Pencarian

Bangkitnya Pandan Wangi 1

Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Bagian 1


"Aaauuu.. !"
Terdengar lolongan panjang anjing hutan yang mendirikan
bulu kuduk. Di malam yang pekat itu angin bertiup cukup
kencang. Awan hitam bergulung-gulung menutupi cahaya
bulan udara begitu dingin membekukan tulang. Namun
keadaan alam yang nampak tidak ramah itu tak menghalangi
seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang
untuk berjalan tertatih-tatih
Sebatang tongkat kayu hitam yang berkeluk-keluk,
tergenggam erat membantu langkahnya. Sesekali ditengadahkan kepalanya ke atas, memandang gumpalan
awan yang semakin hitam menebal. Desahan napas-nya
begitu panjang dan berat Namun kakinya terus terayun
setengah terseret, menapaki tanah berumput.
"Hhh..., mudah-mudahan belum terlambat," terdengar
desahan pelan setengah bergumam.
Laki-laki yang usianya kelihatan telah mencapai seratus
tahun itu terus berjalan tertatih-tatih menembus kegelapan
malam. Dia baru berhenti melangkah setelah tiba di sebuah
puncak bukit yang tidak begitu tinggi. Pandangan matanya
lurus ke arah suatu tempat yang terdapat cahaya-cahaya
lampu berpendar, seakan ingin mengalahkan kegelapan.
Hm..., apakah itu Karang Setra...?" laki-laki tua itu
menggumam bertanya pada dirinya sendiri.
"Aaauuu...!"
Kembali terdengar lolongan anjing hutan yang panjang dan
menyayat hati. Laki-laki tua itu kembali menengadahkan
kepalanya. Kakinya kembali melangkah pelahan-lahan, lalu
kepalanya tertunduk memperhatikan ujung-ujung kakinya
yang bergerak terseret Sebentar kemudian kepalanya mcnoleh
ke kanan dan ke kiri. Kedua matanya yang cekung tampak
tajam menatap sekelilingnya, tanpa sedikit pun berkedip.
"Aku yakin, di sinilah tempatnya Hhh...! Mimpi itu jelas
sekali. Aku yakin itu bukan sekedar mimpi. Aku hhh.... Begitu
jelas. Oh, Dewata Yang Agung..., mudah-mudahan aku belum
terlambat," desisnya lirih.
Laki-laki tua berjubah putih panjang dan hampir
menyentuh tanah itu, kembali berhenti melangkah. Tatapan
matanya lurus pada satu tempat di bawah pohon besar dan
rindang. Tampak sebuah gundukan tanah yang dikelilingi
bcberapa batu. Pelahan-lahan laki-laki tua itu melangkah men-dekati,
kemudian berhenti dan berdiri tegak di samping gundukan
tanah itu Terdengar tarik. napasnya yang panjang dan berat.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapan matanya
tajam beredar ke sekeliling.
"Benar! Di sini tempatnya. Aku yakin, itu bukan hanya
sekedar mimpi. Hhh..., mudah mudahan masih bisa
kuselamatkan," desah laki-laki tua renta itu.
Pelahan-lahan dia menjulurkan ujung tongkatnya ke atas
gundukan tanah itu, lalu ditekan hingga masuk hampir
setengahnya. Pelahan kemudian, ditariknya kembali tongkat
itu. Terdengar lagi tarikan. napas panjang, namun kali ini
bemada kelegaan pada hembusan napasnya. Sinar matanya
tidak lagi redup. Raut wajah-nya pun nampak bersinar dan
bibimya menyungging-kan senyum
Laki-laki tua itu membuka jubahnya, dan melemparkan
begitu saja. Kini dia hanya memakai baju ketat warna biru tua.
Di punggungnya tampak sebuah alat berbentuk sekop yang
terikat Laki-laki tua renta itu membuka tali yang mengikat
sekop, dan langsung menggali gundukan tanah
Dari caranya menggali, sudah dapat dipastikan kalau laki-
laki tua itu bukanlah orang sembarangan. Tenaganya begitu
kuat. dan gerakannya cepat luar biasa. Dia terus menggali
meskipun titik-titik air hujan mulai jatuh merinal Samuanya
tidak dipedulikan, sampai seluruh tubuhnya hampir tenggelam
dalam lubang yang digalinya. Sebentar masih terlihat tanah
terlempar ke luar, kemudian tidak terlihat lagi sesuatu yang
terlempar dari dalam lubang itu.
Bahkan dari dalam lubang itu melesat bayangan yang
langsung mendarat di tepi lubang. Tampak laki-laki tua itu
sudah berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang kotor
oleh tanah merah berair. Sukar untuk dikenali tubuh dalam
pondongan itu. Sebentar laki-laki berusia lanjut itu
memandang ke dalam lubang, kemudian membungkuk
memungut jubahnya.
"Kau belum mati dan akan hidup kembali, Cucu ku," kata
laki-laki tua itu pelan, namun terdengar mantap suaranya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba saja laki-laki tua renta itu me lesat
cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah menghilang ditelan
kegelapan malam yang sangat pekat. Tepat pada saat itu di
angkasa, kilat menyambar terang. Hujan pun turun dengan
derasnya, bagai di-tumpahkan dari langit
Sementara itu pada saat yang sama, di sebuah kamar
penginapan di luar Kota Kerajaan Karang Setra, seorang
pemuda nampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang
tampan dan rambutnya yang panjang terurai, nampak seperti
kusut. Keringat membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Dan
tiba-tiba saja....
"Tidak..!" Pemuda itu menjerit keras, dan langsung
terbangun duduk.
Napas pemuda itu terengah engah. Wajahnya terlihat pucat
pasi. Untuk beberapa saat dia hanya terduduk dan
pandangannya kosong Tangannya menyeka keringat yang
membanjiri wajah, kemudian meraih sebilah pedang yang
tergeletak di sampingnya. Digeser tubuhnya, lalu duduk
menjuntai di tepi pembaringan. Angin malam yang dingin
menerobos masuk dari jendela yang terbuka lebar.
Pemuda itu bangkit berdiri dan me langkah ke jendela,
kemudian berdiri mematung sambil memandang ke luar.
Langit tampak hitam, dan hujan turun bagai ditumpahkan dari
langit Begitu derasnya, sehingga menimbulkan suara
bergemuruh. Kilat menyambar angkasa, membuat alam jadi
terang untuk sesaat
"Hhh...! Aku bermimpi...," keluh pemuda itu pelan.
Angin malam yang dingin membawa tumpahan hujan,
membuat tubuh pemuda itu menggigil sedikit Ditutupnya
jendela kamar sewaan. Seleret cahaya kilat kembali
menyambar angkasa. Pemuda itu tidak jadi menurup jendela.
Pandangannya lurus menatap ke arah bukit yang melatarbelakangi Kerajaan Karang Setra. Bukit yang nampak
hitam dan terlihat angker.
Lama juga pemuda Itu menatap ke arah bukit itu. Setelah
menarik napas panjang, kemudian ditutupnya jendela kamar
sewaannya Dia berbalik dan melangkah kembali mendekatl
pvmbarlngan, lalu duduk di s itu.
"Hampir tiga purnama aku tidak menginjakkan kaki lagi di
sini. Hhh Entahlah, kenapa aku kembali lagi ke s ini" M impi itu
." pemuda itu bergumam sendiri. Beberapa kali ditariknya
napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat
Dia masih duduk tennanung sambil memandang kosong ke
depan. Keringat kembali menitik membasahi wajahnya.
