Pencarian

Bangkitnya Pandan Wangi 2

Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Bagian 2


berbaju merah itu malah me langkah mundur disertai gelengan
kepala beberapa kali. Dan tiba-tiba saja dia berbalik, lalu
berlari kencang. Putri Naga Sewu jadi tidak mengerti, tapi
langsung me lompat mengejar. Hanya tiga kali lompatan saja,
gadis itu sudah terhadang.
"Tunggu!" sentak Putri Naga Sewu.
Gadis berbaju merah itu menghentikan larinya.
"Biarkan aku pergi, Pandan Aku sudah cukup menderita,
dan jangan kau tambah lagi penderitaan pada diriku. Atau,
kau ingin membalas kematianmu" Silakan, Pandan. Aku tidak
akan melawan jika kau ingin membunuhku," kata gadis
berbaju merah itu.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Siapa kau
sebenarnya" Mengapa memanggilku Pandan?" Putri Naga
Sewu nampak keheranan.
"Kau lupa padaku, Pandan" Aku Mayang. Kau ingat?" gadis
berbaju merah itu juga jadi keheranan melihat sikap gadis di
depannya yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Bahkan
bentuk tubuh dan baju-nya juga begitu persis.
"Aku tidak kenal denganmu. Hm..., mengapa kau
memanggil diriku Pandan" Namaku Putri Naga Sewu. Bukan
Pandan," kata Putri Naga Sewu.
"Tidak mungkin! Kau pasti Pandan Wangi. Tapi.... tidak!
Mustahil...!"
Mayang menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dirayapi seluruh tubuh Putri Naga Sewu dalam-dalam, seakan-
akan ingin dipastikan penglihatannya.
"Ada apa dengan diriku?" tanya Putri Naga Sewu.
"Tidak mungkin! Kau pasti bukan Pandan Wangi. Mustahil
ada orang mati bisa hidup lagi. Tapi...," ber-nada ragu-ragu
suara Mayang Kedua gadis itu saling bepandangan. Sinar mata nereka
menyimpan rasa ke tidak pastian dan kebingungan. Yang satu
tidak mengerti maksud kata-kata Mayang, sedangkan Mayang
sendiri tidak yakin dengan yang dilihatnya. Sungguh tidak
diyakini kalau vang berdiri di depannya ini adalah Pandan
Wangi, padahal gadis itu telah tewas sekitar tiga bulan lalu
(Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah, Darah
Pendekar").
Lain halnya yang ada dalam benak Putri Naga Sewu.
Kehadiran Mayang membuat dirinya begitu terasa lain.
Seperginya ada sesuatu yang terjadi pada ingatan-nya, tapi
masih samar-samar. Memang sukar dipercaya,
Terlebih lagi sete lah mendengar kata-kata Mayang yang
dirasakannya begitu aneh. Bahkan sama persis dengan yang
dikatakan Eyang Jamus. Apakah benar dia sudah mati, dan
kini hidup kembali" Memang sukar dipercaya, tapi memang
itulah kenyataannya. Putri Naga Sewu memang tidak tahu
dirinya yang sebenarnya. Bahkan nama dirinya hasil
pemberian dari Eyang Jamus. Apakah benar dia Pandan Wangi
seperti yang dikatakan Mayang, yang berarti sama dengan
dugaan Eyang Jamus" Semua pertanyaan itu masih bergelayut
di dalam pikiran Putri Naga Sewu. Terlalu sukar untuk
mempercayai kalau dirinya telah mati tiga bulan yang lalu
"Naga Sewu..! Naga Sewu...!"
Putri Naga Sewu menoleh ketika namanya dipanggil.
Mayang juga memalingkan wajahnya ke arah laki-laki tua yang
berlari-lari kecil agak terseret. Jubah putihnya yang panjang,
melambai-lambai
ditiup angin. Sebatang tongkat membantunya untuk melangkah cepat menghampiri kedua
gadis cantik yang saling berdiri berhadapan itu.
"Siapa dia, Naga Sewu?" tanya Eyang Jamus begitu tiba di
samping Putri Naga Sewu.
"Aku tidak tahu, Eyang. Dia menyebut namanya Mayang,"
sahut Putri Naga Sewu seraya melirik pada Mayang.
"Benar! Namaku Mayang barangkali kau kakek gadis ini?"
serobot Mayang sedikit ramai
"Benar. Namaku Eyang Jamus, kakek dari Putri Naga
Sewu." Mayang memandangi Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu
bergantian. Pandangannya begitu dalam, dan banyak
mengandung arti yang sukar ditebak. Eyang jamus agak
berkerut keningnya melihat pandangan mata gadis itu.
"Ada apa" Apakah ada yang aneh?" tanya Eyang Jamus.
"Tidak apa-apa. Sebaiknya aku pergi saja," kata Mayang
seraya berbalik.
Secepat kilat Mayang melompat, dan langsung berlari
kencang sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Cepat
sekali gerakannya, sehingga dalam waktu singkat tubuhnya
sudah tidak terlihat lagi. Eyang Jamus memandangi Putri Naga
Sewu yang masih menatap ke arah perginya Mayang.
Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipikirkan gadis itu.
"Ayo kita pulang, Naga Sewu," ajak Eyang Jamus. Putri
Naga Sewu seperti tidak mendengar ajakan Eyang Jamus, dan
terus saja menatap ke arah gadis itu pergi. Pandangannya
kosong, serta wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa pun.
Sepertinya gadis itu hanya sesosok tubuh tanpa nyawa. Wajah
itu terlihat pucat, meskipun masih ada sedikit tanda
kemerahan pada belahan pipinya.
"Naga Sewu...," Eyang Jamus mencolek lengan gadis itu.
"Oh!" Putri Naga Sewu tersentak kaget.
"Sudah siang! Ayo pulang," ajak Eyang Jamus lagi.
Putri Naga Sewu tidak menyahut Tapi dibalikkan juga
tubuhnya, lalu dilangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang
tidak berapa jauh dari tempat ini. Sebentar Eyang Jamus
memperhatikan, kemudian melangkah cepat. Disejajarkan
langkahnya di samping gadis itu. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi.
"Apa yang kau pikirkan, Naga Sewu?" tegur Eyang Jamus.
"Ada Eyang," sahut Putri Naga Sewu mendesah.
"Katakan, apa yang dipikirkan?"
"Kata-kata Mayang, Eyang."
"Apa yang dikatakannya padamu?"
"Seperti yang kau katakan padaku, Eyang. Tentang diriku."
Eyang Jamus termenung, lalu menghentikan langkahnya.
Putri Naga Sewu juga berhenti berjalan. Diputar tubuhnya,
sehingga menghadap pada laki-laki tua berjubah putih itu.
"Pulanglah dulu, aku akan ke dermaga. Ada sesuatu yang
harus kubeli," kata Eyang Jamus seraya menepuk pundak
gadis itu. "Lama?" tanya Putri Naga Sewu.
"Mungkin sore nanti baru kembali." Putri Naga Sewu
mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke
bagian belakang rumah kecil yang menyendiri itu.
Sementara Eyang Jamus masih berdiri mematung.
Dibalikkan tubuhnya meng-hadap ke arah kepergian Mayang.
Tiba tiba saja tubuhnya melesat bagai kilat. Begitu cepat
lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak
terlihat bayangannya.
Sementara itu Putri Naga Sewu sudah sampai di dalam
rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan saja. Sebentar
dipandangi ruangan itu, dan langsung bertumpu pada sebilah
pedang yang tergantung di dinding. Pedang Naga Geni yang
menurut Eyang Jamus. adalah miliknya ketika dibangkitkan
dari kubur. Putri Naga Sewu mengambil pedang itu. T api baru
saja hendak mencabut, terdengar suara mengejutkan.
Brak! "Hei...!" Putri Naga Sewu terlonjak kaget.
