk
menghalau keterkejutannya. Bukan mustahil bila
dia telah diketahui oleh Peramal Buntung dan
Dewa Peramal sejak awal kedatangannya. Maka
karena tak mau dikatakan pengecut bernyali ciut,
Suropati beringsut dari balik bongkahan batu cadas, lalu meloncat ke bawah.
Tanpa kesulitan dia
mendarat di tanah, walau dia meloncat dari ketinggian sepuluh tombak lebih!
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus!" ujar Peramal
Buntung di sela-sela tawanya. "Dengan keberanian dan kegesitan yang baru kau
tunjukkan tadi,
kau cukup pantas mendapat acungan jempol, Bocah Bagus."
Mulut Suropati terkatup rapat. Ditatapnya
wajah Dewa Peramal dan Peramal Buntung bergantian. Suropati tak dapat
menyembunyikan perasaannya yang berdebar tegang. Dia tak tahu
apa yang akan diperbuat oleh dua tokoh tua yang
tengah mengadu ilmu kepandaian itu terhadapnya. Namun, cepat Suropati menghalau
bayangan buruk di benaknya. Walau Peramal Buntung sedikit punya sifat sombong dan keras
kepala, dia tak perlu khawatir kakek tak punya lengan itu
akan membuatnya celaka. Suropati juga tak menaruh rasa curiga terhadap Dewa
Peramal yang tampaknya punya perilaku lebih halus dan berbudi. Maka, tenang-tenang saja
Suropati berjalan
mendekati. "Kita berdua sama-sama belum mengetahui
asal-usul bocah bagus ini. Bagaimana kalau kita
mengadu tebakan sampai di mana ketinggian ilmu kepandaiannya, sahabatku Dewa
Peramal?" tawar Peramal Buntung.
"Kau jangan mengambil keuntungan dari
cacat yang kumiliki, sahabatku Peramal Buntung," sahut Dewa Peramal. "Dengan
melihat bentuk tubuh dan penampilan bocah bagus ini, kau
tentu lebih leluasa memberikan tebakan...."
"Ha ha ha...! Tak perlu kau mendesah dan
menggerutu, menyesali cacat matamu, sahabatku
Dewa Peramal. Bukankah kau bisa mendengar
dan meraba?"
Dewa Peramal tampak berpikir sejenak, lalu dengan suara lembut dia berkata
kepada Suropati, "Berjalanlah di hadapanku, Bocah Bagus...,"
Karena ingin tahu apa yang akan diperbuat
oleh Dewa Peramal, Suropati segera mengayunkan langkah. Ketika sampai di hadapan
Dewa Peramal, dia berhenti. Setelah menunggu beberapa
tarikan napas, Suropati jadi heran. Dewa Peramal
tak berbuat apa-apa. Hanya batang hidungnya
yang bergerak naik turun.
"Cepatlah berlalu!" usir Dewa Peramal
sambil mengibaskan tangannya.
Suropati merasakan dorongan angin keras
yang membuat tubuhnya terjajar ke samping kiri,
sejauh satu tombak dari kedudukan semula.
Melihat perilaku aneh Dewa Peramal, Suropati jadi curiga. "Kau kenapa, Kek?"
tanyanya, heran. "Aku tidak kentut. Kenapa hidungmu
kembang kempis seperti mencium bau busuk?"
Dewa Peramal tak menjawab. Suropati
tambah curiga dan heran. Dia tepuk pantatnya
sendiri, lalu telapak tangan kanannya yang dibuat
menepuk didekatkan ke hidung. Sambil menaikkan alis, dia berkata, "Betul, Kek!
Aku tidak kentut! Kau mencium bau apa?"
Melihat ulah konyol Suropati yang terus
mengendus-endus bau pantatnya sendiri, Peramal
Buntung tertawa terbahak-bahak. Sementara, air
muka Dewa Peramal yang semula bening cerah
berubah keruh mengelam.
"Aku seperti pernah mencium bau tubuhmu, Bocah Bagus," beri tahu Dewa Peramal.
"Tapi, aku lupa di mana pernah berjumpa denganmu."
"Oh! Jadi, kau tadi tidak mencium bau
kentut. Tapi kenapa hidungmu kembang kempis,
apakah bau tubuhku seperti kentut?" ujar Suropati, konyol.
Dewa Peramal tak memperhatikan ucapan
Suropati. Dia berkata kepada dirinya sendiri. "Ah!
Tidak! Otakku sudah terlalu tua untuk dapat
mengingat banyak kejadian."
Lewat ucapan itu, Suropati tahu bila Dewa
Peramal benar-benar telah lupa bila pernah berjumpa dengannya. Suropati pun tak
berkata apaapa lagi. Jika dia mengenalkan diri, yang akan
mengingatkan Dewa Peramal tentang perjumpaannya, Suropati takut perkataannya
akan membuat sikap tak adil. Biarlah Dewa Peramal
dan Peramal Buntung tetap tak tahu siapa dirinya, agar tebakan mereka nanti
benar-benar hanya bersumber dari ketajaman indera keenam.
"Apakah adu tebakan ini sudah bisa dimulai, sahabatku Dewa Peramal?" tanya
Peramal Buntung kemudian.
"Ya. Ya, kau bisa memulainya terlebih dulu," sahut Dewa Peramal yang tetap tak
dapat mengingat perjumpaannya dengan Suropati.
Peramal Buntung mengerjapkan kelopak
matanya tiga kali. Lalu, dipandangnya wajah Suropati beberapa lama. "Bocah ini
mempunyai tulang bagus, dasar tenaga dalam hebat, dan memiliki kekuatan batin
yang sulit diukur. Selain
mempunyai jurus-jurus silat tingkat tinggi dan
ilmu kesaktian dahsyat, dia juga mendalami ilmu
sihir. Bila dia berlatih dengan tekun, dua tahun
kemudian, kita-kita yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan ini tak akan mampu
menghadapinya."
Begitu usai Peramal Buntung mengeluarkan tebakannya, Dewa Peramal menghentakkan
kaki kanannya ke tanah tiga kali.
Tok! Tok! Tok! Lalu dia berujar, "Hmmm.... Jangan kata
dua tahun. Sekarang pun di antara kita berdua
tak akan mampu menghadapinya lewat dua puluh jurus!"
Terkejut Peramal Buntung mendengar tebakan Dewa Peramal. Melihat kesungguhan
kakek buta itu, dia menggerendeng sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian,
ditatapnya lekat-lekat wajah Suropati.
"Hei, sahabatku Dewa Peramal! Kau jangan
berucap ngawur! Aku khawatir tebakanmu hanya
akan menjatuhkan nama besarmu saja," tegur Peramal Buntung. "Aku tahu bocah ini
berilmu ting- gi, tapi jelas dia masih bau kencur. Aku, Peramal
Buntung, bila dalam dua puluh jurus dapat dirobohkan olehnya, aku rela menjadi
budak pengiringnya seumur hidup! Tapi, bila dia tak mampu
atau bahkan jatuh bertekuk lutut di hadapanku,
kau akan berbuat bagaimana, sahabatku Dewa
Peramal?" "Kepalaku akan kuserahkan kepadamu,"
sahut Dewa Peramal, tegas.
Mendengar pertaruhan itu, hati Suropati
bergetar. Bila dia tak segera menengahi, tidak
mustahil di antara Dewa Peramal dan Peramal
Buntung yang mengaku sebagai dua orang sahabat, benar-benar akan timbul api
permusuhan hebat. Maka, tanpa pikir panjang lagi Suropati
melangkah maju seraya berkata, "Saya yang bodoh dan sungguh-sungguh kurang
pengalaman ini tak sanggup menerima pertaruhan Kakek berdua. Harap Kakek berdua mencari
pertaruhan yang lain saja...."
"Bocah bagus! Bocah bagus!" desis Dewa
Peramal. "Sungguh mulia hatimu. Tak menyesal
aku mengunggulkan dirimu di atas sahabatku Peramal Buntung. Dari masih kanak-
kanak sampai tua renta begini, aku sangat percaya pada bisikan
hatiku sendiri. Tak dapat aku menarik pertaruhan ini. Aku pantang menjilat ludah
yang telah kutumpahkan."
"Tapi, Kek...."
Suropati hendak mengucapkan Sesuatu,
namun keburu disela oleh Peramal Buntung. "Tak
perlu kau khawatir, Bocah Bagus! Kalau nanti


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku yang menang, tak bakalan aku memenggal
kepala sahabatku sendiri. Cukuplah kaum rimba
persilatan mengetahui bila tebakan Peramal Buntung berada satu tingkat di atas
Dewa Peramal."
