Pencarian

Pedang Semerah Darah 2

Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Bagian 2


pun sebelum segalanya dibeberkan oleh kakek Tongkat
Besi itu. "Tetapi..." lanjut kakek tua, "...dalam kurun waktu berikutnya, ternyata
Shalindra dipakai untuk nama
seorang bayi perempuan. Bayi Shalindra dapat tum-
buh menjadi dewasa dan kawin dengan seorang lelaki
yang masih satu buyut dengannya. Hal ini mereka la-
kukan guna menjaga perkawinan darah campuran.
Pada masa itu, keluarga Shalindra mempunyai suatu
keistimewaan, bahwa barang siapa kawin dengan satu
darah, tapi bukan satu ibu, maka ilmu dan kesaktian
mereka semakin bertambah dengan sendirinya. Hal ini
berlaku sampai tujuh turunan. Dan perempuan yang
bernama Shalindra itu adalah turunan mereka yang
terakhir. Jadi mereka kawin, maksudku perempuan
Shalindra itu kawin dengan saudara satu buyut, yang
bernama Sabdawana."
"Apakah Sabdawana itu juga berilmu tinggi?" tanya Lanang memancing keterangan
sebenarnya. "O, sakti. Ilmunya cukup hebat. Terutama dalam
ilmu pengobatan dan ilmu yang dinamakan ajaran su-
ci. Tapi... sudah tentu lebih hebat aku daripada dia...."
Mulut Lanangseta mencibir sewaktu Tongkat Besi
terkekeh. Walaupun dalam hatinya Lanangseta men-
gakui bahwa sejak ia disuruh minum darah kobra
dengan campuran khusus itu badannya berangsur-
angsur menjadi segar. Malahan sekarang rasa pusing-
nya hilang, dan pandangan matanya terang kembali.
Tapi, mendengar kesombongan Tongkat Besi, muak ra-
sanya perut Lanangseta.
Tongkat Besi masih tetap menghisap tembakau ca-
cahnya. Ia kelihatan sangat tenang dan santai dalam
duduk bersila. Ia melanjutkan kisahnya: "Perkawinan Sabdawana
dan perempuan Shalindra menghasilkan seorang putri
yang bernama...." Tiba-tiba ia berhenti, seperti teringat sesuatu. Lalu,
katanya, "Ooh... nama anaknya itu tak boleh disebutkan."
"Kenapa?" Lanangseta berlagak tak tahu.
"Nama itu adalah nama sebuah ilmu yang bila disebutkan oleh siapa saja akan
mendatangkan badai
kencang, dan bumi bagai dilanda gempa. Alam men-
gamuk, langit merah dan petir menyambar-nyambar.
Sebab itu, namanya tak berani kusebutkan. Pokoknya
putri Sabdawana itu cantik dan kabarnya berilmu
tinggi. Tapi... sudah tentu belum ada sekuku hitamnya dengan ilmuku..."
Sekali lagi Lanangseta mendesah. Sebal dengan ke-
sombongan Tongkat Besi. Sampai-sampai Lanang ber-
tanya: "Kau kelihatannya sombong sekali, Kek! Kenapa
mau menjadi orang sombong?"
Kakek tua itu hanya terkekeh sejenak. "Dari dulu, aku tidak pernah hidup
sombong. Jadi sekarang ini,
aku ingin bagaimana rasanya hidup sombong. Sebe-
lum ajalku tiba di tanganmu, aku ingin merasakan
menjadi orang sombong. Ternyata banyak orang yang
muak dan membenci ku, he... he..." Tongkat Besi kelihatan bangga dengan hasil
percobaannya, yaitu men-
jadi orang sombong. Aneh. Ya, memang begitulah kea-
nehan pada diri kakek tua itu.
Namun dari sekian pembicaraan Tongkat Besi, ada
sesuatu yang terselip dan menjadi ganjalan di hati Lanangseta. Lalu, ia pun
menanyakannya langsung:
"Apa dulu kakek juga pernah mengenai perempuan
Shalindra?"
"Kenal...!" jawabnya tegas sambil manggut-
manggut. "Tetapi waktu itu ia masih bayi. Jangankan kepada perempuan yang
bernama Shalindra, kepada
canggahnya atau buyutnya Shalindra aku juga kenal."
"O, ya" Jadi, kakek mengenai leluhur Shalindra?"
Tongkat Besi tertawa sinis bernada sombong. "Dulu kan sudah kukatakan, bahwa
usiaku ini sudah ratusan tahun!"'
Dahi Lanangseta berkerut-kerut, ia mengangguk-
angguk. "Ya, memang dulu pernah kau katakan... antara
empat ratus tahun, atau enam ratus tahun..."
"Atau lebih..." tambahnya.
"Ya. Tapi kukira waktu itu kau hanya membual,
Kek." "Nah, di situlah kepicikan zaman. Sekarang zaman telah mempengaruhi kehidupan
manusianya. Zaman
yang menghendaki sesuatu yang benar bisa disalahkan
dan sesuatu yang salah bisa dibenarkan. Zaman juga
yang menganggap orang jujur itu pembohong, semen-
tara seorang penipu akan dianggap orang jujur. Dan
manusia yang hidup di zaman itulah yang menjadi
korban kebodohan tersebut."
"Eh, soalnya begini.... Bagaimana mungkin seorang manusia dapat hidup sampai
ratusan tahun seperti
yang kakek alami itu. Aku jadi sangsi dan... dan me-
mang tidak masuk akal, Kek."
"Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya," Tongkat Besi melengos dengan gerutu
bernada angkuh. Lalu
sambungnya lagi dengan tanpa memandang Lanangse-
ta, kecuali melirik sinis, "Kau menganggapku manusia biasa, kan?"
"Ya. Apakah itu salah?"
Tongkat Besi menggeleng. "Salah...!" katanya angkuh sekali. Lanang menahan tawa
melihat keangku-
han yang lucu. "Jadi, siapa dirimu sebenarnya, Kek?"
Tongkat Besi menatap Lanangseta beberapa saat,
seperti ada keraguan yang sedang dipertimbangkan.
Namun beberapa saat kemudian ia pun menjawab:
"Sebenarnya aku... seorang dewa...."
Lanangseta terperanjat, bahkan ia sempat berdiri
di atas tempat tidur bambu itu.
Matanya membelalak lebar dan mulutnya terngan-
ga bengong. Tongkat Besi bicara dengan pelan, tapi se-rius. Tak ada kesombongan,
tak ada canda dan sifat
main-main. Serius namun berwibawa. Terpancar satu
kharisma tersendiri dari cermin wajahnya pada saat ia menyebutkan siapa dirinya
sebenarnya. Jantung La-
nangseta menjadi berdebar-debar dan tak sedikit pun
ia berani menyanggah dan membantah. Sebegitu hebat
kekuatan yang terpancar dari ekspresi wajahnya, se-
hingga Lanang sangat terkesima.
"Duduk...!" ucap Tongkat Besi. Suaranya pelan, bahkan bisa dikatakan suara yang
lembut. Namun, tanpa disadari Lanangseta menuruti kata-kata itu. Ia duduk dengan gerakan
perlahan-lahan.
"Berdiri...!" sekali lagi suara itu sangat lembut, bukan membentak dan
menakutkan. Tapi, toh hal itu
membuat Lanangseta kembali berdiri lagi perlahan-
lahan bagai di luar kesadarannya.
