Pencarian

Tanah Semenanjung 5

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Bagian 5


selamanya." "Hamba, Rama." "Bagus Wangke akan tetap setia membantumu. Ia
adalah seorang bijak, Aswina." "Hamba, Rama."
Sorai prajurit Raditya yang berjejal di depan istana
tiada henti. Seluruhnya gembira. Mereka sudah menang.
Bersamaan dengan itu mentari bangun dari tidurnya.
Menyinari mayapada. Juga senjata-senjata laskar
Raditya memantulkan sinar mentari itu. Menyilaukan.
Mengerikan. Pemeriksaan sampai di tamansari. Sekali lagi
kekecewaan merambati hati Raditya. Tamansari bukan
hanya kosong melompong. Ia melihat rumput dan bunga
berebut tinggi. Raditya tak berkata-kata. Menyimpan
kekecewaannya. Mukanya muram.
Sorakan makin mengguruh kala mereka keluar selesai
pemeriksaan. Di ketinggian yang telah disediakan
Raditya melambaikan tangan. Tanda agar sorakan
berhenti. Dia akan bicara.
"Kalian sudah menang. Tapi bukan berarti pekerjaan
selesai. Sebab Adipati Agung belum mati. Dia akan
datang kembali bersama laskar Blambangan. Tapi
jangan takut. Blambangan sedang ringkih. Mereka takkan
menang melawan kita." Ia berhenti sebentar. Sementara
sorakan mengguruh lagi. "Setelah seluruh istana dan kota dibersihkan," lanjut Raditya, "kalian boleh istirahat sambil berpesta-pora.
Dudukilah asrama-asrama yang kosong! Persiapkan
pesta di sana! Pendek kata seluruh Lumajang harus
merayakan kemenangan kita! Berpestalah tujuh hari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tujuh malam!" Yang berbaris segera dibubarkan setelah
Raditya turun dari mimbar. Semua mengarah ke asrama
yang ditunjuk. "Kuserahkan padamu, Wangke. Siapkan pesta besar
di istana." Wangke menyembah. Tapi dalam hati ia berkata,
betapa bodohnya Raditya. Bukankah ini berarti
mengundang kelengahan" Dan kelengahan berarti
malapetaka" Kehendak Raditya memang tak mungkin
terbantahkan. Karena itu ia segera membentuk pasukan
khusus yang bertugas mengawal kota selama pesta
berlangsung. Sementara itu Wilis dan Andita terperanjat dalam gua,
ketika mendengar laporan tentang penyerbuan Raditya.
Apalagi setelah kota itu jatuh.
"Penjagaan diperketat di seluruh kota," kata pelapor.
"Perondaan merangkap penjarahan ternak penduduk
bergerak ke mana-mana. Kawula diharuskan
menyumbang pesta kemenangan mereka."
"Jagat Dewa!" Wilis menyebut.
"Seluruh penari dikumpulkan. Yang teristimewa dan
tercantik akan menari di istana. Dan dalam waktu dekat
Bagus Wangke akan membentuk pratanda (kabinet) Dia
akan menjadi patih Lumajang."
"Itu berarti mereka akan melepas diri dari
Blambangan" Memunggungi leluhur mereka sendiri?"
Andita tak sabar. "Nampaknya begitu, Paman." ujar Wilis setelah
pelapor tiada. "Karenanya pula, tak mungkin Raditya
dibiarkan menjadi mantap. Kita perlu bantuan lagi dari
Raung. Dua ratus orang belum cukup." Wilis sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam tekad yang bulat. "Karena itu pergilah sendiri ke
Raung. Kita juga perlu beberapa meriam untuk melawan
cetbang Raditya. Barangkali kita membutuhkan cuma
lima ratus orang saja untuk menjatuhkan Raditya yang
sedang mabuk itu." "Jika Tuan Baswi tidak keberatan, hamba akan
mengerahkan seribu orang bersama beberapa meriam
dan cetbang." "Pergilah cepat. Dan mereka harus bergerak cepat
agar jangan melampaui hari ketujuh. Aku percaya,
sesudah hari itu, tentunya Wangke sudah mampu
menyusun kekuasaannya."
"Hamba, Pangeran." Dan Andita sendiri pergi ke
Raung untuk dapat meyakinkan Baswi dengan kawan-
kawannya. Semula mereka memang keberatan tapi
kemudian'mereka mempertimbangkan itu perlu untuk
menaikkan Wilis ke pemerintahan Blambangan.
Sepeninggal Andita, Wilis memerintahkan te-liknya
menyebar ke seluruh Lumajang. Seluruh perwira penting
dibayangi. Apalagi Bagus Wangke. Maksud Wilis agar
tak satu pun dari mereka mampu lolos waktu ia
mengadakan penyerbuan nanti. Sedang ia sendiri
dengan pakaian petani menyusup ke Kelapa Sawit.
Yang pertama menyambutnya adalah Satiari.
"Kakang, oh... Kakang. Kau sudah dengar?"
"Raditya mengangkat diri sebagai penguasa
Lumajang. Seluruh kota sudah diduduki. Mana Paman
Sita Pati?" "Masih mengadakan persidangan di Pasirihan."
Mereka masuk. Ibu Satiari juga menyambutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita terdesak terus. Tapi Resi akan mengadakan
perundingan dengan Raditya. Kami akan menempuh
jalan damai." "Hamba tak percaya jalan itu akan berhasil. Raditya
sudah menang. Karenanya emoh menggunakan kata-
kata." "Lalu bagaimana dengan kami?" Satiari bertanya.
"Kita harus rebut dengan kekuatan. Bukan kata-kata."
Beberapa waktu kemudian Sita Pati bersama Nir
Wulung datang. Dengan segera Wilis mengajaknya
berunding. Nir Wulung, Wunga Sari, serta Satiari juga
ikut berunding. "Bagaimana, Paman", Sudah matang?"
"Belum. Kami sedang menyiapkan diri untuk
mengadakan perundingan."
"Itu menunjukkan ketidakmampuan laskar Paman.
Karenanya akau akan bertindak atas nama
Blambangan." Nir Wulung gugup mendengar itu.
"Pangeran akan mengerahkan laskar Blambangan?"
tanyanya. "Ya." "Beri kesempatan kami menyelesaikannya."
"Cukup lama kesempatan kalian sebelum ini. Tapi
kalian malah terdesak. Lumajang wilayah Blambangan.
Tindakan Raditya adalah pembelotan. Maka hak
Blambangan menjatuhkan hukuman atas Raditya."
"Kami sedang terpecah-pecah. Kami akan bertindak
setelah kekuatan kami pulih," Sita Pati mengusulkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kapan itu terjadi" Paman tidak bisa mengandalkan
laskar Paman. Sebab ada kemungkinan mereka bekerja
untuk kedua belah pihak. Karena itu Paman harus
menghimpun juga kawula untuk melawan Raditya. Tapi
itu membutuhkan waktu yang lama."
"Jagat Dewa! Nanda tidak percaya pada laskarku?"
"Dalam keadaan terdesak mereka bisa ingkar dari
sumpahnya. Mereka adalah manusia yang membutuhkan
pangkat dan uang." "Tapi kawula adalah makhluk tak berdaya."
"Lemah jika seorang dua. Bila seluruh Lumajang
bergabung mereka adalah raksasa, yang mampu
menumbangkan Semeru sekalipun."
"Kodratnya mereka tidak disuruh berperang. Mereka
diturunkan untuk mengabdi."
"Bila Paman berputar pada pikiran yang lapuk itu,
maka Hamba tak tahu lagi jalan yang harus ditempuh.
Paman tidak akan pernah melangkah."
Sita Pati terdiam. Suasana menjadi hening. Dan
Satiari merasa betapa benarnya pendapat Wilis. Namun
ia tak berani menyatakan. Perasaan kagum pada Wilis
makin menjadi-jadi. Muda, tampan, dan mempunyai
pikiran yang cerah. Pada akhirnya Sita Pati pun mengakui betapa
benarnya Wilis. Ia merasa bersalah karena ia tidak
berpegang sebagaimana seharusnya satria bertindak.
Berbelit pada timbang rasa. Kala Wilis minta diri maka ia
tidak keberatan lagi jika Wilis memang akan
mengerahkan laskarnya. Hati Wilis menjadi kembang. Perjalanannya yang
penuh bahaya itu tidak sia-sia. Satiari mengantarkannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai di batas desa. Dan pasti Wilis tidak akan dapat
melupakan senyum gadis itu. Segala tingkahnya yang
lincah menawan. Ah, adakah anak ini memberikan
sambutan padaku" Kini aku sedang berjuang untuk
mendapatkan kembali bumi Lumajang dari Raditya. Di
samping itu aku juga ingin mendapat kembang Lumajang
ini. Satiari berhenti di batas desa. Namun suaranya,
tawanya, serasa terus mengikuti perjalanannya.
Pesta-pora di seluruh Lumajang telah berjalan tiga hari
tiga malam. Mali dengan selamat dapat menjumpai
anaknya. Bapak dan anak saling berpelukan. Bertangis-
tangisan. "Kau telah hamil, Anakku?"
"Ya, Bapa... ini bakal cucumu."
"Ya... apa pun dia adalah cucuku. Pokoknya kau
selamat." Suara Mali hampir tak dapat keluar.
"Mari kita duduk dulu, Bapa. Aku senang kau bisa
masuk kemari. Lagi pula kau sudah tidak sekurus dulu."
"Berkat Hyang Maha Dewa."
"Di mana Emak?"
"Itulah yang hendak kucari. Aku yakin kau dibawa oleh
suamimu. Tapi sampai kini emakmu belum lagi ketemu."
"Bapa suamiku tak pernah menyayangi aku. Ia selalu
ingin aku melayaninya saja. Kemenangan ini membuat
mereka semakin gila. Sekarang pun mereka sedang
bermabuk-mabukan." "Sudahlah, Anakku, nasi telah menjadi bubur. Tak
perlu menyesali keadaan. Yang penting bagaimana
caranya kau keluar dari penderitaanmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kala Aswina datang ia disembunyikan oleh anaknya.
Namun menantu Mali itu pulang dengan mulut berbuih
karena mabuk. Juga seluruh pengawalnya. Mabuk.
Keesokan harinya Mali didatangi oleh seorang telik Wilis
untuk menyampaikan keadaan menantunya. Keraguan
merayapi hatinya. Karena memang sampai hari itu ia
belum melaksanakan perintah Wilis. Yaitu membawa
keluar anaknya. Namun ia menyampaikan pula
laporannya lewat telik yang dikirim Wilis. Setelah itu ia
membulatkan tekad untuk berterus terang pada anaknya.
"Kau bahagia tinggal di sini?" pancingnya mula-mula.
"Dalam neraka ini" Bagaimana bisa bahagia?"
"Dengan kata lain kau mau kuajak keluar?"
"Ssstt, bicara apa kau, Bapa" Kau mampu membawa
aku?" "Asal kau mau. Dan rela tinggalkan ayah anak ini."
Perempuan muda itu ragu. Ia berpikir jika Aswina
dapat menangkapnya kembali, pastilah siksaan akan ia
terima. Bahkan mungkin bapanya bisa dibunuh.
"Kau masih cantik sekarang maka kau menjadi
istrinya. Aku khawatir bila nanti sudah peot dan susumu
sudah melorot, kau akan jadi budaknya. Lebih dari itu
kau harus membesarkan anakmu, memberinya makan,
tapi kau tak pernah memilikinya. Ia akan diambil ayahnya
untuk menjadi prajurit. Aswina tetaplah perampok." Mali
memberanikan diri. "Bapa..." "Demi Hyang Maha Dewa, kau harus menikmati
kebahagiaan, Anakku. Kebebasan!" "Mungkinkah itu?"
"Segala sesuatu mungkin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bilakah itu?" "Bila kau telah merelakan nyawa suamimu."
"Ia calon putra mahkota Lumajang. Siapa berani
padanya?" "Nanti akan ada yang berani. Hyang Maha Dewa telah
menyediakan orangnya."
"Baiklah, Bapa... bila itu memang membahagiakan
kita, aku menurut." Hampir Mali melonjak. Tapi ia tahan. Ia cium anaknya.
Sekilas ia ingat perkataan Wilis beberapa waktu lalu.
Mali, anakmu sedang mengandung. Tapi demi
Blambangan, demi Hyang Maha Dewa, aku meminta
nyawa menantumu. Dan Mali mengiakan di bawah mata
Carang Kuning sebagai saksi. Setelah itu Wilis juga
memberi tahu bahwa istrinya ada di asrama laskar
Raditya yang pertama. Ia harus melayani seorang
perwira tua yang bernama Tamak. Mali memandang
Wilis dengan penuh kekaguman. Pemuda itu bicara
seperti Dewa. Kemudian Wilis memerintahkannya masuk
ke rumah Aswina dengan diatur oleh seorang telik. Dan
setelah urusannya dengan anaknya beres, ia memberi
tahu telik yang siap menunggu laporannya.
"Katakan aku menunggu perintah lanjutan dari
Pimpinan." "Baik, tunggu saja."
Hari kelima datang seorang kepala regu laskar Wilis.
Orang itu bernama Jalitang. Bersama regunya ia
mendatangi rumah Aswina. "Siapa kalian?" tanya kepala pengawal yang setengah
mengantuk dan mabuk. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami adalah regu lima laskar ketiga," jawab Jalitang.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami akan menggantikan kalian. Sambil terus
menikmati pesta, kalian mendapat giliran istirahat."
Tanpa banyak bicara kepala pengawal itu mengajak
anak buahnya pergi. Dan setelah mempelajari keadaan
Jalitang memberi laporan pada Wilis bahwa penjagaan
sudah di tangannya. Kepada Mali ia minta supaya segera
meninggalkan tempat itu. Anak Mali yang tak mengerti
apa-apa itu pun harus meninggalkan suaminya. Meski
begitu air matanya sempat meleleh. Mali menghiburnya,
"Berbahagialah kau bila anakmu tak sempat melihat
ayahnya. Karena ia juga tak sempat melihat dosa-
dosanya. Bukankah kau tak pernah mencintainya,
Anakku?" Wanita itu diam. Ia tak menyesali nasib suaminya
yang sekarang sedang dicincang oleh laskar Wilis. Ia toh
tak melihatnya sendiri. Yang ia tahu sekarang mengikut
ayahnya. Kemana" Tentu ia tidak tahu.
0oo0 Laskar Raung dibariskan mengepung Lumajang.
Malam itu mereka bergerak terus bagai rombongan
serigala yang mencari mangsa di malam hari. Sedepa
demi sedepa mereka merayap. Lumajang kian
terkepung. Setiap gardu penjagaan di batas kota telah berpindah
ke tangan laskar Wilis dengan tanpa setetes pun
menumpahkan darah. Semua dikerjakan cuma dengan
kata-kata, "Kami menggantikan kalian, dan kalian
diperintahkan istirahat."
Itu semua membuat tidak adanya laporan pada Bagus
Wangke bahwa laskarnya telah terkepung. Dan memang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sejauh itu Wangke belum mengerti keadaan. Kota masih
terlalu sibuk dengan pesta-pora. Semua laskar menjadi
tak terkendali. Ini membuatnya penasaran.
"Drubiksa! Di mana letak kewaspadaan kalian?" Ia
berteriak kepada perwira yang sedang menari di antara
wanita. Sementara itu Wilis bergerak kian maju. Bahkan
sudah memasuki kota. Sardola pun telah menghadapkan
meriam-meriamnya ke perbentengan sebelah barat kota.
Baswi dan Andita bangga melihat kecerdikan Wilis. Ia
sendiri belum pernah memakai siasat seperti ini dalam
berperang. Ternyata Baswi mengerahkan tidak kurang
dari dua ribu laskar Raung. Seratus orang di antaranya
adalah laskar wanita yang dipimpin langsung oleh
Yistyani dan Jenean. Oleh Wilis laskar Raung dibagi dalam beberapa sap.
