Pencarian

Dendam Anak Pengemis 1

Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis Bagian 1


Created Ebook by
fujidenkikagawa & syauqy_arr
1 "Gembel kotor! Busuk...! Pergi dari sini!"
Terdengar bentakan kasar dari sebuah kedai yang ramai pengunjungnya. Tampak
seorang laki-laki bertubuh gemuk, dan perut buncit berdiri bertolak pinggang.
Wajahnya yang berlipat, tampak garang memerah. Sepasang bola matanya membeliak
lebar, hampir mencuat keluar.
Tidak jauh di depannya, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh
tiga tahun. Tubuhnya kurus kering, dan pakaiannya compang-camping penuh
tambalan. Rambutnya panjang terurai dan kotor. Begitu kurusnya, sehingga tulang-
tulang pipi dan iganya menyembul, terlihat jelas. Sepasang bola matanya cekung
ke dalam, menatap sendu pada laki-laki gemuk yang menghardiknya dengan kasar.
"Ayo! Cepat pergi...! Atau ingin kulempar ke kandang babi!" bentak laki-laki
gemuk itu. "Beri saya sedikit makanan, Tuan Gemuk," pinta laki-laki muda kurus itu memelas.
"Apa..."! Apa kau bilang tadi?" laki-laki gemuk itu semakin mendelik.
"Sudah dua hari saya belum makan. Tolong..., beri..."
Plak! Belum lagi menyelesaikan kata-katanya, satu tamparan keras mendarat di wajah
pemuda gembel itu. Dia hanya mampu mengaduh, dan tubuhnya menggeletak di tanah.
Tamparan itu demikian keras, sehingga dari mulutnya mengeluarkan darah.
Disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangannya. Sorot matanya kini
demikian tajam. Sepertinya menyimpan dendam yang sukar untuk dikatakan. Pelahan-
lahan dia bangkit berdiri.
"Cepat pergi!" bentak laki-laki gemuk itu lagi.
Pemuda kurus kering itu hanya diam saja, dan tetap berdiri sambil menatap tajam.
Darah masih mengalir dari sudut bibirnya. Seluruh tubuhnya agak bergetar.
"Huh! Pelit!" umpat pemuda itu.
"Hey...!"
Laki-laki gemuk itu terkejut. Tangannya pun sudah terangkat hendak menampar
lagi. Tapi pemuda gembel itu sudah cepat berlalu meninggalkan kedai itu, hanya
saja tidak pergi terlalu jauh. Dia berhenti lalu duduk di bawah sebatang pohon
yang cukup rindang. Seperti cukup untuk berlindung dari sengatan matahari yang
amat terik di siang ini.
Beberapa anak-anak menghampiri, dan mengejeknya dengan kata-kata yang
menyakitkan telinga. Bahkan ada beberapa di antaranya yang melempari batu-batu
kerikil. Pemuda itu hanya memandangi anak-anak yang mengejek dan menghinanya
bagai seoker anjing buduk berpenyakitan.
"Huh! Anak-anak kurang ajar! Apa kalian tidak pernah diajar menghormati orang
lebih tua, heh"!" rungut pemuda gembel itu geram.
Pemuda itu bangkit berdiri. Kontan anak-anak yang mengejek dan melemparinya
segera berlarian, tapi tidak jauh. Mereka menghampiri kembali sambil melempari
kerikil. Anak-anak lain segera berdatangan, sehingga semakin banyak saja. Bahkan
ada beberapa orang tua ikut melemparkan kata-kata kotor dan makian. Pemuda
gembel itu tampak semakin geram, tapi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya berusaha
melindungi wajahnya dari timpukan kerikil-kerikil itu.
"Berhenti! Bubar...! Bubar...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras, disusul munculnya seseorang yang
menunggang kuda. Orang berkuda itu membubarkan anak-anak yang sedang me-nimpuki
serta melontarkan kata-kata kasar penuh hina-
an kepada pemuda gembel itu. Anak-anak itu langsung berlarian serabutan sambil
bersorak-sorai.
Penunggang kuda putih yang ternyata seorang wanita muda yang cantik itu,
melompat turun dari kudanya.
Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda memiliki ilmu olah kanuragan yang
tidak rendah. Dengan senyum terkulum di bibir, dilangkahkan kakinya menghampiri
pemuda gembel itu
"Maafkan mereka. Yaaah... masih anak-anak," ucap wanita berbaju kuning gading
itu setelah dekat di depan pemuda gembel.
"Tidak apa-apa." sahut pemuda gembel itu dingin.
"Aku sering menerima perlakuan begitu. Bahkan yang lebih dari itu pun sering."
"Kenapa tidak kau usir?"
"Untuk apa" Orang tua mereka saja membiarkan, bahkan seperti menganjurkan. Ah,
sudahlah! Tidak ada gunanya dibicarakan. Hm... terima kasih atas pertolonganmu"
Pemuda gembel itu melangkah pelahan-lahan.
Rasanya tidak ingin membicarakan kenakalan anak-anak tadi pada dirinya.
Sedangkan wanita penunggang kuda putih itu memandanginya saja. Sebentar
kemudian, dia berbalik dan melangkah menuju ke kedai sambil menuntun kudanya.
Laki-laki gemuk pemilik kedai yang tadi mengusir kasar pemuda gembel itu
menyambutnya dengan ramah.
Pemilik kedai itu mempersilakan wanita berbaju kuning gading itu duduk dekat
jendela yang langsung menghadap ke jalan.
"Makan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai itu ramah.
"Hanya tuak, dan sedikit makanan kecil," sahut wanita itu.
"Baik, sebentar kami siapkan."
"Eh, tunggu," cegah wanita itu kepada pemilik kedai
yang akan meninggalkannya.
"Ada yang dipesan lagi, Nisanak?"
"Tidak! Aku hanya ingin bertanya."
"Silakan."
"Apa nama desa ini?"
"Desa Watu Gayam."
Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan pemilik kedai bertubuh
gemuk itu bergegas meninggalkannya untuk menyiapkan pesanan. Sementara itu,
wanita berbaju kuning gading yang tampaknya baru pertama kali datang ke desa
ini, mengamati suasana di luar. Masih terlihat pemuda gembel itu yang berjalan
tertatih-tatih di tepi jalan utama desa ini Beberapa orang yang kebetulan
berpapasan, langsung menghindar. Bahkan ada di antaranya yang menyemburkan ludah
sambil melontarkan kata-kata kasar bernada penghinaan. Walaupun agak jauh dari
kedai ini, namun setiap kata yang terlontar dapat didengar. Memang tidak begitu
jelas terdengar.
"Ini pesanannya, Nisanak..."
"Oh!" wanita berbaju kuning gading itu langsung memalingkan mukanya dari
jendela. Laki-laki gemuk pemilik kedai ini meletakkan baki pesanan tamunya, kemudian
bergegas melangkah pergi setelah semuanya terhidang di atas meja. Laki-laki
gemuk itu kini melayani orang-orang yang berdatangan mengunjungi kedainya.
Dengan ramah dilayani setiap pengunjung yang datang. Sementara itu wanita
berbaju kuning gading, menikmati hidangannya sambil mengamati keadaan
sekelilingnya. *** "Gembel keparat! Busuk...! Kau pasti yang mencuri ayamku! Keparat...! Hih!"
"Aduh, ampun.... Bukan aku yang mencuri.... ampun."
"Tidak ada ampun-ampun! Hih...! Mampus kau, gembel keparat!"
Pagi yang harusnya hening dan damai, pecah oleh bentakan dan makian kasar
disertai ratapan dan erangan lirih minta belas kasihan. Beberapa orang mulai
berdatangan, tapi malah ikut memukuli laki-laki muda berpakaian compang-camping
dan kotor berdebu.