Dengan punggung tangan kiri, diseka keringat itu, lalu kembali
ditarik napas panjang, seakan-akan ingin dilonggarkan
dadanya. Bisa dirasakan kalau detak jantungnya demikian
cepat Bahkan perasaan-nya jadi tidak menentu. Pemuda itu
sendiri tidak tahu, kenapa beberapa hari ini jadi gelisah seperti
ini" Sehingga, tanpa disadari dirinya berada kembali di Kerajaan
Karang Setra. Karang Setra adalah satu tempat yang begitu banyak
menyimpan kenangan. Baik kenangan manis maupun pahit
Tempat yang tidak akan pemah dilupa kan selama hidupnya.
Di s ini dia dilahirkan, di s ini pula leluhumya terdahulu lahir dan
meninggal. Pemuda itu kembali bangkit berdiri dan berjalan
mendekati meja yang terletak di samping pintu. Diambilnya
kendi dan diteguknya air bening dalam kendi itu.
"Hhh..., aku tak pemah percaya dengan mimpi. Tapi m impi
ini.... Sudah beberapa hari selalu datang, dan selalu sama!
Apakah..., ah tidak!" pemuda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, lalu berbalik dan kembali menuju ke pembaringannya. Dia duduk kembali di tepi pembaringan itu,
dan merebahkan tubuhnya. Tapi pedang di punggungnya
membuatnya tidak nyaman. Dilepaskan pedangnya, dan
diletakkan di sampingnya. Tapi tangan kirinya masih
memegangi gagang pedang berkepala burung llu
Glarrr...! Guruh menggelegar kencang, membuat pemuda itu
terlonjak bangkit berdiri. Seketika cahaya kilat memendar di
angkasa, membuat kamar yang hanya diterangi sebuah pelita
kecil itu sesaat jadi terang benderang. Dan pada saat itu,
mata pemuda itu menangkap adanya kelebatan bayangan di
depan jendela. Bergegas dia melompat ke jendela, dan langsung
membukanya lebar-lebar. Tapi bayangan itu sudah tidak
terlihat lagi. Hanya angin dingin dan curahan hujan saja yang
menyambutnya. Sebentar diedarkan pandangannya ke
sekeliling. Namun hanya kegelapan saja yang terlihat. Tidak
ada lagi bayangan berkelebat yang dilihatnya sekejap tadi.
Cras! Kembali seleret cahaya kilat menyambar langit, disusul
suara guruh memekakkan telinga. Pada saat itu, mata pemuda
itu tertumbuk pada sosok tubuh yang berdiri di bawah pohon
yang cukup besar dan berdaun rimbun. Pohon itu terletak di
seberang jalan, dan jaraknya cukup jauh dari rumah
penginapan ini.
Tapi sosok tubuh Itu terlihat hanya sekejap saja. Begitu
kilat kembali menyambar, sosok tubuh itu sudah tidak terlihat
lagi Pemuda itu jadi tertegun, lalu berdiri mematung di dipan
jendelanya. Perasaannya yang halus, langsung menangkap
kalau dirinya tengah diawasi seseorang. Tidak jelas , siapa dan
apa maksud-nya orang itu mengawasi.
Pagi begitu cerah. Langit bening tanpa awan sedikit pun
menggantung di angkasa. Matahari bersinar penuh menghangati seluruh Kerajaan Karang Setra yang semalaman
terguyur hujan lebat. Meskipun tanah berlumpur, namun
seluruh penduduk Karang Setra tetap melakukan tugasnya
masing-masing. Pagi ini kehidupan kembali berjalan sete lah
semalaman bagaikan mati.
Dari dalam sebuah kamar penginapan, keluar seorang
pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang meriap terikat
kain berwarna putih, sewarna dengan bajunya yang tanpa
lengan. Bagian dada dan perutnya terbuka lebar, menampakkan bentuk otot yang kuat dan tegap. Pemuda itu
melangkah ringan, keluar dari rumah penginapan menuju
halaman. Ayunan kakinya seperti terlihat pelahan, tapi
kecepatannya melebihi orang berlari
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Mereka
terialu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tapi,
rupanya ada seorang yang selalu memperhatikan dari balik
tudung tikar yang besar, sehingga menutupi sebagian
wajahnya. "Aku harus segera sampai ke sana. Perasaanku semakin
tidak enak. Aku yakin, mimpi-mimpi itu bukan sekedar mimpi
biasa. Jelas itu merupakan petunjuk yang membawaku
kembali ke sini," pemuda itu bergumam dalam hati.
Langsung dikerahkan ilmu lari cepat begitu berada di luar
pemukiman penduduk Ilmu meringankan tubuhnya memang
Hungguh luar biasa, sehingga lari-nya bagaikan terbang saja.
Sepasang kakinya seperti tidak menapak tanah, sukar untuk
diikuti mata biasa. Begitu cepatnya bettari, sehingga yang
nampak hanya sebuah bayangan putih berkelebatan cepat di
antara pepohonan.
"Oh, tidak...!" pekik pemuda itu begitu sampai di suatu
tempat, pemuda itu mendadak menghentikan larinya.
Kedua bola matanya membeliak lebar dan mulut-nya
menganga. Wajahnya tampak kosong. Langkah-nya pelahan-
lahan mendekati sebuah lubang yang cukup besar dan dalam.
Di sekitar lubang itu terdapat tanah basah merah yang
sepertinya habis digali. Batu-batuan yang mengelilingi lubang
itu masih terlihat
"Oh...," pemuda itu mengeluh lirih, langsung jatuh berlutut
di tepi lubang itu
Tampak bahunya berguncang, tapi tidak terdengar sedikit
pun suara dari bibimya yang bergeter. Kepala nya
menggeleng-geleng beberapa kali. Tangannya memukul-
mukul tanah, tapi tidak juga terdengar suara dari bibirnya
yang bergetar semakin hebat.
"Bajingan keparat " tiba tiba saja dia berteriak keras.
Sesaat kemudian. tubuhnya jatuh bersujud di tepi lubang
itu. Jari-jari tangannya mencakar-cakar tanah di sekitar lubang
itu. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang yang


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri pelahan-lahan dari belakang. Orang bertudung
lebar dan berbaju merah menyala itu berhenti melangkah
setelah jaraknya cukup dekat dengan pemuda itu
"Kakang...," terdengar suara lembut
Pelahan guncangan pada bahunya mulai mereda, kemudian
terhenti sama sekai Pelahan-lahan pula kepalanya bergerak
terangkat, lalu menoleh ke belakang. Dan begitu me lihat ada
seseorang di belakangnya, tubuhnya langsung melompat dan
berdiri. "Siapa kau?" bentak pemuda itu kasar. Nampak kedua bola
matanya merah dan merembang berkaca kaca. Wajahnya juga
menegang bagai menyimpan sesuatu yang hampir tidak
tertahankan. "Kakang Rangga...," lembut sekali suara orang, bertudung
besar itu. "Kau tidak lagi mengenali suaraku, Kakang?"
Pemuda itu tertegun sesaat Dipandangi orang bertudung
dan berbaju merah menyala itu. Sebilah pedang panjang
tergantung di pinggangnya. Dari kulit tangan dan kakinya,
dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita. Apalagi juga
terlihat tonjolan indah pada dadanya. Dan suaranya begitu
lembut, namun terdengar agak tertahan.
"Mayang. ," detis pemuda itu tidak percaya. "Aku senang
kau masih ingat suaraku, Kakang," ucap wanita itu seraya
membuka tudungnya.
Pemuda itu menggeser kakinya ke samping beberapa
tindak. Hampir tidak dipercaya apa yang dilihatnya kini. Di
balik tudung tikar yang besar, tersembunyi seraut wajah
cantik. Namun, matanya terlihat sendu bagai tidak memiliki
gairah hidup lagi Wanita itu melemparkan tudungnya begitu
saja "Aku Mayang, Kakang Rangga," ujar wanita itu
menyebutkan namanya. "Kau tidak lupa denganku, kan" Aku
Mayang...."
