Pencarian

Jago Jago Bayaran 1

Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Bagian 1


JAGO-JAGO BAYARAN
Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Jago-Jago Bayaran
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Akhir-akhir ini, orang-orang dari rimba persilatan berduyun-duyun mengunjungi
Desa Kali Anget. Seperti menyimpan sebuah tempat wisata, desa itu begitu ramai
dipenuhi pendatang dari segala penjuru. Hingga keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya.
Kedai-kedai makan dan minum tak pernah sepi dari
pengunjung, tamunya silih berganti. Sementara rumah-rumah
penginapan yang ada tak mampu lagi menampungnya, hingga rumah-rumah penduduk pun
dijadikan tempat menginap. Untunglah, sejauh ini belum ada keributan atau
pertumpahan darah, meskipun di antara mereka tidak mehampakkan sikap bersahabat.
Apa sebenarnya yang menyebabkan orang-orang rimba persilatan berdatangan ke sana"
Sementara itu Kepala Desa Kali Anget makin bingung dibuatnya. Dia ridak
mengerri, apa sebenarnya maksud kedatangan mereka yang begitu mendadak. Saking
bingungnya, maka dikumpulkannya para tetua dan sesepuh desa untuk membicarakan
hal tersebut. Ada delapan orang yang hadir dalam pertemuan itu.
"Semakin hari desa kita semakin banyak kedatangan orang-orang rimba persilatan.
Sementara kita sendiri tidak tahu, apa maksud kedatangan mereka" Hal itulah yang
membuat saya mengundang saudara-saudara sekalian
untuk membicarakannya," kata kepala desa, Ki Jatirekso.
Delapan orang undangan itu hanya mengangguk-
anggukkan kepala. Mereka juga tidak habis pikir dengan bermunculannya tokoh-
tokoh rimba persilatan di desa ini.
"Kita harus mengetahui apa tujuan mereka ke sini, sebelum terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan," lanjut Ki Jatirekso.
"Apa yang harus kita lakukan" Rasanya tidak mudah
mengusir mereka dari sini. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam dan rata-
rata memiliki tingkat ilmu yang tinggi!" ujar Ki Karangseda yang bertubuh kurus
dan rambutnya sudah putih semua.
"Benar, Ki. Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mengetahui maksud kedatangan
mereka," sambung seorang laki-laki yang bertubuh tegap meskipun usianya sudah
berkepala lima. Dia bernama Suryadenta, seorang jawara Desa Kali Anget yang
menjaga keamanan desa ini.
"Justru itulah maksudku, mengapa aku mengundang kalian ke sini," tegas Ki
Jatirekso. Mereka saling berpandangan.
"Aku akan menyelidiki, Ki," kata Suryadenta memecah kesunyian.
"Mereka bukan orang sembarangan, Suryadenta. Kau harus hati-hati," kata Ki
Jatirekso. "Aku tahu apa yang harus dilakukan, Ki," sahut Suryadenta mantap.
Setelah berkata demikian, Suryadenta bangkit dan diikuti oleh tiga orang yang
duduk mengapitnya. Ketiga orang itu adalah
adik-adik Suryadenta yang juga bertugas mengamankan desa. Setelah berpamitan, mereka meninggalkan rumah kepala desa. Kini tinggal empat orang yang duduk di hadapan
kepala desa. Beberapa saat setelah kepergian Suryadenta dan adik-adiknya, tidak ada yang
membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tampak Ki
Jatirekso begitu berkerut wajahnya. Desa Kali Anget memang sering
kedatangan tokoh rimba persilatan, tapi yang sekarang ini benar-benar
mengherankan. Begitu banyak tokoh-tokoh rimba persilatan yang da-tang!
Dan yang paling membuat risau Ki Jatirekso, mereka adalah tokoh-tokoh dari
golpngan hitam. Tak seorang pun yang beraliran putih. Kecemasannya memang cukup
beralasan, karena tidak mustahil orang-orang itu akan
membuat kekacauan di sini. Mereka adalah penganut hukum rimba. Siapa yang kuat,
dialah yang berkuasa. Tidak ada istilah baik atau buruk, semua yang dilakukan
dianggap baik oleh mereka.
"Aku menduga, kedatangan mereka ada yang mengundang," gumam Ki Karangseda.
Semua memandang ke arah laki-laki tua itu dengan
tatapan tidak mengerti. Sementara laki-laki tua itu mengelus elus janggutnya
yang putih. Sedang bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum
tipis. "Tidak mungkin mereka datang ke sini tanpa tujuan!"
lanjut Ki Karangseda tetap tenang.
"Hm..., mungkin juga," gumam Ki Pungkur mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-
akan mengerti jalan pikiran Ki Karangseda.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
Ki Jatirekso kebingungan. "Kau bekas seorang pendekar, Ki Jatirekso. Masa kau tidak ngerti apa yang
kukatakan"!" ada nada sinis dalam suara Ki Karangseda.
Ki Jatirekso menatap tajam pada lelaki tua di ha
dapannya. Dia mulai mengerti arah pembicaraan Ki
Karangseda. Dirinya sendirilah yang dicurigai mengundang tokoh-tokoh rimba
persilatan itu.
"Sebaiknya, kita hilangkan saja rasa saling curiga," kata Ki
Jatirekso menunjukkan kewibawaannya sebagai pemimpin. "Aku melihat Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini.
Kau tentu masih ingat dia, Ki," kata Ki Pungkur yang duduk di samping Ki
Karangseda. "Itu masa lalu yang suram! Aku tidak peduli apakah dia ada di sini atau tidak!
Yang akan kita bicarakan bukan masa laluku, tapi tujuan mereka ke sini!" Ki
Jatirekso sedikit emosi. "Justru itu ada hubungannya dengan...."
"Cukup!" sentak Ki Jatirekso geram, memutus kata-kata Ki Karangseda.
Kepala desa itu menatap tajam pada Ki Karangseda.
Kemudian beralih pada Ki Pungkur, Sangga bawung dan adiknya, Sangga Kelana.
"Sebaiknya kita akhiri saja pertemuan ini!" kata Ki Jatirekso dingin.
"Aku akan menyelidiki kemungkinan ini, Ki Jatirekso,"
kata Ki Karangseda sinis.
Setelah berkata demikian, Ki Karangseda segera
beranjak pergi dan diikuti Ki Pungkur. Sementara dua bersaudara, Sanggabawung
dan Sangga Kelana masih
tetap duduk di tempatnya. Ki Jatirekso menatap tajam ke arah mereka.
"Mengapa kalian belum pergi juga?" dingin suara Ki Jatirekso.
"Tidak, sebelum kemarahan Anda reda," sahut Sanggabawung tenang.
Ki Jatirekso menghela napas panjang. Kepalanya
terdongak ke atas. Memang tidak sepantasnya dia marah-marah kepada kedua
bersaudara ini. Karena yang telah menyinggung
perasaannya adalah Ki Karangseda. Sedangkan Sanggabawung dan Sangga Kelana, tidak
mengetahui apa-apa tentang masa lalu-nya.
"Maaf, aku telah kasar pada kalian," kata Ki Jatirekso tenang
"Ya sudah, kami permisi dulu, Ki," pamit Sangga bawung scraya bangkit berdiri,
"Ya."
*** Sementara itu Desa Kali Anget, makin hari makir ramai oleh pendatang. Hingga
suasananya juga makin bertambah panas. Keributan-keributan kecil mulai terjadi
di beberapa tempat. Mereka memang orang-orang yang keras dan
mengandalkan kesaktian dalam menyelesaikan suatu
persoalan. Maka tidak heran bila ada perselisihan kecil yang berakhir dengan
pertumpahan darah.
Keadaan yang demikian, membuat penduduk makin
resah. Demikian pula penjaga keamanan desa Suryadenta dan adik-adiknya, juga
makin sibuk menghadapi laporan-laporan penduduk. Seriap hari, ada saja keributan
yang menewaskan tiga atau empat orang.
"Aku yakin, ada maksud tertentu atas kedatangan mereka ke sini," kata Suryadenta
setengah bergumam Ketiga adiknya hanya diam sambil menikmati hidangan di meja.
Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa| Sementara keadaan makin bertambah
sukar dikendalikan. Bagi
mereka, lebih baik bertarung dengan kelompok perampok, daripada harus berhadapan
dengan tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan hitam.
"Apakah kalian sudah memperoleh keterangan?" tanya Suryadenta sambil memandang
wajah adik-adiknya satu per satu. "Bayudenta?"
"Belum," sahut Bayudenta menggeleng.
"Tirtadenta, bagaimana denganmu?"
"Sama," sahut Tirtadenta sambil menggeleng juga.
Suryadenta memandang adiknya yang bungsu. Satu-
satunya yang wanita dari empat bersaudara. Mayadenta hanya menggeleng tanpa
mengangkat kepalanya.
"Tidak seorang pun yang membicarakan tentang maksud kedatangan mereka," kata
Tirtadenta. "Aku punya pikiran lain, Kakang," kata Mayadenta seraya mengangkat kepalanya.
"Apa pikiranmu?" tanya Suryadenta beralih menatap adik perempuannya yang cantik.
"Aku ingat kata-kata Ki Karangseda," kata Mayadenta pelan suaranya.
"Maksudmu?" tanya Bayudenta tidak mengerti.
"Ki Karangseda bilang, bahwa Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini. Aku
yakin, kalian semua tahu hubungan perempuan itu dengan Ki Jatirekso," kata
Mayadenta lagi.
"Kau jangan memperburuk keadaan, Maya!" dengus Tirtadenta.
"Aku tidak memperburuk keadaan. Aku hanya berpikir, bahwa kecurigaan Ki
Karangseda mungkin ada benarnya.
Rasanya memang mustahil, kalau mereka daiang ke sini tanpa ada yang dicari.
Kalian masih ingat, kan" Sehari sebelum mereka bermun-culan, Ki Jatirekso
mengadakan pesta pertunangan anaknya dengan putri Kepala Desa Margasuko. Nah!
Apa yang dikatakannya waktu itu?"
Tidak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka
hanya memandang gadis cantik berbaju merah itu.
Mayadenta tersenyum tipis penuh arti.
"Aku ingat, Ki Jatirekso juga mengatakan pada calon mantunya, bahwa dia
menginginkan seorang cucu yang bisa diharapkan jadi pendekar kelas satu," kata
Tirtadenta mencoba meraba maksud adiknya.
"Bukan itu, Kakang Tirta," bantah Mayadenta.
"Lalu, yang mana?" dongkol juga Tirtadenta.
"Ki Jatirekso juga menyebut-nyebut sebuah nama dan menyuruh mencarinya. Ingat?"
