Pencarian

Tengkorak Kaki Satu 3

Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu Bagian 3


sesuatu, sambil memacu kuda kan bisa"!"
"Iya. Tapi ini lain, Intan," Suropati bersike-ras. Kening Intan Melati berkerut
"Katakan saja sekarang...," katanya, semakin tak sabar.
"Turunlah dari kudamu!"
"Untuk apa?"
"Nanti kau tahu sendiri."
Dengan hati kesal, akhirnya Intan Melati
menuruti juga permintaan Pengemis Binal. Gadis
itu meloncat dari punggung kuda.
Pengemis Binal tersenyum senang. Digan-
dengnya tangan gadis itu menuju ke tempat yang
terlindung dari sengatan sinar matahari.
"Kau ini aneh sekali, Suro...?" desah Intan Melati kemudian. "Apa yang hendak
kau katakan"
Apakah suatu rahasia?"
Suropati menatap aneh wajah Intan Melati.
Seolah ada sesuatu yang mendorongnya bersikap
demikian. Entah, apa itu.
"Kau cantik sekali, Intan...," desah si pemu-
da. Lalu, direngkuhnya bahu gadis itu.
Intan Melati segera menyadari adanya gela-
gat tak baik dari Pengemis Binal yang mulai kumat
sifat gendengnya. Sedikit kasar, ditepisnya tangan Suropati.
Tapi, Pengemis Binal bergerak lebih cepat.
Hanya dalam satu sentakan saja, tahu-tahu tubuh
Intan Melati telah jatuh dalam dekapannya.
"Apa yang kau lakukan, Suro"!" bentak Intan Melati sambil meronta.
Tapi, dekapan Suropati sekuat jepitan baja.
Tak kuasa Intan Melati melepaskan diri. Malah tak
kuasa pula dia menolak tatapan si pemuda. Justru
dalam hati, gadis ini merasa berbunga dalam de-
kapan pemuda yang mulai mencuri sekeping ha-
tinya. "Kau cantik sekali, Intan...." Usai berbisik, Suropati mendaratkan ciuman
di bibir Intan Melati. Gadis ini tersentak kaget, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Ketampanan dan perbawa Suropati terlalu kuat untuk dapat dilawan. Malah kalau
perlu tak perlu dilawan, tapi disambut dengan hangat.
Remaja konyol itu pun segera memagut bi-
bir Intan Melati, lebih ganas membuat tubuhnya
menggelinjang. Baru kali inilah gadis itu merasa-
kan sesuatu yang indah dari seorang pemuda.
Hingga akhirnya Intan Melati terlena....
"He he he...."
Suropati melepas ciumannya seraya tertawa
terkekeh-kekeh melihat mata Intan Melati terpe-
jam. "Rupanya kau merasa terbuai, ya?"
Intan Melati kontan membuka kelopak ma-
tanya. Jengah sekali dia melihat Suropati yang
berdiri sambil menggaruk-garuk kepala, Gadis itu
jadi merengut. "Edan..!" makinya.
Suropati tetap saja tertawa terkekeh sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa yang hendak kau katakan, heh"! Da-
sar akal bulus!" maki Intan Melati lagi.
"Tapi kau juga senang, bukan?" kilah Pengemis Binal.
"Siapa bilang"!"
"Tak perlu menipu diri sendiri. Matamu
yang terpejam tadi merupakan bukti kalau telah
terlena...."
Intan Melati mendengus. Kemarahannya di-
perlihatkan. Tapi, hati kecilnya mengakui kebena-
ran ucapan Pengemis Binal. Hanya karena tak
mau terus jadi korban kekonyolan Pengemis Binal,
segera dia melompat ke punggung kudanya. Dipa-
cunya kuda itu amat cepat.
"Hei! Tunggu!"
Suropati berteriak seraya melompat ke
punggung kudanya sendiri. Dikejarnya kuda Intan
Melati yang berlari ke utara.
"Di mana-mana, anak gadis sama saja. Su-
ka menipu diri sendiri! Bibirnya cemberut, wajah-
nya ketus, tatapannya tajam. Tapi, sesungguhnya
hatinya berbunga-bunga. Semua pura-pura benci
padaku, Tapi, dalam hati berkata cinta. Ha ha
ha...!" Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak.
Kudanya segera dipacu bagai orang gila. Sifatnya
yang ugal-ugalan membuat siapa saja ingin menji-
tak kepalanya sampai benjol. Tak heran apabila
remaja konyol itu dijuluki teman-temannya seba-
gai Pengemis Binal.
*** Sing! Sing! Cepat Sawung Permadi menarik tali kekang,
membuat kuda coklatnya meringkik panjang keti-
ka meluncur dua buah benda yang menimbulkan
suara mendesing tajam. Kedua kaki depan bina-
tang itu terangkat tinggi ke atas dalam keterkeju-
tan luar biasa. Dan tubuh tua Sawung Permadi
terlihat terlontar. Tapi, sigap sekali dia mendarat di tanah. Tap! Tap!
Sementara kuda coklat masih meringkik-
ringkik, Sawung Permadi memandang dua bilah
tombak yang menancap di batang pohon.
"Hmm.... Ada orang jahat yang sengaja hen-
dak membuat permusuhan denganku...," gumam
Sawung Permadi. Sambil mengelus-elus kepala
kuda coklatnya, pandangannya menebar ke seke-
liling. Tak lama, dari balik pepohonan di kiri jalan muncul dua lelaki setengah
baya sama-sama memakai pakaian serba hitam. Yang seorang berkepa-
la plontos tanpa rambut, sedang yang satu lagi be-
rambut panjang.
"Maaf bila kami mengganggu perjalananmu,
Permadi...," ucap lelaki gondrong. Kata-katanya terdengar mengejek.
"Kami terpaksa melakukannya karena ingin
menyampaikan sesuatu...," sambung lelaki berkepala plontos.
Di ujung kalimatnya, lelaki berkepala plon-
tos itu melemparkan kotak kayu yang ditenteng-
nya. Tap! Sigap sekali Sawung Permadi menangkap-
nya. Ketika hendak melempar balik, lelaki plontos
mengangkat tangan kanannya.
"Jangan! Kotak itu berisi sebuah kejutan
untukmu. Jangan berprasangka buruk dulu. Ko-
tak itu tak akan mencelakakan mu!"
"Kalian siapa"!" tanya Sawung Permadi,
menyelidik. "Buka dulu kotak yang kau bawa itu. Baru
kami akan memperkenalkan curi," lanjut lelaki plontos.
Sawung Permadi mendengus. Ditatapnya
kotak kayu yang berada di tangannya. Karena ma-
sih curiga, dibukanya kotak itu dengan hati-hati.
"Heh"!"
Betapa terkejutnya Sawung Permadi setelah
mengetahui isi kotak yang tak lain kepala Bantar
Gurdi! Dengan sinar mata berkilat, Sawung Per-
madi melemparkan kotak berisi kepala itu ke ta-
nah. Brakkk! Timbul suara keras ketika kotak kayu
menghantam tanah. Sawung Permadi yang merasa
dikhianati, rupanya masih menyimpan kemarahan
walau telah tahu Bantar Gurdi hanya tinggal kepa-
la tanpa badan.
Siapa yang membunuh Bantar Gurdi" Siapa
lagi kalau bukan kedua lelaki anak buah Tengko-
rak Kaki Satu yang kini berada di hadapan Sa-
wung Permadi. Kedua lelaki ini memang berhasil menyer-
gap Bantar Gurdi, ketika tengah berjalan bersama
Nawangsari. Tentu saja, hal itu dilakukan atas pe-
rintah Tengkorak Kaki Satu.
Semula, Bantar Gurdi memberi perlawanan
berarti. Namun lambat laun dia terdesak juga.