Kalimat Peramal Buntung diucapkan dengan penuh keyakinan. Kemenangan seperti
telah membayang di pelupuk matanya. Melihat sikap
menunjukkan kesombongan itu, dalam diri Suropati timbul rasa tidak suka. Namun
demikian, hatinya menjadi lega. Kalau memang Peramal Buntung mampu memetik
kemenangan, Dewa Peramal tidak akan mendapat celaka.
"Bocah bagus, sudah siapkah kau untuk
mengawali pertempuran?" ujar Peramal Buntung,
sedikit memandang rendah.
"Kau lawanlah dengan tenang, Bocah Bagus. Segala akibatnya, aku yang
menanggung,"
sahut Dewa Peramal.
Sejenak Suropati menatap wajah Dewa Peramal yang tengah menyunggingkan senyum.
Walau hanya sebuah senyuman, tapi mampu membuat tenang pikiran Suropati. Bahkan,
terasa seperti menambah kekuatan.
"Saya turuti anjuran Kakek...," ujar Suropati. Remaja tampan ini lalu
membalikkan badan
untuk dapat berhadapan dengan Peramal Buntung. Jantung Suropati berdegup lebih
kencang manakala bersirobok pandang dengan Peramal
Buntung. Mengingat kehebatan Peramal Buntung
yang telah ditunjukkan saat bertempur dengan
Dewa Peramal, timbul rasa giris di hati Suropati.
Namun karena tak mau mengecewakan Dewa Pe-
ramal yang telah menjagokan dan menaruh kepercayaan kepadanya, cepat Suropati
menenangkan perasaannya.
Mengikuti peradatan di rimba persilatan,
Suropati membungkuk hormat. Dia tidak mau
menyerang terlebih dahulu sebelum lawan berada
dalam kesiap-siagaan.
"Silakan Peramal Buntung mulai...," ujar
Suropati dengan suara bergetar karena ucapannya dibarengi usaha menghimpun
tenaga dalam. "Ha ha ha...! Tak perlu mengikuti tetekbengek aturan rimba persilatan, Bocah
Bagus. Aku yang lebih tua memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu!"
"Baiklah kalau itu yang Kakek mau!"
Di ujung kalimatnya, Suropati menerjang
dengan memainkan jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'. Sengaja dia tak mempergunakan
tongkat yang terselip di ikat pinggangnya karena Peramal
Buntung tak mungkin bertempur dengan bantuan
senjata. Sementara Suropati dan Peramal Buntung
telah mengawali pertempuran, mentari telah tenggelam separuh di garis cakrawala
barat. Karena lembah yang dijadikan ajang pertempuran dibatasi tebing tinggi dan banyak
ditumbuhi pohon,
keadaan jadi remang-remang. Selain mengandalkan ketajaman mata, Suropati dan
Peramal Buntung mesti membuka telinga lebar-lebar. Kelebatan kaki dan tangan
yang mengirim serangan, seringkali tak terlihat oleh pandangan mata.
Lewat sepuluh jurus kemudian, Suropati
hanya dapat bertahan tanpa mampu membalas
serangan. Walau tak punya tangan, Peramal Buntung benar-benar dapat menunjukkan
jati dirinya sebagai tokoh tua jajaran atas. Kedua kakinya
berkelebat ke sana sini, hingga terlihat seperti
bertambah banyak. Setiap mengirim serangan,
timbul suara berkesiur yang menimbulkan tiupan
angin kencang. Mulut Peramal Buntung juga turut ambil bagian. Beberapa kali
meniup. Hingga,
sekujur tubuh Suropati terasa pedih seperti disayat-sayat pedang.
Untunglah Suropati cepat menyadari keadaan, cepat dia mainkan rangkaian jurus
'Tangan Sakti', 'Pengemis Meminta Sedekah, 'Pengemis
Menghiba Rembulan', dan 'Pengemis Menebah
Dada'. Lewat tujuh belas jurus kemudian, kedudukan tetap berimbang.
Kalau saja Suropati tak mengintip lebih dulu pertempuran Peramal Buntung dengan
Dewa Peramal, sulit baginya untuk dapat bertahan dari
gempuran Peramal Buntung.
"Ha ha ha...! Tampaknya kau tak akan
mampu merobohkan aku dalam dua puluh jurus,
Bocah Bagus!" seru Peramal Buntung tanpa
menghentikan serangan. Dan, mulailah kakek berompi kuning ini menghitung jurus
yang telah dimainkan. "Delapan belas..., sembilan belas...."
Wusss...! Tiba-tiba, tubuh Suropati melenting tinggi
menjauhi ajang pertempuran. Lalu, perlahanlahan jatuh ke tanah dalam keadaan
telentang dan tak bergerak sama sekali!
"Heh"! Apa yang terjadi?" seru Dewa Peramal, kaget. "Walau aku buta, tapi aku
tahu bila Peramal Buntung masih belum mampu mendaratkan tendangan. Tapi, kenapa tubuh
bocah itu melenting tinggi lalu jatuh ke tanah dan tak bangun lagi?"
Dengan wajah tegang, Dewa Peramal menajamkan pendengaran. Namun, tak dapat
didengarnya gerakan tubuh Suropati yang tengah terbaring telentang seperti orang
kehabisan tenaga.
"Hei, apa yang kau perbuat, Bocah Bagus"!" tegur Peramal Buntung yang tak dapat
pula menyembunyikan keterkejutannya.
Dewa Peramal dan Peramal Buntung samasama terkesiap tatkala telinga mereka
menangkap suara mendengkur pertanda ada orang yang tengah terlelap tidur. Mereka jadi
melengak heran dan tak habis pikir. Suara mendengkur itu berasal dari kerongkongan Suropati!
"Bagaimana ini"! Bagaimana ini"!" Peramal
Buntung mencak-mencak. "Pertempuran masih
kurang satu jurus lagi, kenapa bocah itu jatuh
tertidur?"
Dewa Peramal yang lebih peka cepat menyadari keadaan. Dengan suara kalem dia
menyahuti ucapan Peramal Buntung. "Tak perlu kau
menggerutu seperti orang kebakaran jenggot, sahabatku Peramal Buntung.
Pertempuran tetap
berlanjut. Silakan kau serang lagi lawanmu itu!"
"Tidak mungkin! Tidak mungkin!" tolak Peramal Buntung. "Mana dapat aku menyerang
orang yang tengah tidur pulas?"
"Hmmm.... Kau tak perlu ragu, Sahabat.
Tidakkah kau tahu bila lawanmu itu tengah mengeluarkan salah satu ilmunya?"
Mendengar ucapan Dewa Peramal, Peramal
Buntung mengerutkan kening. Ditatapnya tubuh
Suropati yang masih terbaring di tanah. Dengkurannya terdengar makin keras,
pertanda tidurnya
makin pulas. Sedikit ragu Peramal Buntung mendekati
tubuh Suropati. Ditatapnya beberapa lama wajah
Suropati. Kelopak matanya terpejam rapat. Bibirnya bergetar seirama suara
dengkuran yang melewati kerongkongan.
"Hmmm.... Kalau benar bocah ini tengah
mengeluarkan salah satu ilmunya, bolehlah aku
menyerang...."
Berpikir demikian, Peramal Buntung mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi.
Hendak diinjaknya paha Suropati. Karena masih bimbang, dia
tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Namun,
jangan dikira injakan Peramal Buntung tidak berbahaya. Batu sebesar kepala
kerbau pun akan
mampu dibuat hancur!
"Oahhh...!"
Blusss...! Sebelum injakan Peramal Buntung mengenai sasaran, mendadak Suropati menguap
seraya menggeser tubuh. Akibatnya, kaki kanan Peramal
Buntung hanya mampu membuat lubang di tanah!
Peramal Buntung geleng-geleng kepala. Kini, yakinlah kakek ini bila lawannya
memang ten- gah mengeluarkan salah satu ilmu yang cukup
aneh dan belum pernah dia lihat sebelumnya.
"Jangan ragu-ragu lagi, sahabatku Peramal
Buntung! Segera serang lawanmu itu!" teriak Dewa Peramal.
"Ya..., ya! Tapi, jangan salahku aku bila
bocah ini mendapat celaka!" sahut Peramal Buntung.
"Jangan takabur! Segera buktikan ucapanmu bila kau memang mampu!"
Panas telinga Peramal Buntung mendengar
ucapan Dewa Peramal yang sedikit mengejek. Maka tanpa pikir panjang lagi dan
meninggalkan segala peradatan, dia menggembor keras seraya
mengirim tendangan beruntun tujuh kali!
