Pencarian

Tabir Air Sakti 3

Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti Bagian 3


di balik semak-semak yang banyak terdapat di pinggir jalan. Beberapa lama
kemudian, seorang kakek berpakaian penuh tambalan tampak berjalan sambil me-
lompat-lompat. "Nah, itu dia!"
Yaniswara meloncat dari tempatnya bersem-
bunyi. Suropati hendak mencegah, tapi terlambat.
"Hei! Kita berjumpa lagi, Bocah Manis," kata si kakek tanpa menghentikan
langkahnya Yaniswara yang merasa sudah dua kali dipe-
cundangi langsung meloncat ke hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Hentikan langkahmu, Pak Tua!"
Perintah Yaniswara tidak digubris. Si kakek te-
rus melompat-lompat. Yaniswara terdengar mendengus
marah. Digedornya dada kakek berpakaian penuh
tambalan itu. Tapi, si kakek hanya mengibaskan telapak tangan. Namun akibatnya
sungguh di luar du-
gaan. Walau telapak tangan kakek itu tak menyentuh
Yaniswara, tubuh gadis cantik itu terlontar hingga lima tombak.
Setelah bersalto beberapa kali di udara, Yanis-
wara sudah tak melihat batang hidung kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Suro...!"
Yaniswara berteriak keras. Namun, yang di-
panggil ternyata sudah tak ada di tempatnya.
Suropati berlari cepat mengandalkan kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya. Dikejarnya bayan-
gan kakek berpakaian sama seperti dirinya.
"Uh! Ilmu kepandaian kakek itu ternyata sangat hebat," keluh Pengemis Binal
dalam hati. Si kakek pun mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk dapat meninggalkan Suro-
pati. Hingga beberapa saat lamanya jarak mereka be-
lum berubah. Di siang hari bolong di mana terik mentari begi-
tu menyengat, wujud Pengemis Binal dan si kakek
aneh berubah menjadi dua sosok bayangan. Kalau saja mereka berlari di malam
hari, orang awam yang meli-
hatnya tentu akan mengira sebagai kelebatan setan.
"Berhenti kau, Pak Tua!" teriak Suropati.
Tapi, yang diteriaki sama sekali tak menggu-
bris. Kakek itu terus berlari tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Pengemis
Binal mengumpat-umpat tak
karuan. Pada suatu kesempatan, remaja konyol itu
menendang batu sebesar kepalan tangan. Batu melun-
cur deras melebihi kecepatan lari si kakek.
Zebs...! Pengemis Binal terkejut luar biasa. Batu yang
membentur punggung si kakek ternyata tak berpenga-
ruh apa-apa. Hanya menimbulkan bunyi seperti bara
api tersiram air. Padahal, batu yang dilontarkan oleh tendangan Suropati itu
sudah cukup untuk meremuk-kan kepala seekor banteng.
Pada saat melakukan serangan gerakan kaki
Pengemis Binal menjadi terhambat. Mau tak mau ke-
cepatan lari remaja konyol itu berkurang. Suropati jadi tertinggal. Akhirnya,
pada suatu kelokan jalan bayangan si kakek menghilang dari pandangan.
Tinggallah remaja konyol itu berdiri terpaku
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Suropati kehilan-
gan jejak. Tapi saat dia melihat sebuah bangunan yang dikelilingi tembok
setinggi dua depa, Suropati menyunggingkan senyum dengan mata bersinar.
"Kakek tua itu tentu masuk ke bangunan milik
Mak Werti itu," ucap remaja konyol itu dalam hati.
"Uh! Tua-tua masih banyak tingkah...."
Sambil terus tersenyum-senyum, Pengemis Bi-
nal memasuki pelataran bangunan yang ternyata se-
buah rumah pelacuran.
"Siang-siang begini kenapa masih saja banyak
cewek cantik yang ngantri?"
Gerutuan remaja konyol itu sempat ditangkap
beberapa wanita piaraan Mak Werti. Mereka langsung
menghambur ke arah Suropati.
"Eit! Sebentar-sebentar! Aku ingin tanya, apa-
kah kalian melihat seorang kakek berpakaian persis
seperti diriku masuk kemari?" tanya Pengemis Binal sambil menepis tangan seorang
wanita yang meraba
dadanya. "Walau pakaianmu penuh tambalan, tapi kau
sangat tampan. Tentu uangmu banyak. Ayolah,
Sayang. Mampir dong ke dalam," goda si wanita.
"Hush! Kalau mau mampir sih gampang. Tapi
jawab dulu pertanyaanku," ujar Suropati.
"Aku tidak mendengar apa yang kau tanyakan,"
wanita itu tersenyum genit.
Terpaksa Pengemis Binal mengulang kembali
pertanyaannya, setelah sebelumnya menggerutu pan-
jang pendek. "Dia ayahmu?" tanya si wanita kemudian.
"Bukan."
"Lalu, kenapa kau cari?"
"Tak perlu kau bertanya-tanya Jawab perta-
nyaanku, Tolol!" bentak Suropati jengkel.
"Uh! Begitu saja marah?"
"Kau lihat atau tidak orang yang kucari itu"!"
ucap Suropati setengah membentak.
"Ya., ya, aku melihatnya. Bukankah begitu te-
man-teman?" kata si wanita kepada teman-temannya.
Yang dijawab dengan anggukan dengan senyum genit.
"Lalu, di mana dia?" tanya Suropati begitu bernafsu. "Dia sedang bersenang-
senang." "Bersenang-senang?" kening Suropati berkerut
"Ya. Dia telah membawa salah seorang di antara kami.
Lalu masuk ke ruang dalam," jawab si wanita asal
ucap. Mendengar itu, teman-temannya langsung ter-
tawa lebar. Tapi tampaknya Pengemis Binal memper-
cayai jawaban si wanita. Remaja konyol itu bergegas melangkah ke ruangan besar.
"Uh! Ramai banget...," gumam Suropati sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Suropati berusaha menemukan orang yang di-
carinya. Banyak para lelaki berada di tempat itu. Mereka sedang minum-minum
dengan dikelilingi wanita-
wanita cantik berdandan menor. Rumah pelacuran mi-
lik Mak Werti memang tidak mengenal siang atau pun
malam. Tempat maksiat itu selalu ramai dikunjungi
para lelaki hidung belang.
Pengemis Binal terus menyebar pandangan
sambil berjalan berkeliling. Namun, si kakek aneh tak ditemukannya. Remaja
konyol itu lalu melangkah memasuki ruangan lebih dalam. Ketika sampai di sebuah
gang di mana terdapat kamar-kamar yang saling berhadapan, Suropati menggaruk-
garuk kepalanya untuk
kesekian kali. "Mungkinkah kakek tua itu sudah masuk ke
dalam salah satu kamar ini?"
Remaja konyol itu berjalan berjingkat. Ketika
telinganya menangkap suara aneh yang timbul dari dalam kamar di sisi kanannya,
Suropati menghentikan
langkah, lalu mengintip dari lubang kunci.
"Wuiiihhh...!"
Tanpa sadar remaja konyol itu berucap demi-
kian. Dia pun semakin asyik mengintip. Karena dirasa kurang leluasa, Suropati
celingukan. Matanya melihat sebuah dingklik. Benda itu langsung saja diangkatnya
dan diletakkan di depan pintu. Kemudian, melalui lubang angin yang terdapat di
atas pintu Pengemis Binal
meneruskan perbuatannya mengintip adegan yang se-
dang berlangsung di dalam kamar.
Mata remaja konyol itu terbelalak lebar, seper-
tinya tak mau diajak berkedip. Adegan yang terpam-
pang di depan matanya sanggup untuk melupakan tu-
juan Suropati datang ke tempat ini.
Glodak...! "Aduh...!"
Dingklik tempat berdiri Pengemis Binal tergul-
ing. Tubuh remaja konyol itu pun terpelanting ke kanan. Tak ayal lagi, kepalanya
membentur tiang pintu.
