Pencarian

Tabir Air Sakti 2

Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti Bagian 2


"Uh, dasar monyet!" gerutu si remaja tampan.
"Jangan-jangan dia monyet perempuan. Mungkin dia tadi sempat melihat 'anu'-ku,
jadinya dia...."
Si remaja tampan tercekat seperti baru teringat
sesuatu. Buru-buru dia menenggelamkan tubuhnya
hingga sebatas dada.
"Pergi kau, Monyet!" hardiknya seraya mengibaskan telapak tangan kanan. Gerakan
yang dilambari tenaga dalam itu membuat air muncrat cukup jauh
dan menyiram tubuh si monyet.
Tentu saja satwa itu terkejut. Tapi, dia tetap tak
mau pergi. Tubuhnya yang basah sama sekali tak dihiraukan. Si monyet terus
meloncat-loncat sambil men-
geluarkan suara coetan semakin keras.
Si remaja tampan menggaruk-garuk kepala.
Kemudian, dia menyelam untuk menjejak dasar sun-
gai. Tubuh itu lalu melayang ke udara dalam keadaan membelakangi si monyet usil.
Mendadak, si remaja
tampan membungkukkan tubuhnya. Terdengarlah su-
ara, "Brooottt...!"
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh remaja
tampan itu ke dalam air, aroma 'harum' mirip seribu bangkai tikus menyebar....
"Rasain!" kata si remaja tampan sambil menyelam. Hidung si monyet yang pesek
bergerak naik- turun karena menghirup udara 'beracun'. Serta-merta
dia menutup lubang hidungnya. Namun, aroma udara
'beracun' tetap tembus. Untuk beberapa lama dia
menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, melengking tinggi dan berlari ketakutan bagai
dikejar ribuan lebah.
"He he he...."
Terdengar suara tawa terkekeh dari mulut si
remaja tampan. Dia meloncat-loncat di dalam air.
Ulahnya tak terkendalikan seperti bocah yang belum
tahu apa-apa. Melihat perilaku remaja tampan yang konyol
itu, siapa lagi dia kalau bukan Suropati atau si Pengemis Binal. Walaupun
tingkah lakunya terlihat sangat bodoh, tapi sesungguhnya dia berotak cerdas.
Sifat konyolnyalah yang membuat dia tampak mirip manu-
sia berotak udang. Dan, soal kehebatan ilmu bela dirinya sudah tak dapat
dipandang rendah lagi. Dia adalah pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang sedemikian kesohor di seantero rimba persilatan.
"Wuih, segaaarrr...," ucap remaja tampan itu saat kepalanya muncul ke permukaan
air sungai. Karena masih ingin merasakan kenikmatan lebih lama,
dia menyelam kembali.
Sementara itu, Yaniswara yang sedang berlari
cepat menyusuri tepian sungai mendadak menghenti-
kan langkah. Di hadapannya tampak setumpuk pa-
kaian penuh tambalan yang menarik perhatian.
"Apakah pakaian ini milik Pak Tua yang kute-
mui barusan?" tanya gadis cantik itu. Ketika dia melihat gelombang air di tengah
sungai, seulas senyuman mengembang di bibirnya. "Kalau Pak Tua tadi telah
mempermainkan diriku, sekaranglah aku membalas-nya." Serta-merta Yaniswara
menyambar onggokan pakaian di depannya. Lalu berkelebat cepat bersem-
bunyi di balik semak-semak.
"Rasain kau, Pak Tua!" ucap gadis cantik itu.
"Memperkenalkan diri saja tak mau. Sekarang kau rasakan bila tubuhmu telanjang
bulat. Masihkah keang-
kuhan mu itu kau pertahankan..."
Perlahan namun pasti mentari bergeser ke ba-
rat. Sinarnya terasa hangat. Di antara hembusan angin yang mengalun lembut
burung berkicau riang di atas
ranting pepohonan. Langit berwarna merah jingga.
Awan putih membentuk gumpalan yang bergerak pelan
melukiskan rona-rona indah.
Suropati menggelengkan kepalanya keras-keras
saat menyembul dari permukaan air sungai. Cipratan
air menyebar bersama gerakan rambut remaja tampan
itu. Setelah menyemburkan air dari dalam mulutnya,
Suropati berenang ke tepian. Sesampainya di darat dia mencari-cari tumpukan
pakaiannya. "Uh! Mungkinkah di sore ini ada wewe kesa-
sar?" gumam pemuda itu keheranan. "Apa perlunya mencuri pakaian yang tiada
harganya" Kalau kepingin melihat 'anu'-ku, mbok bilang saja. Tidak perlu berbuat
macam-macam...."
Sambil menggerutu tak karuan Suropati terus
berusaha mencari pakaiannya yang mendadak lenyap.
"Ah, mungkinkah wewe kurang kerjaan itu me-
nyembunyikan pakaianku di balik semak-semak itu...,"
Suropati melangkah ke tempat yang dimaksud.
Yaniswara yang melihat langkah Suropati tertu-
ju ke tempatnya bersembunyi, mendekap mulut kuat-
kuat. Matanya terbelalak lebar. Tapi segera dipejamkan karena tak tahan
menyaksikan pemandangan yang begitu 'aduhai'.
"Hei, wewe usil itu ternyata sangat cantik!" teriak Suropati saat melihat
Yaniswara yang tidak berani
menatap ke arahnya. "Cepat kembalikan pakaianku!"
Mendengar bentakan Suropati, Yaniswara cepat
menyadari keadaan. Tanpa pikir panjang lagi dilem-
parkannya pakaian yang tadi dicurinya. Setelah itu, dia menghemposkan tubuh dan
berlari cepat karena
rasa malu. "Wuih! Tak disangka hari ini aku bertemu wewe
yang sedemikian cantik," ujar Suropati sambil memungut pakaiannya yang
tergeletak di atas tanah. Lalu di-kenakannya dengan terburu-buru. Suropati
kemudian berlari cepat mengikuti arah Yaniswara yang pergi.
Hanya memakan waktu beberapa tarikan napas
saja remaja konyol itu sudah dapat menyusul langkah Yaniswara. Suropati menjejak
tanah kuat-kuat. Tubuhnya melayang tinggi dan mendarat tepat satu tom-
bak di hadapan Yaniswara.
Mau tak mau Yaniswara menghentikan lang-
kahnya. Tapi karena tak menyangka akan dipapaki
demikian, gadis cantik itu tidak sempat lagi mengatasi luncuran tubuhnya.
Jatuhlah dia ke dalam pelukan
Pengemis Binal....
Plak...! Rasa senang tidak jadi hinggap di hati Suropati.
Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pi-
pinya. Suropati mengeluh sambil menatap tajam wajah Yaniswara. Tiba-tiba,
Pengemis Binal mendelik seperti melihat suatu keajaiban.
Yaniswara ikut terperangah. Orang yang semu-
la disangkanya kakek berpakaian ala pengemis itu ternyata seorang remaja tampan
bertubuh tinggi tegap
dengan dada bidang. Kulitnya yang putih halus mirip kulit seorang wanita.
Suropati tiba-tiba menggamit lengan Yaniswara
sambil berkata, "Anjarweni...."
Dengan sigap Yaniswara menarik lengannya.
Dia tidak mau mendapat perlakuan kurang ajar.
"Minggir kau!" bentak gadis cantik itu.
Dahi Pengemis Binal berkerut. Kedua alisnya
yang mirip sayap burung rajawali terpentang tampak
bergerak ke atas. Sambil nyengir dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Oh, aku salah sangka...," ucap Suropati kebo-doh-bodohan. "Ternyata kau bukan
Anjarweni."
"Minggir!" bentak Yaniswara.
"Eit! Nanti juga aku akan minggir. Tapi, se-
butkan dulu namamu."
"Untuk apa"!"
"Kau sangat mirip temanku. Aku jadi penasa-
ran," dalih Suropati.
"Hanya karena alasan itu kau ingin tahu na-
maku?" "Tentu saja tidak. Kau cantik. Eh...," Suropati tak melanjutkan
bicaranya. Dia melihat balutan kain putih di kedua pergelangan kaki dan tangan
Yaniswara. "Aku tidak punya waktu melayani orang gila
sepertimu!" sentak Yaniswara seraya hendak berlalu dari tempat itu. Gerakannya
terhenti karena tangan kirinya dipegang Pengemis Binal.
"Kenapa mesti buru-buru?" tanya pemuda itu ingin tahu.