Seperti gelombang di malam hari. Tenang, tiada sorakan,
namun susul-semusul mereka telah mengepung tiap
asrama laskar Raditya di seluruh bagian kota. Laskar
yang mabuk itu tak sempat melakukan perlawanan yang
berarti. Bahkan dengan tiada disadari oleh Bagus
Wangke istana telah dalam kepungan.
Kepala Dinas Sandi Lumajang terkejut melihat
keanehan di kotanya. Ia segera mengajak anak buahnya
yang tidak mabuk untuk mengadakan pengamatan. Ia
kian merasa keganjilan itu. Maka segera ia melapor pada
Bagus Wangke. "Apa katamu" Laskar lain bergerak?"
"Ya, Yang Mulia," orang itu ketakutan.
"Adipati Agung apa Blambangan?"
"Mu... mu... musuh." Orang itu gugup dibentak-bentak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dari mana?" "Kurang jelas." Perwira itu merasa salah karena
ketidaktelitiannya "Goblookkk!" Wangke marah sambil melompat dari
kursinya. "Pergi pada Pangeran Aswina!" perintahnya
pada perwira itu. Sepeninggal orang itu seorang utusan ia perintahkan
memukul bende, tanda bahaya. Beberapa perwira yang
belum mabuk ia panggil. "Kalian semua telah menjadi gila! Bermabuk-mabukan
semau-mau! Pertahankan kemenangan kita! Musuh telah
masuk kota." Semua orang menjadi sibuk mendengar suara bende
bertalu-talu. Raditya sedang tak sadar waktu Wangke
memasuki biliknya hendak memberikan laporan. Tidur
dengan mulut ternganga. Giginya menonjol keluar. Dari
mulut keluar busa. Bau arak memenuhi seluruh ruangan.
Di sebelah Raditya tergolek seorang perempuan penari.
Wangke membalikkan diri sambil mengumpat.
Kala ia ke pendapa berpapasan dengan seorang
penari cantik yang dikawal oleh beberapa perwira mabuk.
Darah Bagus mendidih. Ia cabut kerisnya, dengan
garang ia menikam wanita itu. Jerit melengking disusul
jatuhnya tubuh wanita itu ke lantai. Darahnya muncrat.
Salah seorang perwira pengawalnya menjadi marah
melihat itu. Sambil menarik pedangnya ia mengumpat,
"Gila!" Dengan terhuyung ia menerjang Wangke dengan
membabatkan pedangnya. Bagus Wangke semakin
marah. Ia menghindar, kemudian dengan tanpa ampun ia
menusukkan kerisnya ke lambung perwiranya sendiri.
"Pergilah ke neraka!!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bau anyir keluar bersama muncratnya darah perwira
itu. Sedang bau tuak keluar bersama muntahan dari
mulut orang itu. Roboh dan mati.
"Siapa lagi?" teriak Wangke. Semua menjauh
ketakutan. Obor segera menyala di setiap sudut kota.
Namun pertempuran tidak imbang telah terjadi di mana-
mana. Antara laskar mabuk dengan laskar Raung yang
segar-bugar. Orang-orang dalam benteng bingung. Mereka dengar
suara bende memerintah siap tempur. Bahkan perintah
menyerang juga sudah dibunyikan. Tapi keadaan terlalu
gelap. Dan kawan-kawan mereka sendiri ada dalam kota.
Tak mungkin mereka menembakkan cetbang.
Belum lagi mereka mendapat keputusan dalam
bertimbang, sebuah dentuman meriam meruntuhkan
sebagian dinding benteng sebelah utara. Disusul oleh
dentuman lain dari selatan dan timur. Hiruk-pikuk terjadi.
Yang mabuk tak mampu menghindar. Mati tertimbun
puing dinding. Yang masih segar terpaksa melarikan diri
melalui pintu sebelah barat. Tembakan meriam mereka
rasakan begitu hebatnya. Bagai sambaran berlaksa
halilintar. Tak memberi kesempatan pada mereka untuk
memasang peluru cetbang. Itu sebabnya mereka
memutuskan melarikan diri. Menyelamatkan jiwa masing-
masing. Semua laskar Raditya akhirnya bingung dalam
kepungan. Gerak mereka menyempit.
Ayam jantan telah berkokok. Bintang-bintang juga
telah memucat. Semua laskar Raditya menjadi kian letih.
Letih berpesta, letih berjaga, letih bertempur. Mereka
tidak bisa bertempur di luar asrama. Karena sebagian
besar sudah terkurung. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Wangke menjadi kalap, kala mendengar
dentuman meriam. Ia tahu bahwa musuhnya bukan
Adipati Agung. Tapi Blambangan. Ia menyesal laskarnya
belum sempat memiliki meriam. Ia belum sempat
mendapatkannya. Karena Lumajang sejak dulu tak
pernah dipersenjatai meriam oleh Blambangan.
Kini terdengar suara dari kejauhan di antara letusan
bedil. "Raditya, kami dari Blambangan. Hanya ada dua
pilihan. Menyerah atau mati!"
Bagus Wangke sadar, istana terkepung. Tapi yang
membuatnya terkejut justru para pengawal istana sendiri.
Mengarahkan laras senjata mereka ke istana. Melalui
corong yang terbuat dari tanduk ia berteriak, "Lawan
mereka!" "Tidak!" jawab kepala pengawal. "Tugas kami adalah menjaga agar kalian tidak kabur! Bukan melawan
pemimpin kami." "Gila! Siapa pemimpin kalian?"
"Pangeran Wilis, putra Blambangan. Tuan telah salah
lihat. Kami telah menggantikan pengawal Tuan sejak
senja. Istana dan Tuan ada dalam kekuasaan kami."
Bibir dan tangan Wangke gemetar menahan marah.
Sementara itu suara Wilis makin jelas.
Bahkan sorakan pun telah terdengar. "Raditya,
menyerahlah!" "Blambangan curang!" teriak Wangke putus asa.
Bersamaan dengan itu kepala pengawal memberikan
aba-aba. Sepuluh orang maju, mengepung Wangke.
Wangke sadar. Tiada guna melawan.
"Aku menyerah...," katanya lemah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian pun seluruh perwiranya. Menyerah tanpa
syarat. Yang lain juga membuang senjata mereka di
halaman istana. Wilis memerintahkan Andita menjemput Adipati
Agung, sekaligus memberi tahu kemenangan itu. Seluruh
kawula Lumajang diperkenankan ke alun-alun untuk
menyaksikan dan berkenalan dengan laskar yang
menang. Setiap penjuru kota dijaga oleh Laskar Raung.
Namun sekarang tiada bentakan atau hardikan. Itu dirasa
sangat berbeda oleh kawula Lumajang. Penjaga-penjaga
baru ini sangat ramah bila hendak memeriksa. Tidak
jalang bila bersua wanita. Perasaan gembira segera
menjalar ke seluruh Lumajang.
Laskar wanita paling mendapat perhatian. Yistyani
memulai berkenalan dengan para wanita yang menonton
di pinggir lapangan. Tentu saja itu disusul oleh seluruh
anak buahnya. Bahkan Jenean dan Yistyani senang
bercakap-cakap dengan para wanita itu sambil
menunggu Wilis keluar. Tiba-tiba Yistyani terkejut. Ada
suara yang memanggilnya. Seperti sudah dikenalnya
suara itu. "Kau dengar itu, Yis?" tanya Jenean.
"Ya... siapa ya" Sepertinya sudah kukenal." Yistyani menajamkan telinganya.
"Kak, Kakak Yistyani." Lagi terdengar dari kerumunan orang. Hati Yistyani tersibak. Ia toleh dan cari sumber
suara itu. Seorang perempuan yang masih sangat muda
menguak gerumbul manusia. "Itu kakakku. Beri aku
jalan!" pinta wanita itu. Setelah dekat, Yistyani berseru kaget,
"Hyang Dewa Ratu! Tantrini, kau Tantrini adikku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanya segera berpelukan. "Kau selamat, Kak?"
Jenean melongo. Dua wanita cantik seperti pinang
dibelah dua. Lama mereka bertangisan. Sendu sekali.
"Anugerah Hyang Maha Dewa! Bagaimana dengan
Bunda?" "Ah... mari cari tempat duduk, aku akan bercerita."
Yistyani menuruti kehendak Tantrini. Sebelumnya ia
mengenalkan Jenean lebih dulu. Tantrini kemudian
menghormat pada Jenean. Dan dibalas ramah oleh
Jenean. Setelahnya mereka duduk di rerumputan yang
baru saja dipangkas oleh orang-orang Raditya. Mereka
bersimpuh. Tantrini menghapus air matanya sebelum
bercerita. "Sepeninggalmu Bunda jatuh sakit. Dan tidak pernah
sembuh. Beliau selalu teringat padamu. Berganti tahun
berganti pula keadaan. Bunda yakin kau tak akan balik.
Beliau mengajakku meninggalkan Semeru dan menuju
ke barat. Kami tinggal di desa Gelingan. Dengan tujuan
meninggalkan kerusuhan. Tapi perhitungan Bunda
meleset. Suatu malam, ketika aku sedang membaca
lontar, terdengar ramai-ramai di luar. Dari celah dinding
aku melihat orang merampok ternak kawula. Oh,.,
kerusuhan terjadi di mana-mana. Bunda juga mengintip.
Aku terkejut kala mengamati Bunda gemetar. Tiba-tiba...
Yah... Dewa Ratu... pintu kami diketuk orang. Aku takut.
Bunda terjatuh dengan tiba-tiba saja. Seketika itu Bunda
pulang ke alam leluhur."
"Dewa Ratu!" Yistyani terpekik. "Bunda tiada?"
Tantrini mengangguk. Tanpa sadar Jenean menitikkan
air mata. Yistyani merah padam. Bibirnya gemetar
menahan marah. Tantrini melanjutkan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku menjerit kala kupeluk Bunda. Kemudian, entah
bagaimana caranya, tiba-tiba beberapa lelaki telah
berada di belakangku. Semuanya bersenjata terhunus.
Terasa tanganku ditarik kasar. Dewa Ratu! Pemimpin
mereka seorang pemuda tinggi besar berkulit coklat
dengan bulu-bulu di tangan dan dadanya. Ia putra
Raditya. Ia terbahak-bahak. Menakutkan. Memuakkan.
Aku menangis. Menutup muka dengan kedua telapak
tanganku. Kala ia berkata-kata kututup telingaku agar
tidak mendengar. "Tiba-tiba saja tangan berbulu itu meraih dan
memondongku. Aku meronta. Jijik dan benci. Hari-hari
selanjutnya aku dikurung dalam istananya. Ia adalah
Swangsa." Tantrini berhenti sebentar. Menyeka air mata
kembali. "Berhari aku menangis di pembaringan. Tapi tangis itu
tidak dapat menolongku. Aku tak mampu menolak
kemauannya. Dan sejak saat itu aku merasa, diriku,
seorang brahmana yang diperhinakan oleh satria.
Berbulan aku mendoa. Berbulan aku dalam aniaya.
Namun Hyang Maha Dewa akhirnya mendengar doa
yang tak putus-putus kupanjatkan itu. Tadi malam
perbentengan sebelah barat kota itu dihujani tembakan
meriam. Mungkin dia tertimbun dinding. Kakak...
sekarang aku ikut kau, ya... jangan tinggalkan aku."
"Tenanglah, Tantrini, jika kau mau, mari, masuklah
dalam barisan kami." Setelahnya Yistyani pun berkisah.
Mereka bertangisan lagi. Namun beberapa saat
kemudian terdengar suara keras Sardola memberikan
aba-aba. Mereka berdiri dan masuk dalam barisan.
Tantrini melirik perut kakaknya. Berbadan dua.
Jenean diperintahkan mewakili Yistyani di depan.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa itu?" Tantrini bertanya kala Wilis naik mimbar.
"Pemimpin kami."
"Masih muda, ya?"
"Ya. Cakap lagi seperti Hyang Kamajaya." Tantrini
mengangguk. Mereka melihat Wilis dalam busana
kepangeranannya. Lengkap dengan kalung binggal,
pending, semua berkilau ditimpa mentari.
"Dirgahayu," suara Wilis keras.
"Dirgahayu," saut semua orang.
"Dirgahayu, seluruh kawula Lumajang!!"
Sekarang jawaban lebih gemuruh dari yang tadi.
"Terima kasih!" Wilis melirik Baswi sekilas. Orang itu mengangguk sebagai isyarat agar Wilis meneruskan.
"Aku Wilis, putra Blambangan. Datang untuk
membebaskan Lumajang dari para drubiksa. Raditya
telah ingkar dari Blambangan dan leluhur dan Hyang
Maha Dewa. Ia telah memeras dan merampasi kawula.
Ia telah merajakan diri sendiri. Karena itu akan aku jatuhi
hukuman." Wilis berhenti memberi isyarat agar Raditya
dihadapkan. Tepuk tangan gemuruh. Wilis tersenyum
sebagai imbalan dari sambutan kawula itu.
Beberapa saat, Raditya, Bagus Wangke, dan enam
saudaranya digiring dihadapkan pada kawula Lumajang.
Semuanya dengan tangan terikat di depan. Lebih dari
dua puluh lima perwira juga digiring di belakang mereka.
Itu membuat suasana menjadi gaduh. Terpaksa laskar
Raung memperketat penjagaan. Karena ribuan orang
mendesak maju. Ingin membalas dendam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Diam!!" Sardola berteriak keras. Orang-orang itu
seperti siput mendengar langkah manusia. Namun wajah
Wilis yang ceria membuat mereka tidak ketakutan.
"Selain mereka masih banyak yang ditahan di asrama-
asrama," Wilis berkata lagi. "Tapi kami akan mengadili mereka. Sekalipun aku akan menyerahkan kembali
Lumajang pada Adipati Agung, tapi hukuman terhadap
mereka akan tetap di tangan kami. Sebab mereka telah
melakukan pembangkangan terhadap Blambangan."
Raditya dan orang-orangnya tertunduk. Mereka
dimasukkan kembali. Orang-orang belum puas.
Berteriak-teriak. Tapi Wilis tidak menjawab. Memandang
mereka dengan mata tajam. Kemudian lanjutnya,
"Kembalilah ke rumah masing-masing. Kami ingin
istirahat. Ingat, jangan mencoba berbuat tidak baik pada
kami. Jangan mencoba mengada-adakan persoalan.
Karena kami ingin selalu berbuat baik pada siapa pun.
Aku memperingatkan, sementara ini kami adalah
penguasa di Blambangan."
Wilis turun dan terus masuk. Semua perintahnya
harus jadi. Pembangkangan akan berarti hukuman.
Tengah hari kawula Lumajang dikejutkan lagi oleh
masuknya laskar Adipati Agung. Mereka bersenjata
lengkap. Tapi pengawal dari Raung tak mengusik
mereka. Bahkan semua perwira Raung dibariskan di
alun-alun. Termasuk Yistyani dan Jenean.
Namun Sita Pati dan rombongan menjadi terkejut
melihat Wilis dalam pakaian lengkap sebagai pangeran.
Andita pun tak kurang terkejutnya. Karena itu mereka
berdua segera menjatuhkan diri menyembah di kaki
Wilis. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sembah untuk Yang Mulia Wong Agung Wilis," Andita mendahului. Wilis meminta mereka segera berdiri.
Kemudian ia pandangi semua perwira di barisan Sita Pati. Nir Wulung ikut dalam barisan mereka. Demikian juga sederetan wanita istri-istri Sita Pati. Tidak ketinggalan Satiari di dalamnya. Tapi mata Wilis memperhatikan seorang perwira muda yang duduknya agak istimewa. Perawakannya sama dengannya, rambutnya juga berombak, hidungnya cukup mancung, kulitnya juga kuning seperti dia. Matanya bersinar dan mukanya merah karena tertimpa mentari. Di sudut kelopak matanya mulai dihiasi sungut siput. Menandakan usianya lebih tua dari Wilis. Dan yang agak mengecewakan ia kurang berani beradu pandang. Wilis beranggapan, tentunya perwira muda ini kurang berani menghadapi pertempuran yang benar-benar menuntut nyawanya.
"Inilah hamba yang menunggu titah Yang Mulia," Sita Pati bersuara pula.