"Tidak! Aku tidak akan pemah melupakan manusia yang
paling kubenci di dunia ini!" ketus jawaban pemuda yang
memang tidak lain adalah Rangga, atau yang terkenal dengan
julukan Pendekar Rajawali Sakti
Wanita yang ternyata bernama Mayang itu menangis
terisak. Tapi cepat-cepat dihapus air matanya. Sebentar ditarik
napasnya dalam-dalam, seakan menghendaki
adanya kekuatan dalam dirinya. Tatapan matanya tetap sendu tanpa
gairah kehidupan sedikit pun.
"Hampir tiga purnama aku selalu mencarimu, Kakang.
Meskipun aku tidak jauh meninggalkan Karang Setra. Aku
yakin, suatu saat kau pasti akan kembali. begitu lama kau
kurindukan, untuk menyesali semua kesalahanku. Kakang...,
aku tidak kuat menerima hukumanmu ini. Maafkan aku,
Kakang. Maafkan aku...," agak tersendat suara Mayang
diselingi isaknya yang tertahan. Dia memang selalu berusaha
untuk tidak menangis.
"Aku tahu siapa kau. Mayang. Aku memang tidak percaya
kau bisa selicik itu tapi semua sudah terjadi. Keinginanmu
sudah tercapai Pandan Wangi sudah mati, dan sekarang
kuburnya ada yang membongkar! Kau puas sekarang,
Mayang" dingin kata-kata Rangga.
"Maafkan aku,
kakang," Mayang tidak bisa
lagi membendung tangisnya yang meledak seketika itu juga.
"Untuk apa menangis, Air matamu tidak akan dapat
mengembalikan Pandan Wangi!" dengus Rangga ketus.
Mayang menyusut air matanya dengan punggung tangan
kiri. Sekuat tenaga berusaha untuk tidak menangis, namun
isaknya masih juga terdengar tertahan. Kini jelas sudah, tidak
ada gunanya merengek dan menangis di depan Pendekar
Rajawali Sakti ini. Pemuda yang begitu dicintai sudah terlanjur
membencinya setengah mati. Dan itu akibat cemburu buta
pada Pandan Wangi, sehingga gadis itu tewas di tangan
seorang buronan yang paling berbahaya di Karang Setra
(Baca; Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah, "Darah
Pendekar").
Rangga berbalik dan melangkah cepat mening-galkan
tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah begitu jauh meninggalkan
tempat itu. "Kakang...!" teriak Mayang keras. Gadis itu langsung berlari
mengejar. "Maafkan aku, Kakang...! Maafkan aku...! Aku
mencintaimu, Kakang. Sungguh...!"
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah,
bahkan kini berlari cepat dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna.
Dia benar-benar benci terhadap gadis itu. T erlebih lagi setelah
menyaksikan kuburan Pandan Wangi terbongkar. Sia-sia saja
bagi Mayang untuk mengejamya. Ilmu yang dimilikinya masih
kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu
berhenti mengejar dan jatuh berlutut di rerumputan yang
basah. "Oh, Kakang... Sampai kapan pun kau tetap akan kucari.
Aku mencintaimu, Kakang. Aku mencintaimu...," rintih Mayang
seraya terisak.
0odwo0 Suasana di Istana Karang Setra tidak seperti biasanya.
Meskipun Rangga yang merupakan raja di tempat itu telah
kembali dari pengembaraannya, tapi tidak mampu mengusir
kemendungan yang menyelimuti seluruh Karang Setra. Sudah
tiga hari ini Pendekar Rajawali Sakti barada di istananya
kembali. Dan selama itu selalu duduk termenung di dalam
kaputren. Seluruh pembesar. panglima, patih, maupun punggawa dan
prajurit di kerajaan itu sudah mengetahui permasalahan yang
membuat raja mereka selalu murung dan menyendiri Memang
sudah jadi kelaziman bila rajanya diliputi kedukaan, maka
seluruh rakyat ikut merasakan pula. Terlebih lagi bila mereka
semua mencintai rajanya. Kemurungan dan wajah mendung
bukan saja tersirat di lingkungan istana, bahkan sudah
menyebar ke seluruh pelosok Kerajaan Karang Setra.
Pagi itu sepasukan prajurit yang dipimpin langsung
Panglima W irasaba memasuki pintu gerbang istana. Panglima
itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan
berlari-lari memasuki istana yang megah. Tapi belum saja
memasuki balariung, langkahnya sudah dicegat Danupaksi,
adik tiri Rangga selain Cempaka.
"Salam sejahtera, Gusti Danupaksi," Panglima Wirasaba
memberi sembah.
"Bagaimana, Paman Panglima" Sudah dapat petunjuk?"
tanya Danupaksi langsung.
"Belum, Gusti. Tapi hamba sudah menyebar puluhan telik
sandi dan ratusan prajurit. Mereka hamba perintahkan untuk
pencarian tidak terbatas, Gusti," sahut Panglima Wirasaba
Belum lagi Danupaksi melanjutkan pertanyaan-nya, muncul
Cempaka dari dalam ruangan Balai Sema Agung. Gadis itu
langsung menghampiri dan berdiri di samping kakak tirinya itu
Panglima Wirasaba memberikan sembah dengan merapatkan
tangan di depan dada dan tubuh sedikit membungkuk
"Kakang, Kakang Prabu tidak menyentuh makanannya
sedikit pun," kata Cempaka sendu.
"Hhh..., sudah dua hari ini Kakang Prabu tidak makan,"
desah Danupaksi.
"Aku khawatir, Kakang," Cempaka mengemuka-kan
kecemasannya. "Kita semua khawatir, Cempaka Kakang Prabu tidak akan
kembali seperti semula kalau masalah ini belum terselesaikan
Yaaah..., bisa kurasakan apa yang dirasakannya sekarang.
Memang tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Dan
semua ini kesalahanku! Seharusnya kutempatkan beberapa
prajurit untuk menjaga pusara Pandan Wangi," ujar Danupaksi
lirih. "Gusti...," selak Panglima Wirasaba.
"Ada apa, Panglima," Danupaksi menatap laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun itu.
"Dari seorang telik sandi, hamba mendapat laporan bahwa
Gusti Ayu Mayang terlihat di sekitar Kadipaten Majalayu.
Bahkan kadang-kadang juga terlihat di Desa Pegaringan, dan
di Bukit Karungan itu, Gusti," lapor Panglima Wirasaba.
"Mayang..."!" Cempaka menatap Panglima Wirasaba dalam-
dalam. "Benar, Gusti Ayu."
"Bukankah Mayang tidak lagi diperkenankan berada di
wilayah Karang Setra ?" Cempaka seperti bertanya pada
dirinya sendin "Benar, Gusti Ayu tapi dari beberapa penduduk yang
melihat, kehadiran Gusti Ayu Mayang bersamaan waktunya
dengan kepulangan Gusti Prabu Rangga," ujar Panglima
Wirasaba lagi Cempaka menatap kakak tirinya. Sedangkan yang ditatap
hanya diam dengan pandangan menerawang jauh.
"Di mana dia sekarang'' tanya Danupaksi setelah lama
berpikir. "Menurut laporan terakhir, sekarang ini berada di
perbatasan Utara, Gusti," jawab Panglima Wirasaba.
'Paman Panglima! Siapkan kuda untukku, dan beberapa
prajurit pilihan," perintah Danupaksi.
"Hamba, Gusti."
Panglima W irasaba memberi hormat, lalu bergegas
melangkah pergi. Danupaksi berbalik, tapi langkahnya
terhalang Cempaka. Dan belum lagi gadis itu membuka mulut,
dari dalam ruangan Ba lai Sema Agung muncul Rangga. Kedua
kakak beradik tiri itu langsung berbalik dan memberi hormat.
