Pencarian

Tengkorak Kaki Satu 2

Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu Bagian 2


tingginya tenaga dalam si pemuda.
Wajah pemuda yang ternyata bernama Rak-
sa Wijaya ini terlihat keruh kini. Disandangnya pikulan itu lagi dengan setengah
hati. Namun memi-
kirkan tugas yang harus diselesaikannya, dia sege-
ra memacu semangatnya untuk dapat berlari ce-
pat. Keringat membanjir di sekujur tubuh Raksa
Wijaya ketika langkah kakinya sampai di pringgi-
tan yang terletak di sisi kanan bangunan utama
Perguruan Tapak Putih. Gentong airnya diletakkan
begitu saja. Matanya berbinar ketika telinganya
mendengar suara pembicaraan dari dalam ruan-
gan utama. Lalu dibukanya pintu samping pringgi-
tan yang menghubungkan dengan ruang utama.
Sementara itu, di sebuah ruangan berlantai
papan, seorang kakek tampak duduk bersila.
Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas
dengan ikatan akar bahar. Sorot matanya teduh.
Wajahnya menggambarkan keluhuran budi. Dan
walau bertubuh kurus, tapi sikap duduknya tegak-
kokoh bagai karang. Kakek berjubah putih inilah
yang bernama Sawung Permadi yang dikenal seba-
gai Pendekar Tapak Putih. Beliaulah pendiri Pergu-
ruan Tapak Putih.
Duduk bersila pula di hadapan Sawung
Permadi adalah seorang pemuda tampan. Sikap
duduknya menunduk hormat. Rambutnya yang hi-
tam panjang dibiarkan tergerai. Tubuhnya yang
kekar dibungkus pakaian ketat serba putih. Dia
adalah murid utama Sawung Permadi yang ber-
nama Bantar Gurdi.
"Bukannya aku tak mau mengajarkan ilmu
kesaktianku kepada Raksa Wijaya, Gurdi...," tutup Sawung Permadi. "Hanya saja,
dalam diriku timbul perasaan aneh bila sedang berhadapan dengan
pemuda itu. Perasaan aneh itulah yang membua-
tku jadi ragu untuk menurunkan ilmu kesaktian-
ku kepadanya."
"Apakah karena Raksa Wijaya baru bebera-
pa bulan tinggal di perguruan ini, sehingga Guru
bersikap demikian" Atau mungkin Guru menyang-
sikan maksud baik pemuda itu?" timpal Bantar
Gurdi. "Aku yakin, dia pemuda berjiwa pendekar, Guru. Akulah yang mengajaknya
kemari. Berarti,
tingkah-lakunya juga menjadi tanggung jawabku.
Aku berjumpa dengannya saat pemuda itu ber-
tempur melawan para perampok. Aku melihat dia
terdesak. Lalu, aku membantunya. Maka sampai-
lah dia di sini, di mana aku meminta kepada Guru
untuk mengangkatnya sebagai murid."
Mendengar kata-kata muridnya yang cukup
panjang, Sawung Permadi diam. Kerut-kerut di
wajahnya semakin kentara terlihat.
"Raksa Wijaya memang seorang pemuda ra-
jin. Selama empat bulan di sini, tidak sekali pun
berbuat salah. Dia juga seorang pemuda ramah...,"
papar Pendekar Tapak Putih kemudian. "Tapi..., kenapa dalam diriku seperti
timbul rasa curiga?"
"Sebagai seorang sahabat, aku mengerti
keinginan Raksa Wijaya untuk menimba ilmu ke-
pada Guru. Tapi bila kecurigaan Guru itu benar,
akulah yang harus menerima hukuman. Namun,
bila kecurigaan itu ternyata salah, berarti Guru telah menyia-nyiakan maksud
baik Raksa Wijaya
yang ingin menambah ilmu untuk digunakan di ja-
lan kebenaran."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi yang sedi-
kit menuduh, Sawung Permadi menghela napas
panjang. "Aku punya firasat bahwa kehadiran Raksa
Wijaya merupakan awal timbulnya peristiwa ber-
darah...."
Terkejut bukan main Bantar Gurdi men-
dengar ucapan gurunya. Sikapnya seperti tak per-
caya. "Peristiwa berdarah" Apakah Guru mempunyai musuh besar, sehingga dia
merasa perlu mengirimkan telik sandi?"
Pendekar Tapak Putih menggeleng. "Aku
merasa tidak punya musuh. Tapi, entah bila ada
orang yang sengaja memusuhiku...."
"Kalau begitu, firasat Guru tidak beralasan."
"Firasat bukan buatan manusia. Firasat be-
rasal dari alam bawah sadar yang tidak bisa di-
jangkau akal manusia. Jadi, firasatku entah benar
entah tidak, aka tak tahu. Yang ku tahu, firasat
datang kepada diri manusia agar bisa sedikit tahu
apa yang akan terjadi esok hari...."
Bantar Gurdi terdiam.
"Sudah cukupkah keperluanmu untuk da-
tang ke hadapanku, Gurdi?" tanya Sawung Perma-di kemudian.
Bantar Gurdi tak juga membuka suara lagi.
Agaknya, pemuda itu kecewa karena usulnya tak
disetujui Sawung Permadi.
"Sudahlah...," ujar Pendekar Tapak Putih dengan suara lembut. "Aku tahu
perasaanmu, Gurdi. Tapi, sebaiknya kita tak usah membicara-
kan perihal Raksa Wijaya. Sekarang dia tentu telah menyelesaikan tugasnya
mencari air. Aku tak ingin
dia mendengar pembicaraan kita."
Di ujung kalimat Sawung Permadi, Raksa
Wijaya yang tengah mencuri dengar pembicaraan
dengan merapat ke dinding papan segera beranjak
dari tempatnya berdiri. Digunakannya ilmu merin-
gankan tubuh agar langkah kakinya tak terdengar.
"Agaknya, usahaku selama empat bulan ini
akan menemui kegagalan...," pikir Raksa Wijaya sambil membenarkan letak gentong
air di pringgitan. "Naluri Sawung Permadi begitu peka. Jelas bi-la orang tua itu
menyimpan kecurigaan kepadaku.
Apa dayaku sekarang" Bagaimana aku dapat men-
jalankan tugas yang diberikan Tengkorak Kaki Sa-
tu?" Teringat isi surat yang diterimanya ketika mencari air barusan, paras Raksa
Wijaya jadi mengelam. Pikirannya kini kalut. Dia tahu, Teng-
korak Kaki Satu adalah manusia kejam yang tak
segan menjatuhkan tangan maut. Apalagi, kepada
orang yang tak bisa menjalankan tugas dengan
baik. "He, Wijaya...."
Terdengar suara panggilan. Walau lemah,
tapi cukup membuat pemuda itu terkejut.
"Oh" Kiranya kau, Gurdi...?" ujar Raksa Wijaya, menyembunyikan keterkejutannya,
melihat Bantar Gurdi tahu-tahu telah berdiri empat tom-
bak di sampingnya.
Bantar Gurdi yang berdiri di pintu pringgi-
tan tersenyum sekilas. Lalu, kakinya melangkah
menghampiri Raksa Wijaya.
"Aku tadi sudah bicara dengan Guru," jelas Bantar Gurdi. "Tapi, kau mesti
bersabar lagi. Guru masih belum berkenan menurunkan beberapa il-mu kesaktiannya
kepadamu.' "Lalu, sekarang Guru berada di mana?"
tanya Raksa Wijaya. Suaranya pelan seperti me-
nyimpan kekhawatiran.
"Beliau di halaman belakang. Mungkin un-
tuk melihat para murid tataran rendah yang se-
dang berlatih."
Terlintas rasa senang di hati Raksa Wijaya
mendengar ucapan Bantar Gurdi.
"Guru bergelar Pendekar Tapak Putih. Apa-
kah ilmu andalannya juga bernama Tapak Putih?"
tanyanya. "Kenapa dengan ilmu 'Tapak Putih?" Bantar Gurdi balik bertanya.
"Ah, tidak. Aku hanya sekadar bertanya.
Benarkah apa yang kukatakan tadi?"
"Ya! Guru memang mempunyai ilmu anda-
lan yang bernama 'Tapak Putih'," jawab Bantar Gurdi tanpa curiga.
"Kehebatannya" "
"Aku belum pernah tahu sendiri. Tapi ka-
barnya, setiap orang yang terkena pukulan 'Tapak
Putih' akan mempunyai tanda putih menyerupai
telapak tangan di tubuhnya."
"Hanya itu?"
"Itulah yang ku tahu."
Raksa Wijaya kecewa mendengar jawaban
Bantar Gurdi. Namun, dicobanya terus untuk
mengorek keterangan dari murid utama Sawung
Permadi itu. "Kau sendiri, apakah sudah menguasai ilmu
'Tapak Putih'?" tanya Raksa Wijaya kemudian.