Tak ada kata-kata yang menjawab pertanyaan
Suropati. Yaniswara berusaha mendaratkan kembali
tamparannya. Tapi, kali ini pergelangan tangan ka-
nannya berhasil ditangkap Pengemis Binal.
Dalam keadaan kedua tangan terpegang Yanis-
wara meronta keras. Namun, cengkeraman Suropati
melebihi kekuatan besi penjepit.
"Lepaskan!" teriak Yaniswara keras.
Pengemis Binal hanya tertawa terkekeh. Sema-
kin keras Yaniswara meronta, semakin senanglah hati remaja konyol itu.
Mendadak.... Cup...! Sebuah kecupan mendarat di pipi kiri Yaniswa-
ra. Tentu saja gadis cantik itu meluap amarahnya.
Dengan mata mendelik dia menatap wajah Suropati.
Ketika rontaannya berhenti, Yaniswara mengangkat lu-tutnya. "Aduh...!"
Pengemis Binal melonjak-lonjak sambil mende-
kap 'burung'-nya yang baru saja mendapat hadiah.
Sakitnya tak bisa digambarkan lagi. Lebih sakit dari hantaman palu godam.
"Mampus kau!" hardik Yaniswara. Walaupun dia sudah bebas dari pegangan Suropati,
tapi tak segera beranjak dari tempatnya. Yaniswara malah tertawa senang melihat
ulah Pengemis Binal yang mengipasi
'burung'-nya dengan telapak tangan.
"Wewe cantik tapi sadis! Kenapa burung tak
berdosa dijadikan sasaran?"
Melihat perubahan raut muka Suropati yang
mirip kerbau dungu, Yaniswara tertawa keras. Entah
kenapa hatinya menjadi senang setelah berjumpa den-
gan remaja konyol itu. Namun karena tak mau perja-
lanannya ke Kotapraja Kerajaan Anggarapura terha-
dang malam, Yaniswara segera membalikkan badan
kemudian berlari cepat.
"Eh, tunggu!" Pengemis Binal tahu-tahu telah menghalangi langkah Yaniswara.
"Apa maumu"!" bentak Yaniswara.
"Siapa namamu?"
"Begitu pentingkah namaku?"
"Ya," Suropati menganggukkan kepalanya dengan mimik wajah bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu jawab pertanyaanku dulu, baru
ku turuti permintaan mu."
"Baik," Suropati menyanggupi.
"Apakah kau tadi melihat seorang kakek om-
pong berpakaian mirip denganmu?" tanya Yaniswara.
"Ciri-cirinya yang lain apa?"
"Rambutnya putih. Diikat dengan tali kulit
bambu. Janggutnya panjang tak terurus. Tubuhnya
kurus, tapi bila berdiri tampak tegap."
"Mempunyai ilmu beladiri?" tanya Suropati.
"Sangat tinggi."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Kuajak kau ke kotapraja. Di sana banyak anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku bisa menunjukkan kepadamu ialah seorang di antara mereka."
"Orang yang ku maksud bukan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti," bantah Yaniswara tak sabar.
"Dari mana kau tahu?"
"Dia mengatakan sendiri."
"Kalau aku tidak berjumpa dengan orang yang
kau maksud, apakah kau tidak mau menyebutkan
namamu?" desak Suropati.
"Tentu saja."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya la-
gi. "Kenapa kau jual mahal" Apakah aku tidak cukup berharga untuk mengetahui
namamu?" "Bukan begitu. Aku hanya bersikap hati-hati di wilayah Kerajaan Anggarapura yang
belum begitu ku-pahami ini," Yaniswara menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Kalau begitu kau termasuk orang asing."
"Ya. Aku datang dari Kotapraja Kerajaan Saloka Medang," beritahu putri Lodra
Sawala. "Pantas. Bentuk pakaian yang kau kenakan
berbeda. Eh, apakah kau habis bertempur" Bajumu
koyak-koyak. Kedua pergelangan kaki dan tanganmu
tampak terluka."
"Apa perlumu menanyakan hal itu?" Yaniswara kelihatan tidak senang.
"Uh! Apakah aku memang tak pantas untuk
mengenalmu. "
Yaniswara tak menjawab. Suropati menyam-
bung bicaranya, "Kalau kau sudah mengenal siapa aku, kau tak mungkin bersikap
jual mahal seperti ini,"
gerutu pemuda itu.
Yaniswara tertawa kecil. "Walau tampan kau te-
tap saja seorang pengemis...."
"Tapi bukan sembarang pengemis!" bentak Suropati jengkel.
"Pengemis ya tetap pengemis!"
"Aku pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti. Namaku Suropati. Gelarku Pengemis Binal.
He he he...."
"Ha"!"
Melihat mata Yaniswara yang terbelalak lebar
dengan mulut terbuka, Suropati tertawa semakin ke-
ras. "Kau benar pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang sudah sangat kesohor itu"!" tanya Yaniswara seperti tak
percaya apa yang baru saja dia dengar. "Apa kau tuli?" Suropati balik bertanya
sambil tersenyum.
"Jadi, pendekar muda yang sangat hebat itu
adalah kau?"
"Ya. He he he...."
"Uh! Tak kusangka pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ternyata hanya seorang remaja konyol yang sangat kurang
ajar!" omel Yaniswara ke-cewa. "Kau menyesal berjumpa denganku?" Pengemis Binal
menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi, aku sangat senang berjumpa denganmu. Kau
sangat mirip temanku." "Siapa dia?"
"Namanya Anjarweni. Namun dia sudah me-
ninggal." "Kekasihmu?" kejar Yaniswara.
"Bukan. Dia kekasih salah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
Yaniswara menarik napas panjang. Mendengar
jawaban Suropati, mendadak hatinya menjadi senang.
Lalu ditatapnya wajah tampan di hadapannya dengan
tanpa berkedip. Pengemis Binal jadi jengah melihatnya.
Namun segera ia mengembangkan senyum manis. Ya-


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niswara pun balas tersenyum.
"Kau mau menolongku?" tanya gadis cantik itu.
"Oh, tentu!" jawab Suropati dengan cepat.
"Setelah aku mengantarkan barang Tuan Tuhi-
sa Brama, maukah kau membantuku menumpas Par-
tai Iblis Ungu yang telah menghancurkan Ekspedisi
Kencana Mega?"
"Apa hubunganmu dengan perusahaan pengi-
riman barang itu?"
"Aku adalah putri tunggal pemilik Ekspedisi
Kencana Mega. Ayahku bernama Lodra Sawala meme-
rintahkan aku untuk mengantarkan barang pada seo-
rang punggawa Kerajaan Anggarapura. Setelah aku be-
rangkat, menurut penuturan salah seorang anggota
Partai Iblis Ungu, ketuanya yang bernama Wiranti telah membunuh ayahku...."
"Apakah kau yakin penuturan orang yang kau
maksud itu benar?" Suropati tidak mau buru-buru menyanggupi permintaan
Yaniswara. "Sebenarnya aku tidak begitu yakin. Namun
aku tidak mempunyai pikiran lain. Orang-orang Partai Iblis Ungu sangat bernafsu
untuk menghabisi ri-wayatku."
"Jadi, luka-luka di tubuhmu itu kau dapatkan
setelah bertempur dengan mereka."
"Tepat! Dan, seorang tokoh yang tidak ku tahu
siapa dia telah menyelamatkan nyawaku. Tapi, aku
mengira orang yang kutanyakan kepadamu itulah yang
menjadi dewa penolongku."
"Kakek berpakaian ala pengemis yang mengaku
bukan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu?" tanya Suropati menegaskan.
"Ya."
"Lalu, sekarang kau hendak ke mana?"
"Ke kotapraja untuk mengantarkan barang
yang kubawa ini," Yaniswara menunjuk kotak kayu berukir yang diikatkan di
pinggang kanannya.
"Aku akan mengantarmu. Aku banyak mengen-
al para punggawa Kerajaan Anggarapura," Suropati menawarkan jasa.
"Terima kasih...."
Yaniswara bergegas melangkah. Namun len-
gannya digamit oleh Suropati.
"Ucapanmu itu bermakna tolakan atau mene-
rima tawaran baikku?" Suropati rupanya masih belum mengerti.
"Aku menerima."
"Tapi, kau jangan tergesa-gesa," Suropati men-
gajukan syarat.
"Aku tidak mau tiba di kotapraja saat hari telah menjelang malam," Yaniswara
mencoba membantah.
"Kau takut mendapat kesulitan?"