Kemudian jatuh tersungkur di lantai.
Karena tak mau ketahuan orang kalau dia se-
dang mengintip, Suropati langsung mengambil langkah seribu. Belum seberapa jauh
Suropati berlari dari rumah pelacuran Mak Werti yang terletak di pinggir
kotapraja, telinganya menangkap suara pertempuran.
Remaja konyol itu mempercepat langkah kakinya. Ter-
lihat olehnya sebuah pertempuran yang cukup sengit
antara Yaniswara melawan kakek yang baru saja dike-
jarnya. "Akui saja perbuatanmu, Pak Tua!" hardik Yaniswara di sela-sela
serangannya. Si kakek tertawa terkekeh memperlihatkan gu-
sinya yang tanpa gigi. Saat tendangan Yaniswara berkelebat cepat, dia hanya
merundukkan badan. Kemu-
dian, dengan gerakan yang tampak asal-asalan perge-
langan tangan kirinya diangkat.
Duk...! Tubuh Yaniswara terpelanting ke kanan. Ten-
dangannya seperti membentur tembok baja. Gadis can-
tik itu terdengar menggeram gusar. Diserangnya si kakek dengan bertubi-tubi.
Pengemis Binal hanya menonton pertempuran
itu. Ia hendak mengukur sampai di mana kehebatan si kakek. Dan, remaja konyol
itu terdengar berdecak kagum menyaksikan si kakek yang terus tertawa tanpa
sekali pun membalas serangan Yaniswara. Padahal ga-
dis cantik itu telah mengeluarkan semua kemampuan-
nya. "Bangsat kau!" umpat Yaniswara. "Kenapa kau hanya berputar-putar saja
seperti kentut busuk tak
dapat keluar dari dalam celana"!"
"Lalu maumu apa, Bocah Manis?" tanya si kakek dengan tersenyum.
"Balas seranganku!"
"He he he...."
"Jangan tertawa! Bau mulutmu membuatku
mau muntah!" Yaniswara geram sekali melihat tingkah si kakek.
"Ah! Masa'?" goda kakek berpakaian penuh
tambalan. Habis berkata demikian, mendadak si kakek
memutar tubuh. Lalu berkelebat hendak meninggalkan
arena pertempuran. Suropati yang melihat tindakan
itu tak mau tinggal diam lagi.
Secepat kilat remaja konyol itu memapaki lun-
curan tubuh si kakek dengan menyorongkan kedua te-
lapak tangannya. Kakek berpakaian penuh tambalan
tampak terkejut. Karena sudah tak dapat lagi mengendalikan gerakan tubuhnya,
kedua telapak tangannya
didorong ke depan menyambuti serangan Suropati.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat membahana di angkasa hing-
ga menimbulkan tiupan angin kencang. Daun-daun
pohon di sekitar tempat itu berguguran dengan ranting terhempas bagai diserang
angin topan. Bahkan, tubuh
Yaniswara jatuh berguling-guling di atas tanah.
Sementara itu, pemandangan yang lebih men-
gerikan segera terlihat. Tubuh si kakek terlontar deras dan membentur sebatang
pohon besar hingga tum-bang. Pengemis Binal sendiri terhempas ke atas kemudian
jatuh berdebam di atas tanah. Saat remaja konyol itu bangkit, tanah tempat jatuh
tubuhnya berkubang
beberapa jengkal. Beberapa saat Suropati berdiri terhuyung-huyung. Darah segar
meleleh dari sudut bibirnya. Si kakek tampak berjalan gontai menghampiri
remaja konyol itu. Setelah mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan ujung
lengan baju, dia tertawa terkekeh.
"Hebat..., hebat...," puji si kakek.
Pengemis Binal menatap wajah kakek yang te-
lah berdiri tiga tombak dari hadapannya. Lalu buru-
buru dipasangnya wajah angker. "Kembalikan barang yang kau bawa!" bentak
Suropati dengan galaknya.
"Aneh...," ucap si kakek tak mengerti. "Yaniswara pun berkata seperti itu
kepadaku."
"Jangan pura-pura bodoh! Kau telah mencuri
barang yang dipercayakan pengirimnya kepada Ekspe-
disi Kencana Mega!"
"He he he.... Tuduhanmu tidak pada tempat-
nya, Bocah Bagus. Aku tidak mengenal siapa dirimu.
Tapi, tampaknya kau sangat berkepentingan sekali
dengan perusahaan pengiriman barang itu," si kakek terus mencoba berkelit.
"Huh! Kau tentu telah mendengar kebesaran
nama Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Akulah
pemimpinnya!" Suropati berusaha menyombongkan di-ri. Ingin dilihatnya tanggapan
kakek berpakaian penuh tambalan.
"Oh, jadi kau adalah Suropati atau si Pengemis Binal itu?" ujar si kakek
manggut-manggut. Ada rasa kagum terpancar dari matanya. "Pantas..., pantas kau
sangat hebat..."
"Jangan berceloteh macam-macam. Segera kau
kembalikan barang yang bukan menjadi milikmu!"
bentak Suropati untuk menutupi rasa senangnya ka-
rena telah dipuji.
"Kau salah tuduh, Bocah Bagus...."
Pada saat itu Yaniswara yang berdiri tak sebe-
rapa jauh dari si kakek terlihat menghemposkan tu-
buhnya. Dengan kekuatan penuh diterjangnya kakek
berpakaian penuh tambalan.
Tampaknya si kakek sama sekali tak menyadari
keadaan itu. Tubuhnya tak bergeming sedikit pun.
Hingga.... Des...! Punggung si kakek dengan telak terkena ten-
dangan Yaniswara. Namun, akibatnya sungguh di luar
dugaan. Kakek itu tetap berdiri tegak di tempatnya
sambil mengulum senyum di bibir. Sedangkan tubuh
Yaniswara terlontar lalu bergulingan di atas tanah
sambil mengaduh kesakitan.
"Sudah kubilang, tuduhan kalian tidak pada
tempatnya. Kenapa kalian tetap nekat?" ucap kakek penuh kesungguhan.
"Kau jangan mungkir, Pak Tua!" teriak Yaniswara. Gadis itu sudah bangkit berdiri
sambil mende- kap dadanya yang sesak.
Si kakek menoleh. "Anak muda memang keras
kepala. Terpaksalah aku memperkenalkan diri," ujarnya kemudian.
Kakek berpakaian penuh tambalan lalu berja-


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan ke bawah pohon besar. Dia duduk bersila bera-
laskan rumput yang kebetulan tumbuh lebat. Suropati dan Yaniswara berjalan
menghampiri. "Bagus!" kata si kakek. "Kemarilah kalian. Tak usah ragu. Aku tak akan menipu."
Suropati dan Yaniswara saling berpandangan.
Karena melihat kesungguhan di wajah si kakek, mere-
ka kemudian duduk bersila di hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Kenapa kalian ingin mengenalku" Aku sendiri
sudah tak begitu peduli akan namaku...," kata si kakek membuka pembicaraan.
"Tapi, tokoh-tokoh tua di Kerajaan Saloka Medang biasa menyebutku sebagai
Kipas Sakti...."
"Kipas Sakti"!" desis Suropati dan Yaniswara bersamaan.
"Ya. Aku adalah sahabat ayahmu, Yaniswara."
"Kenapa Ayah tidak pernah bercerita tentang
dirimu, Pak Tua?"
"Aku sudah lama mengasingkan diri. Mungkin
ayahmu pun sudah lupa kepada diriku. Namun, men-
jelang kau mendapat tugas untuk mengantarkan ba-
rang titipan Tuan Tuhisa Brama, ayahmu datang ke-
padaku untuk mengawal rombongan yang kau pim-
pin." "Mengawalku?" tanya Yaniswara sangat heran.
