Api Di Karang Setra 3
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra Bagian 3
Nawangsih Tubuhnya yang tegap telah menghantam meja hingga hancur berantakan.
Tentu saja suara ribut-ribut di dalam kamar khusus itu membuat Pendeta Gurusinga
dan Ratih Komala datang. Dan mereka langsung tersentak begitu melihat Retna
Nawangsih berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan.
Belum sempat Retna Nawangsih menyadari kedatangan
kedua orang itu, mendadak Pendeta Gurusinga menyentakkan
tangan kanannya. Tampak dua buah benda kecil meluncur deras ke arahnya.
"Akh!" Retna Nawangsih memekik tertahan begitu dua benda kecil yang ternyata
jarum pembius itu menempus punggungnya.
Seketika itu juga Retna Nawangsih ambruk ke lantai.
Sementara Pendeta Gurusinga bergegas menghampiri dan mengeluarkan kembali jarum
pembiusnya dari punggung gadis itu. Sejenak dia memandangi, kemudian beralih
menatap Wira Permadi yang sudah telanjang dada.
"Sudah aku katakan, jangan samakan dia dengan tawanan yang lain!" bentak Ratih
Komala gusar. "Bawa dia ke penjara!"
"Baik, Gusti Ayu," sahut Pendeta Gurusinga serada mengangkat tubuh Retna
Nawangsih yang pingsan.
Ratih Komala segera menutup pintu kamar kembali setelah Pendeta Gurusinga ke
luar sambil membawa tubuh Retna Nawangsih. Dia berdiri saja membe lakangi pintu
dan menatap putranya yang sedang mengenakan pakaiannya kembali
"Bikin malu saja!" dengus Ratih Komala
"Maafkan saya, Bu," hanya itu yang mampu diucapkan oleh Wira Permadi. Tapi raut
wajah dan sorot matanya tidak mencerminkan rasa penyesalan. Yang ada justru rasa
penasaran dan dendam.
"Ah, sudahlah! Sekarang kau minta maaf, besok atau lusa pasti kau ulangi lagi!"
Wira Permadi cuma
meringis saja. Kemudian dia membantingkan tubuhnya di pembaringan. Dalam hatinya dia masih tetap penasaran
jika belum dapat menaklukkan gadis cantik itu. Tubuhnya begitu indah dan
menggairahkan. Kini dia menulikan telinga, dan tidak mau lagi mendengar nasihat-
nasihat dan peringatan ibunya. Yang ada dalam hati dan
pikirannya hanyalah kemolekan dan keindahan tubuh Retna Nawangsih.
"Oh...!"
"Kau sudah sadar rupanya, Anak Manis."
"Heh!" Retna Nawangsih tersentak kaget begitu sadar dari pingsannya.
Retna Nawangsih segera mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tampak ruangan itu sangat kecil dan semua dindingnya terbuat dari
batu dan sudah berlumut tebal.
Udaranya juga lembab, sedangkan dari atapnya menitik air.
Pelan-pelan gadis itu menggeser duduknya dan merapat ke dinding. Dia sadar bahwa
di ruangan yang sempit ini ada orang lain. Tampak seorang tua yang tubuhnya
kurus kering dengan pakaian kotor dan compang-camping. Sedangkan rambutnya
panjang dan hampir menutupi wajahnya.
"Jangan takut, Anak Manis. Kau pingsan cukup lama. Aku Pendeta Pohaji. Hampir
sepuluh tahun aku mendekam di balik dinding batu ini," laki-laki tua kumal itu
memperkenalkan diri.
"Pendeta Pohaji..."!" Retna Nawangsih mengerutkan keningnya.
Gadis itu segera memandangi laki-laki tua yang mengaku dirinya Pendeta Pohaji
itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan pendeta itu selama hidupnya, tapi
dia sudah sering mendengar namanya, juga riwayat hidupnya
"Siapa namamu, Anak Manis" Kenapa mereka sampai memasukkanmu ke sini?" tanya
Pendeta Pohaji "Aku Retna Nawangsih Aku ditangkap mereka karena ingin memberontak...," Retna
Nawangsih pun segera menceritakan semuanya yang telah terjadi.
Sementara Pendeta Pohaji terangguk-angguk
mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum, dan bola matanya berbinar-binar. Sedangkan
wajahnya yang kotor jadi kelihatan cerah kembali. ' "Jadi, Gusti Dewi Purmita
masih hidup" Juga Lintuk, Bayan Sudira...?" tanya Pendeta Pohaji ingin
meyakinkan. "Benar, bahkan mereka sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan
manusia-manusia durhaka itu!" sahut Retna Nawangsih agak emosi.
"Oh..., Tuhan, rupanya kau mendengar juga doa-doaku...,"
desah Pendeta Pohaji.
"Paman Pendeta, kenapa mereka sampai mengurungmu di sini begitu lama?" tanya
Retna Nawangsih.
"Nasibku memang tidak seberuntung yang lain. Tapi aku tidak menyesal," Pendeta
Pohaji seperti bicara sendiri.
"Paman Pendeta kan seorang pendekar yang sakti, kenapa tidak mencoba untuk
melarikan diri" Rasanya tidak sulit bagi Paman untuk menjebol dinding batu ini,"
kata Retna Nawangsih.
"Tidak, Anakku. Kalau aku melarikan diri, itu namanya aku menentang kehendak
Tuhan Aku yakin suatu saat kelak, mereka akan hancur, dan aku bisa ke luar dari
sini tanpa menentang kodrat yang telah ditetapkanNya," sahut Pendeta Pohaji.
"Kalau aku ingin berusaha ke luar, apakah Paman akan mencegah?"
Pendeta Pohaji hanya tersenyum dan menggeleng-
gelengkan kepalanya. Meskipun Retna Nawangsih tidak menceritakan tentang
dirinya, tapi dia sudah tahu kalau gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang
cukup tinggi. Tapi tampaknya belum cukup untuk bisa menjebol dinding batu ini.
Retna Nawangsih yang sudah bersiap-siap mengeluarkan ajiannya untuk menjebol
dinding batu ruangan sempit itu, segera mengurungkan niatnya begitu melihat
Pendeta Pohaji tersenyum-senyum. Sejenak dia membetulkan kain yang membelit
rubuhnya, kemudian menggeser duduknya mendekati laki-laki tua itu.
"Kenapa tidak jadi?" tanya Pendeta Pohaji.
"Tidak. Paman benar, aku tidak boleh menentang garis yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Aku yakin, pasti nanti akan ada orang yang datang membebaskan kita,"
sahut Retna Nawangsih.
"Uh..., Tuhan, berkatilah anakku ini," gumam Pendeta Pohaji.
Retna Nawangsih baru mau membuka mulutnya, tapi
mendadak saja dia merasakan perutnya mual, dan dadanya jadi sesak. Kemudian
tanpa dapat dicegah lagi dia
memuntahkan cairah merah kental dari mulutnya. Seketika itu juga tubuhnya terasa
dingin dan menggigil.
"Anakku, kau terluka?" tanya Pendeta Pohaji cemas.
"Aku tidak tahu, Paman Pendeta," sahut Retna Nawangsih lirih
"Apa yang kau rasakan?"
"Perutku mual, dan..., dadaku sesak."
Sejenak Pendeta Pohaji meraba perut gad:s itu, kemudian dia mendekatkan
telinganya ke dada Retna Nawangsih.
Sementara gadis itu hanya memejamkan mata saja. Dia baru membuka matanya kembali
setelah pundaknya ditepuk
dengan lembut. "Kau telah terkena jarum pembius Pendeta Murtad Gurusinga. Kelihatannya memang
tidak ber bahaya, tapi kalau kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa murni, maka
racun yang merasuk ke dalam darahmu akan bekerja," kata Pendeta Pohaji.
"Maksud Paman Pendeta, Jarum Pembius Racun Perak?"
Retna Nawangsih menebak.
"Benar."
"Oh...," Retna Nawangsih mendesah lirih.
"Tidak perlu cemas, anakku. Aku akan mencoba untuk mengeluarkan racun itu dari
tubuhmu. Meskipun racun itu sangat berbahaya dan bisa membunuh dengan cara
pelahan-lahan," Pendeta Pohaji menenangkan gadis itu.
"Aku akan mati, Paman Pendeta. Racun itu sangat berbahaya sekali. Mungkin aku
hanya bisa bertahan selama tujuh hari," lemas seluruh tubuh Retna Nawangsih.
"Kau lupa siapa aku, Anakku?"
Retna Nawangsih tersentak. Dia baru ingat kalau racun dari Jarum Pembius Racun
Perak milik Pendeta Gurusinga memang sulit dihilangkan, tapi Pendeta Pohaji bisa
melenyapkan pengaruh racun itu. Ya..., memang hanya Pendeta Pohaji yang sanggup
untuk mengeluarkan racun itu dari tubuh seseorang.
Dan Retna Nawangsih tahu hal itu, karena gurunya, Dewi Purmita pernah
menceritakan padanya.
"Aku akan berusaha mengeluarkan racun itu dari dalam tubuhmu. Tapi kau tidak
boleh mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam selama sehari semalam penuh. Sebab
sekali saja kau mencoba, akibatnya akan fatal bagi dirimu sendiri!"
"Oh, terima kasih, Paman Pendeta," ucap Retna Nawangsih gembira.
"Sekarang buka bagian atas penutup tubuhmu," perintah Pendeta Pohaji.
"Oh!" Retna Nawangsih tampak terlongong.
"Duduk bersila membelakangiku!" sambung Pendeta Pohaji tidak menghiraukan
keterkejutan gadis itu.
Sejenak Retna Nawangsih masih ragu, tapi dia kemudian memutar tubuhnya
membelakangi pendeta itu. Dan dengan pelahan-lahan dia melepaskan kain yang
membelit tubuhnya, lalu menurunkannya sampai ke pinggang. Kemudian Retna
Nawangsih menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya. Sedangkan matanya langsung terpejam ketika merasakan sepasang telapak
tangan yang dingin telah menyentuh kulit bagian punggungnya.
"Kosongkan jiwamu, dan jangan melakukan gerakan apa pun!" perintah Pendeta
Pohaji. "Baik, Paman," sahut Retna Nawangsih.
Gadis itu pun kembali memejamkan matatanya rapat-rapat.
Dia mulai mengosongkan jiwa dengan bersemadi untuk
mendekatkan jiwa dan raga pada sang pencipta. Sementara Pendeta Pohaji mulai
bergetar tubuhnya. Tampak keringat mulai menitik di kening.
Beberapa saat kemudian tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari kurus
keriput yang menempel di punggung putih mulus. Saat itu, seluruh tubuh Retna
Nawangsih juga berkeringat. Dan ketika tubuh gadis itu menggeletar, buru-buru
Pendeta Pohaji menarik kembali tangannya. Saat itu juga Retna Nawangsih ambruk
tidak sadarkan diri.
"Ah..., untung belum terlalu lama racun itu mengendap,"
desah Pendeta Pohaji bersyukur.
Kemudian laki-laki tua yang kurus kering dan kumal itu segera menutupi tubuh
Retna Nawangsih. Sejenak dia
memandangi, lalu menggeser duduknya menjauh. Pendeta itu kembali melakukan
semadi. *** 7 Malam sudah begitu larut menyelimuti keadaan di sekitar Kadipaten Karang Setra.
Sementara kesunyian telah melanda seluruh pelosok kadipaten itu. Di atas sana
langit tampak menghitam tanpa kehadiran bintang dan bulan yang biasa menghiasi.
Angin malam pun terasa dingin membuat semua orang lebih senang tinggal di dalam
rumah. Hanya sesekali masih tampak para peronda yang berkeliling menjaga
keamanan. Pada saat itu tampak sebuah bayangan putih yang
berkelebat cepat memutari tembok istana kadipaten.
Bayangan putih itu berhenti di bawah pohon yang rindang dan besar di samping
sebelah Utara tembok benteng. Dilihat dari pakaian dan senjata yang dibawa,
jelaslah kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Sepi, tidak seperti biasanya...," gumam Rangga dalam hati.
Keadaan di sekitar istana kadipaten yang sepi itu membuat Pendekar Rajawali
Sakti lebih waspada. Dia menduga, kalau keadaan seperti ini
memang disengaja.
Sejenak dia mengawasi keadaan sekitarnya, lalu...
"Hup!"
Bagai kapas tertiup angin, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara
dan hinggap dengan indah di atas tembok istana kadipaten itu Tampak Rangga
segera menekuk lututnya begitu menyentuh dinding tembok yang dipijaknya.
Kembali matanya mengamati sekitar lingkungan istana itu dengan tajam.
Kemudian Rangga kembali melentingkan tubuhnya dan
turun dari atas tembok yang tebal dan tinggi itu. Dan begitu kakinya menyentuh
tanah, dia pun langsung melenting tinggi ke atas atap. Kini Rangga kembali ingat
sedikit-sedikit suasana
dan keadaan lingkungan istana kadipaten ini, hal itu memungkinkan dia bergerak
leluasa dan hati-hati.
"Hm..., hanya ada dua orang penjaga di depan pintu penjara," gumam Rangga dalam
hati. Maka dengan satu gerakan yang manis, Rangga melesat ke arah dua penjaga itu Dan
sebelum mereka sempat menyadari, Rangga segera menotok jalan darahnya tanpa
melukai sedikit pun Kemudian dia buru-buru membuka pintu penjara itu, dan
melangkah masuk.
Penjara itu terdiri dari sebuah lorong yang menuju dalam tanah. Kini Pendekar
Rajawali Sakti itu mulai memeriksa setiap kamar tahanan yang berdinding batu
tebal dan kokoh. Udara di dalam penjara ini begitu lembab, dan semua dindingnya
tampak sudah ber lumut tebal.
Sudah semua kamar tahanan dia periksa, tapi tidak satu pun yang berisi Retna
Nawangsih. Kemudian Rangga menatap satu pintu yang letaknya paling ujung. Dan
pelahan-lahan dia mendekati pintu yang terkunci dengan rantai baja itu.
"Hsss. .!" Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan rantai
baja itu. Bunyi berderit sedikit terdengar ketika pintu yang sudah putus rantainya itu
dibuka pelahan-lahan. Sejenak Rangga tertegun begitu melihat Retna Nawangsih
sedang duduk bersila didampingi oleh seorang laki-laki tua yang bertubuh kurus
kering dan kumal.
"Retna...," panggil Rangga pelan.
Retna Nawangsih membuka matanya.
"Kakang...!" seru Retna Nawangsih terkejut. Dia gembira melihat Rangga tiba-tiba
sudah berdiri di depan pintu kamar tahanan ini.
Retna Nawangsih langsung melompat dan memeluk
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia sampai tidak sadar kalau tubuhnya hanya
terbungkus dengan kain saja. Sesaat
kemudian Rangga melepaskan pelukan gadis itu dan
memegang pergelangan tangannya.
"Ayo kita ke luar dari sini," ajak Rangga.
"Kakang...," Retna Nawangsih mencegah Rangga yang sudah mau ke luar. Matanya
melirik pada laki-laki tua yang duduk di ruangan itu.
Rangga pun ikut menoleh pada laki-laki tua yang tetap duduk bersila dengan mata
tertutup. "Pergilah kalian, biarkan aku tetap di sini," kata Pendeta Pohaji tanpa
menggerakkan mulutnya.
"Paman, bukankah ini yang dinamakan kehendak Tuhan"
Kakang Rangga akan membebaskan kita," kata Retna Nawangsih berusaha membujuk.
