Jari Malaikat 3
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Bagian 3
menghampiri kuda hitam yang masih tenang merumput.
Ditepuk tepuk leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Namun belum
juga menghentakkan tali
kekang kuda hitam itu, mendadak dari balik gerumbul semak melesat Pendekar Jari
Malaikat dan Arya Dipa.
Rangga memandangi kedua orang itu, kemudian turun kembali dari punggung kudanya.
"Ternyata aku tidak salah meminta bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar
Pendekar Jari Malaikat setelah dekat di depan Rangga.
"Hm..., kalian melihat pertarunganku tadi?" tanya Rangga seraya menebak.
"Ya, sejak awal," sahut Pendekar Jari Malaikat.
"Sungguh tidak kukira kalau dia sudah begitu banyak mengalahkan pendekar," desah
Rangga pelan. "Itulah sebabnya, kenapa tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup
menandinginya. Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak pernah lawannya tidak
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan kadang-kadang tubuhnya sengaja
diberikan pada lawan. Inilah yang sulit, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya ia
terluka, tapi kemampuannya semakin bertambah jika terkena serangan,"
jelas Pendekar Jari Malaikat bernada agak mengeluh.
"Terus terang, Pendekar Jari Malaikat. Aku tidak suka berjudi, dan tidak akan
berjudi dengan nasib. Tapi kalau tidak ada seorang pendekar pun yang bersedia
menghenti-kannya, dunia persilatan tidak akan bertambah baik.
Bahkan bisa semakin hancur," kata Rangga.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti.
Memang tidak ada pendekar lain yang bisa kuajak menghentikan tindakannya," ujar
Pendekar Jari Malaikat.
Rangga diam tercenung. Pernyataan Pendekar Jari
Malaikat bagaikan pernyataan dari setiap pendekar beraliran putih di seluruh
jagad raya ini. Seakan-akan, mereka semua mengharapkan Rangga dapat menghentikan
tindakan si Jari Malaikat Maut. Memang kalau tidak di-hentikan, semakin banyak
tokoh persilatan yang bertarung dengannya, berarti pula semakin dahsyat ilmu si
Jari Malaikat Maut. Bisa jadi tidak akan terkalahkan, karena memiliki bermacam-
macam ilmu dari segala macam tokoh rimba persilatan. Tentu saja hal ini bisa
dimanfaatkan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam yang selalu mencuri-curi
kesempatan yang ada.
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak seharusnya kau kubebani persoalan ini,"
ucap Pendekar Jari Malaikat bernada menyesal.
"Memang seharusnya begitu!" tiba-tiba terdengar suara wanita.
Semua orang yang berada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara tadi.
Mereka terkejut, karena tiba-tiba muncul seorang wanita muda berparas cantik,
mengenakan baju warna biru. Di balik punggungnya
menyembul gagang pedang, berbentuk kepala naga hitam.
"Pandan Wangi..." desis Rangga.
"Sudah kuduga, kau pasti menyimpan sesuatu dariku, Kakang. Tapi aku tidak akan
diam begitu saja, dan aku sudah tahu semuanya." kata Pandan Wangi seraya
melangkah menghampiri.
Pandan Wangi berdiri tegak di depan Rangga. Dibalikkan tubuhnya menghampiri
Pendekar Jari Malaikat dan Arya Dipa yang berjarak sekitar dua tombak di depan
Rangga. Kedua laki-laki itu hanya memandangi Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa sebenarnya dia, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Jari Malaikat.
"Adikku," sahut Rangga.
"Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, mengapa kau membawanya ke tempat
persembunyian Pendekar
Bayangan Dewa?"
"Dia yang memaksa, dan terus mengikutiku. Maaf,"
ucap Rangga. "Aku tidak ingin mengajak Pandan Wangi, karena persoalan ini tidak
main-main. Bahkan nyawa taruhannya."
"Hm.... Bisa kupahami, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat
"Terima kasih." sahut Rangga.
"Dan seharusnya kau bisa memahami keadaan,
Nisanak," kata Pendekar Jari Malaikat pada Pandan Wangi.
"Aku akan mengerti kalau Kakang Rangga berterus terang," sahut Pandan Wangi
tandas. "Baiklah. Aku yang akan menjelaskannya padamu.
Mari...." Pandan Wangi menatap Rangga sejenak, kemudian
mengikuti Pendekar Jari Malaikat yang berjalan menjauhi tempat itu. Mereka
berjalan berdampingan. Sedangkan Rangga dan Arya Dipa mengikuti pelahan-lahan
dari belakang. Bisa saja Rangga mendengarkan pembicaraan Pendekar Jari Malaikat
bersama Pandan Wangi dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi
itu tidak dilakukannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu, apa yang dibicarakan
Pendekar Jari Malaikat pada si Kipas Maut itu.
"Aku benar-benar belum bisa mengerti semua kejadian ini...," gumam Arya Dipa
pelahan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Arya Dipa?" tanya Rangga.
"Tentang keterlibatan diriku," sahut Arya Dipa pelan.
"Maksudmu...?"
"Sampai sekarang masih belum kumengerti, mengapa Pendekar Jari Malaikat tidak
mengijinkan aku kembali ke Desa Banyu Reges" Aku lebih suka bertarung sampai
mati, daripada dijadikan budak pengawal seperti ini. Aku tahu dia seorang
pendekar yang tangguh, tapi paling tidak bisa kuhadapi dalam beberapa jurus. Dan
aku berada di Gunung Bekasan ini juga karena tantangannya. Heran..."
Apa sebenarnya yang diinginkan dariku...?" keluh Arya Dipa bertanya-tanya pada
dirinya sendiri.
"Apakah Pendekar Jari Malaikat tidak mengatakannya padamu?" tanya Rangga seraya
menepuk pundak pemuda itu. "Tidak," sahut Arya Dipa.
Rangga tersenyum senyum. Ditatapnya Pendekar Jari Malaikat yang masih asyik
berbicara dengan Pandan Wangi. Rangga berhenti berjalan, lalu duduk bersandar di
bawah pohon. Arya Dipa ikut berhenti, tapi masih tetap berdiri menatap Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat dan Pandan Wangi terus saja
berjalan pelahan-lahan sambil berbicara.
"Kau yang mengalahkan si Kapak Maut, Arya Dipa?"
tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ya, karena dia menghina dan menantang ayahku,"
sahut Arya Dipa.
"Kau tahu kalau si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat?"
"Aku tahu."
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawamu ke sini. Ini tak lain
agar kau luput dari kematian," tenang kata-kata Rangga.
"Aku tidak mengerti maksudmu...?"
"Si Jari Malaikat Maut datang ke Desa Banyu Reges hendak menantang si Kapak
Maut. Tapi ternyata kau telah mendahuluinya, sehingga dialihkan padamu," jelas
Rangga Arya Dipa mendengarkan dengan seksama.
"Sebenarnya si Jari Malaikat Maut adalah anak angkat dan murid tunggal pasangan
Pendekar Bayangan Dewa dan Ular Betina dari Selatan. Tapi anak itu ternyata
dipengaruhi pikiran kotor dan nafsu serakah setelah berhasil mencuri kitab yang
berisi ilmu langka dan sangat berbahaya."
"Kitab apa?" tanya Arya Dipa.
"Kitab Malih Jiwa. Kitab itu berisi sebuah ilmu yang bisa mengambil tenaga dan
kepandaian seseorang melalui pertarungan. Semakin banyak bertarung dengan tokoh
berilmu tinggi, semakin kuat dan tinggilah ilmu kepandaiannya. Dia berkelana
hanya hendak menantang para tokoh persilatan yang kemudian diserap ilmunya tanpa
disadari. Setelah lawannya lemah, baru dibunuh. Hal itu juga dilakukan terhadap Pendekar
Bayangan Dewa yang juga ayah angkat sekaligus gurunya," jelas Rangga.
"Milik siapa kitab itu?" tanya Arya Dipa.
"Milik keluarga Pendekar Jari Malaikat yang disimpan Pendekar Bayangan Dewa.
Mereka tidak ingin mempelajari ilmu itu karena dianggap sebagai ilmu keji yang
membuat orang dapat lebih kejam daripada iblis. Mereka bermaksud memusnahkannya,
tapi keburu dicuri si Jari Malaikat Maut"
"Lalu, di mana kitab itu sekarang?"
"Masih ada pada si Jari Malaikat Maut, karena belum seluruhnya dikuasai. Bisa
kau bayangkan, bagaimana kalau dia sampai menguasai seluruh isi kitab itu."
"Dunia persilatan akan hancur...," desah Arya Dipa.
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat memintaku untuk merebut kembali
kitab itu yang disembunyikan di balik ikat kepalanya. Pendekar Jari Malaikat
bermaksud memusnahkan begitu kitab itu kembali ke tangannya."
"Kalau begitu, kita harus merebut dan membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti."
"Memang! Tapi, itu tidak mudah. Kau sudah melihat pertarunganku dengannya,
bukan?" Arya Dipa menganggukkan kepalanya.
"Ayo jalan lagi," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
*** 7 Malam sudah teramat larut. Suasana di sekitar Padepokan Pedang Perak begitu
sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat.
Sebagian besar penghuni padepokan itu sudah terlelap dibuai mimpi.
Namun di dalam salah satu ruangan, terlihat Dewa Pedang masih terjaga,
didampingi istri dan anak bungsunya.
"Sudah tiga hari Arya Dipa belum juga kembali. Tak ada kabar beritanya lagi...,"
gumam Dewa Pedang agak mendesah, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya besok pagi aku ke Gunung Bekasan, Ayah,"
usul Arya Gara.
"Untuk apa?" tanya Dewa Pedang
"Barangkali saja masih bisa bertemu Kakang Arya Dipa."
"Hidup atau mati. Pendekar Jari Malaikat sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tapi..." "Tapi kenapa?" celetuk Dewi Ratih yang sejak tadi diam saja.
"Aku merasakan adanya keanehan. Belum pernah Pendekar Jari Malaikat bertarung
sampai tiga hari. Apalagi kemampuan yang dimiliki Arya Dipa masih terlalu jauh
untuk bisa menandinginya. Aku merasakan ada sesuatu di balik tantangan ini,
Dinda Dewi," nada suara Dewa Pedang seperti bergumam.
"Kenapa Kakang tidak melihat saja sendiri ke sana?"
usul Dewi Ratih.
"Tidak. Aku tidak akan merusak perjanjian itu."
"Tapi ini sudah tiga hari, Kakang. Kau berhak melihat keadaan anak kita. Apakah
sudah tewas, atau masih hidup."
"Meskipun sampai seratus tahun sekalipun, aku tidak berhak mencampuri urusan
ini, Dinda. Itu sudah per-janjianku dengan Pendekar Jari Malaikat. Meskipun kini
yang menjadi urusan adalah anakku sendiri."
"Perjanjian itu antara Kakang dengan Pendekar Jari Malaikat. Bukan denganku atau
Arya Gara. Berarti aku atau Arya Gara bisa mengunjungi Gunung Bekasan," bantah
Dewi Ratih. Dewa Pedang tercenung diam. Kata-kata istrinya
memang benar, dan tidak bisa dibantah lagi. Dan dia tidak akan mungkin melarang
seandainya Arya Gara atau Dewi Ratih pergi ke Puncak Gunung Bekasan. Mereka
memang tidak ada sangkut pautnya dengan penanjiannya itu. Dewa Pedang hanya
menarik napas panjang saja. Dirayapi wajah istri dan anaknya secara bergantian.
Ada beban yang teramat berat menghimpit dadanya, tapi dia tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Kata-kata Dewi Ratih yang terakhir membuat dirinya benar-benar
tidak berdaya lagi.
"Arya Gara, siapkan kuda. Kita berangkat sekarang juga," kata Dewi Ratih.
"Baik, Bu," sahut Arya Gara seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Dewa Pedang cepat
"Mau ke mana kalian?"
"Ke Gunung Bekasan," sahut Dewi Ratih kalem.
"Untuk apa" Malam-malam begini...?"
"Ya! Agar besok pagi sudah sampai di sana. Lebih cepat lebih baik," sahut Dewi
Ratih masih kalem.
"Tidak! Kalian tidak boleh ke sana!" cegah Dewa Pedang tegas.
Arya Gara dan ibunya saling berpandangan tidak
mengerti. Namun belum juga wanita itu bisa bersuara, mendadak saja terdengar
suara dari arah luar.
"Kalian semua memang tidak boleh ke sana jika ingin selamat...!"
"Heh...!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Begitu pula Dewi Ratih dan Arya Gara. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu
hampir bersamaan melompat ke luar melalui jendela yang terbuka. Sebentar saja
ketiga orang itu sudah berada di luar ruangan. Mereka berdiri berdampingan di
tengah-tengah halaman samping yang luas, di tumbuhi tanaman bunga bermekaran
menyebarkan bau harum. Tak ada seorang pun yang terlihat kecuali bayang-bayang
pohon tersiram cahaya bulan di sekitarnya.