"Tidak. Hanya berjaga-jaga. Lagipula, aku ha-
rus mengantarkan barang yang kubawa ini secepat-
nya." Kibasan lengan Yaniswara membuat pegangan Pengemis Binal terlepas. Namun,
remaja konyol itu segera menyorongkan wajahnya ke hadapan Yaniswara.
"Kau belum menyebutkan namamu...," katanya setengah merajuk.
"Yaniswara."
"Yaniswara" Hmmm.... Sebuah nama yang ba-
gus. Sukakah kau bila aku memanggilmu dengan
'Yani'?" "Kau panggil apa saja, aku akan suka," Yaniswara menerima saja apa yang
dikatakan Suropati.
"Benar?"
"Ya."
"Yani sayang.... He he he...."
Sambil tertawa terkekeh, Suropati mentowel
dagu Yaniswara. Si gadis merengut marah. Namun Su-
ropati malah senang. Pipi Yaniswara yang merona me-
rah ditatapnya tanpa bosan.
"Kau sangat cantik...," gumam Suropati dengan konyolnya.
"Jangan kurang ajar!" bentak Yaniswara.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Baik. Kita berangkat ke kotapraja sekarang," putus-nya kemudian.
"Lepaskan pegangan mu!" bentak Yaniswara
sambil mengibaskan lengannya kembali saat Suropati
menggamit. "Ah, kita berjalan sambil bergandengan tangan.
Bukankah kelihatan lebih mesra?" rajuk Suropati.
"Kau pikir aku apamu?"
"Kau tidak suka padaku?"
Mendengar pertanyaan itu, kepala Yaniswara
tertunduk dengan bibir terkatup rapat. Dia sendiri tak tahu kenapa perasaannya
mendadak tak karuan.
"Yani...," bisik Pengemis Binal. Tangan kanannya membelai rambut Yaniswara.
Lalu, remaja konyol
itu memegang dagu gadis cantik yang menarik perha-
tiannya ini. Kepala Yaniswara terdongak. Namun, dia tak
kuasa memandang tatapan mata Suropati. Kelopak
mata gadis cantik itu terpejam. Belaian Pengemis Binal pada rambutnya
menimbulkan getar-getar aneh yang
terus menjalar ke lubuk hati. Hingga, ketika Suropati memeluk tubuhnya dia cuma
pasrah. Tak lama kemudian, Yaniswara mendengar bi-
sikan mesra yang sanggup melenyapkan segala daya
ingatnya. Gadis cantik itu sudah tak mempunyai kekua-
tan lagi untuk membuka kelopak mata. Apalagi berka-
ta-kata. Yaniswara mendesah saat merasakan kehan-
gatan menyentuh bibirnya. Rasa hangat itu begitu
lembut dan membuat lena. Tanpa sadar Yaniswara
membalas pelukan Suropati.
Kedua tangan Pengemis Binal menopang kepala
Yaniswara. Selanjutnya dia mendaratkan ciuman-
ciuman mesra. Jiwa Yaniswara seakan lepas dari ra-
ganya, melayang-layang di angkasa laksana kapas ter-tiup angin.
"Yani...," bisik Suropati kemudian. "Kau sangat cantik...."
Tak ada kata-kata yang menyambung ucapan
itu. Dua bibir anak manusia berlainan jenis itu telah berpagut erat. Hanya desah
yang terus terdengar. Bila semula bibir Pengemis Binal memberi getaran lembut,
kini berubah sedikit liar. Tubuh Yaniswara menggigil.
Diiringi desahan panjang Yaniswara membalas. Bibir
mereka menempel ketat seperti tak mungkin dipisah-
kan. Dengan tangan kiri tetap memegang kepala Ya-
niswara, tangan kanan Suropati bergerak turun men-
capai pinggang. Lalu, melalui sentakan lembut. Sekejap saja tubuh Yaniswara
telah berada dalam pondon-
gan Pengemis Binal.
Remaja tampan itu berjalan lima tindak. Tubuh
Yaniswara dibaringkannya di atas rumput tebal. Ya-
niswara membuka kelopak matanya. Saat dia menatap
sinar mata Suropati yang lembut kelopak matanya
kembali terpejam.
"Suro...," bisik gadis cantik itu.
Suropati membelai rambut Yaniswara. Lalu,
menyatakan kekagumannya dengan kata-kata indah
yang membuat Yaniswara semakin terlena. Setelah
Pengemis Binal menghadiahkan ciuman yang lebih
menyentuh rasa, mendadak Yaniswara tersentak bagai
habis disambar petir.
"Apa yang akan kau lakukan"!" kata gadis cantik itu setengah membentak.
Gerakannya untuk bang-
kit tertahan oleh tubuh Suropati. Tak ada jawaban
atas pertanyaan Yaniswara. Bibir Pengemis Binal telah bekerja cepat. Dibarengi
dengan belaian-belaian yang membangkitkan gairah, hingga Yaniswara kembali
terlena. "Maafkan aku, Yani...," ucap Suropati kemudian. Yaniswara langsung
menyadari keadaan. Buru-
buru dia membenahi pakaiannya yang awut-awutan.
Mendadak sinar matanya tampak berapi-api. Yaniswa-
ra menatap Pengemis Binal yang duduk terpekur den-
gan kepala tertunduk. Lalu....
Duk...! Tubuh Suropati terlontar dan jatuh bergulingan
lima tombak jauhnya. Tendangan Yaniswara yang di-
lancarkan dengan kekuatan penuh telah menghan-
tamnya. Darah segar merembes dari sudut bibir Penge-
mis Binal. Dihelanya napas panjang sambil tetap
membiarkan tubuhnya rebah di atas tanah. Hati Ya-
niswara jadi kalut. Dengan diliputi rasa sesal dihampi-rinya Suropati yang
tampak tak berdaya.
"Maafkan aku, Suro...," gumam gadis cantik itu.
Ada kesedihan tergambar di matanya. Namun, Yanis-
wara jadi senang ketika melihat Pengemis Binal bangkit dari tidurannya. "Kau tak
apa-apa?" tanya gadis itu agak cemas.
"Seperti yang kau lihat, Yani," Suropati tersenyum kecil.
Remaja tampan itu tak menderita luka dalam
akibat tendangannya. Tahulah Yaniswara kalau Pen-
gemis Binal benar-benar mempunyai kepandaian yang
hebat. Kalau saja tendangan Yaniswara barusan me-
nimpa punggung seorang pesilat biasa, tentulah orang itu akan mati seketika.
"Kita berangkat ke kotapraja sekarang...," kata Suropati lembut dan bernada
penuh perlindungan.
Yaniswara terpaku sejenak di tempatnya. Na-
mun ketika Pengemis Binal menggandeng lengannya,
gadis cantik itu membiarkan saja. Sebentar kemudian tubuh kedua muda-mudi itu
berkelebat cepat...
4 Sang baskara tenggelam di peraduannya. Langit
yang semula merah Jingga berubah kelam. Sang can-
dra hanya sanggup memberi cahaya temaram. Ketika
awan berarak mengabuti, gelap pun menerpa bumi
Di pintu gerbang Kotapraja Kerajaan Anggara-
pura dua orang penjaga tampak berdiri tegak. Dengan senjata tombak dan perisai
bundar warna emas mereka kelihatan sangat gagah. Tubuh tinggi besar berhias
otot-otot yang menonjol serta sorot mata tajam menambah kewibawaan mereka.
Dari dalam keremangan malam dua sosok
bayangan terlihat berkelebat. Kedua penjaga yang sudah sangat terlatih itu
segera menyilangkan tombak.
"Berhenti!" teriak salah seorang dari mereka.
Dua bayangan yang tak lain Suropati dan Yaniswara
segera melangkah perlahan. Suropati membungkuk se-
raya tersenyum tipis.
"Saya hendak menghadap Gusti Wirasantri...."
Para penjaga pintu gerbang memperhatikan dengan
seksama wajah Suropati dan Yaniswara.
"Ah, kau...," gumam salah seorang dari penjaga itu. Lalu menarik tombaknya yang
menyilang. Tinda-kannya segera diikuti oleh temannya. "Silakan...," ucap lelaki
bertubuh tinggi tegap itu. Orang yang berdiri di hadapannya ternyata Suropati
yang sudah dia kenal.
Tanpa mau membuang waktu Suropati segera
menggandeng kembali lengan Yaniswara. Lalu berkele-
bat cepat memasuki kotapraja.
"Tampaknya kau sudah sangat ternama," ucap Yaniswara sambil memperlambat gerakan
kakinya. "Hmmm.... Jadi, aku sudah tak perlu lagi mem-
perkenalkan diri kepadamu, bukan?"
"Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti terkenal
sampai ke Kerajaan Saloka Medang. Semula aku me-
nyangka pemimpinnya seorang tokoh digdaya yang
sangat berwibawa dan terkesan angker. Tapi, ternyata dia tak lebih dari seorang
remaja, konyol yang tingkah lakunya macam orang gila," seloroh Yaniswara dengan
bibir mengejek.
"Namun kau suka, bukan?"
"Tidak!"
"He he he.... Kalau tidak suka, kenapa tadi kau mau ku...."
Kalimat Suropati tak berlanjut karena jemari
Yaniswara telah mencubit pinggangnya. Terdengar jerit kecil dari mulut Pengemis
Binal. "Uh! Cubitan mu mengingatkan ku pada...."
"Pada siapa?" sergah Yaniswara cepat.
"Ah, tidak!" Suropati menggelengkan kepalanya kuat-kuat
"Kekasihmu?"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Yanis-
wara jadi gemas. Sebuah cubitan dia hadiahkan lagi.
Kali ini bukan jeritan yang keluar dari mulut Pengemis Binal, melainkan kata
'nikmat'. Tentu saja Yaniswara jadi sewot. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan
Suropati. "Eh, kau marah?"
Yaniswara tak menjawab. Menoleh pun tidak.
Pengemis Binal tertawa terkekeh. "Kau hendak ke ma-na?" tanyanya.
"Untuk menghadap Gusti Wirasantri, aku su-
dah tak perlu bantuanmu!" sentak Yaniswara.
"Baik. Tapi jalannya bukan ke situ...."
Mendengar ucapan Suropati, langkah Yaniswa-
ra langsung terhenti.
"Tempat kediaman Gusti Wirasantri berada di
sebelah sana. Mestinya tadi kau berbelok ke kanan,"
Suropati menunjukkan arah yang seharusnya ditem-
puh Yaniswara. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Yaniswara kelihatan jengkel bukan main.
Apalagi saat melihat
Suropati tersenyum-senyum sendiri.
"Habis cubitan mu membuatku linglung. He he
he " Yaniswara menggerutu. Gadis itu cepat me-
langkah mengambil jalan yang telah dilaluinya. Saat melihat belokan dia berlari
kecil. Tapi, langkah gadis cantik itu terhenti. Pengemis Binal telah mengamit
lengannya. "Malam-malam begini untuk menghadap seorang punggawa tinggi kerajaan
tidak sembarang orang diperkenankan," beritahu Suropati.
"Aku akan nekat. Toh, tujuanku baik...."
"Tujuanmu memang baik. Tapi prasangka para
penjaga siapa yang tahu. Kalau sudah disangka pe-
rempuan nakal, baru tahu rasa," Suropati memelototkan matanya.
"Uh! Kau yang membuat perjalananku kemari
keburu dihadang malam!" sungut Yaniswara.
"Baik, aku salah. Tapi aku akan membantumu.
Gusti Wirasantri sudah mengenal aku. Itu akan mem-
permudah urusan."
Yaniswara diam. Gadis itu tampak berpikir.
"Bagaimana" Kau terima tawaran baikku?" desah Suropati.
Tanpa menunggu jawaban Yaniswara, Pengemis
Binal menggandeng lengan Yaniswara untuk diajak
berjalan. Gadis cantik itu hanya menurut saja.
Sementara itu, di sebuah ruangan lebar yang


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterangi lampu minyak berhias pernik-pernik indah
Gustri Wirasantri duduk di kursi berukir. Dia belum mengganti pakaian
kebesarannya. Malam memang belum begitu larut, sehingga keinginan untuk pergi ke
pembaringan belum mengusik hatinya.
Dengan menyelonjorkan kedua kaki di atas me-
ja, punggawa kerajaan yang berkedudukan setingkat
dengan tumenggung itu tampak merenung. Sebatang
cangklong yang berisi tembakau bercampur candu di-
isapnya kuat-kuat. Asap putih bergulung-gulung me-
menuhi ruangan. Tapi segera lenyap keluar lewat lu-
bang-lubang angin.
Rambut lelaki gemuk yang tidak seberapa tinggi
itu telah berwarna dua. Digelung ke atas dengan hiasan gelang emas. Tidak ada
kerut di wajahnya, walau dia telah berusia lima puluh tahun lebih.
Jabatan Gusti Wirasantri adalah pengurus pa-
jak kerajaan. Walaupun tugas sehari-harinya selalu
berhubungan dengan uang, tak sekalipun dia pernah
melakukan penyelewengan. Dalam catatan Prabu Arya
Dewantara pun nama Gusti Wirasantri masih terpeli-
hara bersih. Seluruh punggawa kerajaan mengenal
Gusti Wirasantri sebagai seorang aparat kerajaan yang jujur dan penuh
pengabdian. "Siapa?" tanya lelaki gemuk berwajah halus itu saat mendengar ketukan perlahan
di pintu. "Hamba, Gusti...."
Terdengar jawaban yang dibarengi dengan ter-
bukanya daun pintu. Gusti Wirasantri menurunkan
kedua kakinya dari atas meja. Seorang kakek berpa-
kaian putih seperti pendeta berjalan tiga tindak setelah menutup daun pintu
kembali. Gusti Wirasantri mengangguk pelan membalas penghormatan si kakek.
"Kenapa kau kemari, Gisandra?" tanya Gusti Wirasantri setelah mengisap
cangklongnya. Kakek yang dipanggil Gisandra membungkuk
"Ada berita penting yang hendak hamba sampaikan, Gusti." "Hmmm..."
"Di perbatasan Kademangan Maospati Ekspedi-
si Kencana Mega dicegat para perampok."
Mendengar penuturan itu mata Gusti Wirasan-
tri langsung terbeliak. Sesaat kemudian dia mengge-
brak meja seraya bangkit dari duduknya. "Dari mana kau tahu hal itu, Gisandra"!"
"Salah seorang anak buah hamba melaporkan
kejadian itu. Menurut laporannya, Gerombolan Rantai Maut telah membunuh seluruh
pengawal barang Ekspedisi Kencana Mega."
"Lalu...."
"Entah bagaimana kejadiannya, seluruh anggo-
ta Gerombolan Rantai Maut sendiri menemui ajal.
Termasuk pemimpinnya yang bernama Barong Kala."
"Barang Tuhisa Brama yang hendak dikirimkan
kepadaku apakah lenyap?"
"Benar, Gusti...."
Gusti Wirasantri menghembuskan napas berat.
Rahangnya mengeras dan bahu lelaki gemuk itu terli-
hat naik turun. Dengan mata berkilat ditatapnya wajah Gisandra. Tapi yang
ditatap tersenyum tipis.
"Gusti Wirasantri tidak perlu gusar...," ucap kakek berpakaian seperti pendeta
itu. "Masih ada kemungkinan barang Tuan Tuhisa Brama akan sampai
ke tangan Gusti Wirasantri."
Mendengar laporan itu, sinar mata Gusti Wira-
santri kembali meredup. Diisapnya cangklongnya kuat-kuat.
"Katakan semua yang kau ketahui sejelas-
jelasnya, Gisandra!"
Dibentak-bentak demikian Gisandra mengang-
kat alisnya. Tapi kemudian dia menjelaskan juga me-
nurut apa yang didapat dari laporan anak buahnya.
"Ekspedisi Kencana Mega berangkat dari Kota-
praja Kerajaan Saloka Medang dengan dipimpin putri
tunggal Lodra Sawala. Dia bernama Yaniswara. Di an-
tara mayat yang bergelimpangan di perbatasan Kade-
mangan Maospati, gadis itu tidak ada. Besar kemung-
kinan dia melarikan diri dengan membawa barang
Tuan Tuhisa Brama."
"Apakah besar pula kemungkinannya gadis itu
akan menyampaikan barang yang dibawanya kepada-
ku?" tanya Gusti Wirasantri.
"Hamba yakin, Gusti. Orang-orang Ekspedisi
Kencana Mega mempunyai pengabdian yang tinggi ter-
hadap pekerjaannya. Karena itu, Gusti Wirasantri tidak perlu khawatir."
Sampai di situ pembicaraan terhenti Gusti Wi-
rasantri kembali mengambil tempat duduknya. Setelah meletakkan cangklong di
meja, laki-laki itu tampak
berpikir. "Kau tahu siapa yang membunuh para pengaw-
al barang Ekspedisi Kencana Mega bersama seluruh
anggota Gerombolan Rantai Maut?" tanya lelaki gemuk itu kemudian
"Hamba tidak tahu. Tapi menurut penuturan
anak buah hamba, belasan wanita berpakaian serba
ungu telah melakukan perbuatan biadab itu."