"Istana dan Lumajang kukembalikan. Segera persiapkan sidang untuk mengadili Raditya. Istirahatkan laskarmu. Suruh mereka kembali ke barak-barak semula!"
Setelah mengiakan dan membubarkan pasukannya, Sita Pati diperkenankan mengadakan pemeriksaan atas istana dan seluruh isinya. Kepada putri-putri dipersilakan masuk tamansari.
"Termasuk hamba, Yang Mulia?" Satiari memberanikan diri.
"Ya." Wilis tersenyum.
Selesai pemeriksaan maka Sita Pati dibantu Baswi mempersiapkan persidangan. Yang mula-mula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dihadapkan adalah Raditya. Sita Pati menggertakkan
gigi. Tapi ia tak punya kuasa. Baswi menyampaikan
tuduhan pada Raditya. Selanjutnya menyerahkannya
pada Wilis. "Atas nama Blambangan yang suci, kuputuskan
semua pengkhianat mati di atas tiang gantungan!"
"Ampun, Yang Mulia!" teriak Raditya.
"Pengkhianatan tak pernah terampunkan," Wilis
menegaskan. "Hyang Bathara, jagat Pramudita!" Nir Wulung
menyebut. Seolah dirinya sendiri yang terhukum. Namun
perintah Wilis telah dijatuhkan agar Sardola segera
melaksanakan hukuman itu. Dengan begitu semua anak-
anak Raditya, juga Bagus Wangke serta seluruh
perwiranya harus menjalani hukuman mati.
Keesokan harinya diadakan serah terima kekuasaan.
Adipati Agung kembali duduk di atas singgasananya. Di
kiri singgasana itu duduk Wunga Sari yang bertindak
sebagai paramesywari, sedang di sebelah kanan api
kehidupan duduk Ayu Sulih.
Di pihak lain duduk Wilis, bersama Andita, Sardola,
dan Baswi serta Yistyani dan Jenean. Nir Wulung
melakukan upacara sebagaimana yang dilakukan
pandita istana pada umumnya.
"Atas anugerah Hyang Ciwa, Blambangan telah
menurunkan putranya, Wong AgUng Wilis untuk
menumpas Raditya." Kemudian masih banyak lagi yang
diucapkan Nir Wulung. Setelah itu Sita Pati
mengucapkan terima kasihnya pada Wilis serta seluruh
bala tentaranya. Wilis cuma tersenyum mendengar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perhatiannya, pandangannya, tidak kepada Sita Pati.
Tapi ke Ayu Sulih. "Melamun?" Andita berbisik. Ia tahu apa yang dipikir Wilis. Sebagai jawabnya cuma senyuman.
"Ah... seperti bidadari," ujar Wilis.
Baswi menoleh juga padanya. Namun terdengar lagi
Sita Pati bicara. "Jabatan ratu anggabaya dulu di tangan Raditya,
sekarang aku serahkan pada Lingsang Ireng." Dan
kemudian orang yang disebut namanya itu dipersilakan
maju untuk diwisuda. Bagi Andita maupun Baswi tidak
ada kesan tentang pemuda itu. Tapi Wilis cukup terkejut.
Pemuda yang dia amati tadi. Ternyata inilah yang
bernama Lingsang Ireng" Apalagi waktu Lingsang
menerima keris sebagai tanda jabatan. "Kau banteng
Lumajang! Kau satria."
Dewa Bathara! Wilis menyebut dalam hati. Banteng
tak mampu membebaskan negerinya dari tangan
Raditya" Satria" Memangnya selama ini ia bukan satria"
Lingsang menyembah. Wajahnya cerah.
Pengabdiannya selama ini mendapat imbalan. Nir
Wulung menetesinya dengan air suci. Jabatan ratu
anggabaya tentu memberinya harapan lebih besar.
Semua mata tertuju padanya dengan pikiran masing-
masing. Malam harinya diadakan acara hiburan untuk seluruh
kawula di alun-alun. Sedang untuk pejabat negeri di
istana. Penjagaan tetap diperketat oleh laskar Raung.
Wilis berpendapat pada kesempatan seperti itu justru
sering digunakan oleh penjahat untuk mencuri dan
merampok. Dan malam itu Wilis mengatakan pada Sita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pati, bahwa ia akan segera meninggalkan Lumajang. Sita
Pati menyatakan keberatannya. Dan meminta agar Wilis
dengan pasukannya tinggal dan sementara melindungi
Lumajang. "Maafkan aku, Paman. Laskar pendudukan akan
menimbulkan ketakutan di mana-mana. Lagi pula kawula
Lumajang tidak akan mampu menanggungkan beban
mereka. Mereka baru sembuh dari lukanya. Tak mungkin
membiayai laskarku."
"Kami membutuhkan meriam." Lingsang ikut bicara.
Wilis menoleh pada Andita. Maka Andita menjawab,
"Lumajang di bawah perlindungan Blambangan.
Lumajang tak memerlukan meriam."
"Tanpa laskar yang kuat sebuah kadipaten adalah
makanan empuk bagi para perompak."
"Untuk memotong ayam tak diperlukan pedang,"
Baswi yang menjawab. Wilis dan Andita tertawa
mendengar jawaban itu. Sita Pati kemudian mengusulkan sebuah perundingan
yang matang untuk membahas persoalan ini. Wilis
menyetujui, tapi ia menunjuk Baswi untuk mewakilinya.
Sedang ia sendiri ingin istirahat. Maka Sita Pati segera
menyuruh Ayu Sulih mendampinginya. Sebagai putri
mahkota ia harus belajar. Belajar mengurusi segala.
Termasuk tamu agung. Tapi saat ini ia bertugas khusus
untuk melemahkan Wilis. Jika tidak meninggalkan
pasukan setidaknya Wilis supaya meninggalkan
sebagian dari meriamnya. Namun ia tahu bahwa Wilis
bukan orang pandir. Karenanya ia merasa kecil.
Sekalipun di sebelah kanan Wilis duduk Lingsang Ireng
yang sengaja dipasang untuk menemaninya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang penari mempersembahkan kebolehannya di
hadapan Wilis. Cantik. Lemah gemulai. Gerakannya
indah. Namun perhatian Wilis tidak pada penari itu.
Perhatiannya menyeberang ke tempat duduk Yistyani
dan perwira-perwira Raung lainnya. Ia tahu persis mata
Yistyani sering mencuri pandang padanya. Bahkan juga
sering mata mereka beradu. Itu membuat pikiran Wilis
bertarung. Antara Yistyani dan wanita yang sedang
duduk di sebelahnya. Kembang kota Lumajang.
"Adakah Kakang tak berniat memberi harapan?" Ayu
Sulih mengusik. "Apa artinya?" Wilis tersenyum.
"Kenapa senyum?" Sulih tidak enak. Namun Wilis tak menjawab. Malah memperhatikan penari berikutnya.
Sulih terpaksa mengikuti pandang Wilis.
"Cantik," pujinya.
"Tapi kau lebih cantik!" tiba-tiba Wilis nyeletuk lirih.
Hampir tak terdengar. Pendengaran Lingsang tak dapat
menangkap suara itu karena riuhnya suara tabuhan.
Sementara itu Sulih merona. Ia juga ingin memuji
ketampanan Wilis. Bukan cuma itu. Tapi juga
kepandaiannya, dan segalanya. Sulih berjuang menindas
gejolak hatinya. "Kakang, kami memerlukan kekuatanmu. Setidaknya
tinggalkanlah sebagian meriammu," Sulih berusaha. Wilis
berdebar. Ia tahu ini akal Sita Pati.
"Kau mampu menundukkan musuhmu tanpa meriam."
Ia tertawa lirih. Lingsang menoleh. Ikut tertawa walau ia
tak tahu apa yang sedang ditertawakan. Gamelan tetap
riuh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak mungkin suatu negeri dipertahankan dengan tanpa kekuatan."
"Karena kau aku menghancurkan Raditya."
Sulih mengerti arti kata-kata itu. Ia tersentak. Menoleh pada Wilis. Kini berhadapan, mata dengan mata. Mata biru dan hitam. Sama-sama bersinar.
"Benarkah itu, Kakang" Bukankah kau datang bersama laskarmu sebelum kenal Sulih?"
"Aku datang cuma dengan seratus orang. Dan hanya karena kenal denganmu maka aku mendatangkan dua ribu orang untuk menumpas Raditya. Aku tak ingin kau jatuh ke tangan Raditya."
"Hyang Dewa Ratu."
"Aku tahu, laskarmu, laskar Sita Pati tak akan mampu melawan Raditya. Juga mempertahankanmu. Raditya mungkin saja mau berdamai dengan Paman Sita Pati seperti pikiran Resi Nir Wulung. Tapi ia ingin tahta Lumajang. Dan karena itu putri mahkota harus dikawinkan dengannya. Itu sarat yang pasti diajukannya untuk menerima tawaran damai. Mampu kau menolak?"
Sulih merasa betapa benarnya kata-kata Wilis.
Mungkin saja tanpa Wilis ia menjadi istri Raditya. Tak seorang pun mampu mempertahankannya. Sita Pati tidak. Lingsang Ireng pun pasti tidak. Namun sayang, kedatangan Wilis terlambat. Terlambat. Walau ia mengakui bahwa hatinya memang jatuh ke tangan Wilis.
Namun ia telah berjanji, untuk mendampingi Lingsang kelak kemudian hari. Dan itu sudah direstui oleh Sita Pati. Ah... mungkinkah ia berterus terang pada Wilis"
Tapi ia takut. Wilis mempunyai modal, kekuatan, dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekuasaan. Jika ia takut, maka berarti ia melakukan dosa
besar. Ingkar terhadap janjinya.
"Kakang bersungguh-sungguh?" Ia pandang Wilis.
"Demi Hyang Maha Dewa. Kau rembulan di hatiku.
Kaulah segala harapanku."
"Hyang Dewa Ratu!" Tanpa sadar Sulih memegang
tangan Wilis. Gemetar tangannya.
"Kakang...," bisiknya, "perasaan kita sama. Tapi..."
"Kenapa tetapi?"
"Tapi, itu tak mungkin terlaksana." Sulih meremas
telapak tangan Wilis. Kemudian menarik napas panjang
sebentar. Hatinya berdebar. "Aku akan tetap menjadi
putra pamanmu. Tetap! Menjadi adikmu. Tak mungkin
menjadi istrimu. Sebab aku sudah berjanji pada seorang
pemuda yang tidak kecil pengabdiannya buat Lumajang.
Kakang... aku akan menjadi istri Lingsang____"
"Dewa Bathara!" Suara Wilis agak keras. Menunjukkan
betapa keras hatinya terguncang. Dan itu terdengar oleh
Andita di kiri Sulih serta Lingsang Ireng di kanan Wilis.
Sulih pucat. Gelisah. "Dewa Bathara!" Lagi Wilis menyebut lirih. Kemudian
menghembuskan napas panjang.
"Ampunkan aku, Kakang," pinta Sulih.
Tapi Wilis tak mendengar itu. Ia tak mampu berb
incang. Pikirannya kacau.
"Kakang menyesal" Pengorbananmu tidak sia-sia.
Untuk pamanmu, adikmu, dan seluruh kawula
Lumajang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masih saja Wilis tak menjawab. Ia tak memerlukan khotbah. Tak memerlukan nasihat Sulih. Tangannya mengepal-ngepal. Ingin meremas kepala Lingsang Ireng.
Dadanya membara. Kepalanya makin berdenyut-denyut.
Napasnya memburu. Tiada tertahankan, ia berdiri. .
Sulih tersentak. Ia pegang erat tangan Wilis.
"Ke mana, Kakang?"
Membisu. Ia lempar tangan Sulih. Kasar. Dan pergi.
"Kakang..." Suara Sulih tak tertahan. Andita terkejut. Ia melihat gelagat Wilis sedang marah. Dikejarnya Wilis dengan hati-hati agar tidak terlihat oleh yang sedang berpesta.
"Ada apa?", Lingsang bertanya. Gadis itu tak menjawab. Tangisnya berderai. Kemudian menguak para dayang, berlari masuk taman. Ia bantingkan dirinya di pembaringan.
"Oh... Dewa Ratu, Dewa Ratu...." Penyesalan tertimbun dalam hatinya. "Kakang... kenapa tiada maaf?"
Sementara itu Wilis berlalu sambil melambaikan tangan pada Baswi. Namun Baswi tak
memperhatikannya. Sebab perhatiannya sedang tertuju pada Sita Pati. Jengkel sekali hati Wilis. Kemudian berlari ke.kegelapan. Bergesa meninggalkan keramaian menuju ke penginapannya. Cepat mengambil barang-barangnya dan menuju ke tempat kudanya. Kuda itu meringkik menyambut tuannya.
Andita bingung. Wilis bergerak sangat cepat. Ia cari kepenginapan, ke kandang kuda, ke tempat di mana biasa menyendiri. Tiada. Anak muda itu sudah kabur.
Segera ia mengambil keputusan untuk bertanya pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayu Sulih. Di istana Lingsang Ireng langsung bertanya
padanya, "Ada apa dengan Pangeran?"


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanya Tuan Putri saja."
"Beliau sudah masuk taman."
"Kalau begitu aku menghadap Adipati."
Ratu anggabaya mengiringinya. Sita Pati kaget.
Perundingannya dengan Baswi belum mendapat
kesepakatan, Wilis sudah tiada. Maka, "Panggil Sulih!"
Seorang utusan segera berlari. Para dayang dan ibu
Sulih mengiringi Sulih yang masih menangis itu
menghadap ayahnya. "Apa yang sudah terjadi?"
"Ampunkan hamba, Rama. Hamba tak mampu
melaksanakan tugas itu," Sulih menyembah sambil
masih terus menangis. "Aku tak marah, Putriku. Ceritakan apa yang terjadi
dengan Pangeran! Jangan takut!"
Dengan terisak Sulih menceritakan semuanya. Andita
mengeluh mendengar itu. Sita Pati berdebar. Pikirannya
segera menebak-nebak, apa yang sedang diperbuat
Wilis" Mungkin ia sedang menyiapkan pasukannya di
barak-barak untuk memusnahkan Lumajang.
"Kita cari!" katanya tiba-tiba. "Malam ini juga Sulih harus minta maaf. Lingsang, relakan kekasihmu demi
Lumajang. Ingat andai tanpa dia mungkin kita menjadi
tawanan Raditya. Dan Sulih mungkin saja akan menjadi
milik Raditya. Nah, relakan."
"Hamba, Yang Mulia." Pemuda itu menyembah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Demi Lumajang, Sulih, seharusnya kau tak menolak.
Nah, kita cari dia! Lewat belakang agar tak bikin onar."
Keempat orang itu berkuda. Mencari Pangeran. Pada
kesempatan itu Lingsang mendekatkan kudanya pada
Sulih. "Maafkan aku...," Sulih mendahului. "Perjodohan adalah ketentuan Hyang Ciwa sendiri."
"Kau tak mencintaiku?"
"Tuan putri adalah permata di hati____"
"Hyang Dewa Ratu."
Tiap asrama mereka masuki. Tiap kepala pengawal
mereka tanyai. Jawab yang mereka peroleh di mana-
mana sama. Tidak tahu. Keringat dingin mulai mengucur
dari tiap lubang halus di seluruh tubuh Sita Pati. Ia takut
Wilis pulang ke Blambangan, dan menggunakan
kekuasaannya. Sepenuh-penuhnya sebagai satria
seperti Mangkuningrat. Andita tak kurang gelisahnya.
"Belum pernah pangeran semarah ini...," keluhnya.
"Ampunkan hamba, Ayahanda...." Kembali Sulih
menangis. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi, Sulih." Adipati lemas. Mereka pulang ke istana. Keramaian sudah
bubar. Baswi segera diberi tahu di penginapannya.
"Hal ini tak membahayakan Lumajang," Baswi
menyimpulkan. "Tuan lupa bahwa ia masih terlalu muda" Mungkin
akan menggunakan laskar Blambangan untuk
menghancurkan Lumajang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuka Raung segera bersidang malam itu juga.