"Ya. Aku menerima permintaan ayahmu. Kebe-
tulan aku juga hendak melakukan perjalanan ke wi-
layah Kerajaan Anggarapura. Aku sudah rindu pada
muridku." "Siapa murid Pak Tua itu?" sela Pengemis Binal.
"Dia bernama Raka Maruta."
"Raka Maruta" Apakah dia bergelar Pendekar
Kipas Terbang?"
"Tepat! Kenapa" Apakah kau mengenalnya?"
tanya si kakek begitu mendesak.
"Bukan hanya mengenal. Raka Maruta adalah
sahabatku yang paling baik. Dia pernah berjasa me-
nyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan di-
rinya...."
"Hah"! Apa katamu" Mengorbankan diri" Berar-
ti dia telah mati?" Wajah kakek berpakaian penuh tambalan tampak berubah pias.
"Tidak. Tapi, dibilang hidup pun tidak. Bersama Kakek Wajah Merah, Raka Maruta
telah mati suri. Tubuh mereka sekarang berada di sebuah gua di Bukit
Rawangun."
Mendengar penuturan Suropati, kakek yang
mengenalkan dirinya sebagai Kipas Sakti itu langsung beranjak dari tempat
duduknya. "Kita ke sana sekarang!" ajaknya.
Buru-buru Pengemis Binal mencegah. "Untuk
ke Bukit Rawangun masih banyak waktu. Kau mesti
menjelaskan terlebih dahulu tentang barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Pak Tua...."
Kipas Sakti duduk bersila kembali di tempat-
nya. Dihelanya napas panjang beberapa kali untuk
menenangkan hatinya. "Sebenarnya, kewajibanku untuk mengawal barang kiriman Tuan
Tuhisa Brama te-
lah selesai...."
"Belum, Pak Tua!" sela Yaniswara. "Kotak kayu berukir yang kuserahkan kepada
Gusti Wirasantri ternyata kosong. Dan aku curiga kepadamu, Pak Tua."
Kipas Sakti tersenyum kecil. "Setelah aku ber-
cerita panjang lebar ternyata kau tetap saja berprasangka buruk kepadaku,
Yaniswara."
"Keadaanlah yang memaksa aku berpikir demi-
kian. Bukankah kau yang menolongku saat aku terlu-
ka oleh senjata orang-orang Partai Iblis Ungu. Karena
aku pingsan, kau mencuri isi kotak kayu berukir yang kubawa," Yaniswara tetap
pada tuduhannya semula.
Kening Kipas Sakti berkerut. Terdengar desah
panjang keluar dari mulutnya. "Anak muda memang keras kepala...," ucapnya dengan
suara berat. "Aku memang benar telah menolongmu, Yaniswara. Tapi,
tahukah kau ayahmu membuat rencana lain untuk
mengantarkan barang Tuan Tuhisa Brama kepada
Gusti Wirasantri?"
"Apa maksudmu" Bukankah ayahku telah di-
bunuh oleh Wiranti sesaat setelah aku berangkat ke
Kotapraja Kerajaan Anggarapura?"
"Itu pun salah satu rencana dari ayahmu."
"Maksudmu?" Yaniswara benar-benar tak habis pikir. "Ayahmu telah mencium
keinginan orang-orang Partai Iblis Ungu. Dia lalu menyuruh salah seorang
anak buahnya untuk menyamar sebagai dirinya. Jadi,
yang dibunuh oleh Wiranti itu bukan ayahmu."
"Oh...."
Yaniswara mendekap mulutnya. Matanya ber-
kaca-kaca karena rasa bahagia yang mengalir dalam
hati. "Syukurlah kau selamat, Ayah," gumam gadis cantik itu lirih.
Namun, dengan cepat gadis cantik itu mengha-
pus air matanya. Dipandangnya wajah Kipas Sakti le-
kat-lekat. "Kotak kayu berukir yang kubawa ternyata kosong, Pak Tua. Dan aku
tetap curiga kepadamu."
"Mengenai hal itu aku benar-benar tak tahu,
Yaniswara," kakek berpakaian penuh tambalan berusaha meyakinkan Yaniswara dengan
kebenaran uca- pannya. "Huh! jangan bersandiwara!"
"Sebentar...," sela Suropati menenangkan Yaniswara yang tiba-tiba jadi kalap.
"Tampaknya tuduhan kita memang keliru, Yani."
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" Yaniswara kelihatan tidak senang melihat
pembelaan Suropati.
"Menurut jalan pikiranku, ayahmu telah mem-
buat rencana yang sangat matang."
"Rencana apa?"
"Ketika kau berangkat sesungguhnya barang
yang kau kawal itu tidak ada. Kau hanya mengawal pe-ti besar berisi kotak kayu
berukir yang kosong...."
"Lalu?"
"Kotak kayu berukir yang berisi barang Tuan
Tuhisa Brama telah diantarkan sendiri oleh ayahmu."
"Apa gunanya ayahku meminta Pak Tua ini un-
tuk ikut mengawal rombongan Ekspedisi Kencana
Mega?" Yaniswara belum juga bisa menerima.
"Ayahmu telah mencium maksud buruk orang-
orang Partai Iblis Ungu, hendak mencegahnya. Karena khawatir akan keselamatan
dirimu, ayahmu meminta
Pak Tua ini untuk mengawalmu."
Mendengar penuturan Suropati, Yaniswara
tampaknya bisa memahami keadaan itu. Menyesallah
dia telah menuduh yang bukan-bukan terhadap Kipas
Sakti. "Lodra Sawala memang hebat. Otaknya sangat cemerlang...," puji Kipas
Sakti menyebut nama ayah Yaniswara.
"Kalau memang dugaanmu itu benar Suro, kita
harus menjelaskan duduk persoalannya kepada Gusti
Wirasantri," ujar Yaniswara seraya menatap wajah Suropati. "Ah, ayahmu bisa
menyelesaikannya sendiri, Bocah Manis. Kalau kau berkeinginan menghadap
punggawa Kerajaan Anggarapura itu, kau bisa berang-
kat sendiri. Aku akan mengajak Suropati ke Bukit Rawangun," sela Kipas Sakti.
Agaknya dia sudah tak sabar ingin melihat keadaan muridnya.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Uh! Apa enaknya pergi dengan kakek peot ini" Lebih baik aku mengantar Yaniswara
terlebih dahulu," ucap Suropati dalam hati.
Remaja konyol itu lalu menatap wajah Kipas
Terbang dan Yaniswara bergantian.
"Kau tidak mau mengantarku, Suro?" tanya
Yaniswara. "Oh, tentu mau, Sayang...."
"Hush!" bentak Kipas Sakti. "Kau harus ikut aku ke Bukit Rawangun, Bocah Bagus,"
si kakek ber-sikeras. "Yah, baiklah, Pak Tua. Tapi kau ikut aku dulu mengantar
Yaniswara menghadap Gusti Wirasantri,"
Suropati mengajukan pilihan.
Sejenak Kipas Sakti tampak diam berpikir. Na-
mun segera dia menganggukkan kepalanya menyetujui
permintaan Pengemis Binal.
6 Sang baskara telah condong ke barat. Sinarnya
redup membuat panas tidak lagi menyengat. Langit cerah berwarna keperakan. Tidak
ada gumpalan awan
yang terlihat. Seorang lelaki setengah baya turun dari pung-
gung kuda. Tubuhnya kekar dibungkus pakaian kun-
ing dengan selempang berwarna merah. Di pinggang
kanannya terikat bungkusan kain hitam. Saat lelaki
berwajah halus dengan sorot mata tajam itu melang-
kahkan kaki memasuki pelataran tempat tinggal Gusti Wirasantri, seorang pelayan
berlari mendekati.
"Tuan siapa, dan ada keperluan apa?" tanya pelayan itu ramah.
"Saya Lodra Sawala. Katakan kepada Gusti Wi-
rasantri, barang kiriman Tuan Tuhisa Brama telah
sampai." Si pelayan membungkuk. Lalu berlari dari ha-
dapan Lodra Sawala. Tak lama kemudian terdengar
suara tawa terbahak-bahak Lodra Sawala menatap ke-
hadiran Gusti Wirasantri.