Tongkat Besi tersenyum dan Lanangseta mulai sa-
dar. Ia bertanya dalam hati: "Kenapa mau-maunya aku disuruh duduk dan berdiri
lagi, ya" Ooh... gila betul orang ini! Dia mampu memerintah jiwaku dengan satu
kata dan aku menjadi menurutinya. Benar-benar he-
bat. Benar-benar aku berhadapan dengan seorang de-
wa." Perlahan-lahan Lanangseta duduk sendiri. Terden-
gar suara Tongkat Besi berkata lirih:
"Jangan menjadi takut karena pengakuan ku tadi, Lanang. Sebuah pengakuan tidak
selalu murni. Adaka-lanya hanya berupa tipuan yang terselubung. Tetapi,
untuk pengakuan ku tadi, kau bisa menarik kesimpu-
lan sendiri setelah aku mengajarkan ilmuku kepada-
mu. Setelah selesai kuajarkan semua ilmuku, lalu ta-
riklah kesimpulan, apakah benar pengakuan ku tadi.
Biasanya manusia membutuhkan bukti dari suatu
pengakuan. Tapi bagiku, orang yang mempercayai sua-
tu kebenaran tanpa melihat bukti, dia adalah orang bijak yang akan memperoleh
hidupnya. Yaitu keselama-
tan diri akibat suatu kepercayaan. Mengerti?"
Karena Lanang menggeleng, maka Tongkat Besi
menerangkan, "Kepercayaan itu adalah senjata paling ampuh, Seorang anak kecil,
misalnya, ia sedang dike-jar anjing. Lalu ia lari dan di depannya ada pagar
tinggi menghalanginya. Karena rasa takut kepada anjing,
maka timbul satu kepercayaan bahwa ia akan mampu
melompati pagar itu. Ia harus percaya akan berhasil, sebab kalau gagal ia pasti
digigit anjing. Dan ternyata ia berhasil. Memang berhasil melompati pagar itu ...
Lalu ia akan terbengong dan bertanya dalam hati: "kok bisa ya?". Nah, itulah
bukti bahwa kepercayaan yang kuat mampu mengalahkan kesulitan apapun juga...."
Lanangseta manggut-manggut, masih terkesima
pada kenyataan. Namun ada satu hal lagi yang perlu ia tanyakan.
* * * * 4 LANANGSETA sedikit ragu, tapi akhirnya terlontar
juga pertanyaan itu.
"Mengapa seorang dewa hidup sebagai manusia di
permukaan bumi ini, Kek" Bukankah di alam para de-
wa, mereka hidup dengan enak, tentram, damai dan
sejahtera?"
"Ini pertanyaan yang paling bagus," kata si Tongkat Besi sambil menggerakkan
jari telunjuknya. Ia meru-bah posisi duduknya, dari duduk dengan kaki ditekuk
satu ke atas, di mana lututnya bisa dipakai tumpuan
lengan, kini menjadi duduk bersila. Serius, bagai seorang guru sedang
mengajarkan satu falsafah hidup
pada muridnya. "Aku mempunyai kesalahan yang kurasa tak perlu
dijelaskan kesalahan apa, tapi yang jelas karena kesa-lahanku itu aku dihukum.
Aku diusir dari Suralaya,
setelah sidang para dewa memutuskan bahwa aku tak
pantas lagi menjadi dewa. Lalu aku terlempar dari Suralaya sebagai manusia di
bumi ini. Tetapi, karena aku pernah berjasa dalam suatu pertempuran membela
Suralaya, maka sebagai tanda jasa, para dewa tidak
mencabut kekuatanku, yaitu kesaktian dan ilmu ka-weruh yang ada pada diri setiap
dewa. Hanya saja, wewenangku dan hak guna pakai sebagai dewa, dica-
but dan dibatalkan.
Jelasnya, aku telah dicoret dari daftar para dewa di Suralaya. Jadi aku beredar
di bumi bukan sebagai de-wa tetapi sebagai manusia. Karena itu, rasa-rasanya
aku tidak pantas menggunakan nama asliku, maka
kubiarkan orang menjuluki aku sebagai si Tongkat Be-
si" "Kakek tidak menentang hukuman itu?" Tongkat Besi menggeleng. "Aku memang salah.
Aku pantas di hukum. Dan, kuterima diriku menjadi sosok manusia
di bumi. Tapi, lama-lama aku bosan. Di bumi ini ba-
nyak kericuhan. Kepalaku sering sakit dan pernafa-
sanku sering tersendat karena ulah kehidupan di bu-
mi. Jadi, aku ingin segera mati. Tapi betapa susahnya mati itu sebenarnya.
Bahkan sampai ku curi pedangmu untuk bunuh diri, tapi ternyata pedang itu tidak
bermanfaat sama sekali di tanganku. Bahkan untuk
memotong daun pun sulit robeknya. Kupikir, di tangan orang lain pedangmu itu tak
lebih dari sebatang besi bekas. Tapi di tanganmu, barulah pedang itu mampu
menunjukkan kehebatannya. Sebab itu aku memba-
wamu ke mari."
Kali ini Tongkat Besi tampak murung dan sorot
matanya memandang dengan sayu. Kasihan. Sebenar-
nya Lanang memang kasihan kepada Tongkat Besi.
Tapi haruskah ia menolong kakek tua itu" Membunuh
seseorang apakah bisa digolongkan sebagai perbuatan
yang bijak" Apakah bisa dikatakan sebagai 'menolong'
seseorang yang dalam kesulitan"
"Tidurlah, besok kita mulai latihan," ujar kakek tua.
"Latihan" Latihan apa?"
"Akan kuturunkan semua ilmuku kepadamu."
"Tidak," tiba-tiba di hati Lanang ada rasa khawatir yang susah diungkapkan. "Aku
tidak mau mempelajari ilmumu, Kek."
"Goblok kamu!" Tongkat Besi menggeram. "Ilmuku ini jarang ada di dunia. Tak
seorang pun yang pernah memiliki ilmuku. Hebat lho...!"
"Tidak. Aku tidak mau!"
"Harus mau!" bentak Tongkat Besi dengan ber-sungguh-sungguh. "Aku hanya akan
menurunkan il- muku pada orang yang pasti mampu membunuhku."
Lanangseta sempat menggeragap. Pandangan
Tongkat Besi begitu tajam dan menusuk hati, bagai
melemahkan persendian tulang. Ia tidak bisa bicara, ia hanya menggeleng dalam
cekaman rasa takut yang jarang dimilikinya.
"Kenapa kau menolak," kali ini pertanyaan Tongkat Besi cukup lunak.
"Karena... karena aku tak ingin seperti kamu, Kek."
"Maksudmu?"
"Hemm... tidak bisa... tidak bisa mati sampai bera-tus-ratus tahun... aku tidak
mau hidup terlalu berle-
bihan umur."
Senyum tipis mekar di bibir yang keriput. "Setiap manusia akan mati dengan
caranya sendiri. Cara yang
telah digariskan di dalam hidupnya."
"Kalau begitu, kakek tidak perlu memaksa aku harus menerima ilmumu dan setelah
itu membunuhmu."
"Aku punya kelainan dengan manusia seperti kau, tolol! Kalau aku, aku bisa
membunuhmu dengan tanpa
menyentuh dan tanpa memerlukan waktu lebih dari
satu helaan nafas. Tapi kalau kau, untuk membunuh-
ku kau harus mempunyai satu kekuatan tersendiri
yang membutuhkan waktu untuk belajar."
"Tapi..."
"Tidur, dan besok mulai belajar!" kata Tongkat Besi dengan tegas. Matanya
memancarkan cahaya lain,
janggal. Namun barangkali kekuatan dari pancaran
mata itulah yang membuat Lanangseta menguap, lalu
tertidur pulas.
Ketika matahari baru muncul sebagian, Lanangseta
sudah dibangunkan oleh si Tongkat Besi. Ia diajak ke samping rumah, yang
ternyata rumah atau pondok itu
ter-letak di lereng sebuah bukit. Lanangseta baru menyadari kalau ia berada
dalam pondok di lereng bukit, di mana dalam jarak beberapa langkah terdapat
jurang yang lebar dan dalam. Tempat itu sangat sepi. Dingin.
Kabut pagi masih tebal dan suara kicau burung saling bersahutan dengan jelas.
