Pencarian

Asmara Maut 3

Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Bagian 3


penunggang kuda yang diawasinya sejak tadi sudah kelihatan lagi.
"Hiya, hiya...!"
Penunggang kuda yang dikejar Rangga menoleh ke belakang. Tampak sekati katau dia
terkejut. Seketika itu juga dia menggebah kudanya dengan keras. Suara ringkikan
kuda terdengar nyaring. Kuda itu pun semakin cepat larinya.
"Hup, hiyaaa...!"
Rangga melompat dari punggung
kudanya ketika jaraknya sudah demikian dekat dengan penunggang kuda di
depannya. Hanya dengan sekali putaran di udara saja, Pendekar Rajawali Sakti itu
sudah berhasil mencegat. Tangannya langsung menyambar tali kekang kuda itu, dan
menghentikan larinya.
Kuda putih belang hitam itu
meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga
melepaskan pegangannya pada tali kekang kuda itu, ketika penunggangnya melompat
turun dengan cepat. Kuda itu langsung berhenti mendadak.
"Siapa kau" Mau apa kau
menghadangku?"
"Tenang, Pantula. Kau pemah bertemu denganku sekali," sahut Rangga kalem.
Pantula mengamati pemuda di
depannya dengan seksama. Benar! Dia memang pernah bertemu sekali. Ya..., malam
itu, ketika dia bersama ayah dan pamannya berusaha menculik Kajar. Pemuda inilah
yang menolong Kajar.
"O..., rupanya kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., pendekar
tangguh dengan nama besar berlagak seperti perampok jalanan," cibir Pantula.
"Maaf, kalau aku mengganggu
perjalananmu," ucap Rangga tetap ramah.
"Kau memang sudah mengganggu
perjalananku!" dengus Pantula ketus.
"Terpaksa aku lakukan, karena ada hal penting yang harus aku katakan padamu,"
Rangga mulai serius.
"Kau ingin merampokku?" Pantula masih bersikap sinis.
Rangga hanya tersenyum dan
menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Dia bisa memaklumi sikap Pantula yang ketus dan tidak ramah ini. Tentu Ki Japula
sudah menjejalinya dengan
cerita-cerita kosong yang buruk. Sama sekali Rangga tidak menyalahkan Pantula
dengan sikapnya ini.
"Aku hanya ingin mengembalikanmu pada keluargamu," kata Rangga kelem.
"Heh! Apa yang kau katakan..."!"
Pantula mendelik tidak mengerti.
"Nasibmu sama denganku, Pantula.
Hanya aku lebih buruk lagi darimu, dan tak mungkin bisa bertemu lagi dengan
orang yang paling kukasihi," pelan dan ngambang suara Rangga.
"Kau bicara apa, Pendekar Rajawali Sakti?" Pantula kelihatan mulai terpengaruh.
Kegalakannya mulai sirna.
"Temuilah Pamanmu, dia tahu banyak tentang dirimu sesungguhnya. Desak dia agar
mengakui semuanya," kata Rangga.
"Hey, tunggu...!"
Namun Rangga sudah cepat melompat ke punggung kuda hitamnya dan seketika itu
juga kuda hitamnya itu melesat cepat bagaikan angin. Pantula hanya memandangi
dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran. Apakah dia bukan anak Ki Japalu"
Kalau memang benar, lalu siapa orang tuanya"
Pantula tidak jadi meneruskan
perjalanannya ke Desa Halimun untuk menemui saudara seperguruannya. Dia kembali
lagi ke Desa Watu Ampar. Kudanya dipacu cepat bagai kesetanan. Debu mengepul
tinggi ke udara tersepak
kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Pantula terus mengarahkan kudanya
ke rumah. Beberapa penduduk yang berada di sepanjang jalan utama desa itu
langsung menyingkir, takut tertabrak kuda yang dilarikan bagai setan oleh
penunggangnya. Mereka menyumpah serapah merasa terganggu dengan ulah anak kepala
desa itu. "Hooop...!"
Pantula menarik tali kekang kudanya begitu sampai di depan rumahnya.
Bergegas dia melompat turun, dan
langsung berlari menerjang pintu depan rumah itu. Ki Sampar Bayu yang sedang
berada di ruangan depan, terkejut
melihat kedatangan Pantula dengan muka merah padam. Ki Sampar Bayu langsung
beranjak bangun dari kursinya.
"Mana Ayah?" tanya Pantula kasar.
"Pantula, ada apa kau ini?" Ki Sampar Bayu mengerutkan keningnya.
Pantula hanya menggeleng saja, dia langsung mengayunkan kakinya melewati ruangan
depan itu. Ki Sampar Bayu
mengikuti dari belakang. Dia heran melihat sikap Pantula demikian. Pemuda itu
langsung saja menuju ke kamar
peristirahatan ayahnya. Dengan kasar dia membuka pintu kamar itu. Matanya
nyalang merayapi kamar yang kosong tak
berpenghuni. Dia segera berbalik, tapi langkahnya tertahan oleh Ki Sampar Bayu.
"Pantula, ada apa" Kenapa kau marah-marah begini?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Di mana Ayah?" Pantula tidak menggubris pertanyaan pamannya, dia malah balik
bertanya. "Pergi," sahut Ki Sampar Bayu.
"Ke mana?"
"Aku tidak tahu, dia tidak bilang apa-apa padaku."
Pantula menggeretakkan rahangnya.
Matanya yang memerah menatap tajam pada pamannya ini. Kemudian dia melayangkan
pandangannya berkeliling, seolah-olah tidak mempercayai jawaban laki-laki tua
itu. "Ada apa kau, Pantula" Apa yang terjadi?" Ki Sampar Bayu memberondong
pertanyaan-pertanyaan.
Pantula tidak menjawab sedikit pun.
Dia hanya menatap tajam pada laki-laki tua adik ayahnya ini. Ayahnya..."
Benarkah Ki Japalu itu ayahnya" Lalu, apa maksudnya
Pendekar Rajawali Sakti
berkata demikian tadi" Pantula
menghenyakkan tubuhnya di kursi. Dia jadi lemas memikirkan dirinya bukanlah anak
Ki Japalu. Kalau memang dia bukan anaknya Ki Japalu, lalu siapa orang tuanya"
Apakah Ki Sampar Bayu benar pamannya" Pantula memandang laki-laki yang duduk di
depannya dan tengah
memandang dirinya pula.
"Siapa Ayahku sebenarnya, Paman?"
tanya Pantula tajam.
Ki Sampar Bayu tersentak kaget
mendengar pertanyaan itu. Mulutnya langsung terkunci rapat. Pandangannya tajam
menatap lurus ke bola mata pemuda itu. Sungguh dia tidak pernah berpikir kalau
Pantula akan bertanya seperti itu.
"Jawab sejujumya, Ki Sampar Bayu.
Siapa ayahku sebenarnya?" Makin dingin suara Pantula.
"Tentu saja ayahmu Ki Japalu, Kepala Desa Watu Ampar ini. Dan aku pamanmu,
Pantula...," agak tertahan suara Ki Sampar Bayu menjawab.
"Kau tidak berdusta, Ki Sampar Bayu?" Pantula tetap tidak memanggil laki-laki
tua itu dengan sebutan paman lagi.
Ki Sampar Bayu tidak menjawab. Dia jadi kebingungan menjawab pertanyaan pemuda
itu. Entah kenapa, duduknya jadi gelisah, seperti berada di atas bara api yang
siap menghanguskannya.
Ki Sampar Bayu dan Pantula
mengangkat kepalanya secara bersamaan ketika mendengar langkah kaki memasuki
ruangan ini. Tampak Ki Japalu terhenti langkahnya di depan pintu begitu melihat
Pantula dan Ki Sampar Bayu duduk
berhadapan dengan wajah mendung tidak biasanya.