"Belum. Guru baru mengajarkan dasar-
dasarnya."
Jawaban Bantar Gurdi semakin membuat
kecewa Raksa Wijaya. Tak ingin perubahan air
mukanya terlihat, cepat Raksa Wijaya menepuk
bahu Bantar Gurdi.
"Rupanya Guru adalah orang yang sangat
berhati-hati."
"Maksudmu?"
"Kalau Guru bukan orang yang sangat ber-
hati-hati dalam bertindak, tentu telah mengajar-
kan ilmu andalannya kepadamu. Bukankah kau
sudah tinggal di sini lebih dari sepuluh tahun?"
"Bukan itu alasannya kenapa Gum belum
mengajarkan ilmu 'Tapak Putih' kepadaku. Menu-
rut Guru, aku mesti menyempurnakan tenaga da-
lam dulu. Karena, tanpa tenaga dalam sempurna,
ilmu 'Tapak Putih' tak mungkin dapat dikuasai se-
cara sempurna pula."
Raksa Wijaya mengangguk-angguk.
"Hari sudah menjelang malam. Aku akan
menyalakan lampu-lampu," kata Bantar Gurdi
kemudian. "Tunggu dulu!" cegah Raksa Wijaya. "Aku masih punya satu pertanyaan lagi
untukmu." "Apa?"
"Di mana ruang baca pribadi Guru?"
Kerang Bantar Gurdi berkerut mendengar
pertanyaan Raksa Wijaya.
"Kau mau apa?" selidiknya, kali ini timbul rasa curiga.
"Aku sekadar bertanya," kilah Raksa Wijaya.
"Selama empat bulan tinggal di sini, janggal rasanya bila tak mengetahui tempat
Guru biasa me- nyendiri. Selain mencari air, bukankah tugasku
juga membersihkan seluruh ruangan perguruan?"
"Ya. Ya, aku tahu. Tapi, simpan dulu perta-
nyaanmu itu," ujar Bantar Gurdi.
"Apa susahnya menjawab pertanyaanku,
Gurdi?" cecar Raksa Wijaya. "Kukira kau benar-benar telah mengangkat saudara
kepadaku. Nya- tanya, kau hanya bermanis mulut belaka."
Mengelam paras Bantar Gurdi mendengar
sindiran Raksa Wijaya. Tapi, dicobanya untuk te-
tap bersabar. "Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi dari
tempat ini...," ujar Raksa Wijaya bernada sedih.
"Selain kehadiranku tak disukai pemilik perguruan ini, orang yang mengaku
sebagai sahabat pun malah mencurigaiku."
"Kau sadar pada apa yang kau ucapkan, Wi-
jaya?" tanya Bantar Gurdi, meminta penjelasan.
"Kau tak perlu bertanya, Gurdi. Karena, kau
pun tak mau menjawab pertanyaanku."
Bantar Gurdi terdiam. Otaknya diputar.
"Baiklah aku jawab pertanyaanmu. Kupikir tak
ada salahnya kau mengetahui ruang baca pribadi
Guru. Tempat tidur Guru adalah ruang baca pri-
badinya juga," jelas Bantar Gurdi setelah mendapat akal bagus. Raksa Wijaya
kontan bersorak gi-
rang dalam hati.
Ditepuknya bahu Bantar Gurdi berulang
kali. "Kau memang sahabat sejati, Gurdi...," katanya. Bantar Gurdi tersenyum.
"Kelak aku pasti
meminta bantuanmu, Wijaya...," gumamnya.
"Ha" Apa yang kau katakan, Gurdi?" tanya Raksa Wijaya. Rupanya, pemuda ini
mendengar gumaman Bantar Gurdi.
"Ah, tidak. Aku hanya berkata pada diriku
sendiri." "Hmmm.... Ya?"
Bantar Gurdi kembali tersenyum, lalu ke-
luar dari pringgitan untuk menyalakan lampu-
lampu perguruan. Sementara Raksa Wijaya tetap
di tempatnya. Benaknya telah terusik untuk men-
cari cara agar dapat mengemban tugas dengan
baik. *** Malam larut terbawa putaran waktu. La-
mat-lamat suara burung hantu dapat ditangkap
telinga Sawung Permadi bagai rintihan iblis nera-
ka. Kakek ini duduk terpekur di lantai papan bera-
las tikar pandan. Ketika terdengar ketukan halus
di daun pintu, segera dia bangkit.
"Masuklah, Gurdi...," ujar Sawung Permadi setelah tahu orang yang muncul adalah
Bantar Gurdi. Hati-hati sekali Bantar Gurdi menutup
daun pintu yang dibuka gurunya. Dia seperti tak
mau kehadirannya diketahui murid lainnya.
"Apa yang hendak kau bicarakan, Gurdi"
Dan, kenapa kau meminta waktu untuk bicara
pada tengah malam begini?" tanya Sawung Perma-di, setelah Bantar Gurdi duduk
bersila di hada-
pannya.

Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ternyata, apa yang Guru katakan tadi sore
ada benarnya."
"Maksudmu?"
"Raksa Wijaya...," kata Bantar Gurdi dengan kepala berpaling ke kiri, seperti
sedang memperta-jam pendengaran.
"Kenapa dengan Raksa Wijaya?" tanya Sa-
wung Permadi. "Sikapmu jadi aneh, Gurdi."
"Raksa Wijaya memang patut dicurigai.
Guru." "Kau punya alasan kuat?"
"Tadi sore di pringgitan, dia sengaja mengo-
rek keterangan dariku. Dia bertanya tentang ilmu
'Tapak Putih' andalan Guru. Aku menjawab sejauh
yang ku tahu. Tampaknya dia kecewa. Lalu, dia
bertanya di mana ruang baca pribadi Guru."
"Kau jawab?"
"Ya! Kujawab apa adanya. Maafkan aku.
Guru. Aku menyadari bahwa sebenarnya itu tidak
boleh. Tapi kusengaja, karena aku telah menyusun
siasat untuk membuka kedoknya."
Wajah Sawung Permadi terlihat menegang.
"Apakah Guru mempunyai kitab yang berisi
ilmu 'Tapak Putih'?" tanya Bantar Gurdi kemu-
dian. "Apa maksud pertanyaanmu itu, Gurdi?"
"Maaf, Guru. Aku tidak mempunyai maksud
buruk. Hanya aku mempunyai dugaan kalau Rak-
sa Wijaya bermaksud mencuri kitab seperti yang
kusebutkan tadi."
Sawung Permadi mengangguk-angguk.
"Kata-katamu ada benarnya juga, Gurdi.
Karena kau tak dapat memberi keterangan rinci
tentang ilmu 'Tapak Putih', maka Raksa Wijaya
mencari cara lain untuk dapat mengetahui seluk-
beluk ilmu 'Tapak Putih'...," katanya dengan kening berkerut. "Sejak semula aku
sudah tahu bila pemuda itu sengaja menyembunyikan kepandaian." "Maksud, Guru?"
' Pertemuanmu dengan Raksa Wijaya ke-
mungkinan besar sengaja diatur sedemikian rupa.
Pemuda itu pura-pura bertempur melawan para
perampok, lalu kau datang memberi bantuan. Se-
benarnya dia tidak terdesak. Hanya pura-pura ter-
desak. Setelah dapat berkenalan denganmu, dia
menunjukkan itikad baiknya untuk berguru di
perguruan ini."
"Ya. Mungkin benar demikian...," angguk
Bantar Gurdi. "O ya. Guru tadi belum menjawab pertanyaanku. Apakah Guru
mempunyai kitab
yang berisi ilmu 'Tapak Putih'?"
"Punya. Kitab itu ku susun sendiri. Sepekan
yang lalu, baru selesai setelah memakan waktu
hampir enam bulan."
"Apakah kitab itu Guru simpan di tempat
yang aman?"
"Di rak buku itu."
Bantar Gurdi menatap rak buku yang di-
tunjukkan Sawung Permadi. Ada banyak buku di
situ. Namun sulit menentukan, yang mana Kitab
Ilmu Tapak Putih.
"Besok kita jebak Raksa Wijaya, Guru," ujar
Bantar Gurdi kemudian.
"Caranya?"
"Sebelum matahari terbit, hendaknya Guru
memberitahu para murid bila akan pergi ke suatu
tempat. Dan, baru sore harinya dapat kembali...,"
cetus Bantar Gurdi. "Aku yakin, Raksa Wijaya
akan memanfaatkan kesempatan ini. Dia akan
masuk ke kamar Guru. Dan, dia tak akan me-
nyangka bila Guru masih berada di perguruan ini."
"Gagasan yang bagus," puji Sawung Perma-
di. "Tapi, aku mesti memindahkan Kitab Ilmu Tapak Putih terlebih dahulu."