Dengan gerakan ngawur dan menguap beberapa kali, tubuh Suropati bergeser ke sana
sini. Bila diperhatikan, semua gerakan Suropati sama
sekali tak terkendali oleh akal pikiran. Tapi, hasilnya sungguh membuat Peramal
Buntung mendelikkan mata karena terkejut. Empat tendangannya hanya mengenai
tempat kosong. Tiga tendangan lainnya menerpa permukaan tanah hingga menimbulkan
ledakan keras yang membuat
debu dan batu kerikil beterbangan.
Terbawa rasa penasaran, Peramal Buntung
jadi lupa diri. Dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke kaki kanannya. Lalu
dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, dia mengirim tendangan yang
mengarah kepala Suropati!
Namun bertepatan dengan itu, Suropati
menguap lebar. Mendadak, tubuhnya melesat,
melebihi kecepatan tendangan Peramal Buntung!
Wuttt...! Peramal Buntung segera sadar bila jiwanya
terancam. Namun, kesadarannya datang terlambat. Telapak tangan Suropati yang
telah berubah merah membara meluncur cepat untuk segera
mendarat di dada Peramal Buntung!
Blarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membahana di
angkasa. Salju tipis berwarna merah menebar di
mana-mana. Peramal Buntung dapat bernapas lega karena Dewa Peramal telah
memapaki pukulan
Suropati. "Kau telah kalah, sahabatku Peramal Buntung," ujar Dewa Peramal di antara dengus
napasnya yang memburu. Untuk memapaki pukulan Suropati, kakek buta ini telah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Ya...! Ya, aku memang kalah," aku Peramal Buntung dengan wajah pucat pasi. "Kau
menang dalam taruhan ini, sahabatku Dewa Peramal. Oleh karenanya, aku harus
menepati janjiku
untuk menjadi budak pengiring bocah bagus
ini...." Dewa Peramal cuma diam. Kakek buta ini
tengah mengatur jalan napas dan peredaran darahnya yang kacau. Untung dia tak
mengalami luka dalam. Sementara, Peramal Buntung tampak
mengedarkan pandangan.
"Heh"! Di mana bocah itu?" kejut Peramal
Buntung karena tak melihat sosok Suropati.
2 Gelap malam telah berkuasa atas segala isi
mayapada. Sang candra bagai kuning telur yang
melayang tertangkup bentangan langit hitam tiada bertepi. Cahayanya hanya mampu
membuat temaram di permukaan lembah ini. Kesunyian terasa mencekam manakala burung gagak
berkaok, sesekali ditimpali tekur burung hantu.
Sesuatu yang menyeramkan telah lekat
menyatu dengan kesunyian lembah. Permukaan
tanah tak lagi tampak karena tulang kerangka
manusia menyebar rata. Di tengah lembah, di
atas tebaran tulang berwarna putih meletak, duduk bersila seorang lelaki tua
berambut panjang
riap-riapan. Rongga matanya amat cekung melesak ke dalam. Hidungnya besar
bengkok seperti
buah mente layu. Bibirnya yang terkatup lebih lebar dari ukuran manusia biasa,
dan tampak pencong salah satu sudutnya.
Diiringi desau angin dingin malam yang
mendirikan bulu roma, tubuh lelaki berwajah buruk ini bergetar. Dari lubang
hidung, telinga, dan
mulutnya mengeluarkan gumpalan asap biru.
Gumpalan asap biru itu terus mengepul seirama
dengan hembusan napas.
Tampak kemudian, si muka buruk meremas-remas jemari tangannya sendiri. Semakin
lama gerakan meremas lelaki berambut riapriapan ini semakin cepat. Mendadak...,
dari tumpukan tulang-tulang yang menebar rata di seki-
tarnya keluar gumpalan api biru!
Sambil mengeluarkan suara menggeram, si
muka buruk membuka mulutnya yang lebar dan
pencong. Dan, gumpalan api biru yang keluar dari
tumpukan tulang tersedot masuk ke mulutnya!
Semakin lama semakin banyak gumpalan api biru
yang masuk ke mulut lelaki yang tengah mendalami ilmu sesat ini.
Di bagian lain, sekitar dua tombak dari kedudukan lelaki bermuka buruk, seorang
nenek bongkok tampak duduk bersila pula di atas tumpukan tulang. Nenek yang roman
mukanya menunjukkan sifat kejam ini juga tengah menyedot
gumpalan api biru yang mengepul dari tumpukan
tulang di sekitar tempat duduknya.
Tiba-tiba, tubuh lelaki bermuka buruk
yang tak lebih dari seorang kakek tua renta melayang dengan memperdengarkan
suara mendesis. Gerakan ini segera diikuti oleh si nenek bongkok yang duduk di
samping kirinya. Untuk beberapa lama tubuh mereka tetap melayang di udara
setinggi satu tombak dari tumpukan tulang.
Sewaktu kakek dan nenek ini membuka
kelopak mata, dua pasang sinar biru berkeredepan menyorot bagai pelita yang
mencoba menghalau kegelapan malam. Perlahan-lahan tubuh mereka turun kembali
dalam keadaan tetap duduk
bersila di atas tumpukan tulang.
"Hmmm.... Hanya manusia yang sudah bosan hidup berani memasuki tempat kediaman
Sepasang Racun Api," ujar kakek muka buruk dengan suara dingin bergetar.
Mendadak, dari balik pepohonan melesat
empat sosok bayangan. Salah seorang dari mereka langsung meneriakkan kata-kata,
"Antek-antek
Pesanggrahan Pelangi! Jiwa kalian kotor busuk!


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Layak menjadi penghuni neraka jahanam!"
Begitu kata-kata itu selesai diteriakkan, di
hadapan kakek dan nenek yang tak lain Sepasang
Racun Api telah berdiri tegak empat orang gadis
berpakaian serba putih. Rambut mereka samasama digelung ke atas dengan dihiasi
tusuk konde yang terbuat dari gading. Pinggang mereka
yang ramping terbelit selendang sutera. Satu di
antaranya berwarna merah, sedang yang lainnya
berwarna kuning.
"Hmmm.... Kiranya yang datang mengantarkan nyawa adalah orang-orang Istana
Langit!" ujar nenek bongkok, mengejek dan sangat memandang rendah. "Kebetulan sekali
kalian datang. Karena tak akan susah-susah kami menjalankan perintah Siluman
Ragakaca!"
"Sombong sekali kau, Hantu Bongkok!"
sentak gadis berselendang merah, yang agaknya
menjadi pemimpin ketiga temannya. "Kalau
tuanmu hanya mengandalkan dirimu dan suamimu, Hantu Jangkung, tidak bakalan
Pesanggrahan Pelangi mampu menggulingkan Istana Langit!"
"Ha ha ha...!" kakek muka buruk tertawa
seraya meloncat berdiri. Tampak tubuhnya yang
kurus tinggi berbalut jubah hitam gedombrongan.
"Aku, Hantu Jangkung, kalau tidak dapat melumatkan tubuh kalian malam ini juga,
aku akan memakan jantungku sendiri!"
Nenek berjuluk Hantu Bongkok bergegas
meloncat, dan berdiri berjajar di samping kiri suaminya, Hantu Jangkung.
Sementara, ketiga gadis berselendang kuning langsung bergerak mengitari. Semakin
lama semakin cepat, hingga menjadi bayang-bayang putih bening yang terus
berkelebat mengitari Sepasang Racun Api.
Gadis berselendang merah menjejak tanah.
Setelah tubuhnya melenting setinggi tiga tombak,
tiba-tiba menukik tajam! Masuk ke cahaya putih
bening yang dibuat oleh ketiga temannya!
Sepasang Racun Api yang berada di tengah
lingkaran mengangkat kedua tangannya seraya
diputar. Suara menggembor keras terdengar memekakkan gendang telinga, lalu
disusul sebuah ledakan dahsyat yang membuat sebagian batu
tebing lembah ambrol!
Gumpalan api biru menyembur-nyembur
dari pusat ledakan, membuat terang permukaan
lembah. Terdengar tiga jeritan panjang susul menyusul. Tubuh tiga gadis
berselendang kuning
terlontar ke arah tiga penjuru angin. Begitu jatuh
ke tanah, tubuh mereka langsung membengkak
lalu lumer menjadi cairan kental biru yang menebarkan bau busuk!
Sementara, gadis berselendang merah yang
mempunyai ilmu lebih tinggi dari ketiga temannya
tampak mencelat tegak lurus dengan permukaan
tanah. Di bawahnya, Sepasang Racun Api masih
memutar-mutar kedua tangan mereka. Dan,
gumpalan api biru terus mengepul tiada henti!
Tak mau jatuh ke dalam kobaran api yang
mengandung racun ganas, gadis berselendang
merah cepat mengibaskan dua lengan bajunya.