Ki Japalu mengurungkan membuka
suara ketika Ki Sampar Bayu mengerdipkan matanya sebelah kiri. Ki Sampar Bayu
bangkit berdiri dan menghampiri kakaknya yang tetap berdiri di ambang pintu.
Sementara Pantula memandangi dengan mata tidak berkedip. Kedua laki-laki tua itu
berbicara pelan berbisik. Tampak wajah Ki Japalu berubah merah seketika. Dia
menatap Pantula dengan mata sulit
diartikan. *** 7 Keringat mengucur deras membasahi
wajah dan tubuh Pantula. Namun pemuda itu terus saja menggali sebuah makam tanpa
mengenal lelah. Sementara matahari bersinar terik, tepat di atas kepala.
Tidak sedikitpun Pantula menghiraukan sengatan matahari yang amat terik itu.
Dia terus menggali kuburan itu.
"Hey...!"
Pantula seketika berhenti menggali ketika mendengar satu bentakan keras.
Dia mengangkat kepalanya yang basah oleh keringat. Tampak Sarman, Pandan Wangi
dan Kajar berdiri tidak jauh darinya.
Sarman membeliak lebar melihat kuburan yang amat dikenalinya sudah terbongkar
hampir setengah.
"Pantula...! Apa yang kau lakukan di kuburan ibuku?" keras suara Sarman menahan
amarah. Pantula langsung melompat naik.
Sebentar dia memandang Sarman, sebentar kemudian matanya berpindah menatap
lubang kuburan yang sudah tergali cukup dalam. Hampir dia tidak bisa mempercayai
pendengarannya. Matanya beralih menatap sebuah batu nisan bertuliskan sebaris
nama. Tidak! Dia tidak salah memilih makam ini. Tapi....
"Biadab! Binatang kau,
Pantula!" geram Sarman meluapkan amarahnya. "Heh...!"
Pantula tidak bisa lagi berbuat
banyak. Sarman sudah melompat cepat dan langsung menyerangnya dengan sengit.
Terpaksa pemuda itu berkelit berlompatan menghindari serangan-serangan Sarman
yang beruntun dan dahsyat. Namun jelas sekali terlihat kalau Pantula ragu-ragu
melayani Sarman yang hanyut terbawa amarah melihat kuburan ibunya
diacak-acak. "Berhenti!" terdengar suara bentakan tiba-tiba.
Sebuah bayangan biru berkelebat
cepat ke tengah-tengah pertarungan itu.
Duk, duk...! Pantula dan Sarman terpental
beberapa langkah ke belakang. Tampak Pandan Wangi berdiri di tengah-tengah
dengan tangan terentang lebar. Pantula dan Sarman meringis merasakan sesak pada
dadanya, kena dupakan tangan pendekar wanita si Kipas Maut itu.
"Minggir, Pandan! Biar kuhabisi binatang keparat ini!" geram Sarman gusar.
Pandan Wangi tidak mempedulikan
peringatan Sarman. Dia berbalik
menghadap pada Pantula. Sebentar gadis itu mengamati wajah dan tubuh yang kotor
berkeringat kena tanah merah. Pantula juga membalas tatapan itu dengan tajam.
"Kenapa kau merusak pusara itu?"
tanya Pandan Wangi.
"Aku hanya ingin membuktikan, apakah itu benar-benar makam atau
bukan," sahut Pantula sambil melirik Sarman.
"Kau hanya mencari-cari alasan saja, Pantula. Sudah jelas itu makam ibuku!"
sergah Sarman gusar.
Pantula memandang penuh arti dan
segudang tanda tanya pada Sarman.
Pandangannya kemudian berubah-ubah, dari makam yang sudah terbongkar kepada
Sarman secara bergantian. Sepertinya dia ingin meyakinkan kalau itu benar-benar
makam ibunya Sarman. Tapi.... Tidak mungkin, dia tidak salah dengar. Ayahnya
bilang kalau ini makam ibunya yang telah meninggal ketika melahirkannya dulu.
"Pantula, kau tahu itu makam siapa?"
tanya Pandan Wangi.
"Jelas aku tahu!" sahut Pantula.
"Kenapa kau membongkarnya?"
"Aku sudah katakan, kalau hanya ingin membuktikan kalau makam itu benar atau
cuma seonggok tanah diberi batu nisan!" tegas jawaban Pantula.
Pandan Wangi jadi berkernyit juga
keningnya. Dia sudah menduga ada yang tidak beres di antara Pantula dan Sarman,
juga makam ini.
"Pantula, kenapa kau begitu yakin kalau makam ini hanya palsu belaka?"
tanya Pandan Wangi berusaha menjadi penengah yang adil.
"Aku tidak percaya kalau ibuku meninggal karena melahirkanku. Ki Japalu yang
kukenal selama ini sebagai ayahku mengatakan kalau di makam inilah ibuku
beristirahat," sahui Pantula terus terang.
"Dusta!" sentak Sarman berang. "Kau mau coba-coba cari perkara denganku, heh!"
"Tenang, Sarman!" bentak Pandan Wangi kesal melihat sikap Sarman yang sukar
mengendalikan diri.
"Huh!" Sarman mendengus kesal.
"Sejak aku lahir, aku memang tidak pernah me-ngenal wajah ibuku. Dan sejak
usiaku lima tahun, Ayah mengirimku ke Padepokan Wulung. Belum berapa lama aku
berada kembali di Desa Watu Ampar ini.
Terus terang, sebenarnya aku tidak suka dengan sikap dan tindakan Ayah dan Paman
Sampar Bayu, dan aku tidak percaya ketika mereka mengatakan ibuku meninggal dan
dikuburkan di sini," Pantula menjelaskan panjang lebar.
"Kau belum pernah mengunjungi makam ibumu sejak kecil?" tanya Pandan Wangi
semakin yakin adanya ketidakberesan.
"Tidak, dan aku memang tidak pemah menanyakan kenapa Ibu meninggal dan di mana
makamnya" Ayah selalu mengelak kalau aku membicarakan tentang Ibu,"
Pantula mengakui.
"Jangan percaya kata-katanya, Pandan! Dia itu ular," sergah Sarman.
Pandan Wangi menatap Sarman tajam.
Agak dongkol juga gadis itu dengan sikap Sarman yang cepat marah. Sangat jauh
berbeda dengan watak ayahnya yang arif bijaksana dan sabar dalam menghadapi
sesuatu perkara.
"Aku sudah berumur sekitar tiga belas tahun ketika Ibu dikuburkan di sini, jelas
sekali aku melihat," sambung Sarman.
"Kau tidak melihat jenazah ibumu, kan?" selidik Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu...?" Sarman terkejut.
"Ayahmu sendiri," sahut Pandan Wangi. "Hampir semua penduduk Desa Watu Ampar
juga tidak pemah tahu tentang meninggalnya ibumu. Kematian ibumu merupakan
misteri yang tidak terpecahkan sampai sekarang. "
Sarman langsung bungkam. Kata-kata Pandan Wangi memang ada benarnya. Dia sendiri
tidak tahu, bagaimana ibunya meninggal, dan dia juga tidak melihat jenazah
ibunya lagi. Yang dia tahu, banyak orang mengantarkan sampai ke kuburan ini, dan
sebentuk tubuh terbungkus kain putih dimasukkan ke dalam lubang, lalu ditimbuni dengan tanah.
Hanya itu yang diketahui Sarman.
Ayahnya tidak pernah berkata banyak tentang kematian ibunya.
