Pencarian

Api Di Karang Setra 1

Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra Bagian 1


Serial Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S dalam episode :
API di KARANG SETRA
Penerbit Cintamedia Jakarta
API DI KARANG SETRA Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit Pembuat Ebook :
Scan ke Djvu : Syaugy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
Convert & Editor text : Dewi KZ
Pdf by : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewi-kz.info/
1 Pagi-pagi sekali, di saat orang masih terbuai oleh
mimpinya, tampak seorang pemuda sedang memacu kudanya dengan cepat bagaikan
angin. Pemuda tampan penunggang kuda itu, mengenakan baju rompi warna putih, dan
bersenjata sebilah pedang yang gagangnya mirip kepala burung.
Kuda hitam itu menghentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu gerbang
Kadipaten Karang Setra. Tampak dua orang
penjaga yang berseragam prajurit segera menghadangnya Sementara itu si penunggang kuda yang tak lain adalah Rangga, si
Pendekar Rajawali Sakti, masih tetap duduk di atas punggung kudanya.
"Ke mana tujuanmu, Kisanak?" tanya salah seorang prajurit penjaga itu.
"Ke Kadipaten Karang Setra," sahut Rangga kalem.
"Ada urusan apa Kisanak ke sana?"
"Sekedar singgah di rumah sanak keluarga."
"Kau sendiri dari mana asalnya?"
"Aku adalah seorang pengembara yang tidak menentu tempat dan tujuannya," sahut
Rangga merendah.
Kedua prajurit penjaga pintu gerbang iti; terus mengamati Rangga dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Kemudian salah seorang melangkah mendekati. Dia
seperti sedang menaksir-naksir kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Kepalanya tampak terangguk-angguk sambil mengelilingi kuda itu. Sementara Rangga
sendiri hanya mengawasi dari sudut ekor matanya.
"Kudamu begitu bagus. Kenapa tidak kau ikutkan dalam lomba?" kata prajurit itu
setelah puas mengamati kuda milik Rangga.
"Maaf, kudaku bukan untuk lomba," sahut Rangga masih tetap ramah dan sopan.
"Sayang sekali..., seandainya aku yang memiliki kuda ini, pasti sudah mendaftar.
Hadiahnya sangat besar. Apa lagi jika yang punya juga memiliki kepandaian
tinggi. Bisa diangkat jadi panglima perang oleh Gusti Adipati!"
Sejenak Rangga mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia mendengar sebuah
kadipaten memiliki angkatan perang. Dan saat ini adipatinya tengah mencari
seorang panglima perang dengan jalan mengadakan lomba pacu kuda dan olah
kanuragan. Siapakah yang menjadi adipati di Karang Setra sekarang" S Dan untuk
apa pula dia membutuhkan angkatan perang" Begitu besarkah perubahan yang telah
terjadi di Kadipaten Karang Setra" Berbagai macam pertanyaan
menggelayuti pikiran Rangga. Dia makin penasaran dengan keadaan tanah
kelahirannya ini.
"Bolehkah aku masuk, Tuan Prajurit?" Rangga memohon.
"Silakan, pintu selalu terbuka untuk siapa saja," sahut prajurit itu seraya
menggeser tubuhnya ke samping.
"Terima kasih," ucap Rangga. "Hes..., hes!"
Kuda hitam itu pun kembali berjalan. Kali ini langkahnya pelan-pelan. Rangga
mengangguk pada penjaga yang masih tetap
berdiri di tempatnya. Ia memang sengaja mengendalikan kudanya dengan pelan-pelan. Dia ingin menikmati kembali keindahan
tanah kelahirannya setelah dua puluh tahun tidak pernah lagi menginjakkan
kakinya di sini.
Kini Rangga jadi teringat kembali ke masa-masa kecilnya.
Masa-masa yang indah di mana dia masih berkumpul dengan ayah dan ibunya di
istana kadipaten. Tapi sekarang dia datang sebagai pengembara yang kebetulan
lewat di Kadipaten Karang Setra ini.
Dua puluh tahun.... Keadaan di Kadipaten Karang Setra ini belum begitu jauh
berubah. Rasanya Rangga seperti baru beberapa hari saja tidak melihatnya.
Bedanya sekarang tidak ada lagi orang-orang yang membungkukkan badan saat dia
lewat. Semua tetap sibuk dengan pekerjaan dan kesibukannya masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Rangga menghentikan langkah kudanya di depan sebuah
bangunan besar yang terbuat dari kayu. Sejenak dia mengamati, tak nampak
perubahan sedikit pun. Semuanya masih tetap seperti dua puluh tahun yang lalu
Bangunan itu adalah sebuah rumah makan sekaligus juga sebagai tempat untuk
menginap bagi para pelancong. Dulu Rangga sering datang ke sini bersama ayahnya.
Dia kenal betul dengan pemilik bangunan itu
Pelan-pelan Pendekar Rajawali Sakti itu turun dari kudanya.
Tampak seorang anak laki-laki kecil segera datang menghampiri. Kemudian sambil tersenyum, Rangga menyerahkan tali kekang kudanya pada anak itu.
"Beri dia makan yang cukup," kata Rangga.
"Baik, Tuan," sahut anak itu. Dia segera berlalu sambil menuntun kuda Dewa Bayu.
Sejenak Rangga memandangi kepergiannya, kemudian dia berbalik dan melangkah ke
dalam. Tidak begitu banyak orang yang ada di ruangan yang luas dan penuh dengan
meja dan kursi itu. Dia segera disambut oleh seorang laki-laki tua yang
menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Sejenak Rangga mengerutkan keningnya.
Sepertinya dia pernah kenal dengan laki-laki tua itu, tapi.... Ah!
"Silakan duduk, Tuan. Masih banyak tempat yang kosong,"
sambut laki-laki tua itu ramah.
"Hm...," Rangga tersenyum dan melangkah menuju meja yang ada di pojok dekat
jendela. "Mau pesan apa, Tuan?" tanya laki-laki tua itu tetap ramah.
"Hm, tolong sediakan sepiring nasi merah dengan ikan mas bakar serta satu
mangkuk sup tulang muda," pesan Rangga.
Laki-laki tua itu tampak bengong mendengar pesanan
Rangga. Beberapa saat dia hanya berdiri terpaku. Sepertinya dia tidak percaya
dengan pendengarannya sendiri. Tentu saja sikap laki laki tua itu membuat Rangga
jadi keheranan.
Kemudian laki laki tua itu menggeser kakinya mendekati Rangga
"Maaf, Tuan. Kami tidak menyediakan makanan yang Tuan pesan," kata laki-laki tua
itu setengah berbisik. Sepertinya dia takut kalau perkataannya sampai terdengar
orang lain. Kening Rangga tampak semakin dalam berkerut.
"Pesan yang lainnya saja, Tuan," laki-laki tua itu menawarkan.
'Tidak," sahut Rangga.
"Tapi...."
Rangga tidak menjawab. Dia segera berdiri dan melangkah ke luar. Sementara laki-
laki tua itu bergegas mengikuti dan menghentikan langkah Pendekar Rajawali Sakti
di ambang pintu.
"Maaf..., maaf, Tuan."
"Hm...," Rangga hanya bergumam.
Lalu Pendekar Rajawali Sakti itu terus mengayunkan
langkahnya ke luar. Tampak seorang bocah laki-laki yang tadi membawa kuda
hitamnya mendekati seraya menuntun kuda.
Setelah Rangga memberinya sekeping uang perak, kemudian dia segera melompat naik
ke punggung kudanya. Seketika itu juga kuda hitam itu langsung melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
*** "Ada apa" Kenapa dia tidak jadi pesan makanan?" seorang perempuan tua mendekati
laki-laki tua itu "Aneh...!?"
"Ki Lintuk...!" terdengar suara dari dalam kedai.
Laki-laki tua itu bergegas masuk kembali ke dalam kedai.
Dia menghampiri seorang tamu yang duduk di dekat jendela, di mana tadi Rangga
duduk di sebelahnya. Laki-laki tua yang biasa dipanggil dengan Ki Lintuk itu
membungkuk hormat pada tamunya. Laki-laki yang umurnya sebaya dengannya itu
mengenakan baju dari sutra halus merah muda.
"Ada apa, Gusti Singo Lodoya?" tanya Ki Lintuk.
"Siapa anak muda itu?" tanya Singo Lodoya.
"Mungkin pengembara yang kehabisan uang, Gusti," sahut Ki Lintuk.
"Hm...," Singo Lodoya bergumam tidak jelas
"Ada yang kurang, Gusti?"
'Tidak!" Sesaat kemudian, Singo Lodoya segera bangkit dari
duduknya dan segera pergi dari kedai itu. Sementara Ki Lintuk hanya
memandanginya dengan geleng-geleng kepala. Dia tahu siapa sebenarnya Singo
Lodoya itu. Seorang pengawal khusus
kepercayaan Adipati Karang Setra Tingkat kepandaiannya sangat tinggi, sulit dicari tandingannya. Dan meskipun hanya
sebagai pengawal khusus, tapi tindakannya kadang-kadang bisa melebihi dari
adipati sendiri.