Bersamaan dengan bersiutnya angin, tubuh gadis
berpakaian putih ini melenting, lalu mendarat sejauh tiga tombak dari hadapan
Sepasang Racun Api. "Ha ha ha...!" Hantu Jangkung tertawa bergelak. "Ilmu 'Putaran Penghancur Jiwa'
belum sempurna kalian kuasai. Kenapa mesti ditunjukkan kepada Sepasang Racun Api"!"
Gadis berselendang merah tak menjawab.
Sambil berdiri gontai dia mengusap darah yang
meleleh dari sudut bibirnya. Gadis berwajah cantik ini berseru kaget saat tahu
telapak tangannya
telah berubah menjadi hitam legam seperti arang!
"Hmmm.... Kalau tidak salah aku melihat,
bukankah kau Putri Ayu Jelita?" ujar Hantu
Bongkok. "Kalau tidak salah pula, kau Ratu Istana Luar" Sayang sungguh sayang...
Tubuhmu yang montok dan wajahmu yang memang ayu jelita akan segera bengkak, lalu lumer
menjadi cairan kental biru berbau busuk! Sama persis dengan ketiga anak buahmu
yang telah dijemput ajal!"
Gadis berselendang merah yang memang
Putri Ayu Jelita, mendelikkan mata penuh perasaan ngeri. Bibirnya bergetar tak
mampu mengucap kata-kata. Warna hitam kedua telapak tangannya telah menjalar
sampai ke siku!
"Kau telah terkena 'Racun Pencair Raga',
Putri Ayu Jelita," ujar Hantu Jangkung. "Bila se-
kujur tubuhmu telah menghitam, kau akan mengalami siksaan hebat. Karena tubuhmu
kuat, kau akan mati perlahan-lahan. Setelah warna hitam
berubah biru, tubuhmu yang sintal montok itu
akan mencair! Ha ha ha...!"
Perasaan ngeri semakin membayang di mata Putri Ayu Jelita. Mengingat jiwanya
sudah tak mungkin tertolong lagi, gadis ini menjadi nekat!
"Aku mengadu jiwa dengan kalian, Antekantek Pesanggrahan Pelangi!"
Putri Ayu Jelita mengempos tenaga. Dia
alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke telapak tangan kanannya, tapi...
gadis cantik ini
malah memekik kesakitan. Tenaga dalamnya tak
dapat dikuasainya lagi, memutar balik lalu menghantam isi dadanya sendiri!
Tahulah Putri Ayu Jelita bila racun yang
bersarang di tubuhnya benar-benar ganas dan
mengandung kekuatan aneh yang sangat mematikan. Mengingat dirinya tak akan lama
lagi menghirup udara dunia, gadis cantik ini menerjang kalap. Mengirim empat pukulan
dan dua tendangan beruntun. Tapi karena tanpa disertai
pengerahan tenaga dalam, serangan itu tak berarti apa-apa bagi Sepasang Racun
Api! Pukulan dan tendangan Putri Ayu Jelita
tepat mengenai sasaran. Namun, gadis ini malah
menjerit kesakitan. Tubuhnya terlontar, lalu jatuh
berdebam ke tanah! Dan..., tak bergerak-gerak lagi!
"Hmmm.... Kau cuma pingsan, Putri Ayu
Jelita...," ujar Hantu Jangkung. "Aku akan mem-
percepat kematianmu!"
Di ujung kalimatnya, Hantu Jangkung
mengibaskan telapak tangan kanannya. Segumpal
api biru melesat mengeluarkan suara menderu
ganas! Namun sebelum tubuh Putri Ayu Jelita benar-benar lumat menjadi cairan kental
biru, sesosok bayangan berkelebat menyambar. Gumpalan
api biru hanya menerpa permukaan tanah, membuat tumpukan tulang di sekitarnya
berhamburan ke mana-mana....
*** Dengan membopong tubuh Putri Ayu Jelita, sesosok bayangan ini terus berkelebat
menyibak kegelapan malam. Setelah sampai di kaki gunung, tampak sebuah kuil tua
tak terurus. Si
bayangan menghentikan kelebatan tubuhnya.
Ternyata, dia si Pengemis Binal Suropati!
Mendadak, dari dalam kuil terdengar suara
mendehem, lalu disambung kata-kata sambutan.
"Walau aku telah kalah mengadu tebakan dengan
Dewa Peramal, kiranya aku masih mampu membaca bisikan alam. Tak mau aku menunggu
di kuil bobrok ini. Tuan Muda-ku telah datang...."
Suropati mengerutkan kening. Dia mengenal warna suara yang terdengar dari dalam
kuil. "Peramal Buntung...," desis remaja tampan
ini. "Ya..., ya, aku memang Peramal Buntung,
Tuan Muda," sahut suara dari dalam kuil. "Cepat-
lah masuk. Udara dingin malam amat jahat. Lagi
pula, kau membawa sesuatu yang berat. Kalau tidak salah aku menebak, sesuatu itu
pastilah orang yang tengah terluka...."
Lewat sudut matanya Suropati menatap
wajah gadis dalam bopongannya yang tampak pucat pasi. Dia tersentak kaget waktu
mengetahui kedua pergelangan tangan si gadis berwarna hitam legam. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Suropati melompat masuk ke kuil.
Ruang depan kuil gelap gulita. Tapi setelah
Suropati mengambil jalan di lorong sebelah kiri,
dia menemukan biasan cahaya yang berasal dari
perapian. Suropati melanjutkan langkah. Dan,
tampak oleh remaja tampan ini seorang kakek
buntung mengenakan rompi dan celana kuning.
Kakek yang kepalanya dilingkari besetan kulit
pohon kasar berduri itu tengah duduk bersila di
sisi kanan perapian.
"Hmmm.... Benar dugaanku bahwa yang
datang adalah Tuan Muda-ku. Benar dugaanku
pula bila Tuan Muda-ku membawa orang yang
tengah terluka," ujar kakek berompi kuning yang
tak lain Peramal Buntung. "Cepat kau turunkan
tubuh orang dalam boponganmu itu, Tuan Muda...."
Dengan pandangan tak lepas dari sosok
Peramal Buntung, Pengemis Binal membaringkan
tubuh Putri Ayu Jelita ke lantai kuil. Sewaktu
mengalihkan pandangan, terkejutlah remaja tampan ini. Sekujur tubuh si gadis
berwarna hitam legam. Hanya tersisa pada bagian wajahnya. Pen-
gemis Binal baru mengerti bila warna hitam legam
itu menjalar dari kedua lengan si gadis.
Tanpa mempedulikan Peramal Buntung,
bergegas Suropati memeriksa keadaan Putri Ayu
Jelita. Keluh-kesah segera keluar dari mulut Suropati.
"Racun.... Racun...," desah Pengemis Binal,
seperti menyesali keadaan.
Melihat racun ganas yang telah menjalar di
sekujur tubuh Putri Ayu Jelita, Suropati sadar bila dirinya tak akan mampu
berbuat banyak untuk
memberikan pertolongan. Walau Suropati mempunyai ilmu pengobatan ajaran si Wajah
Merah, tapi dia tak tahu racun jenis apa yang telah menyerang tubuh si gadis.
"Kek..., gadis ini terkena racun ganas...,"
ujar Suropati kepada Peramal Buntung, mengharap bantuan.
Peramal Buntung beringsut dari tempat
duduknya. Dan, kakek ini menjadi kaget luar biasa manakala tahu keadaan Putri
Ayu Jelita. "Siapa yang telah meracuninya?" tanya Peramal Buntung, setengah berteriak.
"Aku tak tahu," jawab Pengemis Binal. "Aku
menyambar tubuh gadis ini ketika seorang kakek
tinggi jangkung berusaha membunuhnya."
"Kakek tinggi jangkung?"
"Ya."
"Dengan cara apa dia hendak membunuh
gadis ini?"
"Dia mengibaskan telapak tangan kanannya. Dan, segumpal api biru melesat hendak
me- nerpa tubuh gadis ini."
"Kakek yang kau sebutkan itu apakah
mengenakan jubah hitam gedombrongan?"
"Aku tak begitu memperhatikan. Karena,
aku hanya kebetulan lewat."
"Di dekat kakek itu apakah ada seorang
nenek bongkok?"
Pengemis Binal tampak berpikir sejenak.
"Ya. Aku melihat sesosok manusia di samping kiri
si kakek. Tapi, aku tak tahu apakah dia seorang
nenek bongkok."
Peramal Buntung tak melanjutkan pertanyaannya. Dia tatap warna hitam legam di
tubuh Putri Ayu Jelita yang kini telah menjalar sampai
ke pangkal tenggorokan. Tatapan Peramal Buntung menyiratkan rasa khawatir.