Tiba-tiba saja pintu rumah itu jebol berantakan. Dan belum
lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak muncul seorang
perempuan tua bersama dua orang laki-laki muda berwajah
kasar. Perempuan tua itu melangkah sambil mengayun-
ayunkan tongkatnya.
Sedangkan kedua laki
laki di belakangnya langsung menghunus golok besar agak
melengkung. "Mana Eyang Jamus"!" tanya perempuan tua ber-jubah
merah itu kasar.
"Tidak ada!" sahut Putri Naga Sewu ketus. Dia memang
tidak menyukai kehadiran tiga orang yang datang mendobrak
pintu itu. "Siapa kau"!" tanya perempuan tua itu, masih terdengar
kasar suaranya.
Belum sempat Putri Naga Sewu menjawab, salah seorang
laki-laki yang berada di belakang perempuan berjubah merah
itu membisikkan sesuatu. Perempuan tua itu mengangguk-
angguk. Kedua bola matanya yang cekung, langsung bersinar
melihat Putri Naga Sewu. T erlebih lagt saat melihat pedang di
tangan gadis itu.
"He he he..., pucuk dicinta ulam tiba. Tidak per-cuma jauh-
jauh datang lagi ke sini. He he he...," Perempuan tua itu
tertawa terkekeh.
Putri Naga Sewu langsung menyadari adanya gelagat tidak
baik akan kehadiran perempuan tua bernama pengawalnya
itu. Digeser kakinya mundur beberapa Iangkah. Dengan cepat,
tubuhnya melenting ke atas, dan menjebol atap hingga
melesat keluar. Begitu cepatnya tindakan Putri Naga Sewu,
sehingga membuat perempuan tua berjubah merah itu
terperanjat. "Kejar dia! Jangan sampai lolos!" perintah perempuan tua
itu. "Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Dua orang laki-laki di belakang perempuan tua itu rentak
berlompatan ke luar. Pada saat yang sama, Putri Naga Sewu
baru saja menjejakkan kakinya di halaman depan rumah. Dan
terpaksa dirinya melesat kembali karena dua orang laki-laki
bersenjata golok itu langsung menyerang ke arah kakinya.
"Hait..!"
Putri Naga Sewu berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu
menukik seraya mencabut pedangnya yang tergenggam di
tangan kiri. Secepat kilat dikibaskan pedangnya itu ke arah
leher salah seorang penyerangnya. Tebasannya sangat cepat
luar biasa dan tidak terduga sama sekali. Sepertinya sukar
untuk dihindari lagL
Cras! "Aaa...!" laki-laki itu menjerit melengking. Tubuhnya
limbung sebentar, kemudian ambruk menggelepar di tanah.
Darah pun menyembur keluar dari leher yang terbabat hampir
buntung. Sedang seseorang lagi nampak terkesiap, tapi segera
bergegas menyerang ganas.
Putri Naga Sewu menghindari tebasan golok yang begitu
cepat mengurung dirinya. Beberapa kali dibenturkan
pedangnya pada golok itu. Pedang yang berwarna merah
bagai besi terbakar itu berkelebatan cepat, sehingga yang
tampak hanya kilatan merah menyambar-nyambar.
Trang! Trang! Dua kali terjadi benturan senjata. Dan bagaikan kilat, Putri
Naga Sewu memutar pedangnya, langsung dibabatkan ke arah
perut lawannya. Kibasan yang begitu cepat, tidak mampu
mengelakkan lagi. Laki-laki berwajah kasar itu menjerit
melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung. Darah
langsung merembes deras dari perutnya yang robek. Dan
belum la mampu menyadari apa yang terjadi, Putri Naga Sewu
sudah melompat seraya mengibaskan pedangnya ke samping.
"Hiyaaat...!"
"Aaakh...!" orang itu menjerit keras.
Hanya sebentar mampu berdiri tegak, kemudian laki-laki itu
ambruk tidak bangkit bangkit lagi. Sesaat tubuhnya masih
menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tanpa nyawa
lagi. Putri Naga Sewu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam
menusuk langsung pada perempuan tua berjubah merah yang
baru keluar dari dalam rumah kecil dan terpencil itu.
"Tidak kusangka kemajuanmu begitu pesat, Pandan
Wangi," ucap perempuan tua berjubah merah itu.
"Hm..., aku bukan Pandan Wangi! Aku Putri Naga sewu!"
ujar Putri Naga Sewu ketus.
"Ha ha ha...! Kau bisa saja membodohi si tua bangka
pencuri licik itu, bocah! Tapi jangan harap bisa menipu mata
tuaku ini! Tidak ada seorang pun yang memiliki Pedang Naga
Geni beserta jurus-jurus 'Naga Sewu' selain si bocah edan
Pandan Wangi!"
Putri Naga Sewu tertegun mendengar kata-kata perempuan
tua itu. Pelahan dimasukkan kembali pedangnya ke dalam
sarungnya yang masih tergenggam di tangan kiri. Dia tetap
berdiri tegak disertai tatapan matanya yang tajam menusuk.
Sementara perempuan tua berjubah merah itu melangkah
pelahan mendekati, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal
beberapa batang tombak lagi.
"Siapa kau" Mengapa mencari eyang Jamus?" mya Putri
Naga Sewu masih terdengar ketus nada suaranya.
"He he he... Kau sudah lupa atau berlagak lupa, pandan
Wangi?" perempuan tua itu terkekeh tanpa menjawab.
"Jawab saja pertanyaanku, Nenek Tua!" dengus Putri Naga
Sewu. "Hm.... Rupanya kau benar-benar sudah lupa, 'Pandan
Wangi. Dengarkan baik-baik. Aku bernama Nyai Klenting.
Datang ke sini, untuk meminta kembali Bunga Abadi yang
dicuri Eyang Jamus dari saudaraku si Jari Malaikat. Saat ini dia
membutuhkan bunga itu. Kau paham maksudku, Pandan
Wangi?" perempuan tua berjubah merah itu tetap saja
memanggil! Putri Naga Sewu dengan nama Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu-menahu masalahmu dengan Eyang Jamus.
Tapi jelas aku tidak terima kau sebut Eyang Jamus sebagai
pencuri T idak ada Bunga Abadi di rumah ini!" tegas Putri Naga
Sewu. "Dan satu hal lagi. Aku bukan Pandan Wangi, tapi Putri
Naga Sewu "Hm.... Kau bisa saja merubah nama, Pandan Wangi. Tapi
wajahmu tidak akan bisa berubah. Apalagi pedang itu berada
di tanganmu. Maka jelaslah kalau kau adalah Pandan Wangi.
Hhh...! Sebaiknya serah kan saja Bunga Abadi itu padaku.
Hm..., tapi aku juga memerlukan pedang itu dan Kitab Naga
Sewu."

Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bicaramu makin tidak karuan saja, Nyai Klenting Aku
menghormatimu sebagai orang tua Tapi, kalaul kau tidak suka
berlaku sopan, maaf saja kalau aku harus bertindak keras!"
ancam Putri Naga Sewu.
"He he he. Kau mengancamku, bocah?" Nyai Klenting
terkekeh meremehkan. "Jangan bangga dulu bisa menjatuhkan dua tikus busuk Mereka memang tidak berguna!"
"Aku rasa kau juga tidak lebih busuk dari mereka "Bocah
setan!" geram Nyai K lenting memuncak amarahnya. "Rupanya
kau tidak bisa lagi diajak bicara heh! Terimalah seranganku!
Hiyaaat...!"
Nyai Klenting tidak bisa lagi menahan amarahnya. langsung
saja tubuhnya melompat sambil menusuk-kan tongkatnya
yang berujung runcing. Putri Naga Sewu me lompat mundur.
Namun Nyai Klenting menggenjot tubuhnya seraya memutar
tongkatya cepat, dan ujungnya tetap mengancam tubuh gadis
itu. T erpaksa Putri Naga Sewu mencabut pedangnya kembali.