"Rangga..."!" Pendeta Pohaji langsung membuka matanya begitu mendengar nama
Rangga. Sejenak Rangga jadi tertegun melihat laki-laki tua itu memandangnya dengan penuh
selidik. Kemudian dengan
pelahan-lahan Pendeta Pohaji bangkit dari semadinya. Dan dengan tertatih-tatih
dia menghampiri. Pandangannya tetap tajam ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Sebenarnya aku belum yakin..., tapi.... Baiklah aku akan ikut dengan kalian
asal kau mau berjanji untukku, Anak Muda," kata Pendeta Pohaji.
"Janji apa?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan siapa dirimu yang sebenarnya setelah kita sampai di luar."
"Baiklah!" sahut Rangga tani m pikir panjang lagi Rangga pun segera menarik
langan Ketua Na wangsih.
Sementara Pendeta Pohaji mengikutinya dari belakang.
Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang berjalan cepat di depannya sambil
menuntun Retna Nawangsih.
"Ah...!" Pendeta Pohaji mendesah panjang. Dia seperti sedang berbantahan dengan
batinnya sendiri.
*** Baru saja Rangga menginjakkan kakinya di luar pintu
penjara, tiba-tiba sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Maka secepat kilat
Rangga menarik tangan Retna Nawangsih
ke belakang. Dan dengan tangkas dia menggerakkan tangannya untuk menang kap tombak itu.
Kemudian dengan sekuat tenaga dia melemparkan kembali ke arah datangnya tombak
itu "Aaa...!" langsung terdengar jeritan menyayat, disusul dengan ambruknya sesosok
tubuh prajurit dari gerumbul semak.
Dan pada saat itu juga dari tempat-tempat tersembunyi, tiba-tiba muncul puluhan
prajurit dengan senjata terhunus di tangan. Tampak Pendeta Gurusinga dan si
Cebol Tangan Baja ada di antara mereka. Sejak tadi Rangga memang sudah menduga
kalau suasana sepi itu disengaja untuk memancing dirinya.
"Retna, cepat bawa orang tua itu pergi. Nanti aku segera menyusul," kata Rangga
berbisik. "Kakang...."
"Jangan pikirkan aku!" sentak Rangga.
"Kakang, kuda Dewa Bayu akan segera datang kalau kau memanggilnya dengan siulan
melengking disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi nadanya harus kecil dan
panjang," kata Retna Nawangsih mengingatkan sebelum dia mengajak
Pendeta Pohaji pergi.
"Retna, hati-hati. Awas...!"
Rangga langsung melompat ketika sebatang tombak
meluncur ke arah Retna Nawangsih. Dan dengan tangkas sekali Pendekar Rajawali
Sakti itu berhasil menangkap tombak itu dan kembali melemparkannya pada
pemiliknya dengan cepat. Kontan saja suara je-Vitan melengking terdengar lagi.
"Serang! Jangan biarkan mereka lolos!" seru Pendeta Gurusinga keras.
Seketika itu juga para prajurit yang sudah mengepung langsung berlompatan hendak
menyerang. Dan Rangga tidak punya pilihan lain. dia harus menghadapi puluhan
para prajurit itu. Kini dia tidak mau tanggung-tanggung lagi, segera dia
mencabut pedang Rajawali Sakti dari warangkanya.
Cring! Saat itu juga para prajurit yang sudah berlompatan hendak menyerang, segera
mundur teratur begitu melihat pedang di tangan Rangga mengeluarkan cahaya biru
berkilauan. Sementara itu Retna Nawangsih sudah jauh berlari dan hampir mencapai tembok
belakang istana kadipaten ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
segera mengebutkan pedang pusakanya ke depan. Tiba-tiba terdengar suara menderu
yang dahsyat dan menggetarkan jantung.
"Majulah kalian semua kalau ingin kukirim ke neraka!"
gertak Rangga. "Kenapa kalian jadi bengong semua" Ayo, serang...!"
bentak Pendeta Gurusinga setelah hilang dari rasa terkejutnya begitu melihat
pedang bercahaya itu.
Mendengar bentakan keras memerintah itu, para prajurit yang sudah gentar hatinya
segera berlompatan kembali menyerang. Tepat pada saat itu Retna Nawangsih sudah
berhasil melompati tembok belakang bersama Pendeta Pohaji.
"Suii t...!"
Mendadak Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada kecil dan panjang.
Sebentar kemudian, terdengar suara ringkik kuda, disusul dengan terdengarnya
derap kaki kuda yang mendekat. Sesaat saja sudah tampak seekor kuda hitam sedang
berlari kencang menghampiri Rangga. Sementara para prajurit yang sudah kembali
mengepung, langsung kocar-kacir menyelamatkan diri dari amukan kuda hitam Dewa
Bayu itu. Sedangkan Pendeta Murtad Gurusinga dan si Cebol Tangan Baja dibuat jadi kalang-
kabut. Mereka hanya bisa berteriak-teriak memerintahkan pada para prajurit untuk
kembali menyerang. Tapi pada saat itu Rangga sudah melompat ke punggung kuda,
dan langsung menggebahnya.
"Hiya...! Hiya...!" teriak Rangga sambil menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.
Kuda Dewa Bayu pun langsung melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Dan Rangga sengaja melarikan kudanya itu melewati pintu gerbang belakang istana
kadipaten ini. "Kejar, cepat! Jangan biarkan keparat itu lolos!" teriak Pendeta Gurusinga
gusar. Dan prajurit-prajurit yang sudah gentar itu terpaksa berlarian. Sebagian sempat
mengambil kuda dan langsung mengejar Rangga. Sementara Pendeta Gurusinga juga
ikut mengejar Rangga dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sedangkan si
Cebol Tangan Baja langsung melompat ke arah Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji
berlari. "Hiya...! Hiya...!" Rangga terus memacu kuda itu mendekati pintu gerbang
belakang istana kadipaten. Tampak dia memutar-mutarkan pedangnya di atas kepala,
dan.... Glarrr...! Suara ledakan keras langsung terdengar bersamaan
dengan hancurnya pintu gerbang belakang istana kadipaten itu. Sedangkan kuda
Dewa Bayu itu langsung menerobos pintu yang sudah hancur berkeping-keping.
Tampak para prajurit yang tengah mengejar dengan kuda, jadi melongo! Mereka
kehilangan jejak begitu Rangga sudah ke luar dari lingkungan istana itu.
Sementara itu kuda Dewa Bayu terus berlari bagaikan angin.
"Bodoh! Kalian semua bodoh!" Pendeta Gurusi-nga memaki habis-habisan.
Tepat pada saat itu Wira Permadi dan Ratih Komala ke luar dari gedung istana.
Dan mereka langsung tersentak begitu melihat pintu gerbang belakang istana
kadipaten itu sudah hancur berkeping-keping.
Kini puluhan prajurit
sudah memenuhi halaman depan istana itu. Pendeta Gurusinga segera menghampiri Adipati
Karang Setra itu.
"Ada apa, Paman Pendeta" Aku mendengar suara ribut-ribut," tanya Wira Permadi.
"Ampun, Gusti Adipati. Tawanan kita lolos," lapor Pendeta Gurusinga.
"Apa..."!" Wira Permadi kaget setengah mati.
"Pendekar Rajawali Sakti yang telah membebaskannya, dia juga telah berhasil
membawa lari kuda Dewa Bayu."
"Kurang ajar! Cari sampai dapat, bunuh mereka!" geram Wira Permadi.
"Baik, Gusti," sahut Pendeta Gurusinga.
Pendeta Gurusinga pun segera memerintahkan para
prajurit untuk mencari Rangga, Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji. Sedangkan
Wira Permadi ber gegas masuk kembali ke istana di kuti oleh ibunya
Tampak sekali kalau Wira Permadi begitu gusar dan marah mendengar kejadian itu
*** Rangga segera menghentikan lari kudanya begitu melihat Retna Nawangsih
melambaikan tangannya. Tampak gadis itu berada di dalam salah satu sebuah kamar
rumah penginapan Ki Lintuk.
"Hitam, bawa mereka menjauhi tempat ini," kata Rangga pada kuda hitamnya.
Kuda itu meringkik, seolah mengerti dengan kata-kata Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti itu pun segera melompat cepat menuju kamar yang jendelanya terbuka.
Sejenak kuda hitam itu meringkik keras, lalu berlari cepat meninggalkan rumah
penginapan itu. Tepat pada saat itu tubuh Rangga sudah masuk ke dalam kamar
penginapan itu, serombongan prajurit berkuda yang dipimpin oleh Pendeta
Gurusinga lewat mengejar kuda hitam itu.
Sejenak Rangga mengamati rombongan prajurit itu dari balik jendela. Dan dia
segera menarik napas lega setelah para prajurit yang mengejarnya berlalu. Sesaat
kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya dan memandang Retna
Nawangsih dan Pendeta Pohaji yang duduk di kursi.
Laki-laki tua kurus itu sudah berganti pakaian. Memang tampak kebesaran, karena
dia tidak mengenakan pakaiannya sendiri.
"Untung kau cepat datang, Kakang...," kata Retna Nawangsih bersyukur.
"Mereka tidak menyakitimu kan, Retna?" tanya Rangga.
Retna Nawangsih hanya menggeleng saja. Tapi wajahnya menyemburat merah. Dia
ingat perlakuan tidak senonoh dari Wira Permadi. Gadis itu bertekat tidak mau
menceritakannya pada siapa pun. Namun hatinya masih terbalut oleh dendam yang
tidak akan terpuaskan kalau belum membunuh adipati yang cabul itu.
"Anak muda...," panggil Pendeta Pohaji.
Rangga segera mengalihkan pandangannya pada laki-laki tua kurus kering itu.
Kemudian dia menghampirinya dengan menyeret kursi ke depannya. Sedangkan Retna
Nawangsih mengambil tempat di tepi pembaringan.
"Batinku merasakan bahwa kau bukan orang lain lagi bagiku. Katakan sejujurnya,
siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji langsung memojokkan.
Rangga tidak langsung menjawab. Sejenak dia menoleh ke arah Retna Nawangsih.
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya saja, seolah mengerti arti tatapan
pendekar itu "Aku hanya seorang pengembara saja, Paman Pendeta,"
jawab Rangga setelah berpikir sejenak.
"Nada suaramu tidak berkata jujur, Anak Muda," Pendeta Pohaji tidak percaya.
"Kakang...,"
Retna Nawangsih tidak melanjutkan ucapannya. "Kalau aku tidak salah dengar tadi, Retna Nawangsih memberitahumu untuk
memanggil kuda Dewa Bayu. Hm..., yang aku tahu, hanya mendiang Gusti Adipati
saja yang bisa memanggilnya. Meskipun orang lain bisa saja menirukan suara
siulan itu, tapi nadanya tidak akan bisa sama. Dan kau.... Ah!
Terlalu muluk rasanya kalau aku menyangka kau adalah Gusti Rangga Pati Permadi,
putra adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu," Pendeta Pohaji seperti
bergumam. Rangga langsung terpaku diam. Rasanya memang sulit
untuk berdusta mengenai siapc. dirinya sebenarnya pada laki-laki tua ini.
Perasaannya sungguh tajam. Dia bertindak dan berbicara berdasarkan hati, bukan
menuruti pikiran duniawi.
Penyatuan jiwanya pada Sang Pencipta sudah hampir
mencapai titik kesempurnaan.
"Paman Pendeta, apakah Paman bisa percaya bahwa seorang anak yang berumur lima
tahun bisa hidup sendiri di dalam rimba yang ganas?"
Rangga mencoba untuk memancing buah pikiran laki-laki tua itu
"Jika Yang Maha Pengasih menghendaki, semua itu bisa saja terjadi," sahut
Pendeta Pohaji bijaksana.
"Jika anak itu sudah dewasa dan sekarang berada di hadapanmu, apakah kau juga
akan percaya?"
"Kenapa tidak" Dan aku memang yakin kalau suatu saat junjunganku pasti akan
datang kembali padaku."
"Paman...."
Rangga tidak dapat lagi menguasai dirinya. Dia langsung berlutut dan mencium
lutut Pendeta Pohaji. Sementara laki-laki tua itu hanya tersenyum dengan kepala
terangguk-angguk. Dan tanpa disadarinya, setitik air bening menggulir dari sudut
matanya. Sedangkan Retna Nawangsih pun tidak mampu lagi untuk membendung air
matanya. Sebuah
pertemuan yang benar-benar mengharukan. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya
terdiam, larut dalam keharuan.
Sementara malam terus merayap semakin larut Titik-titik air hujan mulai turun
membasahi bumi.
"He he he...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh dari luar penginapan
itu. Tentu saja Rangga dan Retna Nawangsih tersentak kaget!
Sedangkan Pendeta Pohaji tetap kelihatan tenang. Dia hanya memiringkan sedikit
kepalanya ke kanan. Sementara suara
tawa yang semula terdengar hanya kekehan biasa, lama-kelamaan berubah menjadi
terbahak-bahak.
"Oh!" keluh Retna Nawangsih sambil menekap telinganya rapat-rapat.
"Kemarikan tanganmu, Retna!" seru Pendeta Pohaji.
Retna Nawangsih segera mendekati Pendeta itu. Dan dia membiarkan saja ketika
tangannya digenggam. Suara tawa yang hampir memecahkan gendang telinga itu,
terus menggema. Jelas kalau suara itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
sangat tinggi. "Paman, Retna..., tetap di sini!" seru Rangga.
"Hiyaaa...!"
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah meluncur ke luar
dari jendela yang terbuka. Dan seketika itu juga suara tawa yang menggema itu
langsung terhenti. Retna Nawangsih bergegas berlari mendekati jendela. Sedangkan
Pendeta Pohaji juga ikut bangkit melangkah ke jendela.
*** "He he he...!"
"Hm...," Rangga mengamati seorang laki-laki gemuk yang bertubuh cebol itu.
Tingginya tidak lebih dari sebatas dada orang dewasa.
"He he he..., jangan bermimpi dulu untuk bisa lolos dari tanganku, Bocah," kata
si Cebol Tangan Baja terus terkekeh.
"Kau pasti si Cebol Tangan Baja, cecunguknya Wira Permadi," gumam Rangga. Kini
dia tahu satu per satu orang-orang yang ada di sekeliling Wira Permadi. Dewi
Purmita dan yang lainnya telah menceritakan kepadanya.
"Tepat!" sahut si Cebol Tangan Baja. "Untuk itu, lebih baik kau menyerah saja,
Bocah. Aku malas menurunkan tangan padamu."
"Tidak semudah yang kau kira, Kakek Cebol!"
Sejenak si Cebol Tangan Baja melirik ke arah Njendela di mana Retna Nawangsih
dan Pendeta Pohaji memperhatikan dari sana. Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-
tiba tubuhnya yang bulat bagai bola itu, melenting ke atas ke arah jendela.
"Hup!"
Rangga pun segera menggenjot tubuhnya ke atas, lalu dengan menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia segera mengibaskan tangannya ke arah perut
buncit laki-laki cebol itu. Tapi dengan manis sekali si Cebol Tangan Baja
berhasil menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Si Cebol Tangan Baja terus meluruk turun dan mendarat dengan indah di tanah.
Sesaat kemudian Rangga pun segera turun dari atas. Kini mereka kembali
berhadapan dengan jarak tidak lebih dari dua batang tombak. Laki-laki cebol itu
kembali terkekeh seperti anak kecil yang kesenangan diberi hadiah mainan.
'Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., kali ini
omongan si Pendeta Edan itu patut dipercaya," kata si Cebol Tangan Baja setengah
bergumam. Rangga masih tetap diam. Dalam satu gerakan saja, dia sudah bisa mengukur
tingkat kepandaian yang dimiliki manusia cebol itu. Dan Rangga tidak ingin
memandang dengan sebelah mata padanya
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Kita akan bertarung sampai ada yang
mampus!" tantang si Cebol Tangan Baja.
"Sebenarnya aku tidak pernah punya urusan denganmu, Kakek Cebol. Tapi kalau kau
menantang atas nama dunia
kependekaran, aku layani!" sahut Rangga masih bisa menghormati laki laki tua
cebol itu "He he he.... Aku kagum dengan sikapmu. Pendekar Rajawali Sakti," kata si Cebol
Tangan Baja sambil menjura hormat.
"Terima kasih," Rangga pun membalas penghormatan itu dengan menjura pula
"Nah! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
"Hih! "
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan si Cebol Tangan Baja sudah
berlangsung seru. Kedua tokoh Sakti itu tidak lagi main-main, mereka langsung
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing.
Tampak Rangga sudah
mengerahkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Pertarungan itu berlangsung dengan cepat, sehingga yang tampak hanyalah dua
bayangan yang berkelebatan saling serang.
Sementara itu dari jarak yang cukup jauh, Retna
Nawangsih dan Pendeta Pohaji memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan
seksama. Tampak sekali kalau Retna Nawangsih begitu mencemaskan keadaan Rangga.
Dia sudah sering mendengar cerita tentang si Cebol Tangan Baja. Ilmu olah
kanuragan dan kesaktiannya sangat tinggi, sulit dicari tandingannya!
"Ah!" Retna Nawangsih terpekik ketika melihat tubuh Rangga terpental kena
sodokan tangan si Cebol Tangan Baja.
"He he he...," si Cebol Tangan baja terkekeh melihat lawannya terjajar di tanah
itu. "Huh!" Rangga mendengus sambil menyeka darah yang ke luar dari mulutnya dengan
punggung tangan. Buru-buru dia bangkit kembali.
"Aku akui kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini belum ada seorang pun
yang mampu menandingiku dalam tiga puluh jurus, tapi kau sudah melayaniku sampai
empat puluh jurus," kembali si Cebol Tangan Baja terkekeh kesenangan.
"Kau juga hebat, Kakek Cebol," balas Rangga setelah bisa berdiri tegak.
"Bagaimana" Apakah bisa diteruskan atau kau menyerah saja?" si Cebol Tangan Baja
menawarkan. "Pantang bagiku untuk menyerah, Kakek Cebol!" sahut Rangga.
"He he he...!" si Cebol Tangan Baja terkekeh. "Bersiaplah, hiyaaa...!"
Laki-laki tua cebol itu kembali melentingkan tubuhnya mengirimkan pukulan
mautnya secara beruntun. Kali ini Rangga menghadapinya dengan mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Tampak si Cebol Tangan Baja sedikit keheranan, karena serangannya selalu luput
dari sasaran. Semen tara gerakan-gerakan tubuh serta kaki Pendekar Raja wali
Sakti begitu liar dan lincah bagai belut. Bahkan kini Rangga sudah berada di
atas angin. Beberapa kali si Cebol Tangan Baja dibuat berjumpalitan untuk
menghindari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Tahan!" bentak Rangga tiba-tiba.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu meliukkan tubuhnya, dan tanpa diduga
sama sekali, tangan kanannya tiba-tiba menyodok tepat ke arah dada si Cebol
Tangan Baja yang lowong.
Dug! "Akh!" si Cebol Tangan Baja langsung memekik tertahan.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang
Kemudian laki-laki tua cebol itu langsung bersiap kembali.
Sejenak tangannya bergerak cepat mengeluarkan senjata yang sejak tadi tersimpan
di balik bajunya.
Tring...! Dua buah senjata semacam tongkat
pendek dengan ujungnya yang lancip
dan bengkok sudah tergenggam di tangannya.
Senjata itu mirip dengan
mata kail raksasa.
"Cabut senjatamu, Bocah!
Kita akan bertarung sampai
mati!" geram si Cebol Tangan Baja. "Hm...," Rangga hanya
menggumam tidak jelas.
"Jangan salahkan aku kalau kau mati tanpa senjata!"
Setelah berkata begitu, si Cebol Tangan Baja lang sung melompat dan menerjang.
Senjata kembar ber-bentuk mata kail raksasa itu berkelebatan cepat menimbulkan
suara angin menggemuruh. Belum lagi asap hitam yang mengepul dari dua senjata
itu membuat mata pedih dan napas sesak.
"Hhh! Senjata anehnya terlalu berbahaya Aku tidak boleh menganggapnya enteng!"
gumam Rangga dalam hati.
Sret! Cring...! *** 8 Cahaya biru langsung memancar terang dan menyilaukan mata saat pedang pusaka
Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Si Cebol Tangan Baja tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat mundur. Tampak sepasang bola matanya membeliak lebar,
seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Kenapa kau mundur, Kakek Cebol" Kau takut...?" ejek Rangga.
"Phuih! Biar kau panggil gurumu sekalian ke sini, aku tidak akan mundur!" dengus
si Cebol Tangan Baja tersinggung.
"Jangan bawa-bawa nama guruku!" bentak Rangga geram.
Rangga memang tidak senang jika lawannya menyebut-
nyebut nama gurunya. Hal itu dianggapnya sebagai
penghinaan. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera
mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
cepat menerjang si Cebol Tangan Baja.
Sementara pedang yang bersinar biru itu berkelebat cepat mengarah ke leher.
Sedangkan si Cebol Tangan Baja segera mengangkat satu senjatanya sambil menarik
kepalanya ke belakang.
Tring! Dua senjata saling beradu.
Si Cebol Tangan Baja tergetar tangannya ketika senjatanya beradu dengan pedang
Rangga. Dia terkejut sekali karena senjatanya kini buntung jadi dua. Belum lagi
hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras dilancarkan Pendekar
Rajawali Sakti.
Buru-buru laki-laki tua cebol itu membuang dirinya ke samping,
lalu bergulingan bagai bola. Dan Rangga mencecarnya dengan babatan-babatan
pedangnya. Sedangkan tubuh cebol itu terus bergelindingan menghindari tebasan-tebasan
pedang yang begitu cepat dan mengancam nyawanya.
Tring! Lagi-lagi si Cebol Tangan Baja terperangah ketika dia memapak serangan pedang
yang beruntun itu. Lalu dengan kesal dia membuang senjatanya yang buntung
terpapas. Kini tampak laki-laki tua cebol itu hendak mengeluarkan ajian
pamungkasnya. "Hm..., kau ingin mengadu kesaktian rupanya," dengus Rangga bergumam.
"Tahan aji 'Sapujagat'ku, Bocah!" sentak si Cebol Tangan Baja geram.
Seketika itu juga kedua tangan manusia cebol itu
mengeluarkan api yang berkobar-kobar dan menyambar ke arah tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga segera
mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang sangat diandalkan Rangga.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat dia menggosok pedang Rajawali Sakti dengan telapak tangan kiri,
seketika itu juga cahaya biru tampak bergulung menggumpal di ujung pedang. Dan
pada saat api yang ke luar dari tangan manusia cebol itu meluncur ke arahnya,
Rangga langsung mengarahkan ujung pedang ke lawannya.
Kontan saja satu ledakan keras terjadi. Bersamaan dengan itu tubuh si Cebol
Tangan Baja langsung terpental beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti masih tetap kokoh berdiri pada kedua kakinya. Sementara itu cahaya biru dari
pedang pusaka itu terus bergulung dan meluncur cepat ke arah tubuh manusia cebol
itu. "Aaakh...!" jeritan melengking terdengar dari mulut si Cebol Tangan Baja.
Tampak tubuh manusia cebol itu menggeliat-geliat
terselubung cahaya biru. Dan Rangga segera memasukkan kembali pedang Rajawali
Sakti ke dalam warangkanya setelah tubuh lawannya tidak bergerak-gerak lagi.
Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak sambil memandang tubuh manusia cebol
yang pelahan lahan berubah lumer jadi tepung.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang melihat tubuh lawannya sudah berubah jadi
tepung. "Kakang...!"
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawang-sih
sedang berlari lari menghampirinya. Dan di belakang gadis itu Pendeta Pohaji
berjalan cepat mengikuti. Sementara itu malam telah berganti pagi. Di ufuk Timur
tampak cahaya merah Jingga menyemburat dan menerobos celah dedaunan Tanpa
terasa, semalamam penuh Pendekar Rajawali Sakti telah bertarung melawan si Cebol
Tangan Baja. "Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Retna Na-wangsih bernada cemas, namun gembira
melihat Rangga dapat
mengalahkan satu lawan tangguh.
"Tidak," sahut Rangga sembari tersenyum.
"Aku mendengar serombongan berkuda tengah menuju ke sini," kata Pendeta Pohaji
seperti bergumam untuk dirinya sendiri.
Rangga segera menengadahkan kepalanya. Telinganya
yang tajam langsung mendengar derap kaki kuda yang sangat banyak jumlahnya.
Semakin lama suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Dan dari arah
Timur tampak debu
mengepul di udara. Sedikit demi sedikit mulai terlihat umbul-umbul yang bergerak
cepat dibawa oleh para penunggang kuda
"Ah, api sudah tersulut di Karang Setra...," desah Pendeta Pohaji.
Sejenak Retna Nawangsih dan Rangga saling berpandangan. Memang benar gumaman pendeta itu. Karang Setra sebentar lagi akan
berkobar. Bara yang telah lama terpendam di dalam sekam, sudah mulai menggeliat
dan menyemburkan api yang akan menghanguskan seluruh
kadipaten ini. *** Rombongan berkuda itu ternyata orang-orang yang ingin
memberontak pada kepemimpinan Adipati Wira Permadi.
Mereka dipimpin langsung oleh Dewi Purmita dan para abdi setia mendiang Adipati
Arya Permadi. Kini pagi yang semula tenang dan damai, langsung berubah jadi
hiruk-pikuk. "Paman Pendeta Pohaji...!" Dewi Purmita seperti tidak percaya begitu melihat
Pendeta Pohaji ada bersama-sama dengan Retna Nawangsih dan Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku tidak menduga kalau bisa melihatmu lagi, Paman," kata Dewi Purmita
terharu. "Semua ini berkat lindungan Yang Maha Kuasa, Anakku Purmita," sahut Pendeta
Pohaji. Sebentar pendeta itu memandangi orang-orang yang
berjumlah ratusan di belakang Dewi Purmita. Mereka semua mengendarai kuda dengan
membawa senjata berbagai
macam. Tampaknya mereka memang sudah siap untuk
bertempur. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Pendeta Pohaji.
"Sudah saatnya bagi kami untuk mengembalikan Karang Setra pada masa jayanya,
Paman Pendeta," jawab Dewi Purmita.
"Peperangan bukan jalan satu-satunya, Anakku Purmita."
"Rasanya sudah tidak ada jalan lain, Paman. Mereka bukan manusia, tapi binatang
yang harus dimusnahkan!"
Pendeta Pohaji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tidak bisa lagi
mencegah pertum pahan darah yang bakal terjadi di kadipaten ini Sementara itu
Bayan Sudira, Ki Lintuk dan beberapa bekas pembesar kadipaten sudah
mengatur para prajurit setia dan para pemuda yang tergabung dalam satu komando
sudah siap untuk mengepung benteng istana kadipaten. Sementara itu suasana di
benteng kadipaten tampak sepi seperti tidak terjaga, tapi dari balik tembok yang
tinggi di atas, bersembulan kepala-kepala manusia dengan senjata terhunus
Rupanya para prajurit yang memihak pada Wira Permadi sudah siap mempertahankan
istana itu. Tampak beberapa puluh prajurit di bawah pimpinan
Rakatala sudah bergerak dan berusaha menembus pintu gerbang yang tebal dan
kokoh. Tapi belum mereka sampai, tiba-tiba ribuan anak panah langsung menghujani
mereka. Kontan saja pekik jerit kental ia n menggema menyayat hati.
Sesaat kemudian tubuh tubuh langsung bergelimpangan tertembus anak panah.
"Mundur...!" teriak Dewi Purmita terkejut.
Hujan anak panah segera berhenti bersamaan dengan
mundurnya sisa prajurit yang masih hidup. Dewi Purmita langsung memanggil
Rakatala. "Kau telah melanggar aturanku, Rakatala!" dengus Dewi Purmita.
"Ampunkan hamba, Gusti Dewi. Hamba hanya ingin mencoba menembus benteng," jawab
Rakatala membungkuk hormat.
"Ceroboh!"
"Ampun, Gusti Dewi."
"Dengar kalian semua, tidak ada seorang pun yang boleh melakukan tindakan tanpa
perintahku!" lantang suara Dewi Purmita.
Saat itu Rangga yang berdiri tidak jauh dari Retna
Nawangsih, mencolek lengan gadis itu. Sejenak Retna Nawangsih menoleh, kemudian
dia mengikuti Rangga yang melangkah menjauhi Dewi Purmita dan para pengikut
setia kadipaten.
"Ada apa?" tanya Retna Nawangsih setelah cukup jauh dari orang-orang itu.
"Rasanya akan sia-sia saja kalau tidak menembus pintu gerbang itu," kata Rangga
tidak berkedip memandang pintu gerbang yang tertutup rapat.
"Sulit, Kakang. Lihat saja, puluhan prajurit sudah jadi korban akibat
kecerobohan Paman Rakatala."
"Aku akan mencobanya," suara Rangga terdengar
bergumam. "Kakang...!" Retna Nawangsih tersentak kaget Rangga tidak menoleh sedikit pun.
Dia terus menatap lurus ke arah pintu gerbang benteng istana itu. Kemudian
pelahan-lahan kakinya melangkah.
"Kakang...!" Retna Nawangsih mengejar.
Gadis itu segera menyambar tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan menyentakkannya
dengan kuat. Rangga terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menatap
tajam pada gadis di sebelahnya itu. Kejadian itu tidak luput dari perhatian Dewi
Purmita, Pendeta Pohaji dan yang lainnya.
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang, apa yang akan kau lakukan?" suara Retna Nawangsih bernada cemas.
"Menghancurkan pintu gerbang benteng itu," sahut Rangga kalem.
"Edan! Apa kau sudah buta. Lihat, mereka menjaganya dengan ketat!"
"Minggirlah, Retna."
'Tidak, Kakang!"
"Minggir kataku!" suara Rangga terdengar keras dan membentak.
"Kau..., kau memerintahku...?" Retna Nawangsih seakan baru tersadar kalau
Pendekar Rajawali Sakti itu adalah pewaris tunggal Kadipaten Karang Setra.
"Ya!" sahut Rangga tegas.
Retna Nawangsih pun segera melangkah mundur. Sejenak Rangga menatapnya, kemudian
mengalihkan pandangannya ke pintu gerbang. Dan langkahnya kembali terayun
pelahan-lahan mendekati pintu gerbang itu. Kemudian dia berhenti setelah
jaraknya tinggal sepuluh batang tombak lagi. Tampak di atas benteng, pasukan
panah kadipaten sudah siap membidik ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu
batang tombak lagi Rangga melangkah, pasti akan dihujani dengan anak-anak panah.
"Suii t...!"
Dua kali Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada yang berbeda. Beberapa
saat kemudian, terdengar derap kaki kuda berlari cepat. Dan muncullah seekor
kuda hitam yang langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama
berselang, semua kepala yang ada di sekitar tembok benteng,
maupun yang ada di dalam benteng istana itu menengadahkan kepalanya. Tampak di angkasa seekor
burung rajawali raksasa melayang-layang mengitari istana kadipaten.