Sejak itu Ki Dandung mengundurkan
diri jadi Kepala Desa Watu Ampar, dan kedudukannya langsung digantikan oleh Ki
Japalu yang mengangkat dirinya sendiri jadi kepala desa dengan persetujuan Ki
Dandung. Dan sejak itu pula kehidupan di Desa Watu Ampar berubah drastis.
Kesengsaraan dan malapetaka silih
berganti tanpa henti. Lebih-lebih
setelah kemunculan seorang tokoh tua sakti yang amat ditakuti membantu Ki Japalu
dalam mengendalikan Desa Watu Ampar ini. Tokoh tua itulah Ki Sampar Bayu.
"Nah, Sarman. Apakah kau ingin tahu, yang dikubur di sini ibumu atau bukan?"
Pandan Wangi menawarkan pilihan.
Sarman tidak segera menjawab.
Kelihatan dari raut wajahnya kalau dia ragu-ragu untuk menentukan pilihan itu.
Bola matanya berputar antara Pandan Wangi, Pantula dan kuburan yang sudah
berlubang besar cukup dalam. Tinggal sedikit lagi, pasti sudah bisa kelihatan
isi makam ini. "Baik, kau boleh meneruskan
pekerjaan, Pantula. Tapi kalau temyata yang dikuburkan benar ibuku, kau harus
mati di tanganku!" kata Sarman mengancam.
Tanpa membuang waktu lagi, Pantula segera melompat masuk ke dalam lubang kuburan
itu. Dia langsung saja menggali kuburan yang sudah sedikit lagi bisa terlihat
isinya. Sementara Sarman


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaksikan dengan mata kosong dan dada bergemuruh.
Pantula menengok ke atas ketika
paculnya membentur dinding kayu. Pandan Wangi menatap Sarman yang menengadahkan
kepalanya ke atas. Perlahan-lahan
Pantula mulai membuka papan-papan yang menutupi dasar kuburan ini. Satu persatu
dia mengangkat papan itu. Tampak
sebentuk tubuh terbungkus kain putih kotor tergolek di dasar makam.
Suara desah dan pekikan terdengar
ketika Pantula membuka kain yang
menyelubungi bentuk tubuh itu. Sarman langsung memejamkan matanya dengan kepala
tengadah ke atas. Sementara Pantula kembali melompat naik ke atas.
Perlahan-lahan tubuh Sarman ambruk berlutut di pinggir kuburan yang
berlubang itu. "Oh..., tidaaak...!" rintih Sarman sambil memukul-mukul tanah merah bekas galian
itu. Pandan Wangi menarik napas panjang.
Dia menatap Sarman dan Pantula
bergantian. Kedua pemuda itu hanya menunduk saja dengan raut wajah sukar
dilukiskan. Betapa tidak..." Bentuk tubuh yang terbungkus kain kafan itu
ternyata hanya seonggok gedebok pisang.
Tidak ada mayat di sana....
"Tidak, oh...! Ibu..." rintih Sarman seperti bocah ditinggalkan pergi ibunya.
Tak ada lagi yang bisa mengeluarkan suara. Sementara Pandan Wangi
mengayunkan langkahnya mendekati Kajar yang hanya berdiri saja agak jauh di
bawah pohon kamboja. Sementara dua pemuda tetap berlutut di pinggir kuburan itu.
Suasana haru meliputi sekitar kuburan itu. Pada saat itu terdengar derap langkah
kuda dari kejauhan.
"Kak! Itu dia yang meminjam kuda kita!" seru Kajar keras sambil menunjuk ke arah
penunggang kuda hitam yang bergerak cepat melintas menuju ke arah Barat.
"Rangga...," desis Pandan Wangi begitu mengenali penunggang kuda hitam itu.
Secepat kilat Pandan Wangi
melenting mengejar penunggang kuda hitam yang diyakininya adalah Rangga.
"Kakang...!"
Sarman dan Pantula yang sedang
dirundung kegalauan, terkejut melihat kejadian yang begitu cepat. Mereka
langsung menoleh ke arah Pandan Wangi yang berlari cepat mengejar kuda hitam
itu. Sementara Kajar berteriak-teriak memanggil sambil berlari.
Pandan Wangi mengerahkan ilmu lari cepat sekuat-kuatnya. Tapi bagaimanapun juga,
kuda hitam yang dikendarai
Pendekar Rajawali Sakti itu lebih cepat lagi. Kuda hitam itu berpacu bagaikan
terbang saja layaknya, sulit untuk dikejar meskipun menggunakan ilmu lari cepat.
Pandan Wangi menghentikan larinya.
Napasnya tersengal-sengal memandangi punggung penunggang kuda hitam yang semakin
jauh meninggalkannya. Sekejap kemudian, bayangan kuda hitam itu sudah tidak
kelihatan lagi. Lenyap ditelan lebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Kak...! Kak Pandan...!" teriak Kajar memanggil dengan suara serak.
Pandan Wangi menoleh, tampak Kajar digendong Sarman yang berlari cepat.
dibuntuti oleh Pantula. Sebentar saja mereka sudah di samping Pandan Wangi.
Mereka semua sama-sama memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat.
"Dia yang memberitahu aku kalau aku bukan anak Ki Japalu," kata Pantula
bergumam. Sarman memandang pada Pantula yang berdiri di sampingnya. Pandan Wangi tidak
mempedulikan, dia tetap memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat.
Pikirannya masih dipenuhi dengan
kemunculan Rangga. Kerinduannya pada pendekar muda itu sudah tidak dapat
tertahan lagi. "Ki Japalu tetap mengakuiku sebagai anaknya, meskipun aku terus bertahan minta
dia berterus-terang," sambung Pantula.
"Dan dia menunjukkan kuburan itu sebagai kuburan ibumu?" tebak Sarman.
"Ya, dan aku tidak mau percaya begitu saja. Aku harus membuktikannya dengan mata
kepalaku sendiri."
"Perbuatan konyol! Kalau memang kuburan itu ada isinya, bagaimana?"
dengus Sarman. Wajah Sarman langsung berubah begitu teringat kembali dengan
kuburan yang berisi gedebok pisang itu.
Sepuluh tahun lebih dia selalu percaya kalau ibunya sudah meninggal, dan itu
adalah pusaranya. Tapi sekarang....
"Aku harus tanyakan ini pada Ayah!
Harus...!" seru Sarman agak tertahan.
Sarman langsung melompat
meninggalkan tempat itu, kembali menuju ke Desa Watu Ampar. Sementara Pandan
Wangi masih tetap berdiri terpaku tidak peduli. Gadis itu baru tersadar saat
tangannya ditarik Kajar.
"Oh...!"
"Kak, mereka mau menemui Ki
Dandung," kata Kajar.
"Mereka..." Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi seperti bermimpi.
"Kakang Sarman dan Kakang Pantula."
"Ah...!"
Pandan Wangi baru tersadar penuh
dengan apa yang baru terjadi. Tapi kebimbangan kembali melanda dirinya.
Sesaat gadis itu menimbang-nimbang, lalu dengan cepat dia menarik tangan Kajar,
dan membawanya kembali ke Desa Watu Ampar.
*** "Ayah...!" seru Sarman begitu menerobos masuk ke dalam rumahnya di belakang
kedai. Ki Dandung yang sedang menyiapkan
minuman untuk tamu di kedainya menoleh.
Dia terkejut melihat Sarman dan Pantula datang bersama-sama. Di belakang mereka
juga ada Pandan Wangi dan Kajar. Pandan Wangi menyuruh Kajar menggantikan tugas
Ki Dandung, kemudian
dia membawa laki-laki tua pemilik kedai itu duduk di kursi. Sarman dan Pantula berdiri saja
membelakangi pintu.