Ketiga kakaknya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tentu saja mereka kembali mengingat kata-kata yang terlontar beberapa hari yang
lalu. "Tapi Ki Jatirekso waktu itu dalam keadaan mabuk," kata Bayudenta.
"Pengaruh arak bisa membuat orang lupa diri, Kakang Bayu," kata Tirtadenta bisa
memahami mak sud adiknya.
Dalam hati dia memuji kecerdikan Mayadenta.
"Kau ingat nama yang disebutkan Ki Jatirekso"' tanya Suryadenta yang saat itu
tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan Ki Jatirekso.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Mayadenta mantap.
Ketiga orang kakaknya serentak menggumamkan nama
itu. Semua orang juga pasti pernah mendengar-nya sebagai pendekar yang pilih
tanding. "Lalu, apa hubungannya dengan keadaan di sini?"
Suryadenta masih penasaran.
"Itulah yang harus kita ketahui lebih.dulu. Waktu itu, Ki Jatirekso memang tidak
menjelaskan pada Jaka Wulung.
Sebab dia keburu meninggalkan tempat sebelum ucapannya selesai," sahut Mayadenta yang waktu itu duduk satu meja dengan Jaka
Wulung dan tunangannya.
"Lantas, dengan Perempuan Iblis Pulau Karang?"


Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambung Bayudenta belum jelas.
"Kalian masih ingat, kan" Apa yang terjadi sebelum Ki Jatirekso dinobatkan jadi
kepala desa di sini" Perempuan itu datang dengan sembunyi-sembunyi menemui Ki
Jatirekso. Aku yakin, mereka punya rahasia yang ada sangkut pautnya dengan
Pendekar Rajawali Sakti,"
Mayadenta menerangkan.
"Hm. ., aku ingat. Malam itu mereka bicara di kamar, tapi cuma sebentar. Dan
perempuan itu langsung keluar dan pergi entah ke mana," kata Suryadenta agak
bergumam. "Kalau begitu, kita mulai punya gambaran!" seru Bayudenta cerah wajahnya.
"Ya, dan dapat kita mulai dari Jaka Wulung!" sambung Mayadenta bersemangat
"Tapi aku minta keterangan Ki Jatirekso sendiri," kata Suryadenta.
"Aku tidak menyangka, punya adik cantik yang berotak cerdas!" puji Tirtadenta
tersenyum manis pada adiknya.
"Siapa dulu dong... aku, kok!" ujar Mayadenta sambil menepuk dadanya,
Dan empat bersaudara itu pun tertawa terbahak-bahak.
Mereka tidak menyadari kalau ada yang memperhatikan sejak tadi. Sepasang mata
itu sebagian besar wajahnya tertutup tudung besar dari anyaman bambu. Tubuhnya
ramping dan terbungkus baju yang berwama biru langit, dadanya yang membusung
menandakan bahwa dia adalah wanita.
Tapi bukan dia saja yang mengawasi empat orang
bersaudara itu, karena seorang kakek-kakek yang duduk paling pojok juga
mengawasi mereka sejak tadi. Meskipun kepalanya menunduk menekuri hidangannya,
tapi sudut matanya tidak pernah lepas dari empat bersaudara itu.
Siapa sebenarnya kedua orang yang mengawasi empat bersaudara di kedai makan itu"
*** Penyelidikan yang dilakukan empat bersaudara itu,
bukanlah pekerjaan yang ringan. Terlalu sulit bagi mereka untuk memperoleh
keterangan dari Ki Jatirekso maupun Jaka Wulung. Sedangkan Ki Karangseda sendiri
tidak mengetahui tentang hubungan Ki Jatirekso dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Yang dia ketahui adalah hubungan antara kepala desa itu
dengan Perempuan Iblis Pulau Karang, hanya itu saja.
Sementara itu keadaan Desa Kali Anget makin panas saja. Perlakuan yang tidak
manusiawi mulai menimpa para penduduk. Hingga beberapa orang penduduk yang tidak
tahan, mulai meninggalkan desa. Sedangkan penyelidikan yang dilakukan Suryadenta
dan adik-adiknya belum
menemukan titik terang.
Di lain tempat, Ki Jatirekso sedang duduk-duduk di halaman belakang rumahnya
yang ditata indah bagai sebuah taman kerajaan. Di sampingnya ada Jaka Wulung.
Sudah cukup lama mereka di situ, tapi tidak ada yang bicara.
"Ada apa sebenarnya Ayah memanggilku ke sini?" tanya Jaka Wulung yang tidak
tahan dalam kehening-an, sambil menatap ayahnya.
"Hhh...," Ki Jatirekso menarik nafas panjang dan dalam.
Perlahan-lahan kepalanya menoleh, membalas tatapan mata putranya. Jaka Wulung
melihat ada keresahan di bola mata itu. Memang sejak berdatangannya tokoh-tokoh
rimba persilatan ke desa ini, Ki Jatirekso berubah jadi pemurung.
Lebih banyak berada di kamar.
"Apakah kau masih ingat kata-kataku tempo hari, pada waktu pesta pertunanganmu
dengan Rara Angken?" Ki Jatirekso balik bertanya.
"Ya, aku masih ingat," sahut Jaka Wulung. "Tapi Ayah belum menjelaskan secara
terperinci."
Lagi-lagi Ki Jatirekso menarik nafas panjang.
"Apakah ada hubungannya dengan kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan ke sini,
Ayah?" tanya Jaka Wulung.
"Ya," desah Ki Jatirekso. "Tapi sudah terlambat. Sebentar lagi desa ini akan
hancur dan tinggal kenang-an.
"Lalu, apa maksud Ayah menyuruhku mencari Pendekar Rajawali Sakti?"
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Jaka Wulung.
Perempuan Iblis Pulau Karang sudah ada di sini. Tidak mungkin lagi kita bisa
mengatasinya," pelan sekali suara Ki Jatirekso.
Jaka Wulung semakin tidak mengerti. Tatapan matanya tajam, penuh selidik. Di
benaknya penuh dengan berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Apa sebenarnya yang
tengah terjadi di desa ini"
"Ayah bisa...."
Belum lagi Jaka Wulung melanjutkan kata-kata nya, tiba-tiba....
"Awas!"teriak Ki Jatirekso sambil mendorong tu buh anaknya dengan cepat.
Ki Jatirekso segera menjatuhkan diri dan bergu-igan bersama tubuh Jaka Wulung.
Sekelebat Ki Jatirekso melihat seberkas cahaya menuju ke arah anaknya. Tapi
cahaya itu dapat dihindari dan mengenai indaran bangku kayu, tempat
mereka duduk tadi. Ki Jatirekso menoleh, tampak ada sebatang ruyung perak
menancap di papan sandaran
bangku panjang. Perlahan-lahan dia bangkit sambil mengawasi sekitarnya, namun
tak seorang pun terlihat, kecuali dia sendiri dan anaknya. Jaka Wulung pun ikut
bangkit. tangannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Sejenak diliriknya ruyung perak yang menancap itu.
"Ada suratnya, Ayah," bisik Jaka Wulung. "Hm."," Ki Jatirekso hanya bergumam
saja. Dengan sikap hati-hati dan penuh waspada, laki-laki tua itu menghampiri
bangku panjang. Tangannya terulur mengambil ruyung perak itu.
Dan hanya dengan sekali hentakan, dia
berhasil mencabutnya. Sambil mengawasi keadaan sekitarnya, Ki Jatirekso melepaskan pita
yang mengikat sehelai daun lontar di ruyung perak itu.
Tiba-tiba paras wajah Ki Jatirekso berubah, begitu membaca sebaris kalimat yang
tertera dengan warna merah pada selembar daun lontar. Gerahamnya bergemeletuk
menahan amarah. Jaka Wulung mendekati dan membaca setengah bergumam. "Tunjukkan
di mana dia, maka desamu akan selamat!"
Jaka Wulung menatap ayahnya dengan kening berkerut.
Kembali dibacanya sebaris kalimat yang tertera itu.
"Apa maksudnya ini, Ayah?" tanya Jaka Wulung.
"Dia menginginkan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Jatirekso pelan dan datar,
sambil meremas surat itu.
"Dia..." Dia siapa?" desak Jaka Wulung.
Belum lagi Ki Jatirekso menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan yang
panjang. Suara itu rnenggema seperti datang dari segala penjuru. Belum hilang
rasa kaget mereka, tiba-tiba suara itu hilang begitu saja. Ki Jatirekso
menggeser kakinya dua langkah ke samping, menjauh dari Jaka Wulung.
"Panggil penjaga, cepat!" perintah Ki Jatirekso.
Tanpa diperintah dua kali, Jaka Wulung langsun berlari.
Sedangkan Ki Jatirekso meraba ke balik bajunya, dan tampaklah gagang golok
berwarna merah menyembul dari balik bajunya. Kedua mata lelaki tua itu terus
mengamati keadaan sekitarnya dengan tatapan tajam.
Tidak lama kemudian, Jaka Wulung kembali sambil
berlari kencang. Nafasnya tersengal-sengal begitu sampai di dekat ayahnya.
Sejenak Jaka Wulung mengatur jalan nafasnya, supaya lebih tenang.
"Celaka, Ayah. Celaka...!" masih dengan tersengal Jaka Wulung berkata.
"Apa yang terjadi?" tanya Ki Jatirekso sedikit keras dengan kening berkerut.
"Celaka! Semua penjaga tewas
"Apa"!"
*** 2 Ki Jatirekso menggeram hebat menyaksikan mayat-
mayat bergelimpangan di halaman. Tidak kurang dari dua puluh orang terbujur
bersimbah darah. Hanya ada satu luka yang terdapat di setiap mayat, tapi sangat
lebar dan mematikan. Ki Jatirekso membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke
rumahnya, diikuti oleh Suryadenta dan tiga orang adiknya. Sementara Jaka Wulung
membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan dibantu oleh beberapa orang
penduduk. Di dalam rumah sudah menunggu Ki Karangseda, Ki
Pungkur, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Mereka
memandang Ki Jatirekso yang datang bersama empat
bersaudara. Kernudian mereka duduk menghadapi meja bundar yang besar dan
beralaskan batu pualam putih yang berkilauan bagai kaca.
"Sebaiknya kau berterus terang saja, Ki Jatirekso. Apakah kau menginginkan
seluruh penduduk desa ini habis, hanya karena keangkuhanmu?" dingin dan bergetar
suara Ki Karangseda.
Ki Jatirekso menatap tajam pada laki-laki yang usianya sebaya dengannya itu.