Trang! Trang! Dua kali senjata mereka beradu, dan masing-masing
melompat mundur. Tapi sesaat kemudian sudah kembali
bentrok sengit. Masing-masing berusaha untuk saling
menjatuhkan. Pada saat pertarungan itu berlangsung, terlihat
sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Bayangan itu
langsung meluruk ke dalam kanan pertarungan, dan tiba-tiba
saja Nyai Klenting memekik keras. Tubuhnya terpental jauh ke
belakang. "Eyang...," desah Putri Naga Sewu begitu melihat
Eyang Jamus tahu-tahu sudah berdiri membelakanginya.
"Mundurlah, Naga Sewu. Perempuan iblis ini bukan
tandinganmu," tegas Eyang Jamus
Saat itu Nyai Klenting sudah bisa bangkit berdiri.dari sudut
bibirnya menetes darah segar, yang kemudian disekanya
dengan punggung tangan. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk lurus ke bola mata Eyang lamus. Pelahan-lahan
kakinya bergerak ke samping. Pongkat yang satu ujungnya
berbentuk tengkorak kepala kerbau itu tersilang di depan
dada, kemudian liputar pelahan-lahan.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Klenting!" usir
Eyang Jamus tegas.
"Phuih! Kau pikir jauh-jauh aku datang hanya untuk kalah"!
Tidak, Jamus. Aku tidak akan kembali tanpa Bunga Abadi itu!"
sahut Nyai Klenting dingin.
"Bunga itu tidak ada lagi padaku. Sudah kupakai untuk
menyembuhkan gadis ini," kata Eyang Jamus seraya
membujuk Putri Naga Sewu.
Nyai Klenting agak tertegun. T ongkatnya berhenti berputar
seketika. Ditalapnya gadis yang kini berada di samping kanan
Eyang Jamus. Tatapan matanya begitu dalam, seakan akan
tidak percaya dengan pendengarannya.
"Dia lebih membutuhkan daripada dirimu, Klenting. Nah,
sekarang pergilah! Sia-sia saja kau datang ke sini," ujar Eyang
Jamus lagi. "Huh! Kau pikir aku percaya omonganmu, Jamus, Aku tahu
siapa dia. Dan aku juga punya urusan dengannya!" agak keras
nada suara Nyai Klenting.
Eyang Jamus melirik Putri Naga Sewu di sampingnya.
"Pandan! Serahkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga
Geni itu padaku! Cepat!" bentak Nyai Klenting keras.
"Perempuan edan! Sudah kukatakan kalau aku bukan
Pandan Wangi! Namaku Putri Naga Sewu, hu!" dengus Putri
Naga Sewu berang. Tapi di balik keberangan itu, dia berpikir
juga. Apakah dirinya benar-benar Pandan Wangi" Sudah dua
orang yang menyangka dirinya adalah Pandan Wangi dalam
satu hari ini. "Klenting! Kau datang untuk meminta Bunga Abadi padaku,
tapi mengapa sekarang berubah" Sudah kukatakan, bunga itu
tidak ada lagi! Sudah kupakai. Dan gadis inilah yang
memakainya. Apa keteranganku kurang jelas?" agak kesal
juga nada suara Eyang Jamus.
"He he he.... Sekarang tidak kupedulikan lagi Bunga Abadi
itu, Jamus. Yang kuinginkan sekarang, pedang dan kitab itu!"
sahut Nyai Klenting. "Aku tidak peduli pada si Jari Malaikat
yang kini sekarat!"
"Kau benar-benar iblis, Klenting!" desis Eyang Jamus.
Laki-laki tua berjubah putih itu tahu, siapa si Jari Ma laikat
Dia adalah saudara laki-laki Nyai Klenting. Dan Eyang Jamus
juga tahu, mengapa si Jari Malaikat sekarang tengah sekarat.
Itu semua karena kesalahannya sendiri yang mencoba
merebut Bunga Abadi dari tangannya. Bunga Abadi itu hanya
satu-satunya di dunia, dan berbunga hanya setiap seratus
tahun sekali. Untuk mengambilnya juga tidak mudah.
Pohonnya pun hanya satu. dan berada di atas Puncak Gunung
Wijaya. Puncak gunung yang selalu tertutup kabut tebal dan
tidak mudah didaki.
Memang sejak Eyang Jamus berhasil memiliki Bunga Abadi
itu, banyak tokoh rimba persilatan yang mencoba
merampasnya. Salah satunya, si Jari Malaikat Bunga itu
memang berguna untuk segala macam pengobatan. Salah
satunya, untuk membangkitkan seseorang dari kematian
semu, seperti yang dialami gadis yang kini memakai nama
"Putri Naga Sewu".
"Pergilah, Klenting. Aku tidak suka lagi mengotori tanganku
dengan darah. Bunga itu sudah tidak ada lagi. Dan kalau ingin
memilikinya, tunggu saja seratus tahun lagi," jelas Eyang
Jamus, mulai lunak nada suaranya.
"Baik, aku pergi sekarang. Tapi urusanku dengan Pandan
Wangi belum selesai!" tegas Nyai Klenting yang meriyadari
tidak akan mampu menandingi Eyang Jamus.
Setelah berkata demikian, Nyai Klenting langsung
melompat cepat. Sebentar saja bayangan tubuh perempuan
tua itu tidak terlihat lagi. Eyang Jamus menarik napas
panjang, lalu melirik dua sosok mayat yang tergeletak
bersimbah darah. Tatapannya kini beralih pada gadis di
sampingnya. Saat itu Putri Naga Sewu juga menatap ke
arahnya. "Kau yang menewaskan mereka?" tanya Eyang Jamus.
"Eyang, apa benar aku ini Pandan Wangi?" Putri Naga Sewu
tak mempedulikan pertanyaan itu, tapi malah balik bertanya.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Jamus
sedikit mendesah.
Putri Naga Sewu terdiam. Tapi jelas terlihat kalau sedang
berpikir. Kata-kata Nyai K lenting dan Mayang membuat dirinya
semakin tidak tahu dirinya yang sebenarnya.
"Naga Sewu! Terus terang, kuakui kalau wajahmu mirip
sekali dengan cucu sahabatku. Dan namanya pun memang
Pandan Wangi. Dan aku tahu persis tentang pedang di
tanganmu itu. Hhh.... Kalau kau memang benar-benar Pandan
Wangi, aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Sebab sampai
Sekarang ini masih banyak orang yang menginginkan Pedang
Naga Geni dan Kitab Naga Sewu, seperti Nyai Klenting itu,"
jelas Eyang Jamus pelan.
"Eyang! Kau katakan aku terkubur di Bukit Karungan,
sebelah Timur Kerajaan Karang Setra...."
"Benar."
"Kalau memang demikian, aku harus kembali ke sana,
Eyang. Di sana, aku harus kembali. dikubur selama tiga hari.
Maka, hal itu bisa mengembalikan ingatan dari seluruh masa
laluku," kata Putri Naga Sewu.
"Heh! Dari mana kau tahu?" Eyang Jamus terperanjat.
"Dari salah satu kitab milikmu. Maaf, aku telah lancang
membacanya tanpa ijin lebih dulu padamu, Eyang," ucap Putri
Naga Sewu. "Hhh...!" Eyang Jamus menarik napas panjang.
"Apa isi kitab itu benar, Eyang?" tanya gadis itu lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Kitab itu kutemukan di dalam sebuah
goa dekat pusara Sepasang Pendekar Banyu Biru Kitab itu
memang miliknya. Hm..., kau sudah membaca semuanya?"
"Sudah."
"Bagaimana menurutmu?"
"Kalau dulu aku memang pemah diberi air susu oleh ibuku
sebelum ia meninggal, ada kemungkinan kitab itu benar."
"Terlalu tinggi resikonya, Cucuku."
"Tapi mesti dicoba, Eyang."
"Dengan resiko kematian sesungguhnya?"
"Apa pun resikonya!" tegas jawaban Putri Naga Sewu.