"Aku sudah tahu apa yang akan kalian tuntut dariku. Memang semua ini harus
terjadi, dan aku sudah lama
memperkirakannya," kata Ki Dandung pelan.
"Di mana Ibu?" tanya Sarman langsung.
"Pantula, di mana ayahmu?" Ki Dandung tidak mempedulikan pertanyaan anaknya.
Pantula hanya menggeleng saja. Dia memang tidak tahu di mana ayahnya berada
sekarang. Yang pasti tidak ada di
rumahnya, karena Ki Japalu langsung pergi setelah menceritakan perihal ibunya.
Dan cerita Ki Japalu juga masih membingungkan Pantula sampai sekarang, lebih-
lebih setelah mengetahui kalau kuburan itu ternyata hanya berisi
gedebok pisang.
"Sebaiknya kalian segera ke Gunung Kanjaran," kata Ki Dandung.
"Mau apa ke sana?" tanya Pantula tidak mengerti.
"Ibu kalian ada di sana."
Sarman dan Pantula terlonjak kaget.
Mereka saling berpandangan satu sama lainnya. Tidakkah mereka salah dengar"
Sementara Pandan Wangi memandangi wajah kedua pemuda tampan itu. Baru dia
menyadari kalau wajah mereka memang mirip sekali.
"Aku..., aku tidak mengerti
maksudmu, Ki?" kata Pantula tergagap.
"Ayah...," suara Sarman tersekat di tenggorokan.
"Kalian sebenarnya saudara satu ibu...," kata Ki Dandung terputus.
Sesaat keheningan melanda ruangan
itu. Semua menunggu dengan tidak sabar lanjutan kata-kata Ki Dandung. Sementara
laki-laki tua itu seakan berat untuk mengeluarkan kata-katanya. Sepasang bola
matanya berkaca-kaca.
"Ketika aku masih muda...," Ki Dandung memulai ceritanva. "Aku tinggal di sebuah
padepokan. Salah satu saudara seperguruanku adalah Japalu. Diantara kami sering
terjadi percekcokan, dan itu terus berlanjut semakin menegang saat kami sama-
sama mencintai seorang wanita putri tunggal guru kami...."
"Teruskan, Ayah," pinta Sarman tidak sabar.
"Guru kami mengetahui hal itu, dan membuat keputusan yang sangat berat, tapi
sangat disukai Japalu. Kami
diharuskan bertanding, siapa yang
menang, bisa mendapatkan putrinya dan tetap tinggal di padepokan. Sedangkan yang
kalah harus segera meninggalkan padepokan," lanjut Ki Dandung.
"Terus?"
"Aku terpaksa melayani Japalu dengan hati tertekan. Tapi rupanya dia bersungguh-
sungguh, bahkan beberapa kali hampir membunuhku. Guru mengetahui hal itu dan
memerintahkan aku untuk bersungguh-sungguh bertarung. Aku
terpaksa menurut ketika perutku koyak oleh serangan curang Japalu. Aku tidak
tahu lagi, bagaimana bisa mengalahkan Japalu yang pada saat itu tingkat
kepandaiannya setaraf denganku."
Sebentar Ki Dandung berhenti
mengambil napas. Dia meminum secangkir arak yang diambilkan Pandan Wangi.
"Rupanya dendam terus terbawa di hati Japalu. Dan itu dia laksanakan setelah
berhasil menemukan adik
kandungnya, Ki Sampar Bayu yang sudah pengalaman malang melintang dalam
ganasnya rimba persilatan. Saat itu aku sudah menjadi Kepala Desa Watu Ampar ini
atas permintaan seluruh penduduk, karena aku berhasil membinasakan pembunuh
kepala desa yang lama dan membebaskan penduduk dari penderitaan gerombolan
liar...," kembali Ki Dandung
menghentikan ceritanya.
"Cukup, Ki. Jangar. teruskan,"
cegah Pantula. Sarman menatap Pantula tajam.
"Aku bisa menebak kelanjutannya, Ki. Hanya satu pertanyaanku, siapa ayahku
sebenarnya?" Pantula tidak mempedulikan tatapan tajam dari Sarman.
"Ki Japalu," sahut Ki Dandung.
"Tidak...," desis Pantula tidak percaya.
"Aku terpaksa menutupi aib dengan mengatakan istriku meninggal terjatuh di
pancuran. Padahal sesungguhnya dia diculik Japalu dan disembunyikan di Gunung
Kanjaran," kata Ki Dandung.
"Ayah tahu semua itu, kenapa diam saja?" Sarman menyesalkan.
"Aku sangat mencintai ibumu,
Sarman. Apalagi aku tahunya setelah Japalu menodainya, dan dia tidak mau lagi
menemuiku. Perbuatan Japalu yang menodainya hingga hamil dan melahirkan seorang
anak laki-laki, membuatnya merasa
tertekan dan malu untuk bertemu siapa saja. Ibumu wanita yang suci, anakku.
Itulah sebabnya aku tidak ingin namanya tercemar buruk dan membuat makam palsu
dengan nama ibumu agar semua penduduk desa tidak tahu persoalan yang
sebenarnya."
"Jahanam Japalu...!" geram Sarman.
"Sarman...!" seru Ki Dandung ketika tiba-tiba Sarman berbalik dan berlari cepat
ke luar. Sementara Pantula tidak bisa
berbuat apa-apa. Batinnya amat tersiksa dengan semua yang telah terjadi pada
dirinya dan orang tuanya. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Ada
kebencian di hatinya dengan kelakuan ayahnya, tapi dia juga sangat mencintai
orang tua itu yang telah merawat dan mendidiknya, meskipun sejak kecil dia
tinggal di sebuah padepokan. Pantula bisa mengerti maksudnya, tentu agar dia
jadi seorang pemuda yang tangguh dan berilmu tinggi.
"Kau harus cegah saudaramu,
Pantula. Bagaimanapun juga dia ayahmu, dan Sarman tidak boleh membunuhnya!"
kata Ki Dandung.
Pantula ragu-ragu sebentar,
kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Sementara Pandan Wangi masih
terpaku berdiri tidak jauh di samping Ki Dandung. Gadis itu juga jadi bingung.
Memang menurutnya, kesalahan ada di pihak Ki Japalu, tapi urusannya sangat
pribadi, rasanya sungkan kalau dia sampai ikut campur di dalam urusan ini.
"Kenapa kau tidak ikut mereka?"
tanya Ki Dandung melihat Pandan Wangi masih berada di sini.
"Untuk apa" Aku orang luar yang tidak berhak ikut campur masalah
keluarga ini," sahut Pandan Wangi.
"Bukankah kau mencari kekasihmu?"
Pandan Wangi menatap lurus pada Ki Dandung. Dia memang sudah menceritakan semua
yang dialaminya dan tujuannya untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak
pemah mengakui kalau Rangga itu adalah kekasihnya.
"Aku bisa merasakan nada suaramu, dan sinar matamu yang penuh kerinduan.
Pergilah bersama mereka, aku yakin Pendekar Rajawali Sakti ada di Gunung
Kanjaran. Dia sudah berjanji akan
membawa kembali istriku ke sini,
meskipun aku tidak pemah mengharapkannya kembali lagi," kata Ki Dandung lagi.
"Jadi, selama ini ini ada di sini?"
tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
"Benar, tapi dia datang dan pergi bagai angin. Hanya sesekali saja
menemuiku dengan singkat. Dia banyak tahu tentang masalah ini, dan ingin
menyadarkan Ki Japalu kalau bisa."
"Kenapa Ki Dandung tidak mengatakan padaku?"
"Bana tadi aku tahu namanya."
'Tadi...?"
"Ya."