"Hmmm... Siapa mereka?" gumam Gusti Wira-
santri. "Gisandra, yakinkah kau gadis yang bernama Yaniswara itu selamat dari
tangan maut mereka?"
"Seorang kakek sebaya dengan hamba yang
berpakaian ala pengemis telah menyelamatkannya,"
beritahu Gisandra
"Gede Panjalu, sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Saktikah orang itu?" tebak Gusti Wirasantri sedikit berharap.
"Bukan."
"Lalu, siapa?"
"Hamba tidak tahu. Namun menurut penuturan
anak buah hamba, ilmu kepandaian orang itu sangat
hebat...."
Tiba-tiba saja, Gusti Wirasantri tertawa terba-
hak-bahak. Tubuhnya yang gemuk sampai bergerak-
gerak membuat kursi yang didudukinya berderak. Gi-
sandra menatap dengan sinar mata tak mengerti.
"Air sakti...," gumam Gusti Wirasantri.
"Air sakti, Gusti?" Gisandra menegaskan.
"Ya. Barang Tuhisa Brama yang dikirimkan ke-
padaku itu adalah air sakti. Sebentar lagi seluruh tokoh kerajaan akan bertekuk-
lutut di hadapanku. Den-
gan demikian, tampuk pimpinan di Kerajaan Anggara-
pura akan berpindah ke tanganku. Ha ha ha...!"
Gisandra terperangah. "Apa maksud Gusti Wi-
rasantri"!"
Laki-laki gemuk itu tiba-tiba merasa begitu ter-
pojok. Dia telah membuka suatu rahasia. Dengan pan-
dangan aneh lelaki gemuk itu menatap wajah Gisandra yang melangkah mundur satu
tindak. Bentakan Gusti
Wirasantri kemudian mencegah niat kakek itu untuk
berlalu. "Apa maksud Gusti Wirasantri sebenarnya?"
tanya Gisandra dengan suara bergetar.
"Gisandra...," panggil Gusti Wirasantri pelan.
"Hamba, Gusti."
"Di mata semua punggawa kerajaan aku mem-
punyai nama baik. Baginda Prabu pun menganggap
aku seorang punggawa yang sangat setia...," lanjut Gusti Wirasantri perlahan.
"Oleh karena itulah Gisandra, kau tak perlu membuka mulut akan apa yang ba-
ru saja kau dengar."
Gisandra merenung sejenak. Lalu katanya, "Ta-
di Gusti Wirasantri mengatakan hendak membuat se-
luruh tokoh kerajaan bertekuk-lutut, dan tampuk
pimpinan Kerajaan Anggarapura akan berpindah ke
tangan. Gusti, apakah itu mengisyaratkan kalau Gusti hendak melakukan
pemberontakan?"
"Ha ha ha.... Untuk membentuk bala tentara
aku tak bisa. Hal itu akan mengundang kecurigaan.
Maka, melalui ilmu kesaktianlah aku akan menggu-
lingkan tahta Arya Dewantara. Ha ha ha...."
Gisandra terpekur. Dalam hati dia berkata,
"Tak kusangka orang yang selama ini ku junjung tinggi ternyata seorang penjahat
culas yang haus kekuasaan...."
"Gisandra!"
Bentakan Gusti Wirasantri mengejutkan kakek
berpakaian seperti pendeta itu. "Hamba, Gusti...,"
ucapnya buru-buru.
"Seluruh muridmu ada berapa orang jumlah-
nya?" "Sekitar lima puluh," sahut Gisandra agak ragu.
Dia merasakan maksud jelek Gusti Wirasantri dalam
pertanyaan itu.
"Huh! Jumlah yang terlalu kecil. Tapi, kuharap kau bersedia membantu untuk
mewujudkan impian
ku, Gisandra."
"Hamba bersedia membantu Gusti Wirasantri
dalam kebaikan."
"Apa maksudmu?"
Gisandra menatap tajam wajah junjungannya.
"Hamba menentang keinginan Gusti Wirasantri yang hendak makar," ujarnya dengan
berani. Tiba-tiba, Gusti Wirasantri bangkit dari duduk-
nya seraya menggebrak meja hingga hancur berkeping-
keping. Tentu saja Gisandra terkejut. Kakek itu langsung melangkah mundur.
Namun, tanpa disangka ser-
pihan kayu meja melayang ke arahnya.
Wuuuttt...! Tak...!
Kalau saja Gisandra bukan tokoh berilmu tinggi
tentu dia sudah terbaring tanpa nyawa dengan kepala remuk. Gusti Wirasantri
tampak terperangah melihat
serangannya gagal, hanya dengan geseran tubuh Gi-
sandra yang seperti asal-asalan.
"Hmmm.... Bila kau tak bersedia membantuku,
jangan harap udara segar masih dapat kau hirup!" ancam Gusti Wirasantri.
"Di bawah pimpinan Prabu Arya Dewantara ra-
kyat Kerajaan Anggarapura sudah hidup aman dan
tenteram. Untuk apa Gusti Wirasantri hendak merebut kekuasaan?"
"Bangsat!"
Mata Gusti Wirasantri mendelik. Dengan sinar
mata nyalang ditatapnya Gisandra tajam-tajam
"Berdoalah sebelum maut menjemput, Kerbau
Tua!" Gisandra tak melakukan tindakan apa pun.
Matanya terus memandang perubahan Wajah junjun-
gannya yang tiba-tiba terlihat buas laksana harimau marah. Gusti Wirasantri
mengangkat kedua pergelangan tangannya. Gisandra langsung mengambil sikap
sedia. Junjungannya itu tampaknya sudah sampai pa-
da puncak kemarahannya untuk segera menjatuhkan
tangan maut Kedua telapak tangan Gusti Wirasantri me-
nangkup di atas kepala, lalu perlahan-lahan turun.
Kemudian, dengan cepat dia bentangkan kembali. Ber-
samaan dengan itu kedudukan kakinya digeser hingga
setengah berjongkok. Ketika lelaki gemuk itu menggeram seraya menghirup udara,
suatu kekuatan kasat
mata yang mempunyai daya isap dahsyat menghunjam
ke arah Gisandra.
"Argh...!"
Kakek berpakaian seperti pendeta itu mundur
setindak sambil mendekap dada. Jantungnya dirasa-
kan berdegup kencang. Pandangannya mengabur ka-
rena pening di kepala. Sadarlah Gisandra kalau dirinya telah terkena ilmu
kesaktian Gusti Wirasantri.
"Aku memberi kesempatan kepadamu untuk
mengucap doa, Kerbau Tua!"
Ucapan Gusti Wirasantri hanya dibalas dengan
dengusan keras. Lelaki gemuk itu kembali menggeram
seraya menghirup udara lebih kuat. Akibatnya, tubuh Gisandra bergetar hebat.
Seluruh kekuatan tenaga dalam yang telah dia salurkan tak mampu berbuat ba-
nyak. Tubuh Gisandra semakin bergetar hebat. Saat
kakek itu menyilangkan kedua telapak tangannya di
depan dada, asap tipis membumbung keluar dari teng-
kuk. Srash...! Butiran keringat muncrat dari sekujur tubuh
Gisandra. Pakaian yang dikenakan sampai berlubang-
lubang seperti habis dimakan rayap!
"Malaikat Kematian sudah berada di depan ma-
tamu!" desis Gusti Wirasantri. Dihirupnya udara lebih kuat lagi dengan
berlambarkan ilmu 'Penghisap Jagad'!
Dibarengi jeritan menggidikkan hati, suatu pe-
mandangan yang mengerikan segera terlihat. Yang
muncrat dari sekujur tubuh Gisandra bukan hanya
keringat tapi juga cairan kental berwarna merah. Darah! Setelah mendengar suara
mirip letupan cukup keras, dada kiri Gisandra jebol. Jantungnya terlontar dan
membentur tembok hingga lumat.
Dalam keadaan tanpa nyawa tubuh kakek itu
masih tetap berdiri di tempatnya. Namun usai Gusti
Wirasantri menarik ilmu 'Penghisap Jagad'-nya, tubuh Gisandra langsung jatuh
terjengkang. *** Kedatangan Yaniswara bersama Suropati men-
gejutkan Gusti Wirasantri. Tapi setelah Yaniswara
memperkenalkan diri, senanglah hati punggawa kera-
jaan itu. Di ruangan luas yang terdapat di bagian depan bangunan tempat
tinggalnya, Gusti Wirasantri
menyambut kehadiran mereka dengan suka cita.