Hingga akhirnya menemui ajal di tangan kedua
anak buah Tengkorak Kaki Satu. Nawangsari sen-
diri tewas setelah terkena pukulan nyasar kedua
tokoh sesat itu. Dengan kejamnya, kedua lelaki itu memenggal kepala Bantar
Gurdi, atas perintah
Tengkorak Kaki Satu.
"Siapa yang berbuat sekejam ini" Dan, siapa
yang mengambil Kitab Ilmu Tapak Putih?" tanya Sawung Permadi dengan kemarahan
meluap. "Mudah saja menjawab pertanyaanmu itu,
Orang Tua. Tapi, tidakkah kau ingin mengenal
siapa kami?" kata lelaki gondrong.
Sawung Permadi mendengus.
"Aku bernama Sonapari. Sedang saudaraku
yang berkepala plontos ini bernama Gendon...,"
sambung lelaki gondrong. "Kami datang atas perintah Tengkorak Kaki Satu."
"Tengkorak Kaki Satu...!" sentak Sawung
Permadi, teringat cerita Intan Melati tentang ke-
hancuran Perguruan Hati Putih di Pulau Karang.
"Selain untuk menyampaikan kepala Bantar
Gurdi muridmu yang bodoh itu, kami juga diperin-
tah untuk menyampaikan ini!"
Di ujung kalimatnya, lelaki gondrong ber-
nama Sonapari melempar sebilah pisau kecil.
Set! Clap! Pisau itu meluncur cepat, dan menancap di
depan kaki Sawung Permadi.
"Di Lembah Batuliman, kita pasti akan ber-
jumpa lagi. Selamat tinggal, Permadi.
Sawung Permadi alias Pendekar Tapak Pu-
tih tak mempedulikan lagi ucapan Sonapari segera
saja kakinya menjejak tanah membuat bumi ber-
getar. Sedangkan pisau yang menancap di depan
kaki Sawung Permadi tampak mencelat ke atas.
Dan sebelum jatuh ke tanah, kakek itu cepat me-
nyambarnya. Untuk beberapa lama Sawung Permadi
mengamati pisau yang gagangnya berhias tempu-
rung kepala manusia itu. Diketuk-ketuknya ga-
gang pisau, lalu hiasannya diputar ke kiri. Dan segera didapatinya kertas merah
yang digulung kecil
terselip di dalam gagang pisau.
Sawung Permadi,
Di antara kita tersimpan urusan lama. Maaf,
bila aku telah membunuh kakakmu yang bernama
Saka Permadi. Rama Ludira muridnya berada di
tanganku pula. Untuk menyelesaikan urusan lama
kita, kau harus datang di Lembah Batuliman tengah malam nanti.
Tengkorak Kaki Satu
Air muka Sawung Permadi kontan berubah
keras setelah membaca tulisan yang tertera di ker-
tas merah. Pandangannya segera menebar ke seke-
liling. Tapi, Sonapari dan lelaki plontos bernama
Gendon sudah tak ada lagi di tempatnya. Usai me-
nyampaikan pesan Tengkorak Kaki Satu tadi, me-
reka memang telah pergi.
"Siapa tokoh yang menyebut dirinya sebagai
Tengkorak Kaki Satu itu?" tanya Sawung Permadi dalam hati. "Jelas dia menyimpan
api dendam di dadanya. Tapi, kenapa ditujukan kepadaku se-dangkan aku sendiri
tak mengenalnya?"
Dengan benak dijejali berbagai pertanyaan,
lelaki tua ini menghampiri kudanya yang kini tam-
pak merumput di pinggir jalan. Namun niatnya di-
urungkan untuk naik, karena kuda itu terlihat ra-
kus memakan rumput pertanda merasa amat la-
par. "Tengkorak Kaki Satu tentu ada hubungannya dengan Kitab Ilmu Tapak
Putih...," pikir Sawung Permadi kemudian. "Raksa Wijaya yang telah kubunuh tempo
hari, tentu salah satu telik san-dinya. Dan Bantar Gurdi muridku pun berhasil
di- peralat sebelum dibunuhnya. Hmm.... Dendam da-
lam dada Tengkorak Kaki Satu memang jelas ditu-
jukan kepadaku. Tapi, apa penyebabnya" Heran
juga aku melihat Bantar Gurdi bisa dipengaru-
hinya." Kini lelaki tua ini segera menaiki punggung
kudanya. "Aku harus ke Lembah Batuliman seka-
rang...," ujarnya. "Persetan dengan hari tengah malam, Aku harus tahu dulu,
siapa itu Tengkorak
Kaki Satu!"
Sebentar kemudian, Sawung Permadi telah
memacu kudanya amat cepat. Debu mengepul
tebal di setiap jalan yang dilaluinya.
*** Matahari sudah hampir terbenam ketika
kakek berjubah putih itu sampai di aliran sungai
yang menuju Lembah Batuliman. Tak ingin keha-
dirannya diketahui orang, dia meloncat dari pung-
gung kuda. Segera diikatnya tali kuda di batang
pohon. Baru kemudian dia berjalan menyusuri te-
pian sungai. Namun belum seberapa jauh lelaki tua itu
melangkah, sekitar dua puluh lelaki berpakaian
serba hitam bermunculan dari balik pepohonan.
"Orang tua tak tahu diuntung! Seharusnya
kau datang tengah malam nanti!" hardik salah
seorang pencegat.
"Hmm.... Kalian tentu anak buah Tengkorak
Kaki Satu...," gumam Sawung Permadi menebak.
"Katakan siapa sebenarnya pemimpin kalian itu!"
"Sebenarnya pemimpin kami itu akan mem-
perkenalkan dirinya tengah malam nanti. Tapi ka-
rena kau datang lebih awal, jangan menyesal kalau
ternyata golok kami akan membuatmu mati pena-
saran!" "Lakukan saja kalau merasa mampu!"
Sama sekali Sawung Permadi tak gentar


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui dirinya telah dikepung dua puluh lela-
ki yang semuanya telah menghunus golok.
"Chiaaa...!"
Salah seorang anak buah Tengkorak Kaki
Satu merangsek maju dengan bacokan mengarah
kepala. Pada saat yang sama tangan Sawung Per-
madi memutih seperti dilumuri kapur. Lalu diser-
tai dengusan keras, tubuhnya berkelebat cepat
menangkap bilah golok yang menghujam ke arah-
nya! Bletak...!
"Ouw...!"
Seluruh anak buah Tengkorak Kaki Satu
terperangah melihat tangan kanan Sawung Per-
madi sanggup mematahkan mata golok di tangan
penyerangnya yang sebenarnya tajam bukan main.
Belum juga si penyerang berpikir lebih jauh, kaki
Sawung Permadi telah mengibas cepat.
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh pemilik golok itu mencelat disertai
teriakan kesakitan. Masih untung Sawung Permadi
hanya menggunakan beberapa bagian tenaga da-
lamnya, hingga orang itu cuma jatuh pingsan.
"Aku tak hendak membunuh kalian. Hanya
saja, kalian harus mengatakan siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Atau, panggil saja manusia iblis itu kemari!" ujar Sawung Permadi
dingin menggetar-kan.
"Serang...!"
Namun kata-kata kakek itu tak disambut
dengan teriakan keras oleh lima orang lelaki yang
menerjang bersamaan. Ketajaman golok mereka
siap mengundang Malaikat Kematian!
"Bodoh! Kalian hanya mencari mati!"
Sambil berkata demikian, Sawung Permadi
bergerak memutar dengan bertumpu pada ujung
ibu jari kaki kanan.
Des! Des! Terdengar suara berdebuk lima kali. Lalu,
terlihat tubuh lima lelaki bersenjata golok terpental, terhantam telapak tangan
Sawung Permadi.
Namun agaknya Sawung Permadi memang,
tak berniat membunuh para begundal Tengkorak
Kaki Satu. Mereka hanya dibuat pingsan.