"Kisanak, keluarlah!" seru Dewa Pedang lantang.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi itu menggema sampai ke delapan penjuru angin. Namun tak ada sahutan
sedikit pun, dan suasana tetap sunyi. Hanya desiran angin malam yang terdengar
mengusik gendang telinga.
"Saat ini aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Keluarlah...!" seru Dewa Pedang
sekali lagi. "Kau tidak perlu berteriak, Dewa Pedang. Aku di belakangmu!" terdengar sahutan
ringan bernada tenang.
Dewa Pedang, Dewi Ratih dan Arya Gara langsung
memutar tubuhnya berbalik. Betapa terkejutnya mereka, karena di tempat itu sudah
berdiri seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Baju putihnya agak ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
Dewa Pedang melangkah maju tiga tindak. Pandangannya tajam, namun terlihat
begitu waspada. Kehadiran pemuda itu yang tidak diketahui, sudah memberikan
peringatan agar Dewa Pedang berhati-hati.
"Siapa kau, dan apa maksudnya datang ke tempatku malam-malam begini?" tanya Dewa
Pedang tegas. "Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih itu hanya tertawa saja.
Dewa Pedang menjentikkan jari tangannya, memberi
isyarat pada istri dan anaknya agar berhati-hati. Sudah terasa kalau kehadiran
pemuda itu tidak diiringi maksud baik.
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki muda berbaju putih yang ternyata adalah si
Jari Malaikat Maut itu langsung saja melompat menerjang Dewa Pedang. Serangan
yang mendadak ini membuat laki-laki setengah baya itu jadi terperangah sesaat.
Tapi, cepat-cepat dijatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah. Serangan si Jari
Malaikat Maut hanya mengenai tempat kosong. Namun belum juga Dewa Pedang bisa
berdiri tegak, Jari Malaikat Maut sudah menyerang kembali.
"Tunggu...!" seru Dewa Pedang sambil berkelit menghindari serangan pemuda
berbaju putih itu.
Tapi rupanya si Jari Malaikat Maut tidak mempedulikan seruan Dewa Pedang. Bahkan
semakin gencar menyerang tanpa memberi kesempatan lawan untuk berbuat sesuatu,
selain berkelit menghindarkan diri. Dewa Pedang jadi geram juga dibuatnya.
Mendadak saja dia berteriak keras, lalu....
"Hiyaaat..!"
Tubuh Dewa Pedang melesat ke udara, lalu cepat sekali menukik sambil mencabut
pedang peraknya yang terkenal sangat ampuh dan ditakuti lawan maupun kawan.
"Uts...!"
Si Jari Malaikat Maut bergegas menundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang
perak yang datang bagaikan kilat itu. Hanya sedikit saja ujung mata pedang itu
berkelebat di atas kepala si Jari Malaikat Maut.
Bergegas digeser kakinya ke belakang, tepat saat Dewa Pedang menjejakkan kakinya
kembali ke tanah.
Secepat si Jari Malaikat Maut berkelit, secepat itu pula tangan kanannya
mengibas ke depan. Kalau saja Dewa Pedang tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke
belakang, pasti tebasan tangan si Jari Malaikat Maut sudah menjebol perutnya. Si
Jari Malaikat Maut berdiri tegak bertolak pinggang, kemudian menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada dengan sepuluh jari terkembang lebar.
"Heh...!" Dewa Pedang tersentak kaget. Bergegas dia melompat mundur dua tindak.
Hampir-hampir tidak dipercaya pada penglihatannya sendiri. Pemuda itu tengah
membuka jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Satu jurus yang sangat dikenalnya dan
merupakan jurus andalan dahsyat milik Pendekar Jari Malaikat.
"Anak Muda, apa hubungannya kau dengan Pendekar Jari Malaikat?" tanya Dewa
Pedang bercampur rasa heran yang amat sangat.
"He he he.... Rupanya kau gentar juga melihat Jurus
'Sepuluh Jari Maut' ini, Dewa Pedang," si Jari Malaikat Maut terkekeh sinis.
"Aku tidak percaya kalau kau murid Pendekar Jari Malaikat' Dari mana kau
dapatkan jurus itu, Anak Muda"!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengus Dewa Pedang.
"Kau akan tahu jika anakmu sudah jadi mayat'" jawab si Jari Malaikat Maut
dingin. Dewa Pedang tercenung. Namun belum sempat mulut-
nya terbuka, mendadak Arya Gara melompat sambil berteriak keras menerjang si
Jari Malaikat Maut
"Arya Gara...!" sentak Dewa Pedang terperanjat.
"Hih!"
Hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya, si Jari Malaikat Maut berhasil
mengelakkan serangan Arya Gara.
Dan dengan keceparan luar biasa, dihentakkan tangan kanannya ke arah kepala Arya
Gara. Ujung jari yang menegang kaku itu meluruk deras ke arah kening. Arya Gara
terperangah. Buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Namun....
"Hiyaaa...!"
Crab! "Aaa...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Pada saat Arya Gara menarik kepalanya
ke belakang, si Jari Malaikat Maut menghentak kakinya ke tanah. Dan bagaikan
kilat tubuhnya melesat ke depan sambil menjulur tangan ke arah kening Arya Gara
bagaikan sebatang pedang saja.
Arya Gara menjerit melengking tinggi. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Darah kontan menyembur deras dari kening yang
bolong tertembus jari telunjuk si Jari Malaikat Maut. Pemuda itu jatuh
menggelepar di tanah, sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat..!" geram Dewa Pedang melihat putranya tewas terkena Jurus 'Sepuluh
Jari Maut'. Biar bagaimanapun tegarnya seorang pendekar, sebagai ayah. Dewa
Pedang tidak bisa memungkiri hatinya yang terpukul melihat kematian anaknya.
"Arya Gara...!" teriak Dewi Ratih histerts.
Wanita itu berlari dan menubruk tubuh putranya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Meskipun Dewi Ratih seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, tapi tidak kuasa
juga membendung air matanya melihat putra bungsunya tewas menyedihkan.
"Kubunuh kau, iblis keparat..!" geram Dewi Ratih gusar.
Sambil berteriak keras, Dewi Ratih melompat menerjang si Jari Malaikat Maut yang
terkekeh bernada penuh ejekan. Terjangan Dewi Ratih disambut liukan tubuhnya
sedikit ke samping. Lalu bagaikan kilat diayunkan kakinya menyepak wanita itu.
Dug! "Akh...!" Dewi Ratih memekik keras tertahan.
Tendangan si Jari Malaikat Maut yang begitu cepat dan keras tidak dapat
dielakkan lagi. Wanita itu terlontar beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu
si Jari Malaikat Maut sudah melompat dengan jari-jari tangan terkembang ke
depan. "Hiyaaa...!"
"Ratih, awas...!" seru Dewa Pedang. Hatinya benar-benar bergolak melihat
istrinya diserang terus-menerus oleh si Jari Malaikat Maut. Namun naluri
kependekarannya
melarang untuk turut menyerang lawan yang hanya sendiri.
Serangan si Jari Malaikat Maut memang begitu cepat.
Sedangkan pada saat itu, Dewi Ratih dalam keadaan tidak seimbang berdirinya.
Wanita itu hanya mampu membanting tubuhnya ke tanah. Tapi sungguh sukar
dimengerti, si Jari Malaikat Maut masih mampu menyepakkan kakinya ke tubuh
wanita itu. Buk! "Akh!" lagi-lagi Dewi Ratih memekik keras. Wanita itu bergulingan di tanah
begitu terkena tendangan telak pada bagian iga, namun masih sempat bangkit
berdiri. Langsung dikeluarkan senjatanya yang berupa sehelai selendang berwarna
merah muda. Selendang sutra halus, yang pada ujungnya berumbai merah darah.
Wut! Dewi Ratih langsung mengerahkan jurus 'Selendang
Maut'. Suatu jurus yang sangat diandalkan dan jarang dikeluarkan. Kematian
putranya membuat wanita ini tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tanpa
mempedulikan peringatan suaminya, Dewi Ratih langsung menyerang si Jari Malaikat
Maut dengan senjata mautnya. Selendang berwarna merah muda itu meliuk-liuk
bagaikan seekor ular raksasa, memburu si Jari Malaikat Maut. Bagai memiliki mata
saja, selendang itu mengejar setiap langkah dan gerak si Jari Malaikat Maut.
"Huh!" dengus Jari Malaikat Maut kesal.
Pada saat ujung selendang Dewi Ratih meluruk ke arah dadanya, si Jari Malaikat
Maut tidak bergeming sedikit pun.
Bahkan dibuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, ujung selendang merah muda
itu menghantam telak dada si Jari Malaikat Maut. Namun pada saat itu si Jari
Malaikat Maut menggerakkan tangannya, menangkap selendang itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil membuat gerakan berputar, si Jari Malaikat Maut melayang sambil menarik
selendang merah muda itu.
Hal ini membuat Dewi Ratih tercengang, dan berusaha menarik selendangnya. Namun
pada saat menarik, si Jari Malaikat Maut mempergunakan hentakan tenaga lawannya.
Dibiarkan saja tubuhnya meluruk bersama selendang itu ke arah pemiliknya.
"Oh, tidak...," desis Dewi Ratih terperanjat. Belum juga Dewi Ratih bisa
melakukan sesuatu, ujung jari pemuda berbaju putih itu sudah menusuk keningnya.
Bahkan sampai melesak hingga ke pangkalnya.
"Aaa...!" Dewi Ratih menjerit keras melengking tinggi.
Darah segar langsung muncrat begitu si Jari Malaikat Maut menarik keluar jari
yang terbenam di kening wanita itu. Sebentar Dewi Ratih masih mampu berdiri,
kemudian jatuh menggelepar ke tanah. Darah semakin banyak keluar dari kening
yang berlubang sebesar jari tangan.
"Dewi..!" sentak Dewa Pedang melihat istrinya dibantai si Jari Malaikat Maut.
Seketika laki-laki tua itu menghambur, memeluk mayat istrinya. Dia seperti ingin
menangis, tapi jiwa kependekarannya menolak.
"Tidak! Aku tidak boleh menangis! Ini adalah takdir yang harus kuhadapi!" tekad
Dewa Pedang dalam hati.
Tapi biar bagaimanapun, Dewa Pedang tidak memung-
kiri hatinya yang terbakar!
"Keparat! Iblis...!" desis Dewa Pedang menggeram marah. Hati pendekar ini
sekarang benar-benar bergolak.
Betapa tidak! Dua mutiara hatinya tewas di tangan orang biadab ini.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak melihat dua
korbannya bergeletakan bersimbah darah pada kening yang berlubang.
Keributan yang terjadi di tengah malam buta itu rupanya membuat seluruh murid
Padepokan Pedang Perak terjaga. Mereka berlarian ke arah sumber keributan itu.
Betapa terkejutnya mereka begitu melihat tstri dan putra gurunya sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Semuanya jadi terpaku dan tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Sementara si Jari Malaikat Maut berdiri tegak dengan tenangnya. Sedikit pun
tidak dipedulikan kehadiran murid-murid Padepokan Pedang Perak yang kini sudah
menge-pung tempat ini sambil menghunus senjata. Perhatiannya hanya tertuju pada
Dewa Pedang yang wajahnya memerah menahan kemarahan amat sangat.
*** "Kau harus bayar mahal semua ini, Anak Muda!" dengus Dewa Pedang menggeram
marah. "Tentu! Akan kubayar semuanya dengan nyawamu, Dewa Pedang," sahut si Jari
Malaikat Maut kalem.
Dewa Pedang mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Disadari kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Ketua
Padepokan Pedang Perak itu
memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkir. Dia tak ingin pemuda itu mengamuk
dan membantai habis murid-muridnya. Laki-laki setengah baya itu bisa mengukur
kalau murid-muridnya tidak akan mampu menandingi pemuda yang tidak dikenalnya
ini. "Anak Muda, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Dewa Pedang setelah semua murid-
muridnya berada
dalam jangkauan yang cukup jauh.
"Mencari anakmu!" sahut si Jari Malaikat Maut.
"Kau sudah membunuh anakku. Kisanak!"
"Kau pilar aku tidak tahu, heh" Di mana kau
sembunyikan Arya Dipa" Dia harus bertanggung jawab padaku karena berani
menyerobot hakku!" lantang nada suara si Jari Malaikat Maut.
"Apa yang dilakukan putraku?"
"Membunuh si Kapak Maut yang seharusnya menjadi bagianku! Jelas..."!"
"O...." desah Dewa Pedang.
Kini laki-laki setengah baya itu baru tahu dan
menyadari. Ternyata pemuda ini adalah si Jari Malaikat Maut. Memang pernah
didengarnya tentang pemuda ini dari Pendekar Jari Malaikat. Rupanya orang yang
telah menggemparkan rimba persilatan ini masih begitu muda bagai seorang putra
bangsawan, tapi hatinya terselimut naisu iblis. Dewa Pedang semakin berhati-
hati. dan tidak ingin gegabah menghadapi pemuda ini.
Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah mendengar
banyak tentang sepak terjang si Jari Malaikat Maut.
Demikian pula tentang ilmunya yang paling ditakuti hampir seluruh tokoh rimba
persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Sebuah ilmu yang dapat
menyerap ilmu lawan hanya lewat benturan badan dalam pertarungan. Tak ada satu
ilmu kesaktian atau suatu jurus pun yang dapat menandinginya. Ilmu yang dimiliki
si Jari Malaikat Maut itu bahkan membuat tubuhnya kebal tak dapat digempur ajian
apa pun. Dewa Pedang juga kini tahu kalau si Jari Malaikat Maut mencari Arya Dipa, karena
telah membunuh si Kapak Maut, yang sedianya akan ditantang pemuda ini. Si Jari
Malaikat Maut memang selalu menantang tokoh-tokoh persilatan hanya untuk mencuri
ilmunya saja. Kemudian baru dibunuh dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dewa
Pedang menggeser kakinya sedikit ke samping. Pelahan-lahan ditarik pedangnya
keluar dari warangkanya. Sebuah pedang panjang dan tipis berwarna keperakan.
Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Bagus! Rupanya kau sudah siap ke neraka, Dewa Pedang!" dengus si Jari Malaikat
Maut seraya tersenyum tipis.
"Kita tentukan malam ini. Kau, atau aku yang lebih dulu ke neraka!" dengus Dewa
Pedang dingin. "Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak
"Majulah, Anak Muda! Dosa besar kalau aku tidak bisa membunuhmu malam ini!"
tantang Dewa Pedang.
"Waspadalah! Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut langsung melompat menerjang Dewa Pedang. Tubuhnya melesat
bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Kedua tangannya menjulur ke depan
dengan jari-jari terbuka lebar. Gerakannya bagai sepasang cakar seekor burung
elang yang siap menerkam mangsa.
"Hait..!"
Bagaikan kilat Dewa Pedang melompat ke samping
sambil mengebutkan pedangnya. Begitu cepat kebutan laki-laki setengah baya itu,
sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Semua murid Padepokan Pedang Perak
pasti menyangka kalau tubuh si Jari Malaikat Maut akan terbelah dua. Namun yang
terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan pada saat
ujung pedang Dewa Pedang menyambar tepat di depan perutnya, bagaikan kilat
dihentakkan kakinya menyepak pergelangan tangan yang menggenggam pedang itu.
"Uts!"
Dewa Pedang bergegas menarik pulang pedangnya,
maka sepakan kaki si Jari Malaikat Maut luput dari sasaran. Tapi dia tidak
berhenti di situ saja. Sambil memutar tubuhnya, dikibaskan tangan kanannya,
disusul tangan kiri menuju arah dua bagian tubuh Dewa Pedang.
Satu serangan dahsyat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Jurus ini sangat diandalkan
Pendekar Jari Malaikat, pemilik jurus yang syah itu. Hanya saja, kini menjadi
milik si Jari Malaikat Maut.
Wut! Wuk! "Edan! Hih...!"
*** 8 Cepat sekali Dewa Pedang berkelit, namun tetap saja masih harus menerima
hempasan angin kibasan tangan si Jari Malaikat Maut itu. Akibatnya, tubuhnya
terhuyung ke belakang beberapa langkah. Pada saat ttu, si Jari Malaikat Maut
sudah meluruk cepat dengan sepuluh jari terkembang bagai sepasang cakar burung
elang. "Hiyaaa...!"
"Hup!"
Buru-buru Dewa Pedang membanting tubuhnya ke
tanah. Namun lagi-lagi hatinya terperanjat karena kaki lawannya berhasil
menyepak iga sehingga membuatnya harus bergulingan sejauh beberapa batang tombak
di tanah. "Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!" teriak Jari Malaikat Maut keras
menggelegar. Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke
depan. Saat itu secercah cahaya merah bagai bola api sebesar kepala orang
dewasa, meluncur deras dari telapak tangan pemuda berbaju putih itu. Dewa Pedang
terperangah, dan tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Dan pada saat yang kritis, mendadak saja berkelebat bayangan putih bercampur
cahaya biru berkilau menyampok bola api yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut.
Bola api itu langsung terlontar balik ke arah pemiliknya. Hal ini membuat si
Jari Malaikat Maut harus berpelantingan menghindarinya. Satu ledakan keras
menggelegar terdengar begitu bola api itu menghantam dinding tembok pagar yang
melingkari padepokan itu. Tembok itu hancur berkeping-keping menimbulkan kepulan
debu yang mem-bumbung tinggi ke angkasa.
"Setan alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut geram.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Dewa Pedang sudah berdiri seorang
pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Tangannya memegang sebilah
pedang bergagang kepala burung Rajawali yang me-
mancarkan sinar biru berkilau, sehingga membuat malam yang pekat ini jadi terang
benderang bagai siang hari.
"Kau tidak apa-apa, Paman Dewa Pedang?" lembut suara pemuda berbaju rompi putih
itu. "Tidak, terima kasih," sahut Dewa Pedang sambil bangkit berdiri. "Kau tentu
Pendekar Rajawali Sakti!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum dan menoleh sedikit pada Dewa
Pedang yang sudah berdiri di samping kanannya. Dia memang Pendekar Rajawali
Sakti. Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada begitu melihat si Jari Malaikat
Maut sudah bersiap menyerang kembali
"Menyingkirlah, Paman. Biar kuhadapi sendiri," kata Rangga yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hati-hatilah. Ilmunya tinggi sekali," Dewa Pedang meng-ingatkan seraya
melangkah mundur.
Rangga hanya bergumam saja. Digeser kakinya ke kiri, menjauhi Dewa Pedang. Dia
tidak ingin laki-laki setengah baya itu menjadi sasaran serangan si Jari
Malaikat Maut. Rangga sempat melirik ke arah lain. Tampak Pendekar Jari Malaikat datang
menghampiri bersama Arya Dipa.
"Huh! Selalu saja kau muncul, Pendekar Rajawali Sakti!"
dengus si Jari Malaikat Maut gusar.
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang ke sini, Kobar,"
ujar Rangga menyebut nama asli si Jari Malaikat Maut.
"Aku Jari Malaikat Maut, bukan Kobar," bentak pemuda itu geram.
"Apa pun julukanmu, kau tetap Kobar. Anak angkat Pendekar Bayangan Dewa dan si
Ular Betina dari Selatan.
Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Dan aku tidak ingin kau terlalu lama
mendewakan nafsu serakah dan
keangkaramurkaan!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut yang sebenarnya bernama Kobar tertawa
terbahak-bahak. Sama sekali memandang sebelah mata pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Tertawalah sepuasmu, Kobar. Malam ini akan ku-hentikan segala tindakanmu!"
dingin nada suara Rangga.
"Monyet..! Sepatutnya kau mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak si
Jari Malaikat Maut gusar.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum lagi hilang suara pemuda berbaju putih ketat itu, mendadak saja si Jari
Malaikat Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Cepat sekali
serangannya, tapi Rangga lebih cepat lagi berkelit menghindari serangan itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun menggenggam Pedang Pusaka
Rajawali Sakti, tapi Rangga masih belum mau berbenturan secara langsung dengan
lawannya. Dia menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan selalu menghindari
setiap serangan si Jari Malaikat Maut.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan
cahaya biru menyilaukan itu selalu berkelebatan cepat, mengacaukan setiap
serangan si Jari Malaikat Maut.
Namun setiap kali pemuda itu berusaha menahan arus kibasan pedang dengan
tangannya, Rangga selalu berhasil mengindari dengan memutar balik arah
tebasannya. Dan ini semakin membuat si Jari Malaikat Maut bertambah marah.
"Keparat! Kau mempermainkan aku, heh...!" geram si Jari Malaikat Maut gusar.
Umpatan si Jari Malaikat Maut tidak dihiraukan
Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terus saja mempergunakan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sambil memain-mainkan pedangnya. Sinar biru yang
memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu semakin bertambah terang
menyilaukan mata, membuat si Jari
Malaikat Maut semakin terkecoh. Bola matanya mulai terasa pedih, dan berusaha
dihindari tatapan matanya pada sinar biru berkilau itu.
"Keluarkan semua ilmu curianmu, Kobar!" seru Rangga memancing amarah si Jari
Malaikat Maut. "Bedebah! Kubunuh kau, setaaan..!" geram si Jari Malaikat Maut semakin memuncak
amarahnya. Serangan-serangan si Jari Malaikat Maut semakin
gencar dan berbahaya sekali. Jurus demi jurus berganti cepat. Semakin lama
pertarungan itu, semakin dahsyat serangan yang dilakukan si Jari Malaikat Maut.
Tapi rupanya Rangga masih mampu menghindari setiap
serangan itu. Dengan bantuan cahaya pedangnya yang menyilaukan, Pendekar
Rajawali Sakti mampu berkelit cepat dan mengecoh serangan-serangan lawannya.
Tapi bagaimanapun juga, Rangga menyadari kalau pertarungan seperti ini tidak
akan bertahan lama lagi. Dan sudah dipersiapkan apa yang akan terjadi nanti.
Rangga sadar, kalau tidak si Jari Malaikat Maut maka dirinyalah yang akan tewas
malam ini! *** "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras menggelegar. Seketika itu
juga tubuhnya melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali. Pemuda berbaju
putih ketat ttu meluruk jauh ke depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Segumpal
cahaya bagai bola api meluncur deras keluar dari telapak tangan yang terbuka
lebar itu. "Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Maka bola api ttu
tepat menghantam mata pedang yang bersinar biru itu. Satu ledakan keras terjadi.
Tapi sungguh menakjubkan. Bola api itu langsung lenyap begitu membentur pedang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Dua kali si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanan dan kirinya secara
cepat bergantian. Dua bola api bertebaran meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan pedang di depan
dada. Dua ledakan keras kembali terdengar begitu bola-bola api yang dilepaskan
si Jari Malaikat Maut menghantam mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Phuih...!" si Jari Malaikat Maut menyemburkan ludahnya, gusar.
Baru kali ini didapatkan lawan tangguh, yang dapat menahan gempuran aji 'Tapak
Api' yang sangat dahsyat.
Tiga kali Rangga digempur, tapi tidak kurang satu apa pun.
Padahal dia belum berpindah dari tempatnya berdiri.
Bahkan semua ajian yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut mudah sekali
diredamnya. "Hup! Hup! Hsss...!"
Si Jari Malaikat Maut menggerak-gerakkan tangannya turun naik di depan dada.
Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Kedua kakinya terpentang lebar, dan
lututnya agak tertekuk ke depan. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Namun
pelahan-lahan dilebarkan kakinya, dan tangan kirinya menggosok Pedang Pusaka
Rajawali Sakti. Sungguh menakjubkan...! Sinar biru yang memancar dari pedang itu
menggumpal membentuk
bulatan pada ujung pedang
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, si Jari Malaikat Maut berlari cepat mengarah ke Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memasukkan pedang pusakanya ke dalam
warangkanya di punggung. Tapi bulatan cahaya biru, tetap menyelimuti kedua
tangannya. Dan pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan tangannya ke depan,
tepat pada saat jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut yang memerah membara
bagai terbakar itu mencengkeram dada Rangga.
"Hhh!"
"Hup...!"
Dua orang pemuda itu saling berhadapan. Jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut
menancap dalam di dada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putih itu mencengkeram bahu lawannya kuat-kuat.
Terjadi adu kekuatan ilmu kesaktian yang tinggi.
Inilah adu kekuatan kesaktian yang saling berlawanan satu sama lain, meskipun
sama-sama mempunyai tujuan serupa yaitu menyedot kekuatan dan tenaga lawan!
Saling tarik-menartk kekuatan pun terjadi. Dan Rangga agak terkejut juga begitu
merasakan tarikan kekuatan si Jari Malaikat Maut begitu kuat. Tanpa membuang-
buang waktu lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan tingkat terakhir aji
'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti terselimut cahaya biru
berkilauan. Sedangkan seluruh tangan si Jari Malaikat Maut sudah memerah membara
bagaikan terbakar. Tubuh yang bermandikan keringat itu bergetar. Sedangkan
Rangga mulai memusatkan kekuatan pada kedua tangannya yang mencengkeram pundak
si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangannya. Dan bersamaan
dengan itu, digedornya dada Rangga dengan kekuatan penuh. Bukan main terkejutnya
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah melayang ke udara.
Pada saat itu si Jari Malaikat Maut melesat ke angkasa.
Bukannya untuk mengejar Rangga, tapi untuk melarikan diri dengan arah yang
berlawanan. Namun belum juga sempat meninggalkan tempat itu, mendadak saja
sebuah bayangan biru berkelebat menyampoknya.
"Uts...!"