Rangga berdiri tegak disertai pandangan mata kosong.
'Telah kudengar semua pembicaraan kalian," kata Rangga
datar. "Ampun, Kakang Prabu," sembah Danupaksi.
"Untuk apa menemui Mayang, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Hanya mencari keterangan, Kakang," sahut Danupaksi.
"Kuhargai usaha kalian. Tapi, Ini persoalan pribadiku.
Kalian tidak perlu bersusah-payah mengirim telik sandi dan
ratusan prajurit," tegas Rangga, tetap datar suaranya.
Danupaksi menatap Cempaka, kemudian memberi sembah.
Rangga mengayunkan kakinya keluar dari ruangan depan
istana ini, lalu berhenti setelah berada di ujung tangga masuk
istana. Danupaksi dan cempaka mengikuti. Beberapa prajurit
membungkuk memberi hormat
"Danupaksi, siapkan kudaku," perintah Rangga.
"Kakang...," Danupaksi tampak kebingungan.
"Kau belum tuli, bukan"!"
"Ampun, Kakang Prabu. Hamba segera laksana-kan."
Danupaksi bergegas melangkah menghampiri seorang
prajurit. Dia berkata sebentar, dan prajurit itu berlari-lari
pergi. Danupaksi kembali lagi mendekati kakak tirinya itu.
Cempaka masih berada di samping Pendekar Rajawali Sakti
itu, yang juga raja di Karang Setra ini.
Tidak berapa lama, prajurit yang diperintah Danupaksi
datang membawa seekor kuda hitam. Pada waktu yang
bersamaan, Panglima Wirasaba juga datang menuntun kuda
yang diminta Danupaksi.
Panglima dan prajurit itu
membungkuk dengan kedua telapak tangan merapat di depan
dada. Rangga langsung melompat ke punggung kuda hitam yang
bernama Dewa bayu, dan yang tidak akan pemah berpisah
darinya. Kuda itu dapat mengetahui, di mana majikannya
berada, meskipun terpisah cukup auh. Dan Rangga juga cukup
bersiul untuk memanggil kudanya kalau tengah mengembara.
"Kakang, aku ikut!" ceru Cempaka langsung melompat ke
punggung kuda yang dibawa Panglima W irasaba. Padahal
kuda Itu semula untuk Danupaksi.
Rangga tidak menjawab, dan segera menggebah kudanya
dengan cepat Kuda dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari
kencang menuju ke pintu gerbang. Cempaka langsung
menggebah kudanya menyusul, sedangkan Danupaksi hanya
terbengong. Dua ekor kuda menerobos pintu gerbang yang
dibuka tergesa-gesa oleh dua orang prajurit penjaga. Sebentar
saja kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.
Rangga terus memacu kudanya dengan cepat; menuju
Bukit Karungan. Bukit yang tidak terlalu tinggi dan mudah
untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti itu baru menghentikan
lari kudanya setelah sampai pada suatu tempat, yang terdapat
sebuah lubang besar dan dalam. Rangga melompat turun dan
melangkah mendekati lubang itu. Dia berdiri tegak sambil
memandang ke dalam lubang. Terlihat sebuah sekop di dalam
sana. Cempaka yang mengikuti, juga bergegas turun dan
menghampiri. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti
itu. Gadis itu tidak sanggup melihat ke dalam liang lahat.
Dipalingkan mukanya, dan berjalan mundur beberapa langkah.
"Kakang..." pelan suara Cempaka memanggil.
"Hhh...." Rangga menarik napas sambil membalikkan
tubuhnya, lalu berjalan menghampiri Cempaka.
Sebentar Rangga menatap gadis itu, dan kembali berjalan
mendekati kudanya. Cempaka buru-buru mengejar, dan
menahan Rangga yang akan naik ke punggung kuda hitam itu.
Dipegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu dekat mulutnya.
Rangga tidak jadi naik, tapi malah menatap tajam pada gadis
itu. "Kembalilah, Cempaka. Ini bukan urusanmu," kata Rangga
tegas. "Tidak, Kakang. Bagaimanapun juga aku ikut bersalah atas
kejadian ini. Semua ini karena kelalaianku, Kakang Danupaksi,
dan semuanya. Kalau saja aku atau Kakang Danupaksi
menempatkan beberapa prajurit di sini, pasti pusara Kak
Pandan Wangi tidak demikian jadinya," tegas Cempaka.
"Cempaka...."
"Meskipun Kakang melarang ikut, tapi aku tetap akan
mencari siapa pencuri mayat Kak Pandan!" sentak Cempaka
cepat memotong.
Rangga menarik napas panjang dan dalam. Dia naik ke
punggung kudanya sambil terus menatap Cempaka yang


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berdiri memegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu pada
mulutnya. "Naiklah ke kudamu, Cempaka," kata Rangga mendesah.
Cempaka tampak gembira, dan bergegas melompat ke atas
punggung kudanya Dan kedua orang itu kembali berpacu
cepat. Tapi baru saja mereka pergi, tiba-tiba Rangga
menghentikan lari kudanya, lalu berbalik menghampiri bekas
makam itu. Cempaka jadi keheranan, dan hanya mengikuti
dari belakang. Rangga kembali turun dari punggung kudanya,
kemudian meneliti sekitar liang bekas pusara Pandan Wangi
itu. Cempaka yang masih berada di punggung kudanya segera
mengambil tali kekang Kuda Dewa Bayu yang ditinggal begitu
saja oleh Rangga. Diikutinya langkah Rangga yang berjalan
perlahan-lahan dengan kepala tertunduk menekuri tanah.
Pelahan-lahan namun pasti, Pendekar Rajawali Sakti itu
berjalan ke satu arah, dan baru berhenti setelah di depannya
menghadang segerumbul semak belukar. Raja Karang Setra
itu jongkok, dan tangannya menyibak semak itu.
Perlahan dia berdiri dan menghampiri kudanya yang
dituntun Cempaka. Rangga melompat naik, lalu menggebah
kudanya agar berjalan pelahan menerobos. Semak itu.
Sedangkan Cempaka mengikutinya dari belakang.
"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka masih terheran-heran
tidak mengerti.
"Banyak jejak kaki di sekitar sini," sahut Rangga.
"Mungkin itu jejak kaki para prajurit, Kakang," duga
Cempaka. Rangga menatap gadis itu seraya menghentikan langkah
kaki kudanya. Entah kenapa, pikirannya tidak sampai di situ.
Sudah hampir empat hari kuburan itu terbongkar, dan yang
pasti jejak pencuri mayat Pandan Wangi sudah lenyap.
Sedangkan dua malam berturut-turut di sekitar tempat itu
selalu diguyur hujan. Mustahil masih terlihat jejak kaki. Dan
yang sekarang, memang begitu banyak. Bukan hanya tapak
kaki manusia, tapi juga kaki-kaki kuda.
"Kakang, mengapa tidak kita telusuri saja asal-usul Pandan
Wangi...?" ragu-ragu Cempaka memberikan usul.
"Jagat Dewa Batara. .!" Rangga tersentak menepuk
keningnya sendiri.
Sungguh dirasakan pikirannya selama ini tertutup. Usul
Cempaka seperti menggubah dirinya dari bayang-bayang
mimpi yang panjang dan melelahkan. Sampai meninggalnya
Pandan Wangi, Rangga memang belum tahu persis asal-usul
gadis itu. Memang sedikit diketahui, tapi itu pun kurang jelas.
Masih terlalu sukar untuk dipahami. Dan selama itu Rangga
memang tidak pernah berminat untuk mengetahuinya. Hatinya
sudah tertutup oleh cinta yang membara di dadanya.