Pandan Wangi tertegun sesaat. Jadi yang dilihatnya di kuburan itu memang benar
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kenapa dia menuju ke arah Barat Hutan Ganda
Mayit" Apakah.... Pandan Wangi tersentak. Dari sebelah Barat Hutan Ganda Mayit
memang bisa lebih cepat mencapai Gunung Kanjaran. Jalannya memang sulit, tapi
tidak terlalu sulit bagi seorang pendekar seperti Rangga.
"Aku pergi dulu, Ki. Titip Kajar,"
kata Pandan Wangi.
"Ya. Mudah-mudahan kalian bisa berkumpul kembali."
"Terima kasih, Ki."
"Jangan khawatir tentang Kajar. Dia pasti akan senang berada di sini."
Pandan Wangi tersenyum dan bergegas meninggalkan laki-laki tua bekas kepala desa
pemilik kedai itu. Pandan Wangi sengaja memilih jalan belakang agar tidak
kelihatan oleh Kajar yang berada di kedai depan rumah ini. Sementara Ki Dandung
masih duduk di kursinya dengan wajah murung dan gelisah.
Mata tua itu menatap lurus pada
sebilah pedang yang tergantung di
dinding. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pedang
itu. Tangannya terulur meraih pedang bersarung hitam dengan tangkai terbuat dari
lapisan emas berbentuk bunga melati di ujungnya.
"Ki Sampar Bayu..., tidak ada yang bisa mengalahkan dia tanpa pedang emas ini,"
gumam Ki Dandung.
Ki Dandung memasang pedang itu di
pinggangnya. Sebentar dia berdiri
mematung memandang ke luar. Setelah memantapkan hati, kemudian kakinya terayun
tegap ke luar dari ruangan itu.
Ki Dandung berhenti melangkah ketika Kajar muncul. Bocah laki-laki itu
memandangi dengan mata keheranan. Belum pernah dia melihat Ki Dandung menyandang
pedang di pinggang.
"Kajar, tolong jaga kedaiku. Layani setiap tamu yang datang dengan baik,"
kata Ki Dandung.
"Aki mau ke mana?" tanya Kajar polos.
"Ada urusan yang harus aku
selesaikan. Sudah, aku pergi dulu."
Ki Dandung bergegas melangkah ke
samping rumah. Sebentar kemudian dia sudah kembali menuntun seekor kuda.
Kajar masih berdiri memandangi dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
"Ki...!"
Namun Ki Dandung tidak lagi
mendengarkan. Dia segera naik ke
punggung kudanya, dan dengan cepat menggebah kuda itu agar berlari cepat.
Debu mengepul tersapu derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kajar masih
berdiri memandangi kepergian laki-laki tua itu.
"Ada apa sih...?" desahnya polos.
*** 8

Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga menghentikan laju kudanya
tepat di depan sebuah pondok kecil di lereng Gunung Kanjaran. Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Matanya tidak
berkedip menatap pondok kecil di
depannya. Keadaan sekitar pondok ini sangat sepi, sepertinya tidak pernah ada
kehidupan di sini. Tapi keadaan yang bersih dan terawat, menandakan adanya
kehidupan. Singgg...! "Uts!"
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan ketika tiba-tiba sebuah benda kecil
meluncur deras ke arahnya. Benda itu lewat beberapa rambut di dekat pundaknya.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu merubah posisinya, meluncur lagi beberapa
benda kecil menghujani dirinya.
"Hup!"
Rangga segera mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Sepasang kakinya lincah bergerak dan tubuhnya meliuk-
liuk bagai karet menghindari hujan senjata rahasia yang mengancam tubuhnya.
Senjata-senjata kecil itu berseliweran di sekitar tubuhnya. Namun sampai sejauh
ini, tidak satu pun yang berhasil mengenainya.
"Hup, hiyaaa...!"
Cepat sekali jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti bergerak menangkap salah satu senjata rahasia itu, lalu secepat
kilat melontarkannya kembali ke arah yang beriawanan.
Srak! Sesosok tubuh melenting ke udara
bersamaan dengan meluncurnya satu
senjata rahasia. yang berhasil ditangkap Rangga ke dalam semak belukar di
samping pondok kecil itu. Bagaikan seekor burung rajawali, tubuh Pendekar
Rajawali Sakti itu ikut melenting ke atas, dan dengan kecepatan luar biasa,
tangannya bergerak mendepak dada orang itu.
"Hugh!"
Satu keluhan pendek terdengar. Dan tubuh orang itu meluncur deras ke bawah.
Tapi sebelum mencapai tanah, dia sempat berputar dua kali. Dengan manis kakinya
mendarat di tanah, bersamaan dengan hinggapnya Pendekar Rajawali Sakti di tanah
pula. Rangga mengamati laki-laki tua di
depannya. Laki-laki yang sudah menghunus tongkat ke depan menyilang di dada itu
ternyata Ki Sampar Bayu. Rangga langsung bersikap hati-hati dengan orang tua
itu. Tadi dia mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega' dan telak
menghantam dadanya. Tapi Ki Sampar Bayu tidak cidera sedikitpun. Itu menandakan
kalau Ki Sampar Bayu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
"Di mana istri Ki Dandung, Ratih Kencana kau sembunyikan?" tanya Rangga tajam.
"Hhh, rupanya kau sudah tahu banyak urusan ini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku
tidak suka ada orang luar ikut campur dalam urusan keluarga!" dengus Ki Sampar
Bayu. "Mataku tidak akan tertutup melihat kezaliman tumbuh di muka bumi i"i!" sahut
Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau boleh bangga dengan julukanmu. Orang lain boleh kau gertak seenak
perutmu, tapi aku..., tidak!" Ki Sampar Bayu menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan bibir tersenyum sinis.
"Aku sengaja mengalah malam itu agar kau enyah dari Desa Watu Ampar. Tapi
rupanya kau masih membandel juga, Bocah!"
"Jangan banyak omong, Ki Sampar Bayu! Di mana Nyi Ratih Kencana kau
sembunyikan?"
"Di dalam kubur!"
"Keparat!" geram Rangga sengit.
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tergelak.
Rangga melihat ke pondok kecil itu ketika tiba-tiba muncul Ki Japalu yang
memiting seorang wanita setengah baya yang lusuh. Sebilah pisau menempel di
lehernya. "Berani bergerak, nyawa perempuan ini melayang ke neraka!" gertak Ki Japalu.
"Pengecut!" geram Rangga mendesis.
"Kakang Japalu, tinggalkan
tempat ini. Cepat..!" seru Ki Sampar Bayu. "Biar bocah gendeng ini aku yang
urus." Ki Japalu menyeret perempuan itu
mendekan sebuah kereta kuda yang sudah siap terpancang dekat samping pondok.
Rangga menggeram marah melihat
kepengecutan laki-laki itu. Menyandera seorang wanita tak berdaya. Ki Japalu
mendorong Ratih Kencana agar naik ke kereta kuda itu. Kemudian dia sendiri
melompat naik setelah Ratih Kencana berada di dalam kereta.
"Hiya..., hiya!"
Ki Japalu menggebah tali kekang
kuda. Kereta kecil itu segera bergerak cepat. Rangga yang menyaksikan semua itu,
semakin berang saja. Dengan sekali genjot saja, tubuhnya melayang mengejar
kereta kuda itu.
"Hih!"
Rangga terpaksa menghentikan
usahanya ketika Ki Sampar Bayu kembali memberondongnya dengan senjata-senjata
rahasia. Pendekar Rajawali Sakti itu segera turun dan bergulingan di tanah
menghindari serangan senjata rahasia yang gencar itu.
"Hup!"