Demikian pula Pengemis Binal yang duduk di sampingnya.
"Bagaimana ini, Kek?" tanya Suropati, semakin khawatir. Walau tidak mengenal
siapa si gadis, tapi hati remaja tampan ini tergerak untuk
memberikan pertolongan. Namun, bagaimana caranya"
Suropati jadi bergidik ngeri manakala hidungnya mencium bau busuk mayat yang
berasal dari tubuh Putri Ayu Jelita. Bau busuk itu amat
tajam, mengalahkan bau asap yang menebar dari
perapian. Peramal Buntung yang lebih matang pengalaman tak mempedulikan bau busuk yang
menusuk lubang hidungnya. Dengan jari kaki kanannya, kakek buntung ini memeriksa
urat nadi Putri Ayu Jelita. Dia rasakan aliran darah si gadis
yang mulai kacau.
"Inilah ilmu sesat dari Sepasang Racun
Api...," desis Peramal Buntung. "Ilmu 'Racun Pencair Raga'."
Peramal Buntung menggeleng-gelengkan
kepala sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya.
"Ilmu 'Racun Pencair Raga' jahat dan kejam sekali. Siapa pun yang terkena racun
yang bersumber dari api biru ciptaan Sepasang Racun Api, akan
menemui ajal dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya akan bengkak kemudian berubah
menjadi cairan kental biru yang berbau amat busuk...."
"Lalu, bagaimana cara menolongnya, Kek?"
tanya Pengemis Binal, memburu.
"Kecuali mendapat obat pemunah racun
dari Sepasang Racun Api, tidak ada jalan lain untuk menolongnya," jawab Peramal
Buntung dengan air muka keruh.
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Pandangan mata pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini mendadak berkilatkilat. Dalam dadanya timbul letupan
api amarah yang ditujukan kepada Sepasang Racun Api.
"Untuk melatih ilmu 'Racun Pencair Raga',
seseorang harus menjauhkan rasa belas kasihan
dan perikemanusiaan. Dengan menggunakan empat ratus mayat manusia dan menyedot
hawa busuk beracun dari dalamnya, ilmu itu baru dapat
dikuasai dengan sempurna...," jelas Peramal Buntung. "Jika bukan orang yang


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah hampir hilang ingatan atau manusia yang disusupi roh siluman, tidak
bakalan ada orang yang mau mem-
pelajari ilmu sesat ini."
"Kita harus segera mencari orang yang berjuluk Sepasang Racun Api itu!" cetus
Suropati, menggeram. "Kita harus mendapatkan obat penawar racun ini dari mereka!"
"Sudah terlambat...," desis Peramal Buntung.
Menjomblak kaget Suropati ketika melihat
separoh wajah Putri Ayu Jelita telah dijalari warna hitam legam. Selagi remaja
berpakaian putih
penuh tambalan ini terbawa rasa kalut dan benci
kepada Sepasang Racun Api, mendadak dari luar
kuil terdengar suara....
Tok! Tok! Tok! "Dewa Peramal...," desis Pengemis Binal.
Seperti ingat sesuatu yang amat menggembirakan, tiba-tiba air muka Peramal
Buntung yang semula keruh berubah cerah. Matanya berkilat memancarkan satu harapan.
"Sahabatku Dewa Peramal! Cepatlah masuk! Beruntunglah kau. Pada usiamu yang
sudah mendekati liang kubur, tenagamu masih dibutuhkan orang," ujar Peramal Buntung.
Tok! Tok! Tok! Setelah terdengar suara tempurung membentur tanah tiga kali, muncul hembusan
angin bersiut yang mengibarkan rambut Suropati dan
Peramal Buntung. Di lain kejap, di dalam kuil telah berdiri seorang kakek kurus
kering berpakaian compang-camping. Rongga matanya rata
dengan pipi alias tak punya mata. Dewa Peramal!
"Aku datang mengikuti suara hatiku. Aku
datang karena bisikan alam. Kalau di sini tenagaku memang benar dibutuhkan,
sungguh aku manusia yang beruntung. Menolong sesama manusia
adalah pahala...."
Sambil berkata, Dewa Peramal memalingkan wajahnya ke kanan kiri. Seperti dapat
melihat, kakek buta ini melangkah tiga tindak, lalu
duduk di sisi tubuh Putri Ayu Jelita yang terbaring telentang tiada daya.
Tanpa ada yang meminta atau menyuruh,
Dewa Peramal memeriksa keadaan Putri Ayu Jelita dengan kedua tangannya yang
tinggal tulang terbungkus kulit keriput. Batang hidung kakek
buta ini bergerak turun naik karena mengendus
bau busuk. "Kiranya Tuhan masih memberi kesempatan kepadaku untuk menanam budi baik. Dengan
kehendak Tuhan pula, mudah-mudahan aku bisa
menolong gadis ini...."
Usai berkata, Dewa Peramal mengambil poci kecil yang terikat di kain celananya.
Ketika tutup poci diangkat, aroma arak keras menebar.
Untuk sesaat bau busuk yang keluar dari tubuh
Putri Ayu Jelita lenyap.
"Aku mau berbuat baik. Tuhan pasti mengizinkan.... Aku mau berbuat baik. Tuhan
pasti merestui..."
Sambil berkata demikian, Dewa Peramal
menggoyang-goyangkan poci arak di tangan kanannya. Karena goyangannya disertai
aliran tenaga dalam, cairan arak bergolak mendidih dan
mengepulkan asap dan api.
Suropati dan Peramal Buntung cuma dapat
melongo melihat apa yang diperbuat oleh Dewa
Peramal. Sementara, Dewa Peramal lalu mengeluarkan sebuah bonggol akar berwarna
putih berkilat. Akar itu lalu dibuat mengaduk cairan arak
panas di dalam poci.
Usai berbuat begitu, Dewa Peramal mengangkat wajah seraya dipalingkan ke kanan,
menghadap Pengemis Binal. "Bocah bagus..., untuk selanjutnya kaulah yang harus
menolong. Minumkan arak ini. Sisanya untuk menggosok
kulit gadis yang telah terjalari racun ini."
Suropati segera menyambut poci arak yang
disodorkan kepadanya. Terkesiap remaja tampan
ini ketika merasakan badan poci yang dingin seperti es. Padahal, cairan arak
yang berada di dalamnya baru saja mengepulkan api!
Perlahan Dewa Peramal bangkit, lalu berkata kepada Peramal Buntung, "Ada sesuatu
yang harus kubicarakan denganmu, Sahabatku. Bisakah kau meninggalkan tempat ini
sekarang juga?"
Peramal Buntung menggelengkan kepala.
"Tidak! Aku telah bertemu dengan Tuan Muda-ku.
Seumur hidupku aku akan mengikutinya sebagai
budak pengiring."
Bibir Dewa Peramal menyunggingkan senyum. Kepalanya dipalingkan ke kanan lagi,
menghadap Pengemis Binal. "Bocah bagus.... Aku
memintakan izin Peramal Buntung untuk pergi
bersamaku sekarang ini juga."
Dengan pandangan tak mengerti, Pengemis
Binal menatap wajah Dewa Peramal. Sambil ga-
ruk-garuk kepala, dia menjawab sekenanya,
"Ya..., ya!"
Begitu bibir Suropati terkatup lagi, Dewa
Peramal berkelebat keluar kuil, meninggalkan tiupan angin bersiut. Sementara,
Peramal Buntung
bergegas bangkit. Dia membungkukkan badan di
hadapan Suropati.
"Terima kasih, Tuan Muda...," ujar Peramal
Buntung, penuh penghormatan. "Setelah urusanku dengan Dewa Peramal selesai, aku
pasti akan mencari Tuan Muda."
Pengemis Binal melongo tak mengerti. Remaja tampan ini kembali menggaruk
kepalanya yang tak gatal manakala Peramal Buntung berkelebat menyusul Dewa Peramal.
3 Dengan hidung berkernyit, Pengemis Binal
menatap wajah Putri Ayu Jelita. Kepalanya kontan menggeleng-geleng. Dia baru
menyadari bila si gadis ternyata sangat elok rupawan. Hanya
sayang, wajah si gadis telah menghitam sebagian.
Sesaat Pengemis Binal bingung. Dengan
cara apa dia meminumkan arak penawar racun
pemberian Dewa Peramal" Diminumkan begitu
saja, jelas tidak mungkin karena kesadaran si gadis telah lenyap. Dibantu dengan
aliran tenaga dalam" Juga tidak mungkin. Setiap benda cair
yang dialiri tenaga dalam hanya akan berakibat
dua macam. Menjadi dingin beku atau mendidih
panas. Cairan yang telah membeku menjadi gumpalan atau telah mendidih panas,
mustahil dapat dimasukkan ke lambung orang yang tengah pingsan.