"Sebaiknya selidikilah dulu, siapa dirimu dan kedua orang
tuamu." "Tidak akan bisa, Eyang. Hhh.... Sudah dua orang yang
menganggapku Pandan Wangi. Kalau memang benar berarti
aku ini putri Sepasang Pendekar Banyu Biru. Di dalam kitab itu
juga disebutkan kalau putri tunggal Sepasang Pendekar Banyu
Biru pemah meminum air susu ibunya sebelum meninggal....
Sedangkan sang Ibu ternyata memiliki ilmu 'Mati Suri' yang
sangat langka. Ilmu itu memang ilmu turunan yang berasal
dari nenek Pandan Wangi, dari pihak Ibu. Ilmu itu bisa
menghilangkan jiwa dari raga untuk waktu tujuh hari Dengan
ilmu itu pula, seseorang bisa bernapas melalui pusar, atau pori
pori kulit. Sedangkan seorang bayi yang minum air susu
ibunya yang memiliki ilmu itu, berarti ilmu itu akan berpindah
pada keturunannya. Semua itu kuketahui dari kitab itu,
Eyang," ungkap Putri Naga Sewu.
Eyang Jamus menarik napas panjang, dan tidak tahu lagi
harus berkata apa. Semua isi kitab sudah dikuasai penuh oleh
Putri Naga Sewu. Kitab yang berisi riwayat hidup Sepasang
Pendekar Banyu Biru. Juga berisi uraian dari ilmu-ilmunya
yang sangat langka dan sukar dicari tandingannya. Eyang
Jamus sedikit menyesal, karena tidak menyimpan kitab itu
baik-baik. Dan memang sebenarnya kitab itu tidak ada apa-
apanya, tapi sudah cukup mempengaruhi jalan pikiran Putri
Naga Sewu. Entah mengapa, gadis itu begitu tertarik dan
meresapi seluruh isi kitab itu. Bahkan sampai hapal di luar
kepala. "Baiklah kalau Eyang keberatan. Aku tidak akan
mengungkit-ungkit lagi masalah ini Biarlah aku menjadi
manusia baru dengan nama baru dan kehidupan yang baru
pula," ujar Putri Naga Sewu melihat Eyang Jamus diam saja.
"Bukannya keberatan, Cucuku Tapi berilah aku waktu untuk
berpikir," sahut Eyang Jamus.
"Aku tidak keberatan. Eyang. Semua keputusan ada di
tanganmu "
"Akan kuberikan Jawaban dalam tiga hari ini," janji Eyang
Jamus. 'Terima kasih, Eyang, ucap Putri Naga Sewu, berseri
wajahnya. "Hm...," Eyang Jamus tersenyum.
0odwo0 Hari itu udara begitu cerah. Langit terlihat bening tanpa
sedikit pun awan menggantung. Angin bertiup semilir
membuat seluruh penghuni alam ini terasa dibuai oleh
kenyamanan dan kesejukan. Tapi tidak demikian halnya yang
dirasakan Putri Naga Sewu. Gadis itu duduk termenung di tepi
sungai yang mengalir membelah Desa Banyu Biru.
Gadis itu memandang sebuah pondok yang tinggal puing-
puing saja. Seluruh kayu dan batu di situ sudah hitam bekas
terbakar. Putri Naga Sewu seperti teringat sesuatu di tempat
ini. Tapi rasanya sukar untuk mengingat lebih jelas Hanya
samar-samar yang dapat di-rasakan. Tapi tempat ini diyakini
punya kenangan tersendiri bagi dirinya. Tapi kenangan apa"
Dia sendiri tidak jelas mengetahuinya.
"He he he..!"
Gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara
terkekeh. Begitu menoleh, tampak Nyai K lenting sudah berdiri
tidak jauh darinya. Perempuan tua itu terus terkekeh seraya
mengayun-ayunkan tongkatnya. Putri Naga Sewu bangkit
berdiri, dan berbalik meng-hadap perempuan tua berjubah
merah itu. Digenggam-nya erat-erat pedang di tangan kirinya.
"Orang yang sudah mati tidak perlu diingat lagi, Pandan
Wangi," kata Nyai Klenting masih juga menyebut Pandan
Wangi pada gadis itu.
"Apa maksudmu berkata begitu, Nyai Klenting?" ketus nada
suara Putri Naga Sewu.
"He he he.... Kini aku sudah tahu, mengapa kau selalu tidak
mengakui dirimu sebagai Pandan Wangi. He he he.... Kau
selalu ingat dia, Pandan?" Nyai Klenting menunjuk ke kanan.
Putri Naga Sewu menoleh. Tampak seorang gadis berbaju
merah menyala berdiri tidak jauh dari gerumbul semak. Gadis
yang ternyata adalah Mayang itu melangkah mendekati Nyai
Klenting, lalu berdiri di samping kanan wanita tua Itu
"Aku tahu, sebenarnya kau sudah mati. Tapi si tua bangka
Jamus Itu menghidupkanmu kembali dengan Bunga Abadi.
Bunga yang seharusnya jadi milikku!" ujar Nyai K lenting. 'Tapi,
biarlah! Aku tidak perlu lagi bunga busuk itu. Y ang kuinginkan
sekarang hanyalah Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni
darimu, Pandan."
"Aku jadi semakin tak mengerti pembicaraanmu, Nyai
Klenting," ujar Putri Naga Sewu. Benar-benar sulit dipahami,
karena dia sendiri tengah kebingungan tentang dirinya sendiri
saat ini. "Aku tidak butuh pengertianmu, Pandan! Hampir tiga
purnama kau terbujur. Karena kau putri dari Sepasang
Pendekar Banyu Biru, dan telah minum air susu ibumu, maka
kau tidak bisa mati sesungguhnya. Kau hanya mati semu. Dan
hanya dengan Bunga Abadi bisa hidup kembali, karena sudah
hampir terlewat batas kematianmu yang sesungguhnya. Tapi
itu tida bisa terulang untuk kedua kali, Pandan. Sedikit saja
jatuh pingsan, maka kematianmu sudah di ambang pintu.
Tubuhmu juga tidak akan kuat. Kulitmu jadi peka. Jika sedikit
saja tergores benda tajam, maka kau akan merasakan seperti
tertusuk ribuan anak panah! Kemudian tubuhmu lemas, dan
siapa saja dengan mudah dapat membunuhmu. Kecuali..., he
he he.... Tapi itu tidak akan terjadi, Pandan Karena hari ini
juga akan merasakan kematianmu yang sesungguhnya,"
panjang lebar Nyai Klenting berkata.
Putri Naga Sewu bergidik juga mendengarnya. Hal itu juga
diketahuinya dari Eyang Jamus. Dan sekarang, dirinya bisa


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup kembali karena Eyang Jamus yang mengobatinya
dengan Bunga Abadi. Bunga yang hanya muncul sekali dalam
seratus tahun. "Nah! Sekarang bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi!
Hiyaaa...!"
"Tunggu...!"
Tapi Nyai Klenting sudah melompat menerjangnya dengan
kecepatan tinggi. Putri Naga Sewu tidak bisa lagi berbuat
banyak, selain menghindari terjangan itu. Bergegas dia
melompat ke samping, dan bergulingan di atas batu-batu
kerikil di tepi sungai ini. Tapi baru saja bisa bangkit berdiri,
Mayang sudah melompat dan membabatkan pedangnya.
"Uts!"
Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi, kecuali
menjatuhkan dirinya dan bergulingan beberapa kali di atas
kerikil kembali. Dan dengan cepat tubuhnya melompat
bangkit, langsung melesat mundur menja, jarak. Tapi Nyai
Klenting dan Mayang tidak lagi memberi kesempatan. Mereka
berlompatan menyerang kembali dari dua jurusan.
"Mayang! Mengapa kau menyerangku!" seru Putri Naga
Sewu meminta penjelasan.
"Karena kau adalah Pandan Wangi, dan juga sebagai
penghalangku untuk memperoleh Rangga!" sahut Mayang
seraya melayangkan pedangnya ke arah kepala.