"Kau benar, Cempaka," ujar Rangga. "Ayo, kita ke Banyu
Biru!" "Banyu Biru...?" tanya Cempaka tidak mengerti. Tapi gadis
itu tidak bisa lagi bertanya. Rangga sudah cepat menggebah
kudanya. Buru-buru Cempaka menghentakkan tali kekang
kudanya agar berpacu cepat menyusul Kuda Dewa Bayu. Tapi
meskipun udah digebah agar lebih cepat, tetap saja kudanya
tertinggal. Bahkan jaraknya semakin bertambah jauh saja.
Kuda Dewa Bayu berpacu bagaikan terbang di atas tanah.
"Kakang, tunggu. !" teriak Cempaka keras, seraya
menghentakkan tali kekang kudanya.
Teriakan Cempaka yang begitu keras, membuat Rangga
langsung menghentakkan lari kudanya. Tampak Cempaka
tertinggal cukup jauh di belakang. Gadis itu menggebah
kudanya, dan baru berhenti sete lah sampai di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
'Terlalu kau, Kakang!' dengus Cempaka agak terengah.
"Maaf," ucap Rangga pelahan.
"Bisa mati kudaku kalau begini!" Cempaka memberengut
"Ayolah! Lebih cepat sampai, lebih baik."
"Iya, tapi jangan sepetii orang kesetanan begitu. Mana ada
yang bisa mengejar Dewa Bayu!" Cempaka masih
memberengut. "Baik, sekarang aku yang mengikutimu," ujar Rangga
mengalah. Mereka kembali memacu kudanya kencang. Dan Rangga
memang mengendalikan lari kudanya agar tetap berada di
samping kuda Cempaka.
)odwo( Cukup jauh perjalanan yang harus ditempuh Rangga
bersama Cempaka. Dari Karang Setra ke Desa Banyu Biru,
memerlukan waktu lima hari perjalanan berkuda. Itu pun
kalau tidak mengalami hambatan di jalan. Desa Banyu. Biru
bukan termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra, dan terletak
jauh di daerah Utara.
Saat itu suasana di Desa Banyu Biru nampak tenang dan
tentram. Desa yang tedetak di sepanjang Sungai Banyu Biru
itu semakin terlihat ramai saja. Banyak perahu pedagang
bersandar di dermaga. Dan sebagian besar, penduduk Desa
Banyu Biru mengandalkan hidup dari hasil sungai. Sehingga
tidak heran jika setiap hari selalu saja dikunjungi pendatang. D
antara orang orang yang turun dari sebuah perahu besar,
terlihat seorang gadis berbaju merah menyala, Gadis itu
berjalan tenang menyusuri dermaga.
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun
pakaiannya tampak menyolok dengan sebilah pedang
tergantung di pinggang. Selembar tudung besar terbuat dari
anyaman daun pandan, bertengger di punggungnya.
Rambutnya yang panjang terkepang menyamping di dada
kanan. Gadis itu melangkah tenang menuju sebuah kedai yang
tampak ramai dikunjungi pendatang.
Seorang laki-laki tua pemilik kedai menyambutnya
terbungkuk-bungkuk, dan mempersilakan gadis itu duduk di
bangku dekat pintu. Hanya sedikit gadis itu bicara, maka
nampak pemilik kedai itu terangguk-angguk
dan meninggalkannya. Tidak lama berselang dia kembali lagi
membawa baki berisi seguci arak dan beberapa makanan.
Laki-laki pemilik kedai itu kembali meninggalkannya, dan kini
sudah sibuk lagi melayani tamu-tamu lainnya. Gadis itu
menuangkan arak dari guci ke gelas bambu, lalu meneguknya
hingga tandas. "Agaknya terlalu keras minumanmu, Cah Ayu...."
Terdengar suara berat dan besar dari arah samping kanan
gadis berbaju merah menyala itu. Dan gadis itu hanya melirik
saja tampak di situ seorang laki-laki bertubuh besar dengan
cambang menghiasi wajahnya. Sebilah golok besar terselip, di
pinggangnya. Di sampingnya duduk seorang lagi yang juga
berwajah kasar, serta lehernya terkalung seulas cambuk
hitam. 'Tampaknya dia menyukaimu, Kakang Waringin," celetuk
yang seorang lagi seraya mengedipkan sebelah matanya pada
gadis Itu "He he he.... Cah Ayu itu memang cocok untuk-ku, Adik
Watung," sambut laki laki itu terkekeh.
"Hhh! Becokok pasar mau jual lagak!" dengus gadis berbaju
merah itu tidak mempedulikan.
"Heh...!" Waringin tersentak, langsung menggerinjang
berdiri. Gumaman gadis itu seperti seekor kala yang menyengat
pantatnya. Wajahnya merah padam, dan bibirnya bergerak-
gerak. Matanya mendelik lebar menatap gadis itu. Sedangkan
yang seorang lagi tetap duduk meskipun wajahnya juga
memerah. "Kakang Waringin, kenapa tidak kita undang saja untuk
minum bersama satu meja," ucap Watung kalem.
"Usul yang bagus, Adik Watung."
Waringin mengayunkan kakinya mendekati gadis berbaju
merah itu, dan berdiri tegak di depan meja. Sedangkan gadis
itu telihat tenang menenggak araknya. Sedikit pun tidak
dipedulikan kehadiran orang yang bernama Waringin itu.
Sementara orang-orang yang berada di dalam kedai itu mulai
muak melihat tingkah laki-laki kekar bercambang bawuk itu.
Bahkan beberapa di antaranya sudah meninggalkan kedai.
"Nisanak, pindahlah ke tempatku. Kita minum sama-sama,"
kata Waringin. 'Terima kasih, aku sudah selesai," sahut gadis itu seraya
bangkit berdiri.
Gadis itu me letakkan beberapa keping uang untuk
membayar makanan dan minumannya. Tanpa mempedulikan
Waringin, dia berbalik dan melangkah pergi. Waringin
menggeram gusar, langsung mengambil guci arak yang masih
tersisa setengah.
"Arakmu tertinggal, Nisanak! Nih...!"
Waringin melemparkan guci arak itu disertai pengerahan
tenaga dalam. Guci itu meluncur deras ke arah si gadis. Tapi
cepat sekali gadis itu berbalik, dan menangkap guci arak itu.
Sambil tersenyum manis, diteguknya arak di dalam guci itu
sampai habis, kemudian diseka mulutnya dengan punggung
tangan. "Nih! Kukembalikan, tikus!"
Wut! Gadis itu melemparkan guci ke arah Waringin. Lemparannya begitu kuat dan meluncur deras sekali. Waringin
tersentak sesaat, lalu dengan cepat ditangkapnya guci itu.
Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terpental dan
terbawa dorongan keras guci arak itu. Waringin menggerung
keras. Sebuah meja hancur berantakan terlanda tubuhnya
yang besar. "Perempuan setan!" geram Waringin seraya bangkit berdiri
Slap! Waringin melemparkan kembali guci di tangannya. Kali ini
lemparannya disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Guci
itu kini melayang deras. Tetapi, gadis itu hanya mengibaskan
tangannya saja menyampok guci itu. Akibatnya benda itu
melesat dan mendarat tepat di depan meja Watung, dan
membuatnya tersentak kaget. Laki-laki itu kontan melompat
berdiri. "Huh! Tikus-tikus macam kalian memang selalu merusak
suasana!" dengus si Gadis dingin.
"Kurobek mulutmu, perempuan keparat!" geram Waringin
gusar. Secepat kilat laki-laki yang bernama Waringin itu melompat
sambil mencabut goloknya yang besar. Golok itu dikibaskan ke
arah leher, tapi hanya sedikit saja gadis itu mengegoskan
kepalanya. Sabetan golok Waringin ternyata hanya menyambar angin kosong.