Suasana tegang menyelimuti
ruangan yang luas itu. Kematian dua puluh orang penjaga, membuat para tetua Desa
Kali Anget memuncak
amarahnya. Lebih-lebih melihat kepala desa yang seperti menyimpan satu rahasia,
yang menyebabkan semua tragedi ini.
"Sebenarnya, ada apa di balik semua ini?" tanya Ki Pungkur.
"Katakan yang sebenarnya, Ki. Kami semua berada di pihakmu," desak Sanggabawung.
"Kecuali kalau persoalannya sangat pribadi, aku lepas tangan," sambung Ki
Karangseda. "Maaf, aku mau istirahat dulu," kata Ki Jatirekso seraya
bangkit. "Ki...!" sentak Ki Karangseda gusar.
Ki Jatirekso menatap tajam pada Ki Karangseda,
kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Mereka
memandang dengan penuh keheranan pada sikap kepala desa itu. Pasri ada sesuatu
yang sangat berat telah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang kini sudah meminta
korban yang cukup banyak.
Brak! Ki Karangseda menggebrak meja dengan keras. Kedua bola matanya merah berapi-api.
Dia menatap satu persatu wajah-wajah yang juga menatapnya.
"Keadaan ini, tidak bisa kita biarkan terus! Apa kita akan berpangku tangan
terus melihat penduduk satu per satu mati?" suara Ki Karangseda penuh emosi.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, sebelum mengetahui permasalahan yang
sebenarnya," kata Suryadenta kalem.
"Sudah jelas, semua ini ada hubungannya dengan Ki Jatirekso. Apalagi yang harus
diketahui?" sentak Ki Karangseda.
"Banyak!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.
Semua kepala langsung menoleh. Jaka Wulung melangkah ke arah mereka, matanya menatap tajam Ki Karangseda yang bertopang
pada bibir meja. Jaka Wulung berhenti dan berdiri di belakang empat bersaudara.
Sejenak dia mengawasi wajah di depannya satu per satu.
"Masih banyak yang perlu diketahui, tapi bukan dari sebab ayahku," kata Jaka
Wulung datar suaranya.
"Kau tahu, kenapa tidak mengatakan dari semula?" nada suara Ki Karangseda
terdengar sinis.
"Kenapa bukan kau saja yang mengatakan, Ki?" balas Jaka Wulung tidak kalah
sengitnya. Ki Karangseda tersentak. Seketika wajahnya berubah merah padam. Sementara sinar
matanya masih tajam
menatap Jaka Wulung. Tapi Jaka Wulung membalasnya
dengan tidak kalah tajam.
"Kalian pasti mengenal senjata ini. Di desa ini, cuma ada satu yang punya!" Jaka
Wulung melemparkan ruyung perak ke atas meja.
Semua mata menatap ruyung perak itu, lalu beralih ke arah Ki Karangseda.
Meskipun ayahnya tidak pernah menceritakan, tapi Jaka Wulung bisa mengenali,
milik siapa senjata itu. Dia mengambilnya saat dibuang oleh ayahnya bersama daun
lontar yang bertuliskan huruf berwarna merah. Dia juga menunjukkan daun lontar
yang sudah lusuh diremas ayahnya.
Makin merah muka Ki Karangseda, melihat tulisan yang tertera di daun lontar itu.
Dia mundur satu tindak.
Sementara mereka yang ada di ruangan menatap tajam rriinta penjelasan pada Ki
Karangseda. "Untuk apa kau melemparkan senjata pada ka-mi?" tanya Jaka Wulung dingin dan
datar. "Senjata itu memang milikku, tapi bukan aku yang melemparkan," bantah Ki
Karangseda gusar.
"Di mana saja kau, sepanjang siang ini?" tanya Jaka Wulung seperti menghakimi.
"Aku bersama Ki Pungkur," sahut Ki Karangseda.
"Benar, sejak pagi sampai sekarang, dia bersamaku di kedai Pak Rahim," Ki
Pungkur membenarkan. "Bahkan Sanggabawung dan Sanggakelana juga ada di sana."
Jaka Wulung menatap kakak beradik yang disebutkan namanya. Mereka menganggukkan
kepala membenarkan.
Sementara Ki Karangseda tersenyum tipis penuh kemenangan memandang Jaka Wulung.
"Sebaiknya, persoalan ini jangan diperpanjang. Masih banyak persoalan berat yang
harus segera ditangani," kata Ki Pungkur melerai.
"Hm...," Jaka Wulung bergumam sinis.
"Aku permisi dulu," pamit Ki Pungkur seraya bangkit.
Ki Karangseda juga rneninggalkan ruangan itu, mcngikuti
langkah Ki Pungkur yang sudah sampai di pintu Tidak lama sesudah kedua laki-laki
tua itu berlalu, Sanggabawung mengajak adiknya meninggalkan ruangan juga.
Sejenak dia memandang Jaka Wulung, lalu menepuk pundaknya.
Kemudian melangkah ke luar. Kini tinggal Jaka Wulung, Suryadenta dan ketiga
adiknya. "Kapan kau menemukan senjata ini?" tanya Tirtadenta setelah cukup lama berdiam
diri. "Tadi, sebelum, kutemukan dua puluh orang penjaga tewas," sahut Jaka Wulung
seraya duduk di samping Suryadenta.
"Berarti baru saja," gumam Suryadenta pelan.
"Ya. Senjata itu diarahkan padaku," sambung Jaka Wulung.
"Hm..., di desa ini, memang hanya Ki Karangseda yang memiliki senjata seperti
itu, tapi sekarang ini kan banyak tokoh-tokoh rimba persilatan di sini. Dan
tidak mustahil ada di antara mereka yang memiliki senjata seperti ini,"
Mayadenta agak bergumam mengemukakan pendapatnya.
"Jenis senjata memang bisa sama, tapi pasti ada ciri khas tersendiri untuk
mengenali siapa pemiliknya," bantah Bayudenta.
"Benar!" seru Suryadenta.
Kakak tertua dari empat bersaudara itu mengambil
ruyung perak yang tergeletak di meja. Sejenak diamatinya benda itu, lalu
memberikannya pada ketiga adiknya.
"Ukiran bunga melati menandakan, kalau ruyung perak ini milik Ki Karangseda,"
kata Suryadenta.
"Ya, bunga melati lambang keperkasaannya. Aku yakin, tak seorang pun selain Ki
Karangseda yang memiliki senjata berukir bunga melati," sambung Mayadenta.
"Hm..., kalau begitu, apa maksud perbuatannya?" gumam Bayudenta.
Sesaat mereka semua hanya terdiam. Macam-macam
pikiran dan dugaan berkecamuk di kepala mereka. Sesekali
mata mereka menatap kembali ruyung perak dan Iembaran daun lontar di atas meja.
Sulit untuk mencari alasan yang tepat, dengan mengkaitkan keterlibatan Ki
Karangseda dalam masalah ini.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru memancarkan
sinarnya, tampak dua orang sedang berjalan me-nuju ke arah Desa Kali Anget. Yang
satu seorang laki-laki muda yang mengenakan rompi berwarna putih. Di
punggungnya, ada senjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung. Sedang
satunya lagi adalah wanita muda yang cantik dan mengenakan baju biru yang ketat,
hingga membentuk tubuhnya kelihatan ramping.
Dilihat dan pakaian dan senjata yang tersandang,
mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti mengajak Pandan Wangi memasuki sebuah kedai
yang sudah buka. Tak
seorang tamu pun yang tampak di kedai ini, kecuali mereka berdua saja. Rangga
memilih tempat agak ke sudut, dan dekat jendela besar yang Iangsung menghadap ke
luar.

Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang laki-laki tua menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Rangga segera
memesan makanan dan seguci arak manis. Kemudian laki-laki tua pemilik kedai itu
mengangguk dan berlalu meninggalkan meja. Tidak lama kernudian dia kembali lagi
dengan memba wa pesanan tamunya.
"Apa nama desa ini, Pak?" tanya Pandan Wangi.
"Desa Kali Anget," sahut Pak Tua itu singkat.
"Kelihatannya ramai sekali, apakah desa ini akan mengadakan perayaan?" tanya
Rangga yang sejak tadi mengamati ke luar.
"Tidak tahu, Tuan. Memang dalam beberapa hari banyak orang datang ke sini,
bahkan menginap segala. Rumah
Bapak saja disewa mereka untuk menginap, yaaah...,terpaksa Bapak sekeluarga tidur di kedai ini."
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Permisi, Bapak mau ke belakang dulu," pamit Pak Tua itu.
"Silakan, Pak," sahut Pandan Wangi.
Mereka segera makan dengan tenang. Sesekali Rangga melihat ke luar melalui
jendela besar yang terbuka. Tampak di depan kedai sudah banyak orang hilir mudik
dengan kesibukan masing-masing. Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut
keningnya, melihat banyak orang yang menyandang senjata dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau
di desa itu banyak orang-orang dari rimba persilatan.
"Ada yang menarik perhatianmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang juga mengarahkan
pandangannya ke luar.
"Ya," sahut Rangga mendesah.
Perhatian Rangga segera beralih, ketika ada empat Orang masuk ke dalam kedai.
Satu di antaranya seorang wanita muda yang cantik. Di pinggangnya terlilit
selendang berwarna kuning gading. Sedang tiga lainnya, menyandang pedang di
pinggang. Mereka segera duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan
Wangi. Laki-laki pemilik kedai segera menghampiri dengan sikap penuh hormat.
"Seperti biasa, Pak Rahim," kata salah seorang yang ternyata Suryadenta.
Cuma sebentar Pak Rahim ke belakang. Kemudian
kembali lagi dengan membawa baki besar berisi penuh makanan dan minuman.
Mayadenta membantu Pak Rahim menyiapkan makanan di meja.
"Sebentar, Pak," cegah Suryadenta ketika Pak Rahim mau kembali lagi ke belakang.
"Duduk dulu di sini," kata Tirtadenta menyambung.
"Ada apa, Den?" tanya Pak Rahim seraya duduk di samping Bayudenta.
"Apakah kemarin Bapak melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur di sini?" tanya
Suryadenta Iangsung.
'Tidak, Den," sahut Pak Rahim setelah berpikir sebentar.
Suryadenta memandang ketiga adiknya bergantian.
Kemarin Ki Karangseda bilang, bahwa dia seharian berada di sini bersama Ki
Pungkur. Sedang pemilik kedai sendiri mengatakan, tidak melihat mereka kemarin.
"Kalau Sanggabawung dan Sangga Kelana, apa Pak Rahim melihat mereka kemarin?"
tanya Tirtadenta.
"Wah! Kalau mereka, seharian memang ada di sini, Den.