Agaknya hanya pondok itu-
lah yang ada di lereng bukit itu. Dan hutan di sekitarnya itu, sepertinya hutan


Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jarang dijamah manu-
sia kecuali Si Tongkat Besi. Samar-samar terdengar
suara deru air berjatuhan, Lanangseta dapat memasti-
kan tak jauh dari daerah itu pasti terdapat aliran air terjun yang cukup curam.
Lanangseta yang merasa badannya sudah benar-
benar sehat itu tiba-tiba tersentak. Ujung tongkat me-nyodok punggungnya dengan
keras. "Jaga naluri mu...!" tukas kakek tua.
Sebenarnya Lanangseta benar-benar malas mem-
pelajari ilmu yang dimiliki Tongkat Besi. Yang ia pikirkan adalah 'imbalannya',
bahwa ia harus mau berta-
rung dengan Tongkat. Besi dengan menggunakan pe-
dangnya. Tetapi kemalasan yang ada pada Lanangseta
ternyata tidak mampu melawan perintah Tongkat Besi
walau sedikit pun. Tanpa disadari ia telah berada dalam pengaruh kekuatan magis
yang ada pada diri be-
kas dewa itu. Tanpa ia sadari pula, ia telah melupakan segala pi-
kiran sebelumnya. Tak ada Kirana di dalam otak, tak
ada Sekar Pamikat, tak ada Prabima, tak ada Ludiro
dan tak ada semuanya. Lanangseta sendiri merasa he-
ran, mengapa ia jadi sangat menurut kepada Tongkat
Besi. Pikirannya hanya tertuju kepada soal ilmu yang diajarkan oleh kakek tua
itu. Suatu kali ia pernah
memanggil Kirana di dalam hatinya, yaitu pada saat
Tongkat Besi memberikan waktu istirahat selama 100
hitungan. Tetapi, panggilan hati itu sudah tak berfung-si lagi. Nyatanya Kirana
tak pernah muncul selama
Lanangseta berada di pondok tersebut selama satu bu-
lan lebih. Pada saat itu ia hanya ditertawakan oleh
Tongkat Besi. Laki-laki tua berjanggut lebat, panjang berwarna putih kemerah-
merahan itu berkata:
"Jangan coba-coba memanggil seseorang di dalam
hatimu. Aku telah menutup raga mu dengan satu lapi-
san yang tak mampu ditembus oleh suara hati siapa
pun. Bahkan suara hatimu sendiri hanya bisa kuden-
garkan setiap saat...! Ayo, latihan lagi."
"Aku... aku capek dan mengantuk, Kek!"
"Minum ini...!"
Lagi-lagi Lanangseta disuruh meminum suatu ra-
muan yang ada di dalam mangkok dari tanah liat. Ra-
muan itu terasa pahit sekali dan getir. Namun, sangat diakui, bahwa setelah
minum ramuan itu, Lanangseta
menjadi bergairah dan badannya segar kembali, seperti ia tak pernah bekerja
keras. Rasa kantuk hilang seketika. Dan ia pun mulai berlatih lagi.
Sementara itu, di Goa Malaikat seorang pengawal
dari Griya Teratai Wingit berdiri di depan mulut goa.
Sudah dua hari lebih ia berdiri di mana menunggu
kemunculan Ludiro.
Namun pada hari ketiga setelah Bonang menung-
gu, barulah Ludiro keluar dari dalam goa, dan terkejut
melihat Bonang berada di mulut goa.
"Bonang" Ada apa kau berdiri di situ?" tanya Ludiro dengan perasaan heran.
"Paman Ludiro, aku sudah tiga hari berada di sini menunggu kemunculanmu, Paman."
"O, ya"!" Ludiro berkerut dahi. "Ada apa?"
"Rama Sabdawana memanggilmu."
Ludiro mendesis sambil duduk pada sebuah batu.
"Aku belum menemukan Lanangseta."
"Dia ingin bertemu denganmu, Paman. Ada yang
ingin dibicarakan sekalipun kau datang tanpa Lanang-
seta." Ludiro yang semula termenung, kini menatap Bo-
nang. "Apa ada sesuatu yang penting" Apa Lanangseta
sudah kembali?"
"Tidak. Lanangseta belum kembali. Tetapi Putri
Bukit Badai telah kembali dua minggu yang lalu. Sekarang ada di rumah. Dan...
ah, pokoknya datanglah sa-
ja. Ini panggilan dari Rama Sabdawana, Paman," bujuk Bonang.
Mulanya Ludiro tidak ingin kembali ke Griya Tera-
tai Wingit sebelum menemukan Lanang, entah hidup
atau mati. Tetapi karena rupanya ada sesuatu yang
penting, maka Ludiro pun harus menghadap ayah Ki-
rana. Belakangan ini memang ayah Kira itulah yang
dianggapnya sebagai pucuk pimpinan, menggantikan
almarhum ayah Sekar Pamikat, yaitu: Patih Sambang-
bumi. Sambil melangkah menuju Griya Teratai Wingit,
Ludiro menanyakan sesuatu yang tadi dirasakan cu-
kup ganjil. "Bonang, tadi kau bilang bahwa Putri Bukit Badai itu telah kembali dua minggu
yang lalu?"
"Benar, Paman."
"Aneh."
"Apanya yang aneh?"
"Dua minggu yang lalu...?" Ludiro menggumam sendiri sambil melangkah. "Berarti
aku sudah dua minggu berada di dalam goa itu, ya?"
"Satu bulan lebih satu minggu, Paman."
"Hah..."!" Ludiro berhenti dan mendelik.
"Betul, Paman!" laki-laki tinggi, jangkung itu mene-gaskan jawabannya. "Paman
berada di dalam goa itu sudah selama satu bulan lebih satu minggu."
"Gila! Rasa-rasanya aku baru berada sehari semalam di dalam sana! Sungguh!"
Ludiro terheran-heran.
Tapi Bonang kelihatan tenang-tenang saja dan tidak
terkejut dengan hal itu. Ia bahkan tersenyum dan berkata menjelaskan:
"Memang begitulah keanehan goa tersebut, Paman
Ludiro. Menurut cerita Rama Sabdawana, goa itu
mempunyai keanehan tidak hanya satu-dua saja. Tapi
banyak. Dan kalau kurang beruntung, orang dapat
mati terkena udara beracun di sana. Satu di antara
dari sekian keanehan adalah yang Paman alami sendiri itu. Sepertinya hanya
sebentar berada di dalam goa,
namun sebetulnya waktu di luar goa sudah berjalan
lebih cepat lagi. Bahkan menurut perkiraan... ini
hanya perkiraan saja, bahwa goa itu bisa menembus
ke Tebing Neraka jika tidak salah lorong."
"Oooo... ya, ya, ya..." Ludiro mengangguk-angguk.
"Dan, kalau kita berada di dalam goa itu, perut kita terasa selalu kenyang, juga
tahan haus."
"Benar, Bonang. Aku juga begitu. Aku rasakan
sendiri bahwa selama ini, kalau memang benar aku
sudah berada selama satu bulan lebih satu minggu,
aku tidak pernah lapar tidak pernah haus, dan tidak
mengantuk."
"Ya, begitulah, Paman. Katanya lagi, semua penyakit dapat beku bila berada di
dalam goa itu. Artinya, tidak bertambah parah, tapi juga tidak bertambah
baik. Tetap. Tenaga kita pun akan tetap. Nyala api...."
"Juga tetap, kan?" sahut Ludiro. "Aku pernah men-galaminya. Pernah sekali.
Sebatang ranting ku bakar
dan apinya tak pernah padam, padahal kata Lanang
aku sudah beberapa hari berada di dalam goa itu.
Wah, sungguh aneh goa itu. Sepertinya tak punya
waktu. Tak ada hari di sana. Mungkin kita bisa awet
muda jika mau tinggal di dalam Goa Malaikat walau-
pun selama seratus tahun, ya?"