Seluruh tubuhnya yang kurus kering, sudah biru lebam.
Darah bercucuran dari kening, hidung, dan mulutnya.
"Bunuh saja dia! Gembel tidak tahu diri!"
"Bikin kotor kampung saja!"
"Buang mayatnya di hutan, biar dimakan anjing liar!"
"Bunuh! Hajar sampai mampus!"
Macam-macam makian dan kata-kata kotor terlontar.
Masing-masing orang berusaha untuk memukul atau menendang laki-laki kurus kering
yang sudah tidak berdaya lagi. Rasanya tak mungkin untuk menyelamatkan diri.
Jangankan untuk berdiri, membuka suara saja sudah tidak mampu lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, orang yang tengah mengeroyok gembel itu berhenti. Tampak
seorang wanita muda dan cantik menunggang kuda putih, berada tidak jauh dari
kerumunan orang yang mengeroyok pemuda gembel tadi.
Wanita cantik berbaju kuning gading itu melompat turun dari kudanya, dan
melangkah menghampiri pemuda gembel itu yang tergeletak tak berdaya. Sebentar
diperiksa luka-luka di tubuh laki-laki kurus kering itu.
Pandangannya kini merayapi orang yang berkerumun di sekitarnya.
"Kenapa Kisanak semua mengeroyok orang tidak berdaya ini?" tanya wanita cantik
itu lantang. "Gembel itu mencuri ayamku!" sahut seorang laki-laki muda bertubuh kekar.
Suaranya cukup lantang juga.
"O... Jadi hanya karena mencuri ayam, lalu kalian akan membunuhnya?" bernada
sinis suara wanita itu.
Ditatapnya tajam laki-laki yang menyahuti pertanyaan-nya tadi.
"Nisanak! Tampaknya kau bukan penduduk desa ini.
Sebaiknya tidak usah mencampuri urusan kami." tegas seorang laki-laki tua dengan
rambut yang sudah memutih.
"Aku tidak akan mencampuri, jika kalian tidak main keroyok begini!" sahut wanita
itu tegas. "Nisanak...."
"Ada apa ini..."!" tiba-tiba terdengar bentakan yang memotong ucapan laki-laki
tua berambut putih itu.
Semua orang menatap ke arah datangnya suara bentakan tadi. Mereka serentak
bergerak mundur untuk memberi jalan seorang laki-laki berusia setengah baya.
Pakaiannya indah, dengan kawalan empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap
menyandang golok di pinggang.
Laki-laki setengah baya dan masih kelihatan gagah itu, melangkah mendekati
wanita muda cantik berbaju kuning gading. Sebentar dirayapinya orang-orang yang
berkerumun di sekitarnya.
"Puspa Ningrum, ada apa ini?" tanya laki-laki setengah baya itu seraya menatap
pada pemuda gembel yang masih tergeletak di tanah.
"Mereka mengeroyok orang ini, Kakang Dipa," sahut wanita berbaju kuning gading
yang dipanggil Puspa Ningrum.
"Sudahlah, Puspa Ningrum. Dia itu..."
"Tapi, Kakang...! Orang ini sangat lemah, dan bisa mati kalau dipukuli mereka!"
potong Puspa Ningrum cepat.
"Hm.... Kau tidak mengerti, Adikku"
"Kakang,..."
Dipa Sentana buru-buru mencegah dengan meng-
goyang-goyangkan kepalanya. Puspa Ningrum segera diam membisu, karena tidak
ingin membantah kakaknya yang sangat dihormati di desa ini. Kakaknya adalah
Kepala Desa Watu Gayam. Jelas dapat menjatuhkan kewibawaannya kalau berdebat di
depan orang banyak.
Puspa Ningrum berbalik, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Dia melompat
naik ke punggung kuda putihnya, dan cepat menggebahnya. Semua orang yang berada
di tempat itu jadi bengong, karena kepala desa mereka tampak kenal betul dengan
wanita yang kelihatannya asing
"Kalian bawa orang ini, dan rawat luka-lukanya,"
perintah Dipa Sentana pada empat orang pengawalnya.
"Baik."
Empat orang bertubuh tegap itu segera menggotong pemuda gembel yang masih
pingsan. Kemudian Dipa Sentana bergegas melangkah pergi. Semua orang yang
berkerumun, segera meninggalkan tempat itu.
*** "Oh..."
"Jangan bergerak dulu."
Pemuda berbaju compang-camping itu terkejut, dan berusaha bangkit. Tapi seluruh
tubuhnya terasa remuk, dan nyeri sekali. Dia meringis sambil merintih lirih.
Kelopak matanya mengerjap melihat seraut wajah cantik yang duduk di sampingnya.
"Oh..., di mana aku...?" tanya pemuda gembel itu lirih.
"Kau ada di tempat yang aman," sahut wanita itu lembut.
"Siapa kau?" tanya pemuda gembel itu, seperti pernah melihat wajahnya. Tapi pada
saat ini, sukar untuk mengingat-ingat, di mana pernah bertemu wanita cantik ini.
"Aku Puspa Ningrum," sahut wanita itu tetap lembut
"Dan kau, siapa?"
"Orang-orang memanggilku si Gembel"
"Kau pasti punya nama, bukan?" desak Puspa Ningrum.
"Untuk apa" Tidak ada yang pernah memanggil namaku."
"Tapi aku lebih suka memanggil namamu daripada si Gembel"
"Percuma! Kau akan bersikap sama seperti mereka kalau tahu siapa aku ini."
Puspa Ningrum hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya. Dia bangkit berdiri
dan melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Sementara itu pemuda gembel
merayapi sekitarnya. Disadari kalau dirinya kini berada dalam suatu ruangan yang
tidak begitu besar. Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tidak ada
apa-apa di sini, kecuali sebuah dipan kayu yang kini ditiduri.
Pemuda itu bangkit dan duduk bersila. Ditatapnya Puspa Ningrum yang berdiri
membelakanginya sambil memandang keadaan luar melalui jendela yang terbuka
lebar. Cahaya matahari menerobos masuk menerangi seluruh kamar berukuran kecil
ini. Banyak rumput kering di lantainya. Sesekali terdengar suara ringkik kuda
yang tidak begitu jauh.
"Aku bernama Gota," ujar pemuda gembel itu pelan.
"Nama yang bagus," ucap Puspa Ningrum seraya membalikkan tubuhnya.
"Terima kasih, tapi aku tidak perlu pujianmu. Aku lebih suka kalau kau
menghinaku seperti yang mereka lakukan setiap hari," sahut Gota, agak sinis nada
suaranya. "Tapi aku bukan mereka, Gota."
"Hhh! Aku tahu tempat ini. Dan kau berada di sini, tentu salah seorang dari
mereka." Puspa Ningrum mengernyitkan keningnya mendengar
kata-kata bernada sinis dan tidak bersahabat itu.
Dilangkahkan kakinya menghampiri laki-laki itu.
Pandangannya begitu dalam, seakan-akan hendak menyelidiki kata-kata Gota tadi.
Sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan tajam.
"Kau tahu tempat ini. Apakah kau pernah berada di sini sebelumnya" Atau paling
tidak, pernah datang ke sini?" tanya Puspa Ningrum bernada menyelidik.
"Hhh! Kau bisa tanyakan pada orang yang menguasai tempat ini!" Jawab Gota ketus.
Puspa Ningrum ingin bertanya lagj, tapi diurungkan niatnya. Pintu kamar ini
terkuak, dan muncul seorang laki-laki muda bertubuh tinggi tegap. Sebilah golok
terselip di pinggangnya. Pemuda itu membungkuk sedikit pada Puspa Ningrum.