Malah sampai dipanggil mereka baru ke luar," katanya yang memanggil kepala
desa," sahut Pak Rahim.
"Mereka cuma berdua?" tanya Bayudenta menyambung.
"Benar, dan ada beberapa orang lagi. Tapi mereka pendatang yang menyewa
rumahku," sahut Pak Rahim.
"Jadi, Ki Karangseda dan Ki Pungkur tidak ada di sini, kemarin?" Mayadenta ingin
memastikan. "Benar, Ni. Mereka tidak di sini. Kalau semalam, memang mereka ke sini, itu pun
tidak lama. Karena kernudian mereka pergi lagi bersama seorang perempuan dan dua
orang laki-laki."
"Pak Rahim kenal dengan mereka?" kejar Suryadenta.
"Tidak, Den. Tapi kelihatannya mereka dari kalangan persilatan. Yang perempuan
sudah tua, tapi masih kelihatan cantik. Sedang yang laki-laki, masih muda-muda,"
kata Pak Rahim polos.
"Terima kasih, Pak," ucap Suryadenta.
Pak Rahim mengangguk sedikit, lalu beranjak pergi ke belakang. Sementara
Suryadenta mengamati sekitarnya.
Kemudian pandangannya berhenti pada Rangga dan
Pandan Wangi yang tengah asyik menikmati makanannya, hingga seolah-olah tidak
mendengarkan percakapan tadi.
Suryadenta kembali mengalihkan pandangannya pada
ketiga adiknya.
"Aku jadi curiga...," gumam Tirtadenta pelan.
"lya, aku juga tidak mengerti. Mengapa Ki Karangseda memberikan keterangan
palsu?" sambung Bayu denta bergumam.
"Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kedatangan para tokoh rimba persilatan ke
sini. Dan yang pasti, ada hubungannya dengan Ki Jatirekso!" kata Mayadenta
mantap. Suryadenta mengerdipkan matanya sebelah. Dan dengan ujung ekor matanya, dia
mengisyaratkan, ada dua orang yang duduk tidak jauh dari mereka.
Serentak mcieka melirik Rangga dan Pandan Wangi.
Pembicaraan pun terhenti seketika. Suryadenta mengerdipkan matanya lagi, kemudian mereka segera menikmati hidangan yang sudah
tersedia sejak tadi Namun demikian, sudut mata mereka tidak lepas mengamati dua
orang yang tak jauh dari tempat mereka makan.
Merasa dirinya diamati terus, Rangga bangkit diikuti Pandan Wangi. Pendekar
Rajawali Sakti itu segera
meletakkan tiga keping uang perak di mejanya, kernudian melangkah ke luar kedai.
Melihat tamunya pergi, Pak Rahim dengan tergopoh-gopoh segera menghampiri meja
yang baru ditinggalkan Rangga dan Pandan Wangi. Lelaki tua itu melongo melihat
tiga keping uang perak yang tergeletak di atas meja.
"Ck ck ck..., duit segini sih, bisa untuk beli kambing seekor," gumamnya pelan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pak Rahim segera memasukkan uang itu ke dalam saku bajunya. Setelah membereskan
meja bekas tamunya,
kemudian dia melangkah kembali ke belakang. dengan wajah berseri-seri. Betapa
tidak" Uang yang diberikan oleh Rangga begitu banyak, dan tidak sesuai dengan
harga makanan. *** Rangga segera berhenti melangkah, begitu sampai di depan pinru pagar halaman
rumah Kepala Desa Kali Anget.
Sejenak diamatinya rumah yang kelihatan sepi itu.
Kemudian Rangga menggamit tangan Pandan. Wangi, dan mengajaknya berlalu.
Desa Kali Anget, kini benar-benar telah dipenuhi
pendatang, sehingga semua rumah penginapan tidak ada satu kamar pun yang kosong.
Bahkan rumah-rumah
penduduk pun terpaksa juga disewakan. Sebab itulah, biarpun Rangga dan Pandan
Wangi sudah keliling desa, tapi tak satu rumah pun yang disewakan lagi. Rangga
makin heran dengan keadaan desa ini.
"Bagaimana, Pandan" Tidak ada tempat untuk bermalam di sini," Rangga minta
pendapat Pandan Wangi.
"Yah, apa boleh buat...?" Pandan Wangi mengangkat bahunya.
"Padahal perlu waktu sepekan untuk sampai ke desa berikutnya," kata Rangga
memberitahu. "Huh! Bosan rasanya, tidur di alam terbuka terus!" rungut Pandan Wangi. "Sudah
dua pekan, kita menjelajahi hutan dan tidur di alam terbuka. Mau istirahat satu
dua malam saja susah!"
"Kau menyesal?" tanya Rangga.
"Tidak!" jawab Pandan Wangi singkat.
"Mengapa cemberut begitu?"
"Tidak apa-apa," Pandan Wangi memang kesal, karena bayangan tidur di ranjang
empuk sirna begitu saja Padahal semula dia sudah girang melihat perkampungan,
ternyata bukan kegembiraan yang didapat, tapi malah kekesalan.
Karena semua rumah penginapan sudah terisi.
Langkah mereka terhenti, karena dihadang oleh dua orang laki-laki tua yang
berjubah mentereng. Sikap dua orang yang tak lain adalah Ki Karangseda dan Ki
Pungkur ini, jelas-jelas menghalangi Iangkah Rangga dan Pandan
Wangi. Mereka berdiri tegak di tengah-tengah jalan tanpa bergerak sedikit pun.
Ki Karangseda dan Ki Pungkur segera melangkah tiga tindak mendekat ke arah
Rangga dan Pandan Wangi
berhenti. Sementara Rangga melirik ke kanan, dan
tampaklah dua orang lagi sudah berdiri di sana. Mereka bersenjata golok besar
yang terselip di pinggang rhasing-masing. Ternyata mereka tak lain adalah,
Sanggabawung dan Sangga Kelana. Keduanya masih muda, mungkin
seusia dengan Pendekar Rajawali Sakti atau lebih sedikit.
Ada cambang lebat yangj hampir memenuhi wajah mereka, sehingga membuat
tampangnya kelihatan lebih tua.
"Maaf, bolehkah kami meneruskan perjalanan?" sapa Rangga seramah mungkin.
"Kalian siapa dan mau apa datang ke sini?" tanya Ki Karangseda datar, tapi
tatapannya tajam memandang wajah Rangga.
"Aku Rangga, dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami pengembara yang kebetulan lewat
di desa ini," kata Rangga tetap sopan.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Pungkur.
"Tidak ada," sahut Rangga terus terang.
Ki Pungkur melirik Ki Karangseda, kemudian kepalanya mengegos kecil. Segera
Sanggabawung dan Sangga Kelana melangkah rneninggalkan tempat itu. Sementara
Rangga cuma melirik sebentar, kemudian kembali memandang dua laki-laki tua di
depannya yang masih menghadang.
"Sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini," kata Ki Karangseda tidak ramah.
Rangga tersenyum dan mengangguk. Dia menggamit
tangan Pandan Wangi dan kembali melangkah. Sementara Ki Pungkur menggeser
kakinya memberi jalan. Dua laki-laki tua itu masih terus memandang Rangga dan
Pandan Wangi yang terus berjalan ke arah Barat. Tak lama kemudian Ki Pungkur
mendekati Ki Karangseda.
"Kau lihat senjata yang dibawa laki-laki muda itu, Ki Karangseda?" pelan suara
Ki Pungkur. "Ya," jawab Ki Karangseda agak mendesah.
"Dilihat dari gagang pedangnya, seperti milik Pendekar Rajawali Sakti," Ki
Pungkur menduga-duga.
Ki Karangseda memandang Ki Pungkur yang berdiri di sampingnya. Kernudian
pandangannya beralih ke ujung jalan, di mana Rangga dan Pandan Wangi belok ke
kanan tadi. "Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Pungkur begitu pasti.
"Pendekar Rajawali Sakti selalu sendiri," bantah Ki Karangseda setengah
bergumam. "Tapi, ciri-ciri anak muda itu sangat mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti!" Ki
Pungkur tetap bersikeras.
"Ah, sudahlah! Dia tidak mungkin muncul di sini. Kabar terakhir yang kudengar,
dia berada di wilayah Timur,"
bantah Ki Karangseda.
"Tapi...."
"Ah! Sudahlah, ayo!" Ki Karangseda memotong cepat.
Ki Karangseda menarik tangan Ki Pungkur, dan berjalan menuju ke rumah kepala
desa. *** "Ayo, cepat! Jangan sampai terlambat!" seru Suryadenta sambil melompat dari
tempat persembunyian-nya.
Ketiga adiknya segera mengikutinya. Mereka berlari cepat ke ujung jalan yang
memilki dua belokan. Dari cara mereka berlari, dapat dipastikan kalau ilmu yang
dimiliki cukup tinggi. Dalam sekejap saja mereka sudah tidak kelihatan.
Mereka segera berhenti setelah sampai di perbatasan Desa Kali Anget. Tampak
hutan lebat memben-tang di depan. Sampai di sini, jalan sudah terputus oleh
sungai besar yang mengalir deras. Tidak ada satu perahu pun yang tampak, hanya sebuah
rakit yang dihubungkan dengan tambang ke seberang.
"Mungkin mereka sudah menyeberang, Kakang," kata Tirtadenta.
Suryadenta tidak menjawab. Matanya lurus menatap ke seberang sungai. Tak seorang
pun yang berada di atas rakit itu. Kemudian pandangan matanya menatap ke
sekitarnya. Tiba-tiba matanya agak menyipit, begitu melihat jejak-jejak kaki yang tertera di
tepian sepanjang sungai. Jejak-jejak kaki itu menuju ke muara, dan ini berarti
kembali lagi ke Desa Kali Anget.
"Ikuti aku!" seru Suryadenta agak cerah wajahnya.
Mereka berjalan cepat menyusuri tepian sungai ke arah muara. Jejak-jejak kaki
itu tertera jelas milik dua orang yang berjalan bersisian. Sejenak mereka
berhenti melangkah, karena jejak-jejak kaki yang diikuti hilang begitu saja.
"Maaf, apakah ada yang kalian cari?"
Empat bersaudara itu bukan alang kepalang kaget-nya, begitu mendengar suara
dengan tiba-tiba dari belakang.
Dengan segera mereka melompat berbalik. Kini di depan mereka berdiri Pendekar
Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Kalau tidak salah, kalian berempat yang tadi berada di kedai. Apakah benar?"
Rangga bersikap sopan dengan senyum tersungging di bibir.
"Benar," sahut Suryadenta.