"Mungkin begitu, Paman. Tapi, tentunya tinggal di kedalaman goa, bukan di bagian
dekat mulut goa itu."
Ludiro manggut-manggut merenungi keanehan Goa
Malaikat. Tanpa disadari, mereka sudah sampai di pin-tu gerbang Griya Teratai
Wingit. Seorang lelaki berambut uban telah berdiri di pintu gerbang dengan
didam-pingi dua pengawal lainnya.
"Saya mendengar kabar dari Bonang, katanya Ra-
ma memerlukan saya untuk datang ke mari" Betulkah
itu, Rama?" kata Ludiro dengan sopan dan penuh
hormat. "Ya. Mari ke dalam, Ludiro," kata Sabdawana yang lebih tua ketimbang Ludiro.
Sabdawana membawa masuk Ludiro ke sebuah
kamar, namun mereka hanya berada di pintu, tidak
masuk sampai di ranjang. Sementara di ranjang mata
Ludiro terbelalak melihat Kirana yang pucat pasi bagai kan mayat. Tubuhnya
sangat kurus dan matanya ce-kung. Bibirnya yang dulu ranum dan sensual, kini
membiru dan beku. Sorot matanya nyaris bukan milik
Kirana Sari lagi
"Paman..." ia menyebut sepotong nama itu dengan suara yang sangat lemah. Hampir
tak terdengar oleh
Ludiro. Meratap hati Ludiro melihat kenyataan itu. perih
dan terharu rasanya memandang keadaan Kirana yang
sedemikian parah. Ludiro sendiri bertanya-tanya da-
lam hati; apa gerangan yang membuat Kirana menderi-
ta sedemikian parah" Racun lagi"
"Mendekatlah, Ludiro..." bisik Sabdawana.
Maka, Ludiro pun mendekati Kirana yang terbaring
bagai tidak mempunyai tenaga lagi itu. Dalam jarak sa-tu jangkauan lebih Ludiro
berhenti dan membungkuk-
kan badan, memberi hormat sebagai seorang hamba.
"Lanang bagaimana, Paman?"
Semakin pedih rasa hati Ludiro mendengar perta-
nyaan itu. Dengan hati-hati Ludiro menjawab:
"Sementara ini, Lanangseta memang belum kami.
temukan, Putri. Tetapi, dalam waktu dekat ia pasti
akan pulang. Dia memang senang mempermainkan
saya, Putri."
"Tapi dia pasti pulang.... kan?" pertanyaan ini terlontar dengan suara parau.
Dengan tegas, seakan yakin betul, Ludiro men-
gangguk. "Pasti! Saya berani bertaruh nyawa..."
Kirana yang sayu, Kirana yang pucat, kini meng-
hempaskan nafas bagai dalam kelegaan yang semu. Ia
berkata tanpa berpaling memandang Ludiro, "Kabari aku jika ia telah terlihat
jalan di seberang jembatan, Paman."
"Tentu. Tentu saya akan segera datang mengabar-
kan hal itu dan kita akan menjemputnya segera, Pu-
tri." Sebenarnya Ludiro tak habis pikir, apa sebab Kira-
na sebegitu parah" Hanya karena rindukah ia bisa
menjadi separah itu" Ah, terlalu mengada-ada, pikir
Ludiro. Tetapi ia segera menanyakan kecurigaan ha-
tinya itu kepada ayah Kirana. Waktu itu, mereka bera-da di halaman belakang,
pada sebuah taman kecil
yang dihiasi dengan bebatuan indah. Banyak tanaman
bunga di sana, walau sebenarnya tanah yang ada ada-
lah tanah cadas putih, tapi ada tanaman bunga khu-
sus yang bisa tumbuh di tanah cadas seperti itu.
"Apakah ada racun yang mengganas di dalam tu-
buh Putri, Rama?" tanya Ludiro dengan menyebut kata
'Putri' sebagai ganti kata 'Kirana'.
Sabdawana, laki-laki yang kelihatan berwibawa,
punya kharisma dan berhati bijak itu menghela nafas
dengan berat. Sepertinya saat itu hatinya sedang mengeluh dalam memprihatinkan
keadaan putrinya.
"Mungkin racun yang tak dapat ditawarkan lagi,
Rama?" desak Ludiro, dan Sabdawana menjawab lirih:
"Semacam itu..."
"Semacam racun?"
"Ya. Dan penyakit itu di luar kebisaan ku, Ludiro."
Ludiro mengerutkan dahi dan berpikir beberapa
saat. Lalu, setelah mereka bungkam beberapa saat,
Sabdawana berkata lagi dengan suara berat:
"Leluhur ku mempunyai sebuah ilmu yang na-
manya dipakai oleh nama anak itu. Jika ada yang me-
nyebutkan nama itu, maka akan datang, badai besar,
alam mengamuk seperti hendak kiamat. Ilmu itu
hanya milik keluarga kami, dan sekarang seolah-olah mutlak menjadi milik anak
itu. Kalau dia mati, maka
ilmu itu pun akan mati..."
"Ck, ck, ck... begitu hebatnya ilmu itu, Rama,"
ucap Ludiro dengan kagum.
"Ya. Tapi ada pan tangannya."
Alis Ludiro semakin beradu, berkerut ingin tahu.
Sabdawana berkata lagi:
"Dia tak boleh jatuh cinta pada seorang lelaki, dalam arti yang sebenarnya. Dia
boleh mengasihi seorang lelaki, boleh mencintai, tapi tidak boleh terlalu dalam.
Jika ia benar-benar mencintai seorang lelaki, maka hatinya akan diperbudak oleh
cinta. Jika hatinya dikuasai oleh cinta, maka ia akan mengenal rindu. Nah,
sebenarnya yang menjadi pantangan keras baginya ada-
lah rindu. Rindu terhadap seorang lelaki, itu yang dapat menghancurkan dirinya."
"Rindu..."!" Ludiro bersungut-sungut kebingungan.
"Ya, rindu! Memang sulit untuk menjelaskannya,
Ludiro... Tetapi pada pokoknya, jika ia rindu dan sampai meratap di dalam hati,
maka dirinya akan hancur
dimakan ilmunya sendiri. Dia akan segera mati jika tidak bertemu dengan
Lanangseta. Sebab itu, dari dulu
ia tak pernah mau jatuh cinta pada siapa pun."
"Aneh..." gumam Ludiro yang didengar Sabdawana.
"Memang aneh, tapi itulah kenyataan hidupnya.
Kerinduan jelas akan menyiksa hati. Jika hati rindu
setengah mati, maka ia akan meratap. Unsur rindu itu sendiri sebenarnya ungkapan
lain dari nafsu birahi
yang terpendam. Nah, di dalam darahnya, nafsu birahi yang terpendam itu akan
mengendap dan lama-lama
akan meracuni dirinya. Meracuni darah itu, lalu darah beredar ke seluruh tubuh
dan menghancurkan tubuhnya. Racun semacam itu, Ludiro... belum pernah ku-
temukan obatnya. Kecuali mempertemukan dia dengan
lelaki yang dirindukan. Sekalipun tanpa melalui hu-
bungan badaniah, dengan bertemu lelaki yang dirin-
dukan, lalu dipeluk dan dicium, secara dengan sendi-
rinya nafsu birahi itu mulai luntur, lalu tawar. Tidak menjadi racun lagi. Jadi
racun semacam itu, adalah
racun yang paling berbahaya bagi dia. Kalau sampai
Lanangseta ternyata mati, lantas ke mana ia harus
memperoleh obatnya?"
"Apakah... apakah dia sendiri tidak tahu ke mana Lanang berada?"
Sabdawana menggeleng. "Dalam keadaan seperti
itu, sudah jelas ia telah kehilangan kontak batin dengan kekasihnya."
Sekali lagi Ludiro manggut-manggut dengan mulut
ternganga mendengar keterangan dari ayah Kirana.