Seorang pelayan datang menyajikan hidangan.
Yaniswara jadi kikuk karena sambutan tuan rumah
yang dirasa terlalu berlebihan. Apalagi ketika memperhatikan keadaan dirinya
yang berbaju koyak-koyak,
Yaniswara semakin tidak bisa bergerak bebas. Menye-
sallah dia kenapa sebelum menghadap Gusti Wirasan-
tri tidak mengganti baju terlebih dahulu.
Bila Yaniswara hanya berbicara seperlunya,
lain halnya dengan Suropati. Remaja konyol itu tam-
pak sangat gembira. Mulutnya tak henti-henti bicara sambil menikmati hidangan
yang memang sangat lezat.
Ketika meneguk arak wangi nomor satu, kekehan ta-
wanya terus terdengar.
Gusti Wirasantri yang sudah mengenal pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu menim-
pali kegembiraan Suropati dengan kata-kata bijak.
"Seorang tamu adalah raja bagi tuan rumah.
Sudah selayaknya dia dijamu sedemikian rupa. Hing-
ga, bila sang tamu telah kembali sikap baik tuan rumah akan melekat terus dalam
benaknya...."


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat!" timpal Suropati setelah menghirup aroma arak yang begitu memikat.
"Hidangan tuan rumah yang disajikan dengan ikhlas tak layak dibiarkan begitu
saja." Sambil berucap demikian, Suropati menginjak
telapak kaki Yaniswara yang tampak salah tingkah.
"Ha ha ha...," tawa Gusti Wirasantri. "Ayolah, Gadis Manis. Kenapa mesti
sungkan-sungkan untuk
menikmati hidangan. Setelah melakukan perjalanan
yang demikian jauh, tidakkah kau ingin santai seje-
nak?" "Terima kasih, Gusti...," ucap Yaniswara.
Pengemis Binal mengaduh dalam hati. Telapak
kakinya diganti digencet dengan keras oleh Yaniswara.
Walaupun apa yang dilakukan gadis cantik itu terjadi di bawah meja besar yang
tertutup kain sutera beren-da, namun Gusti Wirasantri tahu. Lelaki gemuk itu
pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah dirasa cukup berbasa-basi, Gusti Wira-
santri lalu menatap wajah Yaniswara lekat-lekat. "Aku ikut berduka cita atas
meninggalnya kedua puluh
orang anak buahmu di perbatasan Kademangan Maos-
pati. Aku sangat menghargai pengabdian pemuda-
pemuda perkasa itu. Kau pun sangat bertanggung ja-
wab untuk mengemban tugasmu, Gadis Manis...," ujar lelaki itu dengan bersungguh-
sungguh. "Ah, kami hanya menjalankan apa yang sudah
menjadi kewajiban kami," kilah Yaniswara merendah.
Gadis cantik itu kemudian meletakkan kotak
kayu berukir yang dibawanya ke atas meja. Mata Gusti
Wirasantri menatap penuh kegembiraan. Dengan di-
iringi suara tawa yang lepas bebas, diraihnya kotak kayu berukir itu.
"Selain uang yang telah kau terima dari Tuhisa Brama, aku akan memberikan hadiah
menarik kepadamu, Gadis Manis."
"Terima kasih, Gusti...," Yaniswara tersenyum senang. Perlahan-lahan tangan
Gusti Wirasantri menarik penjepit logam, lalu membuka tutup kotak kayu berukir.
Tapi lelaki gemuk itu jadi tercengang. Matanya bersinar aneh.
"Apakah aku sedang menjumpai sebuah per-
mainan?" tanya laki-laki itu. Suaranya terdengar begitu sumbang.
"Permainan apa, Gusti?" tanya Yaniswara tak mengerti.
Gusti Wirasantri meletakkan kembali kotak
kayu berukir yang dipegangnya ke atas meja. Dengan
sebuah jentikan kecil benda itu digeser ke hadapan Yaniswara.
Gadis cantik itu pun terkejut. Kotak kayu beru-
kir yang telah dipertahankannya dengan memperta-
ruhkan nyawa ternyata kosong!
"Barang yang berada di dalam kotak kayu be-
rukir itu sangat berharga bagiku. Kau tak perlu membuat permainan konyol ini,
Gadis Manis," ucap Gusti Wirasantri dengan suara berat.
Yaniswara tak mampu berucap. Matanya terus
menatap kotak kayu berukir di hadapannya. Peruba-
han raut muka Yaniswara yang memucat ditangkap
oleh Suropati. Remaja konyol itu langsung melongok-
kan kepalanya melihat ke dalam kotak kayu. Dia pun
menggaruk-garuk kepalanya melihat kotak kayu beru-
kir tak berisi apa-apa.
Menyaksikan sikap kedua tamu di hadapannya
yang seperti kerbau linglung, Gusti Wirasantri men-
dengus. Dia lalu bangkit dari duduknya.
"Cepat serahkan barang Tuhisa Brama kepada-
ku!" teriak laki-laki itu.
"Saya tak mengerti dengan semua ini, Gusti...,"
ucap Yaniswara dengan suara bergetar. "Tugasku mengantarkan sebuah peti kayu
besar. Tapi setelah
peti kayu besar itu pecah akibat ulah perampok, saya hanya mendapati kotak kayu
berukir ini."
"Jangan membual! Nyawamu tak lebih berharga
dari barang yang dikirimkan Tuhisa Brama kepadaku!"
Yaniswara bangkit dari tempat duduknya.
"Saya mengerti, Gusti. Tapi, mungkinkah saya
menggelapkan barang itu sementara saya telah meng-
hadap Gusti Wirasantri melalui pengorbanan seluruh
anak buah saya"!" Gadis cantik itu kelihatan begitu gusar. Mendengar ucapan
Yaniswara yang ketus, mata Gusti Wirasantri berkilat. Nafasnya menjadi berat
oleh luapan rasa marah. Namun, dia masih mencoba untuk
bersabar. "Akan kuberikan hadiah besar kepadamu bila
kau bersedia menyerahkan barang kiriman Tuhisa
Brama...."
"Apa lagi yang harus kuberikan selain kotak
kayu berukir itu. Bila Gusti Wirasantri menginginkan barang kiriman Tuan Tuhisa
Brama yang lain, saya tidak membawanya." Yaniswara tetap membantah.
Gusti Wirasantri menggedruk lantai hingga re-
tak. Seisi ruangan pun berguncang. Lalu, tanpa dis-
angka-sangka lelaki gemuk itu melayangkan telapak
tangan kanannya ke wajah Yaniswara. Dengan sigap
gadis itu berkelit. Selamatlah dia dari tamparan Gusti Wirasantri.
Namun, hal itu membuat darah Gusti Wirasan-
tri mendidih. Setelah menghembuskan napas berat dia membentak, "Serahkan barang
yang ku maksud sebelum aku benar-benar mencabut nyawamu!"
Melihat sikap Gusti Wirasantri yang tampaknya
tak main-main, Suropati melompat dan berdiri di ha-
dapan lelaki gemuk itu. Maksudnya hendak melerai
perselisihan. Tapi, kibasan telapak jangan Gusti Wirasantri yang disertai tenaga
dalam penuh melontarkan tubuh Pengemis Binal hingga membentur dinding.
Remaja konyol itu mengaduh. Untunglah hawa
murni yang mengalir dalam tubuhnya sudah sedemi-
kian kuat Suropati tak mendapat luka dalam yang be-
rarti. Saat dia bangkit pemuda itu menggaruk-garuk
kepalanya melihat dinding yang tertimpa tubuhnya
ambrol. Sesaat Pengemis Binal berdiri terpekur. Tak ta-hu apa yang harus
diperbuat. Yaniswara langsung me-
loncat ke hadapan remaja konyol itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya gadis itu khawatir.
Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Gusti
Wirasantri telah menggeram laksana harimau marah.
"Akan kupatahkan batang lehermu, Pencuri Ke-
cil!" Lelaki gemuk itu menjulurkan kedua tangan-
nya. Yaniswara berkelit. Namun, sebuah tendangan telah menanti. Hingga....
Des...! Gusti Wirasantri mendengus keras. Pergelangan
kakinya bergetar terkena tangkisan Suropati. Tahulah lelaki gemuk itu kalau nama
besar Pengemis Binal bukan omong kosong belaka. Tapi karena Gusti Wirasan-
tri tak hendak berurusan dengan pendekar muda itu,
dia hanya menghardik.
"Minggir kau!"