"Kurasa itu tidak perlu. Guru. Biarkan Rak-
sa Wijaya memegang kitab yang diinginkannya,
agar kita bisa menangkap basah. Kalau tidak de-
mikian, bisa saja dia berkelit. Dia mungkin beralasan hendak membersihkan kamar
Guru ini."
Kembali Sawung Permadi mengangguk-
angguk. *** Seperti yang telah direncanakan, pagi-pagi
sekali Sawung Permadi berpamitan kepada murid-
muridnya untuk pergi ke suatu tempat. Katanya,
ada urusan yang harus diselesaikan sendiri. Para
murid Perguruan Tapak Putih pun menganggap-
nya sebagai suatu hal yang biasa, walau tahu
bahwa sudah beberapa tahun Sawung Permadi tak
pernah keluar dari perguruan.
"Aku harus dapat memanfaatkan kesempa-
tan ini...," kata batin Raksa Wijaya yang tak tahu
bila kepergian Sawung Permadi adalah siasat un-
tuk membuka kedoknya. "Lelaki tua itu mengatakan bahwa kembalinya baru sore hari
nanti. Be- rarti, masih banyak waktu."
Sementara para murid Sawung Permadi
berlatih di halaman, Raksa Wijaya tampak men-
gendap-endap di dalam perguruan. Di depan ka-
mar Sawung Permadi, langkahnya dihentikan. Di-
tebarkannya pandangan. Ditajamkan pula pen-
dengarannya. Merasa keadaan aman, didorongnya
daun pintu yang tak terkunci.
Perlahan sekali Raksa Wijaya menutup
kembali pintu kamar. Kembali pandangannya me-
nebar. Dan pemuda itu bersorak girang dalam hati
ketika matanya melihat jajaran buku di rak. Satu
persatu dibacanya judul yang tertera pada sampul
buku. Ketika didapatinya Kitab Ilmu Tapak Putih,
senyum puas tersungging di bibirnya.
Namun, betapa terkejutnya Raksa Wijaya,
ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seketika se-
raut wajah tua memandang tajam ke arahnya.
"Guru...," desis Raksa Wijaya, mencoba bersikap wajar.
"Letakkan kitab yang kau pegang, Wijaya!"
bentak lelaki tua yang tak lain Sawung Permadi.
"Ah! Aku tak bermaksud apa-apa. Guru...."
"Jangan memanggilku 'guru'! Kapan aku
mengangkatmu sebagai murid"!"
"Guru, aku hanya bermaksud membersih-
kan kamar ini...," kilah Raksa Wijaya seraya menurunkan kain lap yang
terselampir di pundaknya,
"Tak perlu mencari alasan macam-macam!"
bentak Sawung Permadi lagi. "Letakkan kembali kitab yang kau pegang! Dan,
katakana siapa dirimu"!" Mendengar kata-kata keras Sawung Perma-di, sadarlah
Raksa Wijaya bala dirinya telah terjebak. Karena tak ada cara lain untuk dapat
melo- loskan diri, diterjangnya Sawung Permadi dengan
nekat! Kaki kanannya yang terjulur siap meluluh-
lantakkan tubuh tua Sawung Permadi.
"Matilah kau, Sapi Tua!"
Sawung Permadi meloncat dari ambang pin-
tu, membuat tendangan Raksa Wijaya hanya men-
genai angin kosong. Sambil memegang erat Kitab
Ilmu Tapak Putih di tangan kiri, pemuda itu mem-
berikan serangan susulan.
Kali ini, Sawung Permadi terkejut. Pukulan
Raksa Wijaya menimbulkan suara bersiut keras
yang menyakitkan gendang telinga. Segera lelaki
tua ini meloncat jauh ke samping kiri. Namun, be-
gitu kakinya menginjak tanah, tubuh Raksa Wi-
jaya berkelebat cepat hendak melarikan diri.
"Mau lari ke mana kau, Durjana"!" bentak Sawung Permadi, geram bukan main.
Sawung Permadi memekik seraya meng-
hempos tubuhnya. Kembali kakek itu terkejut. Il-
mu meringankan tubuh pemuda itu ternyata san-
gat hebat. Hanya dalam beberapa kali loncatan sa-
ja, dia telah melewati halaman belakang pergu-
ruan. "Benar dugaanku bila pemuda itu sengaja menyembunyikan kepandaian," batin
Sawung Permadi seraya mengerahkan seluruh kemampuan
untuk dapat mengejar Raksa Wijaya.
4 Raksa Wijaya terkesiap melihat sesosok
bayangan meluncur cepat dari depan dengan se-
buah tendangan maut. Segera kakinya menjejak
tanah, membuat tubuhnya melenting tinggi. Pe-
muda itu mendengus gusar saat tahu kalau sosok
bayangan itu ternyata Bantar Gurdi.
"Jangan terkejut, Wijaya!" ujar Bantar Gurdi. "Sudah tidak ada lagi tali
persahabatan di antara kita!"
"Hmm.... Rupanya kau yang mengatur sia-
sat untuk menjebakku...," sahut Raksa Wijaya
dengan geram kemarahan. "Benar yang kau kata-
kan. Sudah tak ada lagi tali persahabatan di anta-
ra kita. Maka dari itu, hari ini aku berniat mem-
bunuhmu!" "Silakan kalau kau mampu!"
"Jangan menyesal, Bangsat!"
Namun sebelum Raksa Wijaya menerjang
Bantar Gurdi, sesosok bayangan berkelebat hen-
dak menggedor punggungnya. Sigap sekali pemuda
berambut keriting ini berkelit dengan membuang
tubuhnya ke samping. Tapi sinar matanya jadi
nyalang begitu mengetahui kalau si penyerang ter-
nyata Sawung Permadi alias Pendekar Tapak Pu-
tih. "Kembalikan kitab yang kau bawa itu, Dur-
jana!" bentak Sawung Permadi.
Semakin nyalang pandangan Raksa Wijaya.
Rasa gentar membayang jelas di matanya. Semen-
tara sekitar dua puluh lima murid Perguruan Ta-
pak Putih sudah bergerak mengepung.
"Sawung Permadi ternyata hanya seorang
pengecut. Beraninya hanya main keroyok!" ejek Raksa Wijaya, menutupi isi
hatinya. Bantar Gurdi maju dua langkah, mendahu-
lui gurunya. "Tidak akan ada pengeroyokan, Wijaya.
Akulah yang akan meremukkan kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Bantar Gurdi meng-
hantamkan telapak tangannya ke dada Raksa Wi-
jaya. Sayang, pemuda itu telah meloncat ke samp-
ing kiri dengan tetap memegang erat Kitab Ilmu
Tapak Putih. Pertempuran sengit segera berlangsung.
Berkali-kali Bantar Gurdi dibuat terkejut oleh se-
rangan-serangan Raksa Wijaya yang amat mema-
tikan. Sungguh tak terduga kalau sahabatnya itu
mempunyai kepandaian sedemikian hebat.
Sesaat kemudian, tubuh Raksa Wijaya tam-
pak melenting ke atas, Setelah bersalto dua kali di udara, tubuhnya berputar
sambil menyarangkan
tendangan melingkar.
Wuuutt...! "Heh..."!"
Bantar Gurdi terkesiap melihat kecepatan
gerak pemuda bertubuh tinggi-tegap itu. Dengan
menjatuhkan diri ke tanah, tendangan yang men-
garah ke kepalanya bisa dihindari. Tapi ketika
Raksa Wijaya mengirim serangan susulan....
Dukk...! "Argh...!"
Tubuh Bantar Gurdi melintir ke kiri ketika
tubuhnya terbentur telapak kaki Raksa Wijaya.
Pandangannya jadi berkunang-kunang. Tulang
bahu kirinya terasa hendak remuk. Namun pemu-
da itu malah menggeram marah. Seketika diter-
jangnya kembali walau tahu kepandaiannya kalah
tinggi. "Minggirlah, Gurdi!" teriak Sawung Permadi, tak ingin melihat muridnya
menderita kekalahan
lebih parah. Bantar Gurdi meloncat dari ajang pertem-
puran. Sedangkan Raksa Wijaya menatap tajam
sosok Sawung Permadi yang melangkah meng-
hampirinya. "Kembalikan kitab yang kau bawa itu, Wi-
jaya! Dan, ceritakan siapa dirimu sebenarnya...,"
ujar Sawung Permadi dengan suara lembut,. me-
nutupi amarahnya. "Bila kau turuti kata-kataku, aku akan membiarkan mu pergi
dari tempat ini."
"Kau saja yang pergi dari tempat ini, Sapi
Tua!" Sawung Permadi mendengus gusar men-
dengar makian Raksa Wijaya itu.
"Rupanya hatimu benar-benar telah tertu-
tup iblis, Wijaya!" balasnya dengan mata berkilat.