Sebagian besar mengkhawatirkan kemarahan Wilis itu
akan berkembang menjadi dendam. Bagaimanapun Wilis
tetap seorang satria. Dan semuanya sadar bahwa dia
adalah calon patih amangkubhumi yang akan memimpin
jalannya pemerintahan di Blambangan.
"Hamba menganggap ini siasat Pangeran," Baswi
tetap pada pendiriannya. "Karena Pangeran tak ingin
meriam kita ditinggal satu pun di sini. Sedang untuk
menolak kita sukar memberikan alasan. Dan pangeran
mendapatkan alasan itu dengan mempertautkannya
pada masalah pribadi. Percayalah. Hamba akan
menyusul Pangeran." "Jika begitu," Yistyani memberikan usul, "kita harus sejalan dengan pikiran Pangeran. Sementara orang-orang Lumajang terlena dalam keletihannya, kita
menyusul Pangeran diam-diam. Seperti halnya kita
datang ke sini dengan diam-diam."
Andita tidak bisa berbuat banyak untuk membela
kepentingan Lumajang. Istrinya tidak mau tinggal di
Lumajang. Memilih hidup di Raung. Maka ia juga
menurut. Baswi segera memerintahkan Sardola untuk
menarik seluruh laskar Raung dari Lumajang.
Sebagaimana mereka datang seperti pencuri, kini
mereka meninggalkan Lumajang juga dengan diam-diam.
Malam itu Lumajang segera menjadi sunyi.
0oo0 Laporan telik laskar laut Blambangan tentang
kemenangan Raditya menggegerkan pratanda
Blambangan. Apalagi setelah dilaporkan bahwa Raditya
mengeluarkan pernyataan resmi tidak mengakui
bergabung di bawah kerajaan Blambangan. Semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menteri dan semua perwira darat dan laut yang
berkedudukan penting segera dipanggil untuk bersidang.
Dengan hati berat Umbul Songo terpaksa membebaskan
Teposono untuk juga ikut menghadiri persidangan.
"Ini penghinaan!" Mangkuningrat marah. "Jelas
pemberontakan. Yang Mulia Umbul Songo dan Arya
Bendung, mereka harus dihukum."
"Kita bisa mengerahkan laskar?"
"Aku akan bertanggung jawab ke bawah duli Sri Maha
Prabu Cokorda Dewa Agung Mengwi. Ini adalah
rongrongan terhadap kewibawaan Blambangan."
Umbul Songo menjatuhkan perintah untuk
menghancurlumatkan Raditya. Ia secara pribadi
tersinggung atas tindakan Raditya itu. Juga Arya
Bendung menyetujui tindakan itu. Maka diperintahkan
Haryo Dento memimpin laskar laut untuk menggempur
Lumajang dari pantai. Sedang laskar darat dipimpin'
Parandana dan Teposono. Tiga hari setelah keberangkatan itu Umbul Songo
sudah menerima laporan tentang jalannya pertempuran.
Namun hari berikutnya telik yang ia kirimkan memberikan
laporan bahwa seorang bernama Wong Agung Wilis
telah menjatuhkan Raditya atas nama Blambangan.
Bahkan pemuda itu telah menjatuhkan hukuman mati
atas Raditya dengan seluruh perwiranya.
"Dewa Bathara! Siapa orang muda itu?"
Mangkuningrat heran. Umbul Songo berdebar.
"Ia mengenakan pakaian kebesaran seorang
pangeran Blambangan," kata pelapor itu.
"Mungkin beliau Pangeran Mas Sirna," Singamaya
berteriak girang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Tuwi menyangkal. Orang yang lenyap begitu
lama tak mungkin punya kemampuan hidup. Apalagi
memiliki laskar. "Kalau hamba tak salah dengar, waktu hamba di
penjara dulu, Pangeran pergi bersama Adipati Agung."
Umbul Songo memperoleh jalan untuk menerangkan.
"Mereka menyongsong laskar Gajah Binarong. Apa yang
mustahil bila sekarang ini beliau kembali jadi pemuda
perkasa dan memimpin laskar yang kuat?"
"Ya____" Singamaya mendukung. "Aku ingat betul
beliau pergi bersama Adipati Agung."
"Jemput dia! Hentikan gerakan laskar kita!"
Mangkuningrat memerintah segera.
"Hamba akan jemput beliau," Umbul Songo
menyanggupkan diri. "Bawalah dia, Yang Mulia! Jika ia adikku, ia harus
tinggal di Blambangan. Jika bukan maka harus dipenggal
kepalanya karena berani menggunakan nama
Blambangan." "Hamba, Sri Prabu."
Umbul Songo membawa sebagian laskar berkuda.
Namun ia tidak langsung ke Lumajang. Dengan segera ia
berbelok ke Raung. Ia tahu bahwa gerakan Wilis adalah
gerakan Raung. Terik mentari membakar bumi. Kulit bumi menjadi
kerak. Angin bertiup kencang membawa debu. Di saat
begitu orang pegunungan sibuk menabung air. Tabung-
tabung bambu disediakan di setiap rumah penduduk
Raung. Setetes air seperti intan.
Sawah-sawah kering tanpa air. Rerumputan untuk
makanan kerbau dan kambing harus dicari jauh. Jauh ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam hutan. Kembang pun layu. Dedaunan rontok. Jika
malam datang hawa menjadi amat dingin, menusuk
tulang. Embun pagi jatuh bagai titik-titik es.
Namun semua itu tak menjadi perhatian Wilis. Begitu
tiba di Raung ia terus mendekam dalam bilik. Resi
menduga Wilis sangat letih. Maka tak perlu didekati.
Cuma yang menjadi pertanyaan dalam hatinya, kenapa
Wilis pulang sendiri" Mukanya muram tanpa senyum"
Padahal kabar kemenangannya sudah menjadi buah
bibir kawula Raung. Lebih heran lagi kala seorang pengintai datang
melapor ada pasukan berkuda naik, Wilis menjawab,
"Biarkan!" Resi gelisah. Ia merasa ada yang tak beres dalam hati Wilis.
Umbul Songo tak perlu menoleh orang-orang di
belakangnya yang bermandi keringat dan debu. Ia hanya
memperhatikan jalan yang kian mendaki. Dan terus
mendaki. Cuma tiupan angin yang menyambutnya.
Perkubuan sepi kendati hari siang. Untuk menghindari
kesalahpahaman, ia memerintahkan pasukannya
berhenti di depan gerbang. Tapi Andita maupun Baswi
tidak keluar menyambutnya. Hatinya berdesir. Mereka
masih di Lumajang. Ah, jangan-jangan berhadapan
dengan laskar Blambangan. Sendiri ia naik ke pertapaan.
Sampai di depan pendapa Resi Wuni Pati
menyambutnya dengan ramah.
"Dirgahayu, Yang Mulia."
"Maafkan kami, Yang Suci. Kami ingin segera bertemu
dengan Pangeran." "Baik, mari silakan duduk di pendapa ini, Yang Mulia."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Resi Wuni Pati menyampaikan keinginan Umbul
Songo pada Pangeran Wilis. Dan Wilis tidak keluar dari
bilik. Ia menjawab bahwa Umbul Songo disuruh
menunggu lebih dulu. Ia akan ke pura lebih dulu untuk
bersemadi. Dan Umbul Songo harus menuruti kehendak
Pangeran. Karena itu Resi minta supaya laskar Umbul
Songo diperintahkan istirahat dulu.
Wilis merasa terusik dengan hadirnya Umbul Songo.
Pikirannya masih kacau. Tapi ia tahu itu tak mungkin ia
turuti terus. Maka ia perlu semadi untuk menjernihkan
kembali hatinya. Lunglai ia berjalan ke pura dengan
muka tertunduk. Semangatnya punah direnggut dara
jelita Ayu Sulih. Kenapa Sulih menolak aku" Apa
Lingsang lebih tampan" Tidak! Ia sudah bercermin kala
masuk bilik. Aku lebih muda. Lebih pintar. Dan... Ah,
mungkin saja ia satria baru. Sita Pati mensatriakan
Lingsang, hanya untuk diambil menantu. Apa jasa dia
dibanding aku" Keparat!!! Satiari tak pernah mencintaiku.
Ia cuma mengagumi aku. Bah, tak perlu kuingat lagi.
Lalu pengamatannya tertuju pada Umbul Songo. Pasti
orang itu menjemputnya. Mangkuningrat sudah
menerima laporan tentang dirinya di Lumajang. Pasti.
Siapkah aku membenahi Blambangan" Ah, menyesal
aku, karena Satiari aku menumpas Raditya, dan kini aku
menghadapi pekerjaan lebih besar di Blambangan.
Kesalahan harus kubayar dengan mahal sekali! Aku
harus, ya harus kembali ke Blambangan, walau dalam
anganku masih terus bergunjing: bunga dan bumi.
Di depan pura seseorang menyapanya, "Pimpinan."
"Mandrawa" Kau di sini"
"Ya, kapan datang.?"
"Tadi pagi. Parwaka juga di sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba Pimpinan. Ingin bersemadi bersama Kakang
Mandrawa. Sebab Hamba sudah lama sukar bersemadi.
Banyak gangguan." Wilis memaksakan diri tersenyum pada keduanya.
Namun dalam keremangan senja itu Mandrawa
menangkap kemuraman Wilis. Ia menjadi takut. Sama-
sama belajar di Raung dan pada Resi Wuni Pati, tapi ia
tak pernah belajar berperang.
"Suara sorakan," Parwaka berdesis. "Laskar
Blambangan?" "Umbul Songo tidak setolol itu. Andita dan kawan-
kawan tiba. Parwaka, siapkan penyambutan atas
mereka!" Wilis memerintah. Dan Parwaka tidak jadi
bersemadi. Setelah Parwaka pergi Wilis mengajak Man-drawa
duduk di serambi pura. Bagi Wilis Mandrawa punya
kesan sendiri, sekalipun wajahnya yang tidak cakap
membuat dia dijauhi oleh beberapa gadis. Badannya
kekar agak hitam, rambutnya lurus kaku. Matanya agak
lebar dan bulat, giginya besar-besar, menonjol keluar.
Bertentangan dengan hidungnya yang pesek.
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Mandrawa,
jawablah dengan seluruh kejujuran yang kau miliki. Mau
kau?" "Senang sekali, Pimpinan."
"Apakah terlintas dalam anganmu, untuk kemudian
hari kau mengambil istri" Jangan tersinggung,
Mandrawa." Mandrawa menoleh karena kejutnya.
"Kenapa kau kaget" Salahkah pertanyaanku" Atau
mungkin tidak pada tempatnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah hamba masih belajar?"
"Apakah dalam belajar dilarang bercinta?"
Mandrawa diam. "Kau ragu terhadap dirimu sendiri, Mandrawa.
Kebanyakan brahmana bersikap begitu. Padahal ia
memiliki pengetahuan sebagai sesuatu hal yang tertinggi.
Tapi ia tak pernah mantap dengan diri sendiri."


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebab pengetahuan itu seluas semesta alam.
Sedang hamba tak lebih dari debu dari apa yang
dinamakan kehidupan."
"Lalu dengan apa kita bisa menyimpulkan sesuatu"
Kapan" Menunggu kalau kita telah menguasai seluruh
pengetahuan yang tanpa batas itu?"
"Ampun, Pimpinan. Hamba kalah dalam hal ini."
Mandrawa menarik napas panjang sebentar. Beberapa
saat ia berkata lagi, "Setiap lelaki membutuhkan wanita dalam hidupnya.
Sebagai teman dan pertimbangan dalam hidup."
"Apakah lelaki tak bisa hidup tanpa wanita?"
"Lelaki dilahirkan, disusui oleh wanita. Ia dipuaskan.
Ia punya anak juga dari wanita. Wanita adalah kesuburan
di bumi. Ia juga mahligai, juga intan. Wanita adalah
segala-gala." "Jagat Bathara!" Wilis menyebut. Setelannya untuk
beberapa bentar mereka tidak berkata-kata. Sampai
Mandrawa menyambung lagi, "Ia juga mampu
menghancurkan semangat seorang satria. Dan barang
siapa kehilangan semangatnya maka sebenarnya ia
sudah tiada arti lagi bagi hidupnya. Dan jika seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima telah terbunuh semangatnya itu sama dengan
terbunuhnya seluruh laskar yang dipimpinnya."
"Jagat Pramudita!" Wilis tersadar dari keadaannya.
Mandrawa seperti mengetahui isi hatinya.
"Apakah kau pernah bercinta?"
"Pasti tidak banyak orang tahu. Sebab setiap gadis
yang bersilang pandang pasti menjauh dari hamba. Tapi
hamba mendapat kedamaian dengan keadaan itu."
"Kau tahu itu" Sadar akan keadaan itu?"
"Hamba diharuskan bersahabat dengan wajah yang
jelek ini. Maka juga harus berdamai dengan keadaan.
Walau banyak orang berkata bahwa wajah
menggambarkan tabiat seseorang, tak apa. Mereka lupa
di Lateng para satria, para putri seperti deretan dewa-
dewi, tapi apakah tabiat mereka sebaik wajah yang
mereka miliki?" "Aku juga satria, Mandrawa. Apakah aku sama seperti
mereka?" "Hamba tidak tahu. Tapi yang jelas, segala yang di
seputar kita amat berpengaruh untuk membentuk watak
kita." "Dengan kata lain, bila sejak kecil aku di istana, maka
aku akan sama dengan Mangkuningrat?"
"Hamba tak berani memastikan. Sangat tergantung
pada kemauan dan cita-cita pribadi masing-masing."
Kini Wilis mengerutkan dahi. Ia membiarkan suasana
menjadi hening beberapa jenak. Ia memperhatikan
geseran bintang-bintang yang mulai muncul satu-dua.
"Seperti ada yang menyelubungi hati Pangeran,"
Mandrawa memberanikan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," kata Wilis terus terang. Dan tanpa diminta oleh Mandrawa ia juga menceritakan kejadian yang
dialaminya dengan terus terang pula.
"Apakah aku salah, Mandrawa?" Muka Wilis kembali
berawan. "Pimpinan tidak salah. Satiari pun tidak," Mandrawa
mengeluarkan pendapatnya. "Sama-sama berhak." Diam
sebentar. "Seorang berpengetahuan tinggi harus menerima
kenyataan sebagai kehidupan. Membantah kenyataan
sama dengan memperkosa kebenaran. Cinta tak boleh
dipandang dari segi timbal-balik. Cinta adalah hak yang
paling hakiki, nurani yang terdalam dan harus dihargai.
Karena itu ia harus direlakan menjadi milik Lingsang.
Karena memang ia telah menentukan pilihan yang
menjadi hak hakikinya."
"Dengan membiarkan derita mengindap dalam dada?"
"Yang mencintai diri sendiri memang akan
menganggapnya sebagai aniaya. Karena ia ingin setiap
orang mengiakan kemauannya. Bagi Pimpinan sebaiknya
menerima yang baru. Memikirkan soal-soal baru. Dan
menerima Yang Mulia Umbul Songo yang mungkin saja
dalam keadaan sulit."
"Mandrawa, aku ditolak oleh seorang anak bupati?"
"Apa bedanya dengan Pimpinan" Ia juga ciptaan
Hyang,Maha Dewa. lila tak menerima ini berarti Pimpinan
ingkar dari pengetahuan yang selama ini kita pelajari
bersama." "Jagat Bathara! Mandrawa, kau benar. Terima kasih."
Wilis mengusap mukanya. Seolah mengusap noda yang
menempel di muka itu. Kemudian ia masuk pura
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama Mandrawa. Dalam hati bertekad akan segera
menjumpai Umbul Songo. Sementara itu Baswi memacu kudanya mendahului
laskarnya. Hatinya tak sabar lagi. Setiap kali kudanya
mengendurkan langkah maka ia menyentuhkan tumitnya
ke perut kuda itu. Sehingga kuda itu melompat lagi
seperti terbang. Sedah Lati, Resi, dan Parwaka menyambutnya di
pertapaan. Turun dari punggung kuda segera ia
menanyakan apa Pangeran sudah tiba. Dijawab oleh
Resi Wuni Pati bahwa Wilis sudah bersemadi di pura.