"Saya hendak menyampaikan barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Gusti," lapor pemilik Ekspedisi Kencana Mega itu.
Gusti Wirasantri tak segera mempersilakan Lo-
dra Sawala masuk. Lelaki gemuk itu memperhatikan
sekujur tubuh tamunya.
"Kemarin anak gadismu menyampaikan kepa-
daku kotak kayu berukir yang kosong. Apakah keda-
tanganmu ini hendak memperbaiki kesalahan?"
"Benar, Gusti. Untuk mengecoh para perampok,
Yaniswara saya tugaskan membawa kotak kayu ko-
song. Sedangkan yang berisi barang Tuan Tuhisa Bra-
ma, sayalah yang membawanya."
"Ha ha ha...!"
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Pe-
rutnya yang buncit terlihat naik-turun.
"Masuklah..., masuklah kau, Orang Baik...,"
punggawa kerajaan itu membentangkan tangannya
dengan tubuh sedikit membungkuk. Lodra Sawala pun
berjalan menuju tempat yang ditunjukkan.
Setelah duduk saling berhadapan di depan me-
ja besar dalam ruangan depan rumah Gusti Wirasan-
tri, Lodra Sawala melepas ikatan di pinggang kanannya. Bungkusan kain hitam
diletakkan di atas meja.
Dibukanya kain pembungkus. Lalu, Lodra Sawala me-
nyorongkan kotak kayu berukir ke hadapan Gusti Wi-
rasantri. Lelaki gemuk itu pun menerimanya dengan
penuh kegembiraan.
Tutup kayu berukir dibuka. Gusti Wirasantri
mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih ben-
ing. Besarnya tak lebih dari ibu jari tangan manusia dewasa. Diamatinya botol
kecil itu dengan seksama.
"Ha ha ha...," tawa lelaki gemuk itu terdengar gembira. "Dengan air sakti ini
sebentar lagi cita-citaku akan tercapai. Ha ha ha...."
Tatkala Gusti Wirasantri tertawa terbahak-
bahak dengan kelopak mata hampir terpejam, berkele-
bat sesosok bayangan menyambar botol kecil yang di-
pegang lelaki gemuk itu.
Tawa Gusti Wirasantri langsung terhenti. Ma-
tanya berapi-api menatap seorang kakek kurus tinggi berjubah putih yang tiba-
tiba hadir di tempat itu.
"Tuhisa Brama!" desis Gusti Wirasantri sambil terus menatap tubuh brahmana yang
berdiri di pojok
ruangan. Lodra Sawala pun menatap Tuhisa Brama den-
gan pandangan tak mengerti. Tanpa sadar dia bangkit dari duduknya.
"Kenapa Tuan Tuhisa Brama menyusul kema-
ri?" Pertanyaan pemilik Ekspedisi Kencana Mega itu
tak mendapat jawaban. Gusti Wirasantri sudah keburu membentak.
"Kembalikan air sakti itu kepadaku, Tuhisa
Brama!" Yang dibentak cuma tersenyum. Lalu, mema-
sukkan botol kecil yang dipegangnya ke dalam jubah.
"Hei! Kau jangan culas!" hardik Gusti Wirasantri. "Bukankah aku telah membeli
air sakti itu"!"
Tuhisa Brama segera mengeluarkan sekantung
uang emas dari balik jubahnya. Dilemparkannya kan-
tung uang itu ke atas meja. "Aku akan menjaga kesu-cian padepokan yang akan
kudirikan, Wirasantri. Aku tak hendak menjual barang kumiliki kepada orang
yang akan mengkhianati bangsanya."
"Heh! Apa maksudmu, Tuhisa Brama?" Gusti
Wirasantri mendelik.
"Aku membatalkan perjanjian kita." Mendengar itu, Gusti Wirasantri menggeram
marah. Tanpa banyak kata diterjangnya Tuhisa Brama.
Tapi, terjangannya hanya mengenai angin ko-
song. Tubuh Tuhisa Brama telah berkelebat lebih ce-
pat. Saat Gusti Wirasantri hendak menerjang kem-
bali, muncullah Senopati Risang Alit bersama lima
orang prajurit kerajaan.
"Tuan Tuhisa Brama telah membuka kedokmu,
Wirasantri. Karena itu, kau menyerahlah!" ujar Senopati Risang Alit penuh
wibawa. Walaupun perwira kerajaan itu masih berusia
muda, tapi tampak sangat berwibawa. Suara yang ke-
luar dari mulutnya dirasakan Gusti Wirasantri bagai sambaran petir.
Dua orang prajurit kerajaan yang datang ber-
sama Senopati Risang Alit berjalan mendekati Gusti
Wirasantri. Namun, kibasan telapak tangan lelaki gemuk itu melontarkan tubuh
mereka hingga memben-
tur dinding ruangan. Seketika itu juga nyawa mereka melayang dengan kepala remuk
bersimbah darah.
Tiga prajurit yang tertinggal hendak menerjang,
tapi dicegah oleh Senopati Risang Alit. Perwira kerajaan itu melangkah maju dua
tindak. "Keinginanmu untuk merebut kekuasaan telah
terbukti sekarang. Menyerahlah kau, Wirasantri.
Mungkin Baginda Prabu berkenan menjatuhkan hu-
kuman yang lebih ringan!"
"Ha ha ha...!" Gusti Wirasantri tertawa. "Tangkaplah aku kalau kau mempunyai
kemampuan, Ri- sang Alit!" tantang lelaki gemuk itu.
"Baik, kalau itu kemauanmu. Aku akan meng-


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunakan kekerasan!"
Kedua tangan Senopati Risang Alit dijulurkan
ke depan, seperti hendak mencengkeram leher Gusti
Wirasantri. Tapi....
Wuuusss...! Gusti Wirasantri pun menyorongkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Sinar keperakan meluncur
deras menapaki tubuh Senopati Risang Alit. Dan, tampaknya perwira kerajaan itu
tak sempat lagi menghindari pukulan jarak jauh Gusti Wirasantri.
Blaaammm...! Ledakan dahsyat terdengar. Seisi ruangan ber-
guncang. Hiasan-hiasan yang menempel di dinding
berjatuhan. Bahkan, atap ruangan jebol dengan gen-
teng berhamburan tak karuan. Tubuh Senopati Risang
Alit sendiri hanya terhuyung tanpa sedikit pun mengalami luka dalam. Tuhisa
Brama telah memapaki puku-
lan jarak jauh Gusti Wirasantri.
"Bangsat!" umpat lelaki gemuk itu. "Rupanya kau benar-benar manusia culas,
Tuhisa Brama!"
"Kata-katamu itu lebih tepat kau tujukan kepa-
da dirimu sendiri, Wirasantri," balas Tuhisa Brama.
Sementara itu, Lodra Sawala yang belum men-
getahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi tampak kebingungan. Dan hal itu
ditangkap Tuhisa Brama.
"Kau mendekatlah kemari, Lodra Sawala...," ka-ta sang brahmana. "Ketahuilah,
lelaki gemuk yang berdiri tak jauh darimu itu hendak makar terhadap
Kerajaan Anggarapura. Dengan air sakti yang telah ku percayakan pengirimannya
kepadamu, dia hendak
menaklukkan semua tokoh sakti di kerajaan ini."
Mendengar penuturan itu, Lodra Sawala lang-
sung meloncat ke dekat Tuhisa Brama yang berdiri di samping Senopati Risang
Alit. Sedangkan tiga orang
prajurit kerajaan bersenjata tombak tampak siap-siap di depan mereka. Tapi
setelah Senopati Risang Alit
memberikan isyarat, ketiga prajurit itu berjalan untuk menghadang pintu.
Gusti Wirasantri tertawa bergelak.