"Maaf, hamba diperintahkan untuk memanggil Gusti Ayu," kata pemuda itu penuh
hormat. "Gusti Ayu.... Heh...!"gumam Gota pelan, namun terdengar begitu sinis.
Puspa Ningrum menatap tajam, namun tetap diliputi rasa penasaran melihat sikap
Gota yang begitu tidak bersahabat. Bahkan kata-kata yang diucapkan, selalu
bernada sinis. "Gusti Ayu...."
"Siapa yang memanggilku?" tanya Puspa Ningrum mendengar suara pemuda suruhan
kakaknya itu. "Gusti Dipa."
Puspa Ningrum terdiam beberapa saat, lalu memandang ke luar melalui jendela yang
terbuka. Meskipun jendela itu terbuka lebar, tapi memiliki jeruji yang cukup rapat dan
terbuat dari kayu keras. Puspa Ningrum memalingkan mukanya kembali dan menatap
pada Gota yang masih duduk bersila, bersikap tidak peduli.
"Aku akan datang lagi ke sini, Gota." ujar Puspa Ningrum.
"Kau bebas datang kapan saja," sahut Gota datar.
Puspa Ningrum membalikkan tubuhnya, lalu melangkah menuju pintu. Dia terus
melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Sementara pintu ditutup dari luar, Gota
beringsut dan bangkit dari pembaringan. Bibirnya menyeringai menahan sakit
begitu berdiri. Akibat pukulan dan tendangan orang banyak yang mengeroyoknya,
dirasakan seluruh tubuhnya begitu nyeri dan sakit.
"Uh! Sial..!" rungurnya seraya duduk kembali.
Mata Gota yang cekung dalam merayapi sekitarnya.
Tulang-tulang Jari tangannya bergemeletuk ketika dikepalkan kuat-kuat. Raut
wajahnya yang kurus, begitu menegang. Kemudian, dia beringsut ke tengah-tengah
ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar daun pandan, lalu duduk bersila.
Diletakkan telapak tangannya di lutut, lalu pelahan-lahan matanya terpejam.
"Hsss...!?"


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gota mulai mengatur jalan napasnya. Dadanya yang kerempeng dan terbuka, bergerak
teratur turun naik.
Sementara suasana jadi hening, hanya sesekali terdengar ringkik kuda. Gota tetap
duduk bersila sambil terpejam. Wajah yang memerah, kini berangsur-angsur normal.
Dirinya semakin kelihatan tenang, dan napasnya pun teratur baik.
"Hhh...!" Gota menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Kemudian dibuka matanya, lalu bangkit dari ranjang kayu itu. Tubuhnya nampak
segar, dan tidak lagi merasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Sebentar dipandangi
sekitarnya. Kakinya melangkah mendekati jendela, dan memandang ke luar.
"Sialan...!" umpatnya begitu melihat dua orang laki-laki bersenjata golok berdiri
di depan pintu kamar ini.
Gota melangkah menghampiri pembaringan kayu itu, dan kembali duduk bersila, lalu
dibaringkan tubuhnya menelentang. Matanya yang cekung, terbuka lebar-lebar
menatap langit-langit yang hampir dipenuhi sarang laba-laba.
"Aku ttdak suka tempat ini, dan harus keluar dari sini!" dengusnya pelan.
"Hm.... nanti malam...! Ya, nanti malam aku harus keluar dari sini!"
*** 2 Gelap menyelimuti seluruh Desa Watu Gayam. Malam telah begitu larut. Di beranda
depan rumah besar yang berdinding batu, tampak Dipa Sentana dan seorang laki-
laki tua duduk memandang bulan penuh yang bergelayut di langit hitam. Beberapa
orang bersenjata golok di pinggang, hilir mudik di sekitar rumah besar yang
memiliki halaman luas itu.
"Kudengar kau membawa si Gembel itu ke sini,"
terdengar suara pelan seperti bergumam.
"Benar." sahut Dipa Sentana seraya mendesah.
"Anak itu bisa jadi duri dalam dirimu, Dipa. Mengapa masih juga kau biarkan
hidup?" Dipa Sentana hanya mendesah saja. Dipalingkan wajahnya menatap laki-laki tua
berjubah biru tua di sampingnya. Sebatang tongkat berkepala ular kobra
tergenggam di tangan kanan. Seluruh rambutnya telah putih, dan tergulung rapi ke
atas. Pandangan laki-laki tua itu tetap ke depan, merayapi kegelapan yang
menyelimuti sekitarnya.
Bukan sekali ini Ki Jayakrama mengatakan demikian, tapi Dipa Sentana selalu
tidak bisa menjawab. Dia memang menghormati laki-laki tua yang menjadi guru,
sekaligus orang tua asuhnya ini. Tapi juga tidak harus dituruti keinginan Ki
Jayakrama. Sebab, sukar baginya untuk melenyapkan Gota yang selalu disebut si
Gembel. Ada suatu ganjalan bila mendengar nama itu.
"Aku tahu, kau tidak akan tega membunuhnya. Tapi bukankah bisa menyerahkan pada
anak buahmu, dan membuang mayatnya ke dalam hutan. Lagi pula, tidak ada yang
mempedulikannya lagi. Semua orang membencinya. Tidak ada yang bakal kehilangan
kalau dia mati, Dipa," kata Ki Jayakrama lagi.
"Kurasa ada, Ki." sahut Dipa Sentana mendesah.
"Dia pun tidak tahu, dan tidak mengenal Gota.
Sebelum terlambat, Dipa. Aku berkata demikian hanya untukmu, dan demi kelancaran
semua cita-citamu.
Ingatlah pesan mendiang ayahmu, Dipa,"
"Aku tidak pernah lupa, Ki."
"Nah! Mengapa tidak kau lenyapkan saja si Gembel itu?"
Dipa Sentana tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dari duduknya.
Dilangkahkan kakinya beberapa tindak ke depan, lalu berdiri bersandar pada pilar
yang menyangga atap beranda ini. Sementara Ki Jayakrama masih tetap duduk
memandang lurus ke depan, tidak sedikit pun menoleh saat berbicara.
"Gusti...! Gusti..!"
Dipa Sentana menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Tampak seorang laki-
laki muda berlari-lari menghampiri. Pemuda dengan golok terselip di pinggang itu
langsung membungkuk begitu sampai di depan Dipa Sentana.
"Ada apa?" tanya Dipa Sentana.
"Celaka, Gusti...! Celaka...!"
"Bicara yang jelas! Ada apa"!" bentak Dipa Sentana agak keras.
"Si Gembel, Gusti...! Dia kabur dan membunuh dua orang penjaga," lapor pemuda
itu "Apa..."!" Dipa Sentana kaget setengah mati mendengar laporan itu.
Bergegas Dipa Sentana melompat dan langsung berlari menuju bagian belakang rumah
ini. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu singkat sudah tiba di depan
pintu kandang kuda. Tampak sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap tengah
mengerumuni dua orang yang tergeletak dengan kepala pecah. Sepuluh orang itu
menyingkir begitu Dipa Sentana datang. Dipa Sentana tidak bisa berkata-kata
melihat dua anak buahnya tewas. Darah masih mengalir deras dari kepala
yang pecah itu. Sementara sepuluh orang pembantunya hanya bisa menunduk tanpa
berkata-kata. Saat itu Ki Jayakrama dan seorang yang melapor tadi telah tiba di
tempat itu. Mereka melihat bagian depan pintu kamar yang hancur berantakan.
Kamar itu biasanya digunakan untuk menyimpan barang rongsokan. Hanya baru
kemarin digunakan untuk menyekap Gota yang lebih dikenal dengan panggilan si
Gembel. Dipa Sentana menatap laki-laki tua yang memakai jubah warna biru gelap
di sampingnya. "Kenapa kalian diam saja"! Ayo, cari sampai dapat gembel itu!" perintah Ki
Jayakrama membentak.