"Lantas, apa maksud kalian mengikuti perjalanan kami?"
tanya Rangga. "Maaf, jika kami mengganggu. Tapi kami bermaksud baik padamu," kata Suryadenta.
"Hm...," Rangga mengernyitkan alisnya.
"Apakah kau Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Bayudenta tidak sabaran.
Rangga tidak langsung menjawab, dia menatap empat orang di depannya. Kemudian
pandangannya beralih pada
Pandan Wangi di sampingnya. Pertanyaan Bayudenta
membuatnya jadi berpikir.
"Mungkin kami salah menilai, silakan Ni dan Kisanak melanjutkan
perjalanan,"
kata Suryadenta sambil menggerakkan tangannya, lalu berbalik dan berjalan rneninggalkan tempat itu.
"Tunggu!" cegah Rangga.
Suryadenta berhenti. Sementara Rangga mendekat ke arah mereka, diikuti Pandan
Wangi. "Boleh aku tahu, untuk apa kalian mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Rangga
menyelidik. "Apakah Kisanak tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Suryadenta tidak
menggubris per-tanyaan Rangga.
"Aku akan menunjukkan, kalau kalian mau memberitahu alasannya," sahut Rangga.
Suryadenta memandang ketiga adiknya. Semua mengangguk perlahan, menyetujui usul Rangga.
"Baiklah, aku memang tidak bisa menjelaskan secara rinci. Tapi, kalau ingin tahu
semuanya, .au bisa menemui Ki Jatirekso atau Jaka Wulung," kata Suryadenta.
"Hm..., siapa mereka?"
"Kepala desa dan putranya. Rumah mereka yang paling besar di desa ini. Aku
yakin, kau sudah melewatinya tadi,"
sahut Bayudenta.
"Kalau begitu, apakah aku harus bertanya dulu pada kepala desa itu?"
"Benar!"
"Ayo, Pandan!"


Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga langsung melompat cepat. Pandan Wangi
mengikutinya. Begitu cepatnya mereka berlalu, dalam sekejap saja sudah lenyap
dari pandangan. Empat orang yang menyaksikan itu hanya melongo.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Tirtadenta.
"Kita harus pergi ke rumah kepala desa, tapi dengan cara
diam-diam," kata Suryadenta.
"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti. Tidak banyak orang yang bisa
menghilang begitu cepat," kata Mayadenta setengah bergumam.
Tidak ada yang menanggapi ucapan Mayadenta. Mereka terus saja berjalan cepat
menuju Desa Kali Anget. Tujuan mereka sudah pasti, yakni ke rumah kepala desa.
Tapi Suryadenta mengajak melalui jalan memutar.
"Sebaiknya kita datang terang-terangan saja, Kakang,"
usul Mayadenta "Tidak! Kita harus tahu, ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Dan hanya dengan
cara inilah, kita dapat mengetahui semua yang terjadi!" bantah Suryadenta.
"Tapi, tindakan kita apa tidak salah?" Mayadenta masih tetap tidak menyetujui.
"Demi kebenaran, segala cara harus ditempuh."
"Terlalu besar resikonya, Kakang."
Suryadenta menatap adik bungsunya itu.
"Baiklah, kau dan Tirta datang dari depan. Tapi bersikaplah yang wajar, aku dan
Bayu akan menyelinap dari belakang," kata Suryadenta bisa mengerti kekhawatiran
adik perempuan satu-satunya itu.
"Tapi kalau ada yang menanyakanmu?" tanya Tirtadenta.
"Bilang saja, aku sedang di batas desa!" jawab Suryadenta tanpa pikir panjang
lagi. "Ayo, Bayu!"
Mayadenta tidak dapat mencegah lagi. Dia hanya bisa memandang kepergian dua
kakaknya. Kernudian dia
menurut saja ketika tangannya digamit Tirtadenta. Kini mereka terpisah menjadi
dua bagian dengan tugas masing-masing. Mayadenta sendiri masih belum bisa
memahami jalan pikiran kakak sulungnya. Tapi dia harus menurut, agar semua
rencana yang ada di kepala Suryadenta bisa
berjalan lancar.
*** 3 Ki Karangseda tampak bersungut-sungut ketika keluar dari rumah kepala desa.
Sorot matanya tajam menatap Mayadenta dan Tirtadenta yang melintas di halaman
rumah. Sejenak mereka saling tatap, kemudian Ki Karangseda terus melangkah diikuti Ki
Pungkur. Mayadenta masih menatap ke arah kedua laki-laki tua itu, dan baru
melangkah ketika tangannya digamit Tirtadenta.
Dua bersaudara itu terus melangkah masuk melewati ruang depan yang sepi. Tak
lama kernudian, mereka melihat Jaka Wulung sedang duduk termenung sendirian di
ruang tengah. Jaka Wulung segera mengangkat kepalanya, begitu
mendengar langkah-langkah kaki
mendekat. Sementara Mayadenta dan Tirtadenta langsung duduk di depan putra kepala desa
itu, tanpa menunggu dipersilakan lebih dahulu.
"Barusan aku melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur,"
kata Tirtadenta membuka suara lebih dulu.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Jaka Wulung.
"Tidak ada," sahut Mayadenta sambil menggeleng. "Tapi nampaknya mereka gusar.
Ada apa?" "Mereka mendesakku," sahut Jaka Wulung pelan. Ada kegelisahan di wajahnya
"Apa yang mereka inginkan?" tanya Mayadenta mau tahu.
"Kepala!"
"Kepala..."!" Mayadenta dan Tirtadenta kaget bukan main. Untuk beberapa saat
mereka saling tatap salu sama lainnya.
"Kepala siapa?" tanya Mayadenta dengan kening berkerut.
"Pendekar Rajawali Sakti!"
Bagai disambar petir di siang bolong, Mayadenta dan Tirtadenta terlonjak saking
kagetnya. Kembali mereka saling tatap. Untuk beberapa lama, tidak ada yang
bicara sedikit pun. Tirtadenta makin tidak mengerti, mengapa Ki Karangseda dan Ki
Pungkur menginginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti" Apakah mereka. tidak bisa
mengukur tingginya gunung dan dalamnya lautan"
Semua orang tahu, siapa Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun belum pernah melihat secara langsung, tapi kabar yang mereka dengar
cukup membuat bulu kuduk merinding. Sampai saat ini, belum ada seorang tokoh pun
yang mampu menandingi kesakriannya. Lalu, bagaimana mungkin bisa memperoleh
kepalanya"
"Apa yang diinginkan Ki Karangseda dengan kepala pendekar itu?" tanya
Tirtadenta. "Aku tidak tahu. Tapi dia terus mendesakku, agar mencari dan memenggal kepala
pendekar itu," sahut Jaka Wulung lesu.
"Kenapa harus kau?" desak Mayadenta bimbang.
"Aku..., aku...," Jaka Wulung tampak kebingung-an menjawab. Tirtadenta dan
Mayadenta saling berpandangan.
Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diri putra kepala desa itu.
Kelihatannya Jaka Wulung tidak berdaya menghadapi desakan Ki Karangseda. Ada
rahasia apakah sebenarnya di balik semua ini" Pertanyaan itulah yang terus
mengganggu pikiran Tirtadenta dan adiknya selama ini.
"Katakan, Jaka! Kenapa Ki Karangseda menginginkan kau yang menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti itu?" desak Tirtadenta.
Jaka Wulung masih kebingungan untuk menjawab.
"Apakah dia mengancammu?"
tanya Mayadenta mendesak juga. Jaka Wulung tetap diam saja. Lidahnya terasa kaku untuk diajak bicara. Hanya
matanya yang berputar-putar menatap dua wajah di depannya.
"Kau tidak bisa hanya dengan diam seperri itu, Jaka.
Keadaan desa ini makin kacau dan makin banyak korban
yang jatuh. Apakah kau ingin menambah korban lagi?"
Tirtadenta tidak sabar lagi.
"Aku tidak bisa mengatakannya, sebaiknya kalian tanyakan langsung pada Ki
Karangseda!" jawab Jaka Wulung seraya bangkit, dan melangkah menuju kamarnya.
"Jaka Wulung...!" sentak Tirtadenta.
Namun Jaka Wulung seakan tidak mendengar dan terus melangkah meninggalkan dua
bersaudara itu. Tirtadenta bangkit ingin mengejar, tapi tangannya keburu dicekal
adiknya. Terpaksa dia diamkan saja Jaka Wulung masuk ke dalam kamarnya.
"Dari tadi, aku tidak melihat Ki Jatirekso. Di mana dia?"
kata Tirtadenta setengah bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Mayadenta nampak tersentak. Dia juga baru sadar, kalau dari tadi tidak melihat
Ki Jatirekso. Secepat kilat dia melompat dan menerjang pintu sebuah kamar yang
tertutup rapat Ternyata kamar yang biasa ditempati Ki Jatirekso itu kosong
melompong. Bahkan keadaannya berantakan bagai kapal layar pecah yang baru diamuk
badai. Melihat keadaan ini Mayadenta segera menuju ke depan pintu kamar Jaka Wulung.
Kemudian diketuknya keras-keras pintu kamar itu. Tapi tidak ada sahutan sedikit
pun dari dalam. Sejenak gadis itu memasang telinganya tajam-tajam, dan tetap
tidak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sementara Tirtadenta yang tidak
sabar, langsung mendobrak pintu itu.
Brak! "Jaka...!" teriak Tirtadenta keras-keras.
Rasanya belum begitu lama Jaka Wulung masuk ke
kamar. Tapi mengapa kamar itu kosong" Sedang
jendelanya juga tertutup rapat.
"Aku rasa, dia keluar lewat jendela," kata Mayadenta sambil membuka jendela yang
tidak terkunci.
Menyadari keadaan rumah itu sudah kosong, mereka
langsung keluar lewat jendela. Tapi begitu kaki mereka menjejak tanah, tiba-tiba
dua bayangan meluncur ke arah mereka. Ternyata Suryadenta dan Bayudenta yang
datang. "Tidak lihat Jaka Wulung?" tanya Mayadenta langsung ke sasaran.
"Tidak...," sahut Suryadenta menggelengkan kepala.
"Memangnya ada apa?" tanya Bayudenta tidak mengerti.
"Ki Jatirekso menghilang," sahut Tirtadenta.
"Dan Ki Karangseda mendesak Jaka Wulung agar memenggal kepala Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi Jaka Wulung tidak mau mengatakan yang sebenarnya, malah kabur lewat
jendela kamarnya," lanjut Maya?denta menyambung.
"Gila! Permainan apa pula ini?" dengus Suryadenta.