Sekitar dua puluh lima murid Perguruan
Tapak Putih turut naik pitam mendengar kata-
kata Raksa Wijaya. Namun karena tak mendapat
perintah menyerang dari Sawung Permadi, mereka
hanya berdiri di tempat masing-masing. Sementa-
ra, Raksa Wijaya dan Sawung Permadi yang berdiri
berhadapan tampak saling tatap dengan kuda-
kuda kokoh. "Heaaa...!"
Tubuh Raksa Wijaya meluncur cepat den-
gan kaki kanan mengarah dada Sawung Permadi.
Namun, tenang saja kakek itu mengegos ke kiri.
Lalu, tangan kanannya menghantam tulang kering
kaki si pemuda.
Tak! "Horeee...!"
Seluruh murid Perguruan Tapak Putih ber-
sorak gembira melihat guru mereka berhasil men-
jatuhkan lawan hanya dalam satu gebrakan. Rak-
sa Wijaya tampak terduduk di tanah sambil me-


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ringis kesakitan.
Tak mau dipecundangi untuk kedua ka-
linya, segera si pemuda mengalirkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke pergelangan tangan ka-
nan. Sementara Sawung Permadi tersenyum tipis
melihat Raksa Wijaya bangkit seraya menghentak-
kan telapak tangan kanan ke depan!
Wuusss...! Tanpa merubah kedudukan tubuhnya, Sa-
wung Permadi mengibaskan ujung lengan jubah-
nya. Seketika timbul tiupan angin dahsyat mema-
pak selarik sinar hijau yang meluncur dari telapak tangan si pemuda.
Splassshhh! Sinar itu jadi melenceng arahnya membuat
beberapa murid Sawung Permadi berloncatan. Ka-
rena, sinar hijau itu menuju ke arah mereka!
Blarrr...! Karena gerakan murid-murid Perguruan
Tapak Putih cukup cepat, maka ancaman maut itu
hanya menghantam tempat kosong. Suara meng-
gelegar terdengar ketika sinar hijau itu terus me-
luncur dan menghantam sebatang pohon besar.
Seluruh murid Sawung Permadi terperangah dan
berdecak kagum melihat pohon sebesar dua rang-
kulan manusia dewasa itu hancur-berantakan,
menjadi serpihan kecil yang beterbangan ditiup
angin. "Hebat..., hebat...," sindir Sawung Permadi.
"Walau umurmu belum seberapa, tak ada gunanya kau mencuri Kitab Ilmu Tapak
Putih. Karena, il-mumu sendiri sudah cukup hebat. Atau barangka-
li kau diperalat orang, Wijaya?"
"Tak perlu mengumbar kata, Sapi Tua!"
hardik Raksa Wijaya. "Biarkan aku pergi agar kau tak menyesal melihat aku
menjatuhkan tangan
maut!" "Aku akan membiarkan kau pergi, asal kau tinggalkan kitab yang ada di
tangan kirimu itu."
"Baik! Terimalah ini!"
Raksa Wijaya maju empat langkah. Tapi
bukan kitab yang diberikannya, melainkan sebuah
tendangan yang tertuju ke rusuk kiri Sawung Per-
madi! Wuuttt...!
"Durjana! Rupanya kau benar-benar me-
maksaku!" ujar Sawung Permadi sambil menghin-
dari tendangan.
Pertempuran seru sudah tak dapat dihinda-
ri lagi. Raksa Wijaya menyerang ganas dengan pu-
kulan dan tendangan mematikan. Tangan kanan-
nya yang dialiri tenaga dalam penuh tampak beru-
bah hijau. Ketika tangan itu mengibas, timbul sua-
ra gemuruh keras.
Semua mata memandang pertarungan den-
gan perasaan menggiris. Tapi Sawung Permadi
yang sudah kenyang makan asam garam rimba
persilatan masih dapat menyungging senyum di
bibir. Kedua tangannya pun berubah putih seperti
dilumuri kapur. Suara gemuruh juga timbul, apa-
bila tangannya bergerak.
"Hmmm.... Kiranya Sawung Permadi telah
mengeluarkan ilmu Tapak Putih'-nya...," kata batin Raksa Wijaya sambil terus
memberi perlawanan.
Raksa Wijaya terkejut ketika tiba-tiba tan-
gan Sawung Permadi menimbulkan bayang-bayang
putih. Saat itu juga, tangan kanan itu seperti ber-tambah jumlah.
"Wajahmu pucat, Wijaya. Agaknya kau mu-
lai merasa ngeri," ejek Sawung Permadi. "Jangan nekat! Serahkan kitab di tangan
kirimu itu!"
Raksa Wijaya tak mempedulikan kata-kata
Sawung Permadi, kendati sudah merasa kewala-
han. Malah diserangnya kakek itu lebih ganas.
Namun, apa yang diharapkannya tak juga kesam-
paian. Sawung Permadi tetap berada di atas angin.
Hingga pada suatu kesempatan....
Desss...! "Argh...!"
Raksa Wijaya memekik. Tubuhnya terlem-
par tiga tombak ketika pukulan Sawung Permadi
bersarang telak di bahu kirinya. Kitab Ilmu Tapak
Putih kontan melayang tinggi di udara.
Bantar Gurdi yang menyaksikan kejadian
itu segera meloncat. Disambarnya kitab yang ditu-
lis oleh gurunya.
"Kusimpan dulu kitab ini di tempat yang
aman. Guru!" teriak Bantar Gurdi seraya berlari ke perguruan.
Sawung Permadi tak sempat menyahuti ka-
ta-kata muridnya, karena Raksa Wijaya sudah
kembali menyerang dengan pukulan jarak jauh.
Kakek itu segera meloncat menghindar.
Melihat kesempatan, Raksa Wijaya segera
menyusul Bantar Gurdi.
Tanpa mempedulikan tulang bahunya yang
remuk, Raksa Wijaya menggembor keras ketika
melihat dua murid Sawung Permadi mencoba
menghadang. "Mati kau...!" pekik pemuda itu seraya
menghentakkan tangan kanannya.
Dess...! "Aaa...!"
Jerit kematian terdengar menyayat hati
tatkala pukulan jarak jauh Raksa Wijaya mengenai
sasaran. Melihat temannya mati dengan tubuh
membiru, pemuda yang menghadang lari Raksa
Wijaya terkejut dengan mata melotot. Namun pe-
muda itu pun tak dapat menghirup udara segar
lagi, karena....
Prak! "Aaa...!"
Tendangan Raksa Wijaya telah membuat
pecah kepala orang yang menghadang.
Sementara, Raksa Wijaya sendiri tak dapat
melanjutkan maksudnya untuk mengejar Bantar
Gurdi yang membawa Kitab Ilmu Tapak Putih, ka-
rena Sawung Permadi telah berdiri tegak empat
tombak di hadapannya.
"Katakan siapa dirimu! Dan, apa maksud-
mu mencuri Kitab Ilmu Tapak Putih!" bentak Sawung Permadi.
"Kau tak perlu tahu! Biarkan aku lewat, Sa-
pi Tua!" Usai berkata, Raksa Wijaya melenting tinggi
ke udara. Kakinya terjulur hendak mendaratkan
tendangan ke dada Sawung Permadi. Namun, si-
gap sekali kakek itu mengegos ke samping. Dan
seketika tubuhnya memutar sambil menggedor
punggung Raksa Wijaya
Desss...! "Argh...!"
Untuk kedua kalinya Raksa Wijaya meme-
kik kesakitan. Tubuhnya kontan terjerembab ke
tanah. Susah payah dia bangkit. Kakinya goyah
seperti tanpa tenaga lagi. Darah segar mengalir da-ri sudut bibir dan lubang
hidungnya. "Jangan nekat, Wijaya!" sergah Sawung
Permadi yang melihat Raksa Wijaya hendak me-
nerjang lagi. "Kita mati bersama-sama, Sapi Tua!" Den-
gan teriakan keras pemuda ini menghantamkan
pukulan ke dada Sawung Permadi. Namun gera-
kannya tetap terlihat lemah, sehingga mudah se-
kali dapat dihindari kakek itu. Raksa Wijaya yang
sudah gelap mata menjadi semakin nekat. Dis-
erangnya Sawung Permadi tanpa mempedulikan
luka dalamnya. "Pemuda nekat macam kau memang tak bi-
sa dikasih hati lagi, Wijaya!" ujar Sawung Permadi.
"Terimalah pukulan 'Tapak Putih' ini!"
Begitu selesai kata-katanya, tubuh Sawung
Permadi melayang ke udara. Kedua kakinya mene-
kuk seperti orang berlutut. Sementara tangan ki-
rinya merapat di dada. Sedangkan tangan kanan-
nya terjulur lurus ke depan. Gerakan itu dilaku-
kan amat cepat, sehingga Raksa Wijaya tak me-
nyadari adanya bahaya yang sedang mengancam
jiwanya! Dan....