Sepuluh orang serentak bergerak menghampiri kuda masing-masing, kemudian segera
menggebahnya dengan cepat keluar dari halaman belakang rumah besar itu.
Sementara dari arah lain, datang sekitar dua puluh orang lagi dengan senjata
golok terselip di pinggang. Ki Jayakrama juga segera memerintahkan mereka untuk
mencari Gota. Tapi Dipa Sentana meminta enam orang untuk tetap tinggal di situ.
Ki Jayakrama sendiri bergegas menghampiri kudanya yang berwarna coklat, tinggi
dan tegap. Dengan gerakan indah, dia melompat naik ke punggung kuda itu.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Dipa Sentana.
"Ke rumah pamanmu!" sahut Ki Jayakrama.
"Ki...!" Dipa Sentana ingin mencegah, tapi Ki Jayakrama sudah lebih cepat
menggebah kudanya.
Dipa Sentana memandangi kepergian guru yang sekaligus orang tua angkatnya itu,
lalu mendesah pelahan. Tubuhnya kemudian berbalik dan melangkah pergi setelah
memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mengurus mayat dua orang itu. Dipa
Sentana melangkah pelan, dan kepalanya tertunduk.
*** Puspa Ningrum menatap tajam wajah kakaknya yang tertunduk sambil duduk diam.
Gadis itu baru tahu kalau pagi ini Gota melarikan diri dengan menjebol pintu dan
membunuh dua orang penjaga. Dan sekarang hampir semua anak buah Dipa Sentana
tengah mencarinya ke seluruh Desa Watu Gayam.
Puspa Ningrum juga menyaksikan sendiri, bagaimana pintu gudang di samping
kandang kuda itu jebol berantakan, bagai terlanda amukan seeker banteng.
Wanita itu hampir tak percaya kalau Gota mampu menjebol pintu kayu jati yang
begitu tebal. Gota bukan seorang pendekar, tapi hanya seorang gembel.
Tubuhnya pun kurus kering, seperti tanpa tenaga. Mana mungkin bisa menjebol
pintu tebal itu"
"Ada apa sebenarnya, Kakang" Mengapa kau begitu membencinya" Bahkan sampai-
sampai memerintahkan anak buah untuk membunuhnya," Puspa Ningrum minta
penjelasan. "Aku tidak membencinya, Puspa. Percayalah!" tegas Dipa Sentana meyakinkan. Sudah
berapa kali ini dia berkata demikian untuk meyakinkan adik
perempuannya ini.
"Kalau tidak membenci, mengapa kau perintahkan anak buahmu untuk mencari dan
membunuhnya"! Apa itu namanya...?" agak tinggi nada suara Puspa Ningrum.
Dipa Sentana mengangkat kepalanya, lalu menatap tajam bola mata gadis itu.
Sedangkan Puspa Ningrum berdiri berkacak pinggang, dan matanya membeliak tak
berkedip. Wajahnya yang cantik terlihat tegang.
"Kau tidak mengerti, Puspa. Sejak kecil kau tidak tinggal di sini, dan hanya
menghabiskan seluruh waktumu di padepokan Eyang Lenteng. Kau tidak tahu apa-apa,
Puspa...." pelan suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum terdiam. Bisa dirasakan adanya nada tekanan pada nada suara
kakaknya. Memang diakui, sejak masih berusia tujuh bulan telah dibawa ibunya ke
Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan. Baru kali ini dia mengunjungi
kakaknya di tanah kelahirannya.
Biasanya, memang Dipa Sentana yang selalu
berkunjung ke sana. Tapi sekarang Puspa Ningrum yang datang, karena ibunya tujuh
hari yang lalu telah meninggal dunia karena tua. Dan itu sudah disampaikan
kepada kakaknya ketika baru datang ke desa ini.
Memang tidak ada lagi tempat berpijak bagi Puspa Ningrum selain di tanah
kelahirannya ini. Meskipun tahu kalau kakaknya seorang pemimpin di Desa Watu
Gayam ini, tapi dia tidak pernah tahu keluarga yang lainnya.
Ibunya tidak pernah bercerita padanya, bahkan selalu menghindar kalau ditanya
masalah keluarga.
"Kau menyesal karena harus menanggung semua beban Ayah, Kakang?" pelan suara
Puspa Ningrum. "Tidak," sahut Dipa Sentana seraya menggeleng.
"Sejak kecil kita memang tidak pernah bersama-sama. Malah paling tidak hanya
bertemu dua atau tiga kali dalam satu tahun. Aku tidak menyesal kalau di antara
kita begitu jauh berbeda meskipun masih dalam ikatan sedarah dari orang tua yang
sama. Memang baru kali ini aku turun gunung. Maaf kalau terlalu banyak ikut
campur persoalanmu." ujar Puspa Ningrum menyesal.
Setelah berkata demikian. Puspa Ningrum berbalik dan terus melangkah pelahan
meninggalkan kakaknya yang masih duduk memandanginya. Kata-kata gadis itu
membual hati Dipa Sentana tersentuh. Sedikit pun tidak bisa dibantah kebenaran
kata-katanya. Tapi untuk sekarang ini sulit untuk menjelaskannya.
"Mau ke mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana seraya bangkit berdiri.
"Jalan-jalan," sahut Puspa Ningrum tanpa menghentikan langkahnya.
"Hati-hati, penduduk di sini belum mengenalmu,"
pesan Dipa Sentana.
"Hm.... Apakah penduduk desa ini selalu menyerang
orang asing?" Puspa Ningrum langsung berhenti melangkah dan berbalik, tepat di
ambang pintu bagian depan ruangan ini.
"Tidak, tapi banyak musuhku di luar sana."
Puspa Ningrum hanya tersenyum tipis, kemudian kembali berbalik dan melangkah ke
luar. Seorang pembantu rumah bergegas datang sambil menuntun seekor kuda putih
berpelana kuning emas. Puspa Ningrum menerima tali kekang kudanya dan langsung
melompat naik. "Puspa...," panggil Dipa Sentana yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.
Puspa Ningrum tidak jadi menggebah kudanya.
Ditoleh dan dipandanginya kakaknya yang melangkah mendekati. Dipa Sentana
berdiri di depan kuda adiknya, dan mengelus-elus leher kuda putih itu. Dari
sorot matanya, Puspa Ningrum menduga kalau Dipa Sentana hendak mengatakan
sesuatu, tapi berat untuk mengucapkannya.
"Pergi dan carilah Gota," kata Dipa Sentana tiba-tiba.
Pelan suaranya, hampir tidak terdengar.
Puspa Ningrum terkejut mendengar ucapan itu.
Dikerutkan alisnya, dan ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki berusia setengah
baya itu. Jarak usia antara dirinya dengan kakaknya memang begitu jauh, bagaikan
anak dan ayah saja. Memang tidak heran, karena mereka satu ayah dan lain ibu.
Meskipun usia Dipa Sentana hampir berkepala lima, tapi wajah dan tubuhnya masih
kelihatan gagah seperti baru berusia tiga puluhan saja.
"Lindungi dia, jangan sampai terjadi sesuatu terhadapnya," kata Dipa Sentana
lagi. "Kakang...," Puspa Ningrum ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di
tenggorokan. "Jangan tanyakan mengapa kau kuminta berbuat demikian. Kau bebas keluar masuk
rumah ini, karena ini
memang milikmu juga. Tapi, usahakan jangan sampai menimbulan kecurigaan kalau
Gota sudah kau temukan. Bawa dia ke tempat yang aman, jauh dari jangkauan orang-orangku," jelas
Dipa Sentana cepat.