Kemudian Ki Lintuk bergegas melangkah ke bagian
belakang kedai. Di sana tampak istrinya tengah sibuk menanak nasi. Perempuan tua
yang tadi berada di ambang pintu itu sedikit mengangkat kepalanya
"Rasanya aku seperti mimpi saja, Nyi...," kata Ki Lintuk seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Ada apa" Kok seperti orang bingung...?" Nyi Lintuk memandangi raut wajah
suaminya. "Benar-benar aneh.... Mustahil!" Ki Lintuk masih bicara seperti orang linglung
saja. Dia lalu menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu dekat istrinya.
"Kamu ini kenapa, Ki" Apanya yang aneh?" Nyi Lintuk semakin tidak mengerti.
"Anak muda itu, dia...," Ki Lintuk tidak jadi meneruskan kata-katanya. Dia
seperti ragu-ragu untuk mengeluarkannya.
"Ada apa dengan anak muda itu?"
"Pesanannya, sungguh aneh!"
Nyi Lintuk makin penasaran. Dia pun segera menggeser duduknya untuk lebih
mendekati suaminya.
"Kau tahu, Nyi. Anak muda itu memesan makanan yang sama persis dengan makanan
kesukaan Gusti Adipati yang dulu," kata Ki Lintuk setengah berbisik.
"Maksudmu, Gusti Adipati Arya Permadi yang telah hilang dua puluh tahun lalu
bersama putranya?" Nyi Lintuk ingin menegaskan.
"Cuma putranya yang hilang," ralat Ki Lintuk.
"Iya..., iya. Lalu kenapa memangnya?"
"Anak muda itu memesan makanan yang sama persis seperti ketika Gusti Adipati
Arya Permadi masih hidup dan sering datang ke sini," kata Ki Lintuk.
Nyi Lintuk buru-buru mendekap mulutnya sendiri yang mau berteriak kaget. Selama
dua puluh tahun belakangan ini, belum pernah ada seorang pun yang memesan
makanan seperti itu. Adipati Karang Setra yang sekarang memang telah
melarangnya untuk menyediakan makanan-makanan
kesukaan adipati yang lama. Sepertinya adipati yang sekarang ingin menghilangkan
semua citra yang telah dilakukan dan disukai oleh pendahulunya.
Satu demi satu, semua yang ada hubungannya dengan
Adipati Arya Permadi dihilangkan, sampai yang sekecil-kecilnya. Tidak ada yang
tahu, kenapa Adipati Karang Setra yang sekarang berbuat begitu. Hanya orang-
orang tertentu saja yang tahu sebabnya, termasuk Ki Lintuk ini yang menjadi
sahabat Adipati Arya Permadi, dan kedainya sering dikunjungi.
"Saat ini, Rasanya aku seperti baru saja berhadapan dengan Gusti Adipati Arya
Permadi, Nyi," kata Ki Lintuk pelan.
"Ya..., wajahnya juga mirip," desah Nyi Lintuk se perti baru menyadari.
Beberapa saat lamanya, suami-istri itu terdiam mereka seolah-olah tengah larut
mengenang kembali junjungannya yang telah tiada.
*** Rangga tampak sedang melihat-lihat
keadaan kota Kadipaten Karang Setra sampji di tengah-tengah pasar. Siang itu keadaan pasar
sangat ramai, mungkin hari ini adalah hari pasaran, sehingga banyak orang yang
datang untuk berbagai macam keperluan. Di beberapa tempat juga terlihat macam-
macam hiburan rakyat.
Rangga mengendalikan kudanya dengan pelan-pelan.
Nampaknya dia ingin mengingat kembali masa-masa kecilnya.
Namun tidak banyak yang mampu dia ingat. Saat itu dia baru berumur sekitar lima
tahun. Yang membuat Rangga heran, sejak tadi dia tidak melihat seekor pun burung
kenari yang diperdagangkan. Juga dia tidak melihat seorang pun yang mengenakan
baju berwarna biru. Semua yang ada seperti kedai dan warung kelontong serta
barang-barang yang lain, tidak satu pun yang berwarna biru.
Beberapa saat kemudian, Rangga turun dari punggung
kudanya begitu sampai di depan tempat penjaja burung.
Tampak bermacam-macam burung yang diperdagangkan
Seorang laki-laki setengah baya bergegas menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk
Dia menggunakan pakaian yang berwarna kuning dan nampak longgar.
"Silakan, Tuan. Ada macam-macam burung yang dijual di sini. Semua bagus-bagus.
Silakan Tuan pilih," sambutnya ramah.
"Hm, aku ingin mencan burung kenari. Ada?" tanya Rangga.
Laki-laki setengah baya itu nampak memucat wajahnya mendengar permintaan Rangga.
Sikapnya pun jadi salah tingkah dan gugup. Sepertinya dia tengah menghadapi
seorang raja besar yang agung. Tentu saja sikap orang tersebut tertangkap oleh
mata Rangga "Ada, Pak?" tanya Rangga tidak memberikan kesan keheranannya.
"Oh! Maaf..., maaf. Tuan. Burung yang Tuan inginkan tidak dijual di sini,"
sahutnya tergagap
"Hm..., bukankah burung tersebut mudah didapat, dan banyak di sekitar sini?"
"Tapi, Tuan. Kami tidak menyediakannya." Rangga semakin dibuat penasaran. Dia
benar-benar tidak mengerti, sejak menginjakkan kaki di Kadipaten Karang Setra
ini, sudah banyak ditemui berbagai keanehan dan kejanggalan. Semua yang
ditanyakan dan di nginkannya tidak bisa terpenuhi, bahkan setiap orang yang
dimintai keterangan selalu menampakkan ketakutan. Apa sebenarnya yang telah


Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi di sini"
Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Rangga segera
melangkah pergi sambil menuntun kuda hitamnya. Sementara
penjaja burung itu hanya memandanginya dengan wajah pucat dan tubuh yang
gemetaran. "Oh!" mendadak dia tersentak ketika pundaknya ditepuk dari belakang.
Laki-laki setengah baya itu langsung menoleh dan
membungkukkan badan begitu mengetahui siapa yang ada di hadapannya. Tampak
seorang laki-laki yang berpakaian halus dan berwajah bengis sedang menatapnya
dengan tajam. Laki-laki itu adalah orang yang tadi berada di kedai Ki Lintuk,
seorang pengawal khusus Adipati Karang Setra yang bernama Singo Lo-doya.
"Apa yang dia cari, Ki Bayan," tanya Singo Lodoya.
Suaranya terdengar besar dan berat.
"Burung kenari, Gusti," sahut Ki Bayan tanpa mengangkat mukanya.
"Lalu, kau bilang apa?"
"Hamba bilang, bahwa hamba tidak menyediakan burung itu, Gusti."
"Bagus! Dan kau memang dilarang menjual burung kenari.
Ingat, sekali saja kau melanggar, pancung hukumannya!"
"Hamba mengerti, Gusti," sahut
Ki Bayan seraya
mengangguk-angguk
Singo Lodoya pun segera berlalu. Arahnya jelas bahwa dia mengikuti ke mana tadi
Rangga pergi. Sementara Ki Bayan hanya bisa memandanginya dengan pikiran yang
dipenuhi oleh berbagai macam tanda tanya. Selama dua puluh tahun terakhir ini,
tidak seorang pun yang menanyakan burung kenari. Dan baru kali ini ada seorang
pemuda yang menginginkannya.
"Bayan Sudira...!" tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.
"Oh! Kakang Lintuk."
Buru-buru Bayan Sudira menghampiri seseorang yang telah memanggilnya itu. Dia
langsung mengajak laki-laki tua pemilik kedai itu masuk ke dalam warung
burungnya. "Aku lihat pemuda itu tadi datang ke sini," kata Ki Lintuk.
"Maksud, Kakang ... Pemuda yang membawa kuda hitam?"
Bayan Sudira ingin memastikan
"Benar"
"Hhh...," Bayan Sudira menarik napas panjang. "Ada apa?"
tanya Ki Lintuk menduga-duga. Jelas sekali bahwa dia penasaran.
"Dia mencari burung kenari," sahut Bayan Sudira pelan.
"Sudah kuduga..,," desah Ki Lintuk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak Bayan Sudira menatap laki-laki tua pemilik kedai itu. Dia makin
bertambah bingung dengan kejadian yang baru dialaminya.
"Dia tadi juga datang ke kedaiku, dan memesan makanan yang aneh. Aku sendiri
tidak tahu, siapa dia sebenarnya.
Aneh..., benar-benar aneh!" kening Ki Lintuk berkerut dalam.