Dan belum lagi Waringin bisa menarik pulang golok-nya,
tahu-tahu gadis itu sudah mengibaskan tangan kanannya.
Bug! "Hughk!" Waringin mengeluh pendek.
Kibasan tangan itu tepat menghantam perut Waringin, dan
membuatnya terbungkuk. Dan kembali gadis itu menghantamkan satu pukulan keras ke arah wajah, sehingga
Waringin terpekik tertahan. Wajah laki-laki itu terdongak ke
atas. Tiba-tiba tubuhnya langsung mencelat ke belakang
begitu satu tendangan telak menghantam dadanya. Kembali
satu meja hancur terlanda tubuh besar itu
"Setan keparat! Hiyaaa...!"
Watung jadi geram bukan main melihat kakaknya
terbanting setelah mendapat hajaran beberapa kali. Adik dari
Waringin ini langsung me lompat dan mencabut cambuk yang
melilit lehernya. Cambuk itu dikebutkan bebeiapa kali ke arah
gadis berbaju merah itu. Tapi gadis itu lincah sekali
berlompatan menghindarinya. Bahkan pada satu saat, berhasil
menangkap ujung cambuk itu Langsung dibetotnya cambuk
itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Ugh!"
Watung berusaha, menahan betotan itu. Tapi, sentakan
tenaga dalam gadis itu rupanya lebih kuat, sehingga Watung
tidak kuasa menahan lagi. Tubuhnya tertarik deras.
Kesempatan baik
ini dimanfaatkan gadis
itu untuk melayangkan satu tendangan keras menggeledek, tepat
menghantam dada Watung.
"Akh...!" Watung memekik keras.
Belum lagi tubuh laki-laki itu mencelat ke belakang, kembali
gadis itu menghantamkan pukulannya ke arah wajahnya.
Watung menjerit melengking. Tubuhnya pun terlempar jauh,
ambruk menindih tubuh kakaknya yang sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Hanya sebentar Watung mampu merintih dan
menggelinjang, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Huh!" gadis itu mendengus.
Dengan Iangkah tenang gadis itu keluar dari kedai.
Beberapa orang yang masih berada di dalam kedai hanya
memandangi saja, tidak berani mencegah. Mereka baru
merubungi Waringin dan Watung yang menggeletak
bertindihan tanpa gerakan lagi. Salah seorang memeriksa, lalu
cepat-cepat berdiri.
"Bagaimana"


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mati."
"Hah..."!"
Walaupun malam sudah menyelimuti persada, namun
seluruh kegiatan di Desa Banyu Biru belum juga berhenti.
Lampu besar dan kecil menerangi sekitar desa di tepian sungai
itu Namun tidak demikian halnya dengan sebuah rumah yang
terletak agak terpencil letaknya dari rumah-rumah lainnya.
Rumah itu tampak agak gelap. Hanya sebuah lampu pelita
kecil saja yang meredup di bagian belakang rumah itu.
Tampak seorang laki-laki tua berjubah putih panjang, duduk
bersila di sebuah altar batu putih yang licin dan berkilat Di
depannya terdapat sebuah kolam yang berisi air berasap
menggolak mendidih. Air yang putih keruh bagai susu, juga
ditabur bermacam-macam bunga dan daun daunan.
Laki-laki tua yang berambut dan berjenggot putih itu duduk
bersila. Kedua tangannya merapat di depan dada. Dan
matanya setengah terpejam, namun meng-arah lurus ke
kolam di depannya. T idak ada lagi penerangan, kecuali pelita
kecil yang tergantung pada palang kayu melintang di atas
kolam itu. "Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ.
Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu lirih.
Air di dalam kolam itu terus bergolak mendidih diiringi
suara-suara letupan kecil. Golakan di dalam
"Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada li situ.
Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu. Bibimya komat-kamit
terus. Dan matanya terpejam rapat.
Lalu tubuh perempuan itu pun mengambang naik dan terus
naik, hingga berada di atas kolam. Kolam itu nampak semakin
terasa kuat, dan mulai terdengar gemuruh. Asap di
permukaannya menebal. Laki-laki tua itu menggerak-gerakkan
tangannya, lalu menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka
lebar. Bibimya bergerak-gerak komat-kamit. Dan matanya
sebentar terpejam. Tubuhnya mulai bergetar, disertai
keringatnya yang bercucuran.
"Bangkitlah, Cucuku Sudah waktunya bangun. Terlalu lama
kau tertidur dalam penderitaan. Bangkitlah, Cucuku...," desis
laki laki tua itu seraya mengatup-kan kembali tangannya di
depan dada. Pelahan-lahan air di dalam kolam berhenti bergolak, dan
sebentar kemudian menjadi tenang. Air yang semula keruh itu
berubah bening bagai kaca. Asap pun tidak lagi mengepul,
lenyap terbawa angin malam. Tampak di dalam kolam,
terbaring sesosok tubuh ramping yang hanya terbungkus
selembar kain putih bersih
Tubuh itu mengambang naik ke atas permukaan air, lalu
terus naik hingga berada di atas kolam. Laki-laki tua itu
melompat turun dari batu putih yang didudukinya. Disangga
dan dipondongnya tubuh ramping itu. Kakinya terayun
melangkah mendekati sebuah pembaringan kayu beralaskan
anyaman daun pandan. Dibaringkan tubuh ramping itu, lalu
ditutupi dengan selembar kain putih. Sebentar kemudian
dilepaskan kain yang basah itu.
"Hm..," laki-laki tua itu bergumam pelahan.
Laki-laki tua yang berusia sekitar seratus tahun itu duduk
bersila di samping tubuh yang tetap terbaring dan matanya
tetap terpejam. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu
pelahan mata laki-laki tua itu terpejam. Mulutnya bergerak-
gerak komat-kamit. Tidak lama kemudian kelopak matanya
kembali terbuka. Dengan gerakan cepat, jari-jari tangannya
menjalar ke seluruh tubuh yang terbaring itu. Dan terakhir
ditotok-nya bagian dada tubuh yang terbaring itu, tepat pada
jantungnya. "Hhh...!" satu tarikan napas panjang terdengar.
Laki-laki tua itu tetap duduk bersila, tapi kini telapak
tangannya bertumpu pada lutut. Tampak matanya tidak
berkedip memandang tubuh yang masih terbaring pucat.
Tidak ada gerakan sedikit pun, sepertinya tubuh itu sudah
mati. Namun sesaat kemudian, wajah pucat itu mulai berubah
memerah. Bahkan kini dada-nya bergerak gerak pelahan. Laki-
laki tua itu tersenyum disertai desahan napas panjang.
"Kau hidup lagi, Cucuku. oh , puji syukur pada-Mu Dewata
Yang Agung" desah laki-laki tua itu seraya mendongak.
)odwo( Derit daun pintu terdengar saat terkuak pelahan. Muncul
seorang laki-laki tua berjubah putih yang kini berdiri di
ambang pintu. Laki laki itu tersenyum melihat di pembaringan
tergolek seorang wanita cantik tertutup selembar kain putih.
Wanita itu menoleh, lalu juga tersenyum, meskipun
pandangan matanya masih terlihat sayu.
Laki-laki tua itu menutup pintu kembali. Kakinya melangkah
mendekati pembaringan, lalu duduk di tepinya. Di tangannya
tergenggam sebuah gelas bambu yang beruap. Diangkamya
kepala wanita itu untuk diminumkan ramuan di dalam gelas.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya laki-laki tua itu
lembut seraya membaringkan kembali kepala wanita itu.
"Mulai membaik, tapi...," lemah sekali suara gadis itu.
"Apa yang kau rasakan?"
"Bahu dan dadaku terasa sakit sekali."