Suropati terperangah. Tak pernah dia duga
punggawa kerajaan yang terkenal jujur dan penuh
pengabdian itu bisa bertindak demikian kasar. Namun, Pengemis Binal tak punya
waktu untuk berpikir. Gusti Wirasantri telah menyerang Yaniswara dengan ganas.
Gadis itu pun terlihat sangat kerepotan.
"Hentikan kesalahpahaman ini!" teriak Suropati.
Namun, tak dihiraukan oleh Gusti Wirasantri.
Lelaki gemuk itu terus mencecar Yaniswara dengan serangan bertubi-tubi. Api
kemarahan Gusti Wirasantri tampaknya sudah tak mungkin dipadamkan lagi. Pengemis
Binal segera membuat tangkisan saat tangan
kanan lelaki gemuk itu meluncur ke dada Yaniswara.
Kemudian, Suropati menyambar lengan Yaniswara se-
raya berlari cepat meninggalkan ruangan.
Gusti Wirasantri hendak mengejar. Tapi, tubuh
Pengemis Binal dan Yaniswara keburu hilang ditelan
kegelapan malam. Sesampai di depan sebuah candi
Suropati menghentikan langkah.
"Kita belum keluar dari kotapraja. Gusti Wira-
santri akan dapat menemukan kita," ujar Yaniswara di antara nafasnya yang
tersengal. "Tenanglah.... Punggawa kerajaan itu tak akan
mengejar kita. Bila sampai ada orang tahu dia berlari-lari di malam begini,
wibawanya akan turun."
Suropati menggamit lengan Yaniswara untuk
memasuki bangunan candi. Mereka membuat perapian
lalu duduk di dekatnya untuk menghangatkan diri.
"Kenapa mesti jadi begini?" ucap Suropati pelan. "Setelah mengantarmu menghadap
Gusti Wirasan- tri, kupikir aku akan mendapat hadiah darimu. Tapi, kesulitanlah yang kudapat.
Pukulan punggawa kerajaan itu pun membuat dadaku sesak."
Pengemis Binal lalu berpura-pura batuk. Ya-
niswara menggeser duduknya mendekati remaja ko-
nyol itu. "Coba kau pijit punggungku. Biar nafasku sedi-
kit longgar," pinta Pengemis Binal.
Yaniswara langsung mengambil tempat di bela-
kang Suropati. Diturutinya permintaan remaja konyol itu. Mata Pengemis Binal
merem-melek merasakan jemari Yaniswara yang begitu lembut menyentuh pung-
gungnya. Namun, sebentar kemudian remaja konyol
itu bersungut-sungut.
"Aduh! Tekanan mu kurang keras, Yani. Apa
yang kau lakukan itu bukan memijit, tapi mengelus...."
"Masa' begini kurang keras?" tanya Yaniswara heran. "Kurang."
Tak...! Suropati terperanjat. Dirabanya bagian bela-
kang kepalanya. Mendadak saja Yaniswara telah men-
jitaknya. "Aku bukan pesuruh yang bisa kau perintah
seenakmu!" rungut gadis cantik itu sambil menggeser duduknya.
"Siapa bilang kau pesuruh?"
"Tapi, permintaanmu membuatku merasa se-
perti pesuruh!"
"Salah sendiri! Kenapa kau tidak menganggap
dirimu sebagai kekasih atau istriku?" ucap Suropati tanpa rasa bersalah sedikit
pun. "Uh! Enak saja! Siapa sudi menjadi kekasih
atau istri orang sepertimu"!" Yaniswara melotot marah.
"Kau tak sudi?" goda Suropati.
"Tidak!"
"He he he...." Pengemis Binal tertawa terkekeh.
"Tapi tetap saja kau membutuhkan diriku, bukan?"
"Tidak!" bantah Yaniswara pasti.
"Baik. Kalau begitu, aku pergi...."
Habis berkata demikian, Suropati bangkit dari
duduknya lalu berjalan ke luar ruangan. Melihat itu buru-buru Yaniswara
mencegah. "Kau marah?" tanya gadis cantik itu.
"Tidak. Hanya kesal saja. Tapi, aku akan tetap pergi sekarang."
"Aduh, maafkan aku, Suro. Aku tadi cuma ber-
canda. " "Bercanda?" Suropati memelototkan matanya pura-pura marah.
"Ya," angguk Yaniswara pelan.
"Jadi, kau bermaksud mempermainkan diriku?"
"Ya, eh, tidak...."
Suropati meraih tangan Yaniswara kemudian
meremasnya. Dihadiahkannya kecupan mesra di ken-
ing gadis cantik itu.
"Aku tadi cuma bercanda. Aku tidak akan me-
ninggalkan gadis secantik dirimu ketika sedang men-
dapat kesulitan," rayu Suropati.
"Terima kasih, Suro...."
Pengemis Binal melepas pegangannya. Dia
kembali berjongkok di depan perapian untuk menggan-
ti ranting-ranting kering yang telah habis terbakar.
"Aku tak mengerti kenapa Tuan Tuhisa Brama
mengirim kotak kayu berukir yang kosong kepada
Gusti Wirasantri?" ucap Yaniswara setelah duduk ber-sandar pada dinding candi.
"Mungkinkah dia hendak mencemarkan nama baik Ekspedisi Kencana Mega?"
"Orang yang kau sebut sebagai Tuan Tuhisa
Brama itu siapa?" tanya Suropati ingin tahu.
"Seorang brahmana yang tinggal di Kotapraja
Kerajaan Saloka Medang. Namanya sangat terkenal.
Karena itu banyak pemuda yang berguru kepadanya."
"Lalu, dia mempunyai hubungan apa dengan
Gusti Wirasantri?"
"Menurut kabar yang kudengar sebelum aku
berangkat ke sini, Tuan Tuhisa Brama hendak mendi-
rikan sebuah padepokan. Dia mendapat sumbangan
uang yang sangat banyak dari Gusti Wirasantri. Sebagai tanda terima kasih, Tuan
Tuhisa Brama berkenan
menghadiahkan sebuah barang yang katanya sangat
berharga kepada Gusti Wirasantri."
"Aneh...," desis Suropati sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hei! Kulihat rambutmu itu bersih dan bagus.
Kenapa kau sering menggaruk kepalamu?" tanya Yaniswara melihat kebiasaan buruk
Pengemis Binal.
Buru-buru remaja konyol itu menarik tangan-
nya. Lalu nyengir mirip kuda sakit perut. "Nggak tahu, ya" Tanganku inilah yang
tak mau diam," kilah pemuda itu. "Aku tadi mendengar kau berkata 'aneh'.
Apanya yang aneh?"
"Walaupun rakyat Kerajaan Anggarapura keli-
hatan hidup makmur, aman dan tenteram, tapi ban-
gunan keagamaan masih bisa dihitung dengan jari.
Untuk membangun tempat-tempat demikian memang
dibutuhkan dana yang besar. Anehnya, kenapa Gusti
Wirasantri malah menyumbangkan hartanya untuk
pembangunan sebuah padepokan di kerajaan tetang-
ga?" "Kau pikir bagaimana?" Yaniswara ingin tahu
pendapat Suropati.
"Menurut dugaanku, Gusti Wirasantri pasti te-
lah membuat kesepakatan dengan Tuan Tuhisa Bra-
ma. Dengan kata lain, barang berharga yang dikirim-
kan kepada Gusti Wirasantri itu telah dibelinya dengan dalih memberikan
sumbangan."
"Hmmm.... Begitu... pantas Tuan Tuhisa Brama
sangat wanti-wanti agar barang yang dikirimnya selamat sampai ke tangan Gusti
Wirasantri," Yaniswara mengangguk-angguk membenarkan.
"Apakah kau tahu barang apa sebenarnya itu?"
"Tidak. Tapi, tampaknya memang sangat ber-
harga. Sampai-sampai ayahku memerintahkan aku
untuk mengepalai rombongan pengawal Ekspedisi
Kencana Mega mengirimkan barang itu. Dan lagi, aku
diberi sebuah rompi pusaka untuk menjaga keselama-
tanku. Padahal rompi itu merupakan salah satu benda pusaka Prabu Mahindra
Suikarnaka. Bukti kalau barang kiriman Tuan Tuhisa Brama sangat berharga ada-
lah adanya keinginan dari orang-orang Partai Iblis Un-gu. Mereka sampai mengejar


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombongan Ekspedisi
Kencana Mega hingga ke wilayah Kerajaan Anggarapu-
ra." "Seberapa pun berharganya barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, kenyataannya kotak kayu berukir
itu kosong," bantah Suropati.