"Uts!"
Putri Naga Sewu merundukkan kepalanya, sehingga
tebasan pedang Mayang lewat di atasnya Tapi sebelum juga
Putri Naga Sewu bisa mengangkat kepalanya, Nyai Klenting
sudah menusukkan ujung tongkatnya ke arah perut. Buru
buru Putri Naga Sewu mengibaskan pedang yang masih
berada di dalam sarungnya di tangan kiri.
Trak! "Ikh...!" Nyai Klenting terperanjat kaget, dan langsung
melompat mundur.
Seketika wajah perempuan tua itu jadi memerah.
Tangannya mendadak kesemutan ketika tongkatnya beradu
dengan pedang di tangan kiri Putri Naga Sewu yang
diyakininya sebagai Pandan Wangi itu. Sedangkan saat itu
Putri Naga Sewu sudah melompat menghindari kibasan
pedang yang meluncur ke arah kaki. Saat berada di udara,
kakinya menghentak ke depan, langsung mendarat di dada
Mayang. "Akh!" Mayang memekik tertahan. Gadis berbaju merah itu
terhuyung-huyung belakang beberapa Iangkah Putri Naga
Sewu bersalto di udara tiga kali, lalu menjejakkan kakinya di
tana berkerikil. Jaraknya cukup jauh dari kedua orang yang
menyerangnya tadi.
"Dengar! Aku tidak kenal dan tidak pernah punya urusan
dengan kalian Jangan membuatku jadi bertindak keras!" tegas
Putri Naga Sewu, lantang suaranya.
"Pandan Wangi! Sebaiknya serahkan saja kitab dan pedang
itu Dengan demikian, urusan ini akan selesai," kata Nyai
Klenting juga lantang.
"Rakus! Seharusnya kau bersiap-siap, Nyai Klenting.
Umurmu tinggal sejengkal lagi!" sinis nada suara gadis itu
"Kadal! Kau memang patut mampus, bocah seta Hiyaaa...!"
Nyai Klenting tidak dapat lagi menahan amarahnya, dan lantas
melompat sambil berteria keras melengking tinggi.
Pada saat yang sama, Mayang juga melompat dan berputar
mengambil arah lain. Kembali Putri Naga Sewu yang diyakini
kedua lawannya sebagai Panda Wangi itu harus menghadapi
serangan dahsyat dari dua jurusan. Serangan-serangan yang
datang bagai air bah itu datang tak henti-hentinya. Tapi
sungguh mengherankan, Putri Naga Sewu manis sekali dia
mengimbanginya. Bahkan tidak jarang mengirimkan serangan
balasan yang sanggup membuat kedua wanita itu kerepotan
menghindarinya. Pertarungan terus berjalan semakin sengit.
Bahkan tanpa terasa sudah menghabiskan lebih dari dua puluh
jurus. Tapi nampaknya Putri Naga Sewu masih sanggup
melayani kedua lawannya.
"Awas kaki...!" Tiba-tiba Mayang berseru nyaring.
"Hait...!"
Putri Naga Sewu melompat begitu melihat kilatan pedang
menebas ke arah kaki. Tapi pada saat yang sama, ujung
tongkat Nyai Klenling me luruk deras ke arah dadanya. Putri
Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi. Diloloskan pedang
dan disampoknya tongkat yang runcing itu.
"Hiya...!"
Trang! Tongkat Nyai Klenting terpental terbabat pedang Naga Geni
yang berwarna merah bagai terbakar itu. Namun pada saat
yang hampir bersamaan, Mayang melompat ke atas melewati
kepala Putri Naga Sewu. Begitu cepat lompatannya sambil
melayangkan tendangan disertai pengerahan tenaga dalam
penuh. Putri Naga Sewu tidak bisa lagi menghindar. Tendangan
yang keras bertenaga dalam itu langsung mendarat di
punggungnya. Sebentar dia memekik tertahan. Tubuhnya
terlempar ke depan, tersuruk jatuh mencium batu-batu kerikil
yang panas terpanggang matahari.
"Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Nyai Klenting melompa dan
menghunjamkan ujung tongkatnya ke tubuh Putri Naga Sewu.
Tapi tinggal seujung rambut lagi ujung tongkat itu
menghunjam tubuh Putri Naga Sewu, mendadak satu
bayangan putih berkelebat cepat memotong arus.
Trang! "Akh!" Nyai Klenting memekik kaget.
Belum lagi hilang rasa terkejumya, tahu-tahu dirasakan
dadanya sesak. Bahkan tubuhnya terpental ke belakang
beberapa tampak jauhnya. Tapi perempuan tua itu masih juga
mampu melompat bangkit berdiri. Dengusannya begitu keras
ketika melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju
rompi putih sudah berdiri tegak di samping tubuh Putri Naga
Sewu yang masih tengkurap di atas bebatuan.
"Rangga ," desis Mayang terkesiap saat mengenali pemuda
berbaju rompi putih itu.
Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Buru-buru
tubuhnya berbalik dan hendak melompat kabur. Tapi belum
juga niatnya tersampaikan, satu bayangan lain meluncur deras
dan menghadangnya. Mayang terperanjat setengah mati.
Apalagi setelah mengenali orang yang tahu-tahu sudah berdiri
tegak menghadangnya. Ternyata dia adalah Cempaka, adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Cempaka...," suara Mayang terdengar bergetar.
Mayang bergegas melangkah mundur mendekati Nyai
Klenting. Mereka berdiri berdampingan. Yang seorang
berwajah geram penuh kemarahan, sedangkan yang seorang
lagi berwajah agak pucat dan kelihatan serba salah.
"Memuakkan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama
sekali!" dengus Rangga dingin.
"Anak muda! Apa urusanmu di sini"!" bentak Nyai Klenting.
"Apa pula yang kau kerjakan di sini"!" Rangga malah balik
bertanya. "Heh! Aku bertanya padamu, bocah setan!" bentak Nyai
Klenting gusar.
"Aku benci menjawab pertanyaan manusia iblis macam
dirimu!" "Keparat! Barangkali kau punya nyawa rangkap, sehingga
berani menghinaku!" dengus Nyai Klenting semakin gusar.
"Nyawaku hanya satu, tapi mampu meredam kebiadabanmu, perempuan Iblis!"
"Kadal! Monyet buduk. Mampus kau! Hiyaaa...!"
Nyai Klenting tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya,
dan langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti
itu. Kebutan tongkatnya sungguh luar biasa dahsyatnya,
sehingga menimbulkan deru angin bagai topan. Dan Rangga
hanya mengegoskan tubuhnya sedikit, sehingga kebutan
tongkat Nyai Klenting tidak mengenai sasaran. Bahkan
perempuan tua itu jadi kerepotan juga menghindari pukulan
yang dilepaskan secara beruntun oleh Pendekar Rajawali Sakti
itu. Sementara Rangga dan Nyai Klenting bertarung, Cempaka
bergerak perlahan mendekati Putri Naga Sewu yang masih
tergolek tengkurap di bebatuan kerikil. Namun matanya tidak
berkedip memandang Mayang. Cempaka baru berhenti
bergeser setelah dekat dengan Putri Naga Sewu. Sedikit pun
dia tidak berani berpaling karena tahu kalau Mayang cukup
cerdas. Gadis itu bisa memanfaatkan kesempatan yang hanya
sedikit saja. Tapi Cempaka benar benar tidak berdaya, karena tiba-tiba
saja Mayang melesat kabur. Cempaka memang tidak mungkin
meninggalkan Rangga. Terlebih lagi di situ tergolek seorang
gadis yang entah pingsan atau sudah tewas. Cempaka belum
juga memeriksa gadis itu, karena pandangannya terpaku
untuk menyaksikan pertarungan itu. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menyaksikan pertarungan dua
tokoh sakti yang temama dalam rimba persilatan.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit, dan
Cempaka memperhatikan tanpa berkedip Dia sampai tak tahu
kalau Putri Naga Sewu mulai bergerak. Gadis itu pelahan-
lahan bangkit berdiri dan melangkah menjauh. Meskipun
langkahnya agak terhuyung, tapi masih mampu mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan Cempaka sama sekali
tidak menyadarinya!