"Dia memesan makanan...?"
Bayan Sudira tidak melanjutkan pertanyaannya.
"Ya," sahut Ki Lintuk bisa mengerti.
"Lalu?"
"Aku tidak bisa menyediakannya. Di sana juga ada Gusti Singo Lodoya, jadi aku
tidak sempat untuk menanyakannya."
"Aneh.... Siapa sebenarnya dia ya...?" gumam Bayan Sudira seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Di sepanjang jalan, aku tadi juga mendengar dari teman-teman kita, bahwa pemuda
itu menanyakan yang aneh aneh.
Dia selalu mencari sesuatu yang tidak mungkin kita sediakan.
Aku benar-benar tidak mengerti...," kata Ki Lintuk lagi
"Kakang, bagaimana kalau nanti malam kita kumpulkan teman-teman. Aku merasa
bahwa kedatangan pemuda itu ada artinya. Apalagi sebentar lagi akan diadakan
pertandingan di istana kadipaten. Perayaan tahunan untuk menghormati kebesaran
Adipati Wira Permadi," kata Bayan Sudira mengusulkan.
"Aku rasa perlu juga, Adik Bayan Sudira. Sebaiknya kau hubungi teman-teman
secepatnya. Dan bilang, bahwa
pertemuan akan diadakan selepas senja di rumahku."
"Aku laksanakan, Kakang!"
*** Matahari baru saja menghilang di ufuk Barat. Sementara kegelapan segera datang
dan menyelimuti mayapada. Di rumah Ki Untuk yang berada di belakang kedai tampak
sudah dipenuhi oleh beberapa orang laki-laki setengah baya. Mereka semua duduk
di lantai yang beralaskan tikar pandan, dan di ruangan yang cukup luas. Tampak
beberapa pelita menerangi ruangan itu.
Di hadapan mereka Ki Lintuk duduk berdampingan dengan Bayan Sudira. Rata-rata
wajah-wajah para undangan itu sudah berkeriput dengan hiasan rambut putih di
kepala. Mereka semua sudah mengerti maksud dari pertemuan itu. Yakni membahas
tentang kedatangan seorang pemuda yang tidak dikenal dan aneh.
"Aku yakin, bahwa saudara-saudara sekalian tahu maksud dari undangan ini," kata
Ki Lintuk memulai pembicaraannya.
Semua kepala yang berjumlah delapan orang itu segera terangguk-angguk Mereka
menunggu kelanjutan kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Siang tadi, aku dan Adik Bayan Sudira serta tentunya saudara-saudara semua
kedatangan seorang pemuda yang aneh. Nah! Maksud dari pertemuan ini adalah untuk
membicarakan hal tersebut," lanjut Ki Lintuk.
Belum ada seorang pun yang membuka suara. Semuanya
masih diam dengan kepala tertunduk dan kening yang
berkerut. Mereka semua memang kedatangan rjemuda
tersebut. Dan mereka tidak tahu, siapa sebenarnya pemuda itu.
"Kalian tahu, bahwa aku selalu membicarakan setiap persoalan pada istriku. Dan
hari ini istriku memberikan dugaan yang sangat mengejutkan...."
"Apa itu, Ki Lintuk?" tanya Bayan Sudira seraya memandang laki-laki di
sampingnya. "Katanya pemuda itu mirip dengan Gusti Adipati Arya Permadi," sahut Ki Lintuk
dengan suara agak bergetar.
Sebentar saja suara-suara bergumam sudah terdengar
bagai tawon digebah sarangnya. Mereka semua terkejut dengan kata-kata Ki Lintuk
barusan. Secara jujur, semua memang sudah menduga ke situ, tapi tidak punya
keberanian untuk mengemukakannya.
"Semua yang dia minta juga merupakan kesenangan dari Gusti Adipati Arya Permadi.
Dua puluh tahun lamanya kita tidak pernah mendengar lagi permintaan-permintaan
seperti itu, dan sekarang muncul seorang pemuda yang...," Ki Lintuk tidak jadi
melanjutkan kata-katanya.
Sementara semua kepala segera terangkat naik ketika mendengar suara derap
langkah kaki kuda yang semakin mendekat. Mereka yang berada di dalam ruangan itu
serentak menoleh ke jendela. Tampak di luar sana seorang pemuda tampan yang
mengenakan baju rompi putih sudah berdiri di samping kuda hitam tunggangannya.
Pemuda itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman kedai.
"Kakang...," Bayan Sudira segera mencekal tangan Ki Lintuk yang hendak bangun
dari duduknya. "Mungkin dia memerlukan kamar penginapan," kata Ki Lintuk seraya melepaskan
pegangan tangan Bayan Sudira.
Ki Lintuk lalu mengayunkan langkahnya ke luar. Dia
sengaja lewat pintu samping, tapi sempat berpesan pada teman-temannya untuk
tidak menampakkan diri. Pemilik kedai dan rumah penginapan itu menghampiri
pemuda yang ternyata adalah Rangga.
"Silakan, Tuan. Apakah Tuan membutuhkan kamar untuk bermalam?" sambut Ki Lintuk
dengan ramah. "Ya," sahut Rangga.
"Silakan, biar pembantuku nanti yang mengurus kuda Tuan,"
Rangga lalu menambatkan kudanya pada tambatan kuda
yang ada di depan kedai. Kemudian dia segera mengikuti langkah Ki Lintuk yang
berjalan menuju bagian samping kedai.
Rangga sempat melirik bagian depan rumah di belakang kedai makan itu. Tampak
beberapa bayangan terlihat. Dan beberapa kepala tersembul dari jendela.
Rangga tidak mempedulikan, dia terus saja mengikuti langkah Ki Lintuk. Beberapa
saat kemudian mereka memasuki sebuah bangunan yang cukup besar.
Ki Lintuk menunjukkan beberapa kamar yang berjajar rapi di sepanjang lorong.
"Aku minta yang di ujung sana," kata Rangga sambil menunjuk sebuah kamar yang
menghadap ke arah taman.
Ki Lintuk tampak tersentak dengan permintaan Rangga itu.
"Kenapa" Sudah ada orangnya?" tanya Rangga tidak menampakkan keheranannya.
"Tidak. Tidak, Tuan. Silakan," sahut Ki Lintuk dengan tergagap.
"Mungkin aku akan beberapa hari nginap di sini. Dan ini sebagai
pembayaran muka," kata Rangga seraya menyerahkan sekantung uang ke tangan Ki Lintuk.
Kemudian Rangga melangkah masuk ke kamar yang
di nginkannya. Sementara Ki Lintuk bergegas ke luar dari rumah penginapannya
setelah pintu kamar tertutup. Dia langsung menuju rumahnya dan duduk dengan
lemas dikelilingi oleh teman-temannya.
"Ada apa?" tanya beberapa orang hampir bersamaan.
"Dia..., dia...," Ki Lintuk tersekat suaranya.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya Bayan Sudira menunjukkan kecemasan.
"Dia memilih kamar yang dulu biasa ditempati Gusti Adipati Arya Permadi."
"Apa..."!"
*** 2 Rangga mengurungkan niatnya untuk membaringkan
tubuhnya ke pembaringan. Dia mendengar pintu kamar
penginapannya ada yang mengetuk dari luar. Kemudian dengan rasa malas dia
melangkah ke pintu. Tampak Ki Lintuk sudah
berdiri di sana. Dengan ramah Rangga mempersilakannya untuk masuk. Laki-laki tua itu tampak membawa sebuah guci arak
dan dua gelas yang terbuat dari perunggu di atas baki.
Rangga membiarkan saja ketika laki-laki tua itu meletakkan baki di atas meja. Ki
Lintuk sempat melirik pada sebilah pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung
di pembaringan. Kemudian dia berbalik dan tetap berdiri menghadap Rangga yang sudah
duduk di kursi dekat pintu.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Tuan?" pinta Ki Lintuk sopan.
"Silakan," sahut Rangga seraya meminta Ki Lintuk duduk.
Ki Lintuk pun segera duduk di dekat meja yang
membelakangi jendela kamar.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?" tanya Rangga-
"Setiap tamu yang akan menginap di sini, biasanya memberitahu nama. Tadi aku
lupa untuk menanyakannya,"
sahut Ki Lintuk
"Namaku Rangga, Ki. Aku hanya seorang kelana yang tidak tentu arah dan
tujuannya. Dan aku datang ke sini hanya untuk singgah sebentar," sahut Rangga
memperkenalkan diri.
"Tidak ada yang dicari?" tanya Ki Lintuk setengah menyelidik.
"Rasanya tidak," sahut Rangga menggeleng lemah.
Sejenak Ki Lintuk terdiam. Kepalanya tampak terangguk-angguk dengan kening yang
berkerenyut. "Ada apa, Ki" Apakah ada sesuatu yang mencurigakan pada diriku?" tanya Rangga
merasa tidak enak.