Puspa Ningrum masih memandangi kakaknya.
"Pergilah." ujar Dipa Sentana sambil menepuk leher kuda putih itu.
Kuda putih itu meringkik, dan berlari cepat sebelum Puspa Ningrum menghentakkan
tali kekangnya. Diam-diam, Dipa Sentana menepuk leher kuda itu disertai
penyaluran hawa panas pada telapak tangannya.
Akibatnya, kuda putih itu langsung melesat kencang.
Puspa Ningrum agak tersentak kaget, tapi cepat-cepat mengendalikan kudanya agar
berlari tidak terlalu kencang. Sementara Dipa Sentana masih berdiri memandangi
adiknya yang sudah berbelok melewati pintu gerbang yang dijaga dua orang
bersenjata golok.
*** Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya setelah sampal di tepi sungai yang tidak
begitu besar. Airnya sangat jernih, sehingga dasarnya terlihat jelas. Gadis itu
melompat turun dari punggung kudanya, dan
membiarkan kuda putih itu mendekati tepian sungai untuk minum di sana. Puspa
Ningrum sendiri juga menghampiri sungai itu, lalu membasuh wajahnya.
Air yang jernih dan sejuk itu membuat wajahnya segar kemerahan, sehingga
terlihat semakin cantik. Puspa Ningrum memandangi wajahnya yang terpantul di
permukaan air sungai itu. Tiba-tiba keningnya berkerut begitu di permukaan air
sungai, samar-samar terpantul wajah seseorang yang berdiri di seberang. Puspa
Ningrum mengangkat kepalanya.
"Heh...!"
Gadis itu tersentak kaget, begitu mengangkat
kepalanya. Tiba-tiba terlihat satu bayangan berkelebat cepat di seberang sungai
sana. Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk dikenali bayangan itu. Puspa Ningrum
mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. "Hm..., orang itu pakaiannya penuh tambalan. Apakah dia Gota..." Tapi, ah!
Bukan...! Wajahnya bukan Gota, dan tampaknya lebih gemuk dan sudah tua...."
Puspa Ningrum bergumam sendiri.
Puspa Ningrum kembali terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras. Buru-
buru dia bangkit berdiri.
Tapi mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menyambarnya. Sejenak gadis
itu terperangah, namun cepat-cepat di banting tubuhnya ke samping dan
bergulingan sejauh dua batang tombak. Cepat sekali gerakannya ketika melompat
bangkit. Matanya membeliak begitu melihat di depannya sudah berdiri seorang
laki-laki tua berambut dan berjanggut putih.
Laki-laki itulah yang dilihatnya tadi di seberang sungai.
Pakaiannya compang-camping dan penuh tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat hitam pekat yang tidak jelas bentuknya.
"Hhh...!" Puspa Ningrum mendesah pendek.
Kemudian kakinya menggeser ke samping beberapa tindak.
Namun baru empat tindak kakinya digerakkan, mendadak dari balik pohon dan semak
belukar bermunculan beberapa orang berpakaian seperti gembel. Nalurinya langsung
mengatakan kalau harus waspada. Tangannya meraba sabuk yang melilit pinggangnya.
Sabuk itu berwarna keperakan dan tampaknya terbuat dari bahan logam yang amat
tipis dan lentur.
"Siapa kau, Nisanak" Dan apa keperluanmu me-masuki wilayahku ini?" tanya laki-
laki tua bertongkat hitam itu.
"Namaku Puspa Ningrum." sahut Puspa Ningrum
memperkenalkan diri. "Aku ke sini hanya sebentar, karena kudaku perlu minum."
"Hm.... Nampaknya kau bukan dari Desa Watu Gayam. Apakah kau seorang
pengembara?" tanya laki-laki tua itu ramah.
"Benar." sahut Puspa Ningrum tidak punya jawaban lain.
"Kalau begitu, sebaiknya cepatlah tinggalkan tempat ini."
"Tunggu dulu!" sentak Puspa Ningrum cepat "Aku kira ini masih termasuk wilayah
Desa Watu Gayam. Mengapa tadi kau katakan ini daerah kekuasaanmu?"
"Kau tidak perlu tahu, Nisanak!" tegas jawaban laki-laki tua itu. Namun masih
bernada ramah. "Baik, aku memang tidak perlu tahu. Lagi pula aku tidak ada hubungannya dengan
Desa Watu Gayam," ujar Puspa Ningrum. Sengaja berkata demikian, karena nalurinya
mengatakan dirinya dalam bahaya besar kalau berkata terus terang.
"Dia adik Dipa Sentana, Ki Tunggul!"
Puspa Ningrum tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar kata-kata keras dari
arah kanan. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Gota telah berdiri tegak di
antara orang-orang yang berpakaian pengemis.
Sementara laki-laki tua yang be mama Ki Tunggul itu menatap tajam Puspa Ningrum.
Gota melangkah beberapa tindak mendekati gadis itu, lalu berdiri tegak sambil
menatap tajam. "Dia ke sini pasti atas perintah kakaknya!" kata Gota ketus. Tatapannya begitu


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam menusuk langsung ke bola mata Puspa Ningrum.
Trek! Dua puluh orang berpakaian pengemis yang sejak tadi mengurung Puspa Ningrum,
menghentakkan tongkatnya. Wajah mereka tampak berang, memerah bagai bara api
yang tersimpan dalam sekam. Tatapan
matanya begitu tajam penuh rasa kebencian melihat Puspa Ningrum. Sementara gadis
itu semakin waspada saja.
"Tahan!" bentak Ki Tunggul keras, lalu melangkah tiga tindak mendekati gadis
itu. Sementara Gota bergerak menggeser kakinya ke samping Ki Tunggul. Namun,
pandangan matanya tetap tertuju pada gadis cantik di depannya. Ki Tunggul
merentangkan tangannya sedikit. Serentak, sekitar dua puluh orang yang
mengepung, bergerak mundur teratur.
Kembali dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan.
Jarak antara laki-laki tua itu dengan Puspa Ningrum tinggal lima langkah lagi.
"Benar kau adik dari Dipa Sentana?" tanya Ki Tunggul masih bernada ramah.
"Benar," sahut Puspa Ningrum tegas. Tidak ada gunanya lagi berbohong.
"Kau datang ke sini diutus kakakmu?" tanya Ki Tunggul lagi.
"Tidak! Sengaja aku datang ke sini memang untuk mencari Gota, tapi aku tidak
tahu kalau dia ada di sini."
jawab Puspa Ningrum sambil melemparkan
pandangannya pada pemuda kurus kering yang berdiri di samping Ki Tunggul agak ke
belakang sedikit.
"Untuk apa kau mencariku" Ingin kau serahkan pada kakakmu" Atau ingin kau hina
diriku?" dengus Gota sengit.
"Kau salah, Gota. Sengaja kau kucari karena aku kaget mendengar kau membunuh dua
orang penjaga. Lagi pula aku ingin menjelaskan kalau sekarang ini Kakang Dipa sudah menyebar
orang-orangnya untuk menangkapmu kembali." kata Puspa Ningrum tenang.
"Hhh!" Gota mendengus.
"Gota! Bisakah kau pergi dari sini?" ucap Ki Tunggul tiba-tiba.
"Ki...!" Gota terkejut.
"Juga kalian semua!" seru Ki Tunggul tidak mempedulikan keterkejutan pemuda itu
Dua puluh orang yang masih muda dan berpakaian compang-camping itu membungkuk
sedikit, kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan di sekitar sungai
kecil ini. Gota masih tetap berdiri disertai pandangan tidak mengerti pada Ki
Tunggul. Sedangkan orang tua itu menatapnya tajam.