Desss...! "Aaa...!"
Telapak tangan kanan Sawung Permadi te-
pat membentur dada Raksa Wijaya. Pemuda itu
pun memekik keras. Tubuhnya jatuh telentang.
Kain bajunya yang terbakar memperlihatkan da-
danya yang terdapat tanda putih menyerupai tela-
pak tangan. "Hei"!"
Seluruh murid Sawung Permadi terkejut
luar biasa ketika tiba-tiba tubuh Raksa Wijaya be-
rubah menjadi serbuk putih yang segera terbang
tertiup angin. Tanpa mempedulikan murid-muridnya yang
tengah tertegun, Sawung Permadi berlari masuk ke
perguruan. Dikitarinya seluruh ruangan. Tapi, so-
sok Bantar Gurdi tak dapat ditemukannya.
"Hmmm.... Mungkin pemuda itu ada di da-
lam kamarku...," pikir Sawung Permadi. "Dia tentu sedang mengamankan Kitab Ilmu
Tapak Putih."
Segera Sawung Permadi masuk ke kamar-
nya. Tapi, sosok Bantar Gurdi tetap tak ditemu-
kannya. "Mungkinkah dia melarikan kitab yang baru
ku susun itu?" tanya Sawung Permadi kepada diri sendiri. "Ah! Kukira tidak. Aku
tahu tabiat Bantar Gurdi. Dia tak mungkin mengkhianatiku...."
Sawung Permadi tercenung sejenak. Ketika
matanya melihat rak buku, cepat dicarinya Kitab
Ilmu Tapak Putih di tempat itu. Tapi, hanya keke-
cewaan yang ditemukan Sawung Permadi.
Bergegas lelaki tua ini keluar perguruan.
Seluruh muridnya segera dikumpulkan. Tapi, tak
ada satu pun yang tahu, ke mana perginya Bantar
Gurdi. "Hmmm.... Kalau ternyata Bantar Gurdi
mengkhianatiku, alangkah bodohnya aku ini...,"
sesal Sawung Permadi.
Kakek itu lalu memerintahkan seluruh mu-
ridnya untuk mencari Bantar Gurdi yang memba-
wa Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Cari dia sampai dapat. Seret ke hadapan-
ku!" ujar Sawung Permadi dengan suara geram.
"Sebelum kalian berangkat, kubur mayat-mayat
itu." *** Kedatangan Suropati dan Intan Melati di
Perguruan Tapak Putih hanya disambut kesu-
nyian. Mereka mengitari bangunan perguruan,
namun tetap disambut sunyi. Tak satu pun manu-
sia dijumpai. "Kau yakin Sawung Permadi paman guru
ayahmu itu tinggal di tempat ini, Intan?" tanya Suropati dalam keheranannya.
"Ya. Beliau tinggal di dekat Hutan Kalirang.
Bukankah kita telah berada di tempat yang be-
nar?" tukas Intan Melati. "Menurut ayah dan ibu-ku, Eyang Sawung Permadi telah
mendirikan Per-
guruan Tapak Putih sekitar lima belas tahun yang
lalu. Walau perguruan ini tak ada papan namanya,
tapi aku yakin inilah tempatnya."
"Tapi, kenapa tak seorang pun kita jumpai?"
"Aku juga heran. Mungkinkah mereka pin-
dah tempat?" Intan Melati memberikan dugaan.
Pengemis Binal diam. Diperhatikannya be-
kas-bekas telapak kaki di halaman belakang.
"Tempat ini baru saja digunakan untuk ber-
latih silat..," katanya.
"Sebaiknya kita masuk ke perguruan, Suro,"
cetus Intan Melati. "Barangkali di dalam ada orang yang bisa memberi
keterangan."
Ganti Pengemis Binal yang mengekor lang-
kah Intan Melati. Namun bam menginjak teras.
"Jangan lancang masuk ke tempat orang
tanpa ijin!"
Sebuah teriakan yang berasal dari mulut
seseorang, membuat kedua anak muda ini terke-
jut. Mereka langsung berbalik. Dan tahu-tahu di
halaman telah berdiri seorang lelaki tua berjubah
putih. Sorot matanya tajam menyelidik, namun
raut wajahnya membersitkan sifat welas asih.
Suropati dan Intan Melati menatap kakek
berjubah tanpa berkedip. Mereka lalu bergerak
mendekati. "Benarkah ini Perguruan Tapak Putih, Kek?"
tanya Pengemis Binal.
"Kenapa?" selidik kakek berjubah putih.
"Aku mengantar temanku ini untuk mencari
paman guru ayahnya yang bernama Sawung Per-
madi." Si kakek mengalihkan pandangan ke sosok Intan Melati.
"Siapa nama ayahmu. Dan, kau berasal dari
mana?" "Ayahku bernama Rama Ludira alias Pende-
kar Hati Putih. Aku datang dari Pulau Karang."
Mendengar jawaban itu, kakek berjubah pu-
tih mengerutkan kening.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Intan Melati."
"Intan Melati?" desis si kakek. "Rupanya kau tak salah datang ke sini, Intan.
Akulah orang yang kau cari."
"Eyang!" pekik Intan Melati seraya berhambur memeluk si kakek yang memang Sawung


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Per- madi. "Maafkan aku, Intan...," desah Sawung Permadi sambil merenggangkan pelukan
Intan Melati. "Aku bersikap tak ramah padamu. Karena, aku tak mengenalimu lagi.
Usiamu baru dua tahu,
ketika aku pergi ke Hutan Kalirang ini. Dan lagi,
Intan. Aku sedang menghadapi masalah besar, se-
hingga membuatku selalu merasa curiga."
Sawung Permadi merasakan dadanya ba-
sah. Rupanya air mata Intan Melati telah mengalir
deras. Kakek itu lantas mengajak kedua tamunya
masuk ke perguruan.
"Kenapa kau menangis, Intan?" tanya Sa-
wung Permadi, setelah berada di dalam ruangan.
"Perguruan Hati Putih telah hancur,
Eyang...," papar Intan Melati sambil menahan isakan tangis.
Memerah wajah Sawung Permadi menden-
gar berita itu.
"Benar apa yang kau katakan, Intan?" ta-
nyanya seperti tak percaya.
"Benar, Eyang. Bahkan, Eyang Saka Perma-
di dan Ibunda Nawangsih telah meninggal...."
Intan Melati lalu menceritakan apa yang ter-
jadi di Pulau Karang. Gadis itu menutup ceritanya
dengan sebuah permintaan.
"Mohon Eyang Sawung Permadi sudi mem-
bantu Intan Melati membalas kebiadaban Tengko-
rak Kaki Satu."
"Tentu saja, Intan. Aku pun merasa kehi-
langan...," sambut Sawung Permadi. Kesedihan jelas membayang di matanya.
"Apakah kau mengenal orang yang bergelar
Tengkorak Kaki Satu itu, Kek?" tanya Pengemis Binal. Sawung Permadi menggeleng.
Lalu, ditatapnya lekat-lekat wajah remaja tampan di hadapan-
nya. "Kau belum memperkenalkan dirimu, Anak
Muda. Menilik pakaianmu yang penuh tambalan
dan tongkat yang kau bawa, apakah kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti?"
"Benar dugaanmu, Kek...," sahut Pengemis Binal. "Aku yang bodoh bernama
Suropati."
Terkejut Sawung Permadi mendengar uca-
pan Suropati. "Kau Suropati yang bergelar Pengemis Binal
itu" Kau Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti?" sentaknya penuh keterkejutan, sekaligus merasa kagum.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tak kusangka bila pendekar besar itu ter-
nyata masih belum seberapa umurnya. Tapi, kebe-
tulan sekali kau datang ke sini, Suro...," desah Sawung Permadi.
"Suropati telah menyatakan kesediaannya
untuk turut menumpas Tengkorak Kaki Satu,
Eyang," sela Intan Melati yang sudah bisa mengendalikan tangisnya.
"Hmmm.... ya! Tapi, ada satu masalah lagi
yang membutuhkan uluran tanganmu, Suro."
"Masalah apa itu, Kek?"
"Kau tentu telah melihat bekas-bekas per-
tempuran di luar perguruan...."
Sawung Permadi lalu menceritakan perihal
hilangnya Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Seluruh muridku telah kusebar. Bahkan,
aku sendiri turut mencari. Tapi, Bantar Gurdi mu-
rid murtad itu tak dapat kutemukan."
"Apakah Kakek dapat mengemukakan ala-
san, mengapa Bantar Gurdi melarikan Kitab Ilmu
Tapak Putih?"