"Sebentar lagi Dewa Kematian akan berpesta
darah!" Selesai berkata demikian, lelaki gemuk itu memutar kedua telapak
tangannya. Timbullah gulungan
angin dahsyat yang menghujam ke arah orang-orang
yang berada di ruangan itu.
Wuuusss...! Secara bersamaan Senopati Risang Alit, Tuhisa
Brama, dan Lodra Sawala meloncat jauh. Malang bagi
tiga orang prajurit yang berdiri di ambang pintu. Mereka tidak sempat
menghindar. Tubuh ketiganya terbawa gulungan angin dahsyat yang timbul dari
putaran telapak tangan Gusti Wirasantri. Hingga, ketiga lelaki naas itu
terhempas ke belakang dan jatuh berdebam di atas tanah keras dalam keadaan tanpa
nyawa! "Kau sudah kelewat kejam, Wirasantri!" bentak Senopati Risang Alit seraya
menerjang. Tapi, Gusti Wirasantri telah meluncur ke atas
bagai lesatan anak panah lepas dari busur. Tubuh lelaki gemuk itu terus melesat
melewati atap ruangan
yang jebol. "Mau lari ke mana kau"!" teriak Senopati Risang Alit.
Perwira kerajaan itu berlari cepat meninggalkan
ruangan dengan melewati pintu. Namun, tampaknya
Gusti Wirasantri tak hendak melarikan diri. Lelaki gemuk itu berdiri tegak di
pelataran yang cukup lapang.
"Ha ha ha...! Tangkaplah aku kalau kau mam-
pu, Risang Alit!"
Tak ada kata-kata yang menimpali ucapan
Gusti Wirasantri. Senopati Risang Alit telah mencabut pedang dari sarungnya.
Lalu, dicecarnya tubuh Gusti Wirasantri dengan bertubi-tubi.
Sambil terus tertawa lelaki gemuk itu memba-
las serangan Senopati Risang Alit. Serangannya tak kalah berbahaya. Terlihat
walaupun hanya mengandal-
kan tangan kosong, baru beberapa gebrakan Gusti Wi-
rasantri sudah dapat mendesak Senopati Risang Alit.
"Bantu aku, Tuan Tuhisa Brama!" teriak perwira kerajaan itu.
Sang brahmana langsung menghemposkan tu-
buhnya. Namun, seberkas sinar keperakan memapaki.
Blaaarrr...! Tubuh Tuhisa Brama terlontar lalu jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Untunglah
brahmana itu tidak mengalami
luka dalam yang cukup berarti. Dia telah membentengi tubuhnya dengan tenaga
dalam. Setelah bangkit berdiri langsung diterjangnya Gusti Wirasantri kembali.
"Kau mempunyai nyawa rangkap juga, Kerbau
Tua!" ejek Gusti Wirasantri di antara kelebatan pedang Senopati Risang Alit.
Sebuah tendangan Tuhisa Brama mengarah ke
dada Gusti Wirasantri. Dengan hanya sedikit mengges-er tubuhnya, lelaki gemuk
itu dapat menghindari se-
rangan. Bahkan ketika dia bergerak mundur untuk
menghindari sabetan pedang Senopati Risang Alit,
Gusti Wirasantri sempat menghadiahkan sebuah caka-
ran. Bret...! Jubah putih Tuhisa Brama koyak lebar berikut
kulit dadanya. Darah segar pun merembes!
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Pada
suatu kesempatan, dia menghemposkan tubuhnya lalu
mendarat di atas pedang Senopati Risang Alit yang sedang berkelebat cepat.
Sungguh suatu pertunjukan il-mu meringankan tubuh yang sangat hebat!
Tentu saja Senopati Risang Alit terkejut bukan
main. Belum sepenuhnya dia menyadari apa yang ter-
jadi, sebuah tendangan bersarang tepat di dadanya.
Des...! Tubuh perwira kerajaan itu terhempas ke tanah
dengan mulut menyemburkan darah segar. Saat dia
hendak bangkit, rasa sesak begitu menyiksa dadanya.
Terpaksa senopati muda itu menjauhi arena pertempu-
ran, ia hendak duduk bersemadi mengumpulkan hawa
murni untuk mengatasi luka dalamnya.
Melihat keadaan itu, Lodra Sawala yang sedari
tadi cuma diam saja langsung menerjang Gusti Wira-
santri untuk membantu Tuhisa Brama.
Saat itulah Suropati bersama Yaniswara dan
Kipas Sakti muncul. Melihat pertempuran yang sedang berlangsung, mereka hanya
saling berpandangan tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
"Senopati Risang Alit...," desis Suropati ketika melihat Senopati Risang Alit
yang duduk bersila den-
gan mata terpejam rapat.
Suropati tahu perwira kerajaan itu tengah
menderita luka dalam. Maka, Pengemis Binal segera
menyalurkan hawa murni ke tubuh Senopati Risang
Alit untuk membantu penyembuhannya. Beberapa ta-
rikan napas kemudian perwira kerajaan itu membuka
kelopak matanya.
"Suropati...," gumam Senopati Risang Alit saat melihat Pengemis Binal duduk
bersila dengan kedua
telapak tangan menempel di dadanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Suropati seraya menarik tangannya.
Senopati Risang Alit lalu dengan singkat menje-
laskan apa yang telah terjadi di tempat itu.
"Jadi, Gusti Wirasantri hendak melakukan
pemberontakan?" tegas Suropati.
"Benar, Suro. Maka dari itu, bantulah aku me-
nangkap pengkhianat itu."
Suropati langsung menyanggupi permintaan
itu. Tanpa basa-basi lagi diterjangnya Gusti Wirasantri. Yaniswara tampak telah
bertempur juga membantu ayahnya.
"Untuk ke Bukit Rawangun, kau harus mem-
bantuku menangkap orang ini, Pak Tua!" teriak Suropati kepada Kipas Sakti yang
masih berdiri menyaksikan jalannya pertarungan.
"Baik, Bocah Bagus!" balas kakek berpakaian penuh tambalan. Kemudian,
digempurnya Gusti Wirasantri dengan pukulan dan tendangan.
Senopati Risang Alit tercenung sejenak di tem-
patnya. Karena rasa tanggung jawab yang diembannya
untuk menjalankan tugas, dia lalu ikut menerjang
Gusti Wirasantri. Padahal luka dalamnya belum sem-
buh benar. Menghadapi lawan yang sekian banyaknya
Gusti Wirasantri memutar tubuhnya bagai gangsing.
Tiupan angin kencang laksana angin puting beliung
pun menerpa! Senopati Risang Alit dan kawan-kawannya me-
loncat jauh. Mereka tak mau tubuhnya terlontar.
Sementara para pengeroyoknya menghentikan
serangan, Gusti Wirasantri menggeram keras bagai
banteng terluka. Lelaki gemuk itu menghentikan putaran tubuhnya kemudian
membentangkan kedua tan-
gan ke atas. Ditariknya turun perlahan-lahan dengan kedua kaki dibuka dan badan
sedikit berjongkok. Gusti Wirasantri menghirup udara sebanyak-banyaknya
dengan berlambarkan ilmu 'Penghisap jagad'!
Suatu kekuatan kasat mata berdaya isap dah-
syat menghujam ke arah Senopati Risang Alit dan ka-
wan-kawannya. Mereka tampak berdiri terpaku di
tempatnya. Tubuh mereka bergetar hebat bagai dis-
erang demam. "Ha ha ha....." Gusti Wirasantri tertawa gelak.
"Kerbau-kerbau dungu tiada berguna! Ajal ka-
lian sudah di depan mata!"
Lelaki gemuk itu lalu menghirup udara lebih
kuat. Akibatnya, jantung Senopati Risang Alit dan yang lain berdegup lebih
kencang. Dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membentengi diri, mereka mencoba
bertahan. Namun, cairan bening segera muncrat dari
sekujur tubuh mereka!