Suropati nyengir kuda sambil garuk-garuk
kepala. "Hanya ada satu cara.... Hanya ada satu
cara...," desisnya. "Tapi...."
Semakin keras Pengemis Binal menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Mengingat jiwa si gadis
yang makin mendekati bahaya, segera remaja
tampan ini mengambil keputusan. Dihirupnya
arak dalam poci yang telah menjadi dingin. Lalu..., dia tempelkan mulutnya ke
mulut Putri Ayu
Jelita. Begitu dua pasang bibir bertemu, otak
Pengemis Binal jadi linglung. Bibir Putri Ayu Jelita terasa lembut, hangat, dan
sungguh bisa membuat orang terlena.
"Dasar mata bongsang!" rutuk Pengemis
Binal kepada dirinya sendiri dalam hati.
Cepat remaja tampan ini menghalau pikiran mesum di benaknya. Dengan bibir saling
melekat, Pengemis Binal mendorong masuk arak
yang menggenang di rongga mulutnya.
"Syukurlah.... Syukurlah...," desis Pengemis Binal usai melakukan pekerjaan yang
dirasa amat berat itu.
Sambil terus menggaruk kepalanya yang
tak gatal, remaja yang sering berperilaku konyol
itu menatap sekujur tubuh Putri Ayu Jelita yang
menghitam. Tugasnya sekarang adalah menggosok kulit si gadis dengan sisa arak
dalam poci. Dan..., menggosok sekujur tubuh si gadis tentu
saja harus menanggalkan pakaiannya!
"Gila!" rutuk Suropati. "Kalau aku menanggalkan pakaian gadis ini, wuih, jangan-
jangan ada setan lewat lalu menggodaku untuk... untuk....
Walah!" Plok! Plok! Seperti telah kehilangan ingatan, Pengemis
Binal menggaplok kepalanya sendiri dua kali.
Namun dengan berbuat demikian, pikiran buruk
di benaknya segera lenyap.
Bergegas remaja konyol ini mengambil sapu-tangan dekil dari saku bajunya, lalu
dicelupkan ke dalam poci yang berisi arak penawar
racun. Dengan lembut, Pengemis Binal mengusap
wajah Putri Ayu Jelita yang telah menghitam sebagian. Pengemis Binal kontan
tersenyum senang.
Terkena usapan saputangan yang telah dibasahi
arak, kulit wajah Putri Ayu Jelita kembali ke
asalnya. Halus, mulus, putih bersemu merah sehat!
Pengemis Binal lalu mengusapkan saputangannya ke leher Putri Ayu Jelita. Kedua
pergelangan tangan dan kaki. Tapi, kini timbul satu
kesulitan lagi. Bagaimana cara mengusap bagian
tubuh yang tertutup pakaian"
"Ya, Tuhan...," sebut Pengemis Binal. "Aku
tidak berniat jahat. Aku hendak menolong gadis
ini. Bila caraku ini kelihatan tak senonoh, sudilah
kau memberi ampunan...."
Sambil menengadahkan wajah, tangan Suropati bergerak... membuka kancing baju
Putri Ayu Jelita. Dan, mulailah remaja konyol ini mengusap dada si gadis. Sewaktu
tangannya menyentuh dua bulatan kenyal, jantung Suropati berdegup kencang. Darah
mudanya berdesir aneh. Jemari tangan Suropati jadi bergetar. Namun, dia
tak mau berhenti memberi pertolongan. Dibukanya pakaian Putri Ayu Jelita.
Dan..., jemari tangan Suropati yang menjepit saputangan terus
bergerak ke bawah..., dan terus ke bawah...
"Uh...!"
Pengemis Binal melonjak kaget sewaktu
mulut Putri Ayu Jelita mengeluarkan suara keluhan. Segera Pengemis Binal
beringsut menjauh
setelah mengetahui si gadis telah siuman.
"Bagaimana aku ini?" seru Putri Ayu Jelita
seraya bangkit duduk.
Untunglah gadis ini punya daya ingat kuat
dan pengalaman cukup luas. Mengetahui ada
orang duduk tak jauh darinya, sementara pakaiannya tersingkap di beberapa
bagian, dia tak
menjadi kaget ataupun naik pitam, Putri Ayu Jelita sadar bila orang yang duduk
tak jauh darinya
sama sekali tak bermaksud buruk. Bahkan, telah
memberi pertolongan melenyapkan racun yang
bersarang di tubuhnya.
"Maafkan aku, Nona...," ujar Suropati, tak
berani menatap Putri Ayu Jelita. "Sebagian kulit
tubuhmu masih ada yang berwarna hitam. Kau
basuhlah dengan arak yang ada di sampingmu."
Sejenak Putri Ayu Jelita melihat keadaan
kulit tubuhnya sendiri. Mengetahui kebenaran
ucapan Suropati, dia langsung menyambar poci
berisi arak. Dengan menggunakan saputangan
yang telah dicelupkan ke cairan arak itu, Putri
Ayu Jelita mengusap-usap beberapa bagian tubuhnya yang masih menghitam.
Sebentar kemudian, Putri Ayu Jelita benarbenar telah terbebas dari pengaruh
'Racun Pencair Raga'. Dan, tak bisa digambarkan lagi betapa
gembira hati gadis ini mengetahui jiwanya telah
terselamatkan. Usai merapikan pakaiannya, dia
bersujud di hadapan Pengemis Binal yang tampak
memalingkan muka karena jengah.
"Terima kasih.... Tuan telah menolong
saya...," ujar Putri Ayu Jelita.
Perlahan Pengemis Binal membalikkan wajah seraya menatap Putri Ayu Jelita yang
tengah bersujud. "Hei! Hei!" tegurnya. "Kau tak perlu bersikap seperti ini. Yang
memberikan arak obat itu
Dewa Peramal. Berterima kasihlah kepadanya."
Mendengar ucapan Pengemis Binal, Putri
Ayu Jelita mengangkat badannya. Melihat seraut
wajah tampan milik Pengemis Binal, Putri Ayu Jelita kontan menunduk malu.
Sementara, Pengemis Binal sendiri cuma cengar-cengir.
"Siapa namamu?" tanya Suropati yang mulai kumat sifat mata bongsangnya.
"Aku...."
Putri Ayu Jelita tak melanjutkan kalimatnya. Seperti melihat sesuatu yang amat
menakutkan, paras gadis cantik ini berubah tegang.
Ditatapnya sejenak wajah Pengemis Binal, lalu
bangkit dan berkelebat keluar kuil.
"Hei! Kau belum menyebutkan namamu!"
teriak Pengemis Binal seraya meloncat mengejar.
Namun, hanya kegelapan malam yang ditemui Pengemis Binal. Putri Ayu Jelita telah
lenyap, entah berkelebat ke arah mana.
"Kalaupun punya urusan sangat penting,
kenapa menyebutkan nama saja tak sempat"!" gerutu Suropati.
Mendadak, remaja konyol ini terhenyak
langkahnya. Telinganya menangkap suara bisikan
yang dikirim dari jarak jauh.
"Putri Ayu Jelita. Ya..., ya! Kau memang
pantas memakai nama itu...," desis Suropati
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
*** "Sahabatku Dewa Peramal, apa maksudmu
mengajak aku kemari?" tanya Peramal Buntung
yang telah berada di puncak bukit berbatuan.
Dewa Peramal tak segera menjawab. Dia
hanya memukulkan tempurung kelapa yang melekat di kakinya beberapa kali ke
permukaan batu. Sementara, lamat-lamat terdengar kokok ayam
alas, pertanda hari akan segera menyingsing fajar.
"Sahabatku Dewa Peramal," sebut Peramal
Buntung lagi. "Bila kau tak segera menyampaikan
maksudmu, berarti membuang-buang waktu saja.
Kita telah meninggalkan seorang gadis yang tengah bergelut dengan maut di dalam


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuil. Andai saja obat yang kau berikan tiada manjur, apakah
ini bukan perbuatan dosa?"
"Jangan khawatir, sahabatku Peramal
Buntung...," sahut Dewa Peramal. "Obat yang kutinggalkan pastilah manjur.
Jangankan cuma 'Racun Pencair Raga', semua racun paling ganas
di dunia ini pun bila digabungkan tak akan mampu melawan khasiat Akar Kayangan
milikku." "Bicaramu begitu meyakinkan. Suatu saat
aku pasti akan membuktikan kebenaran ucapanmu ini, sahabatku Dewa Peramal."
"Boleh.... Boleh...," sahut Dewa Peramal.
"Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan Akar Kayangan."