"Panggil Sonapari dan Gendon!" perintah
seorang lelaki bergolok yang berdiri di bawah po-
hon. Melihat orang yang diperintahnya berlari
memasuki Lembah Batuliman, dia segera memberi
aba-aba kepada yang lainnya untuk mengeroyok
Sawung Permadi.
"Serbu...!"
Kembali tubuh Sawung Permadi berkeleba-
tan cepat hingga menjadi bayang-bayang putih
yang hampir tak terlihat. Satu tarikan napas ke-
mudian.... Trang! Trang! "Heh..."!"
Terdengar suara berdentang keras yang di-
barengi potongan-potongan golok beterbangan di
udara. Seluruh anak buah Tengkorak Kaki Satu
berdiri terpaku di tempatnya. Mata mereka melo-
tot, melihat golok masing-masing tinggal gagang
saja. Belum sempat mereka menyadari keadaan,
Sawung Permadi telah melancarkan totokan be-
runtun. Begitu cepat gerakannya. Dan....
Tuk! Tuk! "Aaahh...!"
Kini, tubuh seluruh lelaki berpakaian serba
hitam itu benar-benar dibuat kaku tanpa mampu
bergerak sedikit pun.
Sawung Permadi menjambak rambut lelaki
yang berdiri kaku di dekatnya.
"Katakan, siapa sebenarnya Tengkorak Kaki
Satu itu!"
"Aku..., aku tak tahu...," Ucap lelaki brewokan yang rambutnya dijambak Sawung
Permadi. "Jangan dusta! Atau kau lebih suka kalau
kepalamu kupecahkan?"
"Sungguh aku tak tahu. Aduh! Lepaskan
aku!" Melihat lelaki brewokan mengaduh kesakitan, Sawung Permadi bukannya
melepas, tapi ma-
lah memperkeras jambakannya.
"Aduh! Ouw! Aku..., aku benar-benar tak
tahu...." "Jangan dusta, Keparat!"
"Sungguh aku tak dusta. Kau bunuh pun,
aku tak akan dapat mengatakan siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Kami semua baru satu bulan men-
jadi anak buahnya, kecuali Sonapari dan Gendon."
Mendengar penuturan itu, Sawung Permadi
mendengus. Didorongnya tubuh lelaki brewokan
hingga jatuh berdebam di tanah.
"Jadilah orang baik-baik sebelum ajal men-
jemput kalian," ujar Sawung Permadi seraya melangkah dari tepi sungai.
Dimasukinya Lembah
Batuliman yang terkenal sebagai tempat persem-
bunyian para penjahat
*** "Haram jadah kau, Sawung Permadi!"
Sawung Permadi menghentikan langkahnya
ketika tiba-tiba terdengar makian keras menggele-
gar. Kakek ini mendengus gusar melihat kehadiran
dua lelaki setengah baya yang tak lain dari Sona-
pari dan Gendon. Mereka berkacak pinggang den-
gan wajah garang.
"Kebetulan sekali kalian datang, Tikus-tikus
Busuk!" desis Sawung Permadi. Matanya meman-
dang tajam pada dua sosok manusia yang berdiri
tiga tombak di hadapannya. "Sengaja aku meme-
nuhi undangan tuanmu lebih awal. Karena, aku
tak kuasa menahan keinginanku untuk mengenal
dirinya terlebih dahulu. Terlebih lagi, aku ingin segera memecahkan batok
kepalanya!"
"Ha ha ha...!"
Sonapari dan Gendon tertawa bergelak.
"Apakah ucapanmu tak keliru, Tua Bangko-
tan"!" cela Sonapari. "Kau datang lebih awal Bukankah itu berarti ingin cepat
menghadap penjaga
pintu neraka?"
"Sungguh lucu ucapanmu itu, Kadal Buduk!
Tapi, aku ingin mendengar satu lagi leluconmu.
Berceritalah tentang Tengkorak Kaki Satu, tuanmu
itu!" "Baik..., baiklah. Aku turuti permintaan-mu...," kata Sonapari dengan
sudut kiri bibir terta-rik ke atas. Mengejek. "Tengkorak Kaki Satu adalah batu
besar yang akan menindih tubuhmu
hingga remuk. Tengkorak Kaki Satu adalah peme-
gang kuasa Malaikat Kematian untuk mencabut
nyawamu! Tapi, hari ini dia telah menyerahkan
kekuasaannya kepada kami yang akan mengirim
nyawamu ke neraka!"
"Ha ha ha...!" Sawung Permadi tertawa bergelak. "Lucu..., lucu sekali ucapanmu
itu, Kadal Buduk! Tak dapat aku menahan tawaku ini."
"Jangan tertawa puas dulu! Masih ada lelu-
conku lagi. Inilah dia...!" sergah Sonapari, seraya menyabetkan telapak tangan
kanannya ke depan.
Set! Seketika selarik sinar tipis berwarna biru
meluncur deras, hendak memotong pinggang Sa-
wung Permadi. Namun, si kakek telah meloncat ke atas,
membuat sinar itu terus meluncur.
Blarrr....! Sinar itu langsung memapas batang pohon
serangkulan manusia dewasa hingga patah. Na-
mun sebelum pohon itu tumbang, cepat sekali Sa-
wung Permadi menjejak tanah. Tubuhnya seketika
melesat laksana luncuran anak panah, lalu men-
darat di atas ranting pohon yang hendak tumbang.
Terlihat kemudian, batang pohon yang su-
dah miring perlahan-lahan tegak kembali. Semen-
tara, Sawung Permadi berdiri tegak di atasnya.
Sonapari terperangah melihat kehebatan
pendiri Perguruan Tapak Putih itu. Namun sebagai
orang yang telah lama berkecimpung di rimba per-
silatan, cepat ditepisnya rasa kagumnya,
"Tubuhmu memang seringan kapas. Tenaga
dalammu pun cukup hebat. Tapi, dapatkah ke-
pandaian yang kau miliki itu menahan gempuran-
ku?" leceh lelaki gondrong itu.
Saat itu pula Sonapari menyabetkan kedua
telapak tangannya berkali-kali. Maka belasan larik sinar biru tipis meluncur
deras memapas bagian
bawah batang pohon bergantian.
Blarrr! Blarrr...! Timbul suara dentuman keras belasan kali.
Sedangkan batang pohon terpotong-potong dari
bawah, hingga tingginya yang semula menyamai
tinggi pohon kelapa menjadi pendek, dan semakin
pendek. Sawung Permadi yang berada di atas pohon
pun terbawa turun. Ketika batang pohon hampir
habis terpapasi larikan sinar biru tipis, cepat lelaki tua itu meloncat ke
belakang. Begitu kakinya menginjak tanah, kedua telapak tangannya menghen-
tak ke depan! Wuusss...! Seketika batang pohon yang tinggal dahan
bagian atas beserta rimbunan daunnya, terbawa
gelombang angin dahsyat, melesat ke arah Sona-
pari. Wuuttt! Segera lelaki berambut gondrong itu meng-
hentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Ta-
pi, batang pohon yang berdaun rimbun itu terus
meluncur ke arahnya. Pucatlah wajah Sonapari.
Namun sebelum tubuhnya tergencet lumat, te-
mannya yang berkepala plontos segera bertindak.
Dia meloncat ke samping Sonapari seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Zlap! Untuk beberapa lama batang pohon ber-
daun rimbun tertahan di udara. Tapi begitu Sa-
wung Permadi menambah kekuatan tenaga da-
lamnya, batang pohon itu meluncur lagi ke arah
Sonapari dan Gendon!
"Celaka!" pekik mereka, bersamaan.
Bergegas mereka meloncat agar tak tergen-
cet batang pohon berdaun rimbun. Namun gera-
kan mereka yang dilakukan dengan melepaskan
kekuatan tenaga dalam, membuat batang pohon
meluncur lebih cepat! Dan....
Glarrr...! "Aaa...!"