Setelah tertawa terbahak-bahak, Gusti Wira-
santri menghirup udara lebih kuat lagi. Cairan yang muncrat dari sekujur tubuh
Senopati Risang Alit dan yang lainnya pun tidak lagi bening, melainkan merah
bercampur darah.
Di antara mereka yang sedang berkutat mela-
wan maut keadaan Yaniswaralah yang terlihat paling
mengenaskan. Ilmu kepandaiannya memang paling rendah.
Gadis cantik itu sudah tidak mempunyai kemampuan
lagi untuk mempertahankan nyawa. Wajahnya terlihat
pucat pasi. Kedua kakinya menggantung lemah tanpa
tenaga. Kekuatan kasat mata yang sedang menyeran-
glah yang membuat tubuh gadis itu tidak jatuh ke tanah, ilmu 'Penghisap Jagad'
milik Gusti Wirasantri selalu mempunyai daya isap dahsyat, juga mampu mem-
buat tubuh lawan tetap berdiri tegak sampai ilmu tingkat tinggi itu dilepas oleh
pemiliknya. Pipi Yaniswara mulai menggembung menahan
cairan darah yang hendak keluar menyembur dari mu-
lutnya. Sementara dari lubang hidung telah memancar darah segar. Gadis cantik
itu mengenakan rompi pusaka hingga nyawanya tak segera melayang. Rompi
pusaka itu menahan jantung Yaniswara untuk tak ter-
lontar keluar dari dalam dadanya.
Keadaan Senopati Risang Alit tak jauh berbeda.
Luka dalam yang masih diderita perwira kerajaan itu semakin membuat payah
pertahanan tubuhnya. Pakaian yang dikenakan punggawa muda itu sudah bo-
long-bolong oleh sentakan cairan darah yang muncrat.
Dengan kepala terkulai, kedua kakinya mulai terlihat menggantung lemah tanpa
tenaga. Keadaan Suropati, Kipas Sakti, Tuhisa Brama,
dan Lodra Sawala pun mulai terlihat payah. Karena
mereka memiliki tenaga dalam yang sudah sedemikian
tinggi, keadaannya masih lebih baik dibanding Yaniswara dan Senopati Risang Alit
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Sua-
ranya terdengar membahana di angkasa.
"Malaikat Kematian benar-benar akan berpesta
darah!" teriak lelaki gemuk itu lantang.
Kemudian dia menambah kekuatan ilmu
'Penghisap Jagad'-nya. Maut pun berada di depan ma-
ta Senopati Risang Alit dan kawan-kawannya.
Pada saat yang genting itu Suropati tiba-tiba te-
ringat pada ilmu sihir ajaran gurunya yang bergelar si Periang Bertangan Lembut.
Dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatannya, remaja konyol itu berteriak keras-
keras. "Hentikan permainan ini!"
Gusti Wirasantri mendadak saja terlihat lin-
glung. Kekuatan daya ilmu 'Penghisap Jagad' pun le-
pas.... Kesempatan itu tidak disia-siakan Pengemis Binal. Dengan sekejap mata
dipungutnya dua butir kerikil yang kebetulan berada di dekatnya. Lalu
dilontarkan ke arah Gusti Wirasantri!
Serangan remaja konyol itu tepat mengenai sa-
saran. Dua butir kerikil masuk ke lubang hidung Gusti Wirasantri dan menyumpal jalan pernafasannya.
Sesaat kemudian, tubuh lelaki gemuk itu terlihat gontai.
Suara ngorok terdengar dari mulutnya. Dengan meng-
hembuskan keras-keras udara dalam paru-parunya,
Gusti Wirasantri berusaha mengeluarkan dua butir kerikil di dalam lubang
hidungnya. Belum juga usaha lelaki gemuk itu berhasil,
Suropati telah meluncur cepat dengan melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Blab...! Blab...! Blab...!
Tubuh Gusti Wirasantri masih tetap berdiri di
tempatnya. Tapi, dari delapan belas pusat aliran darahnya memancar darah segar!
Kemudian, terdengar suara ledakan. Tubuh
punggawa kerajaan yang hendak memberontak itu
hancur menjadi serpihan daging berbau sangat any-
ir.... 7 "Mendengar cerita kehebatan Wirasantri, aku
tak dapat membayangkan bagaimana kesaktiannya se-
telah dia meminum air sakti. Tentulah dia akan dapat menaklukkan semua tokoh
kerajaan ini. Keselamatan-ku pun dapat terancam...," ujar Prabu Arya Dewantara
saat menjamu tokoh-tokoh yang telah berjasa menyelamatkan tampuk
kepemimpinannya. "Untunglah Tuan Tuhisa Brama melaporkan rencana keji Wirasantri
itu. Sehingga aku dapat memerintah Risang Alit untuk
menaklukkannya."
"Tapi, tanpa bantuan tokoh-tokoh yang duduk
di samping hamba ini rasanya tak mungkin dapat
menjalankan perintah Baginda Prabu," ucap Senopati Risang Alit sambil
menundukkan kepala.
Tampaknya, perwira kerajaan itu sudah dapat
mengatasi luka dalam yang dideritanya. Sebelum
menghadiri jamuan, seluruh tokoh yang habis bertem-


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pur melawan Gusti Wirasantri telah ditempatkan da-
lam ruangan khusus untuk mendapat pengobatan dari
tabib-tabib kerajaan.
"Aku kagum kepadamu, Risang Alit...," ujar Prabu Arya Dewantara. Orang nomor
satu di Kerajaan
Anggarapura itu lalu menatap wajah Tuhisa Brama.
"Sebagai tanda terima kasihku atas jasa Tuan Tuhisa Brama, aku akan memberi
sumbangan untuk pembangunan padepokan yang hendak Tuan Tuhisa Bra-
ma dirikan."
"Terima kasih, Yang Mulia," Tuhisa Brama
mengangkat kedua telapak tangannya ke depan dada.
"Dan kau, Suropati...," Prabu Arya Dewantara kemudian menatap wajah Pengemis
Binal. "Hamba, Baginda Prabu."
"Kau telah berulang kali berjasa terhadap Kerajaan Anggarapura. Aku akan sangat
senang sean- dainya kau bersedia menjadi pengawal istana," Prabu Arya Dewantara mengajukan
tawaran. "Terima kasih, Baginda Prabu. Bukannya ham-
ba menolak penghormatan Baginda Prabu. Namun,
orang-orang yang bernaung dalam Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti lebih membutuhkan hamba...."
"Hmmm... Terserah kau, Suropati. Tapi bila kau membutuhkan sesuatu, datanglah
kepadaku. Aku akan memberikan apa yang kau perlukan bila aku da-
pat memenuhinya."
"Terima kasih, Baginda Prabu," Suropati men-jura untuk memberi hormat.
Setelah berbincang-bincang dan menikmati ja-
muan yang dihidangkan, Prabu Arya Dewantara me-
nyilakan para tamu kehormatannya untuk beristirahat di ruangan yang telah
disiapkan. Pada tengah malam, Suropati dikejutkan oleh
ketukan pintu di kamarnya.
"Yaniswara...," desis remaja konyol itu. Dengan penuh rasa gembira dia melangkah
untuk membuka daun pintu. Tapi yang muncul ternyata Tuhisa Brama.
"Aku ada perlu sedikit denganmu, Suro," kata brahmana itu.
Pengemis Binal mempersilakan Tuhisa Brama
duduk di kursi. Dia sendiri duduk di tepi pembaringan.
"Tuan Tuhisa Brama ada perlu apa" Kedatan-
gan Tuan begitu mengejutkan saya."
"Aku kagum kepadamu, Suro. Kau seorang
pendekar muda yang gagah perkasa. Semoga kebena-
ran dan keadilan selalu dapat kau tegakkan...," ujar Tuhisa Brama dengan lembut.
"Aku akan menghadiahkan sesuatu kepadamu."
"Hadiah?" Wajah Suropati tampak berubah senang. "Ya."
Tuhisa Brama mengeluarkan sebuah botol kecil
dari balik jubahnya.