Sementara pertarungan antara Rangga dan Nyi Klenting
masih berlangsung sengit. Perhatian Cempaka semakin
terpusat pada pertarungan itu. Benar-benar tidak disadari
kalau gadis yang dikira masih pingsan atau sudah mati itu
telah meninggalkannya diam-diam. Dan gadis itu kini berlari
kencang, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Modar...!" tiba-tiba Rangga berseru keras. Dan seketika itu
juga tangan kanannya bergerak ce pat mengibas ke depan.
Tepat pada saat yang sama, Nyai Klenting juga
menghunjamkan tongkatnya ke arah dada. Dan tongkat itu
pun bertemu tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti dengan
kerasnya. Saat itu Rangga memang tengah mengerahkan
Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Akh...!" Nyai Klenting terpeklk tertahan. Tubuh perempuan
tua Itu mencelat ke samping. dan sebelum bisa menguasal
keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah melompat sambil
menghantamkan satu pukulan keras ke arah kepala. Pukulan
yang mengandung tenaga dalam sempurna itu tidak dapat
dihindari lagi, dan langsung mcnghajar kepala Nyai Klenting.
Prak! "Aaakh. '" Nyai Klenting menjerit melengking.
Perempuan tua berjubah merah itu ambruk dan
menggelepar di tanah. Dari kepala yang pecah, mengalir
darah segar Hanya sebentar Nyai Klenting berkelojotan,
sebnjutnya diam tidak bergerak lagi. Rangga langsung
melompat menghampiri Cempaka.
"Cempaka, mana dia...?" tanya Rangga.
"Di...," suara Cempaka terputus.
Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu jadi celingukan.
Sungguh mati tidak tiisadari kalau gadis yang diduga sudah
mati itu telah lenyap dari sisinya. Cempaka memandang
Rangga dengan sinar mata pe-nuh permohonan maaf Rangga
menepuk pundak gadis itu penuh rasa pengertian. Memang,
Pendeka Rajawali Sakti belum mengenali sosok yang tergolek
pingsan tadi. "Sudahlah, kita tidak tahu siapa dia. Ayo jalan lagi," ujar
Rangga lembut penuh pengertian.
"Maaf, Kakang. Aku benar benar terkesima melihat
pertarunganmu," ucap Cempaka lirih.
"Ayolah! Lupakan saja," sahut Rangga.
"Ke mana lagi kita pergi, Kakang" Seluruh Desa Banyu Biru
rasanya sudah dijelajahi, tapi tidak ada tanda-tanda sama
sekali," kata Cempaka mulai biasa kembali.
"Aku tidak tahu," sahut Rangga agak lesu.
"Oh ya. Ke mana Mayang melarikan diri?" Rangga jadi ingat
Mayang "Entahlah," desah Cempaka seraya mengangkat bahunya
Rangga terdiam. Kepalanya tertunduk, dan keningnya
berkerut cukup dalam. Cempaka memperhatikan. Dia tahu
kalau kakak tirinya ini sedang berpikir keras. Memang agak
heran juga, mengapa Mayang ada di Desa Banyu Biru ini. Tapi
Cempaka tidak bisa menduga-duga.
"Kakang, apakah kuda kita aman di rumah penginapan
itu?" tanya Cempaka mengalihkan perhatian.
"Aku pemah menginap di sana beberapa kali. Pemiliknya
sudah kenal padaku," sahut Rangga. Namun keningnya masih
juga berkerut. "Ada yang dipikirkan, Kakang?" Cempaka tidak bisa juga
menahan keingintahuannya.
"Ada," sahut Rangga mendesah.
"Tentang apa?"
"Mayang. Aku heran, untuk apa dia berada di sini" Apakah
dia sudah tahu kalau kita memang di sini?" Rangga seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Barangkali juga, Kakang Masalahnya sampai sekarang dia
masih tetap mengharapkanmu Aku yakin kalau dia juga sudah
tahu tentang hilangnya Pandan Wangi," Cempaka mengemukakan pendapatnya.
"Dia memang sudah tahu," kata Rangga.
"Bahaya...!" desis Cempaka.


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga menatap dalam-dalam gadis itu.
"Bukankah Mayang masih dendam pada Kak Pandan,
Kakang" Aku pernah melihatnya sedang menimpuki pusara
Kak Pandan dengan batu kerikil. Dia itu seperti sudah gila Aku
jadi menduga kalau dia berusaha mendahuluimu menemukan
Kak Pandan, dan mencoba membunuhnya. Atau bahkan
mungkin mencincangnya," lagi lagi Cempaka mengemukakan
dugaannya yang selama ini terpendam.
"Apa itu mungkin, Cempaka?" Rangga sedikit terpengaruh
juga "Mungkin saja Coba lihat saja tadi. Dia sudah berani
bergabung dengan orang lain yang berilmu tinggi. Sejak diusir
dari Karang Setra, Mayang memang seperti sudah gila,
Kakang. Terus terang saja, sebenarnya aku tahu kalau
Mayang tidak jauh-jauh meninggalkan Karang Setra. Tapi aku
diam saja. Aku juga sering mendapat laporan kalau Mayang
selalu membunuhi gadis-gadis yang memakai baju biru.
Anggapannya, gadis berbaju biru adalah Pandan Wangi. Dia
begitu dendam, tapi juga licik Segala ucapannya tidak pernah
sesual dengan hatinya."
"Sudah tahu begitu, ke ..." ucapan Rangga ter-putus tiba
tiba. Dia langsung tertegun, seperti mendapat lintasan dalam
benaknya "Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.
"Sebentar, Cempaka. Kalau tidak salah, gadis itu tadi juga
memakai baju biru...," agak ragu-ragu nada suara Rangga.
"Memang benar," sahut Cempaka "Bahkan memegang
pedang yang berwarna merah."
"Naga Geni...," desis Rangga cepat.
Tiba-tiba kenangan manis bersama Pandan Wangi terlintas
di benak Pendekar Rajawali Sakti.
'Tapi, apakah mungkin?" tanya Rangga dalam hati.
Benak Rangga kini dipenuhi oleh pertanyaan yang
membingungkan, sekaligus mendebarkan hatinya.
Jangankan Cempaka, Rangga sendiri sukar untuk
mempercayai kalau gadis yang telah mereka tolong dari maut
adalah Pandan Wangi. Tapi melihat ciri-ciri yang begitu persis,
mereka mulai diliputi keragu-raguan dan kebimbangan.
Sayangnya, di antara mereka tidak ada yang sempat melihat
wajahnya. Tapi ketika me lihat pedang itu, Rangga yakln kalau
pedang itu adalah Pedang Naga Geni. Tidak ada lagi pedang
yang berwama merah bagai besi terbakar selain Pedang Naga
Geni milik Pandan Wangi
"Apakah Pandan Wangi masih hidup" Atau ada orang lain
yang... Tidak! Tidak mungkin...!" Rangga membantah sendiri
pemikirannya. Perasaannya benar-benar bergolak Antara ada
dan tiada. Antara rindu dan ketidakpastian.
Pendekar Rajawali Sakti itu yakin benar kalau Pedang Naga
Geni terkubur bersama tubuh Pandan Wangi. Sedangkan Kitab
Naga Sewu memang sudah dimusnahkan pandan Wangi di
Pulau Karang, setelah menguasai seluruh jurus-jurus yang ada
di dalam kitab itu. Sayangnya, waktu itu Rangga tidak sekalian
mengubur kipas baja yang menjadi ciri khas Pandan Wangi.
Kipas itu kini tersimpan dalam ruangan peny impanan senjata
pusaka di Kerajaan Karang Setra.
Dan Rangga memang sengaja menyimpannya untuk selalu
dapat mengenang gadis yang sangat dicintainya itu.