Bumi bergetar ketika batang pohon berdaun
rimbun jatuh ke tanah. Suaranya menggelegar
amat keras. Ketika debu yang mengabuti pandan-
gan telah sirna, terlihat tubuh Sonapari dan Gen-
don tergencet cabang-cabang pohon besar yang ja-
tuh melesak ke dalam tanah. Mata mereka sama-
sama melotot dengan mulut ternganga. Mereka
mati mengenaskan!
Sawung Permadi menghela napas panjang.
Dipandangnya sebentar mayat Sonapari dan Gen-
don. Lalu pendengarannya dipertajam. Karena tak
mendengar adanya gerakan manusia lain, segera
langkahnya dilanjutkan. Disusurinya Lembah Ba-
tuliman. "Manusia keparat Tengkorak Kaki Satu!
Tampakkan batang hidungmu! Inilah aku Sawung
Permadi!" Suara Pendekar Tapak Putih menggema di
antara tebing-tebing lembah, namun segera lenyap
terbawa hembusan angin. Ketika berteriak lagi,
hanya gema yang kembali muncul. Sedangkan wu-
jud Tengkorak Kaki Satu tetap tak tampak....
7 "Tunggu...! Tunggu...!" teriak Pengemis Binal seraya menggebah-gebah kudanya
agar dapat berlari lebih kencang.
Tapi, remaja konyol itu hanya mendapatkan
kekecewaan. Kuda Intan Melati terus melaju di de-
pan, meninggalkan debu yang mengepul tebal
menghalangi pandangan dan menyumbat jalan
napasnya. "Kalau terus begini, bisa-bisa aku mati ke-
habisan napas" gumam Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini kemudian menjepit perut kuda lebih erat
Dengan kedua tangan memeluk leher kuda, kedua
kakinya lalu ditarik ke atas sedikit demi sedikit.
Saat telapak kakinya telah menginjak punggung
kuda, Suropati melepaskan pelukan seraya mene-
gakkan tubuh. Kini Suropati telah berdiri di punggung ku-
da dengan tongkat bersilang di dada. Padahal kuda
coklat itu tengah berlari kencang!
Dengan berdiri di atas punggung kuda, na-
pas Pengemis Binal jadi lebih longgar. Kini pemuda itu dapat melihat sosok Intan
Melati yang berkuda
di depan. "Hiyaaa...!"


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berteriak demikian, Pengemis Binal
menjejak punggung kuda. Saat itu pula tubuh re-
maja konyol ini melesat cepat melebihi luncuran
anak panah yang lepas dari busur. Setelah bersal-
to tiga kali di udara, Pengemis Binal mendarat em-
pat tombak di hadapan kuda Intan Melati yang te-
rus berlari kencang.
"Gila!" pekik Intan Melati, melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh Suropati.
Kekaguman Intan Melati digeluti rasa kha-
watir. Tubuh Suropati yang berdiri tegak di depan, pasti akan tertabrak kudanya.
Sementara, laju kudanya tak mungkin dihentikan. Kalau itu dilaku-
kan, kudanya akan terkejut seraya mengangkat
kaki depan tinggi-tinggi. Dan, bukan mustahil tu-
buhnya terlontar!
"Minggir, Suro...!" teriak Intan Melati sekuat tenaga saat kudanya tinggal
beberapa jengkal lagi
di hadapan Suropati siap menabrak.
"Haya...!"
Sekali lagi Suropati berteriak demikian. Lalu
tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas amat cepat.
Tap! "Heh"!"
Intan Melati terkejut luar biasa ketika mera-
sakan pelukan pada pinggangnya.
"Aku numpang di kudamu, Intan...."
Mendengar bisikan itu, Intan Melati meno-
leh. Dari sudut matanya, terlihat wajah tampan
Suropati yang tengah tersenyum. Gadis ini tak ha-
bis pikir, bagaimana mungkin Suropati mampu
mendarat dalam keadaan duduk di punggung ku-
da tanpa membuat terkejut kuda itu sendiri"
Kuda yang ditunggangi dua anak manusia
itu meringkik, ketika Intan Melati menarik tali kekang untuk menghentikan laju
kuda. "Hup!"
Begitu kuda milik Intan Melati berhenti ber-
lari, Suropati menggenjot lagi tubuhnya. Setelah
berputaran beberapa kali, pemuda itu hinggap di
punggung kudanya sendiri yang berlari di bela-
kang! "Gila!" pekik Intan Melati untuk kedua kalinya. Sementara, Pengemis Binal
tampak mem- perlambat laju kudanya, lalu menghentikannya.
"Kemarilah...," pinta remaja konyol ini diiku-ti lambaian tangan.
Dengan pandangan terkagum-kagum, Intan
Melati menjalankan kudanya perlahan. Dihampi-
rinya Suropati yang tengah nongkrong santai di
punggung kudanya sendiri.
"Hebat sekali kau, Suro...," puji Intan Melati.
Suropati cengar-cengir dengan mata men-
gerjap-ngerjap. Wajah remaja tampan ini sungguh
jadi tampak lucu. Bahkan mirip orang kurang wa-
ras. "Bukannya aku hendak pamer kepandaian,
Intan...," ujarnya. "Aku tadi berteriak-teriak, tapi tak pernah kau pedulikan.
Agaknya kau masih
marah padaku. Lalu, aku berbuat demikian karena
aku ingin bicara."
"Bicara lagi! Bicara lagi!" sentak Intan Melati, teringat perbuatan Suropati
yang menciumnya
dengan akal bulus ingin bicara.
"Rupanya kau benar-benar marah, Intan...,"
desah Pengemis Binal. "Aku minta maaf...."
Bibir Intan Melati menyungging senyum.
"Aku sudah tak marah lagi, Suro. Kau tak
perlu minta maaf, karena kau tidak bersalah."
Suropati menggaruk kepalanya sebentar.
"Benar dugaanku. Kau cuma pura-pura ma-
rah. Dan, aku pun tahu bila sekarang kau ingin
kucium lagi"
"Ngawur! Berani kau lakukan itu, kutang-
galkan hidungmu!" ancam Intan Melati sambil me-raba gagang pedang yang terselip
di punggung. "Sungguh kau tak ingin ku cium" Jangan-
jangan kau nanti menyesal. Ayolah, mumpung aku
juga lagi ingin...," goda Pengemis Binal.
Sring...! Intan Melati benar-benar menghunus pe-
dangnya, langsung menodongkannya ke muka
Pengemis Binal. Tapi, Suropati malah tertawa ter-
kekeh-kekeh seraya mendekatkan ujung hidung-
nya ke ujung pedang Intan Melati.
"Kalau kau ingin melihat wajah orang yang
paling kau sukai jadi buruk, tanggalkan saja ba-
tang hidungku...," tantangnya.
Gemas sekali Intan Melati mendengar kata-
kata Pengemis Binal. Ingin rasanya dia membabat
habis batang hidung Suropati. Tapi..., entah kena-
pa dia tak mampu melaksanakan ancamannya.
Ada sebuah bisikan yang mengatakan kalau dia
menyukai remaja tampan yang kini menatapnya
tanpa berkedip.
"Sudah! Sudah! Aku tak ingin bergurau la-
gi!" ujar Intan Melati sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Hari hampir
gelap. Kegelapan hanya akan menyulitkan perjalanan kita. Sedang
aku sendiri tidak begitu paham jalan-jalan di sekitar sini. Aku masih perlu
bertanya kepada orang
tentang letak Lembah Bukitliman. Dan agaknya,
kau pun jadi orang asing di tempat ini, Suro."
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Pengemis Binal, melihat Intan Melati hendak menghela
kudanya la-gi. "Apa lagi"!" bentak Intan Melati melotot. "Ki-ta diburu waktu, Suro!"
"Kenapa kau marah-marah terus, Intan"
Kau tak suka padaku?" tukas Suropati.
Intan Melati diam saja.
"Kau bilang tadi, kegelapan hanya akan
menyulitkan. Kukira, itu tidak tepat."
"Maksudmu?" tanya Intan Melati, terlihat sungguh-sungguh.