"Air sakti!" desis Suropati.
"Semoga air ajaib yang mempunyai khasiat luar
biasa ini dapat kau gunakan sebaik-baiknya, Suro...."
Rasa hati Pengemis Binal tak dapat digambar-
kan lagi saat menerima pemberian Tuhisa Brama. Re-
maja konyol itu tak mampu berucap apa-apa. Kebaha-
giaannya saat itu sanggup menerbangkan jiwanya ke
awang-awang....
Pagi-pagi sekali Tuhisa Brama berpamitan ke-
pada Prabu Arya Dewantara. Ia hendak kembali ke Ko-
tapraja Kerajaan Saloka Medang. Lodra Sawala pun
demikian. Ketika Pemilik Ekspedisi Kencana Mega itu hendak mengajak putri
tunggalnya, Yaniswara menolak. Gadis cantik itu ingin mengembara beberapa lama
di wilayah Kerajaan Anggarapura. Namun, sesungguhnya hati Yaniswara telah
terpaut pada Suropati. Dia tak ingin berpisah terlalu cepat dengan remaja tampan
yang telah membuat mekar bunga-bunga cinta di hatinya. Akhirnya, Tuhisa Brama
berangkat ke Kotapra-ja Kerajaan Saloka Medang bersama Lodra Sawala. Se-
dangkan Yaniswara ikut Suropati dan Kipas Sakti pergi ke Bukit Rawangun.
"Kenapa kau tidak ikut ayahmu pulang, Yani?"
tanya Pengemis Binal. Saat itu mereka sedang dalam
perjalanan menuju Bukit Rawangun.
Yaniswara tersipu. "Apa aku mengganggumu,
Suro?" tanyanya.
"Tidak. Tapi, aku kira ayahmu masih membu-
tuhkan tenagamu untuk membangun kembali Ekspe-
disi Kencana Mega."
"Dengan bantuan Prabu Mahindra Suikarnaka,
ayahku akan dapat mewujudkan cita-citanya kembali,"
kilah Yaniswara.
"Raja Kerajaan Saloka Medang itu?"
"Ya. Ketika aku menanyakan perihal rompi pu-
saka yang kupakai ini, Ayah mengatakan kalau dia sesungguhnya masih kerabat
dekat Prabu Mahindra
Suikarnaka. Karena itu, saat Ayah memintanya beliau memberikan rompi pusakanya
ini." "Alasanmu untuk ikut aku ke Bukit Rawanyun
apa?" tanya Suropati. Walau sebenarnya dia sudah dapat menebak apa yang ada
dalam hati gadis cantik itu.
Kembali Yaniswara tersipu. "Rupanya kau tidak
suka bila aku berada di sisimu, Suro...."
"Uh! Siapa bilang" Justru aku malah sangat
senang." "Lalu, kenapa kau bertanya yang tidak-tidak?"
"Bertanya yang tidak-tidak bagaimana?" Suropati pura-pura tidak mengerti.
Yaniswara diam. Mulutnya terkatup rapat. Ru-
panya gadis itu ngambek. Suropati menggaruk-garuk
kepalanya. "Begitu saja marah," goda Suropati.
"Kau sangat menjemukan, Suro!" Yaniswara
merengut "Masa'?"
"Kau tidak merasa?"
"Yah, baiklah. Kuakui aku sangat menjemukan.
Tapi juga menggemaskan, bukan?" Suropati lalu tertawa.
Yaniswara jadi tersenyum mendengarnya. Kipas
Sakti memandang mereka berdua sambil menggerutu.
Orang tua berpakaian penuh tambalan ini agaknya iri melihat keakraban sepasang
sejoli itu. Tak lama kemudian, ketiga orang itu mengge-
brak kuda pemberian Prabu Arya Dewantara. Kuda-
kuda berlari kencang menuju Bukit Rawangun. Na-
mun, di tengah perjalanan orang-orang Partai Iblis Un-gu mencegat.
"Serahkan air sakti yang kau bawa, Bocah
Gendeng!" bentak Wiranti, ketua partai sesat itu.
"Siang-siang begini rupanya kau sedang mengi-
gau, Nenek Bengal. Pakaianmu yang serba ungu men-
gingatkan aku pada buah terong!" sahut Suropati sambil tersenyum.
Wiranti terdengar mendengus. Lalu perempuan
setengah baya itu memberi isyarat. Salah seorang anak buahnya membuka dua
buntalan bulat dan melem-parkannya ke depan kuda Suropati.
Mata remaja konyol itu langsung mendelik. Ke-
terkejutan juga melanda Yaniswara dan Kipas Sakti.
Ternyata dua benda bulat yang dilemparkan seorang
anak buah Wiranti adalah kepala Tuhisa Brama dan
Lodra Sawala! "Setan Alas! Kubunuh kau!" Yaniswara kalap bukan main.
Dengan tangan kosong gadis cantik itu lang-
sung menerjang Wiranti. Karena hawa amarah yang
luar biasa, dia melakukan serangan membabi buta.
Sementara belasan anak buah Wiranti mengeroyok
Pengemis Binal dan Kipas Sakti.
Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi.
Dengan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan' Suropati
berusaha mendesak lawan-lawannya yang bersenjata
besi berujung sebilah besi runcing.
Kemarahan juga telah mengaburi jiwa remaja
konyol itu. Kematian Tuhisa Brama yang telah meng-
hadiahkan air sakti kepadanya membuat Pengemis Bi-
nal menggeram-geram bagai harimau kelaparan. Den-
gan berani dia memapaki bilah-bilah besi runcing yang meluncur ke arahnya.
Srat...! Srat...! Srat...!
Saat bilah-bilah besi runcing kurang sejengkal
lagi dari tubuh Suropati, remaja konyol itu berkelebat cepat. Ditangkapnya tali-
tali yang mengendalikan bilah besi runcing. Lalu, dibetotnya dengan sekuat
tenaga. Lima orang anggota Partai Iblis Ungu terkejut
bukan main saat tubuhnya tertarik. Belum sempat me-
reka menyadari keadaan yang terjadi, tubuhnya telah terlontar kembali dengan
mulut menyemburkan darah
segar. Rupanya, Suropati telah memapaki luncuran
tubuh lawan-lawannya dengan pukulan jarak jauh da-
lam jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'.
Di bagian lain Kipas Sakti sudah mengeluarkan
senjata andalannya. Karena mengetahui Partai Iblis
Ungu adalah tempat bernaung tokoh-tokoh wanita be-
raliran sesat, kakek berpakaian penuh tambalan itu
ingin segera menyudahi riwayat mereka. Cepat bagai
kilat Kipas Sakti membabatkan senjata andalannya.
Jerit kematian pun membahana di angkasa
hingga mendirikan bulu roma. Lima orang anggota Partai Iblis Ungu ambruk ke
tanah dengan leher hampir
putus. Wiranti sama sekali tak menduga anak buah-
nya dapat dirobohkan sedemikian mudah. Karena ke-
terkejutannya, wanita sesat itu melengking tinggi dengan mata terbelalak lebar.
Kesempatan itu tak disia-siakan Yaniswara. Dia menghadiahkan tendangan ke
rusuk kiri. Tapi....
Srat..! Tali Wiranti membelit pergelangan kaki gadis
cantik itu. Bilah besi runcing yang terdapat pada
ujungnya melesat ke arah dahi.
Tampaknya, Malaikat Kematian akan segera
menjemput nyawa Yaniswara. Untunglah Suropati ber-
gegas mengambil tindakan penyelamatan. Tubuh re-
maja konyol itu meluncur cepat membentur Yaniswara
hingga jatuh tersungkur. Dengan demikian, bilah besi runcing Wiranti hanya
mengenai angin kosong.