Buru-buru si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya dan berputar beberapa
kali. Tubuhnya lalu meluruk turun dengan ringan dan manis sekali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya lembut menjejak tanah. Tampak dari sudut
bibirnya mengucurkan darah kental. Rupanya tadi seluruh kekuatannya dikerahkan
untuk melepaskan diri dari balutan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara itu Rangga yang jatuh ke tanah bergulingan beberapa kali, langsung
duduk bersila seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Kelopak
matanya agak terpejam, namun menatap lurus si Jari Malaikat Maut yang berdiri
berhadapan dengan seorang gadis cantik mengenakan baju berwarna biru. Begitu
ketatnya baju yang dikenakan, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah
sekali. "Pandan...," desis Rangga mengenali gadis itu.
Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis itu.
Kekuatannya yang hampir hilang harus segera dipulihkan, akibat tersedot ilmu
yang dimiliki si Jari Malaikat Maut.
Dalam hati, dia merasa khawatir kalau aji 'Cakra Buana Sukma' sempat disadap si
Jari Malaikat Maut. Kalau hal itu sampai terjadi, sukar bagi Rangga untuk
mengalahkannya.
*** Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah menyerang Pandan Wangi yang
menggunakan senjata khasnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing
dan tajam melebihi tajamnya mata pisau cukur. Pertarungan ttu berlangsung
sengit. Namun dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi
terdesak. Menyadari kalau lawannya sangat tangguh, Pandan
Wangi segera mencabut Pedang Naga Geni yang berwarna hitam kelam mengepulkan
asap kemerahan. Dengan
pedang di tangan kanan dan kipas baja di tangan kiri, Pandan Wangi kembali mampu
menandingi kehebatan si Jari Malaikat Maut yang bertarung menggunakan tangan
kosong. Namun jari-jari tangannya merupakan senjata yang dahsyat, melebihi
senjata apa pun juga!
"Pandan, mundur...!" seru Rangga yang sudah dapat memulihkan kekuatannya
kembali. Tapi Pandan Wangi tidak menghiraukan peringatan
Rangga, dan terus saja bertarung sengit. Hal ini membuat Rangga cemas, karena
sudah bisa diukur kalau Pandan Wangi tidak mungkin bisa mengalahkan si Jari
Malaikat Maut. Dan dugaan Rangga ternyata terbukti tidak lama kemudian.
Saat itu Pandan Wangi tengah membabatkan pedang-
nya ke arah kaki si Jari Malaikat Maut. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali,
pemuda berbaju putih itu hanya mengangkat sebelah kakinya ke atas. Langsung
dihentakkan ke depan, sehingga membuat Pandan Wangi ter-
perangah kaget. Dan belum hilang rasa keterkejutannya, gadis itu sudah merasakan
adanya tendangan keras
menghantam perut.
"Hughk...!" Pandan Wangi mengeluh pendek.
Selagi tubuh gadis itu terbungkuk, cepat sekali si Jari Malaikat Maut
mengayunkan satu pukulan ke arah wajah.
Namun belum juga pukulan itu sampai ke wajah Pandan Wangi, Rangga cepat melompat
dan menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tangan si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Wuk..! Tubuh si Jari Malaikat Maut terlontar ke atas, namun tangannya masih dicekal
Rangga. Dan dengan keras sekali pemuda itu jatuh ke tanah begitu Rangga
menghentak-kannya ke bawah. Satu tendangan keras dilayangkan ke tubuh si Jari
Malaikat Maut, membuat pemuda berbaju putih ketat itu terguling sejauh beberapa
batang tombak. Hebat! Dia cepat bangkit berdiri dan menyemburkan ludahnya penuh kegeraman.
"Mundur kau, Pandan," dengus Rangga memerintah.
Pandan Wangi ingin bersikeras, tapi Pendekar Jari Malaikat bergegas menghampiri
gadis itu dan membawanya menyingkir. Terpaksa Pandan Wangi menurut, menjauhi
tempat pertarungan itu. Sementara Rangga sudah menggeser kakinya ke samping,
siap menghadapi lawan yang sangat tangguh ini.
"Majulah! Kita bertarung sampai ada yang mati, Kobar!"
ujar Rangga dingin.
"Hm...." si Jari Malaikat Maut hanya menggumam tidak jelas.
Pertarungannya tadi rupanya membuat si Jari Malaikat Maut harus bersikap hati-
hati menghadapi Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau saja tidak beruntung tadi,
mungkin dia sudah tidak bernyawa lagi. Sungguh belum pernah dihadapinya lawan
yang begini tangguh, dan berkepandaian tinggi. Bahkan kepandaiannya sukar sekali
dicuri melalui ilmu andalannya yang sangat dibanggakan.
Rangga yang menyadari kalau lawannya ini sungguh
alot, tidak mau lagi membuang-buang waktu dan memberi kesempatan. Bagaikan
burung Rajawali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berteriak keras
menerjang si Jari Malaikat Maut. Kembali pertarungan sengit terjadi, masing-
masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali. Sedikit kelengahan
akan berakibat kematian.
Untuk pertama kali Ini, Rangga bukan saja mengeluarkan jurus-jurus 'Rajawali
Sakti', tapi juga jurus-jurus yang pernah didapatkannya dari Satria Naga Emas.
Namun ternyata si Jari Malaikat Maut mampu menandinginya,
bahkan masih mampu juga membalas tidak kalah dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung hingga ke luar tembok benteng Padepokan Pedang
Perak bagian belakang yang langsung berhadapan dengan hutan lebat. Semua orang
yang menyaksikan pertarungan itu terus mengikuti sambil menjaga jarak dan
berjaga-jaga. Pertarungan itu terus berpindah-pindah tempat dan semakin jauh
masuk ke dalam hutan mendekati Gunung Bekasan. Tidak ter-katakan lagi, bagaimana
hancurnya hutan yang dijadikan arena pertarungan itu.
Hingga fajar menyingsing, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Si
Jari Malaikat Maut masih terus berlangsung. Bahkan sampai matahari naik tinggi,
pertarungan itu belum juga berhenti. Rangga memang mengalami kesukaran untuk
menjatuhkan, karena lawannya kali ini memiliki berbagai macam ilmu dari banyak
tokoh rimba persilatan. Bahkan tidak jarang Rangga terkecoh.
"Hhh... Pertarungan ini harus segera disudahi!" dengus Rangga dalam hati.
Baru saja Rangga berpikir demikian, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
pekat yang langsung meluruk ke arah si Jari Malaikat Maut. Hal ini membuat
pemuda berbaju putih itu jadi terkejut. Buru-buru diputar tubuhnya.
Tapi sungguh tidak terduga sama sekali, bayangan itu malah melentingkan tubuhnya
dan menyambar kepala si Jari Malaikat Maut.
Wut! "Hait...!"
Bet..! Ikat kepala si Jari Malaikat Maut terlepas disambar bayangan itu. Si Jari
Malaikat Maut bergegas melompat ke belakang. Pada saat yang tepat, Rangga sudah
melompat sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam
sempuma sekali.
"Hiyaaa...!"
Buk! "Akh...!" si Jari Malaikat Maut memekik keras.
Tubuhnya langsung terlontar kembali ke depan. dan terjerembab mencium tanah.
Bergegas dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, tapi sebuah kaki sudah
menginjak dadanya. Si Jari Malaikat Maut terbeliak begitu mengenali, siapa yang
menginjak dadanya. Ternyata seorang perempuan tua berbaju kumal menggenggam
sebatang tongkat berbentuk ular hitam yang ujungnya menekan leher
pemuda itu. "Ibu..." desis si Jari Malaikat Maut.
"Tidak pantas kau menyebutku ibu, Anak durhaka!"
bentak perempuan tua itu yang tidak lain adalah Nyi Palak, atau lebih dikenal
berjuluk si Ular Betina dari Selatan.
Sementara itu, Rangga hanya memperhatikan saja
dengan jarak yang tidak seberapa jauh. Sedangkan beberapa tombak di belakang Nyi
Palak, terlihat Pendekar Jari Malaikat, Pandan Wangi, dan Arya Dipa.
Dan begitu Arya Dipa melihat Dewa Pedang, pemuda itu menghambur menubruk
ayahnya. "Di mana ibu dan adikku, Ayah?" tanya Arya Dipa yang tidak melihat kedua orang
itu. Mendengar pertanyaan itu, Dewa Pedang tersentak.
Hatinya begitu pedih seperti tersayat sembilu. Dia seperti tak mampu menjawab.
"Kenapa, Ayah" Mengapa Ayah kelihatan sedih?"
"Benar, Nak. Hari ini aku benar-benar berduka ibu dan adikmu telah tiada." tutur
Dewa Pedang berusaha menegarkan hatinya.
"Apa"!"
*** "Kau sudah membunuh ayahmu sendiri. Dan sekarang kau harus mampus di ujung
tongkatku!" dingin nada suara Nyi Palak.
Pucat pasi wajah si Jari Malaikat Maut. Dia berusaha menggerinjang mencoba
membebaskan diri, tapi Nyi Palak malah menekan ujung tongkatnya lebih keras ke
leher pemuda itu hingga meringis kesakitan.
"Kau bisa saja menantang pendekar pendekar lain.
Tapi, kau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah setan!" kata Nyi Palak lagi.
"Ibu, aku hanya ingin menambah ilmu," kilah si Jari Malaikat Maut mencoba
membela diri. "Kau boleh saja memohon maaf seribu kali, tapi nanti di neraka!" ketus nada
suara Nyi Palak.
"Ibu..."
"Bersiaplah untuk mati, iblis! Hih...!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaa...!"si Jari Malaikat Maut menjerit melengking tinggi.
Ujung tongkat Nyi Palak langsung memanggang leher pemuda yang memang anak
angkatnya sendiri. Tidak
sampai di situ saja, perempuan tua itu juga menghunjamkan tongkatnya ke dada.
Bahkan menjejak dada yang berlumuran darah itu dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Trek! Terdengar tulang-tulang dada berpatahan. Seketika itu juga si Jari Malaikat Maut
terkulai tak bernyawa lagi. Nyi Palak melangkah mundur. Dibalikkan tubuhnya dan
diham-pirinya Pendekar Jari Malaikat.
"Benda ini tidak ada harganya lagi, Kakang," kata Nyi Palak sambil menyerahkan
ikat kepala milik si Jari Malaikat Maut.
Dengan mata berkaca-kaca. Pendekar Jari Malaikat
menerima ikat kepala itu. Dia mengerti, kalau Pendekar Bayangan Dewa sudah
meninggal. Ini semua akibat
keserakahan anak angkatnya sendiri yang durhaka setelah menguasai ikat kepala
berisi sebuah kitab dari ilmu yang sangat langka dan sangat berbahaya jika
digunakan pada jalan sesat.
Pendekar Jari Malaikat memandangi ikat kepala di
tangannya, kemudian dilemparkan ke tanah. Dan seketika itu juga dihentakkan
tangannya ke arah benda itu. Sebuah bola api sebesar kepalan tangan meluncur,
langsung membakar hangus ikat kepala berikut kitab yang tersembunyi di dalamnya.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Pendekar Jari
Malaikat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,
sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Sedangkan Nyi Palak menghampiri Arya Dipa. Ditepuk-tepuknya
pundak pemuda itu.
"Maaf atas kekasaranku padamu, Arya Dipa," ucap Nyi Palak.
Arya Dipa tak mampu menjawab, dan hanya meng-
angguk saja. Nyi Palak memandang Dewa Pedang, lalu beralih pada Pandan Wangi.
Puas menatap Pandan Wangi, dia berbalik dan menghampiri Rangga. Sebentar
dirayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian ditepuknya pundak Rangga
tiga kali. "Aku ingin memberimu sesuatu, tapi aku tidak yakin akan berguna kembali," ungkap
Nyi Palak. "Apa itu?" tanya Rangga.
"Ah, sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa menguasai ilmu iblis itu. Biarkanlah
musnah bersama kenangan pahit ini."
Rangga tidak lagi mendesak. Sudah bisa dimengerti apa yang dibicarakan perempuan
tua ini. Setelah menyalami Pendekar Rajawali Sakti itu, Nyi Palak melangkah
pergi. Ayunan langkahnya seperti biasa saja, tapi begitu cepat seakan-akan tidak
menjejak tanah. Cepat sekali tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Rangga segera
menghampiri Pandan Wangi, lalu mengajaknya pergi.
Kedua pendekar itu pergi diiringi pandangan mata Dewa Pedang dan putranya.
Mereka masih berada di tempat itu sampai semua pendekar tidak terlihat lagi.
Kemudian Dewa Pedang mengajak putranya kembali ke padepokan, diiringi murid-
murid Padepokan Pedang Perak.
SELESAI Proyek Kolaborasi ebook :
Scan & convert to teks by syauqy_arr
Edit teks by fujidenkikagawa
Convert to PDF achyarman
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** Pedang Kayu Harum 19 Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Tujuh Pedang Tiga Ruyung 11
menghampiri kuda hitam yang masih tenang merumput.