"Kegelapan justru membuat kita mudah un-
tuk...." "Untuk apa?" kejar Intan Melati, melihat Suropati tidak segera
melanjutkan kalimatnya.
"Kau jadi penasaran, Intan?"
"Huh! Aku benar-benar tak ingin bergurau
lagi! Katakan, apa maksudmu"!"
"Ya..., ya!" tukas Pengemis Binal dengan ujung hidung dinaikkan. "Aku justru
senang kalau sesampai di Lembah Batuliman nanti hari telah gelap." "Kenapa?"
"Kegelapan membuat kita menjadi tak cang-
gung lagi untuk bermesra-mesraan...."
"Gila!" rutuk Intan Melati seraya cepat
membedal kudanya.
Suropati berteriak-teriak. Namun tak lagi
dipedulikan gadis itu. Kali ini Intan Melati benar-benar kesal. Godaan Suropati
dianggap sudah ke-
terlaluan *** Lembah Batuliman....
Di dalam sebuah gua di lamping jurang,
Tengkorak Kaki Satu menutup halaman terakhir
Kitab Ilmu Tapak Putih. Lelaki yang wajahnya nya-
ris berupa tulang ini bangkit dari duduknya. Den-
gan tongkat sebagai pengganti kaki kirinya yang
buntung dia berjalan ke bibir gua. Kepalanya me-
nengadah, melihat langit hitam bertabur bintang.
Awan putih tipis tampak mengabuti rembulan
yang memancarkan cahaya kuning keemasan.
"Hari belum sampai tengah malam. Tapi,
aku yakin Sawung Permadi telah berada di lembah
ini...," gumam Tengkorak Kaki Satu. "Apakah orang-orangku tidak mampu menghadapi
si tua bangka keparat itu" Hmm.... Umurmu hanya ting-
gal beberapa tarikan napas saja, Sawung Permadi!
Rahasia kesaktian ilmu 'Tapak Putih'-mu sudah
kuketahui."
Tengkorak Kaki Satu menatap sejenak kitab
bersampul putih di tangannya. Lalu dia meniti ba-
tang pohon yang tumbuh menjorok di lamping ju-
rang dekat bibir gua. Begitu berada di ujung po-
hon, tubuhnya digenjot.
Tap! Dan ringan sekali Tengkorak Kaki Satu
mendarat di bibir jurang, sekitar sepuluh tombak
di atas mulut gua yang semula ditempati.
"Kiranya kau yang disebut Tengkorak Kaki
Satu!" Tengkorak Kaki Satu terkejut, ketika tiba-tiba mendengar suara
menyambutnya yang diba-
rengi kelebatan bayangan putih turun dari atas
pohon. Pandangan lelaki buntung itu ditajamkan
untuk mengenali sosok manusia yang baru mun-
cul. Begitu dapat memastikan, Tengkorak Kaki Sa-
tu langsung tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Tak salah dugaanmu, Sawung
Permadi! Aku memang Tengkorak Kaki Satu. Aku
sengaja mengundangmu kemari. Tapi, agaknya
kau datang lebih awal. Sungguh besar nyalimu...."
Kakek berjubah putih yang tak lain Sawung
Permadi tampak memajukan kaki kanannya se-
langkah. "Kupikir itu memang lebih baik. Datang le-
bih awal, untuk membasahi cecoro-cecoro anak
buahmu. Lalu, memecahkan batok kepalamu sen-
diri," balas Sawung Permadi dengan pandangan
berkilat tertuju ke sosok mengerikan yang berdiri
sekitar tiga tombak dari hadapannya.
"Ha ha ha...!" Tengkorak Kaki Satu tertawa bergelak lagi. "Sungguh kau masih
memiliki sifat seperti dua puluh tahun yang lalu, Permadi. Kau
pemberani dan amat keras kepala!"
"Apa maksudmu?" Sawung Permadi terkejut
mendengar ucapan Tengkorak Kaki Satu.
"Apa maksudku" Ha ha ha...! Agaknya kau
masih belum bisa menerka, siapa sebenarnya aku
ini, Permadi. Cobalah layangkan ingatanmu pada
peristiwa berdarah di Bukit Tuntang dua puluh
tahun lalu."
"Tak perlu berkata macam-macam! Segera
perkenalkan dirimu!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa lagi menden-
gar bentakan Sawung Permadi. "Di Bukit Tuntang, kau dan kakakmu, Saka Permadi,
telah memper-daya seorang pemuda bernama Jaka Bagus. Kau
patahkan kaki kirinya. Sedangkan kakakmu me-
nebarkan Racun Pelenyap Daging. Tubuh Jaka
Bagus pun rusak mengerikan..."
"Tak mungkin kau Jaka Bagus itu!" sergah Sawung Permadi, mulai dapat menerka
siapa Tengkorak Kaki Satu itu.
Ingatan lelaki ini segera terbawa ke masa
dua puluh tahun yang lampau. Kala itu bersama
Saka Permadi kakaknya, kakek ini memang per-
nah bertempur melawan pemuda tampan bernama
Jaka Bagus di Bukit Tuntang. Terpaksa Saka Per-
madi dan Sawung Permadi mengeroyok pemuda
itu karena memiliki kesaktian lebih tinggi.
Jaka Bagus dapat dikalahkan. Tubuhnya
terbaring di tanah dalam keadaan mengerikan.
Kaki kirinya tanggal hingga ke pangkal paha. Dag-
ing di tubuhnya pun hampir lumat, terkena Racun
Pelenyap Daging. Semua itu dilakukan Permadi
bersaudara karena dorongan dendam meluap, Ja-
ka Bagus telah menodai dan membunuh adik Saka
Permadi dan Sawung Permadi yang bernama Ayu
Gandari. Melihat Sawung Permadi berdiri terpaku di
tempatnya, Tengkorak Kaki Satu mendengus.
"Rupanya kau sudah teringat peristiwa ber-
darah di Bukit Tuntang itu, Sawung Permadi...,"
ujarnya dengan suara geram. "Malaikat Kematian masih bermurah hati untuk tak
segera mencabut
nyawa Jaka Bagus. Pemuda itu masih hidup, tapi
dalam wujud menakutkan. Kau pandang aku baik-
baik, Sawung Permadi.... Akulah Jaka Bagus! Aku
rela hidup dalam keadaan seperti ini, karena me-
nyimpan dendam maha hebat!"
"Tak mungkin! Tak mungkin!" pekik Sa-
wung Permadi. "Apanya yang tak mungkin, Keparat"! Dua
puluh tahun lamanya aku terus tinggal di Bukit
Tuntang untuk memperdalam ilmu kesaktian. Ak-
hirnya, kemauan keras ku tak sia-sia. Saka Per-
madi telah kubunuh di Pulau Karang. Kuhancur-
kan pula Perguruan Hati Putih. Dan ketika aku
berniat membunuhmu, rupanya kau telah memili-
ki ilmu kesaktian hebat yang bernama 'Tapak Pu-
tih'. Tapi, aku tak lagi gentar. Ilmu 'Tapak Putih'
telah kuketahui rahasianya."
Di ujung kalimatnya, Jaka Bagus alias
Tengkorak Kaki Satu mengeluarkan kitab bersam-
pul putih dari balik kain hitam yang membelit tu-
buhnya. Sawung Permadi terkesiap ketika tahu ka-
lau itu adalah Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Kembalikan kitab itu, Iblis!" perintah Sawung Permadi.
Tengkorak Kaki Satu tertawa bergelak. Tan-
gan kanannya mengacung ke atas disertai tenaga
dalam amat tinggi. Sekejap mata kemudian, kitab
Ilmu Tapak Putih telah hancur teremas menjadi
bubuk putih. Mendidih darah Sawung Permadi melihat
kitab yang disusunnya selama bertahun-tahun te-
lah musnah. "Iblis laknat! Di Bukit Tuntang kau boleh
selamat. Tapi kejadian itu tak akan terulang lagi di Lembah Batuliman ini!"
dengus lelaki tua itu. Rupanya dia telah yakin kalau Tengkorak Kaki Satu
memang Jaka Bagus.