"Baiklah, aku pergi. Tapi tidak akan jauh-jauh dari sini," kata Gota menyerah.
"Kau tidak perlu mencemaskan diriku, Gota," kata Ki Tunggul.
Gota menatap sebentar pada Puspa Ningrum,
kemudian berbalik dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Setelah Gota
lenyap ditelan kelebatan pepohonan. Ki Tunggul melangkah menghampiri sebongkah
batu ceper, lalu duduk di sana. Puspa Ningrum masih berdiri tegak. Hatinya
diliputi ketidakmengertian pada laki-laki tua yang tampaknya begitu dihormati
oleh orang-orang berpakaian pengemis tadi.
"Kemari, dan duduklah di sini," kata Ki Tunggul seraya menunjuk sebuah batu
tidak jauh di depannya.
Puspa Ningrum melirik batu yang ditunjuk, kemudian melangkah mendekati batu itu.
Dia duduk di sana, tapi sikapnya masih penuh kewaspadaan. Disadari kalau di
sekitarnya pasti masih banyak orang berpakaian pengemis tadi. Sedikit saja
bertindak salah, mereka pasti akan keluar dan mengeroyoknya.
"Terus terang, aku begitu terkejut mendengar kalau kau adalah adik dari Dipa
Sentana...," Ki Tunggul mulai membuka suara.
"Memang benar," ujar Puspa Ningrum tegas.
"Aku lahir di sini, dan sampai tua bangka begini pun masih juga berada di sini.
Aku kenal betul siapa Dipa Sentana itu, dan seluruh keluarganya. Aku kenal
dengan kakeknya, ayahnya...," suara Ki Tunggul terputus.
Ditatapnya dalam-dalam gadis di depannya. Tatapannya mengandung nada penuh
selidik. "Tampaknya kau tidak percaya, Ki Tunggul," agak sinis nada suara Puspa Ningrum.
"Siapa nama ibumu?" tanya Ki Tunggul tidak mempedulikan kesinisan gadis itu.
"Untuk apa kau tanyakan ibuku?" dengus Puspa Ningrum tidak senang.
"Aku harus tahu untuk membuktikan benar tidaknya bahwa kau adik Dipa Sentana!"
tegas Ki Tunggul.
"Wulandari!" sahut Puspa Ningrum masih bernada kurang senang.
"Ayahmu?"
"Kau keterlaluan, Orang Tua!"
"Jawab saja pertanyaanku, atau kau tidak ingin melihat matahari lagi..."!"
Merah padam muka Puspa Ningrum mendengar
ancaman itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya yang tajam melihat salah
satu semak bergoyang. Juga di situ terlihat kepala menyembul keluar dari balik
pohon. Dugaannya benar. Dirinya masih dalam keadaan terkepung saat ini. Dan yang pasti
bukan hanya dua puluh orang saja yang ada, mungkin dua kali lipat dari yang
tadi. "Paradipa," ujar Puspa Ningrum dongkol.
"He he he...!" Ki Tunggul tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh! Kenapa kau tertawa..."!" bentak Puspa Ningrum sengit.
Ki Tunggul bukannya berhenti, tapi malah semakin keras saja tawanya. Hal itu
membuat Puspa Ningrum Jadi berang. Tiba-tiba saja dia melompat sambil
mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam penuh secara beruntun.
*** 3 Masih tertawa terbahak-bahak, Ki Tunggul
menghadang serangan itu sambil menyilangkan tongkatnya di depan dada. Dua
pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Puspa Ningrum, menghantam tongkat hitam
laki-laki tua pengemis itu.
"Akh!" Puspa Ningrum memekik tertahan.
Tubuh ramping gadis itu kembali mencelat ke belakang, dan berputaran beberapa
kali di udara. Berdirinya agak limbung begitu kakinya mendarat lunak di tanah. Dia meringis
merasakan kedua tangannya seperti kesemutan. Sungguh tinggi tenaga dalam yang
dimlilki Ki Tunggul. Laki-laki tua pengemis itu masih tetap duduk bersila,
meskipun tadi menahan dua pukulan beruntun bertenaga dalam cukup tinggi.
Puspa Ningrum sadar, kalau tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Ki
Tunggul, tapi tidak dipedulikannya. Untuk keluar dari tempat ini, laki-laki tua
itu harus bisa dikalahkannya. Gadis itu segera bersiap untuk mengadakan serangan
kembali. Dilepaskan sabuk berwarna keperakan. Dengan sekali kebut saja, sabuk
itu menegang kaku, dan menjadi sebilah pedang perak tipis.
"Kau bisa tertawa, Kakek Tua! Tapi sekarang rasa-kanlah Sabuk Sakti-ku!" dengus
Puspa Ningrum dingin.
"He he he...!" Ki Tunggul hanya terkekeh saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
Puspa Ningrum sudah melompat men ye rang cepat kembali. Sabuk keperakan yang
sudah kaku bagai pedang tipis itu, berkelebatan cepat mengarah ke bagSan-bagian
tubuh Ki Tunggul yang mematikan.
Namun laki-laki tua pengemis itu hanya menggerakkan tongkatnya beberapa kali
tanpa beranjak dari duduk-nya
di batu pipih. Trang! Trang! Puspa Ningrum tersentak begitu senjata
kebanggaannya bersentuhan keras dengan tongkat hitam Ki Tunggul. Tangannya
langsung bergetar kesemutan. Jari-Jari tangannya menegang kaku, dan terasa nyeri
seketika. Buru-buru dia melompat mundur sambil meringis kesakitan. Namun tatapan
matanya tajam menusuk.
Ki Tunggul bangkit dari duduknya, lalu berdiri dengan ujung tongkat menekan ke
tanah. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman, namun tidak terdengar lagi suara
tawanya. Pelahan dilangkahkan kakinya menghampiri Puspa Ningrum yang masih
diliputi berbagai macam perasaan.
"Pergilah! Katakan pada Dipa, bahwa antara Partai Pengemis Tongkat Hitam dan
Desa Watu Gayam tidak ada persoalan. Yang kuinginkan hanyalah, agar Ki Jayakrama
meninggalkan desa itu untuk selamanya.
Hanya itu! Biarkanlah kami semua hidup bebas seperti dulu lagi," kata Ki Tunggul
tenang, namun bernada tegas.
Puspa Ningrum masih tetap berdiri tegak. Pandangan matanya tajam menusuk
langsung ke bola mata laki-laki tua pengemis itu. Pada saat itu, Gota muncul
kembali dengan langkah ringan. Didekatinya gadis itu, lalu berdiri di depannya,
di samping kiri Ki Tunggul.
"Ki Tunggul, boleh aku bicara dengannya sebentar?"
pinta Gota penuh nada hormat.
"He he he...," Ki Tunggul tertawa terkekeh.
Tanpa bicara lagi dia berbalik dan melangkah pergi.
Gota memandanginya dari sudut matanya. Sedangkan Puspa Ningrum memasukkan
kembali sabuk peraknya ke dalam tali ikat pinggangnya. Raut wajahnya masih
terlihat kaku, dan sorot matanya tetap tajam menusuk.
"Aku ingin bicara denganmu, bukan sebagai musuh,"
kata Gota setelah Ki Tunggul tidak terlihat lagi.
Puspa Ningrum tidak menyahuti, tapi malah berjalan menghampiri kudanya yang
tengah merumput. Dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Gota melompat dan
mencekal tali kekang kuda putih itu dekat mulutnya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" dengus Puspa Ningrum ketus.
Setelah berkata demikian, Puspa Ningrum
menghentakkan tali kekang kudanya, kemudian menggebahnya keras-keras. Kuda putih
itu meringkik keras, kemudian melompat, membuat Gota harus menyingkir cepat-
cepat. Kuda putih itu melesat cepat bagaikan anak panah lepas dari busurnya.