Ditepuk tepuk leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Namun belum
juga menghentakkan tali
kekang kuda hitam itu, mendadak dari balik gerumbul semak melesat Pendekar Jari
Malaikat dan Arya Dipa.
Rangga memandangi kedua orang itu, kemudian turun kembali dari punggung kudanya.
"Ternyata aku tidak salah meminta bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar
Pendekar Jari Malaikat setelah dekat di depan Rangga.
"Hm..., kalian melihat pertarunganku tadi?" tanya Rangga seraya menebak.
"Ya, sejak awal," sahut Pendekar Jari Malaikat.
"Sungguh tidak kukira kalau dia sudah begitu banyak mengalahkan pendekar," desah
Rangga pelan. "Itulah sebabnya, kenapa tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup
menandinginya. Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak pernah lawannya tidak
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan kadang-kadang tubuhnya sengaja
diberikan pada lawan. Inilah yang sulit, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya ia
terluka, tapi kemampuannya semakin bertambah jika terkena serangan,"
jelas Pendekar Jari Malaikat bernada agak mengeluh.
"Terus terang, Pendekar Jari Malaikat. Aku tidak suka berjudi, dan tidak akan
berjudi dengan nasib. Tapi kalau tidak ada seorang pendekar pun yang bersedia
menghenti-kannya, dunia persilatan tidak akan bertambah baik.
Bahkan bisa semakin hancur," kata Rangga.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti.
Memang tidak ada pendekar lain yang bisa kuajak menghentikan tindakannya," ujar
Pendekar Jari Malaikat.
Rangga diam tercenung. Pernyataan Pendekar Jari
Malaikat bagaikan pernyataan dari setiap pendekar beraliran putih di seluruh
jagad raya ini. Seakan-akan, mereka semua mengharapkan Rangga dapat menghentikan
tindakan si Jari Malaikat Maut. Memang kalau tidak di-hentikan, semakin banyak
tokoh persilatan yang bertarung dengannya, berarti pula semakin dahsyat ilmu si
Jari Malaikat Maut. Bisa jadi tidak akan terkalahkan, karena memiliki bermacam-
macam ilmu dari segala macam tokoh rimba persilatan. Tentu saja hal ini bisa
dimanfaatkan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam yang selalu mencuri-curi
kesempatan yang ada.
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak seharusnya kau kubebani persoalan ini,"
ucap Pendekar Jari Malaikat bernada menyesal.
"Memang seharusnya begitu!" tiba-tiba terdengar suara wanita.
Semua orang yang berada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara tadi.
Mereka terkejut, karena tiba-tiba muncul seorang wanita muda berparas cantik,
mengenakan baju warna biru. Di balik punggungnya
menyembul gagang pedang, berbentuk kepala naga hitam.
"Pandan Wangi..." desis Rangga.
"Sudah kuduga, kau pasti menyimpan sesuatu dariku, Kakang. Tapi aku tidak akan
diam begitu saja, dan aku sudah tahu semuanya." kata Pandan Wangi seraya
melangkah menghampiri.
Pandan Wangi berdiri tegak di depan Rangga. Dibalikkan tubuhnya menghampiri
Pendekar Jari Malaikat dan Arya Dipa yang berjarak sekitar dua tombak di depan
Rangga. Kedua laki-laki itu hanya memandangi Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa sebenarnya dia, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Jari Malaikat.
"Adikku," sahut Rangga.
"Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, mengapa kau membawanya ke tempat
persembunyian Pendekar
Bayangan Dewa?"
"Dia yang memaksa, dan terus mengikutiku. Maaf,"
ucap Rangga. "Aku tidak ingin mengajak Pandan Wangi, karena persoalan ini tidak
main-main. Bahkan nyawa taruhannya."
"Hm.... Bisa kupahami, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat
"Terima kasih." sahut Rangga.
"Dan seharusnya kau bisa memahami keadaan,
Nisanak," kata Pendekar Jari Malaikat pada Pandan Wangi.
"Aku akan mengerti kalau Kakang Rangga berterus terang," sahut Pandan Wangi
tandas. "Baiklah. Aku yang akan menjelaskannya padamu.
Mari...." Pandan Wangi menatap Rangga sejenak, kemudian
mengikuti Pendekar Jari Malaikat yang berjalan menjauhi tempat itu. Mereka
berjalan berdampingan. Sedangkan Rangga dan Arya Dipa mengikuti pelahan-lahan
dari belakang. Bisa saja Rangga mendengarkan pembicaraan Pendekar Jari Malaikat
bersama Pandan Wangi dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi
itu tidak dilakukannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu, apa yang dibicarakan
Pendekar Jari Malaikat pada si Kipas Maut itu.
"Aku benar-benar belum bisa mengerti semua kejadian ini...," gumam Arya Dipa
pelahan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Arya Dipa?" tanya Rangga.
"Tentang keterlibatan diriku," sahut Arya Dipa pelan.
"Maksudmu...?"
"Sampai sekarang masih belum kumengerti, mengapa Pendekar Jari Malaikat tidak
mengijinkan aku kembali ke Desa Banyu Reges" Aku lebih suka bertarung sampai
mati, daripada dijadikan budak pengawal seperti ini. Aku tahu dia seorang
pendekar yang tangguh, tapi paling tidak bisa kuhadapi dalam beberapa jurus. Dan
aku berada di Gunung Bekasan ini juga karena tantangannya. Heran..."
Apa sebenarnya yang diinginkan dariku...?" keluh Arya Dipa bertanya-tanya pada
dirinya sendiri.
"Apakah Pendekar Jari Malaikat tidak mengatakannya padamu?" tanya Rangga seraya
menepuk pundak pemuda itu. "Tidak," sahut Arya Dipa.
Rangga tersenyum senyum. Ditatapnya Pendekar Jari Malaikat yang masih asyik
berbicara dengan Pandan Wangi. Rangga berhenti berjalan, lalu duduk bersandar di
bawah pohon. Arya Dipa ikut berhenti, tapi masih tetap berdiri menatap Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat dan Pandan Wangi terus saja
berjalan pelahan-lahan sambil berbicara.
"Kau yang mengalahkan si Kapak Maut, Arya Dipa?"
tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ya, karena dia menghina dan menantang ayahku,"
sahut Arya Dipa.
"Kau tahu kalau si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat?"
"Aku tahu."
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawamu ke sini. Ini tak lain
agar kau luput dari kematian," tenang kata-kata Rangga.
"Aku tidak mengerti maksudmu...?"
"Si Jari Malaikat Maut datang ke Desa Banyu Reges hendak menantang si Kapak
Maut. Tapi ternyata kau telah mendahuluinya, sehingga dialihkan padamu," jelas
Rangga Arya Dipa mendengarkan dengan seksama.
"Sebenarnya si Jari Malaikat Maut adalah anak angkat dan murid tunggal pasangan
Pendekar Bayangan Dewa dan Ular Betina dari Selatan. Tapi anak itu ternyata
dipengaruhi pikiran kotor dan nafsu serakah setelah berhasil mencuri kitab yang
berisi ilmu langka dan sangat berbahaya."
"Kitab apa?" tanya Arya Dipa.
"Kitab Malih Jiwa. Kitab itu berisi sebuah ilmu yang bisa mengambil tenaga dan
kepandaian seseorang melalui pertarungan. Semakin banyak bertarung dengan tokoh
berilmu tinggi, semakin kuat dan tinggilah ilmu kepandaiannya. Dia berkelana
hanya hendak menantang para tokoh persilatan yang kemudian diserap ilmunya tanpa
disadari. Setelah lawannya lemah, baru dibunuh. Hal itu juga dilakukan terhadap Pendekar
Bayangan Dewa yang juga ayah angkat sekaligus gurunya," jelas Rangga.
"Milik siapa kitab itu?" tanya Arya Dipa.
"Milik keluarga Pendekar Jari Malaikat yang disimpan Pendekar Bayangan Dewa.
Mereka tidak ingin mempelajari ilmu itu karena dianggap sebagai ilmu keji yang
membuat orang dapat lebih kejam daripada iblis. Mereka bermaksud memusnahkannya,
tapi keburu dicuri si Jari Malaikat Maut"
"Lalu, di mana kitab itu sekarang?"
"Masih ada pada si Jari Malaikat Maut, karena belum seluruhnya dikuasai. Bisa
kau bayangkan, bagaimana kalau dia sampai menguasai seluruh isi kitab itu."
"Dunia persilatan akan hancur...," desah Arya Dipa.
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat memintaku untuk merebut kembali
kitab itu yang disembunyikan di balik ikat kepalanya. Pendekar Jari Malaikat
bermaksud memusnahkan begitu kitab itu kembali ke tangannya."
"Kalau begitu, kita harus merebut dan membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti."
"Memang! Tapi, itu tidak mudah. Kau sudah melihat pertarunganku dengannya,
bukan?" Arya Dipa menganggukkan kepalanya.
"Ayo jalan lagi," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
*** 7 Malam sudah teramat larut. Suasana di sekitar Padepokan Pedang Perak begitu
sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat.
Sebagian besar penghuni padepokan itu sudah terlelap dibuai mimpi.
Namun di dalam salah satu ruangan, terlihat Dewa Pedang masih terjaga,
didampingi istri dan anak bungsunya.
"Sudah tiga hari Arya Dipa belum juga kembali. Tak ada kabar beritanya lagi...,"
gumam Dewa Pedang agak mendesah, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya besok pagi aku ke Gunung Bekasan, Ayah,"
usul Arya Gara.
"Untuk apa?" tanya Dewa Pedang
"Barangkali saja masih bisa bertemu Kakang Arya Dipa."
"Hidup atau mati. Pendekar Jari Malaikat sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tapi..." "Tapi kenapa?" celetuk Dewi Ratih yang sejak tadi diam saja.
"Aku merasakan adanya keanehan. Belum pernah Pendekar Jari Malaikat bertarung
sampai tiga hari. Apalagi kemampuan yang dimiliki Arya Dipa masih terlalu jauh
untuk bisa menandinginya. Aku merasakan ada sesuatu di balik tantangan ini,
Dinda Dewi," nada suara Dewa Pedang seperti bergumam.
"Kenapa Kakang tidak melihat saja sendiri ke sana?"
usul Dewi Ratih.
"Tidak. Aku tidak akan merusak perjanjian itu."
"Tapi ini sudah tiga hari, Kakang. Kau berhak melihat keadaan anak kita. Apakah
sudah tewas, atau masih hidup."
"Meskipun sampai seratus tahun sekalipun, aku tidak berhak mencampuri urusan
ini, Dinda. Itu sudah per-janjianku dengan Pendekar Jari Malaikat. Meskipun kini
yang menjadi urusan adalah anakku sendiri."
"Perjanjian itu antara Kakang dengan Pendekar Jari Malaikat. Bukan denganku atau
Arya Gara. Berarti aku atau Arya Gara bisa mengunjungi Gunung Bekasan," bantah
Dewi Ratih. Dewa Pedang tercenung diam. Kata-kata istrinya
memang benar, dan tidak bisa dibantah lagi. Dan dia tidak akan mungkin melarang
seandainya Arya Gara atau Dewi Ratih pergi ke Puncak Gunung Bekasan. Mereka
memang tidak ada sangkut pautnya dengan penanjiannya itu. Dewa Pedang hanya
menarik napas panjang saja. Dirayapi wajah istri dan anaknya secara bergantian.
Ada beban yang teramat berat menghimpit dadanya, tapi dia tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Kata-kata Dewi Ratih yang terakhir membuat dirinya benar-benar
tidak berdaya lagi.
"Arya Gara, siapkan kuda. Kita berangkat sekarang juga," kata Dewi Ratih.
"Baik, Bu," sahut Arya Gara seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Dewa Pedang cepat
"Mau ke mana kalian?"
"Ke Gunung Bekasan," sahut Dewi Ratih kalem.
"Untuk apa" Malam-malam begini...?"
"Ya! Agar besok pagi sudah sampai di sana. Lebih cepat lebih baik," sahut Dewi
Ratih masih kalem.
"Tidak! Kalian tidak boleh ke sana!" cegah Dewa Pedang tegas.
Arya Gara dan ibunya saling berpandangan tidak
mengerti. Namun belum juga wanita itu bisa bersuara, mendadak saja terdengar
suara dari arah luar.
"Kalian semua memang tidak boleh ke sana jika ingin selamat...!"
"Heh...!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Begitu pula Dewi Ratih dan Arya Gara. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu
hampir bersamaan melompat ke luar melalui jendela yang terbuka. Sebentar saja
ketiga orang itu sudah berada di luar ruangan. Mereka berdiri berdampingan di
tengah-tengah halaman samping yang luas, di tumbuhi tanaman bunga bermekaran
menyebarkan bau harum. Tak ada seorang pun yang terlihat kecuali bayang-bayang
pohon tersiram cahaya bulan di sekitarnya.