"Apa orang asing itu sudah tiba di sini?" tanya Bayudenta.
Tirtadenta dan Mayadenta menggelengkan kepala sambil berpandangan. Mereka tadi
cuma melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur ke luar dari rumah itu. Sementara di
dalam cuma ada Jaka Wulung sendirian. Dan tidak ada siapa-siapa lagi di rumah
itu. *** Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi tengah
beristirahat di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah kepala desa. Sesekali
pandangan mereka menatap ke arah jalan yang ramai dipenuhi orang-orang hilir
mudik dengan kesibukan masing-masing.
"Aku yakin, kau pernah kenal dengan Ki Karangseda,"
kata Pandan Wangi.
"Dengar namanya saja baru kali inj," keluh Rangga.
Tangannya menjumput batu kerikil dan melemparkannya begitu saja.
"Tapi mengapa dia menginginkan kepalamu?" tanya Pandan Wangi masih tetap tidak
percaya pada jawaban Rangga.
Mereka tadi memang mendengar semua percakapan
dengan jelas di rumah Ki Jatirekso. Tapi Rangga dan Pandan Wangi sengaja tidak
menampakkan diri. Mereka ingin mengetahui lebih jelas, apa sebenarnya yang
tengah terjadi.
"Itu yang sedang aku pikirkan sekarang, Pandan," kata Rangga setelah cukup lama
diam. "Kalau begitu, kenapa tadi Jaka Wulung tidak kita kejar saja?"
"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.
"Kok, untuk apa" Dia kan diperintahkan untuk memenggal kepalamu. Tentunya dia
tahu, apa maksud Ki Karangseda menginginkan kepalamu."
"Yang diinginkan adalah aku. Jadi, biarkan saja laki-laki tua itu yang
mencariku! Untuk apa mengurusi dia?"
"Kau mulai egois, Kakang!"
"Tidak! Sampai sejauh ini, aku tidak pernah mementingkan diri sendiri."
"Memang, tapi kau harus ingat! Dengan keadaan seperri itu, Jaka Wulung terancam
nyawanya, dan kita harus bertindak!"
"Kita tunggu saja perkembangannya, Pandan," jawab Rangga mengalah.
Tak lama kernudian mereka bangkit. Sejenak mata
mereka menatap rumah besar tempat tinggal Kepala Desa Kali Anget Setelah itu
mereka berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun baru saja kaki mereka terayun,
tiba-tiba.... "Awas...!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga dia mendorong tubuh Pandan Wangi, dan tangan kanannya bergerak
cepat me-nangkap benda hitam yang meluruk deras ke arahnya sambil melompat Dan
dengan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya lagi ke tanah.
Sedangkan Pandan Wangi yang terdorong tadi, bergulingan, lalu bagai seekor
burung walet, dia melompat dan bangkit lagi. Tangannya segera mencabut kipas yang terselip di
pinggang. Sebuah kipas baja dengan ujung-ujungnya yang runcing dan tajam.
Rangga segera mengamati tiga batang anak panah
berwarna hitam pekat yang tergenggam di tangannya.
Matanya yang setajam mata elang, berhasil menangkap kelebatan bayangan hitam
dari balik semak belukar di sebelah kanannya.
Menyadari hal itu, dia langsung salto sambil mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan sebelum kakinya
menginjak tanah kembali, Rangga telah melemparkan anak-anak panah yang tadi disambarnya ke arah bayangan hitam itu.
Crab, crab, crab...!
Tiga bayangan hitam langsung ke luar dari dalam semak belukar. Sejenak Rangga
mengamati tiga orang yang berpakaian serba hitam, yang kini telah berdiri di
depannya. "Hebat! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah
seorang yang berdiri di tengah.
Suaranya kecil, namun terdengar nyaring melengking.
"Siapa kalian?" tanya Rangga.
"Hik hik hik..., kami inilah yang mendapat julukan Tiga Bayangan Tengkorak!"
"Pantas! Tubuhmu kurus kering seperri tengkorak,"
sungut Pandan Wangi mencibir.
"Kenapa kalian ingin membunuhku?" tanya Rangga lagi.
"He he he..., seribu keping uang emas untuk kepalamu, Pendekar Rajawali Sakti!
Benar-benar luar biasa, begitu mahal harga kepalamu," sahut orang yang berdiri
paling kanan Rangga menggeser kakinya ke samping kiri, mendekati Pandan Wangi. Sejenak
dimiringkan kepalanya dan berbisik di telinga gadis itu.
"Kau menyingkir dulu, adik kecil," bisik Rangga.
"Apa"!" Pandan Wangi kontan mendelik disebut adik
kecil. "Benar! Kau menyingkir saja anak manis," celetuk salah seorang dari Tiga
Bayangan Tengkorak.
Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Rangga sudah mendorong
pundaknya agar menyingkir. Mau tidak mau, dia terpaksa menyingkir. Tapi tidak
begitu jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak Rangga melirik Pandan Wangi. Gemas juga dia, karena gadis itu hanya
berdiri di bawah pohon yang jaraknya masih terlalu dekat.
"Sebaiknya lepaskan sendiri kepalamu, bocah! Agar kami tidak perlu repot-repot
mengeluarkan tenaga," kata salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang
berdiri di tengah.
"Kalau kalian menginginkan uang itu, berusahalah untuk mendapatkannya!" tantang
Rangga. "Bersiaplah untuk mati, bocah!"
"Tunggu!"
Tiba-tiba Pandan Wangi melompat, dan langsung berdiri di tengah-tengah. Tentu
saja kenekatan gadis itu membuat Rangga kaget setengah mati.
"Pandan...!" bentak Rangga agak emosi.
"Tenang, Kakang. Biarlah aku yang main-main dulu dengan kakek-kakek jelek ini!"
kata Pandan Wangi keras suaranya.
"He he he..., menyingkirlah, anak manis. Wajahmu terlalu cantik,
jangan membuat aku terpaksa merusak

Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecantikanmu," kata orang yang di tengah mengejek.
"Aku memang ingin jelek seperri mukamu!" tantang Pandan Wangi ketus.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu!" geram yang di kanan.
"Mungkin tanganmu dulu yang buntung!"
"Setan...!"
*** Salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang
bernama Bayangan Tengkorak Putih langsung menerjang Pandan Wangi. Tampak jari-
jari tangannya terkembang kaku. Sementara Pandan Wangi menggeser kakinya
sedikit, sambil menarik tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat, dia mengebutkan
kipas mautnya ke arah tangan yang mengembang kaku itu.
Bayangan Tengkorak Putih sangat terkejut dengan
serangan mendadak itu, segera ditariknya kembali
tangannya. Tapi belum sempat ditarik penuh, tiba-tiba kaki Pandan Wangi mengenai
dadanya. Si Bayangan Tengkorak Putih terjengkang beberapa langkah, tapi
kernudian dia melompat untuk menghindari serangan berikutnya. Di lain pihak,
tanpa menurunkah kakinya, Pandan Wangi ikut melompat dengan memutar kedua
kakinya Buk, buk! Dua kali kaki Pandan Wangi mendarat telak di punggung dan dada lawannya.
Langsung saja lawannya mengaduh dan tubuhnya tersuruk dengan keras. Sementara
Pandan Wangi mendarat mulus di tanah.
"Setan...!" umpatnya.
"Baru begitu saja sudah jatuh, apalagi melawan Pendekar Rajawali Sakti?" ejek
Pandan Wangi. Tiga Bayangan Tengkorak sangat geram mendengar
ejekan itu, dan tak lagi menganggap remeh gadis itu.
Mereka segera bergerak dan mengepung dari tiga jurusan.
Sementara jari-jari tangan mereka yang kurus, terentang kaku, bagai cakar besi
yang siap mengoyak apa saja.
"Bagus! Maju kalian semua!" dengus Pandan Wangi.
Tak jauh dari situ, tampak Rangga masih tetap berdiri di tempatnya. Sebenarnya
dia masih khawatir akan Pandan Wangi, meskipun tadi Pandan Wangi sudah
memperlihatkan kemajuan yang diperolehnya. Sementara pertarungan antara Pandan
Wangi melawan Tiga Bayangan Tengkorak
sudah berlangsung sengit
Rangga keheranan melihat Pandan Wangi mampu
menandingi lawannya sampai sepuluh jurus. Bahkan
tampaknya, dia masih mampu menandingi sampai lima puluh jurus sekali pun. Tidak
disangka sama sekali, kalau gadis itu telah memperoleh kemajuan yang begitu
pesat. Kipas baja mautnya yang ada di tangan, berkelebatan memancarkan sinar keperakan
yang mengancam tubuh
lawan. "Hiyaaa...!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras dan melengking tinggi.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara.
Setelah dua kali berputar, tiba-tiba di tangan kanannya sudah berganti dengan
sebuah pedang berwarna merah menyala. Sedang kipas baja mautnya, berada di
tangan kiri. Kini, dengan Pedang Naga Geni di tangan, dia bagai sesosok malaikat maut yang
siap mencabut nyawa.
Tiga Bayangan Tengkorak terkesiap melihat pamor
pedang di tangan Pandan Wangi. Tapi sebelum mereka ada kesempatan untuk
bertindak, dengan cepat Pandan Wangi mengibaskan dua senjata pusakanya dan
menerjang bagai kilat.
Bet! "Akh!" tiba-tiba salah seorang musuhnya memekik tertahan.
Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang,
sedang darahnya mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung terbabat
pedang. Sementara Rangga yang berdiri tak jauh dari tempat itu, sampai
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Pandan Wangi bagaikan singa betina yang
mengamuk. "Mampus kalian. Yeaaah...!" pekik Pandan Wangi.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya berputar cepat.
Sementara sinar merah yang keluar dari pedangnya, mengurung seluruh tubuhnya.
Saat itulah salah seorang
lawannya lagi tidak sempat menghindar. Maka tanpa ampun lagi, orang kurus itu
langsung menjerit menyayat hati sambil memegangi dadanya yang tertembus pedang.
Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Sedangkan Pandan
Wangi berdiri tegak dan menatap tajam pada salah seorang lagi yang masih hidup.
"Sekarang giliranmu, kakek jelek!" dengus Pandan Wangi.
Laki-laki tua yang tinggal seorang diri itu, langsung mundur beberapa tindak.
Hatinya menciut melihat dua temannya
sudah menggeletak berlumuran darah. Sementara Pandan Wangi dengan pedang teracung di
tangan perlahan-lahan mendekati musuhnya.
"Pandan...," panggil Rangga seraya mendekat.