"Oh, tidak. Tidak, Tuan. Hanya...."
"Hanya apa, Ki?"
"Nama Tuan jadi mengingatkan saya pada seseorang."
Seketika jantung Rangga berdetak kencang. Dia sendiri tidak tahu, perasaan apa
yang ada di dalam dirinya.
Pandangannya agak tajam menembus bola mata laki-laki tua yang duduk tepat di
depannya. "Namamu mirip dengan putra Gusti Adipati Karang Setra yang hilang dua puluh
tahun lalu," kata Ki Lintuk pelan seperti bergumam pada dirinya sendiri. Kini
dada Rangga semakin keras
saja berdebar. Sedangkan Ki Lintuk tampak mengamatinya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Sepertinya dia ingin meyakinkan dirinya, bahwa Rangga bukanlah seperti orang
kebanyakan. Kulitnya putih bersih, sedangkan tubuhnya tinggi dan kekar, wajahnya
juga tampan. Pendek kata, Rangga lebih pantas kalau menjadi seorang putra raja atau
bangsawan, bukan seorang pengembara yang berkelana dari satu tempat ke tempat
yang lain. "Kalau saja putra Gusti Adipati masih hidup, pasti sudah sebesar dan setampan
Tuan. Namanya juga Rangga,
lengkapnya Rangga Pati Permadi. Dua puluh tahun yang lalu beliau mendapat
musibah di kaki Bukit Cubung dekat Lembah Bangkai. Seluruh keluarga, punggawa
dan pengawal tewas.
Hanya Gusti Rangga yang selamat, tapi dia hilang dan sampai sekarang tidak tentu
rimbanya," kata Ki Lintuk menceritakan tanpa diminta.
Sementara Rangga makin menjadi-jadi getaran jantungnya.
Pikirannya jadi tidak menentu. Ingin rasanya dia mengatakan, bahwa dirinyalah
putra adipati itu! Tapi mulutnya seperti terkunci. Kini semua peristiwa itu
kembali terlintas dalam
benaknya. Sebuah kejadian yang mengerikan dan tak mungkin terlupakan sepanjang
hidupnya. Kedatangannya ke Kadipaten Karang Setra ini sebenarnya tidak disengaja. Langkah
pengembaraannya saja yang telah membawanya sampai ke sini. Namun sejak siang
tadi dia sudah merasakan berbagai
macam kejanggalan.
Dan semuanya itu telah menjadikan beban pikirannya sampai kini.
Sejenak Rangga tertegun ketika matanya memandang ke luar lewat jendela. Tampak
di depan sana berdiri seseorang yang menghadap kamarnya.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga.
"Orang..." Siapa...?" Ki Lintuk segera memalingkan mukanya ke arah Rangga
memandang Tepat pada saat itu, orang yang tadi berdiri di bawah pohon langsung lenyap.
Rangga segera bangkit dan
melangkah ke jendela. Kemudian dia melayangkan pandangannya ke luar. Namun hanya kegelapan yang tampak.
Pendekar Rajawali Sakti itu pun segera membalikkan tubuhnya menghadap Ki Lintuk
yang sudah berdiri di sampingnya.
"Tampaknya tidak ada siapa-siapa...," kata Ki Lintuk pelan.


Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin hanya bayanganku saja, Ki," sahut Rangga berusaha menenangkan diri.
"Sudah larut malam, aku permisi dulu," pamit Ki Lintuk.
Rangga tidak mencegah lagi. Dia membiarkan saja laki-laki pemilik penginapan ini
ke luar dari kamarnya. Sejenak Rangga menutup pintu kamarnya sambil menarik
napas panjang. Dia yakin kalau di bawah pohon itu tadi ada seseorang yang
berdiri sambil memandang ke kamarnya.
Kini pikiran Rangga beralih pada Ki Lintuk. Kedatangannya ke kamar ini tentu
bukan hanya untuk membawakan arak.
Pasti ada sesuatu yang hendak diketahui, atau.... Ah! Rangga segera menggeleng-
gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin
cepat-cepat membuat dugaan-dugaan. Meskipun sepanjang siang tadi dia mendapatkan
beberapa keanehan dan
kejanggalan, tapi semuanya berusaha disimpannya dalam hati.
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang telah terjadi di tanah kelahiranku ini,"
gumam Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya ke luar melalui jendela.
Kemudian ia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara untuk mencoba mengetahui keadaan
sekelilingnya. Kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Tapi sampai lama dia
berbuat begitu, tidak mendengar satu suara pun yang mencurigakan.
"Siapa sebenarnya orang itu" Apa maksudnya mengintaiku?" tanya Rangga dalam hati.
*** Pagi-pagi sekali Rangga sudah bangun. Setelah merapikan diri sebentar, dia
segera ke luar kamar. Langkahnya tegap menyusuri lorong-lorong rumah penginapan
yang besar itu. Di depan pintu keluar dia berpapasan dengan Ki Lintuk. Laki-laki
tua itu tampak menganggukkan kepalanya. Sedangkan
Rangga pun membalasnya dengan anggukan pula
Setelah berbasa-basi sebentar, Rangga kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini dia sengaja tidak membawa kuda.
Pendekar Rajawali Sakti itu bermaksud ingin mengetahui lebih banyak tentang tanah kelahirannya. Di samping ingin tahu,
kalau-kalau di Kadipaten Karang Serra ini terdapat sanak keluarganya yang masih
hidup. "Hm, ada apa orang banyak berkumpul di depan pintu gerbang istana kadipaten?"
tanya Rangga dalam hati ketika dia melihat sekumpulan orang yang tidak jauh di
hadapannya. Didorong rasa penasarannya. Pendekar Rajawali Sakti itu segera menghampiri
tempat itu. Tampak pintu gerbang istana
kadipaten tertutup rapat. Ada sekitar empat orang penjaga di depan pintu. Satu
orang lagi duduk menghadapi meja.
"Ada apa di sini, Pak?" tanya Rangga pada seorang laki-laki setengah baya yang
berada di sampingnya.
"Pendaftaran untuk pertandingan," sahut laki-laki tua itu singkat.
"Pertandingan apa?" tanya Rangga penasaran.
"Ketangkasan macam-macam. Gusti Adipati sedang memilih panglima perang dengan
cara mengadakan perlombaan
ketangkasan. Yang dipilih, diutamakan yang memiliki kuda dan ilmu olah
kanuragan. Nanti siapa yang paling unggul, akan diangkat menjadi panglima
perang." Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali
melangkah dan meninggalkan kerumunan orang banyak itu.
Namun baru beberapa saat dia melangkah, keningnya
mendadak berkerenyut ketika melihat seseorang sedang berdiri di bawah pohon
sambil memandang ke arahnya. Dan tiba-tiba saja....
"Heh!" Rangga tersentak ketika menyadari bahwa orang itu telah menghilang dari
pandangannya. Untung saja matanya yang tajam dan sudah terlatih baik itu, dapat melihat ke
mana arah kelebatan orang itu. Maka tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera
melesat cepat dan mengejar. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, sehingga dalam waktu singkat saja tubuhnya sudah hilang dari
pandangan. Dengan sekuat tenaga Rangga mengempos tenaganya.
Matanya tidak berkedip memandang ke arah bayangan yang berkelebatan cepat di
depannya. Mendadak Pendekar Rajawali Sakti itu tampak berkerenyut keningnya.
Telinganya yang tajam mendengar suara desiran angin halus dari arah
belakang. Tampak sebuah bayangan lagi bergerak cepat mengikutinya dari belakang.
"Ugh! Apa maksud semua ini" Kenapa ada dua orang yang mengintaiku" Apakah ini
bukan jebakan...?" Rangga bergelut sendiri dengan hatinya.
Maka dengan mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Rangga segera
melentingkan tubuhnya ke atas, kemudian menyembunyikan diri di kerimbunan
pepohonan yang tinggi. Sedangkan matanya terus mengamati dua
bayangan yang kini saling berkejaran. Tampak orang yang berada di depan langsung
menerobos celah bebatuan dan menghilang di sana. Sedangkan yang seorang lagi
tampak kebingungan. Dia berdiri tepat di bawah Rangga bersembunyi.
"Hm..., dia adalah laki laki yang kemarin kutemui di kedai Ki Lintuk," gumam
Rangga dalam liati.
Memang benar, laki laki yang mengejai Pendekar Rajawali Sakti itu adalah Singo
Lodoya. Seorang pengawal khusus kadipaten yang sangat berpengaruh dan paling
dekat dengan Adipati Karang Setra. Boleh dikatakan, Singo Lodoya adalah tangan
kanan adipati. "Edan! Keparat...! Ke mana perginya?" umpat Singo Lodoya sambil celingukan
mencari-cari. Sementara Rangga yang berada tepat di atasnya terus memperhatikan gerak-
geriknya. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar sempurna sekali.