Kembali tubuh Rangga melenting ke
udara, kali ini dia meluruk deras ke arah Ki Sampar Bayu.
"Uts!"
Ki Sampar Bayu memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan tongkatnya di kibaskan
ke atas menahan terjangan kaki Rangga yang mengerahkan jurus 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Namun tanpa diduga sama sekali, ujung jari kaki
Pendekar Rajawali Sakti itu menotok ujung tongkat Ki Sampar Bayu, dan kembali
tubuhnya berputar di udara.
Buk! Ki Sampar Bayu tersentak kaget
ketika tanpa diduga
sama sekali kaki
kanan Rangga berhasil mendepak
punggungnya. Laki-laki tua itu
bergulingan di tanah, tapi dia cepat
bisa bangun lagi.
Sementara Rangga
sudah siap denyan
kedua kaki tegak
berpijak di tanah.
Trek! Sret...! Rangga melangkah mundur satu rindak ketika Ki Sampar Bayu memotong
tongkatnya jadi dua bagian. Ternyata tongkat itu menyimpan dua belah pisau kecil
tipis yang sangat tajam berkilat pada ujung-ujungnya yang terpotong jadi dua
bagian. Sambil menggeram dahsyat, Ki Sampar Bayu kembali menyerang dengan dua
tongkat bermata pisau di tangannya.
Rangga terpaksa melayaninya dengan hati-hati. Setiap kebutan dan tusukan senjata
Ki Sampar Bayu menimbulkan suara angin menderu yang mengandung hawa panas
menyengat. Diam-diam dalam hati, Rangga memuji kedahsyatan senjata kembar lawannya ini.
Juga jurus-jurusnya yang sangat cepat dan mematikan. Rangga harus lebih
hati-hati menghadapinya. Dia
mengeluarkan semua jurus-jurus
andalannya, tapi nampaknya Ki Sampar Bayu bisa menandinginya dengan mudah.
"Hm..., aku harus mencobanya dengan jurus 'Ekor Naga Melibat Gunung'," gumam
Rangga dalam hati.
Rangga segera merubah jurusnya
dengan cepat. Kali ini tubuhnya jadi lentur bagai karet, dan tangannya
bergerak-gerak meliuk-liuk bagai ular.
Ki Sampar Bayu kelihatannya kebingungan juga menghadapi jurus ini. Beberapa kali
dia harus terdepak ke belakang terkena sampokan tangan Rangga yang kelihatannya
lentur itu tapi mengandung tenaga dalam luar biasa.
Tapi hal itu hanya sebentar saja,
karena Ki Sampar Bayu cepat tanggap dan langsung menguasai dirinya. Kali ini
Rangga yang kelihatan kebingungan, karena setiap serangannya dapat
dihindarkan dengan mudah oleh lawannya.
"Cabut senjatamu, Bocah!" seru Ki Sampar Bayu.
"Baik, kalau itu maumu!" sambut Rangga.
Sret! Cahaya biru berkilau langsung
memancar terang ketika Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya.
Ki Sampar Bayu terbeliak melihat pedang di tangan Rangga memancarkan cahaya
terang menyilaukan mata.
"Tahan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'!" seru Rangga.
"Eits!"
Pertarungan kembali berlangsung
sengit. Rangga dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' kelihatan lebih unggul
dibandingkan lawannya. Ki Sampar Bayu harus jatuh bangun menghindari setiap
serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi sesaat kemudian, laki-laki tua itu sudah bisa menguasai keadaan yang tidak
menguntungkan bagi-nya tadi.
Namun.... Hanya sebentar saja Ki Sampar Bayu bisa bertahan. Detik berikutnya dia
jadi putus asa, karena
gerakan-gerakannya kacau tidak menentu, dan jiwanya juga seperti dirobek-robek
tak dapat dikendalikan lagi. Seluruh urat-urat syarafnya seperti
terputus-putus tak berfungsi.
"Edan! Kenapa aku jadi begini...?"
dengus Ki Sampar Bayu tidak mengerti.
"Terimalah ajalmu, Ki Sampar Bayu!"
seru Rangga keras.
Sambil berteriak nyaring, Rangga
melompat sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Ki Sampar Bayu. Hanya sebentar
laki-laki tua itu bisa menatap lebar, detik berikutnya mulutnya menyemburkan
darah segar. Pedang Rajawali Sakti amblas ke dada Ki Sampar Bayu sampai
setengahnya. "Hih!" Rangga menarik kembali pedangnya, dan kakinya melayang deras menghantam
perut Ki Sampar Bayu.
Bug! Ki Sampar Bayu tidak bisa bersuara lagi. Tubuhnya langsung ambruk dengan darah
menyembur deras dari dadanya yang bolong tertembus pedang tadi.
Cring! Rangga memasukkan pedang Rajawali
Sakti ke warangkanya. Sebentar dia menarik napas panjang melihat tubuh Ki Sampar
Bayu yang sudah tidak bernyawa lagi. Sebenarnya dia tidak ingin
membunuh laki-laki tua itu, tapi dia terpaksa melakukannya. Kalau bukan dia yang
membunuh, tentu Ki Sampar Bayu yang akan membunuhnya.
Sementara itu Ki Japalu yang
mengendalikan kereta kuda terus memecuti kudanya agar tetap berlari cepat
menuruni lereng Gunung Kanjaran. Di sampingnya duduk Ratih Kencana.
"Ki Japalu, berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Seketika itu juga Ki Japalu
menghentikan lari kudanya. Tampak dari arah samping berlari dua ekor kuda
menghampirinya. Ki Japalu langsung mengenali kalau dua penunggang kuda itu
adalah Sarman dan Pantula.
"Ibu...," desis Sarman pelan begitu sampai di depan kereta kuda yang
ditumpangi Ki Japalu dan Ratih Kencana.
Sarman turun dari kudanya.
Langkahnya pelan mendekati kereta kuda itu. Matanya tidak berkedip memandang
perempuan setengah baya yang duduk di samping Ki Japalu. Keadaannya sangat lusuh
dan tubuhnya kurus serta matanya cekung ke dalam.
"Anakku...," desah Ratih Kencana lirih. "Oh! Tidak...!"
Ratih Kencana melompat turun dari
kereta, dan berlari kencang masuk ke dalam hutan.
"Ibuuu...!"
Sarman langsung melompat mengejar, dan Ki Japalu bergegas turun dari kereta
kudanya. Sementara Ratih terus berlari kencang menerobos lebatnya hutan. Dia
tidak menyadari kalau arah larinya justru mendekati bibir jurang.
"Ratih, awas jurang...!" teriak Ki Japalu.
"Hiya...!"
Sarman melentingkan tubuhnya ketika di depan Ratih Kencana menganga mulut jurang
yang lebar dan cukup dalam. Dan begitu kaki Sarman menjejak tanah di tepi jurang
itu, mendadak Ratih Kencana melompat dan....
"Aaa...!"
"Ratih!"
"Ibuuu...!"
Sarman menjerit sekuat-kuatnya
ketika melihat tubuh ibunya meluncur masuk ke dalam jurang. Dia sudah berusaha
untuk menjambret tangan ibunya, tapi tidak berhasil. Tubuh Ratih Kencana meluruk
deras dan jatuh membentur batu di dasar jurang itu.
"Ibu...," rintih Sarman terjatuh lemas di tepi jurang.
Sementara Ki Japalu hanya bisa
memandangi dengan mata nanar berair.
Pantula yang masih ragu-ragu kalau itu ibunya hanya bisa berdiri menyaksikan
dengan hati bimbang dan pikiran penuh digeluti bermacam-macam prasangka.
Sarman langsung berdiri tegak.