Pandan Wangi tidak menoleh. Pandangan matanya tajam menatap musuhnya yang terus
melangkah mundur. Rangga segera menggamit tangan Pandan Wangi dan menekannya ke
bawah. Sejenak Pandan Wangi berhenti melangkah dan langsung menatap Rangga.
"Sudahlah, dia sudah tidak berdaya," kata Rangga menyadarkan.
"Ingatlah, Kakang. Hanya karena seribu keping uang emas, dia mau memenggal
kepalamu. Masih pantaskah dia dibiarkan hidup?" Pandan Wangi kembali menatap
tajam pada musuhnya. "Masukkan pedangmu, Pandan!" perintah Rangga tegas.
Pandan Wangi menatap tajam ke arah Rangga.
Kemudian perlahan-lahan dia memasukkan pedang Naga Geni ke dalam warangkanya.
Rangga tersenyum, lalu melangkah mendekati kakek tua itu.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Kek?" tanya Rangga dengan suara lembut dan
sopan. "Bayangan Tengkorak Hitam!" sahut kakek itu dingin.
Memang sulit mengetahui nama asli seorang tokoh rimba persilatan. Mereka lebih
senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya.
"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi sambil tersenyum.
"Itu bukan urusanmu!" ketus jawaban si Bayangan Tengkorak Hitam.
"Nyawamu sudah di tenggorokan, Kakek Jelek!" geram Pandan Wangi mengancam.
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku sekalian?" tantang Bayangan Tengkorak Hitam
sambil melirik dua temannya yang sudah tidak bernyawa lagi. Rangga segera
menahan langkah Pandan Wangi, yang sudah muak dengan melihat tingkah kakek itu.
Gadis itu menggerutu, mengapa Rangga masih juga
sabar, padahal orang yang dihadapinya jelas-jelas menginginkan kepalanya.
"Jawab pertanyaanku, Bayangan Tengkorak Hitam Kalau tidak..., biar adikku yang
mengurusmu," ancam Rangga.
"Huh!" Bayangan Tengkorak Hitam hanya men-dengus.
"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi.
Bayangan Tengkorak Hitam tetap diam.
"Jawab!" bentak Pandan Wangi gusar.
Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, ia segera melompat sambil menarik pedangnya. Begitu cepatnya dia
bergerak, sehingga Bayangan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi mengelak. Seketika
itu juga, laki-laki tua itu langsung menjerit melengking tinggi, begitu tubuhnya
terbabat pedang Pandan Wangi.
Kemudian Pandan Wangi melayangkan kakinya ke arah dada. Kontan saja tubuh
Bayangan Tengkorak Hitam
terjengkang deras ke belakang dan membentur batang pohon yang besar. Setelah
jatuh tubuh itu terkulai tidak bernyawa lagi.
*** 4 Rangga segera mendekati Pandan Wangi yang sudah
berbalik. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Pendekar Rajawali Sakti
mendesah panjang. Sementara matanya mengamati tiga sosok tubuh yang sudah tak
bernyawa lagi. "Aku yakin, pasti Ki Karangseda yang menginginkan kepalamu, dan yang membayar
mereka," kata Pandan Wangi menduga-duga.
"Jangan menuduh sembarangan, Pandan."
"Sudah terbukti, kok! Bahkan dia juga mendesak Jaka Wulung. Apa itu bukan bukti
yang nyata?"
"Ada kemungkinan lain, Pandan."
"Apa?"
"Kemungkinannya, Ki Karangseda juga tergiur oleh seribu keping uang emas."
"Tapi, kenapa dia mendesak Jaka Wulung?"
"Itu yang harus kita ketahui."
Pandan Wangi diam. Kemudian hampir bersamaan,
mereka menoleh ke arah Desa Kali Anget. Kini mereka tahu, kalau orang-orang
rimba persilatan datang ke desa itu, sengaja menunggu Pendekar Rajawali Sakti
dan memenggal kepalanya demi memperoleh seribu keping uang emas. Yang jadi
masalahnya sekarang, siapa yang menginginkan kepala pendekar itu"
Rangga sendiri baru sekali menginjakkan kakinya di desa ini. Sebab itulah, dia
tidak bisa menentukan, siapa dalang semua ini" Tapi sebagai pendekar pilih
tanding, Rangga menyadari, tidak sedikit yang menginginkan kematiannya.
Perlahan-lahan Rangga melangkah, sementara Pandan Wangi mengikutinya tanpa
banyak bicara lagi. Sejenak gadis itu mengerutkan kening, begitu menyadari kalau
Rangga menuju ke Desa Kali Anget.
"Untuk apa kita ke sana lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Mencari orang yang memiliki uang sebanyak itu," sahut Rangga santai.
"Huh! Sama saja masuk ke kandang macan!" dengus Pandan Wangi kesal.
"Itu lebih baik, daripada menjadi binatang buruan.
"Disana kan banyak orang mencarimu, Kakang. Dan sudah jelas, bahwa maksud mereka
tidak baik. Apa kau ingin menyerahkan kepalamu?" Pandan Wangi makin tidak
mengerti jalan pikiran Rangga.
"Tenang saja, tidak semua orang kenal padaku. Memang, mereka bisa saja tahu
namaku, tapi kan tidak mengenal orangnya."
"lya, sih...."
"Nah! Kenapa mesti takut?"
"Siapa yang takut?" Pandan Wangi mendelik.
"Dengar, Pandan. Sejak semula aku sudah mengatakan padamu. Terlalu banyak resiko
untuk mengikuti langkahku.
Sebenarnya aku tidak keberatan kau ikut, tapi kalau kau sayang dengan nyawamu,
lebih baik...."
"Kakang!" sentak Pandan Wangi memutus kata-kata Rangga.
Rangga hanya tersenyum melihat Pandan Wangi
cemberut. Kemudian dia menghentikan langkahnya tepat di batas
desa. Dia tahu, kalau Pandan Wangi mengkhawatirkan dirinya, dan dia tahu, kalau Pandan Wangi.... Ah! Rangga cepat-
cepat membuang segala macam pikiran mengenai gadis itu.
Mereka segera mengalihkan pandangannya ketika
mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat Tiba-tiba tampak empat orang yang
tak lain adalah Suryadenta dan tiga adiknya. Menyadari hal itu, Pandan Wangi
segera meraba kipas besinya yang terselip di pinggang. Sementara Rangga hanya
berdiri tenang menunggu sampai empat bersaudara itu mendekat.
"Ah, kebetulan sekali bertemu di sini," kata Suryadenta
lebih dulu. "Hm, ada apa?" tanya Rangga bergumam.
"Apakah kalian lihat Jaka Wulung?" tanya Suryadenta.
"Tidak," Pandan Wangi menyahut
"Sayang sekali," gumam Suryadenta pelan.
"Dia lari dari rumah. Bahkan ayahnya juga menghilang entah ke mana," Bayudenta
menjelaskan. Dan tanpa diminta, dia segera menceritakan semua kejadian di rumah
Kepala Desa Kali Anget.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
dia melirik Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya membalasnya
dengan senyum tipis di bibir.
Pikirnya, tanpa mendengar cerita dari Bayudenta pun, mereka sudah mengetahui
segala yang terjadi.
"Kalau kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti, aku mohon, agar segera
meninggalkan desa ini. Karena orang-orang itu tidak akan ke sini, kalau kau juga
tidak ada di sini," kata Suryadenta setelah adiknya menyelesaikan ceritanya.
"Agar kalian tahu saja, aku datang ke sini cuma singgah sebentar. Lagipula,
ketika aku datang, mereka kan sudah ada di sini," kata Rangga membela diri.
"Aku tahu itu," sahut Suryadenta tak menyalahkan.
"Tidak ada asap, kalau tidak ada obor. Dan sumber api itu ada di desa ini. Untuk
itu, mungkin kami tidak akan rneninggalkan desa ini sebelum mengetahui, siapa
yang ada di belakang layar ini," tegas suara Pandan Wangi.
Empat bersaudara itu bisa mengerti kata-kata yang terucap melalui kiasan itu.
Memang mereka tidak dapat menyalahkan Rangga dan Pandan Wangi, dan mereka juga
tidak bisa mencegah, kalau kedua pendekar itu ingin mencari dalang dari semua
kejadian ini. Bahkan katanya, orang itu ada di Desa Kali Anget. Tapi siapa"
"Percayalah, aku akan menghadapi mereka di luar desa ini. Tunggu saja, akan
kupancing mereka semua keluar dari
desa," janji Rangga.
"Oh, kalau begitu terima kasih," ucap Suryadenta lega.
"Untuk itu, aku juga mohon bantuan kalian," kata Rangga lagi.
"Dengan senang hari, kami selalu siap membantu bila diperlukan," sahut
Suryadenta berseri-seri.
"Tolong sebarkan berita, kalau aku ada di batas Utara Desa Kali Anget," kata
Rangga tegas. "Batas Utara...!?" Suryadenta terkejut.
"Bukankah itu merupakan daerah yang berjurang?"
Bayudenta tidak mengerti, kenapa Rangga memilih tempat yang berbahaya sekali.
"Lagipula, di sana juga tempat berkumpulnya ular-ular berbisa, dan tak seorang
pun yang pernah bisa ke luar dengan selamat kalau sudah memasuki daerah itu,"
sambung Suryadenta bergidik ngeri.
"Aku tahu, justru itulah aku memilih tempat itu," kata Rangga tersenyum penuh
arti. "Sebaiknya jangan!" cegah Mayadenta tegas.
"Maaf, keputusanku tidak akan dirubah. Kalau kalian ingin membantu katakan pada
mereka, kalau aku ada di sana!" tegas Rangga cepat-cepat.
"Ayo Pandan!"
"Hey...!"
Seruan Suryadenta terlambat, karena Rangga dan
Pandan Wangi sudah lebih dulu melompat Dan dalam
sekejap mata, kedua pendekar itu sudah lenyap dari pandangan. Empat bersaudara
itu hanya saling pandang, kemudian mengangkat bahu hampir bersamaan.
"Sebaiknya kita berpisah jadi dua bagian. Untuk sementara, kita turuti saja
kemauan pendekar itu," kata Suryadenta membuka suara lebih dulu.
"Caranya?" tanya Tirtadenta.
"Tiupkan kabar burung, tapi jangan sampai ada yang tahu kalau sumbernya dari
kita," celetuk Mayadenta. Gadis itu
memang lebih cerdas daripada ketiga kakaknya.
"Jelaskan rencanamu, Adik Maya," pinta Bayudenta.