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengkorak Kaki Satu mendengus pendek
melihat Sawung Permadi memutar-mutar kedua
tangannya di depan dada. Keremangan malam ter-
sibak ketika kedua pergelangan tangan Sawung
Permadi memancarkan cahaya putih gemerlapan.
Dalam waktu beberapa kejap mata saja, wu-
jud cahaya putih menyerupai telapak tangan ber-
tambah banyak. Saat Sawung Permadi menggem-
bor keras, telapak-telapak tangan ciptaannya me-
luruk ke arah Tengkorak Kaki Satu.
Zeb! Zeb! Telapak-telapak tangan itu menggempur da-
ri berbagai penjuru pertahanan Tengkorak Kaki
Satu. Masing-masing telapak tangan seperti mem-
punyai nyawa. Melesat ke sana kemari, menimbul-
kan suara angin tajam yang seringkali dibarengi
ledakan. Tengkorak Kaki Satu yang telah mengetahui
rahasia ilmu 'Tapak Putih' memutar tubuhnya
amat cepat. Tongkat di tangan kirinya berkelebat
memperdengarkan suara mendengung bagai ri-
buan lebah marah. Sesaat kemudian, wujud Teng-
korak Kaki Satu menghilang dari pandangan. Se-
bagai gantinya, terbentuk gulungan sinar hitam
yang terus mengepulkan uap berwarna hitam pula.
Lalu.... Blaaarrr...! Sekitar dua puluh telapak tangan berwarna
putih meledak buyar serta berbenturan dengan gu-
lungan cahaya hitam yang merupakan wujud lain
Tengkorak Kaki Satu.
Slap! Gulungan cahaya hitam itu lalu melesat ce-
pat ke arah Sawung Permadi yang tengah dalam
keterkejutan, karena ilmu 'Tapak Putih'-nya dapat
dilumpuhkan. Namun bagaimanapun terkejutnya,
dia adalah tokoh tua yang sudah matang pengala-
man. Sejenak saja keterkejutan menguasai dirinya,
sebentar kemudian kesadarannya segera pulih.
"Heaaa...!"
Sawung Permadi yang dapat mengetahui
adanya bahaya mengancam jiwa, cepat mengem-
pos tubuhnya tinggi-tinggi. Sambil bersalto di uda-ra, kedua tangannya
dihentakkan ke arah gulun-
gan sinar hitam.
Zeb! Zeb! Dua telapak tangan berwarna putih berki-
lauan meluncur deras, seakan-akan merupakan
dua telapak tangan Sawung Permadi yang tanggal.
Padahal itu hanya sinar putih berwujud telapak
tangan. Sejurus kemudian....
Blaaarrrr...! Sunyi malam kembali terobek saat terden-
gar lagi suara menggelegar. Dua telapak tangan
putih berkilauan tepat membentur gulungan sinar
hitam. Untuk kedua kalinya Sawung Permadi di-
hantam keterkejutan. Sekitar sepuluh tombak dari
tempatnya berdiri, Tengkorak Kaki Satu tetap ber-
diri tegak dengan punggung membelakangi. Ujung
tongkatnya menyentuh tanah, sebagai pengganti
kaki kirinya. Perlahan-lahan lelaki bertampang se-
ram ini membalikkan badan.
Dengan bantuan cahaya rembulan, Sawung
Permadi dapat melihat seringai aneh di bibir Teng-
korak Kaki Satu. Seringai itu lalu berubah jadi ta-wa meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kehe-
batan ilmu 'Tapak Putih'-mu, Permadi"!"
"Jangan keburu senang dulu, Keparat!" sa-
hut Sawung Permadi. "Terimalah puncak dari ilmu andalanku ini!"
Di ujung kalimatnya, Sawung Permadi me-
narik kedua pergelangan tangan hingga sejajar
pinggang, lalu menyorongkannya ke depan. Perla-
han saja gerakannya. Namun.....
Wusss...! Seketika timbul suara bersiut amat keras,
yang apabila didengar orang biasa dapat meme-
cahkan gendang telinga. Suara bersiut itu memba-
rengi melesatnya sepuluh telapak tangan putih
yang empat kali lebih besar daripada yang tadi terlihat, dan terdiri dari lima
baris. Dua di depan, dua lagi di belakang, hingga membentuk barisan tangan
bersap lima. Kecepatan lesatnya pun tak terki-
ra, melebihi kecepatan anak panah!
Wuuttt...! Sekali lagi, Tengkorak Kaki Satu memutar
tubuhnya dengan tongkat berkelebatan. Sosok le-
laki bertampang seram ini hilang, berganti gulun-
gan sinar besar yang mengepulkan uap lebih
menggidikkan lagi. Lalu......
Blaarrr! Gelegar dahsyat terdengar lima kali bertu-
rut-turut membuat bumi berguncang. Daun-daun
pohon di sekitar ajang pertarungan kontan bergu-
guran. Ranting dan dahan berpatahan. Bahkan,
beberapa pohon tercabut dari dalam tanah, terlon-
tar hingga belasan tombak jauhnya.
Namun, sungguh mengherankan keadaan
Tengkorak Kaki Satu. Dia tampak berdiri tegak da-
lam keadaan tak kurang suatu apa. Padahal keku-
atan ilmu 'Tapak Putih' yang dilancarkan Sawung
Permadi barusan sudah sanggup menghancurkan
sebuah bukit karang setinggi pohon kelapa!
Kontan pucat pasi wajah Sawung Permadi
melihat ilmu pamungkasnya tak mampu mero-
bohkan lawan. Keringat dingin mengucur di seku-
jur tubuhnya. Peluh sebesar biji jagung pun mele-
leh dari keningnya. Saat itu juga kakek berjubah
putih ini jadi punya pikiran yang bukan-bukan.
Apakah Tengkorak Kaki Satu itu adalah roh Jaka
Bagus yang hendak menuntut balas" Dan karena
berupa roh, dia tentu tak mungkin dibinasakan"
"Aku tahu rasa heran bercampur gentar te-
lah menyelimuti hatimu, Permadi!" leceh Tengkorak Kaki Satu, pongah. "Aku tahu,
kau terbayang peristiwa berdarah di Bukit Tuntang. Agaknya peristiwa itu akan
berbalik rupa di Lembah Batuli-
man ini. Akulah kini yang akan mengoyak-ngoyak
tubuhmu, dan menjadikan wajahmu lebih buruk
dari yang kupunya. Ha ha ha...! Kulihat tubuhmu
gemetar, Permadi! Apakah terpikir olehmu niatan
untuk melarikan diri?"
"Huh! Aku tak takut mati! Kedua tanganku
telah seringkali berlumur darah manusia-manusia
iblis sepertimu. Tapi kalau kedua tanganku berlu-
mur darahku sendiri, tak akan pernah ada penye-
salan dalam diri ini. Apa beda mati esok atau sekarang, kalau sebelum mati orang
bertindak sebagai
pecundang?"
"Sungguh bagus ucapanmu, Permadi.
Agaknya kau telah merasa bahwa ajalmu telah de-
kat kini."
Sawung Permadi tak menyambuti kata-kata
Tengkorak Kaki Satu lagi. Segera dipasangnya ku-
da-kuda, ketika melihat manusia bertampang iblis
itu telah menggebrak dengan putaran tongkatnya.
"Hup!"
Si kakek menggenjot tubuh sekitar tiga
tombak dari permukaan tanah. Lalu dengan gera-
kan 'Lingkaran Trenggiling Melesat', tubuhnya ber-
salto di udara dalam keadaan menekuk. Saat ter-
julur lurus kembali, kedua tangannya menghentak
ke depan! "Uts...!"