Sudah setengah harian Rangga berdiri mematung di depan
jendela kamar penginapannya. Sedangkan Cempaka sudah
sejak tadi keluar. Katanya ingin me lihat-lihat suasana di Desa
Banyu Biru ini, sambil mencari keterangan. Hampir semua
orang yang melintas di depan rumah penginapan ini jadi
perharian Rangga, terlebih lagi para gadis yang berbaju biru.
Dan ketika mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap
seorang gadis yang berjalan bersama seorang laki-laki tua
berjubah putih, seketika aliran darahnya berdesir kuat. Apalagi
gadis itu juga membawa pedang. Maka detak jantungnya
terasa lebih cepat berdenyut Rangga menggosok-gosok
matanya, setengah tidak percaya dengan yang dilihatnya ini.
'Pandan...," desis Rangga. Secepat kilat Pendekar Rajawali
Sakti itu melompat keluar dari jendela kamar penginapannya.
Langsung dikejarnya dua orang yang dilihatnya. Tapi keadaan
jalan yang penuh orang hillr mudik, membuat langkahnya
agak tertahan. Tapi Rangga terus mengerahkan pandangannya pada dua orang yang berjalan cukup jauh
darinya. "Pandan...!" teriak Rangga memanggil. Tepat pada saat itu,
sebuah kereta kuda melintas di depannya. Kalau saja Rangga
tidak cepat melompat ke tepi, pasti akan terlanggar kereta
yang melaju cukup kencang. Padahal jalan ini bisa dikatakan
begitu padat Pandangan Rangga terhalang sesaat. Dan begitu kereta
kuda berlalu, dua orang yang dikejarnya sudah tidak terlihat
lagi. Rangga bergegas melangkah cepat, dan baru berhenti
setelah tiba di tempat dua orang yang dilihatnya tadi.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling, namun
tidak juga menemukan dua orang yang dicari. Dia bersungut-
sungut kesal, memaki kereta kuda yang lewat dan
menghalangi pandangannya tadi.
Rangga menghampiri seorang penjual buah-buah-an di
dekatnya. Penjual buah itu tersenyum dan menganggukkan
kepalanya. Ditawarkan buah semangka Yang cukup besar
ukurannya, tapi Rangga menolak halus.
"Maaf, Kisanak. Aku ingin bertanya," kata Rangga sopan.
"Boleh saja, Den tapi beli dulu buahku ini," sahut penjual
buah itu "Baiklah Berapa harga semangka itu?" Rangga nenyerah
"Berapa saja, Den. Asal tidak rugi."
Rangga mengeluarkan sekeping uang perak, dan
menyerahkannya pada penjual semangka itu. T entu saja laki-
laki setengah baya penjual buah itu terbeliak. Sekeping uang
perak sudah lebih untuk memborong Semua dagangannya.
"Kisanak, apakah tadi melihat seorang laki-laki tua berjubah
putih membawa .tongkat bersama seorang gadis berbaju biru
lewat di sini?" tanya Rangga langsung tanpa mempedulikan
penjual buah yang masih terkesiap itu.
"Oh, eh.... Apa, Den?" penjual buah itu tergagap Rangga
mengulangi pertanyaannya dengan sedikit kesal.
"Wah! Banyak yang lewat, Den. Tapi sepertinya Raden
menanyakan Eyang Jamus...," agak ragu-ragu juga penjual
buah itu menjawab.
"Eyang Jamus" Siapa dia?" tanya Rangga.
"Seorang tabib yang sangat terkenal dan sakti. Segala
macam penyakit bisa disembuhkan. Bahkan dia punya ilmu
yang aneh-aneh. Kalau dilihat dari ciri-ciri yang Aden sebutkan
tadi, tidak ada orang lain yang memakai jubah. putih
bertongkat hitam selain Eyang Jamus," jelas penjual buah itu.
"Apakah tadi dia lewat sini?" Rangga ingin ketegasan.
"Baru saja, Den. Kalau memang benar Eyang Jamus yang
dimaksudkan."
"Bersama seorang gadis berbaju biru?" tanya Rangga lagi.
"Hm...," penjual buah itu berpikir sejenak. "iya, Den.
Kabamya Eyang Jamus memang kedatangan cucunya dari
kota.. Mungkin juga tadi dia berjalan sama cucunya."
"Ke mana perginya?"
"Arahnya ke sana...," penjual buah itu menunjuk ke suatu
arah. "Pasti dia pulang, Den. Rumahnya terpencil, jauh di
sana." "Kisanak pemah melihat cucunya?" tanya Rangga semakin
tertarik. "Wah belum, Den. Itu juga hanya dengar-dengar saja.
Soalnya belum ada yang pernah melihat. Hanya dengar saja,
Den." "Ya, sudah. Terima kasih "
Rangga langsung melangkah pergi.
"Eh, Den...! Buahnya...!"
"Jual saja pada orang lain!"
"Ha...!" penjual buah itu terlongong
Tapi hanya sebentar saja Sesaat kemudian dia berjingkrak
gembira. Tidak disangka-sangka, hari ini mendapat sekeping
uang perak. Dengan uang itu Usahanya bisa bertambah dua
kali lipat! Padahal buah dagangannya saja masih begini
banyak. Penjual buah tu tidak peduli dengan dagangannya
yang masih banyak. Langsung saja dibenahi dan beranjak
pulang penuh kegembiraan.
"Dasar rejeki nomplok! He he he...!" penjual buah itu
terkekeh kegirangan sendirian, persis orang gila.
Rangga memandangi rumah kecil yang letaknya terpencil,
jauh dari rumah penduduk lainnya. Rumah itu dinaungi pohon
beringin yang sangat besar. Memang, cukup teduh dan
nyaman. Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya'
mendekati rumah itu. Keakeadaannya sangat sepi, seperti
tidak ada orang di dalam rumah itu.
"Silakan masuk, Anak Muda. Pintu tidak terkunci."
Rangga tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara
tua yang parau dari dalam rumah kecil itu. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati
pintu yang sedikit terbuka. Sebentar berhenti, kemudian
tangannya mendorong pintu dari kayu itu. Suara bergerit
terdengar dari engsel yang berkarat tidak pemah tersiram
minyak. Sejenak Rangga memandangi bagian dalam yang
tidak begitu luas. Hanya ada sebuah dipan bambu beralaskan
tikar daun pandan, dan sebuah altar baru pualam putih
dengan kolam kecil yang panjang. Tidak ada lagi perabotan,
kecuali sebuah lemari kecil di samping dipan bambu itu.
"Masuklah," kata seorang laki-laki tua berjubah putih yang
duduk bersila di batu pualam putih.
Rangga melangkah masuk, tapi hanya berdiri saja
memandang laki-laki tua berjubah putih itu. Dialah yang
dilihatnya tadi berjalan bersama seorang gadis yang wajahnya
mirip Pandan Wangi.
"Silakan duduk, tapi tidak ada kursi di sini," kata laki-laki
tua itu ramah. 'Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk bersila di lantai.
"Ada keperluan apa hingga datang mengunjungi-ku, Anak
Muda?" tanya laki-laki tua itu tetap ramah suara nya
"Hanya ingin bertanya saja, Eyang..."
"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus."
"Baiklah," desah Rangga.
"Maaf, terpaksa duduk di lantai. Di sini aku tidak pernah
membedakan siapa pun. Semua yang datang ke sini kuanggap
sama, meskipun seorang raja besar yang sepatutnya diberi
tempat layak," kata Eyang Jamus yang sudah. tahu siapa
sebenarnya pemuda yang datang ke rumahnya ini.
"Tidak mengapa, Eyang," ucap Rangga maklum.
"Nah! Katakan, apa keperluanmu sehingga sempat datang
ke gubukku ini?"
"Maaf, Eyang. Aku hanya ingin bertemu cucumu," kata
Rangga langsung.