Baswi lega. "Selamat datang, Kanda." Sedah Lati langsung
menggandeng tangan suaminya. "Paman Umbul Songo
juga datang. Beliau menunggu di pesanggrahan."
"Ya" Tentunya ada sesuatu yang penting."
"Ingin berunding dengan Pangeran. Tapi beliau masih
di pura." "Mana Andita?" Resi juga bertanya.
"Baru tiba besok sore. Laskar berkuda yang sudah
terdengar sorakannya itu."
Kala Baswi menjumpai Umbul Songo di pa-
sanggrahan, Wilis juga sudah selesai bersemadi. Dan
segera Baswi merangkul Pangeran. "Dirgahayu,
Pangeran." * "Dirgahayu." Wilis sudah menghilangkan beban di
kepalanya. "Ada apa, Panglima" Sesuatu yang penting?"
Ia menoleh Umbul Songo. Umbul Songo kemudian menceritakan bahwa
Mangkuningrat memerintahkannya membawa Wilis
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghadap. Baik Baswi maupun Resi Wuni Pati tidak
keberatan. Karena memang sudah waktunya Pangeran
bekerja untuk Blambangan. Setelah sudah ada
persetujuan Umbul Songo juga menceritakan adanya
penyerangan besar-besaran oleh laskar Blambangan ke
Lumajang; "Tidak salah ucap, Yang Mulia?" Wilis tersentak.
"Ampun, Pangeran. Semuanya benar!"
"Harus dicegah!" Wilis melompat masuk biliknya. Dan
keluar lagi dengan pakaian kebesaran. Semua heran.
"Aku akan menghentikan perang! Yang Mulia, mari!
Selamat, Baswi, Resi, Selamat tinggal!" Wilis berlari ke
kandang kuda. Ia bawa keluar kudanya. Dan melompat
untuk kabur ke Lumajang. Umbul Songo tidak kalah
tangkas. Segera melompat ke punggung kudanya dan
mengejar. Kemudian berteriak ke arah pasukannya!
"Segera ikuti kami!" perintahnya. Dan laskar itu
bertebaran melompati kuda masing-masing. Seperti
pacuan kuda. "Yang Mulia susul aku! Mari ikut aku!" Wilis berteriak-teriak sepanjang jalan. Ia pacu kudanya seperti terbang.
Kemudian mengambil jalan melintas untuk menghindari
pertemuan dengan laskar Andita. Dua ratus laskar
Blambangan mengikut ke mana pun kuda Wilis berlari.
Yang di belakang pengap karena debu. Sampai senja
hari tiba, baru Umbul Songo mengusulkan istirahat.
Sementara laskar Blambangan dan kudanya istirahat,
Wilis menjadi amat gelisah. Ingin ia melecut waktu agar
cepat berlalu. Ingin pula ia mencengkeram jarak yang
memisahkan dirinya dengan Lumajang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kuda mereka membutuhkan waktu istirahat
yang cukup. Makan yang cukup pula. Barulah setelah itu
dapat dilarikan lagi. Dan ia harus tetap berlari walau
malam telah turun. Peluh bercampur embun dan debu
menyatu di tubuh kuda-kuda itu seperti halnya pada
penunggangnya sendiri. Janji mentari itu pasti. Ia tetap berkisar mengatur
perubahan waktu. Senja telah berganti malam, dan
malam juga berlalu. Keremangan pagi pun tiba. Di saat
itu Wilis dapat melihat dengan jelas, api yang
dimuntahkan oleh peluru cetbang laskar laut
Blambangan berkobar di sepanjang pantai dan di balik
perbukitan. "Dewa Bathara! Kita terlambat," Wilis mengeluh.
Umbul Songo tak menjawab. Jantungnya tak menentu.
Penuh kekhawatiran. Tapal batas kota yang indah runtuh. Rata dengan
bumi. Kuda Wilis dihentikan di atas puing-puing. Ia
menyiapkan senapan dan panahnya.
"Jagat Pramudita! Siapa yang bertanggung jawab atas
semua ini" Yang mulia, Lumajang musnah!"
"Menteri... Muka," Umbul Songo gugup.
"Perang telah berhenti," Wilis menghentakkan kaki ke perut kudanya. Dan kuda itu melangkah gagah sambil
meringkik. Melangkahi bangkai demi bangkai. Ada yang
tertusuk tombak, panah, pedang, peluru, dan yang
berkeping karena peluru meriam.
"Perang merenggut segala," kembali Wilis berdesis.
Umbul Songo tetap tak berahi menjawab. Abu
beterbangan, menjatuhkan titik-titik hitam ke atas kulit
mereka. Ketika Wilis melangkah semakin jauh memasuki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kota, Umbul Songo melambaikan tangan pada pembawa
bendera Blambangan supaya mendekat. Dengan begitu
ia ingin agar laskar Blambangan yang sedang
bersembunyi melihatnya. "Ke mana, Pangeran?" Umbul Songo mencoba
bertanya. "Ke istana." "Sedang termakan api."
"Ya." Gegap gempita sorakan laskar Blambangan yang
sedang mengepung istana. Seperti anak-anak kecil yang
riang mengelilingi api unggun.
"Dewa Bathara! Yang Mulia hentikan mereka!" seru
Wilis. Suara sorakan senyap seketika dilindas suara
tembakan. Entah lima belas atau dua puluh senapan
meletus berbareng ke udara atas perintah Umbul Songo.
Suasana sunyi. Hanya suara letusan-letusan dari dalam
api yang mulai meredup terdengar merajai suasana.
"Dengar! Inilah aku. Panglima Umbul Songo yang
datang bersama Yang Mulia Wong Agung Wilis."
Semua orang membalikkan badan. Pemegang
sangkakala meneruskan perintah Umbul Songo dengan
tiupan. Seperti auman keras.
"Umbul Songo yang memerintah kini! Lumajang kalah!
Penjarahan terhadap istana dipersalahkan!"
Seorang perwira tinggi maju ke depan dengan
kudanya. "Siapa yang memerintah begitu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum Umbul Songo menjawab, Wilis sudah
menyahut, "Aku. Siapa kau?"
"Parandana. Atas perintah Menteri Muka kami
bertindak!" "Diam kau, Parandana!" Umbul Songo membentak.
"Tak lihat" Benderaku berkibar?" "Aku panglima las..."
"Drubiksa!" Wilis mencabut senjatanya. Parandana
terjungkir bersama dengan bunyi letusan. Umbul Songo
terkejut. "Pangeran!!" "Mulutnya harus ditutup!" Wilis memandang semua
orang. "Siapa lagi yang tak mendengar aku" Akan punah
bersama ketuliannya."
Seorang perwira berlencana Sriti pada kalungnya
mencoba membuat gerakan. Namun sebelum tombak
lemparnya sempat lepas dari tangannya, bagai kilat anak
panah Wilis menembus dadanya. Orang itu terpekik.
Wilis sudah siap dengan anak panah berikutnya.
"Siapa lagi?" tantangnya.
Tak seorang pun menjawab. Bahkan menolong
perwira yang sekarat itu pun tak ada yang berani.
Wilis berkesempatan mengisi senapannya lagi.
Kemudian larasnya tertuju pada Haryo Dento yang
memimpin pendaratan dari laut. Orang itu tak berkutik.
Namun Lumajang telah hancur dengan serangan darat
dan laut. Mayat bertumpuk di sepanjang pagar istana.
Tak sedikit yang masih merintih. Bahkan ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergerak-gerak mengantar nyawanya menghadap Hyang
Maha Ciwa. Maha Perusak! Wilis mengelilingi istana. Juga reruntuhan dinding
perbentengan bagian dalam. Hati Wilis berguncang. Sita
Pati tertelungkup dengan bedil di tangan.
"Dewa Bathara!" Wilis membalikkan mayat itu.
Diperintahkannya seorang prajurit mengurusi mayat itu.
"Hyang Ciwa telah menjatuhkan kehendak-Nya.
Musnah Lumajang, punah juga dikau...."
Wilis melangkah lagi. Lamban.
"Yang Mulia," katanya pada Umbul Songo,
"kadangkala satria bisa mati menggelepar seperti anjing
kurap."

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Umbul Songo tidak berani menjawab. Mereka
berbelok ke kiri. Beberapa depa kemudian Wilis melihat
tubuh wanita terhalang sebuah batu besar.
"Satiari..." Wilis berlari dalam kejutnya. Wanita itu masih merintih. Beberapa anak panah berhamburan di
sekitarnya. Terdengar lagi Satiari merintih. Menyayat
kalbu. Wilis mengangkat tubuh yang terkulai lemah itu. Darah
telah terlalu banyak keluar dari kulit yang terobek-robek
peluru. Satiari membuka mata perlahan.
"Oh... Kakang...."
"Satiari, maafkan aku. Aku terlambat."
"Kakang tidak salah...," suara Satiari terpatah-patah.
"Bukan laskarku yang menyerbu, Satiari, tapi..." Wilis membawa tubuh itu berlari ke kudanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba tahu, Kakang, oh... Kakang, hamba tak kuat...
Di... bawah... batu itu... ada tulisan... hamba..."
"Satiari!!" "Dan juga... ah..."
"Satiari... Satiari..."
Tak ada lagi jawaban. Hembusan napas pun tiada.
Yang ada cuma tetesan darah Satiari yang semakin
sedikit. Dan Wilis masih menggendongnya seperti
boneka. Tak peduli darah melumuri tubuhnya.
Satiari telah pergi. Bersama terbitnya mentari.
Pergunjingan pun mati. Tiada lagi bunga dan bumi.
Blambangan menanti. Walau penuh sesal hati. Umbul
Songo menitikkan air mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
VII. IMPIAN Dinding batu yang melingkari ibukota Blambangan itu telah gumpil di sana-sini. Lumut hijau bertempelan bicara bahwa usia dinding kota Lateng itu sudah terlalu tua.
Berulang dibersihkan. Berulang pula lumut itu tumbuh.
Kali ini pun dibersihkan kembali.
Gerbang kota dihias dengan aneka ragam ukiran dan lukisan. Jalan-jalan raya yang telah lama menjadi jalan setapak pun diperbaiki kembali. Setiap beberapa depa dipasang umbul-umbul warna-warni. Lateng megah kembali. Seperti bunga layu yang tertimpa embun pagi.
Gamelan dibunyikan orang di setiap pedesaan. Di tiap asrama balatentara. Apalagi di tempat hiburan yang memang disediakan. Sebab hari itu adalah penobatan Wong Agung Wilis menjadi patih amangkubumi sang pratanda muka(perdana menteri atau pemimpin kabinet)
Blambangan. Berbagai bendera dari perwira tinggi Blambangan
berkibar di alun-alun Lateng. Sebagai tanda mereka juga
menghormati hadirnya kembali putra Prabu Danureja itu.
Juga pendapat agung meriah dengan berbagai hiasan.
Yang dari janur, yang dari perak, dan yang dari emas.
Di balai agung permadani merah berseret kuning di
tepinya dan bergambar kalacakra hitam di tengahnya,
terhampar di depan singgasana. Di sebelah kanan
singgasana terdapat tabung emas sebesar lengan
setinggi setengah depa. Di atas tabung itu menyala api
kehidupan. Api yang menyala selama raja berkuasa. Api
itu dijaga oleh seorang biti perwara.
Seluruh menteri dan pembesar negeri telah duduk
berderet waktu Wilis masuk. Juga para perwira tinggi.
Juga para tamu dari Buleleng, Mengwi, Probolinggo, dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kerajaan tetangga. Matanya melirik ke seluruh ruangan,
baru setelah itu ia duduk di tempat yang memang telah
disediakan untuknya. Persis berhadapan dengan
singgasana raja. Wilis tersenyum dalam hati. Segala kemegahan dan
kemewahan yang menelan banyak biaya dihamburkan
sekadar untuk menyambut dirinya. Begitulah cara
Mangkuningrat menyatakan kasihnya.
Beberapa bentar kemudian prajangkara berdiri,
menjemput seseorang yang baru masuk. Orang itu dalam
kawalan orang-orang lain. Wilis tahu bahwa yang
mengawal tentulah barisan sandi. Jalannya tenang dan
menyebarkan senyum pada siapa pun yang
menghormatinya. Wirata, demikian nama prajangkara itu, mendekati
Wilis. "Yang Maha Mulia Patih Cokorda Dewa Rake dari
Mengwi..." "Aku belum bertugas," tukas Wilis, membuat Wirata
mundur. Cokorda Dewa Rake mengambil tempat duduk yang
telah disediakan oleh Wirata. Semua orang menghormati
kepala pemerintah Mengwi itu. Tentu tidak semua
memberi penghormatan tulus. Ada yang karena takut,
ada yang karena terpaksa. Ada juga yang cari muka.
Beberapa saat setelah itu, Mangkuningrat keluar
bersama Paramesywari dalam iringan para selir dan
Dang Hyang Wena selaku pandita istana. Bunyi
gemerincing terdengar disebabkan oleh beradunya
binggal bergiring-giring para wanita yang mengiringi raja
keluar. Langkah mereka perlahan, seperti meniti pelangi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali lagi Wilis berdesah. Mangkuningrat mimpi menurut
pendapatnya. Memperlihatkan kebesaran semu. Ia
menghitung berapa harga pakaian kebesaran yang
dikenakan Mangkuningrat maupun Paramesywari itu.
Aduhai, walau memeras keringat sampai kering
sekalipun, orang Raung takkan mendapatkannya.
Jauh di lubuk hatinya Wilis mengakui, Paramesywari
berwajah manis. Ia kagum pada pandang wanita itu.
Dalam pakaiannya seperti itu Paramesywari tak ubahnya
bidadari yang turun dari surga. Senyum cerah selalu
tersungging di bibir tipisnya.
Semua orang, kecuali Dewa Rake mengangkat
sembah. Wirata menyerahkan tongkat kerajaan pada
Raja. Bersamaan dengan itu pandita istana
membunyikan giring-giring.
Mangkuningrat memegang tongkat kerajaan dengan
tangan kiri. Tongkat yang berbentuk trisula pada
ujungnya. Dan bagian atas berbentuk kepala ular dengan
lidah menjulur keluar seperti nyala api. Tongkat emas
yang telah tua. Lebih tua dari usia semua yang hadir.
Setua umur kerajaan. "Selamat datang pada Yang Maha Mulia Dewa Rake,
serta seluruh yang hadir," Wirata mulai. "Dirgahayu untuk semua. Upacara penobatan akan dimulai."
Ucapan Wirata selesai, terdengar lagi bunyi giring-
giring. Setelahnya sunyi untuk sesaat. Wirata
menyambung lagi, "Atas anugerah Hyang Maha Ciwa, Pangeran Mas
Sirna telah dikembalikan ke pangkuan Blambangan. Dan
dihadapkan pada Sri Prabu, dan akan dipercaya untuk
menjadi patih amangkubumi, sang pratanda muka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan. Karena itu untuk beliau akan segera
dibacakan mantra oleh Dang Hyang Wena."
Kembali giring-giring di tangan Wena berbunyi.
Jubahnya berwarna kuning dan mengenakan kalung
panjang dengan medali emas bergambar teratai,
bergantung lepas di lehernya, sebagai mana lazimnya
brahmana Ciwa. Ia berdiri di sebelah kanan singgasana
raja. "Om kara..." Orang itu memulai, "om awighnam astu atas Yang Mulia Wong Agung Wilis..." dan seterusnya.
Semua yang hadir mengikuti mantra itu dalam hati.
Dengan hikmat. Walau di deretan tengah atau belakang
ada juga yang tertunduk karena mengantuk. Bukan
karena khusuk. Sebab ada di antara mereka yang
memang tidak biasa mendoa secara berkepanjangan.
Doa selesai. Ada yang tergagap mendengar Wilis
dipersilakan maju oleh Wirata. Sebelum masuk ke
gambar lingkaran kalacakra di permadani yang
terhampar di depan singgasana Raja itu, sekali lagi
dibacakan mantra penolak bala. Selesai itu Wilis
berjongkok dan menyembah. Dan Mangkuningrat
mengangkat tangan kirinya menerima penyembahan itu.