Tidak sembarang orang bisa mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah
mengerahkannya. Dan kalau Singo Lodoya sampai tidak mengetahui, itu menandakan
bahwa tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Di
atas pohon, Rangga tampak tersenyum memperhatikan Singo
Lodoya bersungut-sungut sambil berlalu pergi.
Kini perhatian Rangga beralih pada bebatuan yang
berserakan dan membukit tidak jauh di hadapannya. Tampak
bibirnya yang tipis semakin lebar tersenyum saat melihat sebentuk tubuh ramping
yang mengenakan baju merah muda sedang berlindung di balik sebuah batu besar.
Dilihat dari pakaian dan rambutnya yang panjang terkepang, sudah dapat
dipastikan bahwa dia adalah seorang perempuan. Kemudian pandangan Rangga kembali
beralih pada Singo Lodoya yang sudah jauh meninggalkan tempat itu. Dari
tempatnya, hanya titik hijau saja yang terlihat
Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya. Setelah tiga kali dia
bersalto di udara, lalu dengan ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya menjejak tanah yang berbatu di belakang orang yang berlindung di balik
batu besar itu.
"Ehm-ehm!" Rangga mendehem.
"Oh!" seketika orang itu tersentak. Dia langsung memutar tubuhnya berbalik.
Rangga sendiri tampak kaget juga ketika melihat siapa orang yang kini ada di
depannya. Tampak seorang wanita yang berwajah cantik dan kulit putih mulus
sedang menatapnya dengan terheran-heran
Hup!" "Siapa kau" Kenapa mengikutiku?" tanya Rangga.
"Aku Retna Nawangsih," sahut
wanita itu segera
mengenalkan diri.
"Kenapa mengikutiku?" tanya Rangga lagi
"Aku hanya ingin tahu dari mana kau peroleh kuda hitam itu?"
Tentu saja Rangga tersentak kaget. Dia sama sekali tidak mengerti dengan jawaban
wanita yang mengaku bernama Retna Nawangsih itu.
"Kenapa kau tanyakan hal itu," tanya Rangga.
"Kuda itu bukan kuda sembarangan. Aku tahu siapa pemiliknya yang syah."
Rangga semakin diliputi kebingungan. Dia mendapatkan kuda itu dari seorang anak
laki-laki di Desa Watu A mpar. Dan menurut penuturannya, kuda itu adalah milik
kakaknya. Rangga sendiri tidak tahu, siapa nama kakak anak itu. Apakah wanita ini kakaknya
Kajar" Seorang anak kecil yang sudah pandai dalam ilmu pengobatan. (Baca serial
Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Asmara Maut).
"Kuda itu memang bukan milikku, aku hanya meminjamnya dari seseorang," Rangga
mengakui terus terang. "Apakah kau kakaknya Kajar?"
"Kajar..." Aku tidak kenal dengan nama itu!"
"Lho...! Lantas, dari mana kau tahu perihal kuda itu?"
Rangga jadi bertambah heran.
"Dari guruku. Dan aku ditugaskan untuk membawa kuda itu pada guru untuk
diperiksa keasliannya "
"Siapa nama gurumu?"
"Bibi Guru Dewi Purmita Beliau melihatmu saat kau memasuki pintu gerbang
kadipaten. Dan aku ditugaskan untuk menyelidikimu serta membawa kuda itu
kepadanya," sahut Retna Nawangsih juga terus terang.
"Memangnya ada apa dengan kudaku?" tanya Rangga masih kebingungan.
"Jangan tanya padaku. Kalau kau bukan pencuri kuda, sebaiknya ikut saja denganku
untuk menemui Bibi Guru Dewi Purmita. Hm..., di mana sekarang kudamu?"
"Di istal penginapan."
"Sebaiknya cepat kau ambil kuda itu sebelum keduluan Singo Lodoya atau siapa
saja yang sudah mengetahuinya. "
"Heh! Kau tidak sedang mempermainkan aku, kan?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Tadi Singo Lodoya juga mengejarmu, aku
khawatir dia mengambil kesempatan untuk membawa kabur kuda itu!"
Rangga baru mau membuka mulut, tetapi tidak jadi karena Retna Nawangsih telah
melesat cepat dan kembali ke arah Kadipaten Karang Setra. Mau tidak vmau Rangga
segera mengikuti. Kini makin bertumpuk saja beban pikiran yang memenuhi benak
Pendekar Rajawali .Sakti itu. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat
terjawab. Padahal baru kemarin dia datang ke kadipaten ini, tapi semua yang
ditemuinya telah membuat kepalanya terasa mau pecah.
Ki Lintuk tampak berlari-lari ke luar dari dalam kedai ketika melihat Rangga
datang bersama seorang gadis cantik. Napas Ki Lintuk agak tersengal. Dia
membungkukkan badan
beberapa kali di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tentu saja hal itu membuat
Rangga jadi terbengong-bengong keheranan.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.
"Maafkan, Tuan. Ampunilah saya, Tuan...," kata Ki Lintuk tetap membungkuk.
"Lho, ada apa ini" Kenapa tiba-tiba minta maaf segala?"
"Para pembantu hamba tidak bisa berbuat apa-apa, Tuan.
Kuda itu mengamuk dan lari dari kandang. Maafkan
kelalaianku, Tuan."
Rangga jadi terdiam seketika. Dia hanya bisa memandang pada Ki Lintuk dengan
berbagai macam perasaan. Untuk beberapa lamanya mereka hanya saling berdiam
diri. "Kenapa kuda itu sampai mengamuk, Ki?" tanya Retna Nawangsih.
"Ada orang yang berusaha mengambilnya. Seorang pembantuku sampai tewas karena
berusaha mencegah orang itu," sahut Ki Lintuk
"Siapa orang itu?" kejar Rangga.
"Saya tidak tahu, dia langsung lari mengejar kudamu, Tuan."
"Ke mana larinya?"
"Ke sana," Ki Lintuk menunjuk ke arah Utara.
"Ayo kita kejar, barangkali dia belum begitu jauh," ajak Retna Nawangsih.
Maka tanpa banyak bicara lagi, Rangga dan Retna
Nawangsih segera melesat cepat ke arah yang ditunjuk oleh Ki Untuk. Dalam
sekejap mata saja bayangan ke dua orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Ki Untuk masih saja berdiri memandang ke arah mereka pergi. Dia sampai
tidak menyadari kalau ada seseorang yang ke luar dari dalam kedai dan
menghampirinya.
"Oh, Gusti Singo Lodoya," Ki Lintuk kaget. Buru-buru dia membungkuk memberi
hormat. "Bagus! Kau telah membantu pemerintah kadipaten. Gusti Adipati Wira Permadi
pasti berkenan memberi hadiah
padamu," kata Singo Lodoya.
"Terima kasih, Gusti. Tapi rasanya hamba tidak patut untuk menerimanya.
Hamba...."
"Tidak perlu banyak alasan, Ki Lintuk. Besok akan ada utusan yang datang membawa
hadiah untukmu. Dan yang terpenting sekarang ini, kau harus bisa menyelidiki
siapa dia sebenarnya. Kalau dia hanya seorang pencuri kuda, biar para prajuritku
yang membereskannya! Tapi kalau dugaan Gusti Adipati Wha Permadi benar, maka dia
harus berhadapan dengan pengawal-pengawal khusus Gusti Adipati."
"Oh, Gusti.... Jadi..., jadi Gusti Adipati sudah tahu...?"
bergetar seluruh tubuh Ki Lintuk.
"Bukan hanya tahu, tapi juga memerintahkan padaku untuk menyelidiki siapa
sebenarnya pemuda itu. Dan kau harus membantu kelancaran tugasku. Bersikaplah
yang wajar, dan jangan melakukan tindakan tindakan bodoh yang bisa
membuatnya curiga."
"Hamba akan laksanakan, Gusti...."
Setelah Singo Lodoya menepuk pundak laki-laki tua itu beberapa kali. kcmrdian
dia mengambil dua pundi uang dari balik sabuk pinggangnya.
"Hadiah khusus dariku Jangan ditolak!" kata Singo Lodoya sambil menyerahkan
kedua pundi itu.
"Terima kasih, Gusti," ucap Ki Lintuk seraya membungkuk beberapa kali.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba Singo Lodoya tertawa keras.
Ki Lintuk masih saja membungkukkan badannya sampai
Singo Lodoya jauh meninggalkannya. Suara tawa pengawal khusus Adipati Karang
Setra itu masih terus terdengar dan menggema keras. Tak lama kemudian, Ki Lintuk
mengamati dua pundi uang yang ada di tangannya. Mendadak wajahnya berubah merah,
dan terdengar suara geraman halus dengan rahang bergemeletuk.
"Huh! Aku tidak butuh hadiahmu. Hih!"
Ki Lintuk segera melemparkan dua pundi itu jauh-jauh.