"Aku tidak tahu...," sahut Sawung Permadi mendesah. Matanya menerawang. "Tapi,
kemungkinan besar hal ini bermula dari datangnya Raksa
Wijaya...."
"Siapa dia, Eyang?" tanya Intan Melati.
"Dia adalah sahabat Bantar Gurdi yang di-
ajak ke perguruan ini agar aku bersedia mengang-
katnya sebagai murid. Aku menerima kehadiran
pemuda itu. Tapi, tidak sebagai murid. Dia kua-
nggap sebagai pelayan biasa yang tugasnya men-
cari air dan menjaga kebersihan perguruan. Ban-
tar Gurdi tampaknya suka sekali pada pemuda itu.
Sehingga, dia kerap membujukku agar aku berse-
dia menurunkan ilmu kesaktian pada Raksa Wi-
jaya. Namun, aku tetap pada pendirianku semula.
Karena, aku mempunyai firasat kalau Raksa Wi-
jaya adalah setitik api yang sanggup mengundang
api besar untuk membakar perguruan ini. Hanya
sayangnya, aku tak bisa mengusir pemuda itu,
mengingat kebaktian dan kesetiaan Bantar Gurdi
selama sepuluh tahun, menjadi muridku."
"Dan, ternyata Bantar Gurdi telah
mengkhianati Kakek...," sambung Pengemis Binal.
"Sampai akhirnya, Bantar Gurdi turut men-
curigai Raksa Wijaya. Dia lalu menyusun rencana
untuk menjebak pemuda itu," lanjut Sawung Permadi seperti tak memperhatikan
ucapan Pengemis
Binal. "Tadi pagi, aku memergoki Raksa Wijaya hendak mencuri kitab Ilmu Tapak
Putih. Ketika aku bertempur dengan pemuda itu, kitab yang di-
bawanya terlepas dari pegangan. Bantar Gurgi lan-
tas menyambarnya. Dia mengatakan hendak me-
nyimpan di tempat aman. Tapi..., nyatanya malah
melarikan kitab itu."
"Aku akan membantumu, Kek. Hanya
sayang, aku tak dapat meminta bantuan anak bu-
ahku untuk turut mencari Bantar Gurdi. Karena,
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ja-
rang yang berada di sekitar sini," jelas Suropati.
"Apakah ada kemungkinan Kitab Ilmu Ta-
pak Putih berhubungan dengan Tengkorak Kaki
Satu?" tanya Intan Melati, menyatakan gagasannya. "Bantar Gurdi adalah pemuda
baik. Tak mungkin punya hubungan dengan tokoh sesat
itu," tukas Sawung Permadi.
"Nyatanya, bukankah dia telah berkhianat?"
Mendengar ucapan Intan Melati, Sawung Permadi
terdiam. Ditariknya napas panjang, lalu dihem-
buskan deras-deras.
"Kenapa semua ini mesti terjadi...," desahnya. "Perguruan Hati Putih telah
hancur. Saka Permadi kakakku telah meninggal. Nawangsih....
Dan, kasihan sekali Rama Ludira...."
Orang tua itu merenung dengan air muka
keruh. Berat sekali beban yang dipikulnya kini.
"Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang
telah terjadi," gumam Pengemis Binal.
"Benar!" sambut Intan Melati cepat. Sementara, kening Sawung Permadi berkerut.
Dia tahu gumaman Pengemis Binal ditujukan kepadanya.
Tapi, dia pun segera mengakui kebenaran ucapan
remaja konyol itu.
"Kau benar, Suro," ujar Sawung Permadi
kemudian. 5 Langkah kaki Bantar Gurdi telah jauh me-
ninggalkan Hutan Kalirang. Jauh pula meninggal-
kan Perguruan Tapak Putih. Udara sejuk sore hari,
bertolak-belakang dengan suasana hati pemuda ini
yang galau, kalut, bercampur bingung. Berkali-kali dirabanya Kitab Ilmu Tapak
Putih yang berada di
lipatan bajunya.
"Maafkan aku. Guru...," desah pemuda berpakaian serba putih itu. "Aku telah
membuat Guru kecewa. Tapi, aku melakukannya hanya karena
terpaksa. Keadaanlah yang membuatku berbuat
seperti ini.... Aku terpaksa sekali...."
Dengan langkah gontai, Bantar Gurdi berja-
lan menuju Lembah Batuliman. Disusurinya aliran
sungai yang menuju ke lembah penuh bebatuan
itu. Sinar mentari terhalang kerimbunan pohon
membuat suasana terlihat remang menghampar di
depan mata pemuda itu.
Tengah si pemuda melangkah, mendadak....
"Heh..."!"
Dari atas pohon tiba-tiba terdengar suara
bersiut, yang disusul meluncurnya dua tubuh ma-
nusia. Bantar Gurdi terkesiap. Ditatapnya dua le-
laki berpakaian hitam ringkas yang telah berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau datang, Gurdi?" selidik lelaki yang berdiri di sebelah kiri.
Kepalanya plontos
tanpa rambut sehelai pun.
"Katakan kepada tuanmu kalau aku datang
hendak menyerahkan Kitab Ilmu Tapak Putih," jawab Bantar Gurdi, mencoba bersikap
tenang. Dia tahu, dua lelaki penghadangnya adalah begundal-
begundal Tengkorak Kaki Satu.
"Secepat ini?" tukas lelaki yang di kanan, seperti tak percaya. Berbeda dengan
temannya, orang ini berambut panjang yang dibiarkan terge-
rai di punggung.
"Tak perlu heran! Aku tak ingin Nawangsih
terlalu lama dalam cengkeraman Tengkorak Kaki
Satu!" tandas Bantar Gurdi. Suaranya berat dan seperti menyimpan kemarahan.
"Tak mudah untuk menemui Ketua kami,
Gurdi!" bentak lelaki berkepala plontos.
"Kalau aku membawa ini, masihkah kalian
berani menghalangiku"!" tukas Bantar Gurdi seraya mengeluarkan kitab bersampul
putih dari li- patan bajunya. Mata dua anak buah Tengkorak Kaki Satu
itu kontan melotot, berusaha membaca tulisan
yang tertera pada sampul kitab di tangan Bantar
Gurdi. Karena berdiri di tempat remang-remang,
mereka jadi kesulitan.
"Ini adalah Kitab Ilmu Tapak Putih," jelas Bantar Gurdi, tanpa diminta.
Tapi, tampaknya dua anak buah Tengkorak
Kaki Satu tak mau percaya begitu saja.
"Biar kuperiksa dulu kitab itu!" pinta lelaki
gondrong, membentak.
Bantar Gurdi maju dua langkah. Lalu kitab
di tangannya disorongkan ke depan mata lelaki
gondrong. "Baca baik-baik!" ujarnya
Tak diduga, rupanya lelaki gondrong beru-
sia sekitar empat puluh tahun itu tersinggung
mendapat perlakuan demikian. Tanpa berkata
apa-apa, ditonjoknya perut Bantar Gurdi.
"Uts..!"
Dugh! Murid utama Sawung Permadi meloncat ke
belakang, tapi tak urung tetap tertonjok juga. Me-
rah padam wajah pemuda itu jadinya.
"Orang-orang Tengkorak Kaki Satu memang
sangat menyebalkan!" geramnya. Lalu, diterjangnya lelaki gondrong yang
menyerangnya. "Tahan...!"
Terdengar suara keras menggelegar, mem-
buat gerakan Bantar Gurdi kontan terhenti. Segera
pemuda itu menebar pandangan. Ketika tahu di
bawah pohon besar berdiri sosok manusia berwu-
jud mengerikan, dia mendengus.
"Aku datang untuk menebus Nawangsari!"
kata Bantar Gurdi, setengah membentak.
Sosok manusia yang berdiri di bawah pohon
tertawa bergelak. Wajahnya yang hampir tak ber-
kulit tersamar oleh keremangan. Tapi, justru itu
yang mengundang rasa ngeri. Tubuhnya yang ku-
rus tinggi terbalut jubah warna hitam. Kaki kirinya yang tanggal sampai pangkal
paha, ditopang sebatang tongkat. Melihat wujud orang ini, dapat di-
pastikan kalau dia adalah Tengkorak Kaki Satu.
"Kau datang untuk menebus Nawangsari
kekasihmu itu, Gurdi?" ujar Tengkorak Kaki Satu disertai tawa panjang. "Berani
benar kau, Gurdi"!
Apakah kau sudah tahu kelemahan ilmu Sawung
Permadi?" "Itu aku tak tahu. Tapi, kedatanganku ke
sini dengan membawa Kitab Ilmu Tapak Putih."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi, Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak lagi.
"Serahkan kitab itu, baru kau dapat mene-
mui Nawangsari!"
"Aku tidak bodoh! Tunjukkan dulu Nawang-
sari. Bila dia dalam keadaan tak kurang suatu
apa, kau boleh memiliki kitab yang kubawa ini."