"Kalau dia tidak kehilangan kontak batin, dia akan dapat berbicara dari jarak
jauh dengan Lanangseta,
akan dapat bermesraan dalam jarak jauh. Tetapi seka-


Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang ia bukan tidak mau melakukan, tapi ia telah kehilangan kontak batin itu.
Dan biasanya..." Sabdawana terbungkam sesaat, sepertinya berat untuk mengemu-
kakan sesuatu. Namun, akhirnya ia katakan juga ka-
rena Ludiro tampak menunggu dan segera ingin tahu:
"Biasanya jika sudah begitu itu suatu pertanda, bahwa... kekasihnya telah tiada.
Mati." "Tidak!" tiba-tiba Ludiro tersengat telinganya dan ia menjadi garang. "Tak ada
yang sanggup membunuhnya sebelum orang itu mampu melangkahi mayat saya,
Rama." "Sabar, tak perlu sekeras itu kemarahan mu. Ada yang perlu kita lakukan untuk
itu, Ludiro."
Ludiro menghempaskan nafas, mencari ketenangan
dalam hatinya. Kemudian ia berkata dengan tegas:
"Berikan perintah pada saya, saya akan kerjakan sekarang juga!"
"Ludiro... aku akan mencarinya melalui rohku. Aku akan masuk ke kamar dan
bersemadi. Mudah-mudahan dengan cara begitu aku bisa melacak di ma-
na Lanangseta. Tetapi aku minta bantuanmu, berjaga-
jagalah di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan jauh-
jauh dari Griya Teratai Wingit ini. Kau yang kutu-
gaskan menjagaku, sekaligus menjaga keamanan di
sini. Usir siapa saja yang ingin menemuiku, dan atasi jika ada yang hendak
membuat keonaran di sini. Men-
gerti?" "Mengerti. Saya mengerti, Rama. Dan saya akan ja-lankan tugas itu dengan senang
hati...!" Memang aneh penyakit Kirana itu. Ada-ada saja
penyakit semacam itu, pikir Ludiro. Kerinduan, cinta, birahi, ternyata mampu
menghancurkan diri seseorang
jika tak mampu mengendalikannya. Tapi syukurlah,
sekarang ayah Kirana sudah masuk ke dalam kamar.
Ludiro berharap mudah-mudahan ayah Kirana dapat
menemukan di mana Lanangseta berada. Mudah-
mudahan roh Sabdawana dapat lebih teliti mencari le-
tak kedudukan Lanangseta saat ini. Sementara itu,
Ludiro merasa bertanggungjawab terhadap keamanan
di tempat itu. * * * * 5 JAUH di lereng bukit, yang konon bernama Bukit
Dewa, seorang pemuda tampan berbadan tegap, kekar,
sedang asyik memandang tepian jurang yang dalam.
Tetapi sesungguhnya saat itu ia hanya menggunakan
kesempatan yang ada. Kesempatan untuk melamun,
setelah sekian lama ia melupakan seorang perempuan
yang sangat menggetarkan hatinya. Kirana Sari! Itulah yang sedang terlintas
dalam ingatan Lanangseta di
Bukit Dewa. Sebenarnya ia ingin meratap karena kerinduan
yang baru disadari saat ini. Namun, ingatannya pun
kembali melayang pada wajah Prabima, pemuda ber-
tampang imut-imut, ganteng dan berbibir ranum yang
amat mengganggu kerinduannya. Ia masih ingat saat
terakhir bertemu dengan Prabima, pada malam sebe-
lum ia pingsan dan dibawa oleh si Tongkat Besi. Yang terngiang adalah kata-kata
Prabima: "Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak
sampai meresap di dalam hatinya... malam ini ia telah menyerahkan keperawanannya
kepadaku, lalu menyuruhku untuk melukaimu kembali... perkawinanmu
akan tertunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk
memuaskan diri bersamaku..."
Gemertak gigi Lanangseta, dan menggenggam kuat-
kuat kedua tangannya. Kalimat itu sekarang terngiang lebih dari tiga kali.
Padahal selama ia tinggal di situ, ia tak pernah sempat terngiang kalimat
tersebut. Dendam dan kemarahan tersembur dari nafas Lanangseta. Sudah cukup lama
ia tinggal bersama si Tongkat Besi,
sudah tiba saatnya untuk melampiaskan dendam dan
kemarahannya kepada Prabima. Namun, kemudian dia
ingat, bukankah Prabima hanya menuruti perintah Ki-
rana" Bukankah itu berarti Kirana yang mengkhianati
cintanya" Uuh...! Keji! Sungguh keji hati Kirana. Licik!
Jadi, untuk apa ia harus marah dan mendendam ke-
pada Prabima, kalau toh Kirana sendiri dengan suka
rela menyerahkan keperawanannya kepada Prabima"
Bangsat! geram Lanangseta.
Sebuah pukulan tongkat begitu keras disabetkan
ke arah kepalanya. Lanangseta dengan tenang, tetap
memandang dasar jurang berair jernih, tetap bicara
mengumpat dalam hati, namun tangan kanannya den-
gan gesit melintang ke atas kepala.
"Plak..." Tongkat dari besi itu tertangkap oleh tangan Lanangseta sekalipun ia
tidak melihat dan bahkan sedang melamunkan sesuatu.
Lalu sebuah tendangan menyusul menyerangnya
dari belakang. Lanangseta masih melamunkan keke-
jian Kirana, namun tubuhnya meliuk ke samping kiri,
dan tendangan kaki itu melesat di samping kanannya,
mengenai tempat kosong. Itulah perkembangan kecil
ilmu yang diperolehnya. Tanpa berpikir anggota tu-
buhnya sudah bergerak sendiri menghindari bahaya.
Wajah penyerang tua tampak cerah. Terkekeh-kekeh
sesaat. Lanang pun berpaling.
"Apa yang sedang kau lamunkan, ha?" tegur si Tongkat Besi.
Lanang masih memperlihatkan wajah yang mu-
rung. Ia berjalan ke pondok seraya berkata:
"Perempuan yang mengkhianatiku, Kek...!"
"Itu yang bisa merusak jiwamu kalau terlalu kau pikirkan terus, Lanang." Setelah
berkata demikian, Tongkat Besi melemparkan sebatang kayu sebesar sa-tu pelukan.
ia melemparkan dari arah belakang La-
nangseta. Dengan cepat Lanangseta tahu-tahu melom-
pat dan kakinya terentang. Ia menggunakan jurus ten-
dangan kipas yang tepat mengenai batang kayu besar
itu. Dalam waktu kurang dari sekejap, batang kayu itu berubah menjadi serbuk
halus, lebih halus dari gula
pasir. Dan Tongkat Besi manggut-manggut.
"Sudahlah jangan pikirkan dulu... mari kita berlatih jurus Pedang Suralaya..."
ujar Kakek tua.
"Bukankah aku sudah menguasai jurus pedang
yang kemarin kau ajarkan itu?"
"Itu jurus pedang Gegana Sakti. Kali ini lain. Kalau jurus pedang Gegana Sakti
dapat menebas dari jarak
sepuluh langkah dari benda yang akan kau potong, ja-
di seperti kau bermain pedang sendiri namun sebenar-
nya kau sedang membabat musuhmu dan ia akan ma-
ti. Tetapi pedang Suralaya berbeda, Lanang."
"Apa itu perlu" Dan apa ada keistimewaannya?"
"O, iya. Perlu dan ada keistimewaannya. Kau tak perlu menancapkan pedang itu ke
tubuh lawan. Cukup menyentuhkan ujungnya pada bagian tubuh la-
wanmu. Maka ia akan mati seketika."
"Ah, itu biasa, Tidak istimewa. Di mana letak istimewa nya" Malahan lebih hebat
jurus pedang Gegana
Sakti," kilah Lanangseta menyepelekan. Tongkat Besi hanya tersenyum.