"Kisanak, keluarlah!" seru Dewa Pedang lantang.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi itu menggema sampai ke delapan penjuru angin. Namun tak ada sahutan
sedikit pun, dan suasana tetap sunyi. Hanya desiran angin malam yang terdengar
mengusik gendang telinga.
"Saat ini aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Keluarlah...!" seru Dewa Pedang
sekali lagi. "Kau tidak perlu berteriak, Dewa Pedang. Aku di belakangmu!" terdengar sahutan
ringan bernada tenang.
Dewa Pedang, Dewi Ratih dan Arya Gara langsung
memutar tubuhnya berbalik. Betapa terkejutnya mereka, karena di tempat itu sudah
berdiri seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Baju putihnya agak ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
Dewa Pedang melangkah maju tiga tindak. Pandangannya tajam, namun terlihat
begitu waspada. Kehadiran pemuda itu yang tidak diketahui, sudah memberikan
peringatan agar Dewa Pedang berhati-hati.
"Siapa kau, dan apa maksudnya datang ke tempatku malam-malam begini?" tanya Dewa
Pedang tegas. "Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih itu hanya tertawa saja.
Dewa Pedang menjentikkan jari tangannya, memberi
isyarat pada istri dan anaknya agar berhati-hati. Sudah terasa kalau kehadiran
pemuda itu tidak diiringi maksud baik.
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki muda berbaju putih yang ternyata adalah si
Jari Malaikat Maut itu langsung saja melompat menerjang Dewa Pedang. Serangan
yang mendadak ini membuat laki-laki setengah baya itu jadi terperangah sesaat.
Tapi, cepat-cepat dijatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah. Serangan si Jari
Malaikat Maut hanya mengenai tempat kosong. Namun belum juga Dewa Pedang bisa
berdiri tegak, Jari Malaikat Maut sudah menyerang kembali.
"Tunggu...!" seru Dewa Pedang sambil berkelit menghindari serangan pemuda
berbaju putih itu.
Tapi rupanya si Jari Malaikat Maut tidak mempedulikan seruan Dewa Pedang. Bahkan
semakin gencar menyerang tanpa memberi kesempatan lawan untuk berbuat sesuatu,
selain berkelit menghindarkan diri. Dewa Pedang jadi geram juga dibuatnya.
Mendadak saja dia berteriak keras, lalu....
"Hiyaaat..!"
Tubuh Dewa Pedang melesat ke udara, lalu cepat sekali menukik sambil mencabut
pedang peraknya yang terkenal sangat ampuh dan ditakuti lawan maupun kawan.
"Uts...!"
Si Jari Malaikat Maut bergegas menundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang
perak yang datang bagaikan kilat itu. Hanya sedikit saja ujung mata pedang itu
berkelebat di atas kepala si Jari Malaikat Maut.
Bergegas digeser kakinya ke belakang, tepat saat Dewa Pedang menjejakkan kakinya
kembali ke tanah.
Secepat si Jari Malaikat Maut berkelit, secepat itu pula tangan kanannya
mengibas ke depan. Kalau saja Dewa Pedang tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke
belakang, pasti tebasan tangan si Jari Malaikat Maut sudah menjebol perutnya. Si
Jari Malaikat Maut berdiri tegak bertolak pinggang, kemudian menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada dengan sepuluh jari terkembang lebar.
"Heh...!" Dewa Pedang tersentak kaget. Bergegas dia melompat mundur dua tindak.
Hampir-hampir tidak dipercaya pada penglihatannya sendiri. Pemuda itu tengah
membuka jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Satu jurus yang sangat dikenalnya dan
merupakan jurus andalan dahsyat milik Pendekar Jari Malaikat.
"Anak Muda, apa hubungannya kau dengan Pendekar Jari Malaikat?" tanya Dewa
Pedang bercampur rasa heran yang amat sangat.
"He he he.... Rupanya kau gentar juga melihat Jurus
'Sepuluh Jari Maut' ini, Dewa Pedang," si Jari Malaikat Maut terkekeh sinis.
"Aku tidak percaya kalau kau murid Pendekar Jari Malaikat' Dari mana kau
dapatkan jurus itu, Anak Muda"!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengus Dewa Pedang.
"Kau akan tahu jika anakmu sudah jadi mayat'" jawab si Jari Malaikat Maut
dingin. Dewa Pedang tercenung. Namun belum sempat mulut-
nya terbuka, mendadak Arya Gara melompat sambil berteriak keras menerjang si
Jari Malaikat Maut
"Arya Gara...!" sentak Dewa Pedang terperanjat.
"Hih!"
Hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya, si Jari Malaikat Maut berhasil
mengelakkan serangan Arya Gara.
Dan dengan keceparan luar biasa, dihentakkan tangan kanannya ke arah kepala Arya
Gara. Ujung jari yang menegang kaku itu meluruk deras ke arah kening. Arya Gara
terperangah. Buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Namun....
"Hiyaaa...!"
Crab! "Aaa...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Pada saat Arya Gara menarik kepalanya
ke belakang, si Jari Malaikat Maut menghentak kakinya ke tanah. Dan bagaikan
kilat tubuhnya melesat ke depan sambil menjulur tangan ke arah kening Arya Gara
bagaikan sebatang pedang saja.
Arya Gara menjerit melengking tinggi. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Darah kontan menyembur deras dari kening yang
bolong tertembus jari telunjuk si Jari Malaikat Maut. Pemuda itu jatuh
menggelepar di tanah, sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat..!" geram Dewa Pedang melihat putranya tewas terkena Jurus 'Sepuluh
Jari Maut'. Biar bagaimanapun tegarnya seorang pendekar, sebagai ayah. Dewa
Pedang tidak bisa memungkiri hatinya yang terpukul melihat kematian anaknya.
"Arya Gara...!" teriak Dewi Ratih histerts.
Wanita itu berlari dan menubruk tubuh putranya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Meskipun Dewi Ratih seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, tapi tidak kuasa
juga membendung air matanya melihat putra bungsunya tewas menyedihkan.
"Kubunuh kau, iblis keparat..!" geram Dewi Ratih gusar.
Sambil berteriak keras, Dewi Ratih melompat menerjang si Jari Malaikat Maut yang
terkekeh bernada penuh ejekan. Terjangan Dewi Ratih disambut liukan tubuhnya
sedikit ke samping. Lalu bagaikan kilat diayunkan kakinya menyepak wanita itu.
Dug! "Akh...!" Dewi Ratih memekik keras tertahan.
Tendangan si Jari Malaikat Maut yang begitu cepat dan keras tidak dapat
dielakkan lagi. Wanita itu terlontar beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu
si Jari Malaikat Maut sudah melompat dengan jari-jari tangan terkembang ke
depan. "Hiyaaa...!"
"Ratih, awas...!" seru Dewa Pedang. Hatinya benar-benar bergolak melihat
istrinya diserang terus-menerus oleh si Jari Malaikat Maut. Namun naluri
kependekarannya
melarang untuk turut menyerang lawan yang hanya sendiri.
Serangan si Jari Malaikat Maut memang begitu cepat.
Sedangkan pada saat itu, Dewi Ratih dalam keadaan tidak seimbang berdirinya.
Wanita itu hanya mampu membanting tubuhnya ke tanah. Tapi sungguh sukar
dimengerti, si Jari Malaikat Maut masih mampu menyepakkan kakinya ke tubuh
wanita itu. Buk! "Akh!" lagi-lagi Dewi Ratih memekik keras. Wanita itu bergulingan di tanah
begitu terkena tendangan telak pada bagian iga, namun masih sempat bangkit
berdiri. Langsung dikeluarkan senjatanya yang berupa sehelai selendang berwarna
merah muda. Selendang sutra halus, yang pada ujungnya berumbai merah darah.
Wut! Dewi Ratih langsung mengerahkan jurus 'Selendang
Maut'. Suatu jurus yang sangat diandalkan dan jarang dikeluarkan. Kematian
putranya membuat wanita ini tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tanpa
mempedulikan peringatan suaminya, Dewi Ratih langsung menyerang si Jari Malaikat
Maut dengan senjata mautnya. Selendang berwarna merah muda itu meliuk-liuk
bagaikan seekor ular raksasa, memburu si Jari Malaikat Maut. Bagai memiliki mata
saja, selendang itu mengejar setiap langkah dan gerak si Jari Malaikat Maut.
"Huh!" dengus Jari Malaikat Maut kesal.
Pada saat ujung selendang Dewi Ratih meluruk ke arah dadanya, si Jari Malaikat
Maut tidak bergeming sedikit pun.
Bahkan dibuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, ujung selendang merah muda
itu menghantam telak dada si Jari Malaikat Maut. Namun pada saat itu si Jari
Malaikat Maut menggerakkan tangannya, menangkap selendang itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil membuat gerakan berputar, si Jari Malaikat Maut melayang sambil menarik
selendang merah muda itu.
Hal ini membuat Dewi Ratih tercengang, dan berusaha menarik selendangnya. Namun
pada saat menarik, si Jari Malaikat Maut mempergunakan hentakan tenaga lawannya.
Dibiarkan saja tubuhnya meluruk bersama selendang itu ke arah pemiliknya.
"Oh, tidak...," desis Dewi Ratih terperanjat. Belum juga Dewi Ratih bisa
melakukan sesuatu, ujung jari pemuda berbaju putih itu sudah menusuk keningnya.
Bahkan sampai melesak hingga ke pangkalnya.
"Aaa...!" Dewi Ratih menjerit keras melengking tinggi.
Darah segar langsung muncrat begitu si Jari Malaikat Maut menarik keluar jari
yang terbenam di kening wanita itu. Sebentar Dewi Ratih masih mampu berdiri,
kemudian jatuh menggelepar ke tanah. Darah semakin banyak keluar dari kening
yang berlubang sebesar jari tangan.
"Dewi..!" sentak Dewa Pedang melihat istrinya dibantai si Jari Malaikat Maut.
Seketika laki-laki tua itu menghambur, memeluk mayat istrinya. Dia seperti ingin
menangis, tapi jiwa kependekarannya menolak.
"Tidak! Aku tidak boleh menangis! Ini adalah takdir yang harus kuhadapi!" tekad
Dewa Pedang dalam hati.
Tapi biar bagaimanapun, Dewa Pedang tidak memung-
kiri hatinya yang terbakar!
"Keparat! Iblis...!" desis Dewa Pedang menggeram marah. Hati pendekar ini
sekarang benar-benar bergolak.
Betapa tidak! Dua mutiara hatinya tewas di tangan orang biadab ini.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak melihat dua
korbannya bergeletakan bersimbah darah pada kening yang berlubang.
Keributan yang terjadi di tengah malam buta itu rupanya membuat seluruh murid
Padepokan Pedang Perak terjaga. Mereka berlarian ke arah sumber keributan itu.
Betapa terkejutnya mereka begitu melihat tstri dan putra gurunya sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Semuanya jadi terpaku dan tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Sementara si Jari Malaikat Maut berdiri tegak dengan tenangnya. Sedikit pun
tidak dipedulikan kehadiran murid-murid Padepokan Pedang Perak yang kini sudah
menge-pung tempat ini sambil menghunus senjata. Perhatiannya hanya tertuju pada
Dewa Pedang yang wajahnya memerah menahan kemarahan amat sangat.
*** "Kau harus bayar mahal semua ini, Anak Muda!" dengus Dewa Pedang menggeram
marah. "Tentu! Akan kubayar semuanya dengan nyawamu, Dewa Pedang," sahut si Jari
Malaikat Maut kalem.
Dewa Pedang mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Disadari kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Ketua
Padepokan Pedang Perak itu
memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkir. Dia tak ingin pemuda itu mengamuk
dan membantai habis murid-muridnya. Laki-laki setengah baya itu bisa mengukur
kalau murid-muridnya tidak akan mampu menandingi pemuda yang tidak dikenalnya
ini. "Anak Muda, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Dewa Pedang setelah semua murid-
muridnya berada
dalam jangkauan yang cukup jauh.
"Mencari anakmu!" sahut si Jari Malaikat Maut.
"Kau sudah membunuh anakku. Kisanak!"
"Kau pilar aku tidak tahu, heh" Di mana kau
sembunyikan Arya Dipa" Dia harus bertanggung jawab padaku karena berani
menyerobot hakku!" lantang nada suara si Jari Malaikat Maut.
"Apa yang dilakukan putraku?"
"Membunuh si Kapak Maut yang seharusnya menjadi bagianku! Jelas..."!"
"O...." desah Dewa Pedang.
Kini laki-laki setengah baya itu baru tahu dan
menyadari. Ternyata pemuda ini adalah si Jari Malaikat Maut. Memang pernah
didengarnya tentang pemuda ini dari Pendekar Jari Malaikat. Rupanya orang yang
telah menggemparkan rimba persilatan ini masih begitu muda bagai seorang putra
bangsawan, tapi hatinya terselimut naisu iblis. Dewa Pedang semakin berhati-
hati. dan tidak ingin gegabah menghadapi pemuda ini.
Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah mendengar
banyak tentang sepak terjang si Jari Malaikat Maut.
Demikian pula tentang ilmunya yang paling ditakuti hampir seluruh tokoh rimba
persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Sebuah ilmu yang dapat
menyerap ilmu lawan hanya lewat benturan badan dalam pertarungan. Tak ada satu
ilmu kesaktian atau suatu jurus pun yang dapat menandinginya. Ilmu yang dimiliki
si Jari Malaikat Maut itu bahkan membuat tubuhnya kebal tak dapat digempur ajian
apa pun. Dewa Pedang juga kini tahu kalau si Jari Malaikat Maut mencari Arya Dipa, karena
telah membunuh si Kapak Maut, yang sedianya akan ditantang pemuda ini. Si Jari
Malaikat Maut memang selalu menantang tokoh-tokoh persilatan hanya untuk mencuri
ilmunya saja. Kemudian baru dibunuh dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dewa
Pedang menggeser kakinya sedikit ke samping. Pelahan-lahan ditarik pedangnya
keluar dari warangkanya. Sebuah pedang panjang dan tipis berwarna keperakan.
Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Bagus! Rupanya kau sudah siap ke neraka, Dewa Pedang!" dengus si Jari Malaikat
Maut seraya tersenyum tipis.
"Kita tentukan malam ini. Kau, atau aku yang lebih dulu ke neraka!" dengus Dewa
Pedang dingin. "Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak
"Majulah, Anak Muda! Dosa besar kalau aku tidak bisa membunuhmu malam ini!"
tantang Dewa Pedang.
"Waspadalah! Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut langsung melompat menerjang Dewa Pedang. Tubuhnya melesat
bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Kedua tangannya menjulur ke depan
dengan jari-jari terbuka lebar. Gerakannya bagai sepasang cakar seekor burung
elang yang siap menerkam mangsa.
"Hait..!"
Bagaikan kilat Dewa Pedang melompat ke samping
sambil mengebutkan pedangnya. Begitu cepat kebutan laki-laki setengah baya itu,
sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Semua murid Padepokan Pedang Perak
pasti menyangka kalau tubuh si Jari Malaikat Maut akan terbelah dua. Namun yang
terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan pada saat
ujung pedang Dewa Pedang menyambar tepat di depan perutnya, bagaikan kilat
dihentakkan kakinya menyepak pergelangan tangan yang menggenggam pedang itu.
"Uts!"
Dewa Pedang bergegas menarik pulang pedangnya,
maka sepakan kaki si Jari Malaikat Maut luput dari sasaran. Tapi dia tidak
berhenti di situ saja. Sambil memutar tubuhnya, dikibaskan tangan kanannya,
disusul tangan kiri menuju arah dua bagian tubuh Dewa Pedang.
Satu serangan dahsyat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Jurus ini sangat diandalkan
Pendekar Jari Malaikat, pemilik jurus yang syah itu. Hanya saja, kini menjadi
milik si Jari Malaikat Maut.
Wut! Wuk! "Edan! Hih...!"
*** 8 Cepat sekali Dewa Pedang berkelit, namun tetap saja masih harus menerima
hempasan angin kibasan tangan si Jari Malaikat Maut itu. Akibatnya, tubuhnya
terhuyung ke belakang beberapa langkah. Pada saat ttu, si Jari Malaikat Maut
sudah meluruk cepat dengan sepuluh jari terkembang bagai sepasang cakar burung
elang. "Hiyaaa...!"
"Hup!"
Buru-buru Dewa Pedang membanting tubuhnya ke
tanah. Namun lagi-lagi hatinya terperanjat karena kaki lawannya berhasil
menyepak iga sehingga membuatnya harus bergulingan sejauh beberapa batang tombak
di tanah. "Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!" teriak Jari Malaikat Maut keras
menggelegar. Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke
depan. Saat itu secercah cahaya merah bagai bola api sebesar kepala orang
dewasa, meluncur deras dari telapak tangan pemuda berbaju putih itu. Dewa Pedang
terperangah, dan tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Dan pada saat yang kritis, mendadak saja berkelebat bayangan putih bercampur
cahaya biru berkilau menyampok bola api yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut.
Bola api itu langsung terlontar balik ke arah pemiliknya. Hal ini membuat si
Jari Malaikat Maut harus berpelantingan menghindarinya. Satu ledakan keras
menggelegar terdengar begitu bola api itu menghantam dinding tembok pagar yang
melingkari padepokan itu. Tembok itu hancur berkeping-keping menimbulkan kepulan
debu yang mem-bumbung tinggi ke angkasa.
"Setan alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut geram.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Dewa Pedang sudah berdiri seorang
pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Tangannya memegang sebilah
pedang bergagang kepala burung Rajawali yang me-
mancarkan sinar biru berkilau, sehingga membuat malam yang pekat ini jadi terang
benderang bagai siang hari.
"Kau tidak apa-apa, Paman Dewa Pedang?" lembut suara pemuda berbaju rompi putih
itu. "Tidak, terima kasih," sahut Dewa Pedang sambil bangkit berdiri. "Kau tentu
Pendekar Rajawali Sakti!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum dan menoleh sedikit pada Dewa
Pedang yang sudah berdiri di samping kanannya. Dia memang Pendekar Rajawali
Sakti. Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada begitu melihat si Jari Malaikat
Maut sudah bersiap menyerang kembali
"Menyingkirlah, Paman. Biar kuhadapi sendiri," kata Rangga yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hati-hatilah. Ilmunya tinggi sekali," Dewa Pedang meng-ingatkan seraya
melangkah mundur.
Rangga hanya bergumam saja. Digeser kakinya ke kiri, menjauhi Dewa Pedang. Dia
tidak ingin laki-laki setengah baya itu menjadi sasaran serangan si Jari
Malaikat Maut. Rangga sempat melirik ke arah lain. Tampak Pendekar Jari Malaikat datang
menghampiri bersama Arya Dipa.
"Huh! Selalu saja kau muncul, Pendekar Rajawali Sakti!"
dengus si Jari Malaikat Maut gusar.
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang ke sini, Kobar,"
ujar Rangga menyebut nama asli si Jari Malaikat Maut.
"Aku Jari Malaikat Maut, bukan Kobar," bentak pemuda itu geram.
"Apa pun julukanmu, kau tetap Kobar. Anak angkat Pendekar Bayangan Dewa dan si
Ular Betina dari Selatan.
Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Dan aku tidak ingin kau terlalu lama
mendewakan nafsu serakah dan
keangkaramurkaan!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut yang sebenarnya bernama Kobar tertawa
terbahak-bahak. Sama sekali memandang sebelah mata pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Tertawalah sepuasmu, Kobar. Malam ini akan ku-hentikan segala tindakanmu!"
dingin nada suara Rangga.
"Monyet..! Sepatutnya kau mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak si
Jari Malaikat Maut gusar.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum lagi hilang suara pemuda berbaju putih ketat itu, mendadak saja si Jari
Malaikat Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Cepat sekali
serangannya, tapi Rangga lebih cepat lagi berkelit menghindari serangan itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun menggenggam Pedang Pusaka
Rajawali Sakti, tapi Rangga masih belum mau berbenturan secara langsung dengan
lawannya. Dia menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan selalu menghindari
setiap serangan si Jari Malaikat Maut.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan
cahaya biru menyilaukan itu selalu berkelebatan cepat, mengacaukan setiap
serangan si Jari Malaikat Maut.
Namun setiap kali pemuda itu berusaha menahan arus kibasan pedang dengan
tangannya, Rangga selalu berhasil mengindari dengan memutar balik arah
tebasannya. Dan ini semakin membuat si Jari Malaikat Maut bertambah marah.
"Keparat! Kau mempermainkan aku, heh...!" geram si Jari Malaikat Maut gusar.
Umpatan si Jari Malaikat Maut tidak dihiraukan
Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terus saja mempergunakan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sambil memain-mainkan pedangnya. Sinar biru yang
memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu semakin bertambah terang
menyilaukan mata, membuat si Jari
Malaikat Maut semakin terkecoh. Bola matanya mulai terasa pedih, dan berusaha
dihindari tatapan matanya pada sinar biru berkilau itu.
"Keluarkan semua ilmu curianmu, Kobar!" seru Rangga memancing amarah si Jari
Malaikat Maut. "Bedebah! Kubunuh kau, setaaan..!" geram si Jari Malaikat Maut semakin memuncak
amarahnya. Serangan-serangan si Jari Malaikat Maut semakin
gencar dan berbahaya sekali. Jurus demi jurus berganti cepat. Semakin lama
pertarungan itu, semakin dahsyat serangan yang dilakukan si Jari Malaikat Maut.
Tapi rupanya Rangga masih mampu menghindari setiap
serangan itu. Dengan bantuan cahaya pedangnya yang menyilaukan, Pendekar
Rajawali Sakti mampu berkelit cepat dan mengecoh serangan-serangan lawannya.
Tapi bagaimanapun juga, Rangga menyadari kalau pertarungan seperti ini tidak
akan bertahan lama lagi. Dan sudah dipersiapkan apa yang akan terjadi nanti.
Rangga sadar, kalau tidak si Jari Malaikat Maut maka dirinyalah yang akan tewas
malam ini! *** "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras menggelegar. Seketika itu
juga tubuhnya melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali. Pemuda berbaju
putih ketat ttu meluruk jauh ke depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Segumpal
cahaya bagai bola api meluncur deras keluar dari telapak tangan yang terbuka
lebar itu. "Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Maka bola api ttu
tepat menghantam mata pedang yang bersinar biru itu. Satu ledakan keras terjadi.
Tapi sungguh menakjubkan. Bola api itu langsung lenyap begitu membentur pedang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Dua kali si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanan dan kirinya secara
cepat bergantian. Dua bola api bertebaran meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan pedang di depan
dada. Dua ledakan keras kembali terdengar begitu bola-bola api yang dilepaskan
si Jari Malaikat Maut menghantam mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Phuih...!" si Jari Malaikat Maut menyemburkan ludahnya, gusar.
Baru kali ini didapatkan lawan tangguh, yang dapat menahan gempuran aji 'Tapak
Api' yang sangat dahsyat.
Tiga kali Rangga digempur, tapi tidak kurang satu apa pun.
Padahal dia belum berpindah dari tempatnya berdiri.
Bahkan semua ajian yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut mudah sekali
diredamnya. "Hup! Hup! Hsss...!"
Si Jari Malaikat Maut menggerak-gerakkan tangannya turun naik di depan dada.
Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Kedua kakinya terpentang lebar, dan
lututnya agak tertekuk ke depan. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Namun
pelahan-lahan dilebarkan kakinya, dan tangan kirinya menggosok Pedang Pusaka
Rajawali Sakti. Sungguh menakjubkan...! Sinar biru yang memancar dari pedang itu
menggumpal membentuk
bulatan pada ujung pedang
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, si Jari Malaikat Maut berlari cepat mengarah ke Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memasukkan pedang pusakanya ke dalam
warangkanya di punggung. Tapi bulatan cahaya biru, tetap menyelimuti kedua
tangannya. Dan pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan tangannya ke depan,
tepat pada saat jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut yang memerah membara
bagai terbakar itu mencengkeram dada Rangga.
"Hhh!"
"Hup...!"
Dua orang pemuda itu saling berhadapan. Jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut
menancap dalam di dada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putih itu mencengkeram bahu lawannya kuat-kuat.
Terjadi adu kekuatan ilmu kesaktian yang tinggi.
Inilah adu kekuatan kesaktian yang saling berlawanan satu sama lain, meskipun
sama-sama mempunyai tujuan serupa yaitu menyedot kekuatan dan tenaga lawan!
Saling tarik-menartk kekuatan pun terjadi. Dan Rangga agak terkejut juga begitu
merasakan tarikan kekuatan si Jari Malaikat Maut begitu kuat. Tanpa membuang-
buang waktu lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan tingkat terakhir aji
'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti terselimut cahaya biru
berkilauan. Sedangkan seluruh tangan si Jari Malaikat Maut sudah memerah membara
bagaikan terbakar. Tubuh yang bermandikan keringat itu bergetar. Sedangkan
Rangga mulai memusatkan kekuatan pada kedua tangannya yang mencengkeram pundak
si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangannya. Dan bersamaan
dengan itu, digedornya dada Rangga dengan kekuatan penuh. Bukan main terkejutnya
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah melayang ke udara.
Pada saat itu si Jari Malaikat Maut melesat ke angkasa.
Bukannya untuk mengejar Rangga, tapi untuk melarikan diri dengan arah yang
berlawanan. Namun belum juga sempat meninggalkan tempat itu, mendadak saja
sebuah bayangan biru berkelebat menyampoknya.
"Uts...!"