Rintihannya seketika lenyap. Dia
berbalik, dan menatap tajam pada Ki Japalu. Yang dipandang membalasnya dengan
sayu tanpa gairah.
"Pembunuh...!" geram Sarman. "Kau membunuh ibuku!"
Ki Japalu tidak menyahuti.
"Kubunuh kau, keparat...!
Hiyaaa...!"
Sarman menjerit melengking seraya
menghentak-kan kakinya ke tanah. Begitu tubuhnya melayang di udara, dengan cepat
dia mencabut pedangnya. Tapi ketika ujung pedangnya hampir saja memenggal leher
Ki Japalu yang hanya diam saja, mendadak satu bayangan berkelebat
menahan serangan Sarman.
"Ayah...," desah Sarman melihat Ki Dandung tiba-tiba muncul.
"Jangan mata gelap, Sarman!" bentak Ki Dandung.
"Dia membunuh Ibu, Ayah. Dia harus mati!"
Ki Dandung menatap ke dalam jurang.
Darahnya langsung menggelegak melihat mayat istrinya tergeletak di dasar jurang
dengan kepala pecah membentur baru. Pandangannya beralih pada Ki Japalu dan
Pantula berganrjan.
"Aku tidak tahu, hukuman apa yang setimpal buatmu, Japalu," kata Ki Dandung
tertahan suaranya.
''Bunuh aku," sahut Ki Japalu lirih.
"Tidak...," Ki Dandung
menggeleng-gelengkan kepalanya.-
"Bunuh aku, Dandung," Ki Japalu memandang Ki Dandung dengan penuh harap.
"Sarman, Pantula, ayo bunuh aku!"
Tidak ada yang bergerak memenuhi
permintaan Ki Japalu. Semuanya jadi diam terpaku. Lebih-lebih Pantula yang
diliputi kebimbangan dan ketidakpastian dalam dirinya. Peristiwa beruntun yang
menggoncang hatinya membuat Pantula seperti kehilangan dirinya. Dia tidak tahu
lagi siapa dirinya yang sebenarnya, dan untuk apa dia hidup di dunia ini"
Sementara Ki Japalu terus meratap
meminta dibunuh.
"Ayo kita pulang, Sarman," ajak Ki Dandung pada anaknya.
Sarman tidak menjawab, dia menuruti saja langkah ayahnya meninggalkan tempat itu
tanpa menghiraukan rengekan Ki Japalu. Baru saja mereka melangkah beberapa


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindak, mendadak wajah Ki Japalu berubah garang, dan dengan cepat tangannya
merogoh ke balik baju.
Kejadian berikutnya....
"Awas...!" teriak Pantula tiba-tiba.
Ki Dandung dan Sarman langsung
berbalik. Mereka terkejut, dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengelak.
Jarak mereka begitu dekat, dan Ki Japalu melepaskan dua pisau kecil dengan
kecepatan tinggi disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Ah...!" Ki Dandung hanya bisa mendesah.
*** Pada saat kritis itu, sebuah
bayangan putih berkelebat cepat
menangkap dua buah pisau yang meluncur deras ke arah Ki Dandung dan Sarman.
Tap, tap! "Pendekar Rajawali Sakti...," desah Ki Japalu kaget setengah mati begitu
bayangan putih itu berhasil menangkap dua pisau kecilnya.
"Hm..., kau licik sekali, Ki
Japalu...," gumam Rangga sinis.
"lblis! Binatang...!" geram Sarman langsung meluap amarahnya.
Seketika itu juga Sarman melompat
seraya mengirimkan beberapa pukulan mautnya. Ki Japalu yang sudah nekad, segera
menggeser kakinya sedikit
menghindari pukulan-pukulan itu. Dan tanpa diduga sama sekali, dengan cepat
tangan kanannya menyampok perut Sarman.
"Hugh!" Sarman mengeluh pendek.
Ketika tubuh Sarman membungkuk, Ki Japalu mengangkat kakinya dengan kuat, dan
tubuh Sarman terpental ke belakang dengan dada sesak terkena hantaman kaki orang
tua itu. Ki Japalu memanglah bukan tandingan Sarman. Ki Dandung sendiri saat ini
harus berpikir dua kali
menghadapi Kepala Desa Watu Ampar itu.
"Japalu, selama ini aku selalu mengalah padamu. Sampai perintah guru untuk
menghukummu tidak aku turuti.
Sekarang apa boleh buat, aku harus menghukummu!" kata Ki Dandung yang sudah
hilang kesabarannya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus, Dandung! Kita memang harus bertarung sampai
mati!" sambut Ki Japalu.
Ki Dandung melangkah tiga tindak ke depan. Tatapan matanya tajam dan lurus.
Perlahan-lahan dia menarik pedang yang tergantung di pinggangnya. Pedang pusaka
pemberian gurunya yang belum pernah digunakan selama hidupnya. Pedang ini memang
khusus diberikan untuk menghukum Ki Japalu yang dianggapnya sebagai murid murtad
bertindak di luar batas
perikemanusiaan.
"Pedang Karang Melati...," desah Ki Japalu.
Wajah laki-laki tua itu seketika
berubah melihat pedang di tangan Ki Dandung tarhunus. Buru-buru dia merogoh ke
balik bajunya, dan mengeluarkan sebuah senjata berupa keris berwarna hitam
pekat. Keris itu menyebarkan bau busuk yang tidak sedap.
"Hhh..., rupanya kau juga mencuri keris pusaka Karang Mayit, Japalu,"
dengus Ki Dandung kaget melihat senjata pusaka itu.
"Aku mau tahu, sampai di mana kehebatan pedang Karang Melati melawan Keris
Karang Mayit," kata Ki Japalu pelan dan datar.
Ki Dandung jadi lebih waspada lagi.
Dia ingat kata-kata gurunya untuk
waspada jika berhadapan dengan keris Karang Mayit. Pedang Karang Melati belum
pemah bisa menandingi kehebatan keris itu. Keris yang mengandung hawa jahat dan
nafsu membunuh. Pamor yang tidak baik itulah yang membuat senjata itu selalu
tersimpan di dalam gudang penyimpanan senjata pusaka. Rupanya Ki Japalu
mencuri senjata itu untuk memperkuat dirinya.
"Tahan seranganku, Dandung...!
Hiyaaa...!"
Ki Japalu segera menerjang dengan
jurus-jurus mautnya. Ki Dandung
melayaninya dengan sikap hati-hati dan waspada. Dia selalu berusaha menghindari
ujung keris Karang Mayit itu dari
hidungnya. Sekali saja ujung keris itu berada di bawah hidung, akibatnya akan
fatal. Aroma busuk yang mengandung racun untuk melemahkan otot-otot dan syaraf
bisa melumpuhkan seseorang seketika. Dan itu sangat diketahui oleh Ki Dandung
maupun Ki Japalu.
Pertarungan berjalan semakin
sengit. Beberapa kali Ki Japalu hampir bisa menyorongkan ujung kerisnya ke depan
hidung Ki Dandung, tapi dengan cepat Ki Dandung menepiskannya dengan mengibaskan
pedangnya. Dan anehnya, mereka seperti sama-sama tidak ingin membenturkan
senjata masing-masing.
"Ugh! Aku tidak bisa bertahan lama.
Bau itu semakin menusuk.... Kepalaku pening...," desah Ki Dandung dalam hati.
"Ha ha ha...!" Ki Japalu tertawa terbahak-bahak begitu melihat lawannya mulai
tidak menentu jurus-jurusnya.
Sementara Rangga yang memperhatikan jalannya pertarungan itu sudah dapat menduga
kalau beberapa jurus lagi, Ki Dandung pasti akan tewas di ujung keris hitam itu.