Sungguh di luar dugaan, dua pundi uang itu melayang deras dan jauh melewati
beberapa rumah penduduk. Kedua benda itu terus meluncur deras menuju Hutan
Wiliyang yang jadi perbatasan bagian Selatan Kadipaten Karang Setra.
Pundi-pundi uang itu langsung lenyap oleh lebatnya hutan Ki Lintuk masih saja
berdiri tegak sambil memandang ke arah
Selatan. Tampak gerahamnya terus bergemeletukan, dan wajahnya merah membara.
Sedang otot-ototnya bersembulan ke luar, pertanda bahwa dia sedang menahan
sesuatu yang sulit untuk dikendalikan lagi.
"Keparat...!"
*** Di halaman samping istana kadipaten, tampak Si-ngo
Lodoya berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki muda yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun. Laki-laki muda itu mengenakan pakaian indah yang terbuat
dari bahan sutra halus dan bersulamkan benang-benang emas. Tampak
beberapa prajurit yang bersenjata tombak dan pedang berbaris rapi dengan sikap
penuh hormat. "Silakan, Gusti Adipati," kata Singo Lodoya mempersilakan laki-laki muda itu
masuk ke dalam istal.
"Aku ingin kuda itu segera dikeluarkan saja," kata pemuda itu.


Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Singo Lodoya pun segera memerintahkan pada
seorang prajurit untuk mengeluarkan kuda yang diambilnya dari istal Ki Lintuk
dengan cara licik. Prajurit yang diperintah itu segera masuk ke dalam istal. Dan
tidak lama kemudian dia sudah ke luar lagi sambil menuntun seekor kuda hitam.
Jelas sekali kalau kuda hitam itu adalah milik Rangga si Pendekar Rajawali Sakti
"Bagaimana, Gusti Adipati Wira Permadi?" dengan wajah bangga Singo Lodoya segera
memperlakan pemuda yang
ternyata Adipati Karang Setra, untuk memeriksa kuda hitam itu
Sejenak Adipati Karang Setra hanya berdiri sambii
mengamati kuda itu. Kemudian kepalanya menoleh pada seorang laki-laki tua yang
mengenakan jubah kuning gading dan berkepala gundul. Sedangkan kumis dan
janggutnya tampak lebat hingga menutupi mulutnya yang tipis. Matanya merah tajam, dan di
tangannya selalu tergenggam untaian batu mutiara yang ber-bentuk kalung.
"Memang mirip sekali dengan kuda tunggangan Gusti Adipati Arya Permadi, Gusti,"
kata laki-laki berpakaian pendeta itu berpendapat.
"Kuda bisa saja sama, Paman Pendeta. Aku ingin kepastian, apakah kuda ini benar-
benar kuda Dewa Bayu...," dengus Adipati Wira Permadi.
"Ada satu tanda yang tidak dimiliki oleh kuda-kuda lain di mana pun juga. Tanda
itu berbentuk segi-tiga dengan beberapa lingkaran yang ada di tengahnya. Tanda
itu berada di bagian kanan dari paha belakang," kata pendeta yang bernama
Pendeta Gurusi-nga itu.
"Benar, Gusti Adipati," sergah seorang lagi yang memiliki tubuh gemuk dan pendek
bagai bola. Kepalanya yang kecil, botak di tengah-tengahnya. Laki-laki cebol itu
dikenal dengan sebutan si Cebol Tangan Baja. "Kuda Dewa Bayu tidak ada
bandingannya di dunia ini. Dia bisa berlari secepat angin. Kaki-kakinya yang
kuat bagai baja, bisa menghancurkan batu sebesar kerbau. Kuda Dewa Bayu adalah
tunggangan Dewa yang dipersembahkan kepada Gusti Adipati Arya Permadi, Ayahanda
Gusti sendiri. Jadi Gusti Adipati sudah sepantasnya menjadi pewaris utama kuda
Dewa Bayu ini."
"Hm.... Singo Lodoya Coba periksa kuda itu, apakah benar ada tanda yang
disebutkan oleh Paman Pendeta Gurusinga!"
perintah Adipati Wira Permadi.
"Hamba, Gusti."
Singo Lodoya pun segera memeriksa bagian paha kaki
belakang sebelah kanan dari kuda hitam itu. Mendadak matanya membeliak lebar,
lalu tubuhnya bergetar habat bagaikan tersengat ribuan lebah berbisa. Sedetik
kemudian, tiba-tiba muncul seberkas cahaya keemasan yang memancar dari tanda itu.
"Akh!" Singo Lodoya terpekik tertahan. Tubuhnya mental beberapa batang tombak ke
belakang. Kejadian itu sangat singkat, hingga menggegerkan semua orang yang ada di halaman
samping istana kadipaten itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak kuda itu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
"Awas, Gusti...!" teriak Pendeta Gurusinga.
Secepat kilat pendeta kurus itu melompat dan menerkam Adipati Wira Permadi.
Kontan saja mereka jatuh bergulingan di tanah Dan tepat pada saat itu, kaki kuda
hitam itu menjejak tanah di mana adipati tadi berdiri. Semua mulut orang yang
menyaksikan tampak ternganga lebar. Tanah bekas injakan kaki kuda itu langsung
berlubang besar dan dalam.
"Jangan...!" seru Pendeta Gurusinga ketika melihat para prajurit sudah mengepung
kuda hitam itu dengan senjata terhunus. "Menyingkirlah kalian semua"
"Luar biasa...," desah Adipati Wira Permadi sam bil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sementara kuda hitam itu tampak mendengus-de-ngus
sambil menghentak-hentakkan kaki depannya. Pelan-pelan Pendeta Gurusinga
mendekati kuda itu Kemudian tangannya menjulur untuk mengambil tali kekangnya.
Aneh...! Kuda hitam itu langsung diam setelah pendeta itu berhasil memegang tali
kekangnya. Pendeta Gurusinga segera
membawanya kembali masuk ke dalam istal. Tidak lama kemudian dia sudah muncul
lagi dengan bibir tersenyum-senyum.
"Kuda itu memang kuda Dewa Bayu," kata Pendeta Gurusinga seperti bergumam.
"Ya, sungguh luar biasa," desah Adipati Wira Permadi kagum.
"Beruntung sekali kalau Gusti Adipati bisa menguasainya,"
sambung si Cebol Tangan Baja.
"Harus! Aku harus bisa menguasainya!"
*** 3 Rangga tampak sedang duduk merenung di dalam kamar
penginapannya. Saat itu malam sudah larut menyelimuti permukaan bumi Kadipaten
Karang Setra. Peristiwa-peristiwa yang dialaminya sejak dia datang ke kadipaten
ini, membuatnya jadi semakin tidak mengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu sangat
menyesal dengan hilangnya kuda hitam tunggangannya. Sementara arah yang ditunjuk
oleh Ki Lintuk juga dirasakan kurang benar. Seharian dia telah mencari kudanya
di tempat yang ditunjuk oleh Ki Lintuk. Tapi sampai sore tidak juga ditemukan
"Aku tidak peraya kalau Ki Lintuk sampai mendustaiku,"
bisik Rangga dalam hati. "Tapi..., rasanya tidak mungkin kalau seorang pencuri
kuda sampai masuk ke dalam wilayah yang berlembah dan berbukit batu itu. Hm...."
Rangga segera mengangkat kepalanya saat pintu kamar diketuk dari luar. Sejenak
dia berpikir lalu dipandanginya pintu kamarnya yang masih tertutup rapat itu.
"Masuk!" seru Rangga.
Kemudian pintu terkuak pelahan-lahan. Dan muncul ah seorang perempuan tua dengan
sikap yang penuh hormat dan agak
takut-takut. Rangga segera bangkit dan mempersilakannya untuk masuk. Perempuan tua itu pun segera melangkah masuk
setelah menutup kembali pintu kamar. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di
dekat pintu. "Ada perlu denganku, Nyi Lintuk?" tanya Rangga sopan.
"Aku..., aku hanya ingin minta maaf," sahut Nyi Lintuk pelan dan bergetar
suaranya. "Minta maaf" Rasanya kau tidak pernah berbuat kesalahan padaku."
"Benar, Tuan. Tapi suamiku...."
"Kenapa suamimu?" kening Rangga berkerut dalam.
"Suamiku tertekan, Tuan. Dan dia terpaksa melakukannya."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi. Coba jelaskan lebih terang lagi."
"Suamiku telah berdusta padamu tadi siang, Tuan.
Maafkanlah dia. Semua itu dilakukannya dengan terpaksa karena diancam...," suara
Nyi Lintuk terputus. Tampak air matanya mulai mengalir membasahi pipinya yang
sudah keriput. Sejenak Rangga terdiam. Dia sudah mengerti arah
pembicaraan perempuan tua itu. Dia memang sudah merasa kalau Ki Lintuk mungkin
mendustainya dengan menunjukkan arah yang salah. Juga tidak ada pencuri kuda,
dan tak ada seorang
pun pembantunya yang tewas karena mempertahankan kuda hitam itu. Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-
dalam. "Siapa yang telah mengancam suamimu?" tanya Rangga.