"Rajawali, kacaukan mereka yang ada di dalam tembok!"
seru Rangga lantang.
"Kraaaghk!"
"Hup!"
Rangga langsung melompat ke atas punggung kuda Dewa Bayu, lalu dengan cepat dia
mencabut pedang pusaka
Rajawali Sakti. Seketika itu juga cahaya biru memancar begitu pedang pusaka itu
ke luar dari warangkanya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera
mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!" teriaknya lantang.
*** Tepat ketika burung rajawali raksasa menukik ke dalam
benteng istana, Rangga menggebah kudanya dengan cepat.
Dan bersamaan dengan itu, dia terus mengibaskan pedangnya ke depan. Sementara
cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang langsung meluncur deras dan
menghantam pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu.
Seketika itu juga suara ledakan dahsyat terdengar begitu cahaya biru menghantam
pintu gerbang. Pada saat itu juga, pintu gerbang yang kokoh itu hancur
berkeping-keping Dan dengan cepat bagaikan kilat, Rangga langsung menerobos
masuk bersama kuda Dewa Bayu. Pada saat yang sama,
burung rajawali raksasa telah membuat sibuk orang-orang di dalam benteng itu.
"Serbu...!" terdengar teriakan melengking dari luar benteng.
Sesaat kemudian pekik dan teriakan-teriakan peperangan terdengar bergemuruh.
Tampak para prajurit yang dipimpin langsung oleh Dewi Purmita segera berhamburan
menyerbu pintu benteng istana kadipaten yang sudah jebol. Hujan panah tidak
dihiraukan lagi. Sebentar saja tubuh-tubuh bergelimpangan tertembus anak panah ataupun tombak.
"Rajawali, habiskan mereka yang ada di atas!" seru Rangga keras.
"Khraghk! "
Burung rajawali raksasa itu segera melayang naik dan memporak-porandakan pasukan
panah yang ada di atas
tembok istana kadipaten. Tentu saja para prajurit itu jadi kalang-kabut. Tidak
sedikit yang terjungkal kena kibasan sayap burung rajawali raksasa itu.
Sementara itu Rangga terus mengamuk di atas kuda Dewa Bayu dengan pedang
Rajawali Sakti di tangan. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat pencabut
nyawa, tak seorang pun yang bisa menyentuhnya. Dan setiap kibasan pedangnya
selalu meminta korban nyawa.
"Kakang...!" seru Retna Nawangsih tiba-tiba.
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sedang kewalahan menghadapi
seorang laki-laki tua yang berpakaian pendeta. Maka tanpa berpikir panjang lagi,
Rangga segera melompat dari kudanya sambil berteriak nyaring.
Kalau saja Pendeta Gurusinga tidak merunduk, pasti
lehernya sudah buntung ditebas pedang Rajawali Sakti Kini
pendeta itu jadi terpecah perhatiannya dengan kedatangan Rangga yang langsung
menyerangnya. "Retna, kau bantu yang lain!" perintah Rangga.
"Baik, Kakang!" sahut Retna Nawangsih yang menyadari tidak akan sanggup
menghadapi Pendeta Gurusinga.
"Aku lawanmu, Pendeta Murtad!" seru Rangga geram.
"Phuih!" Pendeta Gurusinga menyemburkan ludahnya.
Rangga yang sudah tidak bisa lagi menguasai amarahnya, langsung mengerahkan aji
pamungkasnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedangkan Pendeta Gurusinga itu
juga tidak mau kalah, dia pun segera mengerahkan ajian andalannya yang
dibanggakan. Tapi belum lagi mereka sempat bentrok mengadu
kesaktian, mendadak muncul Pendeta Pohaji. Kedatangannya yang begitu tiba-tiba
dan cepat, membuat orang tua kurus itu sudah berdiri di tengah-tengah. Dia
menghadap pada pendeta murtad itu.
"Sebaiknya segera cari Wira Permadi, Gusti," kata Pendeta Pohaji yang sudah
mengetahui diri Rangga yang sebenarnya.
"Paman...," Rangga ingin membantah.
"Biar aku yang menghadapi pendeta murtad ini."
"Baiklah!" Rangga segera menarik kembali ajiannya, dan memasukkan
pedang pusakanya kembali ke dalam warangkanya. Tapi belum juga Rangga sempal meninggalkan tempat itu. Pendeta-
pendeta yang berlawanan alirannya itu sudah saling mengadu kesaktian.
Dan Rangga tidak sempat lagi untuk menyaksikan, karena dia melihat Dewi Purmita
dan Retna Nawangsih tengah menghadapi lawan
utamanya. Tampak Dewi Purmita menghadapi Ratih Komala, sedangkan Retna Nawangsih
menghadapi Wira Permadi. Sementara itu pertarungan antar prajurit di dalam
lingkungan benteng istana juga terus berlangsung dengan sengit Sejenak Rangga
menengadahkan kepalanya ke atas. Tampak burung rajawali raksasa hanya melayang-
layang saja di udara.
"Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak mendengar pekikan tertahan dari Retna
Nawangsih. Tampak gadis itu terjajar ke belakang dan menabrak dinding bangunan
utama istana. Dan pada saat itu Wira Permadi sudah melompat dengan pedang
terhunus yang mengarah dada Retna Nawangsih.
"Hup!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya. Dan hinggap di depan Retna Nawangsih.
Secepat kilat dia merapatkan kedua telapak tangannya di saat ujung pedang Wira
Permadi tinggal beberapa helai rambut lagi membelah dada Retna Nawangsih
"Hih! " Wira Permadi berusaha mencabut pedangnya dari jepitan telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti
"Wira, sadarlah. Perintahkan pada para prajuritmu untuk segera
menghentikan perlawanan! Aku janji akan mengampuni semuanya dan melupakannya!" perintah Rangga berusaha menyadarkan Wira
Permadi. Namun belum sempat Wira Permadi menjawab, terdengar jeritan melengking tinggi
menyayat hati. Tampak Dewi Purmita telah menyelesaikan pertarungannya dengan
Ratih Komala. Pedang Dewi Purmita menembus dalam di dada ibu kandung Wira
Permadi. "Ibu...!" jerit Wira Permadi.
Seketika Rangga terlengah, dan kesempatan itu tidak disia-siakan Wira Permadi.
Secepat kilat dia menarik pedangnya, dan langsung memutarkan senjatanya,
sehingga.... "Akh!" Rangga memekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak sempat lagi untuk berkelit.
Ujung pedang Wira Permadi telah merobek bahu kirinya.
Tampak darah segera mengucur deras dari luka yang cukup dalam dan lebar itu.
"Kakang...!" Retna Nawangsih terkejut. "Keparat! Kubunuh kau...!"
Retna Nawangsih langsung menerjang sambil mengarahkan pedangnya ke dada Wira
Permadi, namun dengan manis sekali Wira Permadi mengelakkannya! Dan dengan cepat
sekali tangannya melayang dan menghantam punggung Retna
Nawangsih, sehingga membuat
gadis itu terjerembab
mencium tanah, v Dan bersamaan dengan Wira Permadi yang hendak mengibaskan
pedangnya ke arah Retna Nawangsih, Rangga buru-buru mengambil sebilah pedang
yang tergeletak di dekat kakinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
melompat dan memapak tebasan pedang Wira Permadi.
Tring! Sejenak Wira Permadi terlonjak ke belakang. Tampak
bibirnya meringis karena merasakan pegal dan nyeri pada lengannya. Dan belum
lagi dia sempat untuk berbuat sesuatu, dengan cepat Rangga menempelkan ujung
pedang yang dipungutnya tadi ke tenggorokan Wira Permadi.
*** "Berhenti...!" terdengar teriakan keras menggelegar.
Rangga sempat melirik pada arah datangnya suara.
Ternyata suara keras dan bertenaga dalam tinggi itu datang dari Pendeta Pohaji
yang telah berhasil mengalahkan lawannya, Pendeta Murtad Gurusinga. Seketika itu
juga pertarungan berhenti. Tampak para prajurit Wira Permadi yang melihat
junjungannya sudah tidak berdaya, langsung membuang senjata mereka.
"Dengar kalian semua! Yang Maha Kuasa telah mengirim kembali junjungan kita yang
hilang selama dua puluh tahun.
Kini Gusti Rangga Pati Permadi telah berada di tengah-tengah kita," keras dan
bergema suara Pendeta Pohaji.
Semua mata yang ada di sekitar tempat itu langsung
menatap pada Rangga. Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan kelengahan yang hanya sekejap itu. dimanfaatkan oleh Wira Permadi
untuk kabur, tapi Retna Nawangsih yang tidak pernah lepas mengawasinya dengan
cepat melemparkan pedangnya....
"Retna, jangan...!" seru Rangga terkejut. Tapi terlambat....
"Aaa...!" Wira Permadi menjerit melengking.
Tampak Adipati Karang Setra yang tidak syah itu terjungkal dengan punggung
tertembus pedang sampai ke dada.
Seketika itu juga Rangga langsung berlari menghampirinya.
Pelahan-lahan dia mengangkat tubuh adik tirinya itu.
"Wira...," tersendat suara Rangga.
"Ka..., akh...!"
"Wira...!" jerit Rangga sambil menggoyang-goyangkan tubuh Wira Permadi yang
oudah lemas dan tak bernyawa lagi.
Rangga langsung memeluk tubuh adik tirinya itu dengan erat. Bagaimanapun juga
dia sangat menyesalkan kematian Wira Permadi, satu-satunya saudaranya yang dia
temui selama dua puluh tahun ini. Suasana jadi hening seketika.
Semua yang ada diliputi keharuan.
Beberapa saat kemudian Rangga mengangkat kepalanya
dan memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Lalu dia berdiri sambil
mengangkat tubuh adik tirinya itu. Pelahan-lahan kakinya melangkah menuju ke
dalam istana kadipaten.
Sementara itu Pendeta Pohaji, Dewi Purmita, Bayan Sudira, Ki Lintuk dan Retna
Nawangsih mengikutinya tanpa berbicara sedikit pun. Tampak sekali kalau Retna
Nawangsih murung seolah menyesali tindakannya itu. Pelahan-lahan Rangga
membaringkan tubuh Wira Permadi di balai-balai yang ada di tengah-tengah ruangan
depan istana yang luas. Sebentar dia
memandangi tubuh yang terbujur kaku itu, lalu mencabut pedang yang menancap di
punggungnya. "Gusti...!"
Rangga segera menoleh begitu mendengar suara dari
sampingnya. Pandangannya sayu menatap Pendeta Pohaji.
"Kami semua menunggu perintah, Gusti," kata Pendeta Pohaji.
Sejenak Rangga menarik napas panjang.
"Pulihkan keadaan, dan siapkan upacara pemakaman untuk Adi Wira Permadi dan Ibu
Ratih Komala," kata Rangga pelan.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Pendeta Pohaji seraya membungkuk memberi
hormat. Kemudian Pendeta Pohaji segera mengajak Bayan Sudira dan yang lainnya untuk
meninggalkan tempat ini. Kini yang ada di ruangan itu hanya Dewi Purmita, Retna
Nawangsih dan Rangga sendiri. Sejenak Rangga memandang perempuan tua adik misan
mendiang ibunya itu.
"Jangan larut dalam kesedihan. Kau harus segera mempersiapkan diri untuk
penobatan menjadi raja di Karang Setra ini," kata Dewi Purmita mengingatkan.
"Tidak secepat itu," sahut Rangga pelan.
"Ya, tentu saja setelah keadaan bisa terkendali, sambil menunggu kedatangan
utusan khusus dari kerajaan," lanjut Dewi Purmita.
Rangga diam saja. Dan pelahan lahan dia melangkah ke luar dari ruangan depan
istana itu. Retna Nawangsih segera mengikuti.
"Gusti...," pelan suara Retna Nawangsih.
Rangga menghentikan langkahnya di depan pintu.
"Maafkan, hamba telah berbuat lancang," kata Retna Nawangsih menyesal.
"Kau tidak salah, Retna. Mungkin memang sudah
takdirnya," sahut Rangga mendesah
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik menghadap gadis cantik itu.
"Retna, aku harus pergi," kata Rangga dengan suara berat.
"Ke mana?" tanya Retna Nawangsih kaget.
"Rasanya aku belum bisa meninggalkan duniaku, dunia pendekar yang penuh dengan
tantangan," sahut Rangga pelan.
"Tapi, Karang Setra membutuhkan seorang pemimpin, Gusti. Dan hanya Gusti-lah
yang diharapkan. Lagi pula, Gusti Prabu sudah jatuh kata akan menganugerahkan
Kadipaten Karang Setra menjadi sebuah kerajaan jika Gusti kembali.
Gusti akan menjadi raja di Karang Setra ini."
"Benar, Anakku Rangga."
Rangga dan Retna Nawangsih menoleh. Tampak Dewi
Purmita sudah ada di dekat mereka kembali.
"Akulah satu-satunya keluarga dari ibumu yang masih hidup. Dan aku tahu benar
semua keturunan Kanda Arya Permadi. Kini hanya kau satu-satunya orang yang
berhak untuk menjadi raja di sini," lanjut Dewi Purmita.
Rangga tidak menjawab. Memang berat untuk menentukan pilihan ini. Sebenarnya
hatinya belum bisa untuk menerima, tapi dia juga tidak bisa menolak begitu saja.
Di benaknya merasakan, bahwa tugasnya sebagai pendekar belum selesai.
Lama juga Rangga menimbang-nimbang. Kemudian dia
kembali melangkah ke luar. Di sana tampak burung Rajawali Sakti dan kuda Dewa
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayu berdiri bersisian di tengah-tengah halaman depan istana ini. Kesibukan juga
sedang terjadi, para
prajurit yang masih hidup tengah mengumpulkan mayat-mayat dan para prajurit yang
terluka. "Mungkin aku bersedia untuk menjadi raja, tapi aku tidak bisa meninggalkan
duniaku sebagai seorang pendekar
pembela kebenaran," kata Rangga seperti, bicara pada dirinya sendiri.
'Tidak sedikit Raja yang berjiwa pendekar, Anakku," kata Dewi Purmita seraya
tersenyum senang.
Rangga tidak menyahuti, dia kembali melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti, dan mendekati burung rajawali raksasa. Beberapa
saat lamanya dia berbicara dengan burung itu. Entah apa yang dibicarakannya. Dan
tidak lama kemudian tampak burung itu mengepakkan sayapnya dan segera
meninggalkan istana Karang Setra.
"Kakang...."
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sudah berdiri disampingnya
"Ada apa "
"Boleh juga kalau aku ikut dalam pengembaraanmu nanti?"
"Kalau gurumu mengijinkan."
"Oh! Terima kasih, Kakang."
Kalau saja di sekitar mereka tidak banyak orang, pasti Retna Nawangsih sudah
memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi kini Retna Nawangsih hanya bisa memandang saja dengan sejuta rasa. Dan
Rangga pun segera membalasnya dengan memberikan senyuman yang tidak mudah untuk
diartikan oleh gadis itu.
"Raja...," desah Rangga dalam hati. "Bisakah aku jadi raja "
" SELESAI Pembuat Ebook :
Scan ke Djvu : Syaugy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
Convert & Editor text : Dewi KZ
Pdf by : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewi-kz.info/
Pedang Semerah Darah 2 Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Pendekar Pemanah Rajawali 22
Nawangsih Tubuhnya yang tegap telah menghantam meja hingga hancur berantakan.