"Menilik gaya bicaramu yang penuh kesungguhan, aku jadi penasaran untuk segera
mengetahui apa yang ingin kau sampaikan kepadaku hingga mengajakku datang ke
puncak bukit ini...." Dewa Peramal diam. Kepalanya berpaling
ke kanan. "Sahabatku Dewa Peramal..., bila kau diam
saja, rasa penasaran dalam diriku akan bertambah. Bila rasa penasaran itu sudah
bertumpuk dan membuat dadaku sesak, tidak ada alasan bagiku untuk tidak kembali ke kuil."
"Sabarlah...," sahut Dewa Peramal. "Aku
mengajakmu datang ke tempat ini bukan hanya
untuk menyampaikan sesuatu, tapi juga untuk
meminta bantuanmu...."
Ganti Peramal Buntung yang diam membisu. Kumis dan jenggotnya yang panjang
berkibarkibar tertiup angin.
"Beberapa kali aku berada di puncak bukit
ini, aku mendengar sesuatu yang aneh. Karena
aku tak dapat melihat, aku tak dapat memastikan
itu keanehan apa," lanjut Dewa Peramal.
"Lalu kau ajak aku kemari agar aku dapat
melihat keanehan yang kau katakan itu, dan
mengatakannya kepadamu?"
"Ya. Itulah bantuan yang kuharapkan darimu...," tegas Dewa Peramal. "Sekarang,
arahkan pandanganmu ke selatan, sahabatku Peramal
Buntung...."
Peramal Buntung segera menuruti perkataan Dewa Peramal. Kening kakek berompi
kuning ini segera berkerut rapat. "Kau minta aku
mengarahkan pandangan ke selatan. Sekarang,
aku sudah menurutinya. Tapi tak ada yang dapat
kulihat, kecuali jajaran gunung yang terselimuti
kabut...."
"Sabarlah, sahabatku Peramal Buntung.
Kalau kau belum melihat apa-apa, berarti keanehan itu belum muncul. Tetaplah kau
arahkan pandanganmu ke selatan."
Melihat kesungguhan sahabatnya, Peramal
Buntung membuka mata lebar-lebar ke arah selatan. Setelah menunggu beberapa
saat, kakek berompi kuning ini terkesiap. Telinganya menangkap suara mendesis
yang datang dari langit di
mana dia mengarahkan pandangan. Sebenarnya
suara itu amat pelan. Tokoh silat tingkat menengah pun tak akan mampu
mendengarnya. "Kau dengar suara itu, sahabatku Peramal
Buntung?" tanya Dewa Peramal yang mempunyai
pendengaran tajam.
"Ya. Aku mendengar suara mendesis seper-
ti ular tengah meleletkan lidah. Tapi, aku tak melihat apa-apa...," jawab
Peramal Buntung.
"Tetaplah kau arahkan pandangan ke selatan. Aku yakin keanehan itu akan segera
dapat kau lihat..."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Dewa Peramal, suara mendesis yang terdengar
dari langit sebelah selatan lenyap. Peramal Buntung
kembali terkesiap. Matanya terbelalak dan tak
berkedip-kedip lagi.
"Aku dapat mendengar jantungmu yang
berdetak lebih cepat," ujar Dewa Peramal. "Apakah gerangan yang kau lihat,
sahabatku Peramal
Buntung?" Tanpa mengalihkan pandangan, Peramal
Buntung berkata, "Aku melihat tujuh larik warna
berlainan yang melesat dari langit selatan..., menembus kabut, dan jatuh di
lereng gunung yang
terdekat dengan bukit yang kita tempat ini...."
"Tujuh larik warna?" kejut Dewa Peramal.
"Yang kau maksud apakah warna pelangi?"
"Begitulah..., tapi tunggu sebentar...."
Dewa Peramal diam. Namun, kakek buta
ini tak mampu menyembunyikan perasaan tegang. Tak pernah ada cerita atau riwayat
yang mengatakan bahwa kemunculan pelangi akan didahului oleh suara mendesis seperti
ular yang sedang meleletkan lidah. Timbul pikiran di benak
Dewa Peramal, pelangi yang dilihat Peramal Buntung pasti bukan pelangi yang
sewajarnya! Maka dengan hati berdebar-debar, Dewa
Peramal menunggu apa yang akan dikatakan oleh
Peramal Buntung selanjutnya. Dan, dua kejap
mata kemudian....
"Dari ujung pelangi yang sebelah atas, melesat gumpalan api biru...," beri tahu
Peramal Buntung. "Jumlahnya ada dua. Dalam kedudukan sejajar, gumpalan api biru itu
menembus kabut..., dan mendarat di lereng gunung...."
"Kita ke sana!" cetus Dewa Peramal terbawa rasa ingin tahu.
"Sebaiknya memang begitu," terima Peramal Buntung.
Tanpa pikir panjang lagi, dua kakek yang
sama-sama punya cacat bawaan lahir ini berkelebat menuruni bukit. Tubuh mereka
melesat cepat berubah menjadi asap yang menyatu dengan
hembusan angin Cacat mata yang dimiliki Dewa Peramal
sama sekali tak menyulitkan kelebatan tubuhnya.
Lewat pendengarannya yang tajam luar biasa, dia
bisa mengetahui jalan mana yang harus ditempuh
agar tak menabrak sesuatu atau terpeleset jatuh
ke dalam jurang. Lagi pula, Peramal Buntung
berkelebat di depan. Jadi, dia bisa mengekor jejak
suara yang diperdengarkan oleh sahabatnya itu.
Tak seberapa lama kemudian, manakala
semburat cahaya mentari memancar di ufuk timur, Peramal Buntung dan Dewa Peramal
telah menginjakkan kaki di tempat yang mereka tuju.
Peramal Buntung mengajak sahabatnya bersembunyi di balik pepohonan. Sementara,
Dewa Peramal pun menurut saja.
"Aku melihat Sepasang Racun Api tengah
duduk bersila saling berhadapan," bisik Peramal
Buntung. "Tangan kanan Hantu Bongkok menempel di bahu kiri Hantu Jangkung.
Demikian pula sebaliknya."
"Mereka sedang melatih ilmu 'Racun Pencair Raga'?" tanya Dewa Peramal.
"Kemungkinan besar memang begitu," jawab Peramal Buntung. "Di sekitar mereka
berserakan tulang-belulang manusia. Dan... dari selasela tulang-belulang itu
mengepul gumpalan api
biru..., lalu masuk ke rongga mulut mereka...."
"Astaga!"
"Tenanglah. Kini, tubuh mereka tampak
bergetar..., melayang..., turun lagi..., mereka
membuka mata!"
Sekitar sepuluh tombak dari tempat persembunyian Peramal Buntung dan Dewa
Peramal, tampak dua sosok manusia berjubah hitam bangkit dari duduk. Yang satu seorang
kakek bermuka buruk dan bertubuh tinggi jangkung. Satunya lagi
seorang nenek bertubuh bongkok. Mereka memang Sepasang Racun Api. Hantu Jangkung
dan Hantu Bongkok! "Memang banyak untungnya bila kita mengabdikan diri kepada Siluman Ragakaca.
Pesanggrahan Pelangi benar-benar sebuah tempat
kediaman yang maha hebat. Ketika masuk tadi,
aku merasa kekuatanku bertambah. Apakah kau
juga begitu, istriku Hantu Bongkok?" ujar Hantu
Jangkung. "Ya. Aku juga merasa kekuatanku menjadi
berlipat ganda," sahut Hantu Bongkok. "Ini semua
karena kebaikan Siluman Ragakaca. Memang, tak
percuma kita mengabdi kepadanya...."
"Bahkan, dia pun memberi petunjuk cara
menggabungkan kekuatan kita. Dan, kita telah
berhasil melakukannya tadi. Ilmu 'Racun Pencair
Raga' tak mungkin ada tandingannya lagi. Ha ha
ha...!" Hantu Bongkok menimpali tawa suaminya
dengan tawa pula. Sepasang Racun Api larut dalam kegembiraan tanpa tahu bila
mereka tengah diintai. "Istriku Hantu Bongkok...," sebut Hantu
Jangkung kemudian.
"Ya, suamiku Hantu Jangkung..,," sahut
Hantu Bongkok. Mata Hantu Jangkung mengerling penuh
arti. "Keluar dari Pesanggrahan Pelangi, kita mendapat tambahan tenaga baru.
Tidakkah kau ingin
menjajal tenaga baru itu, istriku Sayang...?"
"Itulah yang sebenarnya ingin kukatakan
kepadamu, suamiku Tercinta...."
Hantu Jangkung tertawa bergelak. Mendadak, kakek buruk rupa ini menerkam tubuh
Hantu Bongkok hingga terjatuh di atas tumpukan tulang. Dan tampaknya, Hantu
Bongkok pasrah saja mendapat perlakuan kasar Hantu Jangkung.