Tongkat berkilauan. Suaranya serak bersabda,
"Dengan atas nama Hyang Maha Ciwa engkau aku
nobatkan sebagai patih amangkubumi sang pratanda
muka Blambangan. Demi Hyang Durga, bersumpahlah!"
"Demi Hyang Durga Mahisa Sura Mardhini, hamba
bersumpah," jawab Wilis, "di bawah kuasaNya segala
darma dan karya buat Blambangan dan Raja."
"Terimalah cincin dan pusaka ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilis mendekat. Kakak dan adik bertemu pandang.
Sebagai kepala negara atau raja dan sebagai kepala
pemerintahan atau pratanda muka. Wilis menerima tanda
kebesaran itu. "Dirgahayu!" ujar Sri Prabu.
"Dirgahayu," balas Wilis.
Semua menyaksikan itu. Termasuk Paramesywari.
Dari pandangan matanya yang bersinar itu, baik Dewa
Rake maupun Paramesywari tahu bahwa Wilis memiliki
kelebihan dari kakaknya. Paramesywari berkeinginan
menjajagi Wilis bila ketikanya tiba.
Wirata kemudian membawa Wilis untuk berkenalan
dengan tamu-tamu negara. Dan setelah itu seluruh
pembesar negeri dipersilakan mengucapkan selamat dan
berkenalan. Yang pertama kali berkenalan dan mengucapkan
selamat adalah menteri muka, merangkap ratu
anggabaya, merangkap pimpinan laskar darat dan laut
Blambangan, merangkap beberapa jabatan lagi, Arya
Bendung. Sesudahnya menteri pakira-kiran (lima orang yang
membantu Raja untuk memutuskan sesuatu yang amat
penting) menteri cadangan negara, dharmadjhaksa
(jaksa agung) dan seterusnya seluruh menteri dan
perwira tinggi. Wilis capek mengucapkan terima kasih
dan dirgahayu sebagai balasan kepada mereka.
Setelah itu Wilis mendekati deretan putra-putri
kerabatnya. Antara lain: Mas Ayu Ganuh, Mas Ayu
Pandawijaya, Mas Ayu Tapti, Mas Alit, Mas Anom, dan
masih banyak lagi. Semua mereka menunjukkan
kegembiraan dapat bersua kembali dengan Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa bentar kemudian upacara segera ditutup
dengan doa oleh Dang Hyang
Wena. Dan seluruh tamu dipersilakan masuk taman
untuk menikmati santap bersama. Selesai, ramah-tamah
Wilis masih berkewajiban menghadap Raja dan
Paramesywari dan Dewa Rake di bilik agung.
Bilik agung itu tak mengalami banyak perubahan.
Lambang Sonangkara atau gambar kepala anjing yang
dilingkari dengan pedang emas, masih utuh terpatri di
atas singgasana Raja. Delapan tiangnya juga masih
seperti waktu ia masih kecil.
"Inilah, hamba Kanda Prabu," Wilis menyembah pada
Mangkuningrat. Kemudian juga pada Paramesywari dan
Dewa Rake. Dan dengan segeranya setelah
menyampaikan ucapan selamat, Dewa Rake
memberikan nasihat-nasihat dengan mengingatkan
kembali isi kitab Pratigundala yang mengatur kawula di
desa-desa. Kitab ini berlaku sejak zaman Majapahit, dan
juga Raja Kapakapa sebagai kitab undang-undang dasar
negara yang juga berlaku sejak Majapahit.
"Hamba akan perhatikan semua amanat Yang Maha
Mulia," ujar Wilis sambil menembuskan pandang pada
Dewa Rake. Demikian sebaliknya Dewa Rake dan Ayu
Chandra sama-sama menembuskan pandangnya untuk
melindas pandangan Wilis. Namun Wilis mengerti benar
ia sedang dijajagi. Karena itu ia kumpulkan seluruh
keberaniannya untuk menantang pandang mereka.
Sekejap, dua kejap, bahkan lebih mereka bertemu mata,
maka mereka saling mengagumi. Baik Wilis mengagumi
kedua orang itu, sebaliknya merekapun kagum padanya.
"Dewa Ratu... benarkah ini Mas Sirna itu?"
Paramesywari hampir tak percaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," Mangkuningrat menjawab cepat. "Kenapa?"
Dewa Rake juga memandang Paramesywari.
"Dia memakai nama Wilis, sedang silsilah
menyebutkan dia bernama Mas Sirna. Apakah salah
kalau kita curiga?" "Keadaan bisa berkembang, suasana bisa berganti,
nama juga boleh berganti. Walau manusianya tetap
satu." "Kenapa Adinda tak segera pulang supaya tak
ketinggalan terhadap kemajuan di istana?"
"Hamba tahu, waktu itu hamba masih seorang dungu.
Apakah seorang kepala pemerintahan bisa bekerja di
bawah pendapat orang lain" Untuk mengikuti kemajuan
zaman orang tak perlu ada di i istana. Yang penting ia
harus dapat mengikuti berita di mana pun ia berada.
Satria tanpa berita maka sebenarnya ia adalah sudra
yang dungu." "Dewa Bathara! Kau bicara seperti brahmana?"
Paramesywari makin kagum. Bagi Dewa Rake itu
memberikan petunjuk bahwa Wilis selama ini selalu
mengikuti perkembangan istana.
"Apakah aku selama ini juga bekerja di bawah
pendapat orang lain?" Mangkuningrat bertanya.
"Ampunkan hamba, Kanda Prabu, Kanda selama ini
tidak pernah bekerja. Kanda cuma mendengar dan
menerima pendapat." "Dewa Bathara!" Ketiga orang itu kaget. Walau punya
pendapat sendiri-sendiri, tapi Paramesywari dan Dewa
Rake membenarkan pendapat Wilis itu dalam hati
masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah menurut pendapat Wong Agung, ada yang
tak beres di Blambangan ini?"
"Siapa yang tidak dengar itu kerusuhan-kerusuhan di
setiap penjuru Blambangan" Siapa pula yang tak tahu
bahwa banyak pembesar negeri yang memperdewakan
diri sendiri sehingga memunggungi kepentingan
kerajaan" Semua ini disebabkan wangsa Tawang Alun
telah kehilangan cakrawarti-nya (kharisma) Blambangan
telah kehilangan kembangnya."
"Apakah Adinda akan memulihkannya kembali?"


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paramesywari menyelidik terus. Wilis tersenyum ramah.
"Blambangan ibarat kain yang telah terlalu tua.
Ditambal di satu bagian, koyak di bagian lain. Hamba
cuma akan mampu mengulur waktu semata."
"Walau ada aku" Ada Mengwi?" Paramesywari tak
sabar. Wilis tertawa ramah.
"Siapa yang dapat menghindari kematian" Leluhur
kami telah membangunkan suatu kehidupan. Dan setiap
yang ada ini akan berakhir. Kehidupan juga berakhir
dengan kematian. Juga hamba, juga astana kita, juga
seluruh yang ada di bumi."
Dewa Rake mengerutkan kening. Wilis kelak akan
bisa menjadi ganjalan bagi Mengwi. Ini berbahaya. Maka
pada perkembangan selanjutnya gerakan Wilis harus
dibatasi. Setelah itu mereka berpisah. Dewa Rake
kembali ke Bali beserta rombongan.
Setelah mengadakan penghormatan terakhir pada
Dewa Rake, Wilis dan Mangkuningrat dan Paramesywari
melihat-lihat tamansari. Para selir juga diperkenankan
memandang wajah Wong Agung Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, lebih tampan dan perkasa...," bisik salah seorang pada temannya.
"Bagian kita kan Mangkuningrat," yang lain menjawab.
"Jangan kecewa."
"Sayang kenapa ketemu Mangkuningrat lebih dulu."
Yang lain juga tertawa. Terkikik-kikik.
Taman itu memang mengalami banyak perubahan
dibanding masa Bunda Suri tinggal di dalamnya. Wilis
memperhatikan pahatan di dinding yang mengitari taman
itu. Mulai dari ujung kiri bercerita tentang kisah Dewi Tari
yang dihadiahkan pada Rahwana di Alengka oleh para
dewa. Ia dihadiahkan sebagai paramesywari Alengka
dengan tujuan agar Rahwana jinak dan tidak
memberontak pada dewa-dewa.
Wilis berhenti membaca ukiran itu. Ia iba pada
kakaknya. Tentu Mangkuningrat tidak mengerti makna
yang terkandung dalam hiasan dinding tamansari.
Melihat mata Wilis terpatri pada pahatan itu,
Paramesywari menjadi berdebar.
"Kenapa?" Ia mencoba bertanya dalam bahasa Jawa
kuno. Wilis tersenyum kecil. "Dewa sendiri menciptakan manusia, kenapa takut
pada manusia?" Wilis balik bertanya dalam bahasa yang
sama. Sekilas ia melirik Mangkuningrat yang sedang
menikmati keindahan bunga-bunga.
"Sebab manusia selalu menciptakan pengetahuan.
Manusia selalu menyempurnakan diri dengan
pengetahuannya." "Dewa Bathara!" Wilis menyebut. Dengan kata lain
Cokorda Agung mencium adanya beberapa orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan yang ingin memulihkan kembali cakrawarti
Blambangan. "Dewa mempunyai kekuasaan untuk membatasi
pengetahuan manusia."
"Turunnya Dewi Tari adalah salah satu usaha para
dewa untuk membendung kerakusan manusia."
Wilis terdiam. Itu peringatan, bahwa Paramesywari
punya tugas ganda. Maka kemudian berkata lagi,
"Mungkin semua pahatan ini bicara tentang diri Yang
Mulia sendiri." Wilis melangkah. Ia memang tidak
memerlukan jawaban. Paramesywari tersenyum. Wilis
cerdik. Setelah mengunjungi pura tempat menyimpan
abu ayah dan ibunya di tengah taman itu Wilis kembali ke
gedung kepatihan. Itulah yang menjadi tempat
kediamannya sekarang. Ia perhatikan para pengawal rumahnya. Orang-orang
berlencana Sriti. Bukankah mereka anak buah
Teposono" Mengapa harus dikawal Teposono" Bah! Aku
diawasi, gumam Wilis dalam hati. Semua untuk
mempersulit diriku" Baik, tidak ada jalan lain kecuali
harus mengadu kepintaran telik masing-masing.
Kala senja telah berlalu, tiba-tiba saja Wilis teringat
pada gulungan sutra dari Satiari. Di bawah terang damar
Wilis membuka gulungan itu. Penerangan ternyata lebih
baik dari di Raung. Alas pembaringan pun terbuat dari
permadani dan sutra. Bukan dari tikar pandan.
Satiari menulis dalam bahasa Blambangan.
Mengisahkan perjumpaannya dengan Wilis. Kemudian
perjumpaan kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Perjumpaan demi perjumpaan membuatku makin
dekat dengannya," tulis Satiari. "Ia mempunyai banyak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kelebihan dibanding Lingsang. Bukan cuma pandai
menggunakan pedang tapi juga pandai menggunakan
kata-kata. Bukan cuma satria tapi juga brahmana."
Hati muda Wilis berbangga membaca itu. Ah,
kebanggaan bisa berkembang menjadi kepongahan, ia
memperingatkan diri. Kemudian meneruskan membaca:
"Harus kuakui, aku pun jatuh hati pada Wilis. Namun
aku tak mungkin ingkar dari janji yang pernah terjalin
dengan seorang yang lain, "Lingsang. Kendati pun kini
jiwaku terguncang oleh pandangan matanya,
ingatannya... dan segalanya. Tapi aku tak berani
menantang kutuk Hyang Maha Dewa. Karena sumpah
kami terlahir di bawah saksi para dewa."
Wilis berhenti lagi. Sebelum berganti lembaran ia
mengunyah kinang lebih dulu. Untuk menenangkan
pikirannya maka ia bersirih.
"Hatiku melonjak waktu Andita mengabarkan bahwa
Raditya jatuh di tangan Wilis, orang yang kucintai dan
mencintai diriku. Ia telah siap mempersembahkan
kemenangannya pada Ayahanda. Aku menyatakan
kegembiraanku pada Lingsang. Aneh. Ia tak kelihatan
gembira dengan kemenangan itu. Ia katakan ingin tahu
orangnya. Mungkin selama ini ia telah menerima laporan
dari teliknya, tentang hubunganku dengan Wilis. Ia juga
kurang senang aku mengantar Wilis sampai batas desa
Kelapa Sawit beberapa hari lalu. Tapi aku tak sempat
mempersoalkannya, sebab Ayahanda mengajak kami
segera berangkat." Lembar berikutnya membuat Wilis menjadi malu
sendiri. "Di tengah pesta Wilis melamarku. Aduhai, betapa
bahagia hati ini. Air serasa madu. Tapi... ah... Hyang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maha Dewa telah mempertemukan aku dengan Lingsang
lebih dahulu. Maka dengan hati berat aku menolaknya.
Sebab wanita yang memperduakan cinta adalah
seburuk-buruknya wanita. Aku tak mau menjadi wanita
semacam itu. "Tapi sungguh tidak kuduga sebelumnya. Orang
seramah Wilis bisa marah sehebat itu. Brahmana yang
berpengetahuan tinggi seperti dia tidak seharusnya
marah seperti satria yang hanya tahu membunuh.
Mungkin dalam marahnya, Wilis kehilangan segala
pengetahuan yang ada dalam ingatannya. Kala aku
menerangkan pada Ayahanda, beliau menjadi ketakutan.
Beliau tidak takut pada Wilis sebagai keponakannya.
Tapi takut pada Wong Agung Wilis atau Pangeran Mas
Sirna. Orang semacam dia akan bisa menjadi sepuluh
kali lebih kejam dari Raditya.
"Aku menangis. Tak berdaya. Serba salah."
"Malam itu juga dengan ditemani Tuan Andita kami
mencari Wilis. Aku akan bersujud minta ampun. Aku rela
menyerahkan segala padanya, walau harus mengoyak-
ngoyak janjiku sendiri. Tapi... ia telah pergi."jauh sekali.
Bersama kudanya yang hitam dan gagah. Pergi
membawa serta kemarahannya.
"Yang lebih mengejutkan dan menakutkan lagi, waktu
pagi-pagi buta, Lingsang sudah tak melihat seorang pun
laskar Raung tersisa. Bahkan laskar wanita pun tiada.
Oh... betapa kejamnya kau, Kakang! Ibarat seorang baru
sembuh dari sampar, kami membutuhkan penolong untuk
membimbing kami berjalan. Tapi orang yang kami
harapkan itu pergi. Bahkan laskarnya juga mendukung
kemarahannya. Pergi dengan diam-diam. Tanpa pamit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lembar berikutnya membuat hati Wilis bergetar.
Seolah kejadian itu terulang kembali.
"Sebelum aku mati, aku ingin kelak orang mengetahui
kisah ini. "Tengah malam buta aku tertidur-tidur tiada.
Tiba-tiba aku mendengar dentuman dahsyat. Aku
mengira gunung Semeru meletus. Bumi seolah
berguncang. Namun dentuman berulang kembali. Lagi,
beberapa kali. Dan menjadi berpuluh-puluh kali.
"Ayahanda memerintahkan semua orang mengambil
senjata masing-masing. Lingsang menjemput aku dalam
taman. Ia mengajakku lari. Karena Wilis datang memberi
hukuman, katanya. "Mendengar itu seluruh persendianku lumpuh. Tak
kuasa berlari. Biar! Aku takkan berlari! Rela menerima
hukuman dari orang yang kupuja itu.. Tapi jangan kawula
Lumajang ikut dihukum. Aku menolak ajakan Lingsang."
Lembar selanjutnya membuat mata Wilis berkaca-
kaca. Karena ditulis dengan darah. Darah Satiari sendiri.
"Ayahanda berkata, ini bukan Wilis. Serangan datang
dari pantai. Pasti perompak! Aku segera mengambil
senjata. Lingsang berlari sambil meneriaki kami bahwa
istana sudah terkepung. Lari adalah satu-satunya jalan.