"Itu karena bekas luka. Yah, terlalu dalam luka itu. Tapi
untung saja tak sampai menembus jantung."
Gadis itu terdiam Matanya menerawang menatap langit-
langit kamar yang dipenuhi sarang laba-laba. Perlahan
kepalanya herpaling, menatap laki-laki tua yang kini sudah
bersila di sampingnya.
"Boleh aku...." tanya gadis itu terputus.
"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus," ucap laki-laki tua
itu menyebutkan namanya. "Apa yang akan kau tanyakan?"
'Tentang diriku," masih lemah suara gadis itu.
"Hhh...!"
Eyang Jamus menarik napas panjang. Pandangannya begitu dalam merayapi wajah cantik yang
terbaring di depannya.
Sedangkan gadis itu hanya diam. Dari sorot matanya yang
redup dan sayu, terlihat ada sesuatu yang sukar ditebak.
Bibirnya masih tampak pucat, dan sedikit terbuka. Dicobanya
untuk bergerak, tapi bibirnya langsung meringis merasakan
sakit pada dadanya.
"Siapa namamu, Anak Manis?" tanya Eyang Jamus.
"Aku..." Aku.., aku tidak tahu," sahut gadis itu itu
kebingungan. "Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan dapat mengingat lagi
perihal dirimu. Bahkan apa yang terjadi padamu juga tidak"
mungkin dapat diketahui lagi. Yaaah..., terlalu lama kau
terkubur di alam kematian semu," desah Eyang Jamus ,
"Kematian semu..." Apa maksud Eyang?" tanya gadis itu
tidak mengerti "Beberapa hari yang lain aku selalu dihantui mimpi yang
selalu berulang dan sama persis. Aku melihatmu berada dalam
ruangan gelap penuh lumpur sambil merintih dan meminta
tolong padaku," Eyang Jamus mulai menceritakan kejadian.....
Gadis itu memperhatikan dengan seksama. Dicobanya
untuk bisa mencerna dan mengingat apa yang lerjadi pada
dirinya, sehingga sekarang terbaring di rumah kecil yang
hanya ada satu kamar ini. Tapi pikirannya benar-benar kosong
dia seperti seorang bayi yang baru lahir kembali. Tak satu pun
yang dapat diingatnya.
"Semula kuanggap itu hanya mimpi biasa. Tapi karena
setiap malam mimpi itu selalu datang, akhirnya kuberanikan
diri untuk bertanya kepadamu. Saat itu kau hanya
menyebutkan satu tempat, dan untungnya aku tahu tempat
yang kau sebutkan itu. Maka bergegas aku ke sana, dan
menemukan kuburanmu," lanjut Eyang Jamus.
"Kuburanku..."!" gadis itu semakin tidak mengerti.
"Benar! Kau sudah terkubur hampir tiga purnama. Ketika
kucoba memeriksa, aku benar-benar terkejut. Ternyata kau
masih hidup! Itulah sebabnya mengapa kubongkar kuburanmu
dan sekarang berada di rumah ku ini. Aku tidak tahu,
seandainya sudah lewat tiga pumama mungkin kau benar
benar mati."
"Jadi..., apakah aku ini memang sudah mati, Eyang?" tanya
gadis Itu. "Semua orang memang akan menyangka begitu. Itu
sebabnya kau dikubur. Tapi sebenarnya jiwamu masih
tersimpan dalam ragamu. Kau hanya mati semu, Cucuku,"
Eyang Jamus berusaha menjelaskan.
"Aku.... Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang."
"Memang sukar untuk dimengerti. Kau sendiri juga tidak
mungkin mengetahui masa-masa hidupmu. Kau adalah sosok
manusia langka yang sukar dicari pada masa sekarang ini.
Sebenarnya aku sendiri hampir tidak percaya kalau di zaman
sekarang ini masih ada orang yang bisa mati semu, sebelum
mati sesungguh-nya."
"Eyang, bisa kau jelaskan siapa aku ini?" pinta gadis itu.
"Sulit! Sebab, belum kutemukan jawaban mengapa kau
bisa mati semu dalam jangka waktu yang lama. Biasanya
orang yang mati semu, paling lama mampu bertahan tiga
sampai tujuh hari. Tapi, kau hampir tiga purnama masih juga
belum mati sesungguhnya."
"Kalau begitu, berilah nama padaku, Eyang. Mungkin aku
bisa membantumu," pinta gadis itu.
"Nama apa yang kau inginkan?"
"Aku tidak tahu."
Eyang Jamus terdiam beberapa saat. Rupanya juga
kesulitan mencari nama untuk gadis yang tidak tahu apa-apa
ini. Gadis yang seperti baru saja dilahirkan ke dunia ini. Eyang
Jamus beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah
menghampiri sebuah lemari kecil lantas membukanya, Dari
dalam lemari itu dikeluarkan seperangkat pakaian biru dan
sebilah pedang, kemudian dibawanya pada gadis yang masih
terbaring lemah.
"Benda-benda ini kutemukan bersamamu di dalam kubur,"
kata eyang Jamus
"Semua ini m ilikku. eyang '' tanya gadis itu.
"Benar. Semua milikmu Kau tidak mengenali-nya?"
Gadis itu menggeleng perlahan
"Aku kenal pedang ini! dulu pernah diperebutkan tokoh-
tokoh rimba persilatan. Waktu itu aku tidak ingin ikut campur,
dan bersikap masa bodoh. Sudah puluhan tahun kutinggalkan
dunia persilatan, dan tidak ingin mengotori tanganku lagi
dengan darah dan kekerasan. Namun demikian tidak akan
dapat kulupakan pedang ini," jelas Eyang Jamus.
"Apakah pedang ini mempunyai nama, Eyang?" tanya gadis
itu. "Benar. Semua senjata pusaka selalu mempunyat nama
yang sesuai dengan keampuhan dan kegunaannya."
"Apa namanya?"
"Pedang Naga Geni "
"Pedang Naga Geni"
"Biasanya, pedang ini tidak pemah terlepas dari kitabnya
yang bernama Kitab Naga Sewu. Dalam kitab itu berisi jurus-
jurus 'Naga Sewu', yang sukar dicari tandingannya bila
seseorang benar-benar telah sempurna menguasainya Tapi
sayangnya, tidak kutemukan kitab itu."
"Aku tidak tahu, Eyang."
"Aku bisa mengerti. Sekarang ini kau bagaikan bayi yang
baru saja lahir. Masih putih, bersih, dan polos. Saat kau buka
matamu untuk pertama kali, maka di situlah kau buka
lembaran hidupmu yang baru. T idak ada lagi kehidupan masa
lalumu." "Eyang..."
"Hm.."
"Boleh aku memakai nama...," ucapan gadis itu terputus.
"Aku mengerti, Cucuku. Dan itu memang tengah
kupikirkan. Untuk mengingatkan, kau pantas menyandang
nama Putri Naga Sewu," potong Eyang Jamus.
"Putri Naga Sewu...," gadis itu menggumamkan nama
barunya. Bibimya tersenyum manis dan tola' matanya bersinar
cerah. "Terima kasih, Eyang."
"Ya. Sekarang, istirahatlah. Masih perlu tujuh hari kau
berbaring. Dan selama itu aku akan mencoba memulihkan
keadaan dirimu seperti sedia kala."
'Terima kasih, Eyang."
"Hm...."
Hari demi hari berlalu cepat. Tidak terasa, sudah cukup
lama pula Eyang Jamus merawat gadis yang ditemukannya
melalui jalan mimpi aneh, dan sudah terkubur selama hampir
tiga purnama. Telah dua pekan gadis yang kini memakai nama
Putri Naga Sewu itu tinggal di rumah kecil yang menyendiri di
Desa Banyu Biru. Semakin hari, kesehatannya semakin
membaik. Dan gadis itu kini sudah mulai menjalani latihan
gerakan gerakan ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan
Eyang Jamus, "Cukup!" seru Eyang Jamus keras.