Tengkorak Kaki Satu yang melihat adanya
bahaya mengancam dari belakang, segera menggu-
lingkan tubuh ke tanah. Tongkatnya berkelebat
cepat, menghajar pergelangan tangan kiri Sawung
Permadi. Prak...! "Wuaaah...!"
Sawung Permadi berdiri limbung setelah
menjerit keras. Tangan kirinya menggelantung le-
mas karena tulang di atas sikunya telah remuk.
"Sekarang tangan kananmu yang akan ku-
hancurkan, Permadi!" ancam Tengkorak Kaki Sa-
tu. Wuuttt...! "Uts...!"
Sawung Permadi cepat berkelit ke kiri, keti-
ka Tengkorak Kaki Satu menyambar. Tapi justru
gerakannya membuat Tengkorak Kaki Satu terse-
nyum senang. Tubuh Sawung Permadi yang ber-
geser cepat, dipapaki dengan sebuah tendangan.
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan keras Sawung Permadi
saat tendangan Tengkorak Kaki Satu tepat meng-
hajar pinggangnya. Belum sampai tubuh si kakek
jatuh ke tanah, sebuah tendangan lagi bersarang
di dadanya! "Eyang...!"
Sebuah teriakan membarengi tubuh Sa-
wung Permadi yang mencelat bagai segumpal ka-
pas tertiup angin kencang. Saat tubuhnya jatuh
berdebam di tanah, sesosok bayangan putih men-
gejar. Suara tangis menggerung kini memenuhi
permukaan lembah. Seorang gadis berpakaian
serba putih tampak memeluk tubuh lemah Sa-
wung Permadi dengan air mata menganak sungai.
"Tinggalkan Eyang, Intan...!" perintah Sawung Permadi kepada gadis yang ternyata
Intan Melati. "Tidak, Eyang! Aku harus menolong Eyang!"
"Jangan bodoh! Manusia iblis itu akan
membunuhmu! Cepat lari! Argh!" ujar Sawung
Permadi seraya mendekap dadanya. Mulutnya ter-
buka, dan segera menyemburkan darah berwarna
kehitam-hitaman.
Intan Melati menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Gadis ini merasa terharu melihat keadaan
lelaki tua paman guru ayahnya. Teringat dia keja-
dian Pulau Karang. Teringat saat-saat terakhir Sa-
ka Permadi, kakak Sawung Permadi menutup ma-
ta. Haruskah Intan Melati menyaksikan pula saat-
saat terakhir Sawung Permadi menutup mata"
Sementara itu, Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak-gelak penuh kepuasan. Perlahan namun
pasti, kakinya melangkah menghampiri tubuh le-
mah Sawung Permadi yang berada dalam pelukan
Intan Melati Matanya berkilat-kilat. Timbul niatan dalam dirinya untuk
menghabisi Sawung Permadi
dan Intan Melati secara bersamaan. Tangan kanan
lelaki bertampang mengerikan itu pun telah mem-
persiapkan pukulan jarak jauh. Tapi...
"Tak tahu aturan! Hendak membunuh
orang yang sudah tak berdaya adalah perbuatan
amat keji!"
Tengkorak Kaki Satu mendengus seraya
menoleh. Tahu-tahu di samping kanan sejauh lima
tombak telah berdiri seorang remaja tampan ber-
pakaian penuh tambalan. Sebatang tongkat butut
tampak berada di tangan kanan.
"Siapa kau"!" bentak Tengkorak Kaki Satu.
"Aku Suropati. Datang hendak menghenti-
kan perbuatan keji," aku si remaja yang memang Suropati alias Pengemis Binal.
Mendengar ucapan Pengemis Binal, Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak. Sementara, Sa-
wung Permadi telah muntah darah lagi. Si pemuda
yang tahu kakek berjubah putih itu menderita lu-
ka dalam cukup parah, segera memberi bisikan
dengan cara mengirim suara jarak jauh.
"Jangan menyerah pada kematian. Segera
atur pernapasan. Gunakan hawa sakti untuk
mengatasi luka dalammu."
Mendengar bisikan yang ditujukan kepada
dirinya, Sawung Permadi menguatkan tekad. Dan
dengan susah-payah serta pertolongan Intan Mela-
ti, dia akhirnya dapat duduk bersila. Tangan ka-
nannya menekan lutut. Tapi, tangan kirinya tam-
pak menggantung lemah, karena tulangnya telah
remuk terhantam tongkat Tengkorak Kaki Satu.
"Hmm.... Agaknya di Lembah Batuliman ini
aku akan berpesta darah...," gumam Tengkorak
Kaki Satu pongah. Kedua matanya yang amat ce-
kung menatap tajam ke sosok Pengemis Binal.
Melihat Tengkorak Kaki Satu telah mema-
sang kuda-kuda, Suropati turut memasang kuda-
kuda. Walau remaja tampan ini belum tahu masa-
lah apa yang membuat Tengkorak Kaki Satu dan
Sawung Permadi menjadi bermusuhan, tapi diya-
kini kalau lelaki berwajah mengerikan itu adalah
manusia kejam yang patut dilenyapkan dari muka
bumi. Maka, begitu Tengkorak Kaki Satu membu-
ka serangan tak sungkan-sungkan lagi Suropati
menyambutnya. Lembah Batuliman kini kembali menjadi
ajang pertempuran sengit. Tongkat di tangan Pen-
gemis Binal dan Tengkorak Kaki Satu sama-sama
berkelebatan, mencari jalan kematian di tubuh sa-
tu sama lain. Walau Tengkorak Kaki Satu adalah
orang cacat yang hanya mempunyai kaki satu, tak
urung membuat kagum Pengemis Binal melihat
kehebatan jurus-jurusnya.
Sebaliknya, Tengkorak Kaki Satu pun demi-


Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kian. Dia tak dapat menyembunyikan kekagu-
mannya. Suropati yang belum genap berusia dua
puluh tahun, telah dapat memperlihatkan kepan-
daian luar biasa!
Pada satu kesempatan, tubuh Suropati me-
lesat ke atas dengan kedua tangan terpentang le-
bar. Saat berada di udara, kedua tangannya dis-
atukan. Telapak tangannya terbuka menghadap ke
atas. Inilah gerakan 'Pengemis Meminta Sedekah'
yang memiliki kehebatan tak terkira. Tongkat bu-
tut yang terjepit jari telunjuk dan tangan kanan
tampak meluncur, mengarah di antara dua mata
Tengkorak Kaki Satu.
Tengkorak Kaki Satu terkesiap. Segera tu-
buhnya berputar hingga membentuk gulungan si-
nar hitam. Sementara, Pengemis Binal pun dibuat
terkesiap juga. Lalu...
Blarrr...! Ujung tongkat Pengemis Binal membentur
gulungan sinar hitam, menimbulkan ledakan ke-
ras. Hampir saja tongkat itu terlepas dari pegan-
gan. Namun tak urung telapak tangannya terasa
seperti digigit ribuan semut.
"Hmm.... Manusia jahat itu dapat menyatu-
kan kekuatan ilmu sihir dengan tenaga dalam," pikir Pengemis Binal. "Akan ku
gempur dulu kekuatan ilmu sihirnya dengan kekuatan ilmu sihir pu-
la...." Cepat Suropati memusatkan kekuatan ba-tinnya pada satu titik.
Dihimpunnya kekuatan si-
hir hasil ajaran mendiang si Periang Bertangan
Lembut. Kemudian.....
"Lenyap!"
Terdengar bentakan Pengemis Binal yang
nyaring. Dan dibarengi gedrukan kaki Suropati,
putaran tubuh Tengkorak Kaki Satu terhenti. Aki-
batnya, gulungan sinar hitam beruap hitam le-
nyap. Melihat lawan berdiri terpaku karena dihan-
tam keterkejutan, Suropati segera memanfaatkan
kesempatan ini. Digunakannya gerak tipu
'Pengemis Menghiba Rembulan'. Tubuh Pengemis
Binal cepat meluncur ke atas dengan kedua tela-
pak tangan tengadah di depan wajah. Gerakan ini
seperti tidak melakukan serangan. Kehebatannya
memang terletak pada gerak lanjutannya.