"Singo Lodoya," sahut Nyi Lintuk pelan dan bergetar.
"Siapa dia?"
"Orang kepercayaan Gusti Adipati Wira Permadi "
Rangga tersentak mendengar nama adipati di Karang Setra ini. Apakah dia tidak
salah mendengar, bahwa Adipati Karang Setra yang sekarang bernama Wira Permadi"
Rangga tidak mengerti, kenapa nama belakangnya bisa sama. Setahunya, putra
Adipati Karang Setra hanya satu, yaitu dirinya sendiri.
Tapi.... Rangga tidak jadi melanjutkan jalan pikirannya. Pada saat itu mendadak
telinganya mendengar suara halus di atas atap.
"Hup!"
Sekali genjot saja, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluncur deras ke
atas. Tampak mulut Nyi Lintuk
ternganga menyaksikan atap kamar itu jebol bersamaan dengan meluncurnya Rangga
ke luar dari atap!
"Hey! Siapa kau...?" seru Rangga begitu kakinya mendarat di atas atap.
Saat itu juga satu bayangan tersebut berkelebat cepat turun ke bawah. Rangga
tidak membuang-buang waktu lagi, dengan cepat dia meluncur ke bawah dan mengejar
bayangan itu. Tapi belum juga kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba secercah
cahaya berwarna keperakan meluncur deras ke arahnya.
"Uts!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya kembali dan
berputaran beberapa kali di udara. Untunglah dia dapat menghindari serbuan
senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh bayangan itu. Matanya yang tajam
masih sempat melihat bayangan itu berkelebat cepat dan menyelinap dari rumah
yang satu ke rumah lainnya yang padat di sepanjang jalan utama kadipaten ini.
"Huh! Sial...!" dengus Rangga.
Kini bayangan itu sudah lenyap dan tak berbekas lagi.
Tidak mungkin baginya untuk mengejar lagi. Senjata-senjata rahasia yang
dilepaskan membuatnya sedikit repot. Dan Rangga hanya bisa berdiri tegak sambil
mengamati keadaan sekitarnya yang gelap gulita. Tak tampak seorang pun di
sekitar tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menoleh ketika
mendengar suara langkah-langkah kaki menghampirinya.
Tampak Ki Lintuk dan istrinya serta Retna Na-wangsih sedang berjalan cepat
menghampirinya. Di belakang mereka juga berjalan tiga orang lagi. Rangga tidak
kenal dengan tiga orang itu. Tapi sepertinya dia pernah melihat mereka.
"Ada apa, Tuan?" tanya Ki Lintuk setelah dekat.
"Tidak ada apa-apa. Mungkin cuma mau mencuri di kamarku saja," sahut Rangga
menenangkan. Namun pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu tajam pada Ki Lintuk. Sedang yang
ditatapnya hanya menundukkan kepalanya saja. Mungkin orang tua itu merasa kalau
dia punya kesalahan pada pemuda itu. Beberapa saat kemudian Rangga mengayunkan
langkahnya kembali menuju rumah penginapan.
Sementara Ki Lintuk, Nyi Lintuk, Retna Nawangsih dan tiga orang lainnya bergegas
mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti itu. Sementara malam terus merayap
semakin larut. Kesunyian menyelimuti seluruh persada bumi Kadipaten Karang Setra.
*** Rangga bisa memaklumi keadaan Ki Lintuk sehingga dia
terpaksa membohongi Rangga siang tadi. Semua itu dilakukan Ki Lintuk untuk
keselamatan putranya. Putra satu-satunya itu kini meringkuk di dalam penjara
kadipaten dengan tuduhan telah merencanakan makar pada adipati.
Sebenarnya bukan hanya putra Ki Lintuk saja yang ditahan dengan tuduhan makar,
tapi juga puluhan pemuda yang dicurigai telah berkomplot dengannya. Dan kini
Rangga sudah tahu kalau kudanya dicuri dengan cara yang licik oleh Singo Lodoya.
Hanya dia tidak bisa menduga maksud dari perbuatan Singo Lodoya itu. Sedangkan
Ki Lintuk sendiri hanya bisa menduga, bahwa kuda itu akan dipakai Adipati Wira
Permadi dalam pertandingan tahunan yang akan diadakan untuk mencari seorang
panglima perang.
"Rasanya tidak mungkin kalau Adipati Wira Permadi menyuruh menculik kudaku hanya
untuk dipakai dalam
pertandingan pacu," kata Rangga bergumam.
"Mereka sudah tahu kalau kuda itu bukanlah kuda biasa, tapi kuda tunggangan dewa
yang dipersembahkan pada Gusti
Arya Permadi karena jasanya yang telah menyelamatkan kehancuran di Gunung
Kahyangan," kata Ki Lintuk Rangga
menatap tajam pada laki-laki tua itu. Pandangannya kemudian beralih pada Nyi Lintuk, Retna Nawangsih dan tiga orang
lainnya yang sudah berada di ruangan depan rumah milik Ki Lintuk. Rangga benar-
benar tidak tahu kalau kuda hitam itu adalah milik ayahnya, dan ini berarti
hanya dialah satu-satunya yang berhak untuk mewarisi kuda itu.
"Kuda itu hanya bisa diperintah oleh Gusti Adipati Arya Permadi dan keturunannya
yang syah, dan orang-orang yang berhati mulia serta disenangi oleh kuda Dewa
Bayu itu. Tapi sayang Gusti Rangga...," Ki Lintuk tidak melanjutkan lagi kata-
katanya. Tampak semua mata memandang pada Rangga dengan
tatapan yang sulit untuk diartikan. Lebih-lebih Ki Lintuk yang telah menduga,
bahwa pemuda itu adalah putra adipati yang telah hilang dua puluh tahun yang
lalu. Dugaan itu datang pertama kali dari Nyi Lintuk ketika Rangga memesan
makanan yang dirasakan aneh, juga pada Bayan Sudira di mana Rangga juga
menanyakan burung yang dilarang dijual oleh adipati yang sekarang. Hal serupa
itu dialami juga oleh Batara Yoga yang sehari-hari kerjanya sebagai penjual
kain. Dugaan mereka semakin kuat setelah mengetahui bahwa nama pemuda itu sama dengan
nama putra adipati yang hilang.
Perawakan Rangga yang tidak seperti orang
kebanyakan makin menambah tebal keyakinan mereka. Dan hal itu sangat disadari
oleh Pendekar Rajawali Sakti, tapi dia tidak ingin dirinya yang sebenarnya
diketahui dengan cepat.
Keadaan dan beberapa peristiwa yang telah dialaminya sejak datang ke kadipaten
ini membuatnya untuk lebih berhati-hati.
"Namamu sangat mirip sekali dengan putra Gusti Adipati Arya Permadi," gumam
Bayan Sudira. "Mungkin hanya kebetulan saja, Paman. Banyak nama yang sama di dunia ini,"
sanggah Rangga.
"Ah...! Gusti Rangga cilik dulu juga memanggilku begitu!"
sentak Bayan Sudira terperangah.
Rangga sendiri kontan melongo. Dia telah keterlepasan bicara. Dan seketika itu
juga dia bisa mengenali wajah Bayan Sudira, juga Batara Yoga dan Raka-tala.
Merekalah yang dulu telah memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan Rangga
memang selalu memanggilnya dengan sebutan
Paman. Waktu dua puluh tahun bukanlah sebentar. Apalagi pada waktu itu Rangga
masih berusia sekitar lima tahun.
Tidak heran kalau semula dia tidak mengenali lagi siapa orang-orang yang kini
ada di hadapannya.
"Maaf, tidak seharusnya aku memanggil begitu," kata Rangga buru-buru.
"Tidak mengapa, Anak Muda. Memang seharusnya kau menyebutku begitu," sahut Bayan
Sudira tersenyum.
"Dan sebaiknya kau juga memanggil kami dengan sebutan itu," sambung Batara Yoga.
"Aku seperti melihat momonganku kembali dalam dirimu, Anak Muda," kata Rakatala
seolah bergumam. Sejak tadi dia selalu memperhatikan wajah Rangga. "Sejak
pertama aku bertemu denganmu, perasaan itu sudah ada di hatiku.
Mungkin yang lain juga merasakan hal yang sama."
"Ya, seandainya Gusti Rangga masih hidup, tentu akan setampan dan segagahmu,"
sambung Bayan Sudira.
"Kami semua selalu berharap dan berdoa agar Gusti Rangga masih hidup dan bisa
berkumpul lagi bersama kami, menjadi pemimpin dan junjungan kami di masa-masa
yang akan datang," kata Ki Untuk menambahkan.