Gota hanya memandang kepergian gadis itu.
Pemuda kurus kering berpakaian compang-camping itu, masih tetap berdiri meskipun
Puspa Ningrum sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Pandangannya lurus ke arah
kepergian gadis itu, sampai-sampai tidak menyadari kalau Ki Tunggul sudah berada
di sampingnya. Laki-laki tua itu mendehem dua kali. Gota tersentak kaget, dan buru-
buru menoleh. "Kasihan dia, Ki. Dia harus tahu siapa dirinya yang sebenarnya," kata Gota
pelan. "Jangan ikuti perasaanmu, Gota," ujar Ki Tunggul menasehati.
"Sejak semula memang sudah kuduga, Ki. Dan sekarang sudah jelas. Dua kali dia
menolongku dari kekejaman mereka," masih terdengar pelan suara Gota.
"Tanpa pertolongannya pun kau tidak akan bisa dikalahkan mereka."
"Benar. Tapi aku tidak ingin menunjukkannya, Ki. Aku hanya ingin tahu, apakah
penduduk Desa Watu Gayam benar-benar membenci Partai Pengemis Tongkat Hitam atau
karena hanya mendapat tekanan saja dari manusia keparat itu," agak tertahan nada
suara Gota. "Bagaimana penilaianmu selama satu bulan berada di tengah-tengah penduduk Desa
Watu Gayam?" tanya Ki Tunggul.
"Entahlah...." sahut Gota tidak yakin.
"He he he... kau ingin mencobanya lagi?"
"Kalau Ki Tunggul mengijinkan "
"Aku percaya, kau mampu menjaga dirimu sendiri.
Tapi satu pesanku, jangan biarkan mereka
menganiayamu kembali. Kalaupun sampai terjadi, gunakan ilmu 'Raga Baja'. Ini
berguna agar dirimu tidak sengsara dan tahan segala macam pukulan atau senjata
tajam. Mengerti, Gota?"
"Aku mengerti, Ki."
"Nah, pergilah. Jika ada sesuatu yang berat dan tidak bisa dihadapi sendiri,
cepat-cepat hubungi aku."
"Baik, Ki."
"Hm."
Gota membungkukkan badannya memberi hormat, kemudian melangkah pergi
meninggalkan laki-laki tua pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu.
Sementara Ki Tunggul memandanginya sampai
punggung pemuda kurus kering itu lenyap dari pandangannya.
"Hhh.... Kasihan kau. Gota. Hidupmu jadi sengsara karena manusia serakah
itu,..!" desah Ki Tunggul seraya mengayunkan langkahnya pelahan.
*** Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya dengan tiba-tiba. Kuda putih itu
meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya. Gadis itu langsung melompat
turun, tapi tidak jadi bergerak mendekati pertempuran yang berlangsung di
depannya. Pertarungan yang berlangsung antara seorang laki-laki muda bertubuh kurus kering
melawan empat orang laki-
laki bertubuh tinggi tegap dan bersenjata golok.
Tampak jelas kalau laki-laki kurus kering berpakaian comping-camping itu kian
terdesak. Beberapa pukulan mendarat di tubuhnya. Dia bergulingan di tanah. Namun
begitu bangkit, satu pukulan telak menggedor dadanya.
Sementara Puspa Ningrum yang menyaksikan peristiwa itu, sudah bisa menduga kalau
laki-laki muda kurus kering itu bakal mati di tangan empat orang yang
menghajarnya secara bergantian.
"Hentikan...!" bentak Puspa Ningrum keras.
Seketika itu juga pertarungan berhenti. Empat orang bertubuh tegap, langsung
melompat mundur. Mereka membungkukkan badannya sedikit pada Puspa
Ningrum. Sedangkan gadis itu tidak mempedulikannya, tapi malah melangkah
menghampiri pemuda kurus kering yang sedang berusaha bangkit berdiri.
"Gota, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Puspa Ningrum.
"Apa urusanmu" Aku bebas berbuat apa saja di sini!"
dengus Gota menolakkan tangan Puspa Ningrum yang ingin membantunya berdiri.
Puspa Ningrum tidak berkecil hati mendapatkan jawaban yang ketus dan tidak
bersahabat itu. Dia melangkah mundur satu tindak, membiarkan Gota berdiri. Gadis
itu menatap tajam pada empat orang yang jelas-jelas anak buah Dipa Sentana.
"Memalukan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya!"
dengus Puspa Ningrum ketus.
"Gusti Ayu.... kami hanya menjalankan perintah." kilah salah seorang yang
berdiri paling kanan.
"Perintah siapa?" bentak Puspa Ningrum.
Empat orang itu saling berpandangan.
"Jawab! Siapa yang memerintah kalian berbuat pengecut seperti ini?" bentak Puspa
Ningrum gusar. "Aku!"
Tiba-tiba saja terdengar jawaban keras bertenaga
dalam tinggi. Semua kepala menoleh ke arah datangnya suara itu. Tampak seorang
laki-laki tua berjubah biru gelap tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh dari
mereka. Laki-laki tua yang menggenggam tongkat itu tidak asing lagi bagi mereka semua.
Tongkat yang pada ujung bagian atas berbentuk kepala ular kobra itu dihentakkan
ke tanah tiga kali. Serentak empat orang yang mengeroyok Gota tadi, melompat ke
belakang Ki Jayakrama.
"Puspa Ningrum, cepatlah pulang! Ini bukan urusanmu." perintah Ki Jayakrama,
dingin nada suaranya.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Puspa Ningrum.
Ki Jayakrama tampak serba salah, namun tidak ditunjukkannya. Malah, ditatapnya
tajam-tajam gadis cantik yang berdiri membelakangi Gota. Seolah-olah Puspa
Ningrum sengaja melindungi pemuda yang biasa dipanggil si Gembel itu.
"Puspa Ningrum, pulanglah. Tidak ada gunanya membela si Gembel itu. Dia musuh
besar kakakmu,"
tegas Ki Jayakrama, tapi agak melunak suaranya.
"Tapi dia bukan musuhku. Pantang bagiku membiarkan orang tidak berdaya dikeroyok
seenak hati! Apa kesalahannya, sehingga kalian begitu ingin membunuhnya!"
lantang kata-kata Puspa Ningrum.
Merah padam wajah Ki Jayakrama seketika, namun masih bisa ditahan kesabarannya.
Dia tidak ingin membuat gadis ini berang. Hal itu harus dijaga, meskipun
telinganya sudah sakit mendengar kata-kata bernada menantang itu.
"Baiklah, kali ini aku mengalah. Tapi cepatlah pulang, dan temui kakakmu!" tegas
kata-kata Ki Jayakrama.
"O.... Kau ingin mengadukan hal ini pada Kakang Dipa..."! Baik! Adukanlah kalau
aku membela Gota, dan tidak peduli pada kalian semua!" ujar Puspa Ningrum tegas.
Ki Jayakrama mendengus menahan geram, dan
langsung berbalik melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Empat orang yang tadi
mengeroyok Gota, juga bergegas pergi. Puspa Ningrum baru berbalik setelah lima
orang itu tidak terlihat lagi.
"Tidak ada gunanya bersikap begitu, Puspa." kata Gota pelan


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah aku tidak boleh melindungi orang yang lemah?" Puspa Ningrum malah
memberikan pertanyaan.
Sebenarnya Gota ingin tertawa mendengar
pertanyaan gadis itu. Tapi sebisa mungkin, ditahan rasa gelinya. Meskipun tadi
dipukuli dan ditendangi empat orang bertenaga besar, namun itu tidak berarti
sama sekali pada tubuhnya yang kurus kering. Sebab dia tadi menggunakan ilmu
'Raga Baja', sehingga setiap pukulan dan tendangan empat orang itu tidak terasa
sama sekali. "Terima kasih, Puspa. Aku tahu kau tidak seperti yang lainnya. Tapi pikirkanlah
keselamatan dirimu juga.