Sementara itu, Tengkorak Kaki Satu tampak
melentingkan tubuhnya dengan tongkat terjulur
lurus ke depan. Pada saat itulah tiba-tiba Suropati merundukkan tubuhnya. Dalam
keadaan masih melayang di udara, kaki kanannya bergerak me-
mutar. Tengkorak Kaki Satu mengira Suropati hen-
dak mendaratkan tendangan. Maka tongkatnya
yang gagal menusuk kepala Suropati kini diguna-
kan untuk mengemplang kaki. Tapi....
Prak...! "Wuah...!"
Tengkorak Kaki Satu jatuh berdebam di ta-
nah. Tulang bahu kanannya remuk terhantam
tongkat Pengemis Binal. Terbawa kemarahan yang
meluap, tokoh tua itu jadi nekat. Tubuhnya kem-
bali melesat cepat dengan ujung tongkat tertuju ke jantung.
Tapi, Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti telah menggeser tubuhnya ke samp-
ing kiri. Lalu, dimainkannya jurus 'Tongkat Meng-
hajar Maling'. Prak! "Aaakh...!"
Sekali lagi jerit kesakitan keluar dari mulut
Tengkorak Kaki Satu. Punggungnya terhantam
tongkat Pengemis Binal!
Tubuh Tengkorak Kaki Satu jatuh bergulin-
gan. Kerudungnya lepas. Saat berdiri, terlihat ka-
lau kepalanya yang tanpa kulit. Wajahnya yang se-
ram semakin nampak menyeramkan. Mendadak,
tokoh tua itu bersuit nyaring. Lalu....
"Heaaa...!"
Nekat sekali Tengkorak Kaki Satu mengem-
pos tubuhnya kembali. Sementara Suropati pun
mengempos tubuhnya untuk memapaki. Remaja
tampan ini sama sekali tak menduga kalau Teng-
korak Kaki Satu hanya bermaksud memecah per-
hatiannya. Karena, pada saat itu meluncur sosok
bayangan putih dengan ujung pedang mengarah
ke tengkuk Pengemis Binal!
Wuuutt....! Untung, pada saat yang gawat berkelebat
sosok bayangan putih lainnya menyelamatkan
nyawa Pengemis Binal.
Trang! Tak! Pedang yang hendak menusuk tengkuk
Pengemis Binal tertangkis. Sementara, tongkat
Pengemis Binal berbenturan dengan tongkat Teng-
korak Kaki Satu.
"Ayah...!"
Sosok bayangan putih yang ternyata Intan
Melatilah yang memberi pertolongan kepada Pen-
gemis Binal. Gadis itu berdiri dengan pandangan
nanar. Di hadapannya, terlihat lelaki setengah
baya berpakaian serba putih tengah memandang
tak berkedip. Tangannya yang memegang sebilah
pedang bergetar seperti menyimpan kemarahan.
Dia tak lain dari Rama Ludira, ayah Intan Melati
yang terkena pengaruh ilmu 'Penghilang Akal' mi-
lik Tengkorak Kaki Satu.
"Bunuh gadis di hadapanmu itu, Ludira!"
perintah Tengkorak Kaki Satu kemudian.
Sementara Rama Ludira menyerang pu-
trinya sendiri, Suropati segera menggempur Teng-
korak Kaki Satu. Pertempuran yang lebih seru se-
gera berlangsung.
Lewat lima jurus kemudian, Rama Ludira
berhasil mendesak Intan Melati. Gadis cantik ini
tak mampu berbuat banyak menghadapi serangan
maut ayahnya yang sudah lupa segala-galanya.
"Suro...!" pekik Intan Melati, seperti hendak meminta bantuan.
Pengemis Binal yang kala itu telah berhasil
mendesak lawan, dapat melihat keadaan Intan Me-
lati yang terancam. Segera remaja tampan ini me-
loncat ke belakang.
Tengkorak Kaki Satu tak ingin lawannya le-
pas. Cepat dia mengejar. Sayang, dia tak tahu ka-
lau Pengemis Binal telah menghimpun kekuatan
semesta. Tubuh remaja itu kini memancarkan cahaya
kebiru-biruan. Inilah salah satu ilmu andalan Pen-
gemis Binal yang bernama 'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma' yang diperoleh dari seorang tokoh tua
bergelar Bayangan Putih Dari Selatan. Sesaat ke-
mudian.... Blarrr...! Terdengar suara menggelegar. Tengkorak
Kaki Satu yang membentur inti kekuatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' tak dapat lagi
mempertahankan nyawa. Tubuhnya kontan terlon-
tar dalam keadaan hancur menjadi potongan-
potongan kecil!
"Bantu aku, Suro...!" teriak Intan Melati.
Saat itu, pedang Rama Ludira sudah berke-
lebat cepat hendak menusuk ulu hati Intan Melati.
Tapi.... "Ohh...?"
Pada waktu nyawa Intan Melati benar-benar
akan dijemput Malaikat Kematian, Rama Ludira
menghentikan serangannya disertai keluhan. Ke-
pala lelaki setengah baya ini menggeleng-geleng.
Pedangnya lepas terjatuh ke tanah.
"Intan...!" sebut Rama Ludira.
"Ayah! Kau telah sadar, Ayah"!" sambut Intan Melati.
"Di manakah kita ini, Intan?"
Melihat Rama Ludira menebar pandangan
seperti orang linglung, Intan Melati segera tahu kalau ayahnya telah terbebas
dari pengaruh ilmu
'Penghilang Akal'. Dan sesungguhnya, memang
demikian. Kematian Tengkorak Kaki Satu di tan-
gan Pengemis Binal telah melenyapkan pengaruh
ilmu 'Penghilang Akal'.
Sewaktu Rama Ludira dan Intan Melati sal-
ing peluk dalam tangis kebahagiaan, Pengemis Bi-
nal menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ketika
remaja ini melihat sosok Sawung Permadi yang
tengah duduk bersila, segera dihampirinya. Lalu,
dibantunya kakek itu dalam menyalurkan hawa
sakti. *** Dalam siraman sinar mentari pagi, tiga ekor
kuda tampak berlari pelan keluar dari Lembah Ba-
tuliman. Yang di depan ditunggangi dua orang le-
laki. Mereka adalah Sawung Permadi dan Rama
Ludira Tangan kiri Sawung Permadi bergayut di
dada terselempang kain putih. Wajahnya masih
tampak pucat, tapi luka dalamnya sudah tak
membahayakan jiwanya lagi. Sementara, Rama
Ludira menopang punggung Ketua Perguruan Ta-
pak Putih itu agar dapat duduk tegak
"Apakah kau hendak kembali ke Pulau Ka-
rang?" tanya Suropati yang berkuda di sisi kanan Intan Melati.
"Tidak. Sejak peristiwa berdarah itu, kupikir Pulau Karang bukan lagi tempat
yang menyenangkan," jawab Intan Melati. Agaknya gadis ini sudah tak marah lagi
pada Suropati. "Lalu, kau mau ke mana?" tanya Suropati.
"Terserah ke mana Ayah mengajak."
"Tidak ingin ikut denganku?"
"Ke mana?"
"Ke mana?" ulang Suropati. "Yang jelas bu-
kan ke neraka."
Intan Melati tersenyum.
Tanpa sepengetahuan Rama Ludira dan
Sawung Permadi, gadis ini meloncat dari punggung
kuda. Suropati berlaku serupa. Sementara kuda
kedua lelaki itu terus berlari, Intan Melati dan Suropati saling berpelukan.
Mereka berciuman. La-
ma... sekali. SELESAI Segera terbit episode:
PEWARIS MUSTIKA API
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Neraka Asmara 2 Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Beruang Salju 12
^