Dan dugaan Rangga memang menjadi kenyataan. Ki Dandung
sempoyongan ketika satu tendangan telak berhasil disarangkan Ki Japalu ke
dadanya. "Mampus kau, Dandung. Hiyaaa...!"
Ki Japalu berteriak lantang seraya melesat dengan ujung keris terhunus ke depan.
Pada saat itu Ki Dandung tengah berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan
pada saat yang kritis itu, tiba-tiba Pantula melesat cepat
menerjang ke arah Ki Japalu.
"Pantula...!" sentak Ki Japalu kaget.
Buru-buru orang tua itu menarik
kembali senjatanya. Tapi....
"Aaakh...!"
"Pantula...!"
Ki Japalu terkejut setengah mati.
Pantula seperti sengaja menghujamkan tubuhnya ke ujung keris di tangan
ayahnya. Ki Japalu segera menarik
kembali kerisnya yang tertanam di dada Pantula. Pemuda itu langsung roboh ke
tanah mengerang lirih
"Pantula...," pelan dan tertahan suara Ki Japalu.
Bibir Pantula bergerak-gerak
bergetar. Ki Japalu berlutut dan mengangkat
tubuh Pantula ke dalam pelukannya. Dada berlubang yang bekas tusukan keris itu
menghitam pekat. Darah yang ke luar juga berwarna kehitaman dan berbau tidak
sedap. "Pantula, anakku...," rintih Ki Japalu.
"Jangan panggil aku anakmu, Ki Japalu. Kau bukan ayahku," lirih suara Pantula.
"Pantula...."
"Sudah seharusnya aku mati di tanganmu. Ibu..., maafkan aku.... Akh!"
"Pantula...!" jerit Ki Japalu.
Pantula terkulai lemas dengan nyawa melayang dari tubuhnya. Ki Japalu
menangis tersedu-sedu memeluk anaknya.
Pantula adalah darah dagingnya sendiri dari rahim Ratih Kencana. Ki Japalu
sangat mencintainya karena Pantula lahir dari rahim wanita yang sangat dicintai
dan dipuja-pujanya. Dia rela melakukan apa saja demi mencapai harapannya
memiliki Ratih Kencana. Tapi sekarang semuanya telah tiada. Tak ada sesal yang
datang lebih dahulu.
Kasih sayang yang diberikan Ki
Japalu terhadap Pantula dan Segara memang sangat berbeda. Dia tidak begitu
mencintai Segara, karena lahir dari wanita yang tidak dicintainya, meskipun
Segara anak syah. Ki Japalu
menggerung-gerung menangisi putra
kesayangannya. Perlahan-lahan kepalanya terangkat naik menatap Ki Dandung.
"Kau menang, Dandung. Kau selalu menang dariku...," lirih suara Ki Japalu.
Ki Japalu mengangkat tubuh anaknya.
Dia tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah lesu, dia
membawa mayat Pantula. Di juga tidak peduli dengan keris Karang Mayit yang
menggeletak di tanah. Ki Japalu terus melangkah pelan-pelan membawa mayat
anaknya meninggalkan tempat itu.
Rangga memungut keris Karang Mayit yang ditinggalkan Ki Japalu. Dia
menghampiri Ki Dandung dan menyerahkan senjata keramat itu. Ki Dandung
menerimanya dengan mata nanar
berkaca-kaca. Betapapun dia tidak
menyukai tindakan saudara
seperguruannya itu, tapi melihat begitu besarnya cinta dan kasih sayangnya pada
Pantula, luruh juga hatinya.
"Sebenarnya dia mempunyai hati yang baik. Sayang, pengaruh adiknya begitu kuat
sehingga terperosok ke dalam jurang sesat," kata Ki Dandung lirih.
"Mudah-mudahan dia menyadari
kekeliruannya," desah Rangga.
"Ya, itu yang aku harapkan."
Rangga melangkah mundur.
"Rasanya aku tidak bisa lama di sini. Aku harus pergi," kata Rangga pamitan.
"Heh, tunggu...!" sentak Ki Dandung.
Tapi Rangga sudah beranjak pergi.
Bersamaan dengan itu muncul kuda hitam yang ditinggalkannya tadi. Kuda itu
berlari mengikuti kepergian Rangga.
Tampaknya dia sangat nurut pada Pendekar Rajawali Sakti. Melihat demikian,
Rangga pun langsung.meloncat ke punggung kuda itu. Bagaikan angin saja, kuda
hitam itu berpacu cepat menembus lebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Ayah, kenapa tidak mengatakan kalau Pandan Wangi mencarinya?" tegur Sarman.
"Dia pergi seperti angin saja...,"
keluh Ki Dandung.
Rangga memang cepat sekali
menghilang. Bayangannya sudah tidak kelihatan lagi dalam sekejap.
"Bagaimana kalau Pandan Wangi menanyakannya, Ayah?" tanya Sarman.
"Aku harus mengatakannya terus terang," sahut Ki Dandung. "Ayo kita pulang."
Sarman tidak membantah. Dia
mengikuti saja langkah ayahnya yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat ini.
Tapi baru beberapa tombak mereka berjalan, tiba-tiba Pandan Wangi muncul.
"Maaf, aku kesasar," kata Pandan Wangi mengakui. "Aku tidak tahu daerah ini...."
Ki Dandung dan Sarman saling
berpandangan. Pandan Wangi memandang berkeliling. Dia sedikit heran karena tidak
ada satu mayat pun menggeletak. Apa yang terjadi sebenarnya..."
"Aku tidak bisa mencegah. Dia sudah pergi," kata Ki Dandung pelan.
"Siapa?"
"Orang yang kau cari."
"Rangga..." Ke mana perginya?"
"Ke arah Utara."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pandan Wangi langsung melesat pergi ke arah Utara
yang ditunjuk Ki Dandung.
Laki-laki tua itu hanya mendesah panjang memandangi tubuh gadis itu yang segera
lenyap di balik rimbunnya pepohonan.
"Ayo," ajak Ki Dandung pada anaknya.
"Ayah...," Sarman menarik tangan ayahnya.
"Ada apa lagi?"
"Ibu...."
"Oh!"
Mereka bergegas ke jurang. Tanpa
banyak bicara lagi, Ki Dandung segera menuruni jurang yang cukup dalam itu.
Sementara Sarman menunggunya di bibir jurang. Tidak sulit bagi Ki Dandung yang
memiliki ilmu cecak untuk menuruni jurang itu. Telapak kakinya sepertinya
merekat di bebatuan
yang banyak berserakan sepanjang jurang.
Sebentar saja laki-laki tua itu
sudah bisa mencapai tempat di mana Ratih Kencana tergeletak tak bernyawa di atas
bebatuan. Ki Dandung mengangkat tubuh istrinya itu, dan membawanya naik ke atas.
Tubuhnya ringan bagai kapas
berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. Sebentar saja dia sudah sampai di
tepi jurang. Sarman menggantikan ayahnya membawa Ratih Kencana.
"Kita harus menguburkan sebelum para penduduk desa tahu," kata Ki Dandung.
"Ya, Ayah," sahut Sarman tersedak.
Mereka kembali melangkah
meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuh bukannya menuju ke Desa Watu Ampar,
tapi menuju ke tampat pemakaman yang berada di pinggiran Hutan Ganda Mayit.
Sementara matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik
menyengat. Dua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata. Hutan Ganda
Mayit jadi saksi bisu perselisihan satu keluarga itu, juga jadi saksi cinta
antara dua pendekar tangguh yang belum sempat dipertemukan kembali. Apakah kedua
pendekar itu akan berkumpul
kembali..."
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Aura PandRa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Wanita Iblis 8 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Pedang Kayu Cendana 5
^