Tiba-tiba, sinar mata Yaniswara tampak aneh.
Dia melonjak bangkit berdiri lalu menghampiri Suropa-ti. "Isi kotak kayu berukir
itu tentu telah dicuri orang...."
"Siapa?" sergah Suropati penuh rasa ingin ta-hu.
"Ketika aku bertempur melawan orang-orang
Partai Iblis Ungu, aku terluka. Tapi sebelum pingsan
seseorang telah menyambar tubuhku. Dia merawat lu-
kaku. Ku dapati tubuhku terbaring di tepi sebuah
sungai. Aku menduga dia telah mencuri isi kotak kayu berukir yang kubawa.
Kecurigaan ku jatuh pada kakek tua berpakaian penuh tambalan yang tadi sore
kutanyakan kepadamu..."
"Kau yakin?"
"Menilik sikapnya yang aneh karena dia tak
mau mengenalkan siapa dirinya, aku yakin dialah pen-curinya," kata Yaniswara
yakin sekali. "Kalau begitu kita harus mencarinya."
"Tentu saja. Walau Ekspedisi Kencana Mega te-
lah hancur, tapi aku tak ingin perusahaan pengiriman barang yang susah-susah
didirikan ayahku itu meninggalkan nama buruk."
"Kita tak perlu tergesa-gesa, bukan" Sambil
menunggu pagi, kita bisa.... He he he...," Suropati tak melanjutkan ucapannya.
"Bisa apa?" desah Yaniswara tak sabar.
"Ah, masa' tidak tahu?"
"Tidak."
"Begini, lho...."
Sambil berkata demikian, Suropati memeluk
tubuh Yaniswara. Lalu melumat bibir gadis cantik
itu... 5 Seorang kakek berpakaian penuh tambalan
tampak berjalan mendekati sebuah kedai. Langkah
kakinya yang sedikit melompat-lompat membuat ram-
but kakek itu yang diikat besetan kulit bambu terayun ke kiri dan ke kanan.
Janggutnya yang panjang berki-
bar-kibar seperti untaian rambut jagung.
Sesampai di ambang pintu kedai seorang pe-
layan menghardiknya. Namun setelah si kakek mem-
perlihatkan segenggam uang logam di tangannya, pe-
layan itu manggut-manggut dan mempersilakan ta-
munya masuk. "Arak yang paling baik!" teriak si kakek seraya meletakkan uang logam yang
digenggamnya. Terdengarlah suara bergemerincing. Beberapa orang yang berada di
tempat itu memandang dengan kening berkerut Tak lama kemudian seorang pelayan
meletakkan pesanannya di atas meja. Si kakek memegang tan-
gannya lalu menyodorkan sekeping uang logam.
"Pernahkah kau mendengar nama Raka Maruta
yang bergelar Pendekar Kipas Terbang?" tanya si kakek. "Oh, pendekar muda
itu...," jawab pelayan kedai. "Kau tahu di mana dia?"
"Sekitar enam candra yang lalu nama Pendekar
Kipas Terbang banyak disebut orang. Dia telah berjasa pada Kerajaan Anggarapura,
karena ikut menumpas
pemberontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah."
"Lalu, sekarang di mana?"
"Setelah bertempur melawan si Penghimpun
Angkara di Bukit Tengkorak, nama Pendekar Kipas
Terbang menghilang bagai ditelan bumi."
"Ada lagi yang ingin kau katakan tentang pen-
dekar muda itu?"
"Tidak."
Kakek berpakaian penuh tambalan menatap
sebentar wajah si pelayan, lalu menyodorkan lagi sekeping uang logam. Si pelayan
bergegas ngeloyor pergi sambil menimang-nimang uang yang baru diterimanya.
Kakek berpakaian penuh tambalan menenggak
arak pesanannya sampai tandas. Setelah itu dia beranjak pergi dengan
meninggalkan beberapa keping uang
logam di atas meja. Begitu melewati pintu kedai, dua orang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
yang kebetulan berada tak jauh dari kedai tampak saling berbisik.
"Bukankah itu orang yang dicari Suropati?"
"Hush! Jangan keburu berpikir demikian," bantah temannya.
"Kau lihat penampilannya. Sama dengan ciri-
ciri yang disebutkan pemimpin kita. Rambutnya putih kotor diikat besetan kulit
bambu. Janggutnya panjang.
Walau berpakaian penuh tambalan, tampaknya dia
bukan anggota perkumpulan kita."
Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu langsung terdiam saat kakek yang
menarik perhatian mereka berjalan mendekati.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya kakek itu.
Yang ditanya gelagapan. Tak mampu memberi-
kan jawaban. Namun, salah seorang dari anak buah
Suropati itu segera berkata, "Tampaknya Pak Tua bukan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti...."
"Apakah setiap orang yang berpakaian penuh
tambalan harus menjadi anggota perkumpulan itu?"
tanya si kakek.
Usai berkata demikian, dia membalikkan badan
lalu berjalan sambil meloncat-loncat, membuat jalinan rambutnya terayun-ayun.
Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti segera berlari cepat menuju
sebuah candi yang terletak di pinggir kotapraja.
"Suro...! Suro...!"
"Hush! Mulutmu jangan berteriak sekeras itu!"
hardik Pengemis Binal setelah keluar dari bangunan
candi dan mendapati dua orang anak buahnya.
"Tampaknya anak buahmu sudah menemukan
orang yang kita cari," timpal Yaniswara yang mengekor langkah Suropati.
"Bagaimana dengan tugas yang kuberikan ke-
padamu?" tanya Pengemis Binal pada anak buahnya.
"Pagi-pagi setelah kau menemuiku, aku menga-
jak teman-teman untuk menyebar ke seluruh tempat
di kotapraja. Tapi, aku sendirilah yang menemukan
orang yang kau cari...."
"Apakah aku tidak ikut menemukan?" kata
anak buah Suropati yang satunya sambil menyodok
pinggang temannya.
"Yah, kita berdua yang menemukan orang itu,"
ralat temannya buru-buru.
"Hush! kalian hanya mengulur-ulur waktu sa-
ja!" bentak Pengemis Binal.
"Ya. Benar katamu, Suro. Orang yang kau cari
itu memang berada di sekitar kotapraja. Aku menjum-
painya saat dia keluar dari kedai dekat toko kelontong di sebelah kiri
pertigaan."
"Lalu, kau berbuat apa?"
"Aku tidak berbuat apa-apa. Seperti yang kau
pesan. Aku membiarkan orang itu pergi," sahut anak buah Suropati sambil
tersenyum senang. Gembira karena telah melaksanakan petunjuk pemimpinnya.
"Ke mana?"
"Dari pertigaan dia berjalan ke arah utara."
"Baik. Sekarang pergilah kau bersama teman-
mu dari tempat ini...."
Mendengar perintah Suropati, dua orang anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu bergegas
melangkah pergi. Sepeninggal mereka, Yaniswara me-
mandang wajah Pengemis Binal yang tampak sedang
berpikir. "Kau memikirkan apa lagi, Suro" Selekasnya ki-
ta mengejar pencuri barang kiriman Tuan Tuhisa Bra-
ma itu." "Jangan gegabah! Gusti Wirasantri sejak kejadian semalam telah mengira
kita menggelapkan ba-
rangnya. Kukira dia sudah menyebar orang-orangnya
untuk mencari kita," tolak Suropati mengajukan alasan. "Lalu?"
"Karena aku tidak kepergok, ku perintah anak buahku untuk mencari jejak pengemis
aneh itu."
"Dan sekarang jejaknya telah ketemu. Apa yang
harus kita perbuat?" tanya Yaniswara ingin tahu rencana Suropati selanjutnya.
"Kita tetap akan mengejar pengemis aneh itu.
Tapi orang-orang Gusti Wirasantri tak boleh tahu. Kita berlari memutar melewati
pinggiran kotapraja. Orang yang kita cari pergi ke arah utara. Kita akan
menghadang perjalanannya di suatu tempat."
"Pikiran yang jitu!" puji Yaniswara.
Tak lama kemudian, kedua tokoh muda itu ber-
lari cepat mengandalkan ilmu meringankan tubuh. Me-
reka berlari melewati pinggiran kotapraja seperti rencana Suropati. Di sebuah
jalan kecil di mana terdapat belokan bercabang dua, Pengemis Binal mengajak
Yaniswara menghentikan langkah. Mereka bersembunyi
Rahasia Dewa Asmara 2 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Seruling Sakti 5
^