"Kelihatannya memang tak ada keistimewaannya,
tapi lihatlah contoh yang akan kumainkan..."
Kemudian Tongkat Besi mengambil pedang tiruan,
yang dibuat semirip mungkin dengan pedang Wisa Ko-
bra. Baik bentuk, bahan, dan beratnya, sama persis,
Hanya bedanya, kalau pedang Wisa Kobra dapat untuk
memotong besi, apalagi kayu. Tapi kalau pedang tiruan itu tak dapat untuk
memotong rumput sekalipun. Lanangseta sempat terkejut ketika Tongkat Besi menye-
rahkan pedang tiruan itu. Bahkan ia heran, begitu pin-tarnya Kakek tua itu dalam
meniru sebuah benda.
Waktu itu, Tongkat Besi berkata, "Kau harus berlatih untuk menggunakan pedang
yang sama persis den-
gan pedang Wisa Kobra; baik beratnya, panjangnya,
bentuknya, bahannya, harus sama persis supaya kau
tidak ada kejanggalan jika kau bermain dengan pedang
Wisa Kobra yang sebenarnya...."
Itulah tujuan Tongkat Besi yang diakui Lanangseta
sebagai orang cerdik terselubung kesederhanaannya.
Seperti saat itu, Wisa Kobra yang ash ada di tan-
gannya, sedangkan yang palsu diberikan kepada La-
nangseta. Lalu, Tongkat Besi memainkan jurus Pedang
Suralaya dengan gerakan yang masih asing bagi La-
nangseta. Tubuhnya meliuk ke kiri, lalu melangkah
maju, meliuk ke kanan, lalu membalik lagi dan menu-
sukkan pedang itu ke batang pohon.
"Deep...!" Ujung pedang bagai menyentuh pohon, tanpa harus terbenam sedikitpun.
Kemudian pohon ja-ti kecil itupun roboh dengan menimbulkan bunyi ge-
muruh. Tongkat Besi tersenyum memandang Lanang-
seta yang masih tenang berdiri memperhatikannya. Ia
menunjuk pada pohon yang roboh. Tapi Lanangseta
hanya mencibir, menyepelekan kehebatan jurus itu.
"Kuno..." ejeknya.
Tapi beberapa saat kemudian mata Lanangseta
membelalak lebar. Ternyata pohon yang ada di bela-
kang pohon pertama itu ikut roboh juga. Menyusul po-
hon ketiga, dan pohon keempat yang berjarak sekitar
enam langkah dari pohon ketiga. Terbengong mulut
Lanangseta menyaksikan satu tusukan ujung pedang
namun mampu merobohkan tiga pohon yang ada di
belakang pohon pertama.
"Kuno, bukan?" sindir Tongkat Besi dengan sinis.
"Kalau kau tak berminat, ya sudah... tak perlu
kuajarkan!"
"Aku berminat!" jawab Lanangseta cepat. Dan Tongkat Besi terkekeh menertawakan
semangat Lanangseta.
"Lakukan dengan pedang palsu itu... gerakannya
harus mantap dan konsentrasikan pikiranmu pada
ujung pedang. Tak perlu keras mendorongnya, cukup
ujungnya kau sentuhkan pada benda yang kau tuju,
maka benda yang ada di belakangnya akan ikut tertu-
suk, asal masih dalam jarak 15 langkah dari benda
yang kau tusuk pertama itu."
Dengan tekun Lanangseta berlatih jurus Pedang
Suralaya, Memang, Tongkat Besi mempunyai banyak
ilmu, termasuk ilmu pedang beraneka ragam. Belum
lagi sebegitu banyak ilmu tenaga dalam yang dahsyat-
dahsyat, yang ternyata dapat diselesaikan oleh La-
nangseta dalam waktu singkat. Itu bukan lantaran La-
nangseta punya otak cerdas, melainkan karena ban-
tuan unsur hidup yang ada pada Tongkat Besi telah
mengalir dalam jiwa Lanangseta, sehingga semua itu
bagai sebuah ulangan dari pelajaran yang pernah dilupakan saja.
Tanpa menggunakan daya pengalihan unsur hidup
yang ada pada diri Tongkat Besi, maka ilmu sebegitu
banyak hanya akan rampung dalam tempo 200 tahun.
Tetapi kali ini Tongkat Besi pun gembira, karena dapat
menurunkan semua, hampir semua, ilmunya kepada
Lanangseta dalam waktu kurang dari 2 bulan. Ini pun
di luar dugaan Tongkat Besi sendiri.
Semua terjadi di luar dugaan. Lanang sendiri tidak
menyangka kalau ia akan tertarik dan sangat antusias dalam mempelajari semua
ilmu pemberian Tongkat
Besi. Ilmunya aneh-aneh, dan menghadirkan banyak
kejutan. Sebab itulah Lanang menjadi betah dan ha-
nyut dalam keasyikannya mempelajari ilmu yang ditu-
runkan kakek berjubah kuning itu.
Dan suatu kehebatan lain yang mengherankan La-
nang adalah, bahwa selama ini dia tidak pernah tidur, tidak pernah merasa letih
dan ngantuk. Istirahat boleh dibilang tidak pernah. Makan sambil mempelajari
gerakan jurus- jurus yang akan dipraktekkan sehabis
makan nanti. Mandi sambil mendengarkan petunjuk-
petunjuk yang akan dilatihnya nanti, dan begitu sete-rusnya, pagi, siang, sore
dan malam hari. Sehingga sesekali Lanangseta lupa bahwa semua itu telah dica-
painya dengan kemustahilan yang menjadi nyata.
Seperti pagi ini, setelah Lanangseta berlatih ilmu
yang mampu menghentikan gerakan air terjun secara
mendadak, ia kembali ke pondok. Di pondok, ia telah
disambut oleh 'gurunya' yang eksentrik itu.
"Bagaimana" Sudah bisa menghentikan jalannya
air berapa helaan nafas?" tanya Tongkat Besi.
"Sudah mencapai sembilan puluh kali helaan na-
fas, Kek."
"Yah... lumayan lah. Nah, sekarang kita berlatih jurus Pedang Pamungkas Dewa.
Ingat, kau hanya boleh
menginjak tanah dua kali selama pertarungan.... Je-
las"!"
"Jelas, Kek."
"Kemarin kau empat kali menginjak tanah. Seka-
rang jangan lebih dari dua kali. Nan, ambil pedangnya dan kita pergi ke lereng
atas...." Lanangseta bergegas mengambil dua pedang. Lalu
mereka berdua pergi ke lereng atas, di mana ada tanah sedikit lega dan
pepohonannya berjarak cukup jauh
dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Pilih, kau mau pakai pedang yang mana"!" kata Tongkat Besi.
Lanangseta cukup hati-hati sekali memilih kedua
pedang itu. Sebab salah-salah ia memakai pedang
yang asli dan dapat mengenai gurunya betulan, wah...
repot. Lanang tak ingin membunuh Kakek tua itu,
apapun alasannya ia tak mau sampai terjadi begitu.
Lebih baik dia yang dibunuh daripada harus membu-
nuh gurunya. "Yang, ini, Kek..." kata Lanang setelah ia memilih pedang yang palsu.
"Baik. Mari kita mulai..." Lalu Tongkat
Besi melompat dan kakinya menginjak dedaunan
semak, begitu juga Lanangseta, ia sudah terbiasa men-
ginjak dedaunan semak tanpa harus membuat daun
itu melengkung sedikit pun.
"Lanangseta...!" kata si Tongkat Besi. "Jika kau berhasil kali ini, kau patut
menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti...."
Lanangseta tersenyum bangga, ia yakin bahwa ia
akan berhasil sesuai dengan ketentuan yang dikatakan gurunya tadi, tidak boleh
menginjak tanah lebih dari dua kali. Itu patokan yang diingat Lanangseta.