Aku tak mau. Para selir mengangkat senjata. Aku juga.
"Peluru merobek kulitku yang selama ini kurawat baik-
baik. Bukan cuma satu... oh... mati menanti. Oh... Hyang
Maha Dewa... temukan hamba dengan Wilis lebih dulu
sebelum mati... Luka... semakin perih, pedih... Mati telah
menanti..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Air mata Wilis meleleh, persendiannya lemah. Beribu penyesalan bertumpuk menjadi satu. Selaksa keluhan ia desahkan, tapi semua sia-sia.
Waktu bergesa terus. Menggeser bintang dan rembulan ke arah barat. Dan terus ke barat. Tiada henti, menjangkau pagi.
0oo0 Perintah penggantian pengawal istana kepatihan diturunkan oleh Umbul Songo. Pasukan istimewa menggantikan pasukan berlencana Sriti. Dengan terkejut Teposono mengurus apa alasan penggantian itu. Tapi dijawab oleh Umbul Songo bahwa itu atas perintah Wilis secara pribadi. Dan Teposono tidak bisa menggugat Wilis.
Wilis ingin selalu bebas berhubungan dengan Raung.
Karena itu ia merasa perlu menyingkirkan orang-orang berlencana Sriti. Juga ia ingin lebih bebas melakukan perundingan-perundingan dengan Umbul Songo dan Haryo Dento. Hal itu membuat kedua perwira tinggi pengemban tugas pembasmi kerusuhan itu tidak pernah ragu lagi bertindak dalam segala hal.
Pagi itu mendung tebal berarak-arak dari arah tenggara. Udara lebih dingin dari biasanya. Orang malas keluar dari rumah. Namun Umbul Songo telah menguak kabut, menuju ke istana kepatihan. Sebagaimana biasa kepala pengawal langsung membawanya ke bilik tengah.
"Ada sesuatu?" Wilis ramah. "Kami telah menangkap seorang wanita," Umbul Songo lirih.
"Wanita?" tanya Wilis dengan suara setengah berbisik.
"Ya. Di pantai Sumberwangi. Ia akan menyeberang ke
Gilimanuk. Telah sejak lama telik kita mencurigainya. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terlalu sering pulang-balik Bali"Blambangan. Dalam
pemeriksaan ia mengaku akan pergi ke Pura Rambut
Ciwi di Gelgel. Pada purnama, bulan Sitra (antara bulan
Maret & April) nanti, ia akan menjadi nayake (perempuan
yang dipergunakan dalam upacara Maithuna atau
upacara persetubuhan massal untuk minta kesuburan
tanah) di sana. Namun dalam sanggulnya ternyata
terdapat segulung lontar kecil. Sayang kami tidak dapat
membacanya." "Apakah lontar itu di bawa ke sini sekarang?"
"Ya. Lontar dan tusuk kondenya sekaligus." Setelah
menerima lontar itu Wilis segera membacanya. Dan
membuatnya hampir tidak percaya. Berisikan sebuah
laporan tentang dirinya kepada Cokorda Dewa Agung.
Hampir semua kegiatannya dilaporkan. Dan segera ia
menerangkan isi lontar itu pada Umbul Songo.
"Teruskan pemeriksaan," perintah Wilis.
"Pemeriksaan dilakukan oleh Wituna," Umbul Songo
menjelaskan. "Di samping itu hamba mengusulkan
pemeriksaan terhadap seluruh para dayang. Mungkin
saja mereka juga barisan telik yang dipasang untuk
memata-matai Yang Mulia. Bahkan mungkin suatu ketika
mereka bisa bertugas membunuh Yang Mulia."
"Baik, akan kuperhatikan, Yang Mulia. Tapi hari ini ada
tugas baru yang cukup penting.
Hadapkan Arya Bagus, syahbandar Sumberwangi itu
padaku. Bawa serta Surendra, perwira tapal batas kota
itu." "Apakah Yang Mulia akan memeriksanya?"
"Ya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umbul Songo segera menuju ke asrama ketujuh, di tapal batas kota Lateng sebelah barat. Yang sebenarnya adalah laskar Raung yang diperbantukan pada Umbul Songo. Setelah menyampaikan perintah Wilis, maka bersama dua puluh lima pengawal berkuda serta Surendra, ia menuju ke asrama laskar pertama untuk menjumpai Wituna. Dan pada Wituna ia menerangkan bahwa isi lontar itu berupa laporan kegiatan Wilis dan situasi terakhir di Blambangan. Jelas wanita itu seorang telik. Maka Wituna diperintahkan meneruskan pemeriksaan dengan teliti. Disertai pesan supaya berhati-hati menghadapi telik wanita.
"Baik, Yang Mulia. Akan hamba perhatikan," sembah Wituna.
"Kembalikan tusuk konde ini." Umbul Songo menyerahkan konde itu, lalu pergi ke Sumberwangi.
Suatu perjalanan yang tidak terlalu jauh bila ditempuh dengan berkuda. Karena jalan dari Lateng ke Sumberwangi termasuk jalan raya utama. Jalan yang cukup ramai, karena digunakan oleh para pedagang untuk mengangkut hasil bumi ke pelabuhan maupun barang-barang belian dari luar Jawa yang akan diperdagangkan di Lateng. Karenanya rombongan sering berjumpa dengan iring-iringan pedati atau kereta. Sawah-sawah masih tetap membentang di kiri-kanan jalan itu, dengan diselingi tanaman kelapa. Semua itu menggambarkan berapa suburnya wilayah Blambangan.
Rombongan tidak langsung mencari Arya Bagus tapi lebih dahulu mampir di kediaman Tumenggung Singamaya sebagai kepala daerah Sumberwangi. Umbul Songo melaporkan bahwa ia mendapat perintah dari Wilis untuk menghadapkan Syahbandar hari itu juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Singamaya terkejut. Umbul Songo datang dengan
pengawalan pasukan khusus. Ia lirik para pengawal
Umbul Songo itu. Ketika melihat Surendra, hatinya
dipenuhi tanda tanya. Ia merasa belum pernah kenal
dengan perwira itu. Orangnya tegap, dadanya bidang,
otot-ototnya menonjol. Bergelang akar hitam pada lengan
kirinya. Kulitnya juga agak hitam. Namun Singamaya
menahan keinginan hatinya untuk tahu siapa Surendra.
Dan segera ia perintahkan seorang pengawal menjemput
Arya Bagus. Arya Bagus dengan tergesa-gesa menghadap
Singamaya. Umbul Songo melihat betapa mewah
.pakaian Syahbandar itu. "Hamba sendiri akan menghadapkan Arya,"
Singamaya memberi tahu. "Tidak bisa, Yang Mulia. Maafkan hamba. Ini perintah
dari kepala pemerintahan Blambangan. Jadi bila Yang
Mulia ingin tahu, Yang Mulia bisa berangkat bersama-
sama kami. Silakan bertanya sendiri pada Yang Mulia
Wilis " Singamaya tahu itu bahasa lain dari penangkapan
terhadap Arya Bagus, yang sebegitu jauh belum tahu


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalannya. Mereka terpaksa mengikuti Umbul Songo
dengan damai. Kuda mereka melintasi jalan raya kembali
dengan beriring. Surendra dan Umbul Songo tidak
bercakap-cakap. Singamaya dan Arya Bagus berkuda di
depan. Hati mereka sibuk menebak-nebak.
Ketika mentari telah condong ke barat mereka
memasuki istana kepatihan. Di gerbang mereka semua
turun dari kuda. Oleh kepala pengawal mereka langsung
dibawa ke bilik tengah di mana menunggu Wong Agung
Wilis dan Laksamana Har-yo Dento. Dan tempat duduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah diatur berderet sedemikian rupa, untuk Arya
disediakan tempat duduk berhadapan dengan Wilis.
Sedang untuk lainnya berderet di belakang Arya Bagus.
Setelah mempersilakan semuanya duduk, Wilis segera
memulai. "Dirgahayu, Yang Mulia Adipati," sapa Wilis pada
Singamaya. "Dirgahayu." "Maafkan, Yang Mulia, kalau kami terlalu merepotkan.
Tapi kebetulan sekali Yang Mulia sudi melangkah kemari,
supaya tahu apa yang sedang dikerjakan Arya selama
ini." Kemudian kepada Arya Bagus ia berkata, "Tak perlu
terkejut atas panggilan ini. Sebagai patih atau kepala
pemerintahan di Blambangan aku menghendaki semua
pekerjaan di Blambangan berjalan rapi dan beres.
Termasuk pekerjaan Tuan sebagai syahbandar. Apakah
sudah Tuan kerjakan sejak aku belum menjadi patih?"
"Demi Hyang Maha Dewa, hamba sudah kerjakan
semuanya." Wilis mengangguk-angguk. Setelah anggukannya
habis Wilis menyambung dengan kata-kata lagi.
"Tiga perempat hasil bandar harus diserahkan pada
Blambangan, seperempat untuk Sumberwangi. Begitu
bukan seharusnya?" "Hamba, Yang Mulia."
"Tuan tidak melakukan seperti itu setelah satu tahun
memegang jabatan syahbandar. Tuan telah
bersekongkol dengan Kuwara Yana untuk membagi hasil
bandar seperti berikut: seperempat untuk Blambangan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperempat untuk Sumberwangi, seperempat untuk
Kuwara Yana, dan seperempat lagi untuk Tuan."
"Tidak!" Arya tersentak di tempat duduknya. Darahnya seperti berhenti berjalan. Wajahnya berubah mendadak.
"Dewa Bathara! Itu laporan tidak betul."
Wilis tertawa. Bola matanya yang hitam tidak mau
lepas dari tubuh Arya. "Jangan bicara seperti itu, Arya!"
Wilis masih tertawa. "Aku cuma ingin tahu siapa
sekongkolmu selain Kuwara Yana." Suara Wilis mantap.
Mengejutkan semua orang. Umbul Songo maupun
Singamaya sama-sama terkejut.
"Demi Hyang..."
"Tak perlu sumpah-serapah itu," Wilis memotong.
"Kecantikan wanita dan gemerincingnya emas mampu
menghancurkan semua sumpah."
"Hamba tak memerlukan semua itu, Yang Mulia. Ayah
ham..." "Kau akan bicara bahwa ayahmu meninggali warisan
gunung emas sebelum mati?" Wilis tertawa lagi.
"Sehingga kau bisa bikin kereta emas" Peraduan untuk
dua puluh empat wanita cantik dalam kaputrenmu"
Singgasana emas dalam tamansarimu?"
Arya tak mampu berkata-kata. Badannya mulai
gemetar. Ia tidak mengerti bagaimana pemuda ingusan
itu tahu semuanya. Ah, jika tidak di hadapan banyak
orang, ia akan menyelesaikan seperti halnya terhadap
Mangkuningrat. "Tidak benar," ia membela diri.
"Kau ingin mengatakan aku mereka-reka" Kau
menghina seorang Patih! Kau telah memperbutakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
junjunganmu, Yang Mulia Singamaya, orang yang paling
disegani di seluruh Blambangan!"
Dada Singamaya terbakar mendengar itu. Bibirnya
berkerut menahan marah. Tapi ia tidak berani berbuat
apa-apa tanpa perkenan Wilis.
"Tanpa bukti!" Arya masih berusaha.
"Drubiksa!" Wilis membentak. "Perlukah kusuruh
orang membawa barang-barangmu itu kemari" Dan
haruskah kuhadapkan kepala armada dagangmu yang
bernama Sawung itu?"
"Tapi itu kapal-kapal hamba sendiri____"
"Kapal-kapal itu tidak lahir bersamamu, Arya!
Semuanya adalah bekas kapal kerajaan yang telah
berubah bendera. Milik kerajaan kau jadikan milikmu!"
Lagi Arya terdiam. Keringat dingin keluar dari telapak
kaki dan tangannya. "Semua atas persetujuan Menteri
Cadangan...," ia mengaku.
"Sebagai imbalan atas persembahanmu, seorang
gadis bernama Yistyani" Dan persembahan lain lagi?"
"Betul," ia mengaku lagi.
"Di bandarmu perompak membongkar hasilnya."
"Tidak, Yang Mulia. Tidak ada kapal perompak di
Sumberwangi. Yang ada cuma kapal perang
Blambangan sendiri."
"Yang Mulia Haryo Dento, berikan keterangan!" Wilis
meminta pada Haryo Dento.
"Dua puluh tiga nahkoda kapal pemburu beserta
seluruh anak buahnya yang telah kami periksa mengakui,
pernah merompak, atau setidaknya punya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persekongkolan dengan perompak dan Arya Bagus.
Semua membongkar barang hasil kejahatannya di
Sumberwangi atas persetujuan Arya. Dia selalu melarang
pemeriksaan kapal-kapal yang lolos dari pengejaran kami
dan bersauh di bandar itu."
"Nah, kau mau membantah" Mulai hari ini kau tak
diperkenankan pulang. Jabatan syahbandar
Sumberwangi untuk sementara kuserahkan pada Yang
Mulia Singamaya." "Hyang Bathara! Itu wewenang Menteri Cadangan
Negara." "Hari ini juga ia sedang dibawa kemari. Nah,
Surendra...!" Wilis tak melanjutkan kata-katanya. Tapi
Surendra sudah mengerti tugasnya. Maka sejak saat itu
Arya menjadi penghuni rumah tahanan laskar Surendra.
"Dalam menegakkan wibawa Blambangan kembali,
aku perlu bantuan Yang Mulia."
"Demi Hyang Ciwa, hamba akan menyerahkan sisa
usia buat Blambangan."
Sampai jauh malam mereka berunding. Dan keesokan
harinya Kuwara Yana tak muncul di gedung pratanda di
mana ia harus melapor tiap-tiap hari sebelum melakukan
kegiatan. Sebab ia memang telah diambil oleh Umbul
Songo dan langsung dibawa ke rumah penahanan laskar
kesembilan yang dipimpin oleh Gandewa. Laskar ini
berada dekat Srawet. Termasuk laskar istimewa yang
dibentuk secara diam-diam oleh Umbul Songo.
Para menteri lainnya tidak pernah curiga atas
ketidakmunculan Kuwara Yana. Sebab ia memang sering
beranjangkarya. Tetapi lima belas hari kemudian para
pembesar negeri menjadi geger dan panik. Karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ternyata istana Kuwara Yana disita oleh Umbul Songo
dan menyerahkannya pada Patih melalui menteri muka
yang dijabat Arya Bendung. Tapi para menteri tidak ada
yang berani menggugat. Karena mereka tahu Umbul
Songo menerima kuasa istimewa dari Raja.
Lebih mengguncangkan lagi ketika Wilis mengangkat
seorang wanita yang bernama Yistyani, sebagai menteri
cadangan negara. Memang sebagian orang sudah
banyak tahu bahwa Yistyani adalah bekas selir Kuwara
Yana. Tapi tak banyak tahu kenapa ia mendapat
kepercayaan dari Wilis. Suasana membingungkan,
banyak orang yang belum menyadari keadaan.
Termasuk Arya Bendung sendiri.
Lain halnya dengan Paramesywari. Sejak ia
mendengar pergantian pengawal di istana Wilis, ia tahu
bahwa kejadian itu akan berekor panjang. Maka ia
memerintahkan Gede Wijaya, perwakilan Mengwi di
Lateng untuk meneliti dan mengawasi Wilis. Bahkan
pada Dan Hyang Wena dan Bagus Tuwi ia sudah
memperundingkan perihal Wilis itu. Juga pada
Mangkuningrat ia telah memperingatkan. Namun
Mangkuningrat tidak menanggapinya. Wilis selalu
bersikap ramah menurut pendapatnya. Tak pernah
menunjukkan gejala pembangkangan. Tak bersikap
kejam. Tapi setelah menerima laporan penangkapan Kuwara
Yana, Mangkuningrat amat terkejut. Maka ia segera
panggil adiknya itu. Ia ditemani Paramesywari dan Dang
Hyang Wena serta Bagus Tuwi kala berhadapan dengan
Wilis. "Adinda, kudengar berita tentang ketidaktentraman
kerja dalam pemerintahanmu. Benarkah itu?"