Buru-buru si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya dan berputar beberapa
kali. Tubuhnya lalu meluruk turun dengan ringan dan manis sekali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya lembut menjejak tanah. Tampak dari sudut
bibirnya mengucurkan darah kental. Rupanya tadi seluruh kekuatannya dikerahkan
untuk melepaskan diri dari balutan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara itu Rangga yang jatuh ke tanah bergulingan beberapa kali, langsung
duduk bersila seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Kelopak
matanya agak terpejam, namun menatap lurus si Jari Malaikat Maut yang berdiri
berhadapan dengan seorang gadis cantik mengenakan baju berwarna biru. Begitu
ketatnya baju yang dikenakan, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah
sekali. "Pandan...," desis Rangga mengenali gadis itu.
Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis itu.
Kekuatannya yang hampir hilang harus segera dipulihkan, akibat tersedot ilmu
yang dimiliki si Jari Malaikat Maut.
Dalam hati, dia merasa khawatir kalau aji 'Cakra Buana Sukma' sempat disadap si
Jari Malaikat Maut. Kalau hal itu sampai terjadi, sukar bagi Rangga untuk
mengalahkannya.
*** Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah menyerang Pandan Wangi yang
menggunakan senjata khasnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing
dan tajam melebihi tajamnya mata pisau cukur. Pertarungan ttu berlangsung
sengit. Namun dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi
terdesak. Menyadari kalau lawannya sangat tangguh, Pandan
Wangi segera mencabut Pedang Naga Geni yang berwarna hitam kelam mengepulkan
asap kemerahan. Dengan
pedang di tangan kanan dan kipas baja di tangan kiri, Pandan Wangi kembali mampu
menandingi kehebatan si Jari Malaikat Maut yang bertarung menggunakan tangan
kosong. Namun jari-jari tangannya merupakan senjata yang dahsyat, melebihi
senjata apa pun juga!
"Pandan, mundur...!" seru Rangga yang sudah dapat memulihkan kekuatannya
kembali. Tapi Pandan Wangi tidak menghiraukan peringatan
Rangga, dan terus saja bertarung sengit. Hal ini membuat Rangga cemas, karena
sudah bisa diukur kalau Pandan Wangi tidak mungkin bisa mengalahkan si Jari
Malaikat Maut. Dan dugaan Rangga ternyata terbukti tidak lama kemudian.
Saat itu Pandan Wangi tengah membabatkan pedang-
nya ke arah kaki si Jari Malaikat Maut. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali,
pemuda berbaju putih itu hanya mengangkat sebelah kakinya ke atas. Langsung
dihentakkan ke depan, sehingga membuat Pandan Wangi ter-
perangah kaget. Dan belum hilang rasa keterkejutannya, gadis itu sudah merasakan
adanya tendangan keras
menghantam perut.
"Hughk...!" Pandan Wangi mengeluh pendek.
Selagi tubuh gadis itu terbungkuk, cepat sekali si Jari Malaikat Maut
mengayunkan satu pukulan ke arah wajah.
Namun belum juga pukulan itu sampai ke wajah Pandan Wangi, Rangga cepat melompat
dan menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tangan si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Wuk..! Tubuh si Jari Malaikat Maut terlontar ke atas, namun tangannya masih dicekal
Rangga. Dan dengan keras sekali pemuda itu jatuh ke tanah begitu Rangga
menghentak-kannya ke bawah. Satu tendangan keras dilayangkan ke tubuh si Jari
Malaikat Maut, membuat pemuda berbaju putih ketat itu terguling sejauh beberapa
batang tombak. Hebat! Dia cepat bangkit berdiri dan menyemburkan ludahnya penuh kegeraman.
"Mundur kau, Pandan," dengus Rangga memerintah.
Pandan Wangi ingin bersikeras, tapi Pendekar Jari Malaikat bergegas menghampiri
gadis itu dan membawanya menyingkir. Terpaksa Pandan Wangi menurut, menjauhi
tempat pertarungan itu. Sementara Rangga sudah menggeser kakinya ke samping,
siap menghadapi lawan yang sangat tangguh ini.
"Majulah! Kita bertarung sampai ada yang mati, Kobar!"
ujar Rangga dingin.
"Hm...." si Jari Malaikat Maut hanya menggumam tidak jelas.
Pertarungannya tadi rupanya membuat si Jari Malaikat Maut harus bersikap hati-
hati menghadapi Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau saja tidak beruntung tadi,
mungkin dia sudah tidak bernyawa lagi. Sungguh belum pernah dihadapinya lawan
yang begini tangguh, dan berkepandaian tinggi. Bahkan kepandaiannya sukar sekali
dicuri melalui ilmu andalannya yang sangat dibanggakan.
Rangga yang menyadari kalau lawannya ini sungguh
alot, tidak mau lagi membuang-buang waktu dan memberi kesempatan. Bagaikan
burung Rajawali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berteriak keras
menerjang si Jari Malaikat Maut. Kembali pertarungan sengit terjadi, masing-
masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali. Sedikit kelengahan
akan berakibat kematian.
Untuk pertama kali Ini, Rangga bukan saja mengeluarkan jurus-jurus 'Rajawali
Sakti', tapi juga jurus-jurus yang pernah didapatkannya dari Satria Naga Emas.
Namun ternyata si Jari Malaikat Maut mampu menandinginya,
bahkan masih mampu juga membalas tidak kalah dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung hingga ke luar tembok benteng Padepokan Pedang
Perak bagian belakang yang langsung berhadapan dengan hutan lebat. Semua orang
yang menyaksikan pertarungan itu terus mengikuti sambil menjaga jarak dan
berjaga-jaga. Pertarungan itu terus berpindah-pindah tempat dan semakin jauh
masuk ke dalam hutan mendekati Gunung Bekasan. Tidak ter-katakan lagi, bagaimana
hancurnya hutan yang dijadikan arena pertarungan itu.
Hingga fajar menyingsing, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Si
Jari Malaikat Maut masih terus berlangsung. Bahkan sampai matahari naik tinggi,
pertarungan itu belum juga berhenti. Rangga memang mengalami kesukaran untuk
menjatuhkan, karena lawannya kali ini memiliki berbagai macam ilmu dari banyak
tokoh rimba persilatan. Bahkan tidak jarang Rangga terkecoh.
"Hhh... Pertarungan ini harus segera disudahi!" dengus Rangga dalam hati.
Baru saja Rangga berpikir demikian, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
pekat yang langsung meluruk ke arah si Jari Malaikat Maut. Hal ini membuat
pemuda berbaju putih itu jadi terkejut. Buru-buru diputar tubuhnya.
Tapi sungguh tidak terduga sama sekali, bayangan itu malah melentingkan tubuhnya
dan menyambar kepala si Jari Malaikat Maut.
Wut! "Hait...!"
Bet..! Ikat kepala si Jari Malaikat Maut terlepas disambar bayangan itu. Si Jari
Malaikat Maut bergegas melompat ke belakang. Pada saat yang tepat, Rangga sudah
melompat sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam
sempuma sekali.
"Hiyaaa...!"
Buk! "Akh...!" si Jari Malaikat Maut memekik keras.
Tubuhnya langsung terlontar kembali ke depan. dan terjerembab mencium tanah.
Bergegas dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, tapi sebuah kaki sudah
menginjak dadanya. Si Jari Malaikat Maut terbeliak begitu mengenali, siapa yang
menginjak dadanya. Ternyata seorang perempuan tua berbaju kumal menggenggam
sebatang tongkat berbentuk ular hitam yang ujungnya menekan leher
pemuda itu. "Ibu..." desis si Jari Malaikat Maut.
"Tidak pantas kau menyebutku ibu, Anak durhaka!"
bentak perempuan tua itu yang tidak lain adalah Nyi Palak, atau lebih dikenal
berjuluk si Ular Betina dari Selatan.
Sementara itu, Rangga hanya memperhatikan saja
dengan jarak yang tidak seberapa jauh. Sedangkan beberapa tombak di belakang Nyi
Palak, terlihat Pendekar Jari Malaikat, Pandan Wangi, dan Arya Dipa.
Dan begitu Arya Dipa melihat Dewa Pedang, pemuda itu menghambur menubruk
ayahnya. "Di mana ibu dan adikku, Ayah?" tanya Arya Dipa yang tidak melihat kedua orang
itu. Mendengar pertanyaan itu, Dewa Pedang tersentak.
Hatinya begitu pedih seperti tersayat sembilu. Dia seperti tak mampu menjawab.
"Kenapa, Ayah" Mengapa Ayah kelihatan sedih?"
"Benar, Nak. Hari ini aku benar-benar berduka ibu dan adikmu telah tiada." tutur
Dewa Pedang berusaha menegarkan hatinya.
"Apa"!"
*** "Kau sudah membunuh ayahmu sendiri. Dan sekarang kau harus mampus di ujung
tongkatku!" dingin nada suara Nyi Palak.
Pucat pasi wajah si Jari Malaikat Maut. Dia berusaha menggerinjang mencoba
membebaskan diri, tapi Nyi Palak malah menekan ujung tongkatnya lebih keras ke
leher pemuda itu hingga meringis kesakitan.
"Kau bisa saja menantang pendekar pendekar lain.
Tapi, kau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah setan!" kata Nyi Palak lagi.
"Ibu, aku hanya ingin menambah ilmu," kilah si Jari Malaikat Maut mencoba
membela diri. "Kau boleh saja memohon maaf seribu kali, tapi nanti di neraka!" ketus nada
suara Nyi Palak.
"Ibu..."
"Bersiaplah untuk mati, iblis! Hih...!"
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaa...!"si Jari Malaikat Maut menjerit melengking tinggi.
Ujung tongkat Nyi Palak langsung memanggang leher pemuda yang memang anak
angkatnya sendiri. Tidak
sampai di situ saja, perempuan tua itu juga menghunjamkan tongkatnya ke dada.
Bahkan menjejak dada yang berlumuran darah itu dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Trek! Terdengar tulang-tulang dada berpatahan. Seketika itu juga si Jari Malaikat Maut
terkulai tak bernyawa lagi. Nyi Palak melangkah mundur. Dibalikkan tubuhnya dan
diham-pirinya Pendekar Jari Malaikat.
"Benda ini tidak ada harganya lagi, Kakang," kata Nyi Palak sambil menyerahkan
ikat kepala milik si Jari Malaikat Maut.
Dengan mata berkaca-kaca. Pendekar Jari Malaikat
menerima ikat kepala itu. Dia mengerti, kalau Pendekar Bayangan Dewa sudah
meninggal. Ini semua akibat
keserakahan anak angkatnya sendiri yang durhaka setelah menguasai ikat kepala
berisi sebuah kitab dari ilmu yang sangat langka dan sangat berbahaya jika
digunakan pada jalan sesat.
Pendekar Jari Malaikat memandangi ikat kepala di
tangannya, kemudian dilemparkan ke tanah. Dan seketika itu juga dihentakkan
tangannya ke arah benda itu. Sebuah bola api sebesar kepalan tangan meluncur,
langsung membakar hangus ikat kepala berikut kitab yang tersembunyi di dalamnya.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Pendekar Jari
Malaikat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,
sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Sedangkan Nyi Palak menghampiri Arya Dipa. Ditepuk-tepuknya
pundak pemuda itu.
"Maaf atas kekasaranku padamu, Arya Dipa," ucap Nyi Palak.
Arya Dipa tak mampu menjawab, dan hanya meng-
angguk saja. Nyi Palak memandang Dewa Pedang, lalu beralih pada Pandan Wangi.
Puas menatap Pandan Wangi, dia berbalik dan menghampiri Rangga. Sebentar
dirayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian ditepuknya pundak Rangga
tiga kali. "Aku ingin memberimu sesuatu, tapi aku tidak yakin akan berguna kembali," ungkap
Nyi Palak. "Apa itu?" tanya Rangga.
"Ah, sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa menguasai ilmu iblis itu. Biarkanlah
musnah bersama kenangan pahit ini."
Rangga tidak lagi mendesak. Sudah bisa dimengerti apa yang dibicarakan perempuan
tua ini. Setelah menyalami Pendekar Rajawali Sakti itu, Nyi Palak melangkah
pergi. Ayunan langkahnya seperti biasa saja, tapi begitu cepat seakan-akan tidak
menjejak tanah. Cepat sekali tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Rangga segera
menghampiri Pandan Wangi, lalu mengajaknya pergi.
Kedua pendekar itu pergi diiringi pandangan mata Dewa Pedang dan putranya.
Mereka masih berada di tempat itu sampai semua pendekar tidak terlihat lagi.
Kemudian Dewa Pedang mengajak putranya kembali ke padepokan, diiringi murid-
murid Padepokan Pedang Perak.
SELESAI Proyek Kolaborasi ebook :
Scan & convert to teks by syauqy_arr
Edit teks by fujidenkikagawa
Convert to PDF achyarman
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** Pedang Kayu Harum 19 Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Tujuh Pedang Tiga Ruyung 11