"Hm...," Eyang Jamus mengerutkan alisnya hingga bertaut
hampir menyatu. "Apa tidak salah alamat, Anak Muda" Aku
tahu, siapa kau sebenarnya. Kau seorang raja, dan seorang
pendekar temama tanpa tanding. Ada apa dengan cucuku"
Apakah punya kesalahan padamu?"
"Sama sekali tidak. Aku hanya...," suara Rangga terputus.
"Teruskan," pinta Eyang Jamus.
Tiba-tiba Rangga terkesiap. Pandangan matanya lurus
melewati belakang Eyang Jamus. Ternyata di sana telah
berdiri seorang gadis berwajah cantik memakai baju biru
dengan pedang tersampir di punggung. Sebenarnya gadis Itu
biasa saja, tapi wajahnya sempat membuat Rangga tidak
berkedip memandangnya.
"Pandan...," desis Rangga tanpa sadar. Ingin rasanya
Rangga menubruk gadis yang wajahnya mirip Pandan Wangi
itu Kalau saja tidak ada Eyang Jamus, mungkin gadis itu
langsung dipeluk dan diciuminya. Antara percaya dan tidak,
yang jelas Rangga menyaksikan bahwa gadis itu bagaikan
Pandan Wangi yang hidup kembali. Maka dengan seketika,
jantungnya berdetak keras. Gelora cinta dan rindunya kian
bergejolak. Eyang Jamus segera memutar tubuhnya, dan tersenyum.
Lalu diberinya isyarat agar gadis itu mendekat. Laki-laki tua itu
kembali memutar tubuhnya dalam keadaan masih tetap duduk
bersila. Gadis berbaju biru itu me langkah mendekati Eyang
Jamus, kemudian duduk di samping altar pualam putih itu.
"Ini cucuku, Anak Muda," kata Eyang Jamus.
"Oh!"
Rangga tersentak, langsung mengalihkan pandangannva dari gadis itu pada Eyang Jamus. Mata Rangga
benar-benar tertutup, seperti tak memandang ada laki laki tua
di hadapannya "Dia bernama Naga Sewu," ujar Eyang Jamus memperkenalkan "Naga Sewu...?" gumam Rangga. Ingatan Pendekar
Rajawali Sakti langsung tertuju pada Kitab Naga Sewu.
Dipandanginya gadis
itu lagi. Gagang pedang yang
menyembul membuat pemuda itu tertegun. Tidak salah lagi!
Pedang itu meman benar Pedang Naga Geni. Rangga menatap
wajah gadis itu lekat-lekat. Sungguh mati tidak ditemukan
perbedaannya dengan Pandan Wangi. Wajah, bentuk tubuh,
dan segala-galanya sangat mirip Pandan Wangi. Mungkinkah
Pandan Wangi hidup kembali"
Tapi Rangga tidak percaya kalau Pandan Wangi masih
hidup. Jelas kalau si Kipas Maut itu sudah tewas li tangan


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Purbaya. Pandan Wangi telah tewas di dalam pelukannya. Dan
pusaranya selalu ditunggu selama tiga hari tiga ma lam. Lalu,
siapa gadis di depannya ini sebenanya" Dan di mana mayat
Pandan Wangi yang hilang" Macam-macam pertanyaan
berkecamuk di dalam benak Rangga. Pertanyaan-pertanyaan
yang sukar untuk dijawab sekarang ini.
"Anak Muda...," tegur Eyang Jamus.
Lagi-lagi Rangga tergagap kaget
"Eyang, boleh bicara denganmu berdua saja?" pinta
Rangga setelah bisa menenangkan dirinya.
"Kenapa" Bukankah tadi ingin bertemu dengan cucuku?"
"Benar, Eyang. Tapi...," Rangga melirik gadis yang masih
diam saja di tempatnya.
"Anak Muda. Sebenamya maksud kedatanganmu ke sini
sudah kuketahui," kata Eyang Jamus.
Rangga terdiam. Kembali diliriknya gadis itu. Entah kenapa,
setiap kali melirik, selalu ada perasaan yang bergejolak di
hatinya. Perasaan yang sukar untuk iigambarkan, tapi begitu
indah jika jadi kenyataan.
"Naga Sewu, bisa kau pergi sebentar?" pinta Eyang Jamus
yang bisa merasakan perasaan Pendekar Rajawali Sakti itu
Putri Naga Sewu tidak membantah, lalu beranjak bangkit
dan melangkah ke luar. Tapi sempat ju melirik pada Rangga.
Dan Pendekar Rajawali Sakti! tidak bisa mengartikan lirikan
gadis itu yang langsu menghilang di balik pintu. Rangga
menggeser duduk nya lebih mendekat lagi pada Eyang Jamus.
Untu beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua.
Sepertinya, masing-masing tengah sibuk berbicara dalam
pikirannya. "Eyang, benarkah dia cucumu dan bernama Naga Sewu?"
tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Bukan," sahut Eyang Jamus singkat
"Bukan..."!" Rangga tersentak. Entah kenapa tiba-tiba saja
dirasakan aliran darahnya seperti terbang. Bahkan jantungnya
kembali jadi lebih cepat berdeta
"Aku sendiri masih belum tahu, siapa dia sebenarnya.
Meskipun aku sendiri selalu dihantui dugaan. Yaaah....
memang tidak bisa disangkal kalau wajahnya begitu mirip
cucu sahabat karibku, si Kakek Tangan Seribu," kata Eyang
Jamus terus terang.
"Siapa..."!" Rangga menggerinjang kaget mendengar nama
Kakek Tangan Seribu disebut
"Nampaknya .kau mengenali nama itu, Anak Muda."
"Aku sempat bertemu dengannya, Eyang. Dan pasti Eyang
sudah mendengar peristiwa di Bukit Setan Aku terlibat
langsung di dalamnya. Yaaah..., memang sangat kusesalkan
kematiannya," kata Rangga pelan.
"Ya, aku tahu. Justru itu kau sudah kukenal meskipun tidak
kau sebutkan namamu, Rangga."
"Maafkan."
'Tidak apa."
"Hm..., Jadi Eyang juga beranggapan kalau dia itu...,"
kembali suara Rangga terputus. Tapi hatinya terus berkata,
dan berharap kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.
"Benar. Tapi aku tidak yakin;" sahut Eyang Jamus bisa
mengerti. "Naga Sewu adalah nama pemberianku, karena dia
tidak bisa lagi mengingat tentang diri dan masa lalunya. Sudah
cukup lama dia terkubur ..."
"Terkubur..."!" sentak Rangga memutus kata-kata yang
Jamus. Hari Rangga makin diliputi perasaan tak menentu.
Harapan yang semula tak mungkin, entah bagaimana caranya,
harus menjadi mungkin.
"Benar, Rangga. Hampir tiga purnama Naga Sewu terkubur.
Aku sendiri tidak tahu, apa sebabnya. sampai terkubur selama
itu. Memang ada suatu ilmu yang disebut 'Ilmu Mati Semu'.
Seseorang bisa diduga mati, padahal sebenarnya jiwanya
masih hidup. Tapi setahuku, paling tahan tiga atau tujuh hari
lama nya, tapi yang terjadi pada diri Naga Sewu sungguh luar
biasa! Ketahanannya hampir menyamai ilmu yang dimiliki
salah seorang dari Sepasang Pendekar Banyu Biru."
"Bukankah itu orang tua Pandan Wangi...?" potong Rangga.
"Benar. Tapi aku tidak yakin kalau ibu Pandan Wangi
menurunkan ilmunya
pada anaknya. Karena mereka
meninggal saat Pandan Wangi baru saja satu bulan dilahirkan,
dan langsung dibawa oleh kakeknya. Entah ke mana, aku
sendiri tidak tahu."
'Ya, aku tahu. Kakek Tangan Seribu pernah cerita padaku
sebelum tewas dalam pertarungannya melawan Nenek Jubah
Pecut Sakti Bajrakirana 8 Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Seruling Perak Sepasang Walet 12
^