"Rasanya tidak mungkin. Seorang anak yang berumur lima tahun menghilang selama
dua puluh tahun tanpa ketahuan
jejaknya, lebih-lebih di Bukit Cubung yang terkenal angker...,"
sergah Rangga mencoba memancing perasaan mereka semua.
"Kenapa tidak mungkin" Tuhan maha mengetahui dan maha bijaksana. Apa yang tidak
mungkin bagi manusia, sangat mungkin bagi-Nya," sahut Bayan Sudira seperti
mengingatkan. "Apakah kalian sudah mencoba untuk mencarinya?" selidik Rangga.
"Sejak kami mendapat berita bahwa rombongan Gusti Adipati dibegal, kami semua
langsung berusaha untuk mencari. Namun usaha kami tersebut sia-sia belaka, yang
kami temukan hanya berupa mayat-mayat para prajurit serta mayat Gusti Adipati


Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan istrinya. Dan kami tidak menemukan jejak sedikit pun tentang keberadaan
Gusti Rangga Bahkan sampai saat ini kami selalu menyebar telik sandi untuk
mencari berita tentang junjungan kami itu," Batara Yoga menerangkan.
"Sudah ada tanda-tanda?" tanya Rangga lagi
"Sampai saat ini belum, dan kami menduga bahwa Gusti Rangga telah terlempar ke
dalam jurang Lembah Bangkai.
Itulah yang sangat kami takutkan," sahut Ki Lintuk.
"Kenapa?"
"Selama ini tak seorang pun yang bisa ke luar dalam keadaan hidup bila sudah
sampai terjerumus ke dalam jurang itu," sahut Ki Lintuk lagi.
"Aku tahu di mana Lembah Bangkai," gumam Rangga tanpa sadar.
"Kau tahu..."!" Ki Lintuk terkejut.
"Oh, iya. Iya, Ki. Aku kan seorang pengembara, tentu sudah menjelajahi sampai ke
pelosok mayapada ini," suara Rangga agak tergagap
Semua orang yang ada di ruangan itu mengangguk-
anggukkan kepalanya. Alasan Rangga memang tepat dan dapat diterima. Hanya Bayan
Sudira dan Kakatala yang kelihatannya lain. Kedua laki-laki setengah baya itu
selalu memandang tajam penuh selidik pada Rangga. Sepertinya mereka telah
menemukan sesuatu dari diri Pendekar Rajawali Sakti ini.
*** Rasa tidak puas yang makin mendalam pada diri Bayan
Sudira dan Rakatala, membuat kedua orang itu mendatangi kamar Rangga pada
keesokan harinya. Dan Rangga pun
segera menerima mereka dengan tangan terbuka dan senyum mengembang di bibir.
"Apakah ada sesuatu yang begitu penting sehingga Paman berdua mengunjungiku
pagi-pagi begini?" tanya Rangga sopan
"Benar, Anak Muda," sahut Bayan Sudira.
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Terus terang, kami berdua telah merasakan bahwa kau menyembunyikan sesuatu,"
kata Rakatala langsung.
"Oh...!" Rangga kaget mendengarnya.
"Aku tahu kalau kau adalah seorang pendekar, bolehkah aku tahu nama julukanmu?"
tanya Bayan Sudira.
"Apakah hal itu perlu?" Rangga balik bertanya.
"Aku juga pernah menjadi pengembara sepertimu. Dan nama julukanku adalah
Pendekar Jari Maut. Kini aku sudah tinggalkan dunia kependekaran dan mengabdi
penuh pada Gusti
Adipati Arya Permadi, karena beliau telah menyelamatkan nyawaku dari keganasan si Setan Racun Hitam," kata Bayan Sudira
lagi. "Nama julukan bagi seorang pendekar pengembara memang sangat diperlukan, dan
tampaknya hal itu sudah
menjadi semacam keharusan bagi orang yang berkecimpung di dalam dunia
persilatan. Aku tidak percaya kalau kau tidak memilikinya," sambung Rakatala.
"Kau punya nama julukan, bukan?" desak Bayan Sudira
"Ya," desah Rangga terpojok
"Apa nama julukanmu?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti...," hampir bersamaan Bayan Sudira dan Rakatala
menggumamkan nama itu.
Beberapa saat keheningan melanda kamar penginapan ini.
Rangga tidak mengerti, kenapa kedua orang itu ingin sekali mengetahui tentang
pribadi dirinya. Kini Rangga jadi khawatir, kalau-kalau dirinya yang sebenarnya
dapat diketahui dengan cepat. Dia memang sudah merencanakan untuk mengatakan
siapa dirinya yang sebenarnya, tapi harus menunggu waktu yang tepat untuk
mengatakan hal itu. Dan saat ini Rangga merasakan belum waktunya untuk membuka
diri. "Ada apa, Paman?" tanya Rangga mau tahu.
"Oh, tidak. Tidak ada apa-apa. Maaf kalau kami telah mengganggumu pagi-pagi
begini," sahut Bayan Sudira.
Sesaat kemudian Bayan Sudira mencolek lengan Rakatala, lalu mereka pun segera
meninggalkan kamar penginapan itu.
Sementara Rangga terus memandangi mereka dengan kepala yang dipenuhi oleh
berbagai macam pikiran. Sikap kedua orang itu sungguh aneh menurutnya.
Belum berapa lama Bayan Sudira dan Rakatala meninggalkan kamar itu, kini muncul lagi Retna Nawangsih.
Pintu kamar yang tidak tertutup membuat gadis itu langsung masuk ke kamar
Sedangkan Rangga masih tetap saja duduk di kursi yang membelakangi jendela.
"Aku lihat tadi Paman Bayan Sudira dan Paman Rakatala keluar
dari sini," kata Retna Nawangsih seraya menghempaskan tubuhnya di kursi di depan Rangga.
"Ya," sahut Rangga singkat.
"Ada apa mereka menemuimu pagi pagi begini?"
"Entahlah, mereka sepertinya mencurigaiku."
"Curiga..." Aku tidak mengerti maksudmu "
Rangga tidak segera menjawab. Dia malah bangkit dari duduknya dan melangkah
pelan ke pintu. Sedangkan Retna Nawangsih pun bergegas bangkit dan ikut ke luar
dari kamar. Setelah menutup kembali pintu kamar penginapannya, mereka kemudian berjalan
pelan-pelan menyusuri lorong rumah penginapan itu.
"Mau ke mana kau, Kakang?" tanya Retna Nawangsih saat mereka sudah berada di
luar dari rumah penginapan.
"Kakang..."!"
Rangga bengong mendengar Retna Nawangsih menyebutnya Kakang.
"Maaf kalau kau keberatan," kata Retna Nawangsih buru-buru. "Aku memang selalu
memanggil begitu pada orang yang lebih tua dariku."
"Oh, tidak. Sama sekali tidak."
Dan mereka terus mengayunkan kaki menyusuri jalan
utama Kadipaten Karang Setra ini. Tak ada yang memulai bicara lagi sampai mereka
berada jauh meninggalkan rumah penginapan Ki Lintuk.
"Retna, bolehkah aku bertanya padamu?" Rangga kembali membuka suara.
"Boleh," sahut Retna Nawangsih.
"Terus terang, sampai saat ini aku belum bisa mengerti dengan keteranganmu
tentang kuda hitamku," kata Rangga hati-hati
"Bukankah aku sudah menjelaskan semua itu padamu?"
"Belum semuanya."
"Apa lagi yang harus aku katakan" Aku ditugaskan oleh guruku untuk membawa kuda
hitam itu, karena...."
"Karena apa?"
"Seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lintuk, bahwa kuda hitam itu bukanlah
seekor kuda sembarangan. Tapi untuk kebenarannya memang harus diperiksa dulu.
Dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengetahui keasliannya,"
Retna Nawangsih kembali menjelaskan.
"Kalau ternyata kuda itu memang kuda Dewa Bayu, lalu apa yang akan kau lakukan?"
tanya Rangga mau tahu.
"Menyerahkannya pada ahli warisnya yang syah.
"Kau tahu siapa?"
"Aku tahu."
"Siapa?"
"Gusti Rangga Pati Permadi."
"Ha ha ha...!" Rangga langsung tertawa tergelak-gelak mendengarnya.
Entah kenapa, dia jadi tergelitik tenggorokannya mendengar jawaban gadis itu.
"Kenapa kau tertawa?" rungut Retna Nawangsih merasa kurang senang.
"Aku berani bertaruh, bahwa umurmu pasti belum genap dua puluh tahun. Mana
mungkin kau bisa mengetahui pewaris tunggal kuda Dewa Bayu" Lagi pula aku pun
yakin, bahwa kau
tidak pernah bertemu dengan Rangga Pati Permadi. Iya, kan?"
kembali Rangga tertawa terbahak-bahak.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 7 Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis Pendekar Panji Sakti 22
^