Tongkat Besi berdiri di atas dedaunan semak tanpa
membuat daun itu melengkung sedikit pun. Lalu den-
gan tangan kiri bertolak pinggang, ia berkata:
"Sebaiknya kau memakai pedang yang ini saja, Lanang."
"Tidak. Aku pakai pedang yang sudah kupegang
pegang ini!" jawab Lanangseta dengan tegas. Tongkat Besi tersenyum mencurigakan.


Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Lanangseta memperhatikan pedangnya lagi. Ia telah memberi tanda secara
diam-diam pada pedang palsunya dengan seutas
benang tipis pada lingkaran di bawah kepala kobra, di gagang pedang itu. Dan
pedang yang dipegangnya saat
itu mempunyai benang tipis, warna hitam, tepat di bawah kepala kobra pada bagian
gagangnya. Berarti pe-
dang itu adalah pedang palsu. Tetapi ia jadi ciut nya-linya setelah Tongkat Besi
berkata: "Ini latihan terakhir, Lanang. Kau tak boleh main-main. Ingat, hanya pedang Wisa
Kobra yang asli yang
akan dapat menembus tubuhku. Jika pedangmu itu
asli, maka kau hari ini juga akan berhasil membunuh-
ku, dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Tetapi
kalau ternyata pedangku ini adalah Wisa Kobra yang
asli, aku mohon maaf... karena itu berarti aku yang
akan membunuhmu. Tak boleh ada rasa menyesal di
antara kita. Aku tidak akan menyesal membunuhmu,
kalau memang kau yang terbunuh, dan kau tak boleh
menyesal jika kau yang ternyata membunuhku."
"Tunggu...! Jangan begitu, Kek. Aku...."
si Tongkat Besi tidak menghiraukan lagi ketegan-
gan di wajah Lanangseta. Tubuhnya yang kerempeng
itu melesat cepat bagaikan anak panah. Pedang di tangannya menjurus ke tubuh
Lanangseta, dan Lanangse-
ta takut terkena. pedang itu, karenanya ia melompat
tinggi, hingga mencapai dahan pohon besar. Ia mau bicara sesuatu, namun dari
belakang datang serangan
tak diduga cepatnya.
"Trang...!!"
Ia menangkis pedang yang dibabatkan oleh Tong-
kat Besi dengan hanya menggerakkan pedangnya ke
belakang. Kaki Lanangseta maju ke depan, gerakannya
seperti hendak melompat ke bawah. Namun sebenar-
nya kaki yang masih menginjak dahan pohon itulah
yang tahu-tahu menendang ke belakang sambil ia ber-
salto di udara. Tendangan kaki Lanangseta mengenai
perut Tongkat Besi. Ia terhempas seperti pohon kering
ditiup angin. Tetapi posisi jatuhnya begitu indah. Kelebat jubah kuningnya bagai
sayap garuda menghampiri
sarangnya. Kaki Tongkat Besi menginjak pada selem-
bar daun, sedangkan Lanangseta bagaikan cicak, ka-
kinya menempel pada batang pohon yang berdiri tegak.
Agaknya Tongkat Besi ingin mengadakan serangan
balasan setelah ia berhasil ditendang Lanangseta.
Dengan sekali loncatan bagai harimau terbang, ia
mengarahkan pedangnya ke dada Lanangseta.
"Heeeaaaahh...!!" Teriakan itu begitu keras dan membuat Lanangseta gugup
sedikit, lalu ia bersalto di udara menghindari tusukan pedang Tongkat Besi.
"Traang...!"
Pedang mereka beradu. Anehnya tak ada yang pa-
tah salah satu. Pada saat mereka mengadu pedang,
tangan kiri Tongkat Besi sempat memukul wajah La-
nangseta dengan kerasnya, sehingga Lanang menjadi
limbung, namun cepat menjejakkan kaki ke pohon
lain. Maksudnya supaya ia jangan sampai jatuh ke ta-
nah dan menginjak tanah. Tubuh yang melesat dalam
kesakitan wajah itu disambut dengan meluncurnya
tendangan miring oleh si Tongkat Besi. Lanangseta
menghindari tendangan yang membahayakan itu. Te-
tapi pada saat ia menghindar, pedang si Tongkat Besi menyambar kepalanya,
"wesss..." Kepala Lanang buru-buru merunduk, dilangsungkan dengan gerakan sal-
tonya. Lalu sebelum kaki Lanang sempat menyentuh
tanah, ia telah menyentuh ranting kering dan dengan
bantuan ranting kering itu tubuhnya dapat melesat
naik lagi. Sementara itu, pedang Tongkat Besi berhasil menyentuh tanah, dan
dengan tenaga tangan ia meletik ke udara.
Pada saat tubuh Tongkat Besi meletik ke udara,
bertepatan dengan itu, tubuh Lanangseta sedang me-
layang melalui depannya dan ia mengibaskan pedang
palsu itu sekuat tenaga agar dapat menjatuhkan tu-
buh Tongkat Besi. Pedang berhasil mengenai tubuh
Tongkat Besi dan Kakek tua itu berseru:
"Aaauuhh...!!" '
Lalu tubuhnya benar-benar jatuh ke tanah dalam
keadaan telentang. Lanangseta terbelalak kaget. "Ka-kekkk..."!"
Perut Tongkat Besi robek total, isi perutnya meng-
hambur ke luar. Lanangseta menjerit sekali lagi setelah memperhatikan pedangnya
berlumuran darah dari
ujung sampai sebatas gagang. Merah segar warnanya.
"Kakek..."! Kakek, kau terluka betulan..."!"
Tongkat Besi tersenyum, lalu tertawa terkekeh-
kekeh sambil menyeringai kesakitan.
"Aku berhasil!! Aku berhasil...! He, he, heee...!" Kakek tua itu bahkan tertawa
dan senang melihat perut-
nya amburadul mengerikan begitu. Lanang segera
mengangkat kepala Tongkat Besi dengan wajah ngeri
dan menegang. "Kek... maafkan aku..."! Kenapa yang kupakai itu jadi pedang Wisa Kobra yang
asli..." Oh, aku tidak ta-hu, Kek...!"
"Lanang... aku telah menukar benang yang kau
pakai tanda pada gagang pedang palsu ke pedang yang
asli. Jadi yang kau pilih itu sebenarnya pedang Wisa Kobra yang asli. Dan dengan
cara begini kau akan bisa membunuhku...! Tapi ingat, aku mati secara kesatria
lho.... Ingat itu. Dan, dan..." Tongkat Besi tak menghiraukan ratapan
Lanangseta. Ia meraba tangan La-
nangseta dan berjabat tangan dengan muridnya, seka-
ligus pembunuhnya.
"Terima kasih. Terima kasih, Lanang.... Kini cita-citaku ratusan tahun ini telah
berhasil. Aku dapat ma-ti... ya, dapat mati walau harus melalui pedang dan
tanganmu...!"
"Kek, kau keterlaluan! Kau gila!" bentak Lanangseta jengkel sendiri.
"Ingat, jangan menyesal! Aku tadi sudah... sudah katakan sebelumnya...! Karena
penyesalan itu seperti halnya sebuah borok! Mau diapakan lagi kalau memang sudah
borok! Dipulihkan kembali" Toh tetap
meninggalkan bekas...! Hey, lihat pedangmu itu, ba-
nyak darahnya...!"
"Persetan dengan kata-katamu!" bentak Lanangseta dalam kesedihan dan
penyesalannya. Ia berusaha
mengangkat tubuh Tongkat Besi, namun kewalahan
karena tubuh itu nyaris terpotong menjadi dua bagian.
"Mau dibawa ke mana aku" Tak usah repot-repot,
Lanang." "Kau harus disembuhkan, Kek. Harus...!"
"Mana bisa.... Kamu masih kalah sakti denganku.