Tentu saja suara ribut-ribut di dalam kamar khusus itu membuat Pendeta Gurusinga
dan Ratih Komala datang. Dan mereka langsung tersentak begitu melihat Retna
Nawangsih berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan.
Belum sempat Retna Nawangsih menyadari kedatangan
kedua orang itu, mendadak Pendeta Gurusinga menyentakkan
tangan kanannya. Tampak dua buah benda kecil meluncur deras ke arahnya.
"Akh!" Retna Nawangsih memekik tertahan begitu dua benda kecil yang ternyata
jarum pembius itu menempus punggungnya.
Seketika itu juga Retna Nawangsih ambruk ke lantai.
Sementara Pendeta Gurusinga bergegas menghampiri dan mengeluarkan kembali jarum
pembiusnya dari punggung gadis itu. Sejenak dia memandangi, kemudian beralih
menatap Wira Permadi yang sudah telanjang dada.
"Sudah aku katakan, jangan samakan dia dengan tawanan yang lain!" bentak Ratih
Komala gusar. "Bawa dia ke penjara!"
"Baik, Gusti Ayu," sahut Pendeta Gurusinga serada mengangkat tubuh Retna
Nawangsih yang pingsan.
Ratih Komala segera menutup pintu kamar kembali setelah Pendeta Gurusinga ke
luar sambil membawa tubuh Retna Nawangsih. Dia berdiri saja membe lakangi pintu
dan menatap putranya yang sedang mengenakan pakaiannya kembali
"Bikin malu saja!" dengus Ratih Komala
"Maafkan saya, Bu," hanya itu yang mampu diucapkan oleh Wira Permadi. Tapi raut
wajah dan sorot matanya tidak mencerminkan rasa penyesalan. Yang ada justru rasa
penasaran dan dendam.
"Ah, sudahlah! Sekarang kau minta maaf, besok atau lusa pasti kau ulangi lagi!"
Wira Permadi cuma
meringis saja. Kemudian dia membantingkan tubuhnya di pembaringan. Dalam hatinya dia masih tetap penasaran
jika belum dapat menaklukkan gadis cantik itu. Tubuhnya begitu indah dan
menggairahkan. Kini dia menulikan telinga, dan tidak mau lagi mendengar nasihat-
nasihat dan peringatan ibunya. Yang ada dalam hati dan
pikirannya hanyalah kemolekan dan keindahan tubuh Retna Nawangsih.
"Oh...!"
"Kau sudah sadar rupanya, Anak Manis."
"Heh!" Retna Nawangsih tersentak kaget begitu sadar dari pingsannya.
Retna Nawangsih segera mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tampak ruangan itu sangat kecil dan semua dindingnya terbuat dari
batu dan sudah berlumut tebal.
Udaranya juga lembab, sedangkan dari atapnya menitik air.
Pelan-pelan gadis itu menggeser duduknya dan merapat ke dinding. Dia sadar bahwa
di ruangan yang sempit ini ada orang lain. Tampak seorang tua yang tubuhnya
kurus kering dengan pakaian kotor dan compang-camping. Sedangkan rambutnya
panjang dan hampir menutupi wajahnya.
"Jangan takut, Anak Manis. Kau pingsan cukup lama. Aku Pendeta Pohaji. Hampir
sepuluh tahun aku mendekam di balik dinding batu ini," laki-laki tua kumal itu
memperkenalkan diri.
"Pendeta Pohaji..."!" Retna Nawangsih mengerutkan keningnya.
Gadis itu segera memandangi laki-laki tua yang mengaku dirinya Pendeta Pohaji
itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan pendeta itu selama hidupnya, tapi
dia sudah sering mendengar namanya, juga riwayat hidupnya
"Siapa namamu, Anak Manis" Kenapa mereka sampai memasukkanmu ke sini?" tanya
Pendeta Pohaji "Aku Retna Nawangsih Aku ditangkap mereka karena ingin memberontak...," Retna
Nawangsih pun segera menceritakan semuanya yang telah terjadi.
Sementara Pendeta Pohaji terangguk-angguk
mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum, dan bola matanya berbinar-binar. Sedangkan
wajahnya yang kotor jadi kelihatan cerah kembali. ' "Jadi, Gusti Dewi Purmita
masih hidup" Juga Lintuk, Bayan Sudira...?" tanya Pendeta Pohaji ingin
meyakinkan. "Benar, bahkan mereka sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan
manusia-manusia durhaka itu!" sahut Retna Nawangsih agak emosi.
"Oh..., Tuhan, rupanya kau mendengar juga doa-doaku...,"
desah Pendeta Pohaji.
"Paman Pendeta, kenapa mereka sampai mengurungmu di sini begitu lama?" tanya
Retna Nawangsih.
"Nasibku memang tidak seberuntung yang lain. Tapi aku tidak menyesal," Pendeta
Pohaji seperti bicara sendiri.
"Paman Pendeta kan seorang pendekar yang sakti, kenapa tidak mencoba untuk
melarikan diri" Rasanya tidak sulit bagi Paman untuk menjebol dinding batu ini,"
kata Retna Nawangsih.
"Tidak, Anakku. Kalau aku melarikan diri, itu namanya aku menentang kehendak
Tuhan Aku yakin suatu saat kelak, mereka akan hancur, dan aku bisa ke luar dari
sini tanpa menentang kodrat yang telah ditetapkanNya," sahut Pendeta Pohaji.
"Kalau aku ingin berusaha ke luar, apakah Paman akan mencegah?"
Pendeta Pohaji hanya tersenyum dan menggeleng-
gelengkan kepalanya. Meskipun Retna Nawangsih tidak menceritakan tentang
dirinya, tapi dia sudah tahu kalau gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang
cukup tinggi. Tapi tampaknya belum cukup untuk bisa menjebol dinding batu ini.
Retna Nawangsih yang sudah bersiap-siap mengeluarkan ajiannya untuk menjebol
dinding batu ruangan sempit itu, segera mengurungkan niatnya begitu melihat
Pendeta Pohaji tersenyum-senyum. Sejenak dia membetulkan kain yang membelit
rubuhnya, kemudian menggeser duduknya mendekati laki-laki tua itu.
"Kenapa tidak jadi?" tanya Pendeta Pohaji.
"Tidak. Paman benar, aku tidak boleh menentang garis yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Aku yakin, pasti nanti akan ada orang yang datang membebaskan kita,"
sahut Retna Nawangsih.
"Uh..., Tuhan, berkatilah anakku ini," gumam Pendeta Pohaji.
Retna Nawangsih baru mau membuka mulutnya, tapi
mendadak saja dia merasakan perutnya mual, dan dadanya jadi sesak. Kemudian
tanpa dapat dicegah lagi dia
memuntahkan cairah merah kental dari mulutnya. Seketika itu juga tubuhnya terasa
dingin dan menggigil.
"Anakku, kau terluka?" tanya Pendeta Pohaji cemas.
"Aku tidak tahu, Paman Pendeta," sahut Retna Nawangsih lirih
"Apa yang kau rasakan?"
"Perutku mual, dan..., dadaku sesak."
Sejenak Pendeta Pohaji meraba perut gad:s itu, kemudian dia mendekatkan
telinganya ke dada Retna Nawangsih.
Sementara gadis itu hanya memejamkan mata saja. Dia baru membuka matanya kembali
setelah pundaknya ditepuk
dengan lembut. "Kau telah terkena jarum pembius Pendeta Murtad Gurusinga. Kelihatannya memang
tidak ber bahaya, tapi kalau kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa murni, maka
racun yang merasuk ke dalam darahmu akan bekerja," kata Pendeta Pohaji.
"Maksud Paman Pendeta, Jarum Pembius Racun Perak?"
Retna Nawangsih menebak.
"Benar."
"Oh...," Retna Nawangsih mendesah lirih.
"Tidak perlu cemas, anakku. Aku akan mencoba untuk mengeluarkan racun itu dari
tubuhmu. Meskipun racun itu sangat berbahaya dan bisa membunuh dengan cara
pelahan-lahan," Pendeta Pohaji menenangkan gadis itu.
"Aku akan mati, Paman Pendeta. Racun itu sangat berbahaya sekali. Mungkin aku
hanya bisa bertahan selama tujuh hari," lemas seluruh tubuh Retna Nawangsih.
"Kau lupa siapa aku, Anakku?"
Retna Nawangsih tersentak. Dia baru ingat kalau racun dari Jarum Pembius Racun
Perak milik Pendeta Gurusinga memang sulit dihilangkan, tapi Pendeta Pohaji bisa
melenyapkan pengaruh racun itu. Ya..., memang hanya Pendeta Pohaji yang sanggup
untuk mengeluarkan racun itu dari tubuh seseorang.
Dan Retna Nawangsih tahu hal itu, karena gurunya, Dewi Purmita pernah
menceritakan padanya.
"Aku akan berusaha mengeluarkan racun itu dari dalam tubuhmu. Tapi kau tidak
boleh mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam selama sehari semalam penuh. Sebab
sekali saja kau mencoba, akibatnya akan fatal bagi dirimu sendiri!"
"Oh, terima kasih, Paman Pendeta," ucap Retna Nawangsih gembira.
"Sekarang buka bagian atas penutup tubuhmu," perintah Pendeta Pohaji.
"Oh!" Retna Nawangsih tampak terlongong.
"Duduk bersila membelakangiku!" sambung Pendeta Pohaji tidak menghiraukan
keterkejutan gadis itu.
Sejenak Retna Nawangsih masih ragu, tapi dia kemudian memutar tubuhnya
membelakangi pendeta itu. Dan dengan pelahan-lahan dia melepaskan kain yang
membelit tubuhnya, lalu menurunkannya sampai ke pinggang. Kemudian Retna
Nawangsih menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya. Sedangkan matanya langsung terpejam ketika merasakan sepasang telapak
tangan yang dingin telah menyentuh kulit bagian punggungnya.
"Kosongkan jiwamu, dan jangan melakukan gerakan apa pun!" perintah Pendeta
Pohaji. "Baik, Paman," sahut Retna Nawangsih.
Gadis itu pun kembali memejamkan matatanya rapat-rapat.
Dia mulai mengosongkan jiwa dengan bersemadi untuk
mendekatkan jiwa dan raga pada sang pencipta. Sementara Pendeta Pohaji mulai
bergetar tubuhnya. Tampak keringat mulai menitik di kening.
Beberapa saat kemudian tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari kurus
keriput yang menempel di punggung putih mulus. Saat itu, seluruh tubuh Retna
Nawangsih juga berkeringat. Dan ketika tubuh gadis itu menggeletar, buru-buru
Pendeta Pohaji menarik kembali tangannya. Saat itu juga Retna Nawangsih ambruk
tidak sadarkan diri.
"Ah..., untung belum terlalu lama racun itu mengendap,"
desah Pendeta Pohaji bersyukur.
Kemudian laki-laki tua yang kurus kering dan kumal itu segera menutupi tubuh
Retna Nawangsih. Sejenak dia
memandangi, lalu menggeser duduknya menjauh. Pendeta itu kembali melakukan
semadi. *** 7 Malam sudah begitu larut menyelimuti keadaan di sekitar Kadipaten Karang Setra.
Sementara kesunyian telah melanda seluruh pelosok kadipaten itu. Di atas sana
langit tampak menghitam tanpa kehadiran bintang dan bulan yang biasa menghiasi.
Angin malam pun terasa dingin membuat semua orang lebih senang tinggal di dalam
rumah. Hanya sesekali masih tampak para peronda yang berkeliling menjaga
keamanan. Pada saat itu tampak sebuah bayangan putih yang
berkelebat cepat memutari tembok istana kadipaten.
Bayangan putih itu berhenti di bawah pohon yang rindang dan besar di samping
sebelah Utara tembok benteng. Dilihat dari pakaian dan senjata yang dibawa,
jelaslah kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Sepi, tidak seperti biasanya...," gumam Rangga dalam hati.
Keadaan di sekitar istana kadipaten yang sepi itu membuat Pendekar Rajawali
Sakti lebih waspada. Dia menduga, kalau keadaan seperti ini
memang disengaja.
Sejenak dia mengawasi keadaan sekitarnya, lalu...
"Hup!"
Bagai kapas tertiup angin, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara
dan hinggap dengan indah di atas tembok istana kadipaten itu Tampak Rangga
segera menekuk lututnya begitu menyentuh dinding tembok yang dipijaknya.
Kembali matanya mengamati sekitar lingkungan istana itu dengan tajam.
Kemudian Rangga kembali melentingkan tubuhnya dan
turun dari atas tembok yang tebal dan tinggi itu. Dan begitu kakinya menyentuh
tanah, dia pun langsung melenting tinggi ke atas atap. Kini Rangga kembali ingat
sedikit-sedikit suasana
dan keadaan lingkungan istana kadipaten ini, hal itu memungkinkan dia bergerak
leluasa dan hati-hati.
"Hm..., hanya ada dua orang penjaga di depan pintu penjara," gumam Rangga dalam
hati. Maka dengan satu gerakan yang manis, Rangga melesat ke arah dua penjaga itu Dan
sebelum mereka sempat menyadari, Rangga segera menotok jalan darahnya tanpa
melukai sedikit pun Kemudian dia buru-buru membuka pintu penjara itu, dan
melangkah masuk.
Penjara itu terdiri dari sebuah lorong yang menuju dalam tanah. Kini Pendekar
Rajawali Sakti itu mulai memeriksa setiap kamar tahanan yang berdinding batu
tebal dan kokoh. Udara di dalam penjara ini begitu lembab, dan semua dindingnya
tampak sudah ber lumut tebal.
Sudah semua kamar tahanan dia periksa, tapi tidak satu pun yang berisi Retna
Nawangsih. Kemudian Rangga menatap satu pintu yang letaknya paling ujung. Dan
pelahan-lahan dia mendekati pintu yang terkunci dengan rantai baja itu.
"Hsss. .!" Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan rantai
baja itu. Bunyi berderit sedikit terdengar ketika pintu yang sudah putus rantainya itu
dibuka pelahan-lahan. Sejenak Rangga tertegun begitu melihat Retna Nawangsih
sedang duduk bersila didampingi oleh seorang laki-laki tua yang bertubuh kurus
kering dan kumal.
"Retna...," panggil Rangga pelan.
Retna Nawangsih membuka matanya.
"Kakang...!" seru Retna Nawangsih terkejut. Dia gembira melihat Rangga tiba-tiba
sudah berdiri di depan pintu kamar tahanan ini.
Retna Nawangsih langsung melompat dan memeluk
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia sampai tidak sadar kalau tubuhnya hanya
terbungkus dengan kain saja. Sesaat
kemudian Rangga melepaskan pelukan gadis itu dan
memegang pergelangan tangannya.
"Ayo kita ke luar dari sini," ajak Rangga.
"Kakang...," Retna Nawangsih mencegah Rangga yang sudah mau ke luar. Matanya
melirik pada laki-laki tua yang duduk di ruangan itu.
Rangga pun ikut menoleh pada laki-laki tua yang tetap duduk bersila dengan mata
tertutup. "Pergilah kalian, biarkan aku tetap di sini," kata Pendeta Pohaji tanpa
menggerakkan mulutnya.
"Paman, bukankah ini yang dinamakan kehendak Tuhan"
Kakang Rangga akan membebaskan kita," kata Retna Nawangsih berusaha membujuk.