Mangkuningrat memulai. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Kanda, apakah yang dimaksud?"
"Blambangan makin kacau?"
"Kekacauan telah lama terjadi dan bukankah Kanda
menganggap Umbul Songo menjadi panglima untuk
melindasnya?" "Ya. Tapi apa maksud Dinda dengan penggantian
Kuwara Yana" Juga penangkapan Syahbandar
Sumberwangi?" "Mereka telah merugikan kerajaan dengan
menghamburkan cadangan negara bagi kepentingan
pribadi. Lebih dari itu mereka bersekongkol dengan kaum
perompak." "Jagat Dewa! Benarkah itu?"
"Hamba akan segera membuktikan semua tuduhan
pada mereka itu melalui pengadilan resmi. Hamba ingin
hukum dan peraturan ditegakkan sebaik-baiknya di
Blambangan ini." Mangkuningrat diam. Tak tahu lagi apa yang harus
dipersoalkan. Wilis tidak salah. Ia akan meluruskan
hukum dan peraturan dalam pemerintahannya. Tapi
Paramesywari tidak sabar melihat suaminya tidak lagi
mampu berkata-kata. "Bukankah itu bisa menyeretkan perniagaan. Bahkan
mengguncang keadaan negeri?" ia mulai bertanya
seperti burung berkicau. "Ampun, Yang Mulia. Keguncangan bukan karena
Wilis. Tapi kaum perusuh. Dan kami sedang melindas
mereka." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi kenapa justru pembantu Adinda sendiri ditangkap" Dan menggantikannya dengan orang lain"
Yang mungkin kekasih Adinda sendiri?"
Memerah wajah Wilis. Suara Paramesywari memang merdu untuk didengar. Tapi menyakitkan bila dirasakan.
Seluruh tenaga batinnya ia kerahkan. Dan ia berusaha menjawab sambil menahan getaran jiwanya. "Bukan orang lain, Yang Mulia. Ia adalah selir Kuwara Yana sendiri. Yang Mulia Arya Bendung, bahkan Yang Tersuci Wena dan Sri Prabu sudah mengenalnya."
Keempat orang itu tergagap. Tapi Wilis tak peduli. Ia tetap mempertemukan pandangnya dengan
Paramesywari. "Pergantian itu terlalu cepat. Sebab tuduhan itu belum tentu benar," Bagus Tuwi mengeluarkan pendapat.
"Kebenaran memang muncul di belakang. Karena itu hamba akan meminta Yang Mulia Umbul Songo mengadakan pemeriksaan dan hamba akan
mempertanggungjawabkannya di hadapan duli Sri Prabu," jawab Wilis. "Hamba berjanji selambatnya dua pekan sudah melaporkan hal ini."
Setelah berkata demikian Wilis minta diri
meninggalkan pertemuan itu. Dalam hati ia berkata, kalian satu per satu akan mendapat giliran sebagai imbalan dari karyamu, memperbodohkan kawula Blambangan selama ini.
Selang beberapa hari kemudian Umbul Songo membuka persidangan untuk memeriksa Kuwara Yana.
Beberapa pembesar negeri, termasuk Wong Agung Wilis menghadiri persidangan. Persidangan itu diadakan di
gedung dharmadhy-haksa (pengadilan agung) Di depan
gedung itu berdiri patung Bathara Guru dan Ganesya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semula Kuwara Yana menggugat, dengan
mengatakan pemeriksaan atas dirinya itu tidak sah. Dia
diangkat menjadi menteri sejak sebelum Wilis menjadi
patih. Maka yang berhak mengadili adalah mereka yang
ditunjuk oleh Sri Prabu. Tapi waktu itu Umbul Songo
menunjukkan cincin yang dia terima dari istana, yang
menunjukkan bahwa dia pengemban titah Sri Prabu.
Maka Pengadilan segera bisa dimulai setelah Umbul
Songo dan Dbarmadhyaksa (jaksa agung) Suketi,
disumpah oleh Wilis di depan patung Bathara Guru.
"Bukti-bukti telah ditangan kami, Yang Mulia. Tidak
usah menyesal," kata Umbul Songo dalam pengadilan itu
pada Kuwara Yana. "Sementara ini istana Yang Mulia
kami serahkan pada selir Yang Mulia sendiri. Yistyani.
Masih ingat?" "Jagat Bathara! Rumah itu telah hamba tempati
sebelum hamba diangkat menjadi menteri. Itu pemberian
ayah hamba." "Uang yang kau hamburkan jauh lebih banyak dari
warisan itu. Berapa hasil bandar yang kau pakai" Berapa
pajak dari pedagang yang tidak masuk ke cadangan
negara. Karena itu pula kau selalu menghalangi
pembelian meriam baru. Pembuatan kapal perang baru
juga kauhalangi dengan alasan menghamburkan
cadangan negara. Juga pengerahan laskar untuk
membasmi perampok dan.perompak, dengan alasan
yang sama. Padahal uang negara kau hamburkan untuk
kepentinganmu pribadi. Blambangan menjadi ringkih
karena perbuatanmu," tuduh Dhyaksa Suketi.
"Demi keselamatan Blambangan hamba menyerahkan
sebagian uang itu pada Yang Mulia Gede Wijaya sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perwakilan Mengwi di Blambangan. Juga pada Yang
Mulia Teposono." "Sungguh" Jangan menakut-nakuti kami," Umbul
Songo menekan. "Mengwi sudah menerima upeti, kita
tidak perlu lagi mempersembahkan pada perwakilannya


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ada di sini. Juga Teposono, dia sudah menerima
gaji. Apa guna Yang Mulia menyisihkan cadangan
negara untuk mereka" Untuk melindungi kepentingan
Yang Mulia secara pribadi?"
Kuwara Yana makin gemetar. Wajahnya pucat.
Kumisnya jatuh ke bawah tidak terawat selama ia dalam
rumah tahanan. Keangkuhannya selama ini musnah.
Akalnya musnah. "Demi Hyang..."
"Tidak pantas kau menyebut nama dewa!" Suketi
membentak. "Ampun... semua orang istana sudah pernah
menerima..." "Baik!" Umbul Songo memotong. "Kau melibatkan
banyak orang istana. Mereka pun akan diminta
keterangannya sepertimu. Sekarang, telah nyata segala
salahmu, maka hukuman mati telah tersedia bagimu!"
Umbul Songo menutup sidang itu.
"Ampun!! Ampunkan hamba. Hamba akan bayar
kerugian negara!" Kuwara Yana menyembah.
"Sampai anak-cucumu pun kau tak akan bisa
membayar dari hasil keringatmu. Bila kulepas kau pasti
akan jadi perompak!"
Gandewa menuntun Kuwara ke penjaranya. Ia
menangis memohon ampun pada patih Blambangan.
Tapi permohonan itu sia-sia. Wilis malah memberi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
laporan di depan sidang pratanda bahwa Kuwara Yana
telah membuat negara menjadi ringkih. Dan ia kini
dijatuhi hukuman. "Siapa saja yang dengan sengaja menjerumuskan
Blambangan ke jurang keringkihan akan kami tindak,"
kata Wilis yang tak terlupakan oleh para menteri.
Selesai sidang itu ia mengajak Arya Bendung
menghadap Raja. Mangkuningrat saat itu sedang duduk
di balai agung bersama Paramesywari, Dang Hyang
Wena, serta Bagus Tuwi. Dalam hati Wilis bertanya, apa
saja kerja kedua orang ini maka tak pernah pergi dari
istana" Dan ia juga sedikit mengeluh setiap kali bersua
Paramesywari. Wanita itu selalu mencampuri urusan
negara. "Sembah buat Sri Prabu dan Paramesywari," Wilis
menyapa. "Para pembesar negeri selalu memperbincangkan
ulahmu. Apa yang telah terjadi, Dinda?"
"Jika ada batu diceburkan kolam, bukankah airnya
akan beriak?" "Tapi ketakutan menjalar ke mana-mana," Ayu
Chandra menyahut. Tapi Wilis cuma tersenyum.
"Ikan selalu takut pada apa saja yang tidak sejenis
dengannya. Begitu juga yang bersalah pada negara,
selalu takut pada orang-orang yang masih setia pada raja
dan negara. Kuwara Yana dihentikan dan dijatuhi
hukuman oleh pengadilan. Itu laporan hamba hari ini."
Wilis tersenyum lagi. Paramesywari diam. Ia sudah
mendengar keputusan pengadilan itu. Juga yang lain
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah mengikuti jalannya sidang. Tapi senyum Wilis itu
kini serasa menyakitkan hatinya.
"Jagat Pramudita! Yang Mulia menyalahi Yajur Weda
karena melampaui kekuasaan Raja."
"Ternyata Yang Suci belum membaca Weda
sepenuhnya. Bukankah hamba telah diberi kuasa
sebagai patih" Kekuasaan mana yang hamba lampaui."
"Memecat seorang menteri tanpa persetujuan Raja."
"Menteri adalah anggauta pratanda, hak patih untuk
mengangkat atau menghentikannya."
"Jagat Pramudita! Yang Mulia telah melanggar
kebiasaan di Blambangan. Yang Mulia akan dikutuk oleh
para dewa." "Kalau begitu terkutuklah Yang Maha Mulia Patih
Amangkubumi Sang Praneleng Kadatwang Pratanda
Muka Ri Majapahit Gajah Mada, terkutuklah pula para
patih di seluruh jagat." Wilis tertawa. "Maka Hyang Maha Dewa telah pula bersalah... mencipta segala hukum dan
peraturan karena manusia harus hidup menurut
kebiasaan dan bukan menurut hukum dan peraturan. Tak
ada artinya pula Weda diturunkan ke bumi."
"Hyang Bathara! Hamba yang setiap hari
mendekatkan diri padaNya tak berani menyalahkan.*'
"Yang mampu mendekatkan diri bukan cuma Yang
Suci. Tapi setiap orang yang percaya dan mendapatkan
ketenangan dalam semadinya, adalah orang yang
berhasil menyatukan diri dengan Dewata."
"Kalau begitu Adinda membaca Atharwa Weda dan
Shama Weda?" Paramesywari menyela lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena hamba memerlukan, maka hamba membaca
Yajur Weda, Reg Weda, Atharwa Weda, dan Shama
Weda. Karena hamba memerlukan pengetahuan. Juga
tiap orang memerlukannya. Maka mereka seharusnya
membaca seluruh Weda."
"Yang Mulia menyalahi igama," Wena penasaran.
"Zaman telah berubah. Igama tidak hanya boleh
diketahui oleh brahmana. Satria yang baik harus
menguasai ugama (peraturan yang berlaku untuk
sesama manusia) agama (peraturan yang berlaku untuk
hubungan raja dan kawula) dan igama (peraturan untuk
mengatur hubungan dewa dan manusia)"
Muka Wena memerah. Hatinya kian bergejolak.
"Dengan kata lain Yang Mulia membenarkan satria
menjadi lebih pintar dari brahmana?"
"Karena memang tidak kurang brahmana yang cuma
karena dalam dirinya mengalir darah brahmana semata.
Dan setiap orang, harus menghormatinya. Dengan atas
nama Hyang Maha Dewa, brahmana yang pandir
sekalipun boleh memungut persembahan dari semua
orang. Berupa apa pun. Harta maupun wanita!"
"Jagat Dewa!" Semua orang terkejut.
"Pengetahuan hebat," puji Paramesywari.
Namun Wena masih ingin menggunakan wibawanya.
"Itu memang kehendak Dewata!"
"Dewa menciptakan manusia sama," jawab Wilis.
"Kemudian dibedakan dalam tugas, pengetahuan, dan
kedudukan." "Kalau begitu zaman sekarang tak memerlukan
brahmana?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Diperlukan untuk mengajar dan mencari rahasia alam
dalam wujud pengetahuan. Sebab pengetahuan adalah
sumber segala budaya. Dan kebudayaan merupakan titik
pangkal dari perkembangan peradaban manusia.
Sekarang sudah waktunya brahmana yang ingkar dari
kebrahmanaan-nya disingkirkan."
"Dewa Bathara." Semua orang menyebut berbareng.
"Ingat! Brahmana tanpa pengetahuan adalah penjahat.
Tapi sudra yang penuh pengetahuan adalah brahmana."
"Jagat Pramudita!" Wena terkejut. Wilis makin berani.
"Harga suatu kesalahan tak dapat dibayar dengan
cuma menyebut Hyang Maha Dewa!
Kesalahan pikiran apalagi kesalahan tindakan tak
terampunkan. Masih ingatkah Yang Suci pada Ayahanda
anumerta" Bukankah Yang Suci menasihatkan agar
menghentikan perang dengan Belanda atas
persekongkolan Yang Suci dengan Kuwara Yana" Dan
apa akibatnya" Sekarang Yang Suci harus
mempertanggungjawabkan di muka Hyang Bathara
Guru. Yang Suci harus berhadapan dengan pengadilan
sekarang." "Itu tanggung jawab Arya Bendung, menteri muka!"
Wilis menperdengarkan suara tawanya.
"Brahmana hanya pandai berkata-kata tapi tak pandai
mempertanggungjawabkannya."
"Adinda!" Mangkuningrat terkejut. "Kau datang untuk melapor. Tapi kenapa begini jadinya?"
"Keadaan mengharuskan jadi begini. Hamba datang
bersama Yang Mulia Arya Bendung. Bukan tak ada
artinya. Bukankah sudah ada Paramesywari yang penuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengetahuan untuk mendampingi Kanda" Sudah
waktunya kita menegakkan wibawa Tawang Alun
kembali." "Istana memerlukan brahmana."
"Brahmana yang baik bukan brahmana yang hidup di
segala zaman. Bukan pula yang menitikkan liur pada
wanita dan harta!" "Aku tak bisa... pulanglah kalian!" Tiba-tiba
Mangkuningrat berdiri. Dengan terhuyung dia
meninggalkan pertemuan. Paramesywari memburu.
"Aku takut, Wilis, kita akan kena. amarah Dewa....
Jangan tangkap Yang Suci!" Terdengar suaranya dari
dalam. Tapi Wilis tak peduli. Diperintahkannya Arya
Bendung membawa Wena kepada Umbul Songo untuk
diperiksa. Di peraduan Mangkuningrat berkata pada istrinya
bahwa ia tidak mengerti maksud Wilis. Paramesywari jadi
iba. Suaminya seorang dungu. "Wong Agung tak salah,"
katanya pelan sambil mencium pipi suaminya. "Setiap
satria memang harus mampu menghadapi persoalan
yang tindih-menindih ini. Kita harus belajar menjadi bijak
tanpa Yang Suci. Nah, mari tenangkan pikiran." Ayu
Chandra mencium Mangkuningrat lagi.
0oo0 Mangkuningrat masih saja sering duduk-duduk
istirahat di taman. Lebih banyak mendengar laporan
keadaan negeri lebih pusing. Wilis telah menciptakan
begitu banyak perubahan bagi negerinya. Karena itu
untuk sementara ia membiarkan Paramesywari
mewakilinya. Ia melihat istrinya dengan tangkas
memanggil para menteri pakira-kiran makabehan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertugas menjadi penasihat raja itu untuk berunding.
Menteri pakira-kiran makabehan ini beranggotakan lima
orang. Termasuk Bagus Tuwi.
Setelah pertemuan itu Paramesywari menjatuhkan
perintah pada Wilis agar semua orang yang terlibat
kerusuhan diadili sesuai dengan Kitab Kutaramanawa
(buku undang-undang kejaksaan dan mahkamah agung
yang berlaku sejak zaman majapahit).Sedang bagi
brahmana yang terlibat harus diadili oleh dharmadhjaksa
ring kacewan (pengadilan agama Ciwa yang khusus
mengadili kaum brahmana Ciwa)
Bukan hanya itu, ia ingin melihat kerja Wilis secara
langsung, bukan hanya menerima laporan. Sendiri ia
beranjangkarya ke Sumberwangi, Muncar, dan beberapa
Pendekar Pedang Kail Emas 10 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Guntur 11
^