"Hmm.... Rupanya kau pemuda berani,
Gurdi. Tapi, tahukah kau kalau aku dapat dengan
mudah membunuhmu" Dua lelaki di belakangmu
itu saja sudah cukup mampu memenggal kepala-
mu...," gertak Tengkorak Kaki Satu. "Maka kalau mau, aku bisa merampas kitab
yang ada di tanganmu, sekaligus mencabut nyawamu. Tapi, aku
masih mau berbaik hati padamu. Serahkan kitab
itu. Dan kau dapat menemui Nawangsari sekarang
juga." Bantar Gurdi tampak berpikir. Merasa dirinya dalam keadaan tak
menguntungkan, akhir-
nya diturutinya perintah Tengkorak Kaki Satu.
"Terimalah!" ujar Bantar Gurdi seraya melemparkan Kitab Ilmu Tapak Putih.
Tengkorak Kaki Satu menyambar kitab itu
diiringi tawa meledak-ledak. Setelah membaca tu-
lisan di sampul kitab dan meneliti beberapa hala-
man depan, dia dapat memastikan kalau Bantar
Gurdi tidak menipu.
"Ada gua di utara Lembah Batuliman ini.
Kau bisa menjemput Nawangsari di sana!" ujar
Tengkorak Kaki Satu kemudian.
"Aku bisa memegang kata-katamu?" tukas
Bantar Gurdi, menyatakan kesangsiannya.
"Terserah kau! Yang jelas, aku masih mau
berbaik hati padamu!"
Bantar Gurdi mendengus dengan hati pa-
nas. Darahnya mendidih, tapi tak bisa berbuat


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-apa. Disadari betul, dia tak akan mampu me-
lawan Tengkorak Kaki Satu. Memang lebih baik
mengikuti kata-kata tokoh ini. Barangkali saja
Nawangsari berada di dalam gua yang ditunjukkan
manusia berjiwa iblis itu.
Namun baru saja Bantar Gurdi melangkah
tiga tindak, Tengkorak Kaki Satu mencegahnya.
'Tunggu dulu!"
Mendengar kata itu, Bantar Gurdi terkesiap.
Perasaan waswas membayang di matanya. Apakah
Tengkorak Kaki Satu akan berbuat licik" Namun,
kekhawatirannya ternyata tak beralasan, ketika....
"Apakah Raksa Wijaya masih berada di Per-
guruan Tapak Putih?"
"Tidak!" jawab Bantar Gurdi, tegas.
Tengkorak Kaki Satu terdengar mendengus.
"Kau tahu dia di mana?"
"Di neraka!"
"Heh"!"
Terkejut Tengkorak Kaki Satu mendengar
jawaban Bantar Gurdi.
"Hmm.... Siapa yang membunuhnya?" ta-
nyanya seperti menyesali apa yang telah terjadi.
"Apakah pemuda itu salah satu anak
buahmu?" Bantar Gurdi balik bertanya.
"Ya! Dia telik sandi ku. Karena kerjanya
lambat, maka aku memperalat mu...," jelas Tengkorak Kaki Satu. "Apakah dia
kepergok Sawung
Permadi" Dan kemudian, keparat itu membunuh-
nya?" "Tepat! Tubuh Raksa Wijaya hancur-luluh menjadi debu terkena pukulan
'Tapak Putih' guru-ku!" Usai berkata, Bantar Gurdi melanjutkan
langkahnya kembali. Dan, Tengkorak Kaki Satu
hanya memandangi punggung pemuda itu. Begitu
sosok pemuda itu lenyap dari pandangan, tong-
katnya digedrukkan ke tanah. Maka seketika tu-
buhnya melayang tinggi, lalu menghilang di balik
rimbunan daun. Lelaki berkepala plontos dan temannya yang
berambut gondrong tampak saling pandang. Lalu,
mereka tertawa bergelak-gelak....
*** Gua di utara Lembah Batuliman....
Empat lelaki tampak berdiri merapat ke
dinding. Wajah mereka kasar-bengis, dan sama-
sama mengenakan pakaian serba hitam. Mereka
diam tak berkata apa-apa, tapi kelihatannya se-
dang menajamkan pendengaran.
"Auuww...!"
Saat terdengar jeritan seorang wanita dari
dalam gua, mereka tertawa bergelak. Tapi, tawa itu segera terhenti ketika lelaki
berkumis tebal ber-sungut-sungut
"Uh! Lama benar si Kebo Ireng. Aku benar-
benar sudah tak tahan!"
"Bersabarlah, Jalak Sewu...," ujar lelaki yang memakai anting di telinga kiri.
"Bukankah setelah ini, kau yang mendapat giliran?"
"Ya! Tapi dia sudah kelewatan, Mahesa Ki-
rik! Aku bisa pingsan karena menahan hasrat!"
dengus lelaki berkumis tebal yang dipanggil Jalak
Sewu. Mendengar kalimat itu, lelaki beranting
yang bernama Mahesa Kirik dan dua temannya
tertawa terbahak-bahak.
"Gila!" rutuk Jalak Sewu.
Sementara itu, di dalam ruangan gua, seo-
rang gadis tampak duduk meringkuk di dinding
gua yang penuh tonjolan batu. Seorang lelaki ber-
badan kekar tengah menjambak rambutnya untuk
memaksanya berdiri.
"Kau turuti permintaanku atau ku bentur-
kan kepalamu hingga pecah"!" bentak lelaki kekar yang bernama Kebo Ireng.
Tangannya semakin
kuat mencengkeram rambut si gadis.
"Bangsat!" umpat gadis berparas cantik itu.
"Kalau kau mau membunuh, bunuhlah sekarang!"
Kebo Ireng menggeram. Tangan kanannya
menghentak. Duk! "Aaak!"
Si gadis menjerit nyaring, karena kepalanya
dibenturkan ke dinding gua. Bahkan tanpa berka-
ta apa-apa lagi, lelaki kekar menampar si gadis
hingga jatuh tertelungkup.
Bret..! Sekali sambar, kain baju si gadis robek le-
bar, membuat jakun lelaki kekar itu kontan naik
turun karena menelan ludah berkali-kali. Matanya
melotot lebar, melihat kulit punggung si gadis yang halus mulus. Karena tak
dapat mengendalikan
hawa nafsunya, Kebo Ireng menerkam. Namun, si
gadis cepat beringsut ke kiri, membuat terkaman
itu hanya mengenai tempat kosong. Bahkan jidat
lelaki kekar itu membentur lantai gua yang berba-
tu-batu! "Keparat...!" geram Kebo Ireng. Maksud hati si gadis untuk melarikan diri tak
tersampaikan karena Kebo Ireng berhasil memegangi kain bagian
bawahnya. Namun....
"Hih...!"
Dugh...! "Aaakh...!"
Sekali lagi lelaki kekar yang telah diselimuti
nafsu itu mengaduh kesakitan. Kepalanya kena
tendangan yang dilepaskan si gadis.
Sambil memegangi bagian kepalanya yang
sakit, Kebo Ireng menghunus golok yang terselip di pinggangnya. Namun, gadis
berparas ayu ini bukannya takut, malah dadanya dibusungkan.
"Mau bunuh" Bunuhlah! Lebih baik mati
daripada jadi korban kebejatan lelaki!" sentak si gadis.
"Hmm.... Rupanya kau benar-benar perem-
puan yang tak takut mati. Baiklah, ku turuti per-
mintaanmu!" desis Kebo Ireng.
Di ujung kalimatnya, lelaki kekar berpa-
kaian serba hitam itu menyabet goloknya. Mata si
gadis kontan terpejam. Hatinya sudah pasrah un-
tuk menerima kematian. Tapi....
Wekkk...! Golok Kebo Ireng hanya merobek baju gadis
berparas cantik yang masih memejamkan ma-
tanya. Dia belum menyadari kalau bagian tubuh-
nya yang terlarang telah terbuka. Sementara lelaki kekar yang melihat
pemandangan menggiurkan di
depannya tanpa sadar membuang goloknya. Lalu,
diterkamnya si gadis dengan penuh nafsu!
"Ough...! Jangan...!" teriak si gadis di antara ciuman Kebo Ireng.
Lelaki kekar yang sudah lupa diri itu segera
menjatuhkan tubuh si gadis ke lantai gua. Namun
sebelum sempat menggumulinya, terdengar suara
ribut dari mulut gua. Maka dengan kesal dihem-
paskannya tubuh si gadis.
"Pasti Tengkorak Kaki Satu yang datang,"
pikirnya. "Jangan-jangan perbuatanku mengun-
dang amarahnya. Hiii...! Aku tak mau mati ko-
nyol!" Kebo Ireng segera meninggalkan si gadis yang masih tergeletak di lantai
gua. Begitu tiba di luar, dia menggeram marah, ketika tahu orang
yang datang bukan Tengkorak Kaki Satu. Melain-
kan, seorang pemuda berpakaian serba putih yang
tak lain dari Bantar Gurdi.