"Rangga..."!" Pendeta Pohaji langsung membuka matanya begitu mendengar nama
Rangga. Sejenak Rangga jadi tertegun melihat laki-laki tua itu memandangnya dengan penuh
selidik. Kemudian dengan
pelahan-lahan Pendeta Pohaji bangkit dari semadinya. Dan dengan tertatih-tatih
dia menghampiri. Pandangannya tetap tajam ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Sebenarnya aku belum yakin..., tapi.... Baiklah aku akan ikut dengan kalian
asal kau mau berjanji untukku, Anak Muda," kata Pendeta Pohaji.
"Janji apa?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan siapa dirimu yang sebenarnya setelah kita sampai di luar."
"Baiklah!" sahut Rangga tani m pikir panjang lagi Rangga pun segera menarik
langan Ketua Na wangsih.
Sementara Pendeta Pohaji mengikutinya dari belakang.
Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang berjalan cepat di depannya sambil
menuntun Retna Nawangsih.
"Ah...!" Pendeta Pohaji mendesah panjang. Dia seperti sedang berbantahan dengan
batinnya sendiri.
*** Baru saja Rangga menginjakkan kakinya di luar pintu
penjara, tiba-tiba sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Maka secepat kilat
Rangga menarik tangan Retna Nawangsih
ke belakang. Dan dengan tangkas dia menggerakkan tangannya untuk menang kap tombak itu.
Kemudian dengan sekuat tenaga dia melemparkan kembali ke arah datangnya tombak
itu "Aaa...!" langsung terdengar jeritan menyayat, disusul dengan ambruknya sesosok
tubuh prajurit dari gerumbul semak.
Dan pada saat itu juga dari tempat-tempat tersembunyi, tiba-tiba muncul puluhan
prajurit dengan senjata terhunus di tangan. Tampak Pendeta Gurusinga dan si
Cebol Tangan Baja ada di antara mereka. Sejak tadi Rangga memang sudah menduga
kalau suasana sepi itu disengaja untuk memancing dirinya.
"Retna, cepat bawa orang tua itu pergi. Nanti aku segera menyusul," kata Rangga
berbisik. "Kakang...."
"Jangan pikirkan aku!" sentak Rangga.
"Kakang, kuda Dewa Bayu akan segera datang kalau kau memanggilnya dengan siulan
melengking disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi nadanya harus kecil dan
panjang," kata Retna Nawangsih mengingatkan sebelum dia mengajak
Pendeta Pohaji pergi.
"Retna, hati-hati. Awas...!"
Rangga langsung melompat ketika sebatang tombak
meluncur ke arah Retna Nawangsih. Dan dengan tangkas sekali Pendekar Rajawali
Sakti itu berhasil menangkap tombak itu dan kembali melemparkannya pada
pemiliknya dengan cepat. Kontan saja suara je-Vitan melengking terdengar lagi.
"Serang! Jangan biarkan mereka lolos!" seru Pendeta Gurusinga keras.
Seketika itu juga para prajurit yang sudah mengepung langsung berlompatan hendak
menyerang. Dan Rangga tidak punya pilihan lain. dia harus menghadapi puluhan
para prajurit itu. Kini dia tidak mau tanggung-tanggung lagi, segera dia
mencabut pedang Rajawali Sakti dari warangkanya.
Cring! Saat itu juga para prajurit yang sudah berlompatan hendak menyerang, segera
mundur teratur begitu melihat pedang di tangan Rangga mengeluarkan cahaya biru
berkilauan. Sementara itu Retna Nawangsih sudah jauh berlari dan hampir mencapai tembok
belakang istana kadipaten ini. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
segera mengebutkan pedang pusakanya ke depan. Tiba-tiba terdengar suara menderu
yang dahsyat dan menggetarkan jantung.
"Majulah kalian semua kalau ingin kukirim ke neraka!"
gertak Rangga. "Kenapa kalian jadi bengong semua" Ayo, serang...!"
bentak Pendeta Gurusinga setelah hilang dari rasa terkejutnya begitu melihat
pedang bercahaya itu.
Mendengar bentakan keras memerintah itu, para prajurit yang sudah gentar hatinya
segera berlompatan kembali menyerang. Tepat pada saat itu Retna Nawangsih sudah
berhasil melompati tembok belakang bersama Pendeta Pohaji.
"Suii t...!"
Mendadak Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada kecil dan panjang.
Sebentar kemudian, terdengar suara ringkik kuda, disusul dengan terdengarnya
derap kaki kuda yang mendekat. Sesaat saja sudah tampak seekor kuda hitam sedang
berlari kencang menghampiri Rangga. Sementara para prajurit yang sudah kembali
mengepung, langsung kocar-kacir menyelamatkan diri dari amukan kuda hitam Dewa
Bayu itu. Sedangkan Pendeta Murtad Gurusinga dan si Cebol Tangan Baja dibuat jadi kalang-
kabut. Mereka hanya bisa berteriak-teriak memerintahkan pada para prajurit untuk
kembali menyerang. Tapi pada saat itu Rangga sudah melompat ke punggung kuda,
dan langsung menggebahnya.
"Hiya...! Hiya...!" teriak Rangga sambil menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.
Kuda Dewa Bayu pun langsung melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Dan Rangga sengaja melarikan kudanya itu melewati pintu gerbang belakang istana
kadipaten ini. "Kejar, cepat! Jangan biarkan keparat itu lolos!" teriak Pendeta Gurusinga
gusar. Dan prajurit-prajurit yang sudah gentar itu terpaksa berlarian. Sebagian sempat
mengambil kuda dan langsung mengejar Rangga. Sementara Pendeta Gurusinga juga
ikut mengejar Rangga dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sedangkan si
Cebol Tangan Baja langsung melompat ke arah Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji
berlari. "Hiya...! Hiya...!" Rangga terus memacu kuda itu mendekati pintu gerbang
belakang istana kadipaten. Tampak dia memutar-mutarkan pedangnya di atas kepala,
dan.... Glarrr...! Suara ledakan keras langsung terdengar bersamaan
dengan hancurnya pintu gerbang belakang istana kadipaten itu. Sedangkan kuda
Dewa Bayu itu langsung menerobos pintu yang sudah hancur berkeping-keping.
Tampak para prajurit yang tengah mengejar dengan kuda, jadi melongo! Mereka
kehilangan jejak begitu Rangga sudah ke luar dari lingkungan istana itu.
Sementara itu kuda Dewa Bayu terus berlari bagaikan angin.
"Bodoh! Kalian semua bodoh!" Pendeta Gurusi-nga memaki habis-habisan.
Tepat pada saat itu Wira Permadi dan Ratih Komala ke luar dari gedung istana.
Dan mereka langsung tersentak begitu melihat pintu gerbang belakang istana
kadipaten itu sudah hancur berkeping-keping.
Kini puluhan prajurit
sudah memenuhi halaman depan istana itu. Pendeta Gurusinga segera menghampiri Adipati
Karang Setra itu.
"Ada apa, Paman Pendeta" Aku mendengar suara ribut-ribut," tanya Wira Permadi.
"Ampun, Gusti Adipati. Tawanan kita lolos," lapor Pendeta Gurusinga.
"Apa..."!" Wira Permadi kaget setengah mati.
"Pendekar Rajawali Sakti yang telah membebaskannya, dia juga telah berhasil
membawa lari kuda Dewa Bayu."
"Kurang ajar! Cari sampai dapat, bunuh mereka!" geram Wira Permadi.
"Baik, Gusti," sahut Pendeta Gurusinga.
Pendeta Gurusinga pun segera memerintahkan para
prajurit untuk mencari Rangga, Retna Nawangsih dan Pendeta Pohaji. Sedangkan
Wira Permadi ber gegas masuk kembali ke istana di kuti oleh ibunya
Tampak sekali kalau Wira Permadi begitu gusar dan marah mendengar kejadian itu
*** Rangga segera menghentikan lari kudanya begitu melihat Retna Nawangsih
melambaikan tangannya. Tampak gadis itu berada di dalam salah satu sebuah kamar
rumah penginapan Ki Lintuk.
"Hitam, bawa mereka menjauhi tempat ini," kata Rangga pada kuda hitamnya.
Kuda itu meringkik, seolah mengerti dengan kata-kata Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti itu pun segera melompat cepat menuju kamar yang jendelanya terbuka.
Sejenak kuda hitam itu meringkik keras, lalu berlari cepat meninggalkan rumah
penginapan itu. Tepat pada saat itu tubuh Rangga sudah masuk ke dalam kamar
penginapan itu, serombongan prajurit berkuda yang dipimpin oleh Pendeta
Gurusinga lewat mengejar kuda hitam itu.
Sejenak Rangga mengamati rombongan prajurit itu dari balik jendela. Dan dia
segera menarik napas lega setelah para prajurit yang mengejarnya berlalu. Sesaat
kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya dan memandang Retna
Nawangsih dan Pendeta Pohaji yang duduk di kursi.
Laki-laki tua kurus itu sudah berganti pakaian. Memang tampak kebesaran, karena
dia tidak mengenakan pakaiannya sendiri.
"Untung kau cepat datang, Kakang...," kata Retna Nawangsih bersyukur.
"Mereka tidak menyakitimu kan, Retna?" tanya Rangga.
Retna Nawangsih hanya menggeleng saja. Tapi wajahnya menyemburat merah. Dia
ingat perlakuan tidak senonoh dari Wira Permadi. Gadis itu bertekat tidak mau
menceritakannya pada siapa pun. Namun hatinya masih terbalut oleh dendam yang
tidak akan terpuaskan kalau belum membunuh adipati yang cabul itu.
"Anak muda...," panggil Pendeta Pohaji.
Rangga segera mengalihkan pandangannya pada laki-laki tua kurus kering itu.
Kemudian dia menghampirinya dengan menyeret kursi ke depannya. Sedangkan Retna
Nawangsih mengambil tempat di tepi pembaringan.
"Batinku merasakan bahwa kau bukan orang lain lagi bagiku. Katakan sejujurnya,
siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Pendeta Pohaji langsung memojokkan.
Rangga tidak langsung menjawab. Sejenak dia menoleh ke arah Retna Nawangsih.
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya saja, seolah mengerti arti tatapan
pendekar itu "Aku hanya seorang pengembara saja, Paman Pendeta,"
jawab Rangga setelah berpikir sejenak.
"Nada suaramu tidak berkata jujur, Anak Muda," Pendeta Pohaji tidak percaya.
"Kakang...,"
Retna Nawangsih tidak melanjutkan ucapannya. "Kalau aku tidak salah dengar tadi, Retna Nawangsih memberitahumu untuk
memanggil kuda Dewa Bayu. Hm..., yang aku tahu, hanya mendiang Gusti Adipati
saja yang bisa memanggilnya. Meskipun orang lain bisa saja menirukan suara
siulan itu, tapi nadanya tidak akan bisa sama. Dan kau.... Ah!
Terlalu muluk rasanya kalau aku menyangka kau adalah Gusti Rangga Pati Permadi,
putra adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu," Pendeta Pohaji seperti
bergumam. Rangga langsung terpaku diam. Rasanya memang sulit
untuk berdusta mengenai siapc. dirinya sebenarnya pada laki-laki tua ini.
Perasaannya sungguh tajam. Dia bertindak dan berbicara berdasarkan hati, bukan
menuruti pikiran duniawi.
Penyatuan jiwanya pada Sang Pencipta sudah hampir
mencapai titik kesempurnaan.
"Paman Pendeta, apakah Paman bisa percaya bahwa seorang anak yang berumur lima
tahun bisa hidup sendiri di dalam rimba yang ganas?"
Rangga mencoba untuk memancing buah pikiran laki-laki tua itu
"Jika Yang Maha Pengasih menghendaki, semua itu bisa saja terjadi," sahut
Pendeta Pohaji bijaksana.
"Jika anak itu sudah dewasa dan sekarang berada di hadapanmu, apakah kau juga
akan percaya?"
"Kenapa tidak" Dan aku memang yakin kalau suatu saat junjunganku pasti akan
datang kembali padaku."
"Paman...."
Rangga tidak dapat lagi menguasai dirinya. Dia langsung berlutut dan mencium
lutut Pendeta Pohaji. Sementara laki-laki tua itu hanya tersenyum dengan kepala
terangguk-angguk. Dan tanpa disadarinya, setitik air bening menggulir dari sudut
matanya. Sedangkan Retna Nawangsih pun tidak mampu lagi untuk membendung air
matanya. Sebuah
pertemuan yang benar-benar mengharukan. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya
terdiam, larut dalam keharuan.
Sementara malam terus merayap semakin larut Titik-titik air hujan mulai turun
membasahi bumi.
"He he he...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh dari luar penginapan
itu. Tentu saja Rangga dan Retna Nawangsih tersentak kaget!
Sedangkan Pendeta Pohaji tetap kelihatan tenang. Dia hanya memiringkan sedikit
kepalanya ke kanan. Sementara suara
tawa yang semula terdengar hanya kekehan biasa, lama-kelamaan berubah menjadi
terbahak-bahak.
"Oh!" keluh Retna Nawangsih sambil menekap telinganya rapat-rapat.
"Kemarikan tanganmu, Retna!" seru Pendeta Pohaji.
Retna Nawangsih segera mendekati Pendeta itu. Dan dia membiarkan saja ketika
tangannya digenggam. Suara tawa yang hampir memecahkan gendang telinga itu,
terus menggema. Jelas kalau suara itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
sangat tinggi. "Paman, Retna..., tetap di sini!" seru Rangga.
"Hiyaaa...!"
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah meluncur ke luar
dari jendela yang terbuka. Dan seketika itu juga suara tawa yang menggema itu
langsung terhenti. Retna Nawangsih bergegas berlari mendekati jendela. Sedangkan
Pendeta Pohaji juga ikut bangkit melangkah ke jendela.
*** "He he he...!"
"Hm...," Rangga mengamati seorang laki-laki gemuk yang bertubuh cebol itu.
Tingginya tidak lebih dari sebatas dada orang dewasa.
"He he he..., jangan bermimpi dulu untuk bisa lolos dari tanganku, Bocah," kata
si Cebol Tangan Baja terus terkekeh.
"Kau pasti si Cebol Tangan Baja, cecunguknya Wira Permadi," gumam Rangga. Kini
dia tahu satu per satu orang-orang yang ada di sekeliling Wira Permadi. Dewi
Purmita dan yang lainnya telah menceritakan kepadanya.
"Tepat!" sahut si Cebol Tangan Baja. "Untuk itu, lebih baik kau menyerah saja,
Bocah. Aku malas menurunkan tangan padamu."
"Tidak semudah yang kau kira, Kakek Cebol!"
Sejenak si Cebol Tangan Baja melirik ke arah Njendela di mana Retna Nawangsih
dan Pendeta Pohaji memperhatikan dari sana. Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-
tiba tubuhnya yang bulat bagai bola itu, melenting ke atas ke arah jendela.
"Hup!"
Rangga pun segera menggenjot tubuhnya ke atas, lalu dengan menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia segera mengibaskan tangannya ke arah perut
buncit laki-laki cebol itu. Tapi dengan manis sekali si Cebol Tangan Baja
berhasil menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Si Cebol Tangan Baja terus meluruk turun dan mendarat dengan indah di tanah.
Sesaat kemudian Rangga pun segera turun dari atas. Kini mereka kembali
berhadapan dengan jarak tidak lebih dari dua batang tombak. Laki-laki cebol itu
kembali terkekeh seperti anak kecil yang kesenangan diberi hadiah mainan.
'Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., kali ini
omongan si Pendeta Edan itu patut dipercaya," kata si Cebol Tangan Baja setengah
bergumam. Rangga masih tetap diam. Dalam satu gerakan saja, dia sudah bisa mengukur
tingkat kepandaian yang dimiliki manusia cebol itu. Dan Rangga tidak ingin
memandang dengan sebelah mata padanya
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Kita akan bertarung sampai ada yang
mampus!" tantang si Cebol Tangan Baja.
"Sebenarnya aku tidak pernah punya urusan denganmu, Kakek Cebol. Tapi kalau kau
menantang atas nama dunia
kependekaran, aku layani!" sahut Rangga masih bisa menghormati laki laki tua
cebol itu "He he he.... Aku kagum dengan sikapmu. Pendekar Rajawali Sakti," kata si Cebol
Tangan Baja sambil menjura hormat.
"Terima kasih," Rangga pun membalas penghormatan itu dengan menjura pula
"Nah! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
"Hih! "
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan si Cebol Tangan Baja sudah
berlangsung seru. Kedua tokoh Sakti itu tidak lagi main-main, mereka langsung
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing.
Tampak Rangga sudah
mengerahkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Pertarungan itu berlangsung dengan cepat, sehingga yang tampak hanyalah dua
bayangan yang berkelebatan saling serang.
Sementara itu dari jarak yang cukup jauh, Retna
Nawangsih dan Pendeta Pohaji memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan
seksama. Tampak sekali kalau Retna Nawangsih begitu mencemaskan keadaan Rangga.
Dia sudah sering mendengar cerita tentang si Cebol Tangan Baja. Ilmu olah
kanuragan dan kesaktiannya sangat tinggi, sulit dicari tandingannya!
"Ah!" Retna Nawangsih terpekik ketika melihat tubuh Rangga terpental kena
sodokan tangan si Cebol Tangan Baja.
"He he he...," si Cebol Tangan baja terkekeh melihat lawannya terjajar di tanah
itu. "Huh!" Rangga mendengus sambil menyeka darah yang ke luar dari mulutnya dengan
punggung tangan. Buru-buru dia bangkit kembali.
"Aku akui kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini belum ada seorang pun
yang mampu menandingiku dalam tiga puluh jurus, tapi kau sudah melayaniku sampai
empat puluh jurus," kembali si Cebol Tangan Baja terkekeh kesenangan.
"Kau juga hebat, Kakek Cebol," balas Rangga setelah bisa berdiri tegak.
"Bagaimana" Apakah bisa diteruskan atau kau menyerah saja?" si Cebol Tangan Baja
menawarkan. "Pantang bagiku untuk menyerah, Kakek Cebol!" sahut Rangga.
"He he he...!" si Cebol Tangan Baja terkekeh. "Bersiaplah, hiyaaa...!"
Laki-laki tua cebol itu kembali melentingkan tubuhnya mengirimkan pukulan
mautnya secara beruntun. Kali ini Rangga menghadapinya dengan mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Tampak si Cebol Tangan Baja sedikit keheranan, karena serangannya selalu luput
dari sasaran. Semen tara gerakan-gerakan tubuh serta kaki Pendekar Raja wali
Sakti begitu liar dan lincah bagai belut. Bahkan kini Rangga sudah berada di
atas angin. Beberapa kali si Cebol Tangan Baja dibuat berjumpalitan untuk
menghindari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Tahan!" bentak Rangga tiba-tiba.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu meliukkan tubuhnya, dan tanpa diduga
sama sekali, tangan kanannya tiba-tiba menyodok tepat ke arah dada si Cebol
Tangan Baja yang lowong.
Dug! "Akh!" si Cebol Tangan Baja langsung memekik tertahan.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang
Kemudian laki-laki tua cebol itu langsung bersiap kembali.
Sejenak tangannya bergerak cepat mengeluarkan senjata yang sejak tadi tersimpan
di balik bajunya.
Tring...! Dua buah senjata semacam tongkat
pendek dengan ujungnya yang lancip
dan bengkok sudah tergenggam di tangannya.
Senjata itu mirip dengan
mata kail raksasa.
"Cabut senjatamu, Bocah!
Kita akan bertarung sampai
mati!" geram si Cebol Tangan Baja. "Hm...," Rangga hanya
menggumam tidak jelas.
"Jangan salahkan aku kalau kau mati tanpa senjata!"
Setelah berkata begitu, si Cebol Tangan Baja lang sung melompat dan menerjang.
Senjata kembar ber-bentuk mata kail raksasa itu berkelebatan cepat menimbulkan
suara angin menggemuruh. Belum lagi asap hitam yang mengepul dari dua senjata
itu membuat mata pedih dan napas sesak.
"Hhh! Senjata anehnya terlalu berbahaya Aku tidak boleh menganggapnya enteng!"
gumam Rangga dalam hati.
Sret! Cring...! *** 8 Cahaya biru langsung memancar terang dan menyilaukan mata saat pedang pusaka
Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Si Cebol Tangan Baja tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat mundur. Tampak sepasang bola matanya membeliak lebar,
seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Kenapa kau mundur, Kakek Cebol" Kau takut...?" ejek Rangga.
"Phuih! Biar kau panggil gurumu sekalian ke sini, aku tidak akan mundur!" dengus
si Cebol Tangan Baja tersinggung.
"Jangan bawa-bawa nama guruku!" bentak Rangga geram.
Rangga memang tidak senang jika lawannya menyebut-
nyebut nama gurunya. Hal itu dianggapnya sebagai
penghinaan. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera
mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
cepat menerjang si Cebol Tangan Baja.
Sementara pedang yang bersinar biru itu berkelebat cepat mengarah ke leher.
Sedangkan si Cebol Tangan Baja segera mengangkat satu senjatanya sambil menarik
kepalanya ke belakang.
Tring! Dua senjata saling beradu.
Si Cebol Tangan Baja tergetar tangannya ketika senjatanya beradu dengan pedang
Rangga. Dia terkejut sekali karena senjatanya kini buntung jadi dua. Belum lagi
hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras dilancarkan Pendekar
Rajawali Sakti.
Buru-buru laki-laki tua cebol itu membuang dirinya ke samping,
lalu bergulingan bagai bola. Dan Rangga mencecarnya dengan babatan-babatan
pedangnya. Sedangkan tubuh cebol itu terus bergelindingan menghindari tebasan-tebasan
pedang yang begitu cepat dan mengancam nyawanya.
Tring! Lagi-lagi si Cebol Tangan Baja terperangah ketika dia memapak serangan pedang
yang beruntun itu. Lalu dengan kesal dia membuang senjatanya yang buntung
terpapas. Kini tampak laki-laki tua cebol itu hendak mengeluarkan ajian
pamungkasnya. "Hm..., kau ingin mengadu kesaktian rupanya," dengus Rangga bergumam.
"Tahan aji 'Sapujagat'ku, Bocah!" sentak si Cebol Tangan Baja geram.
Seketika itu juga kedua tangan manusia cebol itu
mengeluarkan api yang berkobar-kobar dan menyambar ke arah tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga segera
mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang sangat diandalkan Rangga.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat dia menggosok pedang Rajawali Sakti dengan telapak tangan kiri,
seketika itu juga cahaya biru tampak bergulung menggumpal di ujung pedang. Dan
pada saat api yang ke luar dari tangan manusia cebol itu meluncur ke arahnya,
Rangga langsung mengarahkan ujung pedang ke lawannya.
Kontan saja satu ledakan keras terjadi. Bersamaan dengan itu tubuh si Cebol
Tangan Baja langsung terpental beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti masih tetap kokoh berdiri pada kedua kakinya. Sementara itu cahaya biru dari
pedang pusaka itu terus bergulung dan meluncur cepat ke arah tubuh manusia cebol
itu. "Aaakh...!" jeritan melengking terdengar dari mulut si Cebol Tangan Baja.
Tampak tubuh manusia cebol itu menggeliat-geliat
terselubung cahaya biru. Dan Rangga segera memasukkan kembali pedang Rajawali
Sakti ke dalam warangkanya setelah tubuh lawannya tidak bergerak-gerak lagi.
Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak sambil memandang tubuh manusia cebol
yang pelahan lahan berubah lumer jadi tepung.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang melihat tubuh lawannya sudah berubah jadi
tepung. "Kakang...!"
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawang-sih
sedang berlari lari menghampirinya. Dan di belakang gadis itu Pendeta Pohaji
berjalan cepat mengikuti. Sementara itu malam telah berganti pagi. Di ufuk Timur
tampak cahaya merah Jingga menyemburat dan menerobos celah dedaunan Tanpa
terasa, semalamam penuh Pendekar Rajawali Sakti telah bertarung melawan si Cebol
Tangan Baja. "Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Retna Na-wangsih bernada cemas, namun gembira
melihat Rangga dapat
mengalahkan satu lawan tangguh.
"Tidak," sahut Rangga sembari tersenyum.
"Aku mendengar serombongan berkuda tengah menuju ke sini," kata Pendeta Pohaji
seperti bergumam untuk dirinya sendiri.
Rangga segera menengadahkan kepalanya. Telinganya
yang tajam langsung mendengar derap kaki kuda yang sangat banyak jumlahnya.
Semakin lama suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Dan dari arah
Timur tampak debu
mengepul di udara. Sedikit demi sedikit mulai terlihat umbul-umbul yang bergerak
cepat dibawa oleh para penunggang kuda
"Ah, api sudah tersulut di Karang Setra...," desah Pendeta Pohaji.
Sejenak Retna Nawangsih dan Rangga saling berpandangan. Memang benar gumaman pendeta itu. Karang Setra sebentar lagi akan
berkobar. Bara yang telah lama terpendam di dalam sekam, sudah mulai menggeliat
dan menyemburkan api yang akan menghanguskan seluruh
kadipaten ini. *** Rombongan berkuda itu ternyata orang-orang yang ingin
memberontak pada kepemimpinan Adipati Wira Permadi.
Mereka dipimpin langsung oleh Dewi Purmita dan para abdi setia mendiang Adipati
Arya Permadi. Kini pagi yang semula tenang dan damai, langsung berubah jadi
hiruk-pikuk. "Paman Pendeta Pohaji...!" Dewi Purmita seperti tidak percaya begitu melihat
Pendeta Pohaji ada bersama-sama dengan Retna Nawangsih dan Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku tidak menduga kalau bisa melihatmu lagi, Paman," kata Dewi Purmita
terharu. "Semua ini berkat lindungan Yang Maha Kuasa, Anakku Purmita," sahut Pendeta
Pohaji. Sebentar pendeta itu memandangi orang-orang yang
berjumlah ratusan di belakang Dewi Purmita. Mereka semua mengendarai kuda dengan
membawa senjata berbagai
macam. Tampaknya mereka memang sudah siap untuk
bertempur. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Pendeta Pohaji.
"Sudah saatnya bagi kami untuk mengembalikan Karang Setra pada masa jayanya,
Paman Pendeta," jawab Dewi Purmita.
"Peperangan bukan jalan satu-satunya, Anakku Purmita."
"Rasanya sudah tidak ada jalan lain, Paman. Mereka bukan manusia, tapi binatang
yang harus dimusnahkan!"
Pendeta Pohaji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tidak bisa lagi
mencegah pertum pahan darah yang bakal terjadi di kadipaten ini Sementara itu
Bayan Sudira, Ki Lintuk dan beberapa bekas pembesar kadipaten sudah
mengatur para prajurit setia dan para pemuda yang tergabung dalam satu komando
sudah siap untuk mengepung benteng istana kadipaten. Sementara itu suasana di
benteng kadipaten tampak sepi seperti tidak terjaga, tapi dari balik tembok yang
tinggi di atas, bersembulan kepala-kepala manusia dengan senjata terhunus
Rupanya para prajurit yang memihak pada Wira Permadi sudah siap mempertahankan
istana itu. Tampak beberapa puluh prajurit di bawah pimpinan
Rakatala sudah bergerak dan berusaha menembus pintu gerbang yang tebal dan
kokoh. Tapi belum mereka sampai, tiba-tiba ribuan anak panah langsung menghujani
mereka. Kontan saja pekik jerit kental ia n menggema menyayat hati.
Sesaat kemudian tubuh tubuh langsung bergelimpangan tertembus anak panah.
"Mundur...!" teriak Dewi Purmita terkejut.
Hujan anak panah segera berhenti bersamaan dengan
mundurnya sisa prajurit yang masih hidup. Dewi Purmita langsung memanggil
Rakatala. "Kau telah melanggar aturanku, Rakatala!" dengus Dewi Purmita.
"Ampunkan hamba, Gusti Dewi. Hamba hanya ingin mencoba menembus benteng," jawab
Rakatala membungkuk hormat.
"Ceroboh!"
"Ampun, Gusti Dewi."
"Dengar kalian semua, tidak ada seorang pun yang boleh melakukan tindakan tanpa
perintahku!" lantang suara Dewi Purmita.
Saat itu Rangga yang berdiri tidak jauh dari Retna
Nawangsih, mencolek lengan gadis itu. Sejenak Retna Nawangsih menoleh, kemudian
dia mengikuti Rangga yang melangkah menjauhi Dewi Purmita dan para pengikut
setia kadipaten.
"Ada apa?" tanya Retna Nawangsih setelah cukup jauh dari orang-orang itu.
"Rasanya akan sia-sia saja kalau tidak menembus pintu gerbang itu," kata Rangga
tidak berkedip memandang pintu gerbang yang tertutup rapat.
"Sulit, Kakang. Lihat saja, puluhan prajurit sudah jadi korban akibat
kecerobohan Paman Rakatala."
"Aku akan mencobanya," suara Rangga terdengar
bergumam. "Kakang...!" Retna Nawangsih tersentak kaget Rangga tidak menoleh sedikit pun.
Dia terus menatap lurus ke arah pintu gerbang benteng istana itu. Kemudian
pelahan-lahan kakinya melangkah.
"Kakang...!" Retna Nawangsih mengejar.
Gadis itu segera menyambar tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan menyentakkannya
dengan kuat. Rangga terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menatap
tajam pada gadis di sebelahnya itu. Kejadian itu tidak luput dari perhatian Dewi
Purmita, Pendeta Pohaji dan yang lainnya.
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang, apa yang akan kau lakukan?" suara Retna Nawangsih bernada cemas.
"Menghancurkan pintu gerbang benteng itu," sahut Rangga kalem.
"Edan! Apa kau sudah buta. Lihat, mereka menjaganya dengan ketat!"
"Minggirlah, Retna."
'Tidak, Kakang!"
"Minggir kataku!" suara Rangga terdengar keras dan membentak.
"Kau..., kau memerintahku...?" Retna Nawangsih seakan baru tersadar kalau
Pendekar Rajawali Sakti itu adalah pewaris tunggal Kadipaten Karang Setra.
"Ya!" sahut Rangga tegas.
Retna Nawangsih pun segera melangkah mundur. Sejenak Rangga menatapnya, kemudian
mengalihkan pandangannya ke pintu gerbang. Dan langkahnya kembali terayun
pelahan-lahan mendekati pintu gerbang itu. Kemudian dia berhenti setelah
jaraknya tinggal sepuluh batang tombak lagi. Tampak di atas benteng, pasukan
panah kadipaten sudah siap membidik ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu
batang tombak lagi Rangga melangkah, pasti akan dihujani dengan anak-anak panah.
"Suii t...!"
Dua kali Rangga bersiul nyaring melengking dengan nada yang berbeda. Beberapa
saat kemudian, terdengar derap kaki kuda berlari cepat. Dan muncullah seekor
kuda hitam yang langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama
berselang, semua kepala yang ada di sekitar tembok benteng,
maupun yang ada di dalam benteng istana itu menengadahkan kepalanya. Tampak di angkasa seekor
burung rajawali raksasa melayang-layang mengitari istana kadipaten.