Mayadenta tersenyum manis. Lalu dia segera membeberkan semua rencananya yang sudah terkumpul di kepala. Sementara ketiga


Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakaknya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Karena apa yang menjadi rencana
Mayadenta begitu mudah untuk dilaksanakan. Lagi pula tidak mengandung resiko
tinggi, tapi hasilnya dapat diandalkan. Suryadenta tersenyum bangga pada adik
bungsunya itu. "Bagaimana?" tanya Mayadenta setelah mengemukakan semua rencananya.
"Setujuuu...!" serempak ketiga kakaknya menyahut.
"Kalau begitu, mari segera kita laksanakan!"
"Mudah-mudahan berhasil," gumam Suryadenta.
"Harus!" sergah Mayadenta begitu optimis.
*** Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Desa Kali Anget sebelah Timur, tampak
sebuah pondok kecil yang letaknya sangat terpencil. Pondok itu terlindung oleh
pepohonan maupun semak belukar dan dijaga ketat oleh dua orang bersenjata golok
di pinggang. Sejenak dua orang penjaga itu langsung berdiri, ketika dua orang laki-laki tua
ke luar dari dalam pondok. Ternyata mereka adalah Ki Karangseda dan Ki Pungkur.
"Kita harus mengetahui, siapa yang menyebarkan berita itu," dengus Ki Karangseda
setengah emosi.
"Padahal kabar itu sudah menyebar, Kakang," sahut Ki Pungkur.
"Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" umpat Ki Karangseda.
"Bagaimana dengan Ki Jatirekso dan anaknya?" tanya Ki Pungkur.
"Biarkan saja! Itu bukan urusan kita lagi," dengus Ki Karangseda menggeram.
"Tapi, Kakang. Perempuan lblis Pulau Karang...."
"Itu urusan pribadi mereka sendiri! yang penting jabatan Kepala Desa Kali Anget
sekarang sudah kosong "
"Tapi kau belum bisa mengangkat dirimu jadi kepala desa, Kakang," kata Ki
Pungkur. "Apa maksudmu?"
"Masih terlalu menyolok, dan malah bisa membuat kecurigaan semua orang.
Sementara, kabar bahwa
Pendekar Rajawali Sakti menunggu di batas Utara desa, tidak bisa dibendung lagi.
Sedang korban makin banyak yang jatuh, karena mereka makin bernafsu dengan
hadiah seribu keping uang emas. Coba bayangkan, bagaimana kalau mereka sampai
tahu bahwa...."
"Adi Pungkur...!" sentak Ki Karangseda memotong cepat.
Ki Pungkur terdiam seketika.
"Ingat! Tugasmu adalah hanya meyakinkan penduduk, agar mereka mengangkatku jadi
kepala desa. Dan hanya itu, titik!" tegas suara Ki Karangseda dengan emosi.
Ki Pungkur hanya diam, dan terus saja mengikuti langkah kakaknya. Mereka tidak
menyadari, kalau dari tadi langkahnya diawasi sepasang mata bulat yang bening
dan indah dari dalam pondok. Sepasang mata itu milik seorang wanita
cantik, namun garis-garis ketuaan sudah membayang di wajahnya. Wanita itu mengenakan baju yang ketat, hingga membentuk
tubuhnya yang ramping dan masih bisa membuat mata kaum lelaki tak berkedip
memandangnya. "Sanggabawung...," panggil wanita itu lembut.
"Ada apa, Nini?" sahut Sanggabawung yang sejak tadi berdiri di
dekat pintu pondok, sambil melangkah
menghampiri. Sejenak Sanggabawung melirik adiknya yang masih tetap berdiri pada tempatnya.
Dia bisa paham kalau Sangga
Kelana juga melirik padanya. Panggilan lembut dari Perempuan Iblis Pulau Karang
sudah dapat diterka
maksudnya oleh Sanggabawung maupun Sangga Kelana.
"Selidiki ke Utara, apakah benar Pendekar Rajawali Sakti ada di sana?" perintah
perempuan itu. Sanggabawung menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Lalu dia melirik pada Sangga Kelana yang pura-
pura tidak mendengar suara itu.
Siapa orangnya yang tidak bergidik ngeri, mendengar daerah perbatasan Desa Kali
Anget sebelah Utara" Daerah yang dinamakan Kawah Neraka itu sungguh membuat
orang pingsan, hanya mendengar namanya.
"A.., apakah tidak ada tugas Iain, Nini?" Sangga bawung mencoba menawar.
"Ada!" sahut perempuan itu ketus. "Tapi syarat-nya, penggal dulu sebelah
tanganmu!"
Lagi-Iagi Sanggabawung cuma bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Kata-kata
lembut yang diucapkan perempuan itu ternyata membuat jantungnya mau copot.
Sekali lagi diliriknya Sangga Kelana. Kesal juga dia, karena Sangga Kelana
seperri mengejek. Sungguh mati, tadinya dia mengira, bahwa perempuan cantik yang
sudah berumur itu mau mengajaknya bermain main di ranjang.
Padahal, kalau saja Sanggabawung boleh memilih, lebih baik dia dihadapkan pada
singa yang lapar, daripada harus ke Kawah Neraka seorang diri.
"Pergilah, aku menunggu kabarmu, besok!" kata perempuan itu lagi.
Kali ini Sanggabawung benar-benar tidak bisa membantah lagi. Semua orang tahu, walaupun kata-kata perempuan itu lembut tapi
tidak main-main, Kalau dia sudah bilang penggal kepala, maka harus segera
dilaksanakan tanpa ada istilah kompromi lagi. Kini, Sanggabawung merasakan
seolah-olah nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sejenak dia masih ragu dan
berdiri saja di muka pintu pondok.
"Sangga Kelana...!" terdengar suara lembut memanggil dari dalam.
Tanpa menunggu panggilan dua kali, Sangga Kelana
langsung melompat. Sejenak dia menatap kakaknya
sebelum membuka pintu pondok. Terbersit rasa kasihan melihat mata yang redup dan
tak bergairah itu.
"Aku akan menyusulmu nanti, Kakang. Pergilah sampai ke batas desa Utara saja.
Dan tunggu aku di sana," kata Sangga Kelana setengah berbisik.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Sanggabawung.
"Sangga Kelana...!" terdengar lagi panggilan dari dalam.
Sangga Kelana buru-buru menepuk pundak kakaknya
dan melangkah ke dalam pondok. Sementara Sanggabawung masih berdiri saja di depan pintu yang terbuka sedikit.
"Tutup pintunya, anak bagus," terdengar lagi suara lembut dari dalam pondok.
Setelah pintu pondok tertutup rapat, terdengar suara kunci dari dalam.
Sanggabawung menarik nafas dalam-dalam, kemudian kakinya terayun rneninggalkan
pondok itu dengan lesu.
Sementara dari dalam pondok terdengar suara mengikik di sela-sela nafas memburu.
*** Sudah cukup lama Sanggabawung menunggu di
perbatasan Utara Desa Kali Anget. Tapi adiknya, Sangga Kelana, belum juga
menampakkan diri. Kegelisahan mulai merambat di dadanya. Dia berjalan mondar-
mandir seperti anak kecil kehilangan mainannya. Beberapa kali dia menatap ke
arah Timur, di mana Perempuan Iblis Pulau Karang tinggal.
Kegelisahan segera sirna begitu matanya melihat Sangga Kelana berjalan gontai
menghampirinya. Wajah pemuda itu kelihatan cerah, bibirnya sedikit monyong
menyiulkan irama Iagu yang tidak jelas.
"Iama sekali, kau!" sergah Sanggabawung dengan kesal begitu adiknya sudah dekat.
"Aku harus menunggu perempuan itu tidur dulu," sahut Sangga Kelana kalem.
"Huh! Hampir saja aku mati karena gelisah menunggumu di sini," rungut
Sanggabawung. "Seharusnya kau sabar sedikit, masa aku tidak boleh mencicipi juga," masih kalem
dan sedikit ber-canda suara Sangga Kelana.
"Dia sudah tua, Sangga Kelana!" sergah Sangga bawung sok menyadarkan.
"Tapi kan tidak kalah sama yang muda," tangkis Sangga Kelana.
Sanggabawung hanya menggerutu. Dia sendiri mengakui, bahwa yang dikatakan
adiknya benar. Bahkan dia sendiri juga pernah bermain dengan perempuan itu di
atas ranjang. "Bagaimana, berangkat sekarang?" tanya Sangga Kelana.
"Tunggu!" sergah Sanggabawung. Telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah
kaki ringan. Sangga Kelana juga mendengarnya, maka tanpa
dikomando lagi, kakak beradik itu langsung melompat ke pohon yang tinggi.
Sementara mata mereka menatap ke semak-semak yang bergoyang tak beraturan. Tiba-
tiba dari dalam semak itu muncul dua orang, laki-laki bertubuh tegap dan
bersenjata rantai baja yang terbelit di pinggang.
Sanggabawung dan Sangga Kelana tahu siapa mereka.
Mereka adalah Jaladara dan Jalapati, dan dikenal dengan julukan Dua Rantai
Pencabut Nyawa. Mereka termasuk tokoh hitam yang datang ke Desa Kali Anget
karena tergiur oleh hadiah itu.
"Kita harus sampai lebih dulu sebelum yang lain,
Kakang," kata Jaladara. Suaranya besar dan berat sekali terdengar.
"Tenang saja, Adik Jaladara. Seribu keping uang emas pasti jatuh ke tangan
kita," sahut Jalapati terkekeh.
"Terus terang, aku sudah bosan menunggu," rungut Jaladara.
"Hari ini Pendekar Rajawali Sakti harus cuma tinggal nama saja. Dan seribu
keping uang emas akan kita peroleh, he he he...!" Lagi-lagi Jalapati terkekeh.
"Aku dengar dia tidak sendirian di sana, Kakang," kata Jaladara.
"Ah, cuma seorang perempuan, Kalau dia cantik, malah bisa untuk selingan, kan?"
"Kau pernah dengar nama si Kipas Maut, Kakang?"
"Pernah, tapi sudah lama dia menghilang, setelah mendapatkan Kitab Naga Wisa dan
Pedang Naga Geni,"
sahut Jalapati.
"Sekarang dia bersama Pendekar Rajawali Sakti."
Jalapati tersentak kaget Dia langsung berhenti melangkah, sementara matanya tajam menatap adiknya.
Sepengetahuannya, sebelum Kipas Maut menguasai Kilab Naga Wisa dan Pedang Naga
Geni, dia sudah bisa membuat nyali lawan jatuh. Apalagi setelah dia menguasai
kedua benda tersebut! Sungguh tidak diduga sama sekali kalau si Kipas Maut kini
bersama Pendekar Rajawali Sakti.
Jejak Di Balik Kabut 22 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Dewi Penyebar Maut X I I 1
^