Dalam keadaan masih terbaring di atas tanah,
Pengemis Binal menyambar tali yang membelit perge-
langan kaki Yaniswara. Kemudian membetotnya. Tentu
saja Wiranti tak mau melepaskan senjata andalannya
begitu saja. Segera dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan pegangan
Suropati Teeerrr...! Tali ketua Partai Iblis Ungu itu menegang. Dua
kekuatan tenaga dalam beradu. Kipas Sakti menden-
gus keras. Lalu, kedua tangannya yang sedang meme-
gang tali disatukan dengan perlahan-lahan.
Suropati terkejut merasakan hawa panas men-
jalar dari tali yang sedang dipegangnya. Tapi, dia tetap mencoba bertahan.
Apabila sampai pegangannya dile-paskan, kematian akan mengancam jiwa Yaniswara
yang masih terbelit tali.
Keringat dingin mengucur dari tubuh Suropati.
Kedua tangannya tampak mengepulkan asap. Remaja
konyol itu akhirnya berbuat untung-untungan. Dengan
mengandalkan seluruh tenaga dalamnya, dia memba-
cok tali dengan telapak tangan kanan dimiringkan.
Terdengar jerit kesakitan. Tali hanya bergetar
keras. Tidak putus. Sisi bawah telapak-tangan kanan Suropati terlihat
mengucurkan darah segar.
"Ha ha ha...!"
Wiranti tertawa bergelak. Dibetotnya tali den-
gan kuat. Karena pegangan Pengemis Binal belum le-
pas, remaja konyol itu terlontar berikut tubuh Yaniswara. Tubuh kedua muda-mudi
itu meluncur deras
ke arah Wiranti. Sementara ketua Partai Iblis Ungu itu telah menyiapkan pukulan
jarak jauhnya! Blaaarrr...! Tubuh Wiranti terlihat gontai. Suropati dan Ya-
niswara jatuh ke tanah bagai dua lembar karung ba-
sah. Namun, mereka sedikit pun tak menderita luka
dalam. Kipas Sakti telah menyelamatkan nyawa mere-
ka dengan memapaki pukulan jarak jauh Wiranti.
Beberapa saat lamanya Wiranti berdiri terpaku
di tempatnya. Saat menyaksikan mayat anak buahnya
berserakan tiada sisa, wanita itu melengking tinggi-tinggi. "Kerbau-kerbau
busuk! Kalian telah mengundang kemarahanku!"
"Siapa suruh kau datang kemari kalau tak in-
gin melihat anak buahmu mati"!" ejek Pengemis Binal sambil membalut telapak
tangannya dengan sapu tangan pemberian Yaniswara.
Kipas Sakti tertawa terkekeh. "Jauh-jauh da-
tang dari Kotapraja Kerajaan Satoka Medang, kau
hanya mencari kesulitan, Wiranti...."
"Kerbau Busuk! Aku tak mempunyai urusan
denganmu!" bentak Wiranti. Lalu wajahnya dipaling-
kan ke arah Suropati. "Serahkan air sakti kepadaku, Bocah Gendeng!"
"Cium pantat ku dulu!" balas Suropati.
Usai berkata demikian, Pengemis Binal memba-
likkan badan seraya menyorongkan pantatnya. Kemu-
dian digoyang-goyangkan.
Tentu saja Wiranti marah bukan main. Darah-
nya menggelegak naik sampai ke ubun-ubun. Dengan
bola mata melotot seperti hendak keluar dari rongga, diterjangnya Suropati.
Pemuda itu tampak tenang-tenang saja. Setelah
menegakkan tubuhnya kembali Suropati bersedekap.
Remaja konyol itu sedang memusatkan kekuatan ba-
tinnya untuk menghimpun kekuatan semesta dengan
berlambarkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'!
Tatkala terjangan Wiranti hampir mengenai sa-
saran, sekujur tubuh Pengemis Binal memancarkan
cahaya kebiru-biruan. Lalu....
Blaaammm...! Tubuh Wiranti yang membentur pusat kekua-
tan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' terlontar dalam keadaan terpisah-pisah!
Menggiriskan sekali cara kematian ketua Partai Iblis Ungu itu....
Usai membasmi wanita-wanita sesat yang ber-
naung dalam Partai Iblis Ungu, Suropati bersama Ya-
niswara dan Kipas Sakti melanjutkan perjalanan. Tak henti-hentinya Pengemis
Binal menghibur Yaniswara
yang sangat terpukul setelah mengetahui ayahnya me-
ninggal dunia. "Kematian selalu berkenaan dengan takdir Tu-
han. Manusia memiliki tiga perjalanan hidup. Pertama, manusia menjalani hidup


Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

awalnya di alam kandungan.
Kedua, manusia meneruskan hidupnya di alam fana
ini setelah melalui suatu peristiwa yang disebut kelahi-
ran. Ketiga, manusia meneruskan hidupnya lagi di
alam baka, setelah melalui jalan yang disebut kema-
tian...," ucap Suropati. "Karena itu Yani, kematian tidak perlu disesali. Ayahmu
mati karena memang harus menjalani hidupnya yang ketiga. Semua itu hanyalah
karena kehendak Tuhan. Setiap manusia akan menga-
laminya juga nanti."
Yaniswara tak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Kalimat bijak Pengemis Binal sedikit telah meringankan perasaan
sedihnya. Kipas Sakti pun berusaha menghibur gadis cantik itu. Merasakan perha-
tian yang diberikan kepadanya, air mata Yaniswara
berhenti mengalir.
Hari sudah menjelang malam ketika mereka
sampai di puncak Bukit Rawangun. Kipas Sakti terce-
kat saat melihat tubuh Raka Maruta terbujur kaku di samping tubuh Wajah Merah.
"Tenangkan hatimu, Pak Tua...," bujuk Suropati. "Aku akan mengembalikan roh
muridmu bersama Kakek Wajah Merah."
Perlahan-lahan remaja konyol itu membuka tu-
tup botol kecil yang berisi air sakti. Air ajaib yang mempunyai khasiat luar
biasa itu diteteskannya di pu-sar Raka Maruta. Pusar adalah jalan makanan saat
manusia hidup di alam kandungan. Kemudian, air
sakti diteteskan ke mulut pendekar muda berwajah
lembut itu. Karena, mulut adalah jalan makanan saat manusia hidup di alam fana.
Pengemis Binal melakukan hal yang sama ter-
hadap Wajah Merah yang juga mati suri. Tak lama ke-
mudian, tubuh kedua anak manusia itu menggeliat.
Roh mereka telah kembali pada jasad kasarnya.
Setelah mengucapkan syukur dan terima kasih,
Wajah Merah langsung duduk bersila. Kakek itu hen-
dak mengumpulkan hawa murninya yang berpencar
karena sekian lama terbaring di atas batu tanpa bergerak sedikit pun.
Namun, apa yang dilakukan Raka Maruta sete-
lah tersadar dari mati surinya sungguh memprihatin-
kan. Pendekar muda berwajah lembut itu menggapai-
gapaikan kedua tangannya sambil berkeluh-kesah.
"Oh, aku lupa kalau mata Raka Maruta telah
buta akibat serangan si Setan Racun, salah seorang
dari Sepasang Abdi Penghimpun Angkara di Lembah
Tengkorak...," gumam Suropati.
Dia lalu meneteskan air sakti yang tersisa pada
kedua mata Raka Maruta. Sebentar kemudian, murid
Kipas Sakti itu pun dapat melihat kembali.
Kegembiraan menyelubungi gua di puncak Bu-
kit Rawangun itu. Usai melepas kerinduan kepada Ra-
ka Maruta, Kipas Sakti celingukan sambil meraba-raba pakaiannya.
"Apa yang kau cari, Pak Tua?" tanya Suropati.
Pada mulanya Kipas Sakti tak mau menjawab
pertanyaan itu. Tapi setelah didesak, dia berkata juga.
"Gigi palsu ku hilang...."
Semua yang mendengar jawaban itu langsung
tertawa terbahak-bahak....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kaki Tiga Menjangan 29 Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Dendam Si Anak Haram 8
^