Kamu belum menguasai semua cara pengobatan. Ada
lima cara yang belum kuajarkan kepadamu dan meru-
pakan simpanan ku, salah satu di antaranya adalah
pengobatan sakit seperti yang ku derita saat ini.
Oohh... usus ku keluar. Brodol! He, he..."
Geram dan kebingungan membuat Lanangseta be-
nar-benar stres. Ia mencari-cari akal untuk membawa
Tongkat Besi ke pondok, namun tidak ketemu. Otak-
nya bagai beku.
"Sudahlah..." ucap Tongkat Besi dengan suara semakin pelan dan tubuh melemas
dalam kepucatan
yang pasi. "Tak usah repot-repot membawa... ku. Ki-ta... kita ngobrol sebentar
di sini, sebelum ajalku selesai... Ini pesan gurumu yang terakhir, Lanang..."
Akhirnya Lanangseta tak dapat berbuat apa-apa
kecuali menuruti pesan guru yang terakhir kali. Ba-
rangkali dengan mendengarkan pesan guru itulah yang
bisa menggantikan ungkapan rasa sesalnya.
"Lanang...! Pedangmu itu berdarah. Bersihkan dengan lidahmu. Lekas, sebelum
menjadi kering...."
Lanangseta buru-buru melaksanakan perintah gu-
runya. Tanpa ada rasa jijik kecuali sedih, ia menjilati
darah yang berlumuran di sekujur pedang. Tetapi
anehnya, pedang itu masih saja berlumur darah walau
telah dijilat berulangkali. Terdengar suara Tongkat Be-si terkekeh-kekeh pelan.
"Cukup, jangan habiskan. Pedang itu tetap akan merah dan mempunyai kekuatan
tersendiri. Sekarang, lemparkan pedang itu ke tempat semak-semak itu."
Lanang melemparkan tanpa banyak berpikir.
"Panggil namanya...!"
Lanang berseru tertahan kepedihan, "Wisa Ko-
bra...!" Lanang tak dapat berseru keras. Namun tiba-tiba dari semak itu muncul
pedang Wisa Kobra yang
segera meluncur sendiri ke arah Lanangseta, dan tan-
gan Lanang segera menangkapnya dengan sigap. Ma-
tanya yang memerah menahan kesedihan itu sempat
terbelalak sedikit karena heran dan kagum. Tetapi
Tongkat Besi yang mulai sekarat itu masih berusaha
menertawakan Lanang, walau pelan dan serak.
"Kau telah menjadi seorang kesatria tangguh. Pendekar hebat yang boleh
menyandang gelar pemberian-
ku... Malaikat Pedang Sakti... Pedang Wisa Kobra, tetap akan berwarna merah,
karena di situlah pangkal
dari kehidupanku yang panjang. Di pedangmu itulah
akhir dari perjalananku yang jauh.... Kuburkan aku di belakang pondok itu... Oh,
aku capek. Dingin. Dan...
oh... oh ya... kuminta... kuminta jangan... jangan susul aku, ya..." Selesaikan
dulu tugasmu di dunia ini, la-
lu... lalu... ah, aku lemas...." Lalu suaranya menghilang, mulutnya ternganga,
bibirnya bergerak-gerak pelan. Mata Tongkat Besi semakin redup. Lanang me-
mandangnya dengan hati ditabah-tabahkan. Mata itu
kian redup, sayu... lalu terpejam pelan-pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum
tipis. Dan... nafasnya terhempas habis lewat lobang hidung.
"Guru..."! Guru...!" suara Lanangseta mulai geme-tar menahan derai tangis dan
keharuan atas kepergian seorang guru. Ia mendekap kepala Tongkat Besi. Mendekap
kuat-kuat seperti bagian dari hidupnya sendiri.
Namun ia juga menahan kuat-kuat air mata yang
mendesak di pelupuk mata.
Angin pun bertiup deras. Matahari tertutup mega
hitam. Mendung. Lalu, tak lama kemudian hujan pun
turun membasahi mayat Tongkat Besi dan muridnya
yang masih tenggelam dalam kesedihan. Petir me-
nyambar sesekali. Dedaunan serempak melambai, ba-
gai mengucapkan selamat jalan kepada kakek berju-
bah kuning itu. Selamat jalan, selamat menempuh ke-
langgengan hidup yang ia cita-citakan selama ini.
Menjelang sore, Lanangseta memakamkan jenazah
gurunya yang nyentrik itu di belakang pondok. Kemu-
dian ia berkabung selama tiga hari di pondok itu sendirian. Sesekali ia
memandangi pedang Wisa Kobra
yang asli, dan pedang itu masih berwarna merah. Da-
rah mengering, namun justru membuat mengkilat.
Terbayang di pelupuk mata Lanang saat pedang itu be-
radu dengan pedang di tangan gurunya. Siapa sangka
kalau justru pedang di tangan guru itu yang palsu. Kalau saja saat itu Tongkat
Besi tidak menyalurkan ke-
kuatan tenaga dalamnya, pasti pedangnya telah patah
ditebas Wisa Kobra yang asli. Semua itu sengaja dilakukan kakek tua untuk
menjebak pikiran Lanangseta
yang bertekad tak mau membunuh gurunya.
Bagaimanapun lihainya seorang murid, tetap ma-
sih kalah pintar dengan gurunya. Dan kenyataan itu
dihadapi sendiri oleh Lanangseta, Pendekar Pusar Bu-
mi yang kini menyandang gelar baru: Malaikat Pedang
Sakti. Apa yang terjadi, seperti sebuah kepastian yang tak dapat diingkari. Dewa
yang terusir dari Suralaya, telah mengetahui di mana letak akhir hidupnya. Dan
kepada Lanang setelah ia menurunkan ilmunya walau
sebenarnya Lanangseta sendiri takut menanggung re-
siko yang telah terjadi itu: yakni membunuh gurunya.
Tetapi penyesalan memang seperti borok, yang
apabila kering tetap meninggalkan bekas. Jadi, La-
nangseta berkeras hati untuk tidak menelan penyesa-
lan. Ketika ia melangkah meninggalkan pondok di le-
reng Bukit Dewa, ia telah menyimpan penyesalan itu di lubuk jiwanya, dipendam
bersama kemelut yang akan
dihadapinya nanti.
Ia teringat kepada Kirana, tapi ia juga teringat ka-
ta-kata Prabima. Kirana sudah tidak perawan lagi. Ki-
rana telah mengkhianati cintanya. Kirana kejam dan
tak tahu bagaimana cara kasihan kepada orang lain.
Bagi Lanangseta, Kirana perlu belajar mengenai kasih.
Tapi benarkah sejauh itu kekejaman Kirana" Be-
narkah ia telah menyerahkan keperawanannya kepada
Prabima" Lanang dalam kebimbangan. Ia sendiri tak
tahu apakah Kirana saat ini sudah menikah resmi
dengan Prabima, atau pergi memuaskan diri bersama
pemuda imut-imut itu" Tak tahu apakah Kirana Sari
masih mempunyai cinta kepada Lanangseta"
Memang tak tahu bagaimana nasib Kirana yang te-
lah terserang racun rindu itu, Lanang pun tak tahu"
Apakah kepergian Kirana yang tergiur oleh cerita tentang lumut bercahaya itu
juga bisa dipakai alasan bagi Lanang, untuk menuduh Kirana telah serong dan
mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan
Prabima" Haruskah pemuda tampan berikut kepala
kain emas itu dimusnahkan" Apakah Ludiro tak bisa
menangani Prabima"
Malaikat Pedang Sakti dapat menjawab semua per-
tanyaan itu. Kisahnya sungguh membuat seseorang
akan mengerti sulitnya melangkah dalam kebenaran
dan kesucian. T A M A T Scan/E-Bo k: Abu Keisel
Juru Edit: Kucing Listrik
Bentrok Rimba Persilatan 8 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Neraka Hitam 7
^