"Hei! Kenapa kalian tidak segera membe-
reskan pemuda itu"! Kedatangannya mengganggu
keasyikanku saja!" bentak Kebo Ireng kepada empat temannya yang tengah
bersitegang dengan
Bantar Gurdi. "Kau bicara hanya menyebar bau jengkol
saja, Monyet! Kalau pemuda ini tidak punya ke-
pandaian, dia tentu sudah mati dari tadi!" bentak Mahesa Kirik yang telah
menghunus golok.
"Sebenarnya aku kemari tidak untuk mem-
buat permusuhan dengan kalian. Aku hanya ber-
maksud menjemput Nawangsari, kekasihku!" ser-
gah Bantar Gurdi.
"Kau bisa membawa Nawangsari. Tapi, sete-
lah gadismu itu dapat memuaskan kami. Ha ha
ha...!" Bantar Gurdi kontan mendengus gusar.
Dengan mata berkilat-kilat ditatapnya lelaki kekar berbaju rompi yang sedang
tertawa bergelak.
"Kau apakan Nawangsari"!" bentak Bantar
Gurdi, penuh luapan amarah.
Wuuuttt..! Bukan kata-kata yang menimpali ucapan
Bantar Gurdi, melainkan sabetan golok Jalak Se-
wu. Namun cepat sekali Bantar Gurdi mengegos ke
kiri. Sebelum golok lelaki berkumis itu menyambar
lagi, pemuda ini telah memutar tubuhnya sambil
melepas tendangan menyilang!
Desss...! "Argh...!"
Jalak Sewu terbanting keras disertai teria-
kan kesakitan begitu dadanya tepat terkena ten-
dangan. Goloknya terlepas dari cekalan. Terdengar
suara berdenting nyaring tatkala golok itu mem-
bentur dinding gua.
Bantar Gurdi yang sudah dikuasai amarah,
menggembor keras. Dia sangat khawatir bila Na-
wangsari kekasihnya telah dinodai oleh anak buah
Tengkorak Kaki Satu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, diterjangnya tiga lelaki bergolok yang berdiri tak jauh darinya.
"Heaaat..!"
Pertempuran sengit segera berlangsung.
Bantar Gurdi adalah murid utama Perguruan Ta-
pak Putih. Maka ilmu kepandaiannya tidak bisa
dipandang rendah. Sebentar saja, tiga orang la-
wannya telah terdesak.
Melihat hal demikian, Kebo Ireng yang tadi
hendak menodai Nawangsari meloncat untuk
memberi bantuan. Sementara, Jalak Sewu yang
baru kena tendang juga turut membantu.
Tapi, agaknya mereka bukanlah lawan
seimbang bagi Bantar Gurdi. Lima jurus kemu-
dian, dua orang sudah memekik nyaring melepas
nyawa dengan kepala pecah, dan dada amblong.
Mereka terkena pukulan Bantar Gurdi yang dialiri
tenaga dalam penuh!
Tiga orang yang tersisa menjadi pucat wa-
jahnya. Mereka bermaksud melarikan diri, tapi
Bantar Gurdi tak hendak melepaskan mereka. Sa-
tu persatu nyawa mereka melayang ke alam baka
oleh pukulan Bantar Gurdi yang bergerak cepat
bukan main. "Nawangsari...! Nawangsari...!" teriak Bantar Gurdi setelah menghabisi lawan-
lawannya. Pemuda ini berlari bagai orang kehilangan
ingatan, memasuki gua.
Bantar Gurdi terhenyak. Langkahnya ter-
henti ketika menyaksikan tubuh gadis berparas
cantik tengah tergolek pingsan lantai gua.
"Nawangsari...!" pekik Bantar Gurdi seraya mengguncang-guncangkan bahu si gadis.
"Apa yang terjadi" Apa yang terjadi, Nawangsari" Kena-
pa pakaianmu seperti ini?"
Perlahan-lahan kelopak mata si gadis ter-
buka. Melihat seraut wajah yang sudah dikenalnya
dengan akrab, gadis bernama Nawangsari menjerit
seraya menghambur dalam pelukan pemuda yang
dikasihinya. "Kakang.... Cepatlah bawa aku pergi. Aku
takut...."
"Tenanglah, Nawangsari. Lelaki-lelaki jaha-
nam itu telah kubunuh semua. Ceritakan apa yang
telah mereka perbuat terhadapmu...," ujar Bantar Gurdi penuh bayangan buruk.
"Kakang.... kakang Gurdi tak perlu khawa-
tir. Aku masih suci. Mereka belum...."
"Benarkah itu?" potong Bantar Gurdi, ingin meyakinkan.
"Percayalah, Kakang...."
Dengan penuh haru, Bantar Gurdi memeluk
erat tubuh Nawangsari. Diciumnya kedua pipi ke-
kasihnya. "Apa pun akan kulakukan untukmu, Keka-
sihku. Aku..., aku tak mungkin hidup tanpa diri-
mu...." Nawangsari tersenyum bahagia. Dibalasnya pelukan Bantar Gurdi penuh
kemesraan. 6 "Apakah tidak lebih baik kita berbagi tugas
saja?" cetus Intan Melati di atas punggung kuda berbulu coklat ketika
meninggalkan Perguruan
Tapak Putih. Mengapit di kanan-kirinya, Suropati
dan Sawung Permadi. Mereka menunggang kuda
berbulu coklat pula.
"Kupikir memang begitu," sahut Pengemis
Binal. "Aku dan Intan Melati mencari keterangan tentang keberadaan Tengkorak
Kaki Satu. Sementara, Kakek Sawung Permadi mencari Bantar Gur-
di yang melarikan Kitab Ilmu Tapak Putih."
"Hmm.... Begitu juga bagus," gumam Sa-
wung Permadi. "Kita berpisah sekarang. Tapi, jangan lupa. Dua hari lagi kita
bertemu di Desa Wa-
rangan." Usai berkata, Pendekar Tapak Putih meng-
gebah kudanya. Dan dengan kudanya kakek ber-
jubah putih itu pun melesat meninggalkan Intan
Melati dan Suropati.
"Sebaiknya kita ke utara saja, Suro," usul Intan Melati lagi. "Kudengar di
sekitar Lembah Batuliman banyak bercokol penjahat. Kita bisa men-


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cari keterangan di sana."
"Apakah tidak ada kemungkinan manusia
berhati iblis itu masih berada di Pulau Karang?"
"Kukira tidak. Pulau Karang amat tandus.
Hampir semua daratannya dipenuhi batu karang.
Untuk dapat menyambung hidup, orang yang ber-
diam di situ harus bekerja keras mencari ikan di
laut. Orang jahat seperti Tengkorak Kaki Satu dan
anak buahnya, tentu tak akan mau bersusah-
payah." "Kau belum menjelaskan alasan apa yang
membuat Tengkorak Kaki Satu menghancur-
leburkan Perguruan Hati Putih dan membunuh
beberapa keluarga dekatmu... "
"Aku tak tahu. Sejak aku kecil, keluargaku
telah mengasingkan diri. Entahlah kalau manusia
yang berjuluk Tengkorak Kaki Satu itu musuh la-
ma ayahku."
"Tapi yang jelas, dia adalah orang jahat. Kita akan memberi pembalasan yang
setimpal dengan
kejahatannya. Sekaligus, membebaskan ayahmu
yang telah terkena ilmu 'Penghilang Akal'."
"Kita ke Lembah Batuliman sekarang."
"Uts! Tunggu dulu!"
Suropati mencegah Intan Melati yang hen-
dak memacu kudanya.
"Ada apa lagi, Suro?"
Suropati seperti tak mendengar pertanyaan
Intan Melati. Dipandangnya punggung gadis itu
yang bergerak-gerak terbawa langkah kuda. Meli-
hat Pengemis Binal menghentikan kudanya, Intan
Melati menoleh sambil melambaikan tangan.
"Ayolah...! Lihat! Matahari sudah naik. Aku
tak mau sesampai di Lembah Batuliman, hari te-
lah gelap."
Pengemis Binal seolah tak mendengar kata-
kata Intan Melati. Malah dia turun dari punggung
kudanya. Dihampirinya gadis yang sudah meng-
hentikan kudanya dengan sikap tak sabaran.
"Ada yang ingin kukatakan padamu, In-
tan...," kata Pengemis Binal dengan suara lembut Pandangannya tak lepas dari
wajah Intan Melati.
"Aku tak mau berbuat konyol, Suro!" rungut Intan Melati. "Kalau ingin mengatakan
Kitab Mudjidjad 20 Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Hina Kelana 25
^