"Rajawali, kacaukan mereka yang ada di dalam tembok!"
seru Rangga lantang.
"Kraaaghk!"
"Hup!"
Rangga langsung melompat ke atas punggung kuda Dewa Bayu, lalu dengan cepat dia
mencabut pedang pusaka
Rajawali Sakti. Seketika itu juga cahaya biru memancar begitu pedang pusaka itu
ke luar dari warangkanya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera
mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!" teriaknya lantang.
*** Tepat ketika burung rajawali raksasa menukik ke dalam
benteng istana, Rangga menggebah kudanya dengan cepat.
Dan bersamaan dengan itu, dia terus mengibaskan pedangnya ke depan. Sementara
cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang langsung meluncur deras dan
menghantam pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu.
Seketika itu juga suara ledakan dahsyat terdengar begitu cahaya biru menghantam
pintu gerbang. Pada saat itu juga, pintu gerbang yang kokoh itu hancur
berkeping-keping Dan dengan cepat bagaikan kilat, Rangga langsung menerobos
masuk bersama kuda Dewa Bayu. Pada saat yang sama,
burung rajawali raksasa telah membuat sibuk orang-orang di dalam benteng itu.
"Serbu...!" terdengar teriakan melengking dari luar benteng.
Sesaat kemudian pekik dan teriakan-teriakan peperangan terdengar bergemuruh.
Tampak para prajurit yang dipimpin langsung oleh Dewi Purmita segera berhamburan
menyerbu pintu benteng istana kadipaten yang sudah jebol. Hujan panah tidak
dihiraukan lagi. Sebentar saja tubuh-tubuh bergelimpangan tertembus anak panah ataupun tombak.
"Rajawali, habiskan mereka yang ada di atas!" seru Rangga keras.
"Khraghk! "
Burung rajawali raksasa itu segera melayang naik dan memporak-porandakan pasukan
panah yang ada di atas
tembok istana kadipaten. Tentu saja para prajurit itu jadi kalang-kabut. Tidak
sedikit yang terjungkal kena kibasan sayap burung rajawali raksasa itu.
Sementara itu Rangga terus mengamuk di atas kuda Dewa Bayu dengan pedang
Rajawali Sakti di tangan. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan malaikat pencabut
nyawa, tak seorang pun yang bisa menyentuhnya. Dan setiap kibasan pedangnya
selalu meminta korban nyawa.
"Kakang...!" seru Retna Nawangsih tiba-tiba.
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sedang kewalahan menghadapi
seorang laki-laki tua yang berpakaian pendeta. Maka tanpa berpikir panjang lagi,
Rangga segera melompat dari kudanya sambil berteriak nyaring.
Kalau saja Pendeta Gurusinga tidak merunduk, pasti
lehernya sudah buntung ditebas pedang Rajawali Sakti Kini
pendeta itu jadi terpecah perhatiannya dengan kedatangan Rangga yang langsung
menyerangnya. "Retna, kau bantu yang lain!" perintah Rangga.
"Baik, Kakang!" sahut Retna Nawangsih yang menyadari tidak akan sanggup
menghadapi Pendeta Gurusinga.
"Aku lawanmu, Pendeta Murtad!" seru Rangga geram.
"Phuih!" Pendeta Gurusinga menyemburkan ludahnya.
Rangga yang sudah tidak bisa lagi menguasai amarahnya, langsung mengerahkan aji
pamungkasnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedangkan Pendeta Gurusinga itu
juga tidak mau kalah, dia pun segera mengerahkan ajian andalannya yang
dibanggakan. Tapi belum lagi mereka sempat bentrok mengadu
kesaktian, mendadak muncul Pendeta Pohaji. Kedatangannya yang begitu tiba-tiba
dan cepat, membuat orang tua kurus itu sudah berdiri di tengah-tengah. Dia
menghadap pada pendeta murtad itu.
"Sebaiknya segera cari Wira Permadi, Gusti," kata Pendeta Pohaji yang sudah
mengetahui diri Rangga yang sebenarnya.
"Paman...," Rangga ingin membantah.
"Biar aku yang menghadapi pendeta murtad ini."
"Baiklah!" Rangga segera menarik kembali ajiannya, dan memasukkan
pedang pusakanya kembali ke dalam warangkanya. Tapi belum juga Rangga sempal meninggalkan tempat itu. Pendeta-
pendeta yang berlawanan alirannya itu sudah saling mengadu kesaktian.
Dan Rangga tidak sempat lagi untuk menyaksikan, karena dia melihat Dewi Purmita
dan Retna Nawangsih tengah menghadapi lawan
utamanya. Tampak Dewi Purmita menghadapi Ratih Komala, sedangkan Retna Nawangsih
menghadapi Wira Permadi. Sementara itu pertarungan antar prajurit di dalam
lingkungan benteng istana juga terus berlangsung dengan sengit Sejenak Rangga
menengadahkan kepalanya ke atas. Tampak burung rajawali raksasa hanya melayang-
layang saja di udara.
"Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak mendengar pekikan tertahan dari Retna
Nawangsih. Tampak gadis itu terjajar ke belakang dan menabrak dinding bangunan
utama istana. Dan pada saat itu Wira Permadi sudah melompat dengan pedang
terhunus yang mengarah dada Retna Nawangsih.
"Hup!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya. Dan hinggap di depan Retna Nawangsih.
Secepat kilat dia merapatkan kedua telapak tangannya di saat ujung pedang Wira
Permadi tinggal beberapa helai rambut lagi membelah dada Retna Nawangsih
"Hih! " Wira Permadi berusaha mencabut pedangnya dari jepitan telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti
"Wira, sadarlah. Perintahkan pada para prajuritmu untuk segera
menghentikan perlawanan! Aku janji akan mengampuni semuanya dan melupakannya!" perintah Rangga berusaha menyadarkan Wira
Permadi. Namun belum sempat Wira Permadi menjawab, terdengar jeritan melengking tinggi
menyayat hati. Tampak Dewi Purmita telah menyelesaikan pertarungannya dengan
Ratih Komala. Pedang Dewi Purmita menembus dalam di dada ibu kandung Wira
Permadi. "Ibu...!" jerit Wira Permadi.
Seketika Rangga terlengah, dan kesempatan itu tidak disia-siakan Wira Permadi.
Secepat kilat dia menarik pedangnya, dan langsung memutarkan senjatanya,
sehingga.... "Akh!" Rangga memekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak sempat lagi untuk berkelit.
Ujung pedang Wira Permadi telah merobek bahu kirinya.
Tampak darah segera mengucur deras dari luka yang cukup dalam dan lebar itu.
"Kakang...!" Retna Nawangsih terkejut. "Keparat! Kubunuh kau...!"
Retna Nawangsih langsung menerjang sambil mengarahkan pedangnya ke dada Wira
Permadi, namun dengan manis sekali Wira Permadi mengelakkannya! Dan dengan cepat
sekali tangannya melayang dan menghantam punggung Retna
Nawangsih, sehingga membuat
gadis itu terjerembab
mencium tanah, v Dan bersamaan dengan Wira Permadi yang hendak mengibaskan
pedangnya ke arah Retna Nawangsih, Rangga buru-buru mengambil sebilah pedang
yang tergeletak di dekat kakinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
melompat dan memapak tebasan pedang Wira Permadi.
Tring! Sejenak Wira Permadi terlonjak ke belakang. Tampak
bibirnya meringis karena merasakan pegal dan nyeri pada lengannya. Dan belum
lagi dia sempat untuk berbuat sesuatu, dengan cepat Rangga menempelkan ujung
pedang yang dipungutnya tadi ke tenggorokan Wira Permadi.
*** "Berhenti...!" terdengar teriakan keras menggelegar.
Rangga sempat melirik pada arah datangnya suara.
Ternyata suara keras dan bertenaga dalam tinggi itu datang dari Pendeta Pohaji
yang telah berhasil mengalahkan lawannya, Pendeta Murtad Gurusinga. Seketika itu
juga pertarungan berhenti. Tampak para prajurit Wira Permadi yang melihat
junjungannya sudah tidak berdaya, langsung membuang senjata mereka.
"Dengar kalian semua! Yang Maha Kuasa telah mengirim kembali junjungan kita yang
hilang selama dua puluh tahun.
Kini Gusti Rangga Pati Permadi telah berada di tengah-tengah kita," keras dan
bergema suara Pendeta Pohaji.
Semua mata yang ada di sekitar tempat itu langsung
menatap pada Rangga. Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan kelengahan yang hanya sekejap itu. dimanfaatkan oleh Wira Permadi
untuk kabur, tapi Retna Nawangsih yang tidak pernah lepas mengawasinya dengan
cepat melemparkan pedangnya....
"Retna, jangan...!" seru Rangga terkejut. Tapi terlambat....
"Aaa...!" Wira Permadi menjerit melengking.
Tampak Adipati Karang Setra yang tidak syah itu terjungkal dengan punggung
tertembus pedang sampai ke dada.
Seketika itu juga Rangga langsung berlari menghampirinya.
Pelahan-lahan dia mengangkat tubuh adik tirinya itu.
"Wira...," tersendat suara Rangga.
"Ka..., akh...!"
"Wira...!" jerit Rangga sambil menggoyang-goyangkan tubuh Wira Permadi yang
oudah lemas dan tak bernyawa lagi.
Rangga langsung memeluk tubuh adik tirinya itu dengan erat. Bagaimanapun juga
dia sangat menyesalkan kematian Wira Permadi, satu-satunya saudaranya yang dia
temui selama dua puluh tahun ini. Suasana jadi hening seketika.
Semua yang ada diliputi keharuan.
Beberapa saat kemudian Rangga mengangkat kepalanya
dan memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Lalu dia berdiri sambil
mengangkat tubuh adik tirinya itu. Pelahan-lahan kakinya melangkah menuju ke
dalam istana kadipaten.
Sementara itu Pendeta Pohaji, Dewi Purmita, Bayan Sudira, Ki Lintuk dan Retna
Nawangsih mengikutinya tanpa berbicara sedikit pun. Tampak sekali kalau Retna
Nawangsih murung seolah menyesali tindakannya itu. Pelahan-lahan Rangga
membaringkan tubuh Wira Permadi di balai-balai yang ada di tengah-tengah ruangan
depan istana yang luas. Sebentar dia
memandangi tubuh yang terbujur kaku itu, lalu mencabut pedang yang menancap di
punggungnya. "Gusti...!"
Rangga segera menoleh begitu mendengar suara dari
sampingnya. Pandangannya sayu menatap Pendeta Pohaji.
"Kami semua menunggu perintah, Gusti," kata Pendeta Pohaji.
Sejenak Rangga menarik napas panjang.
"Pulihkan keadaan, dan siapkan upacara pemakaman untuk Adi Wira Permadi dan Ibu
Ratih Komala," kata Rangga pelan.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Pendeta Pohaji seraya membungkuk memberi
hormat. Kemudian Pendeta Pohaji segera mengajak Bayan Sudira dan yang lainnya untuk
meninggalkan tempat ini. Kini yang ada di ruangan itu hanya Dewi Purmita, Retna
Nawangsih dan Rangga sendiri. Sejenak Rangga memandang perempuan tua adik misan
mendiang ibunya itu.
"Jangan larut dalam kesedihan. Kau harus segera mempersiapkan diri untuk
penobatan menjadi raja di Karang Setra ini," kata Dewi Purmita mengingatkan.
"Tidak secepat itu," sahut Rangga pelan.
"Ya, tentu saja setelah keadaan bisa terkendali, sambil menunggu kedatangan
utusan khusus dari kerajaan," lanjut Dewi Purmita.
Rangga diam saja. Dan pelahan lahan dia melangkah ke luar dari ruangan depan
istana itu. Retna Nawangsih segera mengikuti.
"Gusti...," pelan suara Retna Nawangsih.
Rangga menghentikan langkahnya di depan pintu.
"Maafkan, hamba telah berbuat lancang," kata Retna Nawangsih menyesal.
"Kau tidak salah, Retna. Mungkin memang sudah
takdirnya," sahut Rangga mendesah
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik menghadap gadis cantik itu.
"Retna, aku harus pergi," kata Rangga dengan suara berat.
"Ke mana?" tanya Retna Nawangsih kaget.
"Rasanya aku belum bisa meninggalkan duniaku, dunia pendekar yang penuh dengan
tantangan," sahut Rangga pelan.
"Tapi, Karang Setra membutuhkan seorang pemimpin, Gusti. Dan hanya Gusti-lah
yang diharapkan. Lagi pula, Gusti Prabu sudah jatuh kata akan menganugerahkan
Kadipaten Karang Setra menjadi sebuah kerajaan jika Gusti kembali.
Gusti akan menjadi raja di Karang Setra ini."
"Benar, Anakku Rangga."
Rangga dan Retna Nawangsih menoleh. Tampak Dewi
Purmita sudah ada di dekat mereka kembali.
"Akulah satu-satunya keluarga dari ibumu yang masih hidup. Dan aku tahu benar
semua keturunan Kanda Arya Permadi. Kini hanya kau satu-satunya orang yang
berhak untuk menjadi raja di sini," lanjut Dewi Purmita.
Rangga tidak menjawab. Memang berat untuk menentukan pilihan ini. Sebenarnya
hatinya belum bisa untuk menerima, tapi dia juga tidak bisa menolak begitu saja.
Di benaknya merasakan, bahwa tugasnya sebagai pendekar belum selesai.
Lama juga Rangga menimbang-nimbang. Kemudian dia
kembali melangkah ke luar. Di sana tampak burung Rajawali Sakti dan kuda Dewa
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayu berdiri bersisian di tengah-tengah halaman depan istana ini. Kesibukan juga
sedang terjadi, para
prajurit yang masih hidup tengah mengumpulkan mayat-mayat dan para prajurit yang
terluka. "Mungkin aku bersedia untuk menjadi raja, tapi aku tidak bisa meninggalkan
duniaku sebagai seorang pendekar
pembela kebenaran," kata Rangga seperti, bicara pada dirinya sendiri.
'Tidak sedikit Raja yang berjiwa pendekar, Anakku," kata Dewi Purmita seraya
tersenyum senang.
Rangga tidak menyahuti, dia kembali melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti, dan mendekati burung rajawali raksasa. Beberapa
saat lamanya dia berbicara dengan burung itu. Entah apa yang dibicarakannya. Dan
tidak lama kemudian tampak burung itu mengepakkan sayapnya dan segera
meninggalkan istana Karang Setra.
"Kakang...."
Rangga segera menoleh. Tampak Retna Nawangsih sudah berdiri disampingnya
"Ada apa "
"Boleh juga kalau aku ikut dalam pengembaraanmu nanti?"
"Kalau gurumu mengijinkan."
"Oh! Terima kasih, Kakang."
Kalau saja di sekitar mereka tidak banyak orang, pasti Retna Nawangsih sudah
memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi kini Retna Nawangsih hanya bisa memandang saja dengan sejuta rasa. Dan
Rangga pun segera membalasnya dengan memberikan senyuman yang tidak mudah untuk
diartikan oleh gadis itu.
"Raja...," desah Rangga dalam hati. "Bisakah aku jadi raja "
" SELESAI Pembuat Ebook :
Scan ke Djvu : Syaugy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
Convert & Editor text : Dewi KZ
Pdf by : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewi-kz.info/
Pedang Semerah Darah 2 Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Pendekar Pemanah Rajawali 22