Mereka orang-orang yang kejam, dan jelas tidak akan memandangmu lagi sebagai
adik Dipa, kalau terus-terusan membelaku. Percayalah padaku, Puspa! Jangan
libatkan dirimu dalam persoalan ini." pinta Gota, mengharapkan pengertian gadis
itu. "Ternyata kau juga keras kepala seperti kakakku, Gota." dingin nada suara Puspa
Ningrum. "Ini demi kebaikanmu juga, Puspa. Pulanglah, sebelum keadaan bertambah parah."
Puspa Ningrum memandang lurus ke arah bola mata pemuda itu. Pada saat yang sama,
Gota juga menatap pada gadis itu. Sesaat mereka saling tatap tanpa berkata-kata.
Pelahan-lahan Puspa Ningrum menunduk.
Entah mengapa, jantungnya jadi berdetak cepat dan wajahnya bersemu merah dadu.
Gota sendiri menarik napas dalam-dalam. Juga dirasakan seperti ada yang tak
beres dalam dirinya ketika mereka saling pandang
tadi. "Pulanglah, Puspa...," ucap Gota pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Gota...," Puspa Ningrum mengangkat kepalanya.
Kembali mereka saling tatap.
"Pulanglah "
Puspa Ningrum melangkah mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian berbalik
dan menghampiri kudanya. Dengan gerakan yang indah, dia melompat naik ke
punggung kuda putih itu. Tatapannya masih tertuju pada pemuda bertubuh kurus
dengan baju compang-camping itu. Kemudian digebahnya kudanya dengan cepat.
Gota menghenyakkan tubuhnya ke tanah berumput.
Terdengar tarikan napas yang panjang dan berat, seolah-olah ingin melonggarkan
dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa sesak. Gota yang akan bangkit jadi
terkejut setengah mati. Tiba-tiba dari batik pepohonan, bermunculan sekitar enam
orang bersenjata golok terhunus. Gota langsung menggerinjang bangkit berdiri.
Belum hilang rasa terkejutnya, muncul Ki Jayakrama yang langsung melompat
menerjangnya. "Hup!"
*** Tidak ada lagi kesempatan buat Gota untuk
menghindari serangan yang cepat dan mendadak itu.
Hanya ada satu cara, dan itu harus dilakukan dengan cepat. Tangannya terangkat
ke depan sambil
mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh. Satu benturan keras terjadi disertai
suara ledakan menggelegar begitu dua pasang telapak tangan beradu.
Gota terpental sejauh tiga batang tombak, sedangkan Ki Jayakrama hanya terdorong
beberapa langkah saja.
Meskipun Gota masih bisa berdiri, namun tubuhnya
limbung juga. Seluruh tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Bergetar,
dan terasa panas luar biasa.
"He he he... Rupanya kau punya simpanan juga.
Gembel!" dengus Ki Jayakrama seraya terkekeh.
Gota hanya mendengus saja, lalu kembali bersiap-siap menerima serangan laki-laki
tua itu. Sebentar kemudian, Ki Jayakrama kembali menyerang
menggunakan jurus-jurus yang cepat dan berbahaya.
Namun tanpa diduga sama sekali, Gota mampu
mengimbanginya dengan gesit pula. Tentu saja hal ini membuat Ki Jayakrama
tercengang, sekaligus
penasaran. Seorang gembel kotor kurus kering, mampu
melayaninya sampai sepuluh jurus lebih. Hal ini tidak pernah terpikirkan olehnya
selama ini. Makanya Ki Jayakrama semakin memperhebat serangan-serangannya. Dan
saat mulai dikeluarkan satu jurus andalan, Gota sudah kelihatan kewalahan
menghadapinya. Lebih-lebih lagi ketika satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi
bersarang di dada Gota. Akibatnya, pemuda gembel itu kini tidak bisa lagi
mengendalikan dirinya.
"Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Gembel!" Ki Jayakrama tertawa terbahak-bahak
kegirangan. Buk! Buk! Dua kali pukulan bersarang di tubuh Gota, dan mem-buatnya terhuyung-huyung ke
belakang. Pada saat itu, Ki Jayakrama menjentikkan jarinya tiga kali. Seketika
empat orang yang menyertainya langsung melompat sambil mengibaskan golok ke arah
si Gembel itu. Tapi rupanya Gota masih alot juga, bahkan berhasil menghindari
golok-golok yang mengancam tubuhnya.
Namun satu tendangan keras membuat tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga
batang tombak. "Hoek..!" Gota memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Pemuda gembel itu berusaha bangkit. Namun, satu pukulan bertenaga dalam cukup
tinggi kembali menghajar dadanya. Pemuda gembel itu kembali terpental.
Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Dan pada saat tubuhnya
menggeletak, satu kilatan golok berkelebat cepat ke arah lehernya.
"Dewata Yang Agung...., matilah aku kali ini...." keluh Gota seraya memejamkan
matanya. Golok salah seorang anak buah Ki Jayakrama, begitu cepat berkelebat. Dan yang
pasti, Gota tidak mampu lagi menghindarinya. Namun pada saat yang kritis itu,
mendadak sebuah bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh pemuda gembel itu, sambil menyentil golok yang hampir menebas
leher Gota. "Akh!" orang itu terpekik tertahan, tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang. Semua orang yang berada di tempat itu, jadi tercengang. Seperti hantu saja,
bayangan putih itu melesat cepat bagai kilat membawa pergi si Gembel.
Terlebih lagi, Ki Jayakrama yang jadi bengong sehingga tidak bisa berbuat
sesuatu. Namun ketika disadari, maka diperintahkanlah seluruh anak buahnya untuk
mengejar. "Kejar! Bunuh mereka...!" seru Ki Jayakrama keras.
Semua anak buahnya segera berlompatan mengejar bayangan putih yang membawa kabur
si Gembel. Tapi usaha mereka jelas sia-sia. Bayangan itu sudah lenyap, dan tidak
jelas lagi arah kepergiannya. Ki Jayakrama bersungut-sungut kesal. Orang yang
selama ini ingin dilenyapkan, masih bisa lolos pada saat kematiannya sudah di
ambang pintu. "Setan keparat! Siapa yang menolongnya..."'' dengus Ki Jayakrama kesal.
*** Kekesalan Ki Jayakrama terbawa sampai ke rumah.
Dipa Sentana benar-benar tidak mengerti terhadap tingkah gurunya itu. Semua anak
buahnya kena semprot, meskipun tidak melakukan kesalahan. Ki Jayakrama benar-
benar kesal. Orang yang selama ini ingin dimusnahkan, bisa lolos setelah tidak
berdaya lagi. Bahkan tinggal seujung kuku lagi nyawanya pasti terenggut.
"Apa yang membuatmu kesal, Ki?" tanya Dipa Sentana setelah melihat Ki Jayakrama
agak tenang, duduk di bangku taman belakang.
"Anak itu!" rungut Ki Jayakrama masih dihinggapi kekesalan.
"Siapa?" tanya Dipa Sentana tidak mengerti
"Gembel itu!"
Dipa Sentana baru mengerti kalau kekesalan Ki Jayakrama disebabkan gagal
membunuh Gota. Dilangkahkan kakinya menghampiri Ki Jayakrama, lalu duduk di sebelahnya. Matanya
terus merayapi wajah tua yang memerah menahan kekesalan hatinya.
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 10 Pendekar Harpa Emas Karya Rajakelana Tanah Semenanjung 5
^