Putri Naga Sewu menghentikan gerakannya begitu
mendengar seruan keras. Keringat bercucuran membasahi
wajah dan lehernya yang jenjang. Langkahnya masih nampak
segar menghampiri Eyang Jamus yang luduk bersila di
beranda belakang rumahnya. Putri Naga Sewu duduk bersila
di lanah, di hadapan laki-laki tua berjubah putih itu.
"Semakin hari kemajuanmu semakin pesat, Naga Sewu.
Aku tidak tahu, bagaimana caranya jurus-jurus Naga Sewu
dapat kau kuasai begitu sempurna. Bahkan ada beberapa
jurus yang sebelumnya pernah kulihat," jelas Eyang Jamus.
"Jurus apa itu, Eyang?" tanya Putri Naga Sewu.
"Sini! Duduklah di sampingku."
Putri Naga Sewu bangkit, dan kembali duduk di samping
kanan Eyang Jamus.
"Dari jurus-jurus 'Naga Sewu', terkadang kau selipkan
beberapa jurus lain Dan sepertinya kukenali jurus itu. Tapi aku
tidak yakin, Naga Sewu," kata Eyang Jamus.
Putri Naga Sewu hanya dlam saja.
"Entah, sudah berapa lama tidak pemah lagi kudengar
nama dan kabar beritanya. Terakhir kudengar, ketika terjadi
peristiwa di Bukit Setan. Jurus-jurus itu berasal dari jurus
'Kipas Maut' yang dimiliki oleh seorang gadis cucu sahabatku.


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi gadis itu menghilang entah ke mana. Juga sahabatku,
Kakek Tangan Seribu, tewas karena berusaha melindungi
cucunya." "Siapa namanya?" desak Putri Naga Sewu.
"Pandan Wangi. Gadis nakal, keras kepala, dan pembuat
onar. Tapi sangat manis, penurut, dan berilmu cukup tinggi.
Waktu itu dikabarkan kalau Kitab Naga Sewu dan Pedang
Naga Geni berada di tangannya. Tapi aku tidak percaya.
Terlebih lagi, setelah. peristiwa di Bukit Setan. Ternyata kedua
benda pusaka itu ada di tangan seorang pendekar muda yang
sangat tinggi tingkat kepandaiannya."
"Siapa nama pendekar itu?" tanya Putri Naga Sewu.
"Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia
seorang raja di Kerajaan Karang Setra, tempat kau terkubur di
sana selama hampir tiga purnama. Tepatnya di sebelah T imur
Karang Setra, di Bukit Karungan."
"Rangga...," Putri Naga Sewu mendesis. Sekilas dia teringat
sesuatu. Tapi hanya sekilas, kemudian tidak tahu lagi.
Putri Naga Sewu mencoba mengulangi lagi ingatan yang
melintas sesaat itu, tapi tetap saja tidak mampu. Namun
hatinya mendadak jadi bergetar aneh kala mendesiskan nama
Rangga. Seperti ada sesuatu yang sukar diungkapkan. Dan
Putri Naga Sewu sendiri tidak tahu, mengapa tiba tiba saja
hatinya bergetar tatkala menyebut nama itu
"Naga Sewu...."
"Oh!" Putri Naga Sewu tergugah dari lamunannya.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Eyang Jamus.
'Tidak ada, Eyang," sahut Putri Naga Sewu.
"Hm...," gumam Eyang Jamus tidak jelas. "Naga Sewu, ada
yang ingin kukatakan padamu."
"Katakan saja, Eyang Memang aku perlu penge-tahuan
banyak sekali. barangkali saja bisa teringat salah satu dari
pengalaman masa laluku. Bukankah itu Yang ingin Eyang
ketahui?" ujar Putri Naga Sewu cepat.
"Beberapa hari ini perasaanku selalu dirisaukan oleh
wajahmu," kata Eyang Jamus.
"Wajahku..."! Ada apa dengan wajahku, Eyang?"
"Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Saat ini wajahmu sering
kubandingkan dengan wajah Pandan Wangi. Ternyata kau
begitu mirip dengan cucu sahabatku itu," ujar Eyang Jamus
tidak yakin. "Benarkah itu?"
"Ya! Meskipun sudah lama sekali tidak pemah lagi bertemu,
tapi aku tak akan lupa pada wajah Pandan Wangi. Hhh...,
sepertinya kau ini Pandan Wangi."
"Apa tidak mungkin, aku ini Pandan Wangi?" kata Putri
Naga Sewu tiba tiba.
Eyang Jamus agak terkesiap, sampai-sampai menatap
tajam pada gadis itu. Dan Putri Naga Sewu juga seperti
terkesima. Entah mengapa bisa telontar kata-kata yang
demikian tandas dan lugas, seperti meluncur begitu saja tanpa
dipikir lebih dahulu. Putri Naga Sewu jadi gelagapan dan
menunduk. "Maaf, Eyang. Aku...," suara Putri Naga Sewu tersendat.
"Tidak mengapa, Naga Sewu. Yah..., mungkin saja kau
memang Pandan Wangi. Aku sungguh gembira kalau hal itu
benar. Hanya saja perlu waktu yang tidak sedikit untuk
mengetahui dirimu yang sebenarnya."
"Aku akan berusaha, Eyang. Meskipun cukup se nang
dengan nama sekarang, tapi harus juga kuketahui diriku yang
sebenarnya. Bukankah begitu, Eyang?"
"Benar, kau memang harus mencari keterangan tentang
dirimu sesungguhnya, Naga Sewu."
"Eyang bersedia membantuku?"
"Tentu. Siapa pun kau sebenarnya, aku akan senang."
"Terima kasih, Eyang."
Matahari belum lagi penuh memancarkan sinar-nya. Tapi di
suatu tempat yang cukup jauh dari Desa Banyu Biru, terlihat
Putri Naga Sewu tengah melatih jurus-jurusnya. Sungguh
tidak disadari kalau sepasang mata tengah mengawasinya
sejak tadi. Sepasang mata ang terlindung dan tersembunyi,
meskipun jaraknya tidak seberapa jauh.
Trek! Terdengar sebatang ranting patah terinjak. Putri Naga
Sewu kontan menghentikan latihannya. Ditatapnya tajam-
tajam sumber suara tadi. Pelahan-lahan kakinya terayun, dan
matanya tidak berkedip memandang ke arah semak belukar
diantara dua pohon cemara.
"Keluar kau! Hih" bentak Putri Naga Sewu keras.
Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke depan.
Dan dari telapak tangannya tiba-tiba meluncur seleret cahaya
merah, yang langsung menembus ke semak belukar dengan
cepat Dan bersamaan terdengarnya ledakan, melesat satu
bayangan merah dari dalam semak itu. Dan bayangan itu
ternyata seorang gadis cantik berbaju merah dengan tudung
besar.bertengger di kepalanya.
"Siapa kau"! Kenapa mengintaiku"!" bentak Putri Naga
Sewu. Gadis berbaju merah itu tidak menjawab. Dibuka nya
tudung itu, dan dilemparkan begitu saja ke samping.
Tampaklah seraut wajah cantik, terlihat sendu. Gadis itu
melangkah pelahan mendekati, dan baru berdiri sete lah
berjarak sekitar lima Iangkah lagi di depan Putri Naga Sewu.
"Pandan,... Aku tidak percaya kalau kau benar-benar
Pandan Wangi,' gadis berbaju merah itu merayapi wajah Putri
Naga Sewu. "He! Apa yang kau..."!"
Putri Naga Sewu jadi kebingungan. Apalagi tatkala gadis
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Kuda Binal Kasmaran 4
^