Dia biarkan bibirnya digigit-gigit. Dia biarkan
buah dadanya diremas-remas. Dia biarkan pula
jubahnya ditanggalkan....
Tubuh Sepasang Racun Api melekat erat,
dan bergulingan di atas tumpukan tulang!
Peramal Buntung yang melihat adegan itu
cepat memalingkan muka seraya mengucap sumpah serapah dalam hati. Sementara,
Dewa Peramal yang tak dapat melihat berkali-kali menarik
napas panjang dengan kening berkerut rapat.
"Aku mendengar Sepasang Racun Api hendak menjajal tenaga, tapi kenapa aku tidak
mendengar suara orang bertempur?" ujar Dewa Peramal, heran. "Aku malah mendengar
suara orang mengerang, menjerit, mendesis-desis, dan dengus
napas memburu...."
"Hus! Mereka sedang bertempur. Seru dan
luar biasa sekali!" beritahu Peramal Buntung.
"Bahkan, mereka sedang mengadu senjata!"
"Ah! Yang benar saja!" seru Dewa Peramal,
tak percaya. "Aku tak mendengar dentingan senjata tajam ataupun benturan senjata
lainnya." "Aku tidak bohong!" seru Peramal Buntung
pula. "Mereka memang sedang mengadu senjata
masing-masing. Senjata yang letaknya di bawah
perut!" Mengelam paras Dewa Peramal seketika
mendengar ucapan Peramal Buntung. "Jadi...,
mereka sedang melakukan...."
"Ya!" sahut Peramal Buntung.
"Tak tahu malu! Tua-tua masih butuh begituan...," gerutu Dewa Peramal. "Kita
pergi saja!"
"Jangan dulu!"
"Kenapa" Kau senang mengintip mereka?"
"Bukan begitu! Kita telah mendengar pembicaraan mereka, sudah jelas bila mereka
telah menjadi kaki tangan Siluman Ragakaca. Kita wajib mengenyahkan manusia-manusia
busuk yang menjadi alat pengumbar nafsu jahat penguasa
Pesanggrahan Pelangi itu!"
Dewa Peramal menggeleng-gelengkan kepala. Peramal Buntung menatap heran.
"Kenapa kau menolak, sahabatku Dewa Peramal?" tanya Peramal Buntung dengan alis
berkerut. "Bukankah kau punya Akar Kayangan yang
katamu tak mempan segala jenis racun" Kenapa
mesti takut pada ilmu 'Racun Pencair Raga' mereka?"
Kepala Dewa Peramal menggeleng-geleng
lagi. "Bukan aku menolak untuk melenyapkan
manusia kejam yang penuh dosa. Aku tahu selama Sepasang Racun Api menjadi kaki
tangan Siluman Ragakaca, mereka akan berbuat jahat
seumur hidup. Tapi tahukah kau, sahabatku Peramal Buntung, bila aku punya
pantangan membunuh orang?"
"Kenapa?"
"Itulah sumpahku sebelum aku belajar ilmu meramal peruntungan orang. Aku tidak
mau termakan sumpahku sendiri."
Peramal Buntung mengerutkan kening.
Namun, kakek berompi kuning ini bisa menyadari
pula alasan Dewa Peramal. "Lalu, bagaimana
baiknya sekarang" Haruskah aku menggempur
mereka seorang diri?" ujarnya kemudian.
"Jangan! Mereka baru keluar dari Pesanggrahan Pelangi. Bukan aku meragukan
kemampuan mu, sahabatku Peramal Buntung. Tapi,
kau mesti menyadari bagaimana Pesanggrahan
Pelangi itu...."
Mendadak, terdengar suara tawa panjang
bergelak-gelak. Hantu Jangkung merayap bangkit
dari atas tubuh Hantu Bongkok. Begitu tubuhnya
terbebas dari beban yang cukup berat, Hantu
Bongkok pun tertawa mengikik....
"Hi hi hi...! Hebat! Hebat sekali kau, suamiku Hantu Jangkung. Kekuatan yang kau
dapat dari Pesanggrahan Pelangi benar-benar luar biasa!"
"Ha ha ha...! Kau jangan mengejek, istriku
Hantu Bongkok! Kaulah yang hebat! Andai saja
aku tidak mengempos tenaga sampai ke puncak,
mana aku dapat menahan geliatan tubuhmu yang
begitu ganas. Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, Hantu Bongkok menepuk punggung suaminya yang tengah tertawa puas.
Dengan kening berkerut, dia memberi isyarat mata.


Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berani datang ke tempat kediaman Sepasang Racun Api berarti telah bosan hidup!"
teriak Hantu Jangkung yang dapat menangkap isyarat
istrinya. "Keluar! Atau, kulumatkan tubuh kalian
di tempat ini juga!"
Peramal Buntung dan Dewa Peramal terkejut karena telah ketahuan. Untuk beberapa
saat kedua kakek cacat itu tak tahu apa yang harus
diperbuat. "Bagaimana ini?" tanya Peramal Buntung.
"Kita pergi!"
Mengingat nama Pesanggrahan Pelangi dan
Siluman Ragakaca, Peramal Buntung langsung
menyetujui gagasan Dewa Peramal. Bertepatan
dengan tubuh mereka yang berkelebat pergi, Han-
tu Jangkung mengibaskan telapak tangan kanannya. Segumpal api biru mengandung
racun ganas melesat! Blarrr...! 4 Pengemis Binal yang tengah tidur di teras
kuil tersentak kaget merasakan hembusan angin
kencang yang memperdengarkan suara bersiut
keras. Bergegas pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini meloncat bangun seraya membuka mata lebar-lebar. Ditatapnya
dua orang kakek cacat yang telah berdiri di halaman kuil. Peramal Buntung dan
Dewa Peramal! "Kulihat wajah kakek berdua pucat. Kudengar tarikan napas kakek berdua memburu
pula. Apakah ada sesuatu yang amat menakutkan?"
ujar Suropati sambil mengucak-ucak matanya
yang masih terasa berat.
"Aku baru saja melihat Sepasang Racun
Api...," beri tahu Peramal Buntung.
"Kenapa dengan mereka?"
"Telah terbukti bila mereka menjadi kaki
tangan Siluman Ragakaca!"
Walau Peramal Buntung berkata setengah
berteriak dan penuh kesungguhan, Pengemis Binal tak menjadi terkejut. Karena,
remaja tampan ini belum mengenal siapa Siluman Ragakaca.65
"Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Dewa
Peramal, mengalihkan pembicaraan. Maksudnya
menanyakan Putri Ayu Jelita.
"Dia telah pergi," jawab Pengemis Binal,
singkat. "Hmmm.... Kalau begitu, dia telah sembuh.
Memang, aku percaya betul pada khasiat 'Akar
Kayangan'," ujar Dewa Peramal, lirih. Lalu, kakek
buta ini memalingkan muka ke arah Peramal
Buntung seperti dapat melihat, seraya berkata,
"Tidak ada lagi yang dapat kuperbuat di sini. Soal
Sepasang Racun Api bisa kita rundingkan lain
waktu, sahabatku Peramal Buntung."
Usai berkata, Dewa Peramal menjejakkan
kaki kanannya tiga kali. Tempurung kelapa membentur tanah keras. Tok! Tok! Tok!
Di lain kejap, sosok Dewa Peramal telah hilang dari pandangan.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung melepaskan
kepergiannya tanpa berkata apa-apa.
"Kau katakan tadi bahwa Sepasang Racun
Api telah menjadi kaki-tangan Siluman Ragakaca.
Siapa itu Siluman Ragakaca?" tanya Pengemis Binal kemudian.
"Dia penguasa Pesanggrahan Pelangi," jawab Peramal Buntung.
"Pesanggrahan Pelangi" Tempat macam
apa itu" Dan, di mana letaknya?"
"Maaf, Tuan Muda.... Aku tak tahu."
Suropati garuk-garuk kepala dengan alis
bertaut. "Banyak tokoh di Negeri Pasir Luhur ini
membicarakan Pesanggrahan Pelangi. Namun, di
antara mereka sama sekali tak ada yang tahu di
mana pesanggrahan itu berada. Yang jelas, Silu-
man Ragakaca adalah seorang tokoh sakti yang
baru-baru ini muncul dan membuat gempar dengan menarik banyak tokoh tua untuk
dijadikan kaki-tangannya. Semua kaki-tangannya akan diberi sebuah tugas...."
"Apa?"
"Setiap orang berbeda. Tugas apa itu, aku
Pendekar Penyebar Maut 26 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Tapak Tapak